pengujian peraturan perundang-undangan

advertisement
PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1
Oleh: Dr. Zainal Arifin Hoesein, SH2
I.
Pendahuluan
Dalam pandangan Hans Kelsen,3 hukum adalah suatu hierarki mengenai
hubungan normatif, bukan suatu hubungan sebab akibat dan esensinya adalah terletak
pada “yang seharusnya ada (ought)” dan “yang ada (is)” (Sollen und sein).4 Oleh
karena itu, kajian Kelsen tentang hukum adalah norma hukum (the legal norm), elemenelemennya, interelasinya, tatanan hukum secara keseluruhan strukturnya, hubungan
tatanan hukum yang berbeda, dan kesatuan hukum dalam tatanan hukum positif yang
majemuk. Realitas hukum adalah suatu fenomena yang lebih banyak dirancang sebagai
“the positiveness of law”, dan dalam hal ini Kelsen membedakan dengan jelas antara
“emperical law and transcedental justice by excluding the letter from specific
concerns.”5
Hukum bukan manifestasi dari suatu “superhuman authorithy”, tetapi merupakan
suatu teknik sosial berdasarkan pengalaman manusia. Konsekuensinya, dasar suatu
hukum atau “validitasnya” bukan dalam prinsip-prinsip meta juristik, tetapi dalam suatu
hepotesis juristik, yakni suatu norma dasar yang ditetapkan oleh “a logical analaysis of
actual juristic thinking”. Dengan demikian, Kelsen tidak berbicara tentang hukum
sebagai kenyataan dalam praktek, tetapi hukum sebagai disiplin ilmu, yakni apa yang
terjadi dengan hukum dalam praktek berbeda dengan apa yang dipelajari dalam ilmu
hukum, yang hanya mempelajari norma-norma hukum positif bukan aspek-aspek etis,
politis, atau sosiologis yang dapat muncul dalam praktek hukum.6
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa nilai validitas suatu hukum terletak pada
kesesuainnya dengan norma lainnya terutama norma dasar. Dalam hubungan ini dapat
dijelaskan bahwa norma dasar dapat dibedakan menjadi dua yaitu, norma statis dan
1
Disampaikan dalam Pelatihan Legal drafting di Kementerian Hukum dan HAM RI tanggal 13 November
2012.
2
Lulusan S3 Universitas Indonesia tahun 2006, menjadi Staf Pengajar Program Magister Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta dan Staf Pengajar Fakultas Hukum pada beberapa Fakultas
Hukum pada Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta, Wakil Ketua Bidang Pendidikan Asosiasi Pengajar
HTN/HAN, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi‟iyah, dan
Panitera Mahkamah Konstitusi 2008 – 2010.
3
Hans Kelsen, General Theory Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1945), hal. 124.
4
Ibid, hal. 120.; Lihat W. Friedmann, Legal Theory, Fifth Edition(New York: Columbia University
Press,1967), hal. 275 - 276 “ ... the science of law is hirarchy of normative relations, not a squence of causes and
effect. ..... the most important foundation of Kelsen‟s theory, is essentially Neo Kantian, in so far as Kan had
made the fundamental distinction between man as part of nature - subject to the laws of causation - and as a
reasenable being wich regulates its conduct by imperative. This Produces the essential difference between
“Ought” and “Is” (sollen und sein).
5
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1978),
hal. xiii - xiv. Hal senada juga diuraikan oleh Joseph Raz, The Concept of a Legal System, Oxford: Oxford
University Press, 1970).
6
Ibid, hal. 5 .... selanjutnya Kelsen menjelaskan bahwa: ".... The problem of law, as scientific problem, is the
problem of social technique, not a problem of morals. The statement: " A certain social order has the character
of law, is a legal order", does not imply the moral judgment that this order is good or just. There are legal
orders wich are, from a certain point of view, unjust. Law and justice are two different concepts. Law is
distinguished from justice is positive law. It is the concept of positive law wich is here in question; and a science
of positive law must be clearly distinguished from a philosophy of justice.
1
norma dinamis. Norma statis merupakan norma yang telah memiliki validitas, sehingga
seluruh isi norma tersebut ditaati dan diterapkan dalam kehidupan individu dan sosial.
Setiap isi norma tersebut memiliki daya pengikat dan daya paksa, karena berasal dari
norma dasar yang spesifik, memiliki validitas yang diyakini dan dipandang sebagai
norma yang paling tinggi (akhir). Sifat statis, karena norma tersebut memiliki pengertian
umum yang dapat dijadikan dalam membentuk norma khusus.
Sedangkan norma dinamis, merupakan pembentukan norma dasar tertentu karena
tidak ditemukan dalam norma statis, karena adanya perkembangan sosial, tetapi tidak
dikaitkan dengan realitas sosial. Jika perkembangan sosial memiliki kehendak untuk
mewujudkan suatu norma baru, maka pembentukannya tetap didasarkan pada norma
dasar.7 Hal ini berarti otoritas pembentukannya sesuai dengan ketentuan yang tercantum
dalam norma dasar tersebut. Suatu norma merupakan bagian dari suatu sistem yang
dinamis, jika norma tersebut telah dibuat menurut cara yang ditentukan oleh norma
dasar. Deskripsi di atas menujukkan bahwa suatu norma hukum itu valid, karena dibuat
menurut cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya, dan norma hukum
lainnya adalah landasan validitas norma hukum tersebut. Hubungan antara norma
hukum yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma lainnya sebagai
hubungan antara “superordinasi” dengan “subordinasi” atau “superior dengan inferior
norm” yang menunjukkan level atau hierarki norma. Norma yang menentukan
pembentukan norma lainnya adalah norma yang lebih tinggi derajatnya, begitu
sebaliknya, norma yang dibentuk tersebut derajatnya lebih rendah. Dalam hubungan ini,
maka hubungan antara norma yang lebih tinggi dengan norma di bawahnya merupakan
hubungan hierarki norma. Konsekuensinya adalah, bahwa norma yang lebih rendah
derajatnya tidak dibenarkan bertentangan dengan norma di atasnya.
Dengan demikian, suatu kesatuan hukum merupakan rangkaian hubungan hierarkis
antara norma-norma yang satu dengan lainnya secara hierarkis tidak boleh bertentangan.
Norma sebagai kesatuan nilai yang hidup dalam masyarakat memiliki kekuatan
memaksa, dan ditaati, ketika norma tersebut telah ditempatkan sebagai pernyataan
kehehendak, baik pernyataan kehendak individu maupun penyataan kehendak pembuat
undang-undang. Penyataan kehendak tersebut diwujudkan baik dalam bentuk suatu
transaksi hukum maupun dalam suatu undang-undang yang didalamnya mengandung
unsur perintah atau keharusan untuk ditaati (validitas) dan diterapkan (efektifitas). Hal
ini menujukkan bahwa setiap norma hukum memiliki unsur paksa, baik pada sisi
pentaatan, maupun sisi penerapannya, dan untuk ini diperkenalkan unsur sanksi. Makna
validitas norma hukum adalah bahwa setiap materi muatan norma hukum memiliki daya
ikat dan paksa bagi subyek hukum tertentu dalam melakukan setiap perbuatan hukum.
Sedangkan efektifitas norma hukum, berarti segi penerapan materi muatan hukum oleh
organ yang memiliki otoritas untuk menerapkan suatu norma hukum.
Jika terjadi suatu kasus pelanggaran terhadap suatu norma hukum, dan organ
tersebut tidak mampu memberikan sanksi, maka norma hukum tersebut dapat dikatakan
tidak efektif. Oleh karena itu, menurut Kelsen validitas dan efektifitas hukum
7
Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, cet. kedua
(Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger, 1948), hal.31 sebagaimana yang dikutip oleh A. Hamid Attamimi dalam,
Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara - Suatu
Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I Pelita IV, disertasi yang dipertahankan di hadapan Senat Guru Besar Universitas Indonesia tanggal 12
Desember 1990 di Universitas Indonesia, hal. 288-289.
2
merupakan dua hal yang berbeda, yaitu validitas lebih bermuatan pada segi normatif,
dan efektifitas lebih kepada proses penerapan norma. Landasan validitas suatu norma
selalu dari norma, dan bukan dari fakta. Pencarian landasan validitas suatu norma bukan
dari realita melainkan dari norma lain yang menjadi sumber lahirnya norma tersebut.
Oleh karena itu, suatu norma yang validitasnya hanya dapat diperoleh dari norma yang
lebih tinggi, Kelsen menyebut “norma dasar“.8 Norma dasar berfungsi sebagai rujukan
dari setiap pembentukan norma, sehingga norma dasar juga sebagai sumber utama dan
merupakan pengikat di antara norma-norma yang berbeda, dalam membentuk suatu tata
normatif. Dalam pandangan ini, maka apabila suatu norma masuk dalam suatu tata
norma tertentu, validitas atas norma tersebut dapat diuji oleh norma dasar tersebut.
II. Hakekat Pengujian Peraturan Perundang-undangan
Pengujian peraturan perundang-undangan secara terminologi bahasa terdiri dari
perkataaan „pengujian‟ dan „peraturan perundang-undangan‟. Pengujian berasal dari
akar kata ‟uji‟ yang memiliki arti percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu, sehingga
‟pengujian‟ diartikan sebagai proses, cara, perbuatan, menguji. Sedangkan peraturan
perundang-undangan diartikan sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dengan demikian
pengujian peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai proses untuk menguji
peraturan tertulis baik yang dibentuk oleh lembaga negara maupun pejabat yang
berwenang yang memiliki kekuatan mengikat secara umum. Oleh karena itu, pengujian
peraturan perundang-undangan yang diartikan sebagai suatu proses untuk menguji, akan
berkaitan dengan „siapa‟ (subyek) dan „apa‟ (obyek) dalam proses pengujian peraturan
perundang-undangan tersebut. Persoalan subyek dan obyek dalam perspektif pengujian
peraturan perundang-undangan, dapat menimbulkan berbagai peristilahan yang
kadang-kadang dan bahkan sering kali terjadi kekeliruan mengartikannya. Misalnya
istilah toetsingsrecht dipersandingkan maknanya dengan judicial review. Kedua istilah
tersebut memiliki perbedaan pengertian, karena toetsingsrecht memiliki arti lebih luas dan
masih bersifat umum dan dapat dilekatkan pada lembaga kekuasaan negara baik,
yudikatif, legislatif, maupun eksekutif.9 Sedangkan judicial review, cakupan dan ruang
lingkupnya terbatas pada kewenangan pengujian yang dilakukan melalui mekanisme
judicial dan lembaganya hanya dilekatkan pada lembaga kekuasaan kehakiman.10
8
.
Hans Kelsen, General Theory ... op. cit., hal. 30 - 39 Bandingkan dengan Hans Nawiasky, sebagaimana
yang dikutip oleh A. Hamid Attamimi dalam, op.cit., hal. 287-288. Dalam kaitan ini, norma dasar oleh Hans
Nawiasky diartikan sebagai 'staatsfundamentalnorm' atau oleh Notonagoro disebut 'norma fundamental
negara' yaitu, suatu norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi dari suatu negara termasuk
norma pengubahannya. Hakekat hukum suatu 'staats-fundamentalnorm' adalah syarat bagi berlakunya suatu
konstitusi atau undang-undang dasar. Oleh karena itu 'staatsfundamentalnorm' ada terlebih dahulu sebelum
konstitusi atau undang-undang dasar.
9
Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi press,
2005), hal. 4 - 7
10
Ibid. Bandingkan Henry J. Abraham. The Judicial Process - An Introductory of the Court of The United
States, England, and France, Third Edition Revised and enlarged (London: Oxford University Press, 1975)
hlm. 280 yang menyatakan bahwa; "Judicial review is the power of any court to hold unconstitutional and
hence unenforeable any law, any official action based upon a law, or any other action by a public official that
it deems - upon careful, normally painstaking, reflection and the line with the canons of the thaught tradition
3
Di samping itu, perbedaan kedua istilah dalam pengujian peraturan perundangundangan tersebut juga terletak pada obyeknya. Oleh karena itu, agar tidak terjadi
kesimpang siuran makna „toetsingsrecht‟ dan „judicial review‟ akan diuraikan batasan
pengertian keduanya dalam penelitian ini.
1. Pengertian Toetsingsrecht dan Judicial Review dalam perspektif subyek dan
obyek
Pada umumnya istilah „toetsingsrecht‟11 diartikan sebagai „hak atau
kewenangan untuk menguji‟ atau „hak uji‟.12 Pengertian tersebut memperjelas bahwa
'toetsingrecht' merupakan suatu proses untuk melakukan pengujian atau menguji dan
secara harfiah dapat diartikan sebagai kewenangan untuk menguji.13 Pengertian
menguji atau melakukan pengujian merupakan proses untuk memeriksa, menilai, dan
memutuskan terhadap obyeknya. Pemahaman menguji atau melakukan pengujian
dalam perspektif „toetsingsrecht‟ adalah memeriksa, menilai, dan memutuskan
terhadap tingkat konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan terhadap
peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi oleh suatu lembaga
negara yang oleh undang-undang dasar dan/atau oleh undang-undang diberikan
kewenangan.14
Pengertian „toetsingrecht‟ memang cukup luas, sehingga peristilahan yang
timbulpun sangat tergantung dengan „subyek‟ dan „obyek‟ dalam pengujian tersebut.
Jika dikaitkan dengan subyek, maka toetsingsrecht dapat dilekatkan pada lembaga
kekuasaan negara yudikatif, legislatif, dan eksekutif.15 Jika hak atau kewenangan
menguji tersebut diberikan kepada lembaga kekuasaan kehakiman atau hakim, maka
of the law as well as judicial self restraint - to be conflict with the basic law - in the United States its
constitution".
11
A. Teeuw, Kamus Indonesia - Belanda (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal.260 dan 842 yang
menjelaskan bahwa toetsing diartikan pengujian, toetsen diartikan menguji dan recht diartikan hak atau
hukum, sehingga toetsingrecht dapat diartikan sebagai kewenangan untuk menguji atau untuk melakukan
pengujian.
12
Jimly Asshiddiqie, Model-model .. loc. cit. , hal. 7.
13
M.Laica Marzuki yang mengartikan toetsingsrecht sama dengan „hak menguj‟ yaitu, hak bagi hakim
(atau lembaga peradilan) guna menguji peraturan perundang-undangan. Lihat M. Laica Marzki, Berjalanjalan di Ranah Hukum, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 67.
14
Sri Soemantri Martosoewignjo, Hak Menguji.. op.cit.,halm. 8. Dalam pengertian ini pengujian diartikan
sebagai 'materiele teotsingsrecht.' Selain materiele teotsingsrecht, juga ada pengertian „formele teotsingrect‟
yang diartikan sebagai wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti UU terjelma melalui
cara-cara sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Ibid., hal. 6. Hal senada
juga dinyatakan oleh Soedirjo, bahwa toetsingsrecht meliputi „materiele teotsingsrecht‟ dan „formele
teotsingrect‟ yang keduanya memiliki makna yang sama sebagaimana yang dijelaskan oleh Sri Soemantri
Martosoewignjo. Lihat Soedirjo, Mahkamah Agung - Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan
Kekuasaannya menurut UU No. 14 Tahun 985, (Jakarta: Media Sarana Press, 1987), hal. 63. Pengertian
yang dijelaskan tersebut mengartikan „toetsingsrecht‟ dalam pengertian pengujian secara yudisial atau
'judicial review' dimaksudkan sebagai upaya yudisial untuk menilai konsistensi dan harmonisasi normatif
secara vertikal, sehingga tidak terjadi konflik normatif secara vertikal untuk mewujudkan kepastian hukum.
15
Jimly asshiddiqie, Model-Model ... op.cit., hal 7. Dalam pengertian yang agak berbeda Paulus Effendi
Lotulung mengartikan pengujian peraturan sebagai sebagai kontrol ekstern. yaitu kontrol yang dilakukan
oleh badan-badan peradilan (judicial control) dalam hal timbul persengketaan atau perkara dengan pihak
Pemerintah. Lihat Paulus Effendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap
pemerintah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal.xvi.
4
hal tersebut disebut „judicial review‟.16 Tetapi jika kewenangan tersebut diberikan
kepada lembaga legislatif, maka istilahnya menjadi „legislative review‟17 dan
demikian pula jika kewenangan dimaksud diberikan kepada lembaga eksekutif, maka
istilahnya juga menjadi „executive review‟.18
Demikian pula pengertian toetsingsrecht jika dikaitkan dengan obyek dan
waktu, maka hak menguji tersebut dilakukan secara „a posteriori‟, dan secara „a
priori‟. Kewenangan untuk menguji secara „a posteriori‟, jika obyeknya adalah
undang-undang atau setelah terjadinya tindakan atau perbuatan pemerintah, maka
tindakan tersebut disebut „judicial review‟. Sedangkan kewenangan untuk melakukan
pengujian secara „a priori‟, jika obyek yang diuji tersebut adalah Rancangan UndangUndang yang telah disetujui bersama tetapi belum diundangkan sebagaimana
mestinya, maka hal tersebut disebut „judicial preview‟.19
Uraian di atas menunjukkan bahwa „toetsingsrecht‟ memiliki makna yang cukup
luas, di samping tergantung subyek, obyek, juga tergantung kepada sistem hukum di
tiap-tiap negara, termasuk untuk menentukan kepada lembaga kekuasaan negara mana
kewenangan dimaksud akan diberikan. Dengan demikian, pengertian toetsingsrecht
lebih luas di banding dengan judicial review.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa pengertian toetsingsrecht dalam
perspektif „judicial review‟ dapat diartikan sebagai „toetsingsrecht‟ dalam arti sempit
atau uji judicial yang subyeknya tertentu yaitu lembaga kekuasaan kehakiman dan
obyeknya juga tertentu yaitu peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur
(regels). Dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas bahwa toetsingsrecht dalam
perspektif judicial review, legisltive review dan executive review dilihat dari segi
subyeknya. Demikian pula dalam segi obyeknya, maka toetsingsrecht dalam
perspektif judicial review obyek yang diuji adalah peraturan perundang-undangan
yang bersifat mengatur.20
Konsep toetsingsrecht dalam arti judicial review selanjutnya akan disebut
„judicial review‟ merupakan bagian dari prinsip kontrol secara judicial atas produk
16
Ibid. Lihat Jerre S. Williams, Constitutional Analysis in a Nutshell, (St. Paul Minn: Weat Publishing co,
1979), hal. 1. yang menyatakan bahwa, „judicial review is a shorthand expression for the role court plays as
the final authority on most, although not all, issues of the constitutionality of governmental acts.‟ Lihat
Henry J. Abraham. The Judicial Process .. loc.cit.,
17
Ibid., Bandingkan Oemar Seno Adjie, Kekuasaan kehakiman ... op.cit., hal 224-225, yang mengartikan
legislative review sebagai peninjauan kembali produk hukum oleh lembaga pembuatanya yaitu, Presiden
bersama-sama DPR. Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia legislative review ini pernah dilakukan melalui
Ketetapan MPRS No. XIX/MPR/1966 yang menugaskan kepada Pemerintah bersama-sama DPR untuk
mengadakan peninjauan kembali (legislative review) terhadap produk legislatif (Presiden dan DPR) termasuk
didalamnya Penpres, dan Perpres yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, termasuk di dalamnya
adalah UU No. 19 Tahun 1964 dan UU No. 13 Tahun 1965.
18
Ibid. Jimly menggunakan istilah „executive review‟ untuk menjelaskan tentang kontrol normatif yang
dilakukan oleh dan dengan cara-cara executive. Bandingkan Paulus Effendi Lotulung, Beberapa... op.cit., hal
xvi. Paulus menggunakan istilah internal control, yaitu kontrol yang dilakukan sendiri oleh instansi pembuat
peraturan. lihat John Adler dan Peter English, Judicial Review of the Execuitive, dalam 'Constitutional and
Administrative Law' ( London: Macmillan Profesional Masters, 1989), hal. 289.
19
Paulus Effendi Lotulung, Ibid., hal. xvii. Jimly Ashiddiqie, Ibid., hal.8.
20
Dalam pengertian ini, maka jika obyek yang diuji adalah undang-undang terhadap UUD maka hal itu
disebut „constitutional review‟, tetapi jika peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, maka
disebut 'legal review' . Lihat Jimly Ashiddiqie, Ibid.
5
peraturan perundang-undangan agar tidak bertentangan dengan norma hukum secara
hierarkis. Seperti yang dijelaskan dimuka, bahwa toetsingsrecht dalam arti judicial
review dapat dilakukan, manakala prinsip kekuasaan negara menganut pemisahan
kekuasaan atau „separation of power‟ dan „checks and balances‟.21
Kedua prinsip ini memungkinkan adanya keseimbangan posisi dan kekuasaan
cabang-cabang kekuasaan negara seperti lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif
dapat berjalan secara horisontal, dan memungkinkan masing-masing cabang
kekuasaan negara tersebut dapat melakukan fungsinya sesuai yang diatur dan
ditetapkan dalam undang-undang dasar dan/atau undang-undang. Seperti halnya
Joseph Tanenhus merumuskan bahwa, judicial review adalah „the process with his a
body judicial specify unconstitutional from action- what is done by legislative body
and by executive head‟.22 Rumusan ini menggambarkan bahwa judicial review
merupakan suatu proses untuk menguji tingkat konstitusionalitas suatu produk hukum
badan legislatif atau badan eksekutif. Rumusan tersebut di atas mengindikasikan 3
(tiga) elemen pokok tentang judicial review yaitu, pertama, badan yang melaksanakan
judicial review adalah badan/lembaga kekuasaan kehakiman; kedua, adanya unsur
pertentangan antara norma hukum yang derajatnya di bawah dengan norma hukum
yang derajatnya di atas; dan ketiga; obyek yang diuji adalah lingkup tindakan atau
produk hukum badan legislatif dan ketetapan kepala eksekutif.23
Dengan demikian, kewenangan untuk melaksanakan „judicial review‟ adalah
kewenangan badan kekuasaan kehakiman yang diberi kewenangan khusus untuk itu
oleh undang-undang dasar dan/atau undang-undang, untuk menguji tingkat
konstitusionalitas atau keabsahan suatu peraturan perundang-undangan terhadap
peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis derajatnya lebih tinggi.24
2. Obyek Pengujian Peraturan Perundang-undangan
Obyek pengujian peraturan perundang-undangan adalah peraturan perundangundangan yang bersifat mengatur (regeling), yaitu peraturan tertulis yang dibentuk
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.25
21
Donald P. Kommers, Cross-National Comparations of Cnstitutional Court Toward a Theory of Judicial
Review, Paper - presented at the annual meeting of the American Political Science Association, (Los Angeles,
Calif, September 11, 1970). dalam Henry J. Abraham,The Judicial Process - An Introductory of the Court
of The United States, England, and France, Third Edition Revised and enlarged (London: Oxford
University Press, 1975) hlm. 281-283, menggambarkan bahwa judicial review sebagai doktrin hukum dapat
dilaksanakan karena 5 faktor yakni (1) regime stability; (2) a competitive political party system; (3)
significant horizontal power distribution; (4) a strong tradition of judicial indpendent, and (5) a high degree of
political freedom.
22
Joseph Tanenhus, Judicial Review, entri dalam " An International Encyclopedia of the Social Sciences",
(Macmillan, 1968). Bandingkan dengan Sri Soemantri yang mempersandingkan makna judicial review
dengan pengertian hak uji materiel yang dirumuskan sebagai suatu wewenang untuk menyelidiki dan
kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu
peraturan tertentu. Sri Soemantri Martosoewignjo, Hak menguji ... op.cit., hal. 9.
23
Henry J. Abraham, The Judicial .. loc.cit., hlm. 280. Lihat Jerre S. Williams, Constitutional Analysis..
loc.cit., hal. 1-2.
24
AP. Le Sueur dan JW Herberg, Introduction to the Grounds of Judicial Review, dalam 'Constitutional
and Administrative Law, (London, British Library Cataloguing in Publication Data, 1995), hal. 204.
25
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
6
Untuk memahami peraturan perundang-undangan dapat diikuti pendapat Bagir
Manan yang mengartikan peraturan perundang-undangan sebagai keputusan tertulis
yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan
tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum dimana aturan tingkah laku
tersebut berisi ketentuan-ketentuan tentang hak, kewajiban, fungsi, status dan suatu
tatanan.26 Di samping bersifat umum, maka hal-hal yang diatur juga bersifat abstrak.
Oleh karena itu, sifat umum dan abstrak menjadi ciri atau elemen dari peraturan
peundang-undangan. Sifat umum dan abstrak yang dilekatkan sebagai ciri peraturan
perundang-undangan, dimaksudkan untuk membedakan dengan keputusan tertulis
pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang bersifat individual dan kongkrit
yakni „ketetapan‟ atau „beschikking‟. Lebih lanjut Bagir Manan menjelaskan bahwa
peraturan perundang-undangan memiliki 3 (tiga) unsur penting, yaitu:
a. Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis, sehingga dapat juga
disebut hukum tertulis;
b. Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan
(badan, organ), yang memiliki wewenang membuat peraturan yang berlaku atau
mengikat umum;
c. Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat secara umum.27
Sedangkan suatu keputusan itu dapat dikategorikan sebagai „ketetapan‟ atau
„beshcikking‟ apabila memenuhi beberapa unsur, yaiu:
a. keputusan sepihak;
b. keputusan tersebut adalah tindakan hukum di lapangan hukum publik;
c. keputusan dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara;
d. keputusan mengenai masalah atau keadaan kongkrit dan individual;
e. keputusan dimaksudkan untuk mempunyai akibat hukum tertentu yaitu,
menciptakan, mengubah, menghentikan, atau membatalkan suatu hubungan
hukum.28
Dengan demikian, dapat dibedakan antara keputusan yang berbentuk peraturan
perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling) dan mengikat secara umum
dengan keputusan yang berbentuk beschikking. Dalam kaitan pengertian peraturan
yang bersifat mengatur dan mengikat secara umum dan ketetapan yang bersifat
kongkrit dan individual, Jimly lebih jelas dalam membedakan keduanya.29 Bahkan
26
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Indo Hill Co, 1992) hl.3.
Ibid.
28
Safri Nugaraha dkk, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2005),
hal. 77.
29
Jimly Ashiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI dan
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal 250 -254. Dalam
penjelasannya bahwa suatu putusan dapat dikategorikan sebagai peraturan yang bersifat mengatur (regeling),
pertama, kepentingan publik; kedua, menyangkut hubungan hukum atau hubungan hak dan kewajiban
diantara sesama warga negara, dan antara warga negara dengan negara serta antara warga negara dengan
pemerintah.Sedangkan beschikking merupakan keseluruhan „ketetapan‟ administratif yang dikeluarkan oleh
pejabat publik yang dalam kapasitasnya diberikan kewenangan oleh UUD dan/atau UU untuk mengeluarkan
ketetapan tentang sesuatu hal yang bersifat internal dan tidak bersifat publik, sehingga pengikatannya
langsung kepada yang bersangkutan. Lihat M. Laica Marzuki, op.cit., hal. 110 - 111, yang menjelaskan bahwa
paraturan perundang-undangan dapat dipahami dari segi fungsinya yaitu, pertama, berfungsi selaku norma
(kaidah) guna menguji apakah suatu hak telah tepat secara hukum atau tidan; dan kedua, berfungsi selaku
petunjuk (pedoman) guna tindakan yang bakal ditempuh oleh para pencari keadilan. Lebih jauh peraturan
27
7
pengertian peraturan perundang-undangan dirumuskan dengan batasan yang jelas,
yaitu: “Dalam arti khusus pengertian peraturan perundang-undangan adalah
keseluruhan susunan hirarkis peraturan perundang-undangan yang berbentuk UndangUndang ke bawah, yaitu semua produk hukum yang melibatkan peran lembaga
perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah ataupun melibatkan peran
pemerintah karena kedudukan politiknya dalam rangka melaksanakan produk
legisltaif yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan
pemerintah menurut tingkatannya masing-masing.”30
Dilihat dari segi jenis dan tata urutannya, Hamid Attamimi berpendapat
dengan mengacu pada TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 dan menurut UUD 1945
(sebelum diubah), bahwa Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR tidak termasuk
dalam kelompok peraturan perundang-undangan melainkan sebagai „Aturan Dasar‟
atau „Aturan Pokok Negara‟. Sedangkan yang termasuk peraturan perundangundangan adalah: Undang-Undang/Perpu, Peraturan pemerintah, Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen,
Keputusan Kepala Badan Negara di luar jajaran Pemerintah yang dibentuk dengan
undang-undang, Peraturan Daerah Tingkat I, Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I, Peraturan Daerah Tingkat II, dan Keputusan Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II.31
Pendapat Hamid Attamimi mendapat kritikan dari Bagir Manan,32
sebagaimana yang dikemukakan, antara lain:
a. apakah karakteristik suatu keputusan sebagai peraturan perundang-undangan
ditentukan oleh sifat umum dan abstraknya norma, ataukah sifat muatannya yaitu,
yang dasar/pokok dan tidak pokok;
b. suatu jenis atau macam yang disebutkan tersebut dapat sekaligus sebagai
peraturan perundang-undangan atau ketetapan (beschikking). Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri dan keputusan lain semacam itu tidak selamanya sebagai
peraturan perundang-undangan;
c. penyebutan keputusan Direktur Jenderal atau yang setara dengan itu sebagai suatu
peraturan perundang-undangan, makin tidak menjelaskan kriteria untuk
menentukan suatu keputusan termasuk peraturan perundang-undangan atau bukan;
d. penyebutan secara berurutan sebagai suatu hubungan hierarki, akan menimbulkan
pertanyaan, atas dasar apakah suatu Keputusan Menteri derajatnya lebih tinggi
dari Keputusan Pemimpin Lembaga Pemerintahan Non Departemen. Begitu pula
Peraturan Daerah Tingkat I derajatnya lebih tinggi dibanding dengan Peraturan
Daerah Tingkat II.
Dengan mengikuti pendapat Hamid Attamimi maupun Jimly Ashiddiqie, maka
perundang-undangan tidak saja berfungsi meletakkan pengaturan normatif, tetapi juga merekayasa
pembangunan dalam masyarakat.
30
Ibid, hal. 256
31
A. Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi Pengaturan
dalam Kurun Waktu Pelita I - IV, Disertasi (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hal.289.
32
Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan, Makalah disajikan pada Penataran
Dosen dalam kegiatan Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum
Universitas Lampung, 11 Nopember 1994, hal. 12 – 13.
8
Undang-Undang Dasar dalam hal ini UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tidak termasuk peraturan perundang-undangan melainkan sebagai „Aturan Dasar‟
atau „Aturan Pokok Negara‟ atau „Peraturan Dasar‟.33 Oleh karena itu, obyek
pengujian peraturan perundangan-undangan dalam arti judicial review adalah segala
bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling) dan
mengikat secara umum. Dalam perspektif jenis dan tata urut peraturan perundangundangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 juncto
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Pewraturan Perundangundangan.
a. Obyek Pengujian: Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Undang-undang adalah suatu ketentuan tertulis yang dibuat oleh badan yang
diberikan kewenangan oleh undang-undang dasar. Dalam konteks UUD Negara RI
tahun 1945, maka undang-undang dibuat oleh DPR-RI dan Presiden, sehingga
setiap rancangan undang-undang dibahas dan mendapat persetujuan bersama dari
kedua lembaga tersebut. Dengan demikian, otoritas pembuatan undang-undang
terletak di DPR tetapi proses dan penetapan suatu undang-undang berada pada
DPR dan Presdien. Oleh karena itu, lembaga DPR merupakan lembaga politik yang
salah satu fungsinya menurut UUD Negara RI tahun 1945 adalah di bidang
legislasi.34
Perubahan pemegang otoritas pembentukan undang-undang yang semula
berada pada Presiden dan beralih pada DPR dilakukan pada perubahan pertama
UUD negara RI tahun 1945 pada tahun 1999 (19 Oktober 1999).35 Perubahan ini
menunjukkan adanya pergeseran peran lembaga legislatif yang semula di bidang
pembentukan undang-undang hanya ditempatkan sebagai lembaga persetujuan
terhadap setiap rancangan undang-undang, dan selanjutnya diubah menjadi
lembaga inisiator dalam pembentukan undang-undang. Oleh karena DPR adalah
lembaga politik, dan setiap produk hukumnya juga merupakan proses politik, maka
dengan sendirinya setiap pembentukan undang-undang, juga tidak terlepas dari
intervensi dan kepentingan politik. Undang-undang sebagai proses politik, maka
keputusan yang diambilpun tidak terlepas dari kekuatan-kekuatan politik yang
mendukung/menyetujui dan/atau tidak menyetujui sehingga setiap pembentukan
undang-undang tidak dapat menghindarkan diri dari „kekuatan mayoritas‟.
Untuk menghindarkan ‟kekuatan mayoritas‟ yang tidak mempedulikan dan
33
Istilah UUD sebagai „Aturan Dasar‟ atau „Aturan Pokok Negara‟ merupakan istilah dari Hamid Attamimi,
sedangkan Jimly Ashiddiqie menyebutnya sebagai „Peraturan Dasar‟.
34
Lihat Pasal 20 ayat (1) dan (2), Pasal 20A ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) UUD Negara RI tahun 1945. Hal yang sama juga
diatur dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a UU. No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, yang
menyatakan bahwa, DPR mempunyai tugas dan wewenang; a. bersama-sama Presiden membentuk undang-undang. UU No.
4 Tahun 1999 telah diubah dengan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPRdan DPRD yang
diundangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4310. Menurut
Pasal 25 UU No. 22 Tahun 2003 bahwa DPR mempunyai fungsi; a. legislasi, b. anggaran, c. pengawasan. Sedangkan Pasal 26
ayat (1) huruf a. UU No. 22 Tahun 2003 menyatakan DPR mempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk undang-undang
yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
35
Perubahan pertama UUD Negara RI Tahun 1945 dilaksanakan oleh MPR-RI hasil Pemilu tahun 1999.
Ketetapan MPR-RI tentang perubahan pertama UUD Negara RI tahun 1945 diambil pada tanggal 19 Oktober
1999 yang mengubah 9 pasal (15 ketentuan) yakni, Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan (2), Pasal 13
ayat (2) dan (3), Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 15; pasal 17 ayat (2) dan (3); Pasal 20 ayat (1) , (2), (3), dan
(4); dan Pasal 21.
9
mengindahkan aspek kebenaran dan keadilan yang harus tercermin dalam setiap
undang-undang serta konsistensi, sinkronisasi normatif secara vertikal, maka di
perlukan suatu mekanisme hukum yakni proses pengujian materi undang-undang
oleh suatu lembaga yang diberikan wewenang khusus untuk menjalankan
pengujian. Seperti halnya pengalaman yang lalu yakni terbitnya UU No. 19 Tahun
1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman (Pasal 19) jelasjelas bertentangan dengan UUD 1945, dibiarkan tetap berlaku karena tidak ada
lembaga yang mengontrol atau menguji atas kekeliruan tersebut. Oleh karena itu,
sangat penting dan strategis posisi lembaga pengujian peraturan perundangundangan untuk melakukan kontrol normatif terhadap undang-undang agar tetap
terjaga konsistensi, hamonisasi, sinkronisasi normatif secara vertikal, serta menjaga
tertib hukum dan kepastian hukum.
Undang-undang merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang
jangkauan materi muatannya cukup luas, baik menyangkut kehidupan kenegaraan,
pemerintahan, masyarakat dan individu. Bidang yang tidak dapat diatur oleh
undang-undang hanyalah hal-hal yang sudah diatur oleh undang-undang dasar, atau
yang oleh undang-undang itu sendiri telah didelegasikan pada bentuk peraturan
perundang-undangan lain. Secara garis besar materi muatan36 suatu undangundang berkaitan dengan 2 (dua) hal pokok yaitu, pertama, mengatur lebih lanjut
ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar, dan yang kedua, karena diperintahkan
oleh Undang-Undang Dasar untuk diatur dengan undang-undang.37
Materi muatan suatu undang-undang menurut Bagir Manan didasarkan pada tolok
ukur yang sifatnya masih umum, yaitu antara lain:
1) ditetapkan dalam undang-undang dasar;
2) ditetapkan dalam undang-undang terdahulu;
3) ditetapkan dalam rangka mencabut, menambah atau mengganti undangundang yang lama;
4) menyangkut hak dasar/hak asasi manusia;
5) menyangkut kepentingan atau kewajiban rakyat.38
Tolok ukur tersebut, dalam hal tertentu tidak bersifat mutlak, yakni tidak semua
materi muatan tersebut harus diatur secara formal dalam suatu undang-undang,
tetapi undang-undang yang bersangkutan dapat mendelegasikan pengaturannya
kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.39 Oleh
karena demikian luasnya materi muatan yang akan diatur dalam suatu undang36
Istilah 'materi muatan' diperkenalkan oleh A. Hamid Attamimi sebagai terjemahan dari 'het onderwerp',
yaitu muatan yang sesuai dengan bentuk peraturan perundang-undangan tertentu. Lihat A. Hamid Attamimi,
Peranan Keputusan Presiden .... op.cit., hal. 193.
37
Lihat Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
menyatakan: Materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal; a. mengatur lebih
lanjut ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 meliputi: 1. hak-hak asasi
manusia; 2. hak dan kewajiban warga negara; 3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta
pembagian kekuasaan negara; 4. wilayah negara dan pembagian daerah; 5. kewarganegaraan dan
kependudukan; 6. keuangan negara. b. diperintahkan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan
undang-undang.
38
Bagir Manan, Dasar-Dasar .... op.cit, hal. 37 – 40.
39
Ibid
10
undang, dan apabila dikaitkan dengan proses pembentukannya merupakan proses
politik, maka kecenderungan untuk menempatkan berbagai kepentingan politik
golongan tertentu sangat terbuka, bahkan kepentingan yang tidak sejalan baik
dengan norma yang telah diatur dalam UUD maupun berbagai bentuk undangundang yang derajatnya sama masih dapat dilakukan. Dengan demikian, setiap
keputusan politik, tidak selamanya memihak dan sejalan dengan prinsip- prinsip
normatif, tetapi sangat terbuka dan rentan terhadap intervensi kepentingan politik
sesaat. Untuk menghindarkan pengabaian prinsip konsistensi, sinkronisasi, dan
harmonisasi normatif secara vertikal dan horizontal, maka diperlukan setiap produk
hukum dari hasil keputusan politik, dapat diuji oleh lembaga tertentu yang
diberikan kewenangan untuk itu oleh undang-undang dasar. Pengujian suatu
undang-undang terhadap undang-udang dasar oleh Jimly disebut „pengujian
konstitusional‟ atau „constitutional review‟, yaitu pengujian mengenai
konstitusionalitas dari norma hukum yang sedang diuji (judicial review on the
constitutionality of law).40
Pada umumnya pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar
dilaksanakan pada negara-negara yang sistem pemerintahannya didasarkan pada
prinsip-prinsip demokrasi, prinsip negara hukum, prinsip pemisahan kekuasaan,
dan prinsip hak asasi manusia. Hal ini berarti, pengujian undang-undang terhadap
undang-undang dasar akan dapat dijalankan sebagaimana mestinya, jika dalam
penyelenggaraan negara menganut prinsip „supremasi hukum‟ dan bukan
„supremasi parlemen‟. Sebab dalam prinsip supremasi parlemen, maka produk
hukum (UU) yang dihasilkan oleh Parlemen tidak dapat diganggu gugat, karena
perlemen merupan representasi dari kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, posisi pengujian undang-undang terhadap undang-undang
dasar menjadi penting dan strategis, karena 2 (dua) hal; pertama, untuk menjamin
berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungannya dengan perimbangan peran
antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif; dan kedua, untuk
melindungi setiap warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga
negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam
konstitusi.41 Pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dalam
perspektif UUD 1945 (sebelum diubah) tidak dikenal, walaupun tidak ada satu
ketentuan dalam UUD 1945 yang melarang dilakukannya pengujian tersebut. Hal
ini disebabkan dianutnya prinsip pembagian kekuasaan yang mengarah pada
praktek prinsip supremasi parlemen. Oleh karena itu, pengujian undang-undang
terhadap undang-undang dasar pada dasarnya dapat dilaksanakan jika prinsip
kekuasaan dalam negara menganut prinsip „pemisahan kekuasaan/ separation of
power‟ dan prinsip „checks and balances‟ yang mengetengahkan praktek prinsip
supremasi hukum. Pengujian peraturan perundang-undangan dengan obyek
undang-undang terhadap undang-undang dasar baru diperkenalkan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia sejak tahun 2000 yaitu, melalui Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000, yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan: (1) Majelis
Permusyawaratan Rakat berwenang menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar 1945, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
40
41
Jimly Asshiddiqie, Model-Model .... op.cit., hal. 8.
Ibid, hal. 10-11.
11
Pasal 5 ayat (1) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 dipahami bukan pengujian
peraturan perundang-undangan dalam arti „judicial review‟, tetapi „legislative
review‟, karena MPR merupakan lembaga perwakilan rakyat dan bukan lembaga
judicial. Munculnya pengaturan ini adalah untuk menampung aspirasi yang
muncul, agar setiap undang-undang tidak steril atau dapat diuji berkaitan dengan
pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 2
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000. Oleh karena UUD 1945 tidak mengatur
tentang pengujian undang-undang dan lembaga pelaksananya, maka ditetapkan
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara dan penjelmaan
kedaulatan rakyat, sehingga logis jika produk hukum lembaga di bawahnya dapat
diuji oleh MPR.
Ketetapan MPR ini lahir, setelah 2 (dua) tahun dimulainya reformasi,
termasuk reformasi politik dan hukum dan yang nampak adalah demokratisasi
dalam penyelenggaraan negara dan sosial politik demikian kuatnya. Oleh karena
UUD 1945 tidak ada ketentuan yang mengatur dan tidak melarang tentang
pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, maka Ketetapan MPR
No.III/MPR/2000 tersebut dianggap suatu hal yang wajar dan diperlukan untuk
membantu terlaksanakannya demokrasi yang masih dalam masa transisi.
Dalam perkembangannya, pengujian undang-undang terhadap undang-undang
dasar diatur secara jelas dalam Pasal 24C ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945,
dan Pasal UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan
demikian, pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar ini baru
muncul sejak tahun 2000 dan langsung dibunyikan secara nyata dalam UUD dan
undang-undang pelaksananya. Kelembagaan yang diberikan wewenang untuk
melaksanakan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar adalah
Mahkamah Konstitusi yang dibentuk tanggal 13 Agustus 2003.
b. Obyek Pengujian: Peraturan Perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang.
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang (selanjutnya disebut pengujian peraturan di bawah undangundang), merupakan bentuk pengujian yang obyeknya adalah seluruh peraturan
yang bersifat mengatur, abstrak dan mengikat secara umum yang derajatnya di
bawah undang-undang. Bentuk dan tata urutannya sesuai yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 atau secara periodisasi sesuai dengan
ketentuan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/21966, dan Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000. Oleh karena itu, obyek yang diuji adalah segala peraturan di bawah
undang-undang dan yang dijadikan tolok ukur pengujiannya adalah undangundang, maka oleh Jimly disebut „legal review‟ atau „judicial review on the legality
of regulation‟.
Pengujian peraturan perundang-undangan dengan obyek peraturan di bawah
undang-undang, memang tidak diatur secara eksplisit dalam UUD 1945, tetapi
sejak tahun 1970 secara eksplisit diatur dalam suatu undang-undang dan peraturan
lainnya. Pertama kali diatur dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan dikuatkan oleh Pasal 11
Ketetapan MPR No. III/MPR/1978, serta Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung. Pengaturan pengujian peraturan di bawah undang-undang ini
12
secara tidak langsung mempraktekkan prinsip „checks and balances‟ walaupun
terbatas. Sebab pengujian peraturan pada dasarnya dapat dijalankan, apabila
prinsip pemisahan kekuasaan dan „checks and balances‟ dianut dan
dilaksanakan dalam penyelenggaraan negara. Adanya pengaturan pengujian
peraturan di bawah undang-undang ini juga dimaksudkan sebagai kontrol
normatif setiap tindakan atau produk hukum yang berbentuk peraturan dari
pihak eksekutif dalam hal ini Presiden dan lembaga negara lainnya. Hal ini
disebabkan, Presiden oleh UUD 1945 diberikan tugas dan kewenangan
yang cukup besar untuk menerjemahkan materi muatan suatu undang-undang
dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Posisi Presiden dalam kaitannya dengan
proses pembentukan dan pelaksanaannya cukup besar. Ketika undang-undang
masih dalam proses, posisi Presiden adalah sebagai salah satu pihak pembahas
dan pemberi persetujuan, di samping juga berhak mengajukan Rancangan
Undang-Undang. Selain itu, Presiden juga berhak dan berkewajiban untuk
membuat dan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai instrumen
pelaksanaan undang-undang.
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana undang-undang, maka dengan
sendirinya tidak dapat dibuat untuk menjalankan UUD Negara RI Tahun 1945,
karena instrumen hukum untuk menjalankan undang-undang dasar adalah
undang-undang. Oleh karena itu, Peraturan pemerintah sebagai pelaksana
undang-undang pada dasarnya materi muatannya adalah materi muatan
undang-undang, tetapi lebih rinci. Oleh karena itu, posisi Presiden cukup besar
dalam menafsirkan materi muatan undang-undang yang akan dituangkan dalam
bentuk Peraturan Pemerintah, di samping juga cukup besar pula intervensi
politik bagi kepentingan Presiden. Di samping itu, Presiden juga dapat
menerbitkan keputusan dalam bentuk peraturan untuk menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai lembaga negara. Untuk hal ini, maka wewenang yang
melekat dan terlahir sebagai badan atau pejabat tata usaha negara yang
didasarkan atas asas kebebasan bertindak (freis ermessen). Walaupun
demikian, asas kebebasan bertindak untuk menjalankan pemerintahan tidak
berarti bebas tanpa batas, tetapi tetap terikat oleh asas-asas umum
penyelenggaraan pemerintahan yang layak, seperti asas persamaan perlakuan,
asas kepastian hukum, dan asas dapat dipercaya. Dalam praktek, hal-hal
tersebut dapat berupa Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, dan lain-lain.
Sebagaimana tata urut peraturan perundang-undangan, maka Peraturan
Daerah juga merupakan peraturan perundang-undangan walaupun jangkauan
wilayah keberlakuannya terbatas pada wilayah yang bersangkutan (bersifat
lokal). Oleh karena itu, Peraturan Daerah merupakan peraturan perundangundangan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan sistem
peraturan perundang-undangan secara nasional. Hal ini bearti, pembuatan suatu
Peraturan Daerah bukan sekedar dikaitkan dengan kompetensi formal sebagai
daerah otonom atau semata-mata hanya melihat dan didasarkan kepentingan
daerah yang bersangkutan, tetapi lebih jauh harus didasarkan pada kesatuan
penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan nasional secara keseluruhan.
Prinsip ini yang berkaitan dengan prinsip kosnsitensi normatif secara vertikal,
walaupun tetap terbuka pada keaneka ragaman materi muatan yang dituangkan
13
dalam Peraturan Daerah, tetapi tetap harus ada hubungan normatif secara
vertikal.
Dengan demikian, obyek pengujian peraturan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang adalah Peraraturan pemerintah, Peraturan Presiden,
dan Peraturan Daerah. Secara hierarkis, obyek pengujian peraturan di bawah
undang-undang dapat dilihat dari perspektif bentuk dan tata urutan peraturan
perundang-undangan yang diatur oleh Ketetapan MPRS/MPR, dan undangundang.
III. Pengujian Peraturan di bawah Undang-Undang oleh Mahkamah Agung
A. Pengaturan Pengujian Peraturan di bawah Undang-Undang.
1. Pengaturan Pengujian Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1993
Pada periode 1993 - 1998 pengaturan pengujian peraturan perundangundangan pada dasarnya diatur dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970, Pasal 31
UU No. 1985, dan Pasal 11 Ketetapan MPR Tahun 1978. Ketiga Pada periode
1993 - 1998 pengaturan pengujian peraturan perundang-undangan pada dasarnya
diatur dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970, Pasal 31 UU No. 1985, dan Pasal
11 Ketetapan MPR Tahun 1978. Ketiga aturan tersebut secara umum menjadi
dasar pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan, tetapi ketiganya
tidak mengatur teknis pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan.
Kelemahan yang nampak pada berbagai peraturan perundang-undangan yang
diterbitkan tentang pengujian peraturan perundang-undangan adalah tidak diikuti
dengan pengaturan teknisnya, yaitu hukum acara pelaksanaan pengujian peraturan
perundang-undangan. Mengingat demikian singkatnya ketentuan yang mengatur
pengujian peraturan perundang-undangan, berdampak pada kesulitan Mahkamah
Agung untuk melaksanakan fungsinya dalam pengujian peraturan perundangundangan. Untuk mengatasi kesulitan teknis pelaksanaan pengujian peraturan
tesebut, maka Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor: 1 Tahun 1993 (Perma No. 1 Tahun 1993).42
Di samping itu, lahirnya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1993
merupakan tafsir Mahkamah Agung terhadap ketentuan Pasal 26 ayat (2) jo. Pasal
31 ayat (3) U No. 14 Tahun 1985 yang menyatakan bahwa: „Putusan tentang
pernyataan tidak syahnya peraturan perundangan tersebut dapat diambil
berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.‟ Dalam kaitan ini, terdapat
dua kata yaitu, „putusan‟ dan „dapat‟ yang ditafsirkan bahwa, pertama, ketentuan
tersebut menggunakan rumusan „putusan‟ dan bukan „penetapan‟, sehingga
pemeriksaan perkara pengujian peraturan tersebut berupa putusan atau vonis
sebagaimana dalam perkara contensiosa. Kedua, bahwa ketentuan dalam undang42
Perma No. 1 Tahun 1993 diterbitkan tanggal 11 Maret 1993, dikarenakan sejak diaturnya pengujian peraturan
perundang-undangan belum diterbitkan hukum acara yang mengatur tentang pelaksanaan peradilan mengenai
pengujian tersebut. Hal ini tercermin dalam dasar pertimbangan Perma No. 1 Tahun 1993 pada huruf b. Di samping
itu, terbitnya Perma No. 1 Tahun 1993 juga sebagai antisipasi lebih lanjut atas permohonan pengujian peraturan
perundang-undangan oleh Surya Paloh sehubungan dengan pencabutan SIUP harian Prioritas oleh Menteri
Penerangan melalui penerbitan Peraturan Menteri Penerangan (PERMENPEN) No. 01 Tahun 1984 yang dianggap
bertentangan dengan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Pokok-Pokok Pers. Perkara ini telah diputus oleh Mahkamah
Agung pada tahun 1992 dengan Nomor: 01P/TN/1992 yang dibacakan tanggal 15 Juni 1993.
14
undang tersebut juga menggunakan kata „dapat‟ dan bukan kata „harus‟ atau
„hanya dapat‟, sehingga ketentuan tersebut tidak bersifat limitatif, tetapi
memberikan ruang alternatif. Oleh karena itu Mahkamah Agung berpendirian
bahwa gugatan perkara pengujian peraturan perundang-undangan dapat ditujukan
langsung kepada Mahkamah Agung.43 Di samping itu, Perma No. 1 Tahun 1993
merupakan peraturan internal Mahkamah Agung untuk melaksanakan fungsinya
sebagaimana yang diamanatkan pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970, Pasal 31 UU
No. 14 tahun 1985, dan pasal 11 Tap. MPR No. III/MPR/1978. Di samping itu,
Perma No. 1 Tahun 1993 juga sebagai pelaksanaan Pasal 79 UU No.14 Tahun
1985, sehingga Perma No. 1 Tahun 1993 dapat juga disebut „code of conduct‟
Mahkamah Agung dalam pengujian Peraturan perundang-undangan. Perma No. 1
Tahun 1993 secara substansial materi muatannya mengatur tata cara pengajuan
gugatan hak uji materiil, Pemeriksaan di Persidangan, tentang putusan,
pemberitahuan isi putusan, ketentuan lain, dan ketentuan penutup. Kelemahan
yang masih terdapat dalam Perma No. 1 tahun 1993 adalah tidak mengatur secara
tegas tentang pelaksanaan putusan yang memberikan sangsi atau batas waktu
kepada instansi yang mengeluarkan peraturan untuk mencabut atau menggantinya.
Memang ketentuan yang diatur dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970, dan Pasal
31 UU No. 14 tahun 1985 memberikan perintah kepada para pembuat peraturan
yang mencabut atau merubahnya, tetapi tidak ada batas waktu sehingga dapat
menyulitkan pelaksanaan putusan pengujian peraturan itu sendiri.
Oleh karena itu, terbitnya Perma No. 1 Tahun 1993 memiliki nilai
kesejarahan bagi pengujian peraturan perundang-undangan, disebabkan
Mahkamah Agung berani melakukan langkah strategis dalam pembaharuan
hukum, di samping meneguhkan atas posisi Mahkamah Agung sebagai lembaga
yang diberikan kewenangan untuk mengontrol produk hukum berupa peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang. Di samping itu, keberanian
Mahkamah Agung untuk menerbitkan Perma No. 1 tahun 1993, juga dapat
memberikan pencerahan terhadap pemerintah untuk lebih selektif dan hati-hati
dalam memahami dan merumuskan ketentuan peraturan pelaksanaan undangundang.
2. Pengaturan Pengujian Peraturan Perundang-undangan
Perubahan pertama UUD 1945 belum memberikan perubahan yang
signifikan di bidang kekuasaan kehakiman terutama menyangkut pengujian
peraturan perundang-undangan, dan baru pada perubahan ketiga UUD 1945 yang
dilaksanakan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang berpengaruh terhadap
pengaturan pengujian peraturan perundang-undangan. Pengaturan pengujian
peraturan perundang-undangan pada kurun waktu 1999 - 2004 dilakukan dalam
bentuk Ketetapan MPR RI, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
Undang-Undang serta Peraturan Mahkamah Agung. Pengaturan ini menunjukkan
adanya dinamika politik hukum terhadap kekuasaan kehakiman khususnya
43
Sri Soemantri Martosoewignjo, laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Masalah Hukum Hak
Uji Materiil, Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI,
Tahun 1999/2000.
15
tentang pengujian peraturan perundang-undangan. Sebab setelah perubahan ketiga
UUD 1945, maka hal-hal yang diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945 dengan
sendirinya tidak berlaku lagi seperti ketentuan Pasal 5 ayat (1), dan ayat (2)
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan.
1) Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
Lahirnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 bersamaan dengan
perubahan kedua UUD 1945. Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 ini lahir sebagai
penegasan terhadap prinsip supremasi hukum, walaupun dilahirkan oleh lembaga
yang mencerminkan supremasi parlemen. Penegasan terhadap supremasi hukum
ini memberikan peluang terhadap posisi kekuasaan kehakiman untuk diberikan
kewenangan yang lebih luas dalam pengujian peraturan perundang-undangan.
Perubahan terhadap perluasan kewenangan kekuasaan kehakiman tersebut
belum dapat terwujud. Hal ini dikarenakan dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/
2000 dalam hal pengaturan pengujian peraturan perundang-undangan masih
menganut „toetsingrecht‟ dalam pengertian „legislative review‟ dan
„judicialreview‟ sekaligus,44 walaupun lembaga pelaksananya berbeda yakni MPR
dan Mahkamah Agung. Kedua pengertian tersebut dapat ditelaah pada Pasal 5
ayat (1) dan (2) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000. Munculnya dua pengertian
sekaligus tersebut menunjukkan adanya transisi politik hukum yang
mengedepankan supremasi konstitusi dengan yang mempertahankan supremasi
parlemen.
Secara normatif dapat ditelaah bunyi Pasal 5 ayat (1) dan (2) Ketetapan
MPR No. III/MPR/2000 yaitu;
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
(2) Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Ketetapan MPR di atas menunjukkan bahwa
MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan representasi dari kedaulatan rakyat
merupakan satu-satunya lembaga pentafsir konstitusi. Walaupun MPR bukan
lembaga judicial melainkan lembaga politik, tetapi karena posisinya menurut
UUD 1945 merupakan lembaga tertinggi negara, maka dianggap wajar jika MPR
sebagai lembaga atau subyek yang diberi kewenangan untuk menguji undangundang terhadap undang-undang dasar.Tetapi apa yang dilakukan oleh MPR
berkaitan dengan kewenangan yang diberikan oleh pasal 5 ayat (1) tidak harus
dipahami sebagai „toetsingrecht dalam arti judicial review‟, tetapi toetsingrecht
dalam pengertian „legislative review‟.45
44
MPR bukan lembaga kekuasaan kehakiman tetapi MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang
merepresentasikan kedaulatan rakyat, sehingga MPR adalah lembaga legislatif. Pemberian pengujian
kepada MPR berarti ketentuan Pasal 5 ayat (1) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 memberikan
kewenangan kepada lembaga pembuatnya untuk melakukan pengujian dan diklasifikasikan sebagai
legislative review.
45
Jimly Asshiddiqie, Model-Model .... loc.cit,, hal. 8.
16
Oleh karena itu, menempatkan MPR sebagai lembaga yang berwenang
untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar pada hakekatnya
tidak harus dipersalahkan, karena selain memang UUD 1945 tidak mengaturnya
secara jelas, maka MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat dapat memposisikan
sebagai lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan. Tetapi
jika dikaitkan dengan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, maka
kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan tersebut memang
tidak ada, sehingga kewenangan itu dapat dikategorikan sebagai „legislative
review‟, karena yang diuji adalah produk hukum lembaga legislatif bersama
eksekutif yang derajatnya di bawah Ketetapan MPR dan yang menguji (MPR)
pada hakekatnya adalah lembaga legislatif. Adapun ketentuan Pasal 5 ayat (2)
merupakan replikasi dari ketentuan Pasal 11 Ketetapan MPR No. III/MPR/1978,
Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 dan pasal 31 UU No. 14 Tahun 1985. Oleh
karena itu, ketentuan pasal 5 ayat (2) yang menempatkan Mahkamah Agung
sebagai lembaga yang berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang, dipahami sebagai „toetsingrecht‟ dalam arti „judicial
review‟, karena Mahkamah Agung RI merupakan lembaga judicial dan
obyeknya adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh institusi/pejabat
politik yang diberikan kewenangan oleh UUD dan/atau undang-undang. Dengan
demikian, ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) mengandung 2 (dua) makna, yaitu
„legislative review‟ yang diberikan kepada MPR RI, dan makna „judicial review‟
yang kewenangannya diberikan kepada Mahkamah Agung RI.
2) Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945
Perubahan UUD Negara RI tahun 1945, secara langsung berpengaruh
dalam bidang kekuasaan kehakiman. Dalam hal kekuasaan kehakiman, maka
Pasal 24 UUD Negara RI Tahun 1945 telah diubah, baik segi kelembagaan,
kewenangan, tugas dan fungsinya. Di samping itu, ketentuan tersebut juga telah
mengakhiri perdebatan panjang tentang kewenangan menguji peraturan
perundang-undangan yang diawali ketika merumuskan Pasal 24 UUD 1945,
dilanjutkan ketika merumuskan Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang
ketentuan-Ketentuan Pokok kekuasaan kehakiman sampai dengan tahun 2000 dan
berakhir pada tahun 2001. Ketentuan tersebut juga menghapus ketentuanketentuan tentang pengujian peraturan perundang-undangan dalam berbagai
peraturan. Penjabaran teknis dari ketentuan-ketentuan tersebut akan diatur dalam
berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Apabila diamati dengan
seksama, ketentuan Pasal 24A ayat (1) dan pasal 24C ayat (1) terkesan ada
dualisme dalam penanganan pengujian peraturan perundang-undangan yakni
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dan yang membedakan hanyalah
tingkatan obyek yang diuji. Pembagian yang demikian memang tidak ideal,
karena menimbulkan perbedaan atau putusan yang saling bertentangan antara
Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Terlepas dari kelemahan
tersebut untuk sementara waktu pembagian yang demikian diterima dan
dipraktikkan dulu pada tahap awal pertumbuhan lembaga Mahkamah Konstitusi
di Indonesia, tetapi kedepan, memang harus dipikirkan kemungkinan
mengintegrasikan seluruh sistem pengujian peraturan di bawah kewenangan
17
Mahkamah Konstitusi.
3) Pengaturan Pengujian peraturan perundang-undangan dalam berbagai
Undang-Undang.
Perubahan yang mendasar tentang kekuasaan kehakiman akibat dari
perubahan ketiga UUD negara RI tahun 1945 sebagaimana diuraikan di atas,
maka pengujian peraturan perundang-undangan diatur kembali dalam berbagai
undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yaitu UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung. Pengaturan pengujian peraturan perundang-undangan
dalam UU No. 24 Tahun 2003 dapat dilihat pada pasal yang mengatur tentang
kewenangan dan kewajiban yang melekat pada Mahkamah Konstitusi
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 24 Tahun
2003 adalah sebagai berikut:
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk :
a. menguji undang-undang terhadap UUD Negara RI Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD Negara RI tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD
negara RI Tahun 1945.
Dengan demikian, munculnya Mahkamah Konstitusi yang secara
kelembagaan merupakan lembaga negara yang kedudukannya sederajat dengan
lembaga negara lainnya dan pengaturannya terdapat dalam UUD Negara RI
Tahun 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003, merupakan bagian dari upaya kontrol
yudisial terhadap penyelenggaraan negara melalui mekanisme hukum.
Mekanisme kontrol oleh lembaga kekuasaan kehakiman merupakan bagian
penting dalam upaya membangun dan mengembangkan prinsip negara demokrasi
berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis. Demikian pula
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan
unifikasi dari Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 dan Undang-Undang No. 35
tahun 1999 tentang perubahan UU No. 14 Tahun 1970. Terbitnya UU No. 4
Tahun 2004 merupakan konsekuensi yuridis atas perubahan UUD Negara RI Th.
1945 di bidang kekuasaan kehakiman yaitu, Pasal 24 ayat (2), Pasal 24A ayat (1)
dan Pasal 24C ayat (1). Secara normatif, pengujian peraturan perundangundangan juga diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, yaitu dalam
Pasal 2, Pasal 11 ayat (2) huruf b, dan pasal 12 ayat (1) huruf a. Pasal 2 UU No. 4
tahun 2004 menjelaskan bahwa, “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
18
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”
Pasal 11 ayat (2) huruf b UU No. 4 Tahun 2004 menjelaskan bahwa; “Mahkamah
Agung mempunyai kewenangan: ... menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang ..”
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU No. 4 Tahun 2004, menjelaskan bahwa;
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:... a. menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Demikian pula dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang mahkamah Agung, dapat dilihat
pada Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) sebagai berikut:
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku.
(3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan
pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada
Mahkamah Agung.
(4) Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, wajib
dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
(5) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita
Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak putusan diucapkan.
Sedangkan Pasal 31A sebagai pasal tambahan mengatur tentang tata cara
pengajuan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan oleh pemohon
langsung kepada Mahkamah Agung. Oleh karena itu, pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yang diatur dalam Pasal 31 dan
31A UU No. 5 Tahun 2004 melalui 2 (dua) cara yaitu, pertama, melalui
pemeriksaan pada tingkat kasasi (ada gugatan), dan kedua, melalui permohonan
langsung ke Mahkamah Agung. Dengan demikian pengaturan pengujian peraturan
perundang-undangan telah lengkap yakni mulai dari UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945, UU No. 24 tahun 2003, UU No. 4 Tahun 2004 dan UU No.
5 Tahun 2004 dan lembaga pelaksananya adalah Mahkamah Agung RI dan
Mahkamah Konstitusi RI.
3. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1999
Demikian pula di bidang pengujian peraturan perundang-undangan juga
terjadi perubahan yang cukup mendasar yaitu diperkenalkannya prosedur
19
„Permohonan‟46 yang dalam ketentuannya tidak diatur dalam Pasal 26 UU No. 14
Tahun 1970, Pasal 31 UU No. 14 tahun 1985, dan Pasal11 Tap. MPR No.
III/MPR/1978.Terbitnya peraturan tersebut memberikan nilai kesejarahan
terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman dan khususnya pelaksanaan
pengujian peraturan perundang-undangan. Seperti halnya perma No. 1 Tahun
1993, maka terbitnya Perma No. 1 Tahun 1999 merupakan perluasan dari materi
Perma No. 1 Tahun 1993. perluasan materi muatan yang mendasar adalah
prosedur pengajuan perkara pengujian yang semula hanya dikenal melalui
gugatan juga dapat melalui permohonan. Dalam hubungan ini, maka dalam
Perma No. 1 tahun 1999 memberikan alternatif terhadap prosedur pengajuan
perkara pengujian peraturan perundang-undangan, yakni dapat melalui gugatan
dan melalui permohonan. Prosedur permohonan sebagai salah satu alternatif
pilihan didasarkan pemikiran bahwa secara sosiologis sebagai upaya untuk
menampung aspirasi hukum yang berkembang dalam masyarakat seiring dengan
semangat reformasi untuk menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta pelaksanaan reformasi di bidang
hukum sebagaimana yang diamanatkan Ketetapan MPR No. X/MPR/1998.47
Penerbitan perma No. 1 tahun 1999 ini juga dinilai langkah maju dan
berani Mahkamah Agung untuk lebih terbuka kepada semua pihak yang menilai
adanya peraturan-peraturan di bawah undang-undang yang diterbitkan oleh para
pejabat publik yang dianggap bertentangan dengan undang-undang untuk
diajukan pengujian ke Mahkamah Agung, baik melalui prosedur gugatan maupun
permohonan. Di samping itu, menurut Sri Soemantri, bahwa penerbitan Perma
No. 1 Tahun 1999 juga langkah strategis Mahkamah Agung yang menghendaki
perlunya diberikan kewenangan yang lebih luas untuk melakukan pengujian
peraturan perundang-undangan, tidak hanya obyek peraturan di bawah undangundang, melainkan juga undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Pemberian wewenang tersebut dapat ditempuh melalui Penjelasan Pasal 26 UU
No. 14 Tahun 1970 yaitu dengan ketetapan MPR. Di samping itu, semua putusan
pengujian peraturan perundang-undangan diumumkan dalam Berita Negara,
sehingga masyarakat dapat mengetahui status peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan. Demikian dalam Perma No. 1 Tahun 1999 ini, juga diatur
tentang pelaksanaan putusan pengujian yang semula diserahkan kepada instansi
pembuatnya juga diberikan batas waktu pencabutan atau perubahannya. Jika
dalam waktu yang telah ditentukan itu instansi yang bersangkutan tidak
mencabutnya, maka demi hukum peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak memiliki kekuatan hukum.48
Ketentuan tersebut di atas, memberikan dasar pijak yang kuat kepada
Mahkamah Agung dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam perkara
pengujian peraturan perundang-undangan. Semua keputusan pengujian peraturan
46
Prosedur pengajuan perkara pengujian peraturan perundang-undangan melalui 'permohonan' diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil yang ditetapkan tanggal 20 Mei
1999. Dengan berlakunya Perma No. 1 Tahun 1999, maka Perma No. 1 Tahun 1993 dinyatakan tidak berlaku.
47
Lihat konsideran sebagai dasar pertimbangan pada huruf c Perma No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji
Materiil.
48
Lihat Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 1999.
20
perundang-undangan diwajibkan untuk diumumkan melalui Berita Negara yang
semula hal ini tidak diatur. Di samping itu, ditentukan batasan waktu 90 (sembilan
puluh) hari untuk mencabut peraturan perundang-undangan tersebut, dan jika
tidak dicabut juga, maka dinyatakan tidak berlaku secara otomatis. Dengan
demikian, ketentuan Pasal 12 dan 13 Perma No. 1 tahun 1999 cukup maju dan
mencerminkan betapa kuatnya hukum untuk memaksa subyek hukum untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum. Hal ini juga tercermin komitmen
terhadap penegakan negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang
berdasar atas hukum.
B. Prosedur Pengujian Peraturan perundang-undangan
1. Prosedur Pengajuan Gugatan dan Permohonan
Prosedur pengajuan pengujian peraturan perundang-undangan tidak diatur
dalam berbagai undang-undang yang mengatur tentang pengujian peraturan di
bawah undang-undang sebagaimana yang dijelaskan di atas, melainkan
pengaturannya melalui Peraturan Mahkamah Agung. Lahirnya Peraturan
Mahkamah Agung tentang Hak Uji Materiil tersebut di atas, adalah untuk
melaksanakan perintah UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, Ketetapan
MPR dan Undang-Undang lainnya. Secara eksplisit ketentuan teknis pelaksanaan
pengujian peraturan perundang-undangan berupa Peraturan Mahkamah Agung
hanya diatur dalam Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985,49 maka dengan sendirinya
Mahkamah Agung diberikan wewenang untuk menerbitkan peraturan yang
bersifat internal. Untuk itu, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1993 dan diperbaharui dengan Perma
No. 1 Tahun 1999.
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1993 memuat
pengaturan tentang prosedur pengajuan hak uji materiil, pemeriksaan
persidangan, putusan dan pemberitahuan putusannya. Ketentuan-ketentuan yang
dituangkan dalam Perma No. 1 Tahun 1993 merupakan ketentuan khusus
sebagai penjabaran dan pelaksanaan perintah peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pengujian peraturan peraturan perundang-undangan.
a.
Menurut PERMA No. 1 Th. 1993
1) Gugatan ditujukan kepada Badan/Pejabat Tata usaha negara yang
menerbitkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan,
ditanda tangani penggugat atau kuasa hukumnya, dapat diajukan
secara langsung ke Mahkamah Agung atau melalui pengadilan tingkat
I di wilayah hukum tergugat, dengan menyebutkan sejelas-jelasnya
alasan gugatan, dan dibuat rangkap tiga;
2)
Gugatan Hak Uji Materiil yang diajukan secara langsung ke
Mahkamah Agung, apabila sudah memenuhi persyaratan formal
administratif, didaftar dalam buku register khusus oleh Direktur Tata
49
Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 menyatakan :‟Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut halhal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum
diatur dalam undang-undang ini‟. Ketentuan ini dalam perkembangannya juga diatur dalam pasal 31 ayat
(1) UU No. 5 Tahun 2004. tentang Mahkamah Agung.
21
Usaha Negara Mahkamah Agung RI. Gugatan yang diajukan melalui
pengadilan tingkat I, apabila sudah memenuhi persyaratan formal
administratif, didaftar oleh Panitera Kepala pengadilan tersebut,
selanjutnya berkasnya dikirimkan ke Direktur Tata Usaha Negara
Mahkamah Agung RI untuk didaftar, dan kepada penggugat atau
kuasanya diberikan tanda terima berkas perkaranya.
3)
b.
50
51
Direktur Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI memeriksa
kelengkapan berkas perkaranya, dan apabila ada kekurangan
lengkapan dapat langsung atau melalui pengadilan tingkat I yang
bersangkutan dan meminta penggugat atau kuasanya untuk
melengkapinya. Jika berkas perkara telah lengkap, Direktur Tata
Usaha Negara Mahkamah Agung
RI mengajukan ke Ketua
Mahkamah Agung.50
Menurut PERMA No. 1 Tahun 1999
Prosedur pengajuan perkara pengujian peraturan dibawah undangundang terhadap undang-undang menurut Perma No. 1 Tahun 1999 dapat
dilakukan melalui ‟gugatan‟ dan ‟permohonan‟51. Secara rinci prosedur
pengajuan pengujian peraturan dibawah undang-undang terhadap undangundang menurut Perma No. 1 Tahun 1999 tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1) Prosedur Gugatan
(1) Gugatan dapat diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara:
a. langsung ke Mahkamah Agung, dan b.melalui Pengadilan
Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat.
(2) Gugatan hanya dapat diajukan terhadap satu peraturan
perundang-undangan, kecuali terhadap peraturan perundangundangan yang saling berkaitan secara lansung.
(3) Gugatan dibuat rangkap seperlunya dengan menyebutkan
sejelas-jelasnya alasan-alasan yang dijadikan dasar gugatannya
dan harus ditanda-tangani oleh Penggugat atau kuasanya yang
sah.
(4) Gugatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan
puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan.
(5) Penggugat membayar biaya perkara pada saat mendaftarkan
gugatan yang besarnya akan diatur tersendiri.
Selanjutnya, tata cara atas proses gugatan pengujian tersebut
apabila diajukan langsung ke Mahkamah Agung sebagai berikut:
(1) Dalam hal gugatan diajukan langsung ke Mahkamah Agung,
didaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung dan dibukukan dalam
buku register tersendiri dengan menggunakan kode: ....
Lihat Pasal 1 ayat (1), (2), (3), dan (4) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1993.
Lihat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1999.
22
G/HUM/Th......
(2) Panitera Mahkamah Agung memeriksa kelengkapan berkas dan
apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada
penggugat atau kuasanya yang sah.
(3) Panitera Mahkamah Agung wajib mengirimkan salinan gugatan
tersebut kepada pihak tergugat setelah terpenuhi kelengkapan
berkasnya.
(4) Tergugat wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya
kepada panitera Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat
belas) hari sejak diterima salinan gugatan tersebut.
(5) Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua
Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung
setelah lengkap berkas gugatan tersebut.
Selanjutnya apabila gugatan tersebut diajukan melalui
Pengadilan, maka tatacaranya sebagai berikut:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
2)
Dalam hal gugatan diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat,
didaftarkan pada kepaniteraan dan dibukukan dalam buku register
perkara
tersendiri
dengan
menggunakan
kode:
.......G/HUM/Th...../PN..... setelah Penggugat atau kuasanya yang sah
membayar biaya perkara dan diberikan tanda terima biaya perkara
tersebut.
Panitera pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan gugatan yang
telah didaftarkan oleh Penggugat atau kuasanya yang sah.
Panitera Pengadilan Negeri sebelum meneruskan berkas gugatan
kepada Mahkamah Agung terlebih dahulu wajib mengirimkan salinan
gugatan kepada tergugat untuk mendapatkan jawaban atas gugatan
Penggugat.
Tergugat dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterima salinan
gugatan tersebut harus mengirim atau menyerahkan jawabannya
kepada Panitera Pengadilan negeri yang bersangkutan.
Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan segera mengirimkan
kepada Mahkamah Agung pada hari berikutnya setelah tenggang
waktu sebagaimana dimaksud ayat (4).
Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah
Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung.
Prosedur Permohonan
Prosedur „permohonan‟ tidak terdapat dalam rumusan berbagai
ketentuan tentang pengujian peraturan perundang-undangan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 UU No. 14 tahun 1970,
pasal 31 UU No. 14 Tahun 1985 dan Pasal 11 Tap. MPR No.
III/MPR/1978. Jika ditelusuri ketentuan Pasal 26 ayat (2), Pasal 31
ayat (3) UU No. 14 Tahun 1985, maka keduanya menggunakan kata
hasil pengujian. Hal ini berarti semua perkara pengujian merupakan
perkara ‟contentieus‟, sehingga penyelesaian akhir dengan ‟putusan‟
hakim. Secara konseptual putusan adalah suatu penyataan yang oleh
hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu,
23
diucapkan di persidangan yang bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.52
Dalam sengketa suatu perkara dapat dibedakan terdapat 2 (dua) hal
yaitu, perkara yang bersifat ‟contentieus‟53
atau sengketa yang
berasal dari gugatan, dan perkara yang bersifat ‟voluntair‟54 atau
sengketa yang berasal dari permohonan. Jenis putusannyapun berbeda
yaitu, untuk perkara ‟contentieus‟, maka jenis putusannya disebut
‟putusan‟, sedangkan untuk perkara ‟voluntair‟, maka jenis
putusannya disebut ‟penetapan‟.55 Oleh karena itu, prosedur
‟permohonan‟ yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 1999 tidak harus
dinilai sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang, sebab
dalam ketentuan tersebut juga tidak diatur pelarangan prosedur
‟permohonan‟, tetapi justeru didasarkan pada alasan sosiologis,
dimana masyarakat lebih banyak menggunakan prosedur
‟permohonan‟.
Prosedur ‟permohonan‟ perkara pengujian peraturan dibawah
undang-undang terhadap undang-undang, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
(1)
Permohonan keberatan diajukan kepada Mahkamah Agung
dengan cara: a. langsung ke Mahkamah Agung, dan b. melalui
Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan
Pemohon.
(2)
Permohonan keberatan hanya dapat diajukan terhadap satu
peraturan perundang-undangan, kecuali terhadap peraturan
perundang-undangan yang saling berkaitan secara langsung.
(3)
Permohonan keberatan dibuat rangkap seperlunya dengan
menyebutkan sejelas-jelasnya alasan-alasan yang dijadikan
dasar keberatannya dan wajib ditanda-tangani oleh Pemohon
atau kuasanya yang sah.
(4)
Permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180
(seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.
(5)
Pemohon membayar biaya permohonan pada saat
mendaftarkan permohonan keberatan yang besarnya diatur
tersendiri.
Apabila pengajuan ‟permohonan‟ tersebut dilakukan langsung
kepada Mahkamah Agung, maka prosesnya adalah sebagai berikut:
52
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. kelima (Yogyakarta: Liberty, 1999),
hal.173.
53
Contentieus diartikan sebagai perkara sengketa yang berasal dari gugatan artinya perkara itu timbul
karenan adanya gugatan untuk menyelesaikan perselisihan anatara dua atau lebih pihak kepada
pengadilan. Lihat Sudikno Martokusumo, Ibid. hal 74.
54
Voluntair diartikan sebagai sengketa yang berasal dari permohonan, artinya perkara itu timbul
karena permohonan pihak tertentu atas pihak lainnya atau para pihak untuk ditetapkan status hukumnya.
seperti permohonan penetapan waris, permohonan ikrar talaq dalam hukum perkawinan. Lihat Sudikno
Martukusumo, ibid.
55
Ibid, hal. 174.
24
(1)
(2)
(3)
Dalam hal permohonan keberatan diajukan langsung ke
Mahkamah Agung, didaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung
dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan
menggunakan kode: .....P/HUM/Th....
Panitera Mahkamah Agung memeriksa kelengkapan berkas
dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung
kepada Pemohon atau kuasanya yang sah.
Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada ketua
Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung,
setelah lengkap berkas permohonan keberatan tersebut.
Demikian pula, apabila pengajuan ‟permohonan‟ tersebut
dilakukan melalui Pengadilan Negeri, maka prosesnya adalah sebagai
berikut:
(1)
Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan
Negeri setempat, didaftarkan pada kepaniteraan dan dibukukan
dalam buku register perkara tersendiri dengan menggunakan
kode: .......P/HUM/Th...../PN..... setelah Pemohon atau
kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan
tanda terima.
(2)
Panitera pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan
permohonan keberatan yang telah didaftarkan oleh Pemohon
atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat
meminta langsung kepada Pemohon atau kuasanya yang sah.56
(3)
Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan segera
mengirimkan kepada Mahkamah Agung pada hari berikutnya.
(4)
Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua
Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung.
2. Pemeriksaan dalam Persidangan
Ketentuan yang mengatur tentang tatacara pemeriksaan atas, baik gugatan
maupun permohonan pengujian peraturan dibawah undang-undang terhadap
undang-undang secara eksplisit sebagai berikut:
(1) Ketua Mahkamah Agung RI menetapkan Majelis yang akan memeriksa dan
memutus baik gugatan maupun permohonan pengujian peraturan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang.
(2) Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus gugatan tentang hak uji
materiil tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku bagi
perkara gugatan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sesuai dengan azas
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
(3) Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan
tentang hak uji materiil tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang
berlaku bagi perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
sesuai dengan azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
56
Lihat Pasal 7 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 1999
25
Proses pemeriksaan yang ditentukan dalam Perma No. 1 tahun 1993
dengan Perma No. 1 Tahun 1999, pada prinsipnya tidak berbeda dan hanya
dibedakan dengan perkara permohonan keberatan yang tidak diatur atau dikenal
dalam Perma No. 1 tahun 1993, tetapi diatur dalam Perma No. 1 Tahun 1999.
Pemeriksaan perkara pengujian, baik melalui gugatan maupun melalui
permohonan keberatan kesemuanya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku bagi perkara gugatan57 atau permohonan58 dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
Oleh karena yang diperiksa, dinilai dan diputuskan bukanlah suatu
peristiwa kongkrit yang dilakukan oleh subyek hukum, melainkan suatu norma
hukum yang mengikat secara umum, sehingga dampaknya berdimensi multi baik
normatif, maupun politik, sosial, ekonomi bahkan budaya, maka prinsip kehatihatian dan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan juga
diperlakukan bagi perkara pengujian.
3. Putusan
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa Pasal 31 ayat (2) UU No. 14
tahun 1985 dan perma No. 1 tahun 1993 dan perma No. 1 Tahun 1999
menggunakan kata „putusan‟ dan bukan kata ‟penetapan‟. Kata „putusan‟,
merupakan ‟vonis‟ Hakim atau Majelis Hakim untuk menyelesaikan suatu perkara
yang bersifat ‟contentieus‟, dan kata ‟penetapan‟ dipakai dalam perkara yang
bersifat ‟voluntair‟ atau melalui ‟permohonan‟. Oleh karena dalam ketentuan
Pasal 31 ayat (3) dan Perma No. 1 tahun 1993 dan Perma No. 1 tahun 1999
menggunakan kata „putusan‟, maka dengan sendirinya ketentuan Pasal 5 Perma
No. 1 tahun 1999 yang memperkenalkan prosedur ‟permohonan‟ untuk pengujian
peraturan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang mestinya hasil
akhir dari pengujian tersebut adalah dengan kata ‟penetapan‟ atau perkara
permohonan dimasukkan dalam perkara voluntair.
Namun demikian, ternyata semua hasil pemeriksaan, dan penilaian atas
pengujian peraturan dibawah undang-undang terhadap undang-undang Perma No.
1 tahun 1999 tetap menggunakan kata ‟putusan‟. Hal ini disebabkan bahwa
perkara pengujian peraturan, tidaklah sama dengan perkara ‟voluntair‟ karena
permohonan keberatan yang diajukan bukan untuk diri sendiri para pemohon,
tetapi justeru untuk kepentingan umum, sehingga dalam perkara ini tetap terdapat
2 (dua) pihak yang berperkara.
Putusan dalam pengujian peraturan dibawah undang-undang terhadap
57
.
Lihat pasal 8 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 1999 Pemeriksaan perkara pengujian peraturan
perundang-undangan pada prinsipnya dilakukan secara „judex factie‟, artinya Majelis Hakim Agung
hanya memeriksa perkara sesuai yang diajukan dan tanpa menghadirkan pihak-pihak yang berperkara.
Walaupun pemeriksaan perkara pengujian peraturan dibawah undang-undang terhadap undang-undang
baik melalui gugatan maupun melalui permohonan yang dilakukan secara „judex factie‟ tidaklah
mengurangi nilai keakuratan dan keadilan yang diminta oleh para pihak yang berperkara. Tetapi justeru
lebih mengutamakan kehati-hatian, karena produk putusan tersebut tidak berdampak pada orang
perorang, melainkan masyarakat secara luas.
58
Lihat pasal 8 ayat (3) Perma No. 1 Tahun 1999.
26
undang-undang dibagi dalam 3 (tiga) jenis putusan yaitu;59
(1)
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan itu beralasan,
karena peraturan perundang-undangan dimaksud bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
Mahkamah Agung mengabulkan gugatan tersebut. Mahkamah Agung
dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan
tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum serta
memerintahkan dengan segera pencabutannya kepada instansi yang
bersangkutan.
(2)
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan itu tidak
beralasan, Majelis Hakim Agung menolak gugatan tersebut.
(3)
Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)
hanya dapat dijatuhkan setelah pihak tergugat didengar keterangannya.
Demikian pula dengan perkara 'permohonan', dapat dilihat penjelasan
pasal 10 ayat (1), (2), dan (3), yaitu:
(1)
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan
itu beralasan, karena peraturan perundang-undangan dimaksud
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan
keberatan tersebut.
(2)
Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan
perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak
sah dan tidak berlaku untuk umum serta memerintahkan dengan segera
pencabutannya kepada instansi yang bersangkutan.
(3)
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan
itu tidak beralasan, Majelis Hakim Agung menolak permohonan
keberatan tersebut.
Disamping putusan ‟mengabulkan‟, dan ‟menolak‟ juga ada putusan ‟tidak
diterima‟ yakni jika berkas perkara tersebut tidak memenuhi syarat administratif.
Dengan demikian, putusan yang diambil oleh Majelis Hakim Agung terhadap
‟gugatan‟ dan ‟permohonan‟ keberatan, sama-sama menggunakan kata ‟putusan‟
menjadikan perkara pengujian peraturan perundang-undangan pada perkara yang
bersifat ‟contentieus‟, dan bukan perkara ‟voluntair‟ walaupun prosedurnya
menggunakan ‟permohonan‟.
4. Pelaksanaan Putusan
Pelaksanaan putusan sebagaimana yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun
1993 dinyatakan bahwa apabila Majelis Hakim Mahkamah Agung berpendapat
gugatan beralasan, maka gugatan dikabulkan dengan menyatakan bahwa
peraturan perundang-undangan yang digugat sebagai tidak sah karena
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi.
59
Lihat Pasal 9 ayat (1), (2), (3), dan (4) dan Pasal 10 ayat (1), (2), (3), dan (4) Perma No. 1 Tahun
1999.
27
Pelaksanaan putusan Mahkamah Agung RI tersebut selanjutnya diserahkan
kepada Instansi/pejabat yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan
dimaksud.60
Ketentuan tersebut di atas memposisikan Mahkamah Agung sebagai
lembaga negara yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 sebagai pelaksana
tertinggi kekuasaan kehakiman pada posisi yang lemah, karena putusannya tidak
segera dapat mengikat, tetapi justeru tergantung kepada kemauan politik dari
pembuat peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, ketentuan tersebut diubah melalui Perma No. 1 Tahun
1999, dimana pasal 12 ayat (1) dan (2) dan pasal 13 ayat (1) dan (2) menyatakan
dengan tegas atas pelaksanaan putusan tersebut. Ketentuan tersebut adalah
sebagai berikut:
Pasal 12 Perma No. 1 tahun 1999
(1)
Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan dalam Berita
Negara dan dipublikasikan atas biaya negara.
(2)
Dalam hal 90 (sembilan puluh hari) setelah putusan Mahkamah Agung
tersebut dikirim kepada Tergugat, ternyata Tergugat tidak melaksanakan
kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 13 Perma No. 1 tahun 1999 61
(1)
Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan dalam Berita
Negara dan dipublikasikan atas biaya negara.
(2)
Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung
tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata usaha Negara yang
mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat
yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Ketentuan tersebut di atas memberikan dasar pijak yang kuat kepada
Mahkamah Agung dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam perkara
pengujian peraturan perundang-undangan. Semua keputusan pengujian peraturan
perundang-undangan diwajibkan untuk diumumkan melalui Berita Negara, yang
semula hal ini tidak diatur.62 Di samping itu, ditentukan batasan waktu 90
60
Lihat Pasal 3 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1993.
Ketentuan ini merupakan pemberian sanksi atas pelaksaan putusan Mahkamah Agung kepada
Pejabat atau instansi yang berkaitan dengan peraturan yang diputus oleh Mahkamah Agung, tetapi yang
masih menjadi kendala adalah ketika yang bersangkutan yak instansi atau pejabatn administrasi negara
tidak menjalankan putusan Mahkamah Agung untuk mencabut dan/atau mengubah ketentuan yangsudah
dinyatakan oleh Mahkamah Agung tidak berlaku dan tidak mengikat secara umum. Masalah mendasar
dalam kaitan ini adalah tidak adanya lembaga paksa seperti pada perkara pidana dan perdata, sehingga
yang bersangkutan dapat menjalankan putusan Mahkamah Agung tersebut.
62
Pemuatan putusan majelis hakim dalam perkara pengujian peraturan perundang-undangan dalam Berita
negara merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 13 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 1999 agar dapat
memaksa instansi yang bersangkutan untuk segera mencabut peraturan yang telah diputus oleh Mahkamah
Agung. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 12 dan 13 Perma No. 1 tahun 1999 cukup maju dan mencerminkan
betapa kuatnya hukum untuk memaksa subyek hukum untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum. Hal
61
28
(sembilan puluh) hari untuk mencabut peraturan perundang-undangan tersebut,
dan jika tidak dicabut , maka dinyatakan tidak berlaku secara otomatis.
Perubahan drastis ketentuan tentang hukum acara pengujian peraturan
perundang-undangan melalui Perma No. 1 Tahun 1999 atas Perma No. 1 Tahun
1993, memang sudah menjadi tuntutan sejarah. Perubahan dimaksud sebenarnya
sejalan dengan perubahan sosial politik di Indonesia, akibat dari pernyataan
berhenti Soeharto sebagai Presiden dan tuntutan reformasi termasuk didalamnya
adalah reformasi hukum. Menurut penilaian Mahkamah Agung, Perma No. 1
Tahun 1993 sudah kurang memadai bahkan dianggap sebagai instrumen yang
kurang mendukung terhadap reformasi hukum. Untuk itu, diterbitkan Peraturan
Mahkamah Agung RI No. 1 tahun 199963 sebagai pengganti Perma No. 1 Tahun
1993.
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor: 1 Tahun 1999 diterbitkan adalah
untuk menampung aspirasi yang berkembang dalam masyarakat yang menuntut
diadakannya reformasi hukum dalam rangka tegaknya supremasi hukum dan
kemandirian badan peradilan sebagaimana yang diamanatkan Ketetapan MPR
Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam
rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan
Negara.64 Perma No. 1 Tahun 1999 pada dasarnya hanya menyempurnakan
Perma No. 1 Tahun 1993 yang berkehendak agar Mahkamah Agung bersikap
lebih kreatif, di samping mengefektifkan dalam pelaksanaan fungsi dan
kewenangan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan perundang-undangan
sebagaimana yang ditentukan.
Secara substansial materi yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 1999
lebih progresif di banding dengan Perma No.1 Tahun 1993, yaitu diaturnya
pelaksanaan putusan yang sebelumnya tidak diatur secara limitatif, tetapi secara
teknis tidak terlalu jauh berbeda, dan yang membedakannya adalah pada
pengaturan pelaksanaan putusan dan prosedur pengajuan ditambah dengan
permohonan.
Semula pelaksanaan putusan atas pengujian peraturan perundangundangan diserahkan kepada instansi atau pejabat yang bersangkutan. Tetapi
dalam Perma No. 1 Tahun 1999 diberikan waktu limitatif yakni 90 hari setelah
putusan dikirim kepada tergugat (instansi/pejabat), dan apabila dalam tenggang
waktu tersebut tidak juga dilaksanakan, maka demi hukum peraturan perundangundangan yang bersangkutan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Perbedaan pokok antara perma No. 1 Tahun 1993 dengan Perma No. 1
Tahun 1999, antara lain:65
ini juga tercermin komitmen terhadap penegakan negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi
yang berdasar atas hukum.
63
Peraturan MA No. 1 Tahun 1999 dikeluarkan tanggal 20 Mei 1999, saat Ketua MA dijabat oleh
Sarwata. Peraturan ini memberikan alternatif dalam mengajukan perkara pengujian yakni melalui
‟permohonan‟, di samping ‟gugatan‟.
64
Lihat Konsideran dalam pertimbangan huruf c Perma No. 1 Tahun 1999.
65
Sri Soemantri Mertosoewignyo, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Masalah Hukum
Hak Uji Materiil, (Jakarta: BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI, 1999/2000), hal.2830.
29
1)
2)
3)
4)
5)
Dalam Perma No. 1 Tahun 1993, tidak dimungkinkan pengajuan
permohonan pengujian peraturan perundang-undangan, tetapi hanya dapat
diajukan dalam bentuk gugatan (Pasal 1 Perma No. 1 Tahun 1983). Tetapi
dalam Perma No. 1 Tahun 1999 pengajuan permohonan pengujian
peraturan perundangan dapat diajukan, di samping melalui cara
mengajukan gugatan (Pasal [2] dan [5] Perma No. 1 Tahun 1999).
Diktum putusan dalam Perma No. 1 Tahun 1993 hanya menyatakan
peraturan perundang-undangan yang digugat tersebut 'sebagai tidak sah',
karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
derajatnya lebih tnggi. Sedangkan dalam Perma no. 1 Tahun 1999,
putusannya lebih tegas yaitu apabila permohonan atau gugatan tersebut
dengan 'Mahkamah Agung menyatakan bahwa peraturan perundangundangan yang digugat atau dimohonkan keberatan sebagai tidak sah
dan tidak berlaku untuk umum serta memerintahkan dengan segera
pencabutannya kepada instansi yang bersangkutan' (Pasal 9 dan 10 Perma
No. 1 Tahun 1999).
Dalam Perma No. 1 Tahun 1993 tidak diatur agar petikan putusan
pengujian peraturan perundang-undangan dicantumkan dalam 'Berita
Negara' dan dipublikasikan atas biaya negara. Ketentuan demikian diatur
dalam Perma No. 1 Tahun 1999 ( Pasal 12 ayat [1]).
Dalam Perma No. 1 Tahun 1993 tidak diatur batas waktu pengajuan
gugatan, tetapi dalam Perma No. 1 Tahun 1999 hal tersebut diatur yaitu,
terhadap semua peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum
dikeluarkan Perma No. 1 Tahun 1999 hanya dapat digugat atau
dimohonkan selambat-lambatnya sampai dengan tanggal 1 Juni 2000.
Dalam Perma No. 1 Tahun 1993, tidak diatur bagaimana kekuatan hukum
suatu peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah atau tidak
berlaku untuk umum, apabila instansi yang bersangkutan tidak atau belum
mencabutnya. Tetapi dalam Perma No. 1 Tahun 1999 diatur secara tegas,
yaitu dalam tenggang waktu 90 hari setelah putusan Mahkamah Agung
dikirim kepada tergugat atau pemohon, dan ternyata tidak dilaksanakan
kewajibannya, maka demi hukum peraturan perundang-undangan tersebut
tidak memiliki kekuatan hukum lagi (Pasal 12 ayat [2]).
Diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor: 1 tahun
1993 dan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 yang membuka 2
(dua ) jalan tentang pengajuan pengujian peraturan perundang-undangan yaitu,
melalui prosedur ‟gugatan‟ dan „permohonan keberatan‟ dimaksudkan sebagai
upaya Mahkamah Agung untuk membuka pintu kepada masyarakat yang
berkeinginan mengajukan pengujian terhadap peraturan dibawah undang-undang
yang dianggap bertentangan dengan undang-undang. Peraturan Mahkamah
Agung merupakan peraturan untuk menjabarkan tugas yang diperintahkan oleh
undang-undang dasar dan/atau undang-undang, dan produk hukum ini tidak
termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan karena sifatnya teknis
dan internal. Walaupun demikian, Mahfudz menganggap bahwa Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1999, yang membuka pintu ‟permohonan
30
keberatan‟ merupakan mengadakan hal yang baru, dan hal ini dianggap
menyimpang dari materi muatan undang-undang dasar dan undang-undang.
Pemberian kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan kepada
Mahkamah Agung, tidak dengan sendirinya kewenangan tersebut dapat
dilaksanakan dan mendapat respons dari masyarakat. Hal ini disebabkan selain
pengaturannya sangat ketat dan hampir tidak dapat dilaksanakan, juga
kepercayaan masyarakat pada lembaga Mahkamah Agung juga tidak terlalu
besar. Dua hal tersebut memberikan dampak terhadap penilaian yang kurang
proporsional dari masyarakat kepada Mahkamah Agung, bahkan Mahkamah
Agung dapat digolongkan pada posisi pinggiran.
IV. Penutup
Sebagai kontrol normatif, maka pengujian dapat dilakukan oleh lembaga
pembuatnya sendiri atau juga dapat dilakukan oleh lembaga di luar lembaga pembuat
peraturan tersebut. Apabila pengujian yang dilakukan oleh lembaga pembuatnya
dapat disebut pengujian internal atau pengawasan internal, tetapi jika yang
melakukan pengujian tersebut adalah lembaga di luar lembaga pembuatnya dapat
disebut pengujian eksternal atau pengawasan eksternal. Sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, bahwa lembaga pembuat peraturan perundang-undangan
dimungkinkan menguji produk hukumnya sendiri, dan apabila kewenangan
pembentukan peraturan perundang-undangan dilekatkan pada legislatif maka kontrol
normatif pengujian tersebut lazim disebut legislativie review yang obyeknya adalah
undang-undang dan undang-undang dasar dan produk hukum yang setara dengan itu.
Apabila kewenangan pembentukan peraturan tersebut adalah eksekutif atau
pemerintah yakni peraturan-peraturan sebagai pelaksanaan perintah undang-undang
atau peraturan sebagai pelaksanaan fungsi dan tugas penyelenggaraan pemerintahan,
maka kontrol normatif atau pengujian tersebut lazim disebut executive review. Tetapi
jika kontrol normatif terhadap berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh eksekutif
dilakukan oleh lembaga di luar eksekutif dalam hal ini oleh lembaga kekuasaan
kehakiman, maka kontrol normatif atau pengujian tersebut lazim disebut judicial
review. Kontrol normatif ini dimaksudkan untuk mencegah agar segala bentuk
kegiatan pemerintah dalam menjalankan kegiatan pemerintahan tidak terjebak
pada praktek otoriterian, sebab kecenderungan kearah otoriterian sangat terbuka.
31
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, Henry J. The Judicial Process - An Introductory of the Court of The United
States, England, and France, Third Edition Revised and enlarged (London: Oxford
University Press, 1975)
Adler, John,
dan Peter English, Judicial Review of the Execuitive, dalam
'Constitutional and Administrative Law' ( London: Macmillan Profesional Masters,
1989)
Asshiddiqie, Jimly, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
(Jakarta: Konstitusi press, 2005)
_________________, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah
Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004)
Attamimi, A. Hamid., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara - Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan
Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I - Pelita IV, disertasi
yang dipertahankan di hadapan Senat Guru Besar Universitas Indonesia tanggal 12
Desember 1990 di Universitas Indonesia
Effendi, Paulus, Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap
pemerintah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993)
Friedmann, W, Legal Theory, Fifth Edition(New York: Columbia University Press,1967)
Kelsen, Hans, General Theory Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell,
1945)
_______________, Pure Theory of Law, (Berkeley, Los Angeles, London: University of
California Press, 1978),
Kommers, Donald P.,„Cross-National Comparations of Cnstitutional Court Toward a
Theory of Judicial Review, Paper - presented at the annual meeting of the American
Political Science Association, (Los Angeles, Calif, September 11, 1970).
Le Sueur, AP., dan JW Herberg, Introduction to the Grounds of Judicial Review, dalam
'Constitutional and Administrative Law, (London, British Library Cataloguing in
Publication Data, 1995), hal. 204.
Marzuki, M.Laica, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005),
hal. 67
32
Manan, Bagir, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan, Makalah
disajikan pada Penataran Dosen dalam kegiatan Pendidikan dan Latihan Kemahiran
Hukum, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Lampung, 11 Nopember
1994,
Martosoewignjo, Sri Soemantri, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Masalah
Hukum Hak Uji Materiil, (Jakarta: BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan
RI, 1999/2000),
Nawiasky, Hans, Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
cet. kedua (Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger, 1948), hal.31
Nugaraha, Safri dkk, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum UI, 2005), hal. 77.
Raz, Joseph, The Concept of a Legal System, Oxford: Oxford
Soedirjo, Mahkamah Agung - Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan
Kekuasaannya menurut UU No. 14 Tahun 985, (Jakarta: Media Sarana Press, 1987),
Tanenhus, Joseph, Judicial Review, entri dalam " An International Encyclopedia of the
Social Sciences", (Macmillan, 1968).
Teeuw, A., Kamus Indonesia - Belanda (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002),
hal.260 dan 842 yang menjelaskan bahwa toetsing diartikan pengujian, toetsen diartikan
menguji dan recht diartikan hak atau hukum, sehingga toetsingrecht dapat diartikan
sebagai kewenangan untuk menguji atau untuk melakukan pengujian.
Williams, Jerre S., “Constitutional Analysis in a Nutshell”, (St. Paul Minn: Weat
Publishing co, 1979)
33
Download