BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring perkembangan era globalisasi yang terus berlangsung telah mengakibatkan perekonomian global menjadi terintegrasi dengan melampaui batas-batas negara, baik ideologis dan lembaga-lembaga politik dunia. Integrasi penyatuan ekonomi antarnegara di dunia diantaranya melalui peningkatan aliran barang, jasa, modal, dan bahkan tenaga kerja. Integrasi ini akan menghilangkan hambatan-hambatan terhadap perdagangan internasional sehingga memudahkan arus perdagangan, investasi, mata uang serta informasi. Adanya pengintegrasian ekonomi secara global terutama dapat dilihat melalui perdagangan dunia yang ditandai dengan munculnya pembentukan World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995 sebagai kelanjutan dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang menghendaki setiap negara anggota WTO untuk membuka pasarnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan WTO yang mengikat (binding agreement) dan bersifat mandotory terhadap kebijakan perdagangan luar negerinya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa dunia saat ini telah bergerak menjadi satu pasar bebas yang dalam hal ini akan mengurangi berbagai pembatasan akses ke pasar dan pembatasan perlakuan nasional (national treatment). Persetujuan GATT tersebut berdampingan dengan General Agreement on Trade in Services (GATS) dan General Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs). WTO mencakup ketiga persetujuan tersebut dalam satu organisasi, satu aturan dan satu sistem untuk penyelesaian sengketa. Diantara ketiga persetujuan tersebut di atas, GATS merupakan salah satu persetujuan yang paling pesat perkembangannya saat ini. Pembentukan GATS pada dasarnya memiliki tujuan yang sama dengan Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT) yakni menciptakan sistem peraturan perdagangan internasional yang kredibel dan dapat diandalkan, memastikan perlakuan yang adil dan merata bagi semua anggota (prinsip nondiskriminasi), merangsang 1 aktifitas ekonomi yang dijamin melalui kebijakan binding dan mempromosikan perdagangan dan pembangunan melalui liberalisasi progresif1. WTO melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) telah menjadikan penyediaan jasa menjadi berperan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Data WTO menunjukkan bahwa sejak tahun 2000-an perdagangan jasa telah mencapai 20% dari total perdagangan global dan merupakan 60-70% dari PDB di negara-negara OECD2. Perdagangan jasa sebesar 75% berada di negara-negara OECD terutama Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa (yang sebagian besar terdiri dari Inggris, Perancis, Jerman) dan Jepang, sedangkan sisanya 25% dibagi oleh Hong Kong, China, Korea Selatan, Singapura dan India. Perdagangan jasa masih didominasi oleh sektor transportasi dan pariwisata akan tetapi bisa berubah jika regulasi negara anggota pada layanan jasa seperti pendidikan, telekomunikasi, kesehatan, asuransi dan perbankan mendukung. Hal tersebut wajar karena perdagangan jasa telah menjadi salah satu sektor yang memiliki pertumbuhan paling dinamis. Sebagai contohnya adalah distribusi suatu produk manufaktur akan lancar bila didukung oleh fasilitas jasa transportasi yang handal. Daya saing produk sektor industri di pasar internasional juga bergantung pada jaringan telekomunikasi yang dapat diandalkan. Aktifitas pembiayaan juga memerlukan dukungan lembaga keuangan yang terpercaya dan sehat. Perkembangan perdagangan jasa yang terjadi dengan pesat telah membuat sektor tersebut menjadi sektor yang semakin diperhitungkan dalam transaksi perdagangan dunia. Semua sektor jasa diupayakan sedemikian rupa sehingga mampu memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi suatu bangsa. Demikian halnya yang terjadi pada sektor pendidikan. Pendidikan saat ini telah menjadi salah satu komoditi internasional yang berkembang pesat selain sektor kesehatan, teknologi informasi, komunikasi dan lainnya. Pendidikan telah menjadi suatu 1 2 WTO, The General Agreement on Trade in Services (GATS) : Objectives, Coverage and Disciplines, daring http://wto.org/english/tratop_e/serv_e/gatsqa_e.htm, diakses pada 17 Juli 2013 E. Hartmann & C. Scherrer, Negotiations on Trade in Services : The Position of the Trade Unions on GATS, Friedrich Ebert Stiftung, Geneva, 2003, p. 5 2 komoditas yang mampu bergerak antarnegara. Pendidikan telah berkembang melampaui batas-batas wilayah baik secara elektronik maupun melalui fasilitas yang berbasis fisik. Pendidikan telah dimasukkan dalam sektor jasa yang selanjutnya membuat pendidikan menjadi sesuatu yang seolah dapat diperjualbelikan. Dengan demikian praktik perdagangan atau jual beli jasa pendidikan adalah sah dan dapat dipertanggungjawabkan menurut WTO. Hal tersebut membuat perdagangan jasa pendidikan seolah menjadi sesuatu yang wajib dikembangkan agar dapat memberikan keutungan bagi suatu bangsa. Pendidikan tinggi sebagai salah satu subsektor pendidikan juga turut didorong agar dapat sejajar dengan tuntutan perkembangan perdagangan internasional. Pendidikan tinggi dibuat sedemikian rupa agar dapat mengikuti tuntutan pasar sehingga dapat menambah daya saing dan memberikan manfaat bagi transaksi perdagangan jasa suatu bangsa. Perdagangan jasa pendidikan tinggi secara global sebenarnya tidaklah merata. Perguruan tinggi besar dari negara maju dengan sistem akademik kuat selalu mendominasi produksi dan distribusi pengetahuan. Perguruan tinggi yang lebih kecil dan lebih lemah sistem dengan sumber daya yang lebih sedikit dengan standar sistem akademis lebih rendah cenderung menjadi tergantung pada mereka. Perguruan tinggi besar dari negara maju umumnya telah memiliki sumberdaya yang melimpah seperti pendanaan, infrastruktur seperti perpustakaan dan laboratorium penelitian yang memadai, staf akademik yang memiliki kualifikasi tinggi, tradisi akademik yang kuat, dan peraturan yang mendukung kebebasan akademik. Budaya akademik telah mendorong perguruan tinggi mencapai prestasi tinggi yang umumnya mereka menggunakan salah satu bahasa internasional utama dalam penelitian dan pengajaran dan secara umum mereka menikmati dukungan fasilitas yang memadai dari negara 3 . Sedangkan perguruan tinggi di negara-negara tanpa dukungan sumberdaya dan fasilitas yang memadai dari negara umumnya akan kesulitan untuk mencapai jajaran perguruan tinggi papan atas. Kondisi tersebut telah memunculkan tantangan tersendiri bagi suatu negara, khususnya bagi negara 3 Philip G. Altbach, „Globalization and the University: Realities in an Unequal World‟, International Handbook of Higher Education, Part One: Global Themes and Contemporary Challenges, Springer, Dordrecht, 2007, p. 131 3 berkembang yang perguruan tingginya belum masuk jajaran perguruan tinggi top dunia. Tantangannya tersebut antara lain adalah pendidikan dapat menjadi salah satu komoditi yang kompetitif jika mampu di desain dan sesuai dengan standar internasional yang ada. Tetapi pada sisi lain hal tersebut juga dapat menimbulkan ancaman karena dengan kondisi tersebut maka dapat mengakibatkan tutupnya lembaga pendidikan yang tidak dapat menyesuaikan dengan standar yang ada, atau paling tidak akan kalah bersaing oleh lembaga pendidikan yang telah berstandar internasional. Sebagai upaya agar dapat memberikan nilai tambah bagi perdagangan jasa maka liberalisasi pendidikan tinggi dianggap menjadi salah satu cara agar sektor tersebut diharapkan mampu memberikan manfaat bagi suatu negara. Selain itu dengan liberalisasi maka paling tidak institusi pendidikan tinggi diharapkan memiliki kemampuan dan kualitas yang setara dengan tuntutan pasar yang ada. Bagi negara maju, perdagangan jasa pendidikan tinggi umumnya telah tumbuh pesat dan telah memberikan sumbangan besar kepada negara. Sedangkan bagi negara berkembang, liberalisasi menjadi sebuah tantangan bagi kualitas pendidikan suatu negara di tengah era perdagangan bebas. Adanya liberalisasi pendidikan dianggap merupakan salah satu sektor yang mampu menghasilkan keuntungan yang sangat besar buat negara. Bagi negara maju, perdagangan jasa pendidikan telah tumbuh pesat dan telah memberikan sumbangan besar kepada negara. Pendapatan negara salah satunya didapatkan dari keberadaan mahasiswa internasional. Dari mahasiswa internasional per tahun USA mendapatkan sekitar 13 milyar US Dollar, UK mendapatkan sekitar 8 milyar US Dollar, Australia mendapatkan sekitar 6 milyar US Dollar, Canada 3 milyar US Dollar, Singapore 500 juta US Dollar, Dubai 100 juta US Dollar4. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa negara dengan sistem pendidikan yang sudah maju seperti Amerika, Inggris dan Australia selalu menyerukan liberalisasi pendidikan melalui WTO. 4 The Parthenon Group, Standing Out From The Crowd : How Can Governments, Institutes, and Private Providers Collaborate to Create International Education Hubs and Differentiate their Brand Abroad?, Prepared by for British Council‟s Going Global 2014, Miami, 2014 4 Keuntungan yang didapatkan dari liberalisasi pendidikan tinggi terutama didapatkan dari banyaknya mahasiswa asing tersebut telah memberi peluang yang besar bagi bisnis dunia pendidikan tinggi. Sebagai contohnya adalah jumlah mahasiswa Asia yang pergi menuntut ilmu ke Barat. Sebagai gambarannya adalah ketika terjadi krisis ekonomi antara tahun 1996 – 1998. Pada kurun waktu tersebut mahasiswa Korea yang belajar ke Amerika Serikat malah naik 15,5 persen. Mahasiswa dari India naik 10,4 persen, dari Cina naik 10,5 persen dan mahasiswa Jepang sebagai pengirim terbesarnya ke Amerika Serikat juga naik 1, 7 persen 5. Ini terjadi karena kecanggihan dan semakin gencarnya strategi pemasaran dari perguruan tinggi Barat. Hal tersebut dapat memberikan gambaran bahwa meski terjadi krisis pun ternyata tidak mempengaruhi minat untuk belajar ke luar negeri dan mendapatkan kualitas pendidikan bertaraf internasional. Liberalisasi pendidikan telah menuntut perguruan tinggi untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang terjadi pada era globalisasi. Perguruan tinggi dituntut untuk dapat meningkatkan kemampuan berkompetisi dan memiliki kualitas yang tinggi setara dengan perguruan tinggi dari negara lain. Hal ini penting karena dengan meningkatnya kualitas diharapkan meningkat pula daya saing perguruan tinggi secara global sehingga sumber daya manusia yang dihasilkan pada akhirnya juga mampu bersaing di era perdagangan bebas. Bagi Indonesia perkembangan global perdagangan pendidikan tinggi menjadi salah satu agenda yang harus benar-benar dicermati agar pendidikan tinggi di Indonesia dapat siap menghadapinya. Kemampuan menghasilkan sumberdaya manusia yang siap bersaing dengan tuntutan global menjadi salah satu yang harus dicapai. Sebagai salah satu negara berkembang di Asia Tenggara, pada tahun 2012 Indonesia berada pada peringkat 16 perekonomian dunia dengan jumlah peluang pasar di bidang jasa consumer, agribisnis dan perikanan sumberdaya alam serta pendidikan dengan nilai sebesar 0,5 triliun US Dollar 6. McKinsey Global Institute juga memperkirakan bahwa pada tahun 2030 Indonesia 5 Philip G. Altbach, International Higher Education : Refletions on Policy and Practice, The Boston College Center For International Higher Education, Massachusetts, 2006, p. 48 6 R. Oberman et.al., The Archipelago Economy : Unleashing Indonesia’s Potential, McKinsey Global Institute - McKinsey & Co, Jakarta, 2012, p. 81 5 akan mencapai peringkat 7 perekonomian dunia dengan peluang pasar di bidang jasa consumer, agribisnis dan perikanan sumberdaya alam serta pendidikan bernilai sebesar 1,8 triliun US Dollar. Hal tersebut dapat tercapai apabila sumberdaya manusianya memiliki keunggulan dan dapat bersaing dengan bangsa lain. Untuk itu dibutuhkan sumberdaya manusia yang terdidik dan sesuai dengan perkembangan global. Selain potensi tersebut di atas, pada kurun waktu tahun 2020-2030 Indonesia akan mendapatkan bonus demografi dimana jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sedang 30 persen penduduk yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun)7. Bonus demografi tersebut merupakan fenomena dimana struktur penduduk menjadi sangat menguntungkan dari sisi pembangunan karena jumlah penduduk usia produktif sangat besar, sedang proporsi usia muda sudah semakin kecil dan proporsi usia lanjut belum banyak. Bonus demografi dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia dengan syarat kita harus mempersiapkan generasi muda memiliki kualitas sumberdaya manusia yang tinggi melalui pendidikan, kesehatan, penyediaan lapangan kerja dan investasi. Dengan adanya bonus demografi tersebut maka Indonesia akan memiliki sekitar 180 juta orang berusia produktif, sedang usia tidak produktif sekitara 60 juta jiwa, atau dengan kata lain 10 orang usia produktif hanya akan menanggung 3-4 orang usia tidak produktif. Dengan demikian diharapkan akan terjadi peningkatan tabungan masyarakat dan tabungan nasional. Namun jika bangsa Indonesia tidak mampu menyiapkan akan terjadinya bonus demografi, seperti penyediaan lapangan kerja dan peningkatan kualitas sumberdaya manusianya seperti melalui pendidikan tinggi dan pelayanan kesehatan dan gizi yang memadai, maka akan menjadikan masalah karena akan terjadi pengangguran yang besar dan hal tersebut akan menjadi beban negara. Untuk itu diperlukan komitmen semua pihak agar bonus demografi dapat menjadi anugerah bagi bangsa Indonesia dengan menyiapkan sumberdaya manusia yang unggul sedini dan sebaik mungkin. 7 ANTARA News, BKKBN: Indonesia Mendapat Bonus Demografi pada 2020, dalam jaringan http://www.antaranews.com/print/145637/bkkbn-indonesia-mendapat-bonus-demografi-pada2020 diakses pada 2 Januari 2016 6 Selain itu, perkembangan regional seperti pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dan Asia Free Trade Agremeent (AFTA) juga bakal menguji kualitas dan daya saing sumberdaya manusia Indonesia khususnya di kawasan Asia Tenggara. Jangan sampai lapangan kerja yang ada di dalam negeri justru dinikmati oleh tenaga kerja asing yang lebih berkualitas, berdaya saing dan berwawasan global. Peningkatan daya saing dan kualitas harus terus dilakukan karena peningkatan sumberdaya manusia adalah menjadi tugas dan tanggung jawab utama pendidikan dimana hal tersebut juga sangat dipengaruhi faktor globalisasi dan teknologi. Pengaruh globalisasi, kemajuan teknologi dan informasi serta perubahan nilai-nilai sosial harus diperhitungkan dalam penyelenggaran pendidikan, apalagi tanggung jawab dunia pendidikan untuk mencapai tujuan pokok melahirkan manusia yang berkualitas. Karena itulah perhatian terhadap standar kualitas pendidikan menjadi penting. Untuk itu peran pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan menjadi sangat vital. Peranan pemerintah yang mampu meningkatkan kualitas, mampu berdaya saing global dan menciptakan iklim pendidikan yang baik adalah faktor yang penting agar institusi pendidikan tinggi mampu menghasilkan lulusan yang mampu bersaing secara global. Liberalisasi pendidikan tinggi dianggap sebagai salah satu upaya percepatan penyebaran pengetahuan dan teknologi sebagai upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui kemudahan arus perdagangan jasa pendidikan. GATS sebagai bagian dari aturan WTO telah memberikan arahan agar perdagangan jasa pendidikan tinggi dapat semakin berkembang maju sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Liberalisasi pendidikan tinggi dianggap sebagai bagian dari perluasan pasar yang sedang terjadi harus disikapi dengan sangat cermat terutama oleh negara-negara berkembang, tak terkecuali oleh Indonesia. Perguruan tinggi yang ada di Indonesia belum semuanya siap untuk bersaing di era perdagangan bebas untuk itu dibutuhkan peran negara agar perguruan tinggi mampu bersaing secara global. Pemerintah bertanggung jawab terhadap pembuatan kebijakan yang dapat memajukan sistem pendidikan tinggi di Indonesia di tengah tingginya kompetisi dalam menghasilkan sumberdaya manusia berkualitas dan mampu bersaing di era pasar bebas. 7 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini mengambil rumusan masalah yaitu bagaimanakah liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia? C. Tinjauan Pustaka Pendidikan tinggi seringkali dianggap sebagai barang publik yang manfaatnya tidak hanya untuk individu semata tetapi juga bermanfaat bagi seluruh elemen masyarakat dengan memproduksi berbagai manfaat sosial. Akhir-akhir ini, dengan adanya keterbatasan dana untuk pendidikan tinggi, pengenalan secara luas kebijakan ekonomi neo-liberal dan globalisasi di setiap negara dan di setiap sektor, dan banyaknya pihak yang menyuarakan pentingnya perdagangan jasa yang diprakrarsai oleh Organisasi Perdagangan Dunia melalui GATS telah menyebabkan banyak pihak yang berpandangan bahwa pendidikan tinggi adalah barang yang layak diperjualbelikan layaknya komoditas biasa dalam perdagangan. Definisi jasa sebenarnya tidak disebutkan dengan jelas dalam ketentuan GATS. GATS hanya memberikan pengertian luas mengenai cakupan jasa. Ketentuan dasar mengenai jasa diatur dalam article 1.3 GATS yang menyebutkan bahwa yang termasuk jasa adalah semua bentuk jasa dalam semua sektor kecuali jasa yang dipasok untuk pelaksanaan fungsi pemerintah. Ketentuan lebih lanjut mengenai ukuran yang digunakan untuk menetapkan suatu jasa sebagai yang dikecualikan tersebut apabila jasa tersebut tidak diberikan secara komersial ataupun jasa tersebut tidak berada pada lingkup persaingan usaha dengan penyedia jasa lain. Berdasarkan ketentuan tersebut maka jasa menurut GATS adalah semua bentuk dan jenis jasa selain yang nonkomersial dan nonkompetitif. Jasa yang memenuhi ketentuan tersebut sering disebut jasa publik dan merupakan wewenang penuh pemerintah negara untuk melaksanakan kedaulatan dalam mengaturnya. Definisi yang tidak jelas mengenai jasa juga terlihat dalam sifat nonkomersial dan nonkompetitif bagi jasa yang dikecualikan. Tidak dijelaskan lebih lanjut ketentuan mengenai penggolongan suatu jasa sebagai jasa nonkomersial ataupun nonkompetitif. Berkaitan dengan hal tersebut maka muncul perdebatan mengenai ketentuan apakah pendidikan termasuk di dalam sektor yang layak 8 diperdagangkan mengingat bahwa pelayanan publik telah berubah dan kategori layanan yang diberikan murni oleh pemerintah tanpa komersial adalah sangat kecil atau bisa dikatakan malah tidak ada8. Di sinilah kita melihat pertentangan antara mereka yang melihat pendidikan sebagai pelayanan publik diatur oleh negara dan mereka yang melihatnya sebagai sebuah layanan yang dapat diambil alih oleh penyedia layanan jasa seperti yang diatur oleh WTO. Hartmann dan Scherrer memberikan catatan bahwa aturan negara untuk penyediaan layanan didasarkan motif yang berbeda. Ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa layanan disediakan secara nasional oleh negara, yang dapat diakses secara universal, dengan standar kualitas yang terjaga, dan khususnya dalam hal layanan infrastruktur, partisipasi demokratis dan begitu juga termasuk layanan jasa pendidikan9. Philip G. Altbach menyatakan bahwa untuk negara-negara dengan sistem pendidikan tinggi kuat dan matang, kemungkinan dipengaruhi oleh penyedia asing (seperti perusahaan transnasional) adalah kecil. Namun bagi negara-negara kecil dan berpenghasilan rendah dengan permintaan yang belum terpenuhi untuk akses pendidikan dan dengan sistem akademik dan universitas yang lebih kecil, GATS dapat mengakibatkan dampak eksternal yang cukup besar 10 . Hanya beberapa negara besarlah yang menguasai dan mendapatkan manfaat atas pembukaan akses pasar perdagangan dunia11. Sebagai tanggapan, pendukung GATS seperti Pierre Sauve berpendapat bahwa pemerintah tidak dipaksa untuk menjadi anggota WTO atau untuk menawarkan sistem pendidikan mereka untuk tujuan perdagangan12. Para penolak GATS sering hadir dengan tujuan menyesatkan mengenai aturan dan konsekuensi kebijakan GATS. Pertumbuhan pasar untuk perdagangan jasa pendidikan adalah 8 Susan L. Robertson (eds), Globalisation, Education and Development : Ideas, Actors and Dynamics, Departement for International Development University of Bristol, Bristol, 2007, p. 147 9 E. Hartman & C. Scherer, p. 6 10 Philip G. Altbach, International Higher Education : Refletions on Policy and Practice, p.2 11 L. Williamson, Globalisation : World-Changing or Word-Changing, dalam Harum Setiawati dan Gavriyuni Amier, Kerjasama Perdagangan Internasional : Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2007, p. 130 12 Pierre Sauve, Trade, Education and the GATS : What’s In, What’s Out, What’s All The Fuss About, OECD, Paris, 2001, p. 16. 9 besar, beragam, inovatif dan cepat. Hal tersebut tentu akan terus tumbuh karena masyarakat menempatkan pendidikan sebagai sumber pengembangan dan sebagai sarana individu agar dapat menjadi lebih baik dan masyarakat akan menghadapi, menyesuaikan diri dan mengambil keuntungan dari tuntutan yang timbul dari integrasi ekonomi. Sementara itu perkembangan adanya layanan jasa pendidikan tinggi yang terus meningkat telah membuat pasar jasa harus dapat memenuhinya. Larson berpendapat bahwa jika terdapat permintaan yang tinggi maka harus merespon peningkatan permintaan tersebut dan penyedia layanan baru yang telah memiliki pengalaman dalam penyediaan jasa antar negara harus diizinkan untuk memasuki pasar 13 . Dengan keadaan demikian karena makin lama permintaan pendidikan tinggi makin tumbuh maka negara harus mengizinkan kepada penyedia layanan pendidikan untuk memenuhi permintaan semakin meningkatnya kebutuhan jasa pendidikan tinggi tersebut. Sementara terdapat perbedaan antara pihak yang kurang setuju GATS dan pendukung GATS terdapat satu hal yang menyatukan mereka yaitu bahwa yang menjadi perhatian adalah apa yang bisa disebut barang publik dan pendidikan tinggi bukanlah komoditas yang dapat diperdagangkan dengan mudah tanpa kendala. Terdapat pengakuan bahwa pendidikan tinggi mengandung nilai yang kompleks yang melibatkan bukan hanya pasar tetapi juga budaya nasional, nilainilai masyarakat, dan akses serta mobilitas sosial. Oleh karena itu akan lebih baik jika menjadi barang umum dan sampai batas tertentu menjadi tanggung jawab negara14. Selain itu bagi penentang GATS menyebabkan bahwa dengan semakin berkembangnya tuntutan perubahan lingkungan yang terjadi pada era perdagangan jasa pendidikan seperti sekarang ini tentu saja sulit bagi sebuah negara untuk tetap menutup diri terhadap semakin meningkatnya permintaan perdagangan jasa dan akan lebih baik jika mereka pun dapat membuka diri dan menyesuaikan diri terhadap tuntutan pasar sesuai kemampuan masing-masing negara melalui 13 14 K. Larson, „International Trade in Education Services : Good or Bad?‟ dalam Rose (ed) Education and the General Agreement on Trade in Services: What does the Future Hold, Commonwealth Secretariat, London, 2003, p. 14 Philip G. Altbach, International Higher Education : Refletions on Policy and Practice, p.2 10 kebijakan yang tepat agar mereka juga dapat ikut mendapatkan manfaat dari perdagangan jasa pendidikan yang terjadi. Terlepas adanya perdebatan mengenai keberadaan pendidikan dalam aturan GATS sebagai barang yang patut diperdagangkan atau tidak serta adanya tuntutan atas tanggung jawab negara pada sektor pendidikan, perdagangan jasa pendidikan pada dasarnya memberikan peluang akses pasar yang semakin terbuka guna meningkatkan nilai dan volume pardagangan jasa. Dengan semakin meningkatnya nilai dan volume perdagangan pendidikan maka yang diharapkan nantinya adalah dapat juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan dapat mengurangi kemiskinan. Namun demikian manfaat perdagangan jasa tersebut akan dapat dicapai secara optimal bila didukung oleh sistem pemerintahan yang baik, sistem pendidikan yang baik, juga kepastian hukum agar dapat memberikan kepastian berusaha serta kebijakan yang mampu memberikan perlindungan terhadap pasar dalam negeri. Meskipun masih terjadi perdebatan mengenai ketentuan apakah pendidikan termasuk di dalam sektor yang layak diperdagangkan mengingat bahwa pelayanan publik telah berubah dan kategori layanan yang diberikan murni oleh pemerintah tanpa komersial, pada bulan September 1998 Sekretariat WTO mengusulkan bahwa selama pemerintah mengakui keberadaan penyedia swasta di bidang pendidikan maka pendidikan dapat diperlakukan sebagai layanan komersial dan karena itu harus diatur dalam kerangka kerja WTO. Usulan itu disetujui pada tahun 1999 sehingga jasa pendidikan dimasukkan dalam negosiasi pada layanan baru yang dimulai pada bulan Januari 2000 yang selanjutnya Deklarasi Doha 2001 menegaskan sikap ini15. Dengan makin berkembangnya perdagangan jasa pendidikan tinggi maka tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbedaan tingkat pembangunan pendidikan pada negara-negara di dunia terutama di negara berkembang sehingga diperlukan adanya fleksibilitas bagi negara berkembang untuk menerapkan perdagangan jasa pendidikan sesuai dengan kesiapan dan kemampuannya masing15 Jandhyala B.G. Tilak, Trade in Higher Education ; The Role of The General Agreement on Trade in Services, UNESCO, Paris, 2011, p. 33. 11 masing negara. Kesiapan institusi pendidikan tinggi di negara berkembang seperti Indonesia pun harus dipersiapkan. Era liberalisasi pendidikan tinggi adalah sesuatu yang harus dihadapi. Peran pemerintah sangat dibutuhkan agar sistem pendidikan tinggi kita siap dan mampu menghadapi liberalisasi serta dapat bersaing pada tingkatan global. D. Kerangka Konseptual Globalisasi menurut George C. Lodge dalam bukunya Managing Globalization In The Age Of Interdependence adalah suatu proses dimana masyarakat dunia menjadi semakin terhubungkan (interconnected) satu sama lainnya dalam berbagai aspek kehidupan mereka baik dalam hal budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan16. Hal tersebut telah mengakibatkan dunia pada saat ini telah menjadi sebuah pasar global, bukan hanya pasar untuk barang tetapi juga jasa. Negara-negara di dunia secara berangsur telah beralih kepada mekanisme pasar daripada campur tangan negara dalam memecahkan berbagai persoalan perekonomian nasional. Globalisasi meniscayakan terjadinya perdagangan bebas dan dinilai menjadi ajang kreasi dan perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta pembangunan dengan sistem pengetahuan yang mengubah pola komunikasi, teknologi, produksi dan konsumsi serta peningkatan paham internasionalisme. Globalisasi telah menghadirkan beragam tantangan bagi banyak negara terutama bagi negara berkembang. Oleh karena itu globalisasi sering dikatakan sebagai fenomena yang suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, siap atau tidak siap akan dihadapi setiap negara. Kompetisi dalam era globalisasi akan didasarkan pada keunggulan oleh pihak yang siap menghadapinya. Adanya revolusi yang terjadi di bidang teknologi informasi sebagai dampak dari globalisasi telah membuat semakin meluasnya keinginan dan akses masyarakat terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga menyebabkan semakin tumbuhnya pasar perdagangan layanan jasa pendidikan, tak terkecuali pada layanan jasa pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi seringkali dianggap 16 George C. Lodge, Managing Globalization In The Age Of Interdependence, Pfeiffer & Company, San Diego CA., 1995, p. 1 12 sebagai salah satu jalan menuju arah pengembangan bangsa dan pemberdayaan masyarakat. Untuk itulah diperlukan upaya peningkatan kualitas pendidikan tinggi pada era globalisasi seperti sekarang ini. Liberalisasi perdagangan jasa pendidikan tinggi dianggap salah satu upaya percepatan dalam konteks globalisasi yang di satu sisi menawarkan terciptanya peluang kesuksesan tetapi di sisi lain juga memberikan ancaman menuju keterpurukan bagi yang tidak siap dengan kondisi yang ada. Pentingnya pendidikan tinggi bagi pertumbuhan ekonomi dan daya saing semakin diakui sebagai sesuatu penting tidak hanya untuk negara-negara maju, tetapi juga untuk negara yang berkembang. Pendidikan tinggi dapat membantu negara-negara tersebut untuk menjadi lebih kompetitif secara global dengan jalan mengembangkan keterampilan, angkatan kerja produktif dan fleksibel yang secara positif dapat mempengaruhi dan menciptakan, menerapkan serta menyebarkan ide-ide dan teknologi baru 17 . Pendidikan tinggi dianggap sebagai penghasil dan penyebar pengetahuan sehingga menjadi kekuatan penting yang mendorong pembangunan nasional baik, di negara berkembang maupun negara maju. Menurut Albatch terdapat empat elemen kunci globalisasi yang relevan dengan pendidikan tinggi, yaitu18 : 1. Semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat akan knowledge society/economy 2. Adanya perkembangan perjanjian-perjanjian perdagangan baru yang mencakup perdagangan jasa pendidikan. 3. Inovasi yang berhubungan dengan teknologi komunikasi dan informasi. 4. Adanya penekanan pada peranan pasar dan ekonomi pasar Selain itu menurut Jandhyala B.G. Tilak, pendidikan tinggi memiliki fungsi yang sangat penting dalam era globalisasi, yaitu 19; 1. Membantu dalam penciptaan, kemajuan, penyerapan dan penyebaran pengetahuan melalui penelitian dan pengajaran. Universitas adalah tempat 17 Philip G. Altbach & Jamil Salmi, The Road to Academic Excellence : The Making of WorldClass Research Universities, World Bank, Washington D.C., 2011, p. 1 18 UNESCO, Higher Education in a Globalized Society : UNESCO Education Position Paper, UNESCO, Paris, 2004, p. 8 19 Jandhyala B.G. Tilak, Higher Education: a Public Good or a Commodity for Trade? Commitment to Higher Education or Commitment of Higher Education to Trade, UNESCO IBE, Paris, 2009, pp. 453-454 13 pembibitan ide, inovasi dan pengembangan dan secara bertahap menjadi reservoir pengetahuan. 2. Pendidikan tinggi membantu dalam industrialisasi ekonomi yang pesat dengan menyediakan tenaga kerja yang memiliki keterampilan profesional, teknis dan manajerial. Pada saat ini konteks transformasi masyarakat adalah menjadi masyarakat pengetahuan. Pendidikan tinggi bukan hanya menyediakan pekerja yang berpendidikan, tetapi juga pekerja yang memiliki pengetahuan untuk pertumbuhan ekonomi pengetahuan. Hal ini juga membantu dalam menuai keuntungan dari adanya globalisasi. 3. Universitas adalah lembaga yang membantu dalam membangun karakter dan moral individu. Universitas menanamkan nilai-nilai, kebiasaan tertib etika dan moral dan menciptakan sikap, dan membuat perubahan sikap yang mungkin diperlukan untuk sosialisasi individu dan modernisasi serta transformasi masyarakat, dengan melindungi dan meningkatkan nilai-nilai sosial. 4. Pendidikan tinggi juga membantu dalam pembentukan sebuah negara-bangsa yang kuat, memberikan kontribusi untuk pendalaman demokrasi masyarakat, baik yang aktif berpartisipasi politik, kegiatan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sipil, dengan anggota yang memahami, menafsirkan, memelihara, meningkatkan dan mempromosikan budaya nasional, regional, internasional serta sejarah dalam konteks pluralisme budaya dan keragaman. Layanan jasa pendidikan tinggi yang semakin berkembang menuntut adanya liberalisasi yang dianggap merupakan jalan yang diambil sebagai respon atas adanya aturan dalam GATS. Liberalisasi pendidikan ditafsirkan sebagai upaya penghapusan hambatan untuk mempromosikan peningkatan pergerakan secara lintas batas pada layanan jasa pendidikan20. GATS yang mengatur aktifitas perdagangan jasa menghendaki adanya akses pasar terhadap layanan pendidikan yang disediakan oleh pihak asing yang semakin terbuka dan tanpa hambatan. Hambatan yang mungkin timbul diupayakan untuk dapat dihilangkan agar perdagangan dapat semakin meningkat dan mencakup segala sektor jasa yang 20 Jane Knight, Trade in Higher Education Services : The Implictions of GATS, The Observatory on Borderless Higher Education, London, 2002, p. 3 14 lebih luas. Pada umumnya hambatan yang ada pada perdagangan jasa tidak sekedar seperti hambatan tarif semata tetapi juga berupa aturan pemerintah terhadap penddikan tingginya. Jane Knight memberikan gambaran mengenai beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari adanya liberalisasi perdagangan pendidian tinggi yaitu, meningkatkan akses terhadap pendidikan, menghasilkan pendapatan - baik untuk negara atau swasta, termasuk di dalamnya manfaat yang dapat diraih oleh individu, lembaga dan masyarakat melalui pertukaran akademik, peningkatan lintas budaya, transfer teknologi, - penyebaran knowledge economy secara global, pengembangan tenaga kerja yang efektif dan dapat memperbaiki tingkat daya saing negara pada tataran ekonomi global21. Pengaturan jasa pendidikan dalam GATS memberikan pedoman bagi setiap negara anggota dalam menyusun proses liberalisasi pendidikannya. Liberalisasi harus dilakukan dengan tetap melakukan kontrol terhadap jaminan mutu pendidikan yang ada. Liberalisasi sebagai bagian dari respon harus mampu memberikan jaminan peningkatan kualitas pendidikan dan memberikan manfaat bagi negara di era perdagangan bebas saat ini. Dengan liberalisasi maka pendidikan tinggi diharapkan mampu mempermudah penyebaran pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi dan dapat meningkatkan daya saing bangsa dengan berbasis pengetahuan dan teknologi yang berskala global. Dengan peran penting tersebut maka pendidikan tinggi dapat menumbuhkan dan membantu membangun jaringan global di masa depan. Pada saat yang sama, pertukaran tentang ide, mahasiswa, staf pengajar dan pembiayaan yang telah melintasi batas-batas negara dan ditambah dengan dukungan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat telah mengubah lingkungan pendidikan tinggi. Hal tersebut telah membuat terjadinya peningkatan kerjasama dan kompetisi antara negara-negara dan lembaga-lembaga pendidikan dalam skala global yang lebih luas. Terjadinya peningkatan kerjasama dan kompetisi tersebut tentu saja juga akan membawa konsekuensi terhadap arah liberalisasi pendidikan 21 Jane Knight, Trade in Higher Education Services : The Implictions of GATS, The Observatory on Borderless Higher Education, pp. 11 - 12 15 tinggi yang diterapkan oleh suatu negara. Proses liberalisasi yang tepat yang ditetapkan pemerintah akan memungkinkan perguruan tinggi mendapatkan manfaat liberalisasi. Dua bentuk yang paling penting dan terlihat dari perdagangan pendidikan adalah mobilitas lintas batas dari mahasiswa dan mobilitas lintas batas kelembagaan22. Peningkatan mobilitas mahasiswa dan kelembagaan ke berbagai belahan dunia tidak lepas dari adanya berbagai model layanan jasa pendidikan tinggi telah memberikan pilihan kepada mahasiswa untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Model layanan perguruan tinggi asing sebagai bentuk dari liberalisasi menawarkan alternatif kepada mahasiswa untuk mendapatkan layanan pendidikan tinggi yang lebih beragam jenisnya. Bagi perguruan tinggi asing beberapa model layanan merupakan jalan untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas di suatu negara lain. Hal tersebut tentu saja dapat menjadikan keuntungan tersendiri dengan adanya dukungan dari pemerintah setempat. Tabel 1 memberikan gambaran mengenai karakteristik model layanan perguruan tinggi asing yang dapat memberikan alternatif kepada mahasiswa untuk mendapatkan layanan yang lebih beragam. Tabel 1. Karakteristik model layanan pendidikan tinggi asing Model Kampus cabang Double/joint degree 22 Definisi Perguruan tinggi asing mendirikan anak perusahaan baik sendiri atau bersama dengan perguruan tinggi lokal Mahasiswa Ciri-ciri Membutuhkan banyak investasi pada lahan, infrastruktur dan peralatan. Proses pembelajaran dilaksanakan langsung di kampus cabang Dibutuhkan komitmen pemerintah setempat (seperti adanya subsidi pemerintah setempat, kemudahan lahan) untuk menghindari resiko yang mungkin timbul Standar pendidikan Francoise Caillods dan N.V. Varghese, dalam Jandhyala B.G Tilak, Trade in Higher Education ; The Role of The General Agreement on Trade in Services, UNESCO, Paris, 2011, p. 9 16 melaksanakan pembelajaran yang ditawarkan perguruan tinggi pada 2 negara. Gelar dapat berupa satu gelar gabungan 2 lembaga atau 2 gelar dari masing-masing lembaga Program kembaran Mahasiswa melaksanakan pembelajaran di lembaga domestik dan sebagian dari mitra lembaga asing. Gelar diberikan oleh perguruan tinggi asing Program franchise Program pembelajaran dirancang oleh lembaga asing (franchiser) dan dilaksanakan oleh lembaga domestik (franchisee) Mahasiswa menerima gelar dari franchiser Cakupan bervariasi dari franchise “sebagian” sampai sesuai ari dari 2 lembaga Pada joint degree masing-masing lembaga bertanggung jawab terhadap perbedaan aspek pembelajaran. Pada umumnya 2 lembaga berkolaborasi satu sama lainnya agar aspek akademis dan ketrampilan serupa Kurikulum pada lembaga asing dijadikan kurikulum pada lembaga domestik selama 1 -2 tahun. Program pembelajaran biasanya sama dalam format, isi, metode evaluasi lembaga asing dengan beberapa adaptasi sesuai kebutuhan lokal. Biasanya terdapat pula pembelajaran dari dosen lembaga asing secara langsung didampingi dosen lokal Fasilitas fisik, perekrutan dosen dan staf lokal berdasarkan criteria dan standar lembaga asing Pada franchise penuh lembaga asing mendelegasikan semua kewenangan (termasuk kewenangan akademik secara penuh), meski hal ini jarang dilakukan. Yang sering dilakukan adalah franchise sebagian dimana ditentukan pembagian tanggung jawab. Franchiser melakukan 17 “penuh” Program yang divalidasi Program didirikan oleh lembaga pendidikan lokal yang telah mendapatkan “persetujuan” oleh lembaga asing setara milik asing. Program jarak jauh (e- Program pembelajaran learning) merupakan pembelajaran jarak jauh secara tradisional maupun online. Sumber : Sajitha Bashir, 2007 penilaian pada mitra lokal agar memenuhi standar kualitas minimal dan menyediakan panduan dan monitoring. Program pembelajaran adalah milik franchiser. Franchisee harus membeli untuk penggunaan silabus, materi pembelajaran, ujian dan dukungan teknis untuk staf. Kualifikasi/gelar diberikan oleh franchiser (biasanya dengan menyebutkan lokasi kampusnya) Lembaga asing menyediakan pendampingan untuk merancang dan melaksanakan program agar mendapatkan “persetujuan” dari lembaga asing tersebut Bermacam variasi dalam model pembelajaran oleh penyedia layanan dan bermacam negara. Pendidikan tinggi telah dianggap semakin penting dalam upaya untuk peningkatan daya saing ekonomi dengan menghasilkan tenaga kerja terampil dan menciptakan inovasi dan teknologi baru. Pendidikan tinggi semakin dianggap sebagai adalah alat yang ampuh untuk mobilitas sosial dan mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi. Negara-negara berkembang berupaya untuk mencapainya dengan memberikan prioritas utama pada pendidikan tinggi sebagai strategi mereka untuk percepatan pembangunan ekonomi dan juga sebagai elemen kunci penting untuk berpartisipasi pada ekonomi global. Tanpa pendidikan tinggi 18 yang semakin lebih baik, negara-negara berkembang akan semakin kesulitan untuk mendapatkan manfaat dari global knowledge based economy23. Negara-negara berkembang harus mengembangkan sistem pendidikan tingginya dengan melihat melihat tren pasar tenaga kerja regional dan global. Hal tersebut sangat penting karena umumnya saat ini telah terjadi peningkatan integrasi pada kawasan regional dan hal tersebut berkaitan erat dengan mobilitas tenaga kerja atau modal. Dalam memperluas dan restruksturisasi sistem pendidikan tingginya, negara berkembang harus mampu mengeksploitasi dan meminimalkan resiko yang mungkin timbul dari perdagangan jasa pendidikan tinggi24. Daripada memberikan hambatan bagi perdagangan yang mungkin terjadi maka lebih baik jika memberikan kerangka kebijakan yang sesuai dengan kondisi domestik yang ada. Memberikan kesempatan kepada penyedia jasa asing akan dapat mengurangi kemungkinan jumlah mahasiswa yang mencari pendidikan ke luar negeri. Dengan kata lain menghambat kehadiran komersial bagi penyedia asing juga dapat mendorong mahasiswa untuk mencari pendidikan ke luar negeri. Padahal memantau kualitas pendidikan dari luar negeri juga bukan sesuatu hal yang mudah. Pembukaan program akademik yang berwawasan internasional, mempermudah mobilitas mahasiswa, kerjasama dengan institusi pendidikan tinggi pada kawasan regional adalah beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam rangka meningkatkan layanan jasa pendidikan tinggi. Untuk itulah diperlukan liberalisasi pendidikan tinggi yang mampu memberikan jaminan kualitas sehingga mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berdaya saing sesuai tuntutan global. Dalam menghadapi perkembangan perdagangan jasa pendidikan tinggi, pemerintah negara-negara berkembang umumnya melakukan liberalisasi pada sistem pendidikannya agar institusi pendidikan tingginya mendapatkan akses lebih besar dan mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan global yang telah terjadi. Liberalisasi sebagai bagian dari respon untuk menghadapi berlakunya 23 The Task Force On Higher Education And Society, Higher Education in Developing Countries: Peril And Promise, World Bank, Washington D.C., 2000, p.9. 24 Sajitha Bashir, Trends in International Trade in Higher Education : Implications and Options for Developing Countries, World Bank,Washington D.C., 2007, p.76 19 ketentuan yang ada pada GATS melalui prinsip-prisipnya telah mendorong tiap anggota untuk mengurangi segala bentuk hambatan dalam liberalisasi pendidikan dan mendorong peningkatan partisipasi anggotanya untuk melakukan perluasan sektor jasa pendidikan yang dibuka dalam schedule of commitment. Liberalisasi dilakukan agar perguruan tinggi diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berkompetisi dan kemampuan daya saing yang tinggi agar tidak kalah bersaing dengan negara lain. Dengan kemampuan kompetisi dan daya saing yang tinggi maka diharapkan terjadi peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang menjadi tugas dan tanggung jawab utama pendidikan yang dalam hal ini salah satunya menjadi tanggung jawab perguruan tinggi. Dengan adanya liberalisasi pendidikan tinggi maka sivitas akademika dapat memperoleh kesadaran yang lebih besar terhadap isu-isu global dan bagaimana sistem pendidikan beroperasi di berbagai negara dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda. Dengan kebutuhan pasar tenaga kerja yang saat ini membutuhkan lulusan yang memiliki wawasan internasional, kemampuan bahasa asing dan keterampilan lintas budaya untuk dapat berinteraksi dalam lingkungan global maka pedidikan tinggi menempatkan liberalisasi sebagai sesuatu yang semakin penting. E. Argumen Utama Berdasarkan kerangka pemikiran maka penulis memiliki argumen utama bahwa globalisasi yang telah mendorong terciptanya sistem perdagangan jasa melalui GATS telah memberikan implikasi pada pendidikan tinggi melalui semakin berkembangnya perdagangan jasa pendidikan tinggi dan semakin berkembangnya bentuk (mode) pelayanan jasa pendidikan tinggi. Perkembangan perdagangan pendidikan tersebut telah mendorong negara-negara dengan sistem pendidikan yang kuat berusaha mendapatkan manfaat dari sektor tersebut. Ekspor pendidikan tinggi bagi negara tersebut telah menjadikan pendidikan tinggi menjadi salah satu sumber penerimaan bagi negara. Berkembangnya liberalisasi perdagangan jasa pendidikan tinggi dan bentuk pelayanannya telah membuat adanya tren dalam perdagangan jasa pendidikan tinggi dan menuntut kesiapan sistem pendidikan tinggi suatu negara 20 untuk menghadapinya, termasuk di dalamnya adalah bagi negara berkembang seperti Indonesia dengan melaksanakan liberalisasi sesuai kondisi yang ada. Liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia harus memperhitungkan keberadaan dan kesiapan sistem pendidikan tinggi sehingga institusi perguruan tinggi akan memiliki kesempatan dalam melaksanakan layanan jasa pendidikan tinggi. Keberadaan perguruan tinggi di Indonesia dengan sumberdaya yang belum seluruhnya mampu bersaing pada tataran global mengharuskan pemerintah menerapkan aturan yang melindungi keberadaan perguruan tinggi tersebut, termasuk yang berkaitan dengan keberadaan perguruan tinggi swasta. Liberalisasi yang mendorong kemudahan untuk mendapatkan akses terhadap pendidikan berdimensi internasional dapat dijadikan satu pilihan sebagai respon atas perkembangan dunia pendidikan tinggi secara global dan juga sebagai upaya agar perguruan tinggi di Indonesia dapat mempersiapkan sebaik mungkin atas makin berkembangnya perdagangan jasa pendidikan tinggi sebagai implikasi dari pelaksanaan GATS. Liberalisasi sebagai upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang mungkin timbul atas adanya perdagangan jasa pendidikan tinggi harus tetap memberikan jaminan mutu pendidikan sehingga dibutuhkan dukungan implementasi dalam tataran praktis sehingga sesuai dengan tuntutan global. Prioritas liberalisasi di Indonesia dilakukan di dalam negeri sebagai upaya meningkatkan akses mahasiswa Indonesia untuk memperoleh pendidikan berdimensi global. Kemudahan pembukaan program pendidikan bagi penyedia asing, kemudahan aturan kerjasama perguruan tinggi merupakan upaya untuk mempermudah transfer pengetahuan bagi institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Liberalisasi perdagangan jasa pendidikan tinggi tersebut juga perlu dicermati dengan tangan terbuka serta tetap berhati-hati dan diperhitungkan secara matang agar tidak menimbulkan kerugian tetapi mendapatkan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, pembangunan sosial dan ekonomi serta masa depan bangsa. 21 F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang akan dilakukan dengan dua cara yakni, Pertama, studi kepustakaan (library research) untuk mendapatkan referensi penelitian yang diolah melalui buku-buku, majalah, jurnal berkala, brosur, laporan institusi terkait misalnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, situs internet dan berbagai sumber yang relevan dan mendukung dengan pokok pembahasan yang ada di dalam penelitian. Kedua, wawancara. Wawancara akan dilakukan dengan bertemu dengan narasumber secara langsung jika memungkinkan ataupun juga melalui surat elektronik (email). Dalam hal ini wawancara akan dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait dalam layanan pendidikan tinggi dalam menghadapi perdagangan jasa pendidikan tinggi tersebut. G. Metode Analisis Analisis data yang digunakan adalah kualitatif, dimana data yang telah diperoleh dari dokumen-dokumen akan dianalisis secara cermat dan mendalam. Permasalahan digambarkan berdasar fakta-fakta yang ada kemudian dihubungkan antara fakta yang satu dengan yang lainnya. Data yang ada dianalisis dan dimaknai dengan cermat untuk kepentingan interpretasi data sekaligus dalam upaya menarik kesimpulan. Analisis data dilakukan secara terus menerus semenjak data awal dikumpulkan sampai penelitian berakhir. Penafsiran data untuk menarik kesimpulan dilakukan dengan mengacu kepada konsep sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya. H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bab pertama berisi tentang pengantar yang meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, argumen utama, metode penelitian, metode analisis dan sistematika penulisan. Bab kedua akan membahas tentang perdagangan jasa menurut GATS yang berisi tentang model dan sektor perdagangan menurut GATS, prinsip-prinsip GATS dan implikasi GATS bagi negara berkembang. Bab ketiga akan membahas tentang perdagangan jasa 22 pendidikan tinggi yang berisi tentang GATS dan perdagangan jasa pendidikan tinggi, politik ekonomi perdagangan jasa pendidikan tinggi. Bab keempat akan membahas mengenai GATS dan liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia yang berisi tentang gambaran umum pendidikan tinggi di Indonesia, kebijakan dan komitmen pendidikan tinggi Indonesia pada GATS. Sebagai penutup, bab keempat akan menyimpulkan seluruh pembahasan. 23