BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi didorong oleh kawasan Asia dengan Cina dan India sebagai penggeraknya serta negara industri maju dengan kebijakan suku bunga rendah yang diarahkan untuk memulihkan ekonomi dari resesi global tahun 2001. Dalam tahun 2004, perekonomian dunia tumbuh sebesar 4,9 persen dan tetap tinggi hingga tahun 2007 (5,1 persen). Ekonomi dunia yang tumbuh tinggi tersebut, selanjutnya mendorong harga komoditas dunia, termasuk minyak mentah dunia. Indeks harga komoditas dunia tahun 2004–2008 meningkat rata-rata 21,6 persen per tahun dengan harga minyak mentah dunia naik ratarata 27,9 persen per tahun. Kenaikan terus berlanjut hingga bulan Juli 2008. Pada bulan Juli 2008, indeks harga komoditas dunia meningkat 39,9 persen dibandingkan dengan bulan Desember 2007 dengan harga minyak mentah dunia naik sebesar 46,0 persen pada periode yang sama. Sampai dengan pertengahan tahun 2008, ekonomi dunia lebih dihadapkan pada kekhawatiran krisis pangan dan energi dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi dalam lima tahun sebelumnya. Pada bulan September 2008, terjadi gejolak bursa saham global yang merupakan kelanjutan krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada bulan Juli 2007. Krisis Lehman Brothers yang terkait dengan transaksi credit default swap (CDS) dan terus meluasnya kerugian akibat krisis subprime mortgage selanjutnya meningkatkan arus modal keluar jangka pendek dari emerging economy yang pada gilirannya melemahkan nilai tukar mata uang berbagai negara terhadap dolar AS dan mengurangi cadangan devisa. Pada bulan Februari 2009, nilai tukar Euro dan Poundsterling melemah 29,5 persen dan 17,7 persen dibandingkan dengan bulan Juli 2007. Nilai tukar Bath dan Ringgit melemah 20,4 persen dan 7,0 persen pada periode yang sama. Hingga akhir bulan Februari 2009 cadangan devisa Rusia, India, Korea Selatan, dan Malaysia berkurang sebesar USD 212,5 miliar, USD 56,9 miliar, USD 46,0 miliar, dan USD 34,0 miliar dibandingkan dengan akhir bulan Juli 2008. Krisis keuangan global berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi berbagai negara. Ekonomi negara-negara maju memasuki resesi dalam paruh kedua tahun 2008 serta ekonomi China dan India melambat cukup tajam. Dalam keseluruhan tahun 2008, ekonomi dunia tumbuh 3,1 persen, lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 5,1 persen. Perekonomian Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang tumbuh 0,4 persen, 0,7 persen, dan negatif 0,6 persen lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tumbuh 2,1 persen, 2,6 persen, dan 2,4 persen. Perlambatan ekonomi juga terjadi di negara-negara berkembang Asia dengan China dan India yang masing-masing hanya tumbuh 9,0 persen dan 7,3 persen lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 13,0 persen dan 9,3 persen. Penurunan ekonomi dunia terus berlangsung hingga triwulan I/2009 dan melebar ke belahan dunia lainnya. Ekonomi Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang tumbuh negatif masing-masing 3,3 persen, 4,8 persen, dan 8,8 persen dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi China dan India yang menjadi penggerak ekonomi Asia melambat menjadi 6,1 persen dan 5,8 persen pada periode yang sama. Penurunan ekonomi juga terjadi di negara industri baru yang meliputi Korea Selatan, 35 - 2 Taiwan, Singapura, dan Hong Kong; Amerika Latin seperti Brasil, Meksiko, dan kawasan Afrika. Krisis keuangan global berpengaruh terhadap bursa saham global. Hingga akhir tahun 2008, Indeks Dow Jones di Amerika Serikat, FTSE 100 di Inggris, Nikkei di Jepang, STI di Singapura masing-masing turun 33,8 persen, 31,3 persen, 42,1 persen, dan 49,0 persen dibandingkan dengan tahun 2007. Penurunan ini terus berlangsung hingga awal bulan Maret 2009. Indeks Dow Jones di New York merosot di bawah 7000, dan indeks FTSE 100 di London menurun di bawah 3700. Hingga akhir bulan Maret 2009, Indeks Dow Jones dan FTSE 100 masing-masing mencapai 7609 dan 3926 atau melemah 13,3 persen dan 11,4 persen jika dibandingkan dengan akhir tahun 2008. Indeks Nikkei di Jepang dan indeks Straits Times di Singapura masing-masing menurun 8,4 persen dan 3,5 persen dalam periode yang sama. Penurunan ekonomi dunia yang besar juga berpengaruh pada harga komoditas dunia. Indeks harga seluruh komoditas turun 55,6 persen pada bulan Februari 2009 dibandingkan dengan tingkat harga tertinggi yang terjadi pada bulan Juli 2008. Harga minyak mentah WTI turun dari USD 134 per barel pada bulan Juni 2008 menjadi USD 39 per barel pada bulan Maret 2009. Menurunnya harga komoditas dunia dan perekonomian dunia selanjutnya menurunkan inflasi global lebih cepat dan lebih besar dari yang diperkirakan. Laju inflasi di Amerika Serikat yang meningkat hingga 5,6 persen pada bulan Juli 2008 menurun bertahap dan menjadi deflasi 1,4 persen pada bulan Juni 2009 (y-o-y). Inflasi di China yang meningkat menjadi 8,7 persen pada bulan Februari 2008 dan di Thailand menjadi 9,2 persen pada bulan Juli 2008 menurun cepat dan menjadi deflasi 1,7 persen dan 4,0 persen pada bulan Juni 2009. Untuk mencegah meluasnya krisis keuangan global dan penurunan ekonomi dunia yang besar, negara maju dan negara berkembang menempuh langkah bersama antara lain, G-20, terutama diarahkan guna memulihkan kepercayaan terhadap sistem keuangan global dan memulihkan ekonomi dunia dari resesi yang tajam melalui countercyclical dalam kerangka sustainable growth. 35 - 3 Langkah-langkah tersebut secara berangsur mulai memulihkan kepercayaan terhadap sistem keuangan global dan memperkecil penurunan ekonomi dunia. Pada akhir bulan Juli 2009, indeks DJIA dan FTSE 100 meningkat sebesar 20,5 persen dan 18,0 persen dibandingkan dengan akhir triwulan I/2009. Indeks saham Nikkei, Hangseng, Straits Times, dan KLSE meningkat masing-masing 27,7 persen, 51,5 persen, 56,5 persen, dan 34,7 persen dalam periode yang sama. Hingga akhir Juni 2009, cadangan devisa di berbagai negara mulai meningkat. Cadangan devisa Rusia, India, Korea Selatan meningkat masing-masing sebesar USD 28,7 miliar, USD 12,5 miliar, dan USD 25,4 miliar jika dibandingkan dengan akhir triwulan I/2009. Dalam triwulan II/2009, ekonomi China tumbuh 7,9 persen, lebih tinggi dari triwulan sebelumnya (6,1 persen), penurunan ekonomi Singapura sebesar 3,7 persen, lebih rendah dari triwulan sebelumnya (turun 9,6 persen), serta kontraksi ekonomi Korea Selatan mereda menjadi 2,5 persen. Sementara itu, kawasan Eropa dan Amerika tetap dihadapkan pada tantangan untuk memulihkan pertumbuhan ekonominya. Pada triwulan II/2009, ekonomi Amerika Serikat dan Inggris masih mengalami kontraksi dengan pertumbuhan negatif 5,6 persen dan 3,9 persen (y-o-y). Dalam keseluruhan tahun 2009, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan lebih rendah dibandingkan tahun 2008 dengan pemulihan ekonomi dunia yang berlangsung secara bertahap. II. Moneter, Perbankan, dan Pasar Modal Kebijakan moneter dalam tahun 2004–2009 diarahkan untuk menjaga stabilitas harga, baik harga di dalam negeri maupun nilai tukar rupiah, serta mendorong kegiatan ekonomi secara seimbang. Kebijakan suku bunga negara maju yang beralih dari kebijakan moneter yang longgar ke arah yang lebih ketat sejak awal tahun 2004 telah memberi tekanan pada nilai tukar mata uang berbagai negara. Nilai tukar rupiah melemah dan inflasi mulai meningkat. Dalam tahun 2004, nilai tukar rupiah melemah 4,0 persen dan inflasi meningkat menjadi 6,4 persen. 35 - 4 Kebijakan moneter ketat di negara-negara maju yang terus berlanjut dan meningkatnya ketidakstabilan moneter di dalam negeri terkait dengan ketahanan fiskal dalam menghadapi harga minyak mentah dunia yang meningkat cukup tinggi, menuntut kebijakan moneter yang lebih ketat untuk menjaga kepercayaan terhadap rupiah dan mengendalikan inflasi. Suku bunga SBI 1 bulan ditingkatkan bertahap dari 7,43 persen pada akhir tahun 2004 menjadi 10,0 persen pada bulan September 2005. Untuk lebih meredam gejolak nilai tukar rupiah dan mengendalikan ketidakstabilan harga terkait dengan penyesuaian harga BBM di dalam negeri pada bulan Oktober 2005, suku bunga BI Rate dinaikkan hingga menjadi 12,75 persen pada akhir tahun 2005. Kepercayaan terhadap rupiah menguat dan tekanan inflasi berkurang. Nilai tukar harian yang sempat melemah hingga Rp 12 ribu pada bulan Agustus 2005 menguat menjadi Rp 9.840 per dolar AS pada akhir tahun 2005. Inflasi yang meningkat menjadi 18,4 persen pada bulan November 2005 menurun menjadi 6,6 persen pada tahun 2006. Sejalan dengan meningkatnya kepercayaan terhadap rupiah dan terkendalinya stabilitas harga di dalam negeri, BI rate diturunkan bertahap hingga menjadi 9,75 persen pada akhir tahun 2006. Stabilitas ekonomi yang tetap terjaga pada tahun 2007 memberi ruang lebih lanjut bagi penurunan suku bunga. Dengan kepercayaan terhadap nilai tukar rupiah yang terjaga dan laju inflasi yang terkendali sebesar 6,6 persen, BI rate kembali diturunkan bertahap hingga menjadi 8,00 persen. Dalam menghadapi tekanan harga minyak mentah dunia yang meningkat tinggi sejak pertengahan tahun 2007, penyesuaian harga BBM di dalam negeri dilakukan pada bulan Mei 2008 untuk mengurangi tekanan terhadap APBN. Kebijakan moneter secara bertahap beralih ketat tanpa mengganggu momentum pertumbuhan yang sedang berlangsung. Krisis keuangan global pasca Lehman yang mendorong arus keluar modal dari negara-negara berkembang yang melemahkan nilai tukar mata uang berbagai negara, menuntut kehati-hatian dalam pelaksanaan kebijakan moneter. BI rate ditingkatkan bertahap dari 8,00 persen pada bulan April 2008 mejadi 9,50 persen pada bulan Oktober 2008. 35 - 5 Meredanya arus keluar modal serta langkah-langkah yang ditempuh di dalam negeri terutama untuk mengamankan kecukupan devisa serta menguatkan sistem keuangan telah meningkatkan kembali kepercayaan terhadap rupiah. Dengan ekspektasi inflasi yang menurun dan terjaganya kembali kepercayaan terhadap rupiah, tersedia ruang yang lebih besar bagi kebijakan moneter untuk memperkuat ekonomi domestik dari menurunnya permintaan eksternal. Inflasi pada bulan Juli 2009 yang menurun menjadi 2,7 persen (y-o-y) dan dalam keseluruhan tahun diperkirakan sekitar 4,0 persen, nilai tukar rupiah menguat, dan BI rate diturunkan menjadi 6,50 persen pada bulan Agustus 2009. Dalam pada itu, kebijakan perbankan terus diarahkan untuk memperkuat fungsi intermediasi, antara lain, melalui penguatan ketahanan sistem perbankan dan peningkatan kepercayaan masyarakat. Dengan stabilitas ekonomi yang terjaga kembali dari gejolak ekonomi tahun 2005, penyaluran kredit perbankan kembali meningkat. Pertumbuhan kredit perbankan yang menurun menjadi 9,7 persen hingga bulan Agustus 2006 secara bertahap kembali meningkat hingga menjadi 38,6 persen pada bulan Oktober 2008. Menurunnya ekonomi global dan melambatnya perekonomian dalam negeri berpengaruh terhadap permintaan kredit perbankan. Pertumbuhan kredit perbankan secara bertahap melambat menjadi 16,2 persen pada bulan Juni 2009. Langkah-langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan kembali pertumbuhan kredit perbankan. Kesehatan perbankan dalam kurun waktu 2004–2008 tetap terjaga. Capital Adequacy Ratio terjaga pada kisaran 16–20 persen, jauh di atas ketentuan sebesar 8 persen, dengan penyaluran kredit yang makin meningkat. Kualitas kredit juga terjaga dengan baik. Meskipun sebagai rasio dari total kredit, NPL meningkat menjadi 4,0 persen pada bulan Juni 2009 dengan menurunnya ekonomi global dan melambatnya ekonomi dalam negeri, tingkat ini masih lebih rendah dibandingkan dengan pertengahan tahun 2006 yang mencapai 8,3 persen. Upaya untuk mendorong pasar modal sebagai sumber pembiayaan pembangunan terus ditingkatkan. Secara bertahap indeks harga saham gabungan (IHSG) meningkat dari 1000 pada 35 - 6 akhir tahun 2004 menjadi 2746 pada akhir tahun 2007. Krisis keuangan dan resesi global yang berpengaruh terhadap indeks bursa saham global berdampak pada kinerja bursa saham di Indonesia. IHSG BEI tertekan hingga di bawah 1250 pada bulan November 2008. Langkah-langkah pengamanan sektor keuangan, baik di tingkat global maupun nasional serta ekspektasi yang besar terhadap ketahanan ekonomi nasional, kembali mendorong kinerja pasar modal di Indonesia. Pada akhir Juli 2009, IHSG BEI meningkat menjadi 2323 dan merupakan salah satu pasar modal yang prospektif di kawasan Asia. III. Neraca Pembayaran Kondisi neraca pembayaran tahun 2005 hingga pertengahan tahun 2008 terus membaik didukung oleh pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan dunia yang tinggi. Dengan kemampuan cadangan devisa yang meningkat, pembayaran sisa utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) yang seharusnya jatuh tempo pada tahun 2010 dipercepat serta dilunasi pada bulan Juni dan Oktober 2006. Pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi sejak tahun 2004 hingga pertengahan tahun 2008 berdampak positif terhadap neraca transaksi berjalan. Dalam tahun 2005 – 2007, ekspor nonmigas tumbuh rata-rata 19,6 persen per tahun. Sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di dalam negeri, impor nonmigas naik rata-rata 19,3 persen per tahun dalam kurun waktu yang sama. Dengan defisit jasa-jasa (neto) dan pendapatan (neto) yang meningkat dari USD 8,8 miliar dan USD 10,9 miliar pada tahun 2004 menjadi USD 11,8 miliar dan USD 15,5 miliar pada tahun 2007, surplus transaksi berjalan meningkat dari USD 1,6 miliar pada tahun 2004 menjadi USD 10,9 miliar dan USD 10,5 miliar pada tahun 2006 dan 2007. Neraca transaksi modal dan finansial terus terjaga dengan masuknya modal baik dalam bentuk investasi langsung maupun portofolio. Dalam tahun 2006 dan 2007, neraca transaksi modal dan finansial mencatat surplus USD 3,0 miliar dan USD 3,6 miliar 35 - 7 sehingga cadangan devisa meningkat menjadi USD 42,6 miliar dan USD 56,9 miliar. Dalam tahun 2008, stabilitas eksternal masih tetap terjaga dari pengaruh resesi global. Total penerimaan ekspor mencapai USD 139,6 miliar atau meningkat 18,3 persen dibandingkan dengan tahun 2007 didorong oleh penerimaan ekspor migas dan nonmigas yang masing-masing meningkat 27,3 persen dan 15,8 persen. Sementara itu, total nilai impor pada tahun 2008 mencapai USD 116,7 miliar atau meningkat 36,8 persen dibandingkan dengan tahun 2007, didorong oleh impor migas dan nonmigas yang masing-masing naik 24,5 persen dan 40,4 persen. Dengan defisit neraca jasa-jasa dan pendapatan sebesar USD 22,6 miliar, necara transaksi yang berjalan masih mencatat surplus sebesar USD 0,3 miliar. Krisis keuangan global berpengaruh pada neraca arus modal dan finansial pada tahun 2008. Arus investasi langsung dan portofolio (neto) turun menjadi USD 2,0 miliar dan USD 1,7 miliar; sedangkan defisit arus invetasi lainnya (neto) meningkat menjadi USD 6,2 miliar. Secara keseluruhan, neraca modal dan finansial pada tahun 2008 mengalami defisit sebesar USD 2,1 miliar, menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai surplus USD 3,6 miliar. Cadangan devisa hingga akhir tahun 2008 mencapai USD 51,6 miliar atau setara dengan 4,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Memasuki tahun 2009, stabilitas eksternal masih terjaga dari penurunan ekonomi global. Pada triwulan I/2009, total nilai ekspor mencapai USD 23,9 miliar atau turun 30,5 persen (y-o-y) dengan ekspor migas dan nonmigas yang menurun masing-masing sebesar 54,1 persen dan 23,3 persen (y-o-y). Sementara itu, total nilai impor pada triwulan I/2009 mencapai USD 17,7 miliar atau menurun 34,2 persen (y-o-y) dengan impor migas dan nonmigas yang menurun masing-masing 63,1 persen dan 26,7 persen (y-o-y). Secara keseluruhan, neraca transaksi yang berjalan pada triwulan I/2009 mengalami surplus sebesar USD 1,8 miliar. Sementara itu, neraca arus modal dan finansial pada triwulan I/2009 mengalami surplus sebesar USD 2,4 miliar, naik dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2008 yang 35 - 8 mengalami defisit USD 1,4 miliar didorong oleh arus masuk investasi langsung asing bersih sebesar USD 2,7 miliar serta arus masuk investasi portofolio bersih sebesar USD 1,9 miliar, sedangkan investasi lainnya masih mengalami defisit sebesar USD 2,3 miliar. Neraca keseluruhan pada triwulan I/2009 mencapai USD 4,0 miliar dengan cadangan devisa mencapai USD 54,8 miliar atau setara dengan 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri. IV. Keuangan Negara Dalam tahun 2005–2008, kebijakan fiskal diarahkan untuk memberikan dorongan terhadap perekonomian dengan tetap menjaga langkah-langkah konsolidasi fiskal yang telah dilakukan selama ini. Keberlanjutan ketahanan fiskal diupayakan melalui penurunan stok utang Pemerintah relatif terhadap PDB dengan meningkatkan penerimaan negara terutama penerimaan yang berasal dari perpajakan, serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja negara melalui penerapan anggaran berbasis kinerja. Dalam periode tersebut, keuangan negara dihadapkan pada kondisi eksternal yang menuntut langkah-langkah penyesuaian. Pada tahun 2005 dan 2008, kenaikan harga minyak mentah dunia yang tinggi mendorong Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM di dalam negeri guna mengamankan ketahanan fiskal dengan tetap menjaga daya beli masyarakat miskin melalui bantuan langsung tunai (BLT) dan berbagai program pemberdayaan masyarakat. Di sisi penerimaan, dalam tahun 2005 hingga 2008, pendapatan negara dan hibah meningkat dari Rp495,2 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp981,0 triliun pada tahun 2008 atau naik 18,6 persen tiap tahun. Kenaikan tersebut, terutama, didorong oleh peningkatan penerimaan pajak yang meningkat dari Rp347,0 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp658,7 triliun pada tahun 2008. Peningkatan yang tinggi pada penerimaan perpajakan didorong oleh kegiatan ekonomi yang semakin meningkat serta reformasi administrasi perpajakan dan sunset policy. Sejalan dengan meningkatnya harga minyak mentah dunia, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terus didorong. Penerimaan SDA migas meningkat 35 - 9 dari Rp103,8 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp209,7 triliun pada tahun 2008 atau naik rata-rata 19,1 persen per tahun. Penerimaan negara yang meningkat memberi ruang yang lebih besar bagi peningkatan belanja negara. Dalam kurun waktu yang sama (2005–2008), belanja negara meningkat dari Rp 509,6 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 985,3 triliun pada tahun 2008 atau naik rata-rata sebesar 17,9 persen per tahun. Peningkatan belanja negara tersebut didorong oleh peningkatan belanja Pemerintah Pusat ratarata sebesar 17,7 persen per tahun dan belanja ke daerah rata-rata sebesar 18,1 persen per tahun. Kenaikan pada belanja Pemerintah Pusat didorong oleh kenaikan belanja modal dan bantuan sosial dalam upaya meningkatkan kegiatan ekonomi yang lebih luas, menciptakan lapangan kerja yang lebih besar dan mengurangi kemiskinan. Adapun belanja ke daerah terus diarahkan untuk memantapkan proses desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam upaya meningkatkan ketahanan ekonomi dalam negeri dari resesi dunia pada tahun 2009, kebijakan APBN Tahun 2009 diarahkan lebih bersifat ekspansif dengan memberi stimulus fiskal dalam kemampuan negara untuk membiayai. Kebijakan stimulus fiskal tahun 2009 diarahkan untuk menjaga daya beli masyarakat dan daya tahan sektor usaha menghadapi krisis global serta mengatasi pemutusan hubungan kerja dengan penciptaan lapangan kerja melalui pembangunan infrastruktur padat karya. Belanja negara pada tahun 2009 diperkirakan mencapai Rp1.005,7 triliun dengan memperhitungkan kebutuhan subsidi yang meningkat terkait dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Sementara itu, upaya untuk menjaga penerimaan negara, terutama penerimaan perpajakan, tetap ditingkatkan. Dalam tahun 2009, penerimaan negara dan hibah diperkirakan mencapai Rp872,6 triliun. Secara keseluruhan, defisit APBN Tahun 2009 diperkirakan mencapai Rp133,0 triliun atau 2,5 persen PDB yang sebagian besar akan ditutup oleh penerbitan surat berharga negara (SBN). Dengan perkembangan ini, rasio stok utang pemerintah terhadap PDB diperkirakan dari 33 persen PDB pada tahun 2008 menjadi sekitar 32 persen PDB pada tahun 2009, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun 2004 yaitu sebesar 57 persen PDB. 35 - 10 V. Pertumbuhan Ekonomi Dalam tahun 2004–2009, kebijakan ekonomi makro diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama, melalui peningkatan kegiatan ekonomi yang lebih luas, penciptaan lapangan kerja yang lebih besar, dan pengurangan jumlah penduduk miskin. Upaya untuk meningkatkan peranan masyarakat terus didorong melalui perbaikan iklim investasi dan penguatan daya saing nasional. Investasi dan ekspor yang tumbuh tinggi sejak tahun 2004 telah mendorong ekonomi pada tahun 2005 tumbuh 5,7 persen. Dengan terjaganya kembali stabilitas dari gejolak ekonomi pada paruh kedua tahun 2005, pertumbuhan ekonomi dapat didorong dari 5,5 persen pada tahun 2006 menjadi 6,3 persen pada tahun 2007. Dalam tahun 2008, pertumbuhan ekonomi dapat dijaga 6,1 persen dengan perekonomian dunia yang mulai menurun sejak paruh kedua tahun 2008. Dalam pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi tahun 2004 hingga pertengahan tahun 2008, ekspor digerakkan sebagai pendorong ekonomi. Dalam tahun 2005–2008, ekspor barang dan jasa secara riil tumbuh rata-rata 11,0 persen per tahun. Dengan terjaganya kembali stabilitas ekonomi pada tahun 2006, investasi berupa pembentukan modal tetap bruto yang melambat menjadi 2,6 persen pada tahun 2006 meningkat kembali menjadi 9,4 persen dan 11,7 persen. Daya beli masyarakat yang tertekan oleh gejolak ekonomi tahun 2005 kembali pulih. Konsumsi masyarakat meningkat dari 3,2 persen pada tahun 2006 menjadi 5,0 persen dan 5,3 persen pada tahun 2007 dan 2008. Sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi, impor barang dan jasa kembali meningkat pada tahun 2007 dan 2008. Adapun konsumsi pemerintah terus diarahkan untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi Dalam pada itu, kegiatan produksi terus meningkat didukung oleh ketahanan pangan yang kuat, Dalam tahun 2005–2008, sektor pertanian tumbuh rata-rata 3,6 persen per tahun didukung oleh produksi padi yang meningkat rata-rata 2,8 persen per tahun di atas laju pertumbuhan penduduk. Produksi padi yang pada tahun 2004 sebesar 54,1 juta ton dapat ditingkatkan hingga menjadi 60,3 juta ton 35 - 11 pada tahun 2008. Sektor tersier tumbuh rata-rata 8,2 persen per tahun, terutama didorong oleh sektor pengangkutan dan telekomunikasi serta sektor industri pengolahan tumbuh rata-rata 4,4 persen per tahun. Krisis keuangan dan resesi global yang tajam sejak pertengahan tahun 2008 berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Langkah-langkah untuk menjaga kepercayaan terhadap ekonomi nasional dan ekspektasi yang kuat terhadap ketahanan ekonomi nasional mampu mengurangi pengaruh dari menurunnya ekonomi global. Pada semester I/2009, ekonomi tumbuh 4,2 persen (y-o-y) dengan banyak negara mengalami kontraksi ekonomi yang besar dan prospek pertumbuhan negatif dalam keseluruhan tahun 2009. VI. Penciptaan Kemiskinan Lapangan Kerja dan Pengurangan Upaya untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih luas dan mengurangi jumlah penduduk miskin terus dilakukan. Pengangguran terbuka yang meningkat menjadi 11,9 juta orang atau 11,2 persen pada bulan November 2005 oleh ketidakstabilan ekonomi di dalam negeri dapat diturunkan secara bertahap menjadi 9,4 juta orang atau 8,4 persen pada bulan Agustus 2008. Pada bulan Februari 2009, pengangguran terbuka menurun menjadi 9,3 juta orang atau 8,1 persen. Selanjutnya jumlah penduduk miskin yang meningkat pada bulan Maret 2006 dapat diturunkan secara bertahap menjadi 32,5 juta orang atau 14,15 persen pada bulan Maret 2009. 35 - 12