BAB II LINTAS SEJARAH Asal muasal orang Aceh diperkirakan berasal dari golongan Melayu Tua datang disekitar 2500-1500 tahun sebelum Masehi. Sekitar 300 tahun menjelang Isa muncul pula golongan yang disebut DeuteroMelayu atau Malayu Muda, yang tempat asal kadatangannya sama dengan golongan pertama, Proto-Malayu, atau Malayu Tua, Melayu Muda (DeuteroMelayu) itu ditandai oleh kecerdasan yang sudah dimilikinya tarutama dalam pangetahuan menukangi alat-alat dari bahan logam (tembaga maupun besi), Salah satu penemuan yang cukup berkesan adalah berupa genderang tembaga (kettledrums) yang dipergunakan untuk upacara. Dengan kemampuan itu Asia Tenggara memasuki zaman kebudayaan tembaga atau lebih diidentitaskan kapada nama kebudayaan Dong Son, mangambil nama dasa di Indo Cina di tempat genderang tersebut ditemukan (Said, 1981:6). Selagi golongan Melayu Tua masih memiliki taraf kebudayaan yang sederhana, maka golongan pendatang Melayu Muda tiba dengan kelengkapan kebudayaannya yang dapat dikatakan sudah tinggi pada zaman itu. Hal ini diperteguh oleh fakta tentang berbagai kemampuan mereka terutama dalam sektor pertanian dan perternakan, seperti bersawah, membuat irigasi dan memelihara hewan, Tidak ketinggalan dalam bidang pertukangan seperti mendirikan rumah dan membuat parahu. Demikian juga dalam berbagai kerajinan seperti bertenun, Universitas Sumatera Utara 31 dan kecerdasan dibidang kesenian (musik, seni suara dan pewayangan). Sejak kedatangan mereka keaktifan kontak dengan dunia luas terlihat nyata. 2.1 Sejarah Masuknya Islam ke Aceh Menjelang wafatnya Nabi Besar Muhammad s.a.w agama Islam sudah berkembang luas di seluruh jazirah Arab. Pengembangan keluar jazirah berjalan terus, diantaranya yang menarik perhatian ialah bahwa pengembangan tersebut sudah mancapai Tiongkok dizaman Khalifah Usman Ibn 'Affan, ketika perutusannya tiba disana dibawah pimpinan Sa'd Ibn Abi Waqqas. Mereka berlayar melalui Lautan Hindia dan Laut Tiongkok menuju pelabuhan Kwangzou di Tiongkok Selatan. Bahkan ada disebut-sebut juga bahwa dalam zaman Nabi Besar sendiri telah pernah utusan beliau ke Tiongkok untuk mengembangkan agama Islam di negeri itu. Pada saat itu Tiongkok sedang dipimpin olah dinasti T'ang (618-907 M). Negara tersebut memiliki kebijakan membuka pintu untuk kedatangan orang luar. Orang-orang Arab sudah berada di bandar-bandar pelabuhan bagian benua tersebut. Sebelumnya menurut sarjana Van L. Bur perkampungan perdagangan orang Arab sudah ada di Canton sejak abad ke 4 Masehi. Dan mereka diketahui berada kembali disana sajak tahun 618 dan 628. Adanya fakta bagi penelitian, Islam masuk Indonesia, khususnya Aceh adalah cukup penting karena (a) sudah terlaksananya pengislaman diseluruh jazirah Arab sebelum Nabi Besar wafat; (b) dengan demikian pedagang/pelaut Arab yang melintasi lautan sejak masa itu sudah terdiri dari orang-orang Muslim; dan (c) bahwa pelaut/padagang Arab yang menuju Tiongkok dari negerinya, tentu Universitas Sumatera Utara 32 melintasi Selat Malaka dan oleh karena itu tidak mustahil lagi mereka mampir di salah satu pantai di Sumatera Utara, baik untuk menunggu musim maupun untuk menambah perbekalan, bahkan juga malakukan barter Perdagangan. Pada zaman dinasti T'ang tersebut sejarawan Tionghoa sudah lebih berminat membuat data-data tentang kedatangan orang Arab dan Parsi ke negerinya ataupun kegiatan dagang yang bertalian dengan negerinya. Terhadap orang Arab mereka sebut namanya orang Tashi atau Tazi, dan orang Parsi mereka namakan Po-ssu. Bretschneider mengutip dari sejarawan Tionghoa pada zaman dinasti T'ang itu yang disebutnya sebagai lebih mencukupi dari catatan Tionghoa sebelumnya tentang Ta shi (pasal 258b) sebagai berikut: "Negeri ini terdiri dari wilayah yang dahulunya masuk bagian Po-ssu (Persia). Orangnya berhidung lebar, berjanggut hitam. Mereka menyandang pedang perak dan cincin perak. Mereka tidak minum anggur dan tidak mengenal musik. Wanitanya putih dan menutup muka bila keluar rumah, Banyak Sekali rumah ibadat, Setiap tujuh hari sekali Raja berpidato (berkhotbah) kepada rakyatnya, dari suatu mimbar dalam rumah ibadat itu, dengan kata kata berikut: Barang siapa yang tewas oleh musuh akan bahagia. Itulah sebabnya maka Tashi itu sedemikian perkasa berperang, Saban hari mereka sambahyang lima kali mengabdi kepada yang mahakuasa, Negeri tersebut berbatu-batu, sedikit sekali yang subur. Kehidupan mereka kebanyakan dari berburu. Mempunyai kuda sembarani yang dapat berlari l.000 li sehari. Juga ada unta". Universitas Sumatera Utara 33 Sedikit banyak terkait dengan kedatangan utusan Khalifah Usman Ibn Affan dimaksud diatas, pada catatan sejarawan dinasti T'ang itu terdapat cerita mengenai kedatangan perutusan Han Mi Mo Mo Ni (Amiru'l Mu'minin) pada tahun 851 M. ke Tiongkok, disertai dengan sepucuk surat yang menyebut bahwa kerajaannya (maksudnya: Islam) sudah berdiri sejak 34 tahun. Selanjutnya disebut bahwa ditahun 713 M datang lagi seorang utusan dari Ta shi, membawa bingkisan kudakuda yang perkasa serta batu permata, Ketika dibawa menghadap kepada Raja Tiongkok, utusan tersebut menolak untuk bersujud, sambil berkata: Di negeri saya orang hanya menyembah Tuhan dan bukan kepada Seorang Raja. Mulanya pengawal Raja sudah hendak membunuh utusan itu karena tidak mau sujud, namun seorang Menteri Raja mencegah berkembang sambil mengingatkan bahwa setiap negeri mempunyai adat istiadat sendiri. Ungkapan Bretschneider ini membawa kesan bahwa bagi orang Tionghoa pada zaman dulu Tashi adalah orang Arab dan lokasinya di tanah Arab sendiri. Namun disamping itu, tentu tidak dapat diabaikan adanya fakta bahwa orang Tashi yang disebut Arab ini telah melancarkan perantauan kemana-mana, antara lain ke Sumatera dan dengan melintasi Selat Malaka ke Tiongkok. Karena itu baik nama Tashi maupun Possu untuk Parsi akan turut "merantau" bersama orangnya siperantau sendiri. Dalam hubungan ini maka peristiwa peristiwa kegiatan merantau pada zaman dulu dari orang-orang Arab dan Parsi yang terdapat dalam catatan Tionghoa, paling sedikit ada dua yang dangan sendirinya jadi sasaran perhatian. Yang dua itu ialah : Universitas Sumatera Utara 34 a) Kesan-kesan perjalanan biksu Tionghoa I Tsing pada tahun 872 M., katika ia berangkat dari Canton menuju India sambil melewati Selat Malaka menyinggahi Palembang, dan juga O-shan yang diperhitungkan sebagai pelabuhan Aceh. b) Catatan yang diungkap oleh W.P. Groeneveldt dari yang terdapat dalam hikayat dinasti T'ang, bahwa dipantai sebelah Barat Sumatera (Aceh, atau Samudara) telah ada permukiman orang-orang Arab yang disebut bangsanya Ta-shi Mengenai (a) I Tsing mengatakan bahwa ia telah menumpang kapal orang Po-ssu, yaitu Parsi. Diperhatikan dari masanya 872 M. (yaitu sakitar sudah 40 tahun berkembang Islam di Parsi) tidaklah syak lagi bahwa pelaut-pelaut Parsi itu telah memeluk Islam, Demikian pula para saudagarnya sendiri, yang mungkin turut serta. Mengenai (b), orang Arab atau Tashi yang bermukim dipantai Barat Sumatera disekitar tahun 874 M, itu, tentulah pula sudah menjadi pemeluk Islam. Pencatat Tionghoa menyebut mereka orang Tashi, jadinya pendatang Arab yang membangun permukiman disana, Bahwa mereka bermaksud hendak menyerang sampai Haling yang negerinya makmur, sekaligus memberi petunjuk bahwa jumlah mereka tidak sedikit dan mereka sudah teguh kedudukannya. Sejak tersiarnya ungkapan Groeneveldt itu, para sarjana menjadi meningkat perhatiannya untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang masa yang lebih tua mengenai kedatangan Islam di Indonesia, khususnya Aceh. Universitas Sumatera Utara 35 Kolonel D.E. Gerini dalam studinya, yang tebal ketika menyentuh parsoalan Ratu Sima tersebut baberapa kali menulis "Tashi" dengan membubuh tanda kurung "Aceh", Ini meneguhkan ketidak sangsinya lagi bahwa yang dimaksud dengan "Tashi" dalam hubungan kisah Ratu Sima itu adalah tarletak di Aceh. Oleh karena masa yang diceritakan baru mencapai sekitar 40 tahun setalah Nabi Besar wafat maka tidak syak lagi bahwa penduduk Arab di wilayah dimaksud (Aceh, pantai utara Sumatera) telah memeluk agama Islam. Dari sini antara lain diyakinkan bahwa Islam sudah masuk ke Aceh dalam abad ke 1 Hijriah, Dalam hubungan itu juga Gerini memastikan tentang sudah beradanya orang-orang Arab atau Parsi dibagian pantai Utara Sumatera, sejak awal Islam, Jelasnya Gerini menulis sabagai berikut: " bahwa pernah ada pemukiman orang Arab maupun orang Parsi di wilayah Aceh bahkan di berbagai tempat lain di kedua belah pantai Barat dan Utara Sumatera, adalah amat mungkin sekali, bahkan boleh disebut pasti; pantaipantai ini terletak dekat sekali dengan pulau-pulau Nikobar, tempat yang sudah dikenal meerupakan persinggahan utama bagi pelaut Arab dan Parsi pada jalur pelayaran Teluk Benggala, Karena harus begitu, acaplah pantai Barat Laut Sumatera disinggahi oleh mereka, lebih-lebih kalau agin ribut memaksa mereka dengan sendirinya harus berlindung ke sana, Sebagai buktinya adalah pelancong Arab itu tidak hanya bercerita tentang Lambri tapi juga Barus, pelabuhan dimana mereka diketahui pergi datang paling lambat sejak abad ke 10 M" . Beradanya orang-orang Arab ataupun Parsi di pantai Utara Sumatera pada abad permulaan hijriah dengan sendirinya memperteguh catatan dari dinasti Tang yang mengungkapkan telah beradanya orang-orang Tashi sebagaimana yang diterjemahkan oleh Groeneveldt tersebut. Tidak heran bila sarjana Van Leur merasa perlu untuk menekankan dalam esainya sebagai berikut: "pembinaan kedua kebudayaan Indonesia ditempa oleh Islam. Islam adalah suatu masyarakat pembaktian yang membuat setiap pemeluknya menjadi Universitas Sumatera Utara 36 petugas berharga dalam menyebarkan da'wahnya. Tapi walaupun ditanah jajahan lain di Timur sudah masuk Islam itu, seperti di sebelah barat Sumatera sekitar tahun 674, di Tiongkok tibanya kesepanjang jalur pantai dalam abad ke 7, di Jawa dan di India Belakang dapat diketahui dari batubatu nisan dari tahun-tahun 1082 dan 1039, namun Islam baru memiliki pengaruhnya yang luas dalam abad ke 14" Dari tulisannya di atas jelas bahwa Van Leur turut mendukung bahwa Islam sudah masuk di bagian barat Sumatera pada tahun 674-an sebagai disebut dalam buku Groeneveldt. Dalam hubungan ini pula, baik sebelum maupun sesudah Van Leur, beberapa sarjana ulung telah tiba kepada kesimpulan yang tidak ragu-ragu, antara lain sebagaimana dikutip pula dibawah ini: T.W. Arnold, ketika mengupas kedatangan Islam ke kepulauan Indonesia mengaitkannya dengan dagang para saudagar Arab kejurusan Timur. Sejak abad ke 2 sebelum Isa perdagangan ke Sri Langka sudah ditangan mereka (orang Arab). Sejak awal abad ke 7 sesudah Masehi kegiatannya dilanjutkan Tiongkok melalui laut. Dapat diperkirakan, kata Arnold, orang-orang Arab itu sudah mambangun permukimannya dibeberapa pulau di Nusantara, sebagai yang mereka telah lakukan ditempat lain. Lalu disimpulkannya: "Meskipun tidak ada cacatan orang Arab mengenai kepulauan ini labih dulu dari abad ke 9, namun dari hikayat Tionghoa diketahui bahwa ditahun 674 M. beradanya seorang Raja Arab yang kemudian dari beberapa petunjuk diperkirakan mengepalai permukiman orang Arab dipantai barat Sumatera" Harry W, Hazard dalam "Atlas of Islamic History" mengatakan tentang Islam di Indonesia sebagai berikut: "Orang Islam yang pertama mengunjungi Indonesia boleh jadi adalah saudagar Arab dalam abad ke-7 yang singgah di Sumatera dalam perjalanan menuju Tiongkok. Penyusul mereka adalah saudagar dari Gujerat yang berdagang lada dan yang telah membangun sejak tahun 1100 perkampungan Universitas Sumatera Utara 37 yang unik antara perdagangan dengan usaha-usaha mengembangkan Islam di Indonesia" Sarjana Ir. J.L. Moens yang banyak membicarakan tentang peranan Aceh sebagai tempat berkembangnya kerajaan-kerajaan di Sumatera Utara penghasil wangi wangian dan rempah-rempah (parfums en/specerijen) tanpa sangsi menyebut bahwa Tashi yang dimaksud dalam riwayat T'ang tersebut (kisah Ratu Sima/Raja Tashi) tidak lain adalah kerajaan Tashi Aceh. Katanya mana mungkin Tashi dimaksud itu negara Arab yang letaknya memerlukan 60 hari pelayaran jauhnya dari Kedah (kerajaan di Semenanjung Melayu). Untuk apa kerajaan Khalifah Umayah (660-749 M) yang sudah berkembang wilayahnya dari Spanyol hingga India Barat harus memboroskan korban besar-besaran ke Holing. Dengan kata lain bahwa Tashi yang disebut dalam riwayat T'ang tersebut tidak lain Tashi di Sumatera bagian Utara, tegasnya Aceh. Raymond LeRoy Archer Ph.D. Menulis: "Masuknya Islam ke Sumatera labih tepat disebut oleh pedagang Arab bukan khusus Muballigh mereka, dimasa abad Hijriah yang paling terdahulu. Diawal abad ke 8M, pedagang Arab sudah barmukim di Cina dalam jumlah besar, Maka sangat mungkin bahwa mareka menetap berdagang semantara di pulau sepanjang pantai barat Sumatara Utara" Professor Syed Naguib Al-Attas dalam suatu studinya yang kemudian disiarkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur mengatakan bahwa "catatan yang paling tua menganai kemungkinan sudah bermukimnya orang Muslim di kepulauan Indonesia adalah bersumber laporan Cina tentang permukiman Arab di Sumatara Utara pada tahun 55 Hijriah atau 674 M". Professor Pakistani Sayid Qadarullah Fatimi, yang pernah menjadi mahaguru tamu di Singapura, dan membuat riset tentang masuknya Islam ke Nusantara Universitas Sumatera Utara 38 manyimpulkan: a) bahwa telah terjadi kontak permulaan tahun 674M, b) Islam menjejak kaki dikota-kota pantai sejak tahun 878, dan c) Islam memperoleh kekuasaan politik, dan permulaan besar-besaran berkembangnya Islam sejak tahun 1204 M. Professor tersebut juga menempatkan perhatian terhadap peristiwa Raja Tashi/Ratu Sima tersebut, dengan menekankan telah tarjadi apa yang disebutnya kontak itu pada tahun 674 itu. Dari beberapa ungkapan peneliti sejarah di atas maka dapat disimpulkan bahwa masuknya Islam ke Aceh pada 674 Matau pada abad ke 7 M. 2.2 Kerajaan Islam di Aceh Pada seminar sejarah masuknya Islam ke Indonesia yang dilangsungkan di Medan pada 17 s/d 20 Maret 1963 telah diambil kesimpulan antara lain: a) bahwa Islam masuk untuk pertama kalinya ke Indonesia adalah pada abad ke 1 Hijriah dan langsung dari Arab, dan b) bahwa daerah pertama didatangi Islam ialah pesisir Sumatera dan setelah terbentuknya masyarakat Islam maka Raja yang pertama berada di Aceh. Bahwa kesimpulan telah diambil dengan penuh hati-hati mengingat bahwa yang ditetapkan itu berupa suatu yang belum secara langsung di lemparkan kemasyarakat walaupun dikalangan ilmuwan sebagaimana yang pendapatpendapatnya sudah dikutip dibagian lalu, sudah bukan merupakan barang baru lagi. Universitas Sumatera Utara 39 Reaksi yang menonjol datang dari Professor Drawes, tokoh Barat dan berat dalam ilmu-ilmu Islam dan ketimuran, pada Universitas Leiden, pengganti Dr. Snouck Hurgronje yang tidak asing lagi. Pendapat-pendapat yang sebegitu jauh masih manguasai ilmu sejarah Islam di Indonesia sebagaimana yang dikembangkan olah Dr. Snouck, adalah bahwa Islam baru mencapai Indonesia sesudah berabad-abad berkembangnya ditanah asal (Mekkah), dan agama Islam itu telah dimasukkan melalui India, tidak langsung dari Arab, Professor Hamka yang dalam seminar itu tampil sabagai pembanding utama, yang mendukung penuh bahkan memperjelas kelangsungan datangnya Islam dari Arab pada abad ke 1 Hijriah, membantah keras pendapat Dr. Snouck tersebut, tidak saja dalam seminar itu, melainkan sudah lebih dulu pada Dies Natalis di Jogya beberapa tahun sebelumnya, Professor Drewes yang membuat tanggapannya melalui suatu monograf sambil mengutip apa yang pernah diucapkan oleh Hamka dalam seminar bahwa pendapat yang disebarkan olah Snouck tidak lain dari " jarum halus " untuk menantang pengaruh Arab, mengatakan belum melihat suatu bahan baru dari bahan-bahan mengenai masuknya Islam ke Indonesia yang sebegitu jauh sudah ditemukan. Namun demikian Professor Drewes membenarkan juga adanya bahan Groeneveldt, tapi baliau menunjuk pada bagian kalimat dari ungkapan Groeneveldt tantang cerita-cerita yang menurut penilaiannya masih samar-samar disekitar beradanya permukiman Arab (Tashi) di pantai barat Sumatera ditahun 874 M, tersebut. Universitas Sumatera Utara 40 Dalam tahun 1978 (tegasnya: 10 s/d I6 Juli) di Banda Aceh telah barlangsung pula suatu seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam di Aceh yang diselengarakan Oleh Majelis Ulama Propinsi Daerah Tingkat I Aceh, seminar tersebut bertujuan mengupas dan mencari kesimpulan mantap bagian-bagian penting seluruh aspek yang berkaitan dengan sejarah pekembangan Islam di wilayah tersebut. Kesimpulan-kesimpulan yang berhasil diambil terbagi dalam tiga bab. Bab partama yang ditempatkan pada baris atas ialah berbunyi sebagai berikut: Masih banyak lagi bahan-bahan sejarah yang harus dikumpulkan dan diteliti sehubungan dengan masuk dan berkembangnya Islam di Aceh. Bab ke 2 meliputi 29 kesimpulan, dan bab ke 3 berkenaan dengan saran-saran. Yang bertalian dengan bab ke 2, khusus mengenai masuk dan berkembangnya Islam, terpenting diantaranya adalah: a) Sebelum Islam masuk, sudah ada kerajaan-kerajaan di Aceh diantaranya Lamuri dan karajaan-karajaan lain yang tersebut dalam sumber asing. b) Pada abad ke I Hijriah Islam sudah masuk ke Aceh, dan c) Kerajaan Islam yang pertama adalah Peureula', Lamuri dan Pasai. Dan yang bertalian dengan bab 3 terpenting diantaranya adalah berkenaan dengan keinginan diadakannya penyusunan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Aceh yang sedikit banyak ada pertaliannya dangan kesimpulan ke 1 dimana ditekankan perlunya lagi digali tentang masuk dan berkembangnya Islam di Aceh. Universitas Sumatera Utara 41 Bagian yang menonjol dari keputusan Seminar Aceh ini adalah tentang soal kerajaan-kerajaan Islam pertama. Diantara pendapat yang diketengahkan pada seminar tersebut banyak yang sama dangan pendapat yang pernah diketengahkan oleh Ustaz M. Junus Djamil dalam pekan Kebudayaan Aceh yang pernah dilangsungkan ditahun 1959. Ustaz kita ini mengungkapkan bahwa Islam telah masuk ke Peureula' (Aceh Timur) pada tahun 790 M. Sumbernya disebut kitab "Zubdatu'l Tawarikh" karya Nuru'l-Haq Al-Masyriqiyal - Duhlawy dan Kitab Idhahu'lhaq fi Mamlatatu'l - Peureula', karya Abu'l-Ishaq AlMakarany. Berdirinya kerajaan Islam di Peuraula' disebut pada tahun 225 H atau 840 M, dengan Sultannya yang pertarna Sultan Alauddin Sayid Maulana Abdu'l-Aÿiz Syah. Junus Djamil berhasil juga mancatat nama-nama Sultan Peureula' berturut-turut sesudah Sultan ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, bernama Alaiddin Abdu'l Malik Syah yang mangkat ditahun 973 M. Dicatat oleh Junus Djamil bahwa pada masa ini kaum Syi'ah bergerak kembali di Peureula' yang berakibat perpecahan, timbullah dua kerajaan, Peureula' di baroh dan Peureula' di tunong, dengan masing-masing ada sultannya. 2.2.1 Kerajaan Pasai (abad ke 13 sampai abad ke 16) Sumber dalam negeri sendiri "Hikayat RajaRaja Pasai" mengatakan bahwa kerajaan Samudera telah didirikan oleh Meurah Silo yang kemudian bergelar Sulthan Maliku's-Saleh, Adanya Sultan ini dibuktikan setelah mangkatnya. Batu nisan diatas makamnya di Blang Me yang sampai kini terdapat disana, disebut mangkatnya pada tahun 887 H. bertepatan 1297 M. Universitas Sumatera Utara 42 Pada waktu ia memerintah karajaan Samudera sudah berkembang. Kebetulan melawat ke Sumatera dan melintasi pantai ini rombongan pengunjung Itali yang baru pulang dari Tiongkok sesudahnya menjadi tamu waktu itu Raja Tiongkok, Kublai Khan. Diantara rombongan itu turut seorang pemuda barnama Marco Polo. Masa itu dipergunakannya untuk menulis kesan perjalanan mereka. Dalam kesankesan itu disebut juga peristiwa persinggahan mereka ke kerajaan Perlak. Katanya sudah barada disana pendatang Muslim, yang disebutnya "Saraceen". Disebutnya bahwa penduduk sendiri masih tidak baragama (idolators), orang-orang Saraceen itulah yang mengislamkan mereka. Ia menyebut kawasan yang disinggahinya di Sumatera dangan nama Giava Minore, atau Jawa Minor. Disana terdapat 8 kerajaan, tapi yang disinggahi rombongan itu hanya enam, Selain Peureula', yang disebutnya Ferlac, ia manyebut Barus dengan Fansur, hal mana mengesankan bahwa ia mengenal nama-nama itu dari bahan orang-orang Arab yang melafazkan nama-nama pelabuhan itu menurut lidahnya, Ia menyebut juga Basman Samara, Dagroian, dan Lambri , Ia mangatakan bahwa panduduk pantailah yang baradab, selainnya biadab dan pemakan orang. Sesudah dari Peureula', mereka masuk ke Pasai, yang disabut oleh Marco Polo Basman. Dikatakannya masih liar (tidak ada hukum , seperti hewan). Walaupun tahun parmulaan Maliku Saleh memerintah tidak dicatat, namun tidak meleset jika kiranya dibuat tahun parmulaan itu sekitar 1260 M. Tatkala Sultan dinobatkan diadakan upacara. "Hikayat Raja-Raja Pasai" menceritakan bahwa Sultan dinobatkan dangan memakai pakaian kerajaan anugerah dari Makkah. Ini berarti penobatan dilakukan secara Arab bukan ala India. Diceritakan Universitas Sumatera Utara 43 bahwa segala hulubalang duduk manghadap nobat Ibrahim Khalil. Selanjutnya dikatakan; "Bantara pun bardiri menjabat salih, dan Segala pegawai pun masingmasing membawa jabatannya. Maka genderang tabal itupun dipalu orang dan bunyi-bunyianpun berbunyilah. Maka bedil nobatpun dipasang dan semua hulubalang dan rakyat manjunjung duli menyambah mengatakan Daulat Dirgahayu Syah 'Alam Zillu'lLahi fi'l-'alam. Pada waktu itu diketahui penetapan dua orang-orang besar, seorang bernama Tun Sri Kaya dan seorang bernama Tun Baba Kaya. Tun Sri Kaya diberi gelar Sayid 'Ali Khiatu'ddin dan Tun Baba Kaya diberi gelar Sayid Asmayu'ddin. Inipun juga mengesankan bahwa beliau orang Arab setidak-tidaknya keturunan Arab. Ketika Sultan Maliku's-Saleh meminang puteri Sultan Perlak, mereka berdua diutus kesana. Lamaran diterima, Dari pernikahan Sultan Maliku's-Saleh dengan Puteri Ganggang anak Sultan Perlak tersebut, Sultan memperoleh seorang putera bernama Muhammad. Sultan Maliku't-Thahir (atau Sultan Muhammad Maliku't-Thahir sebagai mana dapat dibaca kemudian dalam batu nisan makamnya yang ditempatkan disebelah makam Malik's-Saleh) berputera dua orang. Seorang bernama Mahmud dan saorang lagi barnama Mansur. 2.2.2 Kerajaan Lamuri Aceh (abad ke 9 sampai abad ke 16) Suatu petunjuk tepercaya tentang adanya suatu kerajaan Lamuri yang terletak di Banda Aceh sekarang dan sekitarnya telah diperoleh dari suatu prasasti yang telah diabadikan oleh Rajendra Cola I pada tahun 1030 M di Tanjore (India Universitas Sumatera Utara 44 Selatan) hasil serangannya kebeberapa negeri di Sumatera dan Semenanjung Melayu, disekitar tahun 1023/1024, Disitu disebut bahwa Raja Cola telah mengerahkan armada laut yang besar dengan angkatan perang yang hebat dan melanggar Kedara (Kedah) tempat banyak didapati binatang yang gajahnya terkenal. Dia mengalahkan Sriwijaya yang jaya itu, Panai, yang terlatak di pinggir sungai, Melayu yang berbentang kuat di bukit, Mayirudinggam (Andaman) yang di lingkar laut, Ilanggacoram (Langka Suka) dalam pertempuran dahsyat, Mewilimbanggam yang dipertahankan dengan tembok tebal, Walaipanduru, Talaitakkolam, Madamalinggam, Ilmauridecam (Lamuri = Aceh) yang telah melawan hebat dan dapat dipatahkan dalam suatu pertampuran mati-matian dan Manakwaram. Ekspedisi besar-besaran ini sebagaimana telah dicatat diatas, berlangsung ditahun 1023-1024, dalam bahasa Indonesia terjemahannya adalah sbb: "Setelah mengirimkan sejumlah kapal yang sangat besar ketengah lautan lepas yang bergelombang dan setelah menawan Sang Rama Wijaya Tunggawarman, Raja Kadaram, sekaligus menghancurkan armada gajahnya yang besar dan sebagaimana laut layaknya dalam pertempuran, (ia merebut juga) harta benda yang sangat banyak, yang baru saja dikumpulkan oleh yang tersebut tadi; Widyiadaratorana, pintu gerbang ratna mutu manikam yang terhias sangat permai, pintu gerbang-gerbang batubatu permata besar, Sriwijaya yang subur mekar; Pannai, berair tangkahan mandi-mandi; Malaiyur tua (dengan) benteng diatas bukit yang tinggi; Mayuridinggam, dikalilingi oleh laut yang dalam, (seperti) oleh parit; Illanggasagam tak tartahan (dalam) pertempuran-pertempuran dahsyat; Universitas Sumatera Utara 45 Mappapalam, dipertahankan Mewilimbanggam, oleh dipertahankan perairan oleh yang banyak tembok-tembok dan dalam; yang cantik; Walaippanduru (serentak) memiliki tanah-tanah yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan; Talaitakkolam, dipuji oleh orang-orang besar (pandai dalam) pengetahuan; Madamalinggam, tidak goyang dalam pertampuran besar dan mahadahsyat, Ilamuridecam yang telah menghunjamkan kehebatan pasukannya kepertempuran; Manakkawaram, dengan kebun-kebun bunganya tempat mengirup madu, dan Kadaram dengan kekuatan yang tiada terhingga, dilindungi oleh laut sekitarnya." Dari sejumlah nama-nama negeri yang ditaklukkan itu, Cola mengalahkan IImuridacam yakni Lamuri sasudahnya bertampur habis-habisan. Dari sini dua kesan nyata, 1) bahwa negeri itu selambat-lambatnya sudah ada antara abad ke 9 dan ke 11; dan 2) negeri itu sudah mempunyai angkatan perang yang hebat. Dengan bersusah payah diserang oleh Cola barulah dapat dipatahkan perlawanannya oleh tantara Cola yang besar. Ini berarti bahwa kerajaan Lamuri adalah suatu kerajaan yang sudah mempunyai pemerintahan teratur dan kuat dalam zamannya. Tentu saja untuk membangun suatu pemerintahan teratur dan kuat angkatan perangnya Lamuri mamerlukan sumber-sumber kekayaan yang dihasilkan dari kegiatan perekonomian, terutama pertanian, perdagangan, serta perkapalan, dan jelas bahwa Lamuri sudah mempunyai sarat-sarat kemampuan tersebut, yang mambuat Rajendra-Cola I perlu menumpukkan segenap tenaga untuk memukul Lamuri. Universitas Sumatera Utara 46 Telah diceritakan tantang Lamuri atau Lamri atau nama lain yang mirip, terletak di ujung Sumatera Utara, di Aceh Besar sakarang, negeri ini dikenal sejak abad ka-9 dan berakhir kira-kira abad ke-15, saat nama Aceh meluas terdengar kedunia luar. Sesudah serangan Majapahit, Lamuri didatangi oleh Cheng Ho (1414). Ternyata kerajaan ini tetap berdiri. Kedatangan Cheng Ho tepat dimasa terjadi peristiwa kekusutan di Pasai, ketika mana Su-Kan-la memberontak dan lari ke Lamuri di kejar oleh Cheng Ho kesana, dibawanya pulang ke Pasai. Besar kemungkinan bahwa Cheng Ho telah datang dengan angkatan perangnya ke Lamuri dan besar kemungkinan bahwa Lamuri telah melindungi Su-kan-la, yang membuat Cheng Ho terpaksa menggunakan kekerasan. Catatan tentang "intervensi Cheng Ho kurang jelas, karena jika sekadar mengandalkan kekuatan tamu ini saja, walaupun dengan armadanya tidak semudah itu Cheng Ho dapat menaklukkan Lamuri, Lagi pula Cheng Ho tidak menyebut korban-korban, Sebab itu penulis berpendapat, Cheng Ho menggunakan kebijaksanaan musyawarah, persaudaraan dalam Islam. Cheng Ho mungkin menonjolkan keislamannya. Dari akibat peristiwa yang berlangsung dalam lebih kurang 3 abad (serangan Cola, serangan Majapahit dan akhirnya Cheng Ho) tentunya Lamuri pada akhirnya menjadi lemah, Timbullah dibekasnya beberapa kampung yang akhirnya bersatu atau disatukan kambali dibawah kuasa seseorang pahlawan atau Raja ataupun seseorang yang disegani. Terdengar berbagai nama disamping akan lenyapnya Lamuri, diantaranya Daru'l-Kamal, Makuta Alam (Kuta Alam), Aceh (Daru's-Salam), dan juga ada disebutsebut nama Daru'd-Dunia. Universitas Sumatera Utara 47 Telah disebut bahwa Hikayat Aceh menceritakan Raja Musaffar Syah menjadi Raja Makuta Alam bersaudara dengan Raja Inayat Syah menjadi Raja Daru'lKamal. Kadua mereka terus berperang dan berakhir dengan kemenangan Sultan Musaffar Syah. Lanjutan kemenangan itu, Sultan Musaffar Syah menyatukan negeri itu menjadi satu kerajaan. Hasil gabungan itu diberi nama Aceh Daru's-Salam 2.2.3 Ali Mughayat Syah (1513 - 1536) Sebagai diceritakan tadi (dan ini kejadian tahun 1519) Sultan Zainal Abidin telah direvolusi oleh saudaranya yang marasa lebih berhak. Atas bantuan Sultan Mahmud (Sultan Malaka yang sudah pindah ke Bintan), dia dapat dirajakan kambali. Tapi atas bantuan Partugis Raja yang marevolusi berhasil naik kambali. Untuk balas "jasa" dari perbantuan ini, Portugis mendapat hak mendirikan faktori (Kantor dagang yang diperlindungi dengan tentara sendiri) di Pasai. Mau tidak mau peristiwa tersebut telah merupakan catatan bersejarah, yakni bahwa Portugis pernah menancapkan pangaruhnya di Pasai. Dengan 100 orang serdadu Portugis asli, komandan Portugis Antonio de Miranda d'Azevedo. Dengan sendirinya Portugis mendapat monopoli membeli hasil bumi di Pasai. Praktek-prakteknya dengan adanya kekuatan bersenjata dan benteng teguh di Pasai, mengesankan bahwa negeri ini sudah dibawah kuasanya. Dalam tahun 1520, kabarnya Zainal Abidin, telah mengirim surat kepada Raja Portugis mengenai kesediaannya memberi keuntungan yang lebih baik untuk Portugis Universitas Sumatera Utara 48 apabila Zainal disokong jadi Raja. Orisinil surat ini sekarang tersimpan dalam arsip negara di Lissabon (Portugal). Karena praktek pecah belahnya maka Portugis balik lagi menyokong Zainal Abidin dan menjatuhkan yang lain. Tapi dalam tahun 1521, orang Portugis kambali mengkhianati jaminannya atas Zainal Abidin. Sultan dijatuhkannya lagi dan lalu digantinya dengan yang lain. Sasaran kedua, ke Pedir menyusul. Dia juga berhasil melemahkan kekuatan Raja disana dengan pecah belah, untuk selanjutnya mendirikan faktori dan melindunginya dengan sejumlah serdadunya. Jika paristiwa ini diikuti dan dibandingi dengan jalan cerita dari sumber-sumber hikayat serta nama Raja-raja dengan tanggal-tanggal dibatu nisan yang dapat diteliti kemudian, maka jelaslah bahwa latar belakang sangketa persaudaraan di negeri-negeri itu bersumber pula kepada hasil politik devide et impera Portugis, yang sudah memulai sejarahnya masa itu. Dari perkembangan di atas selanjutnya akan jelas pula bagaimana besar peranan Sultan Ali Mughayat Syah dalam mengakhiri bahaya penjajahan Portugis di Aceh. Sepintas lalu terbentuknya suatu kerajaan yang lebih besar yang bernama Aceh Daru's-Salam, dari hasil penaklukan negeri-negeri Jaya, Pedir dan Pasai seperti berarti menghilangkan pertumbuhan Negeri-negeri yang tadinya diperintah oleh masing-masing sultannya. Tapi jika diikuti jalan sejarahnya, maka dapat dikatakan bahwa dengan bangunnya Aceh berarti runtuhnya kolonialisme Portugis yang pada sebelumnya telah memasangkan benderanya dibeberapa tempat disana. Karena itu jasa Ali Universitas Sumatera Utara 49 Mughayat Syah dalam hal ini tidaklah kecil adanya. Dia telah mematahkan bahaya musuh dari luar dan dari dalam sekaligus dalam waktu yang singkat. Sekali kekuatannya harus dipergunakan untuk mematahkan Daya diapun ditubruk oleh Portugis. Satu percobaan agresi telah pernah dilakukan ialah Portugis dibawah pimpinan Gaspar de Costa ketika dia didalam tahun 1519 dengan perangkatannya tiba-tiba muncul di Kuala Aceh. Dengan tipu muslihat dan perajurit Aceh yang tidak seberapa, Portugis telah mengalami pukulan yang sangat pahit. Dalam bulan Mei 1521, armada Portugis yang lebih kuat muncul lagi untuk mengamuk diperairan Aceh. Sekali ini panglima Jorge de Brito sendiri tampil mengepalai penyerangan. Dalam pertempuran hebat, Portugis kalah dan de Brito tewas. Pengejaran tarhadap Portugis dilakukan terus ke Pedir oleh angkatan perang Mughayat ke tempat dimana sisa-sisa armada Portugis lari untuk menyembunyikan diri dan ke tempat dimana faktorinya sudah berdiri. Disinipun terjadi peperangan hebat dan Ali Mughayat Syah barhasil menumpas Portugis. Portugis dan Raja Pedir (Sultan Ahmad) akhirnya mengundurkan diri ke Pasai. Ali Mughayat Syah segera mengejar Portugis terus ke Pasai, dan barhasil mematahkan perlawanan Pasai. Sejumlah besar rampasan alat-alat perang meriam dan sebagainya dengan mudahnya dapat dipergunakan olah tentara Ali Mughayat Syah, untuk mengusir penjajahan Portugis dari bumi Pasai khususnya dan Aceh umumnya. C.R.Boxer mencatat bahwa menjelang tahun 1530 Aceh sudah mendapat kelengkapan perang yang terdiri dari meriam-meriam yang sampai membuat Universitas Sumatera Utara 50 sejarawan Portugis Fernao Loper de Costanheda mengatakan bahwa Sultan Acah telah lebih banyak dapat suplai meriam-meriam dibanding dangan benteng Portugis di Malaka. Menurut Veltman salah satu rampasan yang dibawa oleh Mughayat pulang ke Aceh adalah lonceng besar bersejarah yang kemudian diberi nama "Cakra Dunia", Lonceng ini bukanlah yang diperoleh masa Iskandar Muda sebagai disangka orang, melainkan lonceng masa pemberian Cheng Ho pada Raja Pasai awal abad ke 15 ketika Cheng Ho berkunjung kesana. Meninggalnya Mughayat Syah pada tahun 1530, menimbulkan harapan baru bagi Portugis. Dari Malaka selalu dituntut kepada Gubernur Jenderal Portugis di Goa dan seterusnya ke Lisabon supaya dikirimkan armada besar-besaran supaya dapat dipukul Aceh sekali serbu, tapi masih balum dapat terkirim. Rupanya untuk pembangunan suatu armada yang besar yang kira-kiranya dapat menghancurkan pertahanan Aceh, masih diluar kemampuan Portugis pada masa itu. Sungguhpun demikian, ini tidak berarti bahwa Portugis tinggal diam tidak berbuat apa-apa. 2.2.4 Sultan Ala'uddin Ri'ayat Syah (Al-Kahhar) (1537 - 1571) Setelah Sultan Mughayat Syah meninggal, diangkatlah puteranya yang bergelar Sultan Salahuddin. Karena tidak becus dalam memerintah kepemimpinan Sultan Salahuddin hanya bertahan 17 tahun 11 bulan dan digantikan oleh adiknya Sultan Ala'uddin Ri'ayat Syah (Al-Kahhar). Semenjak itu terlaksanalah pemerintahan kerajaan yang berpusat dan beribu kata Banda Aceh Darussalam, dangan wilayahnya yang sudah menjadi luas pula. Universitas Sumatera Utara 51 Antara lain terkesan dari panunjukannya pada putaranya ke 2 menjadi Raja di Pariaman/Sumatera Barat dangan gelar Sultan Moaghul. Istana karajaan dibangun lebih luas dengan kata (benteng) tembok sekeliling, berikut didalamnya tempat balairung untuk musyawarah, untuk pertemuan, penerimaan tamu tamu demikian pula untuk kediaman para keluarga Raja, para pengawal dan sebagainya. Kompleks yang mengelilingi istana dan istana sendiri dikenal dengan nama Dalam, lebih kurang seperti makna Kraton di Jawa. Pertama-tama sejak Al-Kahhar menggantikan abangnya dalam bulan September 1537, Aceh telah mencoba menyerang benteng Portugis di Malaka. Pengalaman Portugis dari penyerangan tersebut membuat ia mempercepat datangnya tambahan kekuatan. Disamping itu Estevao de Gama yang menjadi Gubernur Portugis di Malaka meningkatkan ikhtiarnya untuk mendekati Raja-raja Melayu siapa saja yang bersedia bersekutu dengannya menghadapi Aceh Sumber Portugis mengatakan bahwa dipertengahan abad ke-l6 (kira-kira ditahun 1540) Aceh telah mengadakan hubungan ke Turki. Diantara catatan itu adalah catatan perjalanan petualang Portugis Pinto yang berada di Timur ini disekitar masa itu, antara lain ke Aru. Kata Pinto, Aceh telah mendapat sumbangan dari Turki sabanyak 300 orang ahli, dan menurut Pinto juga bantuan tersebut dibawa oleh kapal Aceh Sendiri sebanyak 4 buah, yang sengaja datang ke Turki, kata Pinto, untuk mendapatkan alat-alat senjata perang dan pembangunan untuk melawan kerajaan Batak, bernama Timur Raya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa karajaan Batak yang dimaksud oleh Pinto dalam ceritanya adalah Aru. Tapi pendapat ini tidak cocok dangan Universitas Sumatera Utara 52 keterangan yang bersumber Tionghoa bahwa Sultan Aru sejak awal abad ke 15 sudah memeluk Islam. Jika menurut Pinto peperangan telah terjadi dengan Aceh karena Sultan Aceh hendak mengembangkan Islam, maka cerita tersebut tidak sesuai dengan kenyataan bahwa Aru sudah Islam. Bagian yang dapat dijadikan pegangan sehubungan dengan cerita Pinto itu hanyalah bahwa Aceh telah menghadapi faktor Portugis yang semakin giat membina kekuatan, terutama melalui adu domba dengan kerajaan-kerajaan dirantau itu, sebagaimana terkesan dari ceritanya tentang kerajaan Batak dan kerajaan Aru yang pernah mengirim utusannya manghubungi Portugis ke Malaka Pada masa Al-Kahhar seorang tenaga ahli dari Portugis yang tinggal di Malaka bernama Khoja Zainal Abidin telah memeluk Islam di Aceh. Berkat bantuan Khoja dibuatlah kapal-kapal yang modern. Hampir semua pertukangan dan kerajinan yang dikerjakan orang-orang diluar negeri, sudah dapat dibuat sendiri di Aceh masa Al-Kahhar itu. Kemajuan industri meriam dan senjata di Aceh telah sedemikian meningkatnya sehingga pesanan-pesanan dari negari lain diantaranya dari Demak dan Banten, dapat dipenuhi (Said, 1981: 194). Dom Antonio de Noronda Gubernur Portugis ketika di Goa ditahun 1564, telah mendapat kabar pula bahwa Aceh telah membentuk suatu front persatuan negara-negara Islam untuk menentang Portugis. Dari Sultan Turki diterimanya sumbangan 500 meriam dan sejumlah besar alat-alat, Berita ini sebegitu jauh tidak disusul dengan peristiwa-peristiwa baru dengan Portugis. Namun selanjutnya pembangunan kekuatan Aceh telah dinyatakan juga oleh berita tersebut. Dalam tahun 1568 barulah terjadi lagi serangan Aceh terhadap Portugis. Serangan ini Universitas Sumatera Utara 53 terdiri dari seperangkat armada yang mengangkut sejumlah 15.000 perajurit dan 400 orang Turki, juga 200 meriam tembaga. Untuk penyerangan ini Sultan AlKahhar sendiri tampil memimpin pasukan (Said, 1981: 196). Tapi untuk menghadapi penyerangan ini Portugis sendiri telah siap sedia. Bala bantuan baru dari Goa dari Portugal sudah sampai lebih dulu. Disamping itu Portugis Sendiri sudah sempat mengirim kabar ke Johor dan Kedah supaya mambantunya. Posisi Portugis masa itu agak sedikit baik. Karena armada Demak juga memang tidak jauh dari Malaka, Aceh mengajak armada Demak supaya mengeroyok Portugis. Rupanya Demak belum bersedia, mungkin diantara sebabnya adalah karena perbedaan kepentingan dalam dagang. 2.2.5 Sultan Almukammal (1571-1607) Pada hari meninggalnya Sultan Alauddin Ri'ayat Syah (Al-Kahhar) dinobatkanlah puteranya yang kedua sebagai pegganti dengan gelar Sultan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri'ayat Syah. Putra Marhum Al-Kahhar yang sulung bernama Abdullah yang dipercaya oleh ayahnya menjadi Sultan Aru pada tahun 1564, pada tahun 1568 ia telah tewas di Malaka dalam pertempuran dengan Portugis. Sultan Husin memerintah selama 7 tahun. Beliau meninggal 8 Juni 1579. Ganti putra Sultan Husin bernama Sultan Muda berusia 3 bulan. Setelah 7 bulan Sultan Muda meninggal. Selanjutnya Sultan Muda diganti dengan adik Marhum Al-Kahhar yang menjadi Raja di Pariaman (Sumatera Barat) dengan gelar Sultan Sri Alam. Beliau memerintah cuma 2 bulan karena terbunuh. Universitas Sumatera Utara 54 Selanjutnya setelah Sultan Sri Alam meninggal. Sultan Zainal Abidin putra Sultan Abdullah (Aru). Namun Sultan ini tidak becus memerintah dan terbunuh pada tanggal 5 Oktober 1579. Mansyur Syah yang merupakan putera Sultan Perak yang menikah dengan puteri Sultan Aceh naik tahta pada tahun 1579. Pada tanggal 12 januari 1585 Sultan Mansyur Syah meninggal dan digantikan dengan oleh Sultan Buyung dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah putera Sultan Munawar Syah raja Indrapura. Beliau terbunuh juga pada tahun 1589 lalu naiklah Sultan Alauddin Ri'ayat Syah Sa'id Al-Mukammal Ibnu Sultan Firman Syah. Pada masa Almukammal ini Inggris dan Belanda memulai kerjasama dagang dengan Aceh. Tanggal 21 Juni 1599 tibalah di Acah Houtman barsaudara, yakni Cornelis sabagai Laksamana dan Frederick Houtman sebagai Kapten dari kapal "De Leeuw" dan "De Leeuwin". Mulanya mereka disambut baik, tidak kebetulan pasaran menjadi hangat juga dengan kedatangan mereka. Kepada mereka diberikan kesempatan membeli lada. Untuk menguji bagaimana suasana Aceh dalam masa-masa akhir abad ka 16 sampai ke 17, menurut kaca mata dan laporan pandangan mata seorang Inggeris, Kapten John Davis, Dia adalah mualim di salah satu kapal "Da Laauw" dan "De Leeuwin", mendapat pekerjaan itu semenjak berangkat dari Vlissingan, 15 Maret 1598 Aceh berkekuatan memiliki 100 kapal perang, setiap kapal bisa ditempatkan 400 perajurit. Salah seorang Laksamana Angkatan Laut adalah wanita dan dia lah yang di perkenalkan belakangan ini dengan Malahayati. Alat senjata yang Universitas Sumatera Utara 55 dipergunakan dari pada tombak, keris, pedang, panah dan sebagainya, kata Davis : " Men heeft ergeen Verdedigende Wapenen , men Vegt er naakt", Artinya : Mereka tidak mempunyai alat pembelaan, mereka berkelahi secara lepas saja. Jika yang dimaksudnya alat perisai dari tikam-menikam, ini tidak benar. Alat perisai dikenal cukup dalam alat-alat parang Aceh. Davis menceritakan bahwa Sultan Al-Mukammal mempunyai juga banyak sekali meriam-meriam besar dari baja. Kekuatan pertahanan darat diperhebat pula dengan adanya barisan gajah yang dipergunakan oleh hulubalang-hulubalang. Penduduk Aceh, sangat gemar berniaga. Mereka berbakat dagang, dalam pekerjaan itu mereka berpengalaman cukup. Juga mereka ahli-ahli pertukangan, tukang emas, tukang meriam, tukang kapal, tukang besi, tenun, tukang periuk, pot, pembikin berbagai rupa minuman. Davis mengatakan bahwa awalnya Belanda masuk ke Aceh dengan cara yang tidak disukai orang Aceh. Pada saat Belanda merubah strateginya terhadap Aceh dengan melakukan kunjungan ke Aceh disertai hadiah-hadiah yang dibawa Sultan Aceh pun menerima dengan baik. Bahkan dibalas dengan kunjungan ke Belanda. Akhirnya sehubungan dengan keberangkatan utusan Aceh ini dapatlah dicatat bahwa karajaan berdaulat yang pertama-tama mengakui lahirnya suatu negara Belanda yang baru saja berdaulat pada zaman itu de jure dan de fakto, adalah kerajaan Aceh. (Dalam tahun 1672 ketika Belanda sibuk bersiap-siap hendak menyerang Aceh, Multatuli dengan sedih pernah mengingatkan peristiwa pengakuan itu, ketika berbicara dalam suatu pertemuan di Wiesbaden. Universitas Sumatera Utara 56 Menurutnya "Ketika Belanda mamperjuangkan kemerdekaannya dari Spanyol, kerajaan Acehlah yang pertama mengakui Belanda sebagai satu bangsa yang merdeka". Belakangan Belandalah satu-satunya negara yang ingin manghapuskan kedaulatan Aceh. Universitas Sumatera Utara