ARTIKEL PENELITIAN Pemberian Propoelix® sebagai Terapi Tambahan pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka www.thepaleosecret.com Abstract AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) is a syndrome exhibiting symptoms of opportunistic infections as a result of a compromised immune system due to HIV infection (Human Immunodeficiency Virus) which typically causes death. HIV/AIDS has become an epidemic both in the world and in Indonesia. It has a negative impact on many sectors hence thorough care is needed using the latest science and technology. Propolis is a natural product derived from plant resins collected by honeybees. It contains CAPE (Caffeic Acid Phenethyl Ester) and is rich in flavonoids (chrysin, catechin, galangin) which have immunomodulatory effects. The immunomodulatory effects of propolis are being considered as a form of complementary intervention to boost the immune system of HIV/AIDS patients. Objective: To obtain clinical results by examining the effect of Propoelix® (highly potent extract of pure Propolis) on the CD4 levels of HIV/AIDS patients to evaluate the effectiveness of Propoelix® as an adjuvant therapy for HIV/AIDS patients. This case study will be conducted on HIV/AIDS patients who are currently receiving ARV treatment as well as those who are not presently receiving ARV treatment. Observations were made on all patients to examine whether there were improvements in their quality of life. Method: HIV/AIDS patients at Sungailiat Hospital, Bangka, who were given Propoelix® were observed. Their laboratory results were also observed to detect any changes, in particular to their CD4 levels and their clinical symptoms. There were a total of 52 HIV/AIDS patients involved in this research. 45 of these patients were receiving 3 types of ARV treatments, 4 patients were receiving 2 types of ARV treatments and 3 patients were not receiving any ARV treatment. In this case study, all patients, regardless of whether they were receiving ARV treatment or not receiving any ARV treatment had shown significant improvement in their condition during the first month. Conclusion: Propoelix® improved the clinical conditions and CD4 levels of the HIV/AIDS patients involved in this study at Sungailiat Hospital, Bangka. During the first month of Propoelix® treatment, 77% of patients who participated in the study showed an increased level of CD4. Patients who had received ARV treatment less than 6 months were more responsive towards Propoelix® treatment (mean: 99.33) compared to the patients who had received ARV treatment more than 6 months (mean: 39). 100% of participating patients reported improvement in their quality of life during this study. Key words: HIV/AIDS, Propoelix® (Propolis Extract) Abstrak M. FAUZAN1, SULISTYO BAGUS2 1Ketua Pokja HIV/AIDS, RSUD Sungailiat Bangka, 2RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad, Jakarta, PSIK S3 UNS 128 AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom dengan gejala infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang dapat menyebabkan kematian. Penanganan HIV/AIDS sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi mutlak diperlukan karena epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia, termasuk Indonesia, dan menimbulkan dampak buruk dalam berbagai bidang. Propolis merupakan produk alami yang berasal dari resin tanaman yang diproduksi lebah madu, mengandung CAPE (Caffeic Acid Phenethyl Ester) dan flavonoid (chrysin, catechin, galangin) yang memiliki efek imunomodulator. Munculnya propolis sebagai imunomodulator dipertimbangkan sebagai intervensi tambahan dalam meningkatkan sistem imunitas pasien HIV/AIDS. Tujuan penelitian: mengetahui gambaran klinis dari efek Propoelix® (ekstrak potent dari propolis murni) dalam meningkatkan kadar CD4 dan menganalisa efektifitas Propoelix® sebagai terapi tambahan pada pasien HIV/AIDS. Penelitian ini melibatkan pasien HIV/AIDS baik yang telah menggunakan ARV dan tidak menggunakan ARV. Pengamatan dilakukan pada semua pasien untuk memeriksa apakah terjadi perbaikan dalam kualitas hidup mereka. Metode penelitian: deskriptif dengan mengamati dan menggambarkan perubahan keluhan klinis dan laboratoris kadar CD4 pasien rawat jalan dan rawat inap HIV/AIDS RSUD Sungailiat, baik yang sudah maupun belum mendapat ARV, setelah pemberian terapi tambahan Propoelix®. Terdapat 52 subjek penelitian di mana 45 pasien menggunakan 3 jenis ARV, 4 pasien menggunakan 2 jenis ARV, dan 3 pasien tidak menggunakan ARV. Pada kasus menonjol, pada pasien yang menggunakan ARV maupun tanpa ARV, mengalami perbaikan klinis dan laboratoris yang nyata pada satu bulan pertama. Kesimpulan: pemberian Propoelix® memperbaiki kondisi klinis dan kadar CD4 pada pasien dengan HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka. Selama bulan pertama pengobatan Propoelix®, 77% pasien yang berpartisipasi dalam studi ini telah menunjukkan peningkatan jumlah CD4. Pasien yang menerima pengobatan ARV kurang dari 6 bulan lebih responsif terhadap pengobatan Propoelix® (mean: 99,33) dibandingkan dengan pasien yang menerima pengobatan ARV lebih dari 6 bulan (mean: 39). 100% pasien yang berpartisipasi melaporkan peningkatan kualitas hidup mereka selama penelitian ini. Kata Kunci: HIV/AIDS, Propoelix® (Propolis Ekstrak) (M. Fauzan dan Sulistyo Bagus, Medika 2016, Tahun ke XLII, No. 3, p. 128-138) NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016 Pemberian Propoelix® sebagai Terapi Tambahan pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka. Pendahuluan IDS ( Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) yang biasanya akan membawa kematian pada akhirnya.1 Definisi untuk menyatakan stadium-stadium penyakit HIV dan saat timbulnya AIDS telah mengalami revisi berulang kali. Revisi terakhir dilakukan pada 1993 oleh CDC (Centers of Disease Control and Prevention) berdasarkan kondisi klinis yang berhubungan dengan HIV dan hitung sel CD4+ T limfosit.1,2 Semua keadaan pada kategori C, tanpa memandang keadaan derajat immunosupresinya, didiagnosis sebagai AIDS; Sedangkan semua pasien dengan CD4+ limfosit T <200/mm 3 didiagnosis sebagai AIDS tanpa melihat keadaan klinisnya.1,2 Epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia. Virus ini menyebar cepat tanpa mengenal batas negara dan lapisan penduduk. Epidemi HIV/AIDS dapat menimbulkan dampak buruk terhadap pembangunan nasional secara keseluruhan, karena selain berpengaruh terhadap kesehatan juga terhadap ekonomi, politik, dan keamanan. Salah satu penyebab tingginya kasus HIV/AIDS adalah perilaku berisiko yang tinggi karena tingkat pengetahuan yang rendah tentang HIV/AIDS, meliputi kurangnya pengetahuan tentang penularan HIV, rendahnya angka penggunaan kondom pada seks berisiko, dan tingginya angka berbagi jarum suntik di kalangan pengguna Napza suntik. Umumnya masyarakat juga menganggap AIDS sebagai penyakit menular yang berbahaya atau mematikan, namun hanya 30-75% yang merasa dirinya rawan tertular HIV. Pada 2005, berdiri Klinik Poli Melati sebagai pusat rujukan HIV di Bangka Belitung, kemudian pada 2009 Klinik Poli Tulip di RSUD Depati Hamzah Pangkal Pinang. Poli melati di RSUD Sungailiat sendiri untuk penanganan kasus HIV/AIDS sudah memberikan 6 pelayanan yang menjadi Program Pemerintah, yaitu VCT (Voluntary Counseling Test ), CST ( Care Support & Treatment ), PITC (Provider Initiated Testing & Conseling), PMTCT ( Prevention Mother to Child Transmition), Profilaksis Klotrimazole dan Case Manager. A www.rkm.com.au 130 NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016 128—138 Data yang ada menunjukkan kasus HIV/AIDS selalu meningkat setiap waktu. Permasalahannya, apakah pemberian Propoelix ® dapat meningkatkan sistem imunitas pasien dengan meningkatkan kadar CD4? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran klinis pengaruh Propoelix® sebagai terapi tambahan pada pasien HIV/AIDS; serta untuk mengetahui gambaran kadar CD4 setelah mendapat terapi tambahan Propoelix®. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk mendapatkan pendekatan baru dalam upaya penatalaksanaan pasien HIV/AIDS dengan terapi tambahan Propoelix® serta mendapatkan efektivitas terapi yang lebih baik bagi pasien HIV/AIDS. HIV-AIDS AIDS ( Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV ( Human Immunodeficiency Virus) yang biasanya akan membawa kematian.1 Definisi untuk menyatakan stadium-stadium penyakit HIV dan saat timbulnya AIDS telah mengalami revisi berulang kali. Revisi terakhir dilakukan pada 1993 oleh CDC (Centers of Disease Control and Prevention) berdasarkan kondisi klinis yang berhubungan dengan HIV dan hitung sel CD4+ T limfosit.1,2 Terdapat dua dimensi dari klasifikasi infeksi HIV, yaitu riwayat keadaan klinis dan derajat immunosupresi, yang dilambangkan dalam hitung CD4+ limfosit T. Keadaan klinis yang berhubungan dengan HIV ini dibagi menjadi 3 kategori seperti pada tabel 2. Semua keadaan pada kategori C tanpa memandang keadaan derajat immunosupresinyanya didiagnosis sebagai AIDS, sedangkan semua pasien dengan CD4+ limfosit T <200/mm 3 didiagnosis sebagai AIDS tanpa melihat keadaan klinisnya.1,2 AIDS pertama kali dikenali di Amerika Serikat pada 1981. Saat itu, US Centers of Disease Control and Prevention (CDC) menemukan pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii pada lima pria homoseksual di Los Angeles dan Sarcoma kaposi pada 26 pria homoseksual di New York dan Los Angeles. Pada 1983, virus ini berhasil diisolasi oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis, dan pada 1994 dipastikan sebagai M. FAUZAN, SULISTYO BAGUS. penyebab penyakit AIDS. Berdasarkan pertemuan International Committee on Taxonomy of Viruses, WHO memberi nama resmi virus ini sebagai Human Immunodeficiency Virus (HIV). HIV tergolong retrovirus yang mempunyai materi genetik RNA. Bila virus masuk ke dalam tubuh penderita (sel hospes) maka RNA virus diubah menjadi DNA oleh enzim reverse transcryptase yang dimiliki oleh HIV. DNA pro-virus tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus.1 HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri, dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk ke dalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri. Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala klinis AIDS.2 Infeksi HIV dan AIDS adalah suatu pandemi di seluruh dunia. Jumlah kasus infeksi HIV pada orang dewasa pada 2000 lebih kurang 34 juta jiwa, dan dua per tiganya berada di Afrika Sub Sahara. Sebagai tambahan, diperkirakan 1,3 juta anak-anak di bawah 15 tahun hidup dengan HIV/AIDS. Menurut United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), pada 1999 saja terdapat 5,4 juta kasus infeksi baru di seluruh dunia, yang berarti 15.000 kasus baru setiap hari. Sebanyak 2,8 juta jiwa yang meninggal karena AIDS membuat penyakit ini menjadi pembunuh nomor 4 di seluruh dunia. Data sampai Desember 2001 menunjukkan adanya 1978 kasus HIV positif dan 671 kasus AIDS di Indonesia. Diperkirakan jumlah ini akan meningkat hingga mencapai 80.000—120.000 pada 2010. Berbeda dengan anggapan awam, ternyata cara penularan terbanyak di Indonesia adalah hubungan seks heteroseksual (56%), disusul pemakaian narkotika injeksi (18,5%), kemudian hubungan homoseksual (6,6%). Sisanya melalui transfusi darah/produk darah, transmisi perinatal, dan belum diketahui . Namun, prosentase jumlah penularan ini mengalami perubahan seiring ditemukannya kasus baru. Menurut Ditjen PP & Kemenkes RI (2014), Papua, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Riau, dan Kalimantan Barat menduduki posisi tertinggi prevalensi HIV/AIDS di Indonesia. Diagnosis HIV/AIDS ditujukan pada dua hal, yaitu keadaan terinfeksi HIV dan AIDS. Langkah-langkah menghadapi setiap keadaan itu berbeda dalam pengobatan, perawatan, konseling, maupun prognosis penyakit itu sendiri.3 Pada orang yang akan melakukan tes HIV atas kemauan sendiri, sebaiknya dilakukan konseling prates. Diagnosis dini ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium dengan petunjuk dari gejala-gejala klinis atau dari adanya perilaku risiko tinggi individu tertentu. Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu langsung dan tidak langsung. Diagnosis langsung dilakukan dengan isolasi virus dari sampel, umumnya dengan pemeriksaan mikroskop elektron atau deteksi antigen virus, misalnya dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Sedangkan diangnosis tidak langsung dilakukan dengan melihat respons zat anti-spesifik, misalnya dengan Enzym Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA), Western Blot, Immunofluorescent Assay (IFA) atau Radioimmunoprecipitation Assay (RIPA). Untuk diagnosis HIV yang lazim digunakan pertama-tama adalah pemeriksaan ELISA karena memiliki sensitivitas yang tinggi (98-100%). Akan tetapi, spesifisitas kurang sehingga hasil tes ELISA yang positif harus thedominican.net NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016 131 128—138 Pemberian Propoelix® sebagai Terapi Tambahan pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka. dikonfirmasi dengan Western Blot yang spesifisitasnya tinggi (99,6-100%). Sedangkan pemeriksaan PCR biasanya dilakukan pada bayi yang masih memiliki zat antimaternal sehingga menghambat pemeriksaan secara serologis dan pada kelompok risiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.1,2,3 AIDS merupakan stadium akhir dari infeksi HIV. Penderita dinyatakan sebagai AIDS bila dalam perkembangan infeksi HIV selanjutnya menunjukkan infeksi dan kanker oportunistik yang mengancam jiwa penderita. Selain itu, CDC pada 1993 telah menetapkan kondisi yang disebut AIDS sebagaimana diterangkan di atas.1 Pengobatan terhadap penyakit oportunistik dengan antibiotik seringkali berhasil dengan baik. Demikian pula pengobatan kemoterapi untuk keganasan karena HIV/AIDS. Walaupun demikian, ternyata penyakit sering kambuh dan pada akhirnya menyebabkan kematian, karena obat-obat ini pada dasarnya tidak dapat memperbaiki kekebalan tubuh. Oleh karena itu, banyak usaha yang dilakukan untuk menghambat replikasi virus HIV. Sampai saat ini, obat antiretroviral sudah dikembangkan. Medikasi Antiretroviral Untuk medikasi antiretroviral, digunakan Nukleosiea Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) dan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI). Salah satu medikasi antiretroviral jenis NRTI adalah AZT (Azidothimidine)/Zidovudine. AZT adalah obat antiretroviral yang paling sering digunakan dan direkomendasikan untuk pasien dengan www.medicaldaily.com 132 NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016 128—138 hitung sel CD4 kurang dari 500 sel. Efek samping AZT yang terkenal adalah sakit kepala, malaise, asthenia, insomnia, dan vivid dreams.4 Satu atau lebih efek samping ini akan muncul pada separuh orang yang memakai obat ini. Selain itu, dapat timbul mual, anoreksia, dan myalgia, tetapi biasanya gejala ini berkurang setelah pemakaian 6 bulan.1 Pasien yang sakit kepala dapat diberikan obat analgesik, insomnia diberikan antihistamin atau benzodiazepine kerja singkat, dan mual diberikan antimimetik. Efek samping ini mengakibatkan banyak pasien yang sebelumnya asimtomatik akan menghentikan pengobatan karena merasa lebih “sehat” dibandingkan ketika memakai obat ini. Pasien harus terus diberi semangat untuk meneruskan pengobatan dengan AZT selama 6 minggu sebelum dokter menukarnya dengan antiretroviral lain. Ada juga yang mengkaitkan gangguan mood seperti depresi dan mania dengan pemakaian AZT ini.3 Selain AZT, ada Didanosine (ddI) yang diberikan pada pasien HIV/AIDS dengan hitung CD4 kurang dari 500 yang tidak toleran terhadap efek samping AZT atau yang memakai AZT sekurang-kurangnya 16 minggu, tetapi tetap menunjukkan progresivitas penyakitnya. Pada permulaan pemakaian, pasien dapat merasakan peningkatan energi. Namun, untuk sebagian orang dirasakan sebagai kegugupan atau kecemasan. Insomnia dapat diatasi dengan tidak minum obat ini sekitar jam tidur atau diganti menjadi dosis tunggal untuk pagi hari.4 Efek samping lain yang paling sering adalah insomnia (25% pasien), kebingungan (2% pasien), kejang (3%), dan mania.3 Dideoxycitidine (ddC) juga menjadi medikasi antiretroviral pada HIV/AIDS. Meskipun masih berkaitan erat dengan ddI, ddC jarang menyebabkan insomnia (1% pasien. Efek samping lain seperti sakit kepala, pusing, kebingungan, konsentrasi yang terganggu, asthenia, depresi, dan kejang jarang terjadi.4 Antiretroviral NRTI lain adalah Stavudine (d4T). Obat ini mempunyai efek terhadap fungsi kognitif, emosi, dan perilaku yang tidak begitu signifikan serta jarang terjadi, termasuk mania, depresi, insomnia, dan sebagainya.3,4 Selain obat-obat di atas, obat golongan inhibitor protease juga dimetabolisme oleh sitokrom P-450 hepar sehingga dapat M. FAUZAN, SULISTYO BAGUS. meningkatkan kadar plasma obat-obat lain, termasuk psikotropik seperti benzodiazepin, SSRI, buproprion, dan sebagainya.Yang termasuk antiretroviral golongan inhibitor protease adalah Saquinavir, Ritonavir, Indinavir, dan sebagainya.1 Pengobatan kombinasi memberikan efek yang lebih baik. Kombinasi berupa beberapa obat antiretroviral mekanisme kerjanya berbeda dan tempat kerjanya berbeda sehingga dapat menurunkan masing-masing dosis obat dan efek samping minimal. Sejak ditemukan antiretroviral inhibitor protease, AZT tidak pernah digunakan lagi sebagai monoterapi. Meskipun demikian, AZT tetap merupakan komponen penting dalam kombinasi karena protease inhibitor tidak dapat menembus sawar darah otak sehingga tidak efektif mengobati gangguan neurokognitif. Tetapi, kombinasi dengan obat ini dapat menghalangi progresivitas gangguan ini dengan proses yang hingga saat ini belum jelas diketahui, tetapi dipikirkan mungkin karena dapat mengurangi viral load. Contoh kombinasi dapat berupa triple (AZT+ddC+Saquinavir) atau double (AZT+Saquinavir) atau (AZT+ddC).2,5 Selain obat-obat di atas, diperlukan juga medikasi untuk infeksi oportunistik dan keganasan. Infeksi oportunistik yang lazim ditemukan pada pasien HIV/AIDS adalah herpes simpleks, kandidiasis, pneumonia pneumocystis carinii, tuberkulosis, dan keganasan yang lazim adalah sarkoma kaposi.1,3,4 Sementara itu, CD4 menjadi marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. CD4 pada orang dengan sistem kekebalan yang menurun menjadi sangat penting, karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam memerangi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol). Propolis Ekstrak Propolis merupakan produk alami yang berasal dari resin tanaman yang dikumpulkan oleh lebah madu. Propolis memiliki fungsi sebagai tameng sarang lebah; mencegah penyakit dan parasit memasuki sarang, menghambat pembusukan, serta menghalangi tumbuhnya jamur dan bakteri. Warnanya tergantung sumber tumbuhannya, namun biasanya coklat tua. Propolis bersifat lengket pada suhu ruangan atau di atasnya (20 oC). Sementara jika lebih rendah, akan menjadi keras dan rapuh. Produk ini telah digunakan sejak 300 SM oleh bangsa Yunani, Romawi, dan Mesir untuk penyembuhan karena memiliki sifat anti-inflamasi. Awalnya, pendeta Mesir kuno menggunakan propolis sebagai salah satu bahan mengawetkan mumi. Dalam dunia kedokteran Arab, propolis diidentifikasi oleh Ibnu Sina sebagai malam yang berwarna gelap, sebagai sisa kotoran dari sarang. Sementara, malam yang berwarna bening dikenali sebagai bahan untuk membuat sarang. Malam yang berwarna gelap ini diketahui memiliki sifat membersihkan. Namun, tertulis juga dalam catatan Ibnu Sina, jika dicium akan menyebabkan bersin. Bangsa Asiria kuno mempercayai propolis sebagai obat untuk melawan kanker dan tumor. Sementara, Bangsa Yunani menggunakannya untuk mengobati bisul. Dalam pengobatan tradisional Georgia, ditemukan salep yang mengandung propolis untuk mengobati beberapa penyakit. Propolis digunakan untuk bayi yang baru lahir atau diusapkan kepada mainannya. Propolis juga digunakan untuk mengobati kutil, jika terjadi gangguan pernapasan, dan juga dalam kasus luka bakar dan angina. Di daerah dengan iklim apa pun di seluruh dunia, eksudat bud poplar (terutama dari Populus Nigra L) adalah sumber utama resin yang dikumpulkan. Propolis poplar memiliki sekitar 50 jenis zat, terutama resin dan balsam tumbuhan (50%), lilin (30%), minyak esensial (10%), dan serbuk sari (5%). Ditemukan pula senyawa biologis aktif dalam balsam propolis, termasuk senyawa polifenol ( Caffeic Acid Phenethyl Ester [CAPE]), flavonoid (chrysin, catechin, galangin), turunan stilben (resveratrol), dan asam lemak. Senyawa ini, dalam CAPE dan flavonoid tertentu, terbukti memiliki aktivitas antiinflamasi dan imunomodulasi yang potensial dalam percobaan laboratorium. CAPE secara signifikan menghambat produksi sitokin dan www.voices-of-the-world.org NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016 133 128—138 Pemberian Propoelix® sebagai Terapi Tambahan pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka. limfokin, termasuk TNF-α, IL-2, IL-10, IL-12, IFN, dan menghambat proliferasi sel T.7 Ekstraksi super dari Propoelix ® yang dilakukan dengan menggunakan proses ekstraksi unik berguna untuk menghilangkan bahan yang tidak diperlukan tubuh (misalnya resin), serta mempertahankan bahan aktif dalam bentuk unik yang bisa larut dalam air. Propoelix® ini dapat diberikan sebagai terapi tambahan untuk pasien HIV/AIDS. Pasien HIV/AIDS mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh. Sifat propolis ekstrak yang merupakan zat dengan kemampuan imunomodulator, antijamur, dan anti-inflamasi diharapkan mampu memperbaiki kondisi klinis dan parameter laboratorium pada pasien HIV/AIDS sebagai terapi tambahan. Tabel 1: Karakteristik subjek penelitian pasien HIV di RSUD Sungailiat, Bangka NO Subjek (n=52) Mean + SD Median (Min - Max) 1 2 Umur (tahun) 36,33 + 9,44 35 (15 — 60) Lama ARV (bulan) 21,94 + 20,71 15 (1 — 96) Tabel 2: Jumlah CD4 rata-rata setelah 1 bulan dan 6 bulan terapi tambahan Propoelix® CD4 Mean + SD CD4 Baseline 289.71 + 23,17 281 (2 - 828) CD4 Bulan 1 346.11 + 23,31 313 (48 - 996) CD4 Bulan 6 379.88 + 19,63 347 (64 - 922) Median (Min - Max) Materi dan Metode Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan mengamati dan menggambarkan pasien dengan HIV/AIDS yang berobat di RSUD Sungailiat dan sudah mendapatkan ARV atau belum, diberikan terapi tambahan Propoelix®. Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Sungailiat, Bangka. RSUD Sungailiat adalah rumah sakit milik Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka yang berada di Sungailiat dan telah lama dikenal oleh masyarakat, baik di Sungailiat maupun di Pulau Bangka. Awalnya, rumah sakit ini merupakan Rumah Sakit Paru Milik Misi Katholik yang dinasionalisasikan dan diresmikan penggunaannya pada 12 November 1970 sebagai rumah sakit kelas D. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, dari Februari s.d. Agustus 2014. 134 NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016 128—138 Sebagai subjek penelitian adalah pasien rawat inap dan rawat jalan RSUD Sungailiat serta semua pasien yang datang berobat dengan status laboratorium HIV positif, dan mendapat terapi ARV sebelumnya maupun yang baru. ARV dan Propoelix® diberikan sebagai terapi tambahan dengan dosis 2 x 200 mg/hari. Hasil Kasus-kasus yang menonjol dan spesifik dalam penelitian adalah: Kasus 1, seorang laki-laki, Tn. H, 42 tahun, baru menggunakan antiretroviral 1 bulan dengan 3 macam ARV adalah pasien rawat inap di rumah sakit. Datang pertama kali masuk dengan kadar CD4= 4 sel/mm2, setelah 1 bulan minum obat dan ditambah Propoelix® CD4= 127 sel/mm2 dengan kondisi klinis membaik dan mampu mengendarai sepeda motor. Setelah 6 bulan kadar CD4= 148 sel/mm2. Secara nyata klinis kondisi pasien mengalami perbaikan. Demikian pula dengan kadar CD4 laboratoriumnya. Kasus 2, seorang laki-laki Tn. B, 36 tahun, tidak menggunakan antiretroviral, adalah pasien rawat inap di rumah sakit. Datang pertama kali masuk dengan kadar CD4= 17 sel/mm2. Setelah 1 bulan minum obat dan ditambah Propoelix ® CD4= 97 sel/mm2 kondisi klinis membaik. Setelah 6 bulan kadar CD4= 168 sel/mm 2 . Secara berangsur-angsur, perubahan pasien tanpa ARV juga memberikan perubahan klinis dan laboratoris yang nyata. Tabel 1 menggambarkan karakteristik subjek penelitian dengan jumlah keseluruhan 52 orang dan rata-rata umur 36,33 tahun. Umur termuda 15 tahun dan tertua 60 tahun. Lama penggunaan ARV pada subjek ratarata 21,94 bulan dan subjek penelitian telah berobat ke institusi kesehatan lebih dari 1 tahun. Persentase subjek penelitan menurut jenis kelamin adalah 54% (n=28) laki-laki dan 46% (n=24) perempuan. Sedangkan persentase subjek penelitian yang menggunakan antiretroviral (ARV) adalah 86% (n=45) menggunakan 3 jenis ARV, 8% (n=4) menggunakan 2 jenis ARV, dan 6% (n=3) tidak menggunakan ARV. Proporsi perubahan CD4 setelah 1 bulan ditambahkan Propoelix® di samping tetap menggunakan ARV adalah 77% (n=40) mengalami kenaikan dan 23% (n=12) meng- M. FAUZAN, SULISTYO BAGUS. Grafik 1: Persentase subjek penelitian menurut jenis kelamin Grafik 2 menunjukkan rata-rata CD4 pada saat baseline, 1 bulan setelah pemberian Propoelix ® , dan 6 setelah bulan mendapat terapi tambahan. Grafik 3 menggambarkan hasil pengukuran rata-rata perubahan jumlah CD4 setelah pemberian Propoelix® setelah 1 bulan dan dilanjutkan sampai 6 bulan. Grafik tersbeut menunjukkan perubahan setelah 1 bulan pertama jumlahnya meningkat sebesar 56,40 /mm2 dari baseline dan setelah 6 bulan terdapat peningkatan rata-rata sebesar 90,17/mm 2 . Perubahan jumlah CD4 meningkat nyata pada pengamatan di bulan 1 setelah mendapat terapi tambahan. Tabel 3 memberikan gambaran bahwa terjadi peningkatan kadar CD4 rata-rata pada pasien yang diberikan terapi tambahan Propoelix® dengan penggunaan ARV, baik Grafik 2: Rata-rata CD4 rata-rata setelah 1 Bulan dan 6 bulan terapi tambahan Propoelix® alami penurunan kadar CD4. Sedangkan proporsi perubahan CD4 setelah 6 bulan ditambahkan Propoelix® di samping tetap menggunakan ARV adalah 87% (n=45) mengalami kenaikan dan 13% (n=7) mengalami penurunan kadar CD4. Proporsi perubahan CD4 dari 1 bulan sampai 6 bulan ditambahkan Propoelix® di samping tetap menggunakan ARV adalah 69% (n=36) mengalami kenaikan, 27% (n=14) mengalami penurunan, dan 4% (n=2) kadar CD4 tetap/tidak mengalami perubahan. Tabel 2 menujukkan hasil pengamatan jumlah CD4 rata-rata pada awal (baseline) 289,71/mm2; setelah 1 bulan mendapatkan tambahan Propoelix® rata-rata 346,11 /mm2; dan pada 6 bulan setelah mendapatkan terapi tambahan rata-rata 379,88 /mm2. 128—138 Grafik 3: Pengukuran rata-rata perubahan jumlah CD4 setelah 1 bulan dan 6 bulan terapi tambahan Propoelix® kurang dari 6 bulan maupun lebih dari 6 bulan. Jumlah pasien yang menggunakan ARV kurang dari 6 bulan berjumlah 15 orang dan pasien dengan penggunaan ARV lebih dari 6 bulan 37 orang. Rata-rata kadar CD4 pada bulan pertama dan bulan ke-6 meningkat jika dibandingkan dengan CD4 baseline. Tabel 4 menggambarkan perubahan jumlah CD4 antara pasien yang sudah mendapat terapi ARV sebelum 6 bulan dan setelah 6 bulan lebih. Terdapat perubahan CD4 yang lebih besar pada pasien yang mendapat terapi ARV kurang dari 6 bulan pada pengamatan 1 bulan dan 6 bulan dari baseline. Dari data di atas diperoleh gambaran bahwa perubahan kadar CD4 yang membaik atau meningkat didapatkan pada penambahan propolis sebagai terapi kepada pasien NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016 135 Tabel 3: Hubungan antara kadar CD4 dengan lama penggunaan ARV CD4 Baseline CD4 1 Bln CD4 6 Bln Diskusi Hampir seluruh subjek penelitian menyampaikan kondisi fisiknya lebih baik. Kondisi subjektif pasien adalah keluhan dan pernyataan pasien selama follow up. Pasien yang drop out karena tidak datang untuk follow up selama proses terapi, sebagian besar karena ketidakpatuhan dalam terapi yang dijalaninya. Beberapa kasus sangat menonjol dengan perbaikan klinis dari perawatan di ICU. Sebulan kemudian mampu beraktivitas seperti sebelumnya sampai bisa naik sepeda Kategori Lama ARV N Mean + SD Median (Min - Max) < 6 bulan 15 214,80 + 210,99 103 (4-670) > 6 bulan 37 320,08 + 235,499 301 (2-828) < 6 bulan 15 314,13 + 283,647 155 (63-996) > 6 bulan 37 359,08 + 212,343 317 (48-804) < 6 bulan 15 332,73 + 196,811 333 (108-751) > 6 bulan 37 399,00 + 195,03 361 (64-922) Tabel 4: Gambaran perubahan jumlah CD4 awal dan masa pengobatan dengan lama penggunaan ARV Kategori Lama ARV N Mean + SD < 6 bulan 15 99,33 + 120,09 67 (-35-332) > 6 bulan 37 39 + 77,41 34 (-135-273) < 6 bulan 15 117,93 + 89,10 92 (-47-320) > 6 bulan 37 78,92 + 98,157 79 (-108-328) CD4 1 - Baseline CD4 6 - Baseline CD4 6 - Bln Median (Min - Max) < 6 bulan 15 18,6 + 115,71 32 (-245-268) > 6 bulan 37 39,92 + 70,75 37 (-92-290) motor. Hal ini ditunjukkan juga dengan pengukuran CD4 yang awalnya hanya 4/mm 2, setelah 1 bulan mendapat terapi tambahan Propoelix® menjadi 127/mm2, dan setelah 6 bulan pengukuran CD4 menjadi 148/mm2. Kasus pada pasien yang tidak mendapatkan ARV sebelumnya dengan pemberian Propoelix® juga meningkat jumlah CD4-nya. Rata-rata dari seluruh subjek penelitan mengalami peningkatan jumlah CD4 setelah mendapat terapi tambahan Propoelix®. Propoelix ® meningkatkan jumlah CD4 pada pasien dengan HIV/AIDS. Peningkatan 136 NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016 pada bulan pertama dari baseline cukup nyata dibandingkan setelah 6 bulan mendapatkan terapi tambahan. Cara kerja propolis sebagai imunomodulator dan anti-inflamasi serta antibakteri telah banyak disampaikan melalui penelitianpenelitian. Cara kerja imunomodulator pada propolis hijau Brazil pada mencit menurut Sforcin dkk (2010) adalah dengan mengaktivasi langkah awal respons imun oleh peningkatan ekspresi TLR-2 dan TLR-4 dan produksi sitokin proinflamasi (IL-1 dan IL-6) yang diproduksi oleh makrofag dan sel lien, yang berkontribusi untuk mengenali mikroorganisme dan mengaktifkan limfosit oleh antigen presenting cells . 8 Cara kerja ini didapat oleh dosis 200 mg/kg. Sforcin dkk., (2007) menjelaskan bahwa poplar dan baccharis propolis memiliki efek imunostimulasi dengan meningkatkan produksi antibodi dan mengaktifkan limfosit B dan T. Propolis hijau Brazil pada dosis 2,5, 5 dan 10 mg/kg menunjukkan peningkatan generasi hidrogen peroksida untuk membunuh mikroorganisme (Orsi, 2000) dan efek menghambat proliferasi splenosit dan efek imunosupresor pada respons limfoproliferatif (You et al, 1998). Penelitian Ansorge dkk., (2003), Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE) dalam propolis dan flavonoid quercetin serta hesperidin memediasi penekanan sintesis DNA pada sel mononuklear darah tepi manusia dan sel T CD4. CAPE dalam dosis 1,5 dan 10 mikroMol memiliki efek dalam menghambat transkripsi faktor NF-kB dan NFAT sehingga berpengaruh terhadap inhibisi transkripsi gen IL-2, ekspresi IL-2R, dan proliferasi sel T (Marquez et al, 2004). Flavonoid yang diisolasi dari Phyllanthus niruri memiliki aktivitas imunomodulator terhadap limfosit. Dibuktikan bahwa proliferasi limfosit meningkat 2x nilai normal pada DPPH assay. Aktivitas anti-inflamasi propolis dilaporkan dalam berbagai model penelitian. Pemberian propolis 200 mg/kg dalam waktu singkat (3 hari) pada mencit menghambat produksi IFN- pada kultur splenosit. Mencit C57BL/6 yang diberikan propolis hijau Brazil 200 mg/kg selama 14 hari menunjukkan aktivitas anti-inflamasi dengan penghambatan produksi IL-1β, IL-6, IFN- , IL-2, dan IL-10 oleh sel lien yang biasa terjadi pada inflamasi kronik. dengan pemakaian ARV kurang dari 6 bulan. Perubahan kadar CD4 tampak nyata pada bulan pertama pemakaian dibanding dengan perubahan CD4 pada bulan ke-6. 128—138 Pemberian Propoelix® sebagai Terapi Tambahan pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka. M. FAUZAN, SULISTYO BAGUS. Flavonoid Naringenin menghambat kemampuan C. trachomatis untuk memfosforilasi p38 dalam makrofag sehingga menunjukkan suatu mekanisme yang berpotensi terhadap pelemahan daya produksi mediator inflamasi. Naringenin adalah imunomodulator dalam peradangan yang dipicu oleh C. trachomatis , yang dimediasi oleh TLR2, TLR4, dan reseptor CD86 pada makrofag yang terinfeksi melalui jalur p38 MAPK. Propolis hijau Brazil 10% menstimulasi produsi antibodi.8 Pemberian CAPE dalam dosis 5, 10 dan 20 mg/kg pada mencit BALB/c meningkatkan produksi antibodi (Park dkk., 2004). Percobaan secara in vitro menunjukkan bahwa propolis dapat berinteraksi langsung pada mikroorganisme dan secara in vivo propolis dapat menstimulasi sistem imun serta mengaktivasi mekanisme yang terlibat dalam membunuh mikroorganisme. Propolis terbukti memiliki efek yang sinergis dengan obat antimikroba. Oksuz (2006) membuktikan bahwa propolis mengurangi resistansi antibiotik terhadap dinding bakteri dan bersinergi dengan mekanisme antibiotik pada ribosom. Liberio dkk (2009) memaparkan ringkasan mengenai efek propolis pada kelompok Streptococcus mutans dan menyarankan potensi dari propolis atau dari komposisinya sebagai bahan kariostatik dan perkembangan dari produk bioteknologi untuk mengontrol karies atau penyakit infeksi lain. Santos dkk., (2008) mengevaluasi efikasi klinis dari formulasi gel propolis Brasil terbaru pada pasien yang didiagnosis stomatitis denture dan membuktikan remisi lengkap gejala klinis dari edema palatum dan eritema. Beliau juga menyarankan bahwa gel ini efisien dan bisa menjadi obat topikal alternatif untuk menerapi stomatitis denture. Pemberian Propoelix ® memperbaiki kondisi klinis dan laboratoris pada pasien dengan HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka. 100% pasien yang berpartisipasi melaporkan peningkatan kualitas hidup mereka selama penelitian ini. Perlu tindak lanjut terhadap hasil penelitian ini untuk pengembangan dengan metode penelitian yang lebih tinggi. n Daftar Pustaka 1. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Disease: AIDS and Relater Disorders. In: Harrison s 15th edition Principles of Internal Medicine. New York: Mc GrawHill, 2001;1852-1893. 2. Kaplan HI, Sadock BJ. Neuropsychiatric Aspects of HIV Infection and AIDS. In Kaplan & Sadock s Comprehensive Textbook of Psychiatry 11th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2013;308-36. 3. Worth JL, Halman MH. HIV Disease/AIDS. In: Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry. Washington, DC: The American Psychiatric Press, 2006;833-868. 4. Katz MH. Effect of HIV Treatment on Cognition, Behavior, and Emotion. Psychiatric Clinics of North America 2002;25:1-20. 5. Treisman GJ, Kaplina AI. Neurologic and Psychiatric Complications of Antiretroviral Agents. In Official Journal of the International AIDS Society. http://www.medscape.com/ 12-08-2006. 6. Sforcin JM, Bankoca V. Journal of Ethnopharmacology. Propolis: Is there a potential for the developent of new drugs? 2010 http://www.hindawi.com/journals/ m i / 2 0 1 3 / 1 0 2 4 5 7 / h t t p : / / w w w. n c b i . n l m . n i h . g o v / pubmed/12898413 7. Abidin NZ. Consultation-Liaison Psychiatry: Posisi Peran serta Fungsinya diantara Profesionalisme. Jiwa 2002; XXV No.3:51-61 Kesimpulan Dari gambaran laporan kasus pasien HIV/AIDS yang mendapat terapi tambahan Propoelix® diperoleh hasil: Terdapat gambaran perubahan jumlah CD4 pada pasien yang mendapatkan terapi tambahan Propoelix®. Perubahan pada bulan pertama pemberian sangat jelas dibandingkan bulan keenam. Ini berarti, pemberian propolis ekstrak memperbaiki sistem imunitas pasien. NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016 137 128—138 Pemberian Propoelix® sebagai Terapi Tambahan pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka. 8. Amir N. Aspek Neuropsikiatri Infeksi HIV dan AIDS. Jiwa 2006; XXIX No.1:21-34. 9. 21. Leserman J, Petitto JM, Golden RN, et al. Impact of Stressful Life Events, Depression, Social Support, Coping and Cortisol Atkinson JH, Grant I. Natural History of Neuropsychiatric on Progression to AIDS. Am J Psychiatry 2000; 157:1221-8. Manifestations of HIV Disease. Psychiatric Clinics of North 22. Levenson JL. Evolution of a Psychiatric Subspecialty, In : America 2004;17:17-31. Academy Newsletter. June 2002. http://www.apm.org/ 10. Breitbart W, Marotta R. A Double-Blind Trial of Haloperidol, 23. Lyketsos CG, Hoover DR, Guccione M, et al. Changes in Chlorpromazine, and Lorazepam in the Treatment of Depressive Symptoms as AIDS Develops. Am J Psychiatry Delirium in Hospitalized AIDS Patients. Am J Psychiatry 2006;153:231-7. 2006; 153:1430-1437. 24. Mangindaan L, Adikusumo A, Reksodiputro AH. Konsultasi 11. Chesney MA, Folkman S. Psychological Impact of HIV pada Pasien Seropositif ARC dan AIDS serta pengalaman di Disease and Implications for Interventions. Psychiatric Clinics Jakarta. Dalam: Usaha Terpadu Penanggulangan AIDS. Jakarta: of North America2004; 17:163-178. 12. Chippindale S, French L. ABC of AIDS, HIV Councelling and the Psychosocial Management of Patients with HIV or AIDS. BMJ 2001; 322:1533-5. 13. Depkes RI. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan, Jakarta 2003. 14. Donenberg GR, Emerson E. Understanding AIDS-Risk Behavior Among Adolescents in Psychiatric Care: Links to Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI/RSCM 2009;42-47. 25. O Dowd MA, Gomez MF. Psychoterapy in consultation-liaison psychiatry. Am J Psychotherapy 2001;1:122-32. 26. Robinson MJ, Qaqish RB. Practical Psychopharmacology in HIV-1 and Acquired Immunodeficiency Syndrome. Psychiatric Clinics of North America 2002; 1:1-20 27. Rundell JR, Wise MG. General Principles. In: Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry. Washington, DC: The American Psychiatric Press, 2006;3-23. Psychopathology and Peer Relationships.Journal of the 28. Ruiz P. Clinical Case Conference. Living and Dying With American Academy of Child and Adolescent Psychiatry HIV/AIDS: A Psychosocial Perspective. Am J Psychiatry 2000; 2001; 40:1-12 157:110-3. 15. George H. Counselling People with AIDS, Their Lovers, 29. Strain JJ. Liaison Psychiatry. In: Textbook of Consultation- Friends and Relations. In Counselling in HIV infection & Liaison Psychiatry . Washington, DC: The American AIDS. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 2009;69-87. 16. Green J. Dealing with Anxiety and Depression In Counselling in HIV infection & AIDS. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 2009;174-197. 17. Hawari D. Religious Issues in Psychiatric Practice. Jiwa2008; XXXI No.3:243-248. 18. Judd FK, Cockram A. Liaison Psychiatry in an HIV/AIDS unit. Aust NZ J Psychiatry 2007;3:391-7. 19. Kocsis A. Couselling Those with AIDS Dementia. In Counselling in HIV infection & AIDS. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 2009;88-107. 138 128—138 Psychiatric Press, 2006;39-51. 30. ________. Consultation-Liaison Psychiatry. In: Kaplan& Sadock s Comprehensive Textbook of Psychiatry 11 th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2013;1876-87. 31. Wibisono S. Ilmu Kedokteran Psikosomatik dan Consultation-Liaison Psychiatry. Jiwa2001; XXIV No.4:65-77. 32. _________. Psikiatri dan Agama. Jiwa 2008; XXXI No.3:195-200. 33. Wright JM, Perkins RJ. The Role of liaison psychiatry in an AIDS unit. Aust NZ J Psychiatry 2010; 3:391-6. 20. Lavery JV, Boyle J. Origins of the desire for euthanasia and 34. Zegans LS, Gerhard AL, et al. Psychoterapies for the Person assisted suicide in people with HIV-1 or AIDS: a qualitative with HIV Disease. Psychiatric Clinics of North America 2004; study. The Lancet 2001; 358:362-7. 17:149-160. NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016