Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004

advertisement
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
Manusia Menurut Pandangan Al-Qur’an dan
Relevansinya dengan Pendidikan Islam
Siti Asiah dan Acep Mulyadi
Abstract:
Artikel ini akan membahas tentang manusia menurut pandangan Al-Qur’an dan relevansinya
dengan dunia pendidikan. Dari artikel ini dapat diketahui bahwa ayat-ayat Al-Qur’an kaya akan
penjelasan tentang manusia baik itu tentang hakikatnya, penciptaannya, karakternya dan
sebagainya. Manusia dalam pandangan Al-Qur’an sangat relevan dengan pendidikan Islam karena
pendidikan Islam itu sendiri bersumber terutama dari Al-Qur’an sebagai sumber utama Islam.
Al-Qur’an berbicara tentang proses kejadian manusia, keadaan dan sifat-sifatnya, aspekaspeknya baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, dan sebagainya. Namun demikian
yang perlu diberikan penekanan, penjelasan Al-Qur’an tentang manusia tidak dapat disamakan
dengan penjelasan ilmu pengetahuan (sains). Tidak dapat diingkari, bahwa Al-Qur’an memberikan
informasi tentang manusia yang tentu saja mengandung nuansa sains, tetapi muatan nilai-nilai
moral dari penjelasan itu yang lebih ditekankan. Itu sebabnya, banyak sarjana peneliti Al-Qur’an
mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan kitab sains dan filosofis, yang asumsi-asumsinya bisa diterima
pada satu waktu dan terbuka untuk direvisi pada waktu lain sehingga bersifat relatif. Ini akan
bertentangan dengan kepercayaan sebagian besar komunitas Islam yang memandang bahwa AlQur’an bersifat absolut. Absolut dari segi teks yang tidak mengalami perubahan sampai kapanpun,
tetapi tafsir-tafsirnya terbuka untuk mengalami perubahan. Begitu juga dengan penjelasan AlQur’an tentang manusia, teksnya tidak berubah, tetapi pemahaman atau tafsirnya memberikan
peluang terhadap perubahan. Tentu saja, karena sifatnya tafsir kita dapat saja menafsirkan AlQur’an dengan menggunakan pendekatan sains sejauh tafsiran itu tidak diyakini sebagai Al-Qur’an
itu sendiri. Pendekatan sains ini misalnya dilakukan oleh Dr. Maurice Bucaile dalam dua bukunya
Asal-usul Manusia dan Bible, Qur’an, dan Sains Modern.
Ketika Al-Qur’an berbicara tentang kejadian manusia, nampaknya Al-Qur’an cenderung
kepada creatio ex nihilo, sebagaimana makhluk lain, “manusia diciptakan dari tiada menjadi ada”.
Allah berfirman: “Mengapa kami ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah
menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepadaNya-lah kamu dikembalikan?” (Q.S. Al-Baqarah/2: 28)
Al-Qur’an juga menjelaskan tentang Adam yang dipercaya sebagai manusia pertama,
meskipun Ibn ‘Arabi, seorang sufi besar Muslim berpendapat bahwa Adam bukan nama satu
individu, tetapi merupakan bangsa. Jadi Adam yang dijelaskan dalam Qur’an itu berarti banyak
Adam, bukan satu orang. Terlepas dari kontroversi itu, Al-Qur’an menjelaskan bagaimana proses
kejadian manusia. Al-Qur’an berulang-ulang kali menegaskan bahwa manusia sebagaimana
makhluk lainnya merupakan ciptaan Allah. Penegasan itu merupakan penolakan terhadap beberapa
asumsi para pemikir bebas (freethinker): Al-Qur’an menolak kepercayaan bahwa manusia terjadi
secara kebetulan, manusia terjadi dengan sendirinya melalui proses kimiawi dan biologis, atau
bahkan kepercayaan bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang
menciptakan Tuhan sebagaimana dianut para ateis. Berikut ini ayat-ayat Al-Qur’an yang
menjelaskan tentang kejadian manusia dan sifat-sifatnya.
“Tuhan menciptakan Adam dari tanah” (15: 26, 28,33; 6:2; 7:12); “Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (min nafsin
wahidah) dan daripadanya Allah menciptakan istrinya…(4:1); “Segala puji bagi Allah yang telah
menciptakan kamu dari tanah” (6:2; 22:5) Dalam ayat lain: Allah menciptakan manusia dari lumpur
hitam, Allah menciptakan manusia dari air mani yang hina; “Kami telah menciptakan manusia dari
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
suatu saripati (berasal) dari tanah” (23: 12-14), kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim), kemudian air mani (nuthfah) itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian
kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Sucilah allah, Pencipta Yang paling Baik”
(23:14). Menurut Fazlu rRahman dalam Major Themes of the Quran, manusia berbeda dari ciptaanciptaan alamiah lainnya karena setelah dibentuk, Allah “meniupkan ruh-Ku sendiri” ke dalam diri
manusia” (15:29; 38:72; 32:9).
Allah menciptakan manusia (Adam) untuk menjadi khalifah di muka bumi, yang mendapatkan
protes dari malaikat dan mendapat saingan dari iblis yang pada awalnya merupakan bagian dari
malaikat bahkan dipercaya paling taat dalam mengabdi kepada Tuhan, tapi kemudian iblis
sombong dan menolak memberikan penghormatan kepada Adam. Iblis menganggap dirinya lebih
baik dari Adam, “kenapa Engkau perintahkan aku menghormati Adam, aku lebih baik dari dia, aku
diciptakan dari api, sedangkan dia dari tanah” (7:12). Iblis hanya melihat dari asal penciptaan, tidak
mengakui kelebihan Adam yang diberikan pengetahuan tentang nama-nama benda.
Pemberontakan iblis itu telah mengakibatkan kejatuhan Adam dari taman (surga) ke muka bumi.
Kejatuhan itu dikarenakan Adam dan Hawa tergoda iblis sehingga makan buah pengetahuan
(dalam tradisi Yudeo-Kristen yang dimakan Adam-Hawa itu buah apel, sedangkan S.H, Nasr
mengatakan buah gandum) mulanya menimbulkan penderitaan pada Adam juga Hawa (Eva), tetapi
memang itu sudah menjadi rencana Tuhan yang ingin menjadikan manusia menjadi khalifah di
muka bumi (2:30)
Karena itu, di muka bumi, manusia memiliki posisi yang unik, ia bukan semata-mata ciptaan
yang harus tunduk pada “hukum Tuhan” sebagaimana makhluk lainnya, tetapi manusia diberi
amanah yang karena amanah itu justru manusia menjadi makhluk yang zalim (zholuman) dan
bodoh (jahula).” (33: 72).
Ayat-ayat Al-Qur’an menjelaskan tentang berbagai karakteristik manusia, kelebihan maupun
kekurangannya. Dari peristiwa kejatuhan Adam dari surga karena tergoda makan buah
pengetahuan, dapat diketahui bahwa manusia senantiasa cenderung pada kesenangan yang bersifat
materi. Keinginan diri yang tak pernah terpuaskan yang akibatnya buruknya sebenarnya telah
diketahui manusia, meskipun manusia melakukannya juga. Manusia tahu bahwa amanah Tuhan
sangat berat bahkan “terlampau berat bagi dirinya dan perbuatannya itu terlampau nekat,
demikian kata Fazlur Rahman, tetapi manusia menerima amanah itu yang kemudian melanggarnya.
Al-Qur’an tidak menolak kebutuhan manusia yang bersifat materil, tidak sebagaimana agama Hindu
yang mengutuknya dan menurut Budha sebagai pangkal penderitaan. Al-Qur’an tetap memandang
bahwa kebutuhan materi itu penting selama tidak menimbulkan kerusakan spiritual dan menjadi
pangkal ketimpangan sosial. Nampaknya Al-Qur’an memandang kedua kebutuhan (materi dan
spiritual) harus dipenuhi, walaupun dalam beberapa ayatnya menekankan pula bahwa kebutuhan
spiritual (ukhrawi) lebih utama Yang dilarang oleh Tuhan adalah jangan sampai upaya manusia
untuk memenuhi kebutuah materi itu melanggar “amanah Tuhan”. Karena ternyata sebagian
manusia mampu menjaga kepercayaan (trust) sebagian lagi khianat (untrust). Jika manusia
senantiasa melanggar amanah Tuhan, maka ia akan mengalami kejatuhan ke dalam kegelapan
(zulumat) sehingga akan memiliki sifat-sifat yang jauh dari cahaya (nur) dan petunjuk (hudan)
Tuhan. Manusia akan menjadi kafir, zalim, munafik. Meskipun demikian, sifat-sifat keburukan itu
derajatnya bertingkat-tingkat. Dalam diri setiap manusia ada potensi untuk mengarahkan dirinya
pada kebaikan (taqwa) dan kejahatan (fujur).
Al-Qur’an nampaknya tidak secara tegas menyatakan apakah pada dasarnya manusia itu baik
atau jahat. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kedua potensi itu terdapat dalam diri manusia.
Nampaknya pula, Al-Quran mengakui paradoks manusia, manusia bisa menjadi makhluk yang
penuh kasih, penyayang, penolong, toleran, bahkan kesalehannya bisa melampaui malaikat dan
mendekati sifat-sifat Tuhan, tetapi ia juga bisa menjadi makhluk pendengki, pendendam, pembenci,
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
ekstrim, bahkan bisa menjadi sejahat-jahat makhluk. Perwujudan yang pertama tentu menjadi
tujuan ideal Al-Qur’an. Sebagian manusia berjuang menegakan kebajikan, sebagian lain berjuang
menegakkan kejahatan. Karena itu ada sejumlah predikat yang diberikan Tuhan kepada manusia:
predikat-predikat kebaikan: mu’min (beriman), muslim (berserah diri), muttaqin (orang yang takut
kepada Tuhan), muhsin (orang yang baik), dan sejumlah predikat keburukan: kafir (ingkar), fasik
(pendosa), munafik (hipokrit).
Al-Qur’an menolak bila perbuatan jahat dialamatkan sebagai perbuatan Tuhan, kejahatan itu
sendiri muncul sejak awal kekhalifahan manusia. Semua kejahatan itu harus dipertanggung
jawabkan oleh manusia karena adanya kejahatan dan kebaikan merupakan ujian dari Tuhan untuk
mengetahui siapa yang taat dan siapa yang durhaka. “Tuhan menciptakan manusia bukan sebagai
pemainan (32: 115). Dan manusia tidak akan dibiarkan begitu saja setelah diciptakan seperti
kepercayaan sebagian orang Barat yang menganalogikan Tuhan seperti pembuat jam. Setelah jam
selesai dibuat si pembuat jam membiarkan jam itu berjalan sendiri. Ia tidak terlibat (intervensi) lagi
dalam proses jalannya jam. Menurut mereka, setelah Tuhan membuat alam semesta dan isinya, ia
membiarkannya berjalan sendiri. Tuhan tidak intervensi dalam setiap perbuatan manusia.
Bila manusia ingin menjadikan hidup bermakna, maka ia hendaknya menggunakan akal dan
hatinya. Akal dan hati membuat manusia berbeda dari binatang. Dengannya manusia memiliki
pengetahuan dan dengan pengetahuannya dapat mengembangkan kebudayaan.
Dalam
membangun kebudayaannya manusia hidup bermasyarakat. Al-Qur’an mengakui bahwa manusia
sebagai makhluk sosial. Tidak ada manusia yang dapat hidup tanpa masyarakat. Dalam hidup
bermasyarakat, manusia hendaknya membangun masyarakat yang etis dan menjunjung tinggi
persamaan (egalitarianisme), menegakkan keadilan, berbuat baik kepada sesama terutama
terhadap kaum tertindas (mustadh’afin) sebagai cara agar hidup penuh makna (meaningful) dan
menjauhi hidup tanpa makna (meaningless). Al-Qur’an menegaskan bahwa kemuliaan manusia
tidak terletak pada aspek-aspek yang bersifat materil (harta), status sosial, suku, etnis, jender dan
sebagainya, tetapi letak kemuliaan manusia adalah pada aspek spiritual, ketakwaannya kepada
Tuhan dan kebajikannya terhadap sesama. Karena itu prinsip hidup masyarakat yang diajarkan AlQur’an adalah menegakkan kebaikan (amr ma’ruf), mencegah kemungkaran (nahi munkar), serta
menyelamatkan manusia dari kegelapan (zulumat) serta melenyapkan ketimpangan dan
ketidakadilan (2: 184, 215; 11:84, dll)
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
Turats dan Realitas Sosial
Yoyo Hambali
Abstract:
Hal penting yang harus disadari oleh kaum Muslim adalah kenyataan bahwa peradaban Islam
seperti dikatakan oleh Dr. Amin Abdullah merupakan hasil akumulasi perjalanan pergumulan
penganut ajaran Islam ketika berhadapan dengan proses dialektika antara “normanitivitas” ajaran
wahyu yang permanen dan “historisitas” pengalaman kekhalifahan manusia di muka bumi yang
selalu berubah-rubah. Ajaran langit yang diyakini sebagai yang sempurna harus diuji relevansi
dengan historitas pergumulan manusia. Kalau turas seperti dikatakan oleh Hasan Hanafi lahir dari
satu pusat yaitu Alqur’an dan Sunnah, maka kedua sumber tidak berarti sakralisasi keduanya atau
turas, tetapi semata-mata penjelasan atas realitas
Tidak ada satu umat yang begitu kuat memegang tradisi (turas) kecuali Islam. Keteguhan
umat Islam terhadap tradisi bisa dilihat dari upaya mereka dalam kehidupannya yang senantiasa
menjadikan turas sebagai rujukan baik secara tekstual atau secara kontekstual. Secara tekstual
maksudnya kaum Muslim merujuk Alqur’an dalam kehidupan mereka berdasarkan bunyi teks
(ayat). Secara kontekstual adalah metode penafsiran ayat sesuai dengan perkembangan zaman agar
tetap relevan sesuai perubahan waktu dan tempat.
Dalam sejarah peradaban Islam, turas menempati posisi yang teramat sentral. Peradaban
Islam seperti dikatakan oleh Profesor Nasr Abu Zaid, seorang intelektual Mesir merupakan
peradaban teks (al-hadarah al-nash).1 Artinya, bahwa dasar-dasar ilmu budaya Arab-Islam tumbuh
dan berdiri tegak di atas landasan di mana “teks” sebagai pusatnya tidak diabaikan. Teks itu sendiri
seperti sama-sama kita maklumi dijadkan rujukan selama berabad-abad dalam keimanan,
aktivisme, dan keilmuan.
Kaum Muslim meyakini bahwa teks (nash) Alqur’an maupun Sunnah mengandung nilainilai yang secara normatif sangat ideal. Karena keyakinan atas keidealan teks yang memuat ajaran,
kaum Muslim meyakini akan finalitas ajaran itu. Nilai-nilai normatif teks itu merupakan nilai-nilai
sempurna dan karenanya, menurut keyakinan keum Muslim, tidak memerlukan penambahan
ataupun pengurangan. Keyakinan inilah yang menurut W. Momtgomery Watt yang dinamakan
idealisasi dan finalisasi.2
Hal penting yang harus disadari oleh kaum Muslim adalah kenyataan bahwa peradaban
Islam seperti dikatakan oleh Dr. Amin Abdullah merupakan hasil akumulasi perjalanan pergumulan
penganut ajaran Islam ketika berhadapan dengan proses dialektika antara “normanitivitas” ajaran
wahyu yang permanen dan “historisitas” pengalaman kekhalifahan manusia di muka bumi yang
selalu berubah-rubah.3 Ajaran langit yang diyakini sebagai yang sempurna harus diuji relevansi
dengan historitas pergumulan manusia. Kalau turas seperti dikatakan oleh Hasan Hanafi lahir dari
satu pusat yaitu Alqur’an dan Sunnah, maka kedua sumber tidak berarti sakralisasi keduanya atau
turas, tetapi semata-mata penjelasan atas realitas.4
Realitas historis yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw pada generasi awal Muslim
secara gemilang mengalami kesuksesan bahkan menurut Robert N. Bellah mengalami lompatan
1
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Alqur’an (diterjemahkan dari Mafhum al-Nas Dirasah fi Ulum al-Qur’an),
(Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm 1.
2
William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas (diterjemahkan dari Islamic Fundamentalism
and Modernity), (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1998), hlm 12, 35.
3
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 3.
4
Hasan Hanafi, Turas dan Tajdid: Sikap Kita Terhadap Turas Klasik, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press dan Pesantren
Pasca Sarjana Bismillah Press, 2002), hlm. 32.
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
yang melebihi zamannya. Itulah realitas historis yang dibangun dengan berpusat pada turas
(Alquram dan Sunnah). W. Mongomery Watt dalam dua bukunya Mohmammed at Mecca dan
Mohammed at Medina5 mencatat kesuksesan generasi awal Muslim dalam membangun masyarakat
dengan menjadikan turas sebagai lokusnya. Demikian pula Marshall G. Hogdson dalam bukunya
tentang sejarah dan peradaban Islam The Venture of Islam.6 Ia mengakui secara jujur bahwa
kesuskesan Nabi Muhammad dan generasi awal Muslim terletak pada kesuksesannya dalam
menghadirkan wahyu dalam realitas sejarah. Upaya menghadirkan ajaran wahyu yang normatif
dalam realitas sejarah itu dalam istilah Quraish Shihab disebut sebagai “membumikan”, atau
“kontekstualisasi” menurut istilah Munawir Sadjali, dan “pribumisasi” menurut Abdurahman
Wahid. Negosiasi antara ajaran Islam yang normatif dengan kenyataan historis itulah yang
melahirkan peradaban Islam. Karena Islam pada wataknya merupakan agama yang sangat terbuka
terhadap pengaruh tradisi lain (tidak monolotik) dan karenanya sangat akulturatif dan akomodatif
terhadap the others, maka peradaban Islam yang menjadi warisan emas peradaban dunia itu
bersifat hibrid. Peradaban Islam tegak di atas kaki langit tradisi sendiri juga di atas tradisi
peradaban lain. Munculnya warisan intelektual berupa kalam (teologi spekulatif), falsafah, tasawuf,
dan fiqh adalah karena persinggungan Islam bukan hanya dengan realitas internal tapi juga dengan
realitas eksternal. Generasi awal Muslim telah melakukan percobaan dengan sukses dalam
menegosiasikan antara nahnu wa al-turas (kita dan warisan), meminjam istilah al-Jabiri, seorang
intelektual asal Maroko. Nahnu wa al-Turas adalah berupaya mencari relevansi antara realitas
(kita) dan turas. Hal ini menjadi penting, karena problem kita bukan terletak pada ketidakabsahan
ajaran wahyu yang normatif, tetapi terletak pada apakah ajaran wahyu normatif itu bisa menjawab
problem-problem umat manusia atau tidak.
Terjadi proses pembengkakan makna yang dialamai konsep turas dalam pmikiran Islam
nodern, sehingga mustahil untuk diganti dengan kata dan bahasa modern lainnya, termasuk
kandungan emosional dan muatan idiologisnya.7
Kata turas dalam bahasa Arab berasal dari unsur-unsur huruf wa ra tsa, yang dalam kamus
klasik disepadankan dengan kata-kata irts, wirts dan mirats. Semuanya merupakan bentuk
mashdar (verbal noun) yang menunjukkan arti “segala yang diwarisi manusia dari kedua orang
tuanya, baik berupa harta maupun pangkat atau keningratan”. Sebagian linguis klasik membedakan
antara kata “wirts” dan “mirats”, yang pengertiannya terkait dengan makna kekayaan, dengan kata
“irts” yang secara spesifik mengandung arti kehormatan dan keningratan. Dan kemungkinan kata
“turats” kurang populer dipakai di kalangan bangsa Arab kala itu bila dibandingkan dengan katakata tadi.8
Menurut al-Jabiri, kata turats, maupun segenap derivasinya yang berasal dari huruf wa, ra
dan tsa, dalam wacana Arab klasik tidaklah merujuk kepada pengertian “warisan kebudayaan dan
pemikiran”, sebagaimana kita pahami sekarang ini. Sebuah pengertian yang baru muncul
belakangan kita lekatkan pada kata “turats” atau tradisi. Pengertian baku kata tersebut dan
sejunlah derivasinya dalam bahasa Arab klasik selalu merujuk ke makna harta dan pangkat atau
kebangsawanan. Di antara istilah asing yang dianggap berkaitan dengan pengertian “turats” adalah
kata heritage dan patrimoine. Namun kedua istilah tersebut tidak mengandung makna seprti yang
kita pahami dari istilah turats. Memang kata turats tidak ditemukan dalam berbagai karya klasik,
5
Kajian sejarah yang sangat bagus ditulis oleh Watt dalam kedua bukunya William Montgomery Watt, Muhammad
at Mecca, (London: Routledge, 1971); William Montgomery Watt, Muhammad at Medina, (London: Routledge,
1973).
6
Suatu kajian tentang sejarah dan peradaban Islam yang memuat pengakuan atas kesuksesan Nabi Muhammad dan
generasi awal Islam dalam menghadirkan ajaran wahyu dalam realitas sosial ditulis oleh Marshall G.S. Hodgson,
The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, (University of Chicago Press, 1974), 3
volume.
7
Muhammad Abed al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: Lkis, 2000), hlm. 2.
8
Ibid, hlm. 4.
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
bahkan dalam kamus modern sekalipun. Itilah tersebut hanya diartikan scara lensikal, yaitu
warisan dan tradisi (inheritance, legacy)9. Maksudnya adalah segala apa yang diwariskan oleh
orang-orang terdahulu kepada kita, misalnya kebudayaan. Istilah tersebut scara terminologi mulai
dikenal dalam dunia sejak lahirnya usaha modernisasi di abad ke-19, yaitu dalam situasi tarikmenarik antara
dua kelompok pembaharu: tradisionalis dan modernis. Yang pertama
menghendaki agar pembaharuan dilakukan atas dasar otentisitas ajaran (‘ashalat) dan nilai-nilai
tradisionalis (turats) yang berarti kembali ke masa lampau (al-qadim, al-salaf). Yang kedua
menghendaki agar pembaharuan didasarkan pada hal-hal yang baru (jadid, al-wafid), sesuai
dengan tuntutan dunia kontemporer (al-mu’ashirat) serta nilai-nilai modernitas.10 Dalam konteks
inilah istilah turats dipahami oleh kebanyakan para penulis Arab modern, seperti Hasan Hanafi dan
al-Jabiri.
Menurut Hasan Hanafi, turats adalah segala warisan masa lampau yang sampai kepada kita
dan masuk ke dalam kebudayaan yang sekarang berlaku. Menurutnya, turats ditemukan dalam
berbagai tingkatan. Pertama turats terdapat dalam perpustakaan-perpustakaan, gedung-gedung,
masjid-masjid, dan pustaka-pustaka yang digunakan untuk menyebarkannya. Ini adalah turats tulis,
baik manuskrip maupun cetak, yang memiliki wujud material pada tingkat pertama, yaitu tingkat
benda-benda. Namun demikian turats ini bukan hanya timbunan material semata, namun juga yang
berbentuk konsep-konsep tentang segala hal yang dikontribusikan oleh setiap generasi tentang
penafsiran atas realits tertentu sebagai respon terhadap apa yang menjadi tuntutan zaman. Turats
dalam pengrtian petama bersifat statis, sedang yang kedua bersifat dinamis, sebab yang terakhir ini
mengekpreskan realitas di samping ia telah menjadi kesadaran psikis masyarakat. Hanafi
menggunakan istilah turas untuk warisan intelektual, sedangkan sebagian penulis modern lainnya
seperti Seyyed Hosein Nasr menggunakan istlah tradsi untuk turas.
Dalam pengantar bukunya yang paling monumental Tawhid Its Implications for Thought and
Life, Ismail al-Faruqi mengemukakan keprihatinannya terhadap realitas umat Islam saat ini.
Pada zaman sekarang, umat Islam di dunia ini adalah umat yang keadaannya paling tidak
menggembarakan. Terlepas dari kenyataan bahwa dialah umat yang berjumlah
terbanyak,
paling subur tanah dan paling besar sumber dayanya, umat satu-satunya yang
memiliki jalan
hidup paling paten. Namun kenyataan, dialah pilar yang paling goyah, di
antara jejeran pilarpilar masyarakat dunia lainnya. Dia terpecah-pecah dalam berbagai bentuk negara yang tak saling
cocok, berhadapan dengan umat-umat lain dalam semua
front, dan tak mampu memproduksi
sendiri apa yang dia butuhkan dan perlukan, serta
tak bisa mempertahankan diri dari serangan
musuh. Di atas segalanya, alih-alih jadi
umat terbaik, ummatan wasathan, yakni umat
pertengahan, seperti yang disebut
Alqur’an (2:143) ia malah jadi mangsa semua orang.
Kalaupun ia pada zaman modern
ini telah berkiprah bagi kemanusiaan dalam bentuk
memerangi penyakit, kemiskinan,
kebodohan, kebencian, moralitas, dan kefasikanm
sumbangannya itu hanya sedikit.
Seyyed Hosein Nasr dalam bukunya Islam and The Plight of Modern Man, juga menguraikan
dilema yang dihadapi kaum muslimin pada zaman ini. Ia menulis sebagai berikut:
Apabila kita mengalihkan perhatian kepada seorang Muslim yang hidup pada zaman
kontemporer ini, maka kita akan mendapatkan kenyataan bahwa walaupun problemproblemnya tidak identik dengan problem-problem manusia Barat namun ia pun hidup
di dalam situasi yang penuh kesukaran, yaitu situasi yang dengan sangat dasyatnya
menguji imannya. Di dunia islam pada masa kini kita dapat menjumpai segala macam
manusia dari kelompok yang benar-benar tradisional, kelompok yang terombang- ambing
di antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modern, kelompok yang benar-benar modern
9
Ibid, hlm. 5.
Muh. Nurhakim, “Hassan Hanafi: Antara Tradisi dan Modernitas” dalam Jendela Jurnal Ulasan Buku dan
Pemikiran Islam No. 2 Th. 1. Januari-Februari 1996, hlm. 31.
10
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
namun masih hidup dalam di dalam orbit Islam, dan terakhir sekali kelompok kecil yang sama
sekali tidak menganggap diri mereka sebagai anggota dari dunia
Islam.
….Para
anggota
kelompok-kelompok lain, yang sedikit banyaknya telah
memiliki iman, itulah yang sedang
diuji di dalam dunia di mana hal yang ril tampak
sebagai ilusi, dan hal yang ilusif sebagai ril,
dunia yang memperdayakan mereka untuk meyakini bahwa realitas spiritual—satu-satunya
realitas yang ada—telah kuno dibandingkan dengan yang dipersangkakan sebaagi dunia ril yang
sedang hancur di
depan mata manusia-manusia modern seperti butiran-butiran pasir yang
terlepas dari sela-sela jari mereka.
Hasan Hanafi menginventarisir sejumlah problem yang dihadapi dalam realitas
kontemporer kita antara lain:
Pembebasan dari pendudukan dan segala bentuk penjajahan; keterbelakngan yang mencakup
kelaparan kekurangam gizi kemiskinan sakit buta huruf, kebodohan, ketidakmampuan mengelola
sumber-sumber daya alam, kekurangan perencanaan jangka panjang dan kelemahan-kelemahan
institusi-institusi. Keterbelakangan mencakup keterbelakangan material dan spiritual.
Keterbelakangan spiritual adalah
dominasi mitos, khurafat, emosi, penyembahan pribadi,
kemunafikan, tukang kibul,
penjilatan, ketakutan, negativisme, kepasrahan, kepercayaan pada
takdir (secara pasif). Bencana modern ketiga adalah kemandegan peradaban. Kita hidup di zaman
kedunguan yang tidak pernah terjadi dalam sejarah kita. Kata hasan Hanafi, pemikiran
kita tertutup demi masa lalu dan melompat ke belakang dibandingkan dengan realitas
yang selalu berkembang dan berubah.
Dari uraian ketiga pemikir di atas dapat kita simpulkan bahwa umat Islam sedang
mengalami kejatuhan peradaban yang menyedihkan. Kejatuhan itu meliputi dimensi material dan
spiritual. Dalam konteks ini, Barat masih mendingan, mereka mengalami kejatuhan dalam hal
spiritual, sedangkan dalam hal material mengalami kemajuan yang sangat dasyat. Akibat dari
kejatuhannya itulah umat Islam menghadapi berbagai problem yang berdifat multidimensional.
Problem-problem itu semakin lama semakin bertumpuk dari teramat sulit dicari solusinya. Seolaholah umat islam mengalami kebuntuan dalam berfikir dan bertindak. Upaya revitalisasi
(kebangkitan kembali) yang dilakukan oleh para pembaharu tetap belum menunjukkan tandatanda fajar Islam mulai bersinar. Alih-alih dapat mengeluarkan umat manusia menuju cahaya yang
terang benderang (nur), umat Islam malah terjerembab ke dalam suatu abad kegelapan (dhulumat)
yang memprihatinkan. Yang lebih menyedihkan lagi, sebagian besar umat islam tidak menyadari
bahwa mereka tengah berada dalam keterpurukan, apalagi keasadaran untuk bangkit dari stuasi
seperti ini sungguh teramat sulit. Padahal, seperti dikatakan oleh Ziauddin Sardar, keasadaran
itulah yang paling berharga.
Dalam menghadapi realitas sosial yang demikian berat dihadapi oleh umat Islam, lalu
bagaimanakah sikap kita terhadap turas (tradisi). Kalau seperti yang dikatakan oleh Hasan Hanafi,
poros tradisi itu Alqur’an dan Sunnah, lantas bagaimana kita memperlakukan Alqur’an dan Sunnah.
Bagaimana Alqur’an dan Sunnah dapat menjawab realitas zaman yang semakin berkembang ini ?
Sejumlah ulama telah menulis buku-buku yang berkenaan dengan hal tersebut. Yusuf
Qardhawi menulis buku Kaifa Nafham al-Qur’an dan Kaifa Nafhamu al-Sunnah. Muhammad Arkoun
menulis Lectures du Coran dan Alqur’am al-Qira’ah al-Muashirah. Demikian pula seorang pemikir
Syiria Muhammad Syahrur dengan bukunya al-Kitab wa al-Qur’an Qira’ah al-Mu’ashirah.
Mohammed Arkoun mengatakan bahwa yang dapat kita baca dari karya kaum Muslim
mengenai subjek ini (bagaimana membaca kitab sekarang) hanyalah pernyataan yang diulangulang secara kurang lebih bersemangat, mengenai sifat kebenaran, keabadian, dan kesempurnaam
dari risalah yang diterima dan disampaikan oleh Nabi Muhammad. Untuk membaca kembali
Alqur’an ia menyajikan metode linguistik dan-antropologis. Dengan metode antrologis yang
diterapkan dalam memahami Alqur’an diharapkan ajaran normatif Alqur’an dapat dipahami sesuai
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
dengan realitas manusia. Lebih dari itu, diharapkan dapat menjawab problem-problem
kemanusiaan yang dihadapi umat manusia saat ini.
Dalam bukunya al-Turas wa al-Tajdid, Hasan Hanafi menguarikan delapan sikap yang harus
dilakukan mengenai sikap kita terhadap turas.
Pertama apa yang dia sebuat sebagai proyek Min al-‘Aqidah ila al-Tsaurah (Dari Akidah
Menuju Revolusi). Ilmu ushuuddin sebagai salah satu turas (warisan) klasik dapat dijadikan sarana
untuk menutup kekuarangan teoretis dalam realitas kontemporer kita dan mungkin menopang kita
dengan idiologi modern yang mencerminkan teologi revolusi, teologi tanah, teologi pembebasan,
teologi kemajuan dan pembangunan. Kedua proyek terjemah menuju kreasi. Ini merupakan upaya
untuk merekonstruksi filsafat tradisional dan menjelaskan hakekat proses-proses peradaban yang
terjadi dalam filsafat Islam klasik sebagai akibat peradaban islam yang sedang tumbuh berhadaphadapan dengan peradaban Yunani yang datang, dengan tetap membahas sikap yang mirip dalam
kontak peradaban Islam yang sedang bangkit dengan peradaban Eropa yang ofensif, yang terjad di
zaman sekarang sejak abad silam. Ketiga proyek dari nah menuju realitas dengan merekonstruksi
ilmu ushul al-fiqh. Keempat merekonstruksi ilmu positif menuju tasawuf positif.Kelima proyek dari
naql menuju aql. keenam mereknstruksi ilmu metafisikan dan fisika. Ketujuh merekonstruksi ilmuilmu baik ilmu agama maupun ilmu-iilmu sosial dan sejarah. Kedelapan merekonstruksi manusia
dan sejarah dalam peradaban secara keseluruhan.
Realitas social mengalami perubahan dari masa ke masa, permasalahan yang dihadapi umat
manusia semakin lama semakin komplek. Kesadaran akan perubahan atas realitas social umat itu
telah memunculkan ijtihad di kalangan umat. Ijtihad di kalangan umat merupakan upaya untuk
memberikan jawaban atas problematika umat. Dengan ijtihad itu pula ajaran wahyu yang normatif
mendapatkan kontekstualisasinya dalam realitas sosial. Turas yang merupakan warisan umat Islam
yang meliputi Alqur’an dan Sunnah serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya seperti kalam
(ushuluddin), falsafah, tasawuf, ulum al-Qur’an, ulum al-hadis dan lain-lain memerlukan
pemahaman kembali (rethinking) sesuai dengan realitas zaman. Rekonstruksi terhadap turas,
upaya melakukan ijtihad yang menurut Muhammad Iqbal sebagai the principle of movement
(prinsip gerak) dalam Islam serta melakukan tajdid (pembaharuan) diharapkan dapat
membangkitkan kembali (revitalisasi, nahdah) umat yang telah lama berada dalam kemandegan.
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
Relasi Agama dan Akal
Suprihatin
Abstract:
Selama masa Rasulullah, tidak pernah terjadi pertentangan antara agama dan akal. Sebaliknya,
Rasulullah pun sangat menjunjung tinggi akal sebagaimana dalam sabdanya: “Al-Din al’aql (Agama
adalah akal). Sabdanya lagi, “Makhluk yang pertama kali diciptakan adalah ‘aql”. Dengan segala
kearifannya, Rasulullah juga memberikan kebebasan berijtihad selama tidak bertentangan dengan
tujuan agama (maqashid al-syari’ah) dan kemaslahatan bersama (al-maslahah alammah).
Konflik Iman dan Akal?
Sejarah panjang saling menafikan antara agama dan akal dapat ditelusuri sejak masa
kemunduran Islam. Sebenarnya, sejarah yang sama dialami Eropa Barat di Abad Pertengahan
(Middle Age), yakni ketika otoritas gereja memberangus penemuan-penemuan ilmiah dan menginkuisisi (menyiksa) para ilmuwan yang pendapotnya dianggap bertentangan dengan kebenaran
Kitab Suci, Bible. Itulah yang menyebabkan Barat sebelum Pencerahan (Enlightenment) dan
Kebangkitan (Renaissance) merangkak-rangkak dalam zaman kegelapan (Dark Age) (Dan Brown
melukiskan dengan sangat baik konflik antara agamawan dan ilmuwan dalam novel-nya yang
menjadi best-seller, Malaikat dan Iblis).
Apa yang dialami Eropa Barat di Abad Pertengahan itu terjadi pula di dunia Islam.
Pemberangusan terhadap para ilmuwan yang pemikirannya dianggap bertentangan dengan
mainstream kerap terjadi. Ibn Rushd mengalami penyiksaan dan buku-bukunya dibakar. Pada masa
modern ini, Dr. Nasr Hamid Abu Zaid, seorang ulama Mesir, atau Nawar al-Sadawi, sastrawan Mesir,
mengalami siksaan fisik maupun mental akibat dicap murtad (kafir) oleh Mahkamah Syari’ah Mesir.
Dengan sangat ironis, Abu Zaid menyebut peristiwa itu sebagai al-Takfir fi Zaman al-Tafkir
(Pengkafiran pada Zaman Pemikiran). Pemberangusan terhadap rasionalitas itu sejak lama telah
mengakibatkan kaum Muslim terjerembab ke dalam kemunduran multidimensional. Ismail Razi alFaruqi dalam Tauhid and Its Implication mengakui bahwa saat ini, umat Islam merupakan umat
yang paling menderita.
Sungguh patal umat Islam meng-knock out akal dari ring kehidupannya Padahal menurut Syekh
Rasyid Ridha dalam kitab al-Wahy al-Muhammadiy, Al-Qur’an mengandung seruan agar manusia
menggunakan akal-pikirannya. Dalam al-Qur’an terdapat puluhan kata ‘aql dan fikr dengan
berbagai derivasi-nya (lihat Abd al-Baqi, kitab Mu’jam Mufahras). Menurutnya, tidak satupun katakata sejenis ditemukan dalam Bible. Hal itu menunjukkan bahwa akal menempati posisi sentral
dalam al-Qur’an. Bahkan orang-orang yang tidak menggunakan akalnya diumpamakan sebagai
binatang ternak (Q.s. al-A’raf [7]: 179) atau sebagai himar yang dipunggungnya memikul kitab (Q.s.
al-Jum’ah [62]: 5). Sebuah metafor yang menegaskan ketidaksukaan Tuhan terhadap manusia yang
tidak menggunakan akalnya.
Karena itu, mudah dipahami, bahwa selama masa Rasulullah, tidak pernah terjadi pertentangan
antara agama dan akal. Sebaliknya, Rasulullah pun sangat menjunjung tinggi akal sebagaimana
dalam sabdanya: “Al-Din al’aql (Agama adalah akal). Sabdanya lagi, “Makhluk yang pertama kali
diciptakan adalah ‘aql”. Dengan segala kearifannya, Rasulullah juga memberikan kebebasan
berijtihad selama tidak bertentangan dengan tujuan agama (maqashid al-syari’ah) dan
kemaslahatan bersama (al-maslahah alammah). Dalam hadits masyhur disebutkan bahwa Nabi
saw. membenarkan jawaban Muaz bin Jabbal, duta Rasulullah untuk Yaman, ketika Rasulullah
menanyakan dengan apa Muaz mengambil hukum, ia menjawab dengan al-Qur’an, Sunnah, dan
Ijtihad dengan akal pikiran. Nabi juga membenarkan ijtihad antara dua orang musafir, yang satu
meng-qashar shalatnya, sedangkan yang lain tidak. Nabi juga menerima secara bebas pendapat
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
para sahabat dalam urusan duniawi, misalnya dalam penempatan pasukan dan strategi perang.
Dalam urusan duniawi itu Nabi saw. memberikan prinsip yang sangat longgar kalau tidak dikatakan
sangat “liberal” dalam sabdanya yang amat terkenal, “Antum a’lamu bi umuri dunyakum (Kalian
(dapat saja) lebih tahu dalam urusan dunia kalian”).
Kebebasan berijtihad yang dilakukan oleh para sahabat dan para ulama Islam menunjukkan
bahwa pada masa jayanya Islam merupakan suatu agama yang sangat dinamis dan respon terhadap
perubahan. Karena itu pula, Muhammad Iqbal dalam Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Penyegaran Pemikiran Keagamaan dalam Islam), menyebut bahwa ijtihad sebagai “prinsip gerak”
(the principle of movement) dalam Islam. Dengan adanya ijtihad, Islam menjadi sangat dinamis.
Pernyataan Iqbal yang menempatkan ijtihad sebagai prinsip gerak dalam Islam sesuai dengan
prinsip perubahan pada segenap ciptaan Tuhan. “Segala sesuatu berubah (Panta rei)”. Perubahan
merupakan sunnatullah, menentang perubahan berarti menentang sunnatullah. Menentang
sunnatullah berarti ingkar kepada Allah. Firman Allah, “Taatlah kepada Allah, dan jangan mengikuti
jalan selain-Nya” (Q.s. 47:22), berisi penegasan agar manusia taat terhadap semua aturan Tuhan
termasuk taat kepada sunnah-Nya. Sebuah kesimpulan yang agak bombastis, dapat dirumuskan,
‘kalau ijtihad merupakan suatu bentuk respon terhadap perubahan sesuai dengan sunnatullah,
maka ingkar terhadapnya, merupakan bentuk keingkaran terhadap Allah.’
Kita patut mengakui, bahwa ijtihad yang dilakukan para ulama terdahulu merupakan
manifestasi keimanan mereka terhadap sunnatullah itu. Imam Syafi’i, salah seorang ulama Sunni
yang otoritatif dalam kitabnya al-Risalah mengakui peranan akal pikiran dan ia menjadikan “qiyas”
(analogical reasoning), sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dalam tradisi filsafat, analogi
berasal dari Aristoteles. Kalau banyak para sarjana Muslim yang mengakui pengaruh pemikiran
Yunani terhadap pemikiran Islam (al-Turats al-Yunani fi Fikr al-‘Arabi), baik dalam filsafat Islam,
teologi (kalam), maupun ushul fiqh dan fiqih, maka saya merasa heran kalau Syekh Abd al-Halim
Mahmud dalam kitabnya itu justru mengutip sebuah riwayat yang disandarkannya kepada Imam
Syafi’i (tanpa disebut sumbernya), yang mengatakan, “Ma jahl al-nasi wala ikhtalifu illa litarkihim
lisanil ‘arabi wamailihim ila lisanin aristhuthalis (Tidaklah kebodohan dan perselisihan menimpa
manusia kecuali karena meninggalkan tradisi Arab dan beralih kepada tradisi Aristoteles”.
Banyak kritik terhadap filsafat Yunani, khususnya filsafat Aristoteles, tetapi pengaruhnya
terhadap dunia Islam tidak bisa diingkari. Ibn Rushd yang mendapatkan julukan sebagai
‘Komentator Aristoteles’, dalam Fashl al-Maqal menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara
wahyu dan akal. Dalam Tahafut al-Tahafut, ia juga menangkis dengan sangat cerdas serangan
Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah-nya. Karenanya, kalau agama dan akal ditempatkan secara
jernih tanpa vested interest, sesungguhnya tidak ada pertentangan antara agama dan akal.
Kombinasi cerdas dilakukan oleh Shadr al-Muta’alihin (Mulla Sadra), filsuf Iran, bahwa antara
filsafat, teologi (kalam), dan tasawuf menyatu dalam Kearifan Transenden (al-Hikmah alMuta’aliyah). “Agama tanpa akal menjadi dogma, akal tanpa agama sesat”. Wallahu a’lam.
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
Pendidikan Demokrasi di Perguruan Tinggi
Agus Supriyanto & Yoyo Hambali
Abstract:
Dalam membangun demokrasi, peranan kampus tidak bisa dipungkiri. Peranan yang bisa
dimainkan adalah memberikan pendidikan politik kepada rakyat. Kampus merupakan institusi
yang di dalamnya hidup kaum intelektual, para agen perubahan masyarakat. Kaum intelektual
memiliki tugas untuk terjun ke tengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari Tri Dharma
Perguruan Tinggi yang dijamin oleh undang-undang.
Pengantar
Topik mengenai demokrasi tetap menarik untuk dibicarakan. Walaupun secara historis akarnya
bisa dilacak ke masa Yunani sekitar abad ke-4/3 SM, tak dapat dipungkiri bahwa demokrasi
merupakan produk dunia Barat modern yang telah mengundang kontroversi khususnya di dunia
Islam. Perdebatan tentang apakah demokrasi sesuai (compatible) dengan Islam atau tidak
nampaknya pelan-pelan nyaris tak terdengar lagi. Hal itu karena demokrasi telah diterima oleh
mayoritas dunia Islam bahkan sebagian besar negara dengan mayoritas Muslim telah
mempraktekan demokrasi terlepas di sana sini masih terdapat kelemahan. Dengan demikian,
demokrasi telah diterima sebagai suatu keniscayaan.
Memang tidak sedikit para penulis Barat yang mengkaji tentang dunia Islam yang meragukan
kesuksesan demokrasi di negara-negara Islam, bahkan di antara mereka ada yang berpandangan
sangat pesimistis, misalnya sinyalemen yang mereka lontarkan bahwa demokrasi apabila
dipraktekkan di dunia Islam akan mengalami kegagalan. Pandangan seperti itu nampaknya sepintas
beralasan apabila melihat dari sisi munculnya beberapa negara Islam yang masih bersifat despotis
dan dikendalikan oleh kaum ulama ditambah dengan menguatnya fundamentalisme dan
radikalisme keagamaan yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap sistem demokrasi. Namun
pandangan para penulis Barat seperti itu tidak terlepas dari bias orientalisme yang menempatkan
dunia Islam sebagai objek yang harus dideskreditkan. Karena pada umumnya dunia Islam telah
mempraktekan demokrasi setidak-tidaknya sebagai suatu proses menuju demokrasi
(demokratisasi) sesuai dengan kriteria negara demokrasi sebagaimana dinyatakan oleh Samuel P.
Huntington dalam The Third Wave: Democratization (Gelombang Demokratisasi Ketiga) (Samuel P.
Huntington, 1991).
Dalam bukunya itu Huntington menjelaskan ciri-ciri suatu negara demokrasi sebagai berikut: Suatu
negara dikategorikan sebagai negara demokrasi sejauh para pembuat keputusan kolektif yang
paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilu yang adil, jujur dan berkala, dan di dalam sistem
itu para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk
dewasa berhak memberikan suara. Demokrasi juga mengimplikasikan adanya kebebasan sipil dan
politik yaitu kebebasan untuk berbicara, menerbitkan, berkumpul dan berorganisasi. Demokrasi
juga memberikan tempat kepada oposisi; dijaminnya kebebasan pers dan menghindari
penyensoran dan pembreidelan; kontrol yang efektif oleh warganegara terhadap kebijakan
pemerintah, pemerintah yang bertanggung jawab, kejujuran dan keterbukaan dalam percaturan
politik, musyawarah yang rasional dan didukung oleh informasi yang cukup, partisipasi dan
kekuasaan yang setara, dan berbagai kebajikan warganegara lainnya (Huntington:1991).
Indikator-indikator dari Huntington itu dapat ditambahkan lagi sejauh sesuai dengan prinsipprinsip demokrasi yaitu: kebebasan, persamaan, musyawarah, keadilan dan kesejahteraan.
Dimasukannya dua prinsip terakhir (keadilan dan kesejahteraan) menunjukkan bahwa suatu
negara demokrasi tidak saja harus menjamin demokrasi politik bagi warganya tetapi juga
demokrasi ekonomi. Pentingnya indikator yang bersifat ekonomi dan kesejahteraan itu
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
dikarenakan boleh jadi suatu negara berhasil memberikan kebebasan politik bagi warganya namun
secara ekonomi kesejahteraannya masih rendah.
Dengan memperhatikan kriteria-kriteria di atas, muncul pertanyaan yang lebih menukik kepada
konteks negara dan bangsa kita: Indonesia. Apakah Indonesia merupakan suatu negara demokrasi?
Jawabannya dapat mengacu kepada indikator-indikator yang dikemukakan di atas dan variabelvariabel yang dapat memperkuat apakah suatu negara termasuk Indonesia merupakan negara
demokrasi atau bukan. Variabel-variabel tersebut sebagaimana dikemukakan Huntington lagi
adalah tingkat kemakmuran ekonomi secara menyeluruh yang tinggi; distribusi pendapatan dan
atau kekayaan yang relatif merata; ekonomi pasar; tiadanya feodalisme; borjuasi yang kuat; kelas
menengah yang kuat; tingkat melek huruf dan pendidikan yang tinggi; adanya pluralism sosial;
tingkat kekerasan yang rendah; pemimpin-pemimpin politik mendukung demokrasi sepenuh hati;
tradisi toleransi dan kompromi; tradisi menghormati hukum dan hak-hak individu; jaminan
terhadap keberagaman etnis, ras dan agama; adanya konsensus dalam masalah politik dan social
(Huntington,1991).
Dengan indikator dan variabel-variabel itulah Huntington memasukan Indonesia sebagai negara
yang selama 15 tahun sejak tahun 1974 (masa Orde Baru), disejajarkan dengan Cina, Vietnam dan
Birma sebagai negeri yang tidak melakukan demokratisasi. Sayangnya, Huntington hanya mengkaji
perkembangan demokrasi di dunia modern itu hanya sampai tahun 1990. Padahal pasca 1990-an
(1998) setelah tumbangnya rezim Orba, Indonesia mengalami suatu era baru yakni era reformasi di
mana terjadi berbagai perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terutama dalam
bidang politik. Barangkali patut kiranya dikaji perkembangan demokrasi pasca 1990-an dengan
menambah satu gelombang lagi selain tiga gelombang yang dikemukakan Huntiongton, misalnya
gelombang ke-empat demokratisasi dan memasukan Indonesia pada gelombang ke-empat itu.
Secara historis Indonesia memang telah menerapkan beberapa sistem demokrasi: demokrasi
parlementer bahkan sukses menyelenggarakan pemilu tahun 1955 dengan sistem multipartai;
demokrasi terpimpin yang diawali dengan dekrit kembali ke UUD ‘45 pada tanggal 15 Juli 1959.
Dekrit itu disusul dengan pidato kenegaraan 17 Agustus 1959, berjudul “Menemukan Kembali
Revolusi Kita (Rediscovery of Our Revolution) yang disampaikan oleh pemimpin besar revolusi Bung
Karno. Namun demokrasi terpimpin telah menjadikan Indonesia terjerumus ke lembah
kediktatoran. Masa Orde Baru, Indonesia menerapkan demokrasi Pancasila, walaupun pada
kenyataannya masih jauh panggang dari api. Demokrasi Pancasila ternyata hanya menjadi alat
legitimasi kekuasaan yang menyebabkan Indonesia mengalami krisis multidimensional, terutama
krisis moral dengan merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Orde Baru berhasil
membangun bangsa dalam aspek jasmaninya tetapi terbengkalai dalam aspek rohani dan moralnya.
Padahal keberhasilan dan kekuatan suatu bangsa tidak saja terletak pada jasmaninya tetapi juga
pada rohani dan moralnya. Dengan demikian, negara yang kuat adalah Negara yang sejahtera
jasmani, rohani dan moralnya atau aspek raga dan jiwanya. John Gardner, seorang cendekiawan
Amerika yang pernah menjadi Menteri Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan dalam
pemerintahan John F. Kennedy, mengatakan, “no nation can achieve greatness unless it believes in
something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization” (tidak ada
bangsa yang mampu mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu memiliki kepercayaan (agama)
dan moral untuk menopang peradaban yang besar). Krisis yang menimpa Indonesia pada akhir
rezim Orba itu, dikatakan Nurcholish Madjid, mirip dengan kehancuran Kekaisaran Romawi
sebagaimana ditulis oleh sejarawan Edward Gibbon dalam karya klasiknya The History of the
Decline and Fall of the Roman Empire (Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, Paramadina: 2004).
Berkat gerakan mahasiswa (dunia kampus) dan berbagai komponen bangsa lainnya, maka
lengserlah Soeharto dan Indonesia memasuki era baru yaitu era Reformasi. Euforia reformasi
bergaung di mana-mana yang ditandai dengan kebebasan dan keterbukaan. Kran demokrasi
khususnya demokrasi politik yang dikekang pada masa Orba menjadi demikian terbuka. Indonesia
memasuki era demokratisasi: era kebebasan dan keterbukaan. Walaupun secara ekonomi
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
nampaknya belum memenuhi standar negara demokrasi karena tingkat kemakmuran dan
pemerataan yang masih sangat rendah.
Apa yang Bisa Dilakukan Kampus ?
Dalam membangun demokrasi, peranan kampus tidak bisa dipungkiri. Peranan yang bisa
dimainkan adalah memberikan pendidikan politik kepada rakyat. Kampus merupakan institusi
yang di dalamnya hidup kaum intelektual, para agen perubahan masyarakat. Kaum intelektual
memiliki tugas untuk terjun ke tengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari Tri Dharma
Perguruan Tinggi yang dijamin oleh undang-undang.
Undang-undang menyatakan bahwa salah satu fungsi pendidikan nasional adalah untuk
mewujudkan warganegara yang demokratis serta bertanggug jawab (UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas, Bab II, Pasal 3). Karena itu, pendidikan hendaknya diselenggarakan secara demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa (ibid, Bab III, Pasal 4). Sebagai suatu institusi
yang bertujuan untuk membentuk warganegara yang demokratis maka hendaknya perguruan
tinggi dapat berada di garis terdepan yang menjunjung tinggi demokrasi. Salah satu wujud dari
demokrasi di kampus adalah dijaminnya kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik
sebagaimana ditegaskan pada pasal 24 ayat 1 UU Sisdiknas: “Dalam penyelenggaraan pendidikan
dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan
kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuwan”.
Dalam menjalankan perannya di masyarakat, kampus dapat melakukan bebagai program dan
aktivitas yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat baik pemberdayaan politik maupun
ekonomi. Paling tidak kampus dapat memberikan gagasan-gagasan cerdas bagi perubahan
masyarakat. Dunia kampus dapat memberikan pencerahan (enlightenment) kepada masyarakat
mengenai pentingnya mewujudkan prinsip-prinsip dan indikator-indikator demokrasi
sebagaimana dikemukakan di atas. Misalnya, kampus dapat menyampaikan akan pentingnya
penghargaan kepada keanekaragaman sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, toleransi,
penghormatan kepada hukum dan hak-hak individu dan masyarakat, pemberantasan buta huruf
dan peningkatan mutu pendidikan rakyat. Dunia kampus juga dapat melakukan kritik dan kontrol
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat
(maslahat al-ammah). Dalam melakukan perannya itu, dunia kampus hendaknya dapat
menghindari politik-politik kotor, bersikap netral dan semata-mata merupakan gerakkan moral
(moral force). Berusaha sekuat mungkin untuk tidak ditunggangi oleh kepentingan manapun yang
dapat merusak “misi suci” (mission sacre) dunia kampus sebagai komunitas intelektual yang
tercerahkan. Bila tidak menjaga misi sucinya itu sangat mungkin kaum intelektual akan terjerumus
untuk melakukan apa yang dikatakan oleh Jullien Benda sebagai pengkhianatan intelektual.
Perlu ditekankan, sebelum “orang kampus” terjun ke masyarakat, maka terlebih dahulu dunia
kampus harus mencerminkan suatu lembaga yang benar-benar demokratis. Dengan memakai
istilah dari John Dewey, filosuf modern asal Amerika, dunia kampus hendaknya melakukan
“democracy of education (demokrasi pendidikan). Hal itu mesti dilakukan merujuk ungkapan AlQur’an, hendaknya dunia kampus menjadi “uswatun hasanah” (teladan yang baik) bagi masyarakat
pada umumnya. Dalam konteks ini, kita diingatkan oleh tulisan Paulo Freire dalam bukunya The
Politic of Education: Culture, Power and Liberation (Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan
Pembebasan) hendaknya lembaga pendidikan dapat menjadi sarana untuk membebaskan manusia
dari penindasan dan dapat menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari rasa takut.
Karenanya, sejalan dengan prinsip demokrasi, hendaknya di kampus ditumbuhkan kebebasan.
Kebebasan itu ada dua macam, yaitu “kebebasan untuk” (freedom to) dan “kebebasan dari”
(freedom from). “Bebas untuk” dalam artian bahwa dunia kampus harus menjamin kebebasan
warganya untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran tanpa diskriminasi apapun; bebas untuk
berekpresi, bebas untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berorganisasi; bebas untuk
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
mempelajari dan mengajarkan apapun yang berguna bagi peningkatan kecerdasan, kecakapan, dan
perbaikan budi pekerti; bebas untuk beragama dan menganut kepercayaan yang dianutnya; bebas
untuk memilih dan dipilih; bebas untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan batin; dan kebebasan
yang bernilai kebajikan lainnya sesuai dengan koridor hak asasi manusia dan undang-undang yang
berlaku. Adapun “bebas dari” (freedom from) antara lain bebas dari kebodohan dan
keterbelakangan; bebas dari rasa takut, penindasan dan eksploitasi manusia atas manusia
(exploitation del’home parl’home), bebas dari pembungkaman pendapat dan pemaksaan; dan lain
sebagainya yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan undang-undang yang berlaku. Oleh
karena itu, sebelum dunia kampus terjun ke masyarakat untuk berpartisipasi membangun
demokrasi, maka dunia kampus hendaknya terlebih dahulu melakukan demokratisasi. Dengan
demikian dunia kampus tidak menjadi sebagaimana diungkapkan dalam peribahasa “bak obor yang
menerangi sekitarnya, sedangkan keadaan di dekatnya sendiri gelap gulita”. Atau tidak
sebagaimana diperingatkan oleh Allah dalam Al-Qur’an: “Hai orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (Q.s. 61:2-3).
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
Pesan Pendidikan dalam Buku Laskar Pelangi
Karya Andrea Herata
Abdul Khoir HS.
Abstract:
Di tengah menjamurnya “Sekolah-sekolah Kapitalisme yang Licik”, meminjam judul buku
karya pemikir pendidikan pembebasan Amerika Latin Paulo Preire, di tengah minoritas sekolah
dengan berbagai fasilitas yang lengkap, sekolah yang digambarkan Andrea Harita dalam novelnya,
jangankan mengharap berbagai fasilitas yang lengkap, gedung saja akan roboh bila disenggol,
sekolah dengan murid-murid yang miskin. Di tengah-tengah pro-kontra Ujian Nasional dengan
gelontoran miliaran rupiah, Andria Hirata menggambarkan, mengutip komentar Majalah Femina
“secuil potret pendidikan di negara kita yang memprihatinkan”.
Bila kurang dari sepuluh siswa maka sesuai dengan syarat diknas setempat, sekolah paling
tua di Belitong itu harus ditutup. Murid sekolah baru sembilan, kepala sekolah pesimis dapat
memenuhi target sepuluh. Maka diam-diam beliau telah mempersiapkan sebuah pidato
pembubaran sekolah di depan para orang tua murid. Sangat menyakitkan karena tinggal satu siswa
lagi. Ketika waktu yang ditentukan telah habis, kepala sekolah menghampiri murid dan menyalami
mereka satu persatu. Sebuah pemandangan yang pilu. Para orang tua menepuk-nepuk bahunya
untuk membesarkan hatinya. Bu Mus, guru sekolah itu, berkilauan karena air mata yang
menggenang. Kepala sekolah berdiri di depan para orang tua, wajahnya muram. Beliau bersiap-siap
memberikan pidato terakhir, pidato pembubaran sekolah yang sudah dikelolanya hampir tiga
puluh tahun. Wajahnya nampak putus asa. Namun ketika beliau akan mengucapkan kata pertama,
salam, seluruh hadirin terperanjat karena di lapangan seorang anak datang untuk mendaftar. Maka
genaplah murid sekolah itu sepuluh orang. Mereka murid sekolah miskin di antara ribuan sekolah
miskin di seantero negeri ini. Sekolah tua tempat mereka belajar jika disenggol sedikit saja oleh
kambing yang senewen ingin kawin bisa berantakan. Sepuluh orang murid sekolah itu menamakan
diri mereka sebagai Laskar Pelangi. Itulah yang menjadi judul novel Andrea Hirata: Laskar Pelangi
(Yogyakarta: Bentang, 2008).
Novel yang rencananya akan difilmkan ini mendapat pujian dari berbagai kalangan, lebihlebih setelah pengarangnya tampil di acara Kich Andy Metro TV. Tak kurang dari tokoh agama
seperti Ahmad Syafi’i Ma’arif; para sastrawan seperti Supardi Djoko Damono dan Korrie Layun
Rampan; sineas Garin Nugroho, sutradara Riri Riza, Komnas Anak Ka Seto, dll. Namun komentar
yang paling menarik justru dari seorang guru SD di daerah terpencil Heni Kusyari. Paling menarik
karena dialah yang merasakan secara langsung kondisi pendidikan negeri ini yang
memprihatinkan. Katanya, “Buku Laskar Pelangi memberiku semangat baru yang tak ternilai untuk
mengajari murid-murid meskipun kami selalu dirundung kesusahan demi kesusahan, meskipun
dunia tak peduli. Buku ini membuatku sangat bangga menjadi seorang guru”.
Komentar yang sedikit populis berasal dari sastrawan Korrie Layun Rampan, “Inilah cerita
yang sangat mengharukan tentang dunia pendidikan dengan tokoh-tokoh manusia sederhana, jujur,
tulus, gigih, penuh dedikasi, ulet, sabar, tawakal, takwa (yang) dituturkan secara indah dan cerdas.
Pada dasarnya kemiskinan tidak berkolerasi langsung dengan kebodohan atau kegeniusan. Sebagai
penyakit sosial, kemiskinan harus diperangi dengan metode pendidikan yang tepat guna. Dalam
hubungan itu hendaknya semua pihak berpartisipasi aktif sehingga terbangun sebuah monumen
kebajikan di tengah arogansi uang dan kekauasaan materi”.
Di tengah menjamurnya “Sekolah-sekolah Kapitalisme yang Licik”, meminjam judul buku
karya pemikir pendidikan pembebasan Amerika Latin Paulo Preire, di tengah minoritas sekolah
dengan berbagai fasilitas yang lengkap, sekolah yang digambarkan Andrea Harita dalam novelnya,
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
jangankan mengharap berbagai fasilitas yang lengkap, gedung saja akan roboh bila disenggol,
sekolah dengan murid-murid yang miskin. Di tengah-tengah pro-kontra Ujian Nasional dengan
gelontoran miliaran rupiah, Andria Hirata menggambarkan, mengutip komentar Majalah Femina
“secuil potret pendidikan di negara kita yang memprihatinkan”.
Laskar Pelangi “sebuah kisah tentang anak-anak yang luar biasa, yang mampu melahirkan
semangat serta kreatifitas yang mencengangkan.” (Harian Pikiran Rakyat).
Bagaimana tidak luar biasa perjuangan anak-anak miskin itu untuk belajar. Di antara mereka
harus pulang-pergi sekolah menempuh perjalanan lebih kurang 80 km, melewati jalan setapak di
tengah-tengah hutan, di ancam jurang yang dalam dan terkadang dicegat buaya di tengah jalan.
Bagi orang kampung seperti saya, menempuh perjalanan sekolah sejauh itu tidaklah aneh.
Anak-anak Laskar Pelangi itu tidak sendirian. Ada ribuan anak sekecil itu berjuang untuk sekolah
dengan segala keterbatasan. Pakai sandal jepit atau sepatu bekas yang sudah tidak layak pakai,
seragam itu-itu juga dengan sebagian kancingnya sudah terlepas, satu buah buku tulis dan pensil,
tak ada tas, paling banter pakai kantong plastik, tak ada uang jajan dan tak ada fasilitas lainnya
sebagaimana anak-anak borjuis. Bila malam tiba dan hendak belajar tak ada lampu listrik. Paling
banter penerangan dengan lampu minyak tanah kebulnya memenuhi lubang hidung. Namun bagi
sebagian orang, kemiskinan tidaklah menjadi halangan untuk belajar. Tidak sedikit orang-orang
besar dan sukses yang di waktu kecilnya bergelut dengan kemiskinan. Bagi mereka, kemiskinan
bukan alasan untuk berhenti belajar. Thomas Stanford Raffles, pendiri Singapura dan pernah
menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta, pengarang buku The History of Java yang termashur itu,
sebagaimana dituturkan Thomas Jefferson dalam Autobiografi Raffles, Raffles semasa kecilnya
hidup penuh dengan kemiskinan, tapi tak pernah berhenti belajar. Beliau punya semboyan,
“Membacalah walaupun di terangi cahaya kunang-kunang”. Kemiskinan tidak membuat
jiwanya menjadi kerdil, Mereka miskin materi tetapi kaya jiwa dan semangat, bercita-cita tinggi
setinggi bintang. Bagi mereka, hanya dengan belajar keras nasib mereka akan berubah. “Tuhan
tidak akan merubah nasib suatu kaum, bila mereka tidak merubah nasibnya sendiri” (AlQur’an/13:11). H.O.S Cokroaminoto guru Sukarno dan pejuang nasional itu, pernah mewanti-wanti,
“No sacrifice is wasted (Tidak ada pengorbanan yang sia-sia)”.
Ketika muridnya mengeluhkan genting yang bocor, guru sekolah dalam novel Laskar Pelangi,
malah memperlihatkan sebuah gambar dalam buku berbahasa Belanda. Gambar itu adalah ruangan
yang sempit, dikelilingi tembok tebal yang suram, tinggi, gelap dan berjeruji. Kesan di dalamnya
begitu pengap, angker, penuh kekerasan dan kesedihan. Inilah sel Pak Karno di sebuah penjara di
Bandung, di sini beliau mengalami hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca buku.
Beliau adalah salah satu orang tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini.
Anak miskin belajar dengan prihatin memang wajar dan harus. Lain halnya dengan anak
orang kaya yang biasa hidup serba enak. Namun anak orang kaya atau anak orang miskin jika
sedang belajar menuntut ilmu hendaknya prihatin. Kata hikmah orang tua, belajar itu hendaknya
“kuru cileuh kentel peujit”, artinya sedikit tidur dan sedikit makan alias prihatin. Bagi santri-santri
di pesantren, prihatin itu sebuah kewajiban bila ingin dimudahkan belajar dan berkah ilmunya.
Salah satu kitab tuntunan belajar mengajar bagi santri karya Syekh al-Jarnuzi Berjudul Kitab Ta’lim
Muta’alim, menagajarkan adab-adab bagi murid. Salah satunya, hendaknya sang murid hidup
prihatin, tidur dan makan sesedikit mungkin. Sering-seringlah tirakat. Tundalah kesenangan
sementara untuk mendapatkan kesenangan abadi. Menjauhi dosa adalah syarat mutlak untuk
mendapatkan kemudahan dan cahaya ilmu. Syekh al-Jarnuzi mengutip syair dari Imam Syafi’i: “Aku
mengadu kepada Waqi’ (guru Imam Syafi’i) mengenai sulitnya belajarku. Maka ia mengajari aku
agar meninggalkan dosa. Ia mengajariku bahwa sesungguhnya ilmu itu cahaya (nuur) dan cahaya
Allah tidak akan dilimpahkan kepada orang yang berlumuran dosa.” Dosa adalah kesenangan
sementara yang dapat menyulitkan belajar dan menjadi hijab (penghalang) bagi keberkahan ilmu.
Turats, Vol, 1, No. 1, Agustus 2004
Tidak Bisa Pintar dengan Tahayul
Nilai-nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka sulit berkosentrasi sebab
terikat pada komitmen-komitmen kegiatan organisasi (mereka berdua pengurus organisasi rahasia
urusan gaib dan klenik), dan lebih dari itu, karena mereka berdua semakin tergila-gila dengan
mistik. Tiba-tiba mereka muncul dengan gagasan yang paling absurd. Untuk mengatasi nilai
rapornya yang hancur sekaligus tak ingin meninggalkan hobi klenik mereka berencana menemui
dukun sakti di sebuah pulau terpencil yang diharapkan dengan kesaktiannya itu dapat merubah
nilai rapornya yang hancur itu. Setelah mereka mengarungi lautan dengan gelombang laut dan
ombak yang ganas dan terlepas dari ancaman bajak laut yang kejam serta ikan hiu yang siap
menelan mereka, maka tibalah mereka di depan gua tempat dukun sakti yang bernama Datuk
Bayan Tula. Nama dukun sakti itu telah termashur ke mana-mana. Selain sakti, dukun itu juga
kejam sekaligus misterius. Para pengunjung yang tidak berkenan di hatinya tidak akan kembali,
bias-bisa dipenggal kepalanya dan dagingnya dimakan untuk menambah kesaktiannya. Dengan
hati-hati dua bocah yang nilainya hancur itu mendekati sang dukun dan membisikan maksudnya
dengan hati yang gentar tiada tara. Dukun itu diberinya sepucuk surat dan sebuah pena dan dengan
kecepatan tak masuk akal dukun itu kembali ke dalam gua. Selanjutnya terjadi sestau yang aneh,
pertarungan antara dukun sakti itu dengan ribuan iblis yang setelah beberapa lama berhasil
dikalahkannya. Rupanya untuk mengatasi nilai sekolah dukun itu harus bertarung habis-habisan
terlebih dahulu dengan makhluk-makhluk besar yang ganas.
Dukun itu keluar dari gua dengan baju yang compang-camping dan memberikan gulungan
kertas yang dengan itu akan membuat nilai-nilai ujian akan melingkar sendiri dalam kegelapan
untuk menyelamatkan anak-anak sekolah itu.
Mereka kembali pulang dengan membawa gulungan kertas dari dukun sakti dan sesampainya
di sekolah semua orang merubung ingin tahu. Mereka merasa tegang dan sangat ingin tahu. Salah
seorang di antara murid yang nilainya hancur, Mahar, perlahan-lahan membuka gulungan kertas
itu. Dalam kertas itu tertulis dengan jelas:
INILAH PESAN DARI TUK-BAYAN-TULA
UNTUK KALIAN BERDUA.
KALAU INGIN LULUS UJIAN:
BUKA BUKU, BELAJAR
(Laskar Pelangi, hlm. 403-424).
Kesimpulan, ingin pintar tidak perlu meminta bantuan segala macam tahayul dan klenik,
tetapi belajarlah dan banyaklah membaca. Kesuksesan hanya bisa diraih dengan belajar sunguhsungguh. Peribahasa Arab, “man jadda wajada (siapa yang sungguh-sungguh maka berhasil)”.
Wallahu a’lam.
Download