LOMBA KARYA TULIS ILMIAH PRAJURIT/PNS TNI DAN MASYARAKAT UMUM DALAM RANGKA HARI HIDROGRAFI DUNIA 2016 Karya Tulis Ilmiah Peran Nyata dan Penerapan Hidrografi di dalam Konteks Pengembangan Tol-Laut di Indonesia & Poros Maritim Dunia Disusun oleh: Nama: Eddy Prahasta Telp.: 0815-6260942 Email: <[email protected]> Alamat: Perumahan Bukit Permata Blok G7 No. 17 Kel. Cilame, Kec. Ngamprah, 40552 Kab. Bandung Barat 2016 Peran Nyata dan Penerapan Hidrografi di dalam Konteks Pengembangan Tol-Laut di Indonesia & Poros Maritim Dunia Oleh: Eddy Prahasta <[email protected]> 1. Pendahuluan Nenek moyang bangsa Indonesia memang para pelaut. Tetapi sayangnya, telah sekian lama pemanfaatan & pengelolaan sumber-daya alam (SDA) dan sumber-daya manusianya (SDM) tidak sejalan dengan lingkungan & kehidupan laut yang sebenarnya mendominasi wilayah Indonesia. Meskipun demikian, untungnya, belum lama ini muncullah gagasan-gagasan penting yang kemungkinan besar dapat membawa bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang jauh lebih baik. Gagasan-gagasan tersebut adalah “poros maritim dunia” (PMD) dan “tol-laut” dimana (bidang) hidrografi sangat berperan aktif. Oleh sebab itu, dengan adanya gagasan-gagasan yang penting ini beserta implementasinya sebagai program-program pemerintah yang belum lama ini berjalan, diharapkan, sedikit-demi-sedikit, kejayaan yang pernah digenggam olek nenek moyang kita dahulu juga dapat dinikmati kembali oleh generasi yang akan datang. 1.1 Poros Maritim Dunia Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara poros maritim dunia. Potensi ini sangat besar mengingat bahwa Indonesia terdiri dari sekitar 17-ribuan pulau, berada di daerah katulistiwa, terletak di antara dua benua (Asia & Australia), dan dua samudera (Pasifik & Hindia). PMD merupakan sebuah gagasan yang sangat bernuansa geostrategis & geopolitik dan dapat diwujudkan untuk menjamin konektifitas antarpulau, pengembangan industri perkapalan & perikanan, perbaikan transportasi laut dan keamanan maritim. Gagasan inilah yang kemudian menjadi visi Joko Widodo ketika belum lama menjabat sebagai Presiden RI. Dengan visinya ini, beliau mengharapkan, suatu saat, Indonesia bisa menjadi negara yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasiskan pada ekonomi kelautan, pertahanan & keamanan, budaya maritim, dan menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang di sekitar kelautan; mulai dari ekonomi, IPTEK, hankam hingga penataan pembangunan kelautan (Dahuri, 2015). LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 1 25 Untuk menjadi negara PMD, Joko Widodo mengusulkan lima pilar utama: [1] pembangunan kembali budaya maritim Indonesia; [2] komitmen menjaga & mengelola sumber daya-laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan-laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama (kekayaan maritim akan digunakan sebesar-sebesarnya untuk kepentingan rakyat); [3] komitmen untuk mendorong pengembangan infrastruktur & konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim; [4] diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama di bidang kelautan (sumber-sumber konflik di laut seperti halnya pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut perlu dihilangkan); dan [5] indonesia berkewajiban membangun kekuatan petahanan maritim (tidak sekedar diperlukan untuk menjaga kedaulatan & kekayaan maritim, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab dalam menjaga keselamatan pelayaran & keamanan maritim). Selain kelima pilar utama di atas, pemerintahan Joko Widodo pun mengusulkan perlunya pengembangan & pembangunan infrastruktur antar-pulau dan pantai secepatnya. Dengan demikian, maka infrastrukur antar-pulau dan pantainya (di setiap pulau) perlu segera dibangun dan dikembangkan. “Jalan” antar-pulau ini juga perlu benar-benar direalisasikan untuk memperlancar transportasi antar-pulau di Indonesia. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, untuk dapat menjadi negara PMD, maka sistem pelabuhan di Indonesia perlu dimodernisasi sesuai dengan standar internasional sehingga pelayanan & akses di seluruh pelabuhan juga mengakomodasikan prosedurprosedur yang berlaku secara internasional. Sehubungan dengan visi di atas, maka untuk mewujudkan Indonesia sebagai proros maritim dunia, pemerintah telah memiliki program-program utama, yaitu: [1] penegakkan kedaulatan wilayah laut NKRI, [2] revitalisasi sektor-sektor ekonomi kelautan, [3] penguatan dan pengembangan konektivitas maritim, [4] rehabilitasi kerusakan lingkungan dan konservasi biodiversity, dan [5] peningkatan kualitas dan kuantitas SDM yang terkait dengan kelautan (Presidenri, 2015). 1.2 Gagasan Tol-Laut Hampir bersamaan dengan populernya visi Indonesia untuk menjadi negara PMD, di lain pihak, muncullah gagasan mengenai “Tol Laut”. Sebenarnya, “tol-laut” juga merupakan gagasan besar di sektor maritim yang pada awalnya diusung oleh Joko Widodo sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ketika mulai menjabat sebagai Presiden RI, pada tahun 2014, beliau pun menegaskan kembali ide besar tersebut sebagai wujud dari keberpihakannya kepada dunia maritim dan masyarakat kelautan Indonesia. Gagasan ini rupanya sangat sesuai dengan program-program utama pemerintah dan kelima pilar Indonesia sebagai negara PMD. Artinya, tol-laut merupakan salah satu unsur atau bagian penting dari cita-cita Indonesia untuk menjadi negara PMD. Sehubungan dengan pentingnya hal ini, dan juga setelah melakukan berbagai studi dan focus group discussion (FGD) dengan LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 2 25 berbagai pihak yang kompeten, maka akhirnya pemerintah benar-benar mewujudkan gagasan tollaut tersebut ke dalam bentuk program-programnya yang nyata ketika Bappenas memasukkannya ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 (Bappenas, 2015) & (Prihartono, 2015). Oleh karena itu, kesuksesan pengimplementasian gagasan tol-laut beserta program-program nyata yang terkait akan menentukan keberhasilan Indonesia dalam meraih cita-citanya sebagai negara PMD. Berkaitan dengan hal di atas, maka Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengalokasikan dana hingga triliunan rupiah untuk merealisasikan program “Tol Laut”. Dana tersebut telah digelontorkan melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) dan subsidi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2015. Sebagai langkah awal, pemerintah telah mengucurkan dana-dana PMN untuk PT Pelni (Persero) sebesar Rp500 miliar dan untuk PT Djakarta Lloyd (Persero) sebesar Rp350 miliar. Alokasi-alokasi PMN tersebut diperuntukkan bagi pengadaan & revitalisasi kapal-kapal dalam rangka mewujudkan program Tol Laut. Sementara itu, subsidi pemerintah yang telah dikucurkan melalui APBN 2015 adalah senilai Rp1,16 triliun melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub); yang digunakan untuk mensubsidi angkutan pendukung program Tol Laut. Penggunaan subsidi ini adalah untuk mendukung angkutan barang sebesar Rp. 220 miliar, angkutan ternak Rp. 8 miliar, dan angkutan penumpang (khususnya untuk lalu-lintas di Indonesia bagian timur) sebesar Rp. 937 miliar. Selain itu, untuk mendukung kelanjutan program yang sama, pemerintah pun telah mengalokasikan dana APBN 2016 yang diperuntukkan bagi pendukung kelancaran arus pelayaran sebesar Rp. 761 miliar, fasilitas pelabuhan Rp. 2,08 triliun, dan Rp. 4,65 triliun untuk pengadaan kapal-kapal perintis (Fajriah, 2016). 1.3 Hidrografi & Informasi Geospasial di dalam Konteks Tol-Laut Seperti halnya jalan-jalan bebas hambatan di darat, di lain pihak, sebelum jalannya dirancang, diimplementasikan dengan baik & benar, dan kemudian ditumpangi oleh satu atau lebih insfrastruktur di atasnya, maka tol-laut pun (khususnya komponen-komponen alur laut, pelabuhan, berikut regulasi yang terkait dengan lalu-lintas bagi kapal-kapalnya) perlu direncanakan, dirancang, disurvei, dan diimplementasikan, baru kemudian dapat dioperasikan. Oleh karena itu, adalah mutlak diperlukan survei hidrografi untuk menghasilkan informasi geospasial (peta-peta) dasar (IGD) dan atau tematik (IGT) yang menggambarkan situasi di laut dan atau daratan pantai sekitarnya. Informasi spasial ini dapat berupa peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) 1 , peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) 2 , peta laut (nautical chart) 3 , buku Nautik 4 , peta situasi 1 Peta yang dibuat oleh BIG (Badan Informasi Geospasial, atau dulu BAKOSURTANAL) dengan skala 1:500.000. 2 Peta yang dibuat oleh BIG dengan skala 1:50.000. 3 Peta (chart) yang dibuat oleh Dishidros (Dinas Hidro-Oseanografi) TNI-AL (Hydro-Oceanographic Office, Indonesian Navy) dengan variasi skala: 1:4.000.000, 1:1.000.1000, 1:100.000, 1:50.000, 1:25.000, 1:15.000, dan sebagainya. LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 3 25 pelabuhan, dan lain sejenisnya yang uptodate dalam berbagai skala untuk berbagai area di wilayah perairan Indonesia. Keberadaan keseluruhan IGD & IGT di atas tentu saja akan menjamin ketersediaan informasi yang uptodate, lengkap, dan akurat mengenai unsur-unsur: garis pantai, titik-titik kedalaman dan atau garis-garis kontur, arus, jenis dasar laut, alur pelayaran, tempat berlabuh, informasi navigasi (rintangan laut / bahaya navigasi, menara suar, pelampung suar), unsur-unsur perairan (stasiun pasang-surut, batu karang, terumbu, rawa, dan hutan mangrove), unsur-unsur yang terdapat di sekitar pantai (jalan, vegetasi, bangunan, topografi, batas administrasi, dan sungai/badan air), dan lain sejenisnya. Meskipun demikian, seperti telah disebutkan, informasi geospasial yang pada umumnya dituangkan ke dalam bentuk peta dua dimensi ini dihasilkan oleh serangkaian aktivitas survei hidrografi (survey & pemetaan laut) yang telah dilakukan sebelumnya. Oleh sebab itu, karena informasi ini sangat diperlukan bagi proses-proses perencanaan, perancangan, dan pengimplementasian “tol-laut” di Indonesia beserta peletakkan infrastrukturnya, maka peran hidrografi (baik sebagai kelembagaan maupun sebagai bidang keilmuan yang didukung oleh kelembagaan terkait dan kemajuan teknologi yang menyertai peralatan surveinya) di dalam konteks pengembangan “tol laut” sudah tidak diragukan lagi; bahkan bisa dianggap dominan. 1.4 Peran & Penerapan Hidrografi di dalam Konteks Tol-Laut Fakta bahwa Indonesia adalah negara pantai, kepulauan, dan maritim yang berlokasi di sekitar garis katulistiwa telah “memaksanya” untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu hidrografi & maritim beserta keikut-sertaannya di dalam keanggotaan kelembagaan-kelembagaan internasional yang terkait; khususnya IHO & IMO. Konsekuensinya jelas, regulasi-regulasi yang terkait juga perlu diratifikasi, diadopsi, dan kemudian diimplementasikan di Indonesia. Sehubungan dengan pentingnya hal ini, maka kemunculan gagasan mengenai PMD & “tol-laut” telah mempertegas apa saja yang sebenarnya perlu dilakukan dan kemudian dicapai oleh bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan & maritim. Meskipun demikian, pengimplementasian gagasan “tol-laut” ini tentu saja bisa dipandang dari konteks keruangan dimana peran & penerapan hidrografi5 sangat mencolok. 4 Buku yang dibuat oleh Dishidros. Di dalam konteks tol-laut dan aktivitas keseharian yang merupakan aplikasi dari berbagai keilmuan (khususnya yang tidak lepas dari aktivitas pelayaran & navigasi), dan tentunya juga dengan status Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan, maka urusan (peran) bidang, aplikasi, dan kelembagaan hidrografi biasanya juga terkait dengan bidang dan kelembagaan maritim. 5 LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 4 25 2. Metodologi Penelitian Meskipun nenek moyang bangsa Indonesia telah dikenal secara luas sebagai para pelaut, tetapi citacita atau harapan bahwa suatu saat bangsa Indonesia bisa menjadi negara poros maritim dunia (PMD) adalah sebuah gagasan baru. Jika ingin segera terwujud, dengan mempertimbangkan segala kondisi nyata yang ada, tentu saja hal ini merupakan sebuah tugas besar & berat yang memerlukan sumberdaya manusia, biaya, dan waktu yang tidak sedikit. Meskipun demikian, tidak ada yang mustahil jika semuanya telah dipersiapkan dan direncanakan dengan matang dan kemudian dijalankan secara konsisten. Apalagi dengan dukungan, keterlibatan, partisipasi aktif, kerjasama yang harmonis diantara semua komponen bangsa yang ada, dan juga dengan secara cerdas & efisien memanfaatkan segala sumberdaya lingkungan laut yang kita miliki. Untuk menuju ke arah itu tentu saja perlu proses dan pembelajaran yang berkesinambungan & bertahap, bahkan sebagian perlu diuji-coba dan kemudian diimplementasikan terlebih dahulu. Untungnya, pada saat yang hampir bersamaan, muncullah gagasan yang kedua; yaitu mengenai “tol-laut”. Kedua gagasan ini ternyata sangat terkait-erat, gagasan yang kedua merupakan salah satu bagian atau tahapan penting dari gagasan besar yang bertama (PMD). Sebuah keberuntungan! Oleh sebab itu, bangsa Indonesia bisa mengimplementasikan gagasan yang pertama secara bertahap dengan terlebih dahulu mengimplementasikan gagasan yang kedua. Pencapaian gagasan yang pertama juga dapat dievaluasi dari hasil-hasil pengimplementasian gagasan yang kedua. Akibatnya, bahasan penelitian ini didominasi oleh “tol-laut” (gagasan yang kedua). Baik gagasan yang pertama maupun yang kedua tentu saja memiliki konteks keruangan yang kental. Apalagi wilayah perairan negara kita juga merupakan alur laut strategis bagi lalu-lintas pelayaran internasional. Oleh sebab itu, berdasarkan sudut pandang dan fakta tersebut, muncullah disiplin / keilmuan, profesi, regulasi, dan kelembagaan hidrografi sebagai salah satu konteks yang penting. Artinya, hidrografi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam usaha untuk mendukung keberhasilan program pemerintah yang mewujudkan gagasan “tol-laut” yang pada gilirannya juga akan mensukseskan cita-cita untuk menjadi negara PMD. Meskipun demikian, untuk menguraikan dengan baik dan jelas mengenai peran nyata beserta penerapan hidrografi di dalam pengembangan “tol-laut” di Indonesia beserta kaitannya dengan PMD diperlukan pemahaman yang cukup mendalam. Oleh sebab itu, paling tidak, diperlukan sebuah penelitian (yang hasilnya kemudian dituangkan dalam bentuk karya ilmiah) yang melibatkan berbagai literatur yang relevan dan pemikiran stake-holder-nya. Berkaitan dengan hal di atas, maka tulisan ini dituangkan sebagai hasil penelitian yang pada dasarnya menguraikan peran nyata beserta penerapan hidrografi (beserta beberapa aspeknya) di dalam pengembangan “tol-laut” dalam rangka memujudkan Indonesia sebagai negara PMD dalam jangka panjang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif (yang LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 5 25 bersifat) deskriptif (analitik); sebagian pihak menyebutnya sebagai metode deskriptif (penelitian taksonomik). Artinya, data yang diperoleh (seperti halnya hasil pengamatan, wawancara, pemotretan, analisis dokumen / studi literatur, dan catatan lapangan) dan disusun oleh peneliti, tidak kemudian dituangkan dalam bentuk-bentuk angka atau bilangan; tetapi dalam bentuk sebuah deskripsi yang lengkap. Oleh sebab itu, sebagai pengganti, penulis melakukan analisis data (studi literatur) dengan memperkaya informasi, mencari hubungan / kaitan tertentu, dan kemudian membandingkannya satu sama lainnya hingga akhirnya dapat ditemukan pola-pola dasar tertentu yang terdapat di dalam datanya. Dengan metode yang dipilih, maka hasil penelitian ini akan berupa pemaparan atau deskripsi yang disajikan dalam bentuk uraian naratif. Pada dasarnya, pemaparan ini akan menjawab atau mendeskripsikan peran nyata beserta penerapan hidrografi di dalam pengembangan “tol-laut” sebagaimana dinyatakan di dalam tema, sub-tema, atau judul penelitian itu sendiri. Oleh sebab itu, peneliti banyak melakukan aktivitas studi literatur terhadap dokumen-dokumen (referensi) yang relevan dengan objek penelitian dan dengan tahapan sebagai berikut: a) Tahap deskripsi (orientasi). Pada tahap ini, peneliti berusaha untuk memahami sendiri tema & sub-tema yang diberikan, bertanya pada beberapa pihak (stake-holders) yang dianggap lebih memahami konteks permasalahan, dan kemudian mencari literatur / dokumen-dokumen yang relavan. Dengan aktivitas-aktivtas ini, penulis mendapatkan banyak informasi awal dan sumber-daya yang dapat memberikan gambaran kasaran mengenai objekobjek penelitiannya. b) Tahap reduksi. Pada tahap ini, dengan sedikit memilah-milah, menyaring, dan merekduksi informasi awal yang telah didapat dan dipelajarinya, penulis mendapatkan beberapa fokus potensial yang bisa dijadikan objek penelitian. c) Tahap seleksi: Pada tahap ini, penulis memilih fokus, merumuskan masalah, menentukan judul penelitian, menguraikan masalahnya hingga lebih rinci, menganalisisnya satu-per-satu, dan kemudian menuliskannya sesuai dengan tema, sub-tema, dan judul penelitian. LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 6 25 3. Tol-Laut di dalam Konteks Keruangan & Hidrografi Fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan & maritim telah “memaksanya” untuk mengaplikasikan ilmu & bidang hidrografi beserta keanggotaannya di beberapa lembaga internasional; khususnya IHO & IMO. Konsekuensinya, regulasi-regulasi yang terkait perlu diimplementasikan di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, maka kemunculan gagasan mengenai PMD & “tol-laut” telah mempertegas apa saja yang sebenarnya perlu dilakukan dan kemudian dicapai oleh Indonesia sebagai negara kepulauan & maritim. Meskipun demikian, gagasan & pengimplementasiannya, khususnya mengenai “tol-laut”, tentu saja bisa dipandang dari konteks keruangan (geospasial) dimana peran & penerapan hidrografi sangat mencolok. 3.1 Konsep Tol-Laut Di dalam pengertian umum, “jalan tol” atau jalan bebas hambatan adalah suatu jalan yang dikembangkan secara khusus bagi kendaraan-kendaraan yang bersumbu lebih dari dua (mobil, bus, truk, dan lain sejenisnya) dan bertujuan untuk mempersingkat jarak & waktu tempuh dari satu tempat ke tempat-tempat lainnya. Sebenarnya, gagasan dasar mengenai “tol laut”ini tidak berbeda jauh dengan ide mengenai jalan bebas hambatan di darat. Gagasan ini berlatar-belakang pada kondisi wilayah Indonesia yang lebih dari separuhnya yang terdiri dari wilayah perairan (laut) yang selama ini kurang mendapatkan perhatian yang memadai. Padahal, wilayah perairan merupakan sarana dasar & mutlak bagi transportasi di laut. Oleh sebab itu, Indonesia memerlukan sebuah terobosan baru dengan memanfaatkan potensi wilayahnya. Dengan gagasan ini, maka secara konseptual, pengembangan “tol-laut” akan dilakukan melalui elaborasi beberapa aspek penting: [1] perencanaan trayek / jalur angkutan laut, [2] subsidi angkutan laut, [3] revitalisasi pelayaran rakyat, dan [4] pengembangan industri berbasis komoditi wilayah (Bappenas, 2015). Sebenarnya, penekanan realisasi gagasan “tol-laut” adalah untuk menghubungkan jalur pelayaran rutin dari wilayah timur ke wilayah barat Indonesia (dan sebaliknya) dengan biaya-biaya logistik yang minim (efisien). Dengan “tol-laut”, kapal-kapal (baik yang berukuran kecil maupun yang besar) diharapkan dapat terus berlayar dengan mudah, cepat, efisien, dan aman hingga arus perpindahan barang, jasa, dan manusia dari dan ke seluruh wilayah di Indonesia dapat terlaksana secara efektif & efisien. Di samping itu, juga diharapkan bahwa pengimplementasian gagasan “tollaut” akan berdampak pada peningkatan akses niaga dari negara-negara Pasifik bagian selatan ke negara-negara Asia bagian timur. Sejalan dengan gagasan tersebut, serikat pekerja BUMN6 juga telah mempresentasikan konsep “tollaut” sebagai pembangunan sistem supply chain yang terintegrasi dari suatu kapal ke kapal-kapal lain. Dengan konsep ini, maka sistem supply chain logistik nasional dapat bekerja dengan efisien. 6 Dalam hal ini diwakili oleh Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu; Arif Poyuono. LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 7 25 Artinya, ketika suatu kapal besar datang dan melakukan pendistribusian logistik, maka kapal-kapal kecil yang berada di sekitarnya dapat membantu menyalurkannya ke daerah-daerah terpencil yang tidak bisa dimasuki oleh kapal-kapal besar. Dengan demikian, kapal-kapal ini akan “salingsambut”7 logistik secara proporsional dan menyebar dari Sabang sampai Merauke. Oleh sebab itu, dengan pengimplementasian gagasan ini, sebagai contoh, maka kapal besar bisa berlabuh di Makassar, dan untuk mencapai pelabuhan di Manado bisa digunakan kapal-kapal yang lebih kecil. Setelah itu, sebagai balasan, kapal-kapal kecil itu akan kembali lagi dari Manado dengan membawa barang niaga untuk didistribusikan lebih lanjut (Yovanda, 2015). Berkaitan dengan hal ini, maka menurut ketua serikat pekerja BUMN yang telah disebutkan, beberapa negara di dunia sebenarnya sudah cukup lama menerapkan gagasan strategis ini meskipun mereka sebenarnya sama sekali tidak memiliki wilayah perairan laut yang luas seperti halnya Indonesia. Singapura adalah salah satu contoh negara yang dimaksud. Dengan menerapkan gagasan “tol laut”, mereka bisa membuat jalur-jalur pelayaran yang sangat efisien bagi kapal-kapal dagangnya dari Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan ke Singapura terlebih dahulu sebelum akhirnya ke Asia untuk urusan logistik dan barang-barangnya8. 3.2 Skema / Artistektur Tol-Laut & Transportasi Penyeberangan Untuk memudahkan komunikasi & pemahaman bersama terhadap konsep atau gagasan mengenai “tol-laut” beserta implementasinya, maka dibuatlah skema atau “arsitekturnya”. Sesuai dengan skema ini, maka pada program “tol-laut” ini akan dibangun 24 pelabuhan strategis di Indonesia; termasuk pengerjaan pengerukkan pengembangan terminal kontainer, beserta pembebasan lahannya. Selain itu, untuk mendukung gagasan “tol-laut” dengan skema yang sama, juga akan dikembangkan program-program “short sea shipping”, fasilitas kargo umum & bulk, pelabuhan non-komersial, pelabuhan komersial lainnya, transportasi multi-moda untuk mencapai pelabuhan, revitalisasi industri galangan kapal, dan lain sejenisnya. Ternyata, pengembangan “tol-laut” tidak dapat dilakukan begitu saja. Program ini pun memerlukan program pendukung. Oleh sebab itu, sebagai komplemen terhadap program “tol-laut”, pemerintah juga mengembangkan program transportasi penyeberangan yang telah dituangkan di dalam dokumen “Arah Kebijakan Pengembangan Transportasi Penyeberangan 2015-2019”. Pada program pendukung tersebut, terdapat 3 koridor penyeberangan yang mencakup: [1] sabuk utara (yang berisi lintas Tj. Pinang – Sintete yang belum terhubung dan akan diselesaikan pada periode 2017—2019); 7 Idealnya, “saling-sambut” logistik nasional ini dilakukan oleh kapal-kapal nasional atau pribumi. Meskipun demikian, nampaknya, di dalam urusan ini juga dimungkinkan bagi pelaku-pelaku dari pihak asing. Di dalam pustaka (PR, 2016) dijelaskan bahwa Jepang & Tiongkok berminat dalam investasi baru di sektor transportasi laut antar-pulau (“Angkot Laut”) untuk angkutan logistik. Rencana investasi tersebut sudah dalam tahap uji kelayakan. 8 Lihat juga pustaka (Yovanda, 2015). LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 8 25 [2] sabuk tengah (yang berisi lintas Wahai – Fakfak yang belum terhubung dan akan ditingkatkan pelayanan pelabuhan & kapal-kapalnya); dan [3] sabuk selatan (lintasnya telah terhubung tahun 2013 tetapi akan ditingkatkan pelayanan pelabuhan & kapal-kapalnya) (Bappenas, 2014). Selain itu, pada program ini juga akan dibangun 65 pelabuhan penyeberangan beserta 50 unit kapal penyeberangan. Gambar 1: Skema / Arsitektur Tol-Laut [Sumber (Bappenas, 2014)] Gambar 2: Skema / Arsitektur Transportasi Penyeberangan [Sumber (Bappenas, 2014)] LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 9 25 3.3 Konteks Keruangan Tol-Laut Dari pemaparan di atas nampak jelas bahwa di dalam gagasan “tol-laut” terkandung aspek-aspek penting yang berupa konektivitas (melalui media laut), logistik/sumber-daya yang salingdipertukarkan, beserta unsur-unsur (infrastruktur) pendukungnya (terutama kapal-kapal besar & kecil beserta pelabuhan-pelabuhannya). Ini semua merupakan tantangan yang perlu segera ditangani dan dibuatkan solusinya dalam beberapa tahun ke depan. Aspek logistik / sumber-daya yang bisa saling dipertukarkan (sistem supply chain logistik nasional) erat kaitannya dengan keberadaan informasi atau sistem informasi yang terpadu mengenai potensipotensi daerah masing-masing. Dengan demikian, untuk mendukung keberhasilan program “tollaut”, juga perlu dikembangkan sistem informasi logistik, komoditi, atau sumber-daya di setiap daerah yang terkoneksi dan terintegrasi dengan sistem logistik nasional. Dengan adanya sistem informasi seperti ini, maka baik pemerintah pusat maupun daerah (dan juga masyarakat) tidak akan menemui banyak kendala dalam mengelola & mengatur “lalu-lintas” pertukaran sumberdaya ini secara efisien dengan menggunakan berbagai jenis kapalnya yang berlayar di atas “tol-laut”; biaya angkutan logistik menjadi minimalis, aktivitas-aktivitas niaga makin berkembang, dan tingkat ekonomi masyarakat makin tinggi & sejahtera. Aspek-aspek konektivitas “tol-laut” beserta pengembangan infrastrukturnya (terutama pelabuhanpelabuhan yang diperlukan) bisa memiliki beberapa konteks yang bergantung pada sudut pandangnya. Salah satu konteks yang penting adalah yang berkaitan dengan aspek keruangan (spasial) dan menyangkut fakta penting bahwa wilayah perairan NKRI merupakan alur laut strategis bagi lalu lintas pelayaran internasional; sebagai “Sea Lane of Communications (SLOCs) / Sea Lane of Oil Trade (SLOT)” 9 yang memberikan konsekuensi logis bagi Indonesia untuk memberikan jaminan keselamatan dan keamanan pelayaran di Perairan Indonesia, baik di perairan laut maupun alur-alur pelayaran lainnya. Oleh sebab itu, berdasarkan sudut pandang dan fakta penting ini, maka gagasan dan pengimplementasian “tol-laut” akan berkaitan erat dengan: a) Bidang hidrografi. b) Kelembagaan hidrografi. c) Kelembagaan maritim. d) Implikasi-implikasinya. 3.3.1 Hidrografi Hidrografi, yang oleh beberapa pihak juga dikenal sebagai geodesi kelautan, adalah ilmu terapan yang berurusan dengan pengukuran dan pendeskripsian unsur-unsur yang terdapat di area laut dan pantai dengan tujuan utama untuk mendukung navigasi & memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang 9 Lihat pustaka (Dishidros, 2016) & (Sudrajat, 2003). LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 10 25 terkait dengan tujuan-tujuan dan aktivitas di laut (marine) yang antara lain termasuk aktivitas lepas pantai, penelitian, dan layanan-layanan prediksi & proteksi lingkungan (IHO, 2005). Sejalan dengan pengertian ini, maka secara umum, informasi yang dihasilkan oleh (bidang) hidrografi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan: [1] navigasi & keselamatan pelayaran; [2] penetapan batas wilayah dan atau daerah di laut; dan [3] studi dinamika pesisir dan pengelolaan sumberdaya laut (Djunarjah E. Dkk, 2005). Sementara itu, pengguna produk-produk hidrografi terdiri dari berbagai sektor, terutama transportasi maritim & navigasi, pengelolaan kawasan pesisir, eksplorasi & eksploitasi sumber-daya laut, pengelolaan lingkungan laut, rekayasa lepas pantai, hukum laut & zona ekonomi eksklusif, dan aplikasi-aplikasi survei di pesisir dan laut lainnya. Kenyataan ini jelas menunjukkan bahwa ilmu, bidang, dan aplikasi hidrografi sudah mencakup pemenuhan kebutuhan bagi pengimplementasian gagasan “tol-laut” di dalam konteks keruangan. 3.3.2 Kelembagaan Hidrografi Sedemikian penting keilmuan beserta aplikasi-aplikasi hidrografi hingga kelembagaannya pun diatur secara internasional. Dalam hal ini, IHO (International Hydrographic Organization) merupakan lembaga yang dimaksud. IHO adalah lembaga internasional yang berwenang untuk mengelola dan menyelenggarakan penerbitan berbagai publikasi terkait navigasi. Lembaga yang berkedudukan di kota Monako ini dikelola oleh para pakar hidrografi dunia. Dalam menjalankan tugasnya, IHO menunjuk dan membentuk kepanitian khusus dalam bentuk working group. Meskipun demikian, secara teknis, kewenangan IHO dilaksanakan oleh IHB (International Hydrographic Bureau). IHO beranggotakan negara-negara yang berkepentingan dengan navigasi laut & keselamatan pelayaran. Oleh sebab itu, di setiap negara anggota IHO ditunjuk sebuah kantor hidrografi nasional yang diberi kewenangan sejenis. Dengan demikian, semua publikasi internasional yang dikeluarkan oleh IHO juga akan diratifikasi oleh kantor hidrografi nasional negara yang bersangkutan. Di Indonesia, kantor hidrografi yang dimaksud adalah Dinas Hidro-oseanografi (Dishidros) TNI-AL; ditetapkan berdasarkan Keppres 164 tahun 1960 dan Keppres 288 tahun 1967. Lembaga hidrografi nasional ini merupakan badan resmi yang berwenang dalam menerbitkan, merevisi, dan mengupdate peta-peta laut berikut ketentuan teknisnya, standar mutu penyelenggaraan survei hidrografi, akreditasi kualifikasi hidrografer, penerbitan buku nautika (daftar pasut, berita pelaut, daftar pelabuhan, daftarsuar, daftar rambu, dan almanak nautika), aturan pelayaran, dan lain sejenisnya yang berkaitan dengan hidrografi, navigasi, survei pemetaan laut, dan pelayaran10. 10 Ibid. LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 11 25 3.3.3 Kelembagaan Maritim Selain terkait dengan konteks hidrografi beserta kelembagaannya, PMD & “tol-laut” tentu saja juga terkait dengan kelembagaan maritim dunia atau IMO (International Maritime Organizational) yang bermaskas di Inggris. Salah satu dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini dikhususkan untuk menangani masalah-masalah kemaritiman; terutama mengenai pelayaran internasional. Dengan demikian, tugas IMO antara lain adalah menetapkan standar internasional untuk keselamatan, keamanan, dan perlindungan lingkungan bagi industri pelayaran internasional hingga berperan dalam menciptakan kerangka regulasi bagi industri pelayaran secara adil dan efektif. Sebagai negara anggota IMO sejak 18 Januari 1961, Indonesia masih menjadi anggota Dewan dan telah meratifikasi 19 konvensi IMO terkait aturan keselamatan pelayaran dan perlindungan laut. Sebagai anggota IMO, Indonesia juga memiliki kewajiban yang antara lain adalah: [1] sebagai coastal state: menyediakan rambu-rambu navigasi pelayaran, memberikan tanda bahaya bagi keselamatan pelayaran, memberikan pelayanan hidrografi & sistem pelaporan kapal, pencegahan pencemaran, dan lan sejenisnya; [2] sebagai port state: melakukan pengawasan terhadap kapalkapal asing yang masuk pelabuhan, menyediakan fasilitas penampungan limbah, dan menyampaikan laporan; [3] sebagai flag state: menerbitkan sertifikat, memberikan persetujuan, melaksanakan survei, memonitor dan mengaudit organisasi yang diberi limpahan wewenang, melaksanakan investigasi, dan lain sejenisnya. Pada prakteknya, IMO dan IHO sering bekerja-sama dan saling melengkapi. Sebagai misal adalah dalam pekerjaan survei hidrografi, pemasangan rambu-rambu bahaya navigasi, hingga pada pengembangan ECDIS (electronic char display & information system); IHO membuat standar mengenai isi (content) & tampilan (display) peta elektronik beserta format pertukaran data dijitalnya, sementara IMO membuat standard mengenai kinerja ECDIS-nya untuk keselamatan pelayaran. Selain itu, di lain pihak, sebagai flag state, Indonesia juga perlu melibatkan beberapa lembaga nasional dalam pengimplementasian instrumen IMO. Lembaga-lembaga tersebut adalah Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kominfo, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bakamla (Badan Keamanan Laut), Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Basarnas, Dishidros TNI-AL, dan institusi / stakeholder lainnya yang terkait. 3.4 Implikasi-Implikasinya Sebagai negara maritim & kepulauan dan akibat dari terbentuknya kelembagaan-kelembagaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hidrografi, dan kemaritim dunia beserta keanggotaan di dalamnya, di dalam konteks keruangan “tol-laut”, maka terdapat beberapa implikasinya terhadap Indonesia yang berkaitan erat dengan hidrografi & kemaritiman beserta aplikasi & teknologinya; di LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 12 25 luar survei dan pemetaan beserta penyediaan IGD & IGT kehidrografian itu sendiri. Di antara implikasi tersebut adalah: a) Batas laut perlu ditetapkan oleh setiap negara pantai untuk menjamin kepastian hukum batas-batas lautnya, baik dalam konteks internasional maupun nasional. Aktivitas penetapan batas laut ini merupakan implementasi dari konvensi hukum laut PBB atau UNCLOS yang telah disepakati sejak tahun 1982 dan mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994. Setelah meratifikasinya dengan keluarnya UU No. 17 tahun 1985, Indonesia bekewajiban untuk secara konsisten melaksanakan ketentuan yang tercantum di dalamnya. Oleh sebab itu, semua produk perundang-undangan nasional tidak boleh bertentangan dengan konvensi ini, termasuk yang berkaitan dengan penetapan batas laut sebagai bagian penting dalam penegakkan hukum laut internasional. Sementara itu, pada konteks nasional, penetapan batas (laut) daerah baru menjadi salah satu topik yang penting setelah keluarnya UU No. 22 tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah”. b) Pelabuhan, pada umumnya, merupakan titik awal sekaligus lokasi tujuan pelayaran atau navigasi. Ia menjadi nodes di dalam sebuah jaringan transportasi. Oleh sebab itu, keberadaan pelabuhan adalah mutlak di dalam konsep “tol-laut”. Sehubungan dengan hal ini, sudah banyak regulasi IHO, IMO, dan nasional yang berkenaan dengan pelabuhan berikut pengaturannya (di antaranya adalah PP No. 61 tahun 2009 tentang “Pelabuhan”, Peraturan Menteri Perhubungan RI No. PM51 tahun 2015 tentang “Penyelenggaraan Pelabuhan Laut”, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 53 tahun 2002 tentang “Tatanan Pelabuhan Nasional”, dan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 21 tahun 2007 tentang “Sistem dan Prosedur Pelayanan Kapal, Barang, dan Penumpang pada Pelabuhan Laut”). c) Alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) merupakan rute pelayaran & penerbangan bagi kapal dan pesawat udara asing di wilayah perairan Indonesia. Secara formal, keberadaan ALKI terkait dengan peraturan/ketentuan: [1] UU No. 17 tahun 1985 tentang “Pengesahan (ratifikasi) konvensi PBB mengenai hukum laut (UNCLOS 1982)”; [2] PP No. 37 tahun 2002 tentang “Hak & Kewajiban Kapal & Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan”; [3] PP No. 5 tahun 2010 tentang “Kenavigasian”; [4] Peraturan Menteri Perhubungan No. PM68 tahun 2011 tentang “Alur Pelayaran di Laut”. d) Alur pelayaran sangat diperlukan bagi kapal-kapal yang sedang berlalu-lintas di laut. Oleh sebab itu, setiap kapal wajib berlayar di alur pelayaran yang telah ditentukan sehingga penataan & pengaturan ruang mutlak diperlukan; sekaligus mengantisipasi LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 13 25 potensi kecelakaan kapal seperti halnya tabrakan. Ketentuan mengenai alur pelayaran diatur di dalam PP No. 5 tahun 2010 tentang Kenavigasian. Sesuai dengan PP tersebut, alur pelayaran terbagi menjadi dua; [1] alur pelayaran laut (yang terdiri dari alur pelayaran umum & perlintasan, dan alur pelayaran masuk pelabuhan); dan [2] alur pelayaran sungai & danau (yang terdiri dari alur pelayaran sungai dan alur pelayaran danau). e) Traffic separation scheme (TSS) adalah suatu tipe aturan lalu-lintas dimana navigasi kapalnya diatur secara ketat (di area yang lalu-lintasnya relatif padat). Secara praktis, di area yang bersangkutan akan dibuatkan jalur-jalur lintasan kapal untuk mencegah terjadinya tabrakan. Tipe aturan ini telah diformalkan pada “Konvensi Regulasi Internasional dalam Pencegahan Tabrakan di Laut” tahun 1972 (Convention of the International Regulations for the Preventing of Collisions at Sea; COLREGs’72) dan mulai berlaku sejak 15 Juli 1977. Selain diadopsi oleh IMO, regulasi ini juga diatur atau setidaknya disebutkan di dalam beberapa peraturan nasional: [1] PP No. 5 tahun 2010 tentang “Kenavigasian”, [2] Peraturan Menteri Perhubungan No. PM68 tahun 2011 tentang “Alur Pelayaran di Laut”; [3] UU No. 17 tahun 2008 tentang “Pelayaran”, dan lain sejenisnya. f) Di dalam konteks navigasi atau keamanan pelayaran, juga dikenal Vessel Traffic Services yang pada umumnya terdapat di sekitar pelabuhan utama dan TSS 11 . VTS adalah sistem yang digunakan untuk mengatur lalu-lintas pelayaran kapal di perairan yang padat seperti halnya pelabuhan, alur perairan pedalaman, dan selat. Sistem ini diterapkan sesuai dengan konvensi SOLAS12 chapter V/12 dan IMO resolution A.857 (20). Sementara payung hukum nasionalnya di antaranya adalah [1] UU RI No, 17 tahun 2008 tentang “Pelayaran”; [2] PP No, 5 tahun 2010 tentang “Kenavigasian”; [3] Peraturan Menteri Perhubungan No. PM68 tahun 2011 tentang “Alur Pelayaran di Laut”; dan [4] Peraturan Menteri Perhubungan No. PM26 tahun 2011 tentang “Telekomunikasi Pelayaran”. g) Automatic Identification System (AIS) adalah suatu alat atau sistem pelacakan otomatis yang digunakan pada kapal dan sistem pelayanan lalu-lintas kapal (VTS) untuk mengidentifikasi, mendapatkan informasi mengenai kapal secara elektronik, dan melaksanakan pertukaran data baik dengan kapal-kapal lain yang berada di sekitarnya maupun dengan stasiun pantai yang terdekat. Tujuan utama penggunaan AIS adalah 11 Keberadaan VTS, selain di pelabuhan, terkadang juga disebabkan oleh keberadaan TSS di suatu area. Hal ini disebabkan karena di area yang bersangkutan terdapat lalu-lintas kapal yang pada dan oleh sebab itu juga perlu bantu oleh kehadiran VTS. 12 Safety of life at sea (konvensi mengenai keselamatan jiwa di laut). LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 14 25 agar kapal-kapal dapat terawasi di layar monitor (ECDIS) dan masing-masing dapat bernavigasi (berlayar) dengan aman (tanpa bertabrakan). Regulasi mengenai AIS, selain sesuai dengan konvensi regulasi internasional mengenai pencegahan tabrakan kapal-kapal di laut (COLREGs), telah tercantum di dalam “Regulation 19 of SOLAS chapter V” dari IMO yang menentukan perlengkapan navigasi yang wajib dibawa oleh setiap kapal yang bernavigasi. Sementara di lingkup nasional, regulasi ini setidaknya tersebut di dalam: [1] PP No. 5 tahun 2010 tentang “Kenavigasian”; [2] Peraturan Menteri Perhubungan No. PM26 tahun 2011 tentang “Telekomunikasi Pelayaran”; dan lain sebagainya. 4. Pembahasan Ternyata, di dalam gagasan “tol-laut” beserta konteks logisnya, terdapat banyak subjek yang perlu dibahas lebih lanjut dan kemudian diimplementasikan secara bertahap. Meskipun demikian, agar lebih fokus, pembahasan ini dibatasi pada subjek-subjek mengenai survei hidrografi, penentuan batas-batas laut, pulau-pulau kecil terluar, kawsan pesisir, pelabuhan, ALKI, alur pelayaran, TSS, VTS, AIS, dan lembaga-lembaga terkait seperti halnya Dishidros TNI-AL. 4.1 Survei Hidrografi & Batimetri Survei hidrografi, secara umum, merupakan serangkaian aktivitas pengamatan atau pengukuran yang dilakukan di wilayah perairan untuk memperoleh gambaran 3 dimensi (kedalaman) mengenai unsur-unsur spasial permukaan dasar lautnya (termasuk sungai, danau, dan lain sejenisnya). Pada prakteknya, survei ini bisa melibatkan sejumlah aktivitas yang mencakup: [1] survei titik-titik kontrol geodesi; [2] pengamatan pasang-surut; [3] survei investigasi 13 ; [4] penentuan posisi 3 dimensi / batimetri (berdasarkan datum/referensi vertikal dan horizontal tertentu); [5] pengukuran arus; [6] pengambilan sampel sedimen (sub-bottom profiler); dan [7] pengukuran detil situasi di sekitar garis pantainya. Meskipun demikian, dalam bentuk yang lebih sederhana, survei ini bisa berupa survei batimetri; yang hanya berfokus pada informasi kedalaman atau profil permukaan dasar lautnya. Oleh sebab itu, terlepas dari pada kebutuhan orde survei 14 & akurasi yang disyaratkan, subjek-subjek yang terkait di dalam konteks “tol-laut” memerlukan (survei) hidrografi. 4.2 Penentuan Batas-Batas Laut Menyangkut visi Indonesia sebagai negara PMD dan aspek konektivitas antar-pulau (pelabuhan) yang efisien di dalam gagasan “tol-laut”, tentu saja disyaratkan bahwa konektivitas tersebut beserta 13 Survei awal yang bertujuan untuk menemukan objek-objek logam (yang berada di dekat atau pada permukaan dasar laut) dan memetakan unsur-unsur yang dapat membahayakan pelayaran seperti halnya kedangkalan, bangkai kapal, jalur kabel / pipa (termasuk survei deteksi logam dengan magnetometer), dan lain sejenisnya. 14 Tabel yang memuat informasi mengenai orde-orde di dalam survei hidrografi beserta akurasinya dapat dilihat pada dokumen publikasi IHO dan SNI; lihat pustaka (SNI, 2010). LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 15 25 alur pelayaran & alur laut kepulauannya jelas, aman, dan legal. Artinya, penentuan alur-alur ini juga sudah memperhitungkan baik batas-batas laut / wilayah perairan milik Indonesia sendiri maupun negara-negara yang berada sekitarnya sebagai implementasi konvensi hukum laut internasional PBB; United Nation Convention of the Law of the Sea (UNCLOS 82’). Selain itu, di lain pihak, sebagai negara pantai, Indonesia juga memang berkewajiban dalam menyajikan batasbatas wilayah perairannya di dalam peta laut atau daftar koordinat geografis titik-titik dasar terluar di wilayahnya (basepoints). Berdasarkan titik-titik inilah kemudian ditarik garis-garis pangkal (baselines) yang digunakan untuk mengukur batas-batas wilayah lautnya (maritime zones under UNCLOS) sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam UNCLOS 82’; [1] perairan pedalaman atau internal waters (pasal 8), [2] laut teritorial atau territorial sea (pasal 3 – 16), [3] zona tambahan atau contiguous zone (pasal 33), [4] zona ekonomi eksklusiv atau exclusive economic zone (pasal 55 – 75), [5] landas kontinen atau continental shelf (pasal 76 – 85), dan [6] laut lepas atau high sea (pasal 86 – 120)15. Demikian peliknya titik-titik dasar dan batas-batas laut ini karena banyak aspek penting & menentukan yang terdapat di dalamnya; politik, diplomasi, kedaulatan negara, luas wilayah, geostrategi, pengelolaan sumber-daya-alam laut, penegakkan hukum (terutama terhadap pelaku illegal fishing), dan akhirnya urusan ekonomi (aset negara). Oleh sebab itu, tidak sedikit persoalan yang terkait di dalamnya hingga perundingan antar-dua negara yang bertetangga (yang bisa berulang & melibatkan pakar dari negara masing-masing) mengenai titik-titik dasar ini cukup melelahkan dan bisa memerlukan waktu hingga puluhan tahun; usulan mengenai lokasi-lokasi titik-titik ini oleh suatu negara belum tentu disetujui oleh tetangganya (hingga belum bisa didaftarkan di sekertariat PBB). Sebagai ilustrasi, penyelesaian (sengketa) perbatasan Indonesia dengan Vietnam saja baru selesai dalam waktu 30 tahun (Tempo, 2010). Sementara dengan Singapura, beberapa titik dasar masih dalam perundingan. Dengan demikian, bisa dibayangkan kondisi Indonesia yang berbatasan dengan 10 negara tetangga (belum lagi mengenai persoalan sejenis dalam penentuan batas-batas laut daerah/nasional dalam konteks otonomi & kewenangan daerah yang terkait dengan UU No. 22 tahun 1999); masih banyak pekerjaan rumah yang tersisa. Meskipun demikian, dengan segala kegentingan yang terdapat di dalam persoalan batas-batas laut ini, nampaknya tidak semua pihak yang menyadari bahwa peran & penerapan hidrografi sangat menentukan. Sebab, untuk menentukan titik-titik dasar, pemerintah 16 (yang biasanya menunjuk BIG dan atau Dishidros TNI-AL sebagai pelaku utama) terlebih dahulu melakukan survei awal terhadap titik-titik potensial, menentukan datum vertikal & horrizontal, melakukan survei hidrografi, dan kemudian menganalisis titik-titik potensial tersebut yang benar-benar akan diusulkan sebagai titik-titik dasarnya. 15 16 Lihat pustaka (Djunarjah E. Dkk, 2005) & (Ravin M., 2005). UU RI No. 43 tahun 2008 tentang “Wilayah Negara”; khususnya pasal 10. LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 16 25 4.3 Pulau-Pulau Kecil Terluar & Pulau-Pulau Terluar Berkaitan dengan subjek batas-batas wilayah & laut, pembinaan teritorial, pengelolaan wilayah pesisir, kasus kehilangan pulau-pulau “Sipadan” & “Ligitan”, dan tentu saja konteks PMD & program “tol-laut”, muncullah subjek penting lain mengenai pulau-pulau kecil terluar dan/atau pulau-pulau yang terluar. Demikian pentingnya subjek ini hingga pemerintah, melalui lembagalembaga terkait, telah mengeluarkan beberapa UU/peraturan; di antaranya adalah UU No.4/PRP/1960 tentang “Perairan Indonesia”, Peraturan Presiden RI No. 78 tahun 2005 tentang “Pengelolaan Pulau-Pulau Terkecil Terluar”, UU No. 27 tahun 2007 tentang “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”, PP No. 62 tahun 2010 tentang “Pemanfaatan Pulau-Pulau Terkecil Terluar”, dan Peraturan Presiden RI No. 34 tahun 2012 tentang “Tunjangan Khusus Wilayah Pulau-Pulau Kecil Terluar dan/atau Wilayah Perbatasan..”. Gambar 3: 12 Pulau Kecil Terluar Indonesia [Sumber (Strahan, 2010)] Menurut PP No. 62 tahun 2010, pulau terkecil adalah pulau yang memiliki luas lebih kecil atau sama dengan 2 ribu kilometer persegi (beserta kesatuan ekosistemnya). Sedangkan pulau-pulau kecil terluar adalah pulau-pulau kecil yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum laut internasional & nasional. Setelah teridentifikasi, untuk kemudian dianalisis & ditelitinya lebih jauh lagi mengenai keberadaan, potensi, fungsi dan kemungkinan pengelolaannya, maka baik pada atau di sekitar pulau-pulau kecil terluar tersebut perlu dilakukan survei hidrografi. Dengan demikian, bisa dibayangkan bagaimana peran & penerapan hidrografi di Indonesia pada saat ini setelah teridentifikasinya 92 pulau terluar17. 17 Daftar nama-nama ke-92 pulau terluar di Indonesia berikut nama-nama negara yang berbatasan dengannya sudah banyak tersedia, diantaranya adalah di “https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pulau_terluar_Indonesia”. LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 17 25 4.4 Kawasan Pesisir Untuk mendukung & mensukseskan program “tol-laut”, khususnya mengenai “saling-sambut” komoditi antar-pulau/pelabuhan, setiap kawasan pesisir perlu dipersiapkan dan dikelola sedemikian rupa hingga kehidupan masyarakatnya sejahtera dan memiliki komoditi unggulan yang selalu siap untuk dipertukarkan melalui infrastruktur “tol-laut”. Persiapan & pengelolaan kawasan pesisir ini tentu saja perlu dukungan berbagai aspek. Salah satu aspek yang dimaksud adalah pengimplementasian aktivitas proteksi lingkungan laut sebagaimana juga telah disebutkan di dalam definisi hidrografi itu sendiri. Selain itu, hasil survei hidrografi juga bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan studi-studi meengenai dinamika pesisir & pengelolaan sumber-daya lautnya. Sedemikian pentingnya persoalan mengenai kawasan pesisir 18 ini hingga pemerintah telah mengeluarkan beberapa UU/peraturan yang berkaitan dengannya; di antaranya adalah [1] UU No.27 tahun 2007 tentang “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”, [2] Peraturan Menteri Kelautan & Perikanan No. Per.17/MEN/ 2008 tentang “Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”, [3] Peraturan Menteri Kelautan & Perikanan No. Per.17/PERMENKP/2013 tentang “Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil”, [4] UU No.1 tahun 2014 tentang “Perubahan atas UU No.27 tahun 2007”, [5] Peraturan Presiden No.122 tahun 2012 tentang “Reklamasi di Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil”, [6] PP No.64 tahun 2010 tentang “Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil”, [7] Peraturan Presiden No.73 tahun 2015 tentang “Pelaksanaan Koordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil Tingkat Naional”, dan lain sejenisnya. 4.5 Pelabuhan Menurut dokumen “Pengembangan Tol Laut dalam RPJMN 2015-2019 & Implementasinya 2015”, di dalam program tol-laut akan dibangun 24 pelabuhan strategis & 65 pelabuhan penyeberangan sebagai komplemennya. Pengembangan & pemeliharaan pelabuhan sebanyak ini, sesuai dengan spesifikasi masing-masing, tentu saja memerlukan survei-survei hidrografi. Dengan survei-survei ini, maka akan diketahui beberapa karakteristik penting (arus, pasang-surut, bentuk permukaan / kedalaman dasar laut, keberadaan & sedimen, dan situasi detil daerahnya) yang diperlukan untuk pengembangan & pemeliharaan (sebagai misal pengerukan karena terjadinya pendangkalan) pelabuhan, kolam pelabuhan, dermaga berikut alur-alur masuk-keluar pelabuhannya. Oleh sebab itu, akan tersedia banyak pekerjaan (dalam jangka pendek & panjang) dimana peran & penerapan hidrografi tidak diragukan lagi. 18 Subjek mengenai pulau-pulau kecil terluar dan/atau pulau-pulau yang terluar, secara umum, termasuk ke dalam subjek kawasan pesisir karena pulau-pulau kecil terluar dan/atau pulau-pulau yang terluar merupakan bagian dari kawasan pesisir. Dengan demikian, tidak mengherankan jika beberapa UU atau PP mencakup subjek-subjek mengenai pulau-pulau kecil terluar, pulau-pulau yang terluar, dan kawasan/wilayah pesisir di dalam sebuah UU atau PP. LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 18 25 4.6 ALKI Gagasan “tol-laut”, yang juga merupakan pengembangan sistem supply chain yang terintegrasi, sudah tentu sangat memperhitungkan aspek konektivitas dengan memanfaatkan jaringan-jaringan yang telah ada. Dengan demikian, gagasan ini juga perlu memperhitungkan & memanfaatkan keberadaan ALKI (alur laut kepulauan Indonesia) yang merupakan rute pelayaran & penerbangan bagi kapal-kapal & pesawat terbang asing di wilayah perairan Indonesia. Dengan adanya ALKI, maka kapal/pesawat asing (yang melintasi kepulauan Indonesia) tidak diijinkan untuk menggunakan semua jalur pelayaran selain ALKI. Artinya, konektivitas antar-pulau/pelabuhan atau lalu-lintasnya di dalam konteks “tol-laut” sangat terbantu dengan adanya ALKI. Di lain pihak, karena keberadaan ALKI beserta kelayakannya ditentukan oleh survei hidrografi (setidaknya batimetri), maka peran & penerapan hidrografi sudah tidak diragukan lagi. Mengingat bahwa ALKI terdiri dari 3 jalur19 yang panjang (sesuai dengan PP No. 37 tahun 2002): ALKI I (Selat Sunda, Selat Karimata, Laut Natuna, Laut Cina Selatan); ALKI II (Selat Lombok, Selat Makassar, Laut Sulawesi); ALKI III-A (Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda [Barat Pulau Buru]-Laut Seram [Timur Pulau Mongole] - Laut Maluku, Samudera Pasifik); ALKI III-B (Laut Timor, Selat Leti, Laut Banda, [Barat Pulau Buru] terus ke ALKI III-A); dan ALKI III-C (Laut Arafuru, Laut Banda terus ke utara ke utara ke ALKI III-A), maka banyak pekerjaan hidrografi terkait ALKI. Gambar 4: Jalur ALKI [Sumber (Alif TF., 2015)] 4.7 Alur Pelayaran Faktanya, di Indonesia terdapat empat dari tujuh jalur pelayaran internasional (lalu-lintas damai); Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Makassar-Lombok, dan Selat Ombai-Wetar, di samping tiga lainnya di dunia (Terusan Suez di Mesir, Terusan Panama di benua Amerika, dan Selat Gibraltar 19 Lihat juga pustaka (Alif TF., 2015). LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 19 25 yang terletak di antara Spanyol & Maroko)20. Empat jalur pelayaran tersebut merupakan jalur lalu lintas pelayaran yang paling ramai di dunia dan tepat berada pada jalur ALKI. Selain ke-empat jalur padat ini, untuk mendukung konektivitas pada gagasan “tol-laut” beserta supply-chain logistiknya, tentu saja masih tersisa lebih banyak lagi alur pelayaran lainnya; baik yang melintasi laut, sungai, maupun danau. Biasanya, alur-alur pelayaran lokal ini dicantumkan di dalam peta laut & buku petunjuk-pelayaran. Alur-alur ini digunakan untuk mengarahkan kapal hingga masuk ke kolam pelabuhan; kapal perlu melalui perairan dengan gelombang yang lebih tenang dan arus yang tidak terlalu kuat. Dengan demikian, bisa dibayangkan betapa banyaknya survei hidrografi yang diperlukan untuk menentukan & merancang alur-alur pelayaran lokal ini yang nantinya akan dicantumkan di dalam peta laut. Belum lagi survei hidrografi tambahan yang diperlukan untuk pengembangan dan pemeliharaan alur-alur pelayaran yang sudah ada. 4.8 TSS Dengan padatnya lalu-lintas pelayaran internasional, nasional, maupun tradisional, maka juga perlu dibuat skema pemisahan lalu-lintas laut (traffic separation scheme) untuk lebih menjamin keamanan & keselamatan pelayaran, baik secara umum maupun berkenaan dengan implementasi gagasan “tol-laut”. Sebagai pendekatan, pemerintah bisa memprioritaskan, merancang, dan segera menerapkan TSS di ke-4 jalur pelayaran internasional milik Indonesia yang sudah terbukti padat dan memerlukan penanganan yang cepat. Setelah itu, perancangan & penerapan yang sama juga bisa dilakukan di beberapa Selat di Indonesia yang telah terbukti padat lalu-lintasnya; Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Makassar, Selat Lombok, Selat Ombai, dan Selat Wetar. Di lain pihak, untuk memastikan (atau sebagai indikator) seberapa besar kepadatan lalu-lintasnya di lokasi TSS yang potensial beserta arah-arah pergerakan kapal-kapalnya, pihak pelaksana bisa memperhatikan data AIS dari sistem pemantauan yang sudah tersedia. Jika lokasi TSS potensial tersebut sudah ditentukan, maka pekerjaan selanjutnya adalah melakukan studi kelayakan, survei hidrografi, dan kemudian memplotkan jalur/garis TSS-nya di peta laut sesuai rancangan dan kondisi lingkungan hidrografisnya. 4.9 VTS Gagasan “tol-laut” tentu saja tidak bisa lepas dari aspek navigasi & keamanan pelayaran. Oleh sebab itu, ia juga memerlukan Vessel Traffic Services (VTS), yang pada umumnya terdapat di sekitar pelabuhan utama dan TSS, untuk mengatur lalu-lintas pelayaran kapal-kapalnya di perairan yang padat seperti halnya pelabuhan, alur perairan pedalaman, dan selat. Keberadaan VTS di dalam konteks “tol-laut” pun perlu mempertimbangkan kondisi lingkungan hidrografisnya. 20 Lihat juga pustaka (Rustam, 2015). LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 20 25 4.10 AIS Sebenarnya, sistem atau perangkat AIS tidak terkait secara langsung dengan hidrografi. Meskipun demikian, dengan sistem ini, maka pihak perencana, perancang, dan pengelola alur pelayaran, navigasi, dan TSS (yang terkait lingkungan hidrografis) bisa memperkirakan dengan akurat mengenai (data) kepadatan lalu-lintas, prioritas lokasi-lokasi TSS yang potensial, dan arah-arah pergerakan kapal-kapalnya hingga memudahkan pekerjaan perancangan & penentuan jalur/garis TSS-nya beserta pengaturan lalu-lintasnya. 4.11 Dishidros TNI-AL Dinas Hidro-oseanografi TNI AL (Dishidros) adalah Badan Pelaksana Pusat (Balakpus) TNI AL yang berkedudukan langsung dibawah Kepala Staf Angakatan Laut (Kasal). Dishidros-TNI-AL adalah lembaga hidrografi nasional yang mengemban dua fungsi; yaitu21: [1] fungsi militer sebagai penyedia data & informasi untuk pertahanan; dan [2] fungsi sipil sebagai penyedia data & informasi untuk keselamatan pelayaran serta kepentingan publik lainnya. Sementara itu, sesuai pasal 109 Perpres 10 tahun 2010, tugas pokok Dishidros adalah melakukan pembinaan HidroOseanografi yang meliputi survei, penelitian, pemetaan laut, publikasi, penerapan lingkungan laut & keselamatan navigasi pelayaran (baik untuk kepentingan TNI maupun untuk kepentingan umum) di seluruh perairan Indonesia. Berdasarkan PP No.23 tahun 195122, Keppres 164 tahun 196023, dan Keppres 288 tahun 196724, ditetapkan bahwa Dishidros menjadi wakil negara di Lembaga Hidrografi Internasional (IHO) dan Komisi Hidrografi Asia Timur atau East Asia Hydrographic Commission (EAHC). Selain itu, Dishidros juga menjadi anggota delegasi pemerintah RI di beberapa organisasi internasional yang terkait dengan Hidrografi, Oseanografi, dan Navigasi pelayaran seperti halnya International Maritime Organization (IMO), Inter-Government Oceanographic Commision (IOC), United Nations Conference on Standardization of Geographical Names (UNCSGN), dan United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN). Sebagai Lembaga Hidrografi Militer, Dishidros bertanggung jawab untuk menyediakan data & informasi Hidro-oseanografi yang akurat & mutakhir sebagai data dasar yang akan dianalisa bagi kepentingan strategi pertahanan nasional. Sedangkan sebagai Lembaga Hidrografi Nasional, Dishidros memiliki tanggung jawab untuk menjaminan keselamatan navigasi pelayaran di seluruh wilayah perairan yurisdiksi NKRI. Sementara itu, untuk kepentingan keselamatan navigasi pelayaran, Dishidros memiliki kewenangan & legalitas tunggal di bidang hidrografi dalam 21 Lihat pustaka (Dishidros, 2014). Tentang “Pejabatan-Pejabatan Hidrografi Pelayaran Sipil”. 23 Tentang “Penggabungan pejabatan Hidrografi jawatan pelayaran Dep. Perhubungan Laut pada Jawatan Hidrografi Angkatan Laut”. 24 Tentang “Organisasi Hidrografi Internasional”. 22 LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 21 25 menyiapkan & menyediakan data & informasi Hidro-oseanografi berupa peta laut (peta kertas & peta navigasi elektronik) dan buku-buku nautika. 5. Kesimpulan & Saran Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis dapat menuliskan beberapa butir kesimpulan & saran seperti berikut. 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil adalah: a) Baik visi mengenai poros maritim dunia (PMD) maupun gagasan mengenai “tol-laut” memiliki konteks keruangan yang kental dimana peran kunci dan penerapan hidrografi sudah tidak diragukan lagi. Artinya, peran & penerapan hidrografi sangat mendukung baik pengimplementasian gagasan “tol-laut” maupun visi mengenai PMD. b) Di dalam visi PMD & konteks “tol-laut”, dapat dikenali beberapa subjek penting dimana peran & penerapan hidrografi sangat mencolok & tergambarkan dengan jelas; bidang & kelembagaan hidrografi itu sendiri, batas-batas laut, pulau-pulau terkecil terluar & pulau-pulau terluar, kawasan pesisir, pelabuhan, ALKI, alur pelayaran, TSS, VTS, AIS, dan Dishidros TNI-AL. Banyak potensi pekerjaan, survei, penelitian, dan analisis hidrografi yang terdapat di dalam subjek-subjek penting tersebut. c) Berdasarkan pengalaman (de facto) dan tugas pokok beserta fungsinya (de jure), maka sudah tidak diragukan lagi bahwa Dishidros TNI-AL memiliki peran kunci di dalam pengimplementasian visi Indonesia sebagai PMD maupun gagasan “tol-laut” sesuai dengan konteksnya. d) Untuk mencapai keberhasilan dalam mencapai visi PMD & pengimplementasian gagasan “tol-laut”, diperlukan pemahaman & dukungan penuh dari masyarakat berikut partisipasi-aktif beserta kerjasama yang harmonis diantara komponen-komponen bangsa; Dishidros TNI-AL, KKP, Bakamla, Kementerian Perhubungan, BIG, Lapan, BPPT, Universitas, dan lembaga-lembaga lain yang relevan. 5.2 Saran Saran yang dapat diberikan adalah: a) Visi mengenai PMD & gagasan mengenai “tol-laut” beserta peran & penerapan hidrografi di dalamnya perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat luas dalam bentuk-bentuk yang lebih mudah dipahami. b) Subjek-subjek penting yang terdapat di dalam konteks “tol-laut” di atas perlu dieksplorasi dan dianalisis lebih lanjut untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan nasional secara umum dan lembaga-lembaga yang relevan secara khusus. LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 22 25 c) Dalam rangka konsolidasi & pendidikan masyarakat, lembaga-lembaga yang terkait hidrografi (yang dipimpin & dikoordinasikan oleh Dishidros TNI-AL) perlu menyamakan persepsi dengan sering-sering melakukan kerjasama dan focus group discussion (FGD) beserta sosialisasi (pelatihan) mengenai aturan-aturan internasional mengenai pelayaran, navigasi, kehidrografian, dan kemaritiman beserta perkembangan teknologinya. d) Untuk mencapai optimasi pelayanan hidrografi di Indonesia, Dishidros TNI-AL perlu “lebih dekat” lagi dengan masyarakat luas (khususnya pengguna produk-produk hidrografi) & dunia akademis. 6. Catatan Akhir Pada masa yang akan datang, dengan visi Indonesia sebagai PMD dan sedang menjalankan program “tol-laut”, diharapkan, Dishidros tidak sekedar melakukan tugas pokok & fungsinya semata dalam menjalankan rutinitas survei & pemetaan hidrografi dan kemudian menyajikannya ke dalam bentuk-bentuk IGD & IGT kelautan (khususnya peta laut dan lain sejenisnya); baik untuk melayani kebutuhan-kebutuhan internal maupun eksternal. Untuk meraih nilai tambah, prestasi yang lebih tinggi, meningkatkan pelayanan terkait produk-produknya, melayani kebutuhan yang bersifat strategis & bernuansa “kecerdasan”, dan menjalin hubungan yang lebih baik dengan pihak pengambilan keputusan, maka Dishidros TNI-AL perlu mempersiapkan & membuat produkproduk atau jasa lainnya yang berupa hasil-hasil penelitian atau analisis lanjut terhadap produkproduk IGD & IGT yang selama ini telah dihasilkannya. Masalah, keilmuan, dan pekerjaan profesional yang terkait dengan penentuan batas-batas laut, pulau-pulau kecil terluar, kawasan pesisir, pelabuhan, ALKI, alur pelayaran, TSS, VTS, dan AIS merupakan subjek-subjek penting dimana hidrografi beserta penerapannya sangat berperan di dalam konteks “tol-laut” & PMD. Sehubungan dengan hal ini, maka sebenarnya sudah cukup banyak program kerja, analisis, dan penelitian yang bisa dikembangkan berdasarkan subjek-subjek penting ini sebelum beranjak pada subjek-subjek lainnya yang juga penting (sebagai misal adalah pengaturan & pengelolaan jaringan / utilitas bawah air yang di luar konteks PMD & “tol-laut” yang dibahas). Kelembagaan & personil Dishidros TNI-AL, sebaiknya, segera mengambil peran & aktif di dalam di aktivitas-aktivitas pengeksplorasian & penelitian terhadap subjek-subjek tersebut. Dengan statusnya sebagai kantor hidrografi (wakil IHO), Dishidros menjadi lembaga yang terdepan di bidang hidrografi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa ia sangat berpotensi untuk mengkoordinasikan & mengarahkan masyarakat hidrografi Indonesia. Oleh karena itu, lembaga ini perlu mempersiapkan segala sesuatunya. Meskipun demikian, jika pengembangan keilmuan, keorganisasian, regenerasi personil, dan modernisasi peralatan survei & pemetaan Dishidros TNIAL sendiri tidak dilakukan dengan baik, maka potensi besar ini akan hilang begitu saja hingga LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 23 25 kesempatan dalam mengarahkan kebijakan hidrografi di Indonesia juga akan musnah. Sementara itu, di lain pihak, negara maritim yang maju dan menguasai dunia, seperti halnya Inggris dahulu, bisa dicapai jika kelembagaan & personil-personil Angkatan Lautnya maju & memimpin. Untuk mencapai itu semua, baik secara kelembagaan maupun personil, tentu saja Dishidros TNIAL perlu terlebih dahulu mempersiapkan diri; dengan lebih membuka diri, menerima usulan-usulan dari berbagai pihak, siap menghadapi perubahan, selalu meningkatkan wawasan & mengikuti perkembangan IPTEK terkini, bersikap kreatif dalam mengembangkan program kerja, penuh inisiatif dengan motivasi yang tinggi, mengembangkan organisasi & kemampuan personil, melakukan sosialisasi dan persentasi mengenai regulasi & perkembangan teknologi hidrografi kepada masyarakat luas, melakukan koordinasi & kerjasama dengan lembaga-lembaga yang relevan, dan meningkatkan peran & kontribusinya (solusi hidrografisnya) baik di tingkat nasional maupun internasional. LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 24 25 Daftar Pustaka 1 Alif TF., “Survei Hidrografi untuk Kajian ALKI di Perairan Laut Jawa”, Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan (PDKK) – BAKOSURTANAL. di-download 2015. 2 Bappenas, 2015, “Laporan Implementasi Konsep Tol Laut 2015”, Direktorat Transportasi, Kementerian PPN / Bappenas. 3 Bappenas, Desember 2014, “Prioritas Kedaulatan Energi dan Infrastruktur RPJMN 20152019”, bahan presentasi, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian PPN/Bappenas. 4 Dahuri R., Senin, 06 April 2015, “Jalan Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia”, http://www.republika.co.id/berita/koran/pareto/15/04/06/nmdqpb-jalan-indonesiamenuju-poros-maritim-dunia. 5 Dishidros, 22 Agustus 2014, “Sejarah Dishidros”, http://dishidros.go.id/sejarah.html 6 Dishidros, Mei 2016, “Makalah Pengajak Lomba Karya Tulis Ilmiah Prajurit/PNS TNI dan Masyarakat Umum dalam Rangka Hari Hidrografi Dunia 2016”, Dinas HidroOseanografi Mabes AL, Jakarta. 7 Djunarjah E. Dkk., Maret 2005, “Survei Hidrografi”, Cetakan Pertama, PT. Refika Aditama. 8 Fajriah L. R., Senin 30 Mei 2016, “Tol Laut Jokowi Sedot Dana Triliunan, Ini Rinciannya”, http://ekbis.sindonews.com. 9 IHO (International Hydrographic Organization), May 2005, “Manual On Hydrography”, Publication M-13, First Edition, Monaco, International Hydrographic Bureau. 10 IHO, February 2008, “IHO Standards for Hydrographic Surveys”, Special Publication No 44, 5th Editon, International Hydrographic Organization. 11 PR, Selasa 21 Juni 2016, “Jepang & Tiongkok Minati Angkot Laut”, Harian Pikiran Rakyat, Bandung. 12 Presidenri, 13/11/2015, “Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia”, http://www.presidenri.go.id/maritim/indonesia-sebagai-poros-maritim-dunia.html. 13 Prihartono B., 2015. “Pengembangan Tol Laut Dalam RPJMN 2015-2019 dan Implementasi 2015”, Direktur Transportasi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 14 Ravin M., March – December 2005, “Law of the Sea: Maritime Boundaries and Dispute Settlement Mechanism”, United Nations -- The Nippon Foundation Fellow, Germany. 15 Rustam I., 2015, “Tantangan ALKI dalam Mewujudkan Cita-Cita Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia”, Universitas Mataram, Indonesian Perspektive, Volume1 Nomor 1 (Januari – Juni). 16 SNI, 2010, “Survei Hidrografi dengan Menggunakan Singlebeam Echosounder”, Badan Standardisasi Nasional. 17 Strahan, Mei 2010, “Optimalisasi Pengelolaan 12 Pulau Kecil Terluar yang Berbatasan dengan Negara Tetangga Guna Memperkuat Batas Maritim NKRI”, Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan Kemhan, Direktorat Wilayah Pertahanan. 18 Sudrajat, 2003, “Perubahan Wajah Ancaman dan Keamanan Domestik Indonesia”, disampaikan pada seminar & lokakarya “Pembangunan Hukum Nasional VIII” yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar 14-18 Juli 2003, Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan Republik Indonesia. 19 Tempo, Kamis 19 Agustus 2010, “Perundingan Batas Laut Indonesia Ternyata Belum Kelar”, https://m.tempo.co/read/news/2010/08/19/078272243/perundingan-batas-lautindonesia-ternyata-belum-kelar. 20 Yovanda YR., Minggu, 20 Desember 2015, “Pencetus Di Balik Konsep Tol Laut Jokowi”, http://ekbis.sindonews.com/ LKTI Dishidros TNI-AL, Juni 2016 Halaman: 25 25