BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Persiapan Tidak ada benda asing yang menempel pada substrat ITO setelah dicuci dengan aseton dan ultrasonic cleaner. Luas permukaan khusus untuk proses deposisi TiO2 telah dibentuk dengan scotch-tape dengan ukuran 1×1 cm2. MEH-PPV yang telah ditakar larut di dalam kloroform dan tidak mengalami perubahan warna. 4.2 Deposisi TiO2 Pasta TiO2 dideposisikan pada substrat ITO dengan cara doctor blading hingga merata ke seluruh permukaan yang terbuka. Pasta dapat menempel baik dan tersebar rata tanpa celah karena telah digerus dan diaduk dengan campuran Triton. Lapisan TiO2 yang terbentuk setelah pemanasan berwarna putih dan tetap menempel pada substrat ITO. Sampel yang dibuat berjumlah empat buah. Dua sampel untuk pembuatan sel surya dan dua sampel lainnya untuk karakterisasi optik. 4.3 Karakteristik Lapisan TiO2 dari Uji XRD 4.4 Deposisi PPV Dua larutan PPV dengan konsentrasi 0,25 % dan 0,5 % diteteskan pada masingmasing substrat TiO2. Larutan diserap merata ke dalam pori yang terdapat pada TiO2. Scotch-tape yang menempel dapat dilepas tidak lama setelah kloroform menguap. Selain untuk dideposisikan pada TiO2, PPV juga dideposisikan pada ITO secara langsung untuk karakterisasi optik baik untuk konsentrasi 0,25 % maupun 0,5 %. 10 15 20 25 30 35 40 2θ 45 50 Gambar 15. Difraksi sinar-X kristal TiO2 55 Anatase ITO Anatase Rutile Anatase Rutile Rutile Anatase Anatase 600 500 400 300 200 100 0 Rutile ITO Intensitas Dari uji XRD yang dilakukan terhadap lapisan TiO2, didapatkan pola intensitas difraksi terhadap 2θ (Gambar 15). Puncakpuncak difraksi menunjukkan fase anatase lebih dominan dari pada fase rutile. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan hasil karakterisasi XRD dengan data JCPDS (joint committee on powder diffraction standards) untuk anatase dan rutile. Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa pada sudut difraksi 25o dan 47o terdapat puncak yang lebih tinggi dibandingkan puncak yang lainnya, kedua puncak tersebut adalah milik fase anatase. Fase rutile tidak banyak terbentuk karena puncak tertingginya yang berada pada sudut difraksi 27o sangat kecil jika dibandingkan dengan puncak tertinggi anatase. Karakteristik anatase ditunjukkan dari sudut difraksi (2θ) pada sudut sekitar 250, 360, 370, 380, 470, 540, 620, 680, 700 dan 740 yang bersesuaian dengan orientasi bidang menurut indeks Miller (hkl) pada (101), (103), (004), (112), (200), (211), (213),(116), (220) dan (107) sesuai data JCPDS No. 21-1272. (Lampiran 2, halaman 30). Parameter kisi kristal anatase didapatkan dengan menggunakan metode Cohen dan Cramer. Menurut literatur, TiO2 memiliki parameter kisi a = 3.785 Ǻ dan c = 9.513 Ǻ. Dari hasil perhitungan dengan metode Cramer pada data sampel diketahui parameter kisi a = 3.701 Ǻ dan c = 9.238 Ǻ dengan nilai ketepatan masing-masing 97.78 % dan 97.11 %. Sistem kristal yang didapat berupa tetragonal dengan sumbu a = b ≠ c dan α = β = 90o. Ukuran kristal yang didapatkan dari perhitungan menggunakan persamaan Scerrer sebesar 37.344 nm. 60 65 70 10 Absorbansi 0,4 PPV A (0.25%) 0,3 PPV B (0.5%) 0,2 0,1 0 350 400 450 500 550 600 650 700 750 800 Panjang gelombang (nm) Gambar 16. Absorbansi PPV A dan PPV B 4.5 Elektrolt Polimer 4.6 Karakteristik Optik Elektrolit berfungsi sebagai penyumbang elektron bagi dye supaya kembali ke ground state setelah terjadi fotoeksitasi. Polimer yang terdiri dari campuran PVA dan kitosan mencegah elektrolit dari kebocoran dan reaksi spontan dengan TiO2. Elektrolit polimer yang dibuat berupa gel transparan. Gel elektrolit dapat menyesuaikan bentuk dengan permukaan TiO2 ketika dideposisikan, sehingga dapat menutupi celah antara TiO2 dan ITO. Kurva absorbansi diambil untuk lapisan PPV, TiO2, dan kombinasi keduanya. Kurva absorbansi PPV (Gambar 16) dengan konsentrasi 0,25 % (PPV A) menunjukkan bahwa PPV mampu menyerap cahaya dengan rentang panjang gelombang mulai dari 400 nm hingga 568 nm. Nilai panjang gelombang tersebut termasuk pada panjang gelombang cahaya tampak dari daerah ungu hingga kuning (380 nm – 590 nm). Absorbansi Elektrolit polimer yang dibuat seragam untuk kedua sampel memiliki ketahanan yang baik. Ketahanan ini ditunjukkan saat pengujian respon tegangan sel surya terhadap perubahan intensitas cahaya yang diterima sel. Hasil yang didapatkan berupa kurva tegangan terhadap waktu dapat dilihat pada halaman 13. Namun demikian, ketahanannya yang baik belum tentu disertai dengan konduktivitas yang baik pula. Arus keluaran dari sel (Gambar 18. hal.11) mengindikasikan adanya tahanan besar dalam sel dan terdapat kemungkinan tahanan tersebut disebabkan elektrolit polimer. Uji konduktivitas tidak dilakukan dalam penelitian ini PPV dengan konsentrasi 0,5 % (PPV B) juga memiliki karakteristik yang sama namun tingkat absorbansi yang dimilikinya lebih tinggi karena konsentrasinya juga lebih tinggi. Karakteristik absorbansi ini menentukan daerah panjang gelombang yang efektif untuk konversi energi bagi sel. Panjang gelombang dengan nilai absorbansi yang besar pada dye adalah daerah yang efektif menyerap spektrum energi elektromagnetik yang bersesuaian. Lapisan TiO2 memiliki puncak absorbansi di daerah UV, maka PPV diberikan sebagai dye agar TiO2 bekerja dalam rentang cahaya tampak. TiO2 yang dibuat cukup tebal sehingga memiliki nilai absorbansi yang besar, 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 TiO2 TiO2 + PPV A TiO2 + PPV B 300 400 500 600 700 800 Panjang gelombang (nm) Gambar 17. Absorbansi TiO2 dan TiO2 dengan dye PPV 11 namun masih bisa diamati perubahannya pada karakterisik absorbansinya setelah PPV diberikan sebagai dye. Perubahan yang teramati berupa peningkatan absorbansi dari daerah UV ke hijau (526 – 602 nm). menggunakan bubuk MEH-PPV, melainkan hasil sintesis menggunakan reaksi stille cross coupling. Noise berupa fluktuasi nilai absorbansi pada kurva diakibatkan oleh struktur lapisan TiO2 yang tebal. Karena ketebalan ini cahaya datang mengalami penghamburan. Penghamburan inilah yang terlihat dalam kurva sebagai Noise. Metode pelapisan dengan teknik doctor blading tidak dapat membentuk lapisan yang lebih tipis dari scotchtape. Mata pisau yang digunakan pada penyapuan pasta TiO2 tidak boleh menyentuh permukaan ITO secara langsung, maka antara 4.7 Karakteristik Arus-Tegangan Sel Surya 0,05 Arus (mA) 0,04 Sampel A Sampel B 0,03 0,02 0,01 0 0 100 200 300 Tegangan (mV) Gambar 18. Karakteristik arus-tegangan sampel A dan B Gambar 18. Absorbansi TiO2 nanokristal, MEH-PPV, dan campurannya24. mata pisau dan permukaan ITO terdapat jarak sebesar ketebalan scotchtape (0,05 mm). Jika dibandingkan dengan hasil yang didapatkan oleh Petrella24, karakteristik unik dari absorbansi TiO2 dan PPV yaitu dua puncak absorbansi pada daerah UV dan hijau tidak terlihat jelas. Gambar 18 menunjukkan kurva absorbansi oleh Petrella24 untuk lapisan TiO2, MEH-PPV, dan campurannya. Dari hasil pengujian arus-tegangan yang menggunakan rangkaian dan sinar matahari, kurva yang didapatkan cenderung linear. Dengan demikian sel yang dibuat tidak cukup ideal. Dari kurva yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa dengan keluaran sel masih sangat kecil, sehingga efisiensinya juga kecil, demikian juga dengan FFnya. Perbedaan karakteristik antara sampel A dan B terlihat pada nilai ISC dan VOC. Sample A memiliki nilai ISC yang lebih besar daripada sampel B, namun VOC sampel A tidak sebesar sampel B (Tabel 2). Daya maksimum yang dihasilkan sampel A adalah 4,623×10-6 W, jauh lebih besar daripada sampel B yang hanya Absorpsi TiO2 pada Gambar 18 tidak 1,878×10-6 W. Pengambilan data dilakukan menggunakan bubuk TiO2 sebagai bahan pada siang hari dari pukul 10.00 hingga 11.00 dasarnya, melainkan dibentuk dari dengan intensitas sinar matahari sebesar penumbuhan kristal dengan menggunakan 90W/m2. Efisiensi yang didapat untuk sampel titanium tetraisopropoksida (TTIP) yang A dan B adalah 0,051 % dan 0,021 %. dihidrolisis. PPV yang digunakan juga tidak Efisiensi ini masih jauh dengan sel surya Tabel 2. Tabel nilai tegangan dan arus sampel A dan B. Parameter VOC ISC Vmax Imax Pmax η Sampel A 394 mV 5,180×10-2 mA 215mV 2,150×10-2 mA 4,623×10-6 W Sampel B 417 mV 2,455×10-2 mA 203mV 0,923×10-2 mA 1,878×10-6 W 0,0514 % 0,0209 %. 12 berbasis silikon yang mampu mengkonversi 25 % energi sinar matahari. Bentuk kurva yang dihasilkan kedua sampel cenderung linear. Hal ini disebabkan adanya hambatan dalam yang cukup besar yang terdapat dalam sel. Nelson (2003) menyebutkan bahwa peningkatan hambatan seri dalam sel dapat mengurangi nilai fill factor23 yang berarti mempengaruhi bentuk dari kurva I-V. Hal ini juga menjelaskan posisi kurva I-V sampel B yang berada di bawah sampel A. Tingginya konsentrasi PPV pada sampel B menghasilkan hambatan yang lebih besar daripada sampel A. Pola karakteristik I-V dari kedua sampel juga didapatkan dari pengujian menggunakan I-V meter KEITHLEY 2400 dengan memberikan bias mundur dan bias maju. Gambar 19 dan Gambar 20 adalah kurva I-V dari sampel A dan B yang didapatkan dengan KEITHLEY 2400. Bagian kiri kurva (nilai arus negatif) adalah karakteristik I-V saat dibias mundur dan bagian kanan kurva (nilai arus positif) adalah karakteristik I-V saat dibias maju. 0,005 Arus (A) Vbreakdown -4,00 0,003 Vcutoff 0,001 -0,001 1,00 Gelap A Terang A -0,003 -0,005 Tegangan (V) Gambar 19. Karakteristik arus-tegangan sampel A dengan KEITHLEY 2400 0,001 Arus (A) 0,0006 Vbreakdown -0,0002 0,50 -1,50 -3,50 -0,0006 -0,001 Gambar Vcutoff 0,0002 20. 2,50 GelapB TerangB Tegangan (v) Karakteristik arus-tegangan sampel B dengan KEITHLEY 2400 Berdasarkan bentuk kurva yang didapat, kedua kurva memiliki karakteristik dioda. Pengujian ini dilakukan dengan kondisi gelap dan terang agar perbedaan karakteristik I-V saat terang dan gelap bisa dianalisis namun perbedaan yang didapat tidak begitu jelas. Hal ini dikarenakan arus yang dihasilkan sangat kecil saat sampel diberi sinar. Pada kurva dioda terdapat nilai Vcutoff dan Vbreakdown. Titik pada kuadran pertama kurva I-V yang menunjukkan kenaikan tegangan secara drastis disebut Vcutoff. Besar nilai Vcutoff adalah besar tegangan yang dibutuhkan agar arus difusi mengalir melewati daerah deplesi di p-n junction saat dibias maju.26 Titik pada kuadran ketiga yang menunjukkan penurunan tegangan secara drastis terhadap titik nol disebut Vbreakdown. Besar nilai Vbreakdown adalah besar tegangan yang dibutuhkan agar arus drift mengalir melewati daerah deplesi di p-n junction saat dibias mundur.26 Vcutoff sampel A terdapat di titik 1,67 V dan Vbreakdown terdapat pada titik -2,88 V. Untuk sampel B Vcutoff terdapat di titik 3,08 V dan Vbreakdown terdapat pada titik -2,68 V. Perbedaan konsentrasi PPV menimbulkan perubahan Vcutoff pada sampel. Meningkatnya Vcutoff menunjukkan bahwa semakin banyak daya yang dibutuhkan untuk mengeksitasikan elektron.16 Uji respon sel terhadap perubahan intensitas cahaya yang diukur dengan sensor tegangan pada Data Studio memberikan grafik yang ditunjukkan pada Gambar 21 dan Gambar 22. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, lingkungan sampel dikondisikan agar terisolasi dari paparan sinar selain dari lampu sumber sinar tunggal yang dijadikan patokan perubahan intensitas cahaya. Dalam 30 detik pertama setelah dibuat dalam keadaan gelap, kemudian lampu dinyalakan langsung dengan intensitas maksimum selama satu menit dan dimatikan lagi selama satu menit. Pengulangan nyalamati setiap satu menit ini dilakukan hingga 3 kali untuk kedua sampel. Kestabilan keluaran sampel dapat dilihat dari besarnya tegangan maksimum yang dicapai untuk setiap pengulangan yang dilakukan. Penurunan tegangan saat lampu dimatikan juga diamati untuk mendapatkan konstanta waktu pelepasan muatannya. Konstanta waktu dari sampel dapat ditentukan dengan menganalogikan kurva