BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di seluruh dunia. Pada tahun 2005, penyakit ini menyebabkan 17,5 juta kematian, yaitu sekitar 30% dari total kematian pada tahun tersebut (Lindholm dan Mendhis, 2007). Selain itu, setiap tahunnya sekitar 190.000 orang mengalami komplikasi penyakit koroner yaitu infark miokard. Diperkirakan pada tingkat global, 3,8 juta laki-laki dan 3,4 juta wanita meninggal akibat PJK setiap tahun (WHO, 2004). Indonesia memang belum mempunyai data akurat mengenai epidemiologi penyakit kardiovaskular. Menurut Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007, prevalensi penyakit jantung di Indonesia sebesar 7,2% berdasarkan wawancara dan berdasarkan riwayat yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan sebesar 0,9% (Balitbangkes, 2008). Pola hidup dan tingkah laku seseorang dan keturunan memegang peranan penting dengan penyakit jantung koroner. Biasanya dikenal dengan adanya faktor resiko penyakit jantung koroner. Menurut American Heart Association dan National Cholesterol Education Programme, faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner antara lain adalah kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah, hipertensi, diabetes mellitus, merokok, stres, kegemukan atau kurang beraktivitas dan keturunan, jenis kelamin dan usia. Sebagian besar orang yang menderita 2 penyakit jantung paling tidak memiliki salah satu dari beberapa faktor resiko yang ada (Suharto, 2004). Saat seseorang didiagnosis menderita penyakit kronis maka respon emosional yang biasanya muncul adalah penolakan, kecemasan, stres dan depresi (Taylor, 1995 cit., Solichah, 2009). Penderita jantung koroner memiliki tingkat stres dan kecemasan yang tinggi, yang berkaitan dengan treatment yang harus dijalani dan terjadinya komplikasi serius. Stres yang dialami penderita berkaitan dengan treatment yang harus dijalani seperti diet atau pengaturan makan, konsumsi obat dan juga olahraga. Selain itu, risiko komplikasi penyakit yang dapat dialami penderita juga menyebabkan terjadinya stres (Solichah, 2009). Risiko terjadinya gangguan ini makin bertambah apabila ada kelelahan fisik atau faktor organik misalnya usia lanjut. Beberapa dampak negatif dari stres adalah perilaku agresif, gugup, frustasi, kecenderungan merokok dan alkoholik, daya pikir lemah, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung dan peningkatan gula darah (Ditjen PP&PL, 2011). Stres dapat mengakibatkan tubuh melepaskan hormon stres yang dapat menyebabkan detak jantung berdegup kencang (Ridwan, 2009). Ada bukti epidemiologi yang kuat yang menunjukkan bahwa stres psikologis memainkan peran yang signifikan dalam pengembangan penyakit jantung (Rozanski et al., 2005). Stres berkaitan erat dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner (PJK). Stres dapat mempengaruhi PJK melalui aktivasi langsung dari respon neuroendokrin terhadap stres dan tidak langsung melalui perilaku tidak sehat yang 3 meningkatkan risiko PJK seperti merokok, kurang olahraga, atau konsumsi alkohol yang berlebihan (Chandola, 2008). Data epidemiologis menunjukkan bahwa stres kronis memprediksi terjadinya penyakit jantung koroner. Karyawan yang mengalami stres kerja dan individu yang terisolasi secara sosial atau kesepian memiliki peningkatan risiko kejadian PJK pertama. Selain itu, stres emosional jangka pendek dapat bertindak sebagai pemicu kejadian penyakit jantung antara individu dengan terjadinya aterosklerosis. Sebuah sindrom koroner-stres tertentu, yang dikenal sebagai transient ventrikel kiri apikal balon cardiomyopathy atau stres (Takotsubo) cardiomyopathy juga ada. Di antara pasien dengan PJK, stres psikologis akut telah terbukti menginduksi iskemia miokard transient dan stres jangka panjang dapat meningkatkan risiko kejadian PJK berulang dan kematian (Steptoe et al., 2012). Klinik Dokter Keluarga Korpagama UGM merupakan salah satu Pelayanan Kesehatan yang bertempat di kecamatan Depok, Sleman yang sebagian besar pasiennya adalah civitas Universitas Gadjah Mada. Peneliti memilih Korpagama sebagai tempat penelitian berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu dominasi pasiennya adalah pasien jantung koroner dan pasien hipertensi. Menurut studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti di Klinik Dokter Keluarga Korpagama UGM, terdapat 30 pasien yang terdiagnosis penyakit jantung koroner dan 30 pasien yang terdiagnosis hipertensi, tercatat dari bulan Juni 2014 hingga bulan Agustus 2014. Namun sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian tentang perbandingan tingkat stres pada pasien jantung koroner dan pasien hipertensi di Klinik Dokter Keluarga Korpagama UGM. Hasil wawancara 4 yang telah dilakukan peneliti pada tanggal 30 Juni 2014 terhadap empat pasien jantung koroner didapatkan bahwa tiga dari empat pasien mengalami sulit tidur baik untuk memulai tidur dan sering terbangun di malam hari, mengalami perubahan nafsu makan, ketidakmampuan untuk melaksanakan aktivitas seharihari, adanya beban pikiran berupa penyakit yang tidak kunjung sembuh, serta adanya kekhawatiran apabila mendadak meninggal dunia. Karena itulah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul perbandingan tingkat stres pada pasien jantung koroner dan pasien hipertensi di Klinik Dokter Keluarga Korpagama UGM. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitiannya adalah “apakah ada perbedaan tingkat stres antara pasien jantung koroner dibandingkan dengan pasien hipertensi di Klinik Dokter Keluarga Korpagama UGM?” C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perbandingan tingkat stres pada pasien jantung koroner dan pasien hipertensi di Klinik Dokter Keluarga Korpagama Universitas Gadjah Mada, Kecamatan Depok, Sleman. 5 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya bidang kesehatan mengenai perbandingan tingkat stres pada pasien jantung koroner dan pasien hipertensi. 2. Manfaat Praktis a. Bagi kalangan akademik Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya dan dapat bermanfaat sebagai bahan referensi dalam program pengelolaan tingkat stres pada pasien jantung koroner dan pasien hipertensi. b. Bagi peneliti Penelitian ini dapat menambah data penelitian dan pengetahuan mengenai perbandingan tingkat stres pada pasien jantung koroner dan pasien hipertensi dengan atau tanpa komorbid ataupun faktor resiko lainnya. c. Bagi tenaga kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada tenaga kesehatan yang melakukan perawatan kepada pasien penyakit jantung koroner dan pasien hipertensi tentang tingkat stres pada pasien jantung koroner dan pasien hipertensi sehingga tenaga kesehatan dapat memberikan motivasi dan dukungan kepada pasien dan keluarga terhadap keberhasilan pemulihan pasien jantung koroner. d. Bagi peneliti lain 6 Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut, berkaitan dengan perbandingan tingkat stres pada pasien jantung koroner dan pasien hipertensi. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang perbandingan tingkat stres pada pasien jantung koroner dan pasien hipertensi di Klinik Dokter Keluarga Korpagama UGM sampai pembuatan proposal penelitian, belum pernah diteliti sebelumnya. Namun, ada beberapa penelitian yang penulis dapatkan berhubungan dengan tingkat stres, diantaranya : 1. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Penyakit Dengan Tingkat Stres Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II di RSD DR. Haryoto Lumajang oleh Christina Dhiyah Wulandari pada tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap penyakit dengan tingkat stres pada penderita Diabetes Mellitus II di RSD DR. Haryoto Lumajang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini adalah penderita diabetes mellitus tipe II baik berjenis laki-laki ataupun perempuan yang menjalani rawat jalan di RSD. DR. Haryoto Lumajang dan tidak sedang mengandung dengan sampel berjumlah 100 penderita. Penelitian ini menggunakan instrumen skala persepsi yang disusun berdasarkan aspek dari Moss-Morris dan Chalder serta menggunakan skala stres yang disusun berdasarkan aspek stres dari Sarafino dan Smith. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan linier positif antara persepsi terhadap penyakit dengan tingkat stres pada penderita diabetes mellitus tipe II di RSD. DR. Haryoto Lumajang. Persepsi terhadap penyakit memberikan 7 kontribusi sebesar 71, 23% pada tingkat stres, sedangkan sisanya sebesar 28,77% dipengaruhi faktor lain. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada variabel yaitu tingkat stress dan rancangan penelitian. Perbedaannya terletak pada sampel, lokasi dan instrumen penelitian. 2. Perbandingan Tingkat Stres Mahasiswa PSIK A dan B Dalam Menyelesaikan Skripsi di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta oleh Rosana pada tahun 2007. Penelitian ini memiliki rancangan cross-sectional dengan menggunakan metode korelasi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa adanya perbedaan yang signifikan antara mahasiswa PSIK A 2004 dengan mahasiswa PSIK B 2006 dalam menyelesaikan skripsi. Tingkat stres mahasiswa PSIK A 2004 lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat stres mahasiswa PSIK B 2006. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada variabel penelitiannya yaitu tingkat stres dan rancangan penelitiannya. Sedangkan perbedaan dengan penelitian ini terletak pada subyek, komorbid, dan faktor resiko lainnya. 3. Johan Denollet dan Brutsaert (2001) dalam penelitiannya tentang “Reducing emotional distress improves prognosis in coronary heart disease” mengidentifikasi dampak dari pengobatan gangguan emosi terhadap prognosis pada penyakit jantung koroner, dengan menguji hipotesis bahwa pengobatan berupa rehabilitasi terkait perubahan gangguan emosi dapat memberikan efek yang menguntungkan pada prognosis. Menggunakan sampel 150 laki-laki dengan PJK berpartisipasi dalam rehabilitasi (n=78) atau yang menerima perawatan medis standar (n=72). Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan antara pasien rehabilitasi dan kontrol berkenaan dengan fraksi ejeksi 8 ventrikel kiri (LVEF) atau perawatan standar. Dari hasil penelitian, 64 pasien (43%) melaporkan peningkatan dari rehabilitasi dan 22 (15%) melaporkan penurunan dampak negatif. Selain itu, tingkat kematian adalah sebesar 17% (12/72) untuk pasien kontrol dan 4 % (3/78) untuk pasien rehabilitasi. Rehabilitasi efektif dalam mengurangi kematian dan menghindarkan efek buruk dari penurunan negatif terhadap prognosis. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada variabel yaitu stres. Perbedaannya terletak pada sampel, lokasi, jenis, rancangan dan instrumen penelitian. 4. Rosengren et al. (2004) dalam penelitiannya tentang “Association of psychosocial risk factors with risk of acute myocardial infarction in 11.119 cases and 13.648 controls from 52 countries (the INTERHEART study): case-control study mengidentifikasi hubungan faktor psikososial terhadap resiko myocardial infarction dalam 24.767 orang dari 52 negara. Menggunakan 11.119 pasien dengan myocardial infarction tingkat pertama dan 13.648 kontrol yang seumur (sampai 5 tahun lebih tua atau lebih muda) dan satu jenis kelamin dari 262 pusat di Asia, Eropa, Timur Tengah, Afrika, Australia, dan Amerika Utara dan Selatan. Stres psikososial dinilai dengan empat pertanyaan sederhana tentang stres di tempat kerja dan di rumah, tekanan keuangan, dan peristiwa besar dalam hidup dalam satu tahun terakhir. Pertanyaan tambahan menilai lokus kontrol dan adanya depresi. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil orang dengan myocardial infarction (kasus) melaporkan prevalensi yang lebih tinggi dari keempat faktor stres (p <0 · 0001). Dari kasus-kasus masih terjadi 23 · 0% (n = 1249) mengalami beberapa periode stres kerja dibandingkan dengan 17 · 9% (1324) dari kontrol, 9 dan 10 · 0% (540) mengalami stres kerja permanen selama tahun sebelumnya dibandingkan 5 · 0% (372) dari kontrol. Odd rasio adalah 1 · 38 (99% CI 1 · 19-1 · 61) untuk beberapa periode stres kerja dan 2 · 14 (1 · 73-2 · 64) untuk stres permanen di tempat kerja, disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, wilayah geografis, dan merokok. 11 · 6% (1288) dari kasus memiliki beberapa periode stres di rumah dibandingkan dengan 8 · 6% (1179) dari kontrol (odd rasio 1 · 52 [99% CI 1 · 34-1 · 72]), dan 3 · 5% (384) dari kasus dilaporkan stres permanen di kandang lawan 1 · 9% (253) dari kontrol (2 · 12 [1 · 68-2 · 65]).Stres yang umum (kerja, rumah, atau keduanya) dikaitkan dengan odd rasio dari 1 · 45 (99% CI 1 · 30-1 · 61) untuk beberapa periode dan 2 · 17 (1 · 84-2 · 55) untuk stres permanen. Tekanan keuangan berat lebih khas dalam kasus daripada kontrol (14 · 6% [1622] vs 12 · 2% [1659]; odd rasio 1 · 33 [99% CI 1 · 19-1 · 48]). Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dalam satu tahun terakhir juga lebih sering pada kasus daripada kontrol (16 · 1% [1790] vs 13 · 0% [1771]; 1 · 48 [1 · 33-1 · 64]), seperti depresi (24 · 0% [2673] vs 17 · 6% [2404] ; odd rasio 1 · 55 [1 · 42-1 · 69]). Perbedaan ini konsisten di seluruh daerah, dalam kelompok-kelompok etnis yang berbeda, dan pada pria dan wanita. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada variabelnya yaitu stress. Perbedaannya terletak pada sampel, instrumen penelitian, rancangan penelitian dan lokasi penelitian. 5. Penelitian lain dilakukan oleh Chandola et al. (2008) dalam penelitiannya tentang “Work stress and coronary heart disease: what are the mechanism?” mengidentifikasi faktor-faktor biologis dan perilaku yang menghubungkan stres kerja dengan penyakit jantung koroner (PJK). Menggunakan sampel 10.308 PNS 10 laki-laki dan perempuan yang tinggal di London yang berusia 35-55 tahun. Penelitian ini menggunakan kuisoner dari Whitenhall II, dengan menilai stres kerja, faktor risiko perilaku, sindrom metabolik, variabilitas denyut jantung, dan peningkatan kortisol di pagi hari dengan kejadian PJK. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan hasil adanya hubungan yang kuat antara stres kerja dikaitkan dengan PJK (RR 1,68, CI 95% 1,17, 2,42). Selain itu, ada hubungan yang sama antara stres kerja dengan aktifitas fisik yang rendah, diet yang buruk, sindrom metabolik dan komponen-komponennya dan variabilitas denyut jantung yang lebih rendah. Selain itu, stres juga dikaitkan dengan kenaikan kortisol yang lebih tinggi di pagi hari. Sekitar 32% dari pengaruh stres terhadap PJK disebabkan oleh pengaruh dari perilaku tidak sehat dan sindrom metabolik. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada pada variabel yaitu stres dan jantung koroner. Sedangkan perbedaan dengan penelitian ini terletak pada sampel, lokasi, rancangan, pendekatan penelitian dan instrumen.