I. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu 1. Penelitian Terdahulu Tentang Padi Organik Prihtanti (2014) meneliti tentang Kinerja dan Multifungsionalitas Usahatani Padi Organik dan Konvensional di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan produktivitas usahatani padi organik tidak berbeda dengan usahatani padi konvensional, dimana rata-rata produktivitas usahatani padi organik sebesar 5,9 ton/ha, sedangkan ratarata produktivitas usahatani padi konvensional sebesar 5,57 ton/ha; Nilai R/C ratio usahatani padi organik lebih tinggi daripada usahatani padi konvensional, dan kedua usahatani tersebut masih layak dilakukan, capaian efisiensi teknis, efisiensi lingkungan, efisiensi alokatif, dan efisiensi ekonomis usahatani padi sistem organik lebih tinggi daripada usahatani konvensional, dan hal tersebut disebabkan usahatani sistem organik mampu meningkatkan produksi potensial maupun aktual. Terdapat hubungan yang kuat antara kinerja usahatani dengan multifungsionalitas usahatani, baik pada usahatani padi organik maupun usahatani padi konvensional. Pemeliharaan kualitas kesuburan tanah sawah dalam proses usahatani padi memberikan pengaruh positif pada produktivitas, efisiensi teknis, efisiensi ekonomis, dan efisiensi lingkungan. Berdasarkan struktur biaya usahatani, biaya pupuk kimia pada usahatani konvensional menunjukkan prosentase yang cukup besar dari total biaya tunai usahatani, bahkan hampir menyamai biaya untuk tenaga kerja, oleh karena itu, perlu dilakukan efisiensi penggunaan pupuk kimia oleh petani, baik melalui penggunaan yang sesuai dosis ataupun mencari alternatif pupuk yang relatif efisien biaya dan memperhatikan kesehatan tanah. Usahatani padi organik terbukti memberikan kinerja yang lebih baik daripada usahatani konvensional, sekaligus memberikan multifungsionalitas (output non komoditas) yang lebih baik dibandingkan usahatani konvensional. Oleh 1 2 karena itu, perlu dilakukan program pengembangan usahatani sistem organik pada wilayah pertanian yang telah mengembangkan usahatani organik maupun lebih meluas. Heryanto et al., (2014) meneliti tentang Model Konsepsi-Adopsi Inovasi Beras Organik: Sosial Ekonomi Petani (Studi Kasus Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat) menyatakan bahwa proses konsepsi sistem pertanian beras organik diawali permintaan pasar internasional akan beras organik yang mendorong pengusaha untuk menjalin kemitraan dengan petani untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut. Pada tahap konsepsi hal tersebut cukup efektif untuk menarik sistem pertanian konvensional ke organik. Namun demikian, proses konsepsi yang telah terbentuk tidak akan berlanjut ke tahap adopsi apabila proses adopsi tidak dikelola dengan baik. Faktor sosial (perilaku petani) merupakan penentu keputusan petani dalam mengadopsi sistem pertanian organik karena saling terkait dengan faktor ekonomi pada prakteknya. Faktor teknologi, lingkungan, etika dan nilai saling mempengaruhi pada tahap adopsi lebih kompleks dibandingkan dengan tahap konsepsi. Model ini dibangun secara kualitatif dengan menggunakan metode berpikir sistem dan matriks sosial. Struktur diagram sebab akibat digunakan untuk menganalisis hubungan sebab akibat unsur-unsur yang saling terkait baik dalam tahap konsepsi dan adopsi, kemudian matriks sosial digunakan untuk memetakan interaksi antar unsur yang terlibat dalam tahap adopsi pertanian organik yang terdiri dari kelembagaan sosial, teknologi, lingkungan, nilai dan norma, serta sikap. Penelitian ini menunjukan bahwa tahap adopsi menjadi titik kritis yang harus dilalui dalam suatu proses inovasi. Sebagai pembelajaran, suatu inovasi harus dikelola dengan baik mulai dari tahapan konsepsi sampai adopsi yang melibatkan unsur sosial, ekonomi dan teknologi. Chen et al., (2012) meneliti tentang konversi dari pertanian konvensional menjadi pertanian organik, studi kasus petani padi China di kota Wuchang. Penelitian ini menggunakan analisis data envelopment 3 analysis (DEA) untuk mengestimasi nilai efisiensi teknis beras organik yang dikonversi dari konvensional. Penelitian ini menemukan pertama, bahwa tidak terdapat perbedaan hasil panen petani setelah beralih ke organik (N=95), Tidak terdapat perbedaan statitistik dibandingkan dengan konvensional dan pada tahun pertama konversi (N=76). Tidak terdapat perbedaan hasil panen pada petani (N=19) pada tahun pertama dengan tahun kedua konversi. Diperkirakan petani mau melakukan konversi karena terdapat dukungan perusahaan lokal, terutama untuk pembelian produk, jaminan pendapatan dan asuransi jiwa. Kedua, hasil efisiensi teknis menunjukkan efisiensi teknis produksi padi organik meningkat dalam jangka pendek kemudian semakin menurun. Hal ini disebabkan evolusi ekologi organik dan sistem pemasaran membutuhkan waktu agar stabil dan efektif. Ketiga, input tenaga kerja, pupuk organik, pestisida nabati, fasilitas produksi dan irigasi pada petani yang telah lebih dulu melakukan konversi relatif lebih tinggi. Ketergantungan pada tenaga kerja juga ditemukan lebih besar. Disimpulkan bahwa membutuhkan waktu beberapa tahun agar petani mendapatkan hasil produksi yang lebih baik setelah transisi dari konvensional ke pertanian organik. Suryadi (2011) meneliti tentang pengembangan beras kualitas premium sebagai strategi peningkatan pendapatan petani padi: studi kasus pengembangan beras organik di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) produktivitas padi organik lebih tinggi dari padi non organik tetapi tidak berbeda nyata secara statistik, (2) pendapatan petani padi organik lebih tinggi dari petani non organik dan berbeda nyata secara statistik, (3) jumlah benih, pupuk, pestisida, tenaga dalam dan luar keluarga, dan sumber benih secara nyata berpengaruh terhadap produksi padi organik, (4) potensi pengembangan beras organik diantaranya adalah tingginya permintaan pasar, luasnya potensi areal pengembangan, tersedianya benih varietas unggul, berbasis sumber daya keluarga dan input lokal, memiliki persentase harga yang diterima petani relatif tinggi, memiliki rantai saluran tataniaga yang relatif pendek, dan 4 harga beras organik yang relatif tinggi, (5) kendala pengembangan beras organik diantaranya adalah persepsi yang masih keliru mengenai sistem pertanian organik, lemahnya kemampuan permodalan petani, terbatasnya jumlah pupuk dan pestisida organik, terbatasnya peralatan pengolahan padi menjadi beras organik, kurangnya bimbingan dan penyuluhan, dan lemahnya penerapan standar dan sistem sertifikasi mutu beras organik. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa pengembangan beras organik yang merupakan salah satu jenis beras premium dinilai sebagai salah satu strategi yang tepat dalam rangka peningkatan pendapatan petani padi dan kebijakan pengembangan ini dinilai tidak mengganggu program swasembada beras karena produktivitas padi organik dapat menyamai padi non organik. 2. Penelitian Terdahulu Tentang Daya Saing melalui Matriks Analisis Kebijakan /Policy Analysis Matrix (PAM) Souza et al., (2013) – meneliti tentang produksi beras di negara anggota Mercosur dengan Policy Analysis Matrix (PAM). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi profitabilitas dan dampak pajak langsung dan tidak langsung pada produksi beras di Brazil dibandingkan dengan anggota kelompok Mercosur lainnya. Penelitian ini menggunakan PAM untuk mengevaluasi efisiensi ekonomi dari sistem produksi empat negara mercosur yaitu Brazil, Argentina, Paraguay dan Uruguay dengan menghitung harga privat dan harga sosial. Hasilnya menunjukkan bahwa pada tahun 2010 produksi beras di Argentina dan Uruguay memiliki profitabilitas sosial dan privat positif, sedangkan Brazil dan Paraguay negatif. Kedua, pada simulasi skenario alternatif untuk Brazil, dengan memperhitungkan pengurangan biaya pajak langsung dan tidak langsung dengan jumlah yang sama dengan negara-negara pembanding. Pada skenario ini keuntungan produksi beras Brazil tidak negatif tetapi hanya memiliki keuntungan yang sangat rendah. Variabel lain yang diabaikan adalah perkembangan produksi, teknologi dan nilai tukar yang juga 5 merupakan faktor berpengaruh dalam profitabiltas produksi beras di Brazil. Kanaka (2013) – meneliti tentang Policy Analysis Matrix pada Budidaya Beras di India, penelitian ini mengkombinasikan teknik PAM untuk menghitung profitabilitas pertanian. Sampel diambil dari Tamil Nadu (India Selatan). Hasilnya rata-rata usahatani mengalami kerugian baik dihitung dari harga privat maupun harga sosial, ketika biaya kesempatan faktor domestik dihitung. Tetapi memberikan hasil yang positif setelah dilakukan penyesuaian terhadap efisiensi, kemudian disimpulkan sebaiknya dilakukan perhitungan memakai metode PAM setelah meningkatkan manajerial terhadap usahatani. Ogbe et al., (2011) meneliti tentang daya saing produksi beras dan jagung di Nigeria menggunakan policy analysis matrix (PAM) dengan sampel sebanyak 122 petani. Hasilnya PAM menunjukkan bahwa output pada semua ekologi produksi dikenakan pajak. Dijelaskan lebih lanjut oleh nilai EPC dan SRP, dalam kondisi input tradable disubsidi. Kemudian perhitungan menunjukkan bahwa terdapat keuntungan kompetitif yang tinggi pada level usahatani (beras irigasi, beras dataran tinggi dan jagung dataran tinggi) dan juga keuntungan komparatif yang tinggi. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terdapat peningkatan output sebanyak 50% dan 13,3% penurunan nilai tukar mata uang akan meningkatkan keuntungan kompetitif dan komparatif jagung dan beras pada semua ekologi. Penelitian ini merekomendasikan agar pemerintah memastikan stabilitas politik pada sektor beras dan jagung, membantu petani dengan irigasi untuk memastikan suplai air dan meningkatkan varietas benih. Mantau (2014) meneliti tentang analisis keunggulan komparatif usahatani padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara. Hasil penelitian ini menunjukkan usahatani padi memiliki nilai DRC sebesar 0,68. Sehingga dapat dikemukakan bahwa komoditas 6 tersebut lebih menguntungkan diproduksi di dalam Kabupaten Bolaang Mongondow daripada mengimpornya. Akhtar et al., (2007) meneliti tentang efisiensi ekonomi dan daya saing sistem produksi beras di Punjab, Pakistan dengan metode PAM. Metodologi ini juga dipakai untuk menghitung dampak intervensi kebijakan pada produksi beras Basmati dan IRRI. Hasilnya mengindikasikan bahwa produksi Basmati dapat ditingkatkan untuk diekspor. Sedangkan produksi IRRI dihitung hasilnya negatif pada efisiensi ekonomi disebabkan oleh inefisiensi penggunaan sumber daya pada proses produksi. Pada sisi lain, baik produksi beras Basmati maupun IRRI juga tidak memiliki daya saing. Hasil analisis menunjukkan struktur subsidi berpengaruh negatif pada petani. Divergen negatif antara keuntungan privat dan sosial disebabkan intervensi kebijakan mengurangi tingkat profitabilitas kedua sistem produksi beras tersebut. Sehingga perlu dihilangkan distorsi kebijakan pada struktur insentif ekonomi untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing produksi beras. B. Landasan Teori 1. Pertanian Organik a. Definisi Kementerian Pertanian (2013) dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64 Tahun 2013 tentang Sistem Pertanian Organik mendefinisikan Sistem Pertanian Organik adalah sistem manajemen produksi yang holistik untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan penerapan praktek-praktek manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan input dari limbah kegiatan budidaya di lahan, dengan mempertimbangkan daya adaptasi terhadap keadaan/kondisi setempat. Jika memungkinkan hal tersebut dapat dicapai dengan penggunaan 7 budaya, metoda biologi dan mekanik, yang tidak menggunakan bahan sintesis untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam sistem. Pertanian organik di banyak tempat dikenal dengan istilah yang berbeda-beda. Ada yang menyebut sebagai pertanian lestari, pertanian ramah lingkungan, dan sistem pertanian berkelanjutan. Sutanto (2002) mendefinisikan pertanian organik sebagai suatu sistem produksi pertanian yang berasaskan daur ulang secara hayati. Menurut IFOAM (1990) pertanian organik merupakan suatu pendekatan sistem yang utuh berdasarkan satu perangkat proses yang menghasilkan ekosistem yang berkelanjutan (sustainable), pangan yang aman, gizi yang baik, kesejahteraan hewan dan keadilan sosial. Pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Menurut dokumen BSN SNI 6729:2013 Organik adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi sesuai dengan standar sistem pertanian organik dan disertifikasi oleh lembaga sertifikasi organik yang telah terakreditasi. Pertanian organik didasarkan pada penggunaan bahan input eksternal secara minimal serta tidak menggunakan pupuk dan pestisida sintetis. b. Tujuan, Manfaat dan Prinsip Sutanto (2002) menjelaskan tujuan pengembangan padi organik adalah (1) meningkatkan pendapatan petani padi karena adanya efisiensi pemanfaatan sumberdaya dan nilai tambah produk, (2) menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani padi, (3) meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian padi, (4) menjaga dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian padi dalam jangka panjang, serta memelihara kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, (5) menciptakan lapangan kerja baru dan keharmonisan sosial pedesaan, dan (6) menghasilkan pangan berupa beras yang cukup aman, berkualitas sehingga meningkatkan 8 kesehatan masyarakat dan sekaligus meningkatkan daya saing produk agribisnis padi. Pertanian organik menghasilkan produk pertanian yang menerapkan prinsip-prinsip ekologi terbebas dari pemakaian bahanbahan kimia berbahaya mulai dari pembenihan, penanaman, perawatan, panen, dan pasca panen. Menurut IFOAM (1990), pertanian organik memiliki empat prinsip yang disusun untuk mengilhami tindakan dalam mewujudkan visi pertanian organik menjadi nyata. Prinsip-prinsip tersebut, yaitu: 1. Prinsip kesehatan Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, manusia hewan, dan planet sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan. Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem - tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat yang mendukung kesehatan hewan dan manusia. Peran pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi, atau konsumsi, adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil dalam tanah untuk manusia. Dengan demikian, maka pertanian organik harus bebas dari pupuk, pestisida, obat-obatan dan zat-zat lain yang dapat berbahaya bagi kesehatan. 2. Prinsip ekologi Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus kehidupan ekologi, bekerja sama dengan kondisi tersebut, dan berusaha membantu kondisi tersebut berkelanjutan. Pertanian organik, peternakan, dan sistem panen harus berdasarkan pada siklus dan keseimbangan ekologi di alam. Pengelolaan pertanian organik harus diadaptasikan pada keadaan lokal, ekologi, budaya, dan skala. Input harus dikurangi dengan daur ulang, dan pengelolaan material serta energi yang efisien sebagai upaya memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan dan 9 melestarikan sumber daya alam. Pertanian organik harus mencapai keseimbangan ekologis, baik dalam bentuk sistem pertanian, pembentukan habitat, serta pemeliharaan keragaman genetik. 3. Prinsip keadilan Pertanian organik harus mampu membangun hubungan yang menjamin keadilan pada lingkungan dan kesempatan hidup bersama. Keadilan ditandai dengan adanya kesetaraan, saling menghargai, keadilan, dan kesediaan untuk hidup bersama, baik sesama manusia dan hubungan manusia tersebut dengan makhluk hidup lain. Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang terlibat dalam pertanian organik harus membangun hubungan antar manusia dengan saling menjamin adanya keadilan pada semua tingkatan dan semua pihak, termasuk petani, pekerja, pengolah, pedagang, distributor, serta konsumen. Pertanian organik harus melibatkan semua orang dengan kualitas hidup yang lebih baik dan berkontribusi pada ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan. Sumber daya alam dan lingkungan yang digunakan untuk produksi dan konsumsi harus dikelola secara sosialis dan ekologis adil dan dipastikan untuk generasi berikutnya. Keadilan memerlukan sistem produksi, distribusi dan perdagangan yang terbuka, adil serta dapat memperhitungkan biaya lingkungan dan biaya sosial. 4. Prinsip perawatan Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggungjawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup. Dalam pertanian organik, ilmu dibutuhkan untuk menjamin kesehatan, keamanan, dan keberlangsungan ekologi. Pertanian organik harus mampu mencegah terjadinya resiko yang signifikan dengan mengadopsi teknologi tepat guna dan menolak yang tak terduga, seperti rekayasa genetika. Pengambilan keputusan harus mencerminkan nilai-nilai dan kebutuhan dari semua aspek yang 10 mungkin dapat terkena dampaknya, melalui proses yang transparan dan partisipatif. 2. Teori Perdagangan Internasional Krugman (1994) menyatakan bahwa analisis perdagangan internasional terutama menitikberatkan pada transaksi-transaksi riil dalam perekonomian internasional yaitu transaksi yang meliputi pergerakan barang secara fisik atau suatu komitmen atas sumberdaya ekonomi yang tampak (a tangible commitment of economic resources). Aktivitas atau kegiatan perdagangan yang terjadi antar negara menunjukkan bahwa negara-negara tersebut sudah memiliki sistem perekonomian yang terbuka. Perdagangan ini akibat adanya usaha untuk memaksimumkan kesejahteraan negara dan diharapkan dampak kesejahteraan tersebut akan diterima oleh negara pengekspor dan negara pengimpor. Alasan utama yang menyebabkan negara-negara melakukan perdagangan internasional adalah: (1) adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan cara pengolahannya sehingga negara-negara akan memperoleh keuntungan melalui suatu pengaturan dengan cara yang berbeda secara relatif terhadap perbedaan sumber daya tersebut, dan (2) negara-negara yang melakukan perdagangan mempunyai tujuan untuk mencapai economic of scale dalam produksi. Artinya, suatu negara akan lebih efisien jika hanya menghasilkan sejumlah barang tertentu tetapi dengan skala yang lebih besar dibandingkan dengan jika memproduksi berbagai jenis barang. Seluruh alasan yang mendasari terjadinya perdagangan internasional bertitiktolak dari konsep keunggulan komparatif. Suatu negara akan mengekspor komoditi yang produksinya memerlukan faktor produksi yang secara relatif berlimpah, dengan demikian perdagangan mendorong penggunaan sumberdaya ke dalam sektor-sektor yang mempunyai keunggulan komparatif. Banyak ahli berpendapat bahwa 11 ekspor suatu komoditi terjadi karena adanya penawaran domestik yang berlebih (excess supply), yang disebabkan harga relatif domestik di negara pengekspor lebih rendah dibandingkan dengan harga negara lain dan sebaliknya suatu negara akan melakukan impor suatu komoditas karena adanya permintaan domestik yang berlebih (excess supply) atau karena suatu negara tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat terhadap suatu komoditi tertentu (Krugman 1994). Budiono (2001) mengungkapkan ada lima manfaat dibukanya liberalisasi perdagangan atau aktivitas perdagangan internasional. Pertama, akses pasar yang lebih luas sehingga memungkinkan adanya efisiensi yang berasal dari kegiatan produksi berskala besar (economic of scale), dimana liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling terkait dan saling menunjang sehingga biaya produksi dapat diturunkan (economies of agglomeration). Kedua, iklim yang lebih kompetitif sehingga mengurangi kegiatan yang bersifat rent seeking dan mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, bukan mengharapkan untuk mendapat fasilitas dari pemerintah. Ketiga, arus perdagangan dan investasi yang lebih bebas mempermudah proses alih teknologi yang akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Keempat, perdagangan yang lebih bebas memberikan sinyal harga yang benar, sehingga meningkatkan efisiensi investasi. Kelima, dalam perdagangan yang lebih bebas kesejahteraan konsumen meningkat karena terbuka pilihan-pilihan baru. Namun untuk dapat berjalan dengan lancar, suatu pasar yang kompetitif perlu dukungan perundang-undangan yang mengatur persaingan yang sehat dan melarang praktek monopoli. 3. Konsep Daya Saing Esterhuizen (competitiveness) et al., (2008) mendefinisikan daya saing 12 “as the ability of a sector, industry or firm to compete successfully in order to achieve sustainable growth within the global environment while earning at least the opportunity cost of return on resources employed”. Daya saing didefinisikan sebagai kemampuan suatu sektor industri, atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan sumber daya yang digunakan. Dapat terjadi bahwa di tingkat produsen suatu komoditas memiliki keunggulan komparatif, memiliki biaya oportunitas (opportunity cost) yang relatif rendah, namun ditingkat konsumen ia tidak memiliki daya saing (keunggulan kompetitif) karena adanya distorsi pasar dan/atau biaya transaksi yang tinggi. Atau hal sebaliknya juga dapat terjadi, karena adanya dukungan (campur tangan) kebijakan pemerintah, suatu komoditas memiliki daya saing di tingkat konsumen padahal ia tidak memiliki keunggulan komparatif di tingkat produsen. Terdapat beberapa pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi. Pengukuran status daya saing sektor agribisnis dapat menggunakan Relative Trade Advantage/RTA (Balasa, 1989). Sedangkan analisis status daya saing terutama dari executive opinion dapat dilakukan dengan Agibusiness Executive Survey (AES). Sementara itu, untuk analisis kualitatif dan kuantitatif pada level kelembagaan agribisnis dapat menggunakan Agribusiness Confidence Index (ACI). Alat ukur daya saing yang juga banyak digunakan adalah Revealed Competitive Advantage (RCA). Belakangan ini, dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) akan dihasilkan dua indikator pokok pengukur daya saing, yaitu Private Cost Ratio (PCR) yang merupakan indikator keunggulan kompetitif yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya sumber daya domestik dan tetap kompetitif pada harga privat dan Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) merupakan indikator keunggulan komparatif, menunjukkan 13 jumlah sumber daya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa (Monke and Pearson, 1989). Pendekatan Policy Analysis Matrix (Matriks Analisis Kebijakan) dilakukan dengan menghitung tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditi tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditi dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Konsep daya saing yang menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk memberikan masukan dalam perencanaan dan pengembangan usahatani. Menurut Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang (1993) konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Keunggulan kompetitif merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan ekonomi, dan terkait dengan keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu aktivitas. a. Keunggulan Komparatif Konsep keunggulan komparatif pertama kali diperkenalkan oleh David Ricardo pada awal abad ke 19. Ricardo mengungkapkan hukum keunggulan komparatif, yaitu bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif dalam sesuatu dan memperoleh manfaat dengan memperdagangkannya untuk ditukar dengan barang yang lain. Kelemahan pada teori keunggulan komparatif yaitu keunggulan komparatif hanya didasarkan pada perbedaan produktivitas setiap tenaga kerja saja, padahal masih banyak faktor yang mempengaruhi seperti teknologi, modal, tanah, dan sumber daya lainnya (Lindert dan Kindleberger, 1995). 14 Pada tahun 1936, hukum keunggulan komparatif disempurnakan dengan teori biaya imbangan (Opportunity Cost Theory) yang dikemukakan oleh Haberler. Menurut teori biaya imbangan, biaya sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama, artinya negara memiliki biaya imbangan lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditi akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi tersebut dan memiliki kerugian komparatif dalam komoditi kedua (Salvatore, 1997). Teori keunggulan komparatif yang lebih modern dikemukakan oleh Hecksler dan Ohlin yang diberi nama dengan teori Hecksler-Ohlin. Teori tersebut menyatakan bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang banyak menyerap faktor produksi yang tersedia di negara itu dalam jumlah dan berharga relatif murah, serta mengimpor komoditi yang banyak menyerap faktor produksi yang di negara itu relatif langka dan mahal (Salvatore, 1997). Menurut Pearson and Gotsch (2004) ada beberapa faktor yang dapat mengubah keunggulan komparatif, yang penting diantaranya adalah perubahan dalam sumber daya alam, perubahan faktor-faktor biologi, perubahan harga input, perubahan teknologi, dan biaya transportasi yang lebih murah dan efisien. b. Keunggulan Kompetitif Michael E. Porter dalam bukunya yang terkenal, The Competitive Advantage of Nation, 1990 mengemukakan tentang tidak adanya korelasi langsung antara dua faktor produksi (sumberdaya alam dan sumberdaya manusia) yang dimiliki oleh suatu negara, yang dimanfaatkan menjadi keunggulan daya saing dalam perdagangan internasional. Hasil akhir Porter menyebutkan bahwa peran pemerintah sangat mendukung dalam peningkatan daya saing selain faktor produksi yang tersedia (Halwani, 2002). 15 Porter lalu mengungkapkan ada empat atribut yang menentukan dalam suatu negara apabila ingin sukses dalam perdagangan internasional. Keempat atribut tersebut adalah (Halwani, 2002) : 1. Keadaan faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil atau prasarana. 2. Keadaan permintaan dan tuntutan mutu di dalam negeri untuk hasil industri tertentu. 3. Eksistensi industri terkait dan pendukung yang kompetitif secara internasional. 4. Strategi perusahaan itu sendiri, dan struktur serta sistem persaingan antar perusahaan. Selain itu menurut Porter, salah satu esensi dari keunggulan kompetitif adalah bagaimana menciptakan produk atau layanan serta seluruh proses yang menyertainya sedemikian sehingga sulit ditiru oleh pesaing. Untuk itu diperlukan dua jenis strategi, yakni diferensiasi dan produksi biaya rendah (low cost production). Usahatani padi organik dengan produk beras organik sebagai komoditi komersial, dimana keunggulan komparatif untuk menganalisis efisiensi dari sisi ekonomi sedangkan keunggulan kompetitif untuk menganalisis efisiensi dari sisi finansial. Teori daya saing dalam penelitian ini berpijak pada kerangka Policy Analysis Matrix (PAM). Konsep daya saing dalam PAM dikategorikan menjadi 2 macam yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif menyatakan keunggulan yang dimiliki ketika pasar tidak terdistorsi yaitu didekati dengan menilai biaya dan penerimaan menggunakan harga sosial sedangkan keunggulan kompetitif adalah keunggulan pada saat harga aktual (Pearson et al., 2005). 16 Sumber distorsi yang dapat mengganggu tingkat daya saing antara lain adalah (1) kebijakan pemerintah (government policy), baik yang bersifat langsung (seperti tarif) maupun tak langsung (seperti regulasi); dan (2) distorsi pasar, karena adanya ketidaksempurnaan pasar (market imperfection), misalnya adanya monopoli/monopsoni domestik. Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu negara atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif secara dinamis akan mengalami perkembangan. Pearson et al., (2005) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif, yaitu: (1) perubahan dalam sumberdaya alam, (2) perubahan faktor-faktor biologi, (3) perubahan harga input, (4) perubahan teknologi, dan (5) biaya transportasi yang lebih murah dan efisien. Melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keunggulan komparatif di atas, maka keunggulan komparatif merupakan suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan. Keadaan ini mengacu pada kemampuan mengelola secara dinamis dari suatu wilayah yang mempunyai keterbatasan sumberdaya dengan dukungan tenaga kerja, modal dan dari segi pengolahannya. Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan alat untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Adanya konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali yang sulit ditemukan di dunia nyata dan keunggulan komparatif suatu aktivitas ekonomi dari sudut pandang atau individu yang berkepentingan langsung (Salvator, 1994). Sudaryanto operasional dan keunggulan Simatupang (1993) kompetitif dapat menyebutkan didefinisikan secara sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan pesaing, seraya memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan (opportunity cost) sumberdaya. Lebih lanjut Sudaryanto dan Simatupang 17 (1993) menegaskan bahwa agribisnis dan pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi dengan harga serendah mungkin atau pembangunan pertanian yang berwawasan produk sudah tidak sesuai dengan keadaan pasar global saat ini. Berdasarkan kondisi tersebut untuk mengantisipasi keadaan pasar, usaha produksi komoditi pertanian pada saat ini harus lebih berorientasi pada konsumen atau lebih berwawasan menjual. Kondisi ini menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan komparatif (menghasilkan barang lebih murah dari pesaing), tetapi juga ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut (karakter) yang sesuai oleh dengan keinginan konsumen (Sukirno, 1998). Analisis keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur keuntungan privat (private profitability) atau kelayakan dari suatu aktivitas yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi yang berlaku. Dalam hal ini, suatu negara akan dapat bersaing di pasaran internasional jika negara terebut memiliki keunggulan kompetitif dalam menghasilkan suatu komoditi dengan asumsi adanya sistem pemasaran dari intervensi pemerintah. Kondisi ini mengakibatkan suatu negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif ternyata memiliki keunggulan kompetitif. Sehingga pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditi yang diproduksi pada aktivitas ekonomi tersebut, misalnya melalui jaminan harga, kemudahan perizinan dan kemudahan fasilitas lainnya (Sudaryanto dan Simatupang, 1993). Walaupun demikian konsep keunggulan kompetitif ini bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya saling menggantikan terhadap keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan konsep yang sifatnya saling melengkapi. 4. Matriks Analisis Kebijakan / Policy Analysis Matrix Metode Policy Analysis Matrix merupakan suatu alat analisis yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas yang dikembangkan oleh Monke dan 18 Pearson (1989). Empat aktivitas yang terdapat dalam sistem komoditi yang dapat dipengaruhi terdiri dari tingkat usahatani, distribusi dari usahatani ke pengolah, pengolahan, dan pemasaran secara keseluruhan dan sistematis. Isu-isu yang sering dibahas dalam PAM adalah (1) apakah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada; (2) dampak investasi publik dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru, serta terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani; (3) dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian. Tiga tujuan utama dari metode PAM adalah (1) menghitung tingkat keuntungan privat – sebuah ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual; (2) menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani – dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity costs); (3) menghitung transfer effects, sebagai dampak dari sebuah kebijakan yang dilakukan (Pearson, et. al. 2005). Adapun tahapan dalam penyusunan Tabel PAM adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi seluruh input yang digunakan dalam proses produksi. 2. Mengalokasikan input tradable dan input non tradable. 3. Menghitung harga bayangan input, output, dan nilai tukar uang 4. Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan model PAM. Model PAM digunakan untuk menganalisis keuntungan (privat dan sosial) dan daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) dengan formulasi pada Tabel 2. 19 Tabel 2. Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix) Uraian Penerimaan Biaya Keuntungan Harga privat Harga sosial A Input Tradable B Input Non tradable C D E F G H Divergensi I J K L Sumber : Pearson et al., (2005) Keterangan : Keuntungan Privat/Private Profitability (D) = (A) - (B + C) Keuntungan Sosial/Social Profitability (H) = (E) - (F + G) Transfer Output/Output Transfer (I) = (A) - (E) Transfer Input/ Input Transfer (J) = (B) - (F) Transfer Faktor/ Factor Transfer (K) = (C) - (G) Transfer Bersih/ Net Transfer (L) = (D) - (H) = I - (J + K) Rasio Biaya Privat/Private Costs Ratio (PCR) = C / (A-B) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik/ Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) = G / (E-F) Koefisien Proteksi Nominal terhadap Output/ Nominal Protection Coeficient on Output (NPCO) = A / E Koefisien Proteksi Input Nominal/ Nominal Protection Coeficient on input (NPCI) = B / F Koefisien Proteksi Efektif/ Effective Protection Coefficient (EPC) = (A-B) / (E-F) Koefisien Keuntungan/Profitability Coefficient (PC) = D / H Rasio Subsidi Bagi Produsen/ Subsidi Ratio to Producers (SRP) = L / E Analisis PAM dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai wilayah, tipe usahatani dan teknologi. Tabel 2 memberi gambaran bahwa PAM terdiri dari tiga baris, dimana baris pertama adalah perhitungan dengan harga privat yaitu harga yang diterima petani, baris kedua merupakan perhitungan harga sosial (harga bayangan) yaitu harga yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsur biaya maupun hasil, dari dua perhitungan tersebut masingmasing dihitung keuntungan. Keuntungan merupakan perbedaan antara 20 penerimaan dan biaya. Perbedaan perhitungan antara harga privat dengan harga sosial disebabkan terjadinya kegagalan pasar atau masuknya kebijakan pemerintah yang terletak pada baris ketiga. Jika kegagalan pasar dianggap faktor yang tidak begitu berpengaruh, maka perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan adanya insentif kebijakan yang dapat dianalisis (Monke and Pearson, 1989). Setiap matriks memiliki empat kolom yaitu kolom pertama adalah penerimaan, kolom kedua adalah kolom biaya yang terdiri dari biaya input yang dapat diperdagangkan (input tradabel) dan biaya faktor domestik. Input yang digunakan seperti pupuk, pestisida, benih/ bibit, peralatan dan lain-lain dipisahkan menjadi input yang dapat diperdagangkan dan faktor domestik (Monke and Pearson, 1989; Pearson et al., 2005). Menurut Pearson et al., (2005) matriks PAM terdiri atas dua identitas, identitas tingkat keuntungan (profitability identity) dan identitas penyimpangan (divergences identitity). Identitas keuntungan pada sebuah tabel PAM adalah hubungan perhitungan lintas kolom dari matriks. Keuntungan didefinisikan sebagai pendapatan dikurangi biaya. Semua angka dibawah kolom bernama keuntungan dengan sendirinya identik dengan selisih antara kolom yang berisi penerimaan dan kolom yang berisi biaya (termasuk di dalamnya biaya input tradable dan faktor domestik). Identitas penyimpangan (divergences identity) adalah hubungan lintas baris dari matriks. Divergensi menyebabkan harga privat suatu komoditas berbeda dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat, baik karena pengaruh kebijakan yang distorsif, yang menyebabkan harga privat berbeda dengan harga sosialnya, atau karena kekuatan pasar gagal menghasilkan harga efisiensi. Semua angka pada baris ketiga dari tabel PAM didefinisikan sebagai “effects of divergences” dan sama dengan selisih antara angka pada baris pertama, yang dinilai dengan harga privat dan angka pada baris kedua, yang dinilai pada baris kedua, yang dinilai dengan harga sosial. 21 Terdapat dua metode pendekatan dalam pengalokasian biaya ke dalam komponen domestik dan asing. Dua metode tersebut adalah metode pendekatan total (Total Approach) dan metode pendekatan langsung (Direct Approach). Pada metode pendekatan total mengasumsikan semua biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut memiliki kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Pendekatan ini lebih tepat digunakan apabila produsen lokal dilindungi sehingga tambahan input didatangkan dari produsen lokal atau domestik (Monke dan Pearson, 1989). Pada metode pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat diperdagangkan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Input non tradable yang berasal dari pasar domestik ditetapkan sebagai komponen biaya domestik dan input asing yang dipergunakan dalam proses produksi dihitung sebagai komponen biaya asing (Monke dan Pearson, 1989). 5. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah (Gittinger, 1986). Pada bidang pertanian, proyek-proyek sensitif berubah-ubah akibat empat masalah utama yaitu harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan biaya dan hasil. a. Harga Dalam hal ini kita meneliti apa yang akan terjadi jika asumsi mengenai harga jual produk ternyata keliru, sehingga dibuat asumsi mengenai harga jual pada masa yang akan datang. Dapat juga meneliti perubahan akibat asumsi harga bayangan yang berbeda-beda. 22 Kemudian pengaruh penggunaan upah pasar atau harga bayangan sebagai balas jasa tenaga kerja, pengaruh nilai tukar resmi atau nilai ekspor impor dan lain-lain. b. Keterlambatan pelaksanaan Keterlambatan pelaksanaan mempengaruhi hampir semua proyek pertanian. Para petani mungkin tidak dapat mengikuti petunjuk baru secepat seperti yang diharapkan atau petani kesulitan belajar teknikteknik baru. Mungkin saja terjadi keterlambatan dalam pemesanan dan penerimaan peralatan baru. Masalah dan persyaratan administrasi yang tak terhindarkan dapat saja memperlambat pelaksanaan proyek. c. Kenaikan biaya Proyek-proyek cenderung sangat sensitif terhadap kenaikan biaya input. Untuk pertanian berupa kenaikan biaya benih, lahan, biaya tenaga kerja, pestisida dan lain-lain. d. Hasil Analisa dilaksanakan untuk menghitung perubahan hasil proyek pertanian yang dapat disebabkan oleh berbagai masalah misalnya masalah cuaca, hama dan penyakit. Analisis sensitivitas dilakukan dengan: a. Mengubah besarnya variabel-variabel penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa peka hasil perhitungan terhadap perubahanperubahan tersebut. b. Menentukan dengan berapa suatu variabel harus berubah sampai ke hasil perhitungan yang membuat proyek tidak diterima. analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau kombinasi unsur kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Suatu variasi pada analisa sensitivitas adalah “nilai pengganti” (switching value). Dalam analisa sensitivitas ini secara langsung kita memilih sejumlah nilai yang dengan nilai tersebut kita melakukan 23 perubahan terhadap masalah yang dianggap penting pada analisa proyek dan kemudian kita dapat menentukan pengaruh perubahan tersebut terhadap daya tarik proyek. 6. Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah diberlakukan terhadap input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam keadaan perdagangan bebas (harga sosial). Terdapat dua bentuk kebijakan pemerintah yang bisa ditetapkan pada suatu komoditas, yaitu kebijakan subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi dibedakan menjadi dua, yaitu subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota (Monke dan Pearson 1989). Monke dan Pearson (1989) menjelaskan tentang kebijakan harga (price policies) dibagi menjadi tiga tipe kriteria, yaitu tipe instrumen (subsidi atau kebijakan perdagangan), penerimaan atau keuntungan yang akan diperoleh (produsen atau konsumen), dan tipe komoditi (impor atau ekspor). Hal tersebut bisa digambarkan pada Tabel 3. 24 Tabel 3. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditi Instrumen Kebijakan Subsidi : Dampak Pada Produsen Subsidi pada produsen: A. Tidak merubah harga pasar dalam 1) Pada barang-barang negeri substitusi impor B. Merubah harga (S+PI; S- PI) pasar dalam negeri 2) Pada barangbarang orientasi ekspor (S+PE; SPE) Kebijakan Hambatan pada barang Perdagangan impor (TPI) (Merubah harga pasar dalam negeri) Dampak Pada Konsumen Subsidi pada konsumen 1) Pada barang-barang substitusi impor (S+CI ; S- CI) 2) Pada barang-barang orientasi ekspor (S+CE; S-CE) Hambatan pada ekspor (TCE) barang Sumber : Monke dan Pearson, 1989 Keterangan : S+ : Subsidi S: Pajak CE : Konsumen barang orientasi ekspor CI : Konsumen barang substitusi impor PE : Produsen barang orientasi ekspor TCE : Hambatan barang ekspor PI : Produsen barang substitusi impor TPI : Hambatan barang impor a. Tipe Instrumen Di dalam kriteria ini terdapat perbedaan antara kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan. Menurut Salvatore (1994), subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Kebijakan subsidi terdiri dari dua kebijakan, yaitu kebijakan subsidi positif dan subsidi negatif. Kebijakan subsidi positif adalah subsidi yang dibayarkan oleh pemerintah, sedangkan kebijakan subsidi negatif adalah pembayaran kepada pemerintah. Tujuan dari kebijakan subsidi adalah untuk melindungi konsumen dan produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga luar negeri. 25 Menurut Monke dan Pearson (1989) kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor komoditi. Kebijakan ini bisa berbentuk pajak (tarif) atau pembatasan jumlah komoditi yang diperdagangkan (kuota). Tujuan diterapkan kebijakan ini adalah untuk mengurangi jumlah komoditi impor yang diperdagangkan dan menciptakan perbedaan harga di dalam dan luar negeri sehingga dapat mempertahankan daya saing komoditi di dalam negeri. Kebijakan ini umumnya berfungsi untuk melindungi produsen domestik. Monke dan Pearson (1989) menjelaskan perbedaan antara kebijakan perdagangan dengan kebijakan subsidi yang dibagi ke dalam beberapa aspek, yaitu: 1) Implikasi terhadap anggaran pemerintah Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah, sedangkan kebijakan subsidi akan berpengaruh pada anggaran pemerintah. Subsidi negatif akan menambah anggaran pemerintah berupa pajak, sedangkan subsidi positif akan mengurangi anggaran. 2) Tipe alternatif kebijakan Terdapat delapan tipe subsidi bagi produsen dan konsumen pada barang orientasi ekspor dan barang substitusi impor, yaitu: 1. Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI) 2. Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) 3. Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI) 4. Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (SPE) 5. Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI) 6. Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) 26 7. Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (SCI) 8. Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (SCE) Berbeda dengan kebijakan subsidi, pada kebijakan perdagangan hanya terdapat dua tipe, yaitu hambatan perdagangan pada barang impor (TPI) dan hambatan perdagangan pada barang ekspor (TPE). Menurut Monke dan Pearson (1989), aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan atau kebijakan kuota sepanjang pemerintah dapat memiliki mekanisme yang efektif untuk mengontrol penyelundupan. 3) Tingkat kemampuan penerapan Kebijakan subsidi bisa diterapkan pada komoditi asing (tradable) dan komoditi domestik (non tradable), sedangkan kebijakan perdagangan hanya bisa diberlakukan pada komoditi tradable. b. Kelompok Penerimaan Klasifikasi kelompok penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada produsen dan konsumen. Suatu kebijakan subsidi dan perdagangan menyebabkan terjadinya transfer antara produsen, konsumen, dan anggaran pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan, pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer ketika produsen mendapatkan keuntungan dan konsumen mengalami kerugian, atau konsumen mengalami keuntungan dan produsen mengalami kerugian. c. Tipe Komoditi Pada kebijakan perdagangan terdapat komoditi yang akan diekspor dan komoditi yang diimpor. Apabila pemerintah tidak memberlakukan kebijakan-kebijakan dalam komoditi ekspor-impor, maka harga domestik akan sama dengan harga internasional. Harga FOB (harga di pelabuhan) digunakan untuk barang yang akan diekspor, sedangkan harga CIF (harga di pelabuhan ekspor) berlaku untuk barang impor. 27 Kebijakan pemerintah dapat dikenakan pada komoditi pertanian baik input ataupun output yang tentu saja dapat mempengaruhi kesejahteraan produsen (petani) maupun konsumen. Umumnya kebijakan ini diberlakukan pada harga input dan harga output. C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah Memasuki abad ke-21, gaya hidup sehat dengan slogan ”Back to Nature” telah menjadi trend baru masyarakat dunia. Masyarakat semakin menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida sintetis ternyata berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Hal ini mengakibatkan banyak permintaan akan produkproduk pertanian yang mengarah kepada ”Back to Nature” atau dengan kata lain produk organik. Salah satu bentuknya adalah beras organik sebagai output dari padi organik. Kementerian Pertanian mempunyai program pengembangan pertanian organik yaitu “Go Organic” 2010. Misi program ini adalah “meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan kelestarian alam lingkungan alam Indonesia, dengan mendorong berkembangnya pertanian organik yang berdaya saing dan berkelanjutan”. Salah satu tujuan program ini adalah untuk menghasilkan produk-produk organik asal Indonesia yang bisa diterima di pasar domestik bahkan internasional (untuk diekspor). Salah satu provinsi yang selama ini aktif melaksanakan pertanian padi organik di Indonesia adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dimana upaya pengembangan usahatani padi organik di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta masih mengalami beberapa kendala, yaitu masalah jumlah produksi yang fluktuatif, harga jual rendah, masalah distribusi dan pemasaran, dan mahalnya biaya sertifikasi. Hal-hal tersebut dapat menghambat pengembangan usahatani padi organik dan pada akhirnya akan mempengaruhi daya saing usahatani padi organik dalam memasuki pasar baik domestik maupun internasional. Oleh karena itu dibutuhkan analisis mengenai 28 keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi organik di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Analisis Kebijakan digunakan sebagai alat untuk menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah. Alat analisis PAM akan menganalisis keuntungan privat dan sosial, analisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) dan analisis dampak kebijakan yang mempengaruhi sistem komoditas. Metode PAM hanya bisa menganalisis pada kondisi saat ini saja. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis sensitivitas untuk mengetahui dampak apabila terjadi perubahan keadaan atau kebijakan yang dapat mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif pada usahatani padi organik. Kerangka pemikiran operasional dapat dijelaskan pada Gambar 4. 29 Kesadaran Masyarakat terhadap produk organik: 1. Food Safety Attributes (Aman Konsumsi), 2. Nutritional attributes) (kandungan nutrisi tinggi), 3. Eco-labelling attribute (ramah lingkungan), Program Pemerintah “Go Organic 2010” 1. 2. Potensi Pasar Masih luasnya lahan yang tersedia Potensi Pengembangan Padi Organik Usahatani Padi Organik Prov DIY 1. 2. 3. 4. Jumlah produksi masih sedikit Harga jual output masih rendah Masalah distribusi dan pemasaran Sertifikasi mahal PAM (Policy Analysis Matrix) Dampak Kebijakan 1. Transfer Input 2. Transfer output 3. Transfer Faktor Keunggulan Komparatif 1. Keuntungan Sosial Keunggulan Kompetitif 1. Keuntungan Privat Analisis Sensitivitas Daya Saing Usahatani Padi Organik Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional 30 D. Asumsi Semua petani dianggap petani penyewa lahan. E. Pembatasan Masalah 1. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah penelitian ini hanya dibatasi pada analisis profitabilitas sosial dan privat, keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan yang didasarkan pada perhitungan satu musim tanam tahun 2015 yaitu pada bulan Januari sampai dengan Maret 2015 sesuai hasil Policy Analysis Matrix (PAM) untuk perumusan suatu kebijakan. 2. Pembahasan kajian dibagi menjadi tiga wilayah kabupaten bersertifikat padi organik yang terdapat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo karena terdapat perbedaan dalam hal luas lahan, jumlah petani, pemakaian input, penerimaan output tetapi terdapat kesamaan dalam biaya sertifikasi. F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel 1. Sistem Pertanian Organik adalah sistem manajemen produksi yang holistik untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan penerapan praktek-praktek manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan input dari limbah kegiatan budidaya di lahan, dengan mempertimbangkan daya adaptasi terhadap keadaan/kondisi setempat. Jika memungkinkan hal tersebut dapat dicapai dengan penggunaan budaya, metoda biologi dan mekanik, yang tidak menggunakan bahan sintesis untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam sistem. 2. Produk Organik adalah suatu produk yang dihasilkan sesuai dengan standar sistem pangan organik termasuk bahan baku pangan olahan organik, bahan pendukung organik, tanaman dan produk segar tanaman, 31 ternak dan produk peternakan, produk olahan tanaman, dan produk olahan ternak (termasuk non pangan). 3. Lembaga Sertifikasi Organik yang selanjutnya disebut LSO adalah lembaga yang bertanggung jawab untuk mensertifikasi bahwa produk yang dijual atau dilabel sebagai “organik” adalah diproduksi, ditangani, dan diimpor menurut Standar Nasional Indonesia Sistem Pangan Organik dan telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional. LSO tersebut bisa nasional maupun LSO asing yang berkedudukan di Indonesia. 4. Luas lahan adalah luas usahatani padi organik yg diukur dalam satuan hektar (ha) 5. Benih adalah tanaman atau bagian nya yang digunakan untuk memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan tanaman. 6. Shadow exchange rate (SER) adalah harga bayangan dari nilai tukar valuta asing 7. Produksi yang dimaksud adalah produksi per hektar per musim tanam selama periode analisis tanaman padi organik yang dinyatakan dalam satuan kilogram (kg) dalam bentuk padi organik 8. Biaya produksi adalah biaya produksi total per hektar per musim tanam selama periode analisis tanaman padi organik yang dinyatakan dalam rupiah (Rp). Biaya produksi meliputi biaya tetap dan biaya variabel, yaitu biaya penyusutan, biaya sewa, biaya pembelian input produksi dan biaya upah tenaga kerja. 9. Penerimaan adalah penerimaan dari hasil penjualan produksi padi organik per hektar per musim tanam selama periode analisis tanaman padi organik yang dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp). 10. Keuntungan merupakan selisih dari penerimaan total dengan biaya total dan dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp). 11. Harga privat adalah harga-harga input maupun output yang didasarkan atas harga berlaku di pasar yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan pemerintah. 32 12. Harga sosial adalah harga-harga input maupun output yang merujuk pada harga efisien, dimana tidak terdapat campur tangan pemerintah yang mempengaruhi pembentukan harga. 13. Input non tradable (domestik) adalah input yang tidak dapat diperdagangkan di pasar internasional seperti pupuk padat (kandang, kompos), tenaga kerja, benih. 14. Input tradable (asing) adalah input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional atau kemungkinan dapat diperdagangkan di pasar internasional. 15. Harga bayangan atau shadow price adalah harga yang digunakan untuk menyesuaikan dengan harga pada pasar persaingan sempurna yang mencerminkan harga sosialnya. 16. Harga f.o.b (free on board) adalah merupakan harga barang di lokasi penjual belum termasuk biaya pengangkutan dan asuransi. Harga f.o.b digunakan untuk harga paritas impor, dihitung dalam satuan mata uang US $ yang kemudian dikonversikan ke mata uang rupiah. 17. Harga c.i.f (cost, insurance, and freight) merupakan harga barang di pelabuhan dalam negeri yang mencakup harga barang itu di luar negeri (f.o.b luar negeri) ditambah biaya asuransi dan ongkos pengirimannya. Harga c.i.f digunakan untuk harga paritas ekspor, dihitung dalam satuan mata uang US$ yang kemudian dikonversikan ke mata uang rupiah. 18. Kebijakan pemerintah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan pemerintah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian dalam usaha untuk mencapai tujuan tertentu seperti kebijakan perdagangan, penetapan kuota ekspor, subsidi impor, pajak impor dan pajak ekspor. 19. Distorsi/kegagalan pasar pada komoditi padi organik adalah suatu kondisi penyimpangan pada pemasaran komoditi padi organik, dimana tidak terjadi kondisi persaingan sempurna padahal seharusnya pasar dalam kondisi persaingan sempurna. 20. Kurs valuta asing merupakan nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah di Bank Indonesia. 33 21. Biaya tata niaga terdiri dari dua komponen biaya, yaitu biaya transportasi (pengangkutan) dan biaya handling (penanganan). 22. Keunggulan komparatif adalah penggunaan sumberdaya domestik efisien secara ekonomi yang dicerminkan dari nilai Domestic Resource Cost Ratio (DRCR). 23. Keunggulan kompetitif adalah penggunaan sumber daya domestik efisien secara finansial yang dicerminkan dari nilai Private Cost Ratio (PCR) 34