Medika MARET 2016-oke

advertisement
ARTIKEL PENELITIAN
Pemberian Propoelix® sebagai
Terapi Tambahan pada Pasien
HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka
www.thepaleosecret.com
Abstract
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) is a syndrome exhibiting symptoms of opportunistic infections
as a result of a compromised immune system due to HIV infection (Human Immunodeficiency Virus) which typically
causes death.
HIV/AIDS has become an epidemic both in the world and in Indonesia. It has a negative impact on many sectors
hence thorough care is needed using the latest science and technology. Propolis is a natural product derived from
plant resins collected by honeybees. It contains CAPE (Caffeic Acid Phenethyl Ester) and is rich in flavonoids (chrysin,
catechin, galangin) which have immunomodulatory effects. The immunomodulatory effects of propolis are being
considered as a form of complementary intervention to boost the immune system of HIV/AIDS patients.
Objective: To obtain clinical results by examining the effect of Propoelix® (highly potent extract of pure Propolis) on
the CD4 levels of HIV/AIDS patients to evaluate the effectiveness of Propoelix® as an adjuvant therapy for HIV/AIDS
patients. This case study will be conducted on HIV/AIDS patients who are currently receiving ARV treatment
as well as those who are not presently receiving ARV treatment. Observations were made on all patients to
examine whether there were improvements in their quality of life.
Method: HIV/AIDS patients at Sungailiat Hospital, Bangka, who were given Propoelix® were observed. Their laboratory results were also observed to detect any changes, in particular to their CD4 levels and their clinical symptoms.
There were a total of 52 HIV/AIDS patients involved in this research. 45 of these patients were receiving 3 types of
ARV treatments, 4 patients were receiving 2 types of ARV treatments and 3 patients were not receiving any ARV
treatment. In this case study, all patients, regardless of whether they were receiving ARV treatment or not
receiving any ARV treatment had shown significant improvement in their condition during the first month.
Conclusion: Propoelix® improved the clinical conditions and CD4 levels of the HIV/AIDS patients involved in this
study at Sungailiat Hospital, Bangka. During the first month of Propoelix® treatment, 77% of patients who
participated in the study showed an increased level of CD4. Patients who had received ARV treatment less than 6
months were more responsive towards Propoelix® treatment (mean: 99.33) compared to the patients who had
received ARV treatment more than 6 months (mean: 39). 100% of participating patients reported improvement in
their quality of life during this study.
Key words: HIV/AIDS, Propoelix® (Propolis Extract)
Abstrak
M. FAUZAN1,
SULISTYO BAGUS2
1Ketua Pokja HIV/AIDS,
RSUD Sungailiat Bangka,
2RSPAD Gatot Soebroto
Ditkesad, Jakarta,
PSIK S3 UNS
128
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom dengan gejala infeksi oportunistik atau kanker
tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang dapat
menyebabkan kematian. Penanganan HIV/AIDS sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi
mutlak diperlukan karena epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia, termasuk Indonesia, dan menimbulkan dampak
buruk dalam berbagai bidang. Propolis merupakan produk alami yang berasal dari resin tanaman yang diproduksi
lebah madu, mengandung CAPE (Caffeic Acid Phenethyl Ester) dan flavonoid (chrysin, catechin, galangin) yang
memiliki efek imunomodulator. Munculnya propolis sebagai imunomodulator dipertimbangkan sebagai intervensi
tambahan dalam meningkatkan sistem imunitas pasien HIV/AIDS.
Tujuan penelitian: mengetahui gambaran klinis dari efek Propoelix® (ekstrak potent dari propolis murni) dalam
meningkatkan kadar CD4 dan menganalisa efektifitas Propoelix® sebagai terapi tambahan pada pasien HIV/AIDS.
Penelitian ini melibatkan pasien HIV/AIDS baik yang telah menggunakan ARV dan tidak menggunakan ARV. Pengamatan dilakukan pada semua pasien untuk memeriksa apakah terjadi perbaikan dalam kualitas hidup mereka.
Metode penelitian: deskriptif dengan mengamati dan menggambarkan perubahan keluhan klinis dan laboratoris
kadar CD4 pasien rawat jalan dan rawat inap HIV/AIDS RSUD Sungailiat, baik yang sudah maupun belum mendapat
ARV, setelah pemberian terapi tambahan Propoelix®.
Terdapat 52 subjek penelitian di mana 45 pasien menggunakan 3 jenis ARV, 4 pasien menggunakan 2 jenis ARV, dan
3 pasien tidak menggunakan ARV. Pada kasus menonjol, pada pasien yang menggunakan ARV maupun tanpa ARV,
mengalami perbaikan klinis dan laboratoris yang nyata pada satu bulan pertama.
Kesimpulan: pemberian Propoelix® memperbaiki kondisi klinis dan kadar CD4 pada pasien dengan HIV/AIDS di RSUD
Sungailiat, Bangka. Selama bulan pertama pengobatan Propoelix®, 77% pasien yang berpartisipasi dalam studi ini
telah menunjukkan peningkatan jumlah CD4. Pasien yang menerima pengobatan ARV kurang dari 6 bulan lebih
responsif terhadap pengobatan Propoelix® (mean: 99,33) dibandingkan dengan pasien yang menerima pengobatan
ARV lebih dari 6 bulan (mean: 39). 100% pasien yang berpartisipasi melaporkan peningkatan kualitas hidup
mereka selama penelitian ini.
Kata Kunci: HIV/AIDS, Propoelix® (Propolis Ekstrak)
(M. Fauzan dan Sulistyo Bagus, Medika 2016, Tahun ke XLII, No. 3, p. 128-138)
NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016
Pemberian Propoelix® sebagai Terapi Tambahan pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka.
Pendahuluan
IDS ( Acquired Immuno Deficiency
Syndrome) adalah sindrom dengan
gejala penyakit infeksi oportunistik
atau kanker tertentu akibat menurunnya
sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV
( Human Immunodeficiency Virus ) yang
biasanya akan membawa kematian pada
akhirnya.1 Definisi untuk menyatakan stadium-stadium penyakit HIV dan saat timbulnya
AIDS telah mengalami revisi berulang kali.
Revisi terakhir dilakukan pada 1993 oleh CDC
(Centers of Disease Control and Prevention)
berdasarkan kondisi klinis yang berhubungan
dengan HIV dan hitung sel CD4+ T limfosit.1,2
Semua keadaan pada kategori C, tanpa
memandang keadaan derajat immunosupresinya, didiagnosis sebagai AIDS;
Sedangkan semua pasien dengan CD4+
limfosit T <200/mm 3 didiagnosis sebagai
AIDS tanpa melihat keadaan klinisnya.1,2
Epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia,
tidak terkecuali Indonesia. Virus ini menyebar
cepat tanpa mengenal batas negara dan
lapisan penduduk. Epidemi HIV/AIDS dapat
menimbulkan dampak buruk terhadap
pembangunan nasional secara keseluruhan,
karena selain berpengaruh terhadap kesehatan juga terhadap ekonomi, politik, dan
keamanan.
Salah satu penyebab tingginya kasus
HIV/AIDS adalah perilaku berisiko yang tinggi
karena tingkat pengetahuan yang rendah
tentang HIV/AIDS, meliputi kurangnya
pengetahuan tentang penularan HIV, rendahnya angka penggunaan kondom pada seks
berisiko, dan tingginya angka berbagi jarum
suntik di kalangan pengguna Napza suntik.
Umumnya masyarakat juga menganggap AIDS
sebagai penyakit menular yang berbahaya
atau mematikan, namun hanya 30-75% yang
merasa dirinya rawan tertular HIV.
Pada 2005, berdiri Klinik Poli Melati
sebagai pusat rujukan HIV di Bangka
Belitung, kemudian pada 2009 Klinik Poli
Tulip di RSUD Depati Hamzah Pangkal Pinang.
Poli melati di RSUD Sungailiat sendiri untuk
penanganan kasus HIV/AIDS sudah memberikan 6 pelayanan yang menjadi Program
Pemerintah, yaitu VCT (Voluntary Counseling
Test ), CST ( Care Support & Treatment ),
PITC (Provider Initiated Testing & Conseling),
PMTCT ( Prevention Mother to Child
Transmition), Profilaksis Klotrimazole dan
Case Manager.
A
www.rkm.com.au
130
NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016
128—138
Data yang ada menunjukkan kasus
HIV/AIDS selalu meningkat setiap waktu.
Permasalahannya, apakah pemberian
Propoelix ® dapat meningkatkan sistem
imunitas pasien dengan meningkatkan
kadar CD4?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran klinis pengaruh Propoelix® sebagai
terapi tambahan pada pasien HIV/AIDS; serta
untuk mengetahui gambaran kadar CD4 setelah mendapat terapi tambahan Propoelix®.
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat
untuk mendapatkan pendekatan baru dalam
upaya penatalaksanaan pasien HIV/AIDS
dengan terapi tambahan Propoelix® serta
mendapatkan efektivitas terapi yang lebih
baik bagi pasien HIV/AIDS.
HIV-AIDS
AIDS ( Acquired Immuno Deficiency
Syndrome) adalah sindrom dengan gejala
penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan
tubuh oleh infeksi HIV ( Human Immunodeficiency Virus) yang biasanya akan membawa kematian.1 Definisi untuk menyatakan
stadium-stadium penyakit HIV dan saat
timbulnya AIDS telah mengalami revisi
berulang kali. Revisi terakhir dilakukan pada
1993 oleh CDC (Centers of Disease Control
and Prevention) berdasarkan kondisi klinis
yang berhubungan dengan HIV dan hitung
sel CD4+ T limfosit.1,2
Terdapat dua dimensi dari klasifikasi infeksi HIV, yaitu riwayat keadaan klinis dan
derajat immunosupresi, yang dilambangkan
dalam hitung CD4+ limfosit T. Keadaan klinis
yang berhubungan dengan HIV ini dibagi
menjadi 3 kategori seperti pada tabel 2.
Semua keadaan pada kategori C tanpa
memandang keadaan derajat immunosupresinyanya didiagnosis sebagai AIDS,
sedangkan semua pasien dengan CD4+
limfosit T <200/mm 3 didiagnosis sebagai
AIDS tanpa melihat keadaan klinisnya.1,2
AIDS pertama kali dikenali di Amerika
Serikat pada 1981. Saat itu, US Centers of
Disease Control and Prevention (CDC)
menemukan pneumonia yang disebabkan
Pneumocystis carinii pada lima pria homoseksual di Los Angeles dan Sarcoma kaposi
pada 26 pria homoseksual di New York dan
Los Angeles. Pada 1983, virus ini berhasil
diisolasi oleh Montagnier, seorang ilmuwan
Perancis, dan pada 1994 dipastikan sebagai
M. FAUZAN, SULISTYO BAGUS.
penyebab penyakit AIDS. Berdasarkan pertemuan International Committee on Taxonomy
of Viruses, WHO memberi nama resmi virus
ini sebagai Human Immunodeficiency Virus
(HIV). HIV tergolong retrovirus yang mempunyai materi genetik RNA. Bila virus masuk
ke dalam tubuh penderita (sel hospes) maka
RNA virus diubah menjadi DNA oleh enzim
reverse transcryptase yang dimiliki oleh HIV.
DNA pro-virus tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya
diprogramkan untuk membentuk gen virus.1
HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen
permukaan CD4, terutama limfosit T4 yang
memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan
tubuh. Selain limfosit T4, virus juga dapat
menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel
Langerhans pada kulit, sel dendrit pada
kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru,
sel retina, sel serviks uteri, dan sel-sel
mikroglia otak. Virus yang masuk ke dalam
limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi
sehingga banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri. Kelumpuhan
sistem kekebalan tubuh ini mengakibatkan
timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan
keganasan yang merupakan gejala klinis
AIDS.2
Infeksi HIV dan AIDS adalah suatu pandemi di seluruh dunia. Jumlah kasus infeksi
HIV pada orang dewasa pada 2000 lebih
kurang 34 juta jiwa, dan dua per tiganya
berada di Afrika Sub Sahara. Sebagai
tambahan, diperkirakan 1,3 juta anak-anak
di bawah 15 tahun hidup dengan HIV/AIDS.
Menurut United Nations Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS), pada 1999 saja terdapat
5,4 juta kasus infeksi baru di seluruh dunia,
yang berarti 15.000 kasus baru setiap hari.
Sebanyak 2,8 juta jiwa yang meninggal
karena AIDS membuat penyakit ini menjadi
pembunuh nomor 4 di seluruh dunia. Data
sampai Desember 2001 menunjukkan
adanya 1978 kasus HIV positif dan 671
kasus AIDS di Indonesia. Diperkirakan jumlah
ini akan meningkat hingga mencapai
80.000—120.000 pada 2010. Berbeda dengan
anggapan awam, ternyata cara penularan
terbanyak di Indonesia adalah hubungan seks
heteroseksual (56%), disusul pemakaian
narkotika injeksi (18,5%), kemudian hubungan homoseksual (6,6%). Sisanya melalui
transfusi darah/produk darah, transmisi
perinatal, dan belum diketahui . Namun,
prosentase jumlah penularan ini mengalami
perubahan seiring ditemukannya kasus baru.
Menurut Ditjen PP & Kemenkes RI (2014),
Papua, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur,
Bali, Riau, dan Kalimantan Barat menduduki
posisi tertinggi prevalensi HIV/AIDS di
Indonesia.
Diagnosis HIV/AIDS ditujukan pada dua
hal, yaitu keadaan terinfeksi HIV dan AIDS.
Langkah-langkah menghadapi setiap
keadaan itu berbeda dalam pengobatan,
perawatan, konseling, maupun prognosis
penyakit itu sendiri.3
Pada orang yang akan melakukan tes HIV
atas kemauan sendiri, sebaiknya dilakukan
konseling prates. Diagnosis dini ditegakkan
melalui pemeriksaan laboratorium dengan
petunjuk dari gejala-gejala klinis atau dari
adanya perilaku risiko tinggi individu tertentu.
Diagnosis laboratorium dapat dilakukan
dengan 2 metode, yaitu langsung dan tidak
langsung. Diagnosis langsung dilakukan
dengan isolasi virus dari sampel, umumnya
dengan pemeriksaan mikroskop elektron
atau deteksi antigen virus, misalnya dengan
Polymerase Chain Reaction (PCR). Sedangkan
diangnosis tidak langsung dilakukan dengan
melihat respons zat anti-spesifik, misalnya
dengan Enzym Linked Immuno Sorbent Assay
(ELISA), Western Blot, Immunofluorescent
Assay (IFA) atau Radioimmunoprecipitation
Assay (RIPA).
Untuk diagnosis HIV yang lazim digunakan pertama-tama adalah pemeriksaan ELISA
karena memiliki sensitivitas yang tinggi
(98-100%). Akan tetapi, spesifisitas kurang
sehingga hasil tes ELISA yang positif harus
thedominican.net
NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016
131
128—138
Pemberian Propoelix® sebagai Terapi Tambahan pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka.
dikonfirmasi dengan Western Blot yang spesifisitasnya tinggi (99,6-100%). Sedangkan
pemeriksaan PCR biasanya dilakukan pada
bayi yang masih memiliki zat antimaternal
sehingga menghambat pemeriksaan secara
serologis dan pada kelompok risiko tinggi
sebelum terjadi serokonversi.1,2,3
AIDS merupakan stadium akhir dari infeksi HIV. Penderita dinyatakan sebagai AIDS
bila dalam perkembangan infeksi HIV
selanjutnya menunjukkan infeksi dan kanker
oportunistik yang mengancam jiwa penderita. Selain itu, CDC pada 1993 telah
menetapkan kondisi yang disebut AIDS
sebagaimana diterangkan di atas.1
Pengobatan terhadap penyakit oportunistik dengan antibiotik seringkali berhasil
dengan baik. Demikian pula pengobatan
kemoterapi untuk keganasan karena
HIV/AIDS. Walaupun demikian, ternyata
penyakit sering kambuh dan pada akhirnya
menyebabkan kematian, karena obat-obat ini
pada dasarnya tidak dapat memperbaiki
kekebalan tubuh. Oleh karena itu, banyak
usaha yang dilakukan untuk menghambat
replikasi virus HIV. Sampai saat ini, obat
antiretroviral sudah dikembangkan.
Medikasi Antiretroviral
Untuk medikasi antiretroviral, digunakan
Nukleosiea Reverse Transcriptase Inhibitor
(NRTI) dan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI). Salah satu medikasi
antiretroviral jenis NRTI adalah AZT (Azidothimidine)/Zidovudine. AZT adalah obat
antiretroviral yang paling sering digunakan
dan direkomendasikan untuk pasien dengan
www.medicaldaily.com
132
NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016
128—138
hitung sel CD4 kurang dari 500 sel. Efek
samping AZT yang terkenal adalah sakit
kepala, malaise, asthenia, insomnia, dan vivid
dreams.4 Satu atau lebih efek samping ini
akan muncul pada separuh orang yang
memakai obat ini. Selain itu, dapat timbul
mual, anoreksia, dan myalgia, tetapi biasanya
gejala ini berkurang setelah pemakaian 6 bulan.1 Pasien yang sakit kepala dapat diberikan
obat analgesik, insomnia diberikan antihistamin atau benzodiazepine kerja singkat, dan
mual diberikan antimimetik. Efek samping ini
mengakibatkan banyak pasien yang sebelumnya asimtomatik akan menghentikan
pengobatan karena merasa lebih “sehat”
dibandingkan ketika memakai obat ini.
Pasien harus terus diberi semangat untuk
meneruskan pengobatan dengan AZT selama
6 minggu sebelum dokter menukarnya
dengan antiretroviral lain. Ada juga yang
mengkaitkan gangguan mood seperti depresi dan mania dengan pemakaian AZT ini.3
Selain AZT, ada Didanosine (ddI) yang
diberikan pada pasien HIV/AIDS dengan
hitung CD4 kurang dari 500 yang tidak
toleran terhadap efek samping AZT atau yang
memakai AZT sekurang-kurangnya 16 minggu, tetapi tetap menunjukkan progresivitas
penyakitnya. Pada permulaan pemakaian,
pasien dapat merasakan peningkatan energi.
Namun, untuk sebagian orang dirasakan sebagai kegugupan atau kecemasan. Insomnia
dapat diatasi dengan tidak minum obat ini
sekitar jam tidur atau diganti menjadi dosis
tunggal untuk pagi hari.4 Efek samping lain
yang paling sering adalah insomnia (25%
pasien), kebingungan (2% pasien), kejang
(3%), dan mania.3
Dideoxycitidine (ddC) juga menjadi
medikasi antiretroviral pada HIV/AIDS.
Meskipun masih berkaitan erat dengan ddI,
ddC jarang menyebabkan insomnia (1%
pasien. Efek samping lain seperti sakit kepala,
pusing, kebingungan, konsentrasi yang
terganggu, asthenia, depresi, dan kejang
jarang terjadi.4
Antiretroviral NRTI lain adalah Stavudine
(d4T). Obat ini mempunyai efek terhadap
fungsi kognitif, emosi, dan perilaku yang
tidak begitu signifikan serta jarang terjadi,
termasuk mania, depresi, insomnia, dan
sebagainya.3,4
Selain obat-obat di atas, obat golongan
inhibitor protease juga dimetabolisme oleh
sitokrom P-450 hepar sehingga dapat
M. FAUZAN, SULISTYO BAGUS.
meningkatkan kadar plasma obat-obat lain,
termasuk psikotropik seperti benzodiazepin,
SSRI, buproprion, dan sebagainya.Yang
termasuk antiretroviral golongan inhibitor
protease adalah Saquinavir, Ritonavir,
Indinavir, dan sebagainya.1
Pengobatan kombinasi memberikan efek
yang lebih baik. Kombinasi berupa beberapa
obat antiretroviral mekanisme kerjanya
berbeda dan tempat kerjanya berbeda
sehingga dapat menurunkan masing-masing
dosis obat dan efek samping minimal. Sejak
ditemukan antiretroviral inhibitor protease,
AZT tidak pernah digunakan lagi sebagai
monoterapi. Meskipun demikian, AZT tetap
merupakan komponen penting dalam kombinasi karena protease inhibitor tidak dapat
menembus sawar darah otak sehingga tidak
efektif mengobati gangguan neurokognitif.
Tetapi, kombinasi dengan obat ini dapat
menghalangi progresivitas gangguan ini
dengan proses yang hingga saat ini belum
jelas diketahui, tetapi dipikirkan mungkin
karena dapat mengurangi viral load. Contoh
kombinasi dapat berupa triple (AZT+ddC+Saquinavir) atau double (AZT+Saquinavir)
atau (AZT+ddC).2,5
Selain obat-obat di atas, diperlukan juga
medikasi untuk infeksi oportunistik dan
keganasan. Infeksi oportunistik yang lazim
ditemukan pada pasien HIV/AIDS adalah
herpes simpleks, kandidiasis, pneumonia
pneumocystis carinii, tuberkulosis, dan
keganasan yang lazim adalah sarkoma
kaposi.1,3,4
Sementara itu, CD4 menjadi marker atau
penanda yang berada di permukaan sel-sel
darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit.
CD4 pada orang dengan sistem kekebalan
yang menurun menjadi sangat penting,
karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel
darah putih atau limfosit yang seharusnya
berperan dalam memerangi infeksi yang
masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, nilai CD4
berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada
orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi
HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin
menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa
sampai nol).
Propolis Ekstrak
Propolis merupakan produk alami yang
berasal dari resin tanaman yang dikumpulkan
oleh lebah madu. Propolis memiliki fungsi
sebagai tameng sarang lebah; mencegah
penyakit dan parasit memasuki sarang,
menghambat pembusukan, serta menghalangi tumbuhnya jamur dan bakteri.
Warnanya tergantung sumber tumbuhannya,
namun biasanya coklat tua. Propolis bersifat
lengket pada suhu ruangan atau di atasnya
(20 oC). Sementara jika lebih rendah, akan
menjadi keras dan rapuh.
Produk ini telah digunakan sejak 300 SM
oleh bangsa Yunani, Romawi, dan Mesir
untuk penyembuhan karena memiliki sifat
anti-inflamasi. Awalnya, pendeta Mesir kuno
menggunakan propolis sebagai salah satu
bahan mengawetkan mumi. Dalam dunia
kedokteran Arab, propolis diidentifikasi oleh
Ibnu Sina sebagai malam yang berwarna
gelap, sebagai sisa kotoran dari sarang.
Sementara, malam yang berwarna bening
dikenali sebagai bahan untuk membuat
sarang. Malam yang berwarna gelap ini
diketahui memiliki sifat membersihkan.
Namun, tertulis juga dalam catatan Ibnu Sina,
jika dicium akan menyebabkan bersin.
Bangsa Asiria kuno mempercayai propolis
sebagai obat untuk melawan kanker dan
tumor. Sementara, Bangsa Yunani menggunakannya untuk mengobati bisul. Dalam
pengobatan tradisional Georgia, ditemukan
salep yang mengandung propolis untuk
mengobati beberapa penyakit. Propolis
digunakan untuk bayi yang baru lahir atau
diusapkan kepada mainannya. Propolis juga
digunakan untuk mengobati kutil, jika terjadi
gangguan pernapasan, dan juga dalam kasus luka bakar dan angina.
Di daerah dengan iklim apa pun di seluruh
dunia, eksudat bud poplar (terutama dari
Populus Nigra L) adalah sumber utama resin
yang dikumpulkan. Propolis poplar memiliki
sekitar 50 jenis zat, terutama resin dan balsam tumbuhan (50%), lilin (30%), minyak
esensial (10%), dan serbuk sari (5%).
Ditemukan pula senyawa biologis aktif dalam
balsam propolis, termasuk senyawa polifenol
( Caffeic Acid Phenethyl Ester [CAPE]),
flavonoid (chrysin, catechin, galangin),
turunan stilben (resveratrol), dan asam lemak.
Senyawa ini, dalam CAPE dan flavonoid
tertentu, terbukti memiliki aktivitas antiinflamasi dan imunomodulasi yang potensial
dalam percobaan laboratorium. CAPE secara
signifikan menghambat produksi sitokin dan
www.voices-of-the-world.org
NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016
133
128—138
Pemberian Propoelix® sebagai Terapi Tambahan pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka.
limfokin, termasuk TNF-α, IL-2, IL-10, IL-12,
IFN, dan menghambat proliferasi sel T.7
Ekstraksi super dari Propoelix ® yang
dilakukan dengan menggunakan proses
ekstraksi unik berguna untuk menghilangkan
bahan yang tidak diperlukan tubuh (misalnya
resin), serta mempertahankan bahan aktif
dalam bentuk unik yang bisa larut dalam air.
Propoelix® ini dapat diberikan sebagai terapi
tambahan untuk pasien HIV/AIDS.
Pasien HIV/AIDS mengalami penurunan
sistem kekebalan tubuh. Sifat propolis ekstrak
yang merupakan zat dengan kemampuan
imunomodulator, antijamur, dan anti-inflamasi diharapkan mampu memperbaiki kondisi klinis dan parameter laboratorium pada
pasien HIV/AIDS sebagai terapi tambahan.
Tabel 1: Karakteristik subjek penelitian pasien HIV di RSUD Sungailiat, Bangka
NO
Subjek (n=52)
Mean + SD
Median (Min - Max)
1
2
Umur (tahun)
36,33 + 9,44
35 (15 — 60)
Lama ARV (bulan)
21,94 + 20,71
15 (1 — 96)
Tabel 2: Jumlah CD4 rata-rata setelah 1 bulan dan 6 bulan terapi tambahan
Propoelix®
CD4
Mean + SD
CD4 Baseline
289.71 + 23,17
281 (2 - 828)
CD4 Bulan 1
346.11 + 23,31
313 (48 - 996)
CD4 Bulan 6
379.88 + 19,63
347 (64 - 922)
Median (Min - Max)
Materi dan Metode
Jenis penelitian ini adalah deskriptif
dengan mengamati dan menggambarkan
pasien dengan HIV/AIDS yang berobat di
RSUD Sungailiat dan sudah mendapatkan
ARV atau belum, diberikan terapi tambahan
Propoelix®.
Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit
Umum Daerah Sungailiat, Bangka. RSUD
Sungailiat adalah rumah sakit milik
Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka yang
berada di Sungailiat dan telah lama dikenal
oleh masyarakat, baik di Sungailiat maupun
di Pulau Bangka. Awalnya, rumah sakit ini
merupakan Rumah Sakit Paru Milik Misi
Katholik yang dinasionalisasikan dan diresmikan penggunaannya pada 12 November
1970 sebagai rumah sakit kelas D. Penelitian
dilaksanakan selama 6 bulan, dari Februari
s.d. Agustus 2014.
134
NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016
128—138
Sebagai subjek penelitian adalah pasien
rawat inap dan rawat jalan RSUD Sungailiat
serta semua pasien yang datang berobat
dengan status laboratorium HIV positif, dan
mendapat terapi ARV sebelumnya maupun
yang baru. ARV dan Propoelix® diberikan
sebagai terapi tambahan dengan dosis 2 x
200 mg/hari.
Hasil
Kasus-kasus yang menonjol dan spesifik
dalam penelitian adalah: Kasus 1, seorang
laki-laki, Tn. H, 42 tahun, baru menggunakan
antiretroviral 1 bulan dengan 3 macam ARV
adalah pasien rawat inap di rumah sakit.
Datang pertama kali masuk dengan kadar
CD4= 4 sel/mm2, setelah 1 bulan minum
obat dan ditambah Propoelix® CD4= 127
sel/mm2 dengan kondisi klinis membaik dan
mampu mengendarai sepeda motor. Setelah
6 bulan kadar CD4= 148 sel/mm2. Secara
nyata klinis kondisi pasien mengalami
perbaikan. Demikian pula dengan kadar CD4
laboratoriumnya.
Kasus 2, seorang laki-laki Tn. B, 36
tahun, tidak menggunakan antiretroviral,
adalah pasien rawat inap di rumah sakit.
Datang pertama kali masuk dengan kadar
CD4= 17 sel/mm2. Setelah 1 bulan minum
obat dan ditambah Propoelix ® CD4= 97
sel/mm2 kondisi klinis membaik. Setelah 6
bulan kadar CD4= 168 sel/mm 2 . Secara
berangsur-angsur, perubahan pasien tanpa
ARV juga memberikan perubahan klinis dan
laboratoris yang nyata.
Tabel 1 menggambarkan karakteristik
subjek penelitian dengan jumlah keseluruhan
52 orang dan rata-rata umur 36,33 tahun.
Umur termuda 15 tahun dan tertua 60 tahun.
Lama penggunaan ARV pada subjek ratarata 21,94 bulan dan subjek penelitian telah
berobat ke institusi kesehatan lebih dari 1
tahun.
Persentase subjek penelitan menurut jenis kelamin adalah 54% (n=28) laki-laki dan
46% (n=24) perempuan. Sedangkan persentase subjek penelitian yang menggunakan
antiretroviral (ARV) adalah 86% (n=45)
menggunakan 3 jenis ARV, 8% (n=4) menggunakan 2 jenis ARV, dan 6% (n=3) tidak
menggunakan ARV.
Proporsi perubahan CD4 setelah 1 bulan
ditambahkan Propoelix® di samping tetap
menggunakan ARV adalah 77% (n=40)
mengalami kenaikan dan 23% (n=12) meng-
M. FAUZAN, SULISTYO BAGUS.
Grafik 1: Persentase subjek penelitian menurut jenis
kelamin
Grafik 2 menunjukkan rata-rata CD4
pada saat baseline, 1 bulan setelah pemberian Propoelix ® , dan 6 setelah bulan
mendapat terapi tambahan.
Grafik 3 menggambarkan hasil pengukuran rata-rata perubahan jumlah CD4
setelah pemberian Propoelix® setelah 1 bulan
dan dilanjutkan sampai 6 bulan. Grafik
tersbeut menunjukkan perubahan setelah 1
bulan pertama jumlahnya meningkat sebesar
56,40 /mm2 dari baseline dan setelah 6 bulan
terdapat peningkatan rata-rata sebesar
90,17/mm 2 . Perubahan jumlah CD4 meningkat nyata pada pengamatan di bulan 1
setelah mendapat terapi tambahan.
Tabel 3 memberikan gambaran bahwa
terjadi peningkatan kadar CD4 rata-rata pada
pasien yang diberikan terapi tambahan
Propoelix® dengan penggunaan ARV, baik
Grafik 2: Rata-rata CD4 rata-rata setelah 1 Bulan dan 6 bulan terapi
tambahan Propoelix®
alami penurunan kadar CD4. Sedangkan
proporsi perubahan CD4 setelah 6 bulan
ditambahkan Propoelix® di samping tetap
menggunakan ARV adalah 87% (n=45)
mengalami kenaikan dan 13% (n=7)
mengalami penurunan kadar CD4.
Proporsi perubahan CD4 dari 1 bulan
sampai 6 bulan ditambahkan Propoelix® di
samping tetap menggunakan ARV adalah
69% (n=36) mengalami kenaikan, 27%
(n=14) mengalami penurunan, dan 4%
(n=2) kadar CD4 tetap/tidak mengalami
perubahan.
Tabel 2 menujukkan hasil pengamatan
jumlah CD4 rata-rata pada awal (baseline)
289,71/mm2; setelah 1 bulan mendapatkan
tambahan Propoelix® rata-rata 346,11 /mm2;
dan pada 6 bulan setelah mendapatkan terapi
tambahan rata-rata 379,88 /mm2.
128—138
Grafik 3: Pengukuran rata-rata perubahan jumlah CD4 setelah 1 bulan dan
6 bulan terapi tambahan Propoelix®
kurang dari 6 bulan maupun lebih dari 6
bulan. Jumlah pasien yang menggunakan
ARV kurang dari 6 bulan berjumlah 15 orang
dan pasien dengan penggunaan ARV lebih
dari 6 bulan 37 orang. Rata-rata kadar CD4
pada bulan pertama dan bulan ke-6 meningkat jika dibandingkan dengan CD4 baseline.
Tabel 4 menggambarkan perubahan
jumlah CD4 antara pasien yang sudah
mendapat terapi ARV sebelum 6 bulan dan
setelah 6 bulan lebih. Terdapat perubahan
CD4 yang lebih besar pada pasien yang
mendapat terapi ARV kurang dari 6 bulan
pada pengamatan 1 bulan dan 6 bulan dari
baseline.
Dari data di atas diperoleh gambaran
bahwa perubahan kadar CD4 yang membaik
atau meningkat didapatkan pada penambahan propolis sebagai terapi kepada pasien
NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016
135
Tabel 3:
Hubungan antara kadar CD4
dengan lama penggunaan ARV
CD4 Baseline
CD4 1 Bln
CD4 6 Bln
Diskusi
Hampir seluruh subjek penelitian
menyampaikan kondisi fisiknya lebih baik.
Kondisi subjektif pasien adalah keluhan dan
pernyataan pasien selama follow up. Pasien
yang drop out karena tidak datang untuk
follow up selama proses terapi, sebagian
besar karena ketidakpatuhan dalam terapi
yang dijalaninya.
Beberapa kasus sangat menonjol dengan
perbaikan klinis dari perawatan di ICU.
Sebulan kemudian mampu beraktivitas seperti sebelumnya sampai bisa naik sepeda
Kategori Lama ARV
N
Mean + SD
Median (Min - Max)
< 6 bulan
15
214,80 + 210,99
103 (4-670)
> 6 bulan
37
320,08 + 235,499
301 (2-828)
< 6 bulan
15
314,13 + 283,647
155 (63-996)
> 6 bulan
37
359,08 + 212,343
317 (48-804)
< 6 bulan
15
332,73 + 196,811
333 (108-751)
> 6 bulan
37
399,00 + 195,03
361 (64-922)
Tabel 4: Gambaran perubahan jumlah CD4 awal dan masa pengobatan dengan lama penggunaan ARV
Kategori Lama ARV
N
Mean + SD
< 6 bulan
15
99,33 + 120,09
67 (-35-332)
> 6 bulan
37
39 + 77,41
34 (-135-273)
< 6 bulan
15
117,93 + 89,10
92 (-47-320)
> 6 bulan
37
78,92 + 98,157
79 (-108-328)
CD4 1 - Baseline
CD4 6 - Baseline
CD4 6 - Bln
Median (Min - Max)
< 6 bulan
15
18,6 + 115,71
32 (-245-268)
> 6 bulan
37
39,92 + 70,75
37 (-92-290)
motor. Hal ini ditunjukkan juga dengan
pengukuran CD4 yang awalnya hanya
4/mm 2, setelah 1 bulan mendapat terapi
tambahan Propoelix® menjadi 127/mm2, dan
setelah 6 bulan pengukuran CD4 menjadi
148/mm2.
Kasus pada pasien yang tidak mendapatkan ARV sebelumnya dengan pemberian
Propoelix® juga meningkat jumlah CD4-nya.
Rata-rata dari seluruh subjek penelitan
mengalami peningkatan jumlah CD4 setelah
mendapat terapi tambahan Propoelix®.
Propoelix ® meningkatkan jumlah CD4
pada pasien dengan HIV/AIDS. Peningkatan
136
NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016
pada bulan pertama dari baseline cukup
nyata dibandingkan setelah 6 bulan mendapatkan terapi tambahan.
Cara kerja propolis sebagai imunomodulator dan anti-inflamasi serta antibakteri
telah banyak disampaikan melalui penelitianpenelitian. Cara kerja imunomodulator pada
propolis hijau Brazil pada mencit menurut
Sforcin dkk (2010) adalah dengan mengaktivasi langkah awal respons imun oleh
peningkatan ekspresi TLR-2 dan TLR-4 dan
produksi sitokin proinflamasi (IL-1 dan IL-6)
yang diproduksi oleh makrofag dan sel lien,
yang berkontribusi untuk mengenali mikroorganisme dan mengaktifkan limfosit oleh
antigen presenting cells . 8 Cara kerja ini
didapat oleh dosis 200 mg/kg.
Sforcin dkk., (2007) menjelaskan bahwa
poplar dan baccharis propolis memiliki efek
imunostimulasi dengan meningkatkan
produksi antibodi dan mengaktifkan limfosit
B dan T. Propolis hijau Brazil pada dosis 2,5, 5
dan 10 mg/kg menunjukkan peningkatan
generasi hidrogen peroksida untuk membunuh mikroorganisme (Orsi, 2000) dan efek
menghambat proliferasi splenosit dan efek
imunosupresor pada respons limfoproliferatif
(You et al, 1998).
Penelitian Ansorge dkk., (2003), Caffeic
Acid Phenethyl Ester (CAPE) dalam propolis
dan flavonoid quercetin serta hesperidin
memediasi penekanan sintesis DNA pada sel
mononuklear darah tepi manusia dan sel T
CD4. CAPE dalam dosis 1,5 dan 10 mikroMol
memiliki efek dalam menghambat transkripsi
faktor NF-kB dan NFAT sehingga berpengaruh terhadap inhibisi transkripsi gen IL-2,
ekspresi IL-2R, dan proliferasi sel T (Marquez
et al, 2004).
Flavonoid yang diisolasi dari Phyllanthus
niruri memiliki aktivitas imunomodulator
terhadap limfosit. Dibuktikan bahwa
proliferasi limfosit meningkat 2x nilai normal
pada DPPH assay.
Aktivitas anti-inflamasi propolis dilaporkan dalam berbagai model penelitian.
Pemberian propolis 200 mg/kg dalam waktu
singkat (3 hari) pada mencit menghambat
produksi IFN- pada kultur splenosit. Mencit
C57BL/6 yang diberikan propolis hijau Brazil
200 mg/kg selama 14 hari menunjukkan
aktivitas anti-inflamasi dengan penghambatan produksi IL-1β, IL-6, IFN- , IL-2, dan
IL-10 oleh sel lien yang biasa terjadi pada
inflamasi kronik.
dengan pemakaian ARV kurang dari 6 bulan.
Perubahan kadar CD4 tampak nyata pada
bulan pertama pemakaian dibanding dengan
perubahan CD4 pada bulan ke-6.
128—138
Pemberian Propoelix® sebagai Terapi Tambahan pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka.
M. FAUZAN, SULISTYO BAGUS.
Flavonoid Naringenin menghambat
kemampuan C. trachomatis untuk memfosforilasi p38 dalam makrofag sehingga
menunjukkan suatu mekanisme yang
berpotensi terhadap pelemahan daya
produksi mediator inflamasi. Naringenin
adalah imunomodulator dalam peradangan
yang dipicu oleh C. trachomatis , yang
dimediasi oleh TLR2, TLR4, dan reseptor
CD86 pada makrofag yang terinfeksi melalui
jalur p38 MAPK.
Propolis hijau Brazil 10% menstimulasi
produsi antibodi.8 Pemberian CAPE dalam
dosis 5, 10 dan 20 mg/kg pada mencit BALB/c
meningkatkan produksi antibodi (Park dkk.,
2004).
Percobaan secara in vitro menunjukkan
bahwa propolis dapat berinteraksi langsung
pada mikroorganisme dan secara in vivo
propolis dapat menstimulasi sistem imun
serta mengaktivasi mekanisme yang terlibat
dalam membunuh mikroorganisme. Propolis
terbukti memiliki efek yang sinergis dengan
obat antimikroba. Oksuz (2006) membuktikan bahwa propolis mengurangi resistansi
antibiotik terhadap dinding bakteri dan
bersinergi dengan mekanisme antibiotik pada
ribosom.
Liberio dkk (2009) memaparkan ringkasan mengenai efek propolis pada kelompok Streptococcus mutans dan menyarankan
potensi dari propolis atau dari komposisinya
sebagai bahan kariostatik dan perkembangan
dari produk bioteknologi untuk mengontrol
karies atau penyakit infeksi lain. Santos dkk.,
(2008) mengevaluasi efikasi klinis dari
formulasi gel propolis Brasil terbaru pada
pasien yang didiagnosis stomatitis denture
dan membuktikan remisi lengkap gejala
klinis dari edema palatum dan eritema. Beliau
juga menyarankan bahwa gel ini efisien dan
bisa menjadi obat topikal alternatif untuk
menerapi stomatitis denture.
Pemberian Propoelix ® memperbaiki
kondisi klinis dan laboratoris pada pasien
dengan HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka.
100% pasien yang berpartisipasi melaporkan
peningkatan kualitas hidup mereka selama
penelitian ini. Perlu tindak lanjut terhadap hasil
penelitian ini untuk pengembangan dengan
metode penelitian yang lebih tinggi. n
Daftar Pustaka
1.
Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Disease: AIDS and Relater Disorders. In: Harrison s 15th
edition Principles of Internal Medicine. New York: Mc GrawHill, 2001;1852-1893.
2.
Kaplan HI, Sadock BJ. Neuropsychiatric Aspects of HIV
Infection and AIDS. In Kaplan & Sadock s Comprehensive
Textbook of Psychiatry 11th Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2013;308-36.
3.
Worth JL, Halman MH. HIV Disease/AIDS. In: Textbook of
Consultation-Liaison Psychiatry. Washington, DC: The
American Psychiatric Press, 2006;833-868.
4.
Katz MH. Effect of HIV Treatment on Cognition, Behavior,
and Emotion. Psychiatric Clinics of North America
2002;25:1-20.
5.
Treisman GJ, Kaplina AI. Neurologic and Psychiatric
Complications of Antiretroviral Agents. In Official Journal of
the International AIDS Society. http://www.medscape.com/
12-08-2006.
6.
Sforcin JM, Bankoca V. Journal of Ethnopharmacology.
Propolis: Is there a potential for the developent of new
drugs? 2010
http://www.hindawi.com/journals/
m i / 2 0 1 3 / 1 0 2 4 5 7 / h t t p : / / w w w. n c b i . n l m . n i h . g o v /
pubmed/12898413
7.
Abidin NZ. Consultation-Liaison Psychiatry: Posisi Peran serta Fungsinya diantara Profesionalisme. Jiwa 2002; XXV
No.3:51-61
Kesimpulan
Dari gambaran laporan kasus pasien
HIV/AIDS yang mendapat terapi tambahan
Propoelix® diperoleh hasil: Terdapat gambaran perubahan jumlah CD4 pada pasien
yang mendapatkan terapi tambahan
Propoelix®. Perubahan pada bulan pertama
pemberian sangat jelas dibandingkan
bulan keenam. Ini berarti, pemberian
propolis ekstrak memperbaiki sistem
imunitas pasien.
NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016
137
128—138
Pemberian Propoelix® sebagai Terapi Tambahan pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Sungailiat, Bangka.
8.
Amir N. Aspek Neuropsikiatri Infeksi HIV dan AIDS. Jiwa
2006; XXIX No.1:21-34.
9.
21. Leserman J, Petitto JM, Golden RN, et al. Impact of Stressful
Life Events, Depression, Social Support, Coping and Cortisol
Atkinson JH, Grant I. Natural History of Neuropsychiatric
on Progression to AIDS. Am J Psychiatry 2000; 157:1221-8.
Manifestations of HIV Disease. Psychiatric Clinics of North
22. Levenson JL. Evolution of a Psychiatric Subspecialty, In :
America 2004;17:17-31.
Academy Newsletter. June 2002. http://www.apm.org/
10. Breitbart W, Marotta R. A Double-Blind Trial of Haloperidol,
23. Lyketsos CG, Hoover DR, Guccione M, et al. Changes in
Chlorpromazine, and Lorazepam in the Treatment of
Depressive Symptoms as AIDS Develops. Am J Psychiatry
Delirium in Hospitalized AIDS Patients. Am J Psychiatry
2006;153:231-7.
2006; 153:1430-1437.
24. Mangindaan L, Adikusumo A, Reksodiputro AH. Konsultasi
11. Chesney MA, Folkman S. Psychological Impact of HIV
pada Pasien Seropositif ARC dan AIDS serta pengalaman di
Disease and Implications for Interventions. Psychiatric Clinics
Jakarta. Dalam: Usaha Terpadu Penanggulangan AIDS. Jakarta:
of North America2004; 17:163-178.
12. Chippindale S, French L. ABC of AIDS, HIV Councelling and
the Psychosocial Management of Patients with HIV or AIDS.
BMJ 2001; 322:1533-5.
13. Depkes RI. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan
Pengobatan Bagi ODHA. Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan, Jakarta 2003.
14. Donenberg GR, Emerson E. Understanding AIDS-Risk
Behavior Among Adolescents in Psychiatric Care: Links to
Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI/RSCM 2009;42-47.
25. O Dowd MA, Gomez MF. Psychoterapy in consultation-liaison psychiatry. Am J Psychotherapy 2001;1:122-32.
26. Robinson MJ, Qaqish RB. Practical Psychopharmacology in
HIV-1 and Acquired Immunodeficiency Syndrome.
Psychiatric Clinics of North America 2002; 1:1-20
27. Rundell JR, Wise MG. General Principles. In: Textbook of
Consultation-Liaison Psychiatry. Washington, DC: The
American Psychiatric Press, 2006;3-23.
Psychopathology and Peer Relationships.Journal of the
28. Ruiz P. Clinical Case Conference. Living and Dying With
American Academy of Child and Adolescent Psychiatry
HIV/AIDS: A Psychosocial Perspective. Am J Psychiatry 2000;
2001; 40:1-12
157:110-3.
15. George H. Counselling People with AIDS, Their Lovers,
29. Strain JJ. Liaison Psychiatry. In: Textbook of Consultation-
Friends and Relations. In Counselling in HIV infection &
Liaison Psychiatry . Washington, DC: The American
AIDS. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 2009;69-87.
16. Green J. Dealing with Anxiety and Depression In Counselling
in HIV infection & AIDS. Oxford: Blackwell Scientific
Publications, 2009;174-197.
17. Hawari D. Religious Issues in Psychiatric Practice. Jiwa2008;
XXXI No.3:243-248.
18. Judd FK, Cockram A. Liaison Psychiatry in an HIV/AIDS unit.
Aust NZ J Psychiatry 2007;3:391-7.
19. Kocsis A. Couselling Those with AIDS Dementia. In
Counselling in HIV infection & AIDS. Oxford: Blackwell
Scientific Publications, 2009;88-107.
138
128—138
Psychiatric Press, 2006;39-51.
30. ________. Consultation-Liaison Psychiatry. In: Kaplan&
Sadock s Comprehensive Textbook of Psychiatry 11 th
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2013;1876-87.
31. Wibisono S. Ilmu Kedokteran Psikosomatik dan Consultation-Liaison Psychiatry. Jiwa2001; XXIV No.4:65-77.
32. _________. Psikiatri dan Agama. Jiwa 2008; XXXI
No.3:195-200.
33. Wright JM, Perkins RJ. The Role of liaison psychiatry in an
AIDS unit. Aust NZ J Psychiatry 2010; 3:391-6.
20. Lavery JV, Boyle J. Origins of the desire for euthanasia and
34. Zegans LS, Gerhard AL, et al. Psychoterapies for the Person
assisted suicide in people with HIV-1 or AIDS: a qualitative
with HIV Disease. Psychiatric Clinics of North America 2004;
study. The Lancet 2001; 358:362-7.
17:149-160.
NO. 3 TAHUN KE XLII, MARET 2016
Download