Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST) Maret 2016, pp. 389~395 389 HUBUNGAN PENGETAHUAN KELUARGA DENGAN KURANG ENERGI PROTEIN PADA BALITA DI KABUPATEN BANDUNG Purwo Suwignjo Universitas BSI Email: [email protected] Di Indonesia, Kejadian KEP (Kurang energi Protein) pada balita menunjukan peningkatan setiap tahunnya terutama dari tahun 2000 sampai tahun 2003 yaitu dari 4.415.158 menjadi 5.117.409. Bila hal itu tidak ditangani maka akan menimbulkan peningkatan jumlah Morbiditas akibat KEP karena dalam jangka panjang KEP dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental sosial dan intelektual. Seperti keterlambatan perkembangan otak atau menurunnya daya tahan tubuh. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KEP pada balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan pengetahuan ibu dengan Kurang Energi Protein pada balita di Kabupaten Bandung Jenis penelitian adalah penelitian survey analitik dengan desain Case control yang bertujuan untuk mengetahui apakah faktor yang diteliti merupakan faktor resiko yang dapat menimbulkan efek (KEP). Jumlah populasi dalam penelitian ini berjumlah 80 orang yaitu terdiri dari kelompok kasus dan kelompok kontrol yang masing-masing berjumlah 40 pasangan. Sampel dalam penelitian ini adalah pasangan ibu dan balita dengan KEP yang berumur 1-5 tahun. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan cara total sampling untuk kelompok kasus dan accidental sampling untuk kelompok kontrol. Teknik Pengumpulan data diambil dengan cara membagikan angket dan analisa data menggunakan teknik SPSS 13. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor tingkat pengetahuan ibu nilai RO sebesar 7,154 dengan 95% CI (2,647-19,335) yang menunjukkan bahwa pengetahuan ibu berhubungan dengan kurang energy protei Agar balita dengan KEP dapat meningkat berat badannya maka diharapkan petugas kesehatan yang ada di puskesmas Nagrak untuk menjalankan program pemberian makanan tambahan dan susu untuk balita dengan KEP dan meningkatkan pengetahuan ibu balita agar mengetahui. 1. Pendahuluan UU No 23/1992 tentang Kesehatan mengatur penyelenggaraan kesehatan anak. Pasal 17 Ayat (2) menegaskan, peningkatan kesehatan anak dilakukan sejak dalam kandungan, masa bayi, masa balita, usia prasekolah, dan usia sekolah. Pasal 8 ; Tiap anak berhak mendapat pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Namun, sejak UU Perlindungan Anak disahkan kondisi anak Indonesia belum banyak berubah. Di beberapa si si terlihat penurunan kesehatan dan kesejahteraan anak. Anak balita merupakan salah satu golongan penduduk yang rawan terhadap masalah gizi. Mereka mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada waktu ini sehingga membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup dan memadai (Utomo, 1998). Kurang gizi pada masa balita dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial, dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa. Secara lebih spesifik, kekurangan gizi dapat menyebabkan keteriambatan pertumbuhan badan, lebih penting lagi keteriambatan perkembangan otak, dan dapat pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi (Ninik, 2000). Gizi buruk pada anak balita berdampak pada penurunan tingkat kecerdasan atau IQ. Setiap anak dengan gizi buruk mempunyai risiko kehilangan IQ 10-13 poin. Lebih jauh dapat mengakibatkan meningkatnya kejadian kesakitan bahkan kematian. Hasil penelitian Amelia (1999) yang bertujuan mempelajari pengaruh jangka panjang gizi buruk yang terjadi pada usia dini terhadap pertumbuhan fisik dan tingkat kecerdasan anak usia sekolah menyebutkan bahwa tingkat kecerdasan anak yang pernah menderita gizi buruk pada usia dibawah 3 tahun, lebih rendah daripada anak yang pada masa balitanya mendapatkan gizi yang baik. Anak yang dapat dipulihkan pada usia dini secara bermakna memperoleh skor IQ yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang dipulihkan Diterima 15 Februari, 2016; Revisi 12 Maret, 2016; Disetujui 15 Maret, 2016 ISBN: 978-602-61242-4-1 pada usia yang lebih tua tetapi dibawah 18 bulan (www.depkes.go.id). Menurunnya gizi anak-anak terasa sejak krisis ekonomi. Kenaikan harga bahan makanan tanpa disertai kenaikan pendapatan membuat masyarakat sulit memenuhi standar gizi bagi anaknya. Bila keadaan ini dibiarkan, akan berdampak tingginya angka morbiditas dan mortalitas. Menurut WHO, faktor gizi merupakan 54 persen kontributor penyebab kematian. Bahkan, pada balita, kekurangan gizi amat berpengaruh terhadap perkembangan otak yang notabene 80 persen proses pertumbuhannya terjadi pada masa itu. Di Indonesia, upaya untuk penanggulangan masalah kekurangan gizi telah lama dilakukan dan penurunan prevalensinya sudah cukup memuaskan, tetapi empat masalah gizi utama yaitu (Kurang Energi Protein [KEP], Kurang Vitamin A [KVA], anemia gizi, kurang yodium [GAKI]) masih menjadi masalah kekurangan gizi yang hams ditangani hingga sekarang. Penyelenggaran perbaikan gizi sudah dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan gizi perseorangan, kelompok, atau masyarakat, tetapi sejak terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan 1997 hingga sekarang, masalah kekurangan gizi menjadi masalah yang semakin jelas terlihat terutama pada keluarga-keluarga di pedesaan yang umumnya terdiri dari keluarga miskin. Menurut John Biddulph dan John stace (1999) penyebab dari timbulnya KEP antara lain: (1) Tingkat Pengetahuan Orangtua, (2) Kebiasaan Makan, (3) Faktor Ekonomi , (4) Alasan Sosial, (5) Penyakit pada Anak dan (6) Ketidakbahagiaan pada Anak. UN1CEF (1998) mengatakan bahwa di Indonesia 1000 anak balita meninggal setiap hari selama tahun 1996 karena penyakit infeksi dan gangguan gizi. Data lain menunjukkan bahwa berdasarkan hasil sensus 1987 (World Bank, 1990) diperoleh bahwa prevalensi gangguan gizi buruk di pedesaan lebih tinggi bila dibandingkan di perkotaan, dan secara keseluruhan anak dari keluarga miskin menderita gizi kurang dan buruk 50 % lebih banyak dibandingkan anak dari keluarga mampu. Data tersebut menunjukkan bahwa masih terjadi kesenjangan sosial di bidang kesejahteraan sosial yang tinggi antara keluarga mampu yang biasanya berada di perkotaan dengan keluarga miskin yang biasanya berada di pedesaan. Masalah gizi kurang pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas dan survei atau pemantauan lainnya. Diketahui bahwa tahun 2000 jumlah balita dengan gizi kurang sebanyak 4.415.158. Akan tetapi terjadi peningkatan kembali pada tahun 2003 jumlah gizi kurang pada balita menjadi 5.117.409 orang. Provinsi Jawa Barat dengan jumlah balita sebanyak 3.415.219 jumlah balita dengan gizi kurang sebanyak 26.845 dan balita dengan gizi buruk sebanyak 4.253. jumlah tersebut akan terus bertambah bila tidak ditangani dan diperhatikan oleh pemerintah. Walaupun jumlah tersebut masih sedikit dibandingkan dengan provinsi lain tapi pemerintah harus memperhatikan program kerja untuk menangani penyakit tersebut sebelum menyebabkan meningkatnya angka kematian anak akibat KEP. Keluarga yang berada di pedesaan merupakan bagian dari masyarakat kita yang seharusnya tidak luput dari perhatian kita mengenai masalah-masalah yang mereka hadapi tentang status nutrisi. Kabupaten Bandung dengan jumlah balita 417.676 mempunyai jumlah balita dengan gizi buruk sebanyak 438 orang balita dan gizi kurang sebanyak 2.336 orang balita. Kabupaten Bandung menempati urutan pertama dengan jumlah balita dengan gizi buruk terbanyak sedangkan gizi kurang menempati urutan ketiga terbanyak di Propinsi Jawa Barat. Desa Tanjung sari yang termasuk dalam Kabupaten Bandung dan termasuk daerah pedesaan dengan akses untuk menjangkau pelayanan kesehatan sekitar 5 km yang dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan roda 2. Masyarakat Tanjungsari juga mengalami dampak dari krisis ekonomi Ini berdampak pula pada status gizi pada balita Di Desa Tanjung Sari. Banyak balita yang mengalami gizi buruk dan kurang dan tanjungsari merupakan desa yang memiliki balita dengan KEP terbanyak dibanding dengan desa lain. Tabel 1.1 Status gizi balita usia 1 - 5 tahun periode Januari-Desember 2005 Puskesmas Nagrak Status Gizi Desa Jumlah balita Yang ada Ditimbang Jatisari 554 541 1 110 426 2 Nagrak 1202 1146 1 90 1043 12 Cangkuang 781 719 2 71 642 4 Ciluncat 872 790 - 63 718 9 Pananjung 764 717 1 61 649 6 Bandasari 627 593 - 52 Tanjungsari 666 600 4 78 515 4 Jumlah 5466 5106 525 4526 45 Buruk Kurang 9 Baik 533 Lebih 8 KNiST, 30 Maret 2016 390 ISBN: 978-602-61242-4-1 Sumber : Data Penimbangan Balita di Puskesmas Nagrak Kabupaten bandung. Data tersebut diambil dari semua jumlah balita di 7 desa, dari jumlah diatas dapat dilihat bahwa balita dengan KEP (Gizi kurang dan Gizi buruk) berjumlah 534 dan Desa Tanjung sari dengan jumlah balita sebanyak 666 memiliki jumlah balita dengan KEP yaitu sebanyak 82 orang dengan jumlah KEP murni sebanyak 40 balita. Untuk penelitian ini menggunakan penelitian dengan matching artinya sampel berjumlah 80 orang terdiri dari 40 pasangan ibu dan balita dengan KEP sebagai kelompok kasus, dan 40 pasangan ibu balita dengan gizi baik sebagai kelompok kontrol. Pengetahuan ibu merupakan salah satu faktor yang akan sangat mempengaruhi terhadap pemahamannya dalam menjaga keseimbangan gizi balitanya hal tersebut dilatar belakangi oleh alasan bahwa biasanya pendidikan seorang ibu akan sangat mempengaruhi terhadap pemahamannya terhadap gizi yang perlu diberikan kepada balitanya. Menurut data jumlah penduduk yang berdasar pada pendidikan yang ditamatkan dari 6781 orang penduduk. Tamat Sekolah dasar sebanyak 1982 (35,55 %) orang , tamat Sekolah lanjutan tingkat pertama 1549 (27,78 %) orang , tamat Sekolah menengah atas 1674 (30,03 %) orang , tamat Akademi 529 (9,49 %) dan tamat Perguruan Tinggi sebanyak 40 (0,71 %)orang. Dari data diatas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk yang tamat SD lebih banyak dibandingkan dengan tamatan yang lain ini menunjukan bahwa faktor tingkat pendidikan keluarga terutama ibu memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi timbulnya KEP pada balita di desaTanjungsari. 1.1. Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini adalah " Hubungan pengetahuan ibu dengan Kurang Energi Protein pada balita di Kabupaten Bandung". METODOLOGI PENELITIAN Populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian yang terdiri dari manusia, bendabenda-benda, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala atau peristiwa tertentu sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian (Arikunto, 1998). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu dan anak balita sebanyak 80 orang dengan kriteria : untuk kelompok kasus yaitu pasangan ibu dan balita dengan KEP murni (gizi kurang dan buruk) yaitu sebanyak 40 orang dan 40 oranglainnya adalah pasangan ibu dan balita dengan gizi baik sebagai kelompok kontrol di desa tanjung sari. Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto,1996).Sampel dalam penelitian ini menggunakan sampel yaitu seluruh ibu dan anak balita dengan KEP dengan kriteria KEP murni yaitu sebanyak 40 orang dan pasangan ibu dan balita dengan gizi baik sebanyak 40 orang. Kriteria inklusi dalam penelitian ini: 1. Ibu yang mempunyai balita dengan KEP usia mulai dari 1 – 5Tahun 2. Balita KEP dengan usia mulai dari 1 - 5 tahun. 3. Balita dengan berat badan yang kurang dari standar tabel baku rujukanWHO/NHCS Kriteria eklusi dalam penelitian ini 1. Balita yang disertai dengan penyakit penyerta (tbc, pnemonia) 2. Balita dengan cacat mental 3. Balita dengan cacat kongenital 3. Pembahasan Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Karakteristik responden berdasarkan umur, tingkat pendidikan orangtua dan untuk balita dijelaskan tentang umur dan jumlah balita berdasarkan jenis kelamin yang akan dijelaskan pada tabel 4.1 dengan jumlah responden sebanyak 80 orang. Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi :,K Kiasifikasi a,1 Tinggi Rendah 2 Total Frekuensi % 4 2 5 2 . 3 5 Karakteristik Responden Di Desa Tanjung 8 0 Sari Puskesmas Nagrak 80 Variabel n Prosentase 4 Pendidikan ibu 7 SD 34 42.50 . SLTP 32 40.00 5 SLTA 11 13.75 0 1 Akademi 0.62 PT 2 2.50 1 0 Umur ibu 0 20-30 45 56.25 . 30-50 35 43.75 0 Umur balita 0 1-3 43 53.75 3-5 37 46.25 Jenis kelamin Balita KNiST, 30 Maret 2016 391 ISBN: 978-602-61242-4-1 Laki-laki Perempuan 42 38 52.50 47.50 Berdasarkan tabel 4.1 diatas, hasil penelitian menunjukan bahwa kebanyakan ibu hanya menamatkan pendidikan SD saja yaitu sebanyak 34 orang (42,50 %), untuk umur ibu sebagian besar umur antara 20-30 tahun yaitu sebanyak 45 orang (56,25%), untuk umur balita paling banyak terdapat pada usia 1-3 tahun yaitu sebanyak 43 orang (53,75%) dan jenis kelamin balita kebanyakan adalah laki-laki yaitu sebanyak 42 orang ( 52,50%). Untuk mengetahui bagaimana tingkat pengetahuan ibu di Desa Tanjungsari Wilayah Puskesmas Nagrak Kabupaten Bandung dalam penelitian ini diukur dengan memberikan sebanyak 23 pertanyaan pada kuesioner penelitian Pada tabel distribusi frekuensi berikut yang dihitung berdasarkan data lengkapnya yang dapat dilihat pada lampiran sebaran tingkat pengetahuan. Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Ibu Di Desa Tanjung Sari Puskesmas ________ Nagrak Kabu paten Pengeta huan 2. Pengetahuan Rendah Tinggi KEP 27 13 KEP K< ■ jadiau Jumlah NON KEP 9 31 36 44 Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara faktor tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian KEP pada balita dilakukan pengujian dengan menggunakan rum us RO dengan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis yang ingin diuji : Kejadian KEP pada balita lebih sering terjadi pada ibu balita dengan tingkat pengetahuan rendah dibanding pada ibu balita a dengan tingkat pengetahuan tinggi. Untuk menguji Hipotesis diatas maka berdasarkan dari hasil perhitungan didapatkan bahwa untuk faktor pengetahuan ibu terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi pada balita dengan RO sebesar 7,154 dengan nilai 95% CI sebesar (2,467-19,335) yang berarti keluarga dengan ibu yang memiliki pengetahuan rendah beresiko lebih besar untuk terjadinya kejadian KEP pada balita % No Klasifikas Frekuensi dibandingkan dengan keluarga dengan ibu . i yang memiliki pengetahuan tinggi. 1 Rendah 36 45. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Tinggi 4 00 tingkat pengetahuan ibu yang rendah dengan 2 Total 4 55. balita gizi kurang adalah sebanyak 27 orang 00 (33,70%) dan sebanyak 13 orang (16,30%) 8 10 ibu dengan tingkat pengetahuan baik tetapi 0 0.0 dengan gizi balitanya kurang. Bandung. 0 Dalam kelompok kontrol terdapat ibu No. ______ Klasifikasi ________ Frekuensi ___________ % ______ dengan pengetahuan rendah yairu sebanyak 1 Rendah 36 45.00 9 orang (11,30%) tetapi balitanya bergizi 2 Tinggi Hal _____ ini dapat disebabkan karena 44 _______________________baik. 55.00 Total 80 100.00 walaupun pengetahuan ibu baik tetapi bila Hasil tabulasi frekuensi tingkat kebiasaan makan yang diterapkan adalah pengetahuan pada tabel 4.3 diatas kebiasaan makan yang buruk atau ibu memberikan gambaran bahwa responden mempunyai tingkat pengetahuan yang baik yang memiliki tingkat pengetahuan rendah tentang makanan yang bergizi tetapi ibu tidak mengenai gizi yang diperlukan oleh anak mengimplementasikan pengetahuannya di balita yaitu sebanyak 36 orang (45,00%) dan kehidupan sehari-hari. sebanyak 44 orang (55,00%) responden Dari hasil perhitungan untuk faktor tingkat memiliki pengetahuan yang baik tinggi. pengetahuan ibu diperoleh nilai RO sebesar Hasil perhitungan RO untuk hubungan 7,154 dengan nilai 95% CI sebesar (2,615pengetahuan dengan kejadian KEP dapat 18,738). Hal ini berarti bahwa terdapat dilihat pada tabel 4.7 berikut hubungan antara tingkat pengetahuan ibu Tabel 4.7 Hubungan Antara Faktor dengan status gizi pada balita karena dari Ekonomi, Faktor Tingkat Pengetahuan nilai RO didapatkan bahwa tingkat Ibu, Faktor Kebiasaan Makan, dan Faktor pengetahuan ibu merupakan faktor resiko Sosial dengan Kejadian KEP pada Balita yang beresiko 7 kali lebih besar Di Desa Tanjungsari Puskesmas Nagrak menyebabkan KEP dibandingkan pada Kabupaten Bandung. keluarga balita dengan status gizi baik. KNiST, 30 Maret 2016 392 Ras 95% CI io OR Od ds 7,15 2,6474 19,335 ISBN: 978-602-61242-4-1 Para sosiolog telah membuktikan bahwa pengetahuan orang tua memegang peranan penting dalam menentukan status gizi anak. Pengetahuan orang tua dapat diperoleh baik secara internal, yaitu pengetahuan yang berasal dari dirinya sendiri berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari; maupun secara eksternal, yaitu pengetahuan yang berasal dari orang lain baik itu pendidikan formal (sekolah) maupun non formal / penyuluhan-penyuluhan (Sjahmien, 1982). Mukson dan kawan-kawan (1999) dalam penelitiannya mengenai faktor penentu pola konsumsi pangan keluarga kaitannya dengan pola gizi seimbang di Kotamadya Dati-11 Semarang pada tahun 1999 menyatakan bahwa berdasarkan uji regresi gabungan faktor penentu yang mempengaruhi perilaku konsumsi pangan keluarga adalah pendidikan ibu dan pendapatan keluarga karena Ibu yang paling menentukan konsumsi makanan untuk balita. Pendidikan ibu akan sangat mempengaruhi jenis dan jumlah makanan untuk balita. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar orangtua hanya berpendidikan sebatas SD yaitu sebanyak 27 keluarga (33,70%) hai ini berpengaruh karena pengetahuan berperan dalam menentukan konsumsi makanan pada balita terutama dalam hal pengolahan makanan karena sesuai dengan Hasil penelitian Farid Agushybana dkk yang mempelajari faktor resiko keamanan makanan pada proses pengolahan makanan pada tahun 1999 menunjukkan bahwa masih bisa ditemukan faktor pengetahuan dan praktek yang membahayakan keamanan pangan. Faktorfaktor resiko yang berhubungan dengan pengetahuan antara lain berupa penyimpanan dan pencucian bahan makanan mentah, kebersihan kuku, pemakaian perhiasan, peralatan memasak dan makan. Faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan praktek pengolahan antara lain berupa penyimpanan dan pengolahan bahan mentah, fasilitas pencucian serta penggunaan metode pencucian tangan yang baik (www.depkes.go.id. Dalam hal ini Puskesmas berperan dalam hal memberikan penyuluhan secara intensif tentang pengetahuan akan makanan yang bergizi terutama dalam hal pengolahan dan penyajian makanan. Selain itu dari hasil penelitian terdapat pula ibu balita dengan KEP yang pengetahuannya baik sebanyak 13 orang (16,30%), hal ini dapat terjadi karena adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi misalnya tingkat ekonomi yang rendah atau ibu menerapkan kebiasaan makan yang tidak baik pada balita. Selain hal tersebut Dari kenyataan yang ada, meskipun pada dasarnya mereka tahu akan definisi makanan yang bergizi bagi mereka, tapi keluarga dengan balita KEP tersebut kemungkinan tidak mengerti bagaimana cara pengolahan makanan yang baik supaya kandungan gizi ataupun vitamin yang terkandung di dalamnya tidak banyak yang terbuang ,ataupun karena keluarga tidak mampu membeli makanan walaupun sebenarnya tidak begitu mahal dan keluarga membeli makanan tidak dalam jumlah yang cukup dan frekuensi yang tidak memadai dikarenakan kondisi ekonomi mereka. 4. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: tingkat pengetahuan ibu diperoleh nilai RO sebesar 7,154 dengan nilai 95% CI sebesar (2,615-18,738). Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian KEP pada balita karena dari nilai RO didapatkan bahwa tingkat pengetahuan ibu yang rendah merupakan faktor resiko yang beresiko 7 kali lebih besar menyebabkan KEP dibandingkan pada keluarga balita dengan tingkat pengetahuan ibu yang baik. Berdasar dari hasil perhitungan didapatkan bahwa masih banyak ibu dengan pengetahuan yang rendah terutama terhadap masalah gizi karena pengetahuan ibu berpengaruh terhadap pemberian nutrisi untuk balita, sehingga diperlukan pembinaan yang lebih baik dari para tenaga kesehatan terutama di Puskesmas Nagrak adapun pembinaan tersebut dapat dilakukan melalui: Mengintensifkan Penyuluhan oleh pihak puskesmas terhadap ibu balita yang ada diwilayah kerjanya setiap 3 bulan sekali dengan cara bekerjasama dengan ibu-ibu PKK. Pihak Puskesmas melalui posyandu mengintensifkan program pemberian makanan tambahan dan suplemen vitamin A setiap seminggu sekali Untuk Ibu yang mempunyai balita dengan gizi buruk diharapkan dapat lebih rajin dalam mengikuti penyuluhan yang diberikan oleh puskesmas dan lebih sering KNiST, 30 Maret 2016 393 ISBN: 978-602-61242-4-1 mencari informasi tentang makanan yang bergizi terutama dalam hal manfaat makanan, pemilihan makanan, pengolahan makanan dan penyajian makanan yang dapat dilihat/dicari melalui media massa atau cetak. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan untuk dapat melakukan penelitian yang lebih dalam dan berlanjut tentang faktor yang berhubungan dengan KEP khususnya faktor secara langsung yaitu faktor ketidakbahagiaan pada anak dan penyakit pada anak. Referensi Amelia. (1999). The Effects of Severe Malnutrition During Early Chilhood onPhysical Growth and Intelligence Level of School-Age Children. Research Report, Thesis, Post Graduate Program-Study Program in Nutrition University of Indonesia, Jakarta. Aritonang Irianto . (1995). Kesehatan Masyarakat dan Tantangan Menghadapi Masalah Gizi ganda, Majalah Kesehatan Masyarakat Depkes RI, No. 52: 36-39. Jakarta. Atmarita. Fallah, S.T . (2004). Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Direktorat gizi masyarakat, Departemen Kesehatan. Jakarta. Azwar,Saifuddin. (1997). Reliabilitas dan Validitas, Edisi Ke 3, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Berg, Alan, dan Sayogyo. (1986). Peranan Gizi Dalam Pembangunan Prelakteal Dengan Pemberian AS1 Eksklusif Pada Ibu-ibu Pengunjung Klinik Laktasi Anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusum. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta. Berhman, Kliesman. (1998). Tumbuh Kembang Anak Dan Remaja. Edisi I. Gaya baru. Jakarta Biddulph, J. Stace, J. (1999). Kesehatan anak, untuk perawat petugas penyuluhan kesehatan dan Bidan Di Desa. Edisi I. Essetia Medica. UGM Press. Yogyakarta. Damodar N. Gujarati. (2003). "Basic Econometrics" fourth edition McGraw-Hill, New York. Depkes RI, dan WHO, (2000), Rencana Aksi Pangan dan Gizi nasional 20012005, Depkes RI, Jakarta. Departemen kesehatan RI. (1995). Daftar komposisi zat gizi pangan Indonesia. Depkes RI. Jakarta.(www.gizi.net¥08/06/2006Y Departemen Kesehatan RI. (1993). Menu seimbang dari berbagai makanan pokok Seri I. Depkes RI. Jakarta, (www.gizi.net¥08/06/2006) Departemen kesehatan RI. (1994). Pesan dasar gizi seimbang. Depkes RI. Jakarta, (www. gizi.nety08/06/2006y Djaemi. A. (1997/ Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa Profesi. DianRakyat. Jakarta. Gals. (2000). Situasi Pangan dan Gizi Indonesia, 1998/1999. www.depkes.go.id (03/01/06) Guilford ,J.P. (1978). Psychometric Methods , Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited. Husaini,K.Y. (1997). Antropometri Sebagai Indikator Gizi Dan Kesehatan Masyarakat. Medika. Jakarta. Igusti Ngurah Agung. (2001) .STAT1STIKA Analisis Hubungan Kausal berdasarkan Data Kategorik. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kaplan,Robert M., and Denis P Saccuzza. (1997). Psychological Testing (Principles, Aplication, and Issues ), 3rd edition Brooks/ Cole Publishing Company. California. Kanwil Depkes Jabar. (2003). Profil Kesehatan Provinsi Jabar. Dinkes Jawa Barat. Bandung. Khumaidi, M. (1994). Gizi Masyarakat. BPK Gunung Mulia. Jakarta. Markum ,A.H. (2002). Ilmu Kesehatan Anak. Bagian llmu Kesehatan Anak. FKUI. Jakarta. Moersintowanii. Narendra, B.(2002) Tumbuh Kembang Anak Dan Remaja. Edisi I. IDAI. Jakarta. Nelson . (1996). Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. EGC. Jakarta. Nursayoto, Hertogi, dkk. (1992). Ilmu Gizi Zat Gizi Utama. PT. Golden Terayon Press, Jakarta. Ninik .( 2000). Diskusi Pakar Bidang Gizi, www.depkes.go.id Notoatmodjo, S. Dr. (2002). Metodologi penelitian kesehatan. Edisi revisi. Rineka cipta. Jakarta Purnama, D . (2003). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gizi Buruk di KNiST, 30 Maret 2016 394 ISBN: 978-602-61242-4-1 desa Majalaya Kabupaten Bandung. Skripsi. PSIK UNPAD. Bandung. Suharsimi, A. DR. (1996). Prosedur Penelitian, Suatu pendekatan praktek. Edisi 111. Rineka Cipta. Jakarta. Sudiro. (1999). Keluarga Miskin Dalam Jaringan Pengamanan Sosial Bidang Kesehatan (Pengalaman di Jawa Tengah). Medika. Edisi Khusus: 27-35. Yogyakarta. Santoso, J. (2005). Peranan keluarga dalam penanggulangan KEP di Dusun Kersan, Kecamatan Kasihan, Kabupaten BantvX. Skripsi. PSIK Universitas Gajahmada. Yogyakarta. (www. Google.com¥28/12/05) Sauqi, Ahmad, dan Ridwan. (1999). Kajian Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani, di Wilayah Ujicoba Sistem Ketahanan Pangan dan Gizi (SKPG) di Kecamatan Dompu. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian. Universitas Mataram. Mataram. Setyobudi, Titien. (1991). Masalah Gizi di Perkotaan, Media Litbangkes, Jakarta. Sjahmien, M., (1982). Ilmu Gizi. Edisi 5. Bharata Karya Aksaya. Jakarta. Santoso, S. (1999). Kesehatan dan gizi. Rineka cipta. Jakarta. Santoso, J. (2005). Kurang energiprotein. http://www.gizi.net/.(03/01/06) Sastroasmoro S, Ismael S. (1995). Dasardasar Metodologi Penelitian Klinik. Bagian ilmu Kesehatan Anak FKUI. Binarupa Aksara. Jakarta. Suhardjo. (1986). Pangan, Gizi dan Pertanian. Universitas Indonesia Press, Jakarta. StafPengajar Ilmu kesehatan Anak FKUI. (1998). Ilmu Kesehatan Anak. Bagian ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. Tranggono, U., Djufri F., Maharani dan Hisyam, (1994), Protein Kalori Malnutrisi III Dengan Komplikasinya. Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Sardjito, Yogyakarta. Utomo. (1998). Menuju Indonesia Sehat 2010, www.depkes.go.id , Kurang Energi Protein, http://www.gizi.net/kep/.(03/01/06) KNiST, 30 Maret 2016 395