total (jumlah kuadrat regresi ditamball jumlah kuadrat error). 3.3.3 Penentuan Titik Pengamatan yang Mewakili Kabupaten Bojonegoro Tahap ini untuk mencari jarak titik pengamatan yang menghasilkan nilai berbeda secara signifikan. Data yang digunakan adalah data Rawinsonde NOAA dari beberapa titik pengamatan. Parameter yang dianalisis adalah parameter dari data asli seperti ketinggian geopotensial, suhu udara, relative humidity (RH), arah dan kecepatan angin serta parameter hasil eksbaksi seperti tinggi tropopause, LCL, CAPE dan seterusnya. Masing-masing parameter dientry pada Microsoj Ofice Excel. Setelah itu, dianalis dalam sofhvare Minitab versi 14 menggunakan uji nilai tengah dengan taraf nyata sebesar 0.05. Ho: PI =PI Hl:PlfP2 H, : Hipotesis awal H,: Hipotesis alternatif p, :Nilai ram-rata populasi I p2 : Nilai rata-rata populasi 2 - - <r,-r>l-#.* - - *-<P,-*,<,=L-x21*,:., , (Walpole 1992) dengan: si = (n,- 1)s; + (4- 1)s; v=n,+n,-2 dimaoa: - xi -x2 tm- = = beda nilai tengah dua contoh nilai t dengan derajat bebas v 3.3.4 Analisis Kejadian Banjir Bojonegoro Tariggal 26 Desember 2007 sampai 7 Jnnuari 2008 Data yang digunakan untuk analisis saat terjadi banjir adalah datii rawinsonde NOAA Bojonegoro dengan beberapa titii pengamatan pada jam 00,03,06,09, 12, 15, 18, 21 UTC tanggal 20 Desember 2007-7 Januari 2008. Sementara itu, data yang digunakan untuk membandingkan kondisi saat banjir dengao kondisi lainnya adalah data rawinsonde NOAA titik koordinat 7"12'LS 11 1°53'BT (kota Bojonegoro) pada jam 06 UTC tanggal 1 Desember 2004-28 Februari 2005, 1 Desember 2005-28 Februari 2006 d m 1 Desember 2006-28 Februari 2007 yang mewakili musim hujan. Sedangkan tanggal 1 Juli 2005-30 September 2005, 1 Juli 2006-30 September 2006 dan 1 Juli 2007-30 September 2007 untuk mewakili musim kemarau. Data tanggal 1-7 April 2005 mewakili banjir tahun 2005, 1 4 Mei 2006 untuk banjir tahun 2006, dan 17-23 April 2007 untuk banjir tahun 2007 awal. Data tersebut disimpan dalam format txt. Data pendukung yang digunakan adalah data curah hujan harian selama baniir di Kabu~aten Bojonegoro. Eksbaksi parameter atmosfer seperti tinggi tropopause, LFC (Level of Free Convection), TPW (Totoi Precipltable Water), CAPE (Convecrive Availabie Potential Energy) dan seterusnya dilakukan denean menegunakan software RAOB. setelah itu, hz ekstraksi di entry ke dalam Microsoj Ofice Excel serta dianalisis dengan Microsoji Ofice Excel dan Minitab versi 14. Uotuk lebih jelasnya, diagram alir penelitian bisa dilihat pada Lampiran 4. 2 yang luas daerah di sebelah kaoannya sebesar a 2 - s1.s~ = nilai simpangan baku contoh 1 dan contoh 2 s, = nilai dugaan gabungan bagi simpangan baku populasi. n,, n2 = ukuran contoh 1 d m contob 2 Data dari titik pengamatan dikatakan berbeda jika nilai p-,n,., yang didapatkao ktlrang dari 0.05. 4. HASLL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Curah Hujan tli Kabupaten Bojonegoro Analisis tipe hujan di Kabupaten Bojonego~o menggunakan data 30 tahun yaitu tahun 1978-2007. Hal ini mwujuk World Meteorological Organization (1983) bahwa data klimatologi y m g dianalisis ratarata maupun nilai ekshimnya memerlukan data selama 30 tahun. H s i l yang dipemleh menunjukkan bahwa Kabupaten Bojonegoro mempunyai tipe hujan monsun (Gambar 3). Curah hujan maksimum terjadi pada bulan Januari sedangkan curah hujan minimum tejadi pada bulan Agustus. Hasil tenebut sesuai dengan Rejekiningnun el al. (2003) bahwa cumh hujan maksimum di Bojonegoro tejadi pada bulan Januari dan minimum pada bulan Aguhls. Menurut Badan Geofisika dan Meteorologi musim hujan adalah waktu dimana curah hujan bulanan mencapai 150 mm atau lebih besar, sedangkan musim kemarau adalah w a h dimana curah hujan bulanan kurang dari 150 mm. Berdasarkan definisi tersebut, Kabupaten Bojonegoro mengalami musim hujan pada bulan November sampai April sedangkan musim kemarau pada bulan Mei sampai Oktober (Gambar 3). Hal ini sesuai dengan pernyataan DPU (2008) bahwa wilayah DAS Bengawan Solo mengalami musim hujan pada bulan November sampai April dan musim kemarau pada bulan Mei sampai Oktober. Sementara ity dari Gambar 4 bisa diketahui bahwa Kabupaten Bojonegoro merupakan wilayah DAS Bengawan Solo khususnyn Sub DAS Bengawan Solo Hilir. Kabupaten Bojonegoro merupakan daerah yang berada di sebelah selatan ekuator. Pada bulan Oktober-Februari terjadi pemanasan yang intensif di belahan bumi selatan. Pemanasan yang intensif tersebut menyebabkan belahan bumi selatan mempunyai tekanan udara rendah. - Sementara itu, di belahan bumi utara pemanasannya kurang intensif sehingga tekanan udara lebih tinggi diband'igkan di belahan bumi selatan. Akibatnya akan berhembus angin dari d a e d tekanan tinggi ke tekanan rentlah tersebut. Di sebelah selatan ekuator angin yang berhembus adalah angin baratan biasanya dikenal dengan nama angin muson barat yang membawa massa u d m lembab. Selain itu, pemanasan yang intensif tenebut menyebabkan penguapan yang tinggi dan potensi terbenhilolya awan lebih besar. Oleb karena itu, di helahan bumi selatan potensi tejadinya curah hujan akan tinggi, Sebaliya, pada bulan April sampai Agnstus matahari bemda di belahan bumi ntara. Pada bulan-bulan tersebut pemanasan di belahan bumi selam kurang intensif sedangkan di belahan bumi utara lebii intensif. Belahan bumi selatan mempunyai tekanan udara tinggi sedangkan di belahan bumi utara terjadi sebaliknya. Angin akan berhembus dari belahan bumi selatan ke belahan bumi utara yang dikenal sebagai angin muson timur, biasanya bersifat kering. Pada saat itu, potensi terjadinya awan kecil dan curah hujan akan rendah. - 350 , .. CH Bulanan Rata-Rata Kabupaten Bojoeefloro Tahun 1978-2007 I -- - y -18.933~ + 2205.9 -- Gambar 5 Curah hujan rata-rata tahunan di Kahupaten Bojont:goro .. .- I . . . . .... . . .- .- . .. . . . CH Bulanan Rata-Rata 10 Tahunan Kabupate~~ Bojonegoro Tahun 1978-2007 400 1 y = -2.01011x+ 196.5 - --. - Gambar 6 Curah hujan bulanan rata-rata 10 tahunan di Kahupaten Bojonegoro . . - ... --.--.. ..... .. ... .... ... CH Bubnan Rata4ata 5Tahunan Kabupaten B$onjonegcmTah11l1978-2M7 ....... Gambar 7 Curah hujan bulanan rata-rata 5 tahunan di Kabupaten Bojonegoro .... -. . . . . . . . . -- . . . ... -. ....... ... CH rala-nbbohn Jnnuari di Kabopaten Bojoneg~mtahun 1978.2 )5 Gambar 8 Curah hujan rata-rata bulan Januari di Kabupaten Bojcmegoro i ' ......... - ... . .-. ... ClInh+ah bulan hlaret di-bupaten ..- ....... Bojonegumbhsn1978-2007 .. Curah hujan rata-rata tahunan, 5 maupun 10 tahunan cenderung menurun (Gambar 5, 6 dan 7). Berdasarkan hasil uji signifikansi diketahui bahwa kecendemngan menurun pada curah hujan tahunan, 5 maupun 10 tahunan tersebut nyata dengan taraf nyata 0.05. Curah hujan rata-rata bulanan sebagian besar menunjukkan kecendemngan menurun yang nyata juga kecuali bulan Oktnber yang mempunyai kecenderungan menurun tidak nyata (Gambar 8 dan Lampiran 5). Hasil berbeda ditunjukkan oleh curah hujan ratarata bulan Maret (Gambar 9) yang mempunyai kecendemngan naik nyata (taraf nyata sebesar 0.05). Hasil tersebut (kecuali bulan Maret) sesuai dengan hasil penelitian Aldrian (2007) bahwa sejak empat dekade terakhir telah terjadi penurnnan curah hujan tahunan pada hampir selurnh stasiun cuaca di Indonesia dan Pawitan (2003b) bahwa teiah terjadi penurunan jumlah curah hujan secara luas di pulau Jawa. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah Kabupaten Bojonegoro cenderung semakin kering kecuali pada bulan Maret. Waktu terjadinya cnrah hujan bulanan rata-rata maksimum di Kabnpaten Bojonegoro beberapa tahun t e d h i r mengalami pergeseran (Gambar 6 dan 7). Curah hujan bulanan rata-rata maksimum 10 tahunan pada tabun 1998-2007 terjadi di bulan Maret (Gambar 6). Sementara iN, Gambar 7 menunjukkan bahwa curah hujan bulanan rata-rata maksimum 5 tahunan pada tahun 2003-2007 terjadi di bulan Febmari. geopotensial; korelasi parameter keti~~ggian subu udara; MI; arah angin; dan kecepatan angin menghasilkan nilai sebesar 0.999; 0.997; 0.505; 0.675; d m 0.590 sedangkan koefisien determinasinya menghasilkan nilai sebesar 99.9%; 99.4%; 25.4%; 45.5%; dan 34,8%. Sementara itu, koefisien korelasi parameter ketinggian geopotensial; suhn udara; RH; arah angin; dan kecepatan angin untuk stasiun cuaca Cengkareng berhm~tturut menghasilkan nilai sebesar 0.999; 0.998; 0.672; 0.778; dan 0.938 dengan koefisien determinasi sebesar 99.7%; 99.6%; 45.1%; 60.5%; dan 87.9%. Berdasarkan h a i l uji statistika, nilai-nilai yang diperoleh mempunyai korelasi yang nyata pada taraf nyata 0.05. Selain itu, menurut Khomarudin et aL(2003) diacu dalam Risandi (2004) koefisien korelasi 0.351-0.700 termasuk loiteria sedang, 0.'701-1.000 tin@. Berdasarkan ha1 tersebut maka data rawinsonde NOAA rnemungkinkan untuk digunakan sebagai alternatif data rawinsonde BMG, khususnya untuk wilayah di Pulau Jawa yang tidak memiliki data pengukuran rawinsonde. Tabel 9 Koefisien korelasi dan determinasi parameter ahnclsfer stasiun cuaca Juanda dan Cengkareng N Panmelcr Cenghrcog Juanda o etmosfer P I Ketinggian 0.999 R' P (%) 99.9 Rf (%) 0.999 99.7 0.00 0.998 0.00 0.672 0.00 99.6 0.00 45.1 geopotcnsi 4.2 Perbandingan Data Rawinsonde NOAA terhadap Data Rawinsonde Stasiun Cengkareng dan Juanda Tahap ini membandiigkan data rawinsonde NOAA dengan data rawinsonde dari stasiun cuaca Juanda dan Cengkareng. Kedua stasiun tersebut digunakan dengan barapan bisa mewakili pulau Jawa secara keseluruhan, Jawa bagian timur diwakiii oleh stasiun cuaca Juanda sedangkan Jawa bagian bamt diwakili oleh stasiun cuaca Cengkareng (lkwasti et al. 2005). OIeh karena itu, jika h a i l analisis dari kedua stasiun cuaca menghasilkan nilai koefisien korelasi dan determinasi yang cukup tinggi maka data rawinsonde NOAA bisa digunakan untuk daerah di Pulau Jawa termasuk Bojonegoro. Perbandingan parameter atmosfer dari kedua sumber data rawinsonde menunjukkan hasil yang bervariasi (Tabel 9). Di stasiun cuaca Juanda, koefisien a1 2 3 4 5 P-wlup f-65--SuhU ~ d a m 0.997 P-value 0.00 Reloriw 0.505 Humidicy P-vdue 0.00 Arah angin 0.675 P-value 0.00 Kecepntan 0.590 angin P-wlue 0.00 - o.00 99.4 0.00 25.4 0.00 45.5 0.w 34.8 0.00 0.00 0.00 0.778 0.w 0.938 60.5 0.00 87.9 0.00 0.00 4.3 Penentuan Titik Pengamatan yang Mewakili Kabupaten Bojonegoro Tahap ini bertujuan untuk mendapafhn titik pengamatan yang bisa mewakili wilayah Kabupaten Bojonegoro. Tahap ini dilakukan dengan mengambil beberapa titik pengamatan kemudian dilakukan uji nilai tengah sampai mendapat hasil uji nilai tengah yang berbeda antara dua titik pengamatan. Hasil yang dipemkh menunjukkan b'ahwa hampu semua parameter dari data asli seperti tinggi geopotensial, suhu ndam dan seterusnya tidak berbeda signifikan (dengan taraf nyata 0.05) dari titik ujung ke ujung Kabupaten Bojonegoro, kecuali parameter arah angin yang mulai menunjukkan perbedaan signifikan pada jarak 0.6' atau 66.6 km (di daerah ekuator l o = 111 km). Sementara itu, pada jarak 0.6' hampir semua parameter hasil ekstraksi menunjukkan perbedaan signifikan kecuali tinggi dasar awan (LCL) dan peluang massa udara thunderstorm (KI) (Lampiran 6). Berdasarkan h a i l yang diperoleh tenebut maka titik pengamatan yang digunakan untuk mewakili Kabupaten Bojonegoro ada 12 titik yaitu: 6'36'LS 11I017'BT; 6"36'LS 11I053'BT; 6'36'LS 11229'BT; 7'12'LS 11 I017'BT; 7'12'LS 1 1 I053'BT; 7'12'LS 112'29'BT; 7"48'LS 11I017'BT; 7'48'LS 11l053'BT; 7'48'LS 112'29'BT; 824'LS 11 I017'BT; 8024'LS 11 I053'BT; dan S024'LS 112029'BT. 4.4 Analisis Kondisi Atmosfer Saat Kejadian Banjir Bojonegoro 26 Desember 2007 sampai 7 Januari 2008 Banjir yang menjadi fokus kajian pada penelitian ini tejadi antara bulan Desember 2007 dan Januari 2008. Waktu kejadian banjir tersebut berbeda dengan banjir yang umumnya tejadi di Kabupaten Bojonegoro beberapa tahun terakhii yaitu pada bulan maret atau setelahnya (Lampiran 1). Beberapa hari sebelum tejadinya banjir yaitu tanggal 20,21 dan 22 Desember 2007 terjadi hujan di sebagian besar wilayah Kabupaten Bojonegoro. Sementara itu, selama banjir tejadi hujan yang cukup merata di Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 26 dan 31 Desember 2007 serta tanggal 4 Januari 2008 (Lampiran 7). Curah hujan yang terjadi bisa m e m p e n g d i tejadinya banju. Analisis kondisi atmosfer awalnya menggunakan data dari 12 titik pengamatan untuk mewakili Kabupaten Bojonegoro. Hasil yang dipemleh menunjukkan bahwa parameter tinggi tropopause mengbasilkan nilai rata-rata yang hampir sama sekitar 16.500 m dari permukaan laut di 12 titik pengamatan. Hal ini mengindiiikan bahwa tinggi tropopause di Kabupaten Bojonegoro cukup seragam sehingga untuk penelitian selanjutnya bisa menggunakan 1 atau bebempa titik untuk menganalisis parameter tinggi tropopause. Untuk parameter lainnya, nilai rata-rata yang dihasilkan di kedna belas titik mempunyai perbedaan nilai (Lampiran 8). Titik pengamatan yang berada dalam satu garis lintang mempunyai nilai rata-rata parameter atmosfer yilng relatif sama. Sementara itu, titik yang berada dalam satu garis bujur dengan lintang yang berdekatan maka mempunyai nilai rata-mta parameter ahnosfer yang hampir sama. Titik pengamatan I012'LS dan 7'48'LS &lam garis bujur yang sama mempunyai nilairatarata parameter atmosfer yang relatif sama sedangkan titik pengamatan 6 W L S mempunyai nilai rata-rata parameter ahnosfer yang relatif sama dengan titik pengamatan 824'LS dalam satu garis bujur. Sebenamya untuk mewakili Kabqaten Bojonegoro cukup digunakan satu titik pengamatan. Alasannya adalah Bojonegom terletak pada 6'59'-7'37' LS dan 1119.5'112'09' BT sehingga dari kedua b i a s titik pengamatan yang berada di wikyah Bojonegoro hanya titik pengamatan 7"12'LS 11I053'BT. Selain itu, berdasarkan NOAA (2008) data rawinsonde NOAA mempunyai grid lox lo. 4.4.1 Pola Harian Kondisi Atmosfer Pola harian kondisi atmosfer bisa d i i a t pada Gambar 10. Pola harian tinggi tropopause mempunyai 2 puncak yakni pads siang hari ketika tejadi pemanasan yang intensif dan pada malam hari sedangkan pada jam 09 UTC tingginya & i t menurun. Hal ini disebahkan pada siang hari tejadi pemanasan yang intensif sehiagga udara akan terangkat naik pada level yang lebih tinggi. Pola harian dasar awm konvektif (CCL) mempunyai bentuk cekungan. Pola ini bersesuaian dengan pola harian suhu konvektif Saat terjadi pemanasan yang intensif di siang hari (jam 03-09 UTC) maka suhu konvektif menurun karena pada saat tenebut suhu permukaan cukup tin& sehingga suhu yang hams dicapai oleh permukaan agar terjadi konveksi (suhu konvektif) menjadi rendah. Jiia suhu konvehqif rendah maka selisihnya deagan suhu titik embun kecil. Akibatnya, pvsel udara hanya perlu diangkat dalam jarakyang dekat agar menjadi jenuh. Level saat wadi udara yang jenuh jika tldara diangkat dari suhu konvektif tenebut dinamakan CCL aau dasar awan konvektif. Oleh karena itu, gada siang hari d a s a awan konvektif meajadi rendah. Pola harian level konveksi bebas (LFC) sesuai dengan pola harian puncak dasar awan konvektif yang berbentuk cekungan. Pada ~ i a n ghari dengan pemanasan yang intensif suhu panel udara masih panas ketika mencapai titik jenuh sehingga jarak yang ditempuh untuk mencapai titik konveki bebas lebih dekat jika diukur dari level saat parsel udara jenuh. Sementara itu, tinggi dasar awan (LCL) mempunyai bentuk seperti bukit. Saat terjadi pemanssan yang intensif di siang hari maka suhu permukaan menjadi tinggi. Suhu permukaan tinggi maka selisih dengan suhu titik en~bunmenjadi besar. Akibatnya parsel udara perlu diangkat dalam jarak yang jauh agar menjadi jenuh. Level saat parsel udara menjadi jenuh yang diangkat dari suhu permukaan disehut LCL. Oleh karena itu, pada siang hari dasar awan menjadi tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Garbell (1947). Pola harian puncak awan yang bisa dilihat dari tinggi CCL EL dan LFC EL mempunyai bentuk seperti bukit. Puncak awan merupakan level dimana suhu parsel sama dengan suhu lingkungannya. Pada siang hari tejadi pemanasan yang intensif dan kenaikan suhu parsel udara sehimgga setelah mencapai level konveksi bebas atau dasar awan konvektif, parsel udara membutuhkan jarak yang lebii jauh untuk menyamakan suhunya dengan suhu lingkungan. Hal ini disebabkan saat mencapai level konveksi bebas atau dasar awan, suhu parsel masih tinggi akibat suhu awal parsel yang tinggi serta ditarnbah dengan adanya penambahan energi yang didapatkan dari adanya proses perubahan uap air menjadi air atau titik-titik air. Pola harian indeks stahiiitas atmosfer (LI) berbenhk cekungan sedangkan pola harian peluang massa udara thunderstorm (KI) dan energi yang tersedia untuk pengangkatan massa udara (CAPE) berbentuk bukit. Ketiganya bisa digunakan sebagai indikator kestabilan atmosfer (Gaffm dan Horn 2006). CAPE menjelaskan ketidakstabilan di atmosfer sedangkan LI menjelaskan ketidakstabilan pada level 500 mb (Iturrioz et al. 2007). Sementara itu, KI disamping menjelaskan peluang massa udara thundersform juga potensi konveksi (Haby 2006~). Semakin besar nilai KI maka potensi terjadinya konveksi semakim besar. Pada siang hari terjadi pemanasan yang intensif, massa udara di dekat permukaan mengalami pengangkatan yang cukup intensif sehimgga akan terjadi konveksi yang besar juga yang berarti nilai KI besar. Selain itu, jarak dari titik konveksi bebas dengan puncak dasar awan juga semakin hesar akibatnya energi yang tersedia untuk pngangkatan massa udara akan semakin besar. Pada saat tersebut suhu parsel awal tirlggi maka ketika diangkat sampai lapisart 500 mb suhunya masih tinggi dan mempunyai perbedaan yang besar dengan suhu lingkuugan di lapisan 500 mb. Kondisi tersebut menyebabkan nilai LI :h semakin kecil saat siang hari. Pola harian kecepatan parsel udara bergerak naik (Mvv) berbentuk bukit. Pada siang hari tejadi pemrulasan yang intensif yang menyebabkan kondisi ahnosfer tidak stabil dan terjadi pengangkatan yang cepat. Pola barian kandungan uap air di udara ditunjukkan (TPW) berbentuk bukit. Semakin tinggi kandungm uap airnya maka udara makiu mendekati jenuh. Saat siang hari terjadi pemanasan yang intensif sehingga terjadi evaporasi dan transpirasi yang tinggi. Evaporasi dan transpirasi yang tinggi akan menambah kandungan uap air di udara. Oleh karena itw, nilai TPW juga tinggi. Hal yang telah di terangkan sebelumnya merupakan penjelasan kondisi pada siang hari sedangkan penjelasan kondisi pada malam hari secara garis besar adalah sebatiknya. Akan tetapi ada beberapa bal pengecudliar. seperti tin& tropopause dan potensi konveksi dimana masih memptmyai nilai yang tinggi saat nlalam hnri. Hal ini disebabkan terkadang proses konveksi juga terjadi pada malanl hari dengan menggunakan energi simpanan yang didapat saat tejadi pemanasan pada siang hari. 4.4.2 Analisis dan Perbandingan Kondisi atmosfer Hari Hujan dan Hari Tidak Hujan Selama Banjir Kondisi ahnosfer mempengaiuhi terjadinya hujan pada hari tertentu. Analisis di bawah ini dilakukan untuk membutctikan ha1 tersebut. Menurut data dari stasiun penakar hujan di Kabupaten Bojonegoro, sebagian hesar wilayah tersebut mengalami hujan secara merata pada tanggal 26 Desember 2007 dan tidak tejadi hujan pada tanggal 30 Desember 2007 (Lampiran 7). Oleh karena itu, perlu dilakxkan analisis kondisi atmosfer pada tanggal-tanggal tersebut. Akan tetapi, curah hujan yang tercatat biasanya merupakan hujan yang terjadi pada bari sebelunulya sehingga analisis kondisi atmosfcr dilakukan pada satu hari sebelum hari tersebut yaitu tanggal 25 Desember 2007 dan 29 Desember 2007. Analisis dilakukan di 4 titik pengamatan yaitu 7'12'LS 11 I017'BT; 7"12'LS I1 1°53'BT; 7'48'LS 11 1°17'BT; dan 7'48'LS l 1lo53'BT. Hasil yang diperoleh dari analisis keempat titik pengamatan hampir sama sehingga yang disajikan dalam bentuk grafik hanya hasil dari satu titik pengamatan yaitu 7'12'LS 111°53'BT. Gambar 10 menunjukkan bahwa tejadi perbedaan kondisi atmosfer antara hari hujan dengan hari tidak hujan. Saat hari hujan tinggi hopopause, puncak awan (LFC EL atau CCL EL), peluang massa udara thunderstorm (KI), jumlah air yang berpotensi menjadi hujan (TPW), energi yang tersedia untuk pengangkatan udara (CAPE) dan kecepatan maksimum parsel udara bergerak naik (Mw) lebih tinggi dibandingkan saat hari tidak hujan. Sedangkan dasar awan atau awan konvektif (LCL atau CCL), level konveksi bebas (LFC), suhu konvektif, dan indeks kestabilan atmosfer (LI) saat hari hujan lebih rendah dibandingkan saat hari tidak hujan. Hal ini sesuai dengan penelitian Gaffin dan Hortz (2006) yang mengkaji kondisi atmosfer saat musim panas dan musim dingin. Gaffin dan Hortz (2006) menyatakan bahwa saat musim panas yang banyak tejadi hujan maka nilai potensi konveksi, energi yang tersedia untuk pengangkatan udara, dan jumlah air yang berpotensi menjadi hujan lebih tinggi dibandiigkan saat musim dingin. Sementara itu, indeks kestabilan atmosfer (LI) saat musim panas lebih rendah dibandingkan saat musim dingin. Proses tejadinya hujan adalah adanya pemanasan yang intensif mengakibatkan suhu pennukaan tinggi. Suhu pennukaan tinggi menyebabkan terjadiiya pengangkatan parsel udara. Jika didukung dengan kondisi atmosfer yang tidak stabil maka parsel udara tersebut akan terns naik sampai suhu parsel udara sama dengan suhu lingkungannya. Selain itu, semakin tidak stabil kondisi atmosfer maka pengangkatan parsel udara semakin cepat. Saat perjalanan naik tersebut suhu parsel udara akan turun seiring dengan bertambahnya jamk yang ditempuh sehingga akan ada waktu d i i a n a suhu parsel udara sama dengan suhu titik jenuh. P e n m a n suhu tersebut diakibatkan oleh tidak adanya penambahan ataupun pengurangan energi (proses adiabatik) dari luar parse1 udara. Akibatnya, saat proses naiknya parsel udara te~sebutenergi yang diperlukan untuk pengangkatan diambil dari energi internal parsel yang berakibat pada penurunan suhu parsel. Selain itu, ketika terjadi pengangkatan panel udara yang didukung oleh kondisi atmosfer tidak stabil maka partikel-pertikel udara akan mengembang sehingga jarak antar partikel dalam parsel udara semakin jauh dan tumbukan antar partikel semakin lemah yang berarti suhu semakin kecil. Ketinggian dimana kondisi tersebnt tejadi disebnt tinggi dasar awan yang me~p8kaII ketinggian dimana uap air dari parsel udara mulai bernbah wujud menjadi air. Saat di titik dasar awan, suhu parsel udara masih lebih tinggi dibandingkan suhu lingkungannya sehingga parsel udara akan terns naik. Di atas titik dasar awan suhu parsel udara tetap turun tetapi p e n m a n n y a tidak sebesar ketika parsel udara berada di bawah titik dasdr avian. Kondisi ini disebabkan adanya pelepasan energi saat tejadi pernbahan uap air menjadi air, yang digunakan untuk memanaskan suhu parsel udara. Dengan demikian, parsel udara akan bergerak naik dengan jarak tempuh yang semakin panjang hiigga mencapai kondisi suhu lingkungannya sama dengan suhu parsel udara. Hal tersebut menjadi penyebab puncak awan semakin tinggi. Jika puncak awan semakin tinggi maka jarak antara dasar awan dengan pumcak awan akan semakin jauh akibatnya volume awan juga makim besar. Artinya potensi tejadiiya hujan juga semakin besar. Selain itu, kondisi angin juga mempengmhi terjadiiya hujan di suatu lokasi. Menurnt Gaffm dan Hortsz (2006) kecepatan angin pada level 850 mb saat musim panas lebih rendah dibanding saat musim dingin. Di Kabupateu Bojonegoro kecepatan angin level 850 mb saat tejadi hujan lebih rendah dibandiigkan saat tidak tejadi hujan, khususnya pada jam 00-06 UTC yang mernpakan waktu terjadiiya pembentukan awan. konveksi atau Sementara itu, kecepatan angin level 200 n ~ b juga menunjukkan ha1 yang sama dengan kecepatan angin padn level 850 mb, khususnya pada siang hari. Gambar 11 dan 12 menunjukkan bahwa arah angin di atmosfer bawah (dari pennukaan sampai level 500 mb) tidak tentur atau tidak satu arah saat tejadi hujan sedangkan saat tidak tejadi hujan arah angin pada atmosfer bawah terahx atau s a h arah. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh adanya turbulensi yang cukup besar di ahosfer bawah karena adanya pemanasan intensif serta kondisi atmosfer yang tidak siabil saat hari hujan dan terjadi sebaliknya saat hari tidak hujan. Peran angin diiiustrasikan sebagai berikut jika kondisi atmosfer di suatu tempat mendukung untuk terjadinya hujan dan kecepatan angin kecil maka peluang terjadi hujan di wilayah tersebut semakin besar. Akan tetapi, jika kondisi atmosfer mendukung terjadinya hujan sedangkan kecepatan angin di daenh tersebut tinggi maka awan tidak bisa terbentuk atau awan yang sudah terbentuk akan dipindahkan ke daerab lain sehimgga potensi terjadinya hujan di daerah tersebut semak'i kecil. Hasil uji statistika menunjukkan bahwa tinggi Qopopause, tinggi dasar awan (LCL), jumlah air yang berpotensi menjadi hujan (TPW), peluang massa udara thunderstorm ) energi yang tersedia untuk pengangkatan udara (CAPE) dan kecepatan maksimum p a w l udara bargerak naik (Mw) berbeda secam nyata antara hari hujan dengan hari tidak I~ujan(Lampiran 9). Sementara itu, parameter selain yang telah disebutkan tidak berbeda nyata antara hari hujan dan hari tidak hujan. Hal ini memberi gambamn bahwa parameter ahosfer yang perlu dikaji s e e m intensif untuk melakukan prediksi cuaca jangka pendek adalah tinggi tropopanse, tinggi dasar awnn (LCL), jumlah air yang barpotensi menjadi hujan (TPW), peluang massa udara thunderstorm (KI), energi yang tersedia ~untuk pengangkatan udara (CAPE) dan kecepatan maksimum parsel udara bergemk naik (Mw). --" ' I I, J A tiambar I I Arah angin tanggal 25 Desember 2007 @xi hujan) jan~03 LII'C -a*% , , , .!., ,,. 0 .., ,i.;,,,,,, .~. 2 ';, *," ~ ~ ,.,, "2 ,.,.,, ,.t Gambar 12 Arah angin tanggal 29 Desember 2007 (hari Lid& hujan) jam 03 UTC Perbandingan Kondisi Atmnsfer Waktu Banjir dengan Waktu Lainnya Tahap ini dilakukan dengan mengambil data rawinsonde NOAA pada koordinat 7"12'LS 11 I053'BT (sekitar kota Bojonegoro). Pemiliian koordinat tit& pengamatan tersebut diarenakan saat kejadian banjir pada tanggal 26 Desember 2007 sampai 7 Januari 2008, kota Bojonegoro merupakan wilayah yang tergenang banjir paling parah, bampir seluruh kota tergenang (Tempointeraktif 2007b). Selain itu, wilayah tersebut sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi di Kabupaten Bojonegoro. Data rawinsonde NOAA yang digunakan dalam analisis adalah data rawinsonde NOAA pada jam 06 UTC atau jam 13.00 WIB. Hal ini dikarenakan pada jam tersebut 4.4.3 mulai terjadi konveksi yang hebat. Radiasi matahari maksimum dalam sehari biasanya tejadi pada jam 12 w a h setempat sehingga pemanasan tert~adap bumi (damtan dan lautan) akan te+di patla jamjam tersebut. Akan tetapi a& jeda antara waktu radiasi maksimum dengan pemanasan bumi maksimum disebut time lag, biasanya sekitar satu atau dua jam. Ketika pemanasan maksimum maka potensi terjadi konveksi juga besar. Oleh karena ilu, pnggunaan data rawinsonde NOAA jam 06 UTC digunakan untuk mcwakili kondisi cuaca dalam satu hari. Seiain itu, hasil analisis kondisi atmosfer saat tejadi l~ujan dengan tidak terjadi hujan di 4 titik menunjukkan bahwa jam 06 UTC kondisi am~osfercukup relevan dengan kondisi yang dibutuhkan agar tejadi atau tidak terjadi hujan (Gambar 10). Hal tersebut dimaksudkan untuk menyederhanakan analisis yang akan dilakukan. Nilai parameter atmosfer saat terjadi banjir akhir Desember sampai awal Januari 2008 cukup potensial dalam menyebabkan hujan yang tinggi (Tabel 10 dan Lampiran 10). Nilai kandungan uap air yang ditunjukkan oleh nilai TPW sebesar 49.969.5 mm, berdasarkan Haby (2006f) k i s m nilai tersebut termasuk kriteria kandungan embun dalam skala tinggi sampai sangat tinggi. Kestabilan atmosfer yang dilihat dari LI mempunyai nilai -3.9 sampai -5.9, berdasarkan Haby (2006e) kisaran nilai tersebut menunjukkan kondisi atmosfer dalam keadaan tidak stabil lemah sampai kuat. Selain itu, peluang masa udara thunderstorm yang ditunjukkan oleh KI mempunyai nilai 31.5-36.5, menurut NWSFO (2008) kisaran nilai tenebut mempunyai peluang massa udara fhundersform60-90 %. Energi yang tersedia untuk pengangkatan massa udara yang diwakili CAPE mempunyai nilai 2173-3416 Jkg,menumt NWSFO (2008) kisaran nilai tersebut tennasuk laiteria tidak stabil sedang sampai kuat. Kecepatan pengangkatan udara yang dilihat dari kecepatan veltikal maksimum (Mvv) mempunyainilai 66-83 mls, menurut Haby (2006g) k i s m nilai tersebut termasuk dalam skala sangat kuat sampai ekstrim. Dasar awan (LCL) berada pada ketinggian 420-803 m sedangkan dasar awan bentuk cumuli (CCL) berada pada ketinggian 81 1-1446 m. Puncak awan yang dihitung dari level konveksi bebas (LFC EL) berada pada ketinggian 10 638-14 749 m sedangkan yang dihitung dari dasar awan bentuk cumuli berada pada ketinggian 14 736-16 662 m. Level konveksi bebas berada pada ketinggian 420-803 m. Jika diperbatikan, dasar awan dan level konveksi bebas berada pada ketinggian yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa saat berada di ketinggian dasar awan (parsel jenuh) suhu parsel lebih tinggi dari suhu lingkungannya dan parsel akan terns naik walaupun tidak ada gaya pengangkatan dari luar parsel. Sementara itu, Tropopause berada pada ketinggian 16 568-16 612 m. Suhu yang hams dicapai permukaan agar terjadi konveksi (suhu konvektif) tanggal 20 Desember 2007 sampai 7 Januari 2008 adalah 27.9-30.1 OC. Suhu tersebut cukup rendah sehingga memungkinkan tercapai ketika terjadi pemanasan yang intensif. Jika dibandingkan dengan kejadian banjir selama tahun 2005 sampai awal2W7, parameter atmosfer s a t terjadi banjir akhii Desember sampai awal Januari tenebut tidak menunjukkan nilai yang paling ekstrim. Kondisi ekstrim yang diharapkan adalah nilai median p~mcakawan, energi yang tenedia untuk pengangkatan massa udara, penduga potensi konveksi (nilai KI), kecepatan pengangkatan maksimum parsel udara (Mw), kandungan uap air (TPW) dan tinggi tropopause mempunyai nilai median yang lebib tinggi dibandingkan saat banjir lainnya. Sedangkan kondisi lain yang dibarapkan adalah ketinggian dasar awan maupun ketinggian dasar awan bentuk cumuli (LCL dan CCL.), level konveksi bebas (LFC), indeks keslabilan atnosfer (LI) dan subu konvektif mempunyai nilai median yang lebih rendah dibandingkan saat banjir lainnya. Lampiran 11 menunjukkan nilai median puncak awan, energi ynng tersedia untuk pengangkatan massa udara, peluang massa udara thunderstorm (nilai Kl), kecepatan pengangkatan maksimum parsel wlara, kandungan uap air saat banjir akhir Desember 2007 sampai awal Januari 2008 lebih rendah dibandingkan banjir awal tahun 2007. Nilai median indeks kestabilan atmosfer (LI), ketinggian dasar awan konvektif, dan titik konveksi bebas saat banjir akhir Desember 2007 sampai awal Januari 2008 lebih tinggi dibandingkan banjir awal tahun 2007. Ketinggian dasar awan saat banjir akhir Desember 2007 sampai awal Januari 2008 lebih tinggi dibandingkan banjir awal tahun 2005. Nilai median tinggi tropopause saat banjir akhii Desember 2007 sampai awal Januari 2008 lebii rendah dibandingkan banjir awal tahun 2005. Akan tetapi, nilai suhu konvektif saat banjir akhir Desember 2007 sampai awal Januari 2008 paling rendah di antara banjirbanjir lainnya (Gambar 13). Secara umum, pada kejadian banju akhir Desember 2007awal Januari 2008, kondisi atmosfer tidak ekstrim tetapi cukup met~dukungterjadinya hujan lebat skala lokal (setempat). Oleh karena hasil analisis menunjukkan ha1 demikian maka perlu dilibat juga kondisi daya dukung lingkungan di permukaan. Tabel 10 Parameter atmosfer tanggal 25 Desember 2007-7 Januari 2008 No. 1 Parameter atmosfer Tinggi tropopause r.. -- Nilai 16 568-16 612 -- 1 - --- - ....-- . .. .. BrnpWTc htU5IM flUl.UI,LL~t\II*U.SANILPW ,Bm)lll2lO;, I .B ,- D\hp 12% .. -11J .v 6' -+2 Gambar 13 Perbandingan nilai median suhu konvektif snat banjir, k c m n m ~dan ~ hujan 4.5 Kondisi Daya Dukung Liugkungan Kabupaten Bojonegoro den sekitarnya Kondisi permukaan yang mempengaruhi tejadinya banjir adalah kemiringan lereng, topografi dan jenis tanah di daerah aliran sungai @AS), jenis tutupan lahan, sedimentasi (Doswell et al. 1996; Idris & Sukojo 2008). Kemiringan lereng di Bojonegoro terutama yang dilalui sungai Bengawan Solo adalah landai. Topografinya berupa dataran rendah (F'emKab Bojonegoro 2003). Hal ini semakin mendukung terjadiiya genangan yang lama ketika banju terjadi. Penggunaan lahan di Bojonegoro tidak mengalami perubahan yang signifikan dalam ha1 luasannya (Tabel 3), bahkan penggunaan untuk hutan negara semakii bettambah luas dari tahun 1997 ke tahun 2008. Secara luas memang tidak mengindikasikan perubahan yang signifikan, akan tetapi jika dilihat secara fisik, maka hutan-hutan negara yang ada di daerah tersebut semakin mengkhawatirkan (Gambar 14). Pohon yang besar cukup jarang sedangkan yang sekarang terlihat adalah pohon yang masih kecil. Menurut Kartasapoetra (1989) pohon yang besar behngsi sebagai pelindung tanah terhadap pukulan hujan secara langsung yang berarti mengurangi terjadinya erosi, memperbaiki stuktur tanah dengan akarnya serta rnengurangi kecepatan aliran permukaan. J i i pohon tmar tidak ada maka hujan akan menjadi aliran permukaan secara langsung tanpa ada yang menghambat lajunya. Akihamya hanjir yang hesar bisa tejadi. Dilihat dari jenis tanahnya, tanah di Bojonegoro sebagian besar bempa tanah grumosol. Tanah grumosol adalah bagian dari tanah vertisol yang mempunyai sifat fisik mudah mengembang dan mengkemt, tekstur Iiat berat, kecepatan infillmi air rendah, drainase lamban dan rawan erosi (Pmsetyo 2007). Saat basah tanah menjadi sangat iekat, plastis dan kedap air tetapi saat kering tanah menjadi sangat kern dan masif atau membentuk pola prisma yang terpisahkan oleh rekahan. Dilihat dari jenis tanah ini, maka ketika terjadi curah hujan yang tinggi kemudian diiiuti curah hnjan lainnya yang terus-menems tanah akan lambat dalam men,&filtrasi air karena sudah jenuh. SeIain itu, daerah Bojonegoro kawasan daerah aliran sungai Bengawan Solo merupakan daerah yang landai (Tabel 2) sehingga kecepatan aliran secara horisontal lambat dan genangan yang tejadi akan lama. Banjir juga bisa diakibatkan oleh %or di luar tempat tejadinya banjir. Faktor tersebut misalnya adanya debit air yang tinggi dari hulu sungai. Debit air yang tinggi di hulu bisa disebabkan oleh dua ha1 yaitu karena adanya hujan ekstrim ataupun kondii permukaan yang mendukung Gambar terjadimya banjir (msaknya hutan, pembahan penggunaan lahan dan sebagainya). Kompas (2008) menyatakan balawa tutupan lahan di DAS Bengawan Solo selama tahun 2000 sampai 2007 sudah mengalami pembahan. Luas rawa berkurang dari 3 212 Ha pada tahun 2000 menjadi 3 Ha pada tahun 2007. Luas semak belukar berkurang dari 63 095 Ha pada tahun 2000 menjadi 13 897 Ha pada tahun 2007. Luas hutan alam berkuang sebesar 3 1.57% menjadi 23 888 pada tahun 2007. Selain itu, kebiasaan masyarakat yang membuang sampah di sungai juga menjadi faktor yang bisa mernperparah tejadinya banjir (Makruf 2007). Sementan itu, saat terjadimya banjir tersebut lampir seluruh daerah DAS Bengawan Solo mengalami hujan secara merata. Hujan yang merata tersebut karena adanya La Nina, Madden Julian Oscillotiafl WJO) dan efek siklon tcopis Melanie tanggal 27 Desember 2007 sampai 2 Januari 2008 WASA 2008; Paterson 2008). Hal ini semakin menambah tingginya debit air di sluigai Bengawan Solo. dokumen pribadi)