Prospek Perekonomian Indonesia Tetap Terjaga Baik MEDIA INDONESIA, Rabu, 14 Juli 2010 00:00 WIB Di tengah kabut gelap yang menggelayuti perekonomian global, muncul kabar baik terkait dengan prospek perekonomian Indonesia. Adalah Bank Dunia (World Bank) yang mencuatkan kabar baik itu di tengah mencuatnya krisis ekonomi Yunani yang menjalar ke beberapa negara di Eropa. Bank Dunia memperkirakan perekonomian Indonesia akan terus membaik meski laporan ekonomi triwulan pertama 2010 menyatakan pasar dunia sedang tak menentu. Menurut ekonom senior World Bank untuk Indonesia Enrique Blanco Armas di Makassar belum lama ini (29/6), perekonomian Indonesia bisa meningkat selama tahun 2011 lantaran permintaan dalam negeri. Gejolak dalam keuangan dunia dan ketidakpastian pandangan ekonomi yang berkembang telah meningkatkan risiko penurunan pertumbuhan dalam jangka pendek. Tapi, dalam jangka panjang, perkembangan ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas 7% pada pertengahan dekade. Tapi dengan catatan, dipenuhinya agenda reformasi yang tertera dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Perkiraan penguatan ekonomi Indonesia yang didukung peningkatan permintaan dalam negeri akan mendorong kekuatan secara menyeluruh. Jumlah impor akan terus bertambah kendati jumlah ekspor akan dijaga agar lebih besar dari impor untuk menciptakan surplus. Alhasil, pendapatan pemerintah bisa menjadi lebih tinggi dan defisit akan lebih kecil daripada yang diprediksi. Bank Dunia mencatat, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahunan meningkat menjadi 5,7% pada triwulan pertama 2010. Lalu mendekati 6,5% pada triwulan akhir tahun ini. Seiring dengan perkiraan itu, Bank Indonesia juga mencatat jumlah kredit perbankan pada minggu keempat Juni naik dari Rp8,82 triliun menjadi Rp1.545,45 triliun. Atau meningkat 18,73% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Meningkatnya kredit perbankan ini menunjukkan membaiknya kondisi makroekonomi Indonesia yang antara lain juga ditandai dengan masuknya dana asing di SBI melalui pasar sekunder sebesar Rp4,6 triliun. Kenaikan kredit terjadi pada kredit rupiah sebesar Rp10,91 triliun sedangkan kredit valas turun Rp2,09 triliun. Secara kumulatif setahun, kredit naik Rp115,25 triliun atau 8,06%. Pertumbuhan kredit secara tahunan terutama berasal dari kredit rupiah yang naik 21,45%. Kredit valas hanya tumbuh 1,37%. Kenaikan permintaan kredit menunjukkan bahwa sektor riil terus bergerak dinamis merespons sisi permintaan masyarakat. Selain kredit, BI mencatat selama sepekan lalu dana pihak ketiga (DPK) bank meningkat pesat yakni naik dari Rp21,28 triliun menjadi Rp2.034,87 triliun. Dengan demikian, secara kumulatif tahunan DPK tumbuh Rp64,42 triliun (3,27%), jika dibandingkan dengan tahun lalu tumbuh Rp241,69 triliun (13,48%). Lonjakan DPK tetap mengindikasikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Pertumbuhan DPK rupiah tertinggi terjadi pada bank persero sebesar Rp7,94 triliun. Adapun pertumbuhan DPK valas tertinggi pada bank swasta sebesar Rp3,87 triliun. Berdasarkan komponen, kenaikan tertinggi pada giro Rp25,91 triliun atau 5,52%, diikuti tabungan naik Rp1,19 triliun atau 0,2%, sedangkan deposito turun Rp5,82 triliun atau minus 0,61%. Selain indikator kinerja perbankan yang membaik, yang juga menarik ialah indikator kepercayaan konsumen. Ternyata konsumen global pada kuartal pertama 2010 mencapai level tertinggi sejak kuartal ketiga tahun 2007. Posisi Indonesia dalam survei online AC Nielsen ada di peringkat kedua di dunia setelah India yang memiliki tingkat kepercayaan konsumen tertinggi. Data indeks kepercayaan konsumen global oleh Nielsen Company menunjukkan kepercayaan konsumen dari 41 negara meningkat dari 55 negara yang disurvei selama kuartal pertama tahun 2010. Dalam indeks poin, India (127), Indonesia (116), dan Norwegia (115). Ini memperlihatkan konsumen Indonesia mulai memanfaatkan uang mereka. Pada kuartal pertama, konsumen global mengarah pada indeks 92 poin (100=rata-rata). Ini menunjukkan peningkatan dari enam bulan lalu dan hanya dua poin saja merosot pada kuartal tiga 2007, yakni 94 poin. Kepercayaan konsumen terendah terjadi pada awal 2009 yang menyentuh 77 poin. Akibat dari keterpurukan sistem keuangan global. Hal itu menunjukkan ekonomi dunia mulai berangsur-angsur pulih dari deraan resesi. Konsumen di Asia Pasifik merupakan kawasan pertama yang bisa mengatasi persoalan resesi tahun lalu. Saat ini investor global cukup percaya pada tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi. Di Indonesia, lebih dari setengah konsumen Indonesia yang disurvei Nielsen beranggapan Indonesia tidak berada dalam krisis. Dari mereka yang merasa Indonesia tengah berada dalam krisis, 31% percaya keadaan akan membaik 12 bulan ke depan. Sinyalemen itu senada dengan persepsi konsumen Asia Pasifik yang mempercayai perekonomian dunia telah benar-benar pulih dari resesi krisis global 2008. Sebanyak 65% konsumen Asia Pasifik berpendapat negara mereka tidak sedang berada dalam krisis. Walaupun begitu, orang Korea dan Jepang berpendapat negara mereka sedang dalam krisis (masing-masing 77% dan 76%). Pemerintah Indonesia juga meyakini bahwa krisis Yunani tidak akan berpengaruh terlalu negatif bagi perekonomian Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki pasar domestik yang besar yang mampu menahan gejolak dari faktor eksternal. Maksudnya, ketika permintaan dunia terhadap barang-barang buatan Indonesia anjlok, pasar domestik mampu menjadi penyangga atau buffer. Tak mengherankan apabila kontribusi ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) baru berkisar 29%. Inilah yang membuat pertumbuhan ekonomi kuartalan diperkirakan mampu mencapai kisaran 5,7%-6,0% sepanjang tahun ini. Yang patut dicermati, secara teoretis pertumbuhan ekonomi berpotensi mendorong laju inflasi. Hal itu sudah menunjukkan gejala-gejalanya. Lonjakan inflasi di bulan Juni lalu yang mencapai 0,97% mengindikasikan tingkat konsumsi masyarakat meningkat, terutama untuk kelompok sembilan bahan pokok (sembako), sebagai sinyal bahwa daya beli masyarakat tetap terjaga dengan baik kendati dihadapkan pada kenaikan TDL mulai bulan Juli ini. Dengan tetap memegang asumsi bahwa perkiraan inflasi tahun ini bakal mencapai 5% plus minus 1% sesuai dengan perkiraan Bank Indonesia dan secara faktual berpotensi mencapai kisaran 5,3%, proyeksi suku bunga acuan atau BI rate diproyeksikan bakal berada di rentang 6,5% hingga 7,0% di akhir tahun. Namun apabila kombinasi kebijakan moneter dan fiskal bisa lebih sinergis sehingga inflasi bisa diarahkan ke kisaran 4,5% hingga 5%, terbuka peluang BI rate tetap akan bertahan di level 6,5% hingga akhir tahun. Angka ini merupakan level yang ideal bagi perbankan untuk melakukan ekspansi kredit dan bagi pelaku sektor riil dalam mengajukan fasilitas kredit baru, tambahan, maupun dalam mencairkan fasilitas kredit yang sudah diberikan. Namun, tetap mempertimbangkan stance kebijakan moneter yang terukur dan predictable, memberikan kepercayaan yang tinggi bagi perbankan dan kalangan dunia usaha untuk menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing sehingga proyeksi makroekonomi ke depan tetap dalam koridor yang prospektif. Oleh Ryan Kiryanto Analis ekonomi dan keuangan