15 BAB II PERUBAHAN BUDAYA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONSEPSI INOVASI BERKARYA, PEREKONOMIAN DAN SOSIAL PADA SENI KARYA BATIK A. Konsepsi Perubahan Kebudayaan Masyarakat dan kebudayaan sangat erat hubungannya. Tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan, begitu pula sebaliknya. Menurut Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri (Cultural-Determinism). Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganik (Layton, 2000:16). Kompleksnya hubungan kebudayaan dengan masyarakat membawa implikasi pengertian kebudayaan yang beragam tergantung masyarakat dan konteks di mana pengertian kebudayaan tersebut muncul. Dalam bahasa Indonesia budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat,1990:181). Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere yang berarti bercocok tanam atau bisa juga diartikan mengolah tanah atau bertani (culvination). Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia (Hari, 2005:51). 16 Beberapa pemikir pun mengartikan kebudayaan atau budaya sebagai berikut: Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat(Hari, 2005:52-60). Secara spesifik Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan atau disingkat budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990:80). Dilain pihak Clifford Geertz mengartikan kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan. Dan lebih sepesifik lagi, E. B Taylor, seperti yang dikutip Hari (2005:52) mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan atau budaya merupakan sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Dan hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari 17 masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat. A.1. Wujud Kebudayaan dan Unsur Kebudayaan Dari berbagai pengertian kebudayaan, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. J. J Honigmann dalam Koenjtaraningrat (1990:186) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan yaitu: (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact, dan ini diperjelas oleh Koenjtaraningrat yang mengistilahkannya dengan tiga wujud kebudayaan: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasangagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Mengenai wujud kebudayaan ini, Koenjtaraningrat menjelasankannya sebagai berikut: (1).Wujud Ide. Wujud ini menunjukan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya 18 abstrak, tidak dapat diraba, dipegang ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Wujud ide ini mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini bisa juga disebut adat istiadat. (2).Wujud perilaku. Wujud ini juga dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan bahasa. (3).Wujud Artefak. Wujud ini disebut juga kebudayaan fisik, dimana seluruhnya merupakan hasil fisik. Sifatnya paling konkret dan bisa diraba, dilihat dan didokumentasikan (Koenjtaraningrat ,1990:187-188). Disamping wujud kebudayaan, juga dikenal apa yang disebut sebagai unsur kebudayaan. Mengenai unsur kebudayaan, Koenjtaraningrat, mengambil sari dari berbagai kerangka yang disusun para sarjana Antropologi, mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia yang kemudian disebut unsur-unsur kebudayaan universal, antaralain: Bahasa, Sistem Pengetahuan, Organisasi Sosial, Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, Sistem Mata Pencaharian, Sistem Religi, dan Kesenian (Koenjtaraningrat, 1990:203). A.2. Perubahan Budaya, Transformasi, dan Inovasi Budaya Budaya bersifat dinamis dapat berubah seiring perkembangan zaman. Budaya dapat berubah atau mengalami transformasi kebudayaan. Van Peursen melihat 19 transformasi kebudayaan atas tiga tahap: tahap mitologis, ontologis, dam fungsional. Menurutnya transformasi budaya tidak berarti sedang menuju suatu tahapan yang lebih tinggi, tetapi pada suatu hal yang berbeda sifatnya saja. Van Peursen berpendapat bahwa proses transformasi itu terjadi bersamaan dengan penyelewengannya, misalnya pada tahap mitos dapat dilihat pada praktek magis yaitu usaha menguasai orang lain atau proses-proses alam dengan ilmu sihir. Dalam tahap ontologism dapat dilihat adanya usaha untuk menjadikan manusia dan nilai-nilainya menjadi suatu benda, barang, atau subtansi yang terpecah-pecah satu sama lain. Pada tahap funsional kita saling memperlakukan diri sebagai buah-buah catur, nomornomor, manuasia dijadikan sekrup dalam sebuah mesin raksasa (Van Peursen, 2009: 27). Hal-hal yang menyebabkan suatu budaya berubah adalah, pertama, budaya berubah bisa dari masyarakat dan kebudayaan itu sendiri. Seperti perubahan jumlah dan komposisi penduduk. Kedua, terjadinya perubahan di dalam budaya adalah oleh perubahan lingkungan alam dan lingkungan fisik tempat budaya itu berada (Hari, 2005:67-68). Dengan demikian masyarakat dan kebudayaan dimanapun selalu dalam keadaan berubah, sekalipun masyarakat dan kebudayaan primitif yang terisolasi dari berbagai hubungan dengan masyarakat lainnya. Gerak kebudayaan adalah gerak manusia yang hidup dalam masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan tadi. Gerak manusia terjadi oleh karena ia mengadakan hubungan-hubungan dengan manusia lainnya. Artinya karena terjadi hubungan antar kelompok manusia di dalam masyarakat . Proses-proses ini akan melahirkan makna, nilai dan simbol yang 20 melahirkan corak khas yang terjadi dalam dinamika kehidupan pada komunitas masyarakat tertentu (Nanang Rizali, 2013:39). Disamping perubahan kebudayaan, masayarakat juga mengalami perubahan sosial. Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan berbeda. Dalam perubahan sosial terjadi perubahan struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial. Perubahan sosial adalah perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya (Jenks, 2013:33). Sedangkan perubahan kebudayaan terjadi apabila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu dengan lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para warga masyarakat atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan (Kaplan, 1999:124). Di dalam proses perubahan budaya dan sosial di atas terjadi proses transformasi yang seirama dengan perubahan hidup masyarakat. Perubahan itu berasal dari pengalaman baru, pengetahuan baru, teknologi baru, dan akibatnya pada penyesuaian cara hidup baru. Dalam situasai ini perangkat nilai yang berkembang di masyarakat merupakan kunci diterimanya kebudayaan baru tersebut. Dengan demikian, transformasi budaya juga diikuti pula oleh perubahan sistem nilai lama menjadi sistem nilai baru yang diikuti oleh usaha-usaha yang bersifat kemajuan (Agus, 2002:117). 21 Pada umumnya unsur-unsur kebudayaan asing yang mudah diteruma adalah unsur kebudayaan kebendaan seperti peralatan yang terutama sangat mudah dipakai dan dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat yang menerimanya, Unsur-unsur yang terbukti membawa manfaat besar, dan Unsur-unsur yang dengan mudah disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang menerima unsur-unsur tersebut. Sedang unsur-unsur kebudayaan yang sulit diterima oleh suatu masyarakat adalah Unsur yang menyangkut sistem kepercayaan dan Unsur-unsur yang dipelajari pada taraf pertama proses sosialisasi (Koentjaraningrat, 1990:255). Bisa juga dikatakan dalam proses perubahan tersebut terjadi akulturasi budaya dimana unsur-unsur kebudayaan asing bertemu dan bercampur dengan unsur kebudayaan si penerima. Proses akulturasi yang berjalan dengan baik dapat menghasilkan integrasi antara unsur-unsur kebudayaan asing dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri. Dengan demikian unsur-unsur kebudayaan asing tidak lagi dirasakan hal yang berasal dari luar. Unsur-unsur asing yang diterima tentunya terlebih dahulu mengalami proses pengolahan, sehingga bentuknya tidaklah asli lagi seperti semula (Hari, 2005:106). Dalam proses ini masyarakat yang terkena proses akulturasi selalu ada kelompok-kelompok individu yang sukar sekali atau bahkan tak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Beberapa faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya suatu unsur kebudayaan baru diantaranya (1).Terbatasnya masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan dengan orangorang yang berasal dari luar masyarakat tersebut. (2).Jika pandangan hidup dan nilai- 22 nilai yang dominan dalam suatu kebudayaan ditentukan oleh nilai-nilai agama dan ajaran ini terjalin erat dalam keseluruhan pranata yang ada, maka penerimaan unsur baru itu mengalami hambatan dan harus disensor dulu oleh berbagai ukuran yang berlandaskan ajaran agama yang berlaku. (3).Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan kebudayaan baru. (4). Suatu unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang menjadi landasan bagi diterimanya unsur kebudayaan yang baru tersebut. (5). Apabila unsur yang baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas dan dapat dengan mudah dibuktikan kegunaannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan (Layton, 2000:35-37). Secara terus-menerus budaya mengalami transformasi. Orang-orang maupun masyarakat selalu bepergian dari satu tempat ke tempat lain dan bersama dirinya mereka membawa dan menerima pengaruh-pengaruh budaya yang berbeda-beda. Berbagai perubahan yang terjadi sepanjang waktu di masayarakat manapun akan meninggalkan jejaknya di dalamnya terdapat beraneka macam bentuk budaya dan juga pada cara-cara budaya beserta hasil-hasil kebudayaan tersebut diciptakan, didistribusikan, dan diserap. Proses penyerapan budaya ini akan melalui sebuah tahapan dan saluran yang termasuk dalam ranah difusi budaya (Suyantiningsih, 2011:4). Dalam teori Difusi Inovasi Rogers dan Everett.M , menyampaikan pandangan bahwa suatu proses inovasi disampaikan melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota masyarakat dari sebuah sistem sosial. Lebih jauh tokoh ini menyampaikan bahwa Difusi Inovasi merupakan bentuk kominikasi yang 23 bersifat khusus berupa pesan-pesan suatu gagasan baru , kreasi baru yang diadopsi atau digunakan dalam kelompok mayarakat tertentu. Sesuai pemikiran Rogers dalam proses inovasi terdapat 4 elemen pokok, yaitu: 1. Inovasi yaitu gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. 2. Saluran komunikasi yaitu alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Alat berupa sistem teknologi atau media massa. 3. Jangka waktu yaitu proses keputusan inovasi dari seseorang untuk menerima atau menolaknya. Yang terlihat dalam proses pengambilan keputusan inovasi, keenovasian seseorang dan kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial. 4. Sistem sosial yaitu kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terkait dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dan tujuan bersama. Lebih lanjut Rogers (1995 dalam Suyantiningsih, 2011:6) menyampaikan dalam keputusan inovasi tingkat adopsi mencakup: (1).Atribut inovasi, (2). Jenis keputusan inovasi, (3). Saluran inovasi, (4). Kondisi sistem sosial dan (5). Peran Agen perubah. Untuk tahapan pengambilan keputusan inovasi mencakup: 1. Tahap munculnya Pengetahuan(Knowledge) ketika seseorang atau unit pengambilan keputusan diarahkan keuntungan/manfaat dan fungsi inovasi. untuk memahami ekssistensi dan 24 2. Tahap Persuasi (Persuasions) ketika individu atau unit pengambil keputusan mengambil sikap baik atau tidak baik. 3. Tahap Keputusan (Decisions) ketika seseorang atau unit pengambil keputusan terlibat dalam aktifitas yang mengarah pada pemilihan adaopsi atau penolakan sebuah inovasi. 4. Tahap Implementasi (Implementations) ketika seseorang individu atau unit pengambilan keputusan menetapkan suatu penggunaan inovasi. 5. Tahap Konfirmasi (Confirmations) ketika seseorang individu atau unit pengambilan keputusan mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya. Kategori adopter dalam lingkungan sistem sosial, (Rogers, 1995 dalam Suyatiningsih, 2011:15) membagi dalam lima kategori yaitu: 1. Inovator (yang pertama mengabdosi inovasi), crinya: petualang,berani mengambil resiko, bergerak cepat, cerdas dan memiliki kemampuan ekonomi tinggi. 2. Early Adopters (perintis atau pelopor yang menerima inovasi), cirinya: para teladan/pemuka pendapat, orang yang di hormati, akses di dalam tinggi. 3. Early Majority (Pengikut dini), cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi, 4. Late Majority (Pengikut akhir) cirinya: pertimbangan ekonomi atau tekanan sosial. skeptis, menerima karena 25 5. Langgards (kelompok kolot/tradisional). Cirinya: kaum tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinium leaders, dan sumber daya terbatas. Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National Centre for the Disseminations of Disability Research (NCDDR), (1996), menyebutkan ada empat dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu: 1. Dimensi sumber (Source), yaitu intitusi, organisasi, atau individu yang bertanggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru. 2. Dimensi Isi (Contens), yaitu pengetahuan , produk baru, bahan dan informasi lainnya. 3. Dimensi Media (Medium), yaitu cara atau metode pengetahuan atau produk dikemas dan disalurkan. 4. Dimensi Pengguna (User), yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk inovasi. A.3. Pengaruh budaya pada sosial masyarakat Kebudayaan kita adalah suatu kebudayaan instrumental yang mudah dan terus akan berubah sesuai dengan tuntutan masyarakat, zaman, dan pertemuan-pertemuan antar kebudayaan. Kebudayaan di sini dipandang sebagai suatu konstruksi realitas yang secara terus menerus berkembang menyesuaikan diri dengan perubahan realitas. Perubahan budaya terjadi di dalam interaksi antar individu (individu adalah produk dan juga produsen budaya sekaligus). Sedang agen perubahan budaya merupakan kelompok individu, atau kelompok-kelompok sosial atau subkultur, unit dasar interaksi sosial di mana inovasi budaya terjadi (Beilharz, 2005:87). 26 Dalam konteks ini kebudayaan lebih dilihat sebagai keseluruhan jalan hidup yang dilihat sebagai “seni” sekaligus nilai, norma, dan benda simbolis kehidupan sehari-hari. Meskipun kebudayaan memberikan perhatian kepada tradisi dan reproduksi sosial, kebudayaan juga soal kreativitas dan perubahan (Barker, 2004:9). Lebih jauh Barker mengungkapkan bahwa konsep kebudayaan ini lebih mengarah konsep antropologis karena berpusat pada kehidupan sehari-hari yakni pada nilai (gagasan abstrak), norma (prinsip atau aturan terbatas) dan benda-benda simbolis atau material. Makna dibangun bukan oleh individu namun oleh kolektif sehingga gagasan kebudayaan mangacu kepada makna yang dimiliki bersama. Pada dasarnya, J.H. Steward mengatakan bahwa proses perkembangan kebudayaan di dunia ini memiliki corak khas dan unik. Proses perkembangannya tidak terlepas antara satu dengan lainnya, dan bahkan ada beberapa diantaranya tampak sejajar, terutama pada sistem mata pencaharian hidup, sistem kemasyarakatan, dan system religi. Pada dasarnya ada tiga pandangan untuk mamahami proses perkembangan kebudayaan. Pandangan pertama, beranggapan bahwa kebudayaan bersifat superorganik dan merupakan wujud tertinggi dari para individu pendukung suatu kebudayaan. Kebudayaan mengandung berbagai fakta sosial dan merupakan gambaran kolektif untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaan para individu. Pandangan kedua sering dipergunakan oeh para ahli antroplologi, dikatakan bahwa kebudayaan hanya merupakan suatu konsep untuk suatu konstruksi. Melalui pandangan ini bisa menjelaskan dan menggambarkan berbagai tingkah laku dan yang dihasilkan oleh mahkluk manusia. Pandangan ketiga, pandangan yang melihat bahwa 27 kebudyaan itu bersifat abstrak dan merupoakan suatu konstruksi bukannya suatu entitas yang dapat diperhatikan secara menyeluruh (Harry, 2005:72). Kebudayaa sebagai ciptaan atau warisan hidup bermasyarakat adalah hasil dari daya cipta atau kreativitas para pendukung kebudayaan dalam rangka berinteraksi dengan lingkungan, yaitu dalam rangla memenuhi keperluan biologi dan kelangsungan hidupnya sehingga ia mampu bertahan hidup. Untuk itu manusia mempergunakan segala sumber yang ada di sekitarnya secara teratur dan tersusun, menciptakan peralatan dan teknik-teknik untuk mambantu menghasilkan berbagai bahan berguna bagi keperluan hidup sekaligus juga memperlajari sifat-sifat alam (Geertz, 2003:174176). B. Karya seni dalam konteks kebudayaan Dalam konteks sejarah kebudayaan, di berbagai masyarakat terdapat beragam jenis dan bentuk cara masyarakat mengekspresikan diri atau mengkomunikasikan diri baik dalam skala kecil maupun bersama-sama dalam wujud seni. Banyak masyarakat yang memiliki bentuk dan jenis kebersamaan yang mereka lakukan melalui ekspresi kesenian. Karya seni pun menjadi media untuk menyatakan diri secara bersama-sama maupun secara personal. Disini bertemulah antara kesadaran jagat alit (micro cosmos) dengan jagat gede (macro cosmos) yang secara sosiologis berupa praktek dan wujud relasi, ikatan sosial warga ke dalam sistem nilai yang bersifat holistik, menyatukan seluruh kandungan enerji personal dan sosial ke dalam keyakinan dalam bentuk kebersamaan pada perspektif kesenian yang di ciptakan oleh estetika social. Rasa keindahan dalam persepsi dan kerja bersama yang diwujudkan dalam praktek ritual 28 atau upacara melalui seni pertunjukan (musik, tari dan teater), senirupa tradisi baik berupa busana, wayang, keris, gamelan dan berbagai ketrampilan rupa lainnya (Dharsono, 2007:7) Karya seni dalam perjalanannya akan bersinergi dengan sebuah budaya yang terkait pada masyarakat social yang mendukungnya. Masyarakat tersebut merupakan struktur sosial yang meliputi mekanisme, proses dan intitusi yang menggerakkannya (Zolberg, 1990:134) B.1 Karya seni dalam konteks sosial masyarakat Memperbincangkan kesenian dan karya seni dalam konteks social budaya menjadi hal yang selalu menarik karena kedinamisan makna di dalamnya. Seperti yang ditulis oleh Brandon bahwa kesenian di Asia Tenggara selalu dijadikan sebagai alat berkomunikasi. Para seniman berharap para penonton dapat memahami apa yang seniman komunikasikan lewat seni dan para penonton berharap bisa memahami seni yang sedang mereka tonton (Brandon, 2003:21). Pemikiran Brandon ini bisa dijadikan kerangka untuk melihat kembali kesenian dalam konteks budaya yaitu dengan menempatkan karya seni dalam ruang sosial budaya tertentu atau lewat pemahaman peristiwa-peristiwa dan berbagai macam pemaknaan yang berkaitan dengan pengalaman dan logika praktek kreator seni, penonton, wacana seni, dan bagaimana kode-kode kultural dari kesenian tersebut dimaknai bersama. Hal yang tidak kalah penting, bagaimana peran Negara terhadap kehidupan kesenian. Menurut Clifford Geertz banyak dari kehidupan seni budaya yang diatur oleh Negara dalam rangka pengukuhan status negara sebagai “pusat teladan”. 29 Negara mengatur kehidupan seni, karena kehidupan seni tersebut bisa menjadi pameran kekuatan dan kemegahan penguasa atau negara. Negara menciptakan kekuatannya dari tenaga imajinatif dan kemampuan semiotiknya untuk membuat ketidaksamaan menjadi indah (Geertz, 2000:88). Dalam konteks sosial yang menjadi permasalahan dalam kesenian adalah bagaimana menilai keindahan atau estetika. Umunnya keindahan dianggap terdapat dalam gejala atau wujud itu sendiri, yang meliputi tindakan, benda, dan suasana yang berlangsung. Keindahan dipandang seakan-akan berada di luar diri manusia yang mengalami. Estetika dalam dunia seni diperoleh dari segala macam rasa yang merupakan tanggapan manusia yang diperoleh lewat indera penglihatan, peraba, pencium, pengecap, dan pendengarannya. Sehingga estetika demikian merupakan tanggapan manusia atas pengalaman ketubuhannya. Sebagai tanggapan manusia atas pengalaman ketubuhannya, estetika bersifat budayawi (kultural) dalam arti bahwa tanggapan atas pengalaman-pengalaman tadi diperoleh manusia lewat proses pembudayaan diri, internalisasi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat melalui berbagai macam interaksi sosial. Tidak salah bila Clifford Geertz berpendapat bahwa seni merupakan sebuah sistem budaya (Geertz, 2003:129). Menurut Clifford Geertz, kebudayaan berarti suatu pola makna yang dituturkan secara historis, yang diejawantahkan dalam simbolsimbol, suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang menjadi sarana manusia untuk menyampaikan, mengabdikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang sikap-sikap mereka terhadap hidup. 30 Keputusan tersebut menjadi sebuah konsep yang diejawantahkan dalam simbol, Konsep yang terungkap dalam bentuk simbolis, merupakan pusat minat dan penelitiannya. Bentuk-bentuk simbolis, dalam suatu konteks sosial yang khusus, mewujudkan suatu pola atau sistem yang dapat disebut kebudayaan. Menafsirkan suatu kebudayaan adalah menafsirkan sistem bentuk simbolnya dan dengan demikian menurunkan makna yang otentik. Menafsirkan karya seni dalam konteks social budaya selalu berhubungan dengan menafsirkan pikiran-pikiran kreator dan konteks apa kesenian tersebut muncul. Untuk memasuki wilayah ini maka teori antropologi seni bisa menjadi pintu masuk melihat permaslahan tersebut. Seperti diketahui antropologi seni menempatkan karya seni sebagai produk budaya yang saling berkaitan dengan makna yang berhubungan dengan relasi sosial, praktek dan pengalaman-pengalaman si kreatornya (masyarakat dan pendukungnya). Seperti yang ditulis Heddy Shri Ahimsa Putra, salah satu pendekatan dalam antropologi seni yang sering dipakai dalam mengkaji kesenian adalah pendekatan kontekstual. Pendekatan ini untuk memahami fenomena kesenian secara holistik agar si pengkaji seni atau peneliti dapat melihat kesenian menjadi lebih komprehensif, lebih utuh. Melalui pendekatan semacam ini dapat mengetahui bahwa proses-proses kreatif dalam simbolisasi ide dan perasaan kedalam berbagai bentuk kesenian tidak dapat lepas dari konteks sosial dan budaya tempat individu berada dan dibesarkan (Heddy, 2000:414). 31 Lewat teori-teori di atas maka kesenian dalam konteks social akan dapat dilihat secara menyeluruh. Baik lewat bentuk kesenian itu sendiri lewat media dan bentuk ekspresinya maupun lewat wacana kebudayaan yang melatarbelakangi munculnya kesenian baik lewat latar belakang budaya si kreator kesenian maupun makna yang diberikan oleh orang-orang terhadap kesenian tersebut. Dengan demikian, teori-teori tersebut akan dapat menyingkap beragam makna yang terkandung dalam kesenian maupun konteksnya. Melalui konteks sosial budaya ini kesenian memperlihatkan bahwa wilayah penciptaan atau kreasi seni menjadi kompleks. Seni bukan lagi sekadar menyangkut kreatifitas seniman, namun seni menjadi kerja kreatif yang terkait dengan mata rantai proses kebudayaan, masyarakat luas, dan konteks social budaya. Hasil dari proses ini adalah memberi pengalaman estetis kepada masyarakat luas. Dengan kata lain, karya seni berfungsi melalui aspek keindahanya yaitu memberikan kesenangan dan ketenangan indrawi dan menggembirakan batin, kenikmatan dan kesejukan, keharmonisan dan keserasian kepada masyarakat luas sebagai penonton atau apresian (Nyoman, 2011 dalam Jakob, 2000:53). Seseorang yang berhadapan dengan keindahan tersebut akan merasa terpaku, terharu, terpesona dan timbul hasrat untuk mengalami kembali pengalaman-pengalaman itu karena peran panca indera yang mampu menangkap rangsangan untuk diteruskan ke dalam kalbu (Djelantik, 1999:2). Tentu saja kesenian tidak hanya memberikan pengalaman estetis bagi publik atau penonton. Karena kesenian, menurut Brook, mampu menciptakan citra-citra (creating images) yang dapat menciptakan suatu dunia yang terpisah dari dunia yang 32 mengelilinginya yaitu dunia nyata, suatu dunia ilusi ke mana para penonton terserap masuk ke dalamnya (Brook, 2002:56). Kesenian yang membawa penonton pada pengalaman estetis dan pengalaman seni tersebut akan tertinggal sebagai sebuah pengalaman untuk mencari dan menemukan, membongkar dan membentuk kembali, mempertanyakan nilai-nilai lama dan mengajukan nilai-nilai baru tradisi dan kekinian. Dalam konteks ini karya seni mempunyai nilai sosial ketika bersinggungan dengan khalayak secara luas (Feldman, 1981:42). Pemikiran Feldman tersebut menempatkan kesenian tidak lagi menjadi sekadar karya seni, namun kesenian mempunyai fungsi sosial karena ia akan mempengaruhi khalayak. Lewat pandangan ini karya seni atau kesenian tidak lagi berjarak dengan ruang social budaya yang melingkupinya. Dengan demikian, kesenian atau pun karya seni sebagai hasil hanya dapat diberi makna bersama masyarakatnya dalam wacana budaya tertentu. Di sinilah karya seni bersinggungan dengan nilai-nilai lain. Nyatalah bahwa penciptaaan seni makin tidak bebas dari sebab akibat di luar dirinya atau konteks social budaya di mana kesenian itu muncul (Nirwan, 2000:76). Begitu banyak narasi yang terangkai atau bisa dicantumkan pada kesenian dan karya seni. Karya seni tidak menjadi medan bertemunya berbagai kepentingan. Dalam konteks ini karya seni bukan lagi benda mati, melainkan menjadi sebentuk metafora makhluk hidup yang mempunyai kehidupan, vitalitas atau “sesuatu yang hidup” di dalam karya tersebut (Langer, 2006:77). 33 B.2. Karya seni dalam konteks ekonomi dan mata pencaharian Kesenian mempnyai hubungan yang erat dengan proses ekonomi. Salah satu dari fungsi seni, demikian menurut L.H. Chapman, adalah fungsi ekonomi. Ketika seniman menciptakan sebuah karya seni, tujuannya tidak sekadar pencapaian nilai artistik, namun juga mempunyai tujuan atau fungsi lain yaitu fungsi ekonomi. Dalam konteks ini, fungsi ekonomi bisa juga menjadi sebentuk dukungan komersial yang merupakan bentuk dukungan kesenian dalam sistem masyarakat modern dan sistem ekonomi yang digerakan oleh pasar. Dukungan ekonomi atau komersial semacam ini menjadi isu penting dalam kehidupan sehari-hari. Teori dari Karl Marx kerap diaplikasikan untuk membaca hubungan antara produksi artistik, dalam konteks ini karya seni, dengan produksi material, dalam konteks ini ekonomi, adalah teorinya tentang struktur masyarakat. Marx melihat bahwa dalam sebuah masyarakat terdapat dua buah struktur, yakni struktur atas atau suprastruktur dan struktur bawah atau basis. Suprastruktur secara umum terdiri dari entitas kesadaran, sedangkan basis struktur secara umum terdiri dari entitas material. Seni seperti halnya hukum, ilmu, politik, filsafat, ideologi merupakan bagian dari entitas kesadaran atau suprastruktur, sedangkan ekonomi merupakan bagian dari entitas materi atau basis struktur. Pola relasi antara keduanya, dalam kerangka tesis materialis yang diungkapkan oleh Marx, yaitu materi yang menentukan kesadaran, bukan sebaliknya. Pada titik ini pola relasi antara basis struktur dan suprastruktur tidak lain adalah turunan dari tesis tersebut yaitu basis struktur dari masyarakat (materi : ekonomi) yang menentukan suprastruktur dari masyarakat (kesadaran: seni, hukum, 34 ideologi, ilmu). Dengan demikian, seni sebagai bagian dari suprastruktur masyarakat secara teoretis ditentukan oleh kondisi ekonomi sebagai basis strukturnya (Dede, 2011:97). Menurut Marx Seni menjadi satu bentuk kerja yang teralienasi karena seni berubah status menjadi komoditi dalam pasar. Pasarlah yang membuat jarak semakin lebar antara produsen dan konsumen. Implikasi lebih lanjut adalah bahwa kompetisi untuk mendapatkan keuntungan kemudian mempengaruhi macam kebudayaan yang sebaiknya diproduksi. Meskipun demikian, menurut Marx seni tetap mengandung potensi untuk menciptakan berbagai kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat. Seni mempunyai kapasitas untuk menciptakan kepenuhan bagi kebutuhan akan pendidikan dan kenikmatan estetis yang tidak pernah terpuaskan dalam masyarakat (Greg, 2003:97). Ekonomi menjadi salah satu faktor determinan dalam kehidupan kesenian. Ini ditenggarai dengan kesibukan kesenian lewat karya seninya bersaing dalam merebut konsumen. Ekonomi dalam percaturan dunia kesenian ini dipahami sebagai sesuatu yang luas dan kompleks. Di dalamnya terlibat asas-asas produksi dengan disertai upaya distribusi dan penggunaan produk-produk yang dihasilkan di masyarakatnya dan pada akhirnya hal-hal ekonomis yang bermuara pada pemenuhan kebutuhan hidup manusia, pelakunya yang mempunyai peranan yang signifikan dalam gerak-gerik perkembangan penciptaan seni (Agus Dermawan, 2003:44). Era sekarang kekayaan budaya berupa kesenian dan karya seni mendapat perhatian lebih karena dunia memasuki peradaban keempat dengan sebutan era kreatif 35 sebagai kelanjutan dari gelombang ekonomi informasi yang menempatkan kreativitas dan inovasi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Ekonomi kreatif yang bersumber dari ide, seni, dan teknologi diyakini akan tumbuh berkembang dengan pesat dan potensi ekonomi kreatif di dunia banyak memberikan kontribusi bagi perekonomian negara yang mengembangkannya (Defillippi, 2006:35). Ekonomi kreatif sering disebut sebagai ekonomi budaya, ekonomi seni, ekonomi desain, ekonomi pengetahuan, dan ekonomi konseptual. Semuanya mempunyai kesamaan pandangan bahwa kreativitas dan inovasi individu serta kekayaan budaya menjadi inti peningkatan produktivitas ekonomi dan daya saing (Patt dan Jeffcut, 2009:9). Wujud nyata dari usaha berbasis ekonomi kreatif adalah industri kreatif (Hartley, 2005:18). Lebih lanjut Hartley menyatakan bahwa industri kreatif sebagai industri yang mengandalkan kreativitas individu, keterampilan serta talenta yang memiliki kemampuan meningkatkan taraf hidup dan penciptaan tenaga kerja melalui penciptaan gagasan dan eksploitasi Hak Cipta Karya. B.3. Batik Sebagai Karya Seni Hasil kesenian suatu wilayah dipengaruhi oleh berbagai hal yang meliputi; sistem sosial masyarakatnya, mata pencaharian, wilayah dan alam tempat mereka tinggal, kepercayaan dan ragam manusianya. Keadaan ini akan mempengaruhi secara keseluruhan atau sebagian tergantung kekuatan kelompok masyarakat di suatu wilayah. Daerah-daerah yang berdekatan yang memberikan pengaruh akan mudah diterima apabila terjadi sebuah hubungan timbal balik yang terbingkai pada suatu kepercayaan dan mata pencaharian (Turner, 2002:163). Hal tersebut terjadi karena 36 daerah atau masyarakat tersebut saling berinteraksi dalam simbiosis yang menguntungkan sehingga kebudayaan lebih berkembang. Indonesia sebagai negara yang sebagian besar penduduknya adalah masyarakat agraris dengan kepercayaan awal animisme dan dinamisme, kebudayaan dan seni yang berkembang bersifat magis-religi. Hal ini terjadi pula di daerah Surakarta dan sekitarnya. Keraton yang dulu merupakan sentral kekuasaan dan pencetus doktrin peraturan berpengaruh besar terhadap daerah di sekitarnya. Pengaruh-pengaruh ini meliputi norma-norma, aturan, ritual, adat istiadat dan hasil-hasil keseniannya (Dharsono, 2007:68). Masyarakat Agraris rata-rata memiliki waktu yang luang untuk mengisinya dilalui dengan berkesenian sebagai ekspresi diri dalam masyarakat sosialnya. Tendensi berkesenian ini sesuai dengan keyakinan, adatnya serta kebutuhan hiburan atau ritual yang di ilhami oleh penguasa. Bentuk-bentuk kesenian dan kerajinan yang ada lebih disesuaikan dengan apa yang mereka dapatkan pada alam sebagai tempat tinggal. Profesi dan keadaan alam berpengaruh pada kondisi masyarakat yang dipahami sebagai rahmad untuk diolah dan dijadikan sumber mata pencaharian. Daerah pengrajin batik di Sragen merupakan wilayah yang terletak di aliran bengawan Solo. Secara geografi wilayahnya berada di sebelah barat wilayah kabupaten Sragen. Daerah ini merupakan wilayah pertanian tadah hujan dan sebagian besar masyarakatnya hidup sebagai petani. Karena sektor pertanian yang kurang baik, para petani di daerah tersebut sering berurbanisasi di daerah Solo untuk mencari tambahan penghasilan. Berangkat dari kondisi inilah para petani tersebut memiliki 37 profesi ganda. Disaat musim tunggu panen sebagian petani menjadi tenaga kerja di industri-industri batik di Solo. Penyerapan teknik berkarya terjadi dalam kurun waktu yang panjang sehingga masyarakat di daerah Plupuh, Tanon, Kliwonan dan Pilang tumbuh sebagai pengrajin batik, tak terlepas untuk desa Pungsari. Seiring berjalannya waktu daerah-daerah tersebut tumbuh sebagai pengahasil produksi batik yang memiliki karakter berbeda-beda. Karakter yang terjadi merupakan bentukan dari sebuah kondisi geografi, sumber mata pencaharian dan adanya kesempatan adapatasi, akulturasi dan difusi kebudayaan. Berawal dari kebutuhan untuk mencukupi mata pencaharian industri batik di daerah Pungsari lebih mementingkan kebutuhan pasar. Secara teknik sering sekali memadu padankan berbagai cara untuk mengejar waktu produksi dan jumlah. Kondisi ini kemudian melahirkan produk batik kombinasi. C. Dinamika Batik Batik merupakan karya tekstil klasik yang penuh dinamika, berawal dari abad IX yang dibuktikan dengan adanya tulisan pada batu karang yang berisi tentang polapola dan jenis tekstil yang pantas dipakai oleh raja atau pejabat golongan tinggi,menengah dan golongan yang lebih rendah. Pada batu karang tersebut memberikan petunjuk pula tentang inventarisasi maksud dari pola-pola tersebut (Dharsono, 2007:68). Dinamika batik, dikaji secara sejarah muncul seputar tahun 1769, pada saat itu Susuhunan Surakarta Hadiningrat mengeluarkan peraturan formal (jawa:Pranatan). Adanyan larangan bahwa motif :”Jilamprang” dilarang dipakai oleh siapapun kecuali Susuhunan sendiri dan putra-putrinya. Pada tahun 1785 Sultan Yogyakarta 38 merencanakan motif Parang Rusak untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga keraton. Lewat Pengageng (pejabat yang berwenang) pada tahun 1792 dan 1798 mengeluarkan adanya batasan penggunaan motif-motif tertentu dilingkungan keraton yaitu beberapa corak seperti sawat lar, parang rusak,cumengkirang dan udan liris (Darsono, 2007:8). Sejalan adanya peraturan tersebut lahir pula penganugerahan bagi rakyat biasa yang bekerja sebagai pembatik keraton diberikan gelar ”Hamong Kriya” yang berarti abdi dalem Kriya yaitu para pembatik wanita yang memiliki keahlian lebih dibidang batik dan ditempatkan di keputrian. Tugasnya adalah membimbing puteri-puteri keraton dalam membatik (Darsono, 2007:9). Dengan peristiwa sejarah tersebut secara tidak langsung timbul legitimasi tentang Batik di keraton. Dalam perkembangnya, batik tersebut oleh Raja disebut Batik Istana yang selanjutnya disebut Batik Klasik (Santosa, 2002:54). Legitimasi-legitimasi diatas mampu membedakan keberadaan tingkatan dan status seseorang dalam masyarakat. Dengan melihat pakaian yang digunakan dapat dilihat perbedaan bangsawan dan rakyat biasa. Peraturan tersebut untuk selanjutnya melahirkan corak batik Istana, Batik Saudagar dan batik Petani atau rakyat biasa (Santosa, 2002:55). C.1. Batik Keraton (Batik Istana atau Batik Klasik) Batik keraton adalah jenis batik yang memadukan ragam hias utama batik Kraton Mataram (Santosa, 2002:112). Batik ini muncul dari legitimasi kerajaan masing-masing yang merupakan wilayah bekas mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung. Kekuasaan Mataram yang meliputi hampir seluruh pulau jawa, bahkan 39 sampai ke Palembang, Jambi, Banjarmasin dan Madura berpengaruh pada segala kegiatan termasuk wastra Batik. Adanya perkawinan antara keluarga Mataram dan daerah kekuasaan membawa corak batik keraton Mataram yang dipadu dengan Ragam hias daerah tersebut. Secara garis besar Motif utama dari Mataram jelas terlihat pada ornamen pokok Garuda, Sawat , Lar-laran dan Pohon hayat. Warna tradisi batik Mataram ( Biru, Hitam, coklat, kuning dan putih) masih terlihat dalam karya batik Keraton diluar Surakarta dan Yogyakarta (Santosa,2002:57). Dalam segi pewarnaan batik Klasik mempergunakan Warna Alam. Eksistensi batik keraton atau istana bertahan hingga akhir abad XVIII, Setelah adanya kolonial yang membawa konsep Industrialisasi dan Politik Pecah Belah, Batik Keraton mulai ada pergeseran dalam hal teknik dan pewarnaan. Pelaku produksipun tidak terbatas pada Hamong Kriya namun keluarga Hamong kriya dan masyarakat diluar Istana sudah mulai memproduksi Batik. Motifmotif larangan tetap dihargai dan dihormati , motif keraton diolah dengan menambah ragam hias yang lebih bervariasi (Santosa, 2002:125). Dan batik inilah yang berkembang sebagai batik Saudagar dan Batik Petani. C.2. Batik Saudagar Keraton sebagai pusat kekuasaan, seni dan budaya pada masyarakat jawa besar peranannya dalam tata kehidupan dan perilaku masyarakat (Darsono, 2002:10). Kebijakkan dan peraturan tentang motif batik dan batasan penggunaannya yang dikeluarkan oleh raja Jawa (Solo dan Yogyakarta) pada abad XVII sangat populer, hingga Batik merupakan pakaian eksklusif para Bangsawan. Namun hal tersebut 40 bertahan kurang lebih satu abad, menginjak akhir abad XVIII batik mulai kehilangan sifat eksklusifnya (Kitley,1987 dalam Darsono, 2007:9). Masuknya rakyat biasa (Hamong Kriya) kedalam keluarga istana menunjukkan adanya kerja sama dan saling ketergantungan antara pengrajin batik dan keraton yang menjembatani antara Keluarga raja dan rakyat biasa, tak terlepas cara berkeseniaannya. Para Hamong Kriya secara tidak langsung menyerap konsep batik Istana dalam hal makna dan simbolisnya. Di lain pihak para Hamong kriya memberikan ketrampilan membatik kepada puteri-puteri kraton. Masuknya imperialisme di Surakarta dan Yogyakarta membawa perubahan besar pada setiap aspek kehidupan tak terkecuali Batik. Para Hamong Kriya yang sebelumnya mendapatkan fasilitas dari raja, karena situasi politik dan peperangan memaksa mereka berkarya diluar Istana. Keluarga Raja cukup memesan Batik yang pengerjaanya tetap dilakukan oleh para Hamong Kriya dan mereka memproduksi diluar Istana. Secara tidak langsung terjadi proses produksi masal (Darsono, 2002:7174). Keterbukaan cara produksi dan tututan kehidupan membuka peluang bagi masyarakat luar kraton yang mampu (Saudagar) untuk memesan Batik menurut selera mereka kepada para Hamong Kriya. Salah satu Hamong Kriya tersebut adalah keluarga Wicitran (Ny.Reksowicikro) persaingan yang ketat dan permintaan pasar yang meningkat dan berkurangnya topangan penghasilan dari istana trah Wicitran membuat sebuah industri batik masal (Darsono,2002:11). Selaras dengan itu bermunculan perusahaan-perusahaan batik di daerah Laweyan, Kampung Sewu dan Margoyudan yang pemiliknya para Saudagar (pengusaha) multi ras (Cina, Pribumi, dan Arab) (keterangan Angelino dlm Dharsono, 41 2002:9) Membuat perkembangan industri batik meningkat pesat dan banyak menyerap tenaga kerja dari daerah sekitar solo. Peran kolonial yang membawa budaya industrialisasi mendorong para Pengusaha batik (saudagar) lebih berkreasi. Sejalan permintaan pasar yang meluas terhadap batik sebagai pakaian sehari-hari , ditemukanlah batik cap sebagai pengganti batik tulis hal ini terjadi sekitar tahun 1850 (Santosa, 2002:124). Demikian pula tentang cara pewarnaan batik tidak lagi menggunakan warna alam tetapi telah menggunakan warna-warna sintetis. Bermunculannya industri-industri batik diluar istana ini secara sosiologi melahirkan budaya Industrialisasi yang melibatkan tenaga kerja dalam jumlah besar. Kondisi perekonimian masyarakat jaman kolonial yang memprihatinkan, membawa dampak urbanisasi dari daerah-daerah sekitar Keraton untuk mencari lapangan pekerjaan. Para pencari kerja tersebut adalah para petani yang setelah selesai mengolah lahan mereka dan menunggu masa panen. Para Petani yang bekerja pada saudagar batik pada saat Panen mereka kembali, dan diantara waktu luang mereka mengerjakan Batik yang dibawa dari para saudagar, secara tidak langsung masyarakat sekitar mulai mengenal batik dan memesannya untuk busana sehari-hari. Seiring dengan perkembangan yang ada, membentuk sebagian petani tersebut beralih profesi sebagai Pengrajin Batik. Hasil produksi mereka untuk selanjutnya dinamakan Batik Petani atau Batik Pedesaan atau Batik Dalam (Santosa, 2002:126) 42 C.3. Batik Petani Batik Petani disebut juga Batik Pedesaan adalah batik yang diproduksi oleh para pengrajin yang bekerja di perusahaan-perusahaan batik milik Saudagar. Pola-pola batik petani bersumber dari batik kraton dan batik kaum saudagar yang digubah oleh para pengrajin dipadu dengan ragam hias yang berasal dari alam sekitar. Warna dari batik petani terdiri atas warna biru, soga (coklat) dan putih. Tampilan estetis ini terjadi karena keterbatasan pengetahuan dan posisi mereka yang hanya sebagai tenaga kerja saja. Di sekitar Surakarta batik gaya ini tersebar di daerah Sragen (Pilang, Tanon, Plupuh, dan Kliwonan), Matesih (Karanganyar), Bekonang (Sukoharjo), dan di Bayat. Tumbuhnya batik petani ini seiring dengan batik saudagaran, saat batik mulai menembus tembok keraton yang dikenal dan diminati oleh masyarakat kelas bawah (Santosa, 2002:126). Timbulya batik petani menggeser busana keseharian masyarakat yang berupa tenun (lurik dan Songket). Pengaruh fungsi batik sebagai busana resmi perlahan beralih pada busana keseharian yang bebas dan terjangkau masyarakat (Darsono, 2002:72). Faktor permintaan pasar yang luas membawa dampak perkembangan Batik Petani, ragam hias yang ringan dan teknik yang sederhana dengan tuntutan kehalusan corak dan teknik yang cenderung Sederhana, menarik para saudagar untuk memberikan permodalan dan memposisikan para pengrajin (petani) sebagai tenaga produksi saja (sanggan). Sehingga motif dan nilai estetis dari batik petani tergolong sederhana. Kreasi dan pola sangat terbatas dan diantara mereka hanya sebagian kecil saja yang berkembang sebagai Pengusaha (Santosa, 2002:127). Keadaan tersebut disebabkan posisi mereka hanya berperan sebagai tenaga kerja yang 43 berangkat dari faktor kekurangan ekonomi, keterbatasan teknik, dan pengetahuan manajemen produksi. Seiring perkembangan jaman Batik jenis ini ada yang tenggelam namun ada pula yang berkembang. Keberadaan batik yang diproduksi oleh masyrakat petani yang berkembang baik adalah komunitas yang mampu menyerap bentuk perkembangan karya, memiliki kemampuan manajerial dan pemasaran yang baik, memiliki cukup tenaga kerja dan mampu membaca dinamika jaman yang ada. D. Kerangka Pikir Sebuah impian peningkatan taraf hidup dan penghasilan Pengaruh budaya lokal dan luar (Kajian Budaya) Masyarakat desa Pungsari Sebagai masyarakat Petani Dengan permasalahan ekonomi Muncul pemikiran baru sebagai ide dan gagasan untuk merubah perekonomian (lewat para tokoh) Perubahan konsep karya, Peningkatan ekonomi, perubahan sosal (Pendekatan ekonomi) Proses keberadaan Batik (Kajian History) Inovasi produk batik sebagai pengaruh budaya lokal dan global lewat para agen perubahan (Difusi Inovasi) Buruh Pabrik Batik, Batik Sanggan, pengrajin batik, proses sosialisasi IKM batik Sebagai mata pencaharian baru masyarakat 44 Dalam memahami secara menyeluruh terhadap permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan kebudayaan, yaitu cara memandang kebudayaan sebagai suatu sistem. Dalam pengertian ini kebudayaan dipandang sebagai satuan kajian atau alat analisis yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan, berhubungan satu sama lain secara integral, berfungsi, beroperasi, atau bergerak dalam kesatuan sistem. Konsep kebudayaan ini juga dipahami sebagai satuan sistemik yakni pengertian yang merujuk pada aspek individual, sosial, maupun budaya dari kehidupan manusia sebagai unsur-unsur yang mempunyai fungsi pedoman dan energi secara timbal balik. Dalam konteks ini kebudayaan diartikan sebagai konsep yang digunakan untuk menganalisis dan sekaligus sebagai objek kajian . Kajian histori akan mengupas bagaimana proses keberadaan batik di Pungsari sebagai produk dari perubahan budaya atau yang lain. Lewat pendekatan tersebut akan mendasari permasalahan yang dikaji yakni adanya pengrajin batik di daerah Pungsari Plupuh Sragen, perkembangannya dan kondisinya. Kondisi ini sudah disikapi oleh berbagai pihak sebagai agen-agen perubahan untuk memenuhi harapan sebuah peningkatan perekonomian yang merata. Berhubungan dengan keadaan ini maka penelitian ini akan mengkaji juga dalam segi pendekatan ekonomi secara sederhana. Dalam proses berkarya tidak akan lepas dari sebuah inovasi sebagai konsep mempertahankan produk dalam segi pemasaran. Pendekatan teori Difusi Inovasi akan di gunakan sebagai sarana kajian. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh keadaan alam dan sumber penghidupan, karakter masyarakat, tingkat pendidikan, kebijakkan pemerintah dan sarana prasarana. Kesemuannya merupakan data-data awal 45 yang kemudian diolah dan dihubungkan pada kondisi saat ini. Data-data tersebut merupakan kasus-kasus yang saling berkaitan. Dengan konsep pemikiran ini kemudian akan ditarik satu konsepsi akhir sebagai keputusan yang akan mendasari pengembangan industri batik di desa Pungsari. Hipotesa awal lahirnya batik di daerah ini berawal dari keberadaan ekonomi, yang kemudian melahirkan dualisme profesi yaitu petani dan pembatik. Kemudian melahirkan bentuk industri yang berimbas pada perubahan konsep berkarya dan sosiologi masyarakat setempat. Alur dan konsep penelitian ini berawal dari manakah timbul dan adanya kegiatan produksi Batik. Apakah yang menjadi dasar dan motivasi awal tumbuh kembangnya kegiatan produksi batik. Adakah peristiwa atau kesempatan serta keadaan yang memicu proses keberadaan industri batik di desa kebak Pungsari Plupuh sebagai unsur perubahan budaya. Berlanjut dan mengembang pada permasalahan yang kompleks dan syarat dengan berbagai perubahan. Perubahan terbesar pada konsep berkarya, perekonomian masyarakat, sosial masyarakat dan jenis-jenis usaha yang berimbas pada masyarakat petani yang beralih ke Industri.