I. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu 1. Penelitian

advertisement
I.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
1. Penelitian Terdahulu Tentang Padi Organik
Prihtanti (2014) meneliti tentang Kinerja dan Multifungsionalitas
Usahatani Padi Organik dan Konvensional di Provinsi Jawa Tengah. Hasil
penelitian menunjukkan produktivitas usahatani padi organik tidak
berbeda
dengan
usahatani
padi
konvensional,
dimana
rata-rata
produktivitas usahatani padi organik sebesar 5,9 ton/ha, sedangkan ratarata produktivitas usahatani padi konvensional sebesar 5,57 ton/ha; Nilai
R/C ratio usahatani padi organik lebih tinggi daripada usahatani padi
konvensional, dan kedua usahatani tersebut masih layak dilakukan,
capaian efisiensi teknis, efisiensi lingkungan, efisiensi alokatif, dan
efisiensi ekonomis usahatani padi sistem organik lebih tinggi daripada
usahatani konvensional, dan hal tersebut disebabkan usahatani sistem
organik mampu meningkatkan produksi potensial maupun aktual. Terdapat
hubungan yang kuat antara kinerja usahatani dengan multifungsionalitas
usahatani, baik pada usahatani padi organik maupun usahatani padi
konvensional. Pemeliharaan kualitas kesuburan tanah sawah dalam proses
usahatani padi memberikan pengaruh positif pada produktivitas, efisiensi
teknis, efisiensi ekonomis, dan efisiensi lingkungan. Berdasarkan struktur
biaya usahatani, biaya pupuk kimia pada usahatani konvensional
menunjukkan prosentase yang cukup besar dari total biaya tunai usahatani,
bahkan hampir menyamai biaya untuk tenaga kerja, oleh karena itu, perlu
dilakukan efisiensi penggunaan pupuk kimia oleh petani, baik melalui
penggunaan yang sesuai dosis ataupun mencari alternatif pupuk yang
relatif efisien biaya dan memperhatikan kesehatan tanah. Usahatani padi
organik terbukti memberikan kinerja yang lebih baik daripada usahatani
konvensional, sekaligus memberikan multifungsionalitas (output non
komoditas) yang lebih baik dibandingkan usahatani konvensional. Oleh
1
2
karena itu, perlu dilakukan program pengembangan usahatani sistem
organik pada wilayah pertanian yang telah mengembangkan usahatani
organik maupun lebih meluas.
Heryanto et al., (2014) meneliti tentang Model Konsepsi-Adopsi
Inovasi Beras Organik: Sosial Ekonomi Petani (Studi Kasus Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat) menyatakan bahwa proses konsepsi sistem
pertanian beras organik diawali permintaan pasar internasional akan beras
organik yang mendorong pengusaha untuk menjalin kemitraan dengan
petani untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut. Pada tahap konsepsi hal
tersebut cukup efektif untuk menarik sistem pertanian konvensional ke
organik. Namun demikian, proses konsepsi yang telah terbentuk tidak
akan berlanjut ke tahap adopsi apabila proses adopsi tidak dikelola dengan
baik. Faktor sosial (perilaku petani) merupakan penentu keputusan petani
dalam mengadopsi sistem pertanian organik karena saling terkait dengan
faktor ekonomi pada prakteknya. Faktor teknologi, lingkungan, etika dan
nilai
saling
mempengaruhi
pada
tahap
adopsi
lebih
kompleks
dibandingkan dengan tahap konsepsi. Model ini dibangun secara kualitatif
dengan menggunakan metode berpikir sistem dan matriks sosial. Struktur
diagram sebab akibat digunakan untuk menganalisis hubungan sebab
akibat unsur-unsur yang saling terkait baik dalam tahap konsepsi dan
adopsi, kemudian matriks sosial digunakan untuk memetakan interaksi
antar unsur yang terlibat dalam tahap adopsi pertanian organik yang terdiri
dari kelembagaan sosial, teknologi, lingkungan, nilai dan norma, serta
sikap. Penelitian ini menunjukan bahwa tahap adopsi menjadi titik kritis
yang harus dilalui dalam suatu proses inovasi. Sebagai pembelajaran,
suatu inovasi harus dikelola dengan baik mulai dari tahapan konsepsi
sampai adopsi yang melibatkan unsur sosial, ekonomi dan teknologi.
Chen et al., (2012) meneliti tentang konversi dari pertanian
konvensional menjadi pertanian organik, studi kasus petani padi China di
kota Wuchang. Penelitian ini menggunakan analisis data envelopment
3
analysis (DEA) untuk mengestimasi nilai efisiensi teknis beras organik
yang dikonversi dari konvensional. Penelitian ini menemukan pertama,
bahwa tidak terdapat perbedaan hasil panen petani setelah beralih ke
organik (N=95), Tidak terdapat perbedaan statitistik dibandingkan dengan
konvensional dan pada tahun pertama konversi (N=76). Tidak terdapat
perbedaan hasil panen pada petani (N=19) pada tahun pertama dengan
tahun kedua konversi. Diperkirakan petani mau melakukan konversi
karena terdapat dukungan perusahaan lokal, terutama untuk pembelian
produk, jaminan pendapatan dan asuransi jiwa. Kedua, hasil efisiensi
teknis menunjukkan efisiensi teknis produksi padi organik meningkat
dalam jangka pendek kemudian semakin menurun. Hal ini disebabkan
evolusi ekologi organik dan sistem pemasaran membutuhkan waktu agar
stabil dan efektif. Ketiga, input tenaga kerja, pupuk organik, pestisida
nabati, fasilitas produksi dan irigasi pada petani yang telah lebih dulu
melakukan konversi relatif lebih tinggi. Ketergantungan pada tenaga kerja
juga ditemukan lebih besar. Disimpulkan bahwa membutuhkan waktu
beberapa tahun agar petani mendapatkan hasil produksi yang lebih baik
setelah transisi dari konvensional ke pertanian organik.
Suryadi (2011) meneliti tentang pengembangan beras kualitas
premium sebagai strategi peningkatan pendapatan petani padi: studi kasus
pengembangan beras organik di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa (1) produktivitas padi organik lebih tinggi
dari padi non organik tetapi tidak berbeda nyata secara statistik, (2)
pendapatan petani padi organik lebih tinggi dari petani non organik dan
berbeda nyata secara statistik, (3) jumlah benih, pupuk, pestisida, tenaga
dalam dan luar keluarga, dan sumber benih secara nyata berpengaruh
terhadap produksi padi organik, (4) potensi pengembangan beras organik
diantaranya adalah tingginya permintaan pasar, luasnya potensi areal
pengembangan, tersedianya benih varietas unggul, berbasis sumber daya
keluarga dan input lokal, memiliki persentase harga yang diterima petani
relatif tinggi, memiliki rantai saluran tataniaga yang relatif pendek, dan
4
harga beras organik yang relatif tinggi, (5) kendala pengembangan beras
organik diantaranya adalah persepsi yang masih keliru mengenai sistem
pertanian organik, lemahnya kemampuan permodalan petani, terbatasnya
jumlah pupuk dan pestisida organik, terbatasnya peralatan pengolahan padi
menjadi beras organik, kurangnya bimbingan dan penyuluhan, dan
lemahnya penerapan standar dan sistem sertifikasi mutu beras organik.
Kesimpulan
yang
diperoleh
dari
penelitian
ini
adalah
bahwa
pengembangan beras organik yang merupakan salah satu jenis beras
premium dinilai sebagai salah satu strategi yang tepat dalam rangka
peningkatan pendapatan petani padi dan kebijakan pengembangan ini
dinilai tidak mengganggu program swasembada beras karena produktivitas
padi organik dapat menyamai padi non organik.
2. Penelitian Terdahulu Tentang Daya Saing melalui Matriks Analisis
Kebijakan /Policy Analysis Matrix (PAM)
Souza et al., (2013) – meneliti tentang produksi beras di negara
anggota Mercosur dengan Policy Analysis Matrix (PAM). Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengevaluasi profitabilitas dan dampak pajak
langsung dan tidak langsung pada produksi beras di Brazil dibandingkan
dengan anggota kelompok Mercosur lainnya. Penelitian ini menggunakan
PAM untuk mengevaluasi efisiensi ekonomi dari sistem produksi empat
negara mercosur yaitu Brazil, Argentina, Paraguay dan Uruguay dengan
menghitung harga privat dan harga sosial. Hasilnya menunjukkan bahwa
pada tahun 2010 produksi beras di Argentina dan Uruguay memiliki
profitabilitas sosial dan privat positif, sedangkan Brazil dan Paraguay
negatif. Kedua, pada simulasi skenario alternatif untuk Brazil, dengan
memperhitungkan pengurangan biaya pajak langsung dan tidak langsung
dengan jumlah yang sama dengan negara-negara pembanding. Pada
skenario ini keuntungan produksi beras Brazil tidak negatif tetapi hanya
memiliki keuntungan yang sangat rendah. Variabel lain yang diabaikan
adalah perkembangan produksi, teknologi dan nilai tukar yang juga
5
merupakan faktor berpengaruh dalam profitabiltas produksi beras di
Brazil.
Kanaka (2013) – meneliti tentang Policy Analysis Matrix pada
Budidaya Beras di India, penelitian ini mengkombinasikan teknik PAM
untuk menghitung profitabilitas pertanian. Sampel diambil dari Tamil
Nadu (India Selatan). Hasilnya rata-rata usahatani mengalami kerugian
baik dihitung dari harga privat maupun harga sosial, ketika biaya
kesempatan faktor domestik dihitung. Tetapi memberikan hasil yang
positif setelah dilakukan penyesuaian terhadap efisiensi, kemudian
disimpulkan sebaiknya dilakukan perhitungan memakai metode PAM
setelah meningkatkan manajerial terhadap usahatani.
Ogbe et al., (2011) meneliti tentang daya saing produksi beras dan
jagung di Nigeria menggunakan policy analysis matrix (PAM) dengan
sampel sebanyak 122 petani. Hasilnya PAM menunjukkan bahwa output
pada semua ekologi produksi dikenakan pajak. Dijelaskan lebih lanjut oleh
nilai EPC dan SRP, dalam kondisi input tradable disubsidi. Kemudian
perhitungan menunjukkan bahwa terdapat keuntungan kompetitif yang
tinggi pada level usahatani (beras irigasi, beras dataran tinggi dan jagung
dataran tinggi) dan juga keuntungan komparatif yang tinggi. Analisis
sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terdapat peningkatan output
sebanyak 50% dan 13,3% penurunan nilai tukar mata uang akan
meningkatkan keuntungan kompetitif dan komparatif jagung dan beras
pada semua ekologi. Penelitian ini merekomendasikan agar pemerintah
memastikan stabilitas politik pada sektor beras dan jagung, membantu
petani dengan irigasi untuk memastikan suplai air dan meningkatkan
varietas benih.
Mantau (2014) meneliti tentang analisis keunggulan komparatif
usahatani padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi
Utara. Hasil penelitian ini menunjukkan usahatani padi memiliki nilai
DRC sebesar 0,68. Sehingga dapat dikemukakan bahwa komoditas
6
tersebut lebih menguntungkan diproduksi di dalam Kabupaten Bolaang
Mongondow daripada mengimpornya.
Akhtar et al., (2007) meneliti tentang efisiensi ekonomi dan daya
saing sistem produksi beras di Punjab, Pakistan dengan metode PAM.
Metodologi ini juga dipakai untuk menghitung dampak intervensi
kebijakan
pada
produksi
beras
Basmati
dan
IRRI.
Hasilnya
mengindikasikan bahwa produksi Basmati dapat ditingkatkan untuk
diekspor. Sedangkan produksi IRRI dihitung hasilnya negatif pada
efisiensi ekonomi disebabkan oleh inefisiensi penggunaan sumber daya
pada proses produksi. Pada sisi lain, baik produksi beras Basmati maupun
IRRI juga tidak memiliki daya saing. Hasil analisis menunjukkan struktur
subsidi berpengaruh negatif pada petani. Divergen negatif antara
keuntungan privat dan sosial disebabkan intervensi kebijakan mengurangi
tingkat profitabilitas kedua sistem produksi beras tersebut. Sehingga perlu
dihilangkan distorsi kebijakan pada struktur insentif ekonomi untuk
meningkatkan efisiensi dan daya saing produksi beras.
B. Landasan Teori
1. Pertanian Organik
a. Definisi
Kementerian Pertanian (2013) dalam Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 64 Tahun 2013 tentang Sistem Pertanian Organik
mendefinisikan Sistem Pertanian Organik adalah sistem manajemen
produksi yang holistik untuk meningkatkan dan mengembangkan
kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi,
dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan penerapan
praktek-praktek manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan
input
dari
limbah
kegiatan
budidaya
di
lahan,
dengan
mempertimbangkan daya adaptasi terhadap keadaan/kondisi setempat.
Jika memungkinkan hal tersebut dapat dicapai dengan penggunaan
7
budaya, metoda biologi dan mekanik, yang tidak menggunakan bahan
sintesis untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam sistem.
Pertanian organik di banyak tempat dikenal dengan istilah yang
berbeda-beda. Ada yang menyebut sebagai pertanian lestari, pertanian
ramah lingkungan, dan sistem pertanian berkelanjutan. Sutanto (2002)
mendefinisikan pertanian organik sebagai suatu sistem produksi
pertanian yang berasaskan daur ulang secara hayati.
Menurut IFOAM (1990) pertanian organik merupakan suatu
pendekatan sistem yang utuh berdasarkan satu perangkat proses yang
menghasilkan ekosistem yang berkelanjutan (sustainable), pangan
yang aman, gizi yang baik, kesejahteraan hewan dan keadilan sosial.
Pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang
mendukung dan mempercepat biodiversitas, siklus biologi dan
aktivitas biologi tanah.
Menurut dokumen BSN SNI 6729:2013 Organik adalah istilah
pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi
sesuai dengan standar sistem pertanian organik dan disertifikasi oleh
lembaga sertifikasi organik yang telah terakreditasi. Pertanian organik
didasarkan pada penggunaan bahan input eksternal secara minimal
serta tidak menggunakan pupuk dan pestisida sintetis.
b. Tujuan, Manfaat dan Prinsip
Sutanto (2002) menjelaskan tujuan pengembangan padi organik
adalah (1) meningkatkan pendapatan petani padi karena adanya
efisiensi pemanfaatan sumberdaya dan nilai tambah produk, (2)
menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani padi,
(3) meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan
pertanian padi, (4) menjaga dan meningkatkan produktivitas lahan
pertanian padi dalam jangka panjang, serta memelihara kelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan, (5) menciptakan lapangan kerja
baru dan keharmonisan sosial pedesaan, dan (6) menghasilkan pangan
berupa beras yang cukup aman, berkualitas sehingga meningkatkan
8
kesehatan masyarakat dan sekaligus meningkatkan daya saing produk
agribisnis padi. Pertanian organik menghasilkan produk pertanian yang
menerapkan prinsip-prinsip ekologi terbebas dari pemakaian bahanbahan kimia
berbahaya
mulai
dari pembenihan, penanaman,
perawatan, panen, dan pasca panen.
Menurut IFOAM (1990), pertanian organik memiliki empat
prinsip yang disusun untuk mengilhami tindakan dalam mewujudkan
visi pertanian organik menjadi nyata. Prinsip-prinsip tersebut, yaitu:
1. Prinsip kesehatan
Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan
tanah, tanaman, manusia hewan, dan planet sebagai satu kesatuan
dan tak terpisahkan. Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap
individu dan komunitas tak dapat dipisahkan dari kesehatan
ekosistem - tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat
yang mendukung kesehatan hewan dan manusia. Peran pertanian
organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi, atau
konsumsi, adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan
kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil dalam tanah
untuk manusia. Dengan demikian, maka pertanian organik harus
bebas dari pupuk, pestisida, obat-obatan dan zat-zat lain yang dapat
berbahaya bagi kesehatan.
2. Prinsip ekologi
Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus
kehidupan ekologi, bekerja sama dengan kondisi tersebut, dan
berusaha membantu kondisi tersebut berkelanjutan. Pertanian
organik, peternakan, dan sistem panen harus berdasarkan pada
siklus dan keseimbangan ekologi di alam. Pengelolaan pertanian
organik harus diadaptasikan pada keadaan lokal, ekologi, budaya,
dan skala. Input harus dikurangi dengan daur ulang, dan
pengelolaan material serta energi yang efisien sebagai upaya
memelihara
dan
meningkatkan
kualitas
lingkungan
dan
9
melestarikan sumber daya alam. Pertanian organik harus mencapai
keseimbangan ekologis, baik dalam bentuk sistem pertanian,
pembentukan habitat, serta pemeliharaan keragaman genetik.
3. Prinsip keadilan
Pertanian organik harus mampu membangun hubungan yang
menjamin keadilan pada lingkungan dan kesempatan hidup
bersama. Keadilan ditandai dengan adanya kesetaraan, saling
menghargai, keadilan, dan kesediaan untuk hidup bersama, baik
sesama manusia dan hubungan manusia tersebut dengan makhluk
hidup lain. Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang terlibat
dalam pertanian organik harus membangun hubungan antar
manusia dengan saling menjamin adanya keadilan pada semua
tingkatan dan semua pihak, termasuk petani, pekerja, pengolah,
pedagang, distributor, serta konsumen. Pertanian organik harus
melibatkan semua orang dengan kualitas hidup yang lebih baik dan
berkontribusi pada ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan.
Sumber daya alam dan lingkungan yang digunakan untuk produksi
dan konsumsi harus dikelola secara sosialis dan ekologis adil dan
dipastikan untuk generasi berikutnya. Keadilan memerlukan sistem
produksi, distribusi dan perdagangan yang terbuka, adil serta dapat
memperhitungkan biaya lingkungan dan biaya sosial.
4. Prinsip perawatan
Pertanian
organik
harus
dikelola
secara
hati-hati
dan
bertanggungjawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan
generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup. Dalam
pertanian organik, ilmu dibutuhkan untuk menjamin kesehatan,
keamanan, dan keberlangsungan ekologi. Pertanian organik harus
mampu mencegah terjadinya resiko yang signifikan dengan
mengadopsi teknologi tepat guna dan menolak yang tak terduga,
seperti
rekayasa
genetika.
Pengambilan
keputusan
harus
mencerminkan nilai-nilai dan kebutuhan dari semua aspek yang
10
mungkin dapat terkena dampaknya, melalui proses yang transparan
dan partisipatif.
2. Teori Perdagangan Internasional
Krugman
(1994)
menyatakan
bahwa
analisis
perdagangan
internasional terutama menitikberatkan pada transaksi-transaksi riil dalam
perekonomian internasional yaitu transaksi yang meliputi pergerakan
barang secara fisik atau suatu komitmen atas sumberdaya ekonomi yang
tampak (a tangible commitment of economic resources).
Aktivitas atau kegiatan perdagangan yang terjadi antar negara
menunjukkan bahwa negara-negara tersebut sudah memiliki sistem
perekonomian yang terbuka. Perdagangan ini akibat adanya usaha untuk
memaksimumkan
kesejahteraan
negara
dan
diharapkan
dampak
kesejahteraan tersebut akan diterima oleh negara pengekspor dan negara
pengimpor.
Alasan utama yang menyebabkan negara-negara melakukan
perdagangan
internasional
adalah:
(1)
adanya
perbedaan
dalam
kepemilikan sumber daya dan cara pengolahannya sehingga negara-negara
akan memperoleh keuntungan melalui suatu pengaturan dengan cara yang
berbeda secara relatif terhadap perbedaan sumber daya tersebut, dan (2)
negara-negara yang melakukan perdagangan mempunyai tujuan untuk
mencapai economic of scale dalam produksi. Artinya, suatu negara akan
lebih efisien jika hanya menghasilkan sejumlah barang tertentu tetapi
dengan skala yang lebih besar dibandingkan dengan jika memproduksi
berbagai jenis barang.
Seluruh
alasan
yang
mendasari
terjadinya
perdagangan
internasional bertitiktolak dari konsep keunggulan komparatif. Suatu
negara akan mengekspor komoditi yang produksinya memerlukan faktor
produksi yang secara relatif berlimpah, dengan demikian perdagangan
mendorong penggunaan sumberdaya ke dalam sektor-sektor yang
mempunyai keunggulan komparatif. Banyak ahli berpendapat bahwa
11
ekspor suatu komoditi terjadi karena adanya penawaran domestik yang
berlebih (excess supply), yang disebabkan harga relatif domestik di negara
pengekspor lebih rendah dibandingkan dengan harga negara lain dan
sebaliknya suatu negara akan melakukan impor suatu komoditas karena
adanya permintaan domestik yang berlebih (excess supply) atau karena
suatu negara tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat terhadap
suatu komoditi tertentu (Krugman 1994).
Budiono (2001) mengungkapkan ada lima manfaat dibukanya
liberalisasi perdagangan atau aktivitas perdagangan internasional. Pertama,
akses pasar yang lebih luas sehingga memungkinkan adanya efisiensi yang
berasal dari kegiatan produksi berskala besar (economic of scale), dimana
liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-pusat produksi baru
yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling terkait dan
saling menunjang sehingga biaya produksi dapat diturunkan (economies of
agglomeration). Kedua, iklim yang lebih kompetitif sehingga mengurangi
kegiatan yang bersifat rent seeking dan mendorong pengusaha untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi, bukan mengharapkan untuk
mendapat fasilitas dari pemerintah. Ketiga, arus perdagangan dan investasi
yang lebih bebas mempermudah proses alih teknologi yang akan
meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Keempat, perdagangan yang
lebih bebas memberikan sinyal harga yang benar, sehingga meningkatkan
efisiensi investasi. Kelima, dalam perdagangan yang lebih bebas
kesejahteraan konsumen meningkat karena terbuka pilihan-pilihan baru.
Namun untuk dapat berjalan dengan lancar, suatu pasar yang kompetitif
perlu dukungan perundang-undangan yang mengatur persaingan yang
sehat dan melarang praktek monopoli.
3. Konsep Daya Saing
Esterhuizen
(competitiveness)
et
al.,
(2008)
mendefinisikan
daya
saing
12
“as the ability of a sector, industry or firm to compete successfully in order
to achieve sustainable growth within the global environment while earning
at least the opportunity cost of return on resources employed”.
Daya saing didefinisikan sebagai kemampuan suatu sektor industri, atau
perusahaan untuk bersaing dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan
yang berkelanjutan di dalam lingkungan global selama biaya imbangannya
lebih rendah dari penerimaan sumber daya yang digunakan. Dapat terjadi
bahwa di tingkat produsen suatu komoditas memiliki keunggulan
komparatif, memiliki biaya oportunitas (opportunity cost) yang relatif
rendah, namun ditingkat konsumen ia tidak memiliki daya saing
(keunggulan kompetitif) karena adanya distorsi pasar dan/atau biaya
transaksi yang tinggi. Atau hal sebaliknya juga dapat terjadi, karena
adanya dukungan (campur tangan) kebijakan pemerintah, suatu komoditas
memiliki daya saing di tingkat konsumen padahal ia tidak memiliki
keunggulan komparatif di tingkat produsen.
Terdapat beberapa pendekatan yang sering digunakan untuk
mengukur daya saing suatu komoditi. Pengukuran status daya saing sektor
agribisnis dapat menggunakan Relative Trade Advantage/RTA (Balasa,
1989). Sedangkan analisis status daya saing terutama dari executive
opinion dapat dilakukan dengan Agibusiness Executive Survey (AES).
Sementara itu, untuk analisis kualitatif dan kuantitatif pada level
kelembagaan agribisnis dapat menggunakan Agribusiness Confidence
Index (ACI). Alat ukur daya saing yang juga banyak digunakan adalah
Revealed Competitive Advantage (RCA). Belakangan ini, dengan
menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) akan dihasilkan dua
indikator pokok pengukur daya saing, yaitu Private Cost Ratio (PCR)
yang merupakan indikator keunggulan kompetitif yang menunjukkan
kemampuan sistem untuk membayar biaya sumber daya domestik dan
tetap kompetitif pada harga privat dan Domestic Resource Cost Ratio
(DRCR) merupakan indikator keunggulan komparatif, menunjukkan
13
jumlah sumber daya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan
satu unit devisa (Monke and Pearson, 1989).
Pendekatan Policy Analysis Matrix (Matriks Analisis Kebijakan)
dilakukan dengan menghitung tingkat keuntungan yang dihasilkan dan
efisiensi dalam pengusahaan komoditi tersebut. Keuntungan dapat dilihat
dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu,
efisiensi pengusahaan komoditi dapat dilihat dari dua indikator yaitu
keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Konsep daya saing
yang menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif
digunakan
untuk
memberikan
masukan
dalam
perencanaan
dan
pengembangan usahatani.
Menurut Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang
(1993) konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing
(keunggulan) potensial dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila
perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditas yang
memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara
ekonomi. Keunggulan kompetitif merupakan pengukur daya saing suatu
kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Terkait dengan konsep
keunggulan komparatif adalah kelayakan ekonomi, dan terkait dengan
keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu aktivitas.
a. Keunggulan Komparatif
Konsep keunggulan komparatif pertama kali diperkenalkan oleh
David Ricardo pada awal abad ke 19. Ricardo mengungkapkan hukum
keunggulan komparatif, yaitu bahwa setiap negara memiliki keunggulan
komparatif
dalam
sesuatu
dan
memperoleh
manfaat
dengan
memperdagangkannya untuk ditukar dengan barang yang lain.
Kelemahan pada teori keunggulan komparatif yaitu keunggulan
komparatif hanya didasarkan pada perbedaan produktivitas setiap
tenaga kerja saja, padahal masih banyak faktor yang mempengaruhi
seperti teknologi, modal, tanah, dan sumber daya lainnya (Lindert dan
Kindleberger, 1995).
14
Pada tahun 1936, hukum keunggulan komparatif disempurnakan
dengan teori biaya imbangan (Opportunity Cost Theory) yang
dikemukakan oleh Haberler. Menurut teori biaya imbangan, biaya
sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua yang harus dikorbankan
untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu
unit tambahan komoditi pertama, artinya negara memiliki biaya
imbangan lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditi akan
memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi tersebut dan memiliki
kerugian komparatif dalam komoditi kedua (Salvatore, 1997).
Teori keunggulan komparatif yang lebih modern dikemukakan
oleh Hecksler dan Ohlin yang diberi nama dengan teori Hecksler-Ohlin.
Teori tersebut menyatakan bahwa setiap negara akan melakukan
spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang banyak menyerap
faktor produksi yang tersedia di negara itu dalam jumlah dan berharga
relatif murah, serta mengimpor komoditi yang banyak menyerap faktor
produksi yang di negara itu relatif langka dan mahal (Salvatore, 1997).
Menurut Pearson and Gotsch (2004) ada beberapa faktor yang
dapat mengubah keunggulan komparatif, yang penting diantaranya
adalah perubahan dalam sumber daya alam, perubahan faktor-faktor
biologi, perubahan harga input, perubahan teknologi, dan biaya
transportasi yang lebih murah dan efisien.
b. Keunggulan Kompetitif
Michael E. Porter dalam bukunya yang terkenal, The Competitive
Advantage of Nation, 1990 mengemukakan tentang tidak adanya
korelasi langsung antara dua faktor produksi (sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia) yang dimiliki oleh suatu negara, yang
dimanfaatkan menjadi keunggulan daya saing dalam perdagangan
internasional. Hasil akhir Porter menyebutkan bahwa peran pemerintah
sangat mendukung dalam peningkatan daya saing selain faktor produksi
yang tersedia (Halwani, 2002).
15
Porter lalu mengungkapkan ada empat atribut yang menentukan
dalam suatu negara apabila ingin sukses dalam perdagangan
internasional. Keempat atribut tersebut adalah (Halwani, 2002) :
1. Keadaan faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil atau
prasarana.
2. Keadaan permintaan dan tuntutan mutu di dalam negeri untuk hasil
industri tertentu.
3. Eksistensi industri terkait dan pendukung yang kompetitif secara
internasional.
4. Strategi perusahaan itu sendiri, dan struktur serta sistem persaingan
antar perusahaan.
Selain itu menurut Porter, salah satu esensi dari keunggulan
kompetitif adalah bagaimana menciptakan produk atau layanan serta
seluruh proses yang menyertainya sedemikian sehingga sulit ditiru oleh
pesaing. Untuk itu diperlukan dua jenis strategi, yakni diferensiasi dan
produksi biaya rendah (low cost production).
Usahatani padi organik dengan produk beras organik sebagai
komoditi komersial, dimana keunggulan komparatif untuk menganalisis
efisiensi dari sisi ekonomi sedangkan keunggulan kompetitif untuk
menganalisis efisiensi dari sisi finansial.
Teori daya saing dalam penelitian ini berpijak pada kerangka
Policy Analysis Matrix (PAM). Konsep daya saing dalam PAM
dikategorikan menjadi 2 macam yaitu keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif menyatakan keunggulan
yang dimiliki ketika pasar tidak terdistorsi yaitu didekati dengan menilai
biaya dan penerimaan menggunakan harga sosial sedangkan keunggulan
kompetitif adalah keunggulan pada saat harga aktual (Pearson et al.,
2005).
16
Sumber distorsi yang dapat mengganggu tingkat daya saing antara
lain adalah (1) kebijakan pemerintah (government policy), baik yang
bersifat langsung (seperti tarif) maupun tak langsung (seperti regulasi);
dan (2) distorsi pasar, karena adanya ketidaksempurnaan pasar (market
imperfection), misalnya adanya monopoli/monopsoni domestik.
Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu
negara atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif secara dinamis
akan mengalami perkembangan. Pearson et al., (2005) menyebutkan
beberapa faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif, yaitu: (1)
perubahan dalam sumberdaya alam, (2) perubahan faktor-faktor biologi,
(3) perubahan harga input, (4) perubahan teknologi, dan (5) biaya
transportasi yang lebih murah dan efisien. Melihat faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi keunggulan komparatif di atas, maka keunggulan
komparatif merupakan suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan.
Keadaan ini mengacu pada kemampuan mengelola secara dinamis dari
suatu wilayah yang mempunyai keterbatasan sumberdaya dengan
dukungan tenaga kerja, modal dan dari segi pengolahannya.
Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan alat
untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi
perekonomian aktual. Adanya konsep keunggulan kompetitif didasarkan
pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama
sekali yang sulit ditemukan di dunia nyata dan keunggulan komparatif
suatu aktivitas ekonomi dari sudut pandang atau individu yang
berkepentingan langsung (Salvator, 1994).
Sudaryanto
operasional
dan
keunggulan
Simatupang
(1993)
kompetitif
dapat
menyebutkan
didefinisikan
secara
sebagai
kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan
bentuk yang diinginkan konsumen baik di pasar domestik maupun di pasar
internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan
pesaing, seraya memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan
(opportunity cost) sumberdaya. Lebih lanjut Sudaryanto dan Simatupang
17
(1993) menegaskan bahwa agribisnis dan pembangunan pertanian yang
berorientasi pada peningkatan produksi dengan harga serendah mungkin
atau pembangunan pertanian yang berwawasan produk sudah tidak sesuai
dengan keadaan pasar global saat ini.
Berdasarkan kondisi tersebut untuk mengantisipasi keadaan pasar,
usaha produksi komoditi pertanian pada saat ini harus lebih berorientasi
pada konsumen atau lebih berwawasan menjual. Kondisi ini menyebabkan
keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan komparatif
(menghasilkan barang lebih murah dari pesaing), tetapi juga ditentukan
oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut (karakter) yang
sesuai oleh dengan keinginan konsumen (Sukirno, 1998).
Analisis keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur
keuntungan privat (private profitability) atau kelayakan dari suatu aktivitas
yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi yang
berlaku. Dalam hal ini, suatu negara akan dapat bersaing di pasaran
internasional jika negara terebut memiliki keunggulan kompetitif dalam
menghasilkan suatu komoditi dengan asumsi adanya sistem pemasaran
dari intervensi pemerintah. Kondisi ini mengakibatkan suatu negara yang
tidak memiliki keunggulan komparatif ternyata memiliki keunggulan
kompetitif. Sehingga pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditi
yang diproduksi pada aktivitas ekonomi tersebut, misalnya melalui
jaminan harga, kemudahan perizinan dan kemudahan fasilitas lainnya
(Sudaryanto dan Simatupang, 1993). Walaupun demikian konsep
keunggulan kompetitif ini bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya
saling menggantikan terhadap keunggulan komparatif, akan tetapi
merupakan konsep yang sifatnya saling melengkapi.
4. Matriks Analisis Kebijakan / Policy Analysis Matrix
Metode Policy Analysis Matrix merupakan suatu alat analisis yang
digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan
dampaknya pada sistem komoditas yang dikembangkan oleh Monke dan
18
Pearson (1989). Empat aktivitas yang terdapat dalam sistem komoditi
yang dapat dipengaruhi terdiri dari tingkat usahatani, distribusi dari
usahatani ke pengolah, pengolahan, dan pemasaran secara keseluruhan dan
sistematis. Isu-isu yang sering dibahas dalam PAM adalah (1) apakah
sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi
yang ada; (2) dampak investasi publik dalam bentuk pembangunan
infrastruktur baru, serta terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani; (3)
dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian.
Tiga tujuan utama dari metode PAM adalah (1) menghitung tingkat
keuntungan privat – sebuah ukuran daya saing usahatani pada tingkat
harga pasar atau harga aktual; (2) menghitung tingkat keuntungan sosial
sebuah usahatani – dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada
tingkat harga efisiensi (social opportunity costs); (3) menghitung transfer
effects, sebagai dampak dari sebuah kebijakan yang dilakukan (Pearson, et.
al. 2005).
Adapun tahapan dalam penyusunan Tabel PAM adalah sebagai
berikut :
1.
Mengidentifikasi seluruh input yang digunakan dalam proses
produksi.
2.
Mengalokasikan input tradable dan input non tradable.
3.
Menghitung harga bayangan input, output, dan nilai tukar uang
4.
Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan model
PAM.
Model PAM digunakan untuk menganalisis keuntungan (privat dan
sosial) dan daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) dengan
formulasi pada Tabel 2.
19
Tabel 2. Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix)
Uraian
Penerimaan
Biaya
Keuntungan
Harga
privat
Harga sosial
A
Input
Tradable
B
Input Non
tradable
C
D
E
F
G
H
Divergensi
I
J
K
L
Sumber : Pearson et al., (2005)
Keterangan :
Keuntungan Privat/Private Profitability (D) = (A) - (B + C)
Keuntungan Sosial/Social Profitability (H) = (E) - (F + G)
Transfer Output/Output Transfer (I) = (A) - (E)
Transfer Input/ Input Transfer (J) = (B) - (F)
Transfer Faktor/ Factor Transfer (K) = (C) - (G)
Transfer Bersih/ Net Transfer (L) = (D) - (H) = I - (J + K)
Rasio Biaya Privat/Private Costs Ratio (PCR) = C / (A-B)
Rasio Biaya Sumberdaya Domestik/ Domestic Resource Cost Ratio
(DRCR) = G / (E-F)
Koefisien Proteksi Nominal terhadap Output/ Nominal Protection
Coeficient on Output (NPCO) = A / E
Koefisien Proteksi Input Nominal/ Nominal Protection Coeficient on input
(NPCI) = B / F
Koefisien Proteksi Efektif/ Effective Protection Coefficient (EPC) = (A-B)
/ (E-F)
Koefisien Keuntungan/Profitability Coefficient (PC) = D / H
Rasio Subsidi Bagi Produsen/ Subsidi Ratio to Producers (SRP) = L / E
Analisis PAM dapat digunakan pada sistem komoditas dengan
berbagai wilayah, tipe usahatani dan teknologi. Tabel 2 memberi
gambaran bahwa PAM terdiri dari tiga baris, dimana baris pertama adalah
perhitungan dengan harga privat yaitu harga yang diterima petani, baris
kedua merupakan perhitungan harga sosial (harga bayangan) yaitu harga
yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya
bagi unsur biaya maupun hasil, dari dua perhitungan tersebut masingmasing dihitung keuntungan. Keuntungan merupakan perbedaan antara
20
penerimaan dan biaya. Perbedaan perhitungan antara harga privat dengan
harga sosial disebabkan terjadinya kegagalan pasar atau masuknya
kebijakan pemerintah yang terletak pada baris ketiga. Jika kegagalan pasar
dianggap faktor yang tidak begitu berpengaruh, maka perbedaan tersebut
lebih banyak disebabkan adanya insentif kebijakan yang dapat dianalisis
(Monke and Pearson, 1989).
Setiap matriks memiliki empat kolom yaitu kolom pertama adalah
penerimaan, kolom kedua adalah kolom biaya yang terdiri dari biaya input
yang dapat diperdagangkan (input tradabel) dan biaya faktor domestik.
Input yang digunakan seperti pupuk, pestisida, benih/ bibit, peralatan dan
lain-lain dipisahkan menjadi input yang dapat diperdagangkan dan faktor
domestik (Monke and Pearson, 1989; Pearson et al., 2005).
Menurut Pearson et al., (2005) matriks PAM terdiri atas dua
identitas, identitas tingkat keuntungan (profitability identity) dan identitas
penyimpangan (divergences identitity). Identitas keuntungan pada sebuah
tabel PAM adalah hubungan perhitungan lintas kolom dari matriks.
Keuntungan didefinisikan sebagai pendapatan dikurangi biaya. Semua
angka dibawah kolom bernama keuntungan dengan sendirinya identik
dengan selisih antara kolom yang berisi penerimaan dan kolom yang berisi
biaya (termasuk di dalamnya biaya input tradable dan faktor domestik).
Identitas penyimpangan (divergences identity) adalah hubungan lintas
baris dari matriks. Divergensi menyebabkan harga privat suatu komoditas
berbeda dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat, baik karena
pengaruh kebijakan yang distorsif, yang menyebabkan harga privat
berbeda dengan harga sosialnya, atau karena kekuatan pasar gagal
menghasilkan harga efisiensi. Semua angka pada baris ketiga dari tabel
PAM didefinisikan sebagai “effects of divergences” dan sama dengan
selisih antara angka pada baris pertama, yang dinilai dengan harga privat
dan angka pada baris kedua, yang dinilai pada baris kedua, yang dinilai
dengan harga sosial.
21
Terdapat dua metode pendekatan dalam pengalokasian biaya ke
dalam komponen domestik dan asing. Dua metode tersebut adalah metode
pendekatan total (Total Approach) dan metode pendekatan langsung
(Direct Approach).
Pada metode pendekatan total mengasumsikan semua biaya input
tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing, dan
penambahan input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika
input tersebut memiliki kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri.
Pendekatan ini lebih tepat digunakan apabila produsen lokal dilindungi
sehingga tambahan input didatangkan dari produsen lokal atau domestik
(Monke dan Pearson, 1989).
Pada metode pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh
biaya input yang dapat diperdagangkan baik impor maupun produksi
dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat
diperdagangkan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut
dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Input non tradable yang
berasal dari pasar domestik ditetapkan sebagai komponen biaya domestik
dan input asing yang dipergunakan dalam proses produksi dihitung
sebagai komponen biaya asing (Monke dan Pearson, 1989).
5. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat pengaruh-pengaruh
yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah (Gittinger, 1986).
Pada bidang pertanian, proyek-proyek sensitif berubah-ubah akibat empat
masalah utama yaitu harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan biaya
dan hasil.
a.
Harga
Dalam hal ini kita meneliti apa yang akan terjadi jika asumsi
mengenai harga jual produk ternyata keliru, sehingga dibuat asumsi
mengenai harga jual pada masa yang akan datang. Dapat juga meneliti
perubahan akibat asumsi harga bayangan yang berbeda-beda.
22
Kemudian pengaruh penggunaan upah pasar atau harga bayangan
sebagai balas jasa tenaga kerja, pengaruh nilai tukar resmi atau nilai
ekspor impor dan lain-lain.
b.
Keterlambatan pelaksanaan
Keterlambatan pelaksanaan mempengaruhi hampir semua proyek
pertanian. Para petani mungkin tidak dapat mengikuti petunjuk baru
secepat seperti yang diharapkan atau petani kesulitan belajar teknikteknik baru. Mungkin saja terjadi keterlambatan dalam pemesanan dan
penerimaan peralatan baru. Masalah dan persyaratan administrasi
yang tak terhindarkan dapat saja memperlambat pelaksanaan proyek.
c.
Kenaikan biaya
Proyek-proyek cenderung sangat sensitif terhadap kenaikan biaya
input. Untuk pertanian berupa kenaikan biaya benih, lahan, biaya
tenaga kerja, pestisida dan lain-lain.
d.
Hasil
Analisa dilaksanakan untuk menghitung perubahan hasil proyek
pertanian yang dapat disebabkan oleh berbagai masalah misalnya
masalah cuaca, hama dan penyakit.
Analisis sensitivitas dilakukan dengan:
a. Mengubah besarnya variabel-variabel penting, masing-masing terpisah
atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan
menentukan seberapa peka hasil perhitungan terhadap perubahanperubahan tersebut.
b. Menentukan dengan berapa suatu variabel harus berubah sampai ke
hasil perhitungan yang membuat proyek tidak diterima. analisis
sensitivitas dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau kombinasi
unsur kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut
terhadap hasil analisis.
Suatu variasi pada analisa sensitivitas adalah “nilai pengganti”
(switching value). Dalam analisa sensitivitas ini secara langsung kita
memilih sejumlah nilai yang dengan nilai tersebut kita melakukan
23
perubahan terhadap masalah yang dianggap penting pada analisa proyek
dan kemudian kita dapat menentukan pengaruh perubahan tersebut
terhadap daya tarik proyek.
6. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah diberlakukan terhadap input dan output yang
menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan output yang
diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika
dalam keadaan perdagangan bebas (harga sosial). Terdapat dua bentuk
kebijakan pemerintah yang bisa ditetapkan pada suatu komoditas, yaitu
kebijakan subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi
dibedakan menjadi dua, yaitu subsidi positif dan subsidi negatif (pajak),
sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota (Monke dan
Pearson 1989). Monke dan Pearson (1989) menjelaskan tentang kebijakan
harga (price policies) dibagi menjadi tiga tipe kriteria, yaitu tipe instrumen
(subsidi atau kebijakan perdagangan), penerimaan atau keuntungan yang
akan diperoleh (produsen atau konsumen), dan tipe komoditi (impor atau
ekspor). Hal tersebut bisa digambarkan pada Tabel 3.
24
Tabel 3. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditi
Instrumen
Kebijakan Subsidi :
Dampak Pada
Produsen
Subsidi pada
produsen:
A. Tidak
merubah
harga pasar dalam 1) Pada barang-barang
negeri
substitusi
impor
B. Merubah
harga
(S+PI; S- PI)
pasar dalam negeri 2) Pada
barangbarang
orientasi
ekspor (S+PE; SPE)
Kebijakan
Hambatan pada barang
Perdagangan
impor (TPI)
(Merubah harga pasar
dalam negeri)
Dampak Pada
Konsumen
Subsidi pada konsumen
1) Pada barang-barang
substitusi impor (S+CI
; S- CI)
2) Pada
barang-barang
orientasi
ekspor
(S+CE; S-CE)
Hambatan pada
ekspor (TCE)
barang
Sumber : Monke dan Pearson, 1989
Keterangan :
S+
: Subsidi
S: Pajak
CE
: Konsumen barang orientasi ekspor
CI
: Konsumen barang substitusi impor
PE
: Produsen barang orientasi ekspor
TCE : Hambatan barang ekspor
PI
: Produsen barang substitusi impor
TPI : Hambatan barang impor
a. Tipe Instrumen
Di dalam kriteria ini terdapat perbedaan antara kebijakan subsidi
dan kebijakan perdagangan. Menurut Salvatore (1994), subsidi adalah
pembayaran dari atau untuk pemerintah. Kebijakan subsidi terdiri dari
dua kebijakan, yaitu kebijakan subsidi positif dan subsidi negatif.
Kebijakan subsidi positif adalah subsidi yang dibayarkan oleh
pemerintah, sedangkan kebijakan subsidi negatif adalah pembayaran
kepada pemerintah. Tujuan dari kebijakan subsidi adalah untuk
melindungi konsumen dan produsen dengan menciptakan harga
domestik agar berbeda dengan harga luar negeri.
25
Menurut Monke dan Pearson (1989) kebijakan perdagangan
adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor komoditi.
Kebijakan ini bisa berbentuk pajak (tarif) atau pembatasan jumlah
komoditi yang diperdagangkan (kuota). Tujuan diterapkan kebijakan
ini
adalah
untuk
mengurangi
jumlah
komoditi
impor
yang
diperdagangkan dan menciptakan perbedaan harga di dalam dan luar
negeri sehingga dapat mempertahankan daya saing komoditi di dalam
negeri. Kebijakan ini umumnya berfungsi untuk melindungi produsen
domestik.
Monke dan Pearson (1989) menjelaskan perbedaan antara
kebijakan perdagangan dengan kebijakan subsidi yang dibagi ke dalam
beberapa aspek, yaitu:
1) Implikasi terhadap anggaran pemerintah
Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah,
sedangkan kebijakan subsidi akan berpengaruh pada anggaran
pemerintah. Subsidi negatif akan menambah anggaran pemerintah
berupa pajak, sedangkan subsidi positif akan mengurangi
anggaran.
2) Tipe alternatif kebijakan
Terdapat delapan tipe subsidi bagi produsen dan konsumen pada
barang orientasi ekspor dan barang substitusi impor, yaitu:
1. Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI)
2. Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor
(S+PE)
3. Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI)
4. Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (SPE)
5. Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor
(S+CI)
6. Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor
(S+CE)
26
7. Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (SCI)
8. Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (SCE)
Berbeda
dengan
kebijakan
subsidi,
pada
kebijakan
perdagangan hanya terdapat dua tipe, yaitu hambatan perdagangan
pada barang impor (TPI) dan hambatan perdagangan pada barang
ekspor (TPE). Menurut Monke dan Pearson (1989), aliran impor
atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan atau kebijakan
kuota sepanjang pemerintah dapat memiliki mekanisme yang
efektif untuk mengontrol penyelundupan.
3) Tingkat kemampuan penerapan
Kebijakan subsidi bisa diterapkan pada komoditi asing (tradable)
dan komoditi domestik (non tradable), sedangkan kebijakan
perdagangan hanya bisa diberlakukan pada komoditi tradable.
b. Kelompok Penerimaan
Klasifikasi kelompok penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan
pada produsen dan konsumen. Suatu kebijakan subsidi dan
perdagangan menyebabkan terjadinya transfer antara produsen,
konsumen, dan anggaran pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi
dan kebijakan perdagangan, pemerintah melalui anggarannya harus
membayar keseluruhan transfer ketika
produsen mendapatkan
keuntungan dan konsumen mengalami kerugian, atau konsumen
mengalami keuntungan dan produsen mengalami kerugian.
c. Tipe Komoditi
Pada kebijakan perdagangan terdapat komoditi yang akan diekspor dan
komoditi yang diimpor. Apabila pemerintah tidak memberlakukan
kebijakan-kebijakan dalam komoditi ekspor-impor, maka harga
domestik akan sama dengan harga internasional. Harga FOB (harga di
pelabuhan) digunakan untuk barang yang akan diekspor, sedangkan
harga CIF (harga di pelabuhan ekspor) berlaku untuk barang impor.
27
Kebijakan pemerintah dapat dikenakan pada komoditi pertanian baik
input
ataupun
output
yang tentu
saja
dapat
mempengaruhi
kesejahteraan produsen (petani) maupun konsumen. Umumnya
kebijakan ini diberlakukan pada harga input dan harga output.
C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah
Memasuki abad ke-21, gaya hidup sehat dengan slogan ”Back to
Nature” telah menjadi trend baru masyarakat dunia. Masyarakat semakin
menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida
sintetis ternyata berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan hidup. Hal ini mengakibatkan banyak permintaan akan produkproduk pertanian yang mengarah kepada ”Back to Nature” atau dengan kata
lain produk organik. Salah satu bentuknya adalah beras organik sebagai output
dari padi organik.
Kementerian Pertanian mempunyai program pengembangan pertanian
organik yaitu “Go Organic” 2010. Misi program ini adalah “meningkatkan
kualitas hidup masyarakat dan kelestarian alam lingkungan alam Indonesia,
dengan mendorong berkembangnya pertanian organik yang berdaya saing dan
berkelanjutan”. Salah satu tujuan program ini adalah untuk menghasilkan
produk-produk organik asal Indonesia yang bisa diterima di pasar domestik
bahkan internasional (untuk diekspor).
Salah satu provinsi yang selama ini aktif melaksanakan pertanian padi
organik di Indonesia adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dimana
upaya pengembangan usahatani padi organik di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta masih mengalami beberapa kendala, yaitu masalah jumlah
produksi yang fluktuatif, harga jual rendah, masalah distribusi dan pemasaran,
dan mahalnya biaya sertifikasi. Hal-hal tersebut dapat menghambat
pengembangan usahatani padi organik dan pada akhirnya akan mempengaruhi
daya saing usahatani padi organik dalam memasuki pasar baik domestik
maupun internasional. Oleh karena itu dibutuhkan analisis mengenai
28
keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi organik di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Analisis Kebijakan
digunakan sebagai alat untuk menganalisis daya saing dan dampak kebijakan
pemerintah. Alat analisis PAM akan menganalisis keuntungan privat dan
sosial, analisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) dan analisis
dampak kebijakan yang mempengaruhi sistem komoditas. Metode PAM
hanya bisa menganalisis pada kondisi saat ini saja. Oleh karena itu perlu
dilakukan analisis sensitivitas untuk mengetahui dampak apabila terjadi
perubahan keadaan atau kebijakan yang dapat mempengaruhi keunggulan
komparatif dan kompetitif pada usahatani padi organik. Kerangka pemikiran
operasional dapat dijelaskan pada Gambar 4.
29
Kesadaran Masyarakat
terhadap produk organik:
1. Food Safety Attributes
(Aman Konsumsi),
2. Nutritional attributes)
(kandungan nutrisi
tinggi),
3. Eco-labelling attribute
(ramah lingkungan),
Program Pemerintah “Go
Organic 2010”
1.
2.
Potensi Pasar
Masih luasnya
lahan yang tersedia
Potensi Pengembangan
Padi Organik
Usahatani Padi Organik
Prov DIY
1.
2.
3.
4.
Jumlah produksi masih sedikit
Harga jual output masih rendah
Masalah distribusi dan pemasaran
Sertifikasi mahal
PAM (Policy Analysis Matrix)
Dampak Kebijakan
1. Transfer Input
2. Transfer output
3. Transfer Faktor
Keunggulan Komparatif
1. Keuntungan Sosial
Keunggulan
Kompetitif
1. Keuntungan Privat
Analisis Sensitivitas
Daya Saing Usahatani Padi Organik
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional
30
D. Asumsi
Semua petani dianggap petani penyewa lahan.
E. Pembatasan Masalah
1. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah penelitian ini hanya dibatasi pada
analisis profitabilitas sosial dan privat, keunggulan komparatif dan
kompetitif serta dampak kebijakan yang didasarkan pada perhitungan satu
musim tanam tahun 2015 yaitu pada bulan Januari sampai dengan Maret
2015 sesuai hasil Policy Analysis Matrix (PAM) untuk perumusan suatu
kebijakan.
2. Pembahasan kajian dibagi menjadi tiga wilayah kabupaten bersertifikat
padi organik yang terdapat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu
Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo karena
terdapat perbedaan dalam hal luas lahan, jumlah petani, pemakaian input,
penerimaan output tetapi terdapat kesamaan dalam biaya sertifikasi.
F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
1. Sistem Pertanian Organik adalah sistem manajemen produksi yang holistik
untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem,
termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah.
Pertanian organik menekankan penerapan praktek-praktek manajemen
yang lebih mengutamakan penggunaan input dari limbah kegiatan
budidaya di lahan, dengan mempertimbangkan daya adaptasi terhadap
keadaan/kondisi setempat. Jika memungkinkan hal tersebut dapat dicapai
dengan penggunaan budaya, metoda biologi dan mekanik, yang tidak
menggunakan bahan sintesis untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam
sistem.
2. Produk Organik adalah suatu produk yang dihasilkan sesuai dengan
standar sistem pangan organik termasuk bahan baku pangan olahan
organik, bahan pendukung organik, tanaman dan produk segar tanaman,
31
ternak dan produk peternakan, produk olahan tanaman, dan produk olahan
ternak (termasuk non pangan).
3. Lembaga Sertifikasi Organik yang selanjutnya disebut LSO adalah
lembaga yang bertanggung jawab untuk mensertifikasi bahwa produk yang
dijual atau dilabel sebagai “organik” adalah diproduksi, ditangani, dan
diimpor menurut Standar Nasional Indonesia Sistem Pangan Organik dan
telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional. LSO tersebut bisa
nasional maupun LSO asing yang berkedudukan di Indonesia.
4. Luas lahan adalah luas usahatani padi organik yg diukur dalam satuan
hektar (ha)
5. Benih adalah tanaman atau bagian nya yang digunakan untuk
memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan tanaman.
6. Shadow exchange rate (SER) adalah harga bayangan dari nilai tukar valuta
asing
7. Produksi yang dimaksud adalah produksi per hektar per musim tanam
selama periode analisis tanaman padi organik yang dinyatakan dalam
satuan kilogram (kg) dalam bentuk padi organik
8. Biaya produksi adalah biaya produksi total per hektar per musim tanam
selama periode analisis tanaman padi organik yang dinyatakan dalam
rupiah (Rp). Biaya produksi meliputi biaya tetap dan biaya variabel, yaitu
biaya penyusutan, biaya sewa, biaya pembelian input produksi dan biaya
upah tenaga kerja.
9. Penerimaan adalah penerimaan dari hasil penjualan produksi padi organik
per hektar per musim tanam selama periode analisis tanaman padi organik
yang dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp).
10. Keuntungan merupakan selisih dari penerimaan total dengan biaya total
dan dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp).
11. Harga privat adalah harga-harga input maupun output yang didasarkan atas
harga berlaku di pasar yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi
oleh semua kebijakan pemerintah.
32
12. Harga sosial adalah harga-harga input maupun output yang merujuk pada
harga efisien, dimana tidak terdapat campur tangan pemerintah yang
mempengaruhi pembentukan harga.
13. Input
non
tradable
(domestik) adalah
input
yang tidak dapat
diperdagangkan di pasar internasional seperti pupuk padat (kandang,
kompos), tenaga kerja, benih.
14. Input tradable (asing) adalah input yang dapat diperdagangkan di pasar
internasional
atau
kemungkinan
dapat
diperdagangkan
di
pasar
internasional.
15. Harga bayangan atau shadow price adalah harga yang digunakan untuk
menyesuaikan dengan harga pada pasar persaingan sempurna yang
mencerminkan harga sosialnya.
16. Harga f.o.b (free on board) adalah merupakan harga barang di lokasi
penjual belum termasuk biaya pengangkutan dan asuransi. Harga f.o.b
digunakan untuk harga paritas impor, dihitung dalam satuan mata uang US
$ yang kemudian dikonversikan ke mata uang rupiah.
17. Harga c.i.f (cost, insurance, and freight) merupakan harga barang di
pelabuhan dalam negeri yang mencakup harga barang itu di luar negeri
(f.o.b luar negeri) ditambah biaya asuransi dan ongkos pengirimannya.
Harga c.i.f digunakan untuk harga paritas ekspor, dihitung dalam satuan
mata uang US$ yang kemudian dikonversikan ke mata uang rupiah.
18. Kebijakan pemerintah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan
pemerintah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian dalam usaha
untuk mencapai tujuan tertentu seperti kebijakan perdagangan, penetapan
kuota ekspor, subsidi impor, pajak impor dan pajak ekspor.
19. Distorsi/kegagalan pasar pada komoditi padi organik adalah suatu kondisi
penyimpangan pada pemasaran komoditi padi organik, dimana tidak
terjadi kondisi persaingan sempurna padahal seharusnya pasar dalam
kondisi persaingan sempurna.
20. Kurs valuta asing merupakan nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah
di Bank Indonesia.
33
21. Biaya tata niaga terdiri dari dua komponen biaya, yaitu biaya transportasi
(pengangkutan) dan biaya handling (penanganan).
22. Keunggulan komparatif adalah penggunaan sumberdaya domestik efisien
secara ekonomi yang dicerminkan dari nilai Domestic Resource Cost Ratio
(DRCR).
23. Keunggulan kompetitif adalah penggunaan sumber daya domestik efisien
secara finansial yang dicerminkan dari nilai Private Cost Ratio (PCR)
34
Download