BAB II LINTAS SEJARAH Asal muasal orang Aceh - USU-IR

advertisement
BAB II
LINTAS SEJARAH
Asal muasal orang Aceh diperkirakan berasal dari golongan Melayu Tua
datang disekitar 2500-1500 tahun sebelum Masehi.
Sekitar 300 tahun menjelang Isa muncul pula golongan yang disebut DeuteroMelayu atau Malayu Muda, yang tempat asal kadatangannya sama dengan
golongan pertama, Proto-Malayu, atau Malayu Tua, Melayu Muda (DeuteroMelayu) itu ditandai oleh kecerdasan yang sudah dimilikinya tarutama dalam
pangetahuan menukangi alat-alat dari bahan logam (tembaga maupun besi), Salah
satu penemuan yang cukup berkesan adalah berupa genderang tembaga
(kettledrums) yang dipergunakan untuk upacara. Dengan kemampuan itu Asia
Tenggara memasuki zaman kebudayaan tembaga atau lebih diidentitaskan kapada
nama kebudayaan Dong Son, mangambil nama dasa di Indo Cina di tempat
genderang tersebut ditemukan (Said, 1981:6).
Selagi golongan Melayu Tua masih memiliki taraf kebudayaan yang
sederhana, maka golongan pendatang Melayu Muda tiba dengan kelengkapan
kebudayaannya yang dapat dikatakan sudah tinggi pada zaman itu. Hal ini
diperteguh oleh fakta tentang berbagai kemampuan mereka terutama dalam sektor
pertanian dan perternakan, seperti bersawah, membuat irigasi dan memelihara
hewan, Tidak ketinggalan dalam bidang pertukangan seperti mendirikan rumah
dan membuat parahu. Demikian juga dalam berbagai kerajinan seperti bertenun,
Universitas Sumatera Utara
31
dan kecerdasan dibidang kesenian (musik, seni suara dan pewayangan). Sejak
kedatangan mereka keaktifan kontak dengan dunia luas terlihat nyata.
2.1 Sejarah Masuknya Islam ke Aceh
Menjelang wafatnya Nabi Besar Muhammad s.a.w agama Islam sudah
berkembang luas di seluruh jazirah Arab. Pengembangan keluar jazirah berjalan
terus, diantaranya yang menarik perhatian ialah bahwa pengembangan tersebut
sudah mancapai Tiongkok dizaman Khalifah Usman Ibn 'Affan, ketika
perutusannya tiba disana dibawah pimpinan Sa'd Ibn Abi Waqqas. Mereka
berlayar melalui Lautan Hindia dan Laut Tiongkok menuju pelabuhan Kwangzou
di Tiongkok Selatan. Bahkan ada disebut-sebut juga bahwa dalam zaman Nabi
Besar sendiri telah pernah utusan beliau ke Tiongkok untuk mengembangkan
agama Islam di negeri itu. Pada saat itu Tiongkok sedang dipimpin olah dinasti
T'ang (618-907 M). Negara tersebut memiliki kebijakan membuka pintu untuk
kedatangan orang luar. Orang-orang Arab sudah berada di bandar-bandar
pelabuhan bagian benua tersebut. Sebelumnya menurut sarjana Van L. Bur
perkampungan perdagangan orang Arab sudah ada di Canton sejak abad ke 4
Masehi. Dan mereka diketahui berada kembali disana sajak tahun 618 dan 628.
Adanya fakta bagi penelitian, Islam masuk Indonesia, khususnya Aceh adalah
cukup penting karena (a) sudah terlaksananya pengislaman diseluruh jazirah Arab
sebelum Nabi Besar wafat; (b) dengan demikian pedagang/pelaut Arab yang
melintasi lautan sejak masa itu sudah terdiri dari orang-orang Muslim; dan (c)
bahwa pelaut/padagang Arab yang menuju Tiongkok dari negerinya, tentu
Universitas Sumatera Utara
32
melintasi Selat Malaka dan oleh karena itu tidak mustahil lagi mereka mampir di
salah satu pantai di Sumatera Utara, baik untuk menunggu musim maupun untuk
menambah perbekalan, bahkan juga malakukan barter Perdagangan.
Pada zaman dinasti T'ang tersebut sejarawan Tionghoa sudah lebih berminat
membuat data-data tentang kedatangan orang Arab dan Parsi ke negerinya
ataupun kegiatan dagang yang bertalian dengan negerinya. Terhadap orang Arab
mereka sebut namanya orang Tashi atau Tazi, dan orang Parsi mereka namakan
Po-ssu.
Bretschneider mengutip dari sejarawan Tionghoa pada zaman dinasti T'ang
itu yang disebutnya sebagai lebih mencukupi dari catatan Tionghoa sebelumnya
tentang Ta shi (pasal 258b) sebagai berikut: "Negeri ini terdiri dari wilayah yang
dahulunya masuk bagian Po-ssu (Persia). Orangnya berhidung lebar, berjanggut
hitam. Mereka menyandang pedang perak dan cincin perak. Mereka tidak minum
anggur dan tidak mengenal musik. Wanitanya putih dan menutup muka bila
keluar rumah, Banyak Sekali rumah ibadat, Setiap tujuh hari sekali Raja berpidato
(berkhotbah) kepada rakyatnya, dari suatu mimbar dalam rumah ibadat itu,
dengan kata kata berikut: Barang siapa yang tewas oleh musuh akan bahagia.
Itulah sebabnya maka Tashi itu sedemikian perkasa berperang, Saban hari mereka
sambahyang lima kali mengabdi kepada yang mahakuasa, Negeri tersebut
berbatu-batu, sedikit sekali yang subur. Kehidupan mereka kebanyakan dari
berburu. Mempunyai kuda sembarani yang dapat berlari l.000 li sehari. Juga ada
unta".
Universitas Sumatera Utara
33
Sedikit banyak terkait dengan kedatangan utusan Khalifah Usman Ibn Affan
dimaksud diatas, pada catatan sejarawan dinasti T'ang itu terdapat cerita mengenai
kedatangan perutusan Han Mi Mo Mo Ni (Amiru'l Mu'minin) pada tahun 851 M.
ke Tiongkok, disertai dengan sepucuk surat yang menyebut bahwa kerajaannya
(maksudnya: Islam) sudah berdiri sejak 34 tahun. Selanjutnya disebut bahwa
ditahun 713 M datang lagi seorang utusan dari Ta shi, membawa bingkisan kudakuda yang perkasa serta batu permata, Ketika dibawa menghadap kepada Raja
Tiongkok, utusan tersebut menolak untuk bersujud, sambil berkata: Di negeri saya
orang hanya menyembah Tuhan dan bukan kepada Seorang Raja. Mulanya
pengawal Raja sudah hendak membunuh utusan itu karena tidak mau sujud,
namun seorang Menteri Raja mencegah berkembang sambil mengingatkan bahwa
setiap negeri mempunyai adat istiadat sendiri.
Ungkapan Bretschneider ini membawa kesan bahwa bagi orang Tionghoa
pada zaman dulu Tashi adalah orang Arab dan lokasinya di tanah Arab sendiri.
Namun disamping itu, tentu tidak dapat diabaikan adanya fakta bahwa orang
Tashi yang disebut Arab ini telah melancarkan perantauan kemana-mana, antara
lain ke Sumatera dan dengan melintasi Selat Malaka ke Tiongkok. Karena itu baik
nama Tashi maupun Possu untuk Parsi akan turut "merantau" bersama orangnya
siperantau sendiri. Dalam hubungan ini maka peristiwa peristiwa kegiatan
merantau pada zaman dulu dari orang-orang Arab dan Parsi yang terdapat dalam
catatan Tionghoa, paling sedikit ada dua yang dangan sendirinya jadi sasaran
perhatian. Yang dua itu ialah :
Universitas Sumatera Utara
34
a)
Kesan-kesan perjalanan biksu Tionghoa I Tsing pada tahun 872 M., katika ia
berangkat dari Canton menuju India sambil melewati Selat Malaka
menyinggahi Palembang, dan juga O-shan yang diperhitungkan sebagai
pelabuhan Aceh.
b) Catatan yang diungkap oleh W.P. Groeneveldt dari yang terdapat dalam
hikayat dinasti T'ang, bahwa dipantai sebelah Barat Sumatera (Aceh, atau
Samudara) telah ada permukiman orang-orang Arab yang disebut bangsanya
Ta-shi
Mengenai (a) I Tsing mengatakan bahwa ia telah menumpang kapal orang
Po-ssu, yaitu Parsi. Diperhatikan dari masanya 872 M. (yaitu sakitar sudah 40
tahun berkembang Islam di Parsi) tidaklah syak lagi bahwa pelaut-pelaut Parsi itu
telah memeluk Islam, Demikian pula para saudagarnya sendiri, yang mungkin
turut serta.
Mengenai (b), orang Arab atau Tashi yang bermukim dipantai Barat Sumatera
disekitar tahun 874 M, itu, tentulah pula sudah menjadi pemeluk Islam. Pencatat
Tionghoa menyebut mereka orang Tashi, jadinya pendatang Arab yang
membangun permukiman disana, Bahwa mereka bermaksud hendak menyerang
sampai Haling yang negerinya makmur, sekaligus memberi petunjuk bahwa
jumlah mereka tidak sedikit dan mereka sudah teguh kedudukannya.
Sejak tersiarnya ungkapan Groeneveldt itu, para sarjana menjadi meningkat
perhatiannya untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang masa yang lebih tua
mengenai kedatangan Islam di Indonesia, khususnya Aceh.
Universitas Sumatera Utara
35
Kolonel D.E. Gerini dalam studinya, yang tebal ketika menyentuh parsoalan
Ratu Sima tersebut baberapa kali menulis "Tashi" dengan membubuh tanda
kurung "Aceh", Ini meneguhkan ketidak sangsinya lagi bahwa yang dimaksud
dengan "Tashi" dalam hubungan kisah Ratu Sima itu adalah tarletak di Aceh.
Oleh karena masa yang diceritakan baru mencapai sekitar 40 tahun setalah Nabi
Besar wafat maka tidak syak lagi bahwa penduduk Arab di wilayah dimaksud
(Aceh, pantai utara Sumatera) telah memeluk agama Islam. Dari sini antara lain
diyakinkan bahwa Islam sudah masuk ke Aceh dalam abad ke 1 Hijriah, Dalam
hubungan itu juga Gerini memastikan tentang sudah beradanya orang-orang Arab
atau Parsi dibagian pantai Utara Sumatera, sejak awal Islam, Jelasnya Gerini
menulis sabagai berikut:
" bahwa pernah ada pemukiman orang Arab maupun orang Parsi di wilayah
Aceh bahkan di berbagai tempat lain di kedua belah pantai Barat dan Utara
Sumatera, adalah amat mungkin sekali, bahkan boleh disebut pasti; pantaipantai ini terletak dekat sekali dengan pulau-pulau Nikobar, tempat yang
sudah dikenal meerupakan persinggahan utama bagi pelaut Arab dan Parsi
pada jalur pelayaran Teluk Benggala, Karena harus begitu, acaplah pantai
Barat Laut Sumatera disinggahi oleh mereka, lebih-lebih kalau agin ribut
memaksa mereka dengan sendirinya harus berlindung ke sana, Sebagai
buktinya adalah pelancong Arab itu tidak hanya bercerita tentang Lambri
tapi juga Barus, pelabuhan dimana mereka diketahui pergi datang paling
lambat sejak abad ke 10 M" .
Beradanya orang-orang Arab ataupun Parsi di pantai Utara Sumatera pada
abad permulaan hijriah dengan sendirinya memperteguh catatan dari dinasti Tang
yang mengungkapkan telah beradanya orang-orang Tashi sebagaimana yang
diterjemahkan oleh Groeneveldt tersebut. Tidak heran bila sarjana Van Leur
merasa perlu untuk menekankan dalam esainya sebagai berikut:
"pembinaan kedua kebudayaan Indonesia ditempa oleh Islam. Islam adalah
suatu masyarakat pembaktian yang membuat setiap pemeluknya menjadi
Universitas Sumatera Utara
36
petugas berharga dalam menyebarkan da'wahnya. Tapi walaupun ditanah
jajahan lain di Timur sudah masuk Islam itu, seperti di sebelah barat
Sumatera sekitar tahun 674, di Tiongkok tibanya kesepanjang jalur pantai
dalam abad ke 7, di Jawa dan di India Belakang dapat diketahui dari batubatu nisan dari tahun-tahun 1082 dan 1039, namun Islam baru memiliki
pengaruhnya yang luas dalam abad ke 14"
Dari tulisannya di atas jelas bahwa Van Leur turut mendukung bahwa Islam
sudah masuk di bagian barat Sumatera pada tahun 674-an sebagai disebut dalam
buku Groeneveldt.
Dalam hubungan ini pula, baik sebelum maupun sesudah Van Leur, beberapa
sarjana ulung telah tiba kepada kesimpulan yang tidak ragu-ragu, antara lain
sebagaimana dikutip pula dibawah ini:
T.W. Arnold, ketika mengupas kedatangan Islam ke kepulauan Indonesia
mengaitkannya dengan dagang para saudagar Arab kejurusan Timur. Sejak abad
ke 2 sebelum Isa perdagangan ke Sri Langka sudah ditangan mereka (orang Arab).
Sejak awal abad ke 7 sesudah Masehi kegiatannya dilanjutkan Tiongkok melalui
laut. Dapat diperkirakan, kata Arnold, orang-orang Arab itu sudah mambangun
permukimannya dibeberapa pulau di Nusantara, sebagai yang mereka telah
lakukan ditempat lain. Lalu disimpulkannya:
"Meskipun tidak ada cacatan orang Arab mengenai kepulauan ini labih dulu
dari abad ke 9, namun dari hikayat Tionghoa diketahui bahwa ditahun 674
M. beradanya seorang Raja Arab yang kemudian dari beberapa petunjuk
diperkirakan mengepalai permukiman orang Arab dipantai barat Sumatera"
Harry W, Hazard dalam "Atlas of Islamic History" mengatakan tentang Islam
di Indonesia sebagai berikut:
"Orang Islam yang pertama mengunjungi Indonesia boleh jadi adalah
saudagar Arab dalam abad ke-7 yang singgah di Sumatera dalam perjalanan
menuju Tiongkok. Penyusul mereka adalah saudagar dari Gujerat yang
berdagang lada dan yang telah membangun sejak tahun 1100 perkampungan
Universitas Sumatera Utara
37
yang unik antara perdagangan dengan usaha-usaha mengembangkan Islam
di Indonesia"
Sarjana Ir. J.L. Moens yang banyak membicarakan tentang peranan Aceh
sebagai tempat berkembangnya kerajaan-kerajaan di Sumatera Utara penghasil
wangi wangian dan rempah-rempah (parfums en/specerijen) tanpa sangsi
menyebut bahwa Tashi yang dimaksud dalam riwayat T'ang tersebut (kisah Ratu
Sima/Raja Tashi) tidak lain adalah kerajaan Tashi Aceh. Katanya mana mungkin
Tashi dimaksud itu negara Arab yang letaknya memerlukan 60 hari pelayaran
jauhnya dari Kedah (kerajaan di Semenanjung Melayu). Untuk apa kerajaan
Khalifah Umayah (660-749 M) yang sudah berkembang wilayahnya dari Spanyol
hingga India Barat harus memboroskan korban besar-besaran ke Holing. Dengan
kata lain bahwa Tashi yang disebut dalam riwayat T'ang tersebut tidak lain Tashi
di Sumatera bagian Utara, tegasnya Aceh.
Raymond LeRoy Archer Ph.D. Menulis:
"Masuknya Islam ke Sumatera labih tepat disebut oleh pedagang Arab bukan
khusus Muballigh mereka, dimasa abad Hijriah yang paling terdahulu.
Diawal abad ke 8M, pedagang Arab sudah barmukim di Cina dalam jumlah
besar, Maka sangat mungkin bahwa mareka menetap berdagang semantara
di pulau sepanjang pantai barat Sumatara Utara"
Professor Syed Naguib Al-Attas dalam suatu studinya yang kemudian
disiarkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur mengatakan bahwa
"catatan yang paling tua menganai kemungkinan sudah bermukimnya orang
Muslim di kepulauan Indonesia adalah bersumber laporan Cina tentang
permukiman Arab di Sumatara Utara pada tahun 55 Hijriah atau 674 M".
Professor Pakistani Sayid Qadarullah Fatimi, yang pernah menjadi mahaguru
tamu di Singapura, dan membuat riset tentang masuknya Islam ke Nusantara
Universitas Sumatera Utara
38
manyimpulkan: a) bahwa telah terjadi kontak permulaan tahun 674M, b) Islam
menjejak kaki dikota-kota pantai sejak tahun 878, dan c) Islam memperoleh
kekuasaan politik, dan permulaan besar-besaran berkembangnya Islam sejak tahun
1204 M.
Professor tersebut juga menempatkan perhatian terhadap peristiwa Raja
Tashi/Ratu Sima tersebut, dengan menekankan telah tarjadi apa yang disebutnya
kontak itu pada tahun 674 itu.
Dari beberapa ungkapan peneliti sejarah di atas maka dapat disimpulkan
bahwa masuknya Islam ke Aceh pada 674 Matau pada abad ke 7 M.
2.2 Kerajaan Islam di Aceh
Pada seminar sejarah masuknya Islam ke Indonesia yang dilangsungkan di
Medan pada 17 s/d 20 Maret 1963 telah diambil kesimpulan antara lain:
a)
bahwa Islam masuk untuk pertama kalinya ke Indonesia adalah pada abad ke
1 Hijriah dan langsung dari Arab, dan
b) bahwa daerah pertama didatangi Islam ialah pesisir Sumatera dan setelah
terbentuknya masyarakat Islam maka Raja yang pertama berada di Aceh.
Bahwa kesimpulan telah diambil dengan penuh hati-hati mengingat bahwa
yang ditetapkan itu berupa suatu yang belum secara langsung di lemparkan
kemasyarakat walaupun dikalangan ilmuwan sebagaimana yang pendapatpendapatnya sudah dikutip dibagian lalu, sudah bukan merupakan barang
baru lagi.
Universitas Sumatera Utara
39
Reaksi yang menonjol datang dari Professor Drawes, tokoh Barat dan berat
dalam ilmu-ilmu Islam dan ketimuran, pada Universitas Leiden, pengganti Dr.
Snouck Hurgronje yang tidak asing lagi.
Pendapat-pendapat yang sebegitu jauh masih manguasai ilmu sejarah Islam di
Indonesia sebagaimana yang dikembangkan olah Dr. Snouck, adalah bahwa Islam
baru mencapai Indonesia sesudah berabad-abad berkembangnya ditanah asal
(Mekkah), dan agama Islam itu telah dimasukkan melalui India, tidak langsung
dari Arab, Professor Hamka yang dalam seminar itu tampil sabagai pembanding
utama, yang mendukung penuh bahkan memperjelas kelangsungan datangnya
Islam dari Arab pada abad ke 1 Hijriah, membantah keras pendapat Dr.
Snouck tersebut, tidak saja dalam seminar itu, melainkan sudah lebih dulu pada
Dies Natalis di Jogya beberapa tahun sebelumnya, Professor Drewes yang
membuat tanggapannya melalui suatu monograf sambil mengutip apa yang pernah
diucapkan oleh Hamka dalam seminar bahwa pendapat yang disebarkan olah
Snouck tidak lain dari " jarum halus " untuk menantang pengaruh Arab,
mengatakan belum melihat suatu bahan baru dari bahan-bahan mengenai
masuknya Islam ke Indonesia yang sebegitu jauh sudah ditemukan.
Namun demikian Professor Drewes membenarkan juga adanya bahan
Groeneveldt, tapi baliau menunjuk pada bagian kalimat dari ungkapan
Groeneveldt tantang cerita-cerita yang menurut penilaiannya masih samar-samar
disekitar beradanya permukiman Arab (Tashi) di pantai barat Sumatera ditahun
874 M, tersebut.
Universitas Sumatera Utara
40
Dalam tahun 1978 (tegasnya: 10 s/d I6 Juli) di Banda Aceh telah barlangsung
pula suatu seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam di Aceh yang
diselengarakan Oleh Majelis Ulama Propinsi Daerah Tingkat I Aceh, seminar
tersebut bertujuan mengupas dan mencari kesimpulan mantap bagian-bagian
penting seluruh aspek yang berkaitan dengan sejarah pekembangan Islam di
wilayah tersebut.
Kesimpulan-kesimpulan yang berhasil diambil terbagi dalam tiga bab. Bab
partama yang ditempatkan pada baris atas ialah berbunyi sebagai berikut: Masih
banyak lagi bahan-bahan sejarah yang harus dikumpulkan dan diteliti sehubungan
dengan masuk dan berkembangnya Islam di Aceh. Bab ke 2 meliputi 29
kesimpulan, dan bab ke 3 berkenaan dengan saran-saran. Yang bertalian dengan
bab ke 2, khusus mengenai masuk dan berkembangnya Islam, terpenting
diantaranya adalah:
a) Sebelum Islam masuk, sudah ada kerajaan-kerajaan di Aceh diantaranya
Lamuri dan karajaan-karajaan lain yang tersebut dalam sumber asing.
b) Pada abad ke I Hijriah Islam sudah masuk ke Aceh, dan
c) Kerajaan Islam yang pertama adalah Peureula', Lamuri dan Pasai.
Dan yang bertalian dengan bab 3 terpenting diantaranya adalah berkenaan
dengan keinginan diadakannya penyusunan sejarah masuk dan berkembangnya
Islam di Aceh yang sedikit banyak ada pertaliannya dangan kesimpulan ke 1
dimana ditekankan perlunya lagi digali tentang masuk dan berkembangnya Islam
di Aceh.
Universitas Sumatera Utara
41
Bagian yang menonjol dari keputusan Seminar Aceh ini adalah tentang soal
kerajaan-kerajaan Islam pertama. Diantara pendapat yang diketengahkan pada
seminar tersebut banyak yang sama dangan pendapat yang pernah diketengahkan
oleh Ustaz M. Junus Djamil dalam pekan Kebudayaan Aceh yang pernah
dilangsungkan ditahun 1959. Ustaz kita ini mengungkapkan bahwa Islam telah
masuk ke Peureula' (Aceh Timur) pada tahun 790 M. Sumbernya disebut kitab
"Zubdatu'l Tawarikh" karya Nuru'l-Haq Al-Masyriqiyal - Duhlawy dan Kitab
Idhahu'lhaq fi Mamlatatu'l - Peureula', karya Abu'l-Ishaq AlMakarany. Berdirinya
kerajaan Islam di Peuraula' disebut pada tahun 225 H atau 840 M, dengan
Sultannya yang pertarna Sultan Alauddin Sayid Maulana Abdu'l-Aÿiz Syah. Junus
Djamil berhasil juga mancatat nama-nama Sultan Peureula' berturut-turut sesudah
Sultan ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, bernama Alaiddin Abdu'l Malik Syah yang mangkat
ditahun 973 M. Dicatat oleh Junus Djamil bahwa pada masa ini kaum Syi'ah
bergerak kembali di Peureula' yang berakibat perpecahan, timbullah dua kerajaan,
Peureula' di baroh dan Peureula' di tunong, dengan masing-masing ada sultannya.
2.2.1 Kerajaan Pasai (abad ke 13 sampai abad ke 16)
Sumber dalam negeri sendiri "Hikayat RajaRaja Pasai" mengatakan bahwa
kerajaan Samudera telah didirikan oleh Meurah Silo yang kemudian bergelar
Sulthan Maliku's-Saleh, Adanya Sultan ini dibuktikan setelah mangkatnya. Batu
nisan diatas makamnya di Blang Me yang sampai kini terdapat disana, disebut
mangkatnya pada tahun 887 H. bertepatan 1297 M.
Universitas Sumatera Utara
42
Pada waktu ia memerintah karajaan Samudera sudah berkembang. Kebetulan
melawat ke Sumatera dan melintasi pantai ini rombongan pengunjung Itali yang
baru pulang dari Tiongkok sesudahnya menjadi tamu waktu itu Raja Tiongkok,
Kublai Khan. Diantara rombongan itu turut seorang pemuda barnama Marco Polo.
Masa itu dipergunakannya untuk menulis kesan perjalanan mereka. Dalam kesankesan itu disebut juga peristiwa persinggahan mereka ke kerajaan Perlak. Katanya
sudah barada disana pendatang Muslim, yang disebutnya "Saraceen". Disebutnya
bahwa penduduk sendiri masih tidak baragama (idolators), orang-orang Saraceen
itulah yang mengislamkan mereka. Ia menyebut kawasan yang disinggahinya di
Sumatera dangan nama Giava Minore, atau Jawa Minor. Disana terdapat 8
kerajaan, tapi yang disinggahi rombongan itu hanya enam, Selain Peureula', yang
disebutnya Ferlac, ia manyebut Barus dengan Fansur, hal mana mengesankan
bahwa ia mengenal nama-nama itu dari bahan orang-orang Arab yang melafazkan
nama-nama pelabuhan itu menurut lidahnya, Ia menyebut juga Basman Samara,
Dagroian, dan Lambri , Ia mangatakan bahwa panduduk pantailah yang baradab,
selainnya biadab dan pemakan orang. Sesudah dari Peureula', mereka masuk ke
Pasai, yang disabut oleh Marco Polo Basman. Dikatakannya masih liar (tidak ada
hukum , seperti hewan).
Walaupun tahun parmulaan Maliku Saleh memerintah tidak dicatat, namun
tidak meleset jika kiranya dibuat tahun parmulaan itu sekitar 1260 M. Tatkala
Sultan dinobatkan diadakan upacara. "Hikayat Raja-Raja Pasai" menceritakan
bahwa Sultan dinobatkan dangan memakai pakaian kerajaan anugerah dari
Makkah. Ini berarti penobatan dilakukan secara Arab bukan ala India. Diceritakan
Universitas Sumatera Utara
43
bahwa segala hulubalang duduk manghadap nobat Ibrahim Khalil. Selanjutnya
dikatakan; "Bantara pun bardiri menjabat salih, dan Segala pegawai pun masingmasing membawa jabatannya. Maka genderang tabal itupun dipalu orang dan
bunyi-bunyianpun berbunyilah. Maka bedil nobatpun dipasang dan semua
hulubalang dan rakyat manjunjung duli menyambah mengatakan Daulat
Dirgahayu Syah 'Alam Zillu'lLahi fi'l-'alam. Pada waktu itu diketahui penetapan
dua orang-orang besar, seorang bernama Tun Sri Kaya dan seorang bernama Tun
Baba Kaya. Tun Sri Kaya diberi gelar Sayid 'Ali Khiatu'ddin dan Tun Baba Kaya
diberi gelar Sayid Asmayu'ddin. Inipun juga mengesankan bahwa beliau orang
Arab setidak-tidaknya keturunan Arab.
Ketika Sultan Maliku's-Saleh meminang puteri Sultan Perlak, mereka berdua
diutus kesana. Lamaran diterima, Dari pernikahan Sultan Maliku's-Saleh dengan
Puteri Ganggang anak Sultan Perlak tersebut, Sultan memperoleh seorang putera
bernama Muhammad.
Sultan Maliku't-Thahir (atau Sultan Muhammad Maliku't-Thahir sebagai
mana dapat dibaca kemudian dalam batu nisan makamnya yang ditempatkan
disebelah makam Malik's-Saleh) berputera dua orang. Seorang bernama Mahmud
dan saorang lagi barnama Mansur.
2.2.2 Kerajaan Lamuri Aceh (abad ke 9 sampai abad ke 16)
Suatu petunjuk tepercaya tentang adanya suatu kerajaan Lamuri yang terletak
di Banda Aceh sekarang dan sekitarnya telah diperoleh dari suatu prasasti yang
telah diabadikan oleh Rajendra Cola I pada tahun 1030 M di Tanjore (India
Universitas Sumatera Utara
44
Selatan) hasil serangannya kebeberapa negeri di Sumatera dan Semenanjung
Melayu, disekitar tahun 1023/1024, Disitu disebut bahwa Raja Cola telah
mengerahkan armada laut yang besar dengan angkatan perang yang hebat dan
melanggar Kedara (Kedah) tempat banyak didapati binatang yang gajahnya
terkenal. Dia mengalahkan Sriwijaya yang jaya itu, Panai, yang terlatak di pinggir
sungai, Melayu yang berbentang kuat di bukit, Mayirudinggam (Andaman) yang
di lingkar laut, Ilanggacoram (Langka Suka) dalam pertempuran dahsyat,
Mewilimbanggam yang dipertahankan dengan tembok tebal, Walaipanduru,
Talaitakkolam, Madamalinggam, Ilmauridecam (Lamuri = Aceh) yang telah
melawan hebat dan dapat dipatahkan dalam suatu pertampuran mati-matian dan
Manakwaram.
Ekspedisi besar-besaran ini sebagaimana telah dicatat diatas, berlangsung
ditahun 1023-1024, dalam bahasa Indonesia terjemahannya adalah sbb:
"Setelah mengirimkan sejumlah kapal yang sangat besar ketengah lautan lepas
yang bergelombang dan setelah menawan Sang Rama Wijaya Tunggawarman,
Raja Kadaram, sekaligus menghancurkan armada gajahnya yang besar dan
sebagaimana laut layaknya dalam pertempuran, (ia merebut juga) harta benda
yang sangat banyak, yang baru saja dikumpulkan oleh yang tersebut tadi;
Widyiadaratorana, pintu gerbang ratna mutu manikam yang terhias sangat permai,
pintu gerbang-gerbang batubatu permata besar, Sriwijaya yang subur mekar;
Pannai, berair tangkahan mandi-mandi; Malaiyur tua (dengan) benteng diatas
bukit yang tinggi; Mayuridinggam, dikalilingi oleh laut yang dalam, (seperti) oleh
parit; Illanggasagam tak tartahan (dalam) pertempuran-pertempuran dahsyat;
Universitas Sumatera Utara
45
Mappapalam,
dipertahankan
Mewilimbanggam,
oleh
dipertahankan
perairan
oleh
yang
banyak
tembok-tembok
dan
dalam;
yang
cantik;
Walaippanduru (serentak) memiliki tanah-tanah yang dikerjakan dan yang tidak
dikerjakan; Talaitakkolam, dipuji oleh orang-orang besar (pandai dalam)
pengetahuan; Madamalinggam, tidak goyang dalam pertampuran besar dan
mahadahsyat, Ilamuridecam yang telah menghunjamkan kehebatan pasukannya
kepertempuran; Manakkawaram, dengan kebun-kebun bunganya tempat mengirup
madu, dan Kadaram dengan kekuatan yang tiada terhingga, dilindungi oleh laut
sekitarnya."
Dari sejumlah nama-nama negeri yang ditaklukkan itu, Cola mengalahkan
IImuridacam yakni Lamuri sasudahnya bertampur habis-habisan.
Dari sini dua kesan nyata, 1) bahwa negeri itu selambat-lambatnya sudah ada
antara abad ke 9 dan ke 11; dan 2) negeri itu sudah mempunyai angkatan perang
yang hebat. Dengan bersusah payah diserang oleh Cola barulah dapat dipatahkan
perlawanannya oleh tantara Cola yang besar.
Ini berarti bahwa kerajaan Lamuri adalah suatu kerajaan yang sudah
mempunyai pemerintahan teratur dan kuat dalam zamannya. Tentu saja untuk
membangun suatu pemerintahan teratur dan kuat angkatan perangnya Lamuri
mamerlukan
sumber-sumber
kekayaan
yang
dihasilkan
dari
kegiatan
perekonomian, terutama pertanian, perdagangan, serta perkapalan, dan jelas
bahwa Lamuri sudah mempunyai sarat-sarat kemampuan tersebut, yang mambuat
Rajendra-Cola I perlu menumpukkan segenap tenaga untuk memukul Lamuri.
Universitas Sumatera Utara
46
Telah diceritakan tantang Lamuri atau Lamri atau nama lain yang mirip,
terletak di ujung Sumatera Utara, di Aceh Besar sakarang, negeri ini dikenal sejak
abad ka-9 dan berakhir kira-kira abad ke-15, saat nama Aceh meluas terdengar
kedunia luar.
Sesudah serangan Majapahit, Lamuri didatangi oleh Cheng Ho (1414).
Ternyata kerajaan ini tetap berdiri. Kedatangan Cheng Ho tepat dimasa terjadi
peristiwa kekusutan di Pasai, ketika mana Su-Kan-la memberontak dan lari ke
Lamuri di kejar oleh Cheng Ho kesana, dibawanya pulang ke Pasai. Besar
kemungkinan bahwa Cheng Ho telah datang dengan angkatan perangnya ke
Lamuri dan besar kemungkinan bahwa Lamuri telah melindungi Su-kan-la, yang
membuat Cheng Ho terpaksa menggunakan kekerasan. Catatan tentang
"intervensi Cheng Ho kurang jelas, karena jika sekadar mengandalkan kekuatan
tamu ini saja, walaupun dengan armadanya tidak semudah itu Cheng Ho dapat
menaklukkan Lamuri, Lagi pula Cheng Ho tidak menyebut korban-korban, Sebab
itu penulis berpendapat, Cheng Ho menggunakan kebijaksanaan musyawarah,
persaudaraan dalam Islam. Cheng Ho mungkin menonjolkan keislamannya.
Dari akibat peristiwa yang berlangsung dalam lebih kurang 3 abad (serangan
Cola, serangan Majapahit dan akhirnya Cheng Ho) tentunya Lamuri pada
akhirnya menjadi lemah, Timbullah dibekasnya beberapa kampung yang akhirnya
bersatu atau disatukan kambali dibawah kuasa seseorang pahlawan atau Raja
ataupun seseorang yang disegani. Terdengar berbagai nama disamping akan
lenyapnya Lamuri, diantaranya Daru'l-Kamal, Makuta Alam (Kuta Alam), Aceh
(Daru's-Salam), dan juga ada disebutsebut nama Daru'd-Dunia.
Universitas Sumatera Utara
47
Telah disebut bahwa Hikayat Aceh menceritakan Raja Musaffar Syah
menjadi Raja Makuta Alam bersaudara dengan Raja Inayat Syah menjadi Raja
Daru'lKamal. Kadua mereka terus berperang dan berakhir dengan kemenangan
Sultan Musaffar Syah.
Lanjutan kemenangan itu, Sultan Musaffar Syah menyatukan negeri itu
menjadi satu kerajaan. Hasil gabungan itu diberi nama Aceh Daru's-Salam
2.2.3 Ali Mughayat Syah (1513 - 1536)
Sebagai diceritakan tadi (dan ini kejadian tahun 1519) Sultan Zainal Abidin
telah direvolusi oleh saudaranya yang marasa lebih berhak. Atas bantuan Sultan
Mahmud (Sultan Malaka yang sudah pindah ke Bintan), dia dapat dirajakan
kambali. Tapi atas bantuan Partugis Raja yang marevolusi berhasil naik kambali.
Untuk balas "jasa" dari perbantuan ini, Portugis mendapat hak mendirikan faktori
(Kantor dagang yang diperlindungi dengan tentara sendiri) di Pasai. Mau tidak
mau peristiwa tersebut telah merupakan catatan bersejarah, yakni bahwa Portugis
pernah menancapkan pangaruhnya di Pasai. Dengan 100 orang serdadu Portugis
asli, komandan Portugis Antonio de Miranda d'Azevedo.
Dengan sendirinya Portugis mendapat monopoli membeli hasil bumi di Pasai.
Praktek-prakteknya dengan adanya kekuatan bersenjata dan benteng teguh di
Pasai, mengesankan bahwa negeri ini sudah dibawah kuasanya. Dalam tahun
1520, kabarnya Zainal Abidin, telah mengirim surat kepada Raja Portugis
mengenai kesediaannya memberi keuntungan yang lebih baik untuk Portugis
Universitas Sumatera Utara
48
apabila Zainal disokong jadi Raja. Orisinil surat ini sekarang tersimpan dalam
arsip negara di Lissabon (Portugal).
Karena praktek pecah belahnya maka Portugis balik lagi menyokong Zainal
Abidin dan menjatuhkan yang lain. Tapi dalam tahun 1521, orang Portugis
kambali mengkhianati jaminannya atas Zainal Abidin. Sultan dijatuhkannya lagi
dan lalu digantinya dengan yang lain.
Sasaran kedua, ke Pedir menyusul. Dia juga berhasil melemahkan kekuatan
Raja disana dengan pecah belah, untuk selanjutnya mendirikan faktori dan
melindunginya dengan sejumlah serdadunya. Jika paristiwa ini diikuti dan
dibandingi dengan jalan cerita dari sumber-sumber hikayat serta nama Raja-raja
dengan tanggal-tanggal dibatu nisan yang dapat diteliti kemudian, maka jelaslah
bahwa latar belakang sangketa persaudaraan di negeri-negeri itu bersumber pula
kepada hasil politik devide et impera Portugis, yang sudah memulai sejarahnya
masa itu.
Dari perkembangan di atas selanjutnya akan jelas pula bagaimana besar
peranan Sultan Ali Mughayat Syah dalam mengakhiri bahaya penjajahan Portugis
di Aceh. Sepintas lalu terbentuknya suatu kerajaan yang lebih besar yang bernama
Aceh Daru's-Salam, dari hasil penaklukan negeri-negeri Jaya, Pedir dan Pasai
seperti berarti menghilangkan pertumbuhan Negeri-negeri yang tadinya diperintah
oleh masing-masing sultannya.
Tapi jika diikuti jalan sejarahnya, maka dapat dikatakan bahwa dengan
bangunnya Aceh berarti runtuhnya kolonialisme Portugis yang pada sebelumnya
telah memasangkan benderanya dibeberapa tempat disana. Karena itu jasa Ali
Universitas Sumatera Utara
49
Mughayat Syah dalam hal ini tidaklah kecil adanya. Dia telah mematahkan
bahaya musuh dari luar dan dari dalam sekaligus dalam waktu yang singkat.
Sekali kekuatannya harus dipergunakan untuk mematahkan Daya diapun ditubruk
oleh Portugis.
Satu percobaan agresi telah pernah dilakukan ialah Portugis dibawah
pimpinan Gaspar de Costa ketika dia didalam tahun 1519 dengan perangkatannya
tiba-tiba muncul di Kuala Aceh. Dengan tipu muslihat dan perajurit Aceh yang
tidak seberapa, Portugis telah mengalami pukulan yang sangat pahit.
Dalam bulan Mei 1521, armada Portugis yang lebih kuat muncul lagi untuk
mengamuk diperairan Aceh. Sekali ini panglima Jorge de Brito sendiri tampil
mengepalai penyerangan. Dalam pertempuran hebat, Portugis kalah dan de Brito
tewas. Pengejaran tarhadap Portugis dilakukan terus ke Pedir oleh angkatan
perang Mughayat ke tempat dimana sisa-sisa armada Portugis lari untuk
menyembunyikan diri dan ke tempat dimana faktorinya sudah berdiri.
Disinipun terjadi peperangan hebat dan Ali Mughayat Syah barhasil
menumpas Portugis. Portugis dan Raja Pedir (Sultan Ahmad) akhirnya
mengundurkan diri ke Pasai. Ali Mughayat Syah segera mengejar Portugis terus
ke Pasai, dan barhasil mematahkan perlawanan Pasai. Sejumlah besar rampasan
alat-alat perang meriam dan sebagainya dengan mudahnya dapat dipergunakan
olah tentara Ali Mughayat Syah, untuk mengusir penjajahan Portugis dari bumi
Pasai khususnya dan Aceh umumnya.
C.R.Boxer mencatat bahwa menjelang tahun 1530 Aceh sudah mendapat
kelengkapan perang yang terdiri dari meriam-meriam yang sampai membuat
Universitas Sumatera Utara
50
sejarawan Portugis Fernao Loper de Costanheda mengatakan bahwa Sultan Acah
telah lebih banyak dapat suplai meriam-meriam dibanding dangan benteng
Portugis di Malaka.
Menurut Veltman salah satu rampasan yang dibawa oleh Mughayat pulang ke
Aceh adalah lonceng besar bersejarah yang kemudian diberi nama "Cakra Dunia",
Lonceng ini bukanlah yang diperoleh masa Iskandar Muda sebagai disangka
orang, melainkan lonceng masa pemberian Cheng Ho pada Raja Pasai awal abad
ke 15 ketika Cheng Ho berkunjung kesana.
Meninggalnya Mughayat Syah pada tahun 1530, menimbulkan harapan baru
bagi Portugis. Dari Malaka selalu dituntut kepada Gubernur Jenderal Portugis di
Goa dan seterusnya ke Lisabon supaya dikirimkan armada besar-besaran supaya
dapat dipukul Aceh sekali serbu, tapi masih balum dapat terkirim. Rupanya untuk
pembangunan suatu armada yang besar yang kira-kiranya dapat menghancurkan
pertahanan Aceh, masih diluar kemampuan Portugis pada masa itu. Sungguhpun
demikian, ini tidak berarti bahwa Portugis tinggal diam tidak berbuat apa-apa.
2.2.4 Sultan Ala'uddin Ri'ayat Syah (Al-Kahhar) (1537 - 1571)
Setelah Sultan Mughayat Syah meninggal, diangkatlah puteranya yang
bergelar Sultan Salahuddin. Karena tidak becus dalam memerintah kepemimpinan
Sultan Salahuddin hanya bertahan 17 tahun 11 bulan dan digantikan oleh adiknya
Sultan Ala'uddin Ri'ayat Syah (Al-Kahhar).
Semenjak itu terlaksanalah pemerintahan kerajaan yang berpusat dan beribu
kata Banda Aceh Darussalam, dangan wilayahnya yang sudah menjadi luas pula.
Universitas Sumatera Utara
51
Antara lain terkesan dari panunjukannya pada putaranya ke 2 menjadi Raja di
Pariaman/Sumatera Barat dangan gelar Sultan Moaghul. Istana karajaan dibangun
lebih luas dengan kata (benteng) tembok sekeliling, berikut didalamnya tempat balairung untuk musyawarah, untuk pertemuan, penerimaan tamu tamu demikian
pula untuk kediaman para keluarga Raja, para pengawal dan sebagainya.
Kompleks yang mengelilingi istana dan istana sendiri dikenal dengan nama
Dalam, lebih kurang seperti makna Kraton di Jawa.
Pertama-tama sejak Al-Kahhar menggantikan abangnya dalam bulan
September 1537, Aceh telah mencoba menyerang benteng Portugis di Malaka.
Pengalaman Portugis dari penyerangan tersebut membuat ia mempercepat
datangnya tambahan kekuatan. Disamping itu Estevao de Gama yang menjadi
Gubernur Portugis di Malaka meningkatkan ikhtiarnya untuk mendekati Raja-raja
Melayu siapa saja yang bersedia bersekutu dengannya menghadapi Aceh
Sumber Portugis mengatakan bahwa dipertengahan abad ke-l6 (kira-kira
ditahun 1540) Aceh telah mengadakan hubungan ke Turki. Diantara catatan itu
adalah catatan perjalanan petualang Portugis Pinto yang berada di Timur ini
disekitar masa itu, antara lain ke Aru. Kata Pinto, Aceh telah mendapat
sumbangan dari Turki sabanyak 300 orang ahli, dan menurut Pinto juga bantuan
tersebut dibawa oleh kapal Aceh Sendiri sebanyak 4 buah, yang sengaja datang ke
Turki, kata Pinto, untuk mendapatkan alat-alat senjata perang dan pembangunan
untuk melawan kerajaan Batak, bernama Timur Raya.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa karajaan Batak yang dimaksud oleh
Pinto dalam ceritanya adalah Aru. Tapi pendapat ini tidak cocok dangan
Universitas Sumatera Utara
52
keterangan yang bersumber Tionghoa bahwa Sultan Aru sejak awal abad ke 15
sudah memeluk Islam. Jika menurut Pinto peperangan telah terjadi dengan Aceh
karena Sultan Aceh hendak mengembangkan Islam, maka cerita tersebut tidak
sesuai dengan kenyataan bahwa Aru sudah Islam.
Bagian yang dapat dijadikan pegangan sehubungan dengan cerita Pinto itu
hanyalah bahwa Aceh telah menghadapi faktor Portugis yang semakin giat
membina kekuatan, terutama melalui adu domba dengan kerajaan-kerajaan
dirantau itu, sebagaimana terkesan dari ceritanya tentang kerajaan Batak dan
kerajaan Aru yang pernah mengirim utusannya manghubungi Portugis ke Malaka
Pada masa Al-Kahhar seorang tenaga ahli dari Portugis yang tinggal di
Malaka bernama Khoja Zainal Abidin telah memeluk Islam di Aceh. Berkat
bantuan Khoja dibuatlah kapal-kapal yang modern. Hampir semua pertukangan
dan kerajinan yang dikerjakan orang-orang diluar negeri, sudah dapat dibuat
sendiri di Aceh masa Al-Kahhar itu. Kemajuan industri meriam dan senjata di
Aceh telah sedemikian meningkatnya sehingga pesanan-pesanan dari negari lain
diantaranya dari Demak dan Banten, dapat dipenuhi (Said, 1981: 194).
Dom Antonio de Noronda Gubernur Portugis ketika di Goa ditahun 1564,
telah mendapat kabar pula bahwa Aceh telah membentuk suatu front persatuan
negara-negara Islam untuk menentang Portugis. Dari Sultan Turki diterimanya
sumbangan 500 meriam dan sejumlah besar alat-alat, Berita ini sebegitu jauh tidak
disusul dengan peristiwa-peristiwa baru dengan Portugis. Namun selanjutnya
pembangunan kekuatan Aceh telah dinyatakan juga oleh berita tersebut. Dalam
tahun 1568 barulah terjadi lagi serangan Aceh terhadap Portugis. Serangan ini
Universitas Sumatera Utara
53
terdiri dari seperangkat armada yang mengangkut sejumlah 15.000 perajurit dan
400 orang Turki, juga 200 meriam tembaga. Untuk penyerangan ini Sultan AlKahhar sendiri tampil memimpin pasukan (Said, 1981: 196).
Tapi untuk menghadapi penyerangan ini Portugis sendiri telah siap sedia.
Bala bantuan baru dari Goa dari Portugal sudah sampai lebih dulu. Disamping itu
Portugis Sendiri sudah sempat mengirim kabar ke Johor dan Kedah supaya
mambantunya.
Posisi Portugis masa itu agak sedikit baik. Karena armada Demak juga
memang tidak jauh dari Malaka, Aceh mengajak armada Demak supaya
mengeroyok Portugis. Rupanya Demak belum bersedia, mungkin diantara
sebabnya adalah karena perbedaan kepentingan dalam dagang.
2.2.5 Sultan Almukammal (1571-1607)
Pada hari meninggalnya Sultan Alauddin Ri'ayat Syah (Al-Kahhar)
dinobatkanlah puteranya yang kedua sebagai pegganti dengan gelar Sultan Husin
Ibnu Sultan Alauddin Ri'ayat Syah. Putra Marhum Al-Kahhar yang sulung
bernama Abdullah yang dipercaya oleh ayahnya menjadi Sultan Aru pada tahun
1564, pada tahun 1568 ia telah tewas di Malaka dalam pertempuran dengan
Portugis. Sultan Husin memerintah selama 7 tahun. Beliau meninggal 8 Juni 1579.
Ganti putra Sultan Husin bernama Sultan Muda berusia 3 bulan. Setelah 7
bulan Sultan Muda meninggal. Selanjutnya Sultan Muda diganti dengan adik
Marhum Al-Kahhar yang menjadi Raja di Pariaman (Sumatera Barat) dengan
gelar Sultan Sri Alam. Beliau memerintah cuma 2 bulan karena terbunuh.
Universitas Sumatera Utara
54
Selanjutnya setelah Sultan Sri Alam meninggal. Sultan Zainal Abidin putra
Sultan Abdullah (Aru). Namun Sultan ini tidak becus memerintah dan terbunuh
pada tanggal 5 Oktober 1579.
Mansyur Syah yang merupakan putera Sultan Perak yang menikah dengan
puteri Sultan Aceh naik tahta pada tahun 1579. Pada tanggal 12 januari 1585
Sultan Mansyur Syah meninggal dan digantikan dengan oleh Sultan Buyung
dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah putera Sultan Munawar Syah raja Indrapura.
Beliau terbunuh juga pada tahun 1589 lalu naiklah Sultan Alauddin Ri'ayat Syah
Sa'id Al-Mukammal Ibnu Sultan Firman Syah. Pada masa Almukammal ini
Inggris dan Belanda memulai kerjasama dagang dengan Aceh.
Tanggal 21 Juni 1599 tibalah di Acah Houtman barsaudara, yakni Cornelis
sabagai Laksamana dan Frederick Houtman sebagai Kapten dari kapal "De
Leeuw" dan "De Leeuwin". Mulanya mereka disambut baik, tidak kebetulan
pasaran menjadi hangat juga dengan kedatangan mereka. Kepada mereka
diberikan kesempatan membeli lada.
Untuk menguji bagaimana suasana Aceh dalam masa-masa akhir abad ka 16
sampai ke 17, menurut kaca mata dan laporan pandangan mata seorang Inggeris,
Kapten John Davis, Dia adalah mualim di salah satu kapal "Da Laauw" dan "De
Leeuwin", mendapat pekerjaan itu semenjak berangkat dari Vlissingan, 15 Maret
1598
Aceh berkekuatan memiliki 100 kapal perang, setiap kapal bisa ditempatkan
400 perajurit. Salah seorang Laksamana Angkatan Laut adalah wanita dan dia lah
yang di perkenalkan belakangan ini dengan Malahayati. Alat senjata yang
Universitas Sumatera Utara
55
dipergunakan dari pada tombak, keris, pedang, panah dan sebagainya, kata Davis :
" Men heeft ergeen Verdedigende Wapenen , men Vegt er naakt", Artinya :
Mereka tidak mempunyai alat pembelaan, mereka berkelahi secara lepas saja. Jika
yang dimaksudnya alat perisai dari tikam-menikam, ini tidak benar. Alat perisai
dikenal cukup dalam alat-alat parang Aceh.
Davis menceritakan bahwa Sultan Al-Mukammal mempunyai juga banyak
sekali meriam-meriam besar dari baja. Kekuatan pertahanan darat diperhebat pula
dengan adanya barisan gajah yang dipergunakan oleh hulubalang-hulubalang.
Penduduk Aceh, sangat gemar berniaga. Mereka berbakat dagang, dalam
pekerjaan itu mereka berpengalaman cukup. Juga mereka ahli-ahli pertukangan,
tukang emas, tukang meriam, tukang kapal, tukang besi, tenun, tukang periuk, pot,
pembikin berbagai rupa minuman.
Davis mengatakan bahwa awalnya Belanda masuk ke Aceh dengan cara yang
tidak disukai orang Aceh.
Pada saat Belanda merubah strateginya terhadap Aceh dengan melakukan
kunjungan ke Aceh disertai hadiah-hadiah yang dibawa Sultan Aceh pun
menerima dengan baik. Bahkan dibalas dengan kunjungan ke Belanda.
Akhirnya sehubungan dengan keberangkatan utusan Aceh ini dapatlah dicatat
bahwa karajaan berdaulat yang pertama-tama mengakui lahirnya suatu negara
Belanda yang baru saja berdaulat pada zaman itu de jure dan de fakto, adalah
kerajaan Aceh. (Dalam tahun 1672 ketika Belanda sibuk bersiap-siap hendak
menyerang Aceh, Multatuli dengan sedih pernah mengingatkan peristiwa
pengakuan itu, ketika berbicara dalam suatu pertemuan di Wiesbaden.
Universitas Sumatera Utara
56
Menurutnya "Ketika Belanda mamperjuangkan kemerdekaannya dari Spanyol,
kerajaan Acehlah yang pertama mengakui Belanda sebagai satu bangsa yang
merdeka". Belakangan Belandalah satu-satunya negara yang ingin manghapuskan
kedaulatan Aceh.
Universitas Sumatera Utara
Download