TESIS EKSTRAK ETANOL DAUN BELUNTAS (Pluchea indica. L.) DAPAT MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI Streptococcus mutans MARIA MARTINA NAHAK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2012 TESIS EKSTRAK ETANOL DAUN BELUNTAS (Pluchea indica. L.) DAPAT MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI Streptococcus mutans MARIA MARTINA NAHAK NIM 1090761025 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2012 EKSTRAK ETANOL DAUN BELUNTAS (Pluchea indica. L.) DAPAT MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI Streptococcus mutans Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana MARIA MARTINA NAHAK NIM 1090761025 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2012 Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 26 Juni 2012 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No: 1034/UN14.4/HK/2012, Tanggal: 25 Mei 2012 Ketua : Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK Anggota : 1. Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro 2. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And 3. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes 4. Dr. dr. Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatNya penulis dapat menyusun laporan Tesis yang berjudul “Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea indica. L.) dapat Menghambat Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans” tepat pada waktunya. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk meraih gelar Magister pada Program Pascasarjana Ilmu Biomedik dengan Kekhususan Ilmu Kedokteran Dasar Bidang Farmakologi Universitas Udayana. Tesis ini tidak mungkin diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini dengan tulus penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK., selaku pembimbing I dan Dr. dr. Komang Bagus Satriyasa, M.Repro., selaku pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan dan saran serta semangat kepada penulis sehingga laporan Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terimakasih yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Biomedik Universitas Udayana dan Direktur Politeknik Kesehatan Denpasar, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada para penguji Tesis yaitu Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK., Dr. dr. Komang Bagus Satriyasa, M.Repro., Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And., Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes., Dr. dr. Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si., yang telah memberikan koreksi, masukan dan saran yang sangat berguna untuk penyempurnaan Tesis ini. Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terimakasih kepada para dosen Program Studi Ilmu Biomedik kekhususan Ilmu Kedokteran Dasar yang dengan penuh kesabaran telah banyak memberikan dorongan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan program studi ini tepat pada waktunya. Ucapan terimakasih yang sama penulis sampaikan kepada Dr. dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si., Sp.MK(K)., selaku Kepala Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah mengijinkan penulis menggunakan fasilitas Laboratorium Mikrobiologi untuk penelitian Tesis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Amy Yelly Kusmawati, SKM, MP., atas kesabaran dan ketekunannya melakukan penelitian tesis ini bersama penulis di Laboratorium Mikrobiologi FK Universitas Udayana. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada staf administrasi, teman-teman mahasiswa Program Magister Ilmu Biomedik kekhususan Ilmu Kedokteran Dasar, teman-teman di Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Denpasar yang telah banyak memberikan dorongan dan semangat kepada penulis. Akhirnya penulis menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada suami tercinta, Simon Nahak, SH, MH., anak-anak tercinta, Anastasia Maria Prima Nahak, Teresita Marselina Nahak, Albertus Joseph Nahak yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk lebih berkonsentrasi dalam menyelesaikan studi di Program Magister ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian Tesis ini. Denpasar Juni 2012 Penulis ABSTRAK EKTRAK ETANOL DAUN BELUNTAS (Pluchea indica. L.) DAPAT MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI Streptococcus mutans Karies merupakan penyakit jaringan keras gigi yang disebabkan oleh demineralisasi lapisan email dan dentin akibat asam yang dihasilkan melalui proses fermentasi substarat oleh Streptococcus mutans. Bakteri ini menghasilkan asam laktat yang berperan penting untuk merubah lingkungan rongga mulut menjadi lebih asam (pH 5,2 – 5,5) sehingga email mulai mengalami proses demineralisasi dan terjadilah karies gigi. Hasil Survey Kesehatan Rumah tangga tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi karies di Indonesia mencapai 90,05% penduduk. Hasil Riset Kesehatan Dasar menunjukkan prevalensi karies aktif penduduk Indonesia mencapai 43,4%. Karies harus dirawat dengan baik dan dicegah agar gigi yang sehat tidak sampai terserang karies. Salah satu cara pencegahannya adalah menggunakan obat kumur yang mengandung antiseptik yang berasal dari ekstrak tumbuh-tumbuhan yaitu ekstrak etanol daun beluntas untuk mencegah pertumbuhan dan akulumasi plak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ekstrak etanol daun beluntas dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Penelitian ini adalah eksperimen menggunakan completely randomized post test only control group design. Mula-mula disiapkan isolat bakteri Streptococcus mutans dan ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% untuk mengetahui kemampuan daya hambat ekstrak tehadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dan dilakukan uji daya hambat menggunakan metode difusi disk. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan One Way Anova, dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference dengan tingkat kepercayaan 95% dan analisis kualitatif menggunakan ChiSquare. Hasil uji One Way Anova menunjukkan terdapat perbedaan daya hambat yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menggunakan ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% dengan nilai p = 0,000. Konsentrasi ekstrak 25% mempunyai daya hambat setara dengan kontrol positif, dan kekuatan daya hambat meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak. Hasil analisis kualitatif menggunakan Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara peningkatan konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas dengan kualitas daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dengan nilai p = 0,000. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Konsentrasi minimal yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri adalah 25%. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan MIC dan MBC dari ekstrak etanol daun beluntas dan manfaatnya sebagai obat kumur antiseptik pada manusia. Kata kunci: Ekstrak etanol daun beluntas, Streptococcus mutans, daya hambat ABSTRACT ETHANOL EXTRACT OF BELUNTAS LEAVES (Pluchea indica.L.) CAN INHIBIT THE GROWTH OF Streptococcus mutans Caries is a common disease of the teeth, caused by lactic acid produced by bacteria plaque through fermentation of substrate rich of sucrose and glucose. This bacteria plaque especially Streptococcus mutans produced acid from substrate and in a period of time change the oral cavity environment to become more acidity (pH 5.2-5.5) and at the time, demineralization process beginning and caries occurred. Indonesian Health Survey in the year 2004, found that caries prevalence in Indonesia achieved 90.05%. Basic Health Research in Indonesia in the year 2007, found that prevalence of tooth decay achieved 43,4%. According to this fact caries must be treated and prevented. Preventing caries must be done in many ways, one of this is using antiseptic mouth rinsing from plant extract that is ethanol extract of beluntas leaves to prevent plaque formation and accumulation in tooth surface. The aim of this study is to know that ethanol extract of beluntas leaves can inhibit the growth of Streptococcus mutans. This is an experimental study with completely randomized post test only control group design. Firstly, preparation of isolate of Streptococcus mutans and then preparation of ethanol extract of beluntas leaves in difference concentration, they are: 25%, 50%, 75% and 100%. To know an inhibitory effect of this extract against the growth of Streptococcus mutans was used diffusion disk method. Data was analyzed by One Way Anova, continuing by Least Significant Difference test. Qualitative analysis was used Chi-Square. This study found that there is a significant difference between control group and ethanol extract of beluntas leaves in varying concentration, they are 25%, 50%, 75% and 100% to inhibit the growth of Streptococcus mutans with p = 0.000. This study also found that ethanol extract with 25% of concentration shown the same inhibitory effect with chlorhexidine 0,12% as positive control and the inhibitory effect raising following the increasing of concentration of extract. Chi-Square analysis shown that there is a significant correlation between an inhibitory effect with the increasing of concentration of extract with p = 0.000. The conclusion is Ethanol Extract of beluntas leaves in varying concentration, they are 25%, 50%, 75% and 100%, can inhibit the growth of Streptococcus mutans. Minimal inhibitory concentration in this study is 25%. An advanced study need to determine minimal inhibitory concentration (MIC) and minimal bactericidal concentration (MBC) of this extract and also the benefits of this extract as antiseptic mouth rinsing. Key Words: Ethanol Extract of Beluntas Leaves, Streptococcus mutans, an Inhibitory Effect. DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM………………………………………………... i PRASYARAT GELAR …………………………………………… ii LEMBAR PERSETUJUAN ……………… ……………………… iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……………………………….. iv UCAPAN TERIMAKASIH ………………………………………. v ABSTRAK …………………………………………………………. vii ABSTRACT ………………………………………………………... viii DAFTAR ISI ………………………………………………………. ix DAFTAR TABEL …………………………………………………. xiii DAFTAR GAMBAR ……………………………………………… xiv DAFTAR SINGKATAN …………………………………………… xv DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………. xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………… 1 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ………………………………. 7 1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………. 8 1.3.1 Tujuan umum ………………………………………. 8 1.3.2 Tujuan khusus ………………………………………. 8 1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………. 8 1.4.1 Manfaat ilmiah……………………………………… 8 1.4.2 Manfaat aplikasi ……………………………………. 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karies ………………………………………………………. 10 2.1.1 Pengertian .. ………………………………………….. 10 2.1.2 Penyebab dan proses terjadinya karies……………….. 11 2.1.3 Akibat karies………………………………………….. 12 2.1.4 Penanggulangan karies ……………………………….. 13 2.2 Streptococcus mutans……………………………………….. 14 2.2.1 Klasifikasi ilmiah Streptococcus mutans …………….. 14 2.2.2 Efek patologis Streptococcus mutans ……………….. 16 2.3 Beluntas (Pluchea indica.L.) ……………………………….. 17 2.3.1 Deskripsi dan sistematika tumbuhan beluntas ……….. 17 2.3.2 Sifat senyawa aktif daun beluntas ……………. ……… 19 2.3.3 Farmakologi zat berkhasiat dalam ekstrak daun beluntas 27 2.3.4 Cara ekstraksi zat berkhasiat dalam daun beluntas ……. 33 2.4 Chlorhexidine ………………………………………………. 35 2.4.1 Farmakologi chlorhexidine 0,12% …………………… 36 2.4.2 Indikasi penggunaan chlorhexidine 0,12% ………….. 37 2.4.3 Efek samping chlorhexidine 0,12% ………………….. 37 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir ………………………………………….. 38 3.2 Konsep Penelitian………………………………………….. 40 3.3 Hipotesis Penelitian ………………………………………… 40 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ……………………………………….. 42 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………….. 43 4.3 Sampel Penelitian…………………………………………… 43 4.3.1 Sampel penelitian …………………………………….. 43 4.3.2 Besar sampel penelitian ……………………………… 43 4.4 Variabel Penelitian …………………………………………. 44 4.4.1 Variabel bebas ………………………………………… 44 4.4.2 Variabel tergantung …………………………………… 44 4.4.3 Variabel kendali ……………………………………….. 44 4.5 Definisi Operasional Variabel ……………………………… 46 4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian …………………………… 47 4.6.1 Bahan utama ………………………………………… 47 4.6.2 Bahan penunjang ……………………………………… 47 4.6.3 Instrumen penelitian …………………………………... 48 4.7 Alur Penelitian ……………………………………………… 49 4.8 Prosedur Penelitian ………………………………………… 50 4.8.1 Pembuatan ekstrak etanol daun beluntas ……………… 50 4.8.2 Pembuatan konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas … 51 4.8.3 Prosedur kerja di laboratorium ……………………….. 51 4.8.4 Penilaian kemampuan ekstrak ………………………… 56 4.9 Analisis Data ……………………………………………….. 56 4.9.1 Analisis deskriptif ……………………………………. 57 4.9.2 Uji normalitas dan homogenitas ……………………… 57 4.9.3 Uji Komparabilitas …………………………………… 57 4.9.4 Analisis kualitatif ……………………………………. 57 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Hasil Penelitian ………………………… 58 5.2 Hasil Uji Normalitas Data ………………………………….. 60 5.3 Hasil Uji Homogenitas Data Antar Kelompok …………….. 60 5.4 Hasil Uji Komparabilits Data Antar Kelompok ……………. 61 5.5 Hasil Uji Kualitatif Terhadap Kualitas Daya Hambat……… 64 BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ………………… 67 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ……………………………………………………. 73 7.2 Saran ………………………………………………………... 73 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………… 75 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Aktivitas Biologis Alkaloid…………………………… Tabel 5.1 Rerata Daya Hambat Kelompok Kontrol dan Kelompok Esktrak Terhadap Pertumbuhan S. mutans …………… Tabel 5.2 62 Analisis Komparasi Daya Hambat Kelompok Esktrak pada Berbagai Konsentrasi…………………………….. Tabel 5.4 61 Analisis Komparasi Daya Hambat Kelompok Esktrak dengan Kelompok Kontrol…………………………….. Tabel 5.3 22 64 Hasil Tabulasi Silang Kualitas Daya Hambat Kelompok Kontrol dan Kelompok Ekstrak Terhadap Pertumbuhan Bakteri S. mutan………………………………………… Tabel 5.5 65 Tingkat Signifikansi Hubungan Antara Konsentrasi Ekstrak dengan Kualitas Daya Hambat Terhadap Pertumbuhan Bakteri S.mutans…………………………. 66 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Streptococcus mutans …………………………………. 15 Gambar 2.2 Tumbuhan Beluntas……………………………………. 18 Gambar 2.3 Hasil Uji Fitokimia untuk Mengetahui Zat Aktif Fenolat.. 21 Gambar 2.4 Hasil Uji Fitokimia untuk Mengetahui Zat Aktif Steroid.. 21 Gambar 2.5 Struktur Kimia Chlorhexidine…………………………… 36 Gambar 3.1 Konsep Penelitian………………………………………... 40 Gambar 4.1 Rancangan Penelitian……………………………………. 42 Gambar 4.2 Hubungan Antar Variabel ………………………………. 45 Gambar 4.3 Alur Penelitian ………………………………………….. 49 DAFTAR SINGKATAN Singkatan Kepanjangannya DMF-T Decay, Missing, Filling-Teeth dmf-t Decay, missing, filling–teeth DepKes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia FDI Federation Dental International WHO World Health Organization NaCl Natrium Chlorida ATCC American Type Culture Collection Da Dalton HTs Hydrosable Tannins CTs Condensed Tannins pH Power of Hidrogen (derajat keasaman) HDL High Density Lipoprotein VLDL Very Low Density Lipoprotein DNA Deoxyribonucleic Acid HIV Human Immunodeficiency Virus NSAIDs Non Steroid Anti Inflamation Drugs CYP 450 Cytochrome P-450 Ditjen PM Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan ATPase Adenosintriphosphatase r Replikasi (pengulangan) CFU Colony Forming Unit VP Voges Proskauer DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil uji Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Beluntas Lampiran 2 Hasil Pengukuran Zona Hambatan Lampiran 3 Kriteria Zona Hambatan Menurut Davis & Stout (1971) Lampiran 4 Hasil uji Deskriptif Lampiran 5 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Lampiran 6 Hasil Uji dengan One Way Anova Lampiran 7 Hasil Uji Least Significant Difference Lampiran 8 Hasil Uji Crosstab dan Chi-Square Lampiran 9 Ethical Clearance Lampiran 10 Foto Hasil Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karies gigi atau dikenal dengan gigi berlubang adalah suatu penyakit pada jaringan keras gigi yang sudah dikenal umum oleh masyarakat. Karies gigi merupakan penyakit yang paling banyak ditemui di dalam rongga mulut, dapat mengenai semua populasi tanpa memandang umur, jenis kelamin, ras ataupun keadaan sosial ekonomi dan merupakan penyebab utama hilangnya gigi. Karies gigi bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama dalam perkembangannya sehingga sebagian besar penderita tidak menyadari bahwa giginya telah berlubang sampai munculnya gejala-gejala berupa ngilu atau sakit gigi ketika memakan makanan yang manis, dingin atau panas yang menandakan bahwa karies gigi telah mencapai fase lanjut. Karies gigi adalah kerusakan pada jaringan keras gigi yang disebabkan oleh aktivitas jasad renik dengan cara meragikan karbohidrat dalam mulut. Tandanya adalah adanya demineralisasi bahan-bahan anorganik yang diikuti oleh kerusakan bahan organik dari email dan dentin. Demineralisasi jaringan keras tersebut bersifat lokal, progresif dan terjadi pada bagian mahkota yaitu pada email dan dentin serta bagian akar yaitu pada sementum dan dentin (Parmar et al., 2007). Menurut Rosenberg (2010), penyakit karies menduduki urutan kedua setelah commmon cold. Pengalaman karies gigi sangat bervariasi antar negara, tergantung pada faktor perilaku, usia, keadaan sosial-ekonomi dan pola hidup serta pola makan masyarakatnya (Parmar et al., 2007). Prevalensi karies di negara-negara maju semakin menurun seiring dengan pesatnya industrialisasi, pola hidup yang sehat dan terjangkaunya pelayanan kesehatan, sedangkan di negara-negara berkembang cenderung terjadi peningkatan oleh karena meningkatnya konsumsi makanan yang banyak mengandung gula olahan dan bersifat lengket serta jangkauan pelayanan kesehatan gigi yang belum memadai. Suatu penelitian di Jepang yang dilakukan terhadap siswa sekolah dasar dari anak-anak keturunan Brazilia-Jepang yang berumur 12 tahun diketahui bahwa rata-rata DMFT-nya ≤ 3 yang artinya rata-rata setiap anak menderita karies pada gigi tetapnya tidak lebih dari tiga gigi (Hashizume et al., 2006). Penelitian lain yang dilakukan di Mexico terhadap anak-anak sekolah berusia 6-9 tahun didapatkan bahwa 52% anak-anak telah menderita karies pada usia 6 tahun (Beltràn-Valladares et al., 2006). Suatu Survei Kesehatan Nasional yang dilakukan secara ekstensif dan menyeluruh pada tahun 2004 di India menunjukkan bahwa 51,9% anak-anak usia 5 tahun dan 53,8% anak-anak berusia 12 tahun telah menderita karies gigi (Moses et al., 2011). Data penyakit karies gigi di Indonesiapun sangat bervariasi. Suatu penelitian yang dilakukan pada tahun 1990 di Jawa Barat terhadap anak-anak yang usianya di bawah lima tahun menunjukkan angka yang sangat mencengangkan dengan rata-rata dmft (decay, missing dan filling-teeth) sebesar 7,98 yang artinya rata-rata setiap anak tersebut memiliki 7-8 gigi susu yang terkena karies (Koloway & Kailis, 1992). Berdasarkan laporan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi karies di Indonesia mencapai 90,05% penduduk (Anonim, 2005). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 dalam bidang kesehatan gigi dan mulut menunjukkan prevalensi karies aktif penduduk Indonesia adalah sebesar 43,4% belum termasuk angka pengalaman karies, sedangkan di Provinsi Bali prevalensi karies penduduk mencapai 53% (Anonim, 2011). Angka ini masih jauh dari harapan apabila dibandingkan dengan target FDI/WHO pada tahun 2000 yang mengatakan bahwa 50% anak berusia 6 tahun harus bebas karies (Anonim1982). Karies disebabkan oleh empat faktor utama yaitu diet yang banyak mengandung karbohidrat terutama sukrosa, anatomi dan morfologi gigi, bakteri yang bersifat asidogenik dan faktor waktu. Karies terjadi akibat proses demineralisasi permukaan email yang disebabkan oleh asam yang diproduksi oleh bakteri dalam plak utamanya yaitu Streptococcus mutans dan mungkin juga oleh Lactobacillus. Bakteri-bakteri tersebut mengadakan fermentasi terhadap diet yang banyak mengandung karbohidrat, menyebabkan pembentukan dan penimbunan asam yang mengakibatkan dekalsifikasi dan destruksi jaringan gigi di bawah plak dan kondisi inilah yang ditemui pada proses pembentukan karies gigi (Lewis & Ismail, 1993). Streptococcus mutans adalah suatu bakteri Gram positif, bersifat facultatively anaerobic, berbentuk coccus (bulat), tersusun seperti rantai, umumnya didapatkan di dalam rongga mulut dan termasuk flora normal serta berperan penting dalam proses terjadinya karies. Bakteri ini termasuk phylum dari Firmicutes dan merupakan kelompok bakteri yang menghasilkan asam laktat dan pertama kali ditemukan pada tahun 1924 oleh J. Kilian Clarke (Clarke, 1924; Vinogradov et al., 2004; Biswas & Biswas, 2011). Streptococcus mutans merupakan bakteri yang memulai terjadinya pertumbuhan plak pada permukaan gigi. Terjadinya hal itu disebabkan karena kemampuan spesifik yang dimiliki oleh bakteri tersebut menggunakan sukrosa untuk menghasilkan suatu produk ekstraseluler yang lengket yang disebut dextran yang berbasis polisakarida dengan perantaraan enzim dextransucrase (hexocyltransferase) yang memungkinkan bakteri-bakteri tersebut membentuk plak, sedangkan untuk menghasilkan asam laktat, Streptococcus mutans bersama-sama dengan Streptococcus sabrinus dan Lactobacillus, memainkan peran yang sangat penting melalui enzim glucansucrase yang dihasilkan oleh bakteri-bakteri tersebut. Asam yang dihasilkan terusmenerus melalui pemecahan substrat yang selalu tersedia, akan merubah lingkungan rongga mulut menjadi lebih asam (pH 5,2 – 5,5), maka email mulai mengalami proses demineralisasi sehingga terjadilah karies (Vinogradof et al., 2004; Argimȏn & Caufiled, 2011). Berdasarkan fakta di atas, karies harus segera ditanggulangi dengan berbagai upaya kesehatan yang menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Upaya kuratif yang dilakukan adalah dengan merawat dan menambal semua gigi yang belubang. Upaya promotif dilakukan dengan cara memberikan informasi dan edukasi yang benar tentang cara memelihara kesehatan gigi, sedangkan upaya preventif dapat dilakukan dengan berbagai cara mekanis dan kimiawi dengan tujuan untuk mengurangi akumulasi plak yang mengandung berbagai macam bakteri terutama Streptococcus mutans yang menyebabkan karies gigi (Kustiawan, 2002; Anonim, 2011). Upaya preventif yang dilakukan secara mekanis misalnya dengan menyikat gigi pada waktu yang tepat dengan cara yang benar, sedangkan cara kimiawi dapat dilakukan dengan aplikasi larutan fluor, penggunaan bahan antiseptik lain misalnya chlorhexidine atau dapat juga menggunakan ekstrak tumbuh-tumbuhan sebagai obat kumur yang mengandung antiseptik. Obat kumur chlorhexidine yang biasa digunakan adalah chlorhexidine dengan konsentrasi 0,12%. Obat kumur ini merupakan antimikroba dengan spektrum luas yang efektif terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif tetapi lebih efektif terhadap bakteri Gram positif (Kustiawan, 2002; Shahani & Reddy, 2011). Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk membuktikan keampuhan chlorhexidine sebagai bahan antimikroba dalam rongga mulut. Menendez et al. (2005), mengatakan bahwa obat kumur chlorhexidine 0,12% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dalam rongga mulut. Penelitian lain yang dilakukan oleh Joyston-Bechal & Hernaman (1993), membuktikan bahwa chlorhexidine 0,05% yang dicampur dengan Natrium fluorida 0,05% dapat menghambat pertumbuhan plak dan mengobati gingivitis. Penelitian lain yang dilakukan oleh Seymour dan Heasman (1995), membuktikan bahwa penggunaan chlorhexidine 0,1% selama 6 minggu dapat menghambat pertumbuhan plak sebanyak 54% dan dapat menghilangkan bau mulut yang berasal dari produk metabolit kuman (plak) yang berada di dorsum lidah atau saliva. Keampuhan chlorhexidine 0,1% tidak diragukan lagi, namun demikian obat kumur ini mempunyai beberapa efek samping yang merugikan yaitu menimbulkan pewarnaan (staining) pada gigi, restorasi ataupun pada lidah, juga dapat mengganggu rasa kecap setelah pemakaian meskipun tidak bersifat permanen (Peterson, 2011). Pencegahan akumulasi plak dalam rongga mulut dapat digunakan obat-obatan kimiawi, juga dapat digunakan ekstrak tumbuh-tumbuhan atau obat-obat tradisional yang telah banyak diteliti saat ini, salah satu diantaranya adalah daun beluntas (Pluchea indica Less). Beluntas (Pluchea indica Less) adalah tumbuhan yang mudah dijumpai di Indonesia, umumnya tumbuh liar di daerah kering pada tanah yang keras dan berbatu, atau ditanam sebagai tanaman pagar. Tumbuhan ini berbau khas aromatis dan rasanya getir. Bagian yang digunakan dari tanaman ini adalah daun dan akarnya yang berkhasiat untuk menghilangkan bau badan dan bau mulut, meningkatkan nafsu makan, mengatasi gangguan pencernaan pada anak-anak, menghilangkan nyeri pada rematik dan sebagainya. Senyawa aktif yang terkandung dalam daun beluntas adalah flavonoid, triterpenoid dan fenol serta turunan minyak atsiri lainnya (Dalimartha, 1999; Nahak et al., 2007). Flavonoid dalam daun beluntas memiliki aktivitas antibakteri, demikian juga senyawa fenol yang terkandung di dalamnya merupakan suatu alkohol yang bersifat asam sehingga disebut juga asam karbolat, yang mempunyai sifat antibakteri yakni menghambat pertumbuhan sel bakteri Escherichia coli (Susanti, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Sulistiyaningsih (2009), menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Methicillin Resistant Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa Multi Resistant dengan konsentrasi daya hambat minimal masing-masing adalah 20% dan 52%. Hasil penelitian Nahak et al. (2007), menunjukkan bahwa ekstrak murni daun beluntas dapat menurunkan 70% jumlah bakteri dalam saliva dan tidak ada perbedaan bermakna dalam penurunan jumlah bakteri setelah ekstrak diencerkan pada konsentrasi 10%, 20% dan 30%. Namun demikian dalam penelitian tersebut belum dapat dibuktikan jenis bakteri spesifik dalam saliva yang dapat dihambat pertumbuhannya menggunakan ekstrak etanol daun beluntas. Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin mengetahui khasiat ekstrak etanol daun beluntas pada berbagai tingkat konsentrasi untuk menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans penyebab karies. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans? 2. Apakah ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 50% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans? 3. Apakah ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 75% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans? 4. Apakah ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 100% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah: untuk mengetahui ekstrak etanol daun beluntas dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. 1.3.2. Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans 2. Untuk mengetahui ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 50% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans 3. Untuk mengetahui ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 75% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans 4. Untuk mengetahui ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 100% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat ilmiah 1. Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang manfaat ekstrak etanol daun beluntas untuk menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. 2. Dapat mengembangkan penggunaan obat tradisional yaitu ekstrak etanol daun beluntas sebagai bahan penghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. 1.4.2 Manfaat aplikasi 1. Ekstrak daun beluntas dapat dimanfaatkan untuk menunjang program kesehatan gigi di masyarakat, yakni sebagai salah satu alternatif upaya pencegahan terhadap pertumbuhan dan akumulasi plak yang banyak mengandung bakteri Streptococcus mutans. 2. Dapat dijadikan masukan untuk penelitian lebih lanjut. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. KARIES 2.1.1 Pengertian Karies gigi adalah kerusakan pada jaringan keras gigi yang disebabkan oleh aktivitas jasad renik dengan cara meragikan karbohidrat dalam mulut. Tandanya adalah adanya demineralisasi bahan-bahan anorganik yang kemudian diikuti oleh kerusakan bahan organik dari email dan dentin. Demineralisasi jaringan keras tersebut bersifat lokal, progresif dan terjadi pada bagian mahkota yaitu pada email dan dentin serta bagian akar yaitu pada sementum dan dentin (Parmar et al., 2007). Penyakit ini menyerang permukaan gigi-geligi yang mengakibatkan kerusakan mahkota gigi dan apabila tidak dilakukan perawatan akan meluas ke pulpa dan dapat merusak seluruh mahkota gigi. Hal ini kemudian akan menimbulkan rasa sakit, terganggunya fungsi mastikasi, terjadi inflamasi jaringan gingiva dan pembentukan abses pada jaringan sekitar gigi (Eccles & Green, 1994; Rosenberg, 2010). Karies gigi atau dikenal dengan gigi berlubang sudah dikenal umum oleh masyarakat, paling banyak ditemui di dalam rongga mulut dan dapat mengenai semua populasi tanpa memandang umur, jenis kelamin, ras ataupun keadaan sosial ekonomi serta merupakan penyebab utama hilangnya gigi. Karies gigi bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama dalam perkembangannya sehingga sebagian besar penderita tidak menyadari bahwa giginya telah berlubang sampai munculnya gejala-gejala berupa ngilu atau sakit gigi ketika memakan makanan yang manis, dingin atau panas yang menandakan bahwa karies gigi telah mencapai fase lanjut (Parmar et al., 2007; Rosenberg, 2010; Moses et al., 2011). 2.1.2 Penyebab dan proses terjadinya karies Karies disebabkan oleh empat faktor utama yaitu: substrat yang mengandung karbohidrat jenis sukrosa, bakteri dalam rongga mulut, kondisi host dalam hal ini struktur dan morfologi gigi serta faktor waktu. Beberapa jenis karbohidrat dalam makanan yaitu sukrosa dan glukosa yang banyak terdapat pada makanan yang manis dan mudah melekat, dapat difermentasikan oleh bakteri Streptococcus mutans, Streptococcus sabrinus dan Lactobacillus yang terdapat di dalam rongga mulut dan membentuk asam sehingga dalam tempo satu sampai tiga menit pH plak akan menurun dibawah lima. Seseorang yang mengabaikan kebersihan gigi dan mulutnya dan mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung sukrosa secara terus-menerus, maka proses fermentasi akan terus berlanjut sehingga pH lingkungan rongga mulut tetap dalam keadaan asam. Lingkungan pH rongga mulut akan kembali ke tingkat yang normal, memerlukan waktu ± 30 menit. Penurunan pH yang berulang-ulang dalam waktu tertentu mengakibatkan demineralisasi permukaan email gigi yang rentan, sehingga proses kariespun dimulai (Kidd & Joiston-Bechal, 1992; Eccles & Green, 1994). Beberapa faktor yang lain yang turut berperan dalam terjadinya karies adalah oral hygiene perorangan, usia, jenis kelamin, perubahan hormonal, keadaan xerostomia, pola makan, faktor ekonomi dan sosial budaya, tingkat pendidikan serta keadaan geografis. Xerostomia adalah suatu keadaan dimana produksi saliva sangat sedikit sehingga mulut terasa kering. Keadaan ini dapat meningkatkan frekuensi karies karena fungsi saliva sebagai buffer dalam rongga mulut menjadi berkurang (Kustiawan, 2002; Rosenberg, 2010). Frekuensi karies akan meningkat seiring bertambahnya umur. Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin lama permukaan gigi berkontak dengan faktor-faktor risiko maka risiko untuk terjadinya kariespun akan semakin meningkat. Perubahan hormonal misalnya pada masa pubertas dan kehamilan dapat menyebabkan terjadinya gingivitis yang mengakibatkan sisa makanan sukar dibersihkan sehinggga frekuensi kariespun dapat meningkat pada periode ini (Tarigan, 1990). 2.1.3 Akibat karies Karies pada tahap awal tidak akan menimbulkan keluhan yang berarti, namun bila tidak dilakukan penambalan pada tahap awal, maka lubang gigi akan menjadi tempat menumpuknya sisa makanan dan bakteri, sehingga proses karies akan berlanjut dan bertambah parah. Karies pada tahap lanjut akan menyebabkan kematian pulpa dan menimbulkan keluhan rasa sakit yang cukup mengganggu aktivitas sehari-hari, terjadinya abses di jaringan sekitar gigi serta timbulnya halitosis yang dapat mengganggu pergaulan. Perawatan karies tahap lanjut memerlukan waktu yang panjang serta biaya yang besar dan apabila tidak dirawat maka gigi tidak dapat dipertahankan lagi sehingga harus dicabut yang mengakibatkan cacatnya fungsi mastikasi dan terganggunya fungsi estetik. Karies tahap lanjut yang tidak dirawat dapat juga menimbulkan komplikasi terhadap organ tubuh yang lain yaitu menjadi fokal infeksi terjadinya sinusitis maksilaris, kerusakan katup jantung dan artritis (Lewis & Ismail, 1993; Kustiawan, 2002; Rosenberg, 2010). 2.1.4 Penanggulangan karies Diagnosa dan rencana perawatan karies bertujuan untuk mengembalikan bentuk dan fungsi gigi serta mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut. Struktur gigi yang telah rusak tidak dapat sembuh sempurna meskipun pada karies tahap awal masih terjadi proses remineralisasi. Perawatan karies pada tahap awal yaitu karies yang baru mencapai email dan dentin dapat dilakukan dengan cara membuang struktur gigi yang sudah rusak menggunakan high speed drill, kemudian mengembalikan bentuk anatomi gigi dengan menggunakan bahan restorasi yang sesuai. Kerusakan yang sudah mencapai pulpa akan menyebabkan terjadinya kematian pada pulpa sehingga diperlukan perawatan saraf gigi terlebih dahulu dan selanjutnya gigi direstorasi dengan bahan tambal yang sesuai (Ritter, 2004; Rosenberg, 2010). Pencegahan karies dapat dilakukan dengan banyak cara diantaranya yang paling murah dan mudah adalah menjaga personal oral hygiene dengan cara menyikat gigi secara benar dengan waktu yang tepat yakni segera setelah makan menggunakan pasti gigi yang mengandung fluor, penggunaan dental floss untuk menghilangkan food debris dan food impacted di antara gigi serta mengatur pola makan. Disarankan juga untuk memeriksakan kesehatan gigi secara rutin ke fasilitas pelayanan kesehatan gigi untuk deteksi dini karies, kontrol plak, penutupan fissure gigi yang dalam (fissure sealant), topical application dengan larutan fluor serta penggunaan obat kumur yang mengandung antiseptik baik yang kimiawi maupun yang berasal dari ekstrak tanaman obat untuk mengurangi jumlah plak (Lewis & ismail, 1993; Rosenberg 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Carson et al. (2006), menunjukkan bahwa ekstrak teh hijau dan tea tree oil apabila digunakan sebagai obat kumur dapat menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans dan membunuh bakteri yang lain dalam plak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Yanti et al. (2008), menunjukkan bahwa zat Macelignan yang terdapat dalam daging buah pala dapat mengurangi biofilm level dari Streptococcus mutans. 2.2 Streptococcus mutans 2.2.1 Klasifikasi ilmiah Streptococcus mutans Streptococcus mutans adalah suatu bakteri yang bersifat facultatively anaerobic, Gram positif, berbentuk coccus (bulat), tersusun seperti rantai, umumnya didapatkan di dalam rongga mulut dan termasuk flora normal serta berperan penting dalam proses terjadinya karies. Bakteri ini termasuk phylum dari Firmicutes dan merupakan kelompok bakteri yang menghasilkan asam laktat dan pertama kali ditemukan pada tahun 1924 oleh J. Kilian Clarke (Clarke, 1924; Vinogradov et al., 2004; Biswas & Biswas, 2011). Struktur dinding sel bakteri ini terdiri atas beberapa lapisan peptidoglikan yang tebal dan kaku (20-80µm) sehingga membedakannya dari dinding sel bakteri Gram negatif. Dinding sel bakteri ini mengandung berbagai polisakarida juga mengandung substansi dinding sel yang disebut dengan asam teikoat (teichoic acid) yang diperkirakan berperan dalam pertumbuhan dan pembelahan sel. Bakteri ini juga mempunyai sifat antigen spesifik sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi spesies bakteri tersebut secara serologi (Radji, 2010). Gambar 2.1 Strain Streptococcus mutans dalam kultur Thioglycollate broth (Clarke, 1924) Klasifikasi ilmiah dari Streptococcus mutans adalah sebagai berikut (Clarke, 1924): Kingdom : Bacteria Phylum : Firmicutes Class : Bacilli Order : Lactobacillales Family : Streptococcaceae Genus : Streptococcus Species : Streptococcus mutans 2.2.2 Efek patologis dari Streptococcus mutans Streptococcus mutans bersama-sama dengan Streptococcus sabrinus serta Lactobacillus memainkan peran yang sangat penting melalui enzim glucansucrase yang dihasilkan oleh bakteri-bakteri tersebut untuk menghasilkan asam laktat. Asam yang dihasilkan terus menerus melalui pemecahan substrat yang selalu tersedia, akan merubah lingkungan rongga mulut menjadi lebih asam (pH 5,2 – 5,5), maka email mulai mengalami proses demineralisasi sehingga terjadilah karies (Vinogradof et al., 2004; Argimȏn & Caufiled, 2011). Streptococcus mutans merupakan koloni bakteri pertama yang dijumpai pada permukaan gigi segera setelah gigi pertama erupsi dan merupakan bakteri yang memulai terjadinya pertumbuhan plak pada permukaan gigi. Terjadinya hal tersebut disebabkan karena kemampuan spesifik yang dimiliki oleh bakteri tersebut menggunakan sukrosa untuk menghasilkan suatu produk ekstraseluler yang lengket yang disebut dextran yang berbasis polisakarida dengan perantaraan enzim dextransucrase (hexocyltransferase). Produk bakteri berupa gel ekstraseluler yang lengket tersebut memungkinkan bakteri-bakteri yang lain ikut menempel pada permukaan gigi sehingga terbentuklah plak. Plak terdiri dari berbagai mikroorganisme yang selain menyebabkan karies gigi dapat juga menyebabkan terjadinya gingivitis, periodontitis, abses dan halitosis. (Vinogradof et al., 2004; Argimȏn & Caufiled, 2011). Streptococcus mutans selain menyebabkan karies gigi juga terimplikasi sebagai patogenesis dari penyakit cardiovaskuler tertentu. Bakteri ini merupakan spesies terbanyak yang terdeteksi dari hasil ekstirpasi jaringan klep jantung yaitu sebanyak 68,6% dan dari atheromathous plaque didapatkan 74,1% bakteri (Nakano et al., 2006). Penelitian lain yang dilakukan oleh Kojima et al. (2012), menunjukkan bahwa Streptococcus mutans strain on dextran sodium sulfate (DSS) menyebabkan ulcerative colitis pada tikus percobaan. Sedangkan strain TW 295 akan memperparah ulcerative colitis dan dalam penelitian yang sama strain Streptococcus mutans ini ditemukan juga pada sel-sel hati (hepatocytes) yang mengindikasikan bahwa sel-sel hatipun menjadi target organ dari strain tersebut. 2.3 Beluntas (Pluchea indica Less) 2.3.1 Deskripsi dan sistematika tumbuhan beluntas Beluntas merupakan tumbuhan semak yang bercabang banyak, berusuk halus dan berbulu lembut. Umumnya ditanam sebagai tanaman pagar atau bahkan tumbuh liar, tingginya bisa mencapai dua hingga tiga meter apabila tidak dipangkas. Beluntas dapat tumbuh di daerah kering pada tanah yang keras dan berbatu, di daerah dataran rendah hingga dataran tinggi pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut, memerlukan cukup cahaya matahari atau sedikit naungan dan perbanyakannya dapat dilakukan dengan stek pada batang yang sudah cukup tua. Beluntas termasuk tumbuhan berakar tunggang, akarnya bercabang dan berwarna putih kotor. Batangnya berambut halus, berkayu, bulat, bercabang, pada tumbuhan yang masih muda berwarna ungu dan setelah tua berwarna putih kotor (Dalimartha, 1999; Anonim, 2010). Daun beluntas bertangkai pendek, letaknya berseling, tunggal dan berbentuk bulat telur dengan ukuran 2,5 – 8 cm x 1-5 cm. Pangkal daun menirus, ujung daun meruncing, tepi daun bergerigi, tangkai daun semi duduk tidak ada penumpu dengan warna hijau terang dan berbau harum ketika dihancurkan. Bunganya terdiri dari banyak bongkol pada terminal hemisferikal atau gundungan aksiler. Bunganya berbentuk tabung dengan panjang mahkota 3,5 – 5 mm. Buahnya berbentuk silinder dengan panjang 1 mm dengan biji yang kecil berwarna coklat keputih-putihan (Dalimartha, 1999; Anonim 2010). Gambar 2.2 Tumbuhan Beluntas (Anonim, 2010) Sistematika tumbuhan beluntas adalah sebagai berikut (Ferdian, 2010): Kingdom : Plantae Phylum : Magnoliaphyta Class : Magnoliopsida Ordo : Asterales Family : Asteraceae Genus : Pluchea Species : Pluchea indica (L.)Less 2.3.2 Sifat senyawa aktif daun beluntas Penggunaan tumbuhan sebagai obat sangat berkaitan dengan kandungan kimia yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan tersebut terutama zat bioaktifnya. Senyawa bioaktif yang terdapat dalam tumbuhan biasanya merupakan senyawa metabolit sekunder. Metabolit primer biasanya mengandung asam amino, gugusan gula sederhana, asam nukleat dan lemak yang berguna untuk proses-proses dalam sel misalnya pertumbuhan, fotosintesis, reproduksi dan metabolisme serta fungsi-fungsi primer lainnya, sedangkan metabolit sekunder dalam bentuk senyawa-senyawa aktif, berguna untuk mempertahankan diri. Tumbuhan dapat memproduksi sendiri berbagai jenis metabolit sekunder yang sering dieksploitasi oleh manusia untuk berbagai kepentingan. Metabolit sekunder terbagi atas tiga bagian besar yaitu: terpen dan terpenoid yang terdiri dari ± 25.000 tipe, alkaloid yang terdiri dari ± 12.000 tipe, senyawa phenolic yang terdiri dari ± 8000 tipe (Zwenger & Basu, 2008; Schultz, 2011; Hassanpour et al., 2011). Daun beluntas berbau khas aromatik dan rasanya getir, banyak mengandung zat berkhasiat yang sering digunakan untuk menghilangkan bau badan, bau mulut, mengatasi kurang nafsu makan, mengatasi gangguan pencernaan pada anak, mengobati TBC kelenjar, menghilangkan nyeri pada rematik, nyeri tulang dan sakit pinggang, menurunkan demam, mengobati keputihan dan mengatasi haid yang tidak teratur (Dalimartha, 1999). Kandungan kimia dalam daun beluntas adalah: Alkaloid, flavonoid, tannin, minyak atsiri, asam chlorogenik, natrium, kalium, aluminium, kalsium, magnesium dan fosfor. Sedangkan akar beluntas mengandung tannin dan flavonoid (Dalimartha, 2005). Daun beluntas yang akan digunakan dalam penelitian ini diambil dari daerah Jalan Tukad Badung, Kelurahan Renon Kecamatan Denpasar Timur. Hasil uji fitokimia yang dilakukan pada tanggal 22 November 2011 di UPT Laboratorium Pengembangan Sumber daya Genetik Kelautan dan Rekayasa Genetik (Marine Biology) Universitas Udayana Denpasar, menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun beluntas yang akan dipakai pada penelitian ini mengandung beberapa metabolit sekunder yaitu: Tannin (+), Alkaloid (+), Flavonoid (++), Steroid (+++) dan Fenolat (+++). Tanda (+) menunjukkan banyaknya kandungan zat aktif. Positif satu (+) menandakan bahwa kandungan zat aktif dalam metabolit sekunder hanya sedikit, positif dua (++) menandakan kandungan zat aktif yang banyak dalam metabolit sekunder, dan positif tiga (+++) menandakan kandungan zat aktif yang sangat dalam metabolit sekunder. Wang et al. (2010), mengatakan bahwa senyawa dengan struktur kimia yang hampir sama akan mempunyai profil farmakokinetik yang sama pula. Gambar 2.3 Hasil Uji Fitokimia untuk Mengetahui Zat Aktif Fenolat Gambar 2.4 Hasil Uji Fitokimia untuk Mengetahui Zat Aktif Steroid 2.3.2.1 Sifat senyawa aktif alkaloid Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder yang bersifat basa, yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam cincin heterosiklik. Alkaloid merupakan senyawa organik bahan alam yang terbesar jumlahnya mempunyai struktur yang beraneka ragam dari yang sederhana sampai yang rumit . Kebanyakan alkaloid berbentuk padatan kristal dengan titik lebur tertentu. Berdasarkan biogenetik, alkaloid diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik dan isokuinolin, serta triptofan yang menurunkan alkaloid indol (Putra, 2007). Alkaloid tidak mempunyai tatanan sistematik oleh karena itu suatu alkaloid dinyatakan dengan nama trivial, misalnya kuinin, morfin dan stiknin, Hampir semua nama trivial berakhiran dengan –in yang mencirikan alkaloid. Berdasarkan lokasi atom nitrogen di dalam struktur alkaloid, alkaloid dibagi menjadi lima golongan yaitu: 1) Alkaloid heterosiklis; 2) Alkaloid dengan nitrogen eksosiklis dan amina alifatis; 3) Alkaloid putressina, spermidina dan spermina; 4) Alkaloid peptida dan 5) Alkaloid terpena (Lenny, 2006). Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktivan biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan, misalnya kuinin, morfin, stiknin dan nikotin adalah alkaloid yang terkenal dan mempunyai efek fisiologis serta psikologis (Harborne dan Turner, 1984) dalam Ferdian (2010). Berikut ini adalah aktivitas biologis dari beberapa senyawa alkaloid: Tabel 2.1 Aktivitas Biologis Alkaloid (Putra, 2007) Senyawa Alkaloid (Nama Trivial) Aktivitas Biologis Nikotin Stimulan pada saraf otonom Morfin Analgesik Kodein Analgesik, antitusif Kokain Analgesik Piperin Antifeedant (bioinsektisida) Quinin Obat malaria Ergotamin Analgesik pada migrain Mitraginin Analgesik dan antitusif Saponin Antibakteri 2.3.2.2 Sifat senyawa aktif tannin Tannin adalah suatu senyawa phenolic dengan berat molekul yang cukup besar, berkisar antara 500–3000 Da, bersifat larut dalam air, banyak didapatkan pada daun, kulit, buah, kayu dan akar tanaman dan umumnya didapatkan pada vakuola-vakuola dalam jaringan. Tannin berhubungan erat dengan mekanisme pertahanan tumbuhan terhadap mammalia herbivora, burung dan serangga. Sampai dengan saat ini definisi tentang tannin masih sukar dirumuskan secara tepat (Hassanpour et al., 2011). Tannin digolongkan berdasarkan kemampuannya untuk membentuk suatu kompleks dengan ptotein, sedangkan berdasarkan struktur kimianya tannin dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu: hydrosable tannins (HTs) dan condensed tannins (CTs) yang dibedakan oleh berat molekul dan struktur serta efeknya yang berbeda terhadap herbivora khususnya hewan memamahbiak. HTs biasanya ditemukan dalam konsentrasi yang rendah pada tumbuhan dibandingkan dengan CTs. HTs dapat membentuk senyawa pyrogallol yang bersifat toksik terhadap mamalia. Observasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa apabila senyawa toksik yang terbentuk dalam diet melebihi 20% dapat menyebabkan nekrosis pada hati, kerusakan ginjal disertai dengan nekrosis pada tubulus proksimalis, lesi yang dihubungkan dengan perdarahan gastroenteritis dan dapat menimbulkna kematian pada domba dan ternak (Patra & Saxena, 2010; Hassanpour et al., 2011). CTs atau dikenal juga sebagai proanthocyanidines adalah jenis tannin yang umumnya didapatkan pada berbagai macam tumbuhan. CTs mempunyai struktur kimia yang bervariasi yang mempengaruhi aktivitas fisik dan biologiknya. CTs mengandung unit flavonoid yakni flavan-3-ol yang dihubungkan dengan ikatan karbon-karbon. Tannin merupakan suatu substansi polyphenolic yang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan protein membentuk tanninprotein complex yang bersifat mudah larut, membentuk complex tannin-poylscharides misalnya dengan selulosa, hemiselulosa dan pectin. Tannin juga dapat membentuk kompleks dengan asam nukleat, steroid, alkaloid dan saponin (Hassanpour et al., 2011). Penelitian-penelitian sekarang pada hewan coba menunjukkan bahwa tannin mempunyai efek yang menguntungkan yaitu sebagai anti mikroba, antioksidan dan anthelmintic (Patra & Saxena, 2010; Hassanpour et al., 2011). 2.3.2.3 Sifat senyawa aktif flavonoid Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbanyak di alam. Senyawa-senyawa ini bertanggungjawab terhadap zat warna merah, ungu, biru dan kuning pada mahkota bunga dengan tujuan untuk menarik serangga yang membantu penyerbukan. Flavonoid khususnya flavanoid seperti katekin merupakan senyawa polyphenolic yang umum didapatkan pada tumbuhan yang banyak dikonsumsi oleh manusia. Flavonols terdapat dalam jumlah kecil merupakan bioflavonoid yang asli contohnya adalah quercetin. Flavonoid tersebar luas pada berbagai macam tanaman, toksisitasnya rendah dibandingkan dengan senyawa aktif yang lain, membuatnya banyak dikonsumsi oleh hewan dan manusia. Berdasarkan ikatannya dengan gula, flavonoid terdiri dari dua kelompok yaitu glikosida yang berikatan dengan satu atau lebih molekul gula, dan yang lain yaitu aglikon adalah flavonoid yang tidak berikatan dengan gula. Kebanyakan flavonoid yang berasal dari tumbuh-tumbuhan adalah dalam bentuk glikosida (Williamson, 2004). Aktivitas farmakologis dari flavonoid dianggap berasal dari rutin (glikosida flavonol). Flavonoid dapat digunakan sebagai obat karena mempunyai bermacam-macam bioaktifitas seperti: antiinflamasi, anti bakteri, anti kanker, anti fertilitas, anti viral, anti diabetes, anti depresan dan anti diare (Spencer & Jeremy, 2008; Cushnie & Lamb, 2011). 2.3.2.4 Sifat senyawa aktif steroid Senyawa steroid adalah suatu senyawa organik yang terdapat dalam metabolit sekunder yang didapatkan pada tumbuhan dan hewan. Senyawa ini berasal dari senyawa triterpen yang merupakan derivat dari terpen dengan kerangka dasarnya adalah sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehid atau asam karboksilat, berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering kali bertitik leleh tinggi. Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa yakni: triterpenoid sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Saponin dan glikosida jantung merupakan triterpenoid sedangkan steroid yang terutama terdapat sebagai glikosida (Rustaman et al., 2006). Dahulu steroid dianggap sebagai senyawa satwa berupa hormon kelamin dan asam empedu, namun sekarang makin banyak senyawa tersebut ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Steroid yang terdapat dalam jaringan hewan berasal dari triterpen lanosterol sedangkan yang terdapat dalam jaringan tumbuhan berasal dari triterpen sikloartenol. Tahap awal dari biosintesis steroid adalah sama bagi steroid alam yakni pengubahan asam asetat melalui asam mevalonat dan skualen menjadi lanosterol atau sikloartenol yang kemudian mengalami lagi beberapa tahap perubahan sampai terbentuk senyawa steroid (Rustaman et al., 2006; Zwenger & Basu, 2008). Steroid sebagai salah satu metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak daun beluntas, merupakan derivat senyawa terpene yaitu triterpenoid mempunyai aktivitas antibakteri, antiparasit, antiinflamasi, antijamur, kardiotonik dan efek anabolik (Islam et al., 2003; Prabuseenivasan et al., 2006; Praptiwi et al., 2006; John et al., 2007). Mekanisme aktivitas antibakteri steroid diduga berhubungan dengan kemampuan steroid menyebabkan kebocoran pada bagian aqueous (cair) dari phosphatidylethanolamine yang kaya akan liposome (Epand et al., 2007; Mohamed et al., 2010). 2.3.2.5 Sifat senyawa aktif fenolat Senyawa fenol banyak didapatkan di alam, berasal dari tumbuh-tumbuhan, biasanya terdapat di dalam vegetative foliage tumbuhan yang berguna untuk menakut-nakuti herbivora. Umumnya, senyawa fenolat terbagi menjadi dua senyawa, yaitu fenol sederhana dan polifenol misalnya flavonoid dan tannin, namun masih banyak senyawa-senyawa lain yang merupakan turunan dari senyawa fenol misalnya: eugenol, estradiol, thymol dan lain-lain. Berdasarkan kimia organic, fenol disebut juga phenolic adalah suatu klas senyawa kimia yang terdiri dari gugus hidroksil (OH) terikat secara langsung pada suatu kelompok hidrokarbon aromatik. Senyawa fenolat mampu menetralkan radikal bebas yang membahayakan tubuh, sehingga spektrum aktivitas biokimia senyawa fenolat cukup luas, yaitu sebagai antioksidan, antimutagen, antimikroba, antikarsinogenik, dan mampu memodifikasi ekspresi gen (Devi, 2011). 2.3.3 Farmakologi dari zat berkhasiat dalam ekstrak daun beluntas 2.3.3.1 Farmakologi senyawa alkaloid Senyawa alkaloid yang terkandung dalam berbagai ekstrak tumbuhan mempunyai khasiat yang sangat berguna bagi manusia, misalnya kuinin yang terdapat dalam ekstrak kulit tumbuhan chincona, artemisinin yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan Artemisia annua mempunyai aktivitas terhadap Plasmodium falciparum. Morfin dan kodein juga adalah suatu alkaloid yang mempunyai aktivitas biologis yang berguna yaitu sebagai analgesik yang kuat. Sintesis senyawa-senyawa alkaloid dari tumbuhan tersebut sudah dilakukan sehingga sekarang ditemukan obat-obatan anti malaria sintesik seperti quinine, artemisinin, obat narkotik analgesik dan antitusif sintesik seperti opioid, yang mempunyai efek farmakodinamik, farmakokinetik yang jelas terhadap berbagai penyebab penyakit pada manusia (Putra, 2007). Senyawa alkaloid opioid misalnya morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi apabila kulit mengalami luka maka akan terjadi absorbsi obat lewat kulit yang luka dan lewat mukosa yang masih utuh. Absorbsi obat lewat usus sedikit sekali sehingga efek analgesiknya sangat rendah dibandingkan dengan pemberian perparenteral pada dosis yang sama. Alkaloid opioid yang diberikan secara intra vena akan berikatan dengan protein plasma yaitu α-1-acid glycoprotein, mengalami biotransformasi di hati lewat dua fase yaitu fase oksidasi dan reduksi yang dikatalisis oleh enzim CYP 450. Fase konyugasi akan menghasilkan D-glucoronic acid sebagai metabolitnya yang tidak aktif selanjutnya diekskresi lewat ginjal, sistem empedu dan juga feses. Opioid akan berinteraksi dengan reseptornya untuk menimbulkan efeknya dan potensi analgesik tergantung pada afinitasnya terhadap reseptor opioid spesifik (Sardjono et al., 2004; Putra, 2007). 2.3.3.2 Farmakologi senyawa tannin Tannin yang berasal dari ekstrak tumbuhan diabsorbsi dengan cepat dari saluran cerna kemudian mengalami distribusi dan eliminasi yang cukup cepat pula. Bioavailabilitasnya sangat rendah setelah pemberian peroral. Konsentrasi dalam plasma adalah 213 ng/ml setelah 55 menit pemberian peroral 0,8 g/kg BB ekstrak yang mengandung tannin. Hidrolisisnya kebanyakan terjadi di usus besar pada pH alkalin. Senyawa tannin khususnya oligomeric proanthocianidines dapat menembus sawar darah otak (Wang et al., 2010). Senyawa-senyawa tannin misalnya ellagic acid dapat bereaksi dengan radikal bebas oleh karena kemampuannya untuk berikatan dengan ion-ion metal sehingga mempunyai efek antioksidan yang poten terhadap lipid peroksidasi di dalam mitokondria dan mikrosom. Aksinya sebagai antioksidan ditandai oleh kemampuannya untuk menyediakan elektron sehingga mengeliminasi radikal bebas hasil peroksidasi lipid (Wang et al., 2010). Senyawa tannin juga berfungsi untuk menurunkan kolesterol total, VLDL dan triglicerid dan meningkatkan HDL sehingga memainkan peranan yang penting untuk mengatasi gangguan metabolisme lemak dan obesitas (Lei et al., 2007). Senyawa tannin juga mempunyai efek astringent. Beberapa penelitian membuktikan bahwa senyawa tannin dapat berikatan dengan protein sehingga mempercepat penyembuhan ulcer (Murthy et al., 2004; Ajaikumar et al., 2005). Ellagitannins adalah suatu derivat senyawa tannin mempunyai aktivitas antibakteri dengan cara membentuk kompleks dengan proline yaitu sejenis protein pada dinding sel bakteri, menyebabkan protein leakage, terjadi kerusakan dinding sel bakteri sehingga menyebabkan kematian sel bakteri (Machado et al., 2003; Braga et al., 2005; Mohamed et al., 2010). Tannin mempunyai aktivitas menghambat cara kerja enzim yang berperan dalam replikasi RNA virus, mengendapkan protein virus yang sangat berguna untuk siklus hidup virus sehingga menyebabkan kematian virus (Haidari et al., 2009). Tumbuhan herbal yang mengandung banyak tannin dianjurkan untuk tidak diberikan bersama-sama dengan herbal yang banyak mengandung alkaloid, karena campuran kedua senyawa tersebut akan menyebabkan terjadinya presipitasi. Pemberian tannin bersama-sama dengan ekstrak yang banyak mengandung protein kemungkinan akan terjadi reaksi presipitasi juga oleh karena interaksi farmakologik sehingga akan mengurangi bioavailabilitas bahan aktif dalam ekstrak (Ajaikumar et al., 2005; Haidari et al., 2009). Penelitian yang dilakukan Serafini et al. (1996), menunjukkan bahwa pemberian susu yang dicampur dengan teh hijau dan teh hitam akan terjadi interaksi farmakologik sehingga meniadakan efek antioksidan dari kedua jenis teh. 2.3.3.3 Farmakologi senyawa flavonoid Flavonoid meskipun telah dimasak, dapat mencapai usus halus dalam keadaan utuh, diabsorbsi secara terbatas di usus halus, mengalami metabolisme dengan cepat dan terbentuk metabolit dari hasil metilasi, glucoronidasi dan sulphatasi. Umumnya bioavailabilitas flavonoid sangat rendah oleh karena absorbsinya yang terbatas dan eliminasinya yang cepat namun bervariasi diantara berbagai jenis flavonoid. Isoflavon mempunyai bioavailabilitas paling baik sedangkan flavanol mempunyai absorbsi paling rendah (Manach et al., 2005). Pemberian soy isoflavons dan citrus flavanones peroral pada manusia menunjukkan bahwa konsentrasi puncak dalam plasma tidak melebihi 10 micromoles/liter, sedangkan setelah mengkonsumsi anthocyanines, flavanol dan flavonol, konsentrasi puncak dalam plasmanya kurang dari 1 micromole/liter (Manach et al., 2004). Flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan. Mekanisme kerjanya secara in vitro dapat dijelaskan sebagai berikut, flavonoid mempunyai kemampuan untuk mengikat ion-ion metal seperti besi dan tembaga yang berfungsi mengkatalisis pembentukan radikal bebas sehingga membatasi pembentukan radikal bebas, namun belum diketahui apakah fungsinya sebagai methal chelators agent efektif juga secara in vivo, masih diperlukan penelitian lebih lanjut (Frei & Higdon, 2003). Efek flavonoid yang lain yaitu mempengaruhi cell signaling pathways. Semua sel mempunyai kemampuan untuk memberikan respon atas berbagai macam stres atau signal dengan cara meningkatkan atau mengurangi ketersediaan protein spesifik. Reaksi cascade yang kompleks yang menyebabkan perubahan dalam ekspresi gen spesifik disebut dengan cell signaling pathway atau signal transduction pathways. Alur ini mengatur sejumlah proses dalam sel misalnya pertumbuhan, proliferasi dan apoptosis (kematian sel). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemampuan flavonoid untuk mempengaruhi cell signaling pathway lebih besar dibandingkan efeknya sebagai antioksidan (Spencer et al., 2003). Sejumlah hasil penelitian terhadap kultur sel menunjukkan bahwa flavonoid mempunyai efek terhadap penyakit-penyakit kronis dengan cara menghambat secara selektif pembentukan protein kinase yang berperan dalam mengkatalisis reaksi fosforilasi dari target protein (William et al., 2004; Hou et al., 2004). Pertumbuhan dan proliferasi sel juga diatur growth factor yang melakukan insiasi cell signaling cascade dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik dalam membran sel. Flavonoid diduga mempengaruhi growth factor signaling dengan cara menghambat secara kompetitif reseptor binding dalam membran sel (Lambert & Yang, 2003). Penelitian yang lain menunjukkan bahwa flavonoid mempunyai aktivitas antimikroba melalui beberapa mekanisme yaitu: 1) menghambat sintesa dinding sel bakteri; 2) menyebabkan protein leakage akibatnya terjadi kebocoran dinding sel bakteri; 3) menghambat sintesis protein bakteri; dan 4) kemungkinan mengintervensi fungsi DNA sel bakteri (Hussain et al., 2010; Mohamed et al., 2010). Jus anggur yang mengandung bahan aktif furanocoumarins, dihydroxybergamottin, flavonoids naringenin dan quercetin dapat berinteraksi dengan berbagai macam obat dengan cara menghambat secara ireversibel enzim CYP 450 3A4 in vitro (Bailey & Dresser, 2004). Beberapa flavonoid misalnya: quercetin, naringenin, flavanol dalam teh hijau dan epigallocathechine gallate menghambat aktivitas P-glikoprotein sehingga apabila mengkonsumsi suplemen flavonoid dalam jumlah yang banyak maka bioavailabilitasnya akan meningkat sehingga meningkatkan toksisitasnya. Obat-obat yang transport aktifnya menggunakan P-glikoprotein misalnya digoxin, obat-obat antihipertensi, obat antiaritmia, obat-obat kemoterapi, obat-obat anti jamur dan HIV protease inhibitors, apabila diberikan bersama-sama dengan flavonoid, akan meningkatkan toksisitas obat-obat tersebut (Marzolini et al., 2004). Penelitian ex vivo assay yang telah dilakukan membuktikan bahwa, mengkonsumsi jus anggur ungu (500 ml/hari) flavonoid, dapat terjadi dan dark chocolate (235 mg/ hari) yang banyak mengandung penghambatan agregasi platelet, sehingga meningkatkan risiko perdarahan terutama pada pasien yang sedang menggunakan obat-obat antikoagulan misalnya clopidogrel, dipyridamole, NSAIDs, aspirin dan lain-lain (Freedman et al., 2001; Murphy et al., 2003). Flavonoid juga dapat mengurangi absorbsi nonheme iron yang terdapat dalam makanan, demikian pula diketahui bahwa quercetin serta flavonoid yang terdapat dalam teh dapat menghambat absorbsi vitamin C dari saluran cerna dan menghambat transport vitamin C ke dalam sel (Song et al., 2002). Flavonoid yang berasal dari makanan nabati relatif tidak menimbulkan efek samping. Hal ini dapat dijelaskan karena absorbsinya yang sangat sedikit dan metabolisme serta eliminasi yang sangat cepat (Higdon et al., 2008). 2.3.4 Cara ekstraksi zat berkhasiat dalam daun beluntas 2.3.4.1 Pengertian Ekstraksi adalah proses pengambilan/pemisahan komponen yang larut dari suatu bahan atau campuran dengan menggunakan pelarut seperti air, alkohol, aseton dan sebagainya. Ekstraksi dilakukan untuk mendapatkan bahan cair atau padat misalnya bahan alam yang sukar sekali dipisahkan dengan metode pemisahan mekanis atau termis, misalnya karena komponennya saling bercampur secara sangat erat, komponen peka terhadap panas, perbedaan sifat-sifat fisiknya sangat kecil, atau tersedia dalam konsentrasi yang terlalu rendah (Rahayu, 2009). Menurut Ditjen POM (1995), ekstraksi adalah kegiatan pengambilan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair, sedangkan ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ginting, 2010). Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar. Umumnya ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non polar misalnya nheksana, lalu pelarut dengan kepolarannya sedang misalnya ethyl-acetate dan dichlormethane, kemudian pelarut yang bersifat polar misalnya etanol atau metanol (Ginting, 2010). 2.3.4.2 Metode ekstraksi Beberapa metode ekstraksi yang biasa digunakan untuk mengekstraksi metabolit sekunder bahan alam yaitu: maserasi, perkolasi, sokletasi, refluks, digestasi dan infus (Ginting, 2010). Metode ekstraksi metabolit sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah maserasi menggunakan pelarut etanol. Maserasi berasal dari kata bahasa latin macerare yang berarti maserasi adalah perendaman, sehingga proses pengekstraksian simplisia dengan cara perendaman sampel menggunakan pelarut organik dengan beberapa kali pengocokan dan pengadukan pada temperatur ruangan. Teknik maserasi digunakan terutama jika senyawa organik metabolit sekunder yang ada dalam bahan tersebut cukup banyak persentasinya dan ditemukan suatu pelarut yang dapat melarutkan senyawa tersebut tanpa dilakukan pemanasan. Proses ini sangat menguntungkan karena dengan proses perendaman, akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan bahan pelarut dalam proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut tersebut (Harborne, 1987; Pasaribu, 2009; Dewi, 2010). Etanol adalah senyawa dengan sifat polar dan semi polar maksudnya adalah dapat berfungsi sebagai pelarut air dan minyak. Penambahan air pada etanol akan mengurangi daya larut minyak di dalam etanol. Kebanyakan senyawa yang molekulnya menghasilkan rasa misalnya manis, pahit atau asam biasanya bersifat polar sedangkan senyawa yang molekulnya menghasilkan aroma biasanya bersifat non polar. Etanol dapat mengekstraksi senyawa-senyawa aktif dalam jumlah kecil yang terdapat dalam sediaan bahan alam (Lersch, 2008). 2.4 Chlorhexidine Salah satu cara untuk mengobati halitosis adalah menggunakan obat kumur yang bertujuan untuk mengurangi dental plak dan bakteri yang hidup dalam rongga mulut. Obat kumur yang biasa digunakan adalah Chlorhexidine gluconate 0,12% yang mengandung: 1.1’-hexamethylene bis [5-(p-chlorophenyl) biguanide] di-D-gluconate) dalam basis yang mengandung air, alkohol 11,6%, glycerine, PEG-40 sorbitan diisostearate, flavour, sodium saccharine dan FD&C Blue No.1. Chlorhexidine diproduksi dengan pH antara 5-7 berupa suatu garam chlorhexidine dan gluconic acid. Struktur kimianya terlihat pada gambar dibawah ini (Kuyyakanond & Quenel, 1992): Gambar 2.5 Struktur Kimia Chlorhexidine gluconate 2.4.1 Farmakologi chlorhexidine 0,12% Obat kumur Chlorhexidine mempunyai aktivitas antibakteri selama penggunaannya sebagai oral rinsing. Kemampuannya untuk mengurangi bakteri baik aerobic maupun anaerobic mencapai 54 – 97%. Obat kumur ini efektif terhadap bakteri Gram positif dan Grram negatif meskipun terhadap beberapa bakteri Gram negatif kurang efektif (Shahani & Reddy, 2011). Mekanisme kerja chlorhexidine dahulu diduga bersifat bakterisid dengan cara menginaktifkan ATPase bakteri namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa chlorhexidine bersifat bakterisid kemudian menjadi bakteriostatik dengan cara merusak dinding sel bakteri, menghambat sistem enzimatik bakteri, mengeluarkan lipopolisakarida bakteri sehingga menyebabkan kematian sel bakteri (Kuyyakanond & Quenel, 1992; Mandel, 1994). Penelitian-penelitian terhadap farmakokinetik chlorhexidine gluconate menunjukkan bahwa 30% bahan aktif obat kumur ini akan tetap berada dalam rongga mulut setelah dilakukan kumurkumur. Bahan aktif yang tertinggal ini selanjutnya akan dilepaskan perlahan-lahan ke dalam cairan rongga mulut. Chlorhexidine gluconate sangat sedikit diabsorbsi dalam saluran cerna. Setelah 30 menit seseorang menelan chlorhexidine gluconate dengan dosis 300 mg maka ratarata kadar puncak dalam plasma mencapai 0.206 mikrogram/L dan setelah 12 jam kadar obat dalam plasma tidak terdeteksi lagi. Kurang lebih 90% chlorhexidine gluconate diekskresi lewat feses dan sisanya diekskresi lewat urine (Kolahi & Soolari, 2006). 2.4.2 Indikasi penggunaan chlorhexidine 0,12% Chlorhexidine gluconate diindikasikan sebagai obat kumur untuk mengurangi jumlah bakteri dalam rongga mulut pada pasien yang menderita gingivitis, periodontitis, dental trauma, kista rongga mulut dan setelah pencabutan gigi. Obat kumur ini digunakan dua kali sehari (Kuyyakanond & Quenel, 1992; Kolahi & Soolari, 2006). 2.4.3 Efek samping chlorhexidine 0,12% Efek samping penggunaan chlorhexidine gluconate sebagai obat kumur telah banyak dilaporkan. Efek samping yang umum dialami oleh pasien yaitu: 1) terjadinya staining pada permukaan gigi, restorasi, gigi tiruan dan bagian dorsum lidah. Efek staining ini akan lebih parah pada pengguna obat kumur yang juga perokok atau punya kebiasaan mengkonsumsi teh dan kopi; 2) gangguan rasa pengecapan yang bersifat reversibel; 3) ulcerasi dan deskuamasi pada mukosa; 4) rasa kering dalam mulut; 5) paresthesia; 6) geographic tongue dengan angka kejadian ± 1% (Menegon et al., 2011; Peterson, 2011) . BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir Streptococcus mutans merupakan bakteri Gram positif, bersifat anaerob fakultatif, merupakan bakteri yang memulai terjadinya pertumbuhan plak pada permukaan gigi. Terjadinya hal tersebut disebabkan karena kemampuan spesifik dari bakteri tersebut untuk menggunakan sukrosa untuk menghasilkan suatu produk ekstraseluler yang lengket yang disebut dextran. Produk ekstraseluler yang lengket tersebut memungkinkan bakteri-bakteri yang lain ikut menempel pada permukaan gigi membentuk koloni yang terdiri dari berbagai bakteri yang disebut dengan plak. Bakteri ini juga menghasilkan asam laktat yang berperan penting untuk merubah lingkungan rongga mulut menjadi lebih asam (pH 5,2 – 5,5) sehingga email mulai mengalami proses demineralisasi dan terjadilah karies gigi. Karies mempunyai dampak yang luas apabila tidak dirawat pada tahap awal. Berbagai komplikasi dapat terjadi misalnya timbul rasa sakit yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan terjadi abses pada mukosa sekitar gigi. Pada fase lanjut, gigi harus dicabut karena tidak dapat dipertahankan lagi dan seseorang akan kehilangan giginya sehingga terjadi gangguan fungsi mastikasi dan estetik. Berdasarkan fakta di atas maka karies harus dirawat dengan baik dan dicegah agar gigi yang sehat tidak sampai terserang karies. Salah satu cara pencegahannya adalah menggunakan obat kumur yang mengandung antiseptik yang berasal dari ekstrak tumbuhtumbuhan yaitu ekstrak etanol daun beluntas untuk mencegah pertumbuhan dan akulumasi plak. Daun beluntas merupakan jenis obat tradisional yang banyak dijumpai di Indonesia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas mempunyai aktivitas antibakteri terhadap beberapa bakteri diantaranya adalah Escherichia coli, Psuedomonas aeruginosa multi resistant dan Methicillin resistant Staphylococcus aureus. Uji pendahuluan yang telah dilakukan diketahui bahwa daun beluntas mengandung beberapa zat aktif diantaranya adalah: tannin, flavonoid, steroid dan fenolat yang berfungsi sebagai antibakteri sehingga apabila digunakan diharapkan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans penyebab karies. 3.2 Konsep Penelitian Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% yang mengandung: tannin, steroid, flavonoid dan fenolat Faktor Internal: Faktor Eksternal: - Lingkungan rongga mulut Suhu media Streptococcus mutans Pertumbuhan (Zona hambatan) Gambar 3.1 Konsep Penelitian - Struktur dinding sel yang kompleks Kemampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungan dalam rongga mulut 3.3 Hipotesis Penelitian 1. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25% menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. 2. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 50% menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. 3. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 75% menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. 4. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 100% menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Rancangan yang dipilih pada penelitian adalah completely randomized menggunakan posttest only control group design (Pocock, 2008). P0 O1 P1 O2 R P S RA P2 O3 P3 O4 P4 O5 P5 O6 Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Keterangan: P : Populasi S : sampel R : Random RA : Random Alokasi P0 : Perlakuan dengan kontrol negatif (Aquades steril) P1 : Perlakuan dengan kontrol positif (Chlorhexidine 0,12%) P2 : Perlakuan dengan ekstrak etanol daun beluntas konsentrasi 25% P3 : Perlakuan dengan ekstrak etanol daun beluntas konsentrasi 50% P4 : Perlakuan dengan ekstrak etanol daun beluntas konsentrasi 75% P5 : Perlakukan dengan ekstrak etanol daun beluntas konsentrasi 100% O1 : Daya hambat pertumbuhan bakteri setelah P0 O2 : Daya hambat pertumbuhan bakteri setelah P1 O3 : Daya hambat pertumbuhan bakteri setelah P2 O4 : Daya hambat pertumbuhan bakteri setelah P3 O5 : Daya hambat pertumbuhan bakteri setelah P4 O6 : Daya hambat pertumbuhan bakteri setelah P5 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar pada bulan Mei tahun 2012. 4.3 Sampel Penelitian 4.3.1 Sampel penelitian: Bakteri Streptococcus mutans ATCC 35668 yang dibiakkan dalam plate agar darah 4.3.2 Besar sampel Besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus besar sampel menurut Frederer (1977), sebagai berikut: (t-1)(r-1) ≥ 15, dimana t adalah jumlah perlakuan dan r adalah jumlah pengulangan (replikasi) tiap kelompok perlakuan. Penelitian ini terdiri dari empat kelompok perlakuan dan dua kelompok kontrol, sehingga t = 6 dan setelah dimasukkan ke dalam rumus menjadi: (6-1)(r-1) ≥ 15 (r-1) ≥ 15 : 5 (r-1) ≥ 3 Besar pengulangan (r) ≥ 4 Jadi jumlah pengulangan yang dilakukan adalah sebanyak empat kali untuk tiap kelompok sehingga jumlah sampel keseluruhan untuk empat kelompok perlakuan dan dua kelompok kontrol adalah 24 plate, namun untuk menjaga kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan maka jumlah sampel akan ditambahkan 25% sehingga jumlah keseluruhan menjadi 30 plate atau 5 kali pengulangan untuk setiap kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Variabel bebas: Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% 4.4.2 Variabel tergantung: Diameter zona hambatan bakteri Streptococcus mutans 4.4.3 Variabel kendali: 1. Suhu pengeraman 2. Waktu pengeraman 3. Media pengeraman 4. Jumlah bakteri Streptococcus mutans Hubungan antar variabel terlihat pada gambar di bawah ini: Variabel Bebas Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% yang mengandung: tannin, steroid, flavonoid dan fenolat Variabel Kendali Suhu pengeraman Waktu pengeraman Media pengeraman Jumlah bakteri Streptococcus mutans Variabel Tergantung Diameter zona hambatan bakteri Streptococcus mutans Gambar 4.2 Hubungan Antar Variabel 4.5 Definisi Operasional Variabel Variabel-variabel penelitian perlu didefinisikan untuk mendapatkan keseragaman pengertian. Definisi operasional variabel penelitian adalah sebagai berikut: 1. Ekstrak etanol daun beluntas adalah sediaan pekat yang didapat dengan mengekstraksi zat aktif daun beluntas menggunakan pelarut etanol 96%. Daun beluntas yang digunakan adalah yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua dan dipetik saat berbunga. Konsentrasi ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25%, 50%, 75% dan 100% 2. Diameter zona hambatan bakteri Streptococcus mutans adalah adanya zona bening yang terbentuk pada difusi disk yang diukur dengan jangka sorong (dalam mm) untuk mengetahui kekuatan daya hambat ekstrak etanol daun beluntas terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Davis dan Stout (1971), mengatakan bahwa ketentuan daya antibakteri adalah sebagai berikut: daerah hambatan ≥ 20 mm kategorinya: sangat kuat, daerah hambatan 10 – 20 mm kategorinya: kuat, daerah hambatan 5 – 10 mm kategorinya: sedang dan daerah hambatan ≤ 5 mm kategorinya: lemah. 3. Suhu adalah: satuan besaran yang menyatakan derajat panas yang diperlukan untuk pertumbuhan optimal bakteri Streptococcus mutans yang diukur menggunakan termometer dengan skala derajat celcius yaitu 370C. 4. Waktu adalah: besaran yang menunjukkan lamanya peristiwa mulai dari masuknya media pertumbuhan Streptococcus mutans ke dalam inkubator, selama proses inkubasi sampai dikeluarkannya media dengan satuan jam yaitu antara 18-24 jam menggunakan timer. 5. Media pengeraman adalah: media yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri Streptococcus mutans yaitu media padat Mueller Hinton ditambah 5% darah kambing yang tidak mengandung fibrin pada plate agar dengan diameter 10 cm dan ketebalan 4 mm. 6. Jumlah koloni Streptococcus mutans adalah: jumlah bakteri Streptococcus mutans yang sesuai dengan 108 CFU/ml diperoleh dengan membuat kekeruhan bakteri yang setara dengan 0,5 Mc Farland dalam larutan NaCl 0,9% dan dilihat dengan spektrofotometer. 4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian 4.6.1 Bahan utama 1. Daun beluntas 2. Bakteri Streptococcus mutans ATCC 35668 4.6.2 Bahan penunjang 1. Media isolasi dan numerasi: Media agar Mueller Hinton yang diperkaya dengan 5% darah kambing yang tidak mengandung fibrin, untuk bakteri Streptococcus mutans 2. Media thioglycollate broth untuk refresh bakteri 3. Etanol 96% untuk ekstraksi daun beluntas 4. NaCl 0,9% untuk membuat kekeruhan 4.6.3 Instrumen penelitian 1. Erlenmeyer untuk pembuatan media 2. Autoclave untuk sterilisasi alat dan media 3. Mikroskop untuk melihat pertumbuhan bakteri 4. Spektrofotometer untuk melihat kekeruhan 5. Mikropipet ukuran 0,1 ml/0,01 ml untuk pembuatan konsentrasi ekstrak 6. Tabung-tabung reaksi untuk tempat media cair, media semi solid, media agar miring untuk perlakuan 7. Difusi disk untuk melihat zona hambatan 8. Penjepit dan spatula 9. Cawan petri untuk tempat media padat datar atau agar 10. Bahan pengecatan Gram 11. Lampu spiritus 12. Jangka sorong 13. Sarbitol Broth 14. Manitol Broth 15. Voges Proskauer 4.7 Alur Penelitian Streptococcus mutans ATCC 35668 Mueller Hinton agar darah 5% Pembuatan kekeruhan sebanding 108 Random difusi disk Aquades steril Chlorhexidine 0,12 % Ekstrak 25% Ekstrak 50% Ekstrak 75% Diameter zona hambatan Streptococcus mutans Tabulasi Analisis data Gambar 4.3 Alur Penelitian 4.8 Prosedur Penelitian 4.8.1 Pembuatan ekstrak etanol daun beluntas Ekstrak 100% Daun beluntas yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari Jalan Tukad Badung, Kelurahan Renon, Kecamatan Denpasar Timur, Kotamadya Denpasar. Daun yang digunakan adalah yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua serta dipetik pada saat tumbuhan sedang berbunga, selanjutnya ditimbang sebanyak 1000 g daun segar, dicuci bersih, diiris halus kemudian dikering-anginkan selama 3 hari. Daun beluntas dipetik saat berbunga karena pada masa tersebut akan terbentuk banyak metabolit sekunder yang berguna untuk mempertahankan diri (Zwenger & Basu (2008). Selanjutnya daun beluntas kering diblender untuk mendapatkan bubuk daun beluntas. Ekstrak etanol daun beluntas didapatkan dengan cara 100 gram bubuk kering daun beluntas, dimaserasi (direndam) menggunakan 1 liter pelarut etanol 96% selama 48 jam sambil dilakukan pengocokan agar lebih banyak zat aktif yang terikat oleh pelarut. Pelarut etanol dipilih karena mudah diuapkan, bersifat polar sehingga dapat melarutkan senyawasenyawa yang bersifat polar, dan tidak bersifat toksik (Ginting, 2010). Pelarut etanol juga dipilih karena dapat melarutkan zat-zat aktif dalam jumlah kecil yang terkandung dalam bahan alam (Lersch, 2008). Proses ekstraksi yang digunakan adalah proses maserasi atau perendaman dengan tujuan untuk mengurangi pengaruh pemanasan yang dapat merusak senyawa aktif, selain itu dengan proses perendaman akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel sehingga metabolit sekunder yang berada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa aktif akan sempurna karena dapat diatur lamanya perendaman. Setelah 48 jam, dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring Whatman 2 untuk mendapatkan filtrat. Perendaman diulang sampai 3 kali untuk mendapatkan semua zat aktif yang terkandung pada simplisia. Filtrat yang terkumpul selanjutnya diuapkan pelarutnya menggunakan rotary vacuum evaporatour dan didapatkan ekstrak kasar. Ekstrak kasar yang diperoleh selanjutnya diencerkan sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan (Pasaribu, 2009). 4.8.2 Pembuatan konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas Konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 25%, 50%, 75% dan 100% dan untuk mendapatkan konsentrasi tersebut dilakukan dengan cara: 1) 25 g ekstrak kasar, ditambahkan pelarut aquades steril sampai didapatkan volume 100 ml sehingga didapatkan konsentrasi ekstrak 25%; 2) untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak 50% : 50 g ekstrak kasar, ditambahkan aquades steril sampai didapatkan volume 100 ml; 3) untuk konsentrasi 75%: 75 g ekstrak kasar, ditambahkan aquades steril sampai didapatkan volume 100 ml; 4) untuk konsentrasi 100%: 100 g ekstrak kasar ditambahkan aquades steril sampai didapatkan volume 100 ml (Arief, 2000). 4.8.3 Prosedur kerja di laboratorium 1. Menimbang Mueller Hinton Agar 3,4 gram dalam 100 ml aquades, dilarutkan dan dimasukkan dalam autoclave dengan suhu 1210C selama 15 menit 2. Diletakkan di waterbath hingga suhu 500C selanjutnya ditambahkan 5% darah kambing yang tidak mengandung fibrin 3. Dituang pada cawan petri dengan diameter 10 cm dengan ketebalan 4 mm 4. Kemudian 5% dari media Mueller Hinton Agar + 5% darah kambing yang tidak mengandung fibrin di atas diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam untuk mengetahui sterilitas media 5. Bila media dalam keadaan steril, bisa langsung digunakan sebagai media penanaman bakteri Streptococcus mutans 6. Penanaman bakteri Streptococcus mutans pada media di atas, kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam 7. Koloni yang tumbuh dilakukan pengecatan Gram dengan prosedur pengecatan sebagai berikut: a. Buat olesan tipis suspensi dari koloni murni bakteri pada object glass yang bersih, dikering-anginkan. Setelah kering difiksasi dengan cara melewatkan bagian bawah object glass di atas api bunsen 2 kali b. Genangi olesan bakteri dengan larutan kristal violet selama 1 menit c. Bilas dengan air keran selama beberapa detik, kering-anginkan d. Genangi dengan larutan iodine dan biarkan selama 1 menit e. Bilas dengan air kran selama beberapa detik dan kering-anginkan f. Bilas dengan alkohol 95% selama 30 detik, kemudian kering-anginkan g. Bilas dengan air keran selama 2 detik h. Genangi dengan safranin selama 10 detik, bilas dengan air kran dan kering-anginkan i. Amati hasil pewarnaan di bawah mikroskop kompon dengan pembesaran 1000x menggunakan minyak emersi. Sel-sel bakteri Gram positif akan berwarna ungu hingga biru gelap sedangkan bakteri Gram negatif akan berwarna merah (Anonim, 2008). 8. Identifikasi bakteri dengan uji Streptococcus Grouping Kit: a. Enzim dipipet 0,4 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi b. Koloni Streptococcus mutans diambil dengan ose steril, dimasukkan ke dalam tabung reaksi di atas, kemudian dihomogenkan c. Diinkubasi dalam inkubator pada suhu 370C selama 15 menit, kemudian dipipet dan diteteskan pada lubang slide grouping kit masing-masing sebanyak 50 mikron. Satu slide lagi berfungsi sebagai kontrol positif juga ditetesi sebanyak 50 mikron. Kemudian pada masing-masing lubang ditetesi dengan serum grouping A (pada lubang 1), serum grouping B ( pada lubang 2), serum Grouping C (pada lubang 3), serum grouping D (pada lubang 4), serum Grouping E (pada lubang 5), serum grouping F (pada lubang 6), dan pada kontrol positif (lubang ke-7). d. Masing-masing lubang dihomogenkan dengan batang pengaduk kayu dan digoyangkan. Dari hasil pengamatan apabila terjadi aglutinasi menunjukkan hasil positif. Bila tidak terjadi aglutinasi berarti hasil ujinya negatif (Lehman et al., 2011). 9. Identifikasi lanjutan dengan uji biokimia yang meliputi: a. Uji dengan Manitol broth: Ditimbang 2 gram serbuk manitol broth dilarutkan dengan 100 ml aquades kemudian dituangkan ke dalam tabung reaksi dengan volume masingmasing 5 ml dan sebelumnya pada tabung tersebut sudah berisi tabung Durham dengan posisi terbalik untuk menangkap gas yang dihasilkan oleh bakteri. Sediaan ini dimasukkan ke dalam autoclave dengan suhu 1210C selama 15 menit, selanjutnya diletakkan di water bath hingga suhu ±500C. Untuk mengetahui sterilitias, media diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Bila media dalam keadaan steril, bisa digunakan sebagai media uji bakteri. b. Uji dengan Sarbitol broth: Ditimbang 2 gram serbuk sarbitol broth dalam 100 ml aquades, kemudian dituangkan ke dalam tabung reaksi dengan volume masing-masing 5 ml. Kemudian dimasukkan ke dalam autoclave dengan suhu 1210C selama 15 menit selanjutnya diletakkan di water bath hingga suhu ± 500C. Untuk mengetahui sterilitas, media diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Bila media dalam keadaan steril, bisa digunakan sebagai media uji bakteri. c. Uji dengan VP (Voges Proskauer): Ditimbang 1,7 gram VP dalam 100 ml aquades kemudian dituang ke dalam tabung reaksi dengan volume masing-masing 5 ml. Selanjutnya dimasukkan ke dalam autoclave dengan suhu 1210C selama 15 menit, diletakkan di water bath hingga suhu ±500C. Untuk mengetahui sterilitas, media diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Bila media dalam keadaan steril, bisa digunakan sebagai media uji bakteri. Setelah ketiga media uji siap, dilanjutkan dengan memasukkan bakteri uji ke dalam tabung reaksi menggunakan ose steril, selanjutnya tabung reaksi dimasukkan kembali ke dalam inkubator pada suhu 370C selama 24 jam. Hasil pengamatan menunjukkan adanya kekeruhan dan perubahan warna menjadi kuning pada media manitol dan sarbitol sedangkan pada media VP terjadi kekeruhan yang bila ditambah reagen Kovae berubah menjadi merah kulit anggur. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa koloni tersebut merupakan bakteri Streptococcus mutans (Lehman et al., 2011). 10. Pembuatan kekeruhan Streptococcus mutans sebanding dengan 108 CFU/ml: Koloni Streptococcus mutans dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi NaCl 0,9%, dibuat kekeruhan sebanding dengan 108 CFU/ml yang setara dengan 0,5 McFarland sehingga dapat dibaca dengan spektrofotometer 11. Dengan menggunakan lidi kapas steril, isolat Streptococcus mutans dioleskan secara merata pada media agar Mueller Hinton yang ditambah 5% darah kambing yang tidak mengandung fibrin (media agar darah) pada cawan petri. Selanjutnya dilakukan uji pendahuluan menggunakan esktrak etanol daun beluntas yang diencerkan menjadi konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 50%, 75% dan 100%. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai aktivitas anti bakteri, selain itu uji pendahulun berguna untuk menentukan konsentrasi minimal yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. 12. Uji lanjutan dilakukan untuk mengetahui ekstrak etanol daun beluntas bersifat bakterisid atau bateriostatik. Uji ini dilakukan dengan cara difusi disk yang telah mengandung ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi berbeda dan terbukti mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dipindahkan ke media agar darah steril, kemudian diinkubasi kembali pada suhu 370C selama 24 jam kemudian dilihat apakah terdapat pertumbuhan bakteri di sekeliling difusi disk. Konsentrasi ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini bersifat bakteriostatik apabila di sekeliling difusi disk terjadi pertumbuhan bakteri tetapi konsentrasi ekstrak bersifat bakterisid apabila di sekeliling difusi disk tidak terjadi pertumbuhan bakteri (Marsik, 2011). 4.8.4 Penilaian kemampuan ekstrak Penilaian kemampuan ekstrak etanol daun beluntas terhadap pertumbuhan kultur Streptococcus mutans dengan mengukur zona bening di sekitar difusi disk dengan menggunakan jangka sorong secara vertikal, horizontal dan diagonal kemudian dirata-ratakan dalam milimeter (Pratiwi, 2005). 4.9 Analisis Data Data dianalisis secara statistik dengan uji deskriptif, uji normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas dan analisis kualitatif. Data hasil penelitian ini diolah dengan menggunakan program komputer yaitu Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) for Windows 17.0. Analisis hasil penelitian meliputi: 4.9.1 Analisis deskriptif 4.9.2 Uji normalitas dan homogenitas Analisis normalitas data dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov karena jumlah sampel ≥30. Uji normalitas menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dengan nilai p>0,05. Analisis homogenitas data dilakukan dengan uji varians (Levene’s test of varians). Uji varians menunjukkan bahwa data bersifat homogen dengan nilai p > 0,05. 4.9.3 Uji komparabilitas Hasil uji normalitas dan homogenitas menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan bersifat homogen maka analisis komparatif data antar kelompok dilakukan dengan uji One Way Anova dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) pada tingkat kepercayaan 95% untuk mengetahui kelompok mana saja yang berbeda bermakna. Berdasarkan pada taraf kemaknaan α = 0,05 maka Ho ditolak jika nilai p<0,05 (Santoso, 2006). 4.9.4 Analisis kualitatif Data diameter zona hambatan mula-mula dikelompokkan menjadi empat kategori menurut (Davis & Stout (1971) yaitu: sangat kuat, kuat, sedang dan lemah. Analisis hubungan antara konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas dengan kualitas daya hambat menggunakan tabulasi silang dengan tingkat signifikansi hubungan diuji dengan Chi-Square. BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana menggunakan ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% untuk mengetahui daya hambatnya terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans penyebab karies gigi. Mula-mula isolat bakteri dibiakkan terlebih dahulu pada media agar darah steril (Mueller Hinton agar ditambah 5% darah kambing yang tidak mengandung fibrin) pada suhu 370C selama 24 jam untuk mendapatkan koloni yang cukup untuk uji daya hambat, selanjutnya dilakukan uji konfirmasi yang terdiri dari uji Gram, uji dengan Streptococcus Grouping Kit dan uji biokimia yakni uji dengan sarbitol broth, manitol broth dan Voges Proskauer. Hasil uji Gram menunjukkan bahwa isolat bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri Gram positif, berbentuk bulat (coccus) dan tersusun seperti rantai (foto hasil uji terlampir). Hasil uji konfirmasi dengan Streptococcus Grouping Kit terlihat adanya aglutinasi pada lubang ke-4 dan lubang kontrol positif yang menunjukkan bahwa isolat yang digunakan adalah Streptococcus mutans group D (foto hasil uji terlampir). Hasil uji konfirmasi lanjutan dengan uji biokimia yaitu uji dengan sarbitol broth, manitol broth dan Voges proskauer menunjukkan bahwa pada media sarbitol broth dan manitol broth terjadi perubahan warna menjadi kuning sedangkan Voges proskauer terjadi perubahan warna menjadi merah kulit anggur setelah ditambahkan reagen Kovae, yang menunjukkan bahwa isolat bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah Streptococcus mutans (foto hasil uji terlampir). Berdasarkan hasil uji konfirmasi yang telah dilakukan maka diketahui bahwa isolat yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah Streptococcus mutans group D, berbentuk bulat (coccus), tersusun seperti rantai dan bersifat Gram positif. Uji pendahuluan dilakukan setelah uji konfirmasi dan hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 5% - 20% tidak mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans, sedangkan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% menunjukkan adanya daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans, sehingga untuk uji daya hambat selanjutnya digunakan ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100%. Uji lanjutan dilakukan untuk menentukan apakah ekstrak etanol daun beluntas bersifat bakteriostatik ataukah bakterisidal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di sekeliling difusi disk yang mengandung ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50% dan 75% terlihat adanya pertumbuhan bakteri yang berarti ketiga konsentrasi ekstrak tersebut bersifat bakteriostatik (bersifat menghambat pertumbuhan bakteri), sedangkan di sekeliling difusi disk yang mengandung 100% ekstrak tidak terlihat adanya pertumbuhan bakteri yang menunjukkan bahwa esktrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 100% bersifat bakterisid (bersifat membunuh bakteri) terhadap bakteri Streptococcus mutans (foto hasil penelitian terlampir). Replikasi pada penelitian ini dilakukan sebanyak lima kali untuk setiap kelompok kontrol dan perlakuan sehingga jumlah pengulangan seluruhnya adalah 30 kali. Hasil penelitian kemudian dikumpulkan, ditabulasi dan dilakukan uji deskriptif dilanjutkan dengan analisis untuk mengetahui normalitas dan homogenitas data, selanjutnya dilakukan uji komparabilitas data antar kelompok dengan One Way Anova dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference. Uji kualitatif yaitu chi-square dilakukan untuk mengetahui tingkat signifikansi antara konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas dengan kualitas daya hambat terhadap bakteri Streptococcus mutans. 5.2 Hasil Uji Normalitas Data Data hasil uji daya hambat kelompok kontrol dan ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% terhadap bakteri Streptococcus mutans selanjutnya dilakukan uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dengan nilai p>0,05, disajikan pada lampiran 5. 5.3 Hasil Uji Homogenitas Data Antar Kelompok Data hasil uji daya hambat kelompok kontrol dan ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% terhadap bakteri Streptococcus mutans selanjutnya dilakukan uji homogenitas menggunakan Levene’s test. Hasil uji menunjukkan bahwa data antar kelompok bersifat homogen dengan nilai p>0,05, disajikan pada lampiran 5. 5.4 Hasil Uji Komparabilitas Data Antar Kelompok Uji komparabilitas data antar kelompok bertujuan untuk membandingkan rerata daya hambat kelompok kontrol dan kelompok ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Hasil analisis menunjukkan bahwa kelompok data berdistribusi normal dan bersifat homogen maka analisis komparabilitas data antara kelompok dilakukan dengan uji One Way Anova dan hasilnya disajikan pada Tabel 5.1 berikut: Tabel 5.1 Rerata Daya Hambat Kelompok Kontrol dan Kelompok Ekstrak Etanol Daun Beluntas dengan Konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% Terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans Kelompok Perlakuan Kontrol negatif r (banyaknya replikasi) 5 Rerata Daya Hambat (dalam mm) 0,00 SB 0,00 Kontrol positif 5 11,00 0,707 Kons ekst 25% 5 11,20 1,643 Kons ekst 50% 5 14,20 0,836 F p 218,82 0,000 Kons ekst 75% 5 15,60 1,140 Kons ekst 100% 5 19,20 0,836 Tabel 5.1 di atas menunjukkan bahwa rerata daya hambat kelompok kontrol negatif adalah 0,00 ± 0,00 mm, rerata daya hambat kelompok kontrol positif adalah 11,00 ± 0,707 mm, rerata daya hambat kelompok konsentrasi 25% adalah 11,00 ± 1,643 mm, rerata daya hambat kelompok konsentrasi 50% adalah 14,20 ± 0,836 mm, rerata daya hambat kelompok konsentrasi 75% adalah 15,60 ± 1,140 mm dan rerata daya hambat kelompok konsentrasi 100% adalah 19,20 ± 0,836 mm. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 218,82 dengan nilai p = 0,000 hal ini berarti bahwa rerata daya hambat antar kelompok perlakuan berbeda secara bermakna dengan nilai p < 0,05. Uji lanjutan dengan uji Least Significant Difference perlu dilakukan untuk mengetahui kelompok konsentrasi ekstrak mana saja yang memiliki perbedaan daya hambat yang nyata dengan kelompok kontrol terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Hasil uji disajikan pada Tabel 5.2 di bawah ini: Tabel 5.2 Analisis Komparasi Daya Hambat Ekstrak Etanol Daun Beluntas Berbagai Konsentrasi dengan Kelompok Kontrol Terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans Kelompok kontrol (I) Kontrol negatif Kontrol positif Kelompok Pembanding (J) Beda Rerata (dalam mm) (I – J) -11,00 0,000* Kons ekstrak 25% -11,20 0,000* Kons ekstrak 50% -14,20 0,000* Kons ekstrak 75% -15,60 0,000* Kons ekst 100% -19,20 0,000* Kontrol negatif 11,00 0,000* Kontrol positif p Kons ekstrak 25% -0,20 0,753 Kons ekstrak 50% -3,20 0,000* Kons ekstrak 75% -4,60 0,000* Kons ekst 100% -8,20 0,000* *Berbeda bermakna Tabel 5.2 di atas menunjukkan bahwa kemampuan daya hambat ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% serta kontrol positif berbeda bermakna terhadap kontrol negatif dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Dibandingkan dengan kontrol positif, hanya ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 50%, 75% dan 100% berbeda bermakna terhadap kontrol positif dengan nilai p = 0,000 (p<0,05), sedangkan konsentrasi 25% tidak berbeda bermakna terhadap kontrol positif dengan nilai p = 0,753 (p>0,05). Uji lanjutan dengan Least Significant Difference juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan daya hambat antar kelompok konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Hasil uji terlihat pada Tabel 5.3 dibawah ini: Tabel 5.3 Analisis Komparasi Daya Hambat Ekstrak Etanol Daun Beluntas pada Berbagai Konsentrasi Terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans Konsentrasi Ekstrak (I) Kons 25% Kons 50% Kons 75% Kons 100% Konsentrasi Ekstrak Pembanding (J) Kons 50% Beda Rerata (dalam mm) (I – J) p -3,00 0,000* Kons 75% -4,40 0,000* Kons 100% -8,00 0,000* Kons 25% 3,000 0,000* Kons 75% -1,40 0,035* Kons 100% -5,00 0,000* Kons 25% 4,40 0,000* Kons 50% 1,40 0,035* Kons 100% -3,60 0,000* Kons 25% 8,00 0,000* Kons 50% 5,00 0,000* Kons 75% 3,60 0,000* *Berbeda bermakna Berdasarkan tabel 5.3 di atas diketahui bahwa konsentrasi ekstrak 25%, 50%, 75% dan 100% berbeda bermakna antar konsentrasi dalam menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dengan nilai p<0,05. 5.5 Hasil Uji Kualitatif Terhadap Kualitas Daya Hambat Untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas dengan kualitas daya hambat digunakan tabulasi silang dan hasil uji disajikan pada Tabel 5.4 berikut: Tabel 5.4 Hasil Tabulasi Silang Kualitas Daya Hambat Kelompok Kontrol dan Kelompok Ekstrak Etanol Daun Beluntas dengan Konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% Terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans Kelompok Kontrol dan Ekstrak Kontrol negatif Kriteria Daya Hambat (Menurut Davis & Stout, 1971) Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat 5 0 0 0 Total 5 Kontrol positif 0 0 5 0 5 Kons ekstrak 25% 0 1 4 0 5 Kons ekstrak 50% 0 0 5 0 5 Kons ekstrak 75% 0 0 5 0 5 Kons ekstrak 100% 0 0 3 2 5 Total 5 1 22 2 30 Tabel 5.4 di atas menunjukkan bahwa daya hambat kontrol negatif terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans tergolong kriteria lemah (lima kali ulangan), daya hambat kontrol positif, konsentrasi ekstrak 50% dan 75% terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans tergolong kuat (masing-masing lima kali ulangan), sebagian besar daya hambat konsentrasi 25% terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans tergolong kuat (empat kali ulangan), sebagian kecil (dua kali ulangan) konsentrasi ekstrak 100% mempunyai daya hambat yang sangat kuat terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Tingkat signifikansi hubungan antara kualitas daya hambat dengan kemampuan ekstrak etanol daun beluntas pada berbagai konsentrasi dalam menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dilakukan analisis menggunakan Chi-Square dan hasilnya disajikan pada Tabel 5.5 berikut: Tabel 5.5 Hubungan Antara Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun Beluntas dengan Kualitas Daya Hambat Terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans Chi-Square hitung df p Pearson Chi-square 45,273 15 0,000 Likelihood ratio 37,465 15 0,001 Linear-by-linear 15,188 1 0,000 Association Tabel 5.5 di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara peningkatan konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas dengan kualitas daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil uji pendahuluan, hasil uji daya hambat dan hasil analisis data maka dibuatlah pembahasan hasil penelitian. Hasil uji pendahuluan menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak minimal yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dalam penelitian ini adalah 25%. Hasil penelitian pendahuluan ini sesuai dengan hasil penelitian Susanti (2006), yang menyatakan bahwa konsentrasi daya hambat minimal ekstrak daun beluntas yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Eschericia coli adalah 25% dan hasil penelitian Sulistyaningsih (2009), yang menyatakan bahwa konsentrasi daya hambat minimal ekstrak daun beluntas yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphyloccous aureus yang resisten terhadap Methicilin adalah konsentrasi 20% sedangkan terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa Multi Resistant adalah 52%. Hasil penelitian lanjutan tentang daya bunuh ekstrak terhadap bakteri Streptococcus mutans diketahui bahwa ekstrak etanol dengan konsentrasi 25%, 50% dan 75% bersifat bakteriostatik sedangkan yang 100% bersifat bakterisidal. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan konsentrasi ekstrak yang besar yaitu lebih besar dari 75% untuk membunuh bakteri Streptococcus mutans. Hal ini diduga disebabkan karena bakteri ini mempunyai dinding sel yang kompleks yang terdiri atas beberapa lapisan peptidoglikan yang kaku dan tebal (Radji, 2010), sehingga diperlukan konsentrasi ekstrak yang besar untuk membunuh bakteri. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun beluntas dengan konsetrasi 25% mempunyai kualitas daya hambat setara dengan kontrol positif yaitu chlorhexidine 0,12% terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Chlorhexidine 0,12 % adalah sejenis obat kumur yang digunakan untuk mengurangi akumulasi plak dalam rongga mulut. Obat kumur ini mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri baik aerobic maupun anaerobic mencapai 54-97%. Obat kumur ini efektif terhadap bakteri Gram positif maupun negatif, meskipun untuk beberapa bakteri Gram negatif kurang efektif (Shahani & Reddy, 2011). Mekanisme aktivitas antibakteri chlorhexidine 0,12% adalah dengan cara merusak dinding sel bakteri, menghambat sistem enzimatik dan mengeluarkan lipopolisakarida dari dinding sel bakteri yang mengakibatkan kematian sel bakteri (Kuyyakanond & Quenel, 1992; Mandel, 1994). Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25% dalam penelitian ini mempunyai kemampuan daya hambat setara dengan chlorhexidine 0,12% maka diharapkan mempunyai manfaat aktivitas antibakteri yang sama pula dengan chlorhexidine 0,12%. Mengingat chlorhexidine 0,12% mempunyai beberapa efek samping yang merugikan, maka dengan temuan dalam hasil penelitian ini diharapkan ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25% dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pencegahan yakni sebagai obat kumur antiseptik yang berasal dari ekstrak tumbuh-tumbuhan untuk menghambat pertumbuhan dan akumulasi plak yang mengandung bakteri Streptococcus mutans. Hal ini sesuai dengan anjuran Lewis & Ismail (1993), serta Rosenberg (2000), yang mengatakan bahwa untuk mengurangi jumlah plak pada permukaan gigi dapat digunakan obat kumur yang mengandung antiseptik yang berasal dari ekstrak tanaman obat. Hasil penelitian ini juga menempatkan ekstrak etanol daun beluntas sebagai salah satu bahan obat kumur antiseptik dari ekstrak tanaman obat, yang dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans selain ekstrak teh hijau hasil penelitian Carson et al. (2006), dan ekstrak buah pala hasil penelitian Yanti et al. (2008). Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data pula, diketahui bahwa ekstrak etanol daun beluntas dalam berbagai tingkatan konsentrasi mempunyai potensi yang cukup besar dalam menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Hal ini tidak diragukan lagi mengingat kandungan zat berkhasiat yang terkandung dalam ekstrak etanol daun beluntas yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil uji fitokimia (uji pendahuluan) menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun beluntas yang digunakan dalam penelitian ini mengandung zat aktif fenolat (+++), steroid (+++), flavonoid (++) dan tannin (+) yang merupakan zat anti mikroba. Hasil uji fitokimia ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun beluntas yang digunakan dalam penelitian ini mengandung zat aktif steroid dan fenolat dalam jumlah yang sangat banyak, zat aktif flavonoid dalam jumlah yang banyak serta tannin dalam jumlah lebih sedikit. Fenolat adalah suatu kelas senyawa hidroksil yang terikat secara langsung pada suatu kelompok hidrokarbon aromatik. Fenolat juga bersifat asam sehingga disebut juga asam karbolat yang mempunyai kemampuan untuk merusak dinding sel bakteri sehingga menghambat pertumbuhan bakteri (Susanti, 2006; Devi, 2011). Steroid adalah suatu senyawa organik yang terdapat dalam metabolit sekunder merupakan derivat senyawa terpen yaitu triterpenoid yang mempunyai aktivitas antibakteri diduga dengan cara menyebabkan kebocoran membran sel yang banyak mengandung lipid yakni pada bagian aqueous (cair) dari phosphatidylethanolamine yang kaya akan liposome. Kebocoran membran sel akan menyebabkan kematian sel bakteri (Epand et al., 2007; Mohamed et al., 2010). Flavonoid merupakan suatu substansi fenolik yang terhidroksilasi, yang mempunyai aktivitas antibakteri yang tidak diragukan lagi terhadap berbagai macam mikroorganisme (Mohamed et al., 2010). Flavonoid mempunyai aktivitas antibakteri melalui beberapa mekanisme yaitu: 1) menghambat sintesa dinding sel bakteri; 2) membentuk ikatan kompleks dengan protein, mengakibatkan kebocoran protein sehingga terjadi kebocoran dinding sel; 3) menghambat sintesis protein bakteri; dan 4) diduga menginterfensi fungsi DNA sel bakteri (Hussain et al., 2010; Mohamed et al., 2010). Tannin menunjukkan aktivitas antibakterinya dengan cara berikatan dengan proline yang kaya akan protein membentuk suatu kompleks, menyebabkan protein leakage sehingga terjadi kerusakan dinding sel bakteri dan mengakibatkan kematian bakteri (Machado et al., 2003; Braga et al., 2005; Mohamed et al., 2010). Mekanisme aktivitas antibakteri sesungguhnya dari metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak etanol daun beluntas yang digunakan dalam penelitian ini tidak diketahui dengan pasti, namun berdasarkan kandungan zat aktif di dalamnya dapat diduga bahwa fenolat, steroid, flavonoid dan tannin bekerja secara sinergis dalam menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian para peneliti pendahulu yang menggunakan ekstrak yang sama untuk menguji daya hambat ekstrak terhadap pertumbuhan bakteri Eschericia coli (Susanti, 2006), selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Nahak, et al. (2007), yang mendapatkan bahwa ekstrak daun beluntas dapat menurunkan 70% bakteri dalam saliva, demikian pula hasil penelitian Sulistiyaningsih (2009), yang menggunakan ekstrak yang sama untuk menguji daya hambatnya terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa Multi Resistant dan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus, sehingga tidak diragukan lagi kemampuan daya hambat ekstrak etanol daun beluntas terhadap berbagai bakteri patogen pada manusia khususnya Streptococcus mutans sebagai bakteri yang bersifat kariogenik dan bakteri pemula dalam pembentukan lapisan biofilm pada plak gigi. Penelitian ini masih mempunyai beberapa kekurangan yaitu dalam penelitian ini belum dapat ditentukan konsentrasi daya hambat minimal (MIC) dan Minimal Bactericidal Concentration (MBC) sesungguhnya dari ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans, demikian juga mekanisme kerja kandungan zat-zat aktif yang terdapat di dalam ekstrak etanol daun beluntas yang digunakan dalam penelitian inipun belum diketahui dengan pasti, sehingga diperlukan penelitian lanjutan untuk menentukan MIC dan MBC serta mekanisme aktivitas anti bakteri dari ekstrak etanol daun beluntas. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian uji daya hambat ekstrak etanol daun beluntas terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dan pembahasan hasil penelitian didapat simpulan sebagai berikut: 1. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans 2. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 50% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans 3. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 75% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans 4. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 100% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans 5. Konsentrasi minimal dari ekstrak etanol daun beluntas dalam penelitian ini yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans adalah 25% 6. Ekstrak etanol daun beluntas dengan konsentrasi 25%, 50% dan 75% bersifat bakteriostatik sedangkan 100% bersifat bakterisid. 7.2 Saran Sebagai saran dalam penelitian ini adalah: 1. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menentukan Minimal Inhibitory Concentration (MIC) Minimal Bactericidal Concentration (MBC) dari ekstrak etanol daun beluntas terhadap bakteri Streptococcus mutans. 2. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui mekanisme kerja sesungguhnya dari zat-zat aktif yang terkandung dalam metabolit sekunder ekstrak etanol daun beluntas sebagai antibakteri terhadap bakteri Streptococcus mutans. 3. Penelitian lebih lanjut juga perlu dilakukan menggunakan ekstrak daun beluntas yang sudah siap pakai misalnya dalam bentuk pasta gigi atau obat kumur untuk mengetahui daya hambat esktrak etanol daun beluntas terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans secara invivo maupun secara klinis. 4. Disarankan kepada masyarakat yang jauh dari jangkauan pelayanan kesehatan gigi untuk memanfaatkan ekstrak daun beluntas untuk berkumur-kumur, sebagai salah satu alternatif pencegahan terhadap pembentukan dan akumulasi plak dalam rongga mulut. DAFTAR PUSTAKA Ajaikumar, K.B., Asheef, M., Babu, B.H., & Padikkala, J. 2005. The Inhibition of Gastric Mucosal Injury by Punica granatum L., (Pomegranate) Methanolic Extract. Journal of Ethnopharmacology. 96: 171-176 Anonim, 1982. FDI/WHO. Global Goals for Oral Health in the Year 2000. Int Dent J. 32: 74-7 Anonim, 2005. Survei Kesehatan Nasional. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004. Departemen Kesehatan RI. Jakarta: Badan Litbangkes. 3:18-20 Anonim, 2008. Pedoman Diagnosis OPTK Golongan Bakteri. Departemen Pertanian. Badan Karantina Pertanian. Jakarta. p. 20-21 Anonim, 2010. Pluchea indica (Beluntas). Artikel. (Serial Online) (Citted 2011 Des 22). Available at: http://tnalaspurwo.org/media/pdf/kea-beluntas-(pluchea-indica).pdf Anonim, 2011. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 dalam Bidang Kesehatan Gigi dan Mulut. Sambutan Menteri Kesehatan RI pada Pembukaan Kongres XXIV PDGI Bali, 3031 Maret 2011. (Serial Online) (Cited 2012 Mei 1). Available at: http://www.pdgi.or.id/artikel/ detail/sambutan-menteri-kesehatan-pada-pembukaankongres-xxiv-pdgi-bali-30-31-maret-2011 Argimõn, S., & Caufiled, P.W. 2011. Distribution of Putative Virulence genes in Streptococcus mutans Strain does not Correlate with Caries Experience. Journal of Clinical Microbiology. 49(3): 984-92 Arief. 2000. Ilmu Meracik Obat. Teori dan Praktek. Yogyakarta: Gadjahmada University Press. p. 25 Bailey, D.G., & Dresser, G.K. 2004. Interaction Between Grapefruit Juice and Cardivasculer Drugs. Am.J. Cardiovasc Drugs. 4(5): 281-297 Beltràn-Valladares, P.R., Cocom-Tun, H., Cassanova-Rosado, J.F., Vallejos-Sànches, A.A., Medina-Solis, C.E., & Maupome, G. 2006. Caries Prevalence and Some Asscotiated Factors in 6-9 Years old Schoolchildren in Campeche, Mexico. Original Article. Rev. Biomed.17:25-33 Biswas, S., & Biswas, I. 2011. Role of VitAB, an ABC Transporter Complex in Viologen Tolerance in Streptococcus mutans. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. 55(4): 1460-9 Braga, L.C., Shupp, J.W., Cummings, C., Jett, M., Takahashi, J.A., Carmo, L.S., ChartoneSouza, E., & Nasclmento, A.M.A. 2005. Pomegranate Extract Inhibits Staphylococcus aureus Growth and Subsequent Enterotoxin Production. Journal of Ethnopharmacology. 96 : 335-339 Carson, C.F., Hammer, K.A., & Riley, T.V. 2006. Melaleuca Alternifolia (Tea Tree) Oil: A Review of Antimicrobial and Other Medicine Properties. Clinical Microbiology Review. 19(1): 50-62 Clarke, J.K. 1924. On the Bacterial Factor in the Etiology of Dental Caries. British Journal of Experimental Pathology. 5: 141-7 Cushnie, T.P.T., & Lamb, A.J. 2011. Recent Advances in Understanding the Antibacterial Properties of Flavonoids. International Journal of Antimicrobial Agents. 38(2): 99-107 Dalimartha, S. 1999, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid I. Jakarta:Trubus Agriwidya. p. 1821 Dalimartha, S. 2005. Tanaman Obat di Lingkungan Sekitar. Jakarta: Pusoa Swara. p. 5 Davis, W.W., & Stout, T.R. 1971. Disc Plate Methods of Microbiologycal Antibiotic Assay. Microbiology. 22: 659-665 Devi, A.P. 2011. Korelasi Kadar Fenolat Daun Dendrophthoe petandra, Dendrophthoe falcata, dan Scurrula philippensis Terhadap Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH. Skripsi. Univerversitas Muhammadiyah. Surakarta. p. 1-15 Dewi, F.K. 2010. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Mengkudu (Morinda citrofolia, Linnaeus) Terhadap Bakteri Pembusuk Daging Segar. Surakarta: Jurusan Biologi MIPA Universitas Sebelas Maret. p. 7-8 Eccles, J.D., & Green, R.M. 1994. Konservasi Gigi. Jakarta: Widya Medika. p. 1-23 Epand, R.F., Savage, P.B., & Epand, R.M. 2007. Bacterial Lipid Composition and the Antimicrobial Efficacy of Cationoc Steroid Compounds (Ceragenins). Biochimica et Biophysica Acta. 1768(10): 2500-9 Ferdian, A. 2010. Analisa Zat Berkhasiat Beluntas. Artikel Kimia. (Serial Online) (Cited 2010 Nov 12). Available from: http://kimia.unp.ac.id/?p=1186 Frederer, W.T. 1977. Experimental Design Theory and Application. 3rd Edition. New Delhi, Bombay Calcuta. Oxford and IBH Publishing.Co. p. 544 Freedman, J.E., Parker, C., & Li, L. 2001. Select Flavonoids and Whole Juice from Purple Grapes Inhibit Plate Function and Enhance Nitric Oxide Release. Circulation. 103(23): 2792-2798 Frei, B., & Higdon, J.V. 2003. Antioxidant Activity of Tea Polyphenols in vivo: Evidence from Animal Studies. J. Nutr. 133(10): 3275S-3284S Ginting, A.M., 2010. Pemanfaatan Matriks Nata de Coco Terhadap Ekstrak Etanol Daun Dandang Gendis. (Serial Online) (Cited 2011 August 16). Available from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19967/4/chapter%20II.pdf Haidari, M., Ali, M., Casscells, S.W., & Madjid, M. 2009. Pomegranate (Punica granatum) Purified Polyphenol Extract Inhibits Influenza Virus and has a Synergistic Effect with Oseltamivir. Phytomedicine. 16: 1127-1136 Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. (Padmawinata, K., Soediro, I., Pentj). Jilid II. Bandung: Institut Teknologi Bandung. p.45. Hashizume, L.N., Shinada, K., & Kawaguchi, Y. 2006. Dental Caries Prevalence in Brazilian Schoolchildren Resident in Japan. Journal of Oral Science. 48(2): 51-57 Hassanpour, S., Maheri-Sis, N., Eshratkhah, B., & Mehmandar, F.B.. 2011. Plants and Secondary Metabolites (Tannins): A Review. Int. J. Forest, Soil and Erosion. 1 (1):47-53 Higdon, J., Drake, V.J., & Dashwood, R.H. 2008. Flavonoids. Reviewed Article. Linus Pauling Institute, Oregon State University. (Serial Online). (Cited 2011 July 27). Available from: http://lpi.oregonstate.edu/infocenter/phytochemicals/flavonoids/ Hou, Z., Lambert, J.D., Chin, K.V., & Yang, C.S., 2004. Effects of Tea Polyphenols on Signals Transduction Pathways Related to Cancer Chemoprevention. Mutat Res. 555(1-2): 3-19 Hussain, A., Wahab, S., Zarin, I., & Sarfaraj Hussain, M.D. 2010. Antibacterial Activity of the Leaves of Cocconia indica (W. and A) Wof India. Advances in Biological Research. 4(5): 241-248 Islam, A.K., Ali, M.A., Sayeed, A., Salam, S.M., Islam, A., Rahman, M., Khan, G.R., & Khatun, S. 2003. An Antimicrobial Terpenoid from Caesalpinia pulcerrima Swartz: Its Characterization, Antimcrobial and Cytotoxic Activities. Asian J Plant Sci. 2: 17-24 John, A.J., Kanurakran, V.P., & George, V. 2007. Antibacterial Activity of Neolitsea foliosa (Nees) Gamlbe var. caesia (Meisner). J.Essent.Oil. Res. 19:498-500 Joiston-Bechal, S., & Hernaman, N. 1993. The Effect of Mouthrinse Containing Chlorhexidine and Fluoride on Plaque and Gingival Bleeding. Journal of Oral Medicine and Periodontology; 20(1): 49-5 Kidd, E.A.M., & Joiston-Bechal, S. 1992. Penanggulangannya. Jakarta: EGC. p. 1-18 Dasar-Dasar Penyakit Karies dan Kojima, A., Nakano, K., Wada, K., Takahashi, H., Katayama, K., Yoneda, M., Higurashi, T., Nomura, R., Hokamura, K., Muranaka, Y., & Matshusashi, N., et al., 2012. Infection of Specific Strains os Streptococcus mutans, Oral Bacteria, Confers a Risk of Ulcerative Colitis. Scientific Report 2. Article. 332: 1-22 Kolahi, J., & Soolati, A. 2006. Rinsing with Chlorhexidine Gluconate Solution after Brushing and Flossing Teeth: a Systematic Review of Effectiveness. Quintessence Int. 37(8): 60512 Koloway, B., & Kailis, D.G. 1992. Caries, Gingivitis and Oral Hygiene in Urban and Rural Preschool Children in Indonesia. Community Dent Oral Epidemiol. 20: 157-158 Kustiawan, W. 2002. Lubang Gigi (Karies) dan Perawatannya. Artikel. (Serial Online) (Cited 2005 Oktober 25). Available from: http://www. pikiranrakyat.com Kuyyakanond, T., & Quenel, L.B. 1992. The Mechanism of Action of Chlorhexidine. FEMS Microbiol Lett. 79(1-3): 211-215 Lambert, J.D., & Yang, C.S. 2003. Mechanism of Cancer Prevention by Tea Constituents. J Nutr. 133(10): 3262S-3267S Lehman, D.C., Mahon, C.R., & Suvarna, K. 2011. Streptococcus, Enterococcus, and Other Catalase-Negative Gram-Positive Cocci. Dalam: Textbook of Diagnostic Microbiology (Edited by: Mahon, C.R., Lehman, D.C., Manuselis, G.), 4th Edition. W.B. Saunders Company. p.330-348 Lei, F., Zhang, X.N., Wang, W., Xing, D.M., Xie, W.D., Su, H., & Du, L.J. 2007. Evidence of Anti-Obesity Effects of the Pomegranate Leaf Extract in High Fat Diet Induce Obese Mice. International Journal of Obesity. 31: 1023-1029 Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenilpropanoida dan Alkaloida. Karya Ilmiah. (Serial Online) (Cited 2011, Juli 27). Available from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1842/06003489.pdf Lersch, M. 2008. Wonders of Extractions: Ethanol. Article. (Serial Online) (Cited 2011 Des 28). Available from: http://blog.khymos.org/2008/06/08/wonders-of-extractions-ethanol/ Lewis, D.W., & Ismail, A.I. 1993. Dental Caries, Diagnosis, Risk Factors and Prevention. Can Med Assoc J. p.408-417 Machado, T.B., Pinto, A.V., Pinto, M.C.F.R., Leal, I.C.R., Silva, M.G., Amaral, A.C.F., Kuster, R.M., & Netto-dos Santoz, K.R. 2003. In vitro Activity of Brazilian Medicinal Plants, Naturally Occuring Naphtoquinones and Their Analogues Against Methicilline Resistant Staphyloccoccus aureus. International Journal of Antimicrobial Agents. 21: 279-284 Manach, C., Scalbert, A., Morand, C., Remesy, C., & Jimenez, L. 2004. Polyphenols: Food Sources and Bioavailability. Am J Clin Nutr. 79(5): 727-74 Manach, C., Williamson, G., Morand, C., Scalbert, A., & Remesy, C. 2005. Bioavailability and Bioefficacy of Polyphenols in Humans. I. Review of 97 Bioavailability Studies. Am J Clin Nutr. 81(1 Suppl): 230S-242S Mandel, I.D. 1994. Antimicrobial Mouth Rinses: Overview & Update. J Am Dent Assoc. 125(25): 2S -10S Marsik, F.J. 2011. Special Antimicrobial Susceptibility Tests. Dalam: Textbook of Diagnostic Microbiology (Edited by: Mahon, C.R., Lehman, D.C., Manuselis, G.), 4th Edition. W.B. Saunders Company. p.308-310 Marzolini, C., Paus, E., Buclin, T., & Kim, R.B. 2004. Polymorphisms in Human MDR1 (PGlycoprotein): Recent Advances and Clinical Relevances. Clin Pharmacol Ther. 75(1): 13-33 Menegon, R.F., Blau, L., Janzantti, N.S., Pizzolitto, A.C., Corrêa, M.A., Monteriro, M., & Chung, M.C. 2011. A Nonstaining and Tasteless Hydrophobic Salt of Chlorhexidine. Article. (Serial Online) (Cited 2011 August 8). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21344413 Menendez, A., Li, F., Michalek, S., Kirk, K., Makhija, S.K., & Childers, N.K. 2005. Comparative Analysis of the Antibacterial Effects of Combined Mouthrinses on Streptococcus mutans. Journal of Oral Microbiology and Immunology; 20(1): 31 Mohamed, S.S.H., Hansi, P.D., & Thirumurugan, K. 2010. Antimicrobial Activity and Phytochemical Analysis of Selected Indian Folk Medicinal Plants. International Journal of Pharma Sciences and Research (IJPSR). 1(10): 430-434 Moses, J., Rangeeth, B.N., & Gurunathan, D. 2011. Prevalence of Dental Caries, SocioEconomic Status and Treatment Needs Among 5 to 15 Year Old School Going Children of Chidambaram. Journal of Clinic and Diagnostic Research. 5(1): 146-151 Murphy, K.J., Chronopoulos, A.K., & Singh, I. 2003. Dietary Flavanols and Procyanidine Oligomers from Cocoa (Theobroma cacao) Inhibit Platelet Fungction. Am J Clin Nutr. 77(6): 1466-1473 Murthy, K.N.C., Reddy, K.V., Veigas, & J.M. 2004. Study on Wound Healing Activity of Punica granatum Peel. Journal of Medicinal Food. 7: 256-259 Nahak, M.M., Tedjasulaksana, R., & Dharmawati, I.G.G.A. 2007. Khasiat Ekstrak Daun Beluntas untuk Menurunkan Jumlah Bakteri pada Saliva. Interdental Jurnal Kedokteran gigi, Denpasar. 5(3): 139-142 Nakano, K., Ianaba, H., Nomura, R., Nemoto, H., Takeda, M., Yoshioka, H., Matsue, H., & Takahashi, T. 2006. Detection of Cariogenic Streptococcus mutans in Extirpated Heart Valve and Atheromatous Plaque Specimens. Journal of Clinical Microbiology. 44(9): 3313-7 Parmar, G., Kaur, J., Varghese, C., & Rajan, K. 2007. Management of Dental Caries in Selected Rural Areas of Gujarat Through Atraumatic Restorative Technique (ART). Report. GolWHO Collaboration Program (2006-07). Govenrment Dental college and Hospital, Ahmedabad – 380 016, India. p.10. Pasaribu, S.P. 2009. Uji Bioaktivitas Metabolit Sekunder dari Daun Tumbuhan Babadotan (Ageratum conyzoides L.). Jurnal Kimia Mulawarman. 6(2): 1-7 Patra, A.K., & Saxena, J. 2010. Exploitation of Dietary Tannins to Improve Rumen Metabolism and Ruminant Nutrition. J Sci Food Agric. 91: 24-37 Peterson, D. 2011. Family Gentle Dental Care. Article. (Serial Online). (cited 2011, Agustus 8). Available from: http://www.dentalgentlecare.com/periguard.htm Pocock, S.J. 2008. Clinical Trials. A Practical Approach. John Wiley & Sons Ltd. West SussexEngland. p. 50-87 Prabuseenivasan, S., Jayakumar, M., & Ignacimuthu, S. 2006. In vitro Antibacterial Activity of Some Plant Essential Oils. BMC Complement. Altern. Med. 6:39 Praptiwi, Chairul, & Harapini, M. 2006. Uji Efektivitas Ekstrak Etanol Buah Makasar (Brucea javanica L.Merr.) terhadap Plasmodium berghei Secara in-vivo pada Mencit. Laporan Penelitian. Bidang Botani, Puslit Biologi-LIPI, Bogor. p. 1-6 Pratiwi, P. 2005. Perbedaan Daya Hambat Terhadap Streptokokus mutans dari Beberapa Pasta Gigi yang Mengandung Herbal. Majalah Kedokteran Gigi. 38(2): 64-67 Putra, S.E. 2007. Alkaloid: Senyawa Organik Terbanyak di Alam. Artikel Kimia. (Serial Online) (Cited 2011 Des 29). Available from: http://www.chem-istry.org/artikel_kimia/biokimia/alkaloid-senyawa-organik-terbanyak-dialam Rahayu, S.S. 2009. Ekstrasi. Artikel Kimia. (Serial Online) (Cited 2011 Agustus 16). Available from: http://www.chem-is-try.org/materikimia/kimia-industri/teknologi-proses/ekstraksi/ Radji, M. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi. Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran. Jakarta: EGC. p. 11-15 Ritter, A.V. 2004. Dental Caries. Talking with Patients. Article. Journal of Esthetic and Restorative Dentistry. p. 76 Rosenberg, J.D. 2010. Dental Cavities. Article. (Serial Online) (Cited 2012 April 29). Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/ article/oo1055.htm Rustaman, Abdurahman, H.M., & Al-Anshori, J. 2006. Skrining Fitokimia Tumbuhan di Kawasan Gunung Kuda Kabupaten Bandung sebagai Penelahaan Keanekaragaman Hayati. Laporan Penelitian. FMIPA. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. p. 1013 Sardjono, H., Santoso, O., & Dewoto, H.R. 2004. Analgesik Opioid dan Antagonis. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4 Cetak Ulang. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru. p. 189-206 Santoso, S. 2006. Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 14. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. p. 214-223 Schultz, 2011. Secondary Metabolites in Plants. Article. (Serial Online). (Cited 2011 Desember 22). Available from: http://www.biologyreference.com/Re-Se/Secondary-Metabolites-inPlants.html Serafini, M., Ghiseli, A., & Ferro-Luzzi, A., 1996. In vivo Antioxidant Effect of Green Tea and Black Tea in Man. Eur J Clin Nutr. 50(1): 28-32 Seymour, R.A., & Heasman, P.A. 1995. Pharmacological Control of Periodontal Disease. J. Dent; 23(1): 5-14 Shahani, M.N., & Reddy, V.V.S. 2011. Comparison of Antimicrobial Substantivity of Root Canal Irrigants in Instrumented Root Canals up to 72 Hours: An Invitro Study. Journal of Indian Soc. Pedod. Prev. Dent. 29: 28-33 Sondang, P., & Hamada, T. 2008. Menuju Gigi & Mulut Sehat: Pencegahan dan Pemeliharaan. USU Press: 44-56 Song, J., Kwon, O., & Chen, S. 2002. Flavonoids Inhibition of Sodium-Dependent –Vitamin C Transporter 1 (SCVT 1) and Glucose Transporter Isoform 2 (GLUT 2), Intestinal Transporters for Vitamin C and Glucose. J Biol Chem. 277 (18): 15252-15260 Spencer, & Jeremy, P.E. 2008. Flavonoids: Modulators of Brain Function. British Journal of Nutrition. 99: ES60-77 Spencer, J.P., Rice-Evans, C., & William, R.J., 2003. Modulation of pro-Survival Akt/Protein Kinase B and ERK ½ Signaling Cascade by Quercetin and its in vivo Metabolites Underlie Their Action on Neoronal Viability. J Biol Chem. 278(37): 34783-34793 Sulistyaningsih, Rr. 2009. Potensi Daun Beluntas (Pluchea indica Less) Sebagai Inhibitor Terhadap Pseudomonas aeruginosa Multi Resistant dan Methicilline Resistant staphylococcus aureus. Laporan Penelitian Mandiri. Fakultas Farmasi Univ. Padjadjaran Bandung. p. 34-35 Susanti, A. 2006. Daya Anti Bakteri Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea indica. Less) Terhadap Escherichia coli Secara in vitro. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya. p. 1-2 Tarigan, R., 1990. Karies Gigi. Jakarta: Hipocrates. p. 17-24 Vinogradov, A.M., Winston, M., Rupp, C.J., & Stoodley, P. 2004. Rheology of Biofilms Formed from the Dental Plaque Pathogen Streptococcus mutans. Biofilm 1: 49-56 Wang, R., Ding, Y., Liu, R., Xiang, L., & Du, L. 2010. Pomegranate: Constituents, Bioactivities and Pharmacokinetics. Global Science Books. 4(2): 77-87 Williamson, G. 2004. Common Features in the Pathways of Absorbtion and Metabolism of Flavonoids. Boca Raton. CRC Press: 21-33 William, R.J., Spencer, J.P., & Rice-Evans, C. 2004. Flavonoids: Antioxidants or Signaling Molecules? Free Radic Biol Med. 36(7): 838-849 Yanti, Rukayadi, Y., Kim, K.H., & Hwang, J.K. 2008. In vitro Anti-biofilm Activity of Macelignan Isolated from Myristica fragrans Houtt Against Oral Primary Colonizer Bacteria. Phytotherapy Research. 22(3): 308-12 Zwenger, S., & Basu, C. 2008. Plant Terpenoids: Applications and Future Potentials. Biotechnology and Molecular Biology Reviews. 3(1): 1-7 Lampiran 2 HASIL PENGUKURAN ZONA HAMBATAN KELOMPOK KONTROL DAN EKSTRAK ETANOL DAUN BELUNTAS TERHADAP BAKTERI Streptococcus mutans REPLIKA SI HASIL PENGUKURAN ZONA HAMBATAN (dalam mm) KONTROL NEGATIF KONTROL POSITIF KONS EKSTRAK 25% KONS EKSTRAK 50% KONS EKSTRAK 75% KONS EKSTRAK 100% I 0,0 10,0 12,0 15,0 14,0 20,0 II 0,0 11,0 9,0 14,0 17,0 18,0 III 0,0 12,0 12,0 14,0 16,0 20,0 IV 0,0 11,0 10,0 15,0 16,0 19,0 V 0,0 11,0 13,0 13,0 15,0 19,0 Lampiran 3 KRITERIA ZONA HAMBATAN MENURUT DAVIS DAN STOUT (1971) REPLIKA SI HASIL PENGUKURAN ZONA HAMBATAN (dalam mm) K (-) Krt K(+) Krt 25% Krt 50% Krt 75% Krt 100% Krt I 0,0 L 10,0 K 12,0 K 15,0 K 14,0 K 20,0 SK II 0,0 L 11,0 K 9,0 SD 14,0 K 17,0 K 18,0 K III 0,0 L 12,0 K 12,0 K 14,0 K 16,0 K 20,0 SK IV 0,0 L 11,0 K 10,0 K 15,0 K 16,0 K 19,0 K V 0,0 L 11,0 K 13,0 K 13,0 K 15,0 K 19,0 K Ket: K(-) : Kontrol negatif K(+) : Kontrol positif Krt : Kriteria Zona Hambatan 25% : Konsentrasi esktrak daun beluntas 25% 50% : Konsentrasi esktrak daun beluntas 50% 75% : Konsentrasi esktrak daun beluntas 75% 100% : Konsentrasi esktrak daun beluntas 100% L : Lemah SD : Sedang K : Kuat SK : Sangat Kuat Lampiran 10 Persiapan bahan untuk uji dengan Streptococcus Grouping Kit Hasil Uji Gram: bakteri Gram (+) berbentuk coccus tersusun seperti rantai Mengulaskan biakan bakteri S. mutans pada media agar darah steril \ Pengukuran zona hambatan menggunakan jangka sorong Hasil Uji Daya Hambat Kelompok Ekstrak dan Kelompok Kontrol 1 2 6 5 3 4 Di sekeliling disk dengan Konsentrasi ekstrak 25% (1), 50% (2), 75% (3) terdapat pertumbuhan bakteri sedangkan disk 4 (kons. Ekstrak 100%) tidak terdapat pertumbuhan bakteri