SUFISME PERENNIAL PADA MASYARAKAT

advertisement
SUFISME PERENNIAL PADA MASYARAKAT PERKOTAAN
KASUS PADEPOKAN THAHA JAKARTA
Zulfan Taufik
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nur El-Ghazy
Jl. Simpang Tiga Setu No. 32 Bekasi Jawa Barat
Email: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini mengkaji fenomena sufisme perennial yang menekankan adanya
kesatuan esoterik agama-agama sebagai tren baru pencarian spiritualitas masyarakat
perkotaan Indonesia. Tulisan ini menyoroti ajaran sufisme perennial melalui konstruk
teori perennialisme yang diusung oleh Frithjof Schuon dan murid spiritualnya yang amat
setia dan terkemuka, Seyyed Hossein Nasr. Fokus kajian pada tulisan ini adalah kelompok
sufisme yang mengusung ajaran perennial, yakni Padepokan Thaha yang berada di daerah
Jakarta Selatan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perkotaan Indonesia, sebagaimana di
perkotaan lain di dunia, memunculkan gejala keagamaan yang tidak lagi hanya diwakili
bentuk-bentuk konvensional. Tetapi juga bahkan bentuk-bentuk baru yang bersifat
pluralis, universalis, dan eklektik. Gejala ini dapat dipahami jika melihat bahwa banyak
dari aspek-aspek modernitas yang cenderung menguntungkan penyebarluasan model
keagamaan demikian. Tidak heran jika kebanyakan dari anggotanya berasal dari kelas
menengah dan telah memiliki karier yang luas dalam pendidikan formal, termasuk
pendidikan tingkat universitas, yang memang terbiasa menerima ide-ide baru.
Abstract: This research studies about Sufism perennial phenomenon which emphasizes
esoteric unity of religions as a new trend in spirituality searching of urban people in
Indonesia. This research focuses on perennial Sufism teaching through perennials theory
of Sufism developed by Frithjof Schuon and his well known student, Sayyed Hossein
Nasr. This study focused on Sufism group which hold Sufism perennial; Padepokan Thaha
in South Jakarta. This research concluded that in Indonesian city, as generally emerged in
other city in the world, the symptoms of religiosity are no longer represented by the
conventional one. But there is also new shape of religiosity which more pluralist,
Universalist, and eclectic. These symptoms can be understood if we look at some
phenomena which benefit dissemination of this new model of religiosity. Therefore it is
not weird for us if the follower of this perennial Sufism teaching is embraced by people
from middle class with high education, especially those from universities who are
generally easy to accept new ideas.
Kata-kata kunci: sufisme, perennialisme, esoterik, Padepokan Thaha.
1
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 1-16
PENDAHULUAN
Salah satu fenomena menarik yang mewarnai perkembangan masyarakat perkotaan
kontemporer seperti Jakarta, adalah marak tumbuhnya wacana sufisme1 dengan berbagai
bentuk. Sebagaimana banyak dilaporkan oleh media massa sejak 1980-an, bahwa kelas
menengah kota berlomba-lomba masuk tarekat. Lebih jauh, sejak 1990-an, berbagai
aktivitas yang berkenaan dengan sufisme semakin luas. 2 Maraknya fenomena sufisme
pada masyarakat kontemporer ini, diperkuat oleh berbagai penelitian yang menunjukkan
bahwa sufisme sedang mengalami perkembangan yang luar biasa pesat.3
Bahkan fenomena sufisme kontemporer baik di Indonesia maupun negara-negara
lain saat ini, tidak lagi hanya diwakili oleh bentuk-bentuk tarekat konvensional, tetapi
juga muncul bentuk-bentuk baru dari pengamalan sufisme. Di dunia Barat kontemporer
misalnya, berbagai jenis tarekat dan keragaman baik komposisi etnis maupun pendekatan
mencerminkan keragaman sufisme melampaui tanah asalnya di Asia dan Timur Tengah.
Banyaknya ekspresi sufisme di Barat juga menunjukkan bagaimana kondisi
modernitas/postmodernitas memengaruhi proses pribumisasi.
Misalnya saja Hermansen yang mengkaji tentang kelompok-kelompok sufi di
Amerika, menggunakan sebuah metafora taman untuk membangun tipologi sufisme
menjadi tiga, yaitu: Pertama, Sufisme transplant; yakni kelompok sufistik yang bertahan
dengan tasawuf ‘asli’ yang dibawa kaum Muslim ke wilayah diaspora dari negeri asalnya
masing-masing. Kedua, Sufisme hibrida; yakni kelompok sufisme yang memperlihatkan
kaitan erat dengan sumber dan kandungan Islam, yang kemudian dikontekstualisasikan
dengan lingkungan sosial, kultural, dan spiritual Barat tertentu. Ketiga, Sufisme
perennial: yaitu kelompok sufistik yang dekat dengan gagasan bahwa kebenaran yang
berlaku abadi merupakan kerangka dasar seluruh agama.4
Di antara ketiga tipologi tersebut, sufisme perenniallah yang paling menyedot
perhatian dan minat masyarakat, khususnya kelas menengah ke atas, karena sifanya yang
inklusif, universalistik, dan mampu menampung gagasan berbagai latar belakang agama
1
Sufisme, atau dikenal juga dengan tasawuf, adalah nama yang biasanya dipergunakan untuk
menyebut mistik Islam. Lihat misalnya Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, cet. 2 (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2003), 1. Bandingkan dengan R. A. Nicholson, The Mystic of Islam (London: Kegan Paul
Ltd, 1966). Penggunaan sufisme atau tasawuf sebagai dimensi mistik, dapat juga dilihat pada Muḥammad
Muṣṭafā Ḥilmī, Al-Ḥayāh al-Rūḥiyyah fī al-Islām (Al-Qāhirah: t.p., 1945).
2
Lihat misalnya laporan Tempo, 20 April 1991.
3
Beberapa penelitian tersebut terangkum dalam buku Jamal Malik dan John Hinnels, ed., Sufism in
the West (New York: Routledge, 2006); Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell, ed., Sufism and the
‘Modern’ in Islam (London: IB Tauris, 2006); Catharina Raudvere dan Leif Stenberg, ed., Sufism Today:
Heritage and Tradition in the Global Community (London: IB Tauris, 2009). Lihat juga William Rory
Dickson, Living Sufism in North America (Disertasi di Department of Religion and Culture, Wilfrid Laurier
University, 2012).
4
Marcia Hermansen, ‚Literary Productions of Western Sufi Movement‛, dalam Sufism in the West,
ed. Jamal Malik dan John Hinnels (New York: Routledge, 2006), 28-29. Bandingkan dengan Schönbeck
yang membuat tiplogi bentuk sufisme menjadi Islamic sufi orders, Quasi-Islamic sufi orders, dan NonIslamic sufi orders. Lihat Oluf Schönbeck, ‚Sufism in the USA: Creolisation, Hybridisation,
Syncretitation?‛, dalam Sufism Today: Heritage and Tradition in the Global, ed. Catharina Raudvere dan
Leif Stenberg, 177-187.
2
Sufisme Perennial (Zulfan Taufik)
dalam satu wadah menuju Tuhan.5 Pada sisi lain, melalui sufisme perennial, terjadi proses
re-islamisasi yang populer di kalangan borjuis Muslim. Sebagaimana penelitian Haenni
dan Voix di Maroko, bahwa masyarakat Maroko belakangan ini menemukan cara lain
yang lebih bijaksana untuk melakukan islamisasi dengan cara-cara dimana pencangkokan
dan perkawinan kultural dapat diterima. Di antaranya adalah penyusunan kembali
kepercayaan agama dalam konteks new age. Cara baru ini menempatkan diri di hadapan
yang sakral, di mana kepentingan individu telah menggantikan dukungan terhadap PanArabisme atau Islamisme.6
Di Indonesia, khususnya Jakarta, predikat sebagai kelompok sufisme perennial
sempat disematkan kepada Jamaah Salamullah, meskipun akhirnya mengalami perubahan
mendasar dengan mendeklarasikan sebagai agama tersendiri dan keluar dari Islam.
Kelompok lain yang muncul sebagai sufisme perennial di Jakarta adalah Padepokan Thaha
yang dipimpin oleh KH. Rahmat Hidayat. Padepokan Thaha yang berdiri pada 2001
merupakan bagian dari pengajian majelis Misykatul Anwar yang berpusat di daerah
Senopati Jakarta Selatan, dan sudah memiliki cabang di Bintaro, Yogyakarta, hingga Batam.
METODE PENELITIAN
Sebagaimana lazimnya dalam penelitian sosial kebudayaan (humanities research),
paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kualitatif. Peneliti
langsung terlibat secara aktif selama 4 bulan dalam kegiatan-kegiatan di Padepkoan
Thaha untuk melihat dan merasakan situasi dan kondisi yang berkembang, demi
terhimpunnya data yang menunjang kearah materi penelitian. Untuk memperoleh data,
peneliti menggunakan metode observasi partisipan (participant observation), wawancara
mendalam (in-depth interview), dan studi dokumentasi. 7 Sedangkan untuk keperluan
5
Dalam sebuah survey terhadap pengikut sufisme di Amerika pada pertengahan tahun 1980-an,
ditemukan bahwa ‚sufisme perennial‛ seperti The Sufi Order pimpinan Inayat Khan memiliki 80% pengikut
yang minimal berpendidikan sarjana, 23% Katolik, 48% Protestant, 12% Yahudi, dan 17% dari agama lain.
Sedangkan pengikut ‚sufisme transplant‛ seperti Naqshabandi Haqqani, hampir 50% hanya tamatan SMA.
T. Gabbay, A Discussion of Sufism and a Description of a Sample of American Sufi Practitioners (Disertasi
di California Institute of Integral Studies, 1988). Bandingkan dengan Hermansen yang menyimpulkan
bahwa ‚sufisme perennial‛ lebih berpengaruh dari sisi artistik, kultural, dan trend intelektual pada masa
kontemporer Amerika, dibandingkan dengan model sufisme hibrida maupun transplant. Lihat Marcia
Hermansen, ‚Hybrid Identity Formations in Muslim America: The Case of American Sufi Movement‛, The
Muslim World 90 (Spring, 2000): 158-197. Dan lihat juga Lihat juga penelitian Chalfant yang menyebut
bahawa model sufisme yang terbuka terhadap kepercayaan agama lain, lebih dapat diterima oleh publik
postmodern. Aubony R. Chalfant, Trancending the Metanarrative: The Postmodern Spirituality of Shirazeh
Houshiary’s Sculpture (Tesis pada University of Missouri-Kansas City, 2012).
6
Patrick Haenni dan Raphael Voix, ‚God by All Means...Eclectic Faith and Sufi Resurgence among
Maroccan Bourgeoisie‛, dalam Sufism and the ‘Modern’ in Islam, ed. Martin van Bruinessen dan Julia Day
Howell (London: IB Tauris, 2006),241. Bandingkan dengan Julia Day Howell, ‚Muslims, the New Age and
Marginal Religions in Indonesia: Changing Meaning of Religious Pluralism‛, Social Compass 52, no. 4
(2005): 473-493.
7
Lebih jelas mengenai teknik pengumpulan data kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini,
lihat James A. Black dan Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, terj. E. Koswara, dkk.,
cet. 3 (Bandung: PT Refika, 2001), 289. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 29
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 164.
3
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 1-16
analisis data, peneliti mengikuti tiga tahap analisis yang diajukan Miles dan Huberman,
yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi.8
Ditempatkan dalam kerangka metode di atas, tulisan ini menyoroti ajaran sufisme
perennial di Indonesia melalui konstruk teori perennialisme yang diusung oleh Frithjof
Schuon dan murid spiritualnya yang amat setia dan terkemuka, Seyyed Hossein Nasr.
Fokus kajian pada tulisan ini adalah kelompok sufisme yang mengusung ajaran perennial,
yakni Padepokan Thaha yang berada di daerah Jakarta Selatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sufisme Perennial sebagai Nomenklatur
Sufisme perennial, 9 sebagai nomenklatur akademis tersendiri, dikemukakan oleh
Marcia Hermansen ketika ia membaca karakteristik sufisme yang berkembang pada
masyarakat Amerika. Menurutnya, istilah perennial bermakna bahwa ada suatu kebenaran
universal dan abadi yang merupakan kerangka dasar seluruh agama,10 atau dalam bahasa
Schuon, kesatuan transendental agama-agama (the trancendent unity of all religions).11
Dari makna demikian, tampak jelas bahwa sufisme perennial adalah kelompok sufisme
yang dekat dengan ide-ide perennialis, universalis, dan tradisionalis seperti Frithjof
Schuon dan Seyyed Hossein Nasr.
Perennialisme secara tegas bersifat ontologis, dalam pengertian bahwa perhatian
utamanya adalah soal wujud (Being). Dalam perspektif perennial, wujud itu berkarakter
hierarkis. Semua struktur kompleks dan proses-proses yang secara relatif memiliki
karakter stabil pada dasarnya selalu menampilkan diri dalam organisasi yang hierarkis.
Tiap-tiap struktur hierarkis yang ada dalam realitas dunia selalu saling terkait satu sama
lain, dan pola hierarkis yang mencakup segala sesuatu ini memuncak pada realitas Ilahi.12
Jadi, segala sesuatu ada di dalam realitas Ilahi, atau dengan kata lain bahwa realitas Ilahi
bersifat substansial bagi dunia, termasuk agama.
8
Penjelasan secara lebih rinci atas metode ini, lihat Mathew B. Miles dan A. Michael Huberman,
Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta:
UI-Press, 1992), 15-20. Lihat juga Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D, cet. 13 (Bandung: Alfabeta, 2011), 338-345.
9
Secara etimologis, perennial berasal dari bahasa Latin: perennis, yang kemudian diadopsi ke dalam
bahasa Inggris, berarti: kekal, selama-lamanya, atau abadi. Dalam kamus Oxford memiliki dua makna,
‘constantly occurring’ dan ‘lasting for a long time’, yang singkatnya bisa diartikan dengan kekekalan dan
keabadian. Lihat Oxford Advanced Learner’s Dictonary Of Current English. 8th edition (New York: Oxford
University Press, 2010), 1088.
10
Marcia Hermansen, ‚Literary Productions of Western Sufi Movement‛, dalam Sufism in the
West, ed. Jamal Malik dan John Hinnels (New York: Routledge, 2006), 28. Bandingkan dengan Schönbeck
yang membuat tiplogi bentuk sufisme menjadi Islamic sufi orders, Quasi-Islamic sufi orders, dan NonIslamic sufi orders. Lihat Oluf Schönbeck, ‚Sufism in the USA: Creolisation, Hybridisation,
Syncretitation?‛, dalam Sufism Today: Heritage and Tradition in the Global, ed. Catharina Raudvere dan
Leif Stenberg, 177-187.
11
Lihat buku Frithjof Schuon, The Trancendent Unity of Religions (Illinois USA: Theosophical
Publishing House, 1984).
12
Huston Smith, Beyond The Postmodern Mind (Wheaton, USA: Quest Books, 1989), 51-52.
4
Sufisme Perennial (Zulfan Taufik)
Schuon menarik garis pemisah antara yang esoterik dan yang eksoterik. 13
Menurutnya, perbedaan dasar bukanlah antara agama yang satu dengan agama yang lain.
Garis pemisah itu bukannya membagi perwujudan historis yang besar dari agama-agama
secara vertikal; agama Islam dari agama Hindu, Budha, Kristen, dan seterusnya.
Sebaliknya, garis pemisah itu bersifat horisontal dan hanya ditarik satu kali membelah
berbagai agama yang ditemui sepanjang sejarah. Di atas garis itu terletak paham
esoterisme, sedangkan di bawahnya terletak paham eksoterisme.14
Dari gambar di atas, terlihat bahwa peniruan (imitation) dan perwujudan Pribadi
Mahatinggi ini terlihat dalam semua agama wahyu dengan tingkat kejelasan berbedabeda. Ia juga merupakan titik tempat menyatunya berbagai agama itu. Namun kesatuan
berbagai agama tersebut terjadi pada tingkat esoterik. Schuon mengibaratkan esoterik
bagaikan ‚hati‛ agama, sedangkan eksoterik adalah ‚badan‛ agama. Kehidupan
keagamaan yang eksoterik ada pada dunia bentuk (a world forms), namun ia bersumber
dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence) atau yang esoterik. Dimensi
esoterik berada di atas atau melampaui dimensi eksoterik, dan kesatuan agama-agama
hanya akan terjadi pada level yang tak berbentuk, yang batin, atau yang esoterik ini.
Sedangkan pada level eksoterik agama-agama, yang dapat dilakukan adalah dialog
berdasarkan rasa hormat satu sama lain dalam harmoni, bukan kesatuan.15
Seyyed Hosssein Nasr, yang juga merupakan murid spiritual Schuon, menjelaskan
perbedaan antara hakikat, tarikat, dan syariat agama yang seumpama pusat roda dan jarijarinya. Baginya, beberapa sufi tradisional, terutama dari Tarekat Shadhiliyah,
menggunakan lambang lingkaran untuk menggambarkan hubungan antara dua dimensi
besar dalam Islam, yakni tarekat dan syariat. Dari setiap titik dalam ruang dapat dibuat
lingkaran dan jari-jari dalam jumlah tak terhingga yang menghubungkan setiap titik
dalam lingkaran dengan pusat lingkaran. Lingkaran ini adalah syariat yang
keseluruhannya membentuk masyarakat Muslim. Setiap Muslim yang mengakui hukum
13
Esoterik berasal dari akar kata bahasa Yunani eso yang berarti ‚di dalam‛ atau ‚suatu hal yang
bersifat batin bahkan mistik‛. Sedangkan eksoterik berasal dari kata exo yang berarti aspek luar (external)
atau yang di luar (outside). Jean L. Mckechine, ed. Webster’s New Twentieth Century Dictionary of The
English Languange: Unabridge (USA: William Collins Publishers, Inc., 1980), 624, 643.
14
Model gambar piramida yang menunjukkan pemikiran Schuon tentang esoterisme dan
eksoterisme dibuat oleh Huston Smith dalam pengantar buku Frithjof Schuon, The Trancendental Unity of
Religions, xii.
15
Frithjof Schuon, The Trancendental Unity of Religions, 30.
5
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 1-16
Tuhan adalah sebuah titik dalam lingkaran ini. Jari-jari melambangkan ṭuruq (jamak dari
ṭarīqah). Setiap jari-jari adalah jalan yang menuju ke pusat. Para sufi mengatakan bahwa
jumlah jalan yang menuju ke Tuhan sama banyaknya dengan jumlah keturanan Adam.16
Tarekat yang terdiri dari berbagai bentuk, sesuai dengan kebutuhan dan
tempramental spiritualitas manusia, adalah jari-jari yang menghubungkan setiap titik ke
pusat. Hanya dengan berdiri di dalam lingkaran, yaitu menerima syariat, manusia dapat
mencari jalan yang mengarah ke pusat. Dengan kata lain, hanya dengan menjalani syariat,
kemungkinan terbukanya pintu kehidupan spiritual (hakikat) akan disadari.
Di pusat terletak hakikat atau kebenaran, yang menjadi sumber tarikat dan syariat.
seumpama titik yang membentuk lingkaran dan jari-jari, begitu pula secara metafisik,
hakikat menciptakan tarekat dan syariat, hakikat (pusat) itu ‚ada di mana-mana dan
(juga) tidak ada.‛ Syariat dan tarikat diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Benar, dan
keduanya mencerminkan hakikat dengan cara yang berbeda. Menjalani syariat adalah
hidup dalam cerminan hakikat atau kesatuan (unity), sebab lingkaran adalah refleksi pusat.17
Dalam tradisi Islam, sufisme yang memberi lahan subur bagi perennialisme adalah
sufisme yang menganut paham kesatuan wujud (wahdat al-wujud) atau non-dualisme
yang diusung Ibn al-‘Arabi. Doktrin tentang kesatuan (wahdah, union) ini pada akhirnya
akan berimplikasi kepada paham akan kesatuan esoterik agama-agama yang merupakan
perhatian utama perennialisme. Paham tersebut juga dianut oleh Rumi, Ibn al-Farid (11821235), Mahmud Shabistari (1288), seorang sufi Persia yang masyhur dan pengikut setia Ibn
al-‘Arabi, dan para sufi India seperti Dara Shikoh (1615-1659), Abd al-Rahman Chisti (w.
1638), Hazrat Inayat Khan (1882-1927), Bawa Muhaiyaddeen, dan Idries Shah (l. 1924).18
Menurut Ibn al-‘Arabī misalnya, orang yang menyalahkan atau mencela
kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh. Pasalnya, Tuhan
dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang
disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya. 19 Tuhan sebagaimana
Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Ini sama dengan ‚mengetahui Tuhan yang tidak
dapat diketahui‛ (to know the Unknowable God). Orang seperti itu mengakui hanya
Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan
mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal, Tuhan yang
menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan yang berbeda-beda itu adalah
satu dan sama.
16
Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (London: George Allen & Unwin Ltd., 1996),
121-122. Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, terj. Yuliani Liputo
(Bandung: Mizan, 2010), 16-17.
17
Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, 122.
18
Media Zainul Bahri, Kesatuan Transenden Agama-agama dalam Pandangan Ibn ‘Arabi, Rumi dan
al-Jili. Disertasi pada SPs UIN Jakarta 2010, 34.
19
Pandangan Ibn al-‘Arabī mengenai ‚Tuhan kepercayaan‛ (Ilāh al-mu‘taqad) atau Tuhan dalam
kepercayaan (al-Ilāh fī al-I‘tiqād) adalah Tuhan dalam pengetahuan, konsep, penangkapan, atau persepsi
manusia. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, tetapi adalah ciptaan manusia,
yaitu Tuhan yang diciptakan oleh pengetahuan, konsep, penangkapan atau persepsi manusia. Lihat Kautsar
Azhari Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi (Jakarta: Serambi, 2003), 36.
6
Sufisme Perennial (Zulfan Taufik)
Namun, hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa perennial dalam konteks
pembahasan ini tidak dipahami sebagai paham yang berpandangan bahwa semua agama
adalah sama—suatu pandangan yang menurut Komaruddin, sama sekali tidak
menghormati religiusitas yang partikular. Akan tetapi, perennial yang berpandangan
bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu
ini memancar berbagai ‚kebenaran‛ (truths) sebagaimana matahari yang secara niscaya
memancarkan cahayanya. Hakikat cahaya adalah satu dan tanpa warna tetapi spektrum
kilatan cahayanya ditangkap oleh mata manusia dalam kesan yang beraneka warna.
Artinya, meskipun hakikat Agama yang benar itu hanya satu, tetapi karena agama muncul
dalam ruang dan waktu secara tidak simultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk
dan bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam realitas sejarah.20
Pandangan sufi mengakui adanya penyelewengan-penyelewengan dalam agamaagama yang merupakan pengingkaran terhadap Tuhan. Dalam arti ini, semua agama tidak
sama. Agama yang diselewengkan tidak akan membawa keselamatan. Agama yang
diterima oleh Tuhan dan menjamin keselamatan dan kebahagiaan adalah agama yang
mematuhi wahyu Tuhan, atau seperti dikatakan Ibn al-‘Arabī sebagai agama yang
mematuhi Perintah Kewajiban (al-Amr al-Taklīfī).21
Profil Padepokan Thaha Jakarta
Tarekat sebagai perkumpulan riil para ahli ibadah merupakan fenomena yang
relatif baru di Indonesia. Martin van Bruinessen melansir bahwa dalam teks-teks paling
awal yang ada, yang mengacu sejak akhir abad ke-16, kita dapat menemukan (sedikit)
pengaruh sufisme metafisis dari Ibnu al-‘Arabī dan al-Jīllī, di samping etika sufi alGhazali, tetapi tidak ada rujukan ke tarekat tertentu. Barulah pada abad ke-19 dan paruh
pertama abad ke-20, terdapat guru-guru doktrin dan teknik spiritual di hampir seluruh
Nusantara untuk memperoleh kekuatan dan pengetahuan supranatural, yang dikelilingi
oleh sekelompok murid dan pengikut. Hanya sebagian kecil dari mereka saja yang
berafiliasi dengan salah satu tarekat besar internasional, berkat kemampuan mereka
memenuhi biaya pelaksanaan haji ke Makkah. Kebanyakan mereka telah menyusun
ramuan teknik spiritual dan spekulasi metafisik eklektiknya sendiri dari berbagai sumber.22
Salah satu dari silsilah geneologis para guru spiritual tersebut, kemudian
berkembang membentuk kelembagaan sufisme dengan pengorganisasian modern, yang
diberi nama Padepokan Thaha. Ssecara resmi, Padepokan Thaha berdiri pada tahun 2001
dan berpusat di Jalan Suryo Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Dalam sejarahnya,
padepokan ini bermula dari pencarian seorang Hario Soeprobo, salah satu bankir
terkemuka di Jakarta era 1990-an. Dalam pencariannya, ia bertemu dengan KH. Rahmat
Hidayat dan menjadi murid pertamanya. Setali tiga uang, pertemuan itu bertepatan
20
Hidayat dan Nafis, Agama Masa Depan, 5.
Noer, Tasawuf Perenial, 61.
22
Martin van Bruinessen, ‚Saints, Politician and Sufi Bureucrats: Mysticism and Politics in
Indonesia’s New Order, dalam Sufism and the ‘Modern’ in Islam, ed. Matin van Bruinessen dan Julia Day
Howell, 94.
21
7
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 1-16
dengan masa awal Kiai Rahmat diberi amanat untuk melanjutkan silsilah pengajaran di
‚perguruan‛ sepeninggal gurunya pada 23 Desember 1991.
Pada 10 Januari 1980, KH. Rahmat yang ketika itu berusia 24 tahun, bertemu
dengan guru spritualnya yaitu Syeikh Usman. Melalui Syekh Usman, mata kalbu Rahmat
muda menjadi terbuka dengan berbagai pengalaman spiritual yang spektakuler. Singkat
cerita, Ia kemudian menjadi asisten Sang Syekh hingga 23 Desember 1991 (hari wafat
Syekh Usman). KH. Rahmat sendiri memiliki silsilah ‚geneologi spiritual‛ sampai pada
Kanjeng Sunan Kudus di Tanah Jawa, bersambung sampai Sayyidina Ali bin Abi Thalib,
dan akhirnya sampai pada Rasulullah.23
Sejak KH. Rahmat mengangkat Hario sebagai murid pertamanya, Hario telah
menarik orang lain di lingkarannya untuk turut serta dalam pengajian bersama Kiai
Rahmat. Kala itu, pengajian rutin dilakukan di rumah Hario di bilangan Pancoran.
Namun, pengajian sempat terhenti ketika ia menetap di Amerika selama tiga tahun (19921995). Dalam kurun waktu tiga tahun tersebut, Kiai Rahmat berkeliling memberikan
pengajaran. Sekembalinya Hario dari Amerika sekitar tahun 1996, aktivitas pengajaran
pun dimulai lagi dengan cara yang lebih berpusat, yakni di mushalla rumah Hario di
Lenteng Agung.
Pada tahun 1997, pusat kegiatan pengajian kembali berpindah seiring dengan
berpindahnya Hario ke Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Hingga tahun 1999, jumlah
peserta yang mengikuti pengajian kian membludak sehingga kediaman Hario tak sanggup
lagi menampung para peserta pengajian. Hario dan Kiai Rahmat kemudian berinisiatif
membangun lokasi baru sebagai pusat kegiatan pengajian di Jalan Suryo Kebayoran
Baru—yang juga dekat dengan rumah Hario. Lokasi baru inilah yang menjadi stimulus ide
pembentukan sebuah yayasan sebagai payung hukum segala kegiatan pengajian. Yayasan
tersebut kini dikenal dengan nama Padepokan Thaha.
Adapun pengajiannya, oleh Kiai Rahmat dibentuk dan diberi nama Majelis Ta’lim
Misykatul Anwar. Nama tersebut diambil dari kitab karya Imam Ghazali yang menjadi
referensi utama dalam perguruan ini. Penggunaan kitab Mishkat al-Anwār sebagai
referensi utama, dapat menunjukkan corak tasawuf yang dianut, adalah tasawuf teosofi.
Karena menurut Schimmel, meski aliran utama tasawuf ortodoks yang moderat
disistematisasikan oleh al-Ghazali, namun karya-karya Ghazali (terutama Mishkat alAnwār) sendiri mengandung pandangan yang nantinya akan dikembangkan penuh dalam
aliran teosofi Islam.24 Dengan demikian dapat dipahami jika secara eksplisit, baik Kiai
Rahmat maupun para pengurus, menolak jika dikatakan sebagai tarekat atau berafiliasi
dengan tarekat tertentu. Sebaliknya, mereka lebih menyukai istilah ‚majelis ta’lim‛
karena lebih terdengar umum bagi kebanyakan masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan.25
23
Perkenalan dengan KH. Rahmat Hidayat pada ‚Program Pembinaan Diri Menuju Tawajjuh‛ pada
tanggal 3 Juli 2013 di Padepokan Thaha Jakarta.
24
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, 329.
25
Hario Soeprobo, wawancara, tanggal 2 Oktober 2013.
8
Sufisme Perennial (Zulfan Taufik)
Sebagai lembaga, Padepokan Thaha beroperasi secara modern dengan model
administrasi yang teratur dan akuntansi keuangan yang ketat. Kiai Rahmat, dalam
pelaksanaan pengajaran dibantu oleh para fasilitator/pengajar dan petugas administratif.
Kegiatan-kegiatan yang ditawarkan mulai dari bimbingan ibadah dan baca al-Qur’an,
pengajian rutin tentang tafsir al-Qur’an dan kitab hadits, kajian kitab-kitab tasawuf
seperti Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Biḥār al-Anwār, sharing spiritual, bedah film, wirid agung,
dan yang terpenting adalah prosesi pra-tawajjuh, tawajjuh, dan pasca-tawajjuh bagi yang
ingin merasakan dan mendalami ilmu makrifat. Semua penjadwalan kegiatan dilakukan
dengan menyesuaikan kebutuhan para ‚pencari‛ perkotaan yang kesehariannya sibuk
bekerja di siang hari. 26 Selain pengajaran, Padepokan Thaha juga melakukan kegiatan
sosial, seperti sunatan massal, bakti sosial, dan sebagainya. Sebagaimana ditegaskan
direkturnya, ‚Kita tidak hidup sendiri. Ini bukan padepokan di tengah gunung, tapi di
tengah masyarakat‛.27
Sebagai organisasi, direksi juga mengembangkan pusat-pusat kajian di luar
Padepokan Thaha yang membahas hal-hal yang lebih umum untuk merangkul masyarakat
secara lebih luas. Sebagaimana yang diceritakan oleh Hario:
Dulu kami punya Centre for Spiritual Leadership. Ini sebetulnya hampir sama kaya
Paramadina dulu. Setelah Cak Nur nggak ada, saya bikin ini. Sebagai tempat kita
mengakomodir hal-hal yang lebih luas dan umum… Selain itu saya juga punya
Kafe namanya Omah Sendok. Tempat yang biasa digunakan untuk pentas kesenian
dan keagamaan, dengan mengundang seniman-seniman tari untuk pentas. Karena
seniman juga secara sifat dan jiwa, dekat dengan spiritual. Kita juga ingin punya
sekolah. Inilah lingkaran luar atau umum untuk berinteraksi dengan masyarakat.
Ini yang membuat orang berkumpul. Bagi mereka yang ingin lebih tahu lebih
dalam, baru masuk ke sini (Padepokan Thaha).
Pada perkembangannya, program dan ajaran yang ditawarkan oleh Padepokan
Thaha mendapat sambutan dari masyarakat perkotaan. Terlihat, dari berdirinya cabangcabang Padepokan Thaha baik di kota Jakarta dan sekitarnya seperti Gandaria,
Fatmawati, Bintaro, dan Bekasi, maupun di luar Jakarta seperti di Bandung, Batam,
Pekan Baru, Surabaya, dan Bali. Direktur Padepokan Thaha memperkirakan jumlah siswa
untuk bilangan Jakarta saja sekitar 15.000-an siswa, dan jumlah siswa secara nasional
menurut Kiai Rahmat tidak kurang dari 40.000 siswa. Pada hari-hari tertentu, kegiatan
seperti hari raya, halal-bihalal, dan wirid agung, diadakan terpusat pada satu tempat.
Perennialisme Ajaran Padepokan Thaha
Menurut Hario Soeprobo, esensi ajaran dalam Padepokan Thaha ada tiga: pertama,
tentang mengenal diri sendiri (dari mana berasal dan kemana akan kembali). Kedua,
lengkapilah pengetahuan itu dengan ibadah-ibadah syariat. Ketiga, pengejawantahan ke
dalam hidup bermasyarakat.
26
Bentuk kegiatan di Padepokan Thaha ini, seperti yang tercantum dalam brosur info kegiatan rutin
bulanan Padepokan Thaha (khususnya bulan Juni 2013).
27
Hario Soeprobo, wawancara, tanggal 2 Oktober 2013.
9
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 1-16
Bagaimana cara untuk mengenal diri sendiri secara mendalam, adalah ajaran yang
paling utama dan esensi di Padepokan Thaha. Pada konteks inilah perennialitas dan
universalitasnya tampak, karena pengetahuan mengenai jati diri memang merupakan
pertanyaan eksistensial yang sering dilontarkan. Di mana pun kita dan pada masa kapan
pun kita kebetulan hidup, kita tidak bisa menghindar dari mengajukan pertanyaan dasar
tentang siapakah kita, dari mana kita datang, apa yang kita lakukan di sini, dan ke mana
kita akan pergi. Dan tasawuf, sebagaimana di Padepokan Thaha, berbicara kepada sedikit
orang yang mendambakan jawaban terdalam untuk pertanyaan tentang siapa mereka dan
dengan cara yang akan menyentuh dan mentransformasi seluruh wujud mereka. Dengan
kata lain, jalan sufi adalah jalan di dalam tradisi Islam untuk menemukan jawaban atas
pertanyaan mendasar ini dan untuk menemukan identitas sejati kita.28
Agama-agama sepanjang zaman telah berusaha untuk mengajari kita tentang siapa
diri kita dan melalui ajaran-ajaran batinnya menyediakan jalan untuk ‚menjadi‛ diri sejati
kita. Islam tentu tidak terkecuali, menyingkapkan doktrin lengkap tentang hakikat kita
yang sebenarnya dan juga hakikat tingkatan-tingkatan yang memancar dari Yang Esa,
yang hanya Dialah Yang Nyata pada akhirnya, dan memberikan ajaran yang jika
dipraktikkan, membawa kita kembali kepada yang Esa melalui jalan spiritual dengan
sepenuh sukacita dan kebahagiaan. Al-Qur’an sendiri menegaskan, ‚Sesungguhnya kita
datang dari Allah dan kepada-Nya kita akan kembali‛ (Q.s. al-Baqarah [2]: 156).
Lalu, bagaimana cara untuk mengenal diri sendiri dan akhirnya mengenal Tuhan?
Sabda Nabi, ‚Barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya‛.29 Tasawuf
memandang serius hadits ini dan juga menempatkannya ke dalam amalan. Ia memberikan,
di dalam semesta spiritual tradisi Islam, cahaya yang diperlukan untuk menerangi sudut
gelap jiwa kita dan kunci untuk membuka pintu ke relung-relung tersembunyi dari wujud
kita sehingga kita bisa berziarah ke dalam diri dan mengenal diri kita sendiri. Dan
pengetahuan ini pada akhirnya mengantarkan kepada pengetahuan tentang Tuhan yang
bersemayam di pusat diri kita, sebagaimana ditegaskan oleh hadits qudsi, ‚Langit dan
bumi tidak mampu meliputi-Ku, tetapi hati hambaku yang beriman mampu meliputi-Ku.‛
Pesan tasawuf itu abadi (perennial) karena watak manusia selalu sama, tak
terjangkau kebetulan aksidental oleh epos-epos sejarah dan gaya hidup zaman ini, dan
juga karena selama kita adalah manusia, pertanyaan yang dihadapi masing-masing adalah
‚siapakah aku?‛ Tanggapan tasawuf terhadap pertanyaan abadi ini bergema hari ini
sebagaimana dahulu bagi orang-orang yang telinganya peka terhadap panggilannya dan
mendambakan pengetahuan yang mencerahkan, yang dalam istilah tasawuf dikenal
dengan istilah ‚makrifat‛.
28
Uraian dan penjelasan ini penulis sarikan dari observasi partisipatif penulis dalam kegiatan ‚Open
House‛ tanggal 30 Juni 2013 dan ‚Program Pembinaan Menuju Tawajuh‛ yang dilaksanakan di Padepokan
Thaha selama 4 hari, dari tanggal 3 Juli sampai dengan 6 Juli 2013. Catatan penjelasan-penjelasan ini
penulis bandingkan dengan pemahaman Seyeed Hossein Nasr dalam The Garden of Truth: Mereguk Sari
Tasawuf (Bandung: Mizan, 2010).
29
Ini merupakan hadits yang populer di kalangan sufi. Meskipun secara periwayatan dianggap
hadits ḍa‘īf, namun Ibn al-‘Arabī dengan tegas mengatakan bahwa hadits tersebut shahih berdasarkan
metode kashf.
10
Sufisme Perennial (Zulfan Taufik)
Makrifat adalah sejenis pengetahuan untuk menangkap hakikat atau realitas yang
menjadi obsesi mereka. Makrifat berbeda dengan jenis pengetahuan yang lain, karena ia
menangkap objeknya secara langsung, tidak melalui representasi, image atau simbol dari
objek-objek penelitiannya itu. Oleh karena itu, ia harus dialami, bukan dipelajari. 30
Seperti untuk memahami pedas, akan bisa dengan mudah dilakukan dengan mencicipi
cabai. Di sinilah fungsi seorang guru spiritual/mursyid yaitu untuk membimbing para
pencari untuk dapat mengalami sendiri pengalaman mistik atau keagamaan sendiri, dan
dengan begitu bisa mengalami sendiri.
Demikianlah, melalui ajaran tentang pentingnya mengenal diri sendiri agar dapat
mengenal Tuhan, Kiai Rahmat menjadi figur sentral di Padepokan Thaha yang dengan
otoritas silsilah spiritualnya, dapat membimbing para pencari untuk mencapai Yang Esa.
Dan melalui ma‘rifatullāh inilah, menghasilkan pandangan hidup yang terbuka dan
toleran terhadap semua golongan, karena pada dasarnya juga menuju kepada Tuhan yang
sama. Sebagaimana digambarkan Nasr, bahwa dalam ilmu makrifat, kebenaran ini adalah
tauh}id dalam artian metafisik, suatu hikmah yang kekal, religio perennis, yang dengan
datangnya Islam diwujudkan sepenuhnya.31
Lebih lanjut, Nasr mengungkap bahwa para sufi sepanjang sejarah Islam hidup
dengan kesadaran akan keuniversalan hikmah yang mereka peroleh dan terkandung dalam
ajaran-ajaran dan metode-metode mereka. Tetapi hanya beberapa di antaranya yang
memiliki keahlian istimewa untuk mengemukakan secara tersurat masalah ini, sementara
yang lain tak mampu mengemukakannya. Seperti Jalaluddin Rumi yang memiliki
beberapa murid Kristen dan Yahudi, dan yang Masnawi-nya penuh dengan sajak-sajak
yang mengemukakan keuniversalan tradisi keagamaan.32
Dengan ajaran demikian, Padepokan Thaha membuka pintu bagi inisiasi orangorang dari latar belakang non-Muslim dan berpandangan bahwa jalan menuju kebenaran
ada di semua agama. 33 Para murid yang datang dari latar belakang berbeda-beda—
termasuk agama, diajarkan cara supaya dapat mengetahui lebih dalam jati diri sendiri,
melalui tawajjuh atau yang terkadang disebut dengan ilmu makrifat. Kemudian setelah
mengetahui jati diri dan mengenal Tuhan (ma‘rifatullāh), para murid depersilahkan untuk
memeliharanya dengan cara menjalankan syariah masing-masing.
Salah satu dampak dari perjalanan spiritual untuk mengenal diri dan mengenal
Tuhan (ma‘rifatullāh), akhirnya mereka memahami ada benang merah dari formal
religion itu. Dan itu buat kami lebih penting. Bahwa syariat dalam setiap agama
itu berbeda-beda. Kita pun memiliki syariat... Saya selalu membuat analoginya
seperti kita jalan mendaki gunung. Mau dari utara, selatan, barat, timur, tujuan
30
Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta:Erlangga, 2006), 10. Lihat juga
Abu Bakr M. Kalabadzi, Menggapai Kecerdasan Sufistik: Belajar dari 32 Prinsip Kaum Sufi, terj. Rahmani
Astuti (Jakarta: Hikmah, 2002), 77.
31
Seyyed Hossein Nasr, Living Sufism (London: Unwin Paperbacks, 1980), 115.
32
Nasr, Living Sufism, 132.
33
Penulis memperoleh informasi eksplisit dari hasil wawancara dengan pengurus Padepokan Thaha,
bahwa banyak juga para pencari dari latar belakang agama berbeda seperti Kristen dan Budha yang menjadi
murid Kiai Rahmat di Padepokan Thaha.Wawancara di Padepokan Thaha pada tanggal 24 Juni 2013.
11
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 1-16
utamanya kan sama sebetulnya. Cuma di setiap jalan ini beda-beda. Jangan kita
berantemin masalah itunya. Analogi lainnya seperti kita naik perahu. Mau pake
perahu kuning kek, perahu hijau kek, tujuannya yang penting kamu sampai di
pulau itu. Setelah kamu sampai di pulau itu, jangan lagi kamu berantem masalah
perahu lagi... Sikap universalisme dan juga toleransi, otomatis akan menjadi sikap
kamu kalau kamu melakukan perjalanan spiritual yang cukup dalam.34
Titik berangkat dalam memahami perennialis yang diajarkan di Padepokan Thaha,
adalah dimulai dari bahwa dalam esensi setiap manusia terdapat unsur keilahian
(esoterik), terlepas dari warna kulit, bahasa, agama, dll. Perennialisme di sini bukan dalam
arti semua yang terlihat (eksoterik) harus sama. Jadi, perennialisme itu adalah bahwa
unsur Tuhan ada dalam setiap manusia. Inilah yang dicari oleh para pejalan (sālik), atau
yang disebut juga ma‘rifatullāh. Mereka (para pejalan) sebenarnya mencari hal yang
sama, meski dengan jalan yang berbeda-beda.
Keberagamaan Masyarakat Perkotaan
Salah satu fenomena yang sering diramalkan dan menjadi kenyataan pada abad
XXI ini adalah munculnya berbagai gerakan spiritual sebagai reaksi terhadap dunia
modern yang terlalu menekankan pada hal-hal yang bersifat material-profan. Dalam
konteks Indonesia, periode Orde Baru (1966-1998) menjadi saksi perubahan besar dalam
ranah sosiologis Islam Indonesia.35 Meningkatnya akses terhadap pendidikan sekuler dan
langkah cepat pembangunan ekonomi serta perubahan teknologi pasca-industri, telah
mendorong penyebaran jalan hidup dan sikap kosmopolitan di kalangan kelas menengah
dan atas Indonesia yang luas, khususnya sejak 1980-an dan 1990-an. Akan tetapi, ini juga
masa ketika banyak Muslim Indonesia, seperti kaum Muslim lain di dunia, menemukan
minat baru untuk mengeksplorasi agama yang dipeluknya sejak lahir dan memperdalam
kesalehan mereka. Kondisi demikian, sebagaimana kesimpulan Howell, telah
menimbulkan tuntutan baru di pasar keagamaan Indonesia.36
Proses liberalisasi yang tengah berlangsung—baik secara politik, ekonomi,
maupun sosial—mempunyai dampak yang mendasar terhadap praktik agama dan
khususnya Islam. Bentuk-bentuk baru kehidupan berserikat meningkatkan interkoneksi
transnasional dan global, serta penggunaan teknologi media modern memiliki dampak
besar terhadap kehidupan beragama dan ekonomi yang semakin beragam dan kompleks.
Karena itulah, gejala keagamaan kontemporer di Indonesia dan juga di tempat-tempat lain
di dunia tidak lagi hanya diwakili bentuk-bentuk konvensional, seperti tarekat. Tetapi
juga bahkan bentuk-bentuk baru yang mirip dengan apa yang disebut ahli sosiologi agama
sebagai New Age Movement atau New Religious Movement (NRM).
Model keagamaan yang pluralis dan eklektik cenderung berkembang dalam
masyarakat yang telah mencapai tingkat industrialisasi dan urbanisasi tertentu. Seperti
34
Hario Soeprobo, wawancara, tanggal 2November 2013
Martin van Bruinessen, ‚Saints, Politician and Sufi Bureucrats‛, 92.
36
Julia Day Howell, ‚Modernity and Islamic Spirituality in Indonesia’s New Sufi Networks‛, dalam
Sufism and the ‘Modern’ in Islam, ed. Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell (London: IB Tauris,
2006), 228-229.
35
12
Sufisme Perennial (Zulfan Taufik)
bentuk-bentuk pembaharuan kultural modern lainnya, pluralisme dan eklektisisme
tumbuh dengan subur di daerah-daerah urban. Banyak dari aspek-aspek modernitas yang
cenderung menguntungkan penyebarluasan model keagamaan demikian. Kebanyakan dari
anggotanya berasal dari kelas menengah dan telah memiliki karier yang luas dalam
pendidikan formal, termasuk pendidikan tingkat universitas, dan konsekuensinya terbiasa
menerima ide-ide baru.. Perjalanan waktu dan komunikasi elektronik memberi ide-ide
keagamaan baru dan suatu capaian global yang tidak mereka miliki dalam periode sejarah
sebelumnya. Berkembangnya sufisme perennial seperti Padepokan Thaha di perkotaan
Jakarta, juga menggambarkan suatu bursa persaingan dalam ide dan agama serta suatu
konteks sosial di mana individu lebih dibiasakan memilih keyakinan dan komitmen
personalnya sendiri, daripada mengikuti keyakinan dan komitmen orang tuanya.
Pada dasarnya, perkembangan sufisme perennial pada masyarakat perkotaan dapat
dilihat dalam konteks perkembangan New Age Movement. Keduanya sama-sama
menawarkan agar manusia kembali kepada akar-akar spiritualitas dirinya tanpa tenggelam
dalam gemerlap kehidupan materi yang seringkali membuat kita silau dan menimbulkan
berbagai tindakan yang tidak sesuai dengan kemanusiaan kita. Sehingga, dengan kembali
pada pusat spiritualitas dirinya, manusia akan memiliki pandangan dunia
(weltanschauung) holistik tentang dirinya, tentang alam, dan tentang dunianya.
Namun, ada perbedaan antara New Age Movementdan sufisme perennial.
Sementara New Age secara sadar ingin menciptakan sebuah spiritualitas tanpa ‚agamaagama formal‛, karena dianggap hanya mereduksi universalitas pesan Ketuhanan dengan
slogan‚spirituality, yes; organized religions, no‛.37Sedangkan sufisme perennial lahir dari
rahim ‚agama formal‛, dan berusaha mencari titik temu dalam masalah-masalah spiritual
yang bersifat transenden dan esoteris. Artinya, sufisme perennial tetap menganggap
perlunya agama-agama formal sebagai sarana untuk menuju transendensi dan penyatuan
esoteris. Inti pandangan sufisme perennial adalah bahwa dalam setiap agama dan tradisitradisi esoterik, ada suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama, yang muncul
melalui beragam nama dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan simbol.
SIMPULAN
Perkotaan Indonesia, sebagaimana di perkotaan lain di dunia, memunculkan gejala
keagamaan yang tidak lagi hanya diwakili bentuk-bentuk konvensional. Tetapi juga
bahkan bentuk-bentuk baru yang bersifat pluralis, universalis, dan eklektik. Gejala ini
dapat dipahami jika melihat bahwa banyak dari aspek-aspek modernitas yang cenderung
menguntungkan penyebarluasan model keagamaan demikian. Tidak heran jika
kebanyakan dari anggotanya berasal dari kelas menengah dan telah memiliki karier yang
luas dalam pendidikan formal, termasuk pendidikan tingkat universitas, yang memang
terbiasa menerima ide-ide baru.
37
Lihat misalnya John Naisbitt dan Patricia Aburdene, Megatrend 2000; Ten New Direction for the
1990’s (New York: Avon Book, 1990), 295. Lihat juga Robert N. Bellah, Beyond Belief: Esai-Esai tentang
Agama di Dunia Modern, Penerjemah Rudy Harisyah Alam(Jakarta: Paramadina, 2000), 238.
13
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 1-16
Berkembangnya sufisme perennial seperti Padepokan Thaha di perkotaan
Indonesia seperti Jakarta, juga menggambarkan suatu bursa persaingan dalam ide dan
agama serta suatu konteks sosial di mana individu lebih dibiasakan memilih keyakinan
dan komitmen personalnya sendiri, daripada mengikuti keyakinan dan komitmen orang
tuanya. Isu dan tantangan besar dalam kehidupan keberagamaan zaman ini yang coba
dijawab oleh sufisme perennial, adalah bagaimana seorang beragama bisa mendefinisikan
dirinya di tengah agama-agama lain, yang juga eksis dan punya keabsahan. Sufisme
perennial dengan kemampuannya menjamahi wilayah esoterik dengan melampaui bentukbentuk eksoterik, mampu berdialog dengan agama lain dan membuka pintu-pintu
penghalang dengan kunci hikmah perennial dan universalnya. Dengan demikian, model
keagamaan yang muncul bukanlah agama yang terpisah dan berbeda samasekali dari
agama-agama tradisional. Namun pada tataran esoteris dan puncak-puncak peradaban itu
akan muncul suatu paham keberagamaan eklektik dan sikap keberagamaan yang lebih
humanistik-universal.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, Media Zainul. Kesatuan Transenden Agama-agama dalam Pandangan Ibn ‘Arabi,
Rumi dan al-Jili. Disertasi pada SPs UIN Jakarta 2010.
Bellah, Robert N. Beyond Belief: Esai-Esai tentang Agama di Dunia Modern.Terj. Rudy
Harisyah Alam. Jakarta: Paramadina, 2000.
Black, James A. dan Champion, Dean J. Metode dan Masalah Penelitian Sosial, terj. E.
Koswara, dkk., cet. 3. Bandung: PT Refika, 2001.
Bruinessen, Martin van dan Howell, Julia Day. ed., Sufism and the ‘Modern’ in
Islam.London: IB Tauris, 2006.
------. ‚Saints, Politician and Sufi Bureucrats: Mysticism and Politics in Indonesia’s New
Order, dalam Sufism and the ‘Modern’ in Islam, ed. Matin van Bruinessen dan
Julia Day Howell.
Chalfant, Aubony R. Trancending the Metanarrative: The Postmodern Spirituality of
Shirazeh Houshiary’s Sculpture. Tesis pada University of Missouri-Kansas City,
2012.
Dickson, William Rory.Living Sufism in North America.Disertasi di Department of
Religion and Culture, Wilfrid Laurier University, 2012.
Gabbay, T. A Discussion of Sufism and a Description of a Sample of American Sufi
Practitioners. Disertasi di California Institute of Integral Studies, 1988.
Haenni, Patrick dan Voix, Raphael. ‚God by All Means...Eclectic Faith and Sufi
Resurgence among Maroccan Bourgeoisie‛, dalam Sufism and the ‘Modern’ in
Islam, ed. Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell. London: IB Tauris, 2006.
Hermansen, Marcia. ‚Hybrid Identity Formations in Muslim America: The Case of
American Sufi Movement‛, The Muslim World 90 (Spring, 2000): 158-197.
14
Sufisme Perennial (Zulfan Taufik)
------. ‚Literary Productions of Western Sufi Movement‛, dalam Sufism in the West, ed.
Jamal Malik dan John Hinnels. New York: Routledge, 2006.
Ḥilmī, Muḥammad Muṣṭafā.Al-Ḥayāh al-Rūḥiyyah fī al-Islām. Al-Qāhirah: t.p., 1945.
Howell, Julia Day. ‚Muslims, the New Age and Marginal Religions in Indonesia:
Changing Meaning of Religious Pluralism‛, Social Compass 52, no. 4 (2005): 473493.
Kalabadzi, Abu Bakr M. Menggapai Kecerdasan Sufistik: Belajar dari 32 Prinsip Kaum
Sufi, terj. Rahmani Astuti. Jakarta: Hikmah, 2002.
Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta:Erlangga, 2006.
Malik, Jamal dan Hinnels, John.ed., Sufism in the West. New York: Routledge, 2006.
Mckechine, Jean L. ed. Webster’s New Twentieth Century Dictionary of The English
Languange: Unabridge. USA: William Collins Publishers, Inc., 1980.
Miles, Mathew B. dan Huberman,A. Michael.Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber
tentang Metode-metode Baru, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI-Press,
1992.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 29. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011.
Naisbitt, John dan Aburdene, Patricia. Megatrend 2000: Ten New Direction for the
1990’s. New York: Avon Book, 1990.
Nasr, Seyyed Hossein. Ideals and Realities of Islam. London: George Allen & Unwin Ltd.,
1996.
------. Living Sufism. London: Unwin Paperbacks, 1980.
------. The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, terj. Yuliani Liputo. Bandung: Mizan,
2010.
Nicholson, R. A. The Mystic of Islam. London: Kegan Paul Ltd, 1966.
Noer, Kautsar Azhari.Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi (Jakarta: Serambi,
2003.
Oxford Advanced Learner’s Dictonary Of Current English. 8th ed. New York: Oxford
University Press, 2010.
Raudvere, Catharina dan Stenberg, Leif. ed., Sufism Today: Heritage and Tradition in the
Global Community. London: IB Tauris, 2009.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam, cet. 2. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003.
Schönbeck, Oluf. ‚Sufism in the USA: Creolisation, Hybridisation, Syncretitation?‛,
dalam Sufism Today: Heritage and Tradition in the Global,ed. Catharina Raudvere
dan Leif Stenberg.
15
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 1-16
Schuon, Frithjof. The Trancendent Unity of Religions.Illinois USA: Theosophical
Publishing House, 1984.
Smith, Huston. Beyond The Postmodern Mind. Wheaton, USA: Quest Books, 1989.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
cet. 13. Bandung: Alfabeta, 2011.
16
Download