BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagai salah satu media hiburan yang diminati oleh khalayak umum, novel dianggap mampu mencerminkan kondisi masyarakat dari berbagai kurun waktu dan zaman. Lukacs (dalam Endraswara, 2011:89) menegaskan bahwa sebuah novel tidak hanya mencerminkan suatu realitas secara mendasar, namun juga memberikan sebuah gambaran dan refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamis kepada masyarakat. Novel merupakan salah satu bentuk media massa yang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah gambaran atau wacana realitas melalui narasi yang disajikan. Berdasarkan karakteristiknya, media massa secara pasti mempengaruhi pemikiran dan tindakan khalayak. Media membentuk opini publik dan membawanya pada perubahan yang signifikan. Mc Luhan mengemukakan bahwa media adalah pesan itu sendiri. Pesan bukan hanya pada kontennya saja, melainkan juga pada perubahan yang dihasilkan oleh media tersebut. Oleh karena itu, media dalam bentuk apa saja dapat memengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bertingkah laku melalui pesan yang dikandungnya. Pada hakikatnya, novel mampu menggiring sudut pandang dan pikiran khalayak pembaca atas konstruksi makna maupun realitas yang dibentuk di dalamnya. Bahasa menjadi alat untuk menunjukkan struktur hierarki kekuasaan dan menetapkan konsep-konsep atas kebenaran, tatanan, dan realitas dalam sebuah karya novel (Aschroft dalam Wita, 2013). Selain membentuk wacana publik, nilai-nilai tertentu juga dapat disosialisasikan ke dalam masyarakat melalui narasi novel (Shoemaker, 2012). Bisa dikatakan novel merupakan sebuah upaya penulis dalam menyampaikan nilai-nilai tertentu yang dimiliki dan diyakini oleh penulis kepada masyarakat luas terutama target pembacanya. Dengan sifat novel yang luwes, nilai-nilai yang semula bersifat kaku dan memaksa dapat menyusup secara fleksibel sehingga terkesan tidak menggurui. Tanpa memaksa, pembaca dengan 1 suka rela mengonsumsi nilai-nilai tersebut bersamaan dengan hiburan yang mereka dapatkan. Nilai-nilai yang berusaha ditanamkan oleh para penulis novel dapat bermacam-macam jenisnya. Nilai-nilai tersebut berupa sebuah makna ataupun hal-hal yang bisa dijadikan acuan pemikiran dan perilaku hidup dalam kehidupan sehari-hari seperti nilai sosial, nilai keagamaan, nilai moral dan hukum, nilai pendidikan, atau nilai budaya. Karena sifatnya yang dapat mencerminkan kondisi masyarakat pada masanya, sebagian besar novel membawa nilai budaya di dalamnya. Menariknya, nilai-nilai budaya yang bergesekan dengan gender, terutama laki-laki, masih menjadi perhatian utama masyarakat Indonesia dari dulu hingga sekarang. Maka tidak heran apabila ada banyak novel yang membawa nilai-nilai yang membahas laki-laki di dalamnya. Gambaran mengenai laki-laki yang ditampilkan dalam novel dapat terlihat dalam novel Lupus yang sempat digilai para pembaca wanita di era 1980-an. Dalam novel tersebut, tokoh laki-laki yakni Lupus direpresentasikan sebagai sosok yang cerdas, kreatif, sangat mandiri, dari golongan ekonomi biasa, dan pandai bergaul. Sosok laki-laki yang seperti itulah yang kemudian diidolakan para pembaca pada kalanya, yang lalu diimplementasikan ke kehidupan sehari-hari dalam memandang sosok laki-laki ideal. Konsep laki-laki yang diharapkan menjadi konsep seragam dalam masyarakat tersebut menjadi nilai budaya yang berusaha ditanamkan ke dalam pikiran pembaca dengan menunjukkan bahwa lakilaki sungguhan adalah laki-laki yang memiliki sifat dan tingkah laku seperti Lupus. Setelah tahun 2000-an, novel yang banyak menceritakan kehidupan remaja telah dikategorisasikan ke dalam teenlit. Konteks kehidupan remaja pada novel remaja sebelum tahun 2000 dan novel teenlit jelas berbeda, terlebih disebabkan oleh kognisi penulis yang terpengaruh oleh kondisi masyarakat dan sistem yang berlaku di sekitarnya. Namun sama halnya dengan novel Lupus, novel teenlit Dilan yang sangat digandrungi para remaja saat ini juga masih sarat akan nilai yang berhubungan dengan kelaki-lakian, hanya saja dengan pendekatan dan konteks yang berbeda. Tokoh Dilan dengan peran protagonisnya dapat disebut 2 sebagai representasi lelaki yang diidamkan bahkan diinginkan oleh pembaca. Seperti yang terlansir pada blog pribadi Fahreza (2016), ia memaknai konsep lelaki yang diinginkan wanita saat ini adalah laki-laki yang humoris, gigih, jujur akan perasaannya, berprinsip dan berani, seperti Dilan. Selain dipuja oleh pembaca wanita, bisa dikatakan tokoh Dilan juga dianggap sebagai role model pembaca laki-laki. Terbukti ada beberapa komentar pembaca laki-laki di media sosial twitter, salah satunya dikemukakan oleh seorang pria bernama Insan Basajan, “Hampir saja ku jatuh dalam peluknya. Andai ku tak ingat dia pria, sama sepertiku. Oh Dilan!” Pada mulanya, dari generasi ke generasi sifat-sifat yang lekat pada laki-laki seperti laki-laki pantang menangis, tidak boleh lemah, dan sebagainya terus dijaga agar tidak punah, ataupun mengalah dengan sifat feminin. Maka menjadi suatu persoalan bagi penjaga trah maskulinitas ketika melihat bentuk laki-laki baru yang mempertipis jarak antara sifat yang laki-laki dan perempuan. Bergesernya maskulinitas ke sisi feminin menimbulkan suatu kekhawatiran bagi masyarakat umum yang mengasumsikan setiap manusia dilahirkan sebagai seorang cisgender, dan maskulinitas harus dijaga untuk melanggengkan kuasa laki laki di atas perempuan. Masyarakat terus berupaya menjaga konsep laki-laki yang sesuai dengan nilai budaya yang telah lama mereka yakini dengan menanamkannya dalam level basis kehidupan individu. Orang tua akan berupaya melatih anak lakilakinya untuk melakukan hal hal yang dianggap laki laki. Transfer tersebut dilakukan dengan jalan memberikan laki laki permainan yang cenderung bersifat dikonsumsi untuk publik. Hal ini menjadi alasan mengapa laki laki superior karena bahkan dalam level permainan mereka disuguhkan dengan pola yang sifatnya lebih publik, contohnya sepakbola. Permainan yang dilakukan oleh laki laki juga lebih banyak menggunakan otot, agar laki laki tetap nampak lebih kuat secara fisik dibanding perempuan. Dampaknya, konsep yang bersifat publik tersebut telah terhegemoni di masyarakat terutama pada generasi-generasi muda. Meski demikian, kini konsep laki-laki yang dihasilkan oleh budaya patriarki mulai ditinggalkan, digantikan 3 dengan konsep lelaki yang muncul setelah maraknya gerakan feminisme. Sosok laki-laki bukan lagi dinilai sekadar perkara fisik, melainkan juga dilihat dari sifat, dan sikap laki-laki terhadap orang lain. Masyarakat menilai laki-laki dengan melihat segala aspek terutama tingkah laku (attitude). Perlakuan laki-laki terhadap perempuan menjadi dasar penilaian atas laki-laki yang “benar” di mata masyarakat. Konsep baru tersebut kemudian ditransferkan di berbagai media yang bersinggungan dengan kehidupan manusia. Dengan kekuatannya dalam membentuk sebuah konstruksi realitas yang baru, media menjadi suatu wadah yang cukup efektif dengan menempatkan citra laki-laki yang dianggap sesuai, termasuk di dalam novel. Selama ini novel di Indonesia masih didominasi dengan novel bertemakan romansa atau percintaan, tema yang umumnya disukai oleh remaja terutama kaum hawa. Menurut data statistik IKAPI tahun 2015, dari 33.199.557 buku yang terjual selama tahun 2013, kategori fiksi populer menyumbang penjualan sebanyak 13%. Dari jumlah tersebut, menurut data bulan Oktober 2016 salah satu toko buku terbesar di Indonesia, yakni Gramedia, penjualan terbanyak dipegang oleh novelnovel bertema romansa seperti The Architecture of Love, Milea – Suara dari Dilan, dan Love is. Selain dapat diketahui bahwa buku fiksi populer (novel) merupakan salah satu kategori yang diminati para pembaca buku di Indonesia, kebanyakan novel-novel yang laris di pasaran mengadopsi tema yang secara spesifik menyasar pangsa perempuan. Pasar perempuan begitu besar karena perempuan menyukai hal-hal melankolis yang menimbulkan utopis-utopis dalam diri mereka. Penggunaan tokoh utama laki-laki dalam novel pun menjadi salah satu faktor utama yang mampu memikat minat baca perempuan. Saat ini, kehadiran novel seri Dilan yang populer di kalangan remaja perempuan, dapat dikatakan menjadi pintu masuk ide-ide mengenai sosok lakilaki yang ideal. Idealisme laki-laki memang kerap dicari oleh remaja perempuan dalam masa-masa transisi. Dari beberapa segmentasi khalayak, umumnya memang pasar remaja menjadi sasaran utama media massa. Hal itu karena masa remaja dianggap sebagai tahap di mana individu sedang mencari identitas diri 4 sehingga mudah dipengaruhi dari luar. Sebagian besar remaja mencari segala informasi tentang berbagai hal melalui media di ruang lingkupnya, sehingga media massa sering diposisikan sebagai sumber informasi akan gaya hidup, cara bergaul, gaya bicara, dan berpenampilan (Widyastuti, 2006). Ashadi Siregar (2008) mengatakan bahwa setiap media massa yang spesifik ditujukan pada khalayak remaja pada dasarnya adalah indikator dari pemikiran, nilai, dan juga cara pandang para remaja dalam masyarakat. Oleh karena itu, media yang ditujukan untuk pasar remaja cenderung laris manis dan menjadi rujukan bagi anak-anak maupun remaja untuk memperoleh informasi mengenai posisi-posisi sosial (Hurlock, 1999). Pasar remaja adalah pasar yang terus dibidik oleh media massa, dengan tujuan untuk mentransmisikan asumsi-asumsi ideologis tertentu terkait dengan realitas sosial, tidak hanya menyajikan hiburan dan gambaran tentang dunia. Dilan merupakan tokoh dalam novel seri Dilan karya Pidi Baiq, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2014, edisi kedua pada tahun 2015, serta edisi terakhir pada tahun 2016. Kehadiran novel ini cukup fenomenal, mengingat hanya dalam hitungan tiga bulan novel Dilan edisi pertama sudah naik cetak sebanyak tiga kali. Selain itu, novel Dilan selalu ada dalam jajaran buku terlaris di setiap toko buku. Banyak pula yang memberi tanggapan positif melalui review yang beredar di dunia maya. Bagi setiap pembaca terutama wanita yang sudah membaca novel ini, mungkin akan berpikir betapa beruntungnya sosok Milea karena dipertemukan dengan pria unik bernama Dilan. Pidi Baiq seakan mencoba menawarkan ide mengenai laki-laki melalui sosok Dilan, seperti laki-laki tidak harus romantis yang setiap kali memberikan bunga kepada perempuan, tetapi dengan hal-hal kecil namun unik yang dilakukan oleh Dilan seperti kenekatannya datang ke rumah Milea setelah pertama kali bertemu, meminta tetangga Milea melalui surat untuk menjaga Milea, membuat perjanjian di atas materai bahwa mereka resmi berpacaran, dan banyak hal lainnya. Tingkah laku unik Dilan seolah memancarkan pesona laki-laki yang dapat membuat pembaca turut tertarik pada tokoh Dilan, bahkan jatuh cinta pada tokoh fiksi itu. 5 “Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu saja.” – Dilan “Milea, jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu, nanti, besoknya, orang itu akan hilang.” – Dilan "Kamu tahu caranya supaya aku nangis? Menghilanglah kamu dari bumi." – Dilan Kutipan-kutipan gombal tersebut diambil dari novel Dilan, Dia adalah Dilanku tahun 1990. Rayuan-rayuan tokoh Dilan kepada Milea yang nyentrik mampu membuat pembaca terpesona dan larut dalam alur cerita. Jauh sebelum adanya Dilan, wacana mengenai lelaki yang ideal sudah lebih dulu ditampilkan melalui tokoh-tokoh protagonis dalam cerita Lupus dan Ali Topan. Dengan wacana yang tidak bergeser jauh, sosok lelaki yang direpresentasikan oleh Lupus dan Ali Topan juga ada pada sosok Dilan. Dilan, dalam cerita ini, adalah sosok cowok remaja kelas dua SMA yang memiliki karakter diri yang otentik. Ada sosok Ali Topan pada diri Dilan yang merupakan anggota geng motor, menjadi salah satu pentolan sekolah yang sangat pintar. Dia selalu juara satu di kelasnya. Pemberontak namun cerdas dan punya jiwa revolusioner. Ada pula sosok Lupus dalam diri Dilan yang humoris, jahil, dan memiliki tingkah laku yang unik. Penonjolan karakter Dilan dalam novel ini sebagai sesosok laki-laki memunculkan dugaan ada suatu konsep atau makna yang dikonstruksi di dalam novel ini, dalam hal ini adalah mengenai sosok lakilaki. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka terbentuklah sebuah rumusan masalah yakni: Bagaimana wacana mengenai lelaki digambarkan di dalam novel seri Dilan karya Pidi Baiq? 6 C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini antara lain: 1. Memberikan gambaran mengenai wacana laki-laki dalam novel Indonesia khususnya dalam novel seri Dilan karya Pidi Baiq. 2. Memberikan penjelasan sebagai hasil analisis bagaimana pesan pada teks/naskah novel disampaikan hingga dapat terlihat makna yang tersembunyi, dalam hal ini mengenai konsep laki-laki. D. MANFAAT PENELITIAN Dalam pelaksanaannya, penelitian ini diharapkan memiliki manfaat: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi konstribusi terhadap perkembangan studi komunikasi dalam kaitannya dengan studi mengenai analisis teks media (novel) terutama dengan menggunakan analisis isi kualitatif. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menunjukkan bagaimana media novel dapat membentuk atau menciptakan suatu konsep terutama mengenai laki-laki pada novel populer Indonesia. E. KERANGKA PEMIKIRAN 1. Novel sebagai Media Hiburan Hiburan menjadi salah satu aspek yang penting bagi kehidupan manusia yang bisa didapatkan dari berbagai macam cara dan media hiburan. Media hiburan yang paling populer saat ini biasanya yang dapat menyajikan format audio visual seperti program televisi, atau film. Namun, tidak dapat dipungkiri novel menjadi salah satu media hiburan yang paling tua sebelum adanya teknologi-teknologi tersebut. Novel merupakan media hiburan yang bergerak bersama dengan waktu, mengalami perkembangan dari masa ke masa dan menyesuaikan dengan keadaan zamannya. 7 Novel merupakan sebuah teks naratif yang menceritakan kisah dan menggambarkan suatu kondisi atau refleksi kehidupan nyata. Menurut Hudson (1979:132), segala bentuk karya sastra termasuk novel adalah anak pada zamannya, di mana karya tersebut menggambarkan keadaan, corak, cita-cita, aspirasi, dan perilaku masyarakatnya, yang merupakan interpretasi atas kehidupan sesuai dengan masa-masa eksistensi karya sastra tersebut. Novel merupakan pengolahan masalah-masalah sosial yang muncul di masyarakat oleh para sastrawan (Hardjana, 1989: 71). Melalui refleksi, dengan mengerahkan daya kreasi dan imajinasinya, kehidupan sosial budaya yang berkembang dan dialami oleh sastrawan diekspresikan dalam bentuk karya sastra sesuai dengan latar belakang dan ideologinya. Berbagai pendapat dan pandangan sastrawan yang berbeda-beda melalui kesusasteraan, merupakan refleksi aspek kehidupan dari berbagai sudut. Itulah sebabnya sastrawan maupun novelis Indonesia sering mengupas masalah-masalah sosial yang sangat aktual dihadapi mereka dan zamannya, salah satunya yang paling populer adalah masalah sosial keagamaan (Sumardjo, 1979: vii). Pada mulanya, novel merupakan sebuah sarana hiburan bagi para elite dan beberapa kaum menengah pada tahun 1900-an. Topik yang diangkat tidak jauh dari gurau candaan, ataupun hal-hal yang sedikit utopis yang jarang terjadi di kehidupan realita. Kemudian novel berkembang menjadi alat bagi seseorang untuk menyalurkan ide-ide atau pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Tidak lagi hanya sebagai hiburan, atau refleksi gambaran permasalahan yang ada di zaman penulis, novel juga menjadi salah satu bentuk komunikasi massa, di mana suatu pesan disampaikan oleh satu atau beberapa orang kepada khalayak banyak. Di dalam hiburan yang ditawarkan, ada unsur-unsur dan makna yang ingin disampaikan penulis terhadap pembacanya. Pengarang melakukan proses produksi pesan melalui novel sebagai medianya. Oleh sebab itu, novel dapat 8 digolongkan sebagai sebuah media massa seperti media cetak yang di dalamnya ada transaksi penyampaian informasi bagi pembacanya. Novel menjadi sebuah media yang memiliki fungsi hiburan namun tidak terelakkan pula dari fungsinya sebagai media komunikasi pada umumnya yaitu, menyiarkan informasi (to inform), dan mendidik (to educate). Selain itu ada beberapa ahli yang menambahkan fungsi lain terhahap fungsi media massa ini, seperti fungsi mempengaruhi (to influence), fungsi membimbing (to guide) dan juga fungsi mengritik (to criticise) (Effendy, 2004: 54). Novel dapat menjadi media komunikasi persuasif yang baik, tentunya dapat dilihat dari peran penulis (komunikator) dalam mengelola pesan yang disampaikan sedemikian rupa kepada pembaca (komunikan) dan menjalankan fungsinya dengan baik sehingga dapat menimbulkan sebuah pengaruh. Novel merupakan sebuah bentuk media hiburan yang mampu memberikan pandangan-pandangan lain yang berpengaruh besar pada masyarakat melalui hiburan yang ditawarkan. Menjalani salah satu fungsinya, media dijadikan sebagai sumber informasi oleh masyarakat yang kemudian digunakan sebagai dasar ideologinya. Begitu halnya dengan novel, pesan yang ada di dalamnya mampu membentuk persepsi masyarakat dalam memandang fenomena di kehidupan. Meskipun menjadi sebuah media hiburan, posisi novel dapat disejajarkan dengan sumber informasi atau pengetahuan lain. Informasi tersebut dapat berupa nilai-nilai moral, pesan-pesan tertentu, yang mendorong pola pikir masyarakat. 2. Konstruksi Realitas pada Novel Berkenaan dengan praktik komunikasi, saat ini masyarakat dan khususnya para pelaku komunikasi dari media massa cenderung mengemas pesan-pesan yang mereka sampaikan demi memeroleh tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan mereka. Tidak lagi sekedar membuat, menampilkan, dan mengirimkan pesan berdasarkan apa yang diinginkannya, 9 tetapi pesan tersebut juga dirancang yang berlandaskan oleh tujuan tertentu sekaligus menyampaikannya ke khalayak luas melalui cara-cara yang sangat persuasif. Dalam konteks ini, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa novel merupakan salah satu media komunikasi, juga memuat suatu wacana tertentu. Diyakini bahwa kesadaran akan wacana bukan saja berada di pihak yang memproduksi pesan yakni penulis, tetapi juga di pihak yang menerima pesan atau pembaca. Dalam pandangan konstruksi realitas, proses penyampaian pesan dilakukan dalam rangka menciptakan “makna baru” atau “kenyataan kedua” melalui pembentukan sebuah konsep sebagai “pengganti” yang bermaksud untuk menggeser realitas atau kenyataan pertama (Hamad, 2005). Realitas pertama cenderung objektif dan dianggap benar sesuai dengan norma yang sudah lama berlaku di masyarakat. Kemudian realitas tersebut diolah sedemikian rupa dengan dipegaruhi oleh kognisi konstruktor, sistem yang berlaku, dan situasi di masyarakat menjadi sebuah realitas baru yang terkadang bersifat lebih subjektif. Realitas tersebut kemudian menghasilkan makna yang ditawarkan pada khalayak luas, yang kemudian memengaruhi pandangan mereka terhadap kehidupan. Dalam produksi novel, praktik konstruksi realitas terjadi dengan pendekatan yang persuasif sehingga menghasilkan makna atau kenyataan kedua yang dapat berupa nilai, pandangan, maupun konsep baru yang bersifat positif maupun negatif namun diterima baik oleh masyarakat. Pada dasarnya, karya fiksi novel merupakan sebuah praktik sosial. Artinya, di balik rangkaian kata hingga paragraf tersebut terdapat tujuan dan kepentingan tertentu yang merujuk pada proses konstruksi sebuah realitas. Althusser (dalam Storey, 1993:110-113) mengatakan bahwa teks sastra merupakan sebuah perubahan bentuk dari proses tawar-menawar kehidupan individual dengan kehidupan sosial yang terjadi secara imajiner. Dapat dikatakan bahwa terciptanya novel merupakan sebuah penawaran persepsi atau ideologi yang dimiliki oleh penulis kepada pembaca. Penulisan fiksi 10 memiliki tujuan kepentingan bagi dirinya atau kelompoknya. Itulah sebabnya dalam setiap karya sastra ada yang dikedepankan, ditonjolkan, tetapi sebaliknya ada pula yang disembunyikan. Pun tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah teks sedang berusaha memobilisasikan makna sesuai dengan sudut pandang kepentingan tertentu sebagai bias dari proses hegemonis yang dikonstruksi oleh negara. Menurut Salam (2002), wacana-wacana yang dikonstruksi dan ditawarkan dalam novel-novel di Indonesia cukup ektrem. Wacana di dalam novel-novel tersebut hanya melegitimasi hal-hal yang dianggap sebagai kebenaran versi masyarakat kelas atas. Imbasnya, novel hanya menawarkan dan menjual mimpi, khayalan, ilusi yang berbeda dengan realitas sebenarnya pada pembaca menengah ke bawah. Masyarakat dieksploitasi dengan cara diberikan teks yang sesuai dengan selera mereka untuk keuntungan dan kepentingan pemilik modal. Bahkan terkadang para penulis tidak lebih sebagai “buruh” saja. Di balik itu semua, kuatnya hegemoni negara dalam mengonstruksi aturan main tertentu, menempatkan novel populer dalam posisi tertentu. Novel dengan sengaja dibiarkan oleh negara, bukan saja karena wacana yang diangkat tidak mengganggu keberlangsungan pemerintahan dan hukum yang berlaku, namun juga karena novel memberikan hiburan ringan kepada masyarakat luas agar “melupakan” realitas yang sesungguhnya. Adanya novel populer tidak membuat masyarakat berpikir dan bersikap kritis. Meskipun ada yang bersikap kritis, hal itu tidak lebih sebagai anggapan atau persepsi pribadi yang dipegang sendiri. 3. Laki-Laki dari Masa ke Masa Konsep laki-laki dapat dikatakan berhimpitan dengan konsep maskulinitas yang menurut Sugono (2008: 884) berarti kejantanan seorang laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksualnya. Sementara itu, Moi (dalam Prabasmoro, 2006: 23) berpendapat bahwa femininitas adalah suatu 11 rangkaian karakteristik yang didefinisikan secara kultural. Namun, Prabasmoro menambahkan bahwa apa yang dianggap “feminin” bergantung pada siapa yang mendefinisikannya, tempat orang-orang itu berada, dan apa yang telah memengaruhi hidup mereka. Hal ini juga berlaku pada maskulinitas. Konsep kelaki-lakian terus dibentuk melalui sebuah kebudayaan (Barker, 2004). Seperti halnya konsep laki-laki dalam budaya timur contohnya di Indonesia dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Ketika seorang laki-laki lahir ke dunia, maka dia langsung dibebankan beragam norma, aturan, dan berbagai atribut budaya melalui media dan sarana seperti agama, pola asuh, jenis permainan, tayangan televisi, bahkan buku bacaan. Media-media yang sangat lekat dalam diri seseorang pada masa kecil tersebut dipisahkan menurut “gender” yang sesuai dengan norma di masyarakat. Hal-hal sepele semacam itu terjadi sehari-hari selama berpuluhpuluh tahun yang bersumber dari norma budaya kemudian membentuk suatu pencitraan diri dalam kehidupan seorang laki-laki. Pencitraan diri tersebut telah diturunkan dari generasi ke generasi, melalui mekanisme pewarisan budaya hingga menjadi suatu kewajiban yang harus dijalani jika ingin dianggap sebagai laki-laki sejati. Aturan umum yang tidak tertulis yang mengatakan bahwa laki-laki sejati pantang untuk menangis, harus tampak tegar, kuat, pemberani, garang, serta berotot. Lakilaki hebat adalah yang mampu menaklukkan hati banyak perempuan sehingga mendorong adanya praktik poligami. Sebaliknya, ada pendapat yang mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi figur pelindung atau pengayom wanita. Ada pula anggapan bahwa laki-laki itu identik dengan rokok, alkohol dan kekerasan (Donaldson, 1993: 1). Dalam kehidupan sosial tradisional seperti itu, laki-laki dianggap gagal jika dirinya tidak memenuhi ekspektasi masyarakat. 12 Banyaknya laki-laki yang sering terlibat perkelahian baik secara individu maupun kelompok, dan juga kekerasan terhadap perempuan, tindak kriminalitas, kerusuhan berujung pada anggapan bahwa perilaku-perilaku tersebut sangat umum dilakukan oleh kaum laki-laki. Dikatakan umum karena dilihat dari kuantitas para pelakunya yang memang lebih banyak dilakukan oleh lelaki. Anggapan “umum” tersebut terkadang membuat masyarakat lebih toleran jika laki-laki melakukan beberapa tindakan tersebut sehingga tidak memberikan perhatian secara khusus dan sanksi norma maupun hukum menjadi tidak jelas. Karena itu, masyarakat cenderung membiarkan saja apabila menemukan kasus kriminal atau kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki. Segala anggapan, persepsi, dan toleransi terhadap laki-laki tersebut bermula dari budaya yang ditanamkan sejak kecil, secara terus menerus, dan sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Di mana pun konsep lakilaki tersebut sama, karena biasanya terasosiasi dengan kepentingan citra industialisasi, kekuatan militer, dan peran sosial gender yang masih konvensional dalam suatu negara atau wilayah. Maksudnya, bahwa dengan menimbang atas kebutuhan-kebutuhan tersebut, laki-laki harus pintar, kuat secara fisik, agresif secara seksual, logis, dan condong memiliki sifat kepemimpinan. Konsep laki-laki sendiri sebenarnya dinamis, mengalami perkembangan dari masa ke masa. Seperti yang dikemukakan oleh Beynon (2002), sosok laki-laki yang ideal sebelum tahun 1980-an adalah figur lakilaki kelas pekerja dengan bentuk tubuh dan perilakunya sebagai dominator, terutama atas perempuan. Konsep laki-laki pada era ini merupakan bias dari awal industrialisasi pada masa itu, di mana laki-laki banyak yang bekerja sebagai buruh baja. Laki-laki dianggap sebagai sosok yang bertanggung jawab atas keluarga, dan mampu memimpin perempuan serta pembuat keputusan utama. Bahkan dalam kebudayaan Jawa, seorang laki-laki dikatakan sukses jika berhasil memiliki garwo (istri), bondo (harta), 13 turonggo (kendaraan), kukilo (burung peliharaan), dan pusoko (senjata atau kesaktian) (Osella, 2000: 120). Pada tahun 1980-an, konsep laki-laki mengalami pergeseran dari era sebelumnya. Masyarakat memandang laki-laki tidak lagi harus bekerja dengan alat-alat berat, dan memandang laki-laki sebagai new man. Beynon (dalam Nasir, 2007: 3) menerangkan dua buah konsep kelaki-lakian pada dekade 80-an itu yakni new man as nurturer dan new man as narcissist. Konsep new man as nurturer merupakan dukungan terhadap feminisme. Laki-laki menganggap bahwa mereka pun bisa menjalani sifat alamiahnya seperti perempuan sebagai makhluk yang mempunyai rasa perhatian. Misalnya, laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak untuk mengurus anak. Keinginan laki-laki untuk menyokong gerakan perempuan juga melibatkan peran penuh laki-laki dalam lingkup domestik. Kelompok ini biasanya berasal dari kelas menengah, berpendidikan baik, dan intelek (Beynon, dalam Nasir, 2007: 3). New man as narcissist berkaitan dengan komersialisme terhadap lakilaki dan konsumerisme semenjak akhir Perang Dunia II. New man as narcissist adalah anak-anak dari generasi zaman hippies (tahun 60-an) yang tertarik pada pakaian dan musik pop. Banyak produk-produk komersil untuk laki-laki yang bermunculan. Bahkan, laki-laki yang dijadikan sebagai objek seksual menjadi bisnis yang amat luar biasa. Di sini, laki-laki menunjukkan dirinya dengan gaya hidup yuppies yang flamboyan dan high class. Laki-laki semakin suka memanjakan dirinya dengan produkproduk komersial yang membuatnya tampak sukses. Properti, mobil, pakaian, merupakan wujud dominan dalam gaya hidup ini. Kaum maskulin yuppies ini dapat dilihat dari penampilan, cara berpakaian, juga kendaraan mewah mereka. Kaum yuppies menganggap laki-laki pekerja industri yang loyal dan berdedikasi pada keluarga sebagai sosok yang ketinggalan zaman. 14 Di era tahun 1990-an, laki-laki kembali tidak peduli terhadap hal-hal remeh temeh yang dilakukan oleh laki-laki generasi sebelumnya. Cara berpakaian, berdandan, penampilan sudah tidak lagi dihiraukan. Laki-laki the new lad ini kembali mengarah kepada sifat kelaki-lakian yang macho, menyukai kekerasan, dan bergaya hidup bebas. Hidupnya berada di sekitar sepak bola, alkohol, seks bebas, dan memainkan para wanita. Pada era ini, kaum laki-laki lebih mementingkan waktu untuk bersenang-senang, menikmati kehidupan yang bebas tanpa aturan. Seiring perkembangan waktu hingga abad ke-20 ini, konsep laki-laki yang dihasilkan oleh budaya patriarki mulai ditinggalkan, digantikan dengan konsep yang muncul setelah maraknya gerakan feminisme. Sosok laki-laki tidak lagi dipandang dari fisiknya saja, namun terlebih dinilai dari sifat dan sikap laki-laki terhadap orang lain (attitude). Perlakuan laki-laki terhadap perempuan menjadi dasar penilaian atas laki-laki yang “benar” di mata masyarakat. Adapun muncul aliansi laki-laki yang kemudian bergerak untuk pro feminis yakni disebut dengan laki-laki baru. Laki-laki tersebut mendukung feminisme dan berusaha untuk mewujudkan keadilan dan kesamaan gender (Flood, 2009). Bukan saja memperjuangkan keadilan perempuan, mereka juga memperjuangkan hak-hak individu dari laki-laki. Selain itu, muncul pula terminologi baru mengenai kelaki-lakian. Adapun istilah metroseksual yakni laki-laki yang berasal dari kalangan menengah ke atas, rajin berdandan atau memperhatikan penampilan mereka, dan mengikuti suatu kelompok yang terpandang di masyarakat. Mereka harus berpengetahuan luas, senang bergaul, cenderung mengutamakan gaya hidup teratur, detail dan perfeksionis. 4. Identitas Laki-Laki dalam Media Identitas gender, laki-laki dan perempuan, merupakan identitas yang begitu lekat pada manusia. Laki-laki dan perempuan terus diidentikkan dengan berbagai macam tanda, nilai, dan norma yang dapat membedakan 15 keduanya. Identitas-identitas tersebut tentunya didasari oleh kepentingankepentingan tertentu yang ditempatkan dalam konteks tertentu pula. Bisa saja sebuah identitas berubah maupun diubah ketika tidak sesuai dengan suatu kondisi sosial. Identitas laki-laki pada umumnya dikaitkan dengan konstruksi peran yang didapatkan laki-laki dalam sistem masyarakat yang kemudian juga meluas pada relasi yang terjadi di masyarakat. Berbicara mengenai identitas laki-laki tidak bisa terlepas dari sosok perempuan, begitu pula sebaliknya. Sebagaimana diketahui, hubungan laki-laki dan perempuan yang terbangun di masyarakat selama ini mengalami sebuah ketimpangan yang disebabkan oleh sistem patriarki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak digambarkan sebagai hubungan dengan entitas masing-masing. Akan tetapi, salah satu gender (laki-laki) digambarkan identitasnya dalam hubungannya dengan perempuan, sehingga konsep laki-laki ditentukan dari konsep mengenai gender lawan jenisnya (perempuan) (Selden, 1993:135). Identitas laki-laki yang ada di masyarakat dapat dilihat dari bagaimana media menampilkan identitas laki-laki itu sendiri. Menurut Halliday dan Hasan (1979:1), wacana merupakan unit bahasa yang terikat oleh suatu kesatuan yang bersifat semantis. Jadi, sebuah kesatuan yang bukan dipandang dari segi bentuknya, melainkan dari segi maknanya. Oleh karena itu, sebuah wacana, dalam hal ini mengenai identitas laki-laki, tidak selalu harus direalisasikan dalam bentuk rangkaian kalimat-kalimat. Sebuah wacana dapat ditemukan dalam bentuk sebuah kalimat bahkan dapat pula berupa frasa atau kata, gambar, suara, dengan konteks dan situasi. Adapun yang terpenting bahwa sebuah wacana harus dapat memberikan interprestasi bermakna bagi audiens atau pembaca. Wujud dari bentuk wacana pun dapat dilihat dalam beragam medium seperti: dalam wujud teks pada berita, artikel, cerpen, novel; wujud ucapan pada hasil rekaman wawancara, obrolan, pidato; wujud tindakan yakni drama, tarian, film; dan juga dalam wujud artifact antara lain bangunan, dan fashion. 16 Media berperan besar dalam menyebarkan wacana-wacana yang telah dikonstruksi dan menghasilkan sebuah realitas kedua. Wacana bahkan mampu menghasilkan stereotipe yang terhegemoni dalam masyarakat, termasuk mengenai identitas laki-laki. Dalam ranah media, jika diperhatikan media menempatkan laki-laki sebagai gender yang perkasa, selalu menang, tak pernah menangis, dan hanya bertanggungjawab secara publik, bukan secara domestik. Laki-laki merupakan pemimpin dan sosok yang selalu berada di baris depan, siap untuk melindungi orang-orang yang dianggap lebih lemah yakni perempuan, orang tua, dan anak-anak. Beragam bentuk media dapat menampilkan wacana-wacana, namun di antara media massa lainnya, media televisi lebih unggul dalam hal tersebut. Meskipun demikian, wacana identitas yang ditampilkan di televisi mampu merepresentasikan realitas-realitas apa saja yang diterima masyarakat dan umumnya diterapkan pula pada beragam jenis media. Dengan kemampuannya mengkonstruksi realitas secara lebih lengkap menggunakan teknologi audio-visual, televisi mampu mendefinisikan secara lebih jelas apa yang dimaksud dengan pria yang dianggap “normal” dan “ideal”. Sosok laki-laki ini kerap ditampilkan melalui peran, sifat maupun fisiknya. Terkait dengan peran, dalam beberapa film misalnya, masih diperlihatkan bahwa ranah publik (seperti bekerja dan menjadi pemimpin) adalah sepenuhnya milik kaum laki-laki. Sedangkan terkait dengan idealisasi sifat laki-laki, dalam sinetron misalnya, digambarkan dalam tokohnya yang mana seorang laki-laki merupakan sosok yang agresif, kuat, dan selalu bisa menaklukkan hati tokoh perempuan baik yang protagonis maupun antagonis. Sinetron seakan menawarkan satu versi laki-laki idaman: lelaki yang dapat merebut hati dan perhatian perempuan di sekelilingnya. Ini memperlihatkan adanya pemiskinan ragam karakter pria, sekaligus memperkuat budaya patriarki yang ada di Indonesia. 17 Kemudian dari segi idealisasi fisik, dilihat melalui iklan produk yang ada di pasaran, terutama iklan produk perawatan tubuh seperti sabun muka, shampoo, parfum, membangun konsep identitas laki-laki sesuai dengan kepentingan produknya. Laki-laki ditampilkan sebagai sosok yang berbadan besar, berotot, dan tinggi. Dari segi wajah, laki-laki maskulin adalah lakilaki yang memiliki jenggot lebat. Memang peran iklan adalah untuk mempersuasi khalayak agar membeli produk si pengiklan, tetapi yang jadi masalah adalah ketika iklan-iklan produk semacam ini mempersempit konsep laki-laki ideal dari segi fisik. Sehingga para laki-laki yang berada di luar konsep tersebut, terdorong untuk merasa tidak nyaman atas dirinya sendiri. Ditambah lagi dengan bumbu-bumbu cerita, seperti pada iklan yang memperlihatkan bagaimana seorang laki-laki yang telah menggunakan produk parfum dapat mengalihkan perhatian perempuan. Identitas laki-laki terus dibangun secara apik seolah-olah mereka adalah sosok yang dapat dipuja dan diimpikan oleh setiap orang. F. KERANGKA KONSEP Novel menjadi salah satu media hiburan yang berkembang menjadi alat bagi seseorang untuk menyalurkan ide-ide atau pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Dengan kata lain, novel memuat suatu makna tertentu di dalamnya. Karena pada dasarnya, karya fiksi novel merupakan sebuah praktik sosial. Artinya, di balik rangkaian kata hingga paragraf tersebut terdapat tujuan dan kepentingan tertentu yang merujuk pada adanya pesan maupun makna tersembunyi yang hendak disampaikan. Makna yang dihasilkan dari praktik sosial yang ditawarkan dalam novel sebagian besar hanya melegitimasi hal-hal yang dianggap sebagai kebenaran versi masyarakat golongan atas. Oleh karena itu, novel bisa dibilang hanya menawarkan dan menjual mimpi, khayalan, ilusi yang berbeda dengan realitas sebenarnya pada masyarakat/pembaca yang berada di tingkatan lebih rendah. 18 Media, termasuk novel, berpengaruh besar dalam menyebarkan wacanawacana yang telah dikonstruksi dan menghasilkan sebuah realitas kedua, dalam hal ini mengenai konsep laki-laki. Wacana yang ditanamkan bahkan mampu menghasilkan stereotipe yang terhegemoni dalam masyarakat, termasuk gambaran mengenai laki-laki. Konsep laki-laki pun mengalami pergeseran makna dari zaman ke zaman. Dewasa ini, konsep laki-laki yang dihasilkan oleh budaya patriarki mulai ditinggalkan, digantikan dengan konsep yang muncul setelah maraknya gerakan feminisme. Kelaki-lakian tidak lagi dipandang dari fisiknya saja, namun terlebih dinilai dari sifat dan sikap laki-laki terhadap orang lain. Konsep tersebut mulai disebarkan dengan segala bentuk upaya transfer makna, termasuk nilai-nilai mengenai laki-laki yang ditawarkan dalam novel agar dapat diterima dengan baik demi menciptakan konsep laki-laki baru yang akan dianggap sesuai oleh masyarakat. G. METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Rachmat Kriyantono (2006: 56) menjelaskan riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya dengan menekankan persoalan kedalaman (kualitas) data, bukan banyaknya (kuantitas) data. Selanjutnya, penelitian ini dibantu dengan metode analisis isi kualitatif. Pendekatan kualitatif untuk menganalisis isi berakar pada teori sastra, ilmu-ilmu sosial (interaksionisme simbolik, etnometodologi) dan para pakar kritis. Secara kualitatif, analisis isi dapat melibatkan suatu jenis analisis, di mana isi komunikasi (percakapan, teks tertulis, wawancara, fotografi, dan sebagainya) dikategorikan dan diklasifikasikan. Ide utama dalam analisis isi adalah untuk memelihara keuntungan dari analisis isi kuantitatif sebagaimana telah dikembangkan dalam ilmu komunikasi dan untuk mentransfer dan mengembangkannya ke dalam 19 analisis kualitatif-interpretif. Objek dari analisis isi dapat berupa semua bentuk komunikasi yang direkam (terdokumentasikan). Menurut Krippendorff (dalam Retnoningsih, 2012: 35) analisis isi adalah suatu metode penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (repicable) dan reliable, dengan memperhatikan konteksnya. Model analisis isi bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks maupun konten media, tetapi bagaimana pesan itu disampaikan sehingga bisa terlihat makna yang tersembunyi dari teks tersebut (Eriyanto, 2001: xv). Tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan, penjelasan, dan pemahaman tentang fenomena objek yang diteliti. Analisis isi kualitatif menurut Siegfried Kracauer (dalam Jensen & Jankwoski, 191: 121) merupakan sebuah analisis untuk melihat bagaimana konten atau pesan dari sebuah media mengandung sebuah makna yang tersembunyi. Analisis ini melihat makna dari sebuah pesan atau isi teks dengan melihat unit-unit yang ada seperti kata, ungkapan, pernyataan, dan sebagainya. Analisis isi kualitatif tidak hanya sekadar melihat secara general kata-kata atau penggalian konten obyektif dari teks, melainkan juga memeriksa makna, tema dan pola dalam teks tertentu yang mungkin bersifat spesifik. Hal ini memungkinkan peneliti untuk memahami realitas sosial secara subjektif namun tentunya tetap berada dalam koridor ilmiah. Metode penelitian kualitatif memiliki sifat yang lebih berorientasi pada eksplorasi dan penemuan dan tidak bermaksud untuk menguji teori. Maka dapat disimpulkan menghasilkan penafsiran bahwa analisisis atau isi kualitatif kesimpulan baru, yang akan tidak hanya menganalisis hal yang tampak secara eksplisit dari sebuah teks, tetapi juga hal yang tidak tampak atau implisit dari teks. 2. Objek Penelitian Objek dari penelitian ini adalah ketiga novel seri Dilan karya Pidi Baiq. Seri pertama terbit pada tahun 2014 yakni Dilan Dia adalah Dilanku 20 Tahun 1990. Seri berikutnya yang berjudul Dilan Dia adalah Dilanku Tahun 1991 terbit pada tahun 2015. Kemudian seri ketiga yakni Milea Suara dari Dilan terbit pada tahun 2016. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang tepat dapat membantu peneliti dalam menelusuri objek penelitian dan menjawab permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan data penelitian mengenai lelaki dalam novel trilogi Dilan meliputi 2 cara yakni: a. Penghayatan dan Pemilahan Objek Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan membaca dan menghayati ketiga novel Dilan secara menyeluruh dan memberi jeda selama 2 hari sebelum memilah data demi menghindari adanya subjektivitas dan keberpihakan antara peneliti dengan objek. Kemudian memilah beberapa data yang menyangkut tema kelaki-lakian di setiap narasi yang ada di dalam teks. Dari ketiga buku tersebut, terpilih sebanyak 147 data untuk kemudian dianalisis lebih lanjut. b. Studi Pustaka Teknik pengumpulan pustaka dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan sumber-sumber tertulis yang relevan dengan topik penelitian. Sumber tertulis dapat berupa buku, jurnal, laporan penelitian terdahulu, serta artikel-artikel dalam situs internet yang layak digunakan sebagai acuan. Studi pustaka dilakukan demi mendapatkan teori yang relevan yang digunakan untuk menganalisis data. 21 22