BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Preeklamsia 2. 1. 1. Definisi Preeklamsia didefinisikan hipertensi dalam kehamilan dimana tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang diukur dua kali dengan selang waktu 4-6 jam, disertai proteinuria (kadar protein ≥ 30 mg/dl urin atau ≥ 300 mg/24 jam urin tamping atau ≥+1 pemeriksaan urinalisis atau dipstick) yang didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu dan semua kelainan ini akan menghilang sebelum 6 minggu paska persalinan (Wang et al, 2007; Creasy et al, 2014; Cunningham et al, 2014). Lebih lanjut subklasifikasi preeklamsia dapat dibagi menjadi preeklamsia awitan dini (early-onset) dan preeklamsia awitan lambat (late-onset) berdasarkan waktu terjadinya, dapat juga dibagi menjadi preeklamsia ringan dan preeklamsia berat berdasarkan manifestasi klinis dan laboratoris serta terdapatnya komplikasi. Salah satu komplikasi preeklamsia yaitu hemolysis, elevated liver enzyme and low platelet syndrome (HELLP syndrome), yang ditemukan pada 20% kasus preeklamsia berat (Marie-Therese et al, 2008). Spektrum preeklamsia sangat luas dan bervariasi, untuk kepentingan klinis dibagi menjadi preeklamsia ringan dan preeklamsia berat akan tetapi dapat menyebabkan pemahaman yang tidak tepat. Pendekatan pada kasus hipertensi dalam kehamilan tanpa proteinuria belum jelas akan tetapi pemantauan ketat berkala dianggap penting. Pemantauan juga pada temuan kasus hipertensi gestasional yang masih jauh dari usia kehamilan cukup bulan. Sekitar 10% dengan temuan klinis selain hipertensi dan atau temuan histologis yang mendukung manifestasi preeklamsia ditemukan proteinuria minimal atau tidak ada proteinuria, didapatkan 20% kasus eklamsia tanpa proteinuria. Eklamsia yang merupakan komplikasi didapatkan sekitar 2% kasus preeklamsia (Wang et al, 2009). Komplikasi maternal akut preeklamsia antara lain eklamsia, stroke, solusio plasenta, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ruptur hati dan perdarahan, edema paru, gagal ginjal akut, dan kematian. Sedangkan komplikasi maternal kronis preeklamsia antara lain hipertensi kronis, diabetes mellitus, penyakit jantung coroner dan defisit neurologis. Komplikasi perinatal antara lain still birth, prematuritas, petumbuhan janin terhambat, komplikasi neonatal dan sekuelnya terutama terkait prematuritas. Subklasifikasi preeklamsia dapat juga berdasarkan derajat beratnya karakteristik maternal dan fetal. Sindroma preeklamsia meluas tidak hanya timbulnya hipertensi disertai timbulnya proteinuria, tetapi keterlibatan maternal dan fetal seperti insufisiensi renal, disfungsi hepatoseluler ataupun pertumbuhan janin terhambat. Definisi preeklamsia dapat digunakan dalam praktik klinis dimana penilaian klinis penting dalam penatalaksanaan, ataupun juga dalam penelitian dimana kriteria objektif tergantung peneliti. Dalam penelitian ini tidak digunakan definisi klasik preeklamsia (Staff et al, 2013). Faktor risiko terjadinya preeklamsia antara lain nulipara (multipara dengan pasangan baru mempunyai risiko yang sama seperi nuli para), hipertensi kronis, diabetes mellitus, penyakit ginjal, obesitas, kondisi hiperkoagulitas (misalnya sindroma anti fosfolipid), usia tua maternal dan kondisi yang menyebabkan bertambahnya massa plasenta (misalnya kehamilan multifetus dan mola hidatidosa). Riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya meningkatkan risiko berulangnya preeklamsia. Pada kebanyakan kasus tidak ditemukan riwayat keluarga, akan tetapi riwayat keluarga derajat pertama meningkatkan 2 sampai 4 kali lipat risiko terjadinya preeklamsia (Wang et al, 2009) Penelitian epidemiologi mendapatkan 20% perempuan dengan riwayat preeklamsia berkembang menjadi hipertensi atau terdapat mikroalbuminuria hingga 7 tahun setelahnya dibandingkan hanya 2% pada perempuan tanpa riwayat preeklamsia. Risiko jangka panjang terhadap penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular meningkat dua kali lipat pada preeklamsia dan hipertensi gestasional. Preeklamsia berat, rekurensi preeklamsia, preeklamsia disertai persalinan preterm, dan preeklamsia disertai pertumbuhan janin terhambat mempunyai hubungan kuat terjadinya penyakit kardiovaskular di kemudian hari. Preeklamsia dan penyakit kardiovaskular mempunyai faktor risiko yang sama antara lain hipertensi kronis, diabetes, obesitas, penyakit ginjal, dan sindroma metabolik. Penelitian lainnya menunjukkan preeklamsia sebagai faktor risiko penyakit gagal ginjal (end stage renal disease) di kemudian hari (Wang et al, 2009) Pada penelitian menggunakan hewan coba yang diinduksi sFlt-1 eksogen memperlihatkan gejala preeklamsia seperti hipertensi, proteinuria, dan kerusakan ginjal. Sedangkan pada manusia kadar sFlt-1 juga terbukti meningkat pada pasien preeklamsia, dan kadarnya menurun hingga normal kembali setelah melahirkan. Berbeda dengan dengan sFlt-1, kadar PlGF dan VEGF dalam sirkulasi justru menurun pada preeklamsia (Bergmann et al, 2010; Maynard and Karumanchi, 2011). Berbagai pendekatan untuk prediksi dan skrining preeklamsia terutama pada awal kehamilan seiring dengan kemajuan penelitian yang mengungkap patogenesis preeklamsia. Beberapa penanda biologis (biomarker) yang digunakan sebagai prediktor dan kemajuan sonografi menilai gangguan perfusi dengan doppler velocimetry diharapkan menjadi pengembangan modalitas tatalaksana preeklamsia (Szarka et al, 2010; Lorenzo et al, 2012) 2. 1. 2. Patogenesis Sebelum terjadi proses implantasi, zona pelusida menghilang dan blastokis menyentuh permukaan endometrium. Setelah terjadi erosi ringan pada sel-sel epitel permukaan endometrium, trofoblas terbenam dalam endometrium, dan blastokis seluruhnya melekat berada dalam endometrium. Melekatnya trofektoderm blastokis ke permukaan endometrium melalui proses aposisi dan adhesi. Jaringan kapiler di bagian superfisial endometrium diinvasi oleh sitotrofoblas, selanjutnya invasi berlanjut mencapai arteri spiralis. Saat implantasi, arteri spiralis memperoleh sebuah lapisan sel di dalam endotel yang berasal dari invasi sitotrofoblas. Selama invasi vaskular ini terjadi perubahan tunika muskularis pembuluh darah sehingga struktur ini menjadi tidak dapat dikenali dan kehilangan lapisan ototnya pada pembuluh darah tersebut. Konsekuensi proses alamiah tersebut adalah diameter arteri spiralis lebih lebar karena tanpa lapisan otot. Proses tersebut merupakan suatu mekanisme adaptasi agar aliran darah dari maternal ke janin optimal, proses ini disebut remodeling arteri spiralis. Lumen arteri spiralis diinvasi oleh sitotrofoblas sepanjang beberapa sentimeter memasuki miometrium, berbagai perubahan vaskular ini tidak dijumpai pada desidua parietalis. Trofoblas dapat ditemukan di semua arteri spiralis desidua viseralis pada trimester kedua. (Pribadi Adhi et al, 2015; Warrington et al, 2013). Darah maternal selanjutnya memasuki ruang antar-vilus dan berkontak secara langsung dengan sinsitiotrofoblas. Seiring dengan berlanjutnya invasi endometrium oleh trofoblas, arteri-arteri spiralis desidua terbuka membentuk lakuna yang segera terisi darah maternal. Bentuk seperti ini dinamakan sistem hemokorionendotelial, yaitu kontak antara darah maternal dan sinsitium merupakan sarana terjadinya transfer nutrisi, oksigen, serta hasil katabolisme janin dan plasenta. Bila invasi trofoblas tidak terjadi atau kurang sempurna maka terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis. Hal ini mengakibatkan darah menuju lakuna hemokorionendotelial mengalir kurang optimal dan bila dalam jangka waktu lama mengakibatkan hipoksia plasenta. Hipoksia dalam jangka lama menyebabkan kerusakan endotel pada plasenta yang menambah berat hipoksia. Produk dari kerusakan vaskuler selanjutnya akan terlepas dan memasuki darah maternal yang memicu gejala klinis preeklamsia (Pribadi Adhi et al, 2015; Hladunewich et al, 2007). Fungsi endotel sangat penting dalam memelihara aliran darah dan kapasitas antitrombotik, sebab endotel melepaskan faktor humoral yang mengontrol relaksasi dan kontraksi otot polos vaskuler, trombosis dan fibrinolisis, serta aktivasi dan inhibisi platelet. Endotel berkontribusi terhadap kontrol tekanan darah, aliran darah dan patensi pembuluh darah. Bila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan subendotel akan terpapar, hal ini akan merangsang adhesi dan agregasi trombosit serta mengaktifkan faktor-faktor pembekuan darah serta juga menghasilkan zat vasokonstriktor yang pada akhirnya menyebabkan hipertensi. Bukti terjadinya kerusakan endotel ditunjukkan oleh lesi morfologik yang merupakan karakteristik dari preeklamsia yaitu endoteliosis ginjal dan perubahan struktur di alas plasenta. Perubahan endotel lebih digambarkan sebagai disfungsi atau aktivasi (suatu fase perubahan diferensiasi sel endotel sebagai respon terhadap kerusakan subletal atau stimulasi sitokin) dibanding sebagai kerusakan (Pribadi Adhi et al, 2015; Gilbert et al, 2008) Teori bahwa preeklamsia asimtomatik terjadi karena reaksi imunologi sejak proses implantasi, reaksi imunologi terjadi sejak bertemunya permukaan sel maternal dengan sel janin yang merupakan sel semi alogenik. Disfungsi primer plasenta pada preeklamsia didahului proses imunologi dengan konsep 3 tahapan (three stages theory), yaitu (Pribadi Adhi et al, 2015; Warrington et al, 2013; Redman and Sargent, 2009) : 1. Tahapan pertama terjadi pada umur kehamilan 3-8 minggu pada proses implantasi dan histiotrofik plasenta. Jenis sel janin yang berkontak dengan sel maternal adalah sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas. Pada tahap ini dapat menyebabkan kegagalan implantasi atau abortus. 2. Tahapan kedua terjadi pada proses perkembangan plasenta. Pada tahapan ini sel yang berkontak adalah sitotrofoblas, korion leave, dan sinsitiotrofoblas villi pada darah maternal. Pada tahap ini terjadi plasentasi yang buruk dan akan memicu terjadinya stress oksidatif dan proses inflamasi. 3. Tahapan ketiga terjadi diatas 18 minggu atau pasca plasentasi. Pada tahap ini sel yang berkontak adalah korion leave, dan sinsitiotrofoblas villi pada darah maternal yang memicu mulai timbulnya gejala klinis. Villi plasenta pada penderita preeklamsia mempunyai karakteristik nekrotik fokal pada sinsitium, dengan kehilangan atau terjadi distorsi mikrovilli menggambarkan terjadinya apoptosis. Proses apoptosis sinsitiotrofoblas dengan pembesaran menggunakan mikroskop elektron pada plasenta berupa kehilangan mikrovilli dan edema membran permukaan. Proses apoptosis ini memegang peranan penting dalam perburukan prognosis preeklamsia (Redman and Sargent, 2009; Burton et al, 2009). Ketidakefektifan invasi sel sitotrofoblas pada arteri spiralis penderita preeklamsia diikuti kegagalan remodeling dari arteri spiralis dan desidua basalis mengakibatkan kondisi plasenta yang inadekuat sehingga menjadikan rendahnya oksigenasi yang mengalir melalui plasenta yang kemudian pada kondisi ini terjadi penurunan kadar faktor proangiogenik (PIGF, VEGF) dan peningkatan faktor anti-angiogenik (sFlt-1). Gangguan ketidakseimbangan tersebut mungkin berkaitan dengan jalur nitrit oksida, yang memberikan kontribusi substansial untuk mengontrol tekanan vaskular. Selain nitrit oksida, adanya stres oksidatif memacu pelepasan dari radikal bebas, lipid oksida, sitokin dan sFlt-1. Hal tersebut mengakibatkan disfungsi endotel dengan gangguan permeabilitas vaskular dan hipertensi (Agarwal and Karumanchi, 2011; Maynard and Karumanchi, 2011). Proses plasentasi pada mamalia membutuhkan faktor angiogenesis yang tinggi untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan nutrisi janin. Faktor proangiogenik dan antiangiogenik bekerjasama dalam perkembangan plasenta. Angiogenesis plasenta pada preeklamsia tidak efektif. Pada preeklamsia, sitotrofoblas gagal merubah ikatan cell-surface dan adhesion molecules. Perubahan yang abnormal dari sitotrofoblas merupakan deteksi awal yang akan menyebabkan iskemia plasenta. Berdasarkan perubahan tersebut pengukuran kadar angiogenik dalam sirkulasi dapat digunakan sebagai prediksi dan diagnosis preeklamsia lebih awal (Hagmann et al, 2012). Invasi trofoblas yang tidak adekuat menyebabkan reaksi inflamasi dan infark pada plasenta yang mengakibatkan disfungsi endotel yang akan memacu pelepasan substansi toksik, apoptosis, radikal bebas, dan inflamasi sistemik (lihat gambar 1). Trofoblas pada preeklamsia mengalami maltransformasi saat menginvasi arteri spiralis, hal tersebut menyebabkan abnormalitas plasenta dimana invasi sitotrofoblas pada arteri terbatas tidak sampai endotel, sangat dangkal, dan tidak menyebar. Diferensiasi abnormal plasenta ini merupakan awal hipoksia yang pada akhirnya menyebabkan iskemia plasenta. Abnormalitas plasenta sebagai akibat kegagalan invasi trofoblas dan remodeling arteri spiralis uterus menyebabkan pelepasan beberapa faktor antiangiogenik tersekresi ke sirkulasi maternal dan mencapai puncaknya pada gejala klinis preeklamsia dan komplikasinya yang dikenal dengan sindroma maternal (Serrano, 2006, Hladunewich et al, 2007). Gambar 1. Mekanisme perkembangan plasenta pada Patogenesis Preeklamsia (Serrano, 2006) Proses terjadinya preeklamsia diawali tahap pertama yaitu tahap asimtomatik yang ditandai perkembangan plasenta yang abnormal selama trimester pertama yang mengakibatkan insufisiensi plasenta dan pelepasan beberapa material plasenta ke dalam sirkulasi maternal. Tahap kedua yaitu tahap simtomatik atau sindrom maternal yang ditandai oleh hipertensi, gangguan ginjal, dan proteinuria dan hal ini akan dapat berkembang menjadi HELLP syndrome, eklamsia dan komplikasi lainnya (Creasy et al, 2014; Roberts and Hubel, 2009). Gambar 2. Teori Preeklamsia terjadi dalam 2 tahapan (Redman and Sargent, 2009) Selain ketidakseimbangan faktor angiogenik dan faktor antiangiogenik, peranan faktor genetik, imunologi, nutrisi, metabolik dan lingkungan berpengaruh di dalam patogenesis preeklamsia. Peranan masing-masing faktor tersebut disertai pembuktian melalui hasil penelitian yang juga mengungkap patogenesis preeklamsia sebagai sindroma multifaktorial (Mateusz et al, 2009; Cunningham et al, 2014). 2. 2. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) merupakan faktor terpenting yang mendorong tejadinya diferensiasi sel-sel mesenkimal dalam inti villi menjadi sel-sel punca (stem cells) hemangioblastik. Cara kerja VEGF melalui dua reseptor, yaitu Fms-like tyrosine kinase-1 (FLT-1) dan kinase insert domain region (KDR). VEGF diekspresikan oleh sel-sel sitotrofoblas pada minggu pertama kehamilan, dimana sel hemangiogenik menunjukan imunoreaktif paling kuat terhadap KDR. Pada hewan coba mencit dimana VEGF atau KDR dibuat tidak aktif (knocked-out) terjadi kegagalan untuk menginisiasi vaskulogenesis. Sinyal parakrin dapat menjelaskan keterkaitan gugus (cluster) hemangioblastik menjadi epitelium trofoblas. Lebih lanjut ekspresi VEGF pada sel-sel sitotrofoblas berkurang, sedangkan pada makrofag vili dan sel mesenkimal menjadi imunopositif kuat. VEGF merupakan mitogen sel endotelial yang kuat, dan ini mendorong remodeling angiogenik pada awal pembentukan pembuluh darah, merangsang pembentukan hubungan kapiler dalam inti mesenkimal villi (Burton et al, 2009). VEGF merupakan famili angiogenic growth factor yang berperan penting dalam pengaturan pada perubahan-perubahan yang terjadi di plasenta tahap awal. Famili VEGF terdiri dari VEGF-A, PlGF, VEGF-B, VEGF-C, dan VEGF-D (lihat gambar 3) dengan reseptornya yang terdiri dari VEGFR-1 (disebut juga FLT-1), VEGFR-2 (disebut juga KDR pada manusia atau fetal liver kinase/Flk pada mencit), VEGFR-3 (FLT-4) dan juga co-reseptor seperti NRP-1 (neuropilin-1) dan NRP-2. Gen VEGF-A diketahui terdapat pada kromosom 6p12-p21.1 dan terdapat 8 ekson yang dipisahkan oleh 7 intron. Pemecahan (splicing) ekson menghasilkan 6 bentuk isoform VEGF-A yaitu VEGF-A 121, VEGF-A 145, VEGF-A 165, VEGF-A 183, VEGF-A 189, dan VEGF-A 206 yang masing-masing mempunyai jumlah asam amino 121, 145,165, 183, 189, dan 206 buah. Mediasi oleh VEGF-A memicu berbagai fungsi sel endotel. VEGF A memicu terjadinya angiogenesis, menginduksi perkembangan sel endotel pembuluh darah, mengurangi apoptosis, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, juga menyebabkan vasodilatasi melalui jalur nitrit oksida. Gambar 3. Famili VEGF dan reseptor; fungsi dan interaksi (Andraweera et al, 2011) Keberhasilan implantasi tergantung pada pengkembangan fungsional embrio yang sehat selamat periode preimplantasi, ekspresi mRNA VEGF-A terdeteksi sejak oosit yang belum dibuahi hingga stadium blastokis dan protein VEGF-A sudah terdeteksi sejak stadium 3-cell sampai dengan stadium blastokis pada embrio manusia akan tetapi pengetahuan tentang peran family VEGF dalam preimplantasi hingga saat ini masih terbatas. Implantasi merupakan proses kompleks dimana perkembangan dimulai saat kontak embrio pada endometrium maternal yang kemudian menginisiasi perkembangan plasenta, VEGF-A endometrium merupakan molekul penting dalam proses implantasi. Varian VEGF-A yang terutama diekspresikan pada endometrium yaitu VEGF-A 121 dan VEGF-A 165. Plasenta selama kehamilan mengekspresikan VEGF-A, hingga saat ini data terkait famili VEGF lainnya selama kehamilan masih terbatas (Andraweera et al, 2011). Pengaturan VEGF dan PlGF dipengaruhi konsentrasi oksigen lokal, hal ini yang menjadi perhatian penelitian saat ini dimana oksigen berperan sebagai pengatur dalam perkembangan plasenta. Pengaturan VEGF terjadi saat tahap transkipsi dan juga melalui stabilitas mRNA, dengan konsentrasi rendah oksigen yang merangsang ekspresi fibroblas plasenta. Secara luas diakui bahwa perkembangan plasenta dibawah pengaruh konsentrasi rendah oksigen selama trimester pertama dalam ketiadaan sirkulasi maternal yang signifikan, keadaan ini yang diharapkan mendorong terjadinya vaskulogenesis dan angiogenesis (Burton et al, 2009). VEGF merupakan sitokin multifaktorial yang berperan dalam angiogenesis secara in vivo. VEGF dapat ditemukan pada sel yang berbeda, contohnya seperti otot polos, sel endotel, monosit/makrofag, dan polymorphonuclear neutrophils (PMNs). Faktor tersebut sangat penting dalam stimulasi vaskulogenesis uteroplasenta. VEGF yang terikat dengan sFlt-1 akan menginduksi kemotaksis monosit dan memodulasi migrasi PMN trans-endotelial dan aktivasinya. SFlt-1 hanya ditemukan pada sirkulasi kehamilan sehingga pada wanita yang tidak hamil maupun pria tidak akan ditemukan sFlt-1 di darahnya (Levine et al, 2006; Serrano, 2006) Beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa pasien dengan preeklamsia mengalami peningkatan faktor antiangiogenik dan penurunan faktor proangiogenik dibandingkan kehamilan normal. VEGF menginduksi terjadinya vaskulogenesis dan angiogenesis serta berperan penting dalam proliferasi sel endotel. Inaktivasi VEGF dapat menyebabkan pengaruh letal pada embrionik dan defek vaskular pada plasenta. Penurunan kadar VEGF akibat ikatan dengan reseptornya dalam sirkulasi meningkat menunjukkan ketidakseimbangan angiogenik dan antiangiogenik yang selanjutnya memicu disfungsi endotel (Agarwal and Karumanchi, 2011). 2. 3. Soluble Fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1) Sinsitiotrofoblas mensekresi berbagai faktor bioaktif yang secara signifikan mempengaruhi terjadinya preeklamsia. Salah satu faktor bioaktif tersebut merupakan reseptor yang larut (soluble receptor) untuk VEGF, yaitu sVEGFR-1 atau disebut juga sFlt-1. Jika sFlt-1 dalam jumlah yang banyak, misalnya pada preeklamsia, sFlt-1 akan berikatan dan menginaktifkan VEGF yang merupakan faktor yang berperan penting dalam pertahanan endotelium sehingga lebih lanjut akan memicu disfungsi endotelial sistemik. Keadaan hipoksia akan merangsang pembentukan sFlt-1 dari plasenta. Plasentasi yang buruk akan menyebabkan perfusi uteroplasental yang buruk dan hipoksia, kemudian akan merangsang produksi sFlt-1 yang menyebabkan sindroma maternal. Hipoksia merupakan salah satu pencetus dihasilkannya sFlt-1 dari plasenta preeklamsia, akan tetapi mekanisme inflamasi juga mempunyai peranan (Redman and Sargent, 2009). Ekspresi sFlt-1 di plasenta meningkat pada kasus preeklamsia dan berhubungan dengan peningkatan kadar serum sFlt-1 pada sirkulasi maternal. Kadar sFlt-1 dalam sirkulasi meningkat beberapa minggu sebelum onset klinis preeklamsia dan berhubungan dengan derajat keparahan, kadar sFlt-1 akan normal kembali beberapa hari setelah persalinan bersamaan dengan perbaikan klinis hipertensi dan proteinuria. Penurunan kadar sFlt-1 pada wanita hamil perokok dapat menjelaskan efek protektif terhadap preeklamsia, kemungkinan berhubungan dengan penurunan produksi sFlt-1 di villi plasenta. Teridentifikasinya sFlt-1 sebagai kunci penting dalam hubungan patologis plasenta dan kerusakan endotelial maternal diharapkan biomarker ini dapat menjadi pengembangan terapi yang lebih efektif (Maynard and Karumanchi, 2011). sFlt-1 merupakan varian reseptor VEGF yang kehilangan transmembran dan domain sitoplasmik. sFlt-1 secara kuantitas lebih tinggi dibandingkan normal pada plasenta sejak 5 minggu sebelum onset preeklamsia. Diyakini sebagai penyesuaian proses angiogenesis yang berikatan dengan VEGF dan PlGF dan menghambat pengaruh mitogenik dan homeostatik pada sel endotel. Pada penelitian dengan hewan coba mencit hamil yang disuntikkan sFlt-1 eksogen menunjukkan karakteristik gejala preeklamsia termasuk hipertensi, proteinuria dan endoteliosis glomerular. Penelitian lainnya pada hewan coba mencit-tidak hamil yang disuntikkan antibodi VEGF menunjukkan kerusakan endotelial glomerular dan proteinuria. Penelitian in vitro menunjukkan pemberian antibodi sFlt-1 eksogen dapat membalikkan kondisi antiangiogenik pada plasma darah manusia dengan preeklamsia. Pemberian inhibitor VEGF pada pasien kanker sebagai pengobatan kanker yang terkait angiogenesis menunjukkan hipertensi, proteinuria, kerusakkan endotel glomerular, peningkatan enzim hati, edema cerebral, dan leukoensefalopati posterior yang reversibel dimana gambaran tersebut ditemukan pada preeklamsia dan eklamsia (Agarwal and Karumanchi, 2011). Selama kehamilan normal terjadi kondisi proangiogenik, yaitu tingkat sFlt-1 adalah rendah sampai dengan akhir trimester kedua dan kadar PlGF adalah tinggi. Pada preeklamsia saat usia kehamilan bertambah, kadar sFlt-1 secara bertahap akan meningkat sehingga keseimbangan akan bergeser menjadi melemahkan PlGF. Peningkatan konsentrasi PlGF dan VEGF yang bersirkulasi menjadi rendah karena terikat oleh sFlt-1. Hal ini menyebabkan proses angiogenesis (lihat gambar 2) plasenta terganggu (Pennington et al, 2012; Xu et al, 2012). Gambar 4. Hubungan VEGF dan sFlt-1 dalam angiogenesis (Xu et al 2012) Pada preeklamsia, ketidakseimbangan antara faktor proangiogenik dan antiangiogenik telah lama diteliti. Faktor angiogenik yang berperan yaitu PlGF dan VEGF. Sedangkan faktor antiangiogenik yaitu sFlt-1 dan soluble Endoglin (sEng). Produksi Flt1 melalui sekresi trofoblas secara endogen menghasilkan potongan Flt-1 bersifat larut air yang disebut soluble Flt-1 (sFlt-1) yang dilepaskan ke sirkulasi. sFlt-1 adalah bentuk Flt-1 yang kehilangan domain sitoplasmik dan transmembran, tetapi masih memiliki domain-ligand-binding. Dengan demikian, tingginya kadar sFlt-1 dan rendahnya kadar PlGF dan VEGF dapat memprediksi kemungkinan berkembang menjadi preeklamsia. Protein antiangiogenik dalam sirkulasi yang beraksi sebagai reseptor dominan yang mengikat PlGF dan VEGF sehingga mencegah interaksi PlGF dan VEGF dengan reseptor permukaan sel endotelial dan menyebabkan disfungsi endotel (Maynard and Karumanchi, 2011). Penelitian lain dimana menghilangkan sFlt-1 secara ex vivo pada kasus preeklamsia pada usia kehamilan yang masih jauh dari aterm memberikan hasil penurunan kadar sFlt-1 disertai perbaikan proteinuria dan penurunan tekanan darah yang stabil tanpa didapatkan efek samping terhadap maternal maupun fetal yang bermakna (Thadhani et al, 2011). 2. 4. Peran VEGF pada Preeklamsia Vaskulogenesis dan angiogenesis merupakan dua proses yang penting dalam pembentukan sirkulasi utero-plasenta. Pada manusia pembentukan vaskular plasenta dimulai paling dini pada hari ke-21 post konsepsi dengan pembentukan batang (cord) hemangioblastik, kemudian tahap inisiasi vaskulogenesis ini diikuti fase pencabangan angiogenesis (hari ke-32 sampai minggu ke-25 post konsepsi) yang selama fase tersebut batang hemangioblastik berkembang menjadi cabang-cabang yang kaya pembuluh darah kapiler (capillary bed). Ekspresi VEGF-A, sFlt-1 dan KDR plasenta pada tahap ini sangat intens dan ekspresi PlGF pada tahap ini moderat. Selama pembentukan pembuluh-pembuluh darah awal, faktor angiogenik yang diperlukan pada permulaan angiogenesis disuplai oleh sel-sel sitotrofoblas, selanjutnya dengan bertambahnya umur kehamilan dan pematangan villi penambahan VEGF-A disuplai oleh sel stroma termasuk sel Hofbauer (makrofag feto-plasental). Pada penelitian in vitro membran korio-allantoik menunjukkan ikatan VEGF-A dengan Flt-1 dan KDR merangsang pembentukan cabang-cabang angiogenesis. VEGF-A pada saat invasi trofoblas diketahui perannya dalam merangsang aktivitas metalloproteinase sel endotel sehingga mengalami proliferasi dan migrasi sel endotel. Selama remodeling arteri spiralis, pada sel-sel natural killer (NK) uterus yang diisolasi di trimester pertama desidua mensekresi banyak faktor angiogenik termasuk VEGF-A. Sel NK dianggap sebagai sumber utama faktor angiogenik pada remodeling arteri spiralis (Andraweera et al, 2011). Seperti telah dijelaskan sebelumnya pada penelitian hewan coba mencittidak hamil yang disuntikkan antibodi VEGF menunjukkan kerusakan endotelial glomerular dan proteinuria. Sedangkan pada penelitian lainnya pemberian inhibitor VEGF pada pasien kanker sebagai pengobatan kanker yang terkait angiogenesis menunjukkan hipertensi, proteinuria, kerusakkan endotel glomerular, peningkatan enzim hati, edema cerebral, dan leukoensefalopati posterior yang reversibel dimana gambaran tersebut ditemukan pada preeklamsia dan eklamsia (Agarwal and Karumanchi, 2011). Proses angiogenesis feto-plasental selama kehamilan bersifat bifasik, pada trimester pertama angiogenesis ditandai dengan proses percabangan pembuluh darah kecil. Awal trimester kedua, pertambahan besar plasenta sesuai dengan proliferasi dari sel endotel. Berbeda dengan trimester pertama, proses angiogenesis pada trimester kedua dan ketiga tidak terjadi proses percabangan. Ketidakseimbangan antara faktor angiogenesis seperti VEGF dan PlGF dengan anti angiogenesis seperti sFlt-1, memainkan peran yang utama dalam patogenesis terjadinya preeklamsia. Faktor angiogenik VEGF berfungsi penting untuk keefektifan perkembangan plasenta dan sel endotel. Penelitian yang ada memperlihatkan bahwa sFlt-1, merupakan reseptor soluble VEGFR-1 mempunyai pengaruh antiangiogenik, meningkat kadarnya di plasenta dan serum pada kehamilan dengan preeklamsia. Pada preeklamsia, peningkatan konsentrasi sFlt-1 diikuti dengan penurunan kadar VEGF bebas dalam sirkulasi maternal (Chung et al, 2012; Furaya et al, 2011). Hasil beberapa penelitian memperlihatkan peningkatan kadar sFlt-1 dan diikuti dengan penurunan kadar PlGF bebas pada serum pasien dengan preeklamsia sebagai hasil adanya disfungsi endotel. Pada hasil penelitianya menunjukkan bahwa preeklamsia berhubungan dengan peningkatan kadar sFlt-1 mulai dari 5 minggu sebelum gejala klinis terlihat dan juga penurunan faktor angiogenik dari usia kehamilan 13-16 minggu (Holston et al, 2009). 2. 5. Terapi VEGF 121 Rekombinan Strategi terapi preeklamsia berdasarkan ketidakseimbangan angiogenik dikembangkan. Penilitian pada hewan coba tikus model preeklamsia dengan pemberian VEGF-121 menunjukkan perbaikan GFR dan fungsi endotelial, juga menurunkan tekanan darah yang berhubungan kondisi iskemia plasenta dan ekspresi sFlt-1 yang tinggi (Agarwal and Karumanchi, 2011). Aktivasi reseptor tersebut memicu sinyal melalui jalur VEGF – dependent yang akan mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah, pertumbuhan endotelial sel, vasodilatasi, dan angiogenesis. Ekspresi sVEGFR-1 di plasenta dan kadar sVEGFR-1 di sirkulasi maternal meningkat pada preeklamsia, dan peningkatan tersebut lebih dahulu sebelum manifestasi klinis preeklamsia dan berhubungan dengan derajat perburukan. VEGF 121 merupakan salah satu bentuk VEGF yang merupakan polipeptida asam difus (diffusible acidic polypeptide) yang mempunyai ikatan kuat terhadap kedua reseptor kinase tersebut. Polipeptida VEGF 121 terbukti efektif dalam terapi vaskular yang secara karakteristik terdapat defisiensi angiogenesis. Terbukti VEGF 121 memperbaiki fungsi vaskular dan aliran darah pada pasien dengan penyakit pembuluh darah arteri perifer, memperbaiki mikrovaskular pada penyakit ginjal, dan mencegah penyakit ginjal sekunder pada keadaan cedera ginjal akut. Pada penelitian hewan coba VEGF 121 melindungi infark ginjal pada keadaan mikroangiopati trombotik. VEGF 121 dianggap dapat memperbaiki sindroma yang menyerupai preeklamsia (preeclampsia-like syndrome) pada hewan coba yang diinduksi dengan sVEGFR-1 dalam jumlah besar (overexpression). Pada penelitian menggunakan VEGF 121 rekombinan yang digunakan berasal dari Escherichia coli pada hewan coba menunjukkan hasil penurunan tekanan darah arterial dan mencegah onset hipertensi pada kehamilan lanjut. Pemberian secara infus kontinyu juga memperbaiki disfungsi endotelial, tampak pada respon kontraktilitas yang lebih rendah terhadap agonis tromboksan A2 dan menunjukkan respon vasorelaksasi lebih tinggi terhadap pemberian nitrit oksida (Mateus et al, 2011). Beberapa penelitian lainnya tentang pemberian VEGF 121 pada hewan coba menunjukkan hasil signifikan yang serupa antara lain menurunkan tekanan darah sistolik dan mengurangi kerusakan ginjal. VEGF 121 juga memperbaiki laju filtrasi glomerulus dan fungsi endotel yang mengalami penurunan tekanan perfusi uterus (RUPP/Reduction Uterine Perfusion Pressure). Adapun terdapat perbedaan dalam cara pemberian dan penggunaan hewan coba akan tetapi menunjukkan hasil yang memperkuat bukti pengaruh pemberian VEGF 121. Mekanisme yang menjelaskan pengaruh pemberian VEGF 121 yaitu inhibisi sVEGFR-1 atau disebut juga sFlt-1 dalam sirkulasi melalui pengikatan VEGF dan PlGF pada permukaan endotel reseptornya yaitu sVEFGR-1 dan sVEGFR-2, juga secara langsung efek vasodilatasi dari VEGF eksogen. Hasil yang menunjukkan respon berbeda kemungkinan dipengaruhi faktor lainnya seperti genetik yang perlu diteliti lebih lanjut. (Li et al, 2007; Bergmann et al, 2010; Gilbert et al, 2010; Mateus et al, 2011; Woods et al, 2011) 2. 6. Preeklamsia pada mencit (Mus musculus) Penggunaan hewan coba pada model preeklamsia menunjukkan beberapa kemajuan terutama dalam menjelaskan patogenesis dan juga pengembangan modalitas terapi yang masih perlu diteliti lebih lanjut. Teori keseimbangan angiogenik dalam perkembangan preeklamsia merupakan salah satu penggunaan hewan coba dalam model penelitian translasional yang paling sukses (Suzuki et al, 2014). Human Leukocyte Antigen-G (HLA-G) merupakan molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas 1b non klasik, bersifat monomorfik dan memiliki kemampuan menghambat aktivitas sel Natural Killer (NK) dan Large Granular Lymphocytes (LGL) desidua yang berfungsi melawan sel trofoblas sehingga HLA-G mempunyai fungsi melindungi trofoblas dari pengaruh imun maternal. Selama kehamilan trofoblas mempertahankan peningkatan regulasi ekspresi HLA-G sehingga kerja trofoblas dalam menginvasi desidua sistem vaskuler maternal berjalan baik. Jika HLA-G tidak diekspresikan atau menurun, kemampuan trofoblas akan berkurang dalam menginvasi uterus (dianggap non-self). Jika trofoblas tidak menginvasi arteri maternal dengan baik maka aliran uteroplasenter menurun dan terjadi hipoksia plasenta yang menyebabkan preeklamsia (Playfair and Chain, 2009; Roth, 2006) Gen kelas 1 lokus MHC baik pada manusia maupun pada tikus mengkode sejumlah besar gen (sekitar 50) yang memberi kode protein dengan struktur mirip kelas I, disebut gen kelas Ib. Gen tersebut meliputi E, F, G, H, J, dan X pada manusia dan Qa, TIa pada tikus. Fungsi sejumlah besar gen ini belum diketahui, tetapi beberapa dapat berperan dalam mengendalikan imunitas bawaan, kemungkinan dengan mengatur aktivasi sel NK. Pada mencit, Qa-2 produk gen Preeimplantation embryonic development (Ped) merupakan protein MHC kelas Ib yang merupakan homolog dari HLA-G pada manusia. Embrio mencit yang mengekspresikan Qa-2 menghasilkan kecepatan pembelahan yang lebih nyata, survival sampai aterm dan menghasilkan berat badan lahir yang baik dan sebaliknya apabila mencit tidak mengekspresikan Qa-2 maka akan terjadi keguguran, kematian janin mencit, persalinan prematur dan berat lahir janin mencit yang rendah. Mencit yang mempunyai kemiripan dengan manusia kemudian dikembangkan untuk penelitian dengan cara diberikan perlakuan dengan anti Qa-2 sehingga menjadi hewan coba model preeklamsia (Playfair and Chain, 2009; Hoffmann, 2008) 2.7. VCAM (Vascular Cell Adhesion Molecule) Vascular Cell Adhesion Molecule (VCAM) adalah grup molekul adhesi imunoglobulin, protein reseptor untuk proses marginalisasi dan pergerakan lekosit mononuklear-endotelium. Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel akan diekspresikan molekul adhesi, seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam supernatan kultur sel endotel yang diinkubasi dengan serum penderita preeklamsia, tetapi tidak dijumpai peningkatan molekul adhesi lainnya seperti ICAM-1 dan Eselektin (Sulistyowati et al, 2010). Oleh karena itu diduga VCAM-1 mempunyai peranan pada preeklamsia. Kadar VCAM-1 pada wanita preeklamsia lebih tinggi dibandingkan dengan wanita hamil normal. VCAM-1 merupakan indikasi terdapatnya inflamasi pada preklamsia. Inflamasi itu sendiri disebabkan oleh kerusakan endotel, sehingga VCAM-1 dapat dijadikan penanda kerusakan endotel. Peningkatan VCAM-1 menunjukkan kemungkinan adanya perubahan aktivitas endotel, dengan demikian terdapat kemungkinan adanya kerusakan endotel pada preeklamsia. Peningkatan VCAM-1 menunjukkan adanya aktivasi sel endotel (Anwar Anita et al, 2010). VCAM-1 adalah kelompok imunoglobulin molekul adhesi yang merupakan reseptor protein, molekul adhesi vaskuler pada manusia mempunyai berat 100-110 kDa, terdiri dari 715 asam amino (aa) tipe 1 transmembran glikoprotein dengan karakteristik adanya tujuh tipe immunoglobulin C2. Pada keadaan normal VCAM-1 terekspresi dalam kadar rendah yang diinduksi beberapa sitokin (IL-1, TNF α, IL-4 dan IL-13). Saat terinduksi VCAM- 1 memegang peranan penting dalam migrasi lekosit yang akan mengekspresikan VLA-4, bagaimanapun peranan VCAM-1 tergantung dari status ekspresi dan aktivasi semua molekul adhesi. VCAM-1 dan ICAM-1 memfasilitasi penempelan leukosit ke sel endotel dan perpindahan leukosit ke dalam intima kemudian menimbulkan penumpukan leukosit pada dinding pembuluh darah. Proses migrasi monosit di bagi ke dalam 4 tahap (Santoso, 2009; Stephen, 2008), yaitu: 1. Tethering dan rolling monosit yang bersirkulasi ke sel endotel; Monosit memasuki area yang cedera, kemudian akan menempel pada endotel dengan longgar, bersifat sementara, dan reversibel pada permukaan sel endotel dalam proses yang disebut rolling. 2. Ekspresi molekul adhesi monosit (trigerring); Tahap ini bertumpang tindih dengan tahap 1 dan 3. Ikatan E dan P selectin pada permukaan monosit akan memulai trigerring. Pada tahap ini terjadi aktivasi monosit untuk mengekspresikan integrin, yang akan menyebabkan suatu ikatan yang kuat antara monosit dan endotel. Monosit mengekspresikan integrin β-1 dan β-2 yang akan berinteraksi dengan ICAM-1, ICAM-2 dan VCAM-1. 3. Ikatan kuat monosit dengan sel endotel (firm attachment); monosit terikat dengan kuat pada endotel. Tahap ini diperantai oleh interaksi integrin monosit dengan molekul adhesi immunoglobulin superfamili dari endotel, termasuk interaksi integrin β=2 (CD11/CD18) dengan ICAM-1 dan ICAM-2, integrin β1α4 dengan VCAM-1. Interaksi yang diperantai integrin ini mempunyai kemampuan mengirim tanda terhadap monosit dan memulai reorganisasi dan penyebaran sitoskleton dalam sitoplasma, sehingga memungkinkan pergerakan ke depan dan melepaskan ikatan yang ditinggalkan sedemikian rupa sehingga mencapai sambungan interselular endotel. 4. Migrasi atau diapedesis monosit antara sel endotel menuju ruangan subendothelial; Monosit bergerak keluar diantara sambungan endotel yang erat dengan gerakan amuboid yang disebut migrasi transendotelial atau transmigrasi. Langkah ini diperantai platelet cell adhesion molecules (PECAM), yaitu suatu molekul adhesi kelompok superfamili immunoglobulin yang diekspresikan oleh monosit dan endotel pada bagian sambungan lateral, melalui ikatan domain amino terminal, kemudian monosit akan melewati lamina basalis yang mengandung kolagen, laminin, fibronektin dan heparin sulfat yang berisi glikosaminoglikan dengan perantaraan PECAM dan enzim protease yang dikeluarkan oleh monosit. Mekanisme molekular yang mengatur remodeling arteri spiralis belum dapat dijelaskan secara pasti, akan tetapi selama proses invasi sitotrofoblas kehilangan kemampuan untuk membelah dan sel-sel yang bergabung diantara sel-sel endotel maternal kehilangan karakteristik epitelial miliknya dan mendapatkan fenotip pseudovaskulogenesis. endotelial dalam Perubahan-perubahan proses yang transisi terjadi yang ini dikenal termasuk perubahan ekspresi molekul sel adhesi (cell adhesion molecules). Selama diferensiasi pengaturan oleh sitotrofoblas menurunkan (down-regulate) molekulmolekul adhesi yang memiliki karakteristik epithelial antara lain integrin α6β4, α5β6, dan epithelial adherin. Sebaliknya pengaturan oleh sitotrofoblas meningkatkan (up-regulate) molekul-molekul yang mengekspresikan sel-sel endotel antara lain integrin αvβ3, α1β1, vascular endothelial cadherin, vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan platelet endothelial cell adhesion molecule-1 (PECAM-1). Pada penelitian in vitro VEGF-A juga diketahui merangsang ekspresi ICAM-1 dan VCAM-1 pada sel endotel pembuluh darah vena umbilikal manusia melalui aktivasi nuclear kappa B. Penelitian lainnya secara in vivo VEGF A menginduksi rekruitmen sel mononuklear melalui jalur yang di mediasi oleh VCAM-1 dan PECAM-1 (Lucerna et al, 2007; Andraweera et al, 2012) . A B Gambar 5. Ekspresi VCAM-1 pada mencit hamil normal (A) dan Ekspresi VCAM-1 pada mencit preeklamsia (B) ditunjukkan oleh tanda panah (Sulistyowati et al, 2010) Nidasi - Plasentasi Konsepsi Invasi sel trofoblas yang normal pada arteri spiralis Pro Angiogenik & Anti Angiogenik di Plasenta Anti Angiogenik Pro Angiogenik sFlt-1↓ VEGF ↑ Endotel Normal Ekspresi VCAM-1 ê Plasenta Kehamilan Normal Gambar 6. Landasan Teori Hubungan Faktor Pro Angiogenik & Antiangiogenik dengan Ekspresi VCAM-1 pada kehamilan normal 2.8. Kerangka Konsep Mencit model preeklamsia Invasi sel trofoblas yang tidak adekuat pada arteri spiralis Ketidakseimbangan Pro Angiogenik & Anti Angiogenik Anti Angiogenik Pro Angiogenik sFlt-1↑ di Plasenta VEGF↓ di Plasenta Stress oksidatif VEGF 121 REKOMBINAN Disfungsi Endotel Ekspresi VCAM-1 é di Plasenta Anti Angiogenik Pro Angiogenik sFlt-1↓ di Plasenta VEGF↑ di Plasenta Perbaikan Disfungsi endotel Sindroma Preeklamsia Ekspresi VCAM-1 ê di Plasenta Keterangan: : Bahan dasar penelitian : Mengakibatkan : Komponen yang diperiksa : Perlakuan : Komponen Perlakuan : Efek yang diharapkan : Efek pencegahan 2.9. Penjelasan Kerangka Konsep a. Perkembangan plasenta yang abnormal (infark, sklerosis) mengakibatkan insufisiensi plasenta dan pelepasan beberapa material ke dalam sirkulasi maternal sehingga terjadi invasi endovaskuler tidak adekuat oleh sitotrofoblas. Invasi tersebut diikuti kegagalan remodeling dari arteri spiralis dan desidua basalis. b. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya oksigenasi yang mengalir melalui plasenta. Pada kondisi ini terjadi penurunan kadar faktor proangiogenik (VEGF) dan peningkatan faktor anti-angiogenik (sFlt-1), juga terjadi apoptosis, pelepasan radikal bebas, lipid oksida, dan sitokin. Yang mengakibatkan vasokontriksi, peningkatan tekanan darah, dan disfungsi endotel. c. Proses angiogenesis plasenta pada preeklamsia tidak efektif. Disebabkan karena sFlt-1 mempunyai afinitas yang lebih kuat terhadap VEGF sehingga menyebabkan jumlah VEGF bebas menurun di sirkulasi maternal. Selama kehamilan normal, terjadi kondisi proangiogenik, yaitu tingkat sFlt-1 menurun dan VEGF menigkat. d. Sebaliknya pada saat kehamilan preeklamsia, tingkat sFlt-1 secara bertahap akan meningkat sehingga keseimbangan akan bergeser menjadi melemahkan faktor proangiogenik, yang menyebabkan konsentrasi VEGF menjadi rendah. Penurunan faktor proangiogenik dan disfungsi endotel akibat preeklamsia e. Dengan pemberian VEGF 121 rekombinan yang merupakan protein proangiogenesis, berperan terhadap proses vaskulogenesis dan angiogenesis. Protein tersebut mempunyai reseptor di dinding endotel VEGFR-1 yang dalam bentuk terlarutnya yaitu sVEGR-1 atau sFlt-1 sehingga memicu proses angiogenesis. f. VEGF 121 rekombinan yang terikat dengan sFlt-1 dapat menginduksi kemotaksis monosit dan memodulasi migrasi PMN trans-endotelial dan aktivasinya. Sehingga VEGF rekombinan dapat berfungsi untuk menginduksi terjadinya angiogenesis dan proliferasi sel endotel serta berperang penting dalam proses vaskulogenesis. g. Pemberian VEGF 121 rekombinan diharapkan dapat menyebabkan perbaikan kondisi endotel. Ditandai dengan penurunan ekspresi VCAM-1 di plasenta dibandingkan tanpa pemberian VEGF 121 dimana terjadi peningkatan ekspresi VCAM-1 di plasenta. 2. 10. Hipotesis Ada pengaruh pemberian VEGF 121 rekombinan terhadap ekspresi VCAM-1 di plasenta mencit model preeklamsia yaitu penurunan ekspresi VCAM-1.