BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kematian ibu ( AKI

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka kematian ibu ( AKI ) di Indonesia saat ini menjadi permasalahan
yang sangat serius dan masih tertinggi di Asia. AKI Indonesia tahun 2007
adalah 307/100.000 kelahiran hidup ( SDKI, 2007 ). Dengan perhitungan ini,
diperkirakan setiap jam dua orang perempuan mengalami kematian karena
hamil atau melahirkan akibat komplikasi pada masa hamil atau persalinan.
AKI pada proses persalinan dan kehamilan cukup tinggi. Bahkan target dari
Millenium Development Goals ( MDGs ) adalah menurunkan AKI di
Indonesia sebanyak 75% pada tahun 2015. Dengan demikian ditargetkan
penurunan hingga 102/100.000 kelahiran hidup pada 2015.
Enam penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia adalah
perdarahan, eklampsia, aborsi tidak aman ( Unsafe abortion ), partus lama, dan
infeksi. Faktor lain yang meningkatkan AKI adalah buruknya gizi perempuan,
yang dikenal dengan kekurangan energi kronis ( KEK ) dan anemia.
Persalinan dan kelahiran merupakan suatu kejadian fisiologis yang normal
dalam kehidupan manusia. Lebih dari 80% proses persalinan berjalan normal,
dan hanya 15-20% terjadi komplikasi persalinan. Namun jika tidak ditangani
dengan baik, angka kejadian komplikasi tersebut dapat meningkat.
Salah satu penyebab penyulit pada kala III adalah atonia uteri dan retensio
plasenta. Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan post partum
dini ( 50% ), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan
histerektomi post partum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama
untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia terjadi karena
kegagalan mekanisme ini. Perdarahan post partum secara fisiologis dikontrol
oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah
yang
memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi
apabila serabut-serabut miometrium tidak berkontraksi.
1
Sedangkan retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta
selama setengah jam setelah kelahiran bayi.Plasenta harus dikeluarkan karena
dapat menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati,
dapat terjadi plasenta inkarserata dapat terjadi polip plasenta dan terjadi
degenerasi ganas korio karsinoman.
Atonia uteri dan retensio plasenta masih sebagai satu penyebab terbesar
terjadinya perdarahan post partum dan kematian maternal ,maka dari itu perlu
penanganan yang tepat.
B.
1.
2.
3.
4.
5.
RUMUSAN MASALAH
Apa yang dimaksud atonia uteri?
Apa yang dimaksud retensio placenta?
Apa yang dimaksud emboli air ketuban?
Apa yang dimaksud ruptur uteri?
Apa yang dimaksud inversio uteri?
C. Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui tentang Penyulit kala III persalinan (Atonia
Uteri, Retensio Plasenta, Emboli Air Ketuban, Ruptur Uteri dan Inversio
Uteri).
BAB II
2
PEMBAHASAN
PENYULIT PERSALINAN KALA III
a. Kala III adalah dari lahirnya bayi sampai keluarnya placenta. Lamanya 5
sampai 30 menit.
(Oxorn, H dan William. (1990). Ilmu Kebidanan : Patologi dan Fisiologi
Persalinan. Yogyakarta : Andi Offset)
b. Kala III dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang
berlangsung tidak lebih dari 30 menit.
(Sondakh, J. (2013). Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir.
Jakarta : Erlangga)
c. Kala III (pelepasan uri) yaitu setelah kala II, kontraksi uterus berhenti
sekitar 5 sampai 10 menit. Dengan lahirnya bayi, sudah mulai pelepasan
plasenta pada lapisan Nitabusch, karena sifat retraksi otot rahim.
(Manuaba, I. (1998). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC)
A. ATONIA UTERI
a. Pengertian
Atonia uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan uterus
dalam berkontraksi dengan baik setelah persalinan, sedangkan atonia uteri
juga di definisikan sebagai tidak adanya kontraksi uterus segera setelah
plasenta lahir.
Sebagaian besar perdarahan pada masa nifas ( 75-80% ) adalah
akibat adanya atonia uteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah
uteroplasenta selama masa kehamilan adalah 500-800 ml/menit, sehingga
kita bisa bayangkan ketika uterus itu tidak berkontraksi selama beberapa
menit saja maka akan menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak.
Sedangkan volume darah manusia hanya berkisar 5-6 liter saja.
Adapun pengertian menurut para ahli :
Atonia uteri ( relaksasi otot uterus ) adalah uteri tidak berkontraksi dalam
15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri ( plasenta telah lahir ).
( JNPKR, Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002 )
3
Pendarahan obstetri yang disebabkan oleh kegagalan uterus untuk
berkontraksi secara memadai setelah kelahiran (Cuningham, 2013:415).
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. (Sarwono,
2009)
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini
(50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi
postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk
mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia terjadi karena
kegagalan mekanisme ini. Perdarahan pospartum secara fisiologis
dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi
pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta.
Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tidak berkontraksi.
a. Fisiologi Antonia Uteri
Menjelang aterm, diperkirakan bahwa sekitar 600 ml/ mnt darah
mengalir melalui ruang antarvilus. Saat plasenta terlepas, banyak arteri dan
vena yang menyalurkan darah menuju dan dari plasenta terputus secara
mendadak. Di tempat implantasi plasenta, diperlukan kontraksi dan
retraksi miometrium untuk menekan pembuluh-pembuluh tersebut dan
menyebabkan obliterasi lumen agar perdarahan dapat dikendalikan.
Potongan plasenta atau bekuan darah yang melekat akan menghambat
kontraksi dan retraksi efektif miometrium sehingga hemostasis di tempat
implantasi tersebut terganggu. Jika miometrium di tempat implantasi
plasenta dan disekitarnya berkontraksi dan beretraksi dengan kuat, kecil
kemungkinan terjadi perdarahan yang fatal meskipun terjadi gangguan
mekanisme pembekuan yang hebat. Selama kala tiga persalinan, akan
terjadi perdarahan tak-terhindarkan yang disebabkan oleh pemisahan
parsial sementara plasenta. Sewaktu plasenta terlepas, darah dari tempat
implantasi dapat cepat lolos kedalam vagina (pemisahan duncan) atau
4
tersembunyi di balik plasenta dan membran (pemisahan schultze) sampai
plasenta lahir. Turunnya plasenta ditandai oleh kendurnya tali pusat. Jika
perdarahan menetap, diindikasikan pengeluaran plasenta secara manual.
Uteus harus di pijat jika tidak berkontraksi dengan kuat. (Leveno,
Kennethj 2009).
b. Patofisiologi Antonia Uteri
Perdarahan obstetri sering disebabkan oleh kegagalan uterus untuk
berkontraksi secara memadai setelah pelahiran. Pada banyak kasus,
perdarahan postpartum dapat diperkirakan jauh sebelum pelahiran.
Contoh-contoh ketika trauma dapat menyebabkan perdarahan postpartum
anatara lain pelahiran janin besar, pelahiran dengan forseps tengah, rotasi
forseps, setiap manipulasi intrauterus, dan mungkin persalinan pervaginam
setelah seksio sesarea (VBAC) atau insisi uterus lainnya. Atonia uteri yang
menyebabkan perdarahan dapat diperkirakan apabila digunakan zat-zat
anestetik berhalogen dalam konsentrasi tinggi yang menyebabkan relaksasi
uterus (Gilstrap dkk, 1987).
Uterus yang mengalami overdistensi besar kemungkinan besar
mengalami hipotonia setelah persalinan. Dengan demikian, wanita dengan
janin besar, janin multipel, atau hidramnion rentan terhadap perdarahan
akibat atonia uteri. Kehilangan darah pada persalinan kembar, sebagai
contoh, rata-rata hampir 1000 ml dan mungkin jauh lebih banyak
(pritchard, 1965). Wanita yang persalinannya ditandai dengan his yang
terlalu kuat atau tidak efektif juga dengan kemuungkinan mengalami
perdarahan berlebihan akibat atonia uteri setelah melahirkan. Demikian
juga, persalinan yang dipicu atau dipacu dengan oksitosin lebih rentan
mengalami atonia uteri dan perdarahan postpartum. Wanita dengan paritas
tinggi mungkin berisiko besar mengalami atonia uteri. Fucs dkk. (1985)
melaporkan hasil akhir pada hampir 5800 wanita para 7 atau lebih. Mereka
melaporkan bahwa insiden perdarahan postpartum sebesar 2,7 persen pada
para wanita ini meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan populasi
obstetri umum. Babinszki dkk. (1999) melaporkan insiden perdarahan
5
postpartum sebesar 0,3 persen pada wanita dengan paritas rendah, tetapi
1,9 persen pada mereka dengan para 4 atau lebih.
c. Etiologi
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor
predisposisi (penunjang)seperti :
1. Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion,
Paritas tinggi
2. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
3. Multipara dengan jarak kelahiran pendek
4. Partus lama / partus terlantar
5. Malnutrisi.
6. Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya placenta
Belum terlepas dari dinding uterus.
d. Tanda dan Gejala
a) Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah
tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai
gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak lagi sebagai
anti pembeku darah.
b) Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting / khas atonia dan yang
membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
c) Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan
menggumpal
d) Terdapat tanda-tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ektremitas dingin,
gelisah, mual dan lain-lain.
e) Diagnosis
1. Data Subjektif
6
Ibu mengatakan merasa mules pada perut bagian bawah.
2. Data Objektif
Pemeriksaan fisik : Uterus tidak berkontraksi dan lunak serta terjadi
perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir
e. Kewenanangan Bidan
Kewenangan bidan berdasarkan Revisi Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/149/2010 Tentang Izin Dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan.
Pasal 10
(1) Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
ayat 2 meliputi :
Anamnesa ibu hamil
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan LAB sederhana (hb dan urin)
Penyuluhan dan konseling
Pelayanan antenatal pada kehamilan normal;
Pertolongan persalinan normal
Pertolongan persalinan malpresentasi dengan letak bokong sempurna,
distosia bahu, asfiksia neonatal, retensio plasenta, perdarahan karena
atonia uteri, dan penggunaan ekstraksi vakum dengan kepala janin
didasar panggul (pada keadaan darurat/tidak tersedianya dokter
spesialis kebidanan diwilayah kerja bidan tersebut)
h. Pelayanan nifas normal
Pasal 11
Bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 huruf a berwenang untuk:
a.
b.
c.
d.
e.
Memberikan imunisasi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah;
Bimbingan senam hamil;
Episiotomy;
Penjahitan luka episiotomy;
Kompresi bimanual dalam rangka kedagawat daruratan dilanjutkan
f.
g.
h.
i.
j.
dengan perujukan;
Pencegahan anemia;
Inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu esklusif;
Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia;
Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;
Pemberian minum dengan sonde/pipet;
7
k. Pemberian obat antibiotic oral, sedative, uterotonika untuk manajemen
aktif kalaIII dan pada penanganan perdarahan postpartum;
l. Pemberian surat keterangan kelahiran; dan
m. Pemberian surat keterangan hamil untuk keperluan cuti melahirkan
f. Penatalaksanaan
Peranan bidan dalam menghadapi perdarahan post partum karena atonia
uteri apabila uterus tidak berkontraksi lebih dari 15 detik maka lakukan:
1. Segera lakukan kompresi bimanual internal
2. Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut
masukkan tangan secara obstetric (dengan cara menyatukan kelima ujung
jari) ke introitus dan ke dalam vagina itu.
3. Periksa vagina dan serviks. Jika ada selaput ketuban atau bekuan
darah pada kavum uteri mungkin hal ini menyebabkan uterus tidak dapat
berkontraksi secara penuh.
4. Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada fornik anterior, tekan
dinding anterior uterus, kea rah tangan luar yang menahan dan mendorong
dinding posterior uterus ke depan dan belakang.
5. Tekan uterus dengan kedua tangan secara kuat. Kompresi uterus ini
memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah di dalam dinding
uterus dan juga merangsang miometrium untuk berkontraksi.
Kompresi Bimanual Internal
Evaluasi keberhasilan:
1) Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan
melakukan KBl selama dua menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan
tangan dari dalam vagina. Pantau kondisi ibu secara melekat selama
kala empat.
2) Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan terus berlangsung, periksa
perineum, vagina dari serviks apakah terjadi laserasi di bagian
tersebut. Segera lakukan si penjahitan jika ditemukan laserasi.
3) Jika kontraksi uterus tidak terjadi dalam waktu 5 menit, ajarkan
keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksternal kemudian
8
teruskan dengan langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri
selanjutnya. Minta tolong keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan.
Alasan: Atonia uteri seringkali bisa diatasi dengan KBl, jika KBl tidak
berhasil dalam waktu 5 menit diperlukan tindakan-tindakan lain.
1) Berikan 0,2 mg ergometrin IM atau misoprostol 600-1000 mcg
perrektal. (jangan berikan ergometrin kepada ibu dengan hipertensi)
Alasan : Ergometrin yang diberikan, akan meningkatkan tekanan darah
lebih tinggi dari kondisi normal.
2) Menggunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18), pasang
infus dan berikan 500 ml larutan Ringer Laktat yang mengandung 20
unit oksitosin.
Alasan: Jarum dengan diameter besar, memungkinkan pemberian
cairan IV secara cepat, dan dapat langsung digunakan jika ibu
membutuhkan transfusi darah. Oksitosin IV akan dengan cepat
merangsang kontraksi uterus. Ringer Laktat akan membantu
mengganti volume cairan yang hilang selama perdarahan.
3) Pakai sarung tangan steril atau disinfeksi tingkat tinggi dan ulangi
KBI.
Alasan:
KBI yang digunakan bersama dengan ergometrin dan
oksitosin dapat membantu membuat uterus-berkontraksi.
4) Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu sampai 2 menit, segera
lakukan rujukan Berarti ini bukan atonia uteri sederhana. Ibu
membutuhkan perawatan gawat-darurat di fasilitas kesehatan yang
dapat melakukan tindakan pembedahan dan transfusi darah.
5) Sambil membawa ibu ke tempat rujukan. Teruskan melakukan KBI
hingga ibu tiba di tempat rujukan. Teruskan pemberian cairan IV
hingga ibu tiba di fasilitas rujukan:
a. Infus 500 ml yang pertama dan habiskan dalam waktu 10 menit.
b. Kemudian berikan 500 ml/jam hingga tiba di tempat rujukan atau
hingga jumlah cairan yang diinfuskan mencapai 1,5 liter, dan
kemudian berikan 125 ml/jam.
c. Jika cairan IV tidak cukup, infuskan botol kedua berisi 500 ml
cairan dengan tetesan lambat dan berikan cairan secara oral untuk
asupan cairan tambahan.
9
Kompresi bimanual eksternal
1. Letakkan satu tangan pada abdomen di depan uterus, tepat di atas
simfisis pubis.
2. Letakkan tangan yang lain pada dinding abdomen (dibelakang
korpus uteri), usahakan memegang bagian belakang uterus seluas
mungkin.
3. Lakukan gerakan
saling
merapatkan
kedua
tangan
untuk
melakukan kompresi pembuluh darah di dinding uterus dengan
cara menekan uterus di antara kedua tangan tersebut.
g. Akibat dari Atonia Uteri
a. Syok
1. Pengertian
Syok adalah suatu keadaan klinis yang akut pada seorang penderita,
yang bersumber pada berkurangnya perfusi jaringan dengan darah, akibat
gangguan pada sirkulasi mikro.
2.
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Klasifikasi
Syok Hipopolemik : Seperti syok karena perdarahan dan dehidrasi
Syok Septik : Karena infeksi
Syok Kardiogenik: Karena kegagalan jantung
Syok anafilatik : Karena alergi
Syok Neurogenik : Karena rangsangan luar biasa pada urat saraf
Syok Obstrukti : Karena hambatan pengaliran darah ke jantung
3. Syok Dalam Kebidanan
Ada keadaan-keadaan patologi waktu kehamilan atau persalinan yang
memberi predisposisi terhadap timbulny syok, seperti anemia, gangguan
gizi, partus lama disertai dehidrasi. Syok pada waktu kehamilan
mengakibatkan syok pula pada janin yang berada dalam kandungan.
Peristiwa-peristiwa yang dalam praktek kebidanan dapat menimbulkan
syok adalah :
10
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Perdarahan
Infeksi berat
Solusio plasenta
Perlukaan dalam persalinan
Inversion uteri
Emboli air ketuban
4. Penanganan Syok
Mengigat bahaya syok, peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan
syok harus ditanggulangi sebaik-baiknya. Dalam praktek kebidanan
pemberian cairan intravena melalui infuse pada waktu persalinan sebagai
tindakan pencegahan untuk menghindari hipovolumia besar manfaatnya,
terutama pada penderita yang menunjukan predisposisi syok. Pemberian
pertolongan kepada penderita dengan syok sebaiknya diikutii dengan suatu
rencana tindakan yang urutannya sebagai berikut.
Pertama-tama kelancaran ventilasi harus dijamin. Untuk ini perlu
ditentukan apakah jalan nafas bebas, jika tidak, hal itu perlu di usahakan
dengan segera. Kemudian karena pada syok selalu ada pengurangan
volume dalam sirkulasi umum, diberi cairan melalui infuse intavena.
Setelah dilakukan tindakan-tindakan seperti tersebut diatas, diusahakan
selekasnya menangulangi peristiwa yang menjadi penyebab syok, dengan
tindakan yang bersifat medis ataupun pembedahan.
Pada syok yang tidak tahu sebab-sebabnya sebaiknya dilakukan
pemeriksaan vagina. Selama perawatan perlu terus menerus diadakan
pengawasan keadaan penderitaan. Secara berkala diadakan pengukuran
nadi, tekanan darah, suhu, pernapasan, dieresis, dan pemeriksaanpemeriksaan labolatorium. Hasil penilaian pengukuran-pengukuran ini
melakukan tindakan selanjutnya.
B. RETENSIO PLACENTA
a. Pengertian
11
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta
hingga atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir.Hampir sebagian besar
gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus.
Retensio plasenta adalah lepas plasenta tidak bersamaan sehingga
sebagian
masih
melekat
pada
tempat
implantasi,
menyebabkan
terganggunya retraksi dan kontraksi otot uterus, sehingga sebagian
pembuluh
darah
tetap
terbuka
serta
menimbulkan
perdarahan.
(Manuaba,2002).
Retensio plasenta yaitu plasenta dianggap retensi bila belum dilahirkan
dalam batas waktu tertentu setelah bayi lahir (dalam waktu 30 menit
setelah penatalaksanaan aktif).
Retensio plasenta adalah tertahan atau belum lahirnya palsenta hingga
melebihi 30 menit setelah bayi lahir (Sarwanto, 2002).
Pengertian tersebut juga dikuatkan oleh Winkjosastro (2006:656) yang
menyebutkan retensio plasenta adalah apabila plasenta belum lahir
setangah jam setelah janin lahir.
Retensio Plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama
setengah jam setelah kelahiran bayi. Plasenta harus dikeluarkan karena
dapat menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati,
dapat terjadiplasenta inkarserata dapat terjadi polip plasenta, dan terjadi
degenerasi ganas korio karsinom
b. Jenis Retensio Plasenta
1. Plasenta adhesiva : implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
2. Plasenta akreta : implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki
sebagian lapisan myometrium
3. Plasenta inkreta : implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai
/memasuki myometrium
4. Plasenta perkreta : implantasi jonjot korion plasenta menembus lapisan
otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
5. Plasenta inkarserata : tertahannya plasenta di cavum uteri disebabkan oleh
konstriksi ostium uteri.
c. Anatomi Retensio Uteri
Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15 sampai
20 cm dan tebal lebih kurang 2.5 cm. beratnya rata-rata 500 gram. Tali12
pusat berhubungan dengan plasenta biasanya di tengah (insertio sentralis).
Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih kurang 16
minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh kavum uteri. Bila
diteliti benar, maka plasenta sebenarnya berasal dari sebagian besar dari
bagian janin, yaitu vili koriales yang berasal dari korion, dan sebagian
kecil
dari
bagian
ibu
yang
berasal
dari
desidua
basalis.
Darah ibu yang berada di ruang interviller berasal dari spiral arteries yang
berada di desidua basalis. Pada sistole darah disemprotkan dengan tekanan
70-80 mmHg seperti air mancur ke dalam ruang interviller sampai
mencapai chorionic plate, pangkal dari kotiledon-kotiledon janin. Darah
tersebut membasahi semua vili koriales dan kembali perlahan-lahan
dengan
tekanan
8
mmHg
ke
vena-vena
di
desidua.
Plasenta berfungsi: sebagai alat yang memberi makanan pada janin,
mengeluarkan
sisa
metabolisme
janin,
memberi
zat
asam
dan
mengeluarkan CO2, membentuk hormon, serta penyalur berbagai antibodi
ke janin.
d. Patofisiologi Retensio Uteri
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan
retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan.
Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi
lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung
kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri
mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecian mendadak uterus ini
disertai
mengecilnya
daerah
tempat
perlekatan
plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak
dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang
ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar
memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh
darah yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat oto miometrium
yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh
darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta
perdarahan berhenti. Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan
13
menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah membuka
perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan.
Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat
plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat
plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan
pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang
terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta
disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus
yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi
permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan
spongiosa.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta
bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah
kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa
perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan
sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya
fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga,
89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya.
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang
mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat,
uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan
turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang.
Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang
diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah
bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat
keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun,
wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat
mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan
tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala tinggi.
14
Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan dan
mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat.
e. Etiologi/Penyebab Retensio Plasenta
a) Sebab Fungsionil
1. Kontraksi uterus/His kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva )
2. Plasenta sukar terlepas karena
1) Tempatnya : insersi di sudut tuba
2) Bentuknya : plasenta membranacea , plasenta amularis
3) Ukurannya plasenta sangat kecil
Plasenta yang sukar terlepas karna hal di atas disebut plasenta adhesive
b) Sebab Patologi-Anatomis
1. Plasenta accrete
2. Plasenta increta
3. Plasenta percreta
Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis
menembus desidua sampai myometrium sampai di bawah peritoneum
( plasenta akreta-percreta).
Jika plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum
keluar disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena
salah penanganan kala III ,akibatnya terjadi lingkaran kontriksi pada
bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta ( inkarserasio
plasenta )
1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh
lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya :
a) Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium
(basalis) lebih dalam dan Nitabuch layer.
b) Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus
desidua endometrium sampai ke miometrium.
c) Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai
ke serosa.
15
d) Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau
peritoneum dinding rahim atau perimetrium.
e) Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena
atoni uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim
(akibat kesalahan penanganan kala III) yang akan menghalangi
plasenta keluar (plasenta inkarserata).
2. Faktor maternal
a) Gravida berusia lanjut
b) Multiparitas
3. Faktor uterus
a) Bekas sectio caesaria, sering plasenta tertanam pada jaringan cicatrix
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
uterus
Bekas pembedahan uterus
Anomali uterus
Tidak efektif kontraksi uterus
Pembentukan contraction ring
Bekas curetage uterus, yang terutama dilakukan setelah abortus
Bekas pengeluaran plasenta secara manual
Bekas ondometritis
4. Faktor placenta
a) Plasenta previa
b) Implantasi cornual
c) Plasenta akreta
d) Kelainan bentuk placenta
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan
tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini
merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya.
Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum
penuh. Oleh karena itu keduanya harus dikosongkan.
f. Tanda Dan Gejala Retensio Plasenta
Gejala
Separasi/akreta
Plasenta inkarserata
Plasenta akreta
Konsistensi
parsial
Kenyal
Keras
Cukup
16
uterus
Tinggi fundus
Bentuk uterus
Perdarahan
Tali pusat
Ostium uteri
Separasi plasenta
Syok
Sepusat
Discoid
Sedang-banyak
Terjulur sebagian
Terbuka
Lepas sebagian
Sering
2 jari bawah pusat
Agak globuler
Sedang
Terjulur
Konstriksi
Sudah lepas
Jarang
Sepusat
Discoid
Sedikit/tidak ada
Tidak terjulur
Terbuka
Melekat seluruhnya
Jarang sekali ,kecuali
akibat inversio oleh
tarikan kuat pada tali
pusat
Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus
berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
a) Waktu hamil
1. Kebanyakan pasien memiliki kehamilan yang normal
2. Insiden perdarahan antepartum meningkat, tetapi keadaan ini biasanya
menyertai plasenta previa
3. Terjadi persainan prematur, tetapi kalau hanya ditimbulkan oleh
perdarahan
4. Kadang terjadi ruptur uteri
b) Persalinan kala I dan II
Hampir pada semua kasus proses ini berjalan normal
c) Persalinan kala III
1. Retresio plasenta menjadi ciri utama
2. Perdarahan post partum, jumlahnya perdarahan tergantung pada derajat
perlekatan plasenta, seringkali perdarahan ditimbulkan oleh Dokter
kebidanan ketika ia mencoba
untuk mengeluarkan plasenta secara
manual
3. Komplikasi yang serius tetapi jarang dijumpai yaitu invertio uteri,
keadaan ini dapat tejadi spontan, tapi biasanya diakibatkan oleh
usaha-usaha untuk mengeluarkan plasenta
4. Ruptura uteri, biasanya terjadi saat berusaha mengeluarkan plasenta
g. Penegakan Diagnosis
17
1. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta
informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas,
serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum
sekarang
dimana
plasenta
tidak
lepas
secara
spontan
atau
timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
2. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis
servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan
hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah
leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya
meningkat.
b. Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin
time (PT) dan activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang
sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini
penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor
lain
Faktor Risiko
1. Plasenta akreta : plasenta previa, bekas SC, pernah kuret berulang, dan
multiparitas.
2. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks;
kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik
dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
3. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta
previa; implantasi di cornu; dan adanya plasenta akreta.
4. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus
yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan
kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat
waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan
plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi
uterus.
18
h. Penatalaksaan
Penanganan retensio plasenta oleh bidan berupa pengeluaran plasenta
dilakukan apabila plasenta belum lahir dalam 1/2-1 jam setelah bayi lahir
terlebih lagi apabila disertai perdarahan.
Tindakan penanganan retensio plasenta :
Bila placenta tidak lahir dalam 30 menit sesudah lahir, atau terjadi perdarahan
sementara placenta belum lahir, lakukan :
a. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter
yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida
isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan).
Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah
apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
b. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat
atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
c. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan
dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus. Pastikan bahwa
kandung kencing kosong dan tunggu terjadi kontraksi, kemudian coba
melahirkan plasenta dengan menggunakan peregangan tali pusat
terkendali
d. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta.
Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan
kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah
persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi,
dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
Manual plasenta :
1) Memasang infus cairan dekstrose 5%.
2) Ibu posisi litotomi dengan narkosa dengan segala sesuatunya dalam
keadaan suci hama.
3) Teknik : tangan kiri diletakkan di fundus uteri, tangan kanan
dimasukkan dalam rongga rahim dengan menyusuri tali pusat sebagai
penuntun. Tepi plasenta
dilepas - disisihkan dengan tepi jari-jari
tangan - bila sudah lepas ditarik keluar. Lakukan eksplorasi apakah ada
luka-luka atau sisa-sisa plasenta dan bersihkanlah. Manual plasenta
19
berbahaya karena dapat terjadi robekan jalan lahir (uterus) dan
membawa infeksi
e. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat
dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta.
Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase.
Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding
rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
f. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
g. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk
pencegahan infeksi sekunder.
Atau :
1. Coba 1-2 kali dengan perasat Crede.
2. Mengeluarkan plasenta dengan tangan (manual plasenta).
3. Memberikan transfusi darah bila perdarahan banyak.
4. Memberikan obat-obatan misalnya uterotonika dan antibiotik.
C. EMBOLI AIR KETUBAN
a. Pengertian
Emboli cairan ketuban merupakan sindrom dimana setelah sejumlah cairan
ketuban memasuki sirkulasi darah maternal, tiba-tiba terjadi gangguan
pernafasan yang akut dan shock. Sindrom cairan ketuban adalah sebuah
gangguan langka dimana sejumlah besar cairan ketuban tiba – tiba memasuki
aliran darah. Emboli cairan ketuban adalah masuknya cairan ketuban beserta
komponennya ke dalam sirkulasi darah ibu. Yang dimaksud komponen di sini
ialah unsur-unsur yang terdapat di air ketuban seperti lapisan kulit janin yang
terlepas, rambut janin, lapisan lemak janin, dan musin/cairan kental. yang
dapat
menghambat
pembuluh
darah
dan
mencairkan
darah
yang
mempengaruhi koagulasi. Dua tempat utama masuknya cairan ketuban dalam
sirkulasi darah maternal adalah vena yang dapat robek sekalipun pada
persalinan normal. Ruptura uteri meningkatkan kemampuan masuknya cairan
ketuban.
Emboli cairan ketuban dapat terjadi bila ada pembukaan pada dinding
pembuluh darah dan dapat terjadi pada wanita tua/ usia lebih dari 30 tahun,
20
sindrom janin mati, Multiparitas, Janin besar intrauteri, Insidensi yang tinggi
kelahiran dengan operasi, Menconium dalam cairan ketuban dan kontraksi
uterus yang kuat. Dua puluh lima persen wanita yang menderita keadaan ini
meninggal dalam waktu 1 jam. Emboli air ketuban atau EAK (Amniotic fluid
embolism) merupakan kasus yang sangat jarang terjadi. Kasusnya antara 1 :
8.000 sampai 1 : 80.000 kelahiran.
Meskipun jarang terjadi, tetapi bila edema cairan ketuban terjadi pada
wanita, maka akan menyumbat aliran darah ke paru, yang bila meluas akan
mengakibatkan penyumbatan dijantung, sehinggaa iskemik dan kematian
jantung secara mendadak bisa terjadi. Karena wanita tersebut akan mengalami
gangguan penapasan, syok, hipotermi, Dyspnea, Batuk, Hipotensi perubahan
pada membran mukosa akibat dari hipoksia Cardiac arrest. Koagulopati atau
pendarahan parah karena tidak adanya penjelasan lain (DIC terjadi di 83%
pasien.). Risiko emboli cairan ketuban tidak bisa diantisipasi jauh-jauh hari
karena emboli paling sering terjadi saat persalinan. Dengan kata lain,
perjalanan kehamilan dari bulan ke bulan yang lancar-lancar saja, bukan
jaminan ibu aman dari ancaman EAK. Sementara bila di persalinan
sebelumnya ibu mengalami EAK, belum tentu juga kehamilan selanjutnya
akan mengalami kasus serupa. Begitu juga sebaliknya.
Emboli air ketuban menimbulkan syok yang sangat mendadak dan
biasanya berakhir dengan kematian. Salah satu syok dalam obstetric yang
bukan disebabkan karena perdarahan.
b. Fisiologi
Ketuban (Amnion) manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar
hari ke-7 atau ke-8 perkembangan mudigah. Pada awalnya sebuah vesikel
kecil yaitu amnion, berkembang menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi
permukaan dorsal mudigah. Karena semakin membesar, amnion secara
bertahap menekan mudigah yang sedang tumbuh, yang mengalami prolaps ke
dalam rongga amnion.
Cairan ketuban (amnion) pada keadaan normal berwarna putih agak keruh
karena adanya campuran partikel solid yang terkandung di dalamnya yang
21
berasal dari lanugo, sel epitel, dan material sebasea. Volume cairan amnion
pada keadaan aterm adalah sekitar 800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam
keadaan normal. Pada kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml,
dan kehamilan 20 minggu 300 ml, 30 minggu 600 ml. Pada kehamilan 30
minggu, cairan amnion lebih mendominasi dibandingkan dengan janin
sendiri.Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya
memiliki peran tersendiri pada setiap usia kehamilan.
Pada kehamilan awal, cairan amnion sebagian besar diproduksi oleh
sekresi epitel selaput amnion.Dengan bertambahnya usia kehamilan, produksi
cairan amnion didominasi oleh kulit janin dengan cara difusi membran. Pada
kehamilan 20 minggu, saat kulit janin mulai kehilangan permeabilitas, ginjal
janin mengambil alih peran tersebut dalam memproduksi cairan amnion.
Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion di sekresikan
dari urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea. Pada penelitian dengan
menggunakan radioisotop, terjadi pertukaran sekitar 500 ml per jam antara
plasma ibu dan cairan amnion.
Pada kondisi dimana terdapat gangguan pada ginjal janin, seperti agenesis
ginjal, akan menyebabkan oligohidramnion dan jika terdapat gangguan
menelan pada janin, seperti atresia esophagus, atau anensefali, akan
menyebabkan polihidramnion
c. Patofisiologi
Pathophysiology dari EAK yang kurang dipahami. Berdasarkan deskripsi
awal, ia berteori bahwa cairan ketuban dan sel-sel janin memasuki sirkulasi
ibu, mungkin memicu reaksi anafilaksis terhadap antigen janin. Namun, bahan
janin tidak selalu ditemukan dalam sirkulasi ibu pada pasien dengan EAK,
danmateri berasal dari janin yang sering ditemukan pada wanita yang tidak
mengembangkan EAK.
Perjalanan cairan amnion memasuki sirkulasi ibu tidak jelas, mungkin
melalui laserasi pada vena endoservikalis selama diatasi serviks, sinus vena
subplasenta, dan laserasi pada segmen uterus bagian bawah. Kemungkinan
saat persalinan, selaput ketuban pecah dan pembuluh darah ibu (terutama
22
vena) terbuka. Akibat tekanan yang tinggi, antara lain karena rasa mulas yang
luar biasa, air ketuban beserta komponennya berkemungkinan masuk ke dalam
sirkulasi darah. Walaupun cairan amnion dapat masuk sirkulasi darah tanpa
mengakibatkan masalah tapi pada beberapa ibu dapat terjadi respon inflamasi
yang mengakibatkan kolaps cepat yang sama dengan syok anafilaksi atau syok
sepsis. Selain itu, jika air ketuban tadi dapat menyumbat pembuluh darah di
paru-paru ibu dan sumbatan di paru-paru meluas, lama kelamaan bisa
menyumbat aliran darah ke jantung. Akibatnya, timbul dua gangguan
sekaligus, yaitu pada jantung dan paru-paru. Pada fase I, akibat dari
menumpuknya air ketuban di paru-paru terjadi vasospasme arteri koroner dan
arteri pulmonalis. Sehingga menyebabkan aliran darah ke jantung kiri
berkurang dan curah jantung menurun akibat iskemia myocardium.
Mengakibatkan gagal jantung kiri dan gangguan pernafasan. Perempuan yang
selamat dari peristiwa ini mungkin memasuki fase II. Ini adalah fase
perdarahan yang ditandai dengan pendarahan besar dengan rahim atony dan
Coagulation Intaravakuler Diseminata ( DIC ). Masalah koagulasi sekunder
mempengaruhi sekitar 40% ibu yang bertahan hidup dalamkejadian awal.
Dalam hal ini masih belum jelas cara cairan amnion mencetuskan pembekuan.
Kemungkinan terjadi akibat dari embolisme air ketuban atau kontaminasi
dengan mekonium atau sel-sel gepeng menginduksi koagulasi intravaskuler.
d. Etiologi
a) Multiparitas dan Usia lebih dari 30 tahun
Shock yang dalam yang terjadi secara tiba – tiba tanpa diduga pada wanita
yang proses persalinanya sulit atau baru saja menyelesaikan persalinan
yang sulit . Khususnya kalau wanita itu multipara berusia lanjut dengan
janin yang amat besar , mungkin sudah meningal dengan meconium dalam
cairan ketuban, harus menimbulkan kecurigaan, pada kemungkinan ini (
emboli cairan ketuban ) .
b) Janin besar intrauteri
Menyebabkan rupture uteri saat persalinan, sehingga cairan ketubanpun
dapat masuk melalui pembuluh darah.
c) Kematian janin intrauteri
23
Juga akan menyebabkan perdarahan didalam, sehingga kemungkinan besar
akan ketuban pecah dan memasuki pembuluh darah ibu, dan akan
menyumbat aliran darah ibu, sehingga lama kelamaan ibu akan mengalami
gangguan pernapasan karena cairan ketuban menyumbat aliran ke paru,
yang lama kelamaan akan menyumbat aliran darah ke jantung, dengan ini
bila tidak ditangani dengan segera dapat menyebabkan iskemik bahkan
kematian mendadak.
d) Menconium dalam cairan ketuban
e) Kontraksi uterus yang kuat
Kontraksi uterus yang sangat kuat dapat memungkinkan terjadinya laserasi
atau rupture uteri, hal ini juga menggambarkan pembukaan vena, dengan
pembukaan vena, maka cairan ketuban dengan mudah masuk ke pembuluh
darah ibu, yang nantinya akan menyumbat aliran darah, yang
mengakibatkan hipoksia, dispnue dan akan terjadi gangguan pola
pernapasan pada ibu.
e. Tanda Dan Gejala
Tanda-tanda dan gejala yang menunjukkan kemungkinan emboli cairan
ketuban:
a) Ketika mencapai paru – paru akan menyebabkan penyumbatan kapiler
paru-paru yang menyebabkan gangguan pada proses respirasi, dengan
gejala dispnea, takipnea, nyeri dada, sianosis, edema paru, dan syok.
b) Dapat menyebabkan spasme kuat pembuluh kapiler paru lalu terjadi
pengurangan cardiac output, hipertensi, bradikardi, serta nantinya akan
berlanjut ke gagal jantung kanan akut dan hipoksemia.
c) Berlanjut menjadi hilang kesadaran, hal ini sekitar 25-50% dapat
menyebabkan kematian dalam beberapa jam pertama (kematian
mendadak).
d) Kematian sering terjadi pada emboli cairan amnion yang banyak
mengandung debris partikel, misalnya: cairan amnion.Cepat lambatnya
ibu meninggal bergantung pada jumlah cairan ketuban yang masuk ke
sirkulasi ibu.
24
e) Reaksi anafilaktik mungkin terjadi emboli yang berasal dari fetus
merupakan benda asing di dalam tubuh ibu.
f) Pendarahan hebat (HPP) akibat darah sulit membeku,karena adanya
unsure tromboplastik dalam cairan amnion.Khususnya pendarahan pada
traktus genetalis dan daerah yang mengalami trauma.
g) Trombositopenia berat timbul dan khasnya darah sulit membeku bila
diberi thrombin atau maksimal membentuk bekuan kecil lalu segera
mengalami lisis sempurna.
h) Tekanan darah turun secara signifikan dengan hilangnya diastolik pada
saat pengukuran (Hipotensi )
i) Sianosis perifer dan perubahan pada membran mukosa akibat dari
hipoksia.
j) Janin Bradycardia sebagai respon terhadap hipoksia, denyut jantung janin
dapat turun hingga kurang dari 110 denyut per menit (dpm). Jika
penurunan ini berlangsung selama 10 menit atau lebih, itu adalah
Bradycardia. Sebuah tingkat 60 bpm atau kurang lebih 3-5 menit mungkin
menunjukkan Bradycardia terminal.
k) Rahim atony: atony uterus biasanya mengakibatkan pendarahan yang
berlebihan
setelah
melahirkan.
Kegagalan
rahim
untuk
menjadi
perusahaan dengan pijat bimanual diagnostik.
l) Koagulopati atau pendarahan parah karena tidak adanya penjelasan lain
(DIC terjadi di 83% pasien.)
f. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda dan gejala yang menunjukkan kemungkinan emboli cairan
ketuban:
1. Tekanan darah turun secara signifikan dengan hilangnya diastolik pada saat
pengukuran (Hipotensi )
2. Dyspnea, Batuk
3. Sianosis perifer dan perubahan pada membran mukosa akibat dari hipoksia.
4. Janin Bradycardia sebagai respon terhadap hipoksia, denyut jantung janin dapat
turun hingga kurang dari 110 denyut per menit (dpm). Jika penurunan ini
berlangsung selama 10 menit atau lebih, itu adalah Bradycardia. Sebuah tingkat
25
60 bpm atau kurang lebih 3-5 menit mungkin menunjukkan Bradycardia
terminal.
5. Pulmonary edema, Cardiac arrest.
6. Rahim atony: atony uterus biasanya mengakibatkan pendarahan yang
berlebihan setelah melahirkan.Kegagalan rahim untuk menjadi perusahaan
dengan pijat bimanual diagnostik.
7. Koagulopati atau pendarahan parah karena tidak adanya penjelasan lain (DIC
terjadi di 83% pasien.)
g. Penatalaksanaan
Walaupun pada awal perjalanan klinis emboli cairan amnion terjadi
hipertensi sistemik dan pulmonal, fase ini bersifat sementara. Wanita yang
dapat bertahan hidup setelah menjakani resusitasi jantung paru seyogyanya
mendapat terapi yang ditujukan untuk oksigenasi dan membantu miokardium
yang mengalami kegagalan. Tindakan yang menunjang sirkulasi serta
pemberian darah dan komponen darah sangat penting dikerjakan. Belum ada
data yang menyatakan bahwa suatu intervensi yang dapat mempermaiki
prognosis ibu pada emboli cairan amnion. Wanita yang belum melahirkan dan
mengalami henti jantung harus dipertimbangkan untuk melakukan tindakan
seksio caesaria perimortem darurat sebagai upaya menyelamatkan janin.
Namun, bagi ibu yang hemodinamikanya tidak stabil, tetapi belum mengalami
henti jantung, pengambilan keputusan yang seperti itu menjadi semakin rumit.
1. Terapi krusnal , meliputi : resusitasi , ventilasi , bantuan sirkulasi , koreksi
defek yang khusus ( atonia uteri , defek koagulasi ).
2. Penggatian cairan intravena & darah diperlukan untuk mengkoreksi
hipovolemia & perdarahan .
3. Oksitosin yang di tambahkan ke infus intravena membantu penanganan
atonia uteri.
4. Morfin ( 10 mg ) dapat membantu mengurangi dispnea dan ancietas .
5. Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskular dengan
menghambat proses perbekuan.
6. Amniofilin ( 250 – 500 mg ) melalui IV mungkin berguna bila ada
bronkospasme.
7. Isoproternol menyebabkan vasodilatasi perifer, relaksi otot polos bronkus,
dan peningkatan frekuensi dan kekuatan jantung. Obat ini di berikan
26
perlahan – lahan melalui Iv untuk menyokong tekanan darah sistolik kira –
kira 100 mmHg.
8. Kortikosteroid secara IV mungkin bermanfaat.
9. Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskuler dengan
menghambat proses pembekuan.
10. Oksigen diberikan dengan tekanan untuk meningkatkan.
11. Untuk memperbaiki defek koagulasi dapat digunakan plasma beku segar
dan sedian trombosit.
12. Defek koagulasi harus dikoreksi dengan menggunakan heparin /
fibrinogen.
13. Darah segar diberikan untuk memerangi kekurangan darah; perlu
diperhatikan agar tidak menimbulkan pembebanan berlebihan dalam
sirkulasi darah.
14. Digitalis berhasiat kalau terdapat kegagalan jantung.
D. RUPTUR UTERI
a. Pengertian
Perineum merupakan bagian permukaan dari pintu bawah panggul yang
terletak antara vulva dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fascia
urogenitalis serta diafragma pelvis. Rupture perineum adalah robekan yang
terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan maupun dengan menggunakan
alat atau tindakan. Robekan perineum umumnya terjadi pada garis tengah dan
bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat. Robekan perineum
terjadi pada hampir semua primipara. Robekan dapat terjadi bersamaan
dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang
berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau vagina.
Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang
bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus
diperhatikan yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi.
Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan
uterus (ruptur uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan
jalan lahir yang dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah vena.
27
Ruptur Uteri adalah robekan atau diskontinuita dinding rahim akibat di
lampauinya daya regang miomentrium. (Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal,2011).
Rupture uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau
dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya perioneumvisceral (Obstetri dan
Ginekologi,2012).
b. Patofisiologi
Pada umumnya uterus dibagi atas 2 bagian besar corpus uteri dans ervik
uteri. Batas keduanya disebut ishmus uteri pada rahim yang tidak hamil. Bila
kehamilan sudah kira-kira kurang lebih dari 20 minggu, dimana ukuran janin
sudah lebih besar dari ukuran kavum uteri, maka mulailan terbentuk SBR
ishmus ini. Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut
lingkaran dari bandl. Lingkaran bandl ini dianggap fisiologi bila terdapat pada
2 sampai 3 jari diatas simpisis, bila meninggi, kita harus waspada terhadap
kemungkinan adanya rupture uteri mengancam (RUM). Rupture uteri
terutama disebabkan oleh peregangna yang luar biasa dari uterus. Sedangkan
uterus yang sudah cacat, mudah dimengerti, karena adanya lokus minoris
resisten. Pada waktu inpartu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR
tetap pasif dan servik menjadi lunak (efacement dan pembukaan). Bila oleh
sesuatu sebab partus tidak dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri
berkontraksi terus dengan hebatnya (his kuat) maka SBR yang pasif ini akan
tertarik keatas, menjadi bertambah reggang dan tipis. Lingkaran bandl ikut
meninggi, sehingga sewaktu-waktu terjadi robekan pada SBR tadi. Dalam hal
terjadinya rupture uteri jangan dilupakan peranan dari anchoring apparrtus
untuk memfiksir uterus yaitu ligamentum rotunda, ligamentum sacro uterina
dan jaringan parametra.
c. Jenis Robekan
28
a) Derajat satu : Robekan ini hanya terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian
depan, kulit perineum.
b) Derajat dua : Robekan terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian depan,
kulit perineum dan otot perineum.
c) Derajat tiga : Robekan terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian depan,
kulit perineum, otot-otot perineum dan sfingterani eksterna.
3a : < 50% ketebalan sfingter ani eksterna (SAE)
3b : >50% Ketebalan sfingter ani eksterna (SAE)
3c : Mengenai kedua sfingter ani eksterna dan interna
d) Derajat empat : Robekan dapat terjadi pada seluruh perineum dan
sfingterani yang meluas sampai ke mukosa rectum
d. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala robekan jalan lahir adalah sebagai berikut :
1. Perdarahan
2. Darah segar yang mengalir setelah bayi lahir
3. Uterus tidak berkontraksi dengan baik
4. Plasenta tidak normal
Gejala yang sering terjadi adalah:
1.
2.
3.
e.
Pucat
Lemah
Pasien dalam keadaan menggigil
Penyebab
Yang dapat menyebabkan terjadinya robekan jalan lahir adalah Partus
presipitatus.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kepala janin besar
Presentasi defleksi (dahi, muka).
Primipara
Letak sungsang.
Pimpinan persalinan yang salah.
Pada obstetri dan embriotomi : ekstraksi vakum, ekstraksi forcep, dan
embriotomi
29
Terjadinya rupture perineum disebabkan oleh faktor ibu (paritas, jarak
kelahiran dan berat badan bayi), pimpinan persalinan tidak sebagaimana
mestinya, riwayat persalinan. ekstraksi cunam, ekstraksi vakum, trauma alat
dan episiotomi . Perdarahan karena robekan jalan lahir banyak dijumpai pada
pertolongan persalinan oleh dukun karena tanpa dijahit. Bidan diharapkan
melaksanakan pertolongan persalinan di tengah masyarakat melalui bidan
polindes, sehingga peranan dukun makin berkurang. Bidan dengan
pengetahuan medisnya dapat mengetahui hamil dengan risiko tinggi dan
mengarahkan pertolongan pada kehamilan dengan risiko rendah yang
mempunyai komplikasi ringan sehingga dapat menurunkan angka kematian
ibu maupun perinatal. Dengan demikian komplikasi robekan jalan lahir yang
dapat menimbulkan perdarahan semakin berkurang.
Risiko yang ditimbulkan karena robekan jalan lahir adalah perdarahan
yang dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Risiko lain yang dapat terjadi
karena robekan jalan lahir dan perdarahan yang hebat adalah ibu tidak
berdaya, lemah, tekanan darah turun, anemia dan berat badan turun.
Keluarnya bayi melalui jalan lahir umumnya menyebabkan robekan pada
vagina dan perineum. Meski tidak tertutup kemungkinan robekan itu memang
sengaja dilakukan untuk memperlebar jalan lahir. Petugas kesehatan atau
dokter akan segera menjahit robekan tersebut dengan tujuan untuk
menghentikan perdarahan sekaligus penyembuhan. Penjahitan juga bertujuan
merapikan kembali vagina ibu menyerupai bentuk semula
f. Penatalaksanaan
Tindakan bidan yang dilakukan untuk robekan jalan lahir adalah sebagai
berikut :
1. Memasang kateter ke dalam kandung kencing untuk mencegah trauma
terhadap uretra saat penjahitan robekan jalan lahir.
2. Memperbaiki robekan jalan lahir.
30
3. Jika perdarahan tidak berhenti, tekan luka dengan kasa secara kuat kirakira selama beberapa menit. Jika perdarahan masih berlangsung,
tambahkan satu atau lebih jahitan untuk menghentikan perdarahan.
4. Jika perdarahan sudah berhenti, dan ibu merasa nyaman dapat diberikan
makanan dan minuman pada ibu.
5. Penanganan robekan jalan lahir adalah untuk mencegah luka yang robek
dan pinggir luka yang tidak rata dan kurang bersih pada beberapa keadaan
dilakukan episotomi.
6. Bila dijumpai robekan perineum dilakukan penjahitan luka dengan baik
lapis demi lapis, dengan memperhatikan jangan ada robekan yang terbuka
ke arah vagina yang biasanya dapat dimasuki oleh bekuan darah yang
akan menyebabkan luka lama sembuh.
7. Dengan memberikan antibiotik yang cukup
g. Pengobatan
Pengobatan yang dapat dilakukan untuk robekan jalan lahir adalah dengan
memberikan uterotonika setelah lahirnya plasenta, obat ini tidak boleh
diberikan sebelum bayi lahir. Manfaat dari pemberian obat ini adalah untuk
mengurangi terjadinya perdarahan pada kala III dan mempercepat lahirnya
plasenta.
Perawatan luka perineum pada ibu setelah melahirkan berguna untuk
mengurangi rasa ketidaknyamanan, menjaga kebersihan, mencegah infeksi
dan mempercepat penyembuhan luka. Perawatan perineum umumnya
bersamaan dengan perawatan vulva.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
a. Mencegah kontaminasi dengan rectum
b. Menangani dengan lembut jaringan luka
c. Membersihkan darah yang menjadi sumber infeksi dan bau
31
Risiko komplikasi yang mungkin terjadi jika rupture perineum tidak segera
diatasi, yaitu :
a. Perdarahan
Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan
dalam waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan yang
cermat selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting. Menilai
kehilangan darah yaitu dengan cara memantau tanda vital, mengevaluasi asal
perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan dan menilai
tonus otot .
b. Fistula
Fistula dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena perlukaan pada
vagina menembus kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing luka,
maka air kencing akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat menekan
kandung kencing atau rectum yang lama antara kepala janin dan panggul,
sehingga terjadi iskemia .
c. Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena
adanya penekanan kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai dengan
rasa nyeri pada perineum dan vulva berwarna biru dan merah.
Hematoma dibagian pelvis bisa terjadi dalam vulva perineum dan fosa
iskiorektalis. Biasanya karena trauma perineum tetapi bisa juga dengan
varikositas vulva yang timbul bersamaan dengan gejala peningkatan nyeri.
Kesalahan yang menyebabkan diagnosis tidak diketahui dan memungkinkan
banyak darah yang hilang. Dalam waktu yang singkat, adanya pembengkakan
biru yang tegang pada salah satu sisi introitus di daerah rupture perineum .
d. Infeksi
Infeksi pada masa nifas adalah peradangan di sekitar alat genetalia pada
kala nifas. Perlukaan pada persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke
dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi. Dengan ketentuan meningkatnya
suhu tubuh melebihi 380
32
Robekan jalan lahir selalu menyebabkan perdarahan yang berasal dari
perineum, vagina, serviks dan robekan uterus (rupture uteri). Penanganan
yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah dengan melakukan evaluasi
terhadap sumber dan jumlah perdarahan. Jenis robekan perineum adalah mulai
dari tingkatan ringan sampai dengan robekan yang terjadi pada seluruh
perineum yaitu mulai dari derajat satu sampai dengan derajat empat. Rupture
perineum dapat diketahui dari tanda dan gejala yang muncul serta penyebab
terjadinya. Dengan diketahuinya tanda dan gejala terjadinya rupture perineum,
maka tindakan dan penanganan selanjutnya dapat dilakukan.
E. INVERSIO UTERI
a. Pengertian
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagianØ atau
seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri (Rustam Muchtar. Prof. Dr. MPH,
Sinopsis Obstetri, Jilid I, edisi 2 ; 1998).
Inversio uteri adalah suatu keadaan dimana sebagian atas uterus (fundus
uteri) memasuki kavum uteri sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol
kedalam kavum uteri. (PrawihardjoSarwono, Prof. Dr, Ilmu Kebidanan ;
Jakarta)
Inversion uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk kedalam
kavum uteri,dapat secara mendadak atau perlahan.kajadian ini biasanya
disebabkan pada saat melakukan persalinan plasenta secara crede,dengan otot
rahim belum berkontraksi dengan baik.inversio uteri memberikan rasa sakit
yang dapat menimbulkan keadaan syok ( menurut dr. Ida Bagus Gede
manuaba,SpOG)
b. Patofisiologi
1. Perdarahan yang bersal dari bekas implantasi plasenta.
2. Tarikan dari peritoneum perietalis, menyebabkan rasa nyeri sehingga dapat
dikatakan sebagai syok neurogenik.
33
3. Tarikan peritoneum perietalis menyebabkan dinding abdomen tegang
sehingga sulit melakukan palpasi dengan baik untuk menegakkan
diagnosis inversio uteri.
4. Inversio post partum yang disertai syok dapat meningkatkan mortalitas
sekitar 30%.(Manuaba, hal 822, 2007)
c. Etiologi
Penyebab inversio uteri dapat secara spontan atau karena tindakan. Faktor yang
memudahkan terjadinya adalah uterus yang lembek, lemah, tipis dindingnya, adanya atonia
uteri dan adanya kekuatan yang menarik fundus kebawah. Sedangkan yang spontan dapat
terjadi pada grandemultipara, atonia uteri, kelemahan alat kandungan (tonus otot rahim yang
lemah, kanalis servikalis yang longgar), dan tekanan intra abdominal yang tinggi (misalnya
mengejan dan batuk).
Inversio uteri karena tindakan dapat disebabkan karena perasat Crede yang berlebihan,
tarikan tali pusat, dan pada manual plasenta yang dipaksakan, apalagi bila ada perlekatan
plasenta pada dinding rahim atau karena tindakan atraksi pada tali pusat yang berlebihan
yang belum lepas dari dinding rahim. Inversio uteri juga dapat terjadi waktu batuk, bersin
atau mengejan.
Berbagai faktor etiologi telah dikaitkan dengan inversi uterus, walaupun mungkin tidak ada
penyebab yang jelas. Diidentifikasi faktor etiologi meliputi:
1.
2.
3.
4.
5.
Tali pusat yang pendek
Traksi yang berlebihan pada tali pusat.
Tekanan pada fundus yang berlebihan.
Sisa plasenta dan abnormal perlekatan plasenta (inkreta, perkreta, akreta).
Menarik terlalu keras pada tali pusar untuk mempercepat pelepasan plasenta, terutama
6.
7.
8.
9.
10.
11.
jika plasenta melekat pada fundus.
Endometritis kronis.
Kelahiran setelah sebelumnya operasi secarea.
Cepat atau tenaga His yang panjang.
Sebelumnya rahim inverse.
Obat tertentu seperti magnesium sulfat (sebagai relaksan otot selama persalinan).
Unicornuate rahim.
34
12. Kelainan bawaan atau kelemahan rahim.
13. Inversio uteri dapat terjadi pada kasus pertolongan persalinan kala III aktif khususnya
bila dilakukan tarikan talipusat terkendali pada saat masih belum ada kontraksi uterus
dan keadaan ini termasuk klasifikasi tindakan iatrogenic.
d. Klasifikasi
1. Inkomplit: Uterus terbalik , tapi tidak keluar dari serviks sehingga hanya terdapat
lekukan pada fundus uteri.
2. Komplit: Fundus uteri menonjol keluar dari serviks.
3. Inversio prolaps: seluruh uterus yang berputar balik terdapat diluar introitus vagina
Klasifikasi berdasarkan waktu:
1. Akut: terjadi setelah persalinan.
2. Subakut: sudah terdapat konstriksi serviks.
Kronik: terjadi lebih dari 4 minggu setelah persalinan atau tidak berhubungan dengan
persalinan atau karena kelainan ginekologis
e. Gejala Klinis
Gejala inversio uteri dijumpai pada kala III atau postpartum. Gejalanya
pada permulaan tidak selalu jelas, akan tetapi apabila kelainan itu sejak
awalnya tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan
bisa menyebabkan syok. Rasa nyeri keras disebabkan karena fundus uteri
menarik adneksa serta ligamentum infundibulo pelvikum dan ligamentum
rotundum kanan dan kiri ke dalam terowongan inversio sehingga terjadi
tarikan yang kuat pada peritoneum parietal.
Perdarahan yang banyak juga dapat terjadi, akibat dari plasenta yang
masih melekat pada uterus, hal ini dapat juga berakibat syok.
f. Diagnosis
1. Dicari faktor risiko seperti:pengelolaan kala III yang tidak benar,
kelemahaan miometrium kongenital atau didapat, mioma uteri terlahir.
2. Syok atau pendarahan pervaginam.
3. Terdapat massa merah kebiruan yang berdarah pada vagina atau diluar
vulva.
35
4. Pada pemeriksaan luar tidak teraba fundus uteri atau terdapat lekukan
g. Penatalaksanaan
1. Pencegahan : hati-hati dalam memimpin persalinan, jangan terlalu
mendorong rahim atau melakukan perasat Crede berulang-ulang dan hatihatilah dalam menarik tali pusat serta melakukan pengeluaran plasenta
dengan tajam.
2. Bila telah terjadi maka terapinya :
1) Bila terjadi syok atau perdarahan, gejala ini diatasi dulu dengan infus
intravena cairan elektrolit dan tranfusi darah.
2) Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya renjatan vasovagal dan
perdarahan maka harus segera dilakukan tindakan reposisi secepat
mungkin.
3) Segera lakukan tindakan reposisi
4) Bila plasenta masih melekat , jangan dilepas oleh karena tindakan ini
akan memicu perdarahan hebat
5) Salah satu tehnik reposisi adalah dengan menempatkan jari tangan
pada fornix posterior, dorong uterus kembali kedalam vagina, dorong
fundus kearah umbilikus dan memungkinkan ligamentum uterus
menarik uterus kembali ke posisi semula .
6) Sebagai tehnik alternatif : dengan menggunakan 3 – 4 jari yang
diletakkan pada bagian tengah fundus dilakukan dorongan kearah
umbilkus sampai uterus kembali keposisi normal.
7) Setelah reposisi berhasil, tangan dalam harus tetap didalam dan
menekan fundus uteri. Berikan oksitosin atau Suntikkan intravena 0,2
mg ergomitrin kemudian dan jika dianggap masih perlu, dilakukan
tamponade uterovaginal dan setelah terjadi kontraksi, tangan dalam
boleh dikeluarkan perlahan agar inversio uteri tidak berulang.
8) Bila reposisi per vaginam gagal, maka dilakukan reposisi melalui
laparotomy
h. Kewenangan Bidan Menurut Permenkes Pada Penyulit Persalinan
Kala III
a. Permenkes No 5380/IX/1963 Wewenang bidan terbatas pada pertolongan
persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.
36
b. Permenkes No. 623 tahun 1989 Wewenang bidan dibagi menjadi dua yaitu
wewenang umum dan khusus ditetapkan bila bidan melaksanakan tindakan
khusus di bawah pengawasan dokter. Pelaksanaan dari permenkes ini ,
bidan melaksanakan praktek perorangan di bawah pengawasan dokter.
c. Kepmenkes No. 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan
1. Kompetensi ke 1, pengetahuan dan keterampilan dasar Bidan
mempunyai persyaratan pengetahuan dan keterampilan dari ilmu-ilmu
sosial, kesehatan masyarakat dan etik yang mmbentuk dasar dari asuhan
yang bermutu tinggi sesuai dengan budaya, untuk wanita, bayi baru lahir
dan keluarganya. 2. Kompetensi ke 2, Pra konsepsi, KB dan Ginekologi
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, pendidikan Kesehatan
yang tanggap terhadap budaya dan pelayanan menyeluruh dimasyarakat
dalam rangka untuk meningkatkan kehidupan keluarga yang sehat,
perencanan kehamilan dan kesiapan menjadi orang tua. 3. Kompetensi ke
3, Asuhan dan konseling kehamilan Bidan memberi asuhan antenatal
bermu tinggi untuk mengoptimalkan kesehatan selama kehamilan yang
yang meliputi : deteksi dini, pengobatan atau rujukan dari komplikasi
tertentu. 4. Kompetensi ke 4, asuhan selama Persalinan dan Kelahiran
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, tanggap terhadap
kebudayaan setempat selama persalinan, memimpin selama persalinan
yang bersih dan aman, menangani situasi kegawatdaruratan tertentu untuk
mengoptimalkan kesehatan wanita dan bayinya yang baru lahir. 5.
Kompetensi ke 5, Asuhan pada ibu Nifas dan Mnyusui Bidan memberikan
asuhan pada ibu nifas dan menyusui yang bermutu tinggi dan tanggap
terhadap budaya setempat. 6. Kompetensi ke 6, Asuhan pada Bayi Baru.
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi
baru lahir sehat sampai dengan 1 bulan. 7. Kompetensi ke 7, Asuhan pada
Bayi dan Balita Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi,
komperhensif pada bayi dan balita sehat ( 1 bulan – 5 tahun) 8.
Kompetensi ke 8, Kebidanan Komunitas Bidan memberikan asuhan yang
bermutu tinggi dan komperhensif pada keluarga, kelompok dan
37
masyarakat sesuai dengan budaya setempat 9. Kompetensi ke 9, Asuhan
pada Ibu/ Wanita dengan Gangguan Reproduksi Melaksanakan asuhan
kebidanan pada wanita/ ibu dengan gangguan sistem reproduksi
d. Permenkes no. HK 02.02/Menkes/149/2010 Tentang izin
dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan Merupakan revisi dari Kepmenkes
900.Terdiri dari VII Bab, 24 Pasal, yaitu: Bab I Ketentuan Umum (pasal 1)
Bab II Perizinan (pasal 2-7) Bab III Penyelenggaraan Praktik (pasal 8-19)
Bab IV Pembinaan dan Pengawasan (pasal 20-21) Bab V Ketentuan
Peralihan (pasal 22) Bab VII Ketentuan Penutup (pasal 23-24) Permenkes
149 ini nampak lebih singkat daripada Kepmenkes 900. Didalamnya
terdapat banyak pengurangan dan beberapa penambahan aturan tentang
pelaksanaan praktik bidan. Pengurangan : 1. Alur untuk registrasi dan
pelaporan bidan dibuat lebih sederhana ( BAB II, III, IV Kepmenkes 900).
2. Kewenangan praktik bidan dalam pelayanan reproduksi wanita
ditiadakan dan di ganti dengan pelayanan keluarga berencana. (Permenkes
149: BAB III pasal 8 : Kepmenkes 900 : BAB IV Pasal 14) 3. Pelayanan
kebidanan yang bisa diberikan tidak lagi pelayanan kebidanan ibu dan
anak, tetapi cukup ibu dan bayi baru lahir usia kurang dari 28 hari.
Pelayanan kebidanan pada ibu yang dimaksud hanyalah kehamilan,
persalinan, nifas dan masa menyusui normal. Bidan tidak berwenang
melakukan interversi apapun terhadap penyulit kehamilan, persalinan dan
nifas ( suntikan penyulit kehamilan, persalinan, nifas ;plasenta manual,
amniotomi, infus, penyuntikan antibiotik dan sedativa, versi ekstraksi
ditiadakan. Pengobatan yang di perbolehkan bukan obat terbatas,tetapi
obat bebas ). Pelayanan masa pranikah , prahamil dan masa interval
dilakukan pengurangan . ( pemenkes 149 : BAB III : Kepmenkes 900 :
Bab V). 4. Bidan sudah tidak lagi berwenang dalam memberikan
pelayanan keluarga berencana suntikan, kontrasepsi bawah kulit dan
bawah rahim secara praktik mandiri, melainkan harus dengan supervisi
dokter di rumah sakit dalam rangka menjalankan tugas pemerintah. Bidan
hanya berwenang mandiri terhadap kontrasepsi pil, kondom dan konseling
38
KB ( Kepmenkes 900: Pasal 19; Permenkes 149: pasal 12) Pasal 8 Bidan
dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan
meliputi: a. Pelayanan kebidanan b. Pelayanan reproduksi perempuan; dan
c. Pelayanan kesehatan masyarakat Pasal 9 1. Pelayanan kebidanan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a ditujukan kepada ibu dan
bayi 2. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan pada masa kehamilan, masa persalinan, masa nifas dan masa
menyusui. 3. Pelayanan kebidanan pada bayi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan pada bayi baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh
delapan) hari. Pasal 10 1. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) meliputi: a. Penyuluhan dan konseling b.
Pemeriksaan fisik c. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal d.
Pertolongan persalinan normal e. Pelayanan ibu nifas normal 2. Pelayanan
kebidanann kepada bayi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3)
meliputi: a. Pemeriksaan bayi baru lahir b. Perawatan tali pusat c.
Perawatan bayi d. Resusitasi pada bayi baru lahir e. Pemberian imunisasi
bayi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah; dan f. Pemberian
penyuluhan Pasal 11 Bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a berwenang untuk: a.
Memberikan imunisasi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah b.
Bimbingan senam hamil c. Episiotomi d. Penjahitan luka episiotomi e.
Kompresi bimanual dalam rangka kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan
perujukan; f. Pencegahan anemi g. Inisiasi menyusui dini dan promosi air
susu ibu eksklusif h. Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia i.
Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk; j.
Pemberian minum dengan sonde/pipet k. Pemberian obat bebas,
uterotonika untuk postpartum dan manajemen aktif kala III; l. Pemberian
surat keterangan kelahiran m. Pemberian surat keterangan hamil untuk
keperluan cuti melahirkan Pasal 12 Bidan dalam memberikan pelayanan
kesehatan reproduksi perempuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
huruf b, berwenang untuk; a. Memberikan alat kontrasepsi oral, suntikan
39
dan alat kontrasepsi dalam rahim dalam rangka menjalankan tugas
pemerintah, dan kondom; b. Memasang alat kontrasepsi dalam rahim di
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan supervisi dokter; c.
Memberikan penyuluhan/konseling pemilihan kontrasepsi d. Melakukan
pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah; dan e. Memberikan konseling dan tindakan pencegahan
kepada perempuan pada masa pranikah dan prahamil. Pasal 13 Bidan
dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 huruf c, berwenang untuk: a. Melakukan
pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan bayi; b.
Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; dan c. Melaksanakan
deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan Infeksi Menular
Seksual (IMS), penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif
lainnya (NAPZA) serta penyakit lainnya. Pasal 14 1. Dalam keadaan
darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter
di tempat kejadian, bidan dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8. 2. Bagi bidan yang
menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dalam rangka
melaksanakan tugas pemerintah dapat melakukan pelayanan kesehatan di
luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8. 3. Daerah yang
tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. 4. Dalam hal daearah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) telah terdapat dokter, kewenangan bidan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku. Pasal 15 1. Pemerintah daerah
menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang memberikan pelayanan di
daerah yang tidak memiliki dokter. 2. Pelatihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diseleenggarakan sesuai dengan modul Modul Pelatihan
yang ditetapkan oleh Menteri. 3. Bidan yang lulus pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memperoleh sertifikat. Pasal 16 Pada daerah yang
tidak memiliki dokter, pemerintah daerah hanya menempatkan Bidan
40
dengan pendidikan Diploma III kebidanan atau bidan dengan pendidikan
Diploma I kebidanan yang telah mengikuti pelatihan.
e. Permenkes No 1464/ Menkes/per/X/2010 1. Pasal 9 Bidan dalam
menyelenggarakan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan yang
meliputi: a. Pelayanan kesehatan ibu b. Pelayanan kesehatan anak dan c.
Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana 2.
Pasal 10 (1) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimanan dimaksud dalam pasal
9 huruf a diberikan pada masa prahamil, kehamilan, masa persalinan ,
masa nifas , masa menyusui dan masa antara 2 kehamilan (2) Pelayanan
kesehatan Ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Pelayanan
konseling pada masa prahamil b. Pelayanan antenatal pada kehamilan
normal c. Pelayanan persalinan normal d. Pelayanan ibu nifas normal e.
Pelayanan Ibu menyusui f. Pelayanan konseling pada masa antara dua
kehamilan (3) Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berwenang untuk : a. Episiotomi b. Penjahitan luka jalan
lahir tingkat 1 dan 2 c. Penanganan kegawatdaruratan , dilanjutkan dengan
perujukan d. Pemberian tablet Fe pada ibu hamil e. Pemberian vitamin A
dosis tinggi pada ibu nifas f. Fasilitas/ bimbingan inisiasi menyusui dini
dan promosi ASI esklusif g. Pemberian uterotonika pada menejemen aktif
kala III dan post partum h. Penyuluhan dan konseling i. Bimbingan pada
kelompok ibu hamil j. Pemberian surat keterangan kematian k. Pemberian
surat keterangan cuti bersalin 3. Pasal 11 (1) Pelayanan kesehatan anak
sebagaimana di maksud pada pasal 9 huruf b diberikan pada bayi baru
lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah (2) Bidan dalam memberikan
pelayanan kesehatan anak sebagaimanan dimaksud pada ayat 1 berwenang
untuk : a. Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi,
pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini, injeksi vitamin K1,
perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari ) dan perawatan
tali pusat b. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera
merujuk c. Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan
d. Pemeberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah e. Pemantauan
41
tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak prasekolah f. Pemberian
konseling dan penyuluhan g. Pemberian surat keterangan kelahiran h.
Pemberian surat kematiaan 4. Pasal 12 Bidan dalam memberikan
pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
sebagaimanan dimaksud dalam pasal 9 huruf c , berwenang untuk : a.
Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan
dan keluarga berencana b. Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom
5. Pasal 13 (1) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal
10 , pasal 11, dan pasal 12, bidan yang menjalanka program pemerintah
berwenang melakukan pelayanan kesehtan meliputi: a. Pemberiaan alat
kontrasepsi suntikan , alat kontrasepsi dalam rahim dan pemberian
pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit b. Asuhan antenatal terintegrasi dan
interfensi khusus penyakit kronis tertentu dilakukan di bawah suvervisi
dokter c. Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai dengan pedoman
yang ditetapkan d. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat di
bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan
penyehatan lingkungan e. Pemantauaan tumbh kembang bayi, anak balita,
anak prasekolah dan anak sekolah f. Melaksanakan pelayanan kebidanan
komunitas g. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan
penyuluhan terhadap infeksi menular seksual (IMS) termasuk pemberian
kondom, dan penyakit lainya h. Pencegahan penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan zat akdiktif lainya atau NAPZA melalui informasi dan
edukasi. i. Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program pemerintah.
(2) Pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi,
penanganan bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini,
merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap infeksi menular seksual
dan penyakit lainnya, serta pencegahan penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan zat akdiktif lainnya ( NAPZA) hanya dapat dilakukan
oleh bidan yang di latih untuk itu. 6. Pasal 14 (1) Bagi bidan yang
menjlankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat melakukan
pelayanan kesehatan , di luar kewenangan sebagaimana di maksud dalam
42
pasal 9 (2) Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah kecamatan atau kelurahan / desa yang ditetapkan
oleh kepala dinas kesehatan kab/ kota (3) Dalam daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 telah terdapat dokter, kewenangan bidan
sebagaimana di maksud pada ayat 1 tidak berlaku. 7. Pasal 15 (1)
Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota menugaskan bidan praktik
mandiri untuk melaksanakan program pemerintah (2) Bidan praktik
mandiri yang di tugaskan sebaga pelaksana program pemerintah berhak
atas pelatihan dan pembinaan dan pemerintah dari pemerintah daerah
provnsi/kabupaten/kota. 8. Pasal 16 (1) Pada daerah yang belum memiliki
dokter, pemerintah dan pemerintah daerah harus mempertahankan bidan
dengan pendidikan minimal Diploma III kebidanan. (2) Apabila tidak
terdapat tenaga bidan sebagaimana di maksud pada ayat 1, pemerintah dan
pemerintah daerah dapat menempatkan bidan yang telah mengikuti
pelatihan. (3) Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota bertanggung
jawab menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang memberikan
pelayanan
di
daerah
yang
43
tidak
memiliki
dokter
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada umumnya perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu
(40% - 60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia. Insidens perdarahan pasca
persalinan biasa di akibatkan oleh atonia uteri dan retensio plasenta.Hampir
sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan
kontraksi uterus. Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi
perdarahan tapi jika lepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang
merupakan indikai untuk mengeluarkannya.
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan post partum dini
(50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi
post partum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme
ini.
B. Saran
Persalinan adalah bagian yang membahagiaan bagi manusia namun
terkadang persalinan juga merupakan bagian dari kehidupan manusia yang
mencemaskan manusia. Persalinan dapat mencemaskan kehidupan manusia
jika terjadi penyulit atau komplikasi saat bersalin sehingga perlu dilakukan
pencegahan oleh masyarakat untuk mengendalikan kondisi kesehatan
masyarakat agar lebih baik. Sehingga kerjasama seluruh institusi harus saling
terjalin agar kondisi kesehatan masyarakat yang baik dapat terlaksana.
44
DAFTAR PUSTAKA
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal Dan Neonatal. Jakarta:PT Bina Pustaka
Brian, J.Prout. Jhon G, Cooper. 2009. Diagnosis Klinik. Jakarta: Bina Rupa
Aksara
Manuaba, G. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan Dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC
Nolan, Mary. 2004. Kehamilan Dan Melahirkan. Jakarta : Penerbit Arcan
Rukiyah, Ai Yeyeh, dkk. 2009. Asuhan Kebidanan 2 (Persalinan). Jakarta: Trans
Info Media
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Muchtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC
45
Download