Analisis Kondisi Atmosfer pada Kejadian Banjir Menggunakan Data

advertisement
total (jumlah kuadrat regresi ditamball
jumlah kuadrat error).
3.3.3 Penentuan Titik Pengamatan yang
Mewakili Kabupaten Bojonegoro
Tahap ini untuk mencari jarak titik
pengamatan yang menghasilkan nilai
berbeda secara signifikan. Data yang
digunakan adalah data Rawinsonde NOAA
dari beberapa titik pengamatan. Parameter
yang dianalisis adalah parameter dari data
asli seperti ketinggian geopotensial, suhu
udara, relative humidity (RH), arah dan
kecepatan angin serta parameter hasil
eksbaksi seperti tinggi tropopause, LCL,
CAPE dan seterusnya. Masing-masing
parameter dientry pada Microsoj Ofice
Excel. Setelah itu, dianalis dalam sofhvare
Minitab versi 14 menggunakan uji nilai
tengah dengan taraf nyata sebesar 0.05.
Ho: PI =PI
Hl:PlfP2
H, : Hipotesis awal
H,: Hipotesis alternatif
p, :Nilai ram-rata populasi I
p2 : Nilai rata-rata populasi 2
- -
<r,-r>l-#.*
-
-
*-<P,-*,<,=L-x21*,:.,
,
(Walpole 1992)
dengan:
si =
(n,- 1)s; + (4- 1)s;
v=n,+n,-2
dimaoa:
- xi -x2
tm-
=
=
beda nilai tengah dua contoh
nilai t dengan derajat bebas v
3.3.4 Analisis
Kejadian
Banjir
Bojonegoro Tariggal 26 Desember
2007 sampai 7 Jnnuari 2008
Data yang digunakan untuk analisis saat
terjadi banjir adalah datii rawinsonde NOAA
Bojonegoro
dengan
beberapa
titii
pengamatan pada jam 00,03,06,09, 12, 15,
18, 21 UTC tanggal 20 Desember 2007-7
Januari 2008. Sementara itu, data yang
digunakan untuk membandingkan kondisi
saat banjir dengao kondisi lainnya adalah
data rawinsonde NOAA titik koordinat
7"12'LS 11 1°53'BT (kota Bojonegoro) pada
jam 06 UTC tanggal 1 Desember 2004-28
Februari 2005, 1 Desember 2005-28
Februari 2006 d m 1 Desember 2006-28
Februari 2007 yang mewakili musim hujan.
Sedangkan tanggal 1 Juli 2005-30
September 2005, 1 Juli 2006-30 September
2006 dan 1 Juli 2007-30 September 2007
untuk mewakili musim kemarau. Data
tanggal 1-7 April 2005 mewakili banjir
tahun 2005, 1 4 Mei 2006 untuk banjir
tahun 2006, dan 17-23 April 2007 untuk
banjir tahun 2007 awal. Data tersebut
disimpan dalam format txt. Data pendukung
yang digunakan adalah data curah hujan
harian selama baniir di Kabu~aten
Bojonegoro.
Eksbaksi parameter atmosfer seperti
tinggi tropopause, LFC (Level of Free
Convection), TPW (Totoi Precipltable
Water), CAPE (Convecrive Availabie
Potential Energy) dan seterusnya dilakukan
denean menegunakan software RAOB.
setelah itu, hz ekstraksi di entry ke dalam
Microsoj Ofice Excel serta dianalisis
dengan Microsoji Ofice Excel dan Minitab
versi 14.
Uotuk lebih jelasnya, diagram alir penelitian
bisa dilihat pada Lampiran 4.
2
yang luas daerah di sebelah
kaoannya sebesar
a
2
-
s1.s~ = nilai simpangan baku contoh 1
dan contoh 2
s, = nilai dugaan gabungan bagi
simpangan baku populasi.
n,, n2 = ukuran contoh 1 d m contob 2
Data dari titik pengamatan dikatakan
berbeda jika nilai p-,n,., yang didapatkao
ktlrang dari 0.05.
4. HASLL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pola Curah Hujan tli Kabupaten
Bojonegoro
Analisis tipe hujan di Kabupaten
Bojonego~o menggunakan data 30 tahun
yaitu tahun 1978-2007. Hal ini mwujuk
World Meteorological Organization (1983)
bahwa data klimatologi y m g dianalisis ratarata maupun nilai ekshimnya memerlukan
data selama 30 tahun. H s i l yang dipemleh
menunjukkan bahwa Kabupaten Bojonegoro
mempunyai tipe hujan monsun (Gambar 3).
Curah hujan maksimum terjadi pada bulan
Januari sedangkan curah hujan minimum
tejadi pada bulan Agustus. Hasil tenebut
sesuai dengan Rejekiningnun el al. (2003)
bahwa cumh hujan maksimum di
Bojonegoro tejadi pada bulan Januari dan
minimum pada bulan Aguhls.
Menurut
Badan
Geofisika
dan
Meteorologi musim hujan adalah waktu
dimana curah hujan bulanan mencapai 150
mm atau lebih besar, sedangkan musim
kemarau adalah w a h dimana curah hujan
bulanan kurang dari 150 mm. Berdasarkan
definisi tersebut, Kabupaten Bojonegoro
mengalami musim hujan pada bulan
November sampai April sedangkan musim
kemarau pada bulan Mei sampai Oktober
(Gambar 3). Hal ini sesuai dengan
pernyataan DPU (2008) bahwa wilayah
DAS Bengawan Solo mengalami musim
hujan pada bulan November sampai April
dan musim kemarau pada bulan Mei sampai
Oktober. Sementara ity dari Gambar 4 bisa
diketahui bahwa Kabupaten Bojonegoro
merupakan wilayah DAS Bengawan Solo
khususnyn Sub DAS Bengawan Solo Hilir.
Kabupaten Bojonegoro merupakan
daerah yang berada di sebelah selatan
ekuator. Pada bulan Oktober-Februari terjadi
pemanasan yang intensif di belahan bumi
selatan. Pemanasan yang intensif tersebut
menyebabkan belahan bumi selatan
mempunyai
tekanan
udara
rendah.
-
Sementara itu, di belahan bumi utara
pemanasannya kurang intensif sehingga
tekanan udara lebih tinggi diband'igkan di
belahan bumi selatan. Akibatnya akan
berhembus angin dari d a e d tekanan tinggi
ke tekanan rentlah tersebut. Di sebelah
selatan ekuator angin yang berhembus
adalah angin baratan biasanya dikenal
dengan nama angin muson barat yang
membawa massa u d m lembab. Selain itu,
pemanasan
yang
intensif
tenebut
menyebabkan penguapan yang tinggi dan
potensi terbenhilolya awan lebih besar. Oleb
karena itu, di helahan bumi selatan potensi
tejadinya curah hujan akan tinggi,
Sebaliya, pada bulan April sampai
Agnstus matahari bemda di belahan bumi
ntara. Pada bulan-bulan tersebut pemanasan
di belahan bumi selam kurang intensif
sedangkan di belahan bumi utara lebii
intensif. Belahan bumi selatan mempunyai
tekanan udara tinggi sedangkan di belahan
bumi utara terjadi sebaliknya. Angin akan
berhembus dari belahan bumi selatan ke
belahan bumi utara yang dikenal sebagai
angin muson timur, biasanya bersifat kering.
Pada saat itu, potensi terjadinya awan kecil
dan curah hujan akan rendah.
-
350
,
..
CH Bulanan Rata-Rata Kabupaten Bojoeefloro
Tahun 1978-2007
I
--
-
y -18.933~
+ 2205.9
--
Gambar 5 Curah hujan rata-rata tahunan di Kahupaten Bojont:goro
.. .-
I
.
.
.
.
.... .
. .- .- . ..
.
.
.
CH Bulanan Rata-Rata 10 Tahunan Kabupate~~
Bojonegoro Tahun 1978-2007
400 1
y = -2.01011x+ 196.5
- --.
-
Gambar 6 Curah hujan bulanan rata-rata 10 tahunan di Kahupaten Bojonegoro
.
.
-
...
--.--..
.....
..
...
....
...
CH Bubnan Rata4ata 5Tahunan Kabupaten B$onjonegcmTah11l1978-2M7
.......
Gambar 7 Curah hujan bulanan rata-rata 5 tahunan di Kabupaten Bojonegoro
.... -. . . . . . . . . -- . . .
... -.
.......
...
CH rala-nbbohn Jnnuari di Kabopaten Bojoneg~mtahun 1978.2 )5
Gambar 8 Curah hujan rata-rata bulan Januari di Kabupaten Bojcmegoro
i
'
.........
- ...
. .-.
...
ClInh+ah bulan hlaret di-bupaten
..-
.......
Bojonegumbhsn1978-2007
..
Curah hujan rata-rata tahunan, 5 maupun
10 tahunan cenderung menurun (Gambar 5,
6 dan 7). Berdasarkan hasil uji signifikansi
diketahui bahwa kecendemngan menurun
pada curah hujan tahunan, 5 maupun 10
tahunan tersebut nyata dengan taraf nyata
0.05. Curah hujan rata-rata bulanan sebagian
besar menunjukkan kecendemngan menurun
yang nyata juga kecuali bulan Oktnber yang
mempunyai kecenderungan menurun tidak
nyata (Gambar 8 dan Lampiran 5). Hasil
berbeda ditunjukkan oleh curah hujan ratarata bulan Maret (Gambar 9) yang
mempunyai kecendemngan naik nyata (taraf
nyata sebesar 0.05). Hasil tersebut (kecuali
bulan Maret) sesuai dengan hasil penelitian
Aldrian (2007) bahwa sejak empat dekade
terakhir telah terjadi penurnnan curah hujan
tahunan pada hampir selurnh stasiun cuaca
di Indonesia dan Pawitan (2003b) bahwa
teiah terjadi penurunan jumlah curah hujan
secara luas di pulau Jawa. Hal ini
mengindikasikan bahwa daerah Kabupaten
Bojonegoro cenderung semakin kering
kecuali pada bulan Maret.
Waktu terjadinya cnrah hujan bulanan
rata-rata
maksimum
di
Kabnpaten
Bojonegoro beberapa tahun t e d h i r
mengalami pergeseran (Gambar 6 dan 7).
Curah hujan bulanan rata-rata maksimum
10 tahunan pada tabun 1998-2007 terjadi di
bulan Maret (Gambar 6). Sementara iN,
Gambar 7 menunjukkan bahwa curah hujan
bulanan rata-rata maksimum 5 tahunan pada
tahun 2003-2007 terjadi di bulan Febmari.
geopotensial;
korelasi parameter keti~~ggian
subu udara; MI; arah angin; dan kecepatan
angin menghasilkan nilai sebesar 0.999;
0.997; 0.505; 0.675; d m 0.590 sedangkan
koefisien determinasinya menghasilkan nilai
sebesar 99.9%; 99.4%; 25.4%; 45.5%; dan
34,8%. Sementara itu, koefisien korelasi
parameter ketinggian geopotensial; suhn
udara; RH; arah angin; dan kecepatan angin
untuk stasiun cuaca Cengkareng berhm~tturut menghasilkan nilai sebesar 0.999;
0.998; 0.672; 0.778; dan 0.938 dengan
koefisien determinasi sebesar 99.7%; 99.6%;
45.1%; 60.5%; dan 87.9%. Berdasarkan
h a i l uji statistika, nilai-nilai yang diperoleh
mempunyai korelasi yang nyata pada taraf
nyata 0.05. Selain itu, menurut Khomarudin
et aL(2003) diacu dalam Risandi (2004)
koefisien korelasi 0.351-0.700 termasuk
loiteria sedang, 0.'701-1.000
tin@.
Berdasarkan ha1 tersebut maka data
rawinsonde NOAA rnemungkinkan untuk
digunakan
sebagai
alternatif
data
rawinsonde BMG, khususnya untuk wilayah
di Pulau Jawa yang tidak memiliki data
pengukuran rawinsonde.
Tabel 9 Koefisien korelasi dan determinasi
parameter ahnclsfer stasiun cuaca
Juanda dan Cengkareng
N Panmelcr
Cenghrcog
Juanda
o etmosfer
P
I Ketinggian
0.999
R'
P
(%)
99.9
Rf
(%)
0.999
99.7
0.00
0.998
0.00
0.672
0.00
99.6
0.00
45.1
geopotcnsi
4.2 Perbandingan Data Rawinsonde
NOAA terhadap Data Rawinsonde
Stasiun Cengkareng dan Juanda
Tahap ini membandiigkan data
rawinsonde NOAA dengan data rawinsonde
dari stasiun cuaca Juanda dan Cengkareng.
Kedua stasiun tersebut digunakan dengan
barapan bisa mewakili pulau Jawa secara
keseluruhan, Jawa bagian timur diwakiii
oleh stasiun cuaca Juanda sedangkan Jawa
bagian bamt diwakili oleh stasiun cuaca
Cengkareng (lkwasti et al. 2005). OIeh
karena itu, jika h a i l analisis dari kedua
stasiun cuaca menghasilkan nilai koefisien
korelasi dan determinasi yang cukup tinggi
maka data rawinsonde NOAA bisa
digunakan untuk daerah di Pulau Jawa
termasuk Bojonegoro.
Perbandingan parameter atmosfer dari
kedua
sumber
data
rawinsonde
menunjukkan hasil yang bervariasi (Tabel
9). Di stasiun cuaca Juanda, koefisien
a1
2
3
4
5
P-wlup
f-65--SuhU ~ d a m 0.997
P-value
0.00
Reloriw
0.505
Humidicy
P-vdue
0.00
Arah angin
0.675
P-value
0.00
Kecepntan
0.590
angin
P-wlue
0.00
-
o.00
99.4
0.00
25.4
0.00
45.5
0.w
34.8
0.00
0.00
0.00
0.778
0.w
0.938
60.5
0.00
87.9
0.00
0.00
4.3 Penentuan Titik Pengamatan yang
Mewakili Kabupaten Bojonegoro
Tahap ini bertujuan untuk mendapafhn
titik pengamatan yang bisa mewakili
wilayah Kabupaten Bojonegoro. Tahap ini
dilakukan dengan mengambil beberapa titik
pengamatan kemudian dilakukan uji nilai
tengah sampai mendapat hasil uji nilai
tengah yang berbeda antara dua titik
pengamatan.
Hasil
yang
dipemkh
menunjukkan b'ahwa
hampu semua
parameter dari data asli seperti tinggi
geopotensial, suhu ndam dan seterusnya
tidak berbeda signifikan (dengan taraf nyata
0.05) dari titik ujung ke ujung Kabupaten
Bojonegoro, kecuali parameter arah angin
yang mulai menunjukkan perbedaan
signifikan pada jarak 0.6' atau 66.6 km (di
daerah ekuator l o = 111 km). Sementara itu,
pada jarak 0.6' hampir semua parameter
hasil ekstraksi menunjukkan perbedaan
signifikan kecuali tinggi dasar awan (LCL)
dan peluang massa udara thunderstorm (KI)
(Lampiran 6). Berdasarkan h a i l yang
diperoleh tenebut maka titik pengamatan
yang digunakan untuk mewakili Kabupaten
Bojonegoro ada 12 titik yaitu: 6'36'LS
11I017'BT; 6"36'LS 11I053'BT; 6'36'LS
11229'BT; 7'12'LS 11 I017'BT; 7'12'LS
1 1 I053'BT; 7'12'LS 112'29'BT; 7"48'LS
11I017'BT; 7'48'LS 11l053'BT; 7'48'LS
112'29'BT; 824'LS 11 I017'BT; 8024'LS
11 I053'BT; dan S024'LS 112029'BT.
4.4 Analisis
Kondisi Atmosfer Saat
Kejadian Banjir Bojonegoro 26
Desember 2007 sampai 7 Januari
2008
Banjir yang menjadi fokus kajian pada
penelitian ini tejadi antara bulan Desember
2007 dan Januari 2008. Waktu kejadian
banjir tersebut berbeda dengan banjir yang
umumnya tejadi di Kabupaten Bojonegoro
beberapa tahun terakhii yaitu pada bulan
maret atau setelahnya (Lampiran 1).
Beberapa hari sebelum tejadinya banjir
yaitu tanggal 20,21 dan 22 Desember 2007
terjadi hujan di sebagian besar wilayah
Kabupaten Bojonegoro. Sementara itu,
selama banjir tejadi hujan yang cukup
merata di Kabupaten Bojonegoro pada
tanggal 26 dan 31 Desember 2007 serta
tanggal 4 Januari 2008 (Lampiran 7). Curah
hujan yang terjadi bisa m e m p e n g d i
tejadinya banju.
Analisis kondisi atmosfer awalnya
menggunakan data dari 12 titik pengamatan
untuk mewakili Kabupaten Bojonegoro.
Hasil yang dipemleh menunjukkan bahwa
parameter tinggi tropopause mengbasilkan
nilai rata-rata yang hampir sama sekitar
16.500 m dari permukaan laut di 12 titik
pengamatan. Hal ini mengindiiikan bahwa
tinggi tropopause di Kabupaten Bojonegoro
cukup seragam sehingga untuk penelitian
selanjutnya bisa menggunakan 1 atau
bebempa titik untuk menganalisis parameter
tinggi tropopause. Untuk parameter lainnya,
nilai rata-rata yang dihasilkan di kedna belas
titik mempunyai perbedaan nilai (Lampiran
8). Titik pengamatan yang berada dalam satu
garis lintang mempunyai nilai rata-rata
parameter atmosfer yilng relatif sama.
Sementara itu, titik yang berada dalam satu
garis bujur dengan lintang yang berdekatan
maka mempunyai nilai rata-mta parameter
ahnosfer yang hampir sama. Titik
pengamatan I012'LS dan 7'48'LS &lam
garis bujur yang sama mempunyai nilairatarata parameter atmosfer yang relatif sama
sedangkan titik pengamatan 6 W L S
mempunyai nilai rata-rata parameter
ahnosfer yang relatif sama dengan titik
pengamatan 824'LS dalam satu garis bujur.
Sebenamya untuk mewakili Kabqaten
Bojonegoro cukup digunakan satu titik
pengamatan. Alasannya adalah Bojonegom
terletak pada 6'59'-7'37'
LS dan 1119.5'112'09' BT sehingga dari kedua b i a s titik
pengamatan
yang berada di wikyah
Bojonegoro hanya titik pengamatan 7"12'LS
11I053'BT. Selain itu, berdasarkan NOAA
(2008) data rawinsonde NOAA mempunyai
grid lox lo.
4.4.1 Pola Harian Kondisi Atmosfer
Pola harian kondisi atmosfer bisa d i i a t
pada Gambar 10. Pola harian tinggi
tropopause mempunyai 2 puncak yakni pads
siang hari ketika tejadi pemanasan yang
intensif dan pada malam hari sedangkan
pada jam 09 UTC tingginya & i t
menurun. Hal ini disebahkan pada siang hari
tejadi pemanasan yang intensif sehiagga
udara akan terangkat naik pada level yang
lebih tinggi.
Pola harian dasar awm konvektif (CCL)
mempunyai bentuk cekungan. Pola ini
bersesuaian dengan pola harian suhu
konvektif Saat terjadi pemanasan yang
intensif di siang hari (jam 03-09 UTC) maka
suhu konvektif menurun karena pada saat
tenebut suhu permukaan cukup tin&
sehingga suhu yang hams dicapai oleh
permukaan agar terjadi konveksi (suhu
konvektif) menjadi rendah. Jiia suhu
konvehqif rendah maka selisihnya deagan
suhu titik embun kecil. Akibatnya, pvsel
udara hanya perlu diangkat dalam jarakyang
dekat agar menjadi jenuh. Level saat wadi
udara yang jenuh jika tldara diangkat dari
suhu konvektif tenebut dinamakan CCL aau
dasar awan konvektif. Oleh karena itu, gada
siang hari d a s a awan konvektif meajadi
rendah.
Pola harian level konveksi bebas (LFC)
sesuai dengan pola harian puncak dasar
awan konvektif yang berbentuk cekungan.
Pada ~ i a n ghari dengan pemanasan yang
intensif suhu panel udara masih panas
ketika mencapai titik jenuh sehingga jarak
yang ditempuh untuk mencapai titik konveki
bebas lebih dekat jika diukur dari level saat
parsel udara jenuh.
Sementara itu, tinggi dasar awan (LCL)
mempunyai bentuk seperti bukit. Saat terjadi
pemanssan yang intensif di siang hari maka
suhu permukaan menjadi tinggi. Suhu
permukaan tinggi maka selisih dengan suhu
titik en~bunmenjadi besar. Akibatnya parsel
udara perlu diangkat dalam jarak yang jauh
agar menjadi jenuh. Level saat parsel udara
menjadi jenuh yang diangkat dari suhu
permukaan disehut LCL. Oleh karena itu,
pada siang hari dasar awan menjadi tinggi.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Garbell
(1947).
Pola harian puncak awan yang bisa
dilihat dari tinggi CCL EL dan LFC EL
mempunyai bentuk seperti bukit. Puncak
awan merupakan level dimana suhu parsel
sama dengan suhu lingkungannya. Pada
siang hari tejadi pemanasan yang intensif
dan kenaikan suhu parsel udara sehimgga
setelah mencapai level konveksi bebas atau
dasar awan konvektif, parsel udara
membutuhkan jarak yang lebii jauh untuk
menyamakan suhunya dengan suhu
lingkungan. Hal ini disebabkan saat
mencapai level konveksi bebas atau dasar
awan, suhu parsel masih tinggi akibat suhu
awal parsel yang tinggi serta ditarnbah
dengan adanya penambahan energi yang
didapatkan dari adanya proses perubahan
uap air menjadi air atau titik-titik air.
Pola harian indeks stahiiitas atmosfer
(LI) berbenhk cekungan sedangkan pola
harian peluang massa udara thunderstorm
(KI) dan energi yang tersedia untuk
pengangkatan
massa udara (CAPE)
berbentuk bukit. Ketiganya bisa digunakan
sebagai indikator kestabilan atmosfer
(Gaffm dan Horn 2006). CAPE
menjelaskan ketidakstabilan di atmosfer
sedangkan LI menjelaskan ketidakstabilan
pada level 500 mb (Iturrioz et al. 2007).
Sementara itu, KI disamping menjelaskan
peluang massa udara thundersform juga
potensi konveksi (Haby 2006~). Semakin
besar nilai KI maka potensi terjadinya
konveksi semakim besar. Pada siang hari
terjadi pemanasan yang intensif, massa
udara di dekat permukaan mengalami
pengangkatan yang cukup intensif sehimgga
akan terjadi konveksi yang besar juga yang
berarti nilai KI besar. Selain itu, jarak dari
titik konveksi bebas dengan puncak dasar
awan juga semakin hesar akibatnya energi
yang tersedia untuk pngangkatan massa
udara akan semakin besar. Pada saat tersebut
suhu parsel awal tirlggi maka ketika
diangkat sampai lapisart 500 mb suhunya
masih tinggi dan mempunyai perbedaan
yang besar dengan suhu lingkuugan di
lapisan 500 mb. Kondisi
tersebut
menyebabkan nilai LI :h
semakin kecil
saat siang hari.
Pola harian kecepatan parsel udara
bergerak naik (Mvv) berbentuk bukit. Pada
siang hari tejadi pemrulasan yang intensif
yang menyebabkan kondisi ahnosfer tidak
stabil dan terjadi pengangkatan yang cepat.
Pola barian kandungan uap air di udara
ditunjukkan (TPW) berbentuk bukit.
Semakin tinggi kandungm uap airnya maka
udara makiu mendekati jenuh. Saat siang
hari terjadi pemanasan yang intensif
sehingga terjadi evaporasi dan transpirasi
yang tinggi. Evaporasi dan transpirasi yang
tinggi akan menambah kandungan uap air di
udara. Oleh karena itw, nilai TPW juga
tinggi.
Hal yang telah di terangkan sebelumnya
merupakan penjelasan kondisi pada siang
hari sedangkan penjelasan kondisi pada
malam hari secara garis besar adalah
sebatiknya. Akan tetapi ada beberapa bal
pengecudliar. seperti tin& tropopause dan
potensi konveksi dimana masih memptmyai
nilai yang tinggi saat nlalam hnri. Hal ini
disebabkan terkadang proses konveksi juga
terjadi
pada
malanl
hari
dengan
menggunakan energi simpanan yang didapat
saat tejadi pemanasan pada siang hari.
4.4.2 Analisis dan Perbandingan Kondisi
atmosfer Hari Hujan dan Hari
Tidak Hujan Selama Banjir
Kondisi
ahnosfer
mempengaiuhi
terjadinya hujan pada hari tertentu. Analisis
di bawah ini dilakukan untuk membutctikan
ha1 tersebut. Menurut data dari stasiun
penakar hujan di Kabupaten Bojonegoro,
sebagian hesar wilayah tersebut mengalami
hujan secara merata pada tanggal 26
Desember 2007 dan tidak tejadi hujan pada
tanggal 30 Desember 2007 (Lampiran 7).
Oleh karena itu, perlu dilakxkan analisis
kondisi atmosfer pada tanggal-tanggal
tersebut. Akan tetapi, curah hujan yang
tercatat biasanya merupakan hujan yang
terjadi pada bari sebelunulya sehingga
analisis kondisi atmosfcr dilakukan pada
satu hari sebelum hari tersebut yaitu tanggal
25 Desember 2007 dan 29 Desember 2007.
Analisis dilakukan di 4 titik pengamatan
yaitu
7'12'LS
11 I017'BT;
7"12'LS
I1 1°53'BT; 7'48'LS
11 1°17'BT; dan
7'48'LS l 1lo53'BT. Hasil yang diperoleh
dari analisis keempat titik pengamatan
hampir sama sehingga yang disajikan dalam
bentuk grafik hanya hasil dari satu titik
pengamatan yaitu 7'12'LS 111°53'BT.
Gambar 10 menunjukkan bahwa tejadi
perbedaan kondisi atmosfer antara hari hujan
dengan hari tidak hujan. Saat hari hujan
tinggi hopopause, puncak awan (LFC EL
atau CCL EL), peluang massa udara
thunderstorm (KI), jumlah
air yang
berpotensi menjadi hujan (TPW), energi
yang tersedia untuk pengangkatan udara
(CAPE) dan kecepatan maksimum parsel
udara bergerak naik (Mw) lebih tinggi
dibandingkan saat hari tidak hujan.
Sedangkan dasar awan atau awan konvektif
(LCL atau CCL), level konveksi bebas
(LFC), suhu konvektif, dan indeks
kestabilan atmosfer (LI) saat hari hujan lebih
rendah dibandingkan saat hari tidak hujan.
Hal ini sesuai dengan penelitian Gaffin dan
Hortz (2006) yang mengkaji kondisi
atmosfer saat musim panas dan musim
dingin. Gaffin dan Hortz (2006) menyatakan
bahwa saat musim panas yang banyak
tejadi hujan maka nilai potensi konveksi,
energi yang tersedia untuk pengangkatan
udara, dan jumlah air yang berpotensi
menjadi hujan lebih tinggi dibandiigkan saat
musim dingin. Sementara itu, indeks
kestabilan atmosfer (LI) saat musim panas
lebih rendah dibandingkan saat musim
dingin.
Proses tejadinya hujan adalah adanya
pemanasan yang intensif mengakibatkan
suhu pennukaan tinggi. Suhu pennukaan
tinggi
menyebabkan
terjadiiya
pengangkatan parsel udara. Jika didukung
dengan kondisi atmosfer yang tidak stabil
maka parsel udara tersebut akan terns naik
sampai suhu parsel udara sama dengan suhu
lingkungannya. Selain itu, semakin tidak
stabil kondisi atmosfer maka pengangkatan
parsel udara semakin cepat. Saat perjalanan
naik tersebut suhu parsel udara akan turun
seiring dengan bertambahnya jamk yang
ditempuh sehingga akan ada waktu d i i a n a
suhu parsel udara sama dengan suhu titik
jenuh. P e n m a n suhu tersebut diakibatkan
oleh tidak adanya penambahan ataupun
pengurangan energi (proses adiabatik) dari
luar parse1 udara. Akibatnya, saat proses
naiknya parsel udara te~sebutenergi yang
diperlukan untuk pengangkatan diambil dari
energi internal parsel yang berakibat pada
penurunan suhu parsel. Selain itu, ketika
terjadi pengangkatan panel udara yang
didukung oleh kondisi atmosfer tidak stabil
maka
partikel-pertikel
udara
akan
mengembang sehingga jarak antar partikel
dalam parsel udara semakin jauh dan
tumbukan antar partikel semakin lemah yang
berarti suhu semakin kecil. Ketinggian
dimana kondisi tersebnt tejadi disebnt
tinggi dasar awan yang me~p8kaII
ketinggian dimana uap air dari parsel udara
mulai bernbah wujud menjadi air. Saat di
titik dasar awan, suhu parsel udara masih
lebih
tinggi
dibandingkan
suhu
lingkungannya sehingga parsel udara akan
terns naik. Di atas titik dasar awan suhu
parsel udara tetap turun tetapi p e n m a n n y a
tidak sebesar ketika parsel udara berada di
bawah titik dasdr avian. Kondisi ini
disebabkan adanya pelepasan energi saat
tejadi pernbahan uap air menjadi air, yang
digunakan untuk memanaskan suhu parsel
udara. Dengan demikian, parsel udara akan
bergerak naik dengan jarak tempuh yang
semakin panjang hiigga mencapai kondisi
suhu lingkungannya sama dengan suhu
parsel udara. Hal tersebut menjadi penyebab
puncak awan semakin tinggi. Jika puncak
awan semakin tinggi maka jarak antara
dasar awan dengan pumcak awan akan
semakin jauh akibatnya volume awan juga
makim besar. Artinya potensi tejadiiya
hujan juga semakin besar.
Selain itu, kondisi angin juga
mempengmhi terjadiiya hujan di suatu
lokasi. Menurnt Gaffm dan Hortsz (2006)
kecepatan angin pada level 850 mb saat
musim panas lebih rendah dibanding saat
musim dingin. Di Kabupateu Bojonegoro
kecepatan angin level 850 mb saat tejadi
hujan lebih rendah dibandiigkan saat tidak
tejadi hujan, khususnya pada jam 00-06
UTC yang mernpakan waktu terjadiiya
pembentukan
awan.
konveksi
atau
Sementara itu, kecepatan angin level 200 n ~ b
juga menunjukkan ha1 yang sama dengan
kecepatan angin
padn level 850 mb,
khususnya pada siang hari. Gambar 11 dan
12 menunjukkan bahwa arah angin di
atmosfer bawah (dari pennukaan sampai
level 500 mb) tidak tentur atau tidak satu
arah saat tejadi hujan sedangkan saat tidak
tejadi hujan arah angin pada atmosfer
bawah terahx atau s a h arah. Hal ini
kemungkinan diakibatkan oleh adanya
turbulensi yang cukup besar di ahosfer
bawah karena adanya pemanasan intensif
serta kondisi atmosfer yang tidak siabil saat
hari hujan dan terjadi sebaliknya saat hari
tidak hujan.
Peran angin diiiustrasikan sebagai
berikut jika kondisi atmosfer di suatu tempat
mendukung untuk terjadinya hujan dan
kecepatan angin kecil maka peluang terjadi
hujan di wilayah tersebut semakin besar.
Akan tetapi, jika kondisi atmosfer
mendukung terjadinya hujan sedangkan
kecepatan angin di daenh tersebut tinggi
maka awan tidak bisa terbentuk atau awan
yang sudah terbentuk akan dipindahkan ke
daerab lain sehimgga potensi terjadinya
hujan di daerah tersebut semak'i kecil.
Hasil uji statistika menunjukkan bahwa
tinggi Qopopause, tinggi dasar awan (LCL),
jumlah air yang berpotensi menjadi hujan
(TPW), peluang massa udara thunderstorm
)
energi yang tersedia untuk
pengangkatan udara (CAPE) dan kecepatan
maksimum p a w l udara bargerak naik
(Mw) berbeda secam nyata antara hari
hujan dengan hari tidak I~ujan(Lampiran 9).
Sementara itu, parameter selain yang telah
disebutkan tidak berbeda nyata antara hari
hujan dan hari tidak hujan. Hal ini memberi
gambamn bahwa parameter ahosfer yang
perlu dikaji s e e m intensif untuk melakukan
prediksi cuaca jangka pendek adalah tinggi
tropopanse, tinggi dasar awnn (LCL), jumlah
air yang barpotensi menjadi hujan (TPW),
peluang massa udara thunderstorm (KI),
energi yang tersedia ~untuk pengangkatan
udara (CAPE) dan kecepatan maksimum
parsel udara bergemk naik (Mw).
--"
' I
I,
J
A
tiambar I I Arah angin tanggal 25 Desember 2007 @xi hujan) jan~03 LII'C
-a*%
, ,
,
.!.,
,,.
0
..,
,i.;,,,,,,
.~.
2
';,
*,"
~ ~
,.,,
"2
,.,.,,
,.t
Gambar 12 Arah angin tanggal 29 Desember 2007 (hari Lid& hujan) jam 03 UTC
Perbandingan Kondisi Atmnsfer
Waktu Banjir dengan Waktu
Lainnya
Tahap ini dilakukan dengan mengambil
data rawinsonde NOAA pada koordinat
7"12'LS
11 I053'BT
(sekitar
kota
Bojonegoro).
Pemiliian koordinat tit&
pengamatan tersebut diarenakan saat
kejadian banjir pada tanggal 26 Desember
2007 sampai 7 Januari 2008, kota
Bojonegoro merupakan wilayah yang
tergenang banjir paling parah, bampir
seluruh kota tergenang (Tempointeraktif
2007b). Selain itu, wilayah tersebut sebagai
pusat pemerintahan dan pusat kegiatan
ekonomi di Kabupaten Bojonegoro.
Data rawinsonde NOAA yang digunakan
dalam analisis adalah data rawinsonde
NOAA pada jam 06 UTC atau jam 13.00
WIB. Hal ini dikarenakan pada jam tersebut
4.4.3
mulai terjadi konveksi yang hebat. Radiasi
matahari maksimum dalam sehari biasanya
tejadi pada jam 12 w a h setempat sehingga
pemanasan tert~adap bumi (damtan dan
lautan) akan te+di patla jamjam tersebut.
Akan tetapi a& jeda antara waktu radiasi
maksimum dengan pemanasan bumi
maksimum disebut time lag, biasanya sekitar
satu atau dua jam. Ketika pemanasan
maksimum maka potensi terjadi konveksi
juga besar. Oleh karena ilu, pnggunaan data
rawinsonde NOAA jam 06 UTC digunakan
untuk mcwakili kondisi cuaca dalam satu
hari. Seiain itu, hasil analisis kondisi
atmosfer saat tejadi l~ujan dengan tidak
terjadi hujan di 4 titik menunjukkan bahwa
jam 06 UTC kondisi am~osfercukup relevan
dengan kondisi yang dibutuhkan agar tejadi
atau tidak terjadi hujan (Gambar 10). Hal
tersebut
dimaksudkan
untuk
menyederhanakan analisis yang akan
dilakukan.
Nilai parameter atmosfer saat terjadi
banjir akhir Desember sampai awal Januari
2008 cukup potensial dalam menyebabkan
hujan yang tinggi (Tabel 10 dan Lampiran
10). Nilai kandungan uap air yang
ditunjukkan oleh nilai TPW sebesar 49.969.5 mm, berdasarkan Haby (2006f) k i s m
nilai tersebut termasuk kriteria kandungan
embun dalam skala tinggi sampai sangat
tinggi. Kestabilan atmosfer yang dilihat dari
LI mempunyai nilai -3.9 sampai -5.9,
berdasarkan Haby (2006e) kisaran nilai
tersebut menunjukkan kondisi atmosfer
dalam keadaan tidak stabil lemah sampai
kuat. Selain itu, peluang masa udara
thunderstorm yang ditunjukkan oleh KI
mempunyai nilai 31.5-36.5, menurut
NWSFO (2008) kisaran nilai tenebut
mempunyai
peluang
massa
udara
fhundersform60-90 %. Energi yang tersedia
untuk pengangkatan massa udara yang
diwakili CAPE mempunyai nilai 2173-3416
Jkg,menumt NWSFO (2008) kisaran nilai
tersebut tennasuk laiteria tidak stabil sedang
sampai kuat. Kecepatan pengangkatan udara
yang dilihat dari kecepatan veltikal
maksimum (Mvv) mempunyainilai 66-83
mls, menurut Haby (2006g) k i s m nilai
tersebut termasuk dalam skala sangat kuat
sampai ekstrim.
Dasar awan (LCL) berada pada
ketinggian 420-803 m sedangkan dasar awan
bentuk cumuli (CCL) berada pada
ketinggian 81 1-1446 m. Puncak awan yang
dihitung dari level konveksi bebas (LFC EL)
berada pada ketinggian 10 638-14 749 m
sedangkan yang dihitung dari dasar awan
bentuk cumuli berada pada ketinggian 14
736-16 662 m. Level konveksi bebas berada
pada ketinggian 420-803 m. Jika
diperbatikan, dasar awan dan level konveksi
bebas berada pada ketinggian yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa saat berada di
ketinggian dasar awan (parsel jenuh) suhu
parsel lebih tinggi dari suhu lingkungannya
dan parsel akan terns naik walaupun tidak
ada gaya pengangkatan dari luar parsel.
Sementara itu, Tropopause berada pada
ketinggian 16 568-16 612 m.
Suhu yang hams dicapai permukaan agar
terjadi konveksi (suhu konvektif) tanggal 20
Desember 2007 sampai 7 Januari 2008
adalah 27.9-30.1 OC. Suhu tersebut cukup
rendah sehingga memungkinkan tercapai
ketika terjadi pemanasan yang intensif.
Jika dibandingkan dengan kejadian
banjir selama tahun 2005 sampai awal2W7,
parameter atmosfer s a t terjadi banjir akhii
Desember sampai awal Januari tenebut
tidak menunjukkan nilai yang paling
ekstrim. Kondisi ekstrim yang diharapkan
adalah nilai median p~mcakawan, energi
yang tenedia untuk pengangkatan massa
udara, penduga potensi konveksi (nilai KI),
kecepatan pengangkatan maksimum parsel
udara (Mw), kandungan uap air (TPW) dan
tinggi tropopause mempunyai nilai median
yang lebib tinggi dibandingkan saat banjir
lainnya. Sedangkan kondisi lain yang
dibarapkan adalah ketinggian dasar awan
maupun ketinggian dasar awan bentuk
cumuli (LCL dan CCL.), level konveksi
bebas (LFC), indeks keslabilan atnosfer
(LI) dan subu konvektif mempunyai nilai
median yang lebih rendah dibandingkan saat
banjir lainnya.
Lampiran 11 menunjukkan nilai median
puncak awan, energi ynng tersedia untuk
pengangkatan massa udara, peluang massa
udara thunderstorm (nilai Kl), kecepatan
pengangkatan maksimum parsel wlara,
kandungan uap air saat banjir akhir
Desember 2007 sampai awal Januari 2008
lebih rendah dibandingkan banjir awal tahun
2007. Nilai median indeks kestabilan
atmosfer (LI), ketinggian dasar awan
konvektif, dan titik konveksi bebas saat
banjir akhir Desember 2007 sampai awal
Januari 2008 lebih tinggi dibandingkan
banjir awal tahun 2007. Ketinggian dasar
awan saat banjir akhir Desember 2007
sampai awal Januari 2008 lebih tinggi
dibandingkan banjir awal tahun 2005. Nilai
median tinggi tropopause saat banjir akhii
Desember 2007 sampai awal Januari 2008
lebii rendah dibandingkan banjir awal tahun
2005. Akan tetapi, nilai suhu konvektif saat
banjir akhir Desember 2007 sampai awal
Januari 2008 paling rendah di antara banjirbanjir lainnya (Gambar 13). Secara umum,
pada kejadian banju akhir Desember 2007awal Januari 2008, kondisi atmosfer tidak
ekstrim tetapi cukup met~dukungterjadinya
hujan lebat skala lokal (setempat). Oleh
karena hasil analisis menunjukkan ha1
demikian maka perlu dilibat juga kondisi
daya dukung lingkungan di permukaan.
Tabel 10 Parameter atmosfer tanggal 25 Desember 2007-7 Januari 2008
No.
1
Parameter
atmosfer
Tinggi tropopause
r..
--
Nilai
16 568-16 612
--
1
- ---
- ....-- .
..
..
BrnpWTc htU5IM flUl.UI,LL~t\II*U.SANILPW ,Bm)lll2lO;,
I
.B
,-
D\hp 12%
..
-11J
.v
6'
-+2
Gambar 13 Perbandingan nilai median suhu konvektif snat banjir, k c m n m ~dan
~ hujan
4.5 Kondisi Daya Dukung Liugkungan
Kabupaten
Bojonegoro
den
sekitarnya
Kondisi permukaan yang mempengaruhi
tejadinya banjir adalah kemiringan lereng,
topografi dan jenis tanah di daerah aliran
sungai @AS), jenis tutupan lahan,
sedimentasi (Doswell et al. 1996; Idris &
Sukojo 2008). Kemiringan lereng di
Bojonegoro terutama yang dilalui sungai
Bengawan Solo adalah landai. Topografinya
berupa dataran rendah (F'emKab Bojonegoro
2003). Hal ini semakin mendukung
terjadiiya genangan yang lama ketika banju
terjadi.
Penggunaan lahan di Bojonegoro tidak
mengalami perubahan yang signifikan dalam
ha1 luasannya (Tabel 3), bahkan penggunaan
untuk hutan negara semakii bettambah luas
dari tahun 1997 ke tahun 2008. Secara luas
memang tidak mengindikasikan perubahan
yang signifikan, akan tetapi jika dilihat
secara fisik, maka hutan-hutan negara yang
ada
di
daerah
tersebut
semakin
mengkhawatirkan (Gambar 14). Pohon yang
besar cukup jarang sedangkan yang sekarang
terlihat adalah pohon yang masih kecil.
Menurut Kartasapoetra (1989) pohon yang
besar behngsi sebagai pelindung tanah
terhadap pukulan hujan secara langsung
yang berarti mengurangi terjadinya erosi,
memperbaiki stuktur tanah dengan akarnya
serta
rnengurangi kecepatan
aliran
permukaan. J i i pohon tmar tidak ada maka
hujan akan menjadi aliran permukaan secara
langsung tanpa ada yang menghambat
lajunya. Akihamya hanjir yang hesar bisa
tejadi.
Dilihat dari jenis tanahnya, tanah di
Bojonegoro sebagian besar bempa tanah
grumosol. Tanah grumosol adalah bagian
dari tanah vertisol yang mempunyai sifat
fisik mudah mengembang dan mengkemt,
tekstur Iiat berat, kecepatan infillmi air
rendah, drainase lamban dan rawan erosi
(Pmsetyo 2007). Saat basah tanah menjadi
sangat iekat, plastis dan kedap air tetapi saat
kering tanah menjadi sangat kern dan masif
atau membentuk pola prisma yang
terpisahkan oleh rekahan. Dilihat dari jenis
tanah ini, maka ketika terjadi curah hujan
yang tinggi kemudian diiiuti curah hnjan
lainnya yang terus-menems tanah akan
lambat dalam men,&filtrasi
air karena
sudah jenuh. SeIain itu, daerah Bojonegoro
kawasan daerah aliran sungai Bengawan
Solo merupakan daerah yang landai (Tabel
2) sehingga kecepatan aliran secara
horisontal lambat dan genangan yang tejadi
akan lama.
Banjir juga bisa diakibatkan oleh %or
di luar tempat tejadinya banjir. Faktor
tersebut misalnya adanya debit air yang
tinggi dari hulu sungai. Debit air yang tinggi
di hulu bisa disebabkan oleh dua ha1 yaitu
karena adanya hujan ekstrim ataupun
kondii permukaan yang mendukung
Gambar
terjadimya banjir (msaknya hutan, pembahan
penggunaan lahan dan sebagainya). Kompas
(2008) menyatakan balawa tutupan lahan di
DAS Bengawan Solo selama tahun 2000
sampai 2007 sudah mengalami pembahan.
Luas rawa berkurang dari 3 212 Ha pada
tahun 2000 menjadi 3 Ha pada tahun 2007.
Luas semak belukar berkurang dari 63 095
Ha pada tahun 2000 menjadi 13 897 Ha
pada tahun 2007. Luas hutan alam berkuang
sebesar 3 1.57% menjadi 23 888 pada tahun
2007. Selain itu, kebiasaan masyarakat yang
membuang sampah di sungai juga menjadi
faktor yang bisa mernperparah tejadinya
banjir (Makruf 2007). Sementan itu, saat
terjadimya banjir tersebut lampir seluruh
daerah DAS Bengawan Solo mengalami
hujan secara merata. Hujan yang merata
tersebut karena adanya La Nina, Madden
Julian Oscillotiafl WJO) dan efek siklon
tcopis Melanie tanggal 27 Desember 2007
sampai 2 Januari 2008 WASA 2008;
Paterson 2008). Hal ini semakin menambah
tingginya debit air di sluigai Bengawan Solo.
dokumen pribadi)
Download