TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) termasuk famili Gramineae (rumput-rumputan), sub family Oryzodiae dari genus Oryza. Ciri-ciri tanaman padi secara morfologis adalah sebagai berikut, batang padi berongga dan tersusun dari beberapa ruas yang dibatasi oleh buku. Daun tumbuh dari buku batang tersebut, sedangkan bunga atau malai muncul dari buku terakhir pada tiap anakan. Akar padi adalah akar serabut yang sangat efektif dalam penyerapan hara, tetapi peka terhadap kekeringan. Akar padi terkonsentrasi pada kedalaman antara 10-20 cm. Biji padi mengandung butiran pati amilosa dan amilopektin dalam endosperm (Purwono & Purnamawati 2008). Tanaman padi meliputi lebih kurang 25 spesies yang tersebar di daerah tropik dan sub tropik seperti Asia, Afrika, Amerika, dan Australia. Tanaman padi yang dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis ialah indica (padi cere), sedangkan japonica (padi bulu) banyak dibudidayakan di daerah sub tropik. Tanaman padi berasal dari dua benua, O. fatua Koenig dan O. sativa L. berasal dari benua Asia, sedangkan jenis padi lainya yaitu O. stapfii Roschev dan O. glaberima Steund berasal dari Afrika Barat (Siregar 1981). Padi yang ada di Indonesia sekarang ini merupakan persilangan antara O. officinalis dan O. sativa (Deptan 2007). Ribuan varietas atau kultivar padi di Asia dihasilkan karena kombinasi antara seleksi alami dan buatan pada lingkungan tumbuh yang berbeda (Siregar 1989). Varietas unggul padi yang saat ini banyak ditanaman oleh petani di Indonesia berasal dari hasil silangan IRRI atau silangan dalam negeri. Padi IR64 merupakan salah satu varietas unggul dari hasil silangan IRRI (Purwono & Purnamawati 2008). Benih padi IR64 dilepas pada tahun 1986. Penggunaan benih padi IR64 di Indonesia masih tinggi mencapai 45% dengan produktivitas 4,1 sampai 5,6 ton per hektar. Keunggulan padi IR64 adalah berumur panen 115 hari, produksi mencapai 5 ton/ha, rasa nasi yang enak, tahan wereng cokelat tipe 1 dan tipe 2, dan tahan kerdil rumput. Ciri-ciri morfologis padi IR64 sebagai berikut, daun berwarna hijau dengan permukaan daun yang kasar dan berbulu, bentuknya 5 relatif tegak termasuk posisi daun serta daun benderanya. Tinggi tanaman padi IR64 dapat mencapai kurang lebih 85 cm. Jumlah anakan maksimum yang dapat dihasilkan oleh padi IR64 berjumlah 25 anakan per tanaman, sedangkan jumlah anakan produktif terbanyak yang dapat dihasilkan adalah 22-23 anakan per tanaman (Deptan 2007). Padi IR64 dan Cisadane merupakan contoh varietas padi yang masih banyak ditanam dan dapat terinfeksi virus tungro sampai puso. Hal ini bisa terjadi jika tanaman sudah terinfeksi virus tungro pada saat tanaman berumur kurang dari 5 minggu (Burhannudin 2005). Pemupukan dilakukan untuk memenuhi nutrisi yang diperlukan tanaman padi. Pupuk yang digunakan sebaiknya kombinasi antara pupuk organik dan pupuk buatan. Pupuk organik yang diberikan berupa pupuk kandang atau pupuk hijau dengan dosis 2-5 ton/ha. Pupuk organik diberikan saat pembajakan/cangkul pertama. Selain pupuk organik diberikan juga pupuk kimia dengan dosis 200 kg urea/ha, 75-100kg SP-36/ha, dan 75-100 kg KCl/ha. Urea diberikan 2-3 kali yaitu 14 HST, 30 HST, dan menjelang primordia bunga. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan saat tanam atau 14 HST. Jika digunakan pupuk majemuk dengan perbandingan 15-15-15, dosisnya 300 kg/ha. Pupuk majemuk diberikan setengah dosis saat tanaman berumur 14 HST, sisanya menjelang primordial bunga (50 HST) (Purwono & Purnamawati 2008). Tungro Penyakit Tungro Tungro yang artinya pertumbuhan terhambat merupakan salah satu penyakit virus yang paling merusak padi di Asia Tenggara. Ribuan hektar sawah di banyak negara telah terkena wabah berkala penyakit ini (Deptan 1985). Tungro menjadi epidemik pertengahan tahun 1960an di Bangladesh, Cina, India, Indonesia, Malaysia, Nepal, Pakistan, Filipina, Sri Langka, dan Thailand. Di Indonesia gejala tungro diketahui timbul secara sporiadis pada tahun 1859 dengan nama mentek di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan tahun 1962 yang biasa disebut penyakit habang. Pengujian lanjutan di Bogor membuktikan bahwa penyakit habang di Kalimantan Selatan tersebut identik 6 dengan penyakit tungro di negara-negara lain, seperti Filipina, India, dan Bangladesh (Prayudi 2001). Di Malaysia penyakit tungro dikenal dengan nama penyakit merah yang telah diketahui sejak tahun 1938 (Ou 1985). Pada awalnya petani di Malaysia menduga bahwa gejala yang timbul pada tanaman padi tersebut disebabkan oleh kekurangan unsur hara. Pada tahun 1963, Filipina untuk pertama kalinya telah membuktikan bahwa penyakit yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman padi di sejumlah negara adalah penyakit tungro (Semangun 2004). Gejala Penyakit Tungro Penyakit tungro dapat menghambat pertumbuhan tanaman padi dan menyebabkan warna daun menjadi kuning atau orange. Daun mulai menguning dari ujung dan dapat meluas sampai ke tepi helaian daun. Daun yang terinfeksi virus tungro dapat terlihat burik (kurik) atau bergaris-garis. Tanaman yang terinfeksi virus tungro selama tahap pertumbuhan dini lebih parah kerusakannya (Deptan 1985). Gejala yang muncul pada tanaman masih muda dapat hilang pada tanaman yang semakin menua, sehingga tanaman yang semula sakit dianggap sembuh (Ou 1985). Tanaman padi yang terinfeksi virus tungro akan mengalami kekerdilan dan mempunyai jumlah anakan yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan tanaman sehat. Besarnya hambatan pertumbuhan tanaman tergantung pada kerentanan suatu varietas (Ou 1985). Tanaman sakit membentuk malai yang kecil dan umumnya tidak keluar dari pelepah daun bendera sehingga malainya hampa, serta perakaran tanaman menjadi lebih sedikit. Daun padi yang terinfeksi virus tungro mengandung lebih banyak amilum (pati) dan asam amino total, sementara kandungan klorofil, gula terlarut serta senyawa fenol berkurang (Semangun 2004). Penularan Virus Tungro Vektor virus tungro umumnya terdiri dari dua genus yaitu Nephotettix dan Recilia. Spesies dari genus Recilia yang dapat menularkan virus tungro yaitu Recilia dorsalis. Genus Nephotettix yang dapat menularkan virus tungro terdiri dari 4 spesies, yaitu N. virescens, N. nigropictus, N. parvus, dan N. malaynus Tingkat serangan N. virescens dalam mentransmisikan virus mencapai 85-100%, 7 diikuti oleh N. nigropictus kurang dari 35%, R. dorsalis kurang dari 5%, N. parvus dan N. malaynus 1-2% (Ling 1979). N. virescens merupakan vektor utama virus tungro di Asia. Imago N. virescens maupun nimfanya efektif dalam menularkan virus tungro. N.virescens menjadi efektif setelah menghisap tanaman sakit (acquisition feeding period) selama 30 menit, dan periode makan inokulasi membutuhkan waktu kirakira 15 menit (Ou 1985). Virus itu tidak bertahan dalam tubuh vektor, namun vektor tersebut dapat makan dan mengambil virus berulang kali setiap kali setelah makan (Deptan 1985). Virus tersebut ditularkan oleh vektor secara semi persistan. Virus tungro dapat dipertahankan di dalam tubuh vektor selama 5-6 hari. Nimfa N. virescens dapat juga menularkan virus, namun akan kehilangan infektivitasnya setelah berganti kulit (Prayudi 2001). Virus tungro tidak dapat ditularkan melalui telur serangga vektor, biji padi, dan tanah secara mekanis. Virus tersebut dapat bertahan pada singgang padi serta inang alternatif lain, seperti Eleusine indica (L.) Gaertn., Echinochloa colonum (L.) Link dan E. crusgalii Beauv. Tanaman padi yang terinfeksi umumnya mudah dikenali karena adanya gejala yang muncul, sedangkan rumput-rumputan yang terinfeksi sulit dikenali karena tidak memperlihatkan gejala (Kalshoven 1981). Biologi Wereng Hijau Nephotettix virescens Wereng hijau N. virescens termasuk kelas Insekta, ordo Hemiptera, dan family Cicadellidae. Ukuran imago N. virescens berkisar 4-6 mm. Imago sangat aktif di malam hari dan tertarik oleh cahaya. Telur serangga ini diletakkan di bagian lunak selubung daun sekitar 25 baris. Betinanya meletakkan 100-200 telur kemudian menetas setelah satu minggu. Nimfa N. virescens yang baru menetas berwarna putih, kemudian berkembang dalam waktu 3 minggu dan pada akhirnya berwarna hijau penuh. Masa hidup imago sekitar 4 minggu. Imago N. virescens memiliki bintik hitam di pusat dan puncak sayap, abdomennya berwarna coklat (Kalshoven 1981). 8 Pemanfaatan Mikroorganisme Rizobakteri sebagai Agens Pengendali Hayati Plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) merupakan kelompok bakteri yang hidup bebas mengkolonisasi daerah perakaran tanaman dan menguntungkan bagi akar. Beberapa genus bakteri rizosfer yang diketahui berperan sebagai rizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman adalah Arthrobacter, Azoarcus, Azospirillum, Bacillus, Burkholderia, Enterobacter, Gluconacetobacter, Herbaspirillum, Klebsiella, Paenibacillus, Pseudomonas, dan Serratia (Podile & Kishore 2006). Menurut Widodo (2006) beberapa bakteri antagonis seperti P. fluorescens efektif mengurangi infeksi patogen tular tanah, antraknosa, dan Tobacco mosaic virus (TMV); Bacillus sp. dapat menekan infeksi Cucumber mosaic virus (CMV) dan Tomato mosaic virus (ToMV). Selain itu, hasil penelitian Chasanah (2007) bakteri tahan panas atau Bacillus sp. dapat berperan sebagai agens pemacu pertumbuhan tanaman mentimun dan menyebabkan tanaman tersebut lebih toleran terhadap infeksi Zucchini yellow mosaic potyvirus (ZYMV). B. pumilus strain SE34 menginduksi ketahanan tanaman tembakau untuk menekan infeksi Cucumber mosaic virus (CMV), sedangkan P. flourescens strain CHA0 diketahui memproduksi asam salisilat untuk induksi resistensi terhadap Tobacco necrosis virus (TNV) (Kloepper et al. 2004; Maurhofer et al. 1994) Beberapa agen pengendali hayati seperti P. fluorescens mempunyai mekanisme berbeda yaitu dapat bertindak langsung terhadap patogen seperti, antibiosis dan kompetisi, dan mekanisme tidak langsung seperti menambah ketahanan terhadap patogen dan memacu pertumbuhan pada tanaman. Agen pengendali hayati yang dapat bertahan pada berbagai macam kondisi lingkungan akan menjadi kandidat yang ideal dan berkelanjutan untuk aplikasi jangka panjang (Narayanasamy 2002). Secara umum, mekanisme PGPR dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman adalah PGPR mampu menghasilkan atau mengubah konsentrasi hormon tanaman seperti asam indolasetat (indoleasetic acid = IAA), asam giberelat, sitokinin, dan etilen atau prekursornya (1-aminosiklopropena-1-karboksilat deaminase) di dalam tanaman, tidak bersimbiotik dalam fiksasi N2, melarutkan fosfat mineral, mempengaruhi pembintilan pada akar (Kloepper et al. 2004). 9 Kloepper et al. (2004) mengungkapkan bahwa mekanisme PGPR secara tidak langsung yang sampai saat ini sudah diketahui ialah menginduksi ataupun meningkatkan aktifitas fitohormon, enzim peroksidase, isozime kitinase, isozime beta-1,3-glukanase, asam salisilat, etilen, dan asam jasmonik. Rizobakteri dapat menginduksi ketahananan tanaman dengan menginduksi produksi protein ketahanan sehingga membuat tanaman resisten terhadap infeksi patogen (Van Loon et al. 1998). Spektrum penyakit yang dapat dikendalikan melalui induksi resistensi oleh rizobakteri cukup luas, meliputi cendawan, bakteri, dan virus dalam kacang, anyelir, mentimun, lobak, tembakau, dan tomat (Van Loon et al. 1998). Penggunaan PGPR di dalam pengendalian hayati telah lama dilakukan, namun hasilnya masih belum stabil. Sekarang ini, PGPR telah mulai dikembangkan untuk dimanfaatkan sebagai biostimulant dan bioprotektan agar peran PGPR dapat menyeluruh pada tanaman (Soesanto 2008). Formulasi Rizobakteri Formulasi merupakan tahap awal di dalam usaha pengendalian hayati yang dapat diusahakan secara komersial. Prinsip dari formulasi adalah mencampurkan organisme pengendali hayati dalam bahan pembawa yang dilengkapi dengan bahan tambahan untuk memaksimalkan kemampuan bertahan hidup di penyimpanan, mengoptimalkan aplikasi organisme tersebut, dan melidunginya setelah aplikasi (Burges 1998). Pembentukan formulasi ini bertujuan untuk memperbaiki kemampuan bertahan hidup rizobakteri di lingkungannya, mempermudah dalam penyiapan dan penerapan, serta penyesuaian dengan alat pertanian (Soesanto 2008). Penerapan formulasi disesuaikan dengan alat pertanian, terdapat 2 jenis yaitu formulasi padat dan cair. Formulasi padat terdiri dari debu, butiran, dan briket. Produk kering, khususnya butiran dan briket mempunyai keuntungan, yaitu dapat dengan mudah disebarkan dengan tangan. Penerapan formulasi cair biasanya menggunakan alat penyemprot seperti kantung bertenaga (knapsack) (Soesanto 2008). 10 Prosedur umum aplikasi rizobakteri adalah dengan cara perlakuan benih sebelum penanaman, pencelupan akar bibit pada suspensi rizobakteri pada saat transplantasi, dan penyiraman atau pencampuran tanah (Kloepper et al. 1992). Menurut Soesanto (2008) aplikasi dengan pencampuran tanah lebih mudah jika formulasi dalam bentuk butiran. Butiran adalah massa dengan ciri tersendiri yang berukuran 5-10 mm3. Formulasi dalam bentuk ini sangat mudah dalam cara aplikasinya. Formulasi dapat dengan mudah ditaburkan dengan tangan dengan membenamkannya dalam tanah. Jika dalam skala lapang, penerapan yang dilakukan biasanya menggunakan alat maupun kendaraan seperti traktor. Alat yang digunakan untuk menerapkan jenis formula padat tersebut dirancang khusus agar alat tersebut dapat mengantarkan padatan ke sasaran yang dikehendaki dengan tepat, dan tidak merusak padatan melalui penggerusan atau pemampatan (Burges 1998).