MEMUPUK KEMANDIRIAN SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN INDIVIDU SISWA DALAM BELAJAR Oleh: Tahmid Sabri (PGSD, FKIP Universitas Tanjungpura, Pontianak) Abstrak: Menurut KTSP, kurikulum tahun 2006, bahwa dalam suatu pembelajaran, sasaran utama yang akan dicapai dalam pembelajaran meliputi 4 pilar pendidikan (Learning to know/penguasan pengetahuan; Learning to do/penguasaan keterampilan; Learning to be/pengembangan diri; dan Learning to live together/belajar untuk bermasyarakat), dengan kata lain pengetahuan yang dikembangkan pada anak, tidak hanya aspek kognitif saja, namun aspek lain juga sangat diperlukan seperti aspek apektif, psikomotor, termasuk aspek sosial yang lebih mengedepankan “Perlunya pengembangan kemandirian bagi siswa melalui kegiatan belajar di sekolah, di mana peran orang tua dan guru sangat menentukan agar kelak anak-anak kita menjadi anak-anak harapan masa depan yang memiliki sikap dan perilaku yang mandiri, terampil, cekatan, kreatif dan berakhlakul karimmah serta bertanggung jawab dan bersikap demokratis. Kata Kunci: Kemandirian, Belajar Siswa. Pendahuluan Seorang bayi, secara bertahap diharapkan akan mengenyam pendidikan di Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan Perguruan Tinggi sebelum ia masuk dan berkecimpung di dunia kerja. Melalui proses seperti itu, setiap siswa pada akhirnya akan menjadi mandiri dan dewasa. Jelaslah bahwa kemandirian merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidikan. Penulis mengamati bahwa penanganan isu ‘kemandirian’ untuk para siswa dan anak kita masih sedikit oleh para guru dan orang tua dibandingkan dengan negara-negara maju. Pengamatan saya melalui film dan majalah mereka, menunjukkan bahwa sejak kecil anak-anak mereka sudah dibiasakan untuk tidur sendiri di kamarnya. Sejak kecil juga mereka sudah dibimbing dan dibiasakan untuk mengetahui hak-hak, kewajibannya, dan kewajiban orang lain. Tidak hanya itu, sejak kecil mereka sudah dibimbing untuk selalu mempertahankan hak-hak tersebut. Karenanya, judul artikel ini menjadi sangat menarik untuk dibahas dan mudah-mudahan akan mampu meningkatkan penanganan isu kemandirian bagi individu siswa dalam belajar di sekolah, apakah itu di TK, SD, SMP dan SLTA bahkan perguruan tinggi. Dari kenyataan sehari-hari, terkadang perilaku kemandirian sebagai sikap, kurang mendapat perhatian dari pihak orang tua dan pihak guru. Tidak sedikit orang tua memanjakan anaknya dari sejak kecil hingga dewasa, inilah yang menjadi sumber pengangguran karena sudah terlanjur terpatri unsur pemalas, hidup pasrah, selalu bergantung kepada 69 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010 orang tua tanpa ada usaha untuk hidup mandiri yang kreatif, pada hal menurut tinjauan Islam “Allah tidak akan merubah nasib seseorang terkecuali ada usahanya sendiri”, artinya kemandirian itu perlu ditanamkan sejak usia dini. Kecenderungan yang muncul dewasa ini, ditunjang oleh laju perkembangan teknologi dan arus gelombang kehidupan global yang sulit atau tidak mungkin dibendung, mengisyaratkan bahwa kehidupan masa mendatang akan menjadi sarat pilihan yang rumit (Ali, M & Asrori, M, 2009:107). Hal semacam ini menuntut adanya kemandirian pada seorang individu, sebesar apapun problema yang dihadapi, Insya Allah ada jalan keluarnya, yang penting ada kemandirian dan kesungguhan mengatasinya. Sebagai umat beragama ada tiga hal penting yang harus kita lakukan, yaitu” tawakkal (pasrah diri kepada Sang Pencipta), doa dan usaha atau ikhtiar”. Bila dilihat dari fakta di lapangan, khususnya di sekolahsekolah termasuk di sekolah dasar, anak banyak bermainnya dari pada belajarnya, apa lagi di luar jam belajar sekolah. Guru cenderung lebih mengedepankan aspek kognitifnya kurang memperhatikan aspek lainnya seperti aspek afektif, psikomotor, sosial dan aspek kemandirian yang menjadi modal dasar dalam belajar dan merintis masa depan yang lebih berprospek menuju hidup sejehtera, layak dan bahagia baik lahir maupun batin. Ada ungkapan bahwa “jiwa anak itu bagaikan paku, apabila dipalu baru paku tersebut bisa masuk ke dalam sasarannya”, anak tidak akan belajar dengan baik tanpa ada dorongan dari pihak luar, di rumah oleh orang tua dan di sekolah oleh guru, maka atas dasar inilah potensi kemandirian anak perlu dipupuk, dibina dan dikembangkan melalui strategi yang tepat pada setiap berlangsungnya pembelajaran agar kelak anak menjadi orang yang percaya diri, mandiri dan tanggung jawab dan bisa memecahkan berbagai persoalan dengan caranya sendiri tanpa dibebankan pada orang lain sejalan dengan pesan yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan, yaitu terbentuknya anak yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cerdas, terampil, kreatif, mandiri, dan tanggung jawab serta demokratis (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas). Belajar dari Mengajar Anak Berjalan Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2001:710), kata ‘mandiri’ berarti dalam keadaan dapat berdiri sendiri, tanpa bergantung pada orang lain. Contohnya, sejak kecil ia sudah biasa mandiri sehingga bebas dari ketergantungan pada orang lain. Pada dasarnya, setiap guru dan setiap orang tua menginginkan bahwa pada akhirnya setiap anak dan siswanya akan menjadi mandiri atau menjadi dewasa; dalam arti, siswa mampu untuk menentukan dan memilih halhal yang ‘baik’ dari yang ‘buruk’; hal-hal yang ‘benar’ dari yang ‘salah’; serta hal-hal yang ‘bagus’ dari hal-hal yang ‘jelek’. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah, apa yang harus dilakukan para guru untuk membantu siswanya menjadi mandiri ? Untuk menjawab pertanyaan di atas, pernahkah terlintas di dalam Memupuk Kemandirian Sebagai Strategi Pengembangan Kepribadian Individu Siswa Dalam Belajar (Tahmid Sabri) pikiran pembaca tentang bagaimana cara para orang tua atau seorang kakak mengajari anak atau adiknya Berjalan ? Mengapa pada awalnya orang tua memegang tangan anaknya ketika mengajarinya berjalan ? Apa yang akan terjadi jika si anak langsung dilepas untuk belajar berjalan ? Apa yang akan terjadi jika anak selalu dipegang ketika ia belajar berjalan tanpa dilepas sedikitpun ? Mengapa secara bertahap orang tua lalu mulai melepaskan bantuan atau pegangannya ? Dari beberapa pertanyaan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa pada dasarnya, setiap siswa yang masih duduk di bangku SD masih memerlukan bantuan dan bimbingan seorang guru. Namun bimbingan itu sedikit demi sedikit harus dihilangkan, sehingga pada akhirnya ia menjadi mandiri. Jika bantuan yang diberikan seorang guru terlalu banyak, siswa akan tergantung pada gurunya; sehingga mereka tidak akan berani mengambil keputusan sendiri. Namun jika siswa dibiarkan begitu saja tanpa bantuan dan bimbingan guru maka ia akan memerlukan waktu yang relatif jauh lebih lama untuk belajar dan menemukan sendiri norma-norma dan berbagai pengetahuan penting. Berdasarkan penjelasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa seorang guru harus membantu siswanya sesuai tingkat kebutuhan mereka. Karenanya, tindakan seorang guru ataupun orang tua yang terlalu melindungi siswa atau anak didik (over protected) dan tindakan guru yang sama sekali tidak mau membimbing siswanya merupakan dua tindakan yang saling berlawanan dan dua-duanya harus sama-sama dihindari. Guru harus selalu membantu siswanya sesuai dengan 70 tingkat kebutuhan dan umur mereka, sehingga secara bertahap namun pasti mereka akan menjadi semakin dewasa, semakin matang, dan semakin mandiri sejalan dengan perkembangan umur mereka. Contohnya, ketika seorang siswa melakukan tindakan yang tidak terpuji, sudah seharusnya seorang guru tidak langsung memarahi anak tersebut atau sama sekali mengacuhkannya, namun ia dapat mengajukan beberapa pertanyaan berikut sebagai alternatifnya: a. Mengapa kamu memukul Anto ? b. Jika pukulanmu menyebabkan Anto pingsan atau koma, apakah kamu dan orang tuamu juga akan bertanggung jawab ? c. Senangkah kamu jika ada orang lain yang melakukan hal tersebut kepada mu seperti yang kamu lakukan pada Anto tadi ? Mengapa kamu tidak senang ? d. Kalau begitu, apakah kamu akan melakukan lagi hal seperti itu ? e. Apa yang akan kamu lakukan terhadap Anto sekarang ? Dengan bantuan beberapa pertanyaan di atas, siswa dibimbing dan disadarkan bahwa tindakannya merupakan tindakan yang tidak terpuji dan ia dibimbing untuk tidak mengulangi melakukan tindakan yang tidak terpuji tersebut. Tidak hanya itu, dengan beberapa pertanyaan tersebut; di kelak kemudian hari, siswa diharapkan dapat menentukan ataupun memutuskan sendiri, tanpa bantuan gurunya hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan karena sangat berbahaya dan ia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatannya itu. Akan lebih baik, jika pertanyaan tersebut disampaikan juga ke seluruh siswa di suatu kelas, sehingga 71 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010 seluruh siswa akan menyadari kejelekan tindakan yang tidak terpuji tersebut. Memberi Kailnya ataukah Memberi Ikannya ? Pernahkah terlintas di dalam pikiran pembaca tentang kehebatan dan kebesaran tiga orang penting yang memimpin organisasi massa dan organisasi politik yang berasaskan Islam di Indonesia, yaitu K.H. Hasyim Muzadi yang memimpin organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yaitu NU atau Nahdhatul Ulama; Prof. Dr. Din Syamsudin yang memimpin Muhammadiyah; dan Dr. Hidayat Nurwahid yang pernah memimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan melepaskan jabatan itu ketika beliau menjadi ketua MPR ? Pernahkah terlintas juga di dalam pikiran pembaca bahwa ketiga pemimpin tersebut adalah lulusan dari satu institusi pendidikan yang sama, yaitu sama-sama lulusan pondok pesantren modern Gontor Ponorogo ? lalu, pernahkah terlintas pertanyaan di dalam pikiran pembaca mengapa pondok pesantren modern Gontor tersebut mampu melahirkan tokoh-tokoh penting tersebut ? Apa hebatnya pondok pesantren tersebut ? sebagai salah satu pondok pesantren modern, tidak seperti pondok pesantren tradisional lainnya yang hanya mengajarkan penguasaan Bahasa Arab bagi para santrinya, maka Gontor telah dikenal sebagai salah satu pondok pesantren yang memberi kesempatan kepada para santrinya untuk paling tidak menguasai dua bahasa lain selain Bahasa Indonesia, yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Ada hari-hari khusus di mana para siswa harus menggunakan Bahasa Arab dan pada hari-hari khusus lainnya para santri harus belajar menggunakan atau mempraktekkan Bahasa Inggris. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah, apa yang akan terjadi dengan lulusan pondok pesantren tersebut jika mereka hanya belajar berbahasa Arab, namun tidak dibekali dengan kemampuan berbahasa Inggris ? Di samping membantu para santrinya untuk mempelajari dua bahasa penting dunia tersebut, pondok pesantren modern tersebut memiliki perpustakaan yang lengkap dan modern; sehingga lengkaplah kail yang diberikan pondok pesantren kepada para santrinya untuk mengembangkan dirinya sendiri di dalam mempelajari khasanah ilmu keislaman yang ada. Tidak hanya ilmu-ilmu yang dikaji para ulama Timur Tengah yang dapat mereka pelajari namun ilmu-ilmu lainnya yang telah dikembangkan para pakar dari dunia lain. Di samping itu, selama di pondok pesantren mereka dilatih untuk belajar memimpin dan dipimpin melalui organisasi dan diskusi yang teratur serta belajar mengatur dirinya sendiri melalui hidup yang mandiri dan ibadah yang tekun; sehingga cukuplah bekal bagi mereka untuk berjuang di masyarakat setelah lulus kelak. Pada akhirnya, tergantung kepada para santri sendiri, apakah akan cepat puas dengan hasil yang telah ada, ataukah akan berusaha untuk terus mengembangkan kemampuannya melebihi temanteman lainnya atau dapat melebihi gurunya sendiri. Sesungguhnya, seorang guru atau ustad sejati adalah mereka yang memberi kemudahan ataupun fasilitas bagi para siswa atau Memupuk Kemandirian Sebagai Strategi Pengembangan Kepribadian Individu Siswa Dalam Belajar (Tahmid Sabri) santrinya yang berpikiran maju. Tidak hanya itu, sang guru akan sangat senang jika pada akhirnya ada dari muridnya yang jauh melebihi dirinya. Karenanya, tugas guru sejati adalah memberi bekal yang tepat sehingga muridnya menjadi mandiri, dalam arti dapat menentukan dan melaksanakan hal-hal yang ‘benar’ dan ‘baik’ bagi dirinya, keluarganya, masyarakat, dan bangsanya. Dari pondok pesantren modern Gontor kita belajar tentang keberhasilan pemupukan ‘kemandirian’ para santri dalam mengembangkan kepribadian mereka. Pepatah Cina yang digunakan Bastow, Hughes, Kissane, dan Mortlock (1986:1) dan cocok untuk menunjukkan pentingnya kemandirian ini adalah: “A person given a fish is fed for a day. A person taught to fish is fed for live.” Jelaslah bahwa selama mereka di pondok pesantren, para santri atau para siswa dilatih untuk tidak hanya menerima sesuatu yang sudah jadi, layaknya diberi seekor ikan yang dapat dan tinggal dimakan selama sehari saja, namun, mereka dilatih seperti layaknya belajar cara menangkap ikan tersebut sehingga ia bisa makan ikan selama hidupnya. Selama di pondok, mereka belajar Bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab; belajar bagaimana belajar yang sesungguhnya; belajar cara memimpin diri sendiri dan cara memimpin orang lain yang merupakan bekal-bekal yang dapat dikembangkan sendiri ketika sudah meninggalkan pondok. Karenanya, para santri di pondok tersebut telah dibekali dengan cara-cara ‘menangkap ikan’ dan bukan dibekali dengan ‘ikan’ yang sudah siap untuk 72 dimakan. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah: “Bekal apa saja yang cocok atau tepat untuk para siswa kita, sehingga ketika mereka sudah meninggalkan sekolah, mereka dapat hidup layak dan dapat bersaing dengan warga bangsa atau warga negara lain?” Kata lainnya, bagaimana caranya sehingga mereka mendapat bekal tentang cara-cara ‘mendapatkan ikan’ dan bukan hanya mendapat bekal ‘ikan’ saja ? Bekal Apa yang Tepat untuk Siswa Kita ? Sekali lagi, dari ceritera sukses pada Pondok Modern Gontor ini kita dapat menyimpulkan tentang arti penting kemandirian para santrinya. Para pengelola di pondok pesantren tersebut telah menunjukkan juga contoh penting tentang pengambilan keputusan (decision making) yang sangat tepat untuk membekali mereka dengan dua bahasa penting. Apa yang akan terjadi dengan pondok pesantren tersebut dan santrinya, jika para pimpinan di pondok pesantren tersebut tidak berani untuk mengambil keputusan seperti itu ? Di dalam dunia pendidikan, salah satu pertanyaan klasik yang sering diajukan adalah: “Bekal apa saja yang ‘tepat’ untuk kemandirian para siswa kita ?” Pertanyaan ini menjadi sangat penting dan mendasar dan sesuai dengan pernyataan Nickerson (1988) di dalam bukunya Technology in Education, Looking Toward 2020, yaitu: “A general educational problems that how to ensure that students spend time learning the ‘right things’. These are old questions within education, but that does not mean that we know the answers.” 73 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010 Bagaimana caranya meyakinkan diri kita sendiri, bahwa para siswa yang sedang duduk di bangku sekolah telah menggunakan waktunya untuk mempelajari hal yang ‘tepat’ ? Menurut Nickerson sendiri, jawaban untuk pertanyaan klasik seperti itu, belum tentu sudah kita ketahui pada saat ini. Alasannya, hal yang ‘tepat’ pada kurun waktu tertentu akan menjadi tidak ‘tepat lagi’ pada kurun waktu sesudahnya. Namun National Research Council dari Amerika Serikat (NRC, 1989:1) memberi sedikit petunjuk tentang pentingnya ‘kail’ yang berkait dengan daya pikir para siswa dengan menyatakan: “Communication has created a world economy in which working smarter is more important than merely working harder ... require worker who are mentally fit workers who are prepared to absorb new ideas, to adapt to change, to cope with ambiguity, to perceive patterns, and to solve unconventional problems.” Menurutnya, komunikasi telah menciptakan ekonomi dunia yang lebih membutuhkan pekerja cerdas (smarter) daripada pekerja keras (harder). Dibutuhkkan para pekerja yang telah disiapkan untuk mampu mencerna ide-ide baru (absorb new ideas), mampu menyesuaikan terhadap perubahan (to adapt to change), mampu menangani ketidakpastian (cope with ambiguity), mampu menemukan keteraturan (perceive patterns), dan mampu memecahkan masalah yang tidak lazim (solve unconventional problems). Jelas kiranya, kemampuan berpikir dan bernalar akan semakin dibutuhkan pada masa yang akan datang pada setiap aspek kehidupan ini. Bagi setiap negara, ranah kognitif atau pengetahuan saja tidaklah cukup. Karenanya, yang perlu mendapatkan perhatian para guru SD adalah Bab II Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Depdknas, 2003:11) yang menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sejatinya, beberapa kata di atas merupakan ‘kail-kail’ yang harus dimiliki siswa agar menjadi warga negara yang tidak hanya berguna untuk dirinya sendiri, namun juga berguna untuk bangsa dan negaranya. Jelaslah bahwa kata ‘mandiri’ telah muncul sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional. Karena itu, penanganannya memerlukan perhatian khusus semua guru, apalagi tidak ada mata pelajaran khusus tentang kemandirian ini. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pengintegrasian pembentukan sifat mandiri selama proses pembelajaran menjadi suatu keharusan yang tidak dapat diabaikan. Dari beberapa alternatif pertanyaan dan perintah seperti berikut dapat diajukan para guru: a. Amin, apa untungnya kamu melakukan pemukulan seperti ini pada Coki ? b. Apa akibatnya terhadap dirimu dan juga terhadap Coki ? c. Anak-anak, Abduh telah berhasil Memupuk Kemandirian Sebagai Strategi Pengembangan Kepribadian Individu Siswa Dalam Belajar (Tahmid Sabri) d. e. menjadi juara Olimpiade Tingkat Kecamatan. Ayo kita memberikan tepuk tangan yang meriah untuk Abduh. Ibu guru ingin bertanya padanya, mengapa Abduh berhasil menjadi juara ? Apa yang ia lakukan selama di rumah ? Ahmad, mengapa pekerjaanmu untuk soal nomor 9 ini salah ? Padahal, selama proses pembelajaran di kelas, kamu dapat menyelesaikan soal dengan baik, tetapi waktu ulangan mendapat nilai 4. Apakah kamu tidak belajar di rumah ? Bagaimana caranya agar seperti ini tidak terjadi lagi ? Kamu menyatakan bahwa kamu kurang teliti. Bapak setuju. Apa yang harus kamu lakukan ketika ulangan atau ketika mengerjakan soal agar hal itu tidak mempengaruhi nilai kamu ? Pengembangan Kemandirian dan Implikasinya Bagi Pendidikan Menurut Desmita (2010:190), ”Kemandirian adalah kecakapan yang berkembang sepanjang rentang kehidupan individu, yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman dan pendidikan”. Oleh karena itu, pendidikan di sekolah perlu melakukan upaya pengembangan kemandirian peserta didik, di antaranya: a. Mengembangkan proses belajarmengajar yang demokratis, yang memungkinkan anak merasa dihargai, b. Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dalam berbagai kegiatan sekolah, c. Memberi kebebasan kepada anak 74 untuk mengekplorasi lingkungan, mendorong rasa ingin tahu mereka, d. Penerimaan positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan lainnya, e. Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak. Ali, M dan Asrori, M (2009) menegaskan bahwa:”Kemandirian sebagai aspek psikologis berkembang tidak dalam kevakuman atau diturunkan oleh orang tuanya, maka intervensi positif melalui ikhtiar pengembangan atau pendidikan sangat diperlukan bagi kelancaran perkembangan kemandirian peserta didik. Maka dari itu perlu dilakukan upaya pengembangan kemandirian anak secara arif, yaitu: a. Menciptakan partisipasi dan keterlibatan anak dalam keluarga melalui perilaku pemupukan atau penanaman sikap saling menghargai antar anggota keluarga, dan keterlibatannya dalam memecahkan masalah keluarga, b. Menciptakan suasana keterbukaan tanpa ada sak wasangka negative yang diwujudkan dalam bentuk toleransi terhadap perbedaan pendapat; memberikan alasan terhadap keputusan yang diambil bagi anak; keterbukaan terhadap minat anak; mengembangkan komitmen terhadap tugas anak; dan menciptakan suasana keakraban yang harmonis, c. Menciptakan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan dalam bentuk memberikan dorongan rasa ingin tahu anak; menciptakan rasa aman dan nyaman serta menciptakan aturan 75 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010 yang cenderung tidak mengancam bila ditaati oleh anak, d. Menciptakan suasana penerimaan positif tanpa syarat dalam bentuk menerima apa pun kelebihan atau kekurangan yang ada pada diri anak; tidak membeda-bedakan satu sama lainnya; dan menghargai setiap potensi yang ada pada anak dalam bentuk kegiatan produktif apa pun hasilnya meskipun sebenarnya hasilnya kurang, e. Berperilaku empati terhadap anak dalam bentuk memahami dan menghayati pikiran dan perasaan anak; melihat berbagai personalan anak dengan menggunakan perspektif atau sudut pandang anak; dan tidak mencela hasil karya anak sekalipun kurang menurut pandangan pihak lain, f. Menciptakan suasana kehangatan dengan anak dalam bentuk interaksi secara akrab tetapi tetap saling menghargai, tidak bersikap dingin terhadap anak, membangun suasana humor, dan komunikasi ringan dengan anak. memecahkan berbagai persoalan kehidupan menuju hidup yang sejehtera secara berkesinambungan baik lahir maupun batin, yang intinya kesemua ini modal dasarnya adalah kemandirian yang dimiliki oleh anak atau individu yang dibina dan dikembangkan sejak usia dini melalui pendidikan sesuai jenjangnya, TK, SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi yang merupakan refleksi dari pengembangan empat pilar pendidikan, yaitu: Learning to know/penguasaan pengetahuan; Learning to do/ penguasaan keterampilan; Learning to be/pengembangan diri; dan learning to live together/belajar untuk hidup bermasyarakat. Untuk itu pihak sekolah perlu mengadakan komunikasi dengan orang tua anak sebagai peserta didik yang kita bina melalui pertemuanpertemuan, baik yang sifatnya formal, maupun informal, agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai dengan baik, yaitu munculnya individuindividu masa depan yang kreatif, handal, mandiri dan peka terhadap perkembangan IPTEK dan IMTAK yang berkepribadian insan kamil dan berakhlakul karimah. Penutup Untuk mewujudkan harapanharapan di atas, guru di sekolah perlu membuat suatu perencanaan, minimal dijadikan materi sisipan yang betulbetul diprogramkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), agar upaya pemupukan atau pengembangan kemandirian siswa dalam belajar dapat terwujud untuk dijadikan modal dasar bagi anak menghadapi masa dewasanya sebagai manusia yang mandiri, handal, aktif dan kreatif serta mampu Daftar Pustaka Ali, M dan Asrori, M. (2009). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, Cetakan kelima. Jakarta: Bumi Aksara. Bastow, B. Hughes, J. Kissane, B. & Randall, R. (1986). Another 20 Investigational Work. Perth: The Mathematical Association of Western Australia (MAWA). Depdiknas (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Memupuk Kemandirian Sebagai Strategi Pengembangan Kepribadian Individu Siswa Dalam Belajar (Tahmid Sabri) Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Desmita (2010). Psikologi Perkembangan Peserta Didik/Panduan Bagi Orang Tua dan Guru, Cetakan Kedua. Bandung: Rosda. Nickerson, R.S. (1988). Technology In Education. Di dalam R.S. Nickerson & P.P. Zodhiates (Eds). Looking Toward 2020. New Jersey: LEA. pp 285-317. NRC (1989). Everybody Counts. Washington DC: National Academy Press Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2001). Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI). Jakarta: Balai Pustaka. 76