PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS/PPAT SELAKU PEJABAT UMUM DALAM PEMALSUAN DOKUMEN AKTA TANAH “THE LIABILITY OF NOTARY CRIME/PPAT AS A GENERAL OFFICER IN FORGERY OF LAND DEED DOCUMENT” ¹Asbudi Dwi Saputra, ²Muhadar, ²Syamsuddin Muchtar ¹Program Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin ²Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi : Asbudi Dwi Saputra, S.H. Fakultas Hukum Program Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 085242743013 Email: [email protected] Abstrak Notaris dalam membuat akta otentik harus berdasarkan alat bukti, keterangan dan pernyataan para penghadap,serta notaris mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, namun dalam kenyataannya di lapangan ada ditemukan akta Notaris yang dipermasalahkan oleh para penghadap atau pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat diterbitkanya akta Notaris tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur hukum yang berlaku dalam hal penetapan seorang Notaris/PPAT sebagai tersangka karena terindikasi kuat terjerat Pasal 263 ayat 1 KUHPidana, untuk mengetahui pertanggungjawaban Pidana seorang Notaris/PPAT terhadap akta otentik yang dibuatnya dan terindikasi pemalsuan, untuk mengetahui status hukum akta Jual Beli Nomor:304/Kec.Bupon/III/2002 yang terindikasi pemalsuan dan menimbulkan sengketa. Penelitian ini dilakukan di Kota Palopo. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-yuridis, selain mengkaji hukum secara teoritik dan normatif juga akan mengkaji hukum dalam pelaksanaannya. Kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menguraikan, menggambarkan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan mekanisme prosedur dalam penetapkan seorang Notaris/PPAT sebagai tersangka sama halnya dengan pelaku tindak pidana lainnya dengan cara melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Setelah ditemukan alat bukti yang cukup kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Notaris/PPAT memenuhi unsur-unsur tindak Pidana Pemalsuan Surat. Putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung yang menjatuhkan putusan bebas adalah keliru. Akta Jual beli tersebut tidak memenuhi syarat subjektif dalam perjanjian yaitu kesepakatan. Disimpulkan bahwa penyidik dalam menetapkan Notaris/PPAT sebagi tersangka telah berdasarkan mekanisme prosedur yang ada, putusan bebas Pengadilan Negeri Palopo dan Mahkamah Agung keliru, dan status akta jual beli tersebut dapat dibatalkan. Diharapkan Hakim yang menangani kasus menyangkut Notaris/PPAT seyogyanya lebih memperhatikan fakta – fakta yang ada dilapangan dan lebih memahami bidang kenotariatan, kepada pihak korban Hj. Tahang sebaiknya mengajukan upaya gugatan perdata dengan meminta pembatalan akta jual beli tersebut. Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Pemalsuan Akta Otentik. Abstract Notary in make authentic document must be based on the evidence, information and statement of informer, and it has obligation to ensure that what contained in notary document can be understood actually and according to the parties wants, but in the fact there are found problems of notary document both in informer or they are harmed as a result the document issued. This study aimed to know the legal procedure in determine a notary/PPAT as defendant as a result of strong indication of Article 263 section 1 in Criminal Code, to know criminal responsibility a notary/PPAT on the authentic document made and indicated falsification, to know legal status of contract of sale No : 304/Kec.Bupon/III/2002 as falsification indication and make dispute. This study was carried out in Palopo city. It uses socio-juridical approach, beside to study the law theoretically and normative, it also to study the law in its implementation. Then presented descriptively by analyze, describe and explain accord to the problems in related to this study. The results of study indicates the procedure mechanism in determine a notary/PPAT as defendant and such other criminal actors by doing investigation before. After found the evidence exactly then set as a defendant. Notary/PPAT fulfills the doing an injustice elements of letter falsification. The decision of district court and supreme court that bring free to justice is wrong. The contract of sale is not fulfill subjectively in agreement that is agreement. Concluded that investigator in set notary/PPAT as defendant have been based on the existing procedure mechanism, decision to freed of district court and supreme court is wrong, and status contract of sale can be cancelled. It is expected the judge who handle the notary/PPAT case gives attention on the field facts and more understand notary field, for Hj. Tahang as victims ought to submit the civil law effort by demand cancelling the contract of sale.. Keywords : criminal responsibility, authentic document falsification PENDAHULUAN Tindak pidana atau disebut juga peristiwa pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “delict”(Moeliatno, 2000). Menurut KUH Pidana yang berlaku di Indonesia, perkara pidana itu termasuk ke dalam “misdrijf’ (kejahatan) dan “overtreding” (pelanggaran). Perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat merupakan kelakuan yang menyimpang (abnormal). Tingkah laku yang menyimpang itu sangat erat hubungannya dengan kejiwaan individu, dimana kehidupannya hidup dalam suatu kehidupan kemasyarakatan (Marpaung L, 2011). Asas kesalahan dalam hukum pidana merupakan suatu asas yang fundamental, sebab asas itu telah begitu meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran – ajaran penting dalam hukum pidana. Akan tetapi asas “Tiada pidana tanpa kesalahan” tidak boleh dibalik menjadi “Tiada kesalahan tanpa pidana”. Dengan demikian hubungan dari kesalahan dan pemidanaan akan jelas, yaitu bahwa kesalahan itu merupakan dasar dari pidana. Dilihat dari bentuknya, kesalahan itu dapat pula dibagi dalam dua kelompok besar yaitu kesengajaan dan kealpaan (Erdianto E, 2011). Sebagai pejabat umum Notaris dituntut untuk bertanggungjawab terhadap akta yang telah dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata di belakang hari menimbulkan sengketa, maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan notaris atau kesalahan para pihak yang tidak mau jujur dalam memberikan keterangannya dihadapan notaris atau adanya kesepakatan yang telah dibuat antara notaris dengan salah satu pihak yang menghadap. Jika akta yang diterbitkan notaris mengandung cacat hukum yang terjadi karena kesalahan notaris, baik karena kelalaiannya maupun karena kesengajaan notaris itu sendiri, maka notaris memberikan pertanggungjawaban (Adjie H, 2008). Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Notaris membuat akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti, keterangan dan pernyataan para penghadap dan notaris mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga jelas isi Akta Notaris tersebut serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta (Adjie H, 2011). Namun dalam kenyataannya di lapangan ada ditemukan akta Notaris yang dipermasalahkan oleh para penghadap atau pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat diterbitkanya akta Notaris tersebut. Apakah ada unsur kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa), sehingga Notaris diperiksa oleh penyidik Kepolisian. Dimungkinkan juga Notaris tersebut turut serta atau membantu melakukan tindak pidana dengan cara membuat keterangan palsu dalam akta yang dibuat dihadapannya seperti dalam kasus yang melibatkan Zirmayanto, Notaris Kota Palopo. Notaris Zirmayanto (Notaris Kota Palopo) ditetapkan sebagai tersangka karena terindikasi kuat telah melakukan pemalsuan dokumen akta tanah. Dalam kasus ini penyidik berkeyakinan berdasarkan gelar perkara yang dilakukan dan telah ditemukan 2 (dua) alat bukti serta diperkuat dari uji keaslian cap jempol yang dilakukan oleh ahli forensic Identifikasi Polda Sulselbar, yang menyatatakan cap ibu jari yang tertera pada akta jual beli tersebut bukan milik Hj. Kallo sang pemilik tanah. Penetapan tersangka oleh penyidik kepolisian karena unsur – unsur dari Pasal 263 ayat 1 KUH Pidana telah terpenuhi dibantah oleh Notaris/PPAT Zirmayanto, menurutnya penetapan tersangka dirinya salah sasaran karena dirinya hanya bertindak sebagai notaris dan PPAT. Apalagi dalam proses pemeriksaan dirinya, penyidik tidak memperoleh izin dari Majelis Pengawas Daerah (MPD). Terdapat ketidaksesuaian keterangan yang diberikan antara penyidik dan Notaris Zirmayanto yang menganggap status tersangka dan penahanan dirinya adalah salah sasaran, serta Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Palopo yang menyatakan bahwa Notaris Zirmayanto tidak bersalah dalam kasus pemalsuan akta ini. Tujuan penelitian ini adalah pertanggungjawaban pidana yang jelas oleh Notaris/PPAT terhadap akta yang dibuatnya yang terindikasi pemalsuan. BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian dilakukan di Kota Palopo karena lokasi Kasus Pemalsuan Surat ini berada di Kota Palopo Propinsi Sulawesi Selatan. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: Wawancara dengan mendatangi responden dengan melakukan tanya jawab langsung, tipe pertanyaan teratur serta terstruktur dan Dokumentasi untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan penelitian ini. Alat Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data dengan menggunakan cara Studi Dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian. Wawancara dan permintaan data dalam penelitian ini diperoleh melalui : Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Kota Palopo, Kanit Reksa III Unit Reskrim Kepolisian Resort Palopo, Penyidik Reserse Kriminal Kepolisian Resort Kota Palopo, Notaris/PPAT Zirmayanto dan Dosen Fakultas Hukum. Analisis Data Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif yakni pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya, sehingga memperoleh gambaran baru ataupun menguatkan suatu gambaran yang sudah ada untuk menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat. HASIL Ipda Abdul Haris yang merupakan Kanit Reksa III Reskrim Polres Palopo memaparkan bahwa dalam menetapkan Notaris/PPAT sebagai tersangka tentunya harus diadakan penyelidikan terlebih dahulu setelah mendapat cukup bukti yang kuat baru statusnya ditingkatkan menjadi tersangka sama halnya dengan pelaku tindak pidana lainnya, walaupun dalam tata cara pemanggilan dan pemeriksaan Notaris sebagai saksi maupun tersangka terlebih dahulu harus mendapat izin dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) setempat. Tindakan Kepolisan Resort Palopo dalam menangani kasus ini telah memiliki dasar hukum untuk melakukan penyelidikan karena telah menerima laporan dari Hj. Kallo pihak yang merasa dikorbankan akibat terbitnya akta jual beli yang dibuat oleh Notaris/PPAT Zirmayanto tersebut. Dimana laporan korban tersebut tertuang dalam surat Laporan Polisi No. Pol : LP /05 /I /2008 / Dit Reskrim, tanggal 21 Januari 2008. Jadi dalam hal ini penyelidik mempunyai dasar untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Dalam kasus Notaris Zirmayanto, Penyelidik memeriksa beberapa saksi untuk dimintai keterangan yaitu : (1)Tanpa surat panggilan telah dilakukan pemeriksaan terhadap saksi korban Hj. Kallo, (2) Tanpa surat panggilan telah dilakukan pemeriksaan terhadap saksi korban . Dalle bin page (3) Dengan surat panggilan No. Pol. : S.pgl/927/VII/2009/Reskrim, tanggal 10 Juli 2009, telah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi H. Tahang (4) Dengan surat panggilan No. Pol. : S.pgl/928/VII/2009/Reskrim, tanggal 10 Juli 2009, telah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi Hj. TATI (5) Dengan surat panggilan No. Pol. : S.pgl/174/II/2009/Reskrim, tanggal 10 Juli 2009, telah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi Meitje selfina manuhutu(6) Dengan surat panggilan No. Pol. : S.pgl/175/II/2009/Reskrim, tanggal 10 Juli 2009, telah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi Asnani, SH. (7) Dengan surat Bantuan panggilan No. Pol. : B/VII/2009/Reskrim, tanggal 08 Nopember, telah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi Syamsuriveten maliki (8) Dengan surat Bantuan panggilan No. Pol. : B/315 /VII/ 2009 /Reskrim, tanggal 01 April 2010, telah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi Ir. Naharuddin (9) Telah dilakukan pemeriksaan terhadap saksi ahli Identifikasi Polda Sulsel AKP Ali muktar sehubungan dengan pemeriksaan Dactiloscopi yang telah dilakukan atas permintaan Polres Palopo dalam perkara tindak pidana Pemalsuan, sesuai dengan berita acara pemeriksaan tanggal 05 Juli 2009. Dari fakta – fakta yang ada atau yang ditemukan dalam penyelidikan berupa keterangan saksi – saksi, saksi ahli dan dikuatkan dengan barang bukti yang ada maka penyelidik menetapkan Notaris/PPAT Zirmayanto sebagai tersangka dengan penjelasan, berdasarkan Laporan Polisi No.Pol. : LP/05/I/2008/Dit Reskrim, tanggal Januari 2008 dan setelah dilakukan penyelidikan ditemukan 2 (dua) alat bukti yang mendukung yaitu keterangan saksi dan hasil Dactiloscopi dari Identifikasi Polda Sulsel sehingga kasus ini ditingkatkan ke tahap penyidikan. Adapun alat bukti yang ditemukan adalah : (1) Dari keterangan saksi korban Hj. Kallo, Hj. Tahang dan H. Dalle yang menjelaskan bahwa ia tidak pernah membubuhkan cap jempol atau tanda tangan di atas akta jual beli No.304/Kec. Bupon/III/2002, tanggal 27 Maret 2002, bertempat di kantor Notaris Zirmayanto dan saksi tidak kenal dengan Notaris Zirmayanto, (2) Dari keterangan Saksi Ahli menerangkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan Dactiloscopy atas sidik jari yang dimuat di akta jual beli No.304/Kec. Bupon/III/2002, tanggal 27 Maret 2002 dimana telah terbukti cap jempol yang ada pada akta tersebut tidak identik atau palsu. Notaris/PPAT Zirmayanto menerangkan bahwa penyidik harusnya sebelum memeriksa dirinya (Notaris/PPAT Zirmayanto) sebagai seorang Notaris/PPAT terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari Majelis Pengawas Daerah. Tanpa ada izin dari MPD dirinya tidak berkewajiban untuk hadir dalam pemeriksaan sebagai tersangka. Apa yang dikemukakan Notaris/PPAT Zirmayanto memang benar karena substansi Pasal 66 UUJN itu imperatif (keharusan) atau kewajiban yang harus dipenuhi oleh peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim untuk meminta persetujuan terlebih dahulu kepada MPD. Kemudian diperoleh informasi dari Bripka Ma’rup bahwa apa yang dikatakan oleh Notaris Zirmayanto atau yang dikabarkan melalui media cetak dan online tidak sepenuhnya benar. Dimana penyidik telah bersurat sampai 4 (empat) kali untuk pemanggilan Notaris baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka, 2 (dua) kali sehubungan dengan prihal permintaan izin pemanggilan Notaris Zirmayanto sebagai saksi dan 2 (dua) kali sehubungan dengan prihal pemanggilan Notaris Zirmayanto sebagai tersangka. Pada saat penyidik mengirim surat permohonan permintaan izin untuk memeriksa Notaris/PPAT Zirmayanto sebagai saksi penyidik mendapat balasan mengenai persetujuan dari MPD untuk memeriksa Notaris/PPAT tersebut. Akan tetapi ketika kembali bersurat untuk meminta izin kepada Majelis Pengawas Daerah untuk memanggil Notaris/PPAT tersebut diperiksa dan dimintai keterangan sebagai tersangka, penyidik tidak mendapat balasan tentang persetujuan dari MPD, namun tidak pula mendapat balasan penolakan dari MPD dengan kata lain MPD tidak menggubris surat yang kami kirimkan. Mengingat keterangan dari tersangka butuhkan dan penyidik juga tidak ingin melanggar UUJN Pasal 66 yang mengatur pemanggilan dan pemeriksaan seorang Notaris, maka setelah tujuh hari kerja penyidik kembali mengirim surat kepada MPD dengan prihal yang sama yaitu permohonan izin untuk memanggil dan memeriksa Notaris/PPAT Zirmayanto sebagai tersangka dalam pemalsuan surat ini. Namun penyidik kembali tidak mendapat jawaban dari surat yang telah kirimkan. Setelah lewat dari 14 (empat belas) hari tidak mendapat balasan, maka penyidik langsung bersurat langsung kepada Notaris Zirmayanto untuk diperiksa sebagai tersangka. Oleh karena sudah tiga kali panggilan tetap tidak dijalankan oleh Notaris Zirmayanto maka penyidik melakukan jemput paksa terhadap Notaris tersebut. Hal itu kami lakukan karena telah memiliki payung hukum untuk memeriksa Notaris Zirmayanto Sebagai Tersangka berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris pada pasal 14, 15 dan 18. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini menunjukkan kekeliruan Hakim dalam menjatuhkan putusan bebas dalam perkara tindak pidana Pemalsuan Surat yang melibatkan seorang Notaris/PPAT karena unsur – unsur dari tindak pidana pemalsuan surat telah terpenuhi dan diperkuat dari dalil – dalil pertimbangan hakim yang keliru maka tepatlah jika Notaris/PPAT tersebut dinyatakan bersalah dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dari penelitian ini juga menunjukkan keseluruhan tindakan atau upaya yang dilakukan oleh penyelidik Polres Palopo dalam meningkatkan status kasus ini dari penyelidikan ke tahap peyidikan telah sesuai dengan mekanisme dan prosudur yang telah ditetapkan. Semua tindakan atau upaya hukum yang dilakukan oleh penyelidik pada saat penerimaan laporan dari korban sampai pada penetapan status tersangka pada Notaris/PPAT Zirmayanto semua mempunyai alas hukum yang jelas yang telah diatur dalam KUHP dan KUHAP. Pernyataan Hakim yang menyebutkan bahwa karena tidak diketahui siapa yang bertandatangan maka harus ditemukan ada tidaknya maksud dari Notaris membuat akta jual beli palsu yang mengacu pada unsur kesengajaan sudah benar. Namun letak kekeliruan hakim adalah karena hakim hanya merujuk atau berpatokan pada satu jenis kesengajaan saja. Seharusnya sebelum menyimpulkan apakah ada unsur “Kesengajaan” dapat terbukti atau tidak, harus mempertimbangkan beberapa corak unsur kesengajaan yang ada yaitu kesengajaan dengan maksud (Opzet Als Oogmerk), kesengajaan dengan sadar kepastian (Opzet Met Zekerheidsbewutzjin) dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan (Dollus Eventualis atau Voorwaardelijk Opzet) (Harahap Y, 2012). Corak kesengajaan dengan sadar kemungkinan (Dollus Eventualis atau Voorwaardelijk Opzet) inilah yang sangat relevan dengan perbuatan Notaris/PPAT dalam kasus yang penulis angkat. Dimana Notaris sebelum membuat akta jual beli atas permintaan pihak Bank, bukan dari permintaan pihak penjual maupun pembeli harusnya Notaris dapat menduga – duga atau mengira – ngira jika akta jual beli tersebut yang dibuatnya ternyata tidak sesuai dengan keinginan baik pihak penjual maupun pembeli atau tanpa sepengetahuan para pihak akan mengakibatkan isi akta yang dibuatnya tersebut memuat keterangan palsu. Kemudian Notaris juga dapat menduga – duga jika akta tersebut tidak ditandatangani atau dicap jempol dihadapan saya (Notaris/PPAT) dapat berakibat terjadi pemalsuan tanda tangan karena dapat ditandatangani atau dibubuhi cap jempol orang lain. Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruhnya atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan keadaan sebenarnya. Disamping isinya dan asalnya surat yang tidak benar dari membuat surat palsu, dapat juga tanda tangannya yang tidak benar. (Soesilo R, 1988). Dari pengertian tersebut telah jelas Notaris/PPAT tersebut membuat surat palsu kerena sebagian bahkan hampir seluruhnya akta tersebut memuat keterangan palsu. Mulai dari bagian awal akta yang menyebutkan para pihak hadir namun dalam kenyataannya para pihak tidak pernah bertemu dengan Notaris, kemudian pada premise akta isi surat yang menyatakan diadakan perjanjian jual beli padahal dalam kenyataannya tidak pernah terjadi adanya jual beli, dan juga pada akhir akta yaitu cap jempol yang tertera sebagai persetujuan para pihak juga palsu. Jadi sudah jelas bahwa baik isi akta maupun cap jempol dari akta ini adalah palsu. Kemudian pada kalimat selanjutnya dari unsur ini yang menyebutkan bahwa dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal. Unsur ini juga telah terbukti karena dengan terbitnya akta jual beli tersebut sehingga beralihlah hak kepemilikan dari Hj. Kallo kepada H. Dalle. Unsur dengan maksud untuk memakai atau memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah – olah isinya benar dan tidak palsu, juga telah terpenuhi karena dengan terbitnya Akta Jual Beli Nomor 304/ Kec. Bupon / III / 2002, tanggal 27 Maret 2002, tetap digunakan seolah – olah asli dan tidak dipalsu oleh terdakwa untuk dibalik nama dari penjual ke pembeli dan selanjutnya digunakan sebagai jaminan di bank. Unsur, jikalau pemakaian surat itu mendatangkan kerugian. Unsur keempat ini juga telah terpenuhi karena Hj. Kallo menderita kerugian akibat akta jual beli tersebut yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT tersebut. Untuk lebih menguatkan tentang kekeliruan hakim tersebut berikut akan uraikan beberapa pertimbangan Majelis Hakim yang terdapat kekeliruan. Pertama, Majelis Hakim telah mempertimbangkan bahwa dari perbuatan terdakwa tidak ditemukan adanya maksud/kehendak terdakwa membuat akta jual beli tersebut sehingga menimbulkan kerugian, karena terdakwa membuat akte jual beli tersebut atas permintaan Bank BNI sebagai bagian dari pelayanan nasabahnya. Pertimbangan hakim ini tidak benar karena Bank BNI dalam hal ini bukan sebagai penghadap, baik penjual maupun pembeli dalam akta jual beli. Seharusnya Notaris/PPAT membuat akta sesuai dari permintaan pihak penjual maupun pembeli, kemudian akta tersebut dibacakan sehingga dapat diketahui maksud dan akibat dibuatnya akta tersebut. Notaris/PPAT. Apa yang dilakukan Notaris tersebut juga melanggar Undang – Undang Jabatan Notaris yang mengharuskan penghadap harus hadir dan akta tersebut harus dibacakan Notaris dihadapan para pihak sebelum ditandatangani. Kedua, Majelis Hakim dalam putusanya mempertimbangkan pula bahwa tidak ditemukan mengenai adanya maksud dari terdakwa membuat membuat surat palsu ataupun memalsukan surat karena terdakwa hanya menjalankan tugas kenotariatan atas PERMINTAAN PIHAK. Menurut analisis penulis pertimbangan hakim sangatlah tidak sesuai dengan fakta pada persidangan maupun dilapangan. Permintaan Pihak apa ? dan bagaimana ?. Sudah sangat jelas bahwa para pihak tidak pernah bertemu dengan Notaris/PPAT Zirmayanto apalagi mengutarakan maksudnya. Ketiga, Hakim seharusnya tidak hanya memfokuskan untuk mempertanyakan dari siapa pemilik dari cap jempol karena cap jempol yang palsu tersebut sudah cukup membuktikan bahwa akta yang dibuat bukan atas persetujuan atau permintaan dari para pihak jadi telah dapat dikatakan bahwa akta tersebut palsu baik isi maupun cap jempol yang tertera dan harus ada yang bertanggungjawab atas akta yang palsu tersebut. Kelima, Notaris telah memberikan keterangan palsu dalam aktanya, contohnya pada awal akta yang menyebutkan bahwa, Pada Hari ini…, tanggal….,bulan….,tahun…hadir dihadapan saya Notaris…..Padahal para penghadap sendiri tidak pernah bertemu dengan notaris apalagi sampai membacakan maupun menjelaskan isi aktanya. Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat – syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subjektif dan ada syarat objektif. Syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum sedangkan syarat objektif yaitu yang pertama berupa objek tertentu dan substansi perjanjian (sesuatu yang diperbolehkan) (Miru A, 2007). Syarat perjanjian yang tidak ada atau tidak terpenuhi dalam akta jual beli tersebut adalah syarat subjektif yaitu Kesepakatan. Dimana baik penjual dan pembeli tidak pernah ada niat sedikitpun untuk mengadakan jual beli apalagi kata sepakat. Akta Notaris/PPAT pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris (Anshori G, 2009). Pembatalan suatu akta dapat dilakukan dengan alasan yang mengacu pada BW, yakni apabila ketentuan tentang syarat objektif dari syarat sahnya perjanjian yang tidak terpenuhi, maka akta tersebut batal demi hukum, tapi manakala hukum perdata materiel yang dilanggar, mengenai syarat subjektif kembali kepada BW, yaitu dapat dibatalkan (Adjie H, 2011). KESIMPULAN DAN SARAN Mekanisme prosedur dalam penetapkan seorang Notaris/PPAT sebagai tersangka sama halnya dengan pelaku tindak pidana lainnya dengan cara melakukan penyelidikan terlebih dahulu dengan prosedur menerima laporan, mengumpulkan keterangan dan barang bukti. Setalah ditemukan alat bukti yang cukup kemudian ditetapkanlah sebagai tersangka. Namun dalam tata cara pemanggilan seorang Notaris/PPAT untuk diperiksa sebagai tersangka, penyidik terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah dan apabila dalam 14 (empat belas) hari tidak ada balasan dari MPD berarti dianggap MPD telah memberikan persetujuannya Putusan hakim Nomor 303 K/Pid/2012 yang memberikan putusan bebas kepada Notaris/PPAT adalah keliru, Notaris/PPAT harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena telah memenuhi unsur-unsur tindak Pidana Pemalsuan Surat. Status Hukum Akta Jual beli Nomor : 304/Kec. Bupon/III/2002 adalah dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat subjektif dalam perjanjian yaitu kesepakatan. Dalam hal ini antara penjual dan pembeli tidak pernah ada kata sepakat untuk melakukan jual beli dan telah dibuktikan oleh cap jempol yang tertera pada akta jual beli tersebut palsu Diharapkan Hakim yang menangani kasus menyangkut Notaris/PPAT seyogyanya lebih memperhatikan fakta – fakta yang ada dilapangan dan lebih memahami bidang kenotariatan, kepada pihak korban Hj. Tahang sebaiknya mengajukan upaya gugatan perdata dengan meminta pembatalan akta jual beli tersebut. DAFTAR PUSTAKA Adjie, Habib. (2008). Hukum Notaris Indonesia. Bandung: Refika Aditama. __________, (2011). Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Bandung: Refika Aditama. __________, (2011). Majelis Pengawas Notaris. Bandung: Refika Aditama Anshori, Ghofur. (2009). Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Effendi, Erdianto. (2011). Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Refika Aditama. Harahap, Yahya. (2012). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika Marpaung, Laden. (2011). Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika Miru, Ahmadi (2007). Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Moeliatno, (2000). Asas – Asas Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Rieneka Cipta. Soesilo, R. (1988). Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Bogor: Politeia.