1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sebagai salah satu media hiburan yang diminati oleh khalayak umum, novel
dianggap mampu mencerminkan kondisi masyarakat dari berbagai kurun waktu
dan zaman. Lukacs (dalam Endraswara, 2011:89) menegaskan bahwa sebuah
novel tidak hanya mencerminkan suatu realitas secara mendasar, namun juga
memberikan sebuah gambaran dan refleksi realitas yang lebih besar, lebih
lengkap,
lebih
hidup,
dan
lebih
dinamis
kepada
masyarakat.
Novel
merupakan salah satu bentuk media massa yang memiliki kekuatan untuk
membentuk sebuah gambaran atau wacana realitas melalui narasi yang disajikan.
Berdasarkan karakteristiknya, media massa secara pasti mempengaruhi pemikiran
dan tindakan khalayak. Media membentuk opini publik dan membawanya pada
perubahan yang signifikan. Mc Luhan mengemukakan bahwa media adalah pesan
itu sendiri. Pesan bukan hanya pada kontennya saja, melainkan juga pada
perubahan yang dihasilkan oleh media tersebut. Oleh karena itu, media dalam
bentuk apa saja dapat memengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bertingkah laku
melalui pesan yang dikandungnya. Pada hakikatnya, novel mampu menggiring
sudut pandang dan pikiran khalayak pembaca atas konstruksi makna maupun
realitas yang dibentuk di dalamnya.
Bahasa menjadi alat untuk menunjukkan struktur hierarki kekuasaan dan
menetapkan konsep-konsep atas kebenaran, tatanan, dan realitas dalam sebuah
karya novel (Aschroft dalam Wita, 2013). Selain membentuk wacana publik,
nilai-nilai tertentu juga dapat disosialisasikan ke dalam masyarakat melalui narasi
novel (Shoemaker, 2012). Bisa dikatakan novel merupakan sebuah upaya penulis
dalam menyampaikan nilai-nilai tertentu yang dimiliki dan diyakini oleh penulis
kepada masyarakat luas terutama target pembacanya. Dengan sifat novel yang
luwes, nilai-nilai yang semula bersifat kaku dan memaksa dapat menyusup secara
fleksibel sehingga terkesan tidak menggurui. Tanpa memaksa, pembaca dengan
1
suka rela mengonsumsi nilai-nilai tersebut bersamaan dengan hiburan yang
mereka dapatkan. Nilai-nilai yang berusaha ditanamkan oleh para penulis novel
dapat bermacam-macam jenisnya. Nilai-nilai tersebut berupa sebuah makna
ataupun hal-hal yang bisa dijadikan acuan pemikiran dan perilaku hidup dalam
kehidupan sehari-hari seperti nilai sosial, nilai keagamaan, nilai moral dan hukum,
nilai pendidikan, atau nilai budaya. Karena sifatnya yang dapat mencerminkan
kondisi masyarakat pada masanya, sebagian besar novel membawa nilai budaya di
dalamnya. Menariknya, nilai-nilai budaya yang bergesekan dengan gender,
terutama laki-laki, masih menjadi perhatian utama masyarakat Indonesia dari dulu
hingga sekarang. Maka tidak heran apabila ada banyak novel yang membawa
nilai-nilai yang membahas laki-laki di dalamnya.
Gambaran mengenai laki-laki yang ditampilkan dalam novel dapat terlihat
dalam novel Lupus yang sempat digilai para pembaca wanita di era 1980-an.
Dalam novel tersebut, tokoh laki-laki yakni Lupus direpresentasikan sebagai
sosok yang cerdas, kreatif, sangat mandiri, dari golongan ekonomi biasa, dan
pandai bergaul. Sosok laki-laki yang seperti itulah yang kemudian diidolakan para
pembaca pada kalanya, yang lalu diimplementasikan ke kehidupan sehari-hari
dalam memandang sosok laki-laki ideal. Konsep laki-laki yang diharapkan
menjadi konsep seragam dalam masyarakat tersebut menjadi nilai budaya yang
berusaha ditanamkan ke dalam pikiran pembaca dengan menunjukkan bahwa lakilaki sungguhan adalah laki-laki yang memiliki sifat dan tingkah laku seperti
Lupus.
Setelah tahun 2000-an, novel yang banyak menceritakan kehidupan remaja
telah dikategorisasikan ke dalam teenlit. Konteks kehidupan remaja pada novel
remaja sebelum tahun 2000 dan novel teenlit jelas berbeda, terlebih disebabkan
oleh kognisi penulis yang terpengaruh oleh kondisi masyarakat dan sistem yang
berlaku di sekitarnya. Namun sama halnya dengan novel Lupus, novel teenlit
Dilan yang sangat digandrungi para remaja saat ini juga masih sarat akan nilai
yang berhubungan dengan kelaki-lakian, hanya saja dengan pendekatan dan
konteks yang berbeda. Tokoh Dilan dengan peran protagonisnya dapat disebut
2
sebagai representasi lelaki yang diidamkan bahkan diinginkan oleh pembaca.
Seperti yang terlansir pada blog pribadi Fahreza (2016), ia memaknai konsep
lelaki yang diinginkan wanita saat ini adalah laki-laki yang humoris, gigih, jujur
akan perasaannya, berprinsip dan berani, seperti Dilan. Selain dipuja oleh
pembaca wanita, bisa dikatakan tokoh Dilan juga dianggap sebagai role model
pembaca laki-laki. Terbukti ada beberapa komentar pembaca laki-laki di media
sosial twitter, salah satunya dikemukakan oleh seorang pria bernama Insan
Basajan, “Hampir saja ku jatuh dalam peluknya. Andai ku tak ingat dia pria, sama
sepertiku. Oh Dilan!”
Pada mulanya, dari generasi ke generasi sifat-sifat yang lekat pada laki-laki
seperti laki-laki pantang menangis, tidak boleh lemah, dan sebagainya terus dijaga
agar tidak punah, ataupun mengalah dengan sifat feminin. Maka menjadi suatu
persoalan bagi penjaga trah maskulinitas ketika melihat bentuk laki-laki baru yang
mempertipis jarak antara sifat yang laki-laki dan perempuan. Bergesernya
maskulinitas ke sisi feminin menimbulkan suatu kekhawatiran bagi masyarakat
umum yang mengasumsikan setiap manusia dilahirkan sebagai seorang cisgender,
dan maskulinitas harus dijaga untuk melanggengkan kuasa laki laki di atas
perempuan. Masyarakat terus berupaya menjaga konsep laki-laki yang sesuai
dengan nilai budaya yang telah lama mereka yakini dengan menanamkannya
dalam level basis kehidupan individu. Orang tua akan berupaya melatih anak lakilakinya untuk melakukan hal hal yang dianggap laki laki. Transfer tersebut
dilakukan dengan jalan memberikan laki laki permainan yang cenderung bersifat
dikonsumsi untuk publik. Hal ini menjadi alasan mengapa laki laki superior
karena bahkan dalam level permainan mereka disuguhkan dengan pola yang
sifatnya lebih publik, contohnya sepakbola. Permainan yang dilakukan oleh laki
laki juga lebih banyak menggunakan otot, agar laki laki tetap nampak lebih kuat
secara fisik dibanding perempuan.
Dampaknya, konsep yang bersifat publik tersebut telah terhegemoni di
masyarakat terutama pada generasi-generasi muda. Meski demikian, kini konsep
laki-laki yang dihasilkan oleh budaya patriarki mulai ditinggalkan, digantikan
3
dengan konsep lelaki yang muncul setelah maraknya gerakan feminisme. Sosok
laki-laki bukan lagi dinilai sekadar perkara fisik, melainkan juga dilihat dari sifat,
dan sikap laki-laki terhadap orang lain. Masyarakat menilai laki-laki dengan
melihat segala aspek terutama tingkah laku (attitude). Perlakuan laki-laki terhadap
perempuan menjadi dasar penilaian atas laki-laki yang “benar” di mata
masyarakat. Konsep baru tersebut kemudian ditransferkan di berbagai media yang
bersinggungan dengan kehidupan manusia. Dengan kekuatannya
dalam
membentuk sebuah konstruksi realitas yang baru, media menjadi suatu wadah
yang cukup efektif dengan menempatkan citra laki-laki yang dianggap sesuai,
termasuk di dalam novel.
Selama ini novel di Indonesia masih didominasi dengan novel bertemakan
romansa atau percintaan, tema yang umumnya disukai oleh remaja terutama kaum
hawa. Menurut data statistik IKAPI tahun 2015, dari 33.199.557 buku yang terjual
selama tahun 2013, kategori fiksi populer menyumbang penjualan sebanyak 13%.
Dari jumlah tersebut, menurut data bulan Oktober 2016 salah satu toko buku
terbesar di Indonesia, yakni Gramedia, penjualan terbanyak dipegang oleh novelnovel bertema romansa seperti The Architecture of Love, Milea – Suara dari
Dilan, dan Love is. Selain dapat diketahui bahwa buku fiksi populer (novel)
merupakan salah satu kategori yang diminati para pembaca buku di Indonesia,
kebanyakan novel-novel yang laris di pasaran mengadopsi tema yang secara
spesifik menyasar pangsa perempuan. Pasar perempuan begitu besar karena
perempuan menyukai hal-hal melankolis yang menimbulkan utopis-utopis dalam
diri mereka. Penggunaan tokoh utama laki-laki dalam novel pun menjadi salah
satu faktor utama yang mampu memikat minat baca perempuan.
Saat ini, kehadiran novel seri Dilan yang populer di kalangan remaja
perempuan, dapat dikatakan menjadi pintu masuk ide-ide mengenai sosok lakilaki yang ideal. Idealisme laki-laki memang kerap dicari oleh remaja perempuan
dalam masa-masa transisi. Dari beberapa segmentasi khalayak, umumnya
memang pasar remaja menjadi sasaran utama media massa. Hal itu karena masa
remaja dianggap sebagai tahap di mana individu sedang mencari identitas diri
4
sehingga mudah dipengaruhi dari luar. Sebagian besar remaja mencari segala
informasi tentang berbagai hal melalui media di ruang lingkupnya, sehingga
media massa sering diposisikan sebagai sumber informasi akan gaya hidup, cara
bergaul, gaya bicara, dan berpenampilan (Widyastuti, 2006). Ashadi Siregar
(2008) mengatakan bahwa setiap media massa yang spesifik ditujukan pada
khalayak remaja pada dasarnya adalah indikator dari pemikiran, nilai, dan juga
cara pandang para remaja dalam masyarakat. Oleh karena itu, media yang
ditujukan untuk pasar remaja cenderung laris manis dan menjadi rujukan bagi
anak-anak maupun remaja untuk memperoleh informasi mengenai posisi-posisi
sosial (Hurlock, 1999). Pasar remaja adalah pasar yang terus dibidik oleh media
massa, dengan tujuan untuk mentransmisikan asumsi-asumsi ideologis tertentu
terkait dengan realitas sosial, tidak hanya menyajikan hiburan dan gambaran
tentang dunia.
Dilan merupakan tokoh dalam novel seri Dilan karya Pidi Baiq, yang
diterbitkan pertama kali pada tahun 2014, edisi kedua pada tahun 2015, serta edisi
terakhir pada tahun 2016. Kehadiran novel ini cukup fenomenal, mengingat hanya
dalam hitungan tiga bulan novel Dilan edisi pertama sudah naik cetak sebanyak
tiga kali. Selain itu, novel Dilan selalu ada dalam jajaran buku terlaris di setiap
toko buku. Banyak pula yang memberi tanggapan positif melalui review yang
beredar di dunia maya. Bagi setiap pembaca terutama wanita yang sudah
membaca novel ini, mungkin akan berpikir betapa beruntungnya sosok Milea
karena dipertemukan dengan pria unik bernama Dilan. Pidi Baiq seakan mencoba
menawarkan ide mengenai laki-laki melalui sosok Dilan, seperti laki-laki tidak
harus romantis yang setiap kali memberikan bunga kepada perempuan, tetapi
dengan hal-hal kecil namun unik yang dilakukan oleh Dilan seperti kenekatannya
datang ke rumah Milea setelah pertama kali bertemu, meminta tetangga Milea
melalui surat untuk menjaga Milea, membuat perjanjian di atas materai bahwa
mereka resmi berpacaran, dan banyak hal lainnya. Tingkah laku unik Dilan seolah
memancarkan pesona laki-laki yang dapat membuat pembaca turut tertarik pada
tokoh Dilan, bahkan jatuh cinta pada tokoh fiksi itu.
5
“Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore.
Tunggu saja.” – Dilan
“Milea, jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu, nanti, besoknya,
orang itu akan hilang.” – Dilan
"Kamu tahu caranya supaya aku nangis? Menghilanglah kamu dari bumi." – Dilan
Kutipan-kutipan gombal tersebut diambil dari novel Dilan, Dia adalah
Dilanku tahun 1990. Rayuan-rayuan tokoh Dilan kepada Milea yang nyentrik
mampu membuat pembaca terpesona dan larut dalam alur cerita.
Jauh sebelum adanya Dilan, wacana mengenai lelaki yang ideal sudah lebih
dulu ditampilkan melalui tokoh-tokoh protagonis dalam cerita Lupus dan Ali
Topan. Dengan wacana yang tidak bergeser jauh, sosok lelaki yang
direpresentasikan oleh Lupus dan Ali Topan juga ada pada sosok Dilan. Dilan,
dalam cerita ini, adalah sosok cowok remaja kelas dua SMA yang memiliki
karakter diri yang otentik. Ada sosok Ali Topan pada diri Dilan yang merupakan
anggota geng motor, menjadi salah satu pentolan sekolah yang sangat pintar. Dia
selalu juara satu di kelasnya. Pemberontak namun cerdas dan punya jiwa
revolusioner. Ada pula sosok Lupus dalam diri Dilan yang humoris, jahil, dan
memiliki tingkah laku yang unik. Penonjolan karakter Dilan dalam novel ini
sebagai sesosok laki-laki memunculkan dugaan ada suatu konsep atau makna
yang dikonstruksi di dalam novel ini, dalam hal ini adalah mengenai sosok lakilaki.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka terbentuklah sebuah
rumusan masalah yakni:
Bagaimana wacana mengenai lelaki digambarkan di dalam novel seri Dilan
karya Pidi Baiq?
6
C.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini antara lain:
1. Memberikan gambaran mengenai wacana laki-laki dalam novel
Indonesia khususnya dalam novel seri Dilan karya Pidi Baiq.
2. Memberikan penjelasan sebagai hasil analisis bagaimana pesan pada
teks/naskah novel disampaikan hingga dapat terlihat makna yang
tersembunyi, dalam hal ini mengenai konsep laki-laki.
D.
MANFAAT PENELITIAN
Dalam pelaksanaannya, penelitian ini diharapkan memiliki manfaat:
1.
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi konstribusi
terhadap perkembangan studi komunikasi dalam kaitannya dengan
studi mengenai analisis teks media (novel) terutama dengan
menggunakan analisis isi kualitatif.
2.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menunjukkan
bagaimana media novel dapat membentuk atau menciptakan suatu
konsep terutama mengenai laki-laki pada novel populer Indonesia.
E.
KERANGKA PEMIKIRAN
1.
Novel sebagai Media Hiburan
Hiburan menjadi salah satu aspek yang penting bagi kehidupan
manusia yang bisa didapatkan dari berbagai macam cara dan media hiburan.
Media hiburan yang paling populer saat ini biasanya yang dapat menyajikan
format audio visual seperti program televisi, atau film. Namun, tidak dapat
dipungkiri novel menjadi salah satu media hiburan yang paling tua sebelum
adanya teknologi-teknologi tersebut. Novel merupakan media hiburan yang
bergerak bersama dengan waktu, mengalami perkembangan dari masa ke
masa dan menyesuaikan dengan keadaan zamannya.
7
Novel merupakan sebuah teks naratif yang menceritakan kisah dan
menggambarkan suatu kondisi atau refleksi kehidupan nyata. Menurut
Hudson (1979:132), segala bentuk karya sastra termasuk novel adalah anak
pada zamannya, di mana karya tersebut menggambarkan keadaan, corak,
cita-cita, aspirasi, dan perilaku masyarakatnya, yang merupakan interpretasi
atas kehidupan sesuai dengan masa-masa eksistensi karya sastra tersebut.
Novel merupakan pengolahan masalah-masalah sosial yang muncul di
masyarakat oleh para sastrawan (Hardjana, 1989: 71). Melalui refleksi,
dengan mengerahkan daya kreasi dan imajinasinya, kehidupan sosial budaya
yang berkembang dan dialami oleh sastrawan diekspresikan dalam bentuk
karya sastra sesuai dengan latar belakang dan ideologinya. Berbagai
pendapat
dan
pandangan
sastrawan
yang
berbeda-beda
melalui
kesusasteraan, merupakan refleksi aspek kehidupan dari berbagai sudut.
Itulah sebabnya sastrawan maupun novelis Indonesia sering mengupas
masalah-masalah sosial yang sangat aktual dihadapi mereka dan zamannya,
salah satunya yang paling populer adalah masalah sosial keagamaan
(Sumardjo, 1979: vii).
Pada mulanya, novel merupakan sebuah sarana hiburan bagi para elite
dan beberapa kaum menengah pada tahun 1900-an. Topik yang diangkat
tidak jauh dari gurau candaan, ataupun hal-hal yang sedikit utopis yang
jarang terjadi di kehidupan realita. Kemudian novel berkembang menjadi
alat bagi seseorang untuk menyalurkan ide-ide atau pesan yang ingin
disampaikan kepada orang lain. Tidak lagi hanya sebagai hiburan, atau
refleksi gambaran permasalahan yang ada di zaman penulis, novel juga
menjadi salah satu bentuk komunikasi massa, di mana suatu pesan
disampaikan oleh satu atau beberapa orang kepada khalayak banyak. Di
dalam hiburan yang ditawarkan, ada unsur-unsur dan makna yang ingin
disampaikan penulis terhadap pembacanya. Pengarang melakukan proses
produksi pesan melalui novel sebagai medianya. Oleh sebab itu, novel dapat
8
digolongkan sebagai sebuah media massa seperti media cetak yang di
dalamnya ada transaksi penyampaian informasi bagi pembacanya.
Novel menjadi sebuah media yang memiliki fungsi hiburan namun
tidak terelakkan pula dari fungsinya sebagai media komunikasi pada
umumnya yaitu, menyiarkan informasi (to inform), dan mendidik (to
educate). Selain itu ada beberapa ahli yang menambahkan fungsi lain
terhahap fungsi media massa ini, seperti fungsi mempengaruhi (to
influence), fungsi membimbing (to guide) dan juga fungsi mengritik (to
criticise) (Effendy, 2004: 54). Novel dapat menjadi media komunikasi
persuasif yang baik, tentunya dapat dilihat dari peran penulis (komunikator)
dalam mengelola pesan yang disampaikan sedemikian rupa kepada pembaca
(komunikan) dan menjalankan fungsinya dengan baik sehingga dapat
menimbulkan sebuah pengaruh.
Novel merupakan sebuah bentuk media hiburan yang mampu
memberikan pandangan-pandangan lain yang berpengaruh besar pada
masyarakat melalui hiburan yang ditawarkan. Menjalani salah satu
fungsinya, media dijadikan sebagai sumber informasi oleh masyarakat yang
kemudian digunakan sebagai dasar ideologinya. Begitu halnya dengan
novel, pesan yang ada di dalamnya mampu membentuk persepsi masyarakat
dalam memandang fenomena di kehidupan. Meskipun menjadi sebuah
media hiburan, posisi novel dapat disejajarkan dengan sumber informasi
atau pengetahuan lain. Informasi tersebut dapat berupa nilai-nilai moral,
pesan-pesan tertentu, yang mendorong pola pikir masyarakat.
2.
Konstruksi Realitas pada Novel
Berkenaan dengan praktik komunikasi, saat ini masyarakat dan
khususnya para pelaku komunikasi dari media massa cenderung mengemas
pesan-pesan yang mereka sampaikan demi memeroleh tujuan-tujuan dan
kepentingan-kepentingan
mereka.
Tidak
lagi
sekedar
membuat,
menampilkan, dan mengirimkan pesan berdasarkan apa yang diinginkannya,
9
tetapi pesan tersebut juga dirancang yang berlandaskan oleh tujuan tertentu
sekaligus menyampaikannya ke khalayak luas melalui cara-cara yang sangat
persuasif. Dalam konteks ini, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa novel merupakan salah satu media komunikasi, juga memuat suatu
wacana tertentu. Diyakini bahwa kesadaran akan wacana bukan saja berada
di pihak yang memproduksi pesan yakni penulis, tetapi juga di pihak yang
menerima pesan atau pembaca.
Dalam pandangan konstruksi realitas, proses penyampaian pesan
dilakukan dalam rangka menciptakan “makna baru” atau “kenyataan kedua”
melalui pembentukan sebuah konsep sebagai “pengganti” yang bermaksud
untuk menggeser realitas atau kenyataan pertama (Hamad, 2005). Realitas
pertama cenderung objektif dan dianggap benar sesuai dengan norma yang
sudah lama berlaku di masyarakat. Kemudian realitas tersebut diolah
sedemikian rupa dengan dipegaruhi oleh kognisi konstruktor, sistem yang
berlaku, dan situasi di masyarakat menjadi sebuah realitas baru yang
terkadang bersifat lebih subjektif. Realitas tersebut kemudian menghasilkan
makna yang ditawarkan pada khalayak luas, yang kemudian memengaruhi
pandangan mereka terhadap kehidupan. Dalam produksi novel, praktik
konstruksi realitas terjadi dengan pendekatan yang persuasif sehingga
menghasilkan makna atau kenyataan kedua yang dapat berupa nilai,
pandangan, maupun konsep baru yang bersifat positif maupun negatif
namun diterima baik oleh masyarakat.
Pada dasarnya, karya fiksi novel merupakan sebuah praktik sosial.
Artinya, di balik rangkaian kata hingga paragraf tersebut terdapat tujuan dan
kepentingan tertentu yang merujuk pada proses konstruksi sebuah realitas.
Althusser (dalam Storey, 1993:110-113) mengatakan bahwa teks sastra
merupakan sebuah perubahan bentuk dari proses tawar-menawar kehidupan
individual dengan kehidupan sosial yang terjadi secara imajiner. Dapat
dikatakan bahwa terciptanya novel merupakan sebuah penawaran persepsi
atau ideologi yang dimiliki oleh penulis kepada pembaca. Penulisan fiksi
10
memiliki tujuan kepentingan bagi dirinya atau kelompoknya. Itulah
sebabnya dalam setiap karya sastra ada yang dikedepankan, ditonjolkan,
tetapi sebaliknya ada pula yang disembunyikan. Pun tidak menutup
kemungkinan bahwa sebuah teks sedang berusaha memobilisasikan makna
sesuai dengan sudut pandang kepentingan tertentu sebagai bias dari proses
hegemonis yang dikonstruksi oleh negara.
Menurut Salam (2002), wacana-wacana yang dikonstruksi dan
ditawarkan dalam novel-novel di Indonesia cukup ektrem. Wacana di dalam
novel-novel tersebut hanya melegitimasi hal-hal yang dianggap sebagai
kebenaran versi masyarakat kelas atas. Imbasnya, novel hanya menawarkan
dan menjual mimpi, khayalan, ilusi yang berbeda dengan realitas
sebenarnya pada pembaca menengah ke bawah. Masyarakat dieksploitasi
dengan cara diberikan teks yang sesuai dengan selera mereka untuk
keuntungan dan kepentingan pemilik modal. Bahkan terkadang para penulis
tidak lebih sebagai “buruh” saja.
Di balik itu semua, kuatnya hegemoni negara dalam mengonstruksi
aturan main tertentu, menempatkan novel populer dalam posisi tertentu.
Novel dengan sengaja dibiarkan oleh negara, bukan saja karena wacana
yang diangkat tidak mengganggu keberlangsungan pemerintahan dan
hukum yang berlaku, namun juga karena novel memberikan hiburan ringan
kepada masyarakat luas agar “melupakan” realitas yang sesungguhnya.
Adanya novel populer tidak membuat masyarakat berpikir dan bersikap
kritis. Meskipun ada yang bersikap kritis, hal itu tidak lebih sebagai
anggapan atau persepsi pribadi yang dipegang sendiri.
3.
Laki-Laki dari Masa ke Masa
Konsep laki-laki dapat dikatakan berhimpitan dengan konsep
maskulinitas yang menurut Sugono (2008: 884) berarti kejantanan seorang
laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksualnya. Sementara itu, Moi
(dalam Prabasmoro, 2006: 23) berpendapat bahwa femininitas adalah suatu
11
rangkaian karakteristik yang didefinisikan secara kultural. Namun,
Prabasmoro menambahkan bahwa apa yang dianggap “feminin” bergantung
pada siapa yang mendefinisikannya, tempat orang-orang itu berada, dan apa
yang telah memengaruhi hidup mereka. Hal ini juga berlaku pada
maskulinitas.
Konsep kelaki-lakian terus dibentuk melalui sebuah kebudayaan
(Barker, 2004). Seperti halnya konsep laki-laki dalam budaya timur
contohnya di Indonesia dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Ketika
seorang laki-laki lahir ke dunia, maka dia langsung dibebankan beragam
norma, aturan, dan berbagai atribut budaya melalui media dan sarana seperti
agama, pola asuh, jenis permainan, tayangan televisi, bahkan buku bacaan.
Media-media yang sangat lekat dalam diri seseorang pada masa kecil
tersebut dipisahkan menurut “gender” yang sesuai dengan norma di
masyarakat. Hal-hal sepele semacam itu terjadi sehari-hari selama berpuluhpuluh tahun yang bersumber dari norma budaya kemudian membentuk suatu
pencitraan diri dalam kehidupan seorang laki-laki.
Pencitraan diri tersebut telah diturunkan dari generasi ke generasi,
melalui mekanisme pewarisan budaya hingga menjadi suatu kewajiban yang
harus dijalani jika ingin dianggap sebagai laki-laki sejati. Aturan umum
yang tidak tertulis yang mengatakan bahwa laki-laki sejati pantang untuk
menangis, harus tampak tegar, kuat, pemberani, garang, serta berotot. Lakilaki hebat adalah yang mampu menaklukkan hati banyak perempuan
sehingga mendorong adanya praktik poligami. Sebaliknya, ada pendapat
yang mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi figur pelindung atau
pengayom wanita. Ada pula anggapan bahwa laki-laki itu identik dengan
rokok, alkohol dan kekerasan (Donaldson, 1993: 1). Dalam kehidupan sosial
tradisional seperti itu, laki-laki dianggap gagal jika dirinya tidak memenuhi
ekspektasi masyarakat.
12
Banyaknya laki-laki yang sering terlibat perkelahian baik secara
individu maupun kelompok, dan juga kekerasan terhadap perempuan, tindak
kriminalitas, kerusuhan berujung pada anggapan bahwa perilaku-perilaku
tersebut sangat umum dilakukan oleh kaum laki-laki. Dikatakan umum
karena dilihat dari kuantitas para pelakunya yang memang lebih banyak
dilakukan oleh lelaki. Anggapan “umum” tersebut terkadang membuat
masyarakat lebih toleran jika laki-laki melakukan beberapa tindakan
tersebut sehingga tidak memberikan perhatian secara khusus dan sanksi
norma maupun hukum menjadi tidak jelas. Karena itu, masyarakat
cenderung membiarkan saja apabila menemukan kasus kriminal atau
kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki.
Segala anggapan, persepsi, dan toleransi terhadap laki-laki tersebut
bermula dari budaya yang ditanamkan sejak kecil, secara terus menerus, dan
sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Di mana pun konsep lakilaki tersebut sama, karena biasanya terasosiasi dengan kepentingan citra
industialisasi, kekuatan militer, dan peran sosial gender yang masih
konvensional dalam suatu negara atau wilayah. Maksudnya, bahwa dengan
menimbang atas kebutuhan-kebutuhan tersebut, laki-laki harus pintar, kuat
secara fisik, agresif secara seksual, logis, dan condong memiliki sifat
kepemimpinan.
Konsep
laki-laki
sendiri
sebenarnya
dinamis,
mengalami
perkembangan dari masa ke masa. Seperti yang dikemukakan oleh Beynon
(2002), sosok laki-laki yang ideal sebelum tahun 1980-an adalah figur lakilaki kelas pekerja dengan bentuk tubuh dan perilakunya sebagai dominator,
terutama atas perempuan. Konsep laki-laki pada era ini merupakan bias dari
awal industrialisasi pada masa itu, di mana laki-laki banyak yang bekerja
sebagai buruh baja. Laki-laki dianggap sebagai sosok yang bertanggung
jawab atas keluarga, dan mampu memimpin perempuan serta pembuat
keputusan utama. Bahkan dalam kebudayaan Jawa, seorang laki-laki
dikatakan sukses jika berhasil memiliki garwo (istri), bondo (harta),
13
turonggo (kendaraan), kukilo (burung peliharaan), dan pusoko (senjata atau
kesaktian) (Osella, 2000: 120).
Pada tahun 1980-an, konsep laki-laki mengalami pergeseran dari era
sebelumnya. Masyarakat memandang laki-laki tidak lagi harus bekerja
dengan alat-alat berat, dan memandang laki-laki sebagai new man. Beynon
(dalam Nasir, 2007: 3) menerangkan dua buah konsep kelaki-lakian pada
dekade 80-an itu yakni new man as nurturer dan new man as narcissist.
Konsep new man as nurturer merupakan dukungan terhadap feminisme.
Laki-laki menganggap bahwa mereka pun bisa menjalani sifat alamiahnya
seperti perempuan sebagai makhluk yang mempunyai rasa perhatian.
Misalnya, laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak untuk
mengurus anak. Keinginan laki-laki untuk menyokong gerakan perempuan
juga melibatkan peran penuh laki-laki dalam lingkup domestik. Kelompok
ini biasanya berasal dari kelas menengah, berpendidikan baik, dan
intelek (Beynon, dalam Nasir, 2007: 3).
New man as narcissist berkaitan dengan komersialisme terhadap lakilaki dan konsumerisme semenjak akhir Perang Dunia II. New man as
narcissist adalah anak-anak dari generasi zaman hippies (tahun 60-an) yang
tertarik pada pakaian dan musik pop. Banyak produk-produk komersil
untuk
laki-laki
yang bermunculan. Bahkan, laki-laki yang dijadikan
sebagai objek seksual menjadi bisnis yang amat luar biasa. Di sini, laki-laki
menunjukkan dirinya dengan gaya hidup yuppies yang flamboyan dan high
class. Laki-laki semakin suka memanjakan dirinya dengan produkproduk komersial yang membuatnya tampak sukses. Properti, mobil,
pakaian, merupakan wujud
dominan
dalam
gaya
hidup ini. Kaum
maskulin yuppies ini dapat dilihat dari penampilan, cara berpakaian, juga
kendaraan mewah mereka. Kaum yuppies menganggap laki-laki pekerja
industri yang loyal dan berdedikasi pada keluarga sebagai sosok yang
ketinggalan zaman.
14
Di era tahun 1990-an, laki-laki kembali tidak peduli terhadap hal-hal
remeh temeh yang dilakukan oleh laki-laki generasi sebelumnya. Cara
berpakaian, berdandan, penampilan sudah tidak lagi dihiraukan. Laki-laki
the new lad ini kembali mengarah kepada sifat kelaki-lakian yang macho,
menyukai kekerasan, dan bergaya hidup bebas. Hidupnya berada di sekitar
sepak bola, alkohol, seks bebas, dan memainkan para wanita. Pada era ini,
kaum laki-laki lebih mementingkan waktu untuk bersenang-senang,
menikmati kehidupan yang bebas tanpa aturan.
Seiring perkembangan waktu hingga abad ke-20 ini, konsep laki-laki
yang dihasilkan oleh budaya patriarki mulai ditinggalkan, digantikan dengan
konsep yang muncul setelah maraknya gerakan feminisme. Sosok laki-laki
tidak lagi dipandang dari fisiknya saja, namun terlebih dinilai dari sifat dan
sikap laki-laki terhadap orang lain (attitude). Perlakuan laki-laki terhadap
perempuan menjadi dasar penilaian atas laki-laki yang “benar” di mata
masyarakat. Adapun muncul aliansi laki-laki yang kemudian bergerak untuk
pro feminis yakni disebut dengan laki-laki baru. Laki-laki tersebut
mendukung feminisme dan berusaha untuk mewujudkan keadilan dan
kesamaan gender (Flood, 2009). Bukan saja memperjuangkan keadilan
perempuan, mereka juga memperjuangkan hak-hak individu dari laki-laki.
Selain itu, muncul pula terminologi baru mengenai kelaki-lakian.
Adapun istilah metroseksual yakni laki-laki yang berasal dari kalangan
menengah ke atas, rajin berdandan atau memperhatikan penampilan mereka,
dan mengikuti suatu kelompok yang terpandang di masyarakat. Mereka
harus berpengetahuan luas, senang bergaul, cenderung mengutamakan gaya
hidup teratur, detail dan perfeksionis.
4.
Identitas Laki-Laki dalam Media
Identitas gender, laki-laki dan perempuan, merupakan identitas yang
begitu lekat pada manusia. Laki-laki dan perempuan terus diidentikkan
dengan berbagai macam tanda, nilai, dan norma yang dapat membedakan
15
keduanya. Identitas-identitas tersebut tentunya didasari oleh kepentingankepentingan tertentu yang ditempatkan dalam konteks tertentu pula. Bisa
saja sebuah identitas berubah maupun diubah ketika tidak sesuai dengan
suatu kondisi sosial.
Identitas laki-laki pada umumnya dikaitkan dengan konstruksi peran
yang didapatkan laki-laki dalam sistem masyarakat yang kemudian juga
meluas pada relasi yang terjadi di masyarakat. Berbicara mengenai identitas
laki-laki tidak bisa terlepas dari sosok perempuan, begitu pula sebaliknya.
Sebagaimana diketahui, hubungan laki-laki dan perempuan yang terbangun
di masyarakat selama ini mengalami sebuah ketimpangan yang disebabkan
oleh sistem patriarki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak
digambarkan sebagai hubungan dengan entitas masing-masing. Akan tetapi,
salah satu gender (laki-laki) digambarkan identitasnya dalam hubungannya
dengan perempuan, sehingga konsep laki-laki ditentukan dari konsep
mengenai gender lawan jenisnya (perempuan) (Selden, 1993:135).
Identitas laki-laki yang ada di masyarakat dapat dilihat dari bagaimana
media menampilkan identitas laki-laki itu sendiri. Menurut Halliday dan
Hasan (1979:1), wacana merupakan unit bahasa yang terikat oleh suatu
kesatuan yang bersifat semantis. Jadi, sebuah kesatuan yang bukan
dipandang dari segi bentuknya, melainkan dari segi maknanya. Oleh karena
itu, sebuah wacana, dalam hal ini mengenai identitas laki-laki, tidak selalu
harus direalisasikan dalam bentuk rangkaian kalimat-kalimat. Sebuah
wacana dapat ditemukan dalam bentuk sebuah kalimat bahkan dapat pula
berupa frasa atau kata, gambar, suara, dengan konteks dan situasi. Adapun
yang terpenting bahwa sebuah wacana harus dapat memberikan interprestasi
bermakna bagi audiens atau pembaca. Wujud dari bentuk wacana pun dapat
dilihat dalam beragam medium seperti: dalam wujud teks pada berita,
artikel, cerpen, novel; wujud ucapan pada hasil rekaman wawancara,
obrolan, pidato; wujud tindakan yakni drama, tarian, film; dan juga dalam
wujud artifact antara lain bangunan, dan fashion.
16
Media berperan besar dalam menyebarkan wacana-wacana yang telah
dikonstruksi dan menghasilkan sebuah realitas kedua. Wacana bahkan
mampu menghasilkan stereotipe yang terhegemoni dalam masyarakat,
termasuk mengenai identitas laki-laki. Dalam ranah media, jika diperhatikan
media menempatkan laki-laki sebagai gender yang perkasa, selalu menang,
tak pernah menangis, dan hanya bertanggungjawab secara publik, bukan
secara domestik. Laki-laki merupakan pemimpin dan sosok yang selalu
berada di baris depan, siap untuk melindungi orang-orang yang dianggap
lebih lemah yakni perempuan, orang tua, dan anak-anak.
Beragam bentuk media dapat menampilkan wacana-wacana, namun di
antara media massa lainnya, media televisi lebih unggul dalam hal tersebut.
Meskipun demikian, wacana identitas yang ditampilkan di televisi mampu
merepresentasikan realitas-realitas apa saja yang diterima masyarakat dan
umumnya
diterapkan
pula
pada
beragam
jenis
media.
Dengan
kemampuannya mengkonstruksi realitas secara lebih lengkap menggunakan
teknologi audio-visual, televisi mampu mendefinisikan secara lebih jelas
apa yang dimaksud dengan pria yang dianggap “normal” dan “ideal”. Sosok
laki-laki ini kerap ditampilkan melalui peran, sifat maupun fisiknya.
Terkait dengan peran, dalam beberapa film misalnya, masih
diperlihatkan bahwa ranah publik (seperti bekerja dan menjadi pemimpin)
adalah sepenuhnya milik kaum laki-laki. Sedangkan terkait dengan
idealisasi sifat laki-laki, dalam sinetron misalnya, digambarkan dalam
tokohnya yang mana seorang laki-laki merupakan sosok yang agresif, kuat,
dan selalu bisa menaklukkan hati tokoh perempuan baik yang protagonis
maupun antagonis. Sinetron seakan menawarkan satu versi laki-laki idaman:
lelaki yang dapat merebut hati dan perhatian perempuan di sekelilingnya. Ini
memperlihatkan adanya pemiskinan ragam karakter pria, sekaligus
memperkuat budaya patriarki yang ada di Indonesia.
17
Kemudian dari segi idealisasi fisik, dilihat melalui iklan produk yang
ada di pasaran, terutama iklan produk perawatan tubuh seperti sabun muka,
shampoo, parfum, membangun konsep identitas laki-laki sesuai dengan
kepentingan produknya. Laki-laki ditampilkan sebagai sosok yang berbadan
besar, berotot, dan tinggi. Dari segi wajah, laki-laki maskulin adalah lakilaki yang memiliki jenggot lebat. Memang peran iklan adalah untuk
mempersuasi khalayak agar membeli produk si pengiklan, tetapi yang jadi
masalah adalah ketika iklan-iklan produk semacam ini mempersempit
konsep laki-laki ideal dari segi fisik. Sehingga para laki-laki yang berada di
luar konsep tersebut, terdorong untuk merasa tidak nyaman atas dirinya
sendiri. Ditambah lagi dengan bumbu-bumbu cerita, seperti pada iklan yang
memperlihatkan bagaimana seorang laki-laki yang telah menggunakan
produk parfum dapat mengalihkan perhatian perempuan. Identitas laki-laki
terus dibangun secara apik seolah-olah mereka adalah sosok yang dapat
dipuja dan diimpikan oleh setiap orang.
F.
KERANGKA KONSEP
Novel menjadi salah satu media hiburan yang berkembang menjadi alat bagi
seseorang untuk menyalurkan ide-ide atau pesan yang ingin disampaikan kepada
orang lain. Dengan kata lain, novel memuat suatu makna tertentu di dalamnya.
Karena pada dasarnya, karya fiksi novel merupakan sebuah praktik sosial.
Artinya, di balik rangkaian kata hingga paragraf tersebut terdapat tujuan dan
kepentingan tertentu yang merujuk pada adanya pesan maupun makna
tersembunyi yang hendak disampaikan.
Makna yang dihasilkan dari praktik sosial yang ditawarkan dalam novel
sebagian besar hanya melegitimasi hal-hal yang dianggap sebagai kebenaran versi
masyarakat golongan atas. Oleh karena itu, novel bisa dibilang hanya
menawarkan dan menjual mimpi, khayalan, ilusi yang berbeda dengan realitas
sebenarnya pada masyarakat/pembaca yang berada di tingkatan lebih rendah.
18
Media, termasuk novel, berpengaruh besar dalam menyebarkan wacanawacana yang telah dikonstruksi dan menghasilkan sebuah realitas kedua, dalam
hal ini mengenai konsep laki-laki. Wacana yang ditanamkan bahkan mampu
menghasilkan stereotipe yang terhegemoni dalam masyarakat, termasuk gambaran
mengenai laki-laki. Konsep laki-laki pun mengalami pergeseran makna dari
zaman ke zaman. Dewasa ini, konsep laki-laki yang dihasilkan oleh budaya
patriarki mulai ditinggalkan, digantikan dengan konsep yang muncul setelah
maraknya gerakan feminisme. Kelaki-lakian tidak lagi dipandang dari fisiknya
saja, namun terlebih dinilai dari sifat dan sikap laki-laki terhadap orang lain.
Konsep tersebut mulai disebarkan dengan segala bentuk upaya transfer makna,
termasuk nilai-nilai mengenai laki-laki yang ditawarkan dalam novel agar dapat
diterima dengan baik demi menciptakan konsep laki-laki baru yang akan dianggap
sesuai oleh masyarakat.
G.
METODOLOGI PENELITIAN
1.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Rachmat Kriyantono
(2006: 56) menjelaskan riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan
fenomena dengan sedalam-dalamnya dengan menekankan persoalan
kedalaman (kualitas) data, bukan banyaknya (kuantitas) data. Selanjutnya,
penelitian ini dibantu dengan metode analisis isi kualitatif. Pendekatan
kualitatif untuk menganalisis isi berakar pada teori sastra, ilmu-ilmu sosial
(interaksionisme simbolik, etnometodologi) dan para pakar kritis. Secara
kualitatif, analisis isi dapat melibatkan suatu jenis analisis, di mana isi
komunikasi
(percakapan,
teks
tertulis,
wawancara,
fotografi,
dan
sebagainya) dikategorikan dan diklasifikasikan.
Ide utama dalam analisis isi adalah untuk memelihara keuntungan dari
analisis isi kuantitatif sebagaimana telah dikembangkan dalam ilmu
komunikasi dan untuk mentransfer dan mengembangkannya ke dalam
19
analisis kualitatif-interpretif. Objek dari analisis isi dapat berupa semua
bentuk komunikasi yang direkam (terdokumentasikan).
Menurut Krippendorff (dalam Retnoningsih, 2012: 35) analisis isi
adalah suatu metode penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang
dapat ditiru (repicable) dan reliable, dengan memperhatikan konteksnya.
Model analisis isi bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks maupun
konten media, tetapi bagaimana pesan itu disampaikan sehingga bisa terlihat
makna yang tersembunyi dari teks tersebut (Eriyanto, 2001: xv). Tujuannya
adalah untuk memberikan pengetahuan, penjelasan, dan pemahaman tentang
fenomena objek yang diteliti.
Analisis isi kualitatif menurut Siegfried Kracauer (dalam Jensen &
Jankwoski, 191: 121) merupakan sebuah analisis untuk melihat bagaimana
konten atau pesan dari sebuah media mengandung sebuah makna yang
tersembunyi. Analisis ini melihat makna dari sebuah pesan atau isi teks
dengan melihat unit-unit yang ada seperti kata, ungkapan, pernyataan, dan
sebagainya. Analisis isi kualitatif tidak hanya sekadar melihat secara general
kata-kata atau penggalian konten obyektif dari teks, melainkan juga
memeriksa makna, tema
dan pola dalam teks tertentu yang mungkin
bersifat spesifik. Hal ini memungkinkan peneliti untuk memahami realitas
sosial secara subjektif namun tentunya tetap berada dalam koridor ilmiah.
Metode penelitian kualitatif memiliki sifat yang lebih berorientasi
pada eksplorasi dan penemuan dan tidak bermaksud untuk menguji teori.
Maka dapat
disimpulkan
menghasilkan
penafsiran
bahwa analisisis
atau
isi
kualitatif
kesimpulan baru, yang
akan
tidak hanya
menganalisis hal yang tampak secara eksplisit dari sebuah teks, tetapi
juga hal yang tidak tampak atau implisit dari teks.
2.
Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah ketiga novel seri Dilan karya Pidi
Baiq. Seri pertama terbit pada tahun 2014 yakni Dilan Dia adalah Dilanku
20
Tahun 1990. Seri berikutnya yang berjudul Dilan Dia adalah Dilanku Tahun
1991 terbit pada tahun 2015. Kemudian seri ketiga yakni Milea Suara dari
Dilan terbit pada tahun 2016.
3.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang tepat dapat membantu peneliti dalam
menelusuri objek penelitian dan menjawab permasalahan penelitian. Teknik
pengumpulan data penelitian mengenai lelaki dalam novel trilogi Dilan
meliputi 2 cara yakni:
a. Penghayatan dan Pemilahan Objek
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan membaca dan menghayati ketiga novel Dilan
secara menyeluruh dan memberi jeda selama 2 hari sebelum
memilah data demi menghindari adanya subjektivitas dan
keberpihakan antara peneliti dengan objek. Kemudian memilah
beberapa data yang menyangkut tema kelaki-lakian di setiap narasi
yang ada di dalam teks. Dari ketiga buku tersebut, terpilih sebanyak
147 data untuk kemudian dianalisis lebih lanjut.
b. Studi Pustaka
Teknik pengumpulan pustaka dilakukan dengan mencari dan
mengumpulkan sumber-sumber tertulis yang relevan dengan topik
penelitian. Sumber tertulis dapat berupa buku, jurnal, laporan
penelitian terdahulu, serta artikel-artikel dalam situs internet yang
layak digunakan sebagai acuan. Studi pustaka dilakukan demi
mendapatkan
teori
yang
relevan
yang
digunakan
untuk
menganalisis data.
21
22
Download