BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Preeklamsia
2. 1. 1. Definisi
Preeklamsia didefinisikan hipertensi dalam kehamilan dimana tekanan
darah sistolik ≥140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang
diukur dua kali dengan selang waktu 4-6 jam, disertai proteinuria (kadar protein
≥ 30 mg/dl urin atau ≥ 300 mg/24 jam urin tamping atau ≥+1 pemeriksaan
urinalisis atau dipstick) yang didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu dan
semua kelainan ini akan menghilang sebelum 6 minggu paska persalinan (Wang
et al, 2007; Creasy et al, 2014; Cunningham et al, 2014).
Lebih lanjut subklasifikasi preeklamsia dapat dibagi menjadi preeklamsia
awitan dini (early-onset) dan preeklamsia awitan lambat (late-onset) berdasarkan
waktu terjadinya, dapat juga dibagi menjadi preeklamsia ringan dan preeklamsia
berat berdasarkan manifestasi klinis dan laboratoris serta terdapatnya komplikasi.
Salah satu komplikasi preeklamsia yaitu hemolysis, elevated liver enzyme and
low platelet syndrome (HELLP syndrome), yang ditemukan pada 20% kasus
preeklamsia berat (Marie-Therese et al, 2008).
Spektrum preeklamsia sangat luas dan bervariasi, untuk kepentingan
klinis dibagi menjadi preeklamsia ringan dan preeklamsia berat akan tetapi dapat
menyebabkan pemahaman yang tidak tepat. Pendekatan pada kasus hipertensi
dalam kehamilan tanpa proteinuria belum jelas akan tetapi pemantauan ketat
berkala dianggap penting. Pemantauan juga pada temuan kasus hipertensi
gestasional yang masih jauh dari usia kehamilan cukup bulan. Sekitar 10%
dengan temuan klinis selain hipertensi dan atau temuan histologis yang
mendukung manifestasi preeklamsia ditemukan proteinuria minimal atau tidak
ada proteinuria, didapatkan 20% kasus eklamsia tanpa proteinuria. Eklamsia
yang merupakan komplikasi didapatkan sekitar 2% kasus preeklamsia (Wang et
al, 2009).
Komplikasi maternal akut preeklamsia antara lain eklamsia, stroke,
solusio plasenta, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ruptur hati dan
perdarahan, edema paru, gagal ginjal akut, dan kematian. Sedangkan komplikasi
maternal kronis preeklamsia antara lain hipertensi kronis, diabetes mellitus,
penyakit jantung coroner dan defisit neurologis. Komplikasi perinatal antara lain
still birth, prematuritas, petumbuhan janin terhambat, komplikasi neonatal dan
sekuelnya terutama terkait prematuritas. Subklasifikasi preeklamsia dapat juga
berdasarkan derajat beratnya karakteristik maternal dan fetal. Sindroma
preeklamsia meluas tidak hanya timbulnya hipertensi disertai timbulnya
proteinuria, tetapi keterlibatan maternal dan fetal seperti insufisiensi renal,
disfungsi hepatoseluler ataupun pertumbuhan janin terhambat. Definisi
preeklamsia dapat digunakan dalam praktik klinis dimana penilaian klinis
penting dalam penatalaksanaan, ataupun juga dalam penelitian dimana kriteria
objektif tergantung peneliti. Dalam penelitian ini tidak digunakan definisi klasik
preeklamsia (Staff et al, 2013).
Faktor risiko terjadinya preeklamsia antara lain nulipara (multipara
dengan pasangan baru mempunyai risiko yang sama seperi nuli para), hipertensi
kronis, diabetes mellitus, penyakit ginjal, obesitas, kondisi hiperkoagulitas
(misalnya sindroma anti fosfolipid), usia tua maternal dan kondisi yang
menyebabkan bertambahnya massa plasenta (misalnya kehamilan multifetus dan
mola
hidatidosa).
Riwayat
preeklamsia
pada
kehamilan
sebelumnya
meningkatkan risiko berulangnya preeklamsia. Pada kebanyakan kasus tidak
ditemukan riwayat keluarga, akan tetapi riwayat keluarga derajat pertama
meningkatkan 2 sampai 4 kali lipat risiko terjadinya preeklamsia (Wang et al,
2009)
Penelitian epidemiologi mendapatkan 20% perempuan dengan riwayat
preeklamsia berkembang menjadi hipertensi atau terdapat mikroalbuminuria
hingga 7 tahun
setelahnya dibandingkan hanya 2% pada perempuan tanpa
riwayat preeklamsia. Risiko jangka panjang terhadap penyakit kardiovaskular
dan serebrovaskular meningkat dua kali lipat pada preeklamsia dan hipertensi
gestasional. Preeklamsia berat, rekurensi preeklamsia, preeklamsia disertai
persalinan preterm, dan preeklamsia disertai pertumbuhan janin terhambat
mempunyai hubungan kuat terjadinya penyakit kardiovaskular di kemudian hari.
Preeklamsia dan penyakit kardiovaskular mempunyai faktor risiko yang sama
antara lain hipertensi kronis, diabetes, obesitas, penyakit ginjal, dan sindroma
metabolik. Penelitian lainnya menunjukkan preeklamsia sebagai faktor risiko
penyakit gagal ginjal (end stage renal disease) di kemudian hari (Wang et al,
2009)
Pada penelitian menggunakan hewan coba yang diinduksi sFlt-1 eksogen
memperlihatkan gejala preeklamsia seperti hipertensi, proteinuria, dan kerusakan
ginjal. Sedangkan pada manusia kadar sFlt-1 juga terbukti meningkat pada pasien
preeklamsia, dan kadarnya menurun hingga normal kembali setelah melahirkan.
Berbeda dengan dengan sFlt-1, kadar PlGF dan VEGF dalam sirkulasi justru
menurun pada preeklamsia (Bergmann et al, 2010; Maynard and Karumanchi,
2011).
Berbagai pendekatan untuk prediksi dan skrining preeklamsia terutama
pada awal kehamilan seiring dengan kemajuan penelitian yang mengungkap
patogenesis preeklamsia. Beberapa penanda biologis (biomarker) yang
digunakan sebagai prediktor dan kemajuan sonografi menilai gangguan perfusi
dengan doppler velocimetry diharapkan menjadi pengembangan modalitas
tatalaksana preeklamsia (Szarka et al, 2010; Lorenzo et al, 2012)
2. 1. 2. Patogenesis
Sebelum terjadi proses implantasi, zona pelusida menghilang dan
blastokis menyentuh permukaan endometrium. Setelah terjadi erosi ringan pada
sel-sel epitel permukaan endometrium, trofoblas terbenam dalam endometrium,
dan blastokis seluruhnya melekat berada dalam endometrium. Melekatnya
trofektoderm blastokis ke permukaan endometrium melalui proses aposisi dan
adhesi. Jaringan kapiler di bagian superfisial endometrium diinvasi oleh
sitotrofoblas, selanjutnya invasi berlanjut mencapai arteri spiralis. Saat
implantasi, arteri spiralis memperoleh sebuah lapisan sel di dalam endotel yang
berasal dari invasi sitotrofoblas. Selama invasi vaskular ini terjadi perubahan
tunika muskularis pembuluh darah sehingga struktur ini menjadi tidak dapat
dikenali dan kehilangan lapisan ototnya pada pembuluh darah tersebut.
Konsekuensi proses alamiah tersebut adalah diameter arteri spiralis lebih lebar
karena tanpa lapisan otot. Proses tersebut merupakan suatu mekanisme adaptasi
agar aliran darah dari maternal ke janin optimal, proses ini disebut remodeling
arteri spiralis. Lumen arteri spiralis diinvasi oleh sitotrofoblas sepanjang
beberapa sentimeter memasuki miometrium, berbagai perubahan vaskular ini
tidak dijumpai pada desidua parietalis. Trofoblas dapat ditemukan di semua arteri
spiralis desidua viseralis pada trimester kedua. (Pribadi Adhi et al, 2015;
Warrington et al, 2013).
Darah maternal selanjutnya memasuki ruang antar-vilus dan berkontak
secara langsung dengan sinsitiotrofoblas. Seiring dengan berlanjutnya invasi
endometrium oleh trofoblas, arteri-arteri spiralis desidua terbuka membentuk
lakuna yang segera terisi darah maternal. Bentuk seperti ini dinamakan sistem
hemokorionendotelial, yaitu kontak antara darah maternal dan sinsitium
merupakan sarana terjadinya transfer nutrisi, oksigen, serta hasil katabolisme
janin dan plasenta. Bila invasi trofoblas tidak terjadi atau kurang sempurna maka
terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis. Hal ini mengakibatkan darah menuju
lakuna hemokorionendotelial mengalir kurang optimal dan bila dalam jangka
waktu lama mengakibatkan hipoksia plasenta. Hipoksia dalam jangka lama
menyebabkan kerusakan endotel pada plasenta yang menambah berat hipoksia.
Produk dari kerusakan vaskuler selanjutnya akan terlepas dan memasuki darah
maternal yang memicu gejala klinis preeklamsia (Pribadi Adhi et al, 2015;
Hladunewich et al, 2007).
Fungsi endotel sangat penting dalam memelihara aliran darah dan
kapasitas antitrombotik, sebab endotel melepaskan faktor humoral yang
mengontrol relaksasi dan kontraksi otot polos vaskuler, trombosis dan
fibrinolisis, serta aktivasi dan inhibisi platelet. Endotel berkontribusi terhadap
kontrol tekanan darah, aliran darah dan patensi pembuluh darah. Bila endotel
mengalami kerusakan, maka jaringan subendotel akan terpapar, hal ini akan
merangsang adhesi dan agregasi trombosit serta mengaktifkan faktor-faktor
pembekuan darah serta juga menghasilkan zat vasokonstriktor yang pada
akhirnya
menyebabkan
hipertensi.
Bukti
terjadinya
kerusakan
endotel
ditunjukkan oleh lesi morfologik yang merupakan karakteristik dari preeklamsia
yaitu endoteliosis ginjal dan perubahan struktur di alas plasenta. Perubahan
endotel lebih digambarkan sebagai disfungsi atau aktivasi (suatu fase perubahan
diferensiasi sel endotel sebagai respon terhadap kerusakan subletal atau stimulasi
sitokin) dibanding sebagai kerusakan (Pribadi Adhi et al, 2015; Gilbert et al,
2008)
Teori bahwa preeklamsia asimtomatik terjadi karena reaksi imunologi
sejak proses implantasi, reaksi imunologi terjadi sejak bertemunya permukaan sel
maternal dengan sel janin yang merupakan sel semi alogenik. Disfungsi primer
plasenta pada preeklamsia didahului proses imunologi dengan konsep 3 tahapan
(three stages theory), yaitu (Pribadi Adhi et al, 2015; Warrington et al, 2013;
Redman and Sargent, 2009) :
1.
Tahapan pertama terjadi pada umur kehamilan 3-8 minggu pada proses
implantasi dan histiotrofik plasenta. Jenis sel janin yang berkontak
dengan sel maternal adalah sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas. Pada tahap
ini dapat menyebabkan kegagalan implantasi atau abortus.
2.
Tahapan kedua terjadi pada proses perkembangan plasenta. Pada tahapan
ini sel yang berkontak adalah sitotrofoblas, korion leave, dan
sinsitiotrofoblas villi pada darah maternal. Pada tahap ini terjadi
plasentasi yang buruk dan akan memicu terjadinya stress oksidatif dan
proses inflamasi.
3.
Tahapan ketiga terjadi diatas 18 minggu atau pasca plasentasi. Pada tahap
ini sel yang berkontak adalah korion leave, dan sinsitiotrofoblas villi pada
darah maternal yang memicu mulai timbulnya gejala klinis.
Villi plasenta pada penderita preeklamsia mempunyai karakteristik
nekrotik fokal pada sinsitium, dengan kehilangan atau terjadi distorsi mikrovilli
menggambarkan terjadinya apoptosis. Proses apoptosis sinsitiotrofoblas dengan
pembesaran menggunakan mikroskop elektron pada plasenta berupa kehilangan
mikrovilli dan edema membran permukaan. Proses apoptosis ini memegang
peranan penting dalam perburukan prognosis preeklamsia (Redman and Sargent,
2009; Burton et al, 2009).
Ketidakefektifan invasi sel sitotrofoblas pada arteri spiralis penderita
preeklamsia diikuti kegagalan remodeling dari arteri spiralis dan desidua basalis
mengakibatkan kondisi plasenta yang inadekuat sehingga menjadikan rendahnya
oksigenasi yang mengalir melalui plasenta yang kemudian pada kondisi ini
terjadi penurunan kadar faktor proangiogenik (PIGF, VEGF) dan peningkatan
faktor anti-angiogenik (sFlt-1). Gangguan ketidakseimbangan tersebut mungkin
berkaitan dengan jalur nitrit oksida, yang memberikan kontribusi substansial
untuk mengontrol tekanan vaskular. Selain nitrit oksida, adanya stres oksidatif
memacu pelepasan dari radikal bebas, lipid oksida, sitokin dan sFlt-1. Hal
tersebut mengakibatkan disfungsi endotel dengan gangguan permeabilitas
vaskular dan hipertensi (Agarwal and Karumanchi, 2011; Maynard and
Karumanchi, 2011).
Proses plasentasi pada mamalia membutuhkan faktor angiogenesis yang
tinggi untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan nutrisi janin. Faktor
proangiogenik dan antiangiogenik bekerjasama dalam perkembangan plasenta.
Angiogenesis plasenta pada preeklamsia tidak efektif. Pada preeklamsia,
sitotrofoblas gagal merubah ikatan cell-surface dan adhesion molecules.
Perubahan yang abnormal dari sitotrofoblas merupakan deteksi awal yang akan
menyebabkan iskemia plasenta. Berdasarkan perubahan tersebut pengukuran
kadar angiogenik dalam sirkulasi dapat digunakan sebagai prediksi dan diagnosis
preeklamsia lebih awal (Hagmann et al, 2012).
Invasi trofoblas yang tidak adekuat menyebabkan reaksi inflamasi dan
infark pada plasenta yang mengakibatkan disfungsi endotel yang akan memacu
pelepasan substansi toksik, apoptosis, radikal bebas, dan inflamasi sistemik (lihat
gambar 1). Trofoblas pada preeklamsia mengalami maltransformasi saat
menginvasi arteri spiralis, hal tersebut menyebabkan abnormalitas plasenta
dimana invasi sitotrofoblas pada arteri terbatas tidak sampai endotel, sangat
dangkal, dan tidak menyebar. Diferensiasi abnormal plasenta ini merupakan awal
hipoksia yang pada akhirnya menyebabkan iskemia plasenta. Abnormalitas
plasenta sebagai akibat kegagalan invasi trofoblas dan remodeling arteri spiralis
uterus menyebabkan pelepasan beberapa faktor antiangiogenik tersekresi ke
sirkulasi maternal dan mencapai puncaknya pada gejala klinis preeklamsia dan
komplikasinya yang dikenal dengan sindroma maternal (Serrano, 2006,
Hladunewich et al, 2007).
Gambar 1. Mekanisme perkembangan plasenta pada Patogenesis Preeklamsia
(Serrano, 2006)
Proses terjadinya preeklamsia diawali tahap pertama yaitu tahap
asimtomatik yang ditandai perkembangan plasenta yang abnormal selama
trimester pertama yang mengakibatkan insufisiensi plasenta dan pelepasan
beberapa material plasenta ke dalam sirkulasi maternal. Tahap kedua yaitu tahap
simtomatik atau sindrom maternal yang ditandai oleh hipertensi, gangguan ginjal,
dan proteinuria dan hal ini akan dapat berkembang menjadi HELLP syndrome,
eklamsia dan komplikasi lainnya (Creasy et al, 2014; Roberts and Hubel, 2009).
Gambar 2. Teori Preeklamsia terjadi dalam 2 tahapan (Redman and Sargent, 2009)
Selain ketidakseimbangan faktor angiogenik dan faktor antiangiogenik,
peranan faktor genetik, imunologi, nutrisi, metabolik dan lingkungan
berpengaruh di dalam patogenesis preeklamsia. Peranan masing-masing faktor
tersebut disertai pembuktian melalui hasil penelitian yang juga mengungkap
patogenesis preeklamsia sebagai sindroma multifaktorial (Mateusz et al, 2009;
Cunningham et al, 2014).
2. 2. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) merupakan faktor
terpenting yang mendorong tejadinya diferensiasi sel-sel mesenkimal dalam inti
villi menjadi sel-sel punca (stem cells) hemangioblastik. Cara kerja VEGF
melalui dua reseptor, yaitu Fms-like tyrosine kinase-1 (FLT-1) dan kinase insert
domain region (KDR). VEGF diekspresikan oleh sel-sel sitotrofoblas pada
minggu
pertama
kehamilan,
dimana
sel
hemangiogenik
menunjukan
imunoreaktif paling kuat terhadap KDR. Pada hewan coba mencit dimana VEGF
atau KDR dibuat tidak aktif (knocked-out) terjadi kegagalan untuk menginisiasi
vaskulogenesis. Sinyal parakrin dapat menjelaskan keterkaitan gugus (cluster)
hemangioblastik menjadi epitelium trofoblas. Lebih lanjut ekspresi VEGF pada
sel-sel sitotrofoblas berkurang, sedangkan pada makrofag vili dan sel
mesenkimal menjadi imunopositif kuat. VEGF merupakan mitogen sel endotelial
yang kuat, dan ini mendorong remodeling angiogenik pada awal pembentukan
pembuluh darah, merangsang pembentukan hubungan kapiler dalam inti
mesenkimal villi (Burton et al, 2009).
VEGF merupakan famili angiogenic growth factor yang berperan penting
dalam pengaturan pada perubahan-perubahan yang terjadi di plasenta tahap awal.
Famili VEGF terdiri dari VEGF-A, PlGF, VEGF-B, VEGF-C, dan VEGF-D
(lihat gambar 3) dengan reseptornya yang terdiri dari VEGFR-1 (disebut juga
FLT-1), VEGFR-2 (disebut juga KDR pada manusia atau fetal liver kinase/Flk
pada mencit), VEGFR-3 (FLT-4) dan juga co-reseptor seperti NRP-1
(neuropilin-1) dan NRP-2. Gen VEGF-A diketahui terdapat pada kromosom
6p12-p21.1 dan terdapat 8 ekson yang dipisahkan oleh 7 intron. Pemecahan
(splicing) ekson menghasilkan 6 bentuk isoform VEGF-A yaitu VEGF-A 121,
VEGF-A 145, VEGF-A 165, VEGF-A 183, VEGF-A 189, dan VEGF-A 206
yang masing-masing mempunyai jumlah asam amino 121, 145,165, 183, 189,
dan 206 buah. Mediasi oleh VEGF-A memicu berbagai fungsi sel endotel. VEGF
A memicu terjadinya angiogenesis, menginduksi perkembangan sel endotel
pembuluh darah, mengurangi apoptosis, meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah, juga menyebabkan vasodilatasi melalui jalur nitrit oksida.
Gambar 3. Famili VEGF dan reseptor; fungsi dan interaksi (Andraweera et al,
2011)
Keberhasilan implantasi tergantung pada pengkembangan fungsional
embrio yang sehat selamat periode preimplantasi, ekspresi mRNA VEGF-A
terdeteksi sejak oosit yang belum dibuahi hingga stadium blastokis dan protein
VEGF-A sudah terdeteksi sejak stadium 3-cell sampai dengan stadium blastokis
pada embrio manusia akan tetapi pengetahuan tentang peran family VEGF dalam
preimplantasi hingga saat ini masih terbatas. Implantasi merupakan proses
kompleks dimana perkembangan dimulai saat kontak embrio pada endometrium
maternal yang kemudian menginisiasi perkembangan plasenta, VEGF-A
endometrium merupakan molekul penting dalam proses implantasi. Varian
VEGF-A yang terutama diekspresikan pada endometrium yaitu VEGF-A 121 dan
VEGF-A 165. Plasenta selama kehamilan mengekspresikan VEGF-A, hingga
saat ini data terkait famili VEGF lainnya selama kehamilan masih terbatas
(Andraweera et al, 2011).
Pengaturan VEGF dan PlGF dipengaruhi konsentrasi oksigen lokal, hal
ini yang menjadi perhatian penelitian saat ini dimana oksigen berperan sebagai
pengatur dalam perkembangan plasenta. Pengaturan VEGF terjadi saat tahap
transkipsi dan juga melalui stabilitas mRNA, dengan konsentrasi rendah oksigen
yang merangsang ekspresi fibroblas plasenta. Secara luas diakui bahwa
perkembangan plasenta dibawah pengaruh konsentrasi rendah oksigen selama
trimester pertama dalam ketiadaan sirkulasi maternal yang signifikan, keadaan
ini yang diharapkan mendorong terjadinya vaskulogenesis dan angiogenesis
(Burton et al, 2009).
VEGF
merupakan
sitokin
multifaktorial
yang
berperan
dalam
angiogenesis secara in vivo. VEGF dapat ditemukan pada sel yang berbeda,
contohnya
seperti
otot
polos,
sel
endotel,
monosit/makrofag,
dan
polymorphonuclear neutrophils (PMNs). Faktor tersebut sangat penting dalam
stimulasi vaskulogenesis uteroplasenta. VEGF yang terikat dengan sFlt-1 akan
menginduksi kemotaksis monosit dan memodulasi migrasi PMN trans-endotelial
dan aktivasinya. SFlt-1 hanya ditemukan pada sirkulasi kehamilan sehingga pada
wanita yang tidak hamil maupun pria tidak akan ditemukan sFlt-1 di darahnya
(Levine et al, 2006; Serrano, 2006)
Beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa pasien dengan
preeklamsia mengalami peningkatan faktor antiangiogenik dan penurunan faktor
proangiogenik dibandingkan kehamilan normal. VEGF menginduksi terjadinya
vaskulogenesis dan angiogenesis serta berperan penting dalam proliferasi sel
endotel. Inaktivasi VEGF dapat menyebabkan pengaruh letal pada embrionik dan
defek vaskular pada plasenta. Penurunan kadar VEGF akibat ikatan dengan
reseptornya dalam sirkulasi meningkat menunjukkan ketidakseimbangan
angiogenik dan antiangiogenik yang selanjutnya memicu disfungsi endotel
(Agarwal and Karumanchi, 2011).
2. 3. Soluble Fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1)
Sinsitiotrofoblas mensekresi berbagai faktor bioaktif yang secara
signifikan mempengaruhi terjadinya preeklamsia. Salah satu faktor bioaktif
tersebut merupakan reseptor yang larut (soluble receptor) untuk VEGF, yaitu
sVEGFR-1 atau disebut juga sFlt-1. Jika sFlt-1 dalam jumlah yang banyak,
misalnya pada preeklamsia, sFlt-1 akan berikatan dan menginaktifkan VEGF
yang merupakan faktor yang berperan penting dalam pertahanan endotelium
sehingga lebih lanjut akan memicu disfungsi endotelial sistemik. Keadaan
hipoksia akan merangsang pembentukan sFlt-1 dari plasenta. Plasentasi yang
buruk akan menyebabkan perfusi uteroplasental yang buruk dan hipoksia,
kemudian akan merangsang produksi sFlt-1 yang menyebabkan sindroma
maternal. Hipoksia merupakan salah satu pencetus dihasilkannya sFlt-1 dari
plasenta preeklamsia, akan tetapi mekanisme inflamasi juga mempunyai peranan
(Redman and Sargent, 2009).
Ekspresi sFlt-1 di plasenta meningkat pada kasus preeklamsia dan
berhubungan dengan peningkatan kadar serum sFlt-1 pada sirkulasi maternal.
Kadar sFlt-1 dalam sirkulasi meningkat beberapa minggu sebelum onset klinis
preeklamsia dan berhubungan dengan derajat keparahan, kadar sFlt-1 akan
normal kembali beberapa hari setelah persalinan bersamaan dengan perbaikan
klinis hipertensi dan proteinuria. Penurunan kadar sFlt-1 pada wanita hamil
perokok dapat menjelaskan efek protektif terhadap preeklamsia, kemungkinan
berhubungan
dengan
penurunan
produksi
sFlt-1
di
villi
plasenta.
Teridentifikasinya sFlt-1 sebagai kunci penting dalam hubungan patologis
plasenta dan kerusakan endotelial maternal diharapkan biomarker ini dapat
menjadi pengembangan terapi yang lebih efektif (Maynard and Karumanchi,
2011).
sFlt-1 merupakan varian reseptor VEGF yang kehilangan transmembran
dan domain sitoplasmik. sFlt-1 secara kuantitas lebih tinggi dibandingkan normal
pada plasenta sejak 5 minggu sebelum onset preeklamsia. Diyakini sebagai
penyesuaian proses angiogenesis yang berikatan dengan VEGF dan PlGF dan
menghambat pengaruh mitogenik dan homeostatik pada sel endotel. Pada
penelitian dengan hewan coba mencit hamil yang disuntikkan sFlt-1 eksogen
menunjukkan karakteristik gejala preeklamsia termasuk hipertensi, proteinuria
dan endoteliosis glomerular. Penelitian lainnya pada hewan coba mencit-tidak
hamil yang disuntikkan antibodi VEGF menunjukkan kerusakan endotelial
glomerular dan proteinuria. Penelitian in vitro menunjukkan pemberian antibodi
sFlt-1 eksogen dapat membalikkan kondisi antiangiogenik pada plasma darah
manusia dengan preeklamsia. Pemberian inhibitor VEGF pada pasien kanker
sebagai pengobatan kanker yang terkait angiogenesis menunjukkan hipertensi,
proteinuria, kerusakkan endotel glomerular, peningkatan enzim hati, edema
cerebral, dan leukoensefalopati posterior yang reversibel dimana gambaran
tersebut ditemukan pada preeklamsia dan eklamsia (Agarwal and Karumanchi,
2011).
Selama kehamilan normal terjadi kondisi proangiogenik, yaitu tingkat
sFlt-1 adalah rendah sampai dengan akhir trimester kedua dan kadar PlGF adalah
tinggi. Pada preeklamsia saat usia kehamilan bertambah, kadar sFlt-1 secara
bertahap akan meningkat sehingga keseimbangan akan bergeser menjadi
melemahkan PlGF. Peningkatan konsentrasi PlGF dan VEGF yang bersirkulasi
menjadi rendah karena terikat oleh sFlt-1. Hal ini menyebabkan proses
angiogenesis (lihat gambar 2) plasenta terganggu (Pennington et al, 2012; Xu et
al, 2012).
Gambar 4. Hubungan VEGF dan sFlt-1 dalam angiogenesis (Xu et al 2012)
Pada preeklamsia, ketidakseimbangan antara faktor proangiogenik dan
antiangiogenik telah lama diteliti. Faktor angiogenik yang berperan yaitu PlGF
dan VEGF. Sedangkan faktor antiangiogenik yaitu sFlt-1 dan soluble Endoglin
(sEng). Produksi Flt1 melalui sekresi trofoblas secara endogen menghasilkan
potongan Flt-1 bersifat larut air yang disebut soluble Flt-1 (sFlt-1) yang
dilepaskan ke sirkulasi. sFlt-1 adalah bentuk Flt-1 yang kehilangan domain
sitoplasmik dan transmembran, tetapi masih memiliki domain-ligand-binding.
Dengan demikian, tingginya kadar sFlt-1 dan rendahnya kadar PlGF dan VEGF
dapat memprediksi kemungkinan berkembang menjadi preeklamsia. Protein
antiangiogenik dalam sirkulasi yang beraksi sebagai reseptor dominan yang
mengikat PlGF dan VEGF sehingga mencegah interaksi PlGF dan VEGF dengan
reseptor permukaan sel endotelial dan menyebabkan disfungsi endotel (Maynard
and Karumanchi, 2011).
Penelitian lain dimana menghilangkan sFlt-1 secara ex vivo pada kasus
preeklamsia pada usia kehamilan yang masih jauh dari aterm memberikan hasil
penurunan kadar sFlt-1 disertai perbaikan proteinuria dan penurunan tekanan
darah yang stabil tanpa didapatkan efek samping terhadap maternal maupun fetal
yang bermakna (Thadhani et al, 2011).
2. 4. Peran VEGF pada Preeklamsia
Vaskulogenesis dan angiogenesis merupakan dua proses yang penting
dalam pembentukan sirkulasi utero-plasenta. Pada manusia pembentukan
vaskular plasenta dimulai paling dini pada hari ke-21 post konsepsi dengan
pembentukan
batang
(cord)
hemangioblastik,
kemudian
tahap
inisiasi
vaskulogenesis ini diikuti fase pencabangan angiogenesis (hari ke-32 sampai
minggu ke-25 post konsepsi) yang selama fase tersebut batang hemangioblastik
berkembang menjadi cabang-cabang yang kaya pembuluh darah kapiler
(capillary bed). Ekspresi VEGF-A, sFlt-1 dan KDR plasenta pada tahap ini
sangat intens dan ekspresi PlGF pada tahap ini moderat. Selama pembentukan
pembuluh-pembuluh darah awal, faktor angiogenik yang diperlukan pada
permulaan angiogenesis disuplai oleh sel-sel sitotrofoblas, selanjutnya dengan
bertambahnya umur kehamilan dan pematangan villi penambahan VEGF-A
disuplai oleh sel stroma termasuk sel Hofbauer (makrofag feto-plasental). Pada
penelitian in vitro membran korio-allantoik menunjukkan ikatan VEGF-A
dengan Flt-1 dan KDR merangsang pembentukan cabang-cabang angiogenesis.
VEGF-A pada saat invasi trofoblas diketahui perannya dalam merangsang
aktivitas metalloproteinase sel endotel sehingga mengalami proliferasi dan
migrasi sel endotel. Selama remodeling arteri spiralis, pada sel-sel natural killer
(NK) uterus yang diisolasi di trimester pertama desidua mensekresi banyak
faktor angiogenik termasuk VEGF-A. Sel NK dianggap sebagai sumber utama
faktor angiogenik pada remodeling arteri spiralis (Andraweera et al, 2011).
Seperti telah dijelaskan sebelumnya pada penelitian hewan coba mencittidak hamil yang disuntikkan antibodi VEGF menunjukkan kerusakan endotelial
glomerular dan proteinuria. Sedangkan pada penelitian lainnya pemberian
inhibitor VEGF pada pasien kanker sebagai pengobatan kanker yang terkait
angiogenesis
menunjukkan
hipertensi,
proteinuria,
kerusakkan
endotel
glomerular, peningkatan enzim hati, edema cerebral, dan leukoensefalopati
posterior yang reversibel dimana gambaran tersebut ditemukan pada preeklamsia
dan eklamsia (Agarwal and Karumanchi, 2011).
Proses angiogenesis feto-plasental selama kehamilan bersifat bifasik,
pada trimester pertama angiogenesis ditandai dengan proses percabangan
pembuluh darah kecil. Awal trimester kedua, pertambahan besar plasenta sesuai
dengan proliferasi dari sel endotel. Berbeda dengan trimester pertama, proses
angiogenesis pada trimester kedua dan ketiga tidak terjadi proses percabangan.
Ketidakseimbangan antara faktor angiogenesis seperti VEGF dan PlGF dengan
anti angiogenesis seperti sFlt-1, memainkan peran yang utama dalam patogenesis
terjadinya preeklamsia. Faktor angiogenik VEGF berfungsi penting untuk
keefektifan perkembangan plasenta dan sel endotel. Penelitian yang ada
memperlihatkan
bahwa
sFlt-1,
merupakan
reseptor
soluble
VEGFR-1
mempunyai pengaruh antiangiogenik, meningkat kadarnya di plasenta dan serum
pada kehamilan dengan preeklamsia. Pada preeklamsia, peningkatan konsentrasi
sFlt-1 diikuti dengan penurunan kadar VEGF bebas dalam sirkulasi maternal
(Chung et al, 2012; Furaya et al, 2011).
Hasil beberapa penelitian memperlihatkan peningkatan kadar sFlt-1 dan
diikuti dengan penurunan kadar PlGF bebas pada serum pasien dengan
preeklamsia sebagai hasil adanya disfungsi endotel. Pada hasil penelitianya
menunjukkan bahwa preeklamsia berhubungan dengan peningkatan kadar sFlt-1
mulai dari 5 minggu sebelum gejala klinis terlihat dan juga penurunan faktor
angiogenik dari usia kehamilan 13-16 minggu (Holston et al, 2009).
2. 5. Terapi VEGF 121 Rekombinan
Strategi terapi preeklamsia berdasarkan ketidakseimbangan angiogenik
dikembangkan. Penilitian pada hewan coba tikus model preeklamsia dengan
pemberian VEGF-121 menunjukkan perbaikan GFR dan fungsi endotelial, juga
menurunkan tekanan darah yang berhubungan kondisi iskemia plasenta dan
ekspresi sFlt-1 yang tinggi (Agarwal and Karumanchi, 2011).
Aktivasi reseptor tersebut memicu sinyal melalui jalur VEGF – dependent
yang akan mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah, pertumbuhan endotelial
sel, vasodilatasi, dan angiogenesis. Ekspresi sVEGFR-1 di plasenta dan kadar
sVEGFR-1 di sirkulasi maternal meningkat pada preeklamsia, dan peningkatan
tersebut lebih dahulu sebelum manifestasi klinis preeklamsia dan berhubungan
dengan derajat perburukan. VEGF 121 merupakan salah satu bentuk VEGF yang
merupakan polipeptida asam difus (diffusible acidic polypeptide) yang
mempunyai ikatan kuat terhadap kedua reseptor kinase tersebut. Polipeptida
VEGF 121 terbukti efektif dalam terapi vaskular yang secara karakteristik
terdapat defisiensi angiogenesis. Terbukti VEGF 121 memperbaiki fungsi
vaskular dan aliran darah pada pasien dengan penyakit pembuluh darah arteri
perifer, memperbaiki mikrovaskular pada penyakit ginjal, dan mencegah
penyakit ginjal sekunder pada keadaan cedera ginjal akut. Pada penelitian hewan
coba VEGF 121 melindungi infark ginjal pada keadaan mikroangiopati
trombotik. VEGF 121 dianggap dapat memperbaiki sindroma yang menyerupai
preeklamsia (preeclampsia-like syndrome) pada hewan coba yang diinduksi
dengan sVEGFR-1 dalam jumlah besar (overexpression). Pada penelitian
menggunakan VEGF 121 rekombinan yang digunakan berasal dari Escherichia
coli pada hewan coba menunjukkan hasil penurunan tekanan darah arterial dan
mencegah onset hipertensi pada kehamilan lanjut. Pemberian secara infus
kontinyu juga memperbaiki disfungsi endotelial, tampak pada respon
kontraktilitas yang lebih rendah terhadap agonis tromboksan A2 dan
menunjukkan respon vasorelaksasi lebih tinggi terhadap pemberian nitrit oksida
(Mateus et al, 2011).
Beberapa penelitian lainnya tentang pemberian VEGF 121 pada hewan
coba menunjukkan hasil signifikan yang serupa antara lain menurunkan tekanan
darah sistolik dan mengurangi kerusakan ginjal. VEGF 121 juga memperbaiki
laju filtrasi glomerulus dan fungsi endotel yang mengalami penurunan tekanan
perfusi uterus (RUPP/Reduction Uterine Perfusion Pressure). Adapun terdapat
perbedaan dalam cara pemberian dan penggunaan hewan coba akan tetapi
menunjukkan hasil yang memperkuat bukti pengaruh pemberian VEGF 121.
Mekanisme yang menjelaskan pengaruh pemberian VEGF 121 yaitu inhibisi
sVEGFR-1 atau disebut juga sFlt-1 dalam sirkulasi melalui pengikatan VEGF
dan PlGF pada permukaan endotel reseptornya yaitu sVEFGR-1 dan sVEGFR-2,
juga secara langsung efek vasodilatasi dari VEGF eksogen. Hasil yang
menunjukkan respon berbeda kemungkinan dipengaruhi faktor lainnya seperti
genetik yang perlu diteliti lebih lanjut. (Li et al, 2007; Bergmann et al, 2010;
Gilbert et al, 2010; Mateus et al, 2011; Woods et al, 2011)
2. 6. Preeklamsia pada mencit (Mus musculus)
Penggunaan hewan coba pada model preeklamsia menunjukkan beberapa
kemajuan terutama dalam menjelaskan patogenesis dan juga pengembangan
modalitas terapi yang masih perlu diteliti lebih lanjut. Teori keseimbangan
angiogenik dalam perkembangan preeklamsia merupakan salah satu penggunaan
hewan coba dalam model penelitian translasional yang paling sukses (Suzuki et
al, 2014).
Human Leukocyte Antigen-G (HLA-G) merupakan molekul Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas 1b non klasik, bersifat monomorfik
dan memiliki kemampuan menghambat aktivitas sel Natural Killer (NK) dan
Large Granular Lymphocytes (LGL) desidua yang berfungsi melawan sel
trofoblas sehingga HLA-G mempunyai fungsi melindungi trofoblas dari
pengaruh imun maternal. Selama kehamilan trofoblas mempertahankan
peningkatan regulasi ekspresi HLA-G sehingga kerja trofoblas dalam menginvasi
desidua sistem vaskuler maternal berjalan baik. Jika HLA-G tidak diekspresikan
atau menurun, kemampuan trofoblas akan berkurang dalam menginvasi uterus
(dianggap non-self). Jika trofoblas tidak menginvasi arteri maternal dengan baik
maka aliran uteroplasenter menurun dan terjadi hipoksia plasenta yang
menyebabkan preeklamsia (Playfair and Chain, 2009; Roth, 2006)
Gen kelas 1 lokus MHC baik pada manusia maupun pada tikus mengkode
sejumlah besar gen (sekitar 50) yang memberi kode protein dengan struktur mirip
kelas I, disebut gen kelas Ib. Gen tersebut meliputi E, F, G, H, J, dan X pada
manusia dan Qa, TIa pada tikus. Fungsi sejumlah besar gen ini belum diketahui,
tetapi beberapa dapat berperan dalam mengendalikan imunitas bawaan,
kemungkinan dengan mengatur aktivasi sel NK. Pada mencit, Qa-2 produk gen
Preeimplantation embryonic development (Ped) merupakan protein MHC kelas
Ib yang merupakan homolog dari HLA-G pada manusia. Embrio mencit yang
mengekspresikan Qa-2 menghasilkan kecepatan pembelahan yang lebih nyata,
survival sampai aterm dan menghasilkan berat badan lahir yang baik dan
sebaliknya apabila mencit tidak mengekspresikan Qa-2 maka akan terjadi
keguguran, kematian janin mencit, persalinan prematur dan berat lahir janin
mencit yang rendah. Mencit yang mempunyai kemiripan dengan manusia
kemudian dikembangkan untuk penelitian dengan cara diberikan perlakuan
dengan anti Qa-2 sehingga menjadi hewan coba model preeklamsia (Playfair and
Chain, 2009; Hoffmann, 2008)
2.7. VCAM (Vascular Cell Adhesion Molecule)
Vascular Cell Adhesion Molecule (VCAM) adalah grup molekul adhesi
imunoglobulin, protein reseptor untuk proses marginalisasi dan pergerakan
lekosit mononuklear-endotelium. Jika terjadi disfungsi endotel maka pada
permukaan endotel akan diekspresikan molekul adhesi, seperti vascular cell
adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan intercellular cell adhesion molecule-1
(ICAM-1). Peningkatan kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam supernatan
kultur sel endotel yang diinkubasi dengan serum penderita preeklamsia, tetapi
tidak dijumpai peningkatan molekul adhesi lainnya seperti ICAM-1 dan Eselektin (Sulistyowati et al, 2010). Oleh karena itu diduga VCAM-1 mempunyai
peranan pada preeklamsia. Kadar VCAM-1 pada wanita preeklamsia lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita hamil normal. VCAM-1 merupakan indikasi
terdapatnya inflamasi pada preklamsia. Inflamasi itu sendiri disebabkan oleh
kerusakan endotel, sehingga VCAM-1 dapat dijadikan penanda kerusakan
endotel. Peningkatan VCAM-1 menunjukkan kemungkinan adanya perubahan
aktivitas endotel, dengan demikian terdapat kemungkinan adanya kerusakan
endotel pada preeklamsia. Peningkatan VCAM-1 menunjukkan adanya aktivasi
sel endotel (Anwar Anita et al, 2010).
VCAM-1 adalah kelompok imunoglobulin molekul adhesi yang
merupakan reseptor protein, molekul adhesi vaskuler pada manusia mempunyai
berat 100-110 kDa, terdiri dari 715 asam amino (aa) tipe 1 transmembran
glikoprotein dengan karakteristik adanya tujuh tipe immunoglobulin C2. Pada
keadaan normal VCAM-1 terekspresi dalam kadar rendah yang diinduksi
beberapa sitokin (IL-1, TNF α, IL-4 dan IL-13). Saat terinduksi VCAM- 1
memegang peranan penting dalam migrasi lekosit yang akan mengekspresikan
VLA-4, bagaimanapun peranan VCAM-1 tergantung dari status ekspresi dan
aktivasi semua molekul adhesi. VCAM-1 dan ICAM-1 memfasilitasi
penempelan leukosit ke sel endotel dan perpindahan leukosit ke dalam intima
kemudian menimbulkan penumpukan leukosit pada dinding pembuluh darah.
Proses migrasi monosit di bagi ke dalam 4 tahap (Santoso, 2009; Stephen, 2008),
yaitu:
1.
Tethering dan rolling monosit yang bersirkulasi ke sel endotel; Monosit
memasuki area yang cedera, kemudian akan menempel pada endotel
dengan longgar, bersifat sementara, dan reversibel pada permukaan sel
endotel dalam proses yang disebut rolling.
2.
Ekspresi molekul adhesi monosit (trigerring); Tahap ini bertumpang
tindih dengan tahap 1 dan 3. Ikatan E dan P selectin pada permukaan
monosit akan memulai trigerring. Pada tahap ini terjadi aktivasi monosit
untuk mengekspresikan integrin, yang akan menyebabkan suatu ikatan
yang kuat antara monosit dan endotel. Monosit mengekspresikan integrin
β-1 dan β-2 yang akan berinteraksi dengan ICAM-1, ICAM-2 dan
VCAM-1.
3.
Ikatan kuat monosit dengan sel endotel (firm attachment); monosit terikat
dengan kuat pada endotel. Tahap ini diperantai oleh interaksi integrin
monosit dengan molekul adhesi immunoglobulin superfamili dari
endotel, termasuk interaksi integrin β=2 (CD11/CD18) dengan ICAM-1
dan ICAM-2, integrin β1α4 dengan VCAM-1. Interaksi yang diperantai
integrin ini mempunyai kemampuan mengirim tanda terhadap monosit
dan memulai reorganisasi dan penyebaran sitoskleton dalam sitoplasma,
sehingga memungkinkan pergerakan ke depan dan melepaskan ikatan
yang ditinggalkan sedemikian rupa sehingga mencapai sambungan
interselular endotel.
4.
Migrasi atau diapedesis monosit antara sel endotel menuju ruangan subendothelial; Monosit bergerak keluar diantara sambungan endotel yang
erat dengan gerakan amuboid yang disebut migrasi transendotelial atau
transmigrasi. Langkah ini diperantai platelet cell adhesion molecules
(PECAM),
yaitu
suatu
molekul
adhesi
kelompok
superfamili
immunoglobulin yang diekspresikan oleh monosit dan endotel pada
bagian sambungan lateral, melalui ikatan domain amino terminal,
kemudian monosit akan melewati lamina basalis yang mengandung
kolagen,
laminin,
fibronektin
dan
heparin
sulfat
yang
berisi
glikosaminoglikan dengan perantaraan PECAM dan enzim protease yang
dikeluarkan oleh monosit.
Mekanisme molekular yang mengatur remodeling arteri spiralis belum
dapat dijelaskan secara pasti, akan tetapi selama proses invasi sitotrofoblas
kehilangan kemampuan untuk membelah dan sel-sel yang bergabung diantara
sel-sel endotel maternal kehilangan karakteristik epitelial miliknya dan
mendapatkan
fenotip
pseudovaskulogenesis.
endotelial
dalam
Perubahan-perubahan
proses
yang
transisi
terjadi
yang
ini
dikenal
termasuk
perubahan ekspresi molekul sel adhesi (cell adhesion molecules). Selama
diferensiasi pengaturan oleh sitotrofoblas menurunkan (down-regulate) molekulmolekul adhesi yang memiliki karakteristik epithelial antara lain integrin α6β4,
α5β6, dan epithelial adherin. Sebaliknya pengaturan oleh sitotrofoblas
meningkatkan (up-regulate) molekul-molekul yang mengekspresikan sel-sel
endotel antara lain integrin αvβ3, α1β1, vascular endothelial cadherin, vascular
cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan platelet endothelial cell adhesion
molecule-1 (PECAM-1). Pada penelitian in vitro VEGF-A juga diketahui
merangsang ekspresi ICAM-1 dan VCAM-1 pada sel endotel pembuluh darah
vena umbilikal manusia melalui aktivasi nuclear kappa B. Penelitian lainnya
secara in vivo VEGF A menginduksi rekruitmen sel mononuklear melalui jalur
yang di mediasi oleh VCAM-1 dan PECAM-1 (Lucerna et al, 2007; Andraweera
et al, 2012) . A
B
Gambar 5. Ekspresi VCAM-1 pada mencit hamil normal (A) dan Ekspresi VCAM-1
pada mencit preeklamsia (B) ditunjukkan oleh tanda panah (Sulistyowati et al, 2010)
Nidasi - Plasentasi
Konsepsi
Invasi sel trofoblas yang normal pada arteri spiralis
Pro Angiogenik
&
Anti Angiogenik
di Plasenta
Anti Angiogenik
Pro Angiogenik
sFlt-1↓
VEGF ↑
Endotel Normal
Ekspresi
VCAM-1 ê
Plasenta
Kehamilan Normal
Gambar 6. Landasan Teori Hubungan Faktor Pro Angiogenik &
Antiangiogenik dengan Ekspresi VCAM-1 pada kehamilan normal
2.8. Kerangka Konsep
Mencit model
preeklamsia
Invasi sel trofoblas yang tidak
adekuat pada arteri spiralis
Ketidakseimbangan Pro Angiogenik & Anti Angiogenik
Anti Angiogenik
Pro Angiogenik
sFlt-1↑ di Plasenta
VEGF↓ di Plasenta
Stress oksidatif
VEGF 121
REKOMBINAN
Disfungsi Endotel
Ekspresi
VCAM-1 é
di Plasenta
Anti
Angiogenik
Pro
Angiogenik
sFlt-1↓
di Plasenta
VEGF↑
di Plasenta
Perbaikan Disfungsi endotel
Sindroma
Preeklamsia
Ekspresi
VCAM-1 ê
di Plasenta
Keterangan:
: Bahan dasar penelitian
: Mengakibatkan
: Komponen yang diperiksa
: Perlakuan
: Komponen Perlakuan
: Efek yang diharapkan
: Efek pencegahan
2.9. Penjelasan Kerangka Konsep
a. Perkembangan plasenta yang abnormal (infark, sklerosis) mengakibatkan
insufisiensi plasenta dan pelepasan beberapa material ke dalam sirkulasi
maternal sehingga terjadi invasi endovaskuler tidak adekuat oleh sitotrofoblas.
Invasi tersebut diikuti kegagalan remodeling dari arteri spiralis dan desidua
basalis.
b. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya oksigenasi yang mengalir melalui
plasenta. Pada kondisi ini terjadi penurunan kadar faktor proangiogenik (VEGF)
dan peningkatan faktor anti-angiogenik (sFlt-1), juga terjadi apoptosis, pelepasan
radikal bebas, lipid oksida, dan sitokin. Yang mengakibatkan vasokontriksi,
peningkatan tekanan darah, dan disfungsi endotel.
c. Proses angiogenesis plasenta pada preeklamsia tidak efektif. Disebabkan karena
sFlt-1 mempunyai afinitas yang lebih kuat terhadap VEGF sehingga
menyebabkan jumlah VEGF bebas menurun di sirkulasi maternal. Selama
kehamilan normal, terjadi kondisi proangiogenik, yaitu tingkat sFlt-1 menurun
dan VEGF menigkat.
d. Sebaliknya pada saat kehamilan preeklamsia, tingkat sFlt-1 secara bertahap akan
meningkat sehingga keseimbangan akan bergeser menjadi melemahkan faktor
proangiogenik, yang menyebabkan konsentrasi VEGF menjadi rendah.
Penurunan faktor proangiogenik dan disfungsi endotel akibat preeklamsia
e. Dengan
pemberian
VEGF
121
rekombinan
yang
merupakan
protein
proangiogenesis, berperan terhadap proses vaskulogenesis dan angiogenesis.
Protein tersebut mempunyai reseptor di dinding endotel VEGFR-1 yang dalam
bentuk terlarutnya yaitu sVEGR-1 atau sFlt-1 sehingga memicu proses
angiogenesis.
f. VEGF 121 rekombinan yang terikat dengan sFlt-1 dapat menginduksi
kemotaksis monosit dan memodulasi migrasi PMN trans-endotelial dan
aktivasinya. Sehingga VEGF rekombinan dapat berfungsi untuk menginduksi
terjadinya angiogenesis dan proliferasi sel endotel serta berperang penting dalam
proses vaskulogenesis.
g. Pemberian VEGF 121 rekombinan diharapkan dapat menyebabkan perbaikan
kondisi endotel. Ditandai dengan penurunan ekspresi VCAM-1 di plasenta
dibandingkan tanpa pemberian VEGF 121 dimana terjadi peningkatan ekspresi
VCAM-1 di plasenta.
2. 10. Hipotesis
Ada pengaruh pemberian VEGF 121 rekombinan terhadap ekspresi VCAM-1 di
plasenta mencit model preeklamsia yaitu penurunan ekspresi VCAM-1.
Download