31 BAB III PANDANGAN ULAMA TENTANG ASURANSI JIWA A. Asuransi Jiwa dan manfaatnya Berdasarkan pembahasan yang sudah dikemukakan jelas bahwa asuransi adalah jasa keuangan yang pola kerjanya menghimpun dana masyarakat melalui premi asuransi dan memberi perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup matinya seseorang. Dapat dipahami bersama bahwa dalam asuransi terlibat dua belah pihak, yaitu penanggung dan tertanggung. Pihak pertama biasanya berwujud lembaga atau perusahaan asuransi (penaggung). Sedangkan pihak kedua adalah tertanggung atau orang yang akan menderita karena suatu peristiwa yang belum terjadisebagai kontrak pertanggungan ini pihak tertanggung berkewajiban berkewajiban membayar uang premi kepada pihak penaggung (perusahaan asuransi). Dewasa ini asuransi bagi sebagian masyrakat Islam Indonesia masih belum terlalu akrab, khususnya bagi masyarakat menengah kebawah , tetapi untuk Negara Negara maju memiliki asuransi telah menjadi hal yang umum dan bahkan wajib untuk dimiliki, ada pepatah yang mengatakan “sedia payung sebelum hujun” yang berarti bahwa semua orang harus mempersiapkan segala sesuatu untuk mengantisipasi hal hal yang terjadi di 32 masa depan, jadi saat musibah yang menghampiri kita sudah siap dengan segala sesuatu hal yang sudah persiapkan yaitu asuransi. Sedangangkan untuk manfaat asuransi jiwa yang dapat dirasakan yaitu: 1) Manfaat tafakuli pada produk tabungan Yaitu jika peserta ditakdirkan meninggal dunia dalam masa perjanjian maka ahli waris akan memperoleh dana tabungan yang telah disetor, bagian keuntungan atas hasil investasi mudharabah dari rekening tabungan dan selisih dari manfaat tafakul awal (rencana menabung) dengan premi yang sudah dibayar. Tetapi apabila peserta mengundurkan diri sebelum perjanjian berakhir maka peserta hanya memperoleh dana rekening yang telah disetor dan bagian keuntungan atas hasil atas hasil investasi mudharabah dari rekening tabungan. Sistem inilah sebagai implementasi dari akad tafakuli dan akad mudharabah, sehingga asuransi terhindar dari unsur gharar dan maisir. 2) Manfaat tafakuli pada produk non saving Yang dimaksud hal ini yaitu bila peserta ditakdirkan meninggal dunia dalam masa perjanjian maka ahli warisnya akan memperoleh dana santunan meninggal dari perusahaan, sesuai dengan jumlah yang direncanakan oleh peserta, sedangkan bila peserta hidup sampai perjanjian berakhir maka peserta akan mendapatkan bagian keuntungan atas rekening 33 tabarru‟ yang telah ditentukan oleh perusahaan dengan sekema mudharabbah.1 3) Asuransi jiwa Pengganti program jaring pengaman Sosial pemerintah. Beberapa pemerintah di dunia menyediakan jaring pengaman atau program kesejahteraan sosial untuk mengatasi masalah pengangguran manusia lanjut usia dan para pengungsi (untuk di indonesia saat ini program kesejahteraan tersebut belum berlaku) Jika mayoritas penduduk di negara tersebut memiliki program asuransi jiwa,maka permasalahan kesejahteraan sosial di negara tersebut akan berkurang. Hal ini memungkinkan pemerintah menggunakan sejumlah dana untuk dialokasikan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan baik. 4) Asuransi jiwa dan stabilitas Masyarakat Seperti telah kita lihat bersama di topik sebelumnya,yaitu asuransi jiwa dapat meredam rasa cemas tiap individu,terhadap permasalahan keuangan mereka dimasa depan, terhadap kemungkinan kerugian keuangan jika terjadi resiko. Hal ini tentu saja dapat meningkatkan stabilitas perekonomian masyarakat. jadi memiliki asuransi jiwa tentunya meningkatkan rasa aman terhadap kemungkinan terjadi kebangkrutan secara ekonomi jika musibah atau resiko buruk terjadi. 5) Asuransi jiwa sebagai sebuah sumber keuangan. 1 179-180 Syakir Sula Muhammad, Asuransi syari‟ah, Jakarta: Gema Insani, 2004, hlm. 34 Perusahaan asuransi jiwa menyediakan dana untuk bisnis bisnis baru,mereka juga menyalurkan dana bagi pemerintah untuk membiayai pembangunan perumahan, alat-alat pertanian, alan-jalan dan insfratuktur lainnya yang bersifat jangka panjang. Jadi sebagai tambahan,selain adanya jaminan jumlah dana,perusahaan-perusahaan juga menawarkan pinjaman.Hal ini dapat anda tekankan ketika anda berusaha menjual 6) Asuransi jiwa untuk kebahagian masyarakat Masyrakat yang bahagia akan membentuk individu yang bahagia dan sebaliknya. Asuransi jiwa berusaha keras untuk menciptakan hal tersebut dengan memberikan kompensasi keuangan jika seorang individu mengalami resiko maka masalah kebangkrutan keuangan oleh karena resiko tersebut dapat teratasi. B. Metode Penanganan Resiko Hubungan antara resiko dan asuransi merupakan hubungan yang erat satu dengan yang lain. Yang satu akan selalu melekat dan mengikuti yang lain, dalam asuransi resiko selalu dipergunakan untuk dalam arti pesimis sebagaimana yang ditegaskan oleh D.S Hansell. Oleh karena itu sangat tepat ungkapan dari S.S Huebner Cs yang mengatakan Risk is traditionally referred to as the raw material of insurance. Jadi adalah tidak mungkin apabbila kita berbicara mengenai asuransi tanpa kita berbicara mengenai risiko, karena risiko merupakan pengertian dalam asuransi. Salah satu cara penanganan resiko yang lazim dilakukan adalah dengan mengalihkannya atau mentransfernya kepada pihak lain yang bersedia untuk menerimanya. 35 Risiko merupakan suatu hal yang selalu melekat dan megikuti seluruh kegiatan manusia di dunia ini maka manusia juga berusaha bagaimana caranya agar hidup dan kehidupan ini menjadi aman tentram dan tetap dalam keadaan yang diinginkan. Mengingat hal tersebut maka menimbulkan motivasi manusia untuk mengatasinya, A. Maslow menggambarkan lima hal. Yaitu sebagai upaya upaya manusia untuk tetap dalam keadaan rasa aman. Keadaan merasa aman merupakan salah satu kebutuhan manusia. Pada hakikatnya meniadakan risiko seluruhnya adalah tidak mungkin bagi setiap kejadian atau peristiwa, oleh karena itu mau tidak mau beberapa risiko tetap harus diterima/ di tanggung sendiri yaitu apabila:2 1. Tidak ada cara praktis untuk menghindari, hal ini dapat terjadi pada suatu risiko pada suatu risiko yang sulit dideteksi. 2. Tidak mengetahui sama sekali tentang adanya suatu risiko tertentu. 3. Adanya akibat akibat yang timbul yang tidak begitu serius. 4. Adanya akibat akibat tertentu dalam rangka mungkin dari risiko yang dapat diterima. 5. Risiko risiko tertentu secara aktif memang diinginkan oleh yang berkepentingan (misalnya yang berkaitan dengan hobi) Manajemen risiko mempunyai pengertian sebagai langkah langkah manajemen pada umumnya dengan tujuan untuk menghadapi risiko dengan cara berikut: 2 D. S Hansell, Elementof insurance, Great Britain: mocdonal & Evans Ltd, hal.3. 36 1) Menemukan kemungkinan adanya suatu risiko dengan pengamatan dan imajinasi 2) Pengadaan istimidasi terhadap kemungkinan berdasarkan perkiraan semula dan potensi kerugian. 3) Mempertimbangkan metode untuk menghadapi risiko risiko. 4) Menyediakan sarana dan mengevakuasi keputusan yang diambil. Tindakan tindakan di atas dapat dilakukan dengan tujuan lebih lanjut guna: 1) Mengurangi biaya dengan memilih perangkat alat alat untuk manajemen risiko paling ekonomis. 2) Mengurangi rasa khawatir terhadap risiko umum. 3) Dapat menyelamatkan perusahaan dari kemungkinan kegagalan, paling tidak dapat mengadakan stabilitas keuntungan. Secara umum orang orang yang memang mempunyai tanggung jawab atas pengelolaan risiko menggunakan manjemen risiko dengan proses atau langkah lanhkah sebagai berikut: 1) Mengadakan identifikasi risiko. 2) Mengadakan evaluasi risiko. 3) Mengadakan seleksi dengan metode yang terbaik antara lain. Mencegah kerugian dan mengadakan pengawasan. Menghindari Menahan 37 Transfer 4) Melaksanakan progam 5) Melaksanakan pemeriksaan ulang. Kemungkinan tidakan tindakan diatas dalam banyak hal dapat diandalkan sebagai suatu metode atau atau cara yang baik dan tepat untuk pemindahan risiko.masing masing mempnyai kekurangan dan kelebihan, sehingga orang tetap mencari cara yang paling tepat dan aman untuk menghindarinya atau paling tidak untuk mengurangi akibat yang timbul, khusus terhadap akibat. Salah satu metode yang paling baik untuk penanganan risiko tidak lainadalah dengan cara mentransfernya atau mengalihkannya kepada pihak lain dengan jalan mengadakan perjanjian asuransi.3 C. Pendapat Ulama Tentang Asuransi Jiwa Sebelum kita lebih jauh membahas mengenai pendapat ulama mengenai asuransi jiwa, maka sebelumnya kita mengerti dulu arti dari ulama itu sendiri. Dalam ensilopedia islam bahwa pengertian ulama adalah orang orang yang sangat tahu dan orang orang yang banyak ilmunya dengan demikian arti lugawi. Sedangkan dalam pengertian istilah yang berkembang dalam pemahaman umat islam, “Ulama” adalah orang yang ahli dalam ilmu agama 3 Dr. Hartono Sri Rejeki, S.H. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Jakarta: Sinar Grafik, 2001, hal, 67-69. 38 islam dan mempunya intregitas kepribadian yang tinggi dan mulia serta berakhlkul karimah dan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.4 Syaikh Ibnu Abidin dari Mazhab Hanafi.5 Orang yang pertama kali berbicaa tentang asuransi dikalangan fiqh islam adalah Muhammad Amin ibnu umar yang terkenal dengan sebutan Ibnu Abidin Addimasyqi dalam kitabnya yang terkenal, Hasyiyah Ibnu Abidin, bal Al-jihad, pasal isti‟man al-kafir, ia menulis, “telah menjadi kebiasaan bila para pedagang menyewa kapal dari seorang harby, mereka membayar upah pengangkutannya. Disamping itu ia juga membayar sejumlah uang untuk seorang Harby yang berada di Negara asal penyewa kapal yang disebut sukarah „premi asuransi‟ dengan ketentuan bahwa barang barang pemakai kapal yang berada di kapal yang di sewa itu, apabila musnah karna kebakaran, kapal tenggelam atau dibajak dan sebaginya. Maka penerima uang premi asuransi itu menjadi penanggung, sebagai imbalan dari uang yang diambil dari pedagang itu. Kemudian ia mengatakan, “yang jelas menurut saya, tidak boleh (tidak halal) bagi pedagang itu mengambil uang pengganti dari barang barangnya yang telah musnah, karena yang demikian itu iltizamu ma lam yalzam mewajibkan sesuatu yang tidak lazim/ wajib, dengan ungkapan inilah, sehingga Ibnu Abidin dianggap orang pertama di kalangan fuqaha yang membahas masalah asuransi. 4 Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam, Jakarta: CV.Anda Utama,tt, hlm.1249. 5 Ali Yafie, Asuransi Dalam Pandangan Islam, Mengagas Fiqih Sosial, Bandung: Mizan, hal, 211-212. 39 Selain Syaikh Ibnu Abidin, ulama yang mengharamkan asuransi lainya adalah Syekh Muhammad Al-Ghajali6, ulama dan tokoh haraki dari mesir. Dalam kitabnya Al-Islam Wal Munahijji Al-Isytiraakiyah (islam dan pokok pokok ajaran sosialisme) menyatakan bahwa asuransi itu mengandung riba karena beberapa hal, diantaranya yaitu: 1. apabila waktu perjanjian telah habis, maka uang premi dikembalikan kepada terjamin dengan disertai bunganya dan ini adalah riba. Apabila jangka waktu yang tersebut dalam polis belum habis dan perjanjian diputus, maka uang premi dikembalikan dengan dikurangi biaya biaya administrasi dan muamalah semacam itu dilarang oleh hukum agama (syara‟) 2. ganti kerugian yang diberikan kepada terjamin pada waktu terjadinya peristiwa yang disebut di dalam polis, juga tidak dapat diterima oleh syara‟, karena orang orang yang mengajarkan asuransi bukan syarikat didalam untung rugi, sedangkan orang orang lain ikut memberikan sahamnya dalam uang yang diberikan kepada terjamin. 3. Maskapai asuransi di dalam kebanyakan usahanya. Menjalankan pekerjaan riba seperti pinjaman berbunga. 4. Perusahaan asuransi didalam usahanya mendekati pada usaha lotere. Dimana hanya sebagian kecil dari yang membutuhkan dapat mengambil manfaat. 6 Ir. Sula Muhammad syakir, AAIJ, FIIS, asuransi Syariah, Jakarta: Gema Insani, 2004, hal,60-61. 40 5. Asuransi dengan arti ini merupakan salah satu alat untuk berbuat dosa. Banyak alasan uang dicari cari guna mengorek keuntungan dengan mengharap datangnya peristiwa yang tiba tiba. Ulama yang ketiga yang mengharamkan asuransi adalah guru besar Universitas Qatar, syekh Muhammad Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya AlHalal Wal Haram Fil Islam (halal dan haram dalam islam) mengatakan bahwa asuransi dalam praktik sekarang ini bertentangan dengan prinsip prinsip syariah islam. Beliau mencontohkan dalam asuransi kecelakaan, yaitu seorang anggota membayar sejumlah uang setiap bulan, apabila dia bisa lolos dari kecelakaan maka uang jaminan itu hilang atau hangus, sedangkan si pemilik perusahaan akan menguasai sejumlah uang tersebut dan sedikitpun ia tidak mengembalikan kepada anggota asuransi tersebut. Tetapi bila terjadi suatu kecelakaan, maka perusahaan akan membayar sejumlah uang yang telah diperjamjikan bersama, Usaha semacam ini sama sekali jauh dari watak perdagangan dan solidaritas bersyarikat. Ulama lain yang mengharamkan adalah Syekh Abu Zahro Ulama fiqh termasyur dan banyak menulis karya ilmiah tentang hukum islam, guru besar Universitas kairo mesir7, menyimpulkan bahwa asuransi sosial (saling menolong) adalah halal dan sebagai perkara alami yang perlu diadakan, sedangkan asuransi yang semata mata bersifat komersial/ nonsosial hukumnya haram, dapat disimpulkan sebagai berikut: 7 Ir. Sula Muhammad syakir, AAIJ, FIIS, op.cit, hal 62 41 1. Asuransi yang bersifat perkumpulan dengan tujuan sosial adalah halal dan tidak ada syubhah di dalamnya 2. Tidak menyetujui akad akad asuransi yang tidak bersifat perkumpulan dengan alasan ada syubatu qimar dan gharar di dalamnya sehingga gharar itu menjadi penyebab tidak sahnya semua akad. 3. Tidak menyetujui akad akad asuransi yang tidak bersifat perkumpulan dengan alasan ada syubatu qimar dan gharar di dalamnya sehingga gharar itu menjadi penyebab tidak sahnya semua akad. 4. Merupakan „aqd al sharf‟ persetujuan jual beli uang dan aqd al sharf itu tidak sah bila tidak tunai. 5. Tidak ada keadaan memaksa (dharuah) dalam bidang perekonomian yang mewajibkan Dr. Muhammad muslehuddin guru besar hukum islam universitas London dalam desertasi doktonya yang berjudul Insurance And Islamic Law mengatakan bahwa kontrak asuransi konvensional ditolak oleh ulama atau kalangan cendikiawan muslim dengan berbagai alasan, sementara penyokong modernis islam berkeras bahwa asuansi boleh menurut hokum islam, keberatan para ulama terutama adalah sebagai berikut: 1. Asuransi merupakan kontrak perjudian 2. Asuransi hanyalah pertaruhan 3. Asuransi bersifat tidak pasti 4. Asuransi jiwa adalah alat dengan mana suatu usaha dilakukan untuk menggantikan kehendak tuhan 42 5. Dalam asuransi jumlah jiwa premi tidak tentu, karena peserta asuransi tidak tahu berapa berapa kali cicilan yang hatrus dibayarkan sampai meninggal. 6. Perusahaan asuransi menginvestasikan uang yang dibayarkan oleh peserta asuransi dalam surat surat berharga (sekuritas) berbunga. Sedangkan dalam asuransi jiwa, peserta atas kematiannya berhak mendapat jauh lebih banyak dari jumlah yang telah dibayarkan, yang itu merupakan riba 7. Seluruh bisnis asuransi di dasarkan pada riba yang hukumnya haram. Karena itulah ulama dengan keras menyatakan perang terhadap asuransi dan dengan tegas berpendapat bahwa kontrak asuransi secara diametric bertentangan dengan standart standart yang ditetapkan oleh hokum islam. Asuransi berbahaya, tidak adil dan tidak pasti. Sedangkan menurut mantan ketua MUI, Rais Am NU, guru besar ilmu fiqih prof, KH. Ali Yafie merupakan salah satu ulama yang sangat independen pendapatnya di Indonesia dan berperan besar dalam BMI, asuransi Takaful, bank dan asuransi syari‟ah pertama di Indonesia setelah membahas dan mengkaji lebih dalam apa itu asuransi, bentuk bentuk , tujuan dan kaitannya dengan perundang undangan di Indonesia serta menelaah pendapat ulama ulama ternama yang dikutip dalam tulisannya, kemudian berkesimpulan bahwa: 1. Masalah asuransi penting mendapat perhatian para ulama karena merupakan suatu kenyataan (waqi‟ah) yang mempunyai peranan banyak dalam segi hukum kehidupan masyarakat dan melibatkan banyak orang dan golongan. 43 2. Asuransi diciptakan di dunia barat dan diatur oleh hukum sehingga mempunyai watak , bentuk, sifat dan tujuan sendiri yang membedakan ia (dalam kebutuhannya) dari wujud muamalat yang dikenal dalam fiqih yang beredar dalam dunia islam. 3. Dari tiga jenis asuransi, dua diantaranya yaitu asuransi perkumpulan (atta‟min at-ta‟awuni) dan asuransi wajib (at-ta‟min al-ilzami) dapat memperoleh tempat dalam lingkungan patokan patokan muamalah yang di tetapkan oleh hukum syara‟. karena layak diberi perhatian kearah pengembangan menjadi wasilah masyru‟ah Dikemukakan pula Pandangan ulama yang dituangkan dalam pendapat internasional maupun nasional, muktamar atau fatwa oleh majelis majma dan atau ormas islam salah satunya dalam: 1. Muktamar ekonomi islam, yang bersidang pertama kali pada tahun 1976 di mekah yang dihadiri 200 ulama, profesor syari‟ah dan pakar pakar okonomi dari berbagai Negara muslim, dalam keputusannya tentang asuransi menyimpulkan bahwa asuransi konvensional hukumnya haram, karena mengandung riba dan gharar. 2. Majma‟ Al-fiqih al-islami al-„Alami (kesatuan ulama fiqih dunia) yang bersidang pada tahun 1979 di Mekah al –Mukkaramah. Keputusan mayoritas ulama adalah asuransi jenis perniagaan haram hukumnya, baik asuransi jiwa maupun lainnya. 3. Majelis kesatuan ulama besar dalam musyawarah pada tahun 1977 di Arab Saudi memutuskan bahwa asuransi jenis perniagaan hukumnya haram. 44 4. Fatwa jawatan kuasa kebangsaan Malaysia, pada tanggal 15 juni 1972, Insurance Nyawa (asuransi jiwa) sebagaimana yang dijalankan oleh perusahaan asuransi sekarang ini adalah muamalat yang fasid karena tidak sesuai dengan prinsip prinsip islam, derimana akan\tnya mengandung gharar, judi dan riba maka hukumnya menurut islam adalah haram. Meskipun ulama diatas menganggap bahwa asuransi hukumnya haram, tetapi ada pula pendapat pendapat ulama yang membolehkan asuransi, diantaranya yaitu Syaikh Abdur Rohman Isa adalah seorang guru besar Universitas Al-Azhar dengan tegas menyatakan bahwa asuransi merupakan praktek muamalah dengan gaya baru yang belum dijumpai imam imam terdahulu, demikian juga para sahabat Nabi. Pekerjaan ini menghasilkan kemaslahatan ekonomi. Ulama telah menetapkan bahwa kepentingan umum yang selaras dengan hukum syara‟ yang patut diamalkan. Karena asuransi menyangkut kepentingan umum maka halal menurut syara‟. Selanjutnya Syaikh Abdur Rohman Isa mengataka bahwa sesungguhnya perusahaan asuransi dengan nasabahnya saling mengikat dalam perbuatan ini atas dasar saling meridhai merupakan perbuatan yang melayani kepentingan umum, memelihara harta milik orang orang dan menolak resiko harta benda yang terancam bahaya. Sebaliknya perusahaan asuransi memperoleh laba yang memadai yang disepakati oleh kedua belah pihak. Kedua belah pihat sepakat atas perbuatan yang mengandung maslahat yang 45 berhubungan dengan apa yang telah diciptakan oleh Allah Swt bagi kepentingan manusia8. Ulama yang selanjutnya yang memperbolehkan asuransi adalah Syekh Abdul Wahab kholaf yang merupakan guru besar hokum islam universitas kairo, beliau mengatakan bahwa asuransi itu boleh sebab termasuk akad mudharabah. Akad mudharabah dalam syariat islam adalah perjanjian persekutuan dalam keuntungan dengan modal yang diberikan oleh satu pihak dan dengan tenaga di pihak yang lain. Demikian pula dalam asuransi, nasabah memberikan memberikan hartanya dengan jalan membayar premi, sementara dari pihak lain (perusahaan asuransi) memutarkan harta tadi, sehingga dapat menghasilkan keuntunga timbale balik baik bagi nasabah maupun perusahaan sesuai dengan perjanjian mereka. Dalam hubungan ini ada yang memandang bahwa pembagian keuntungan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi dengan menetapkan (bunga kredit) sebesar misalnya 3% atau 4% (di Indonesia biasanya sekitar 7% sampai9%) adalah mudhorobah yang tidsk sah, maka Syekh Abdul Wahab memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1) Tafsir ayat riba dalam surat Al-Baqarah adalah, “Tiadalah termasuk riba yang diharamkan dalam nash (yang sudah jelas keharamannya), apabila seseorang memberikan modalnya kepada orang lain (untuk dijadikan modal usaha) dengan menetapkan bagian keuntungan tertentu dari modal itu.” Memang hal ini berbeda dengan pendapat fuqaha yang menetapkan 8 Konsep Asuransi Menurut Islam, Lampiran Keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, No.03/Munas/1992 46 keuntungan pemilik modal, berdasarkan keuntungan yang diperoleh dalam perusahaan. Namun atas dasar kepentingan mashlahah, maka yang demikian itu tidak mengandung suatu dosa atau kesalahan. Selain itu kerja sama semacam ini bermanfaat bagi keduanya, baik bagi pemilik modal maupun pengusaha sendiri. 2) Persyaratan dalam mudharabah bahwa bagian keuntungan berdaskan laba dan keuntungan tertentu (presentase dari modal) belu diterima oleh sebagian mujtahidin “fuqaha” dan hal itu bukanlah merupakan suatu hokum yang telah disepakati. Dalam majalah Hiwaul Islam Syekh Abdul Wahab menyimpulkan bahwa perikatan asuransi jiwa adalah akad yang sah, berguna bagi para anggota (nasabah), bagi perusahaan asurnsi, bagi masyarakat dan tidak merusak seseorang, juga tidak memakan harta seseorang dengan cara tidak benar, malainkan marupakan tabungan, koprasi dan memberikan kecukupan kecukupan bagi nasabah yang umurnya telah lanjut dan kepentingan ahli waris, ketika tiba tiba meninggal dunia. Syariat islam hanya mengharamkan yang merusak atau bahayanya lebih besar dari manfaatnya. Sarjana dan pakar ekonomi Pakistan, Syaikh Muhammad, MA, LLB juga membolehkan asuransi jiwa dan asuransi konvensional lainnya dengan alasan: 1) Persetujuan asuransi tidak menghilangkan arti tawakal kepada allah. 2) Di dalam asuransi tidak ada pihak yang dirugikan dan merugikan. 47