pertanggungjawaban pidana notaris/ppat selaku

advertisement
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS/PPAT SELAKU
PEJABAT UMUM DALAM PEMALSUAN DOKUMEN AKTA TANAH
“THE LIABILITY OF NOTARY CRIME/PPAT
AS A GENERAL OFFICER IN FORGERY OF LAND DEED DOCUMENT”
¹Asbudi Dwi Saputra, ²Muhadar, ²Syamsuddin Muchtar
¹Program Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
²Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi :
Asbudi Dwi Saputra, S.H.
Fakultas Hukum
Program Pascasarjana (S2)
Universitas Hasanuddin
Makassar, 90245
HP: 085242743013
Email: [email protected]
Abstrak
Notaris dalam membuat akta otentik harus berdasarkan alat bukti, keterangan dan pernyataan para penghadap,serta
notaris mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh
telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, namun dalam kenyataannya di lapangan ada ditemukan
akta Notaris yang dipermasalahkan oleh para penghadap atau pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat
diterbitkanya akta Notaris tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur hukum yang berlaku dalam
hal penetapan seorang Notaris/PPAT sebagai tersangka karena terindikasi kuat terjerat Pasal 263 ayat 1 KUHPidana,
untuk mengetahui pertanggungjawaban Pidana seorang Notaris/PPAT terhadap akta otentik yang dibuatnya dan
terindikasi pemalsuan, untuk mengetahui status hukum akta Jual Beli Nomor:304/Kec.Bupon/III/2002 yang
terindikasi pemalsuan dan menimbulkan sengketa. Penelitian ini dilakukan di Kota Palopo. Penelitian ini
menggunakan pendekatan sosio-yuridis, selain mengkaji hukum secara teoritik dan normatif juga akan mengkaji
hukum dalam pelaksanaannya. Kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menguraikan, menggambarkan, dan
menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan
mekanisme prosedur dalam penetapkan seorang Notaris/PPAT sebagai tersangka sama halnya dengan pelaku tindak
pidana lainnya dengan cara melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Setelah ditemukan alat bukti yang cukup
kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Notaris/PPAT memenuhi unsur-unsur tindak Pidana Pemalsuan Surat.
Putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung yang menjatuhkan putusan bebas adalah keliru. Akta Jual beli
tersebut tidak memenuhi syarat subjektif dalam perjanjian yaitu kesepakatan. Disimpulkan bahwa penyidik dalam
menetapkan Notaris/PPAT sebagi tersangka telah berdasarkan mekanisme prosedur yang ada, putusan bebas
Pengadilan Negeri Palopo dan Mahkamah Agung keliru, dan status akta jual beli tersebut dapat dibatalkan.
Diharapkan Hakim yang menangani kasus menyangkut Notaris/PPAT seyogyanya lebih memperhatikan fakta – fakta
yang ada dilapangan dan lebih memahami bidang kenotariatan, kepada pihak korban Hj. Tahang sebaiknya
mengajukan upaya gugatan perdata dengan meminta pembatalan akta jual beli tersebut.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Pemalsuan Akta Otentik.
Abstract
Notary in make authentic document must be based on the evidence, information and statement of informer, and it has
obligation to ensure that what contained in notary document can be understood actually and according to the parties
wants, but in the fact there are found problems of notary document both in informer or they are harmed as a result
the document issued. This study aimed to know the legal procedure in determine a notary/PPAT as defendant as a
result of strong indication of Article 263 section 1 in Criminal Code, to know criminal responsibility a notary/PPAT
on the authentic document made and indicated falsification, to know legal status of contract of sale No :
304/Kec.Bupon/III/2002 as falsification indication and make dispute. This study was carried out in Palopo city. It
uses socio-juridical approach, beside to study the law theoretically and normative, it also to study the law in its
implementation. Then presented descriptively by analyze, describe and explain accord to the problems in related to
this study. The results of study indicates the procedure mechanism in determine a notary/PPAT as defendant and
such other criminal actors by doing investigation before. After found the evidence exactly then set as a defendant.
Notary/PPAT fulfills the doing an injustice elements of letter falsification. The decision of district court and supreme
court that bring free to justice is wrong. The contract of sale is not fulfill subjectively in agreement that is
agreement. Concluded that investigator in set notary/PPAT as defendant have been based on the existing procedure
mechanism, decision to freed of district court and supreme court is wrong, and status contract of sale can be
cancelled. It is expected the judge who handle the notary/PPAT case gives attention on the field facts and more
understand notary field, for Hj. Tahang as victims ought to submit the civil law effort by demand cancelling the
contract of sale..
Keywords : criminal responsibility, authentic document falsification
PENDAHULUAN
Tindak pidana atau disebut juga peristiwa pidana merupakan terjemahan dari istilah
bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “delict”(Moeliatno, 2000). Menurut KUH Pidana yang
berlaku di Indonesia, perkara pidana itu termasuk ke dalam “misdrijf’ (kejahatan) dan
“overtreding” (pelanggaran). Perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di
masyarakat merupakan kelakuan yang menyimpang (abnormal). Tingkah laku yang menyimpang
itu sangat erat hubungannya dengan kejiwaan individu, dimana kehidupannya hidup dalam suatu
kehidupan kemasyarakatan (Marpaung L, 2011). Asas kesalahan dalam hukum pidana
merupakan suatu asas yang fundamental, sebab asas itu telah begitu meresap dan menggema
dalam hampir semua ajaran – ajaran penting dalam hukum pidana. Akan tetapi asas “Tiada
pidana tanpa kesalahan” tidak boleh dibalik menjadi “Tiada kesalahan tanpa pidana”. Dengan
demikian hubungan dari kesalahan dan pemidanaan akan jelas, yaitu bahwa kesalahan itu
merupakan dasar dari pidana. Dilihat dari bentuknya, kesalahan itu dapat pula dibagi dalam dua
kelompok besar yaitu kesengajaan dan kealpaan (Erdianto E, 2011).
Sebagai pejabat umum Notaris dituntut untuk bertanggungjawab terhadap akta yang telah
dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata di belakang hari menimbulkan sengketa, maka hal
ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan notaris atau kesalahan para pihak
yang tidak mau jujur dalam memberikan keterangannya dihadapan notaris
atau adanya
kesepakatan yang telah dibuat antara notaris dengan salah satu pihak yang menghadap. Jika akta
yang diterbitkan notaris mengandung cacat hukum yang terjadi karena kesalahan notaris, baik
karena kelalaiannya maupun karena kesengajaan notaris itu sendiri, maka notaris memberikan
pertanggungjawaban (Adjie H, 2008).
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh
pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta otentik pada
hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada
Notaris. Notaris membuat akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti, keterangan dan pernyataan
para penghadap dan notaris mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat
dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak,
yaitu dengan cara membacakannya sehingga jelas isi Akta Notaris tersebut serta memberikan
akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait
bagi para pihak penandatangan akta (Adjie H, 2011).
Namun dalam kenyataannya di lapangan ada ditemukan akta Notaris yang
dipermasalahkan oleh para penghadap atau pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat
diterbitkanya akta Notaris tersebut. Apakah ada unsur kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa),
sehingga Notaris diperiksa oleh penyidik Kepolisian. Dimungkinkan juga Notaris tersebut turut
serta atau membantu melakukan tindak pidana dengan cara membuat keterangan palsu dalam
akta yang dibuat dihadapannya seperti dalam kasus yang melibatkan Zirmayanto, Notaris Kota
Palopo. Notaris Zirmayanto (Notaris Kota Palopo) ditetapkan sebagai tersangka karena
terindikasi kuat telah melakukan pemalsuan dokumen akta tanah. Dalam kasus ini penyidik
berkeyakinan berdasarkan gelar perkara yang dilakukan dan telah ditemukan 2 (dua) alat bukti
serta diperkuat dari uji keaslian cap jempol yang dilakukan oleh ahli forensic Identifikasi Polda
Sulselbar, yang menyatatakan cap ibu jari yang tertera pada akta jual beli tersebut bukan milik
Hj. Kallo sang pemilik tanah.
Penetapan tersangka oleh penyidik kepolisian karena unsur – unsur dari Pasal 263 ayat 1
KUH Pidana telah terpenuhi dibantah oleh Notaris/PPAT Zirmayanto, menurutnya penetapan
tersangka dirinya salah sasaran karena dirinya hanya bertindak sebagai notaris dan PPAT.
Apalagi dalam proses pemeriksaan dirinya, penyidik tidak memperoleh izin dari Majelis
Pengawas Daerah (MPD). Terdapat ketidaksesuaian keterangan yang diberikan antara penyidik
dan Notaris Zirmayanto yang menganggap status tersangka dan penahanan dirinya adalah salah
sasaran, serta Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Palopo yang menyatakan bahwa Notaris Zirmayanto tidak bersalah dalam
kasus pemalsuan akta ini. Tujuan penelitian ini adalah pertanggungjawaban pidana yang jelas
oleh Notaris/PPAT terhadap akta yang dibuatnya yang terindikasi pemalsuan.
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian dilakukan di Kota Palopo karena lokasi Kasus Pemalsuan Surat ini
berada di Kota Palopo Propinsi Sulawesi Selatan.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: Wawancara
dengan mendatangi responden dengan melakukan tanya jawab langsung, tipe pertanyaan teratur
serta terstruktur dan Dokumentasi untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan
penelitian ini.
Alat Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data dengan menggunakan
cara Studi Dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca,
mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan
materi penelitian.
Wawancara dan permintaan data dalam penelitian ini diperoleh melalui : Kepala Satuan
Reserse Kriminal Kepolisian Resort Kota Palopo, Kanit Reksa III Unit Reskrim Kepolisian
Resort Palopo, Penyidik Reserse Kriminal Kepolisian Resort Kota Palopo, Notaris/PPAT
Zirmayanto dan Dosen Fakultas Hukum.
Analisis Data
Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif
yakni pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis untuk mendapatkan kejelasan terhadap
suatu kebenaran atau sebaliknya, sehingga memperoleh gambaran baru ataupun menguatkan
suatu gambaran yang sudah ada untuk menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta
saran yang bermanfaat.
HASIL
Ipda Abdul Haris yang merupakan Kanit Reksa III Reskrim Polres Palopo memaparkan
bahwa dalam menetapkan Notaris/PPAT sebagai tersangka tentunya harus diadakan penyelidikan
terlebih dahulu setelah mendapat cukup bukti yang kuat baru statusnya ditingkatkan menjadi
tersangka sama halnya dengan pelaku tindak pidana lainnya, walaupun dalam tata cara
pemanggilan dan pemeriksaan Notaris sebagai saksi maupun tersangka terlebih dahulu harus
mendapat izin dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) setempat.
Tindakan Kepolisan Resort Palopo dalam menangani kasus ini telah memiliki dasar
hukum untuk melakukan penyelidikan karena telah menerima laporan dari Hj. Kallo pihak yang
merasa dikorbankan akibat terbitnya akta jual beli yang dibuat oleh Notaris/PPAT Zirmayanto
tersebut. Dimana laporan korban tersebut tertuang dalam surat Laporan Polisi No. Pol : LP /05 /I
/2008 / Dit Reskrim, tanggal 21 Januari 2008. Jadi dalam hal ini penyelidik mempunyai dasar
untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini.
Dalam kasus Notaris Zirmayanto, Penyelidik memeriksa beberapa saksi untuk dimintai
keterangan yaitu : (1)Tanpa surat panggilan telah dilakukan pemeriksaan terhadap saksi korban
Hj. Kallo, (2) Tanpa surat panggilan telah dilakukan pemeriksaan terhadap saksi korban . Dalle
bin page (3) Dengan surat panggilan No. Pol. : S.pgl/927/VII/2009/Reskrim, tanggal 10 Juli
2009, telah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi H. Tahang (4) Dengan surat
panggilan No. Pol. : S.pgl/928/VII/2009/Reskrim, tanggal 10 Juli 2009, telah dilakukan
pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi Hj. TATI (5) Dengan surat panggilan No. Pol. :
S.pgl/174/II/2009/Reskrim, tanggal 10 Juli 2009, telah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan
terhadap
saksi
Meitje
selfina
manuhutu(6)
Dengan
surat
panggilan
No.
Pol.
:
S.pgl/175/II/2009/Reskrim, tanggal 10 Juli 2009, telah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan
terhadap saksi Asnani, SH. (7) Dengan surat Bantuan panggilan No. Pol. : B/VII/2009/Reskrim,
tanggal 08 Nopember, telah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan
terhadap saksi
Syamsuriveten maliki (8) Dengan surat Bantuan panggilan No. Pol. : B/315 /VII/ 2009 /Reskrim,
tanggal 01 April 2010, telah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan
terhadap saksi Ir.
Naharuddin (9) Telah dilakukan pemeriksaan terhadap saksi ahli Identifikasi Polda Sulsel AKP
Ali muktar sehubungan dengan pemeriksaan Dactiloscopi yang telah dilakukan atas permintaan
Polres Palopo dalam perkara tindak pidana Pemalsuan, sesuai dengan berita acara pemeriksaan
tanggal 05 Juli 2009.
Dari fakta – fakta yang ada atau yang ditemukan dalam penyelidikan berupa keterangan
saksi – saksi, saksi ahli dan dikuatkan dengan barang bukti yang ada maka penyelidik
menetapkan Notaris/PPAT Zirmayanto sebagai tersangka dengan penjelasan, berdasarkan
Laporan Polisi No.Pol. : LP/05/I/2008/Dit Reskrim, tanggal Januari 2008 dan setelah dilakukan
penyelidikan ditemukan 2 (dua) alat bukti yang mendukung yaitu keterangan saksi dan hasil
Dactiloscopi dari Identifikasi Polda Sulsel sehingga kasus ini ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Adapun alat bukti yang ditemukan adalah : (1) Dari keterangan saksi korban Hj. Kallo, Hj.
Tahang dan H. Dalle yang menjelaskan bahwa ia tidak pernah membubuhkan cap jempol atau
tanda tangan di atas akta jual beli No.304/Kec. Bupon/III/2002, tanggal 27 Maret 2002,
bertempat di kantor Notaris Zirmayanto dan saksi tidak kenal dengan Notaris Zirmayanto, (2)
Dari keterangan Saksi Ahli menerangkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan Dactiloscopy
atas sidik jari yang dimuat di akta jual beli No.304/Kec. Bupon/III/2002, tanggal 27 Maret 2002
dimana telah terbukti cap jempol yang ada pada akta tersebut tidak identik atau palsu.
Notaris/PPAT Zirmayanto menerangkan bahwa penyidik harusnya sebelum memeriksa
dirinya (Notaris/PPAT Zirmayanto) sebagai seorang Notaris/PPAT terlebih dahulu harus
mendapatkan izin dari Majelis Pengawas Daerah. Tanpa ada izin dari MPD dirinya tidak
berkewajiban untuk hadir dalam pemeriksaan sebagai tersangka. Apa yang dikemukakan
Notaris/PPAT Zirmayanto memang benar karena substansi Pasal 66 UUJN itu imperatif
(keharusan) atau kewajiban yang harus dipenuhi oleh peradilan, penyidik, penuntut umum atau
hakim untuk meminta persetujuan terlebih dahulu kepada MPD. Kemudian diperoleh informasi
dari Bripka Ma’rup bahwa apa yang dikatakan oleh Notaris Zirmayanto atau yang dikabarkan
melalui media cetak dan online tidak sepenuhnya benar. Dimana penyidik telah bersurat sampai 4
(empat) kali untuk pemanggilan Notaris baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka, 2 (dua)
kali sehubungan dengan prihal permintaan izin pemanggilan Notaris Zirmayanto sebagai saksi
dan 2 (dua) kali sehubungan dengan prihal pemanggilan Notaris Zirmayanto sebagai tersangka.
Pada saat penyidik mengirim surat permohonan permintaan izin untuk memeriksa Notaris/PPAT
Zirmayanto sebagai saksi penyidik mendapat balasan mengenai persetujuan dari MPD untuk
memeriksa Notaris/PPAT tersebut. Akan tetapi ketika kembali bersurat untuk meminta izin
kepada Majelis Pengawas Daerah untuk memanggil Notaris/PPAT tersebut diperiksa dan
dimintai keterangan sebagai tersangka, penyidik tidak mendapat balasan tentang persetujuan dari
MPD, namun tidak pula mendapat balasan penolakan dari MPD dengan kata lain MPD tidak
menggubris surat yang kami kirimkan. Mengingat keterangan dari tersangka butuhkan dan
penyidik juga tidak ingin melanggar UUJN Pasal 66 yang mengatur pemanggilan dan
pemeriksaan seorang Notaris, maka setelah tujuh hari kerja penyidik kembali mengirim surat
kepada MPD dengan prihal yang sama yaitu permohonan izin untuk memanggil dan memeriksa
Notaris/PPAT Zirmayanto sebagai tersangka dalam pemalsuan surat ini. Namun penyidik
kembali tidak mendapat jawaban dari surat yang telah kirimkan. Setelah lewat dari 14 (empat
belas) hari tidak mendapat balasan, maka penyidik langsung bersurat langsung kepada Notaris
Zirmayanto untuk diperiksa sebagai tersangka. Oleh karena sudah tiga kali panggilan tetap tidak
dijalankan oleh Notaris Zirmayanto maka penyidik melakukan jemput paksa terhadap Notaris
tersebut. Hal itu kami lakukan karena telah memiliki payung hukum untuk memeriksa Notaris
Zirmayanto Sebagai Tersangka berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta dan
Pemanggilan Notaris pada pasal 14, 15 dan 18.
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini menunjukkan kekeliruan Hakim dalam menjatuhkan putusan bebas
dalam perkara tindak pidana Pemalsuan Surat yang melibatkan seorang Notaris/PPAT karena
unsur – unsur dari tindak pidana pemalsuan surat telah terpenuhi dan diperkuat dari dalil – dalil
pertimbangan hakim yang keliru maka tepatlah jika Notaris/PPAT tersebut dinyatakan bersalah
dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dari penelitian ini juga menunjukkan
keseluruhan tindakan atau upaya yang dilakukan oleh penyelidik Polres Palopo dalam
meningkatkan status kasus ini dari penyelidikan ke tahap peyidikan telah sesuai dengan
mekanisme dan prosudur yang telah ditetapkan. Semua tindakan atau upaya hukum yang
dilakukan oleh penyelidik pada saat penerimaan laporan dari korban sampai pada penetapan
status tersangka pada Notaris/PPAT Zirmayanto semua mempunyai alas hukum yang jelas yang
telah diatur dalam KUHP dan KUHAP.
Pernyataan Hakim yang menyebutkan bahwa karena tidak diketahui siapa yang
bertandatangan maka harus ditemukan ada tidaknya maksud dari Notaris membuat akta jual beli
palsu yang mengacu pada unsur kesengajaan sudah benar. Namun letak kekeliruan hakim adalah
karena hakim hanya merujuk atau berpatokan pada satu jenis kesengajaan saja. Seharusnya
sebelum menyimpulkan apakah ada unsur “Kesengajaan” dapat terbukti atau tidak, harus
mempertimbangkan beberapa corak unsur kesengajaan yang ada yaitu kesengajaan dengan
maksud
(Opzet
Als
Oogmerk),
kesengajaan
dengan
sadar
kepastian
(Opzet
Met
Zekerheidsbewutzjin) dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan (Dollus Eventualis atau
Voorwaardelijk Opzet) (Harahap Y, 2012). Corak kesengajaan dengan sadar kemungkinan
(Dollus Eventualis atau Voorwaardelijk Opzet) inilah yang sangat relevan dengan perbuatan
Notaris/PPAT dalam kasus yang penulis angkat. Dimana Notaris sebelum membuat akta jual beli
atas permintaan pihak Bank, bukan dari permintaan pihak penjual maupun pembeli harusnya
Notaris dapat menduga – duga atau mengira – ngira jika akta jual beli tersebut yang dibuatnya
ternyata tidak sesuai dengan keinginan baik pihak penjual maupun pembeli
atau tanpa
sepengetahuan para pihak akan mengakibatkan isi akta yang dibuatnya tersebut memuat
keterangan palsu. Kemudian Notaris juga dapat menduga – duga jika akta tersebut tidak
ditandatangani atau dicap jempol dihadapan saya (Notaris/PPAT) dapat berakibat terjadi
pemalsuan tanda tangan karena dapat ditandatangani atau dibubuhi cap jempol orang lain.
Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruhnya atau sebagian isinya
palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan keadaan sebenarnya. Disamping isinya
dan asalnya surat yang tidak benar dari membuat surat palsu, dapat juga tanda tangannya yang
tidak benar. (Soesilo R, 1988). Dari pengertian tersebut telah jelas Notaris/PPAT tersebut
membuat surat palsu kerena sebagian bahkan hampir seluruhnya akta tersebut memuat
keterangan palsu. Mulai dari bagian awal akta yang menyebutkan para pihak hadir namun dalam
kenyataannya para pihak tidak pernah bertemu dengan Notaris, kemudian pada premise akta isi
surat yang menyatakan diadakan perjanjian jual beli padahal dalam kenyataannya tidak pernah
terjadi adanya jual beli, dan juga pada akhir akta yaitu cap jempol yang tertera sebagai
persetujuan para pihak juga palsu. Jadi sudah jelas bahwa baik isi akta maupun cap jempol dari
akta ini adalah palsu. Kemudian pada kalimat selanjutnya dari unsur ini yang menyebutkan
bahwa dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal. Unsur ini juga telah terbukti karena dengan
terbitnya akta jual beli tersebut sehingga beralihlah hak kepemilikan dari Hj. Kallo kepada H.
Dalle. Unsur dengan maksud untuk memakai atau memakai atau menyuruh orang lain memakai
seolah – olah isinya benar dan tidak palsu, juga telah terpenuhi karena dengan terbitnya Akta Jual
Beli Nomor 304/ Kec. Bupon / III / 2002, tanggal 27 Maret 2002, tetap digunakan seolah – olah
asli dan tidak dipalsu oleh terdakwa untuk dibalik nama dari penjual ke pembeli dan selanjutnya
digunakan sebagai jaminan di bank. Unsur, jikalau pemakaian surat itu mendatangkan kerugian.
Unsur keempat ini juga telah terpenuhi karena Hj. Kallo menderita kerugian akibat akta jual beli
tersebut yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT tersebut.
Untuk lebih menguatkan tentang kekeliruan hakim tersebut berikut akan uraikan beberapa
pertimbangan Majelis Hakim yang terdapat kekeliruan. Pertama, Majelis Hakim telah
mempertimbangkan bahwa dari perbuatan terdakwa tidak ditemukan adanya maksud/kehendak
terdakwa membuat akta jual beli tersebut sehingga menimbulkan kerugian, karena terdakwa
membuat akte jual beli tersebut atas permintaan Bank BNI sebagai bagian dari pelayanan
nasabahnya. Pertimbangan hakim ini tidak benar karena Bank BNI dalam hal ini bukan sebagai
penghadap, baik penjual maupun pembeli dalam akta jual beli. Seharusnya Notaris/PPAT
membuat akta sesuai dari permintaan pihak penjual maupun pembeli, kemudian akta tersebut
dibacakan sehingga dapat diketahui maksud dan akibat dibuatnya akta tersebut. Notaris/PPAT.
Apa yang dilakukan Notaris tersebut juga melanggar Undang – Undang Jabatan Notaris yang
mengharuskan penghadap harus hadir dan akta tersebut harus dibacakan Notaris dihadapan para
pihak sebelum ditandatangani. Kedua, Majelis Hakim dalam putusanya mempertimbangkan pula
bahwa tidak ditemukan mengenai adanya maksud dari terdakwa membuat membuat surat palsu
ataupun memalsukan surat karena terdakwa hanya menjalankan tugas kenotariatan atas
PERMINTAAN PIHAK. Menurut analisis penulis pertimbangan hakim sangatlah tidak sesuai
dengan fakta pada persidangan maupun dilapangan. Permintaan Pihak apa ? dan bagaimana ?.
Sudah sangat jelas bahwa para pihak tidak pernah bertemu dengan Notaris/PPAT Zirmayanto
apalagi mengutarakan maksudnya. Ketiga, Hakim seharusnya tidak hanya memfokuskan untuk
mempertanyakan dari siapa pemilik dari cap jempol karena cap jempol yang palsu tersebut sudah
cukup membuktikan bahwa akta yang dibuat bukan atas persetujuan atau permintaan dari para
pihak jadi telah dapat dikatakan bahwa akta tersebut palsu baik isi maupun cap jempol yang
tertera dan harus ada yang bertanggungjawab atas akta yang palsu tersebut. Kelima, Notaris telah
memberikan keterangan palsu dalam aktanya, contohnya pada awal akta yang menyebutkan
bahwa, Pada Hari ini…, tanggal….,bulan….,tahun…hadir dihadapan saya Notaris…..Padahal
para penghadap sendiri tidak pernah bertemu dengan notaris apalagi sampai membacakan
maupun menjelaskan isi aktanya.
Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh
karena itu syarat – syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata yang
mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subjektif dan ada syarat objektif. Syarat
subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian,
yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum
sedangkan syarat objektif yaitu yang pertama berupa objek tertentu dan substansi perjanjian
(sesuatu yang diperbolehkan) (Miru A, 2007). Syarat perjanjian yang tidak ada atau tidak
terpenuhi dalam akta jual beli tersebut adalah syarat subjektif yaitu Kesepakatan. Dimana baik
penjual dan pembeli tidak pernah ada niat sedikitpun untuk mengadakan jual beli apalagi kata
sepakat. Akta Notaris/PPAT pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang
diberitahukan para pihak kepada Notaris (Anshori G, 2009). Pembatalan suatu akta dapat
dilakukan dengan alasan yang mengacu pada BW, yakni apabila ketentuan tentang syarat objektif
dari syarat sahnya perjanjian yang tidak terpenuhi, maka akta tersebut batal demi hukum, tapi
manakala hukum perdata materiel yang dilanggar, mengenai syarat subjektif kembali kepada
BW, yaitu dapat dibatalkan (Adjie H, 2011).
KESIMPULAN DAN SARAN
Mekanisme prosedur dalam penetapkan seorang Notaris/PPAT sebagai tersangka sama
halnya dengan pelaku tindak pidana lainnya dengan cara melakukan penyelidikan terlebih dahulu
dengan prosedur menerima laporan, mengumpulkan keterangan dan barang bukti. Setalah
ditemukan alat bukti yang cukup kemudian ditetapkanlah sebagai tersangka. Namun dalam tata
cara pemanggilan seorang Notaris/PPAT untuk diperiksa sebagai tersangka, penyidik terlebih
dahulu harus mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah dan apabila dalam 14 (empat
belas) hari tidak ada balasan dari MPD berarti dianggap MPD telah memberikan persetujuannya
Putusan hakim Nomor 303 K/Pid/2012 yang memberikan putusan bebas kepada Notaris/PPAT
adalah keliru, Notaris/PPAT harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena telah
memenuhi unsur-unsur tindak Pidana Pemalsuan Surat. Status Hukum Akta Jual beli Nomor :
304/Kec. Bupon/III/2002 adalah dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat subjektif dalam
perjanjian yaitu kesepakatan. Dalam hal ini antara penjual dan pembeli tidak pernah ada kata
sepakat untuk melakukan jual beli dan telah dibuktikan oleh cap jempol yang tertera pada akta
jual beli tersebut palsu Diharapkan Hakim yang menangani kasus menyangkut Notaris/PPAT
seyogyanya lebih memperhatikan fakta – fakta yang ada dilapangan dan lebih memahami bidang
kenotariatan, kepada pihak korban Hj. Tahang sebaiknya mengajukan upaya gugatan perdata
dengan meminta pembatalan akta jual beli tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adjie, Habib. (2008). Hukum Notaris Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
__________, (2011). Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Bandung: Refika Aditama.
__________, (2011). Majelis Pengawas Notaris. Bandung: Refika Aditama
Anshori, Ghofur. (2009). Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Effendi, Erdianto. (2011). Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Harahap, Yahya. (2012). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar
Grafika
Marpaung, Laden. (2011). Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika
Miru, Ahmadi (2007). Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Moeliatno, (2000). Asas – Asas Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Rieneka Cipta.
Soesilo, R. (1988). Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Bogor: Politeia.
Download