TINJAUAN PUSTAKA Akrodermatitis Enteropatika dan Defisiensi Seng Gerald Wonggokusuma Rumah Sakit Eka Hospital Pekanbaru, Riau ABSTRAK Defisiensi nutrisi merupakan masalah umum yang sering terjadi di negara berkembang; tetapi juga harus dipertimbangkan di negara maju bahwa defisiensi nutrisi dapat disebabkan oleh penyakit genetik atau didapat. Kulit biasanya terlibat dan merupakan organ pertama yang terkena saat mengalami defisiensi nutrisi, kulit merupakan kunci pertama untuk menegakkan diagnosis. Artikel ini akan membahas defisensi nutrisi tersering yang menyebabkan periorificial dan akrodermatitis pada anak, khususnya defisiensi seng. Kata kunci: Akrodermatitis, anak, defisiensi seng ABSTRACT Nutritional deficiency is prevalent in developing countries but should also be considered in developed countries in the setting of genetic or acquired disease states. The skin is commonly involved and is often one of the first organs affected in nutritional deficiency, providing a key to diagnosis. This article will review the most common nutritional deficiencies causing periorificial and acrodermatitis in children, especially zinc. Gerald Wonggokusuma. Acrodermatitis Enteropathica and Zinc Deficiency. Keywords: Acrodermatitis, child, zinc deficiency Pendahuluan Akrodermatitis enteropatika (AE) merupakan penyakit jarang yang diturunkan secara autosom resesif dan berhubungan dengan perubahan absorpsi seng dalam traktus digestivus.1-2 Pada tahun 1973, Moynahan dan Barnes mengindentifikasi bahwa penyakit akrodermatitis enteropatika ternyata berhubungan dengan kadar seng plasma darah yang rendah. AE diduga terdapat pada 1 dari 500.000 populasi anak di seluruh dunia.2 Defisiensi seng tidak berhubungan dengan ras atau jenis kelamin, dan masih merupakan masalah di negara-negara berkembang. Di negara berkembang ada beberapa kelompok berisiko defisiensi seng, yaitu: vegetarian, alkoholik, malnutrisi, dan bayi prematur;3 40% anak di negara berkembang mengalami pertumbuhan terhambat berkaitan dengan defisiensi seng. World Health Organization (2002) melaporkan asupan seng yang tidak adekuat terutama pada anakanak di negara Asia Selatan dan Sub-Saharan Alamat korespondensi 914 Afrika. Peningkatan suplementasi seng pada bayi ternyata menurunkan morbiditas dan mortalitas. Metabolisme Seng Seng dalam tubuh mempunyai 3 kategori peranan, yaitu fungsi katalitik, struktural, dan regulatorik. Keilin dan Mann pada tahun 1939 menggambarkan fungsi katalitik seng berhubungan dengan metabolisme carbonic anhydrase, enzim esensial untuk metabolisme CO2 pada binatang dan tumbuhan.4 Pada pertengahan tahun 1980, seng ditemukan mempunyai fungsi struktural penting sebagai komponen gen yang mengatur protein DNA, yaitu histidine dan cysteine.1 Salah satu fungsi struktural yang penting adalah zinc finger proteins yang mempunyai peran mengatur pembentukan sel dan mempertahankan fungsi sel termasuk sel kulit. ZAC (Zinc Activated ion Channel) merupakan salah satu contoh zinc finger protein yang ditemukan dalam sel basal keratinosit. Kadar ZAC ditemukan sedikit pada pasien karsinoma sel basal tempat ZAC berperan sebagai gen supressor tumor. Fungsi seng sebagai regulator berperan dalam pengaturan plasma membran Ca-ATP Ase (PMCA). PMCA berfungsi mengikat Ca secara efektif dan mempertahankan kadar Ca intrasel tetap rendah yang dibutuhkan sel neuron untuk potensial aksi. Seng juga merupakan struktur penting yang berhubungan dengan reseptor asam retinoid dan reseptor vitamin D.5 Absorpsi seng di usus halus, terutama jejunum, menggunakan zinc transporter, yaitu Zip 4. Saat seng diserap ke dalam sel enterosit usus halus, zinc transporter akan memfasilitasi seng ke dalam sirkulasi vena porta dan berikatan dengan albumin kemudian terdistribusi ke sistemik melalui sistem portokaval.5-6 Dalam tubuh, 85% seng terdistribusi di tulang dan otot skeletal. Ginjal memfiltrasi dan mereabsorpsi secara efektif, dan email: [email protected] CDK-235/ vol. 42 no. 12, th. 2015 TINJAUAN PUSTAKA diperkirakan terdapat kehilangan seng sebesar 7,5 μg/kg/hari, namun kehilangan seng terbesar terjadi di daerah intestinum oleh sekresi pankreas, yaitu sebesar 34 μg/ kg/hari. Kehilangan seng juga terjadi di sel epitel, keringat, semen, rambut, dan melalui darah menstruasi. Nilai rata-rata kebutuhan seng di Amerika Serikat pada pria dewasa adalah 14 mg/hari dan pada wanita dewasa 9 mg/hari.6 Beberapa keadaan yang cenderung menyebabkan defisiensi seng antara lain vegetarian, alkoholik, malabsorpsi, dan bayi prematur. Kandungan seng pada makanan dipengaruhi dengan tingginya kadar protein, di mana protein hewani lebih banyak mengandung seng dibandingkan dengan protein nabati; sehingga kebutuhan seng vegetarian umumnya 50% lebih besar dibandingkan kelompok non-vegetarian. Rendahnya kadar seng juga didapatkan pada kelompok peminum alkohol (alkoholik) karena alkohol berhubungan dengan berkurangnya penyerapan seng di pencernaan dan meningkatnya ekskresi seng di urin. Malabsorpsi seperti pada penyakit celiac sprue, penyakit Crohn, dan short bowel syndrome berhubungan dengan fungsi penyerapan seng pada jejunum. Kelompok bayi prematur juga mempunyai kadar seng yang rendah karena cenderung terjadi kehilangan banyak seng pada intestinal dan ekskresi urin.6 Tabel. Penyebab defisiensi seng yang didapat10 1. Intake tidak adekuat • Diet makanan rendah seng: makanan rendah protein hewani (vegetarian) • Kehilangan mikronutrien seng dalam proses pembuatan makanan: desaltisasi dalam proses produksi susu kemasan • Hanya memakan sedikit nutrisi yang mengandung mikronutrien seng 2. Malabsorpsi • Kongenital: Akrodermatitis enteropatika • Acquired: Mengonsumsi makanan yang menghambat penyerapan seng: Phytic acid, edible fibers • Malabsorpsi sindrom: disfungsi hepar, disfungsi pankreas, inflammatory bowel disease, short bowel syndrome • Obat, chelating agent: EDTA (ethylenediaminetetraacetic acid), penicillamine 3. Banyak kehilangan: • Kehilangan cairan traktus digestivus: semua penyakit gastrointestinal yang berhubungan dengan diare • Kehilangan cairan urin: sirosis hepatis, diabetes melitus, penyakit ginjal, anemia hemolitik, pemakaian diuretik • Lain-lain: luka bakar, hemodialisis 4. Meningkatnya kebutuhan seng pada kehamilan dan neonatus (terutama bayi prematur) 5. Idiopatik: defek kongenital kelenjar timus, mongolisme seng rendah dalam darah (normal 70-250 μg/dL).1 Defisiensi seng secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu defisiensi seng yang diturunkan secara genetik atau defisiensi seng yang didapat.7 Bentuk genetik merupakan AE klasik, disebabkan defek absorpsi seng di duodenum dan jejunum.2 Berdasarkan penelitian terbaru, defisiensi seng genetik berhubungan dengan defek gen AE (SLC39A4) yang berlokasi pada kromosom 8q24 yang mengkode gen Zip4 yang merupakan Elemen seng tidak mudah diabsorpsi tubuh, sehingga untuk memudahkan penyerapannya, dibutuhkan zat tertentu atau zat pengikat seperti asam amino dan bahan mineral organik. Berdasarkan zat pengikat terdapat beberapa sediaan seng, yaitu chelated zinc, zinc oratate, zinc picolinate, zinc gluconate, zinc acetate, zinc oxide, dan zinc sulfate.6 Akrodermatitis dan Defisiensi Seng Karakteristik AE umumnya ditandai dengan adanya dermatitis akral dan periorificial, diikuti alopesia dan diare, sehingga dikenal sebagai triad klasik AE. Triad klasik ini terdapat pada 20% kasus. AE biasanya bermanifestasi pada kulit, mulai dari beberapa hari sampai beberapa minggu (+10 minggu) pada bayi baru lahir atau pada bayi yang minum susu botol, atau segera setelah penghentian breastfeeding. AE disertai kadar CDK-235/ vol. 42 no. 12, th. 2015 Gambar 1. Akrodermatitis pada bayi baru lahir, ditemukan lesi eritroskumosa psoriaform terutama pada perioral dan akral.2 915 TINJAUAN PUSTAKA zinc transporter di dalam sel intestinum, khususnya jejunum.8 Selain defek dan mutasi gen SLC39A4, AE bisa disebabkan gangguan fungsi eksokrin pankreas sehingga menyebabkan hipoproteinemia, anemia, dan menurunnya absorpsi seng di usus.2,7,8 Bentuk defisiensi seng yang didapat secara klinis menyerupai bentuk genetik AE. Ada 3 dasar penyebab defisiensi seng yang didapat, yaitu defisiensi seng pada air susu ibu, dikenal dengan akrodermatitis laktogenik, defisiensi seng yang disebabkan nutrisi parenteral yang sedikit mengandung seng, dan karena sindrom malabsorpsi seng khususnya di jejunum seperti pada penyakit Crohn dan penyakit celiac.9-10 Secara klinis, AE defisiensi seng didapat sulit dibedakan dari yang diturunkan secara genetik. Keluhan diawali dengan lesi kulit simetris di daerah periorificial dan retroauricular kemudian menyebar sampai ke ekstremitas. Lesi kulit dimulai dengan bentuk eritematosa dan menjadi vesikobulosa, pustular, atau bahkan eritroskuamosa psoriaformis. Lesi tersebut bisa diikuti infeksi bakteri atau infeksi fungal sekunder. Lesi membran mukosa dan adneksa kulit muncul terakhir. Lesi mukosa berupa gingivitis, stomatitis, dan glositis. Efek pada adneksa kulit berupa alopesia kepala, bulu mata, dan alis mata; kelainan kuku seperti onikodistrofi, onikolisis, dan paranokia; kelainan pencernaan seperti diare muncul kemudian. Diare biasanya diikuti anoreksia dan pertumbuhan terhambat; kelainan psikiatri seperti iritabel, letargi, atau sindrom depresi merupakan gejala yang terakhir muncul; kelainan mata seperti blefaritis, fotofobia, dan konjungtivitis bisa juga terjadi.10 membantu membedakan keduanya. AE timbul beberapa hari atau beberapa minggu setelah lahir (pada bayi yang mendapat susu formula) atau setelah bayi disapih (pada bayi yang mendapat ASI). Defisiensi seng yang didapat biasanya muncul dalam enam bulan pertama kehidupan, yaitu periode pertumbuhan pesat bayi, saat kebutuhan seng meningkat. Respons yang baik dan tidak munculnya kembali lesi kulit setelah terapi suplementasi seng dihentikan menunjukkan diagnosis defisiensi seng yang didapat. Pada AE, rekurensi dapat terjadi apabila terapi suplementasi seng dihentikan.12-13 Pemeriksaan histopatologi tidak dapat membedakan AE dengan dermatitis akibat defisiensi nutrisi pada umumnya. Tanda patognomonik akibat defisiensi nutrisi, yaitu nekrolisis yang memberi gambaran sitoplasma pucat, vakuolisasi, degenerasi balon, dan nekrosis keratinosit pada stratum spinosum dan stratum granulosum di epidermis. Parakeratosis juga terjadi pada defisiensi seng. Pada AE, parakeratosis sering berkonfluen daripada fokal.14-15 Diagnosis ditegakkan terutama secara klinis dan histopatologi; diperlukan pemeriksaan kadar seng serum untuk memastikan diagnosis (kadar normal 70-250 μg/dL) dan penelusuran penyebab defisiensi seng.16-17 Terapi pengganti seng sebaiknya dimulai dari dosis seng elemental 3 mg/kg/hari (terdapat 50 mg seng elemental dalam sediaan 220 mg seng sulfat) pada AE. Pemeriksaan seng serum atau seng plasma sebaiknya dilakukan setiap 3 sampai 6 bulan. Dosis seng sulfat disesuaikan dengan kondisi pasien, beberapa pasien mungkin mempunyai kebutuhan seng lebih tinggi atau lebih rendah. Perbaikan klinis umumnya dapat dilihat cepat dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Penatalaksanaan harus diberikan sesegera mungkin untuk mencegah parahnya penyakit dan kematian.6 Simpulan Defisiensi seng merupakan masalah yang umum di negara-negara berkembang dan menyebabkan 40% anak-anak mengalami keterlambatan tumbuh dan kembang. Defisiensi seng harus dibedakan atas yang diturunkan secara genetik atau yang didapat. Pada defisiensi seng yang diturunkan secara genetik absorpsi seng berhubungan dengan mutasi gen AE (SLC39A4) yang berkaitan pada kromosom 8q24 yang mengkode ZIP4. Defisiensi seng yang didapat lebih cenderung pada beberapa kelompok vegetarian, alkoholik, malabsorpsi, dan bayi prematur. Diagnosis ditegakkan secara klinis, pemeriksaan kadar seng serum, dan pemeriksaan patologi anatomi. Secara klinis dan laboratorium, defisiensi seng genetik sangat sulit dibedakan dari defisiensi seng didapat, namun awitan timbulnya gejala dapat membantu membedakan keduanya. Terapi pengganti seng sebaiknya dimulai dengan dosis 3 mg/kg/hari pada AE, secepatnya setelah diagnosis untuk mencegah mortalitas dan morbiditas. Apabila diagnosis tidak cepat ditegakkan, AE akan meluas dan meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas. Komplikasi menyebabkan terhambatnya tumbuh kembang anak, keterbelakangan mental, iritabilitas, luka yang lama sembuh, hipogonadisme, dan anemia.11 Secara klinis dan laboratorium, AE yang diturunkan secara genetik sangat sulit dibedakan dari defisiensi seng yang didapat, namun awitan timbulnya gejala dapat 916 Gambar 2. Gambaran histopatologi pada pasien akrodermatitis, ditemukan spongiotik psoriaform hiperplasia, keratinosit yang pucat, dan parakeratosis serta adanya infiltrat sel limfosit perivaskuler. (Sumber: Dermatolog Sin J. 2012;Vol.30:66-70) CDK-235/ vol. 42 no. 12, th. 2015 TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA 1. Peravan-Riveros C, Sayago LF, Fortes AC, Sanches Jr JA. Acrodermatitis enteropathica: Case report and review of the literature. Ped dermatol J. 2002; 310: 426-31. 2. Maverakis E, Fung MA, Lynch PJ, Draznin M, Michael DJ, Ruben B, et al. Acrodermatitis enteropathica and an overview of zinc metabolism. Am Academy dermatol J. 2007; 56: 116-24. 3. Shrimpton R, Gross R, Darnton-Hill I, Yhoung M. Zinc deficiency: What are the most appropiate intervention? BMJ. 2005; 330: 347-9. 4. Basyuk E, Coulon V, Le Digarcher A, Coisy-Quivy M, Moles JP, Andarillas A, et al. The candidate tumor suppressor gene ZAC is involved in keratinocyte differentiation and its expression is 5. Kim PW, Sun ZY, Blacklow SC, Wagner G, Eck MJ. A zinc clasp structure tethers 1ck to T cell coreceptors CD4 and CD8. Science 2003; 301: 1725. 6. Dufner-Beattie J, Wang F, Kuo YM, Gitschier J, Eide DJ, Andrews GK. The acrodermatitis enteropathica gene ZIP4 encodes a tissue-spescific, zinc regulated zinc transporter in mice. J Biol 7. Kury S, Dreno B, Bezieau S, Giraudet S, Kharfi M, Kamoun R, et al. Identification of SLC39A4, a gene involved in acrodermatitis enteropathica. Nat Genet J. 2002; 31: 239-40. lost in basal cell carcinomas. Mol Cancer Res. 2005; 3: 483-92. Chem. 2004; 279: 4253-30. 8. Wang K, Zhou B, Kuo YM, Zemansky J, Gitschier J. A novel member of a zinc transporter family is defective in acrodermatitis enteropathica. American Journal Human Genetic. 2002; 71: 66-73. 9. Sehgal VN, Jain S. Acrodermatitis enteropathica. Clinical Dermatology 2002; 18: 745-8. 10. Yanagisawa H. Clinical aspects of zinc deficiency. The Journal of the Japan Medical Association 2002; 127(2): 261-8. 11. Gutierrez-Gonzales E, Alvarez-Perez A, Loureiro M, Sanchez-Aguilar D, Toribio J. Acrodermatitis enteropathica in breast-fed infant. Atlas Dermofiliogr. 2012; 103: 170-2. 12. Mittal R, Sudha R, Murugan S, Adikrishnan, Shobana S, Anandan S. Acrodermatitisenteropathica-a case report. Sri Ramachandra J Med. 2007; 2: 57-9. 13. Ackerman AB, Boer A, Bennin B. Histology diagnosis of inflammatory skin diseases. New York: Ardor Scrobendi; 2005. 14. Gonzales JR, Botet MV, Sanchez JL. The histopathology of acrodermatitis enteropathica. Am J Dermatopathol. 1982; 4: 303-11. 15. King Jc, Hambidge KM, Westcott JL, Kern DL, Marshall G. Daily variation in plasma zinc concentrations in women fed meals at six-hour intervals. J Nutr. 1994; 124: 508-16. 16. Inamadar A, Palit A. Acrodermatitis enteropathica with depigmented skin lesions simulating vitiligo. Pediatr Dermatol. 2007; 24: 668-9. 17. Cousins RJ. Metal elements and gene expression. Annu Rev Nutr. 1994; 14: 449-69. CDK-235/ vol. 42 no. 12, th. 2015 917