waterfront city, banjarmasin - Direktorat Jenderal Penataan Ruang

advertisement
WATERFRONT CITY, BANJARMASIN
Sebuah Upaya Inovatif Pengembalian Citra Kota
Oleh:
Raditya PU *
Kepala Bappeda Banjarmasin
Kota Seribu Sungai. Sudah sewajarnya jika sebutan tersebut diberikan masyarakat untuk
Banjarmasin. Kota yang dilalui oleh dua sungai terbesar di Pulau Kalimantan, yaitu Sungai
Martapura dan Sungai Barito sehingga kota ini pun memiliki berpuluh-puluh sungai, anak
sungai dan bahkan kanal – kanal. Sungai memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat
Banjarmasin. Pasar Terapung yang sangat khas Banjarmasin menjadi bukti penting eksistensi
sungai di tengah kehidupan masyarakat. Aktivitas perdagangannya ‘terapung’, baik penjual
maupun pembeli bertransaksi diatas sungai dengan menggunakan perahu khas Banjar,
Jukung.
Foto 1. Banjarmasin, Kota Seribu Sungai
Meskipun disebut sebagai kota seribu sungai,
namun kenyataannya Banjarmasin justru
kehilangan sungai dari sebelumnya 107 buah
menjadi 71 buah pada saat ini. (Foto: Paparan
Wakil Tentang Sungai, 2010)
Foto 2. Pasar Terapung Banjarmasin
Pasar terapung yang merupakan cerminan
kuatnya kultur kehidupan perairan
masyarakat Banjarmasin saat ini menjadi
salah satu daya tarik pariwisata khas.
(Foto: Paparan Wakil Tentang Sungai,
2010)
Secara historis, Banjarmasin bahkan memiliki peran yang sangat strategis dalam perdagangan
antar pulau karena merupakan wilayah pertemuan Sungai Barito dan Sungai Martapura. Di
masa kolonial Belanda, Banjarmasin dengan aliran Sungai Barito yang luas menjadi
pelabuhan keluar-masuk barang dari Singapura dan Jawa menuju ke pantai timur Kalimantan.
Selain itu, secara internal, Suku Banjar banyak memanfaatkan keberadaan sungai tersebut
beserta anak sungainya sebagai jalur transportasi utama dengan jukung sebagai ‘kendaraan’
utama dalam pergerakan masyarakat. Pengaruhnya, sebagian besar aktivitas dan permukiman
masyarakat Banjarmasin berkembang di sekitar sungai dengan karakteristik rumah
mengapung, atau mereka sering menyebut sebagai Rumah Lamin. Lebih jauh lagi,
penggunaan sungai sebagai jalur transportasi mempengaruhi orientasi muka bangunan,
entrance bangunan menghadap ke sungai yang merupakan salah satu karakteristik dari
waterfront city.
Foto 3. Karakteristik ideal sebuah waterfront city
Salah satu karakteristik ideal sebuah waterfront city yang juga diimpikan oleh Banjarmasin adalah muka bangunan yang menghadap ke
sungai.
demikian, kebersihan
sungai sebagai
halaman depan rumah akan selalu menjadi prioritas para penghuninya. (Foto:
Foto
3 Dengan
: Karakteristik
Permukiman
waterfront
Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)
Banjarmasin selain memiliki tiga sungai besar (lebar lebih dari 500 meter) yakni Sungai
Barito, Sungai Martapura dan Sungai Alalak, juga memiliki sungai-sungai berukuran sedang
(lebar di atas 25 m hingga 500 m) seperti Sungai Andai, Sungai Duyung, Sungai Kuin dan
Sungai Awang. Sedangkan sungai kecil (lebar kurang dari 25 m) jumlahnya sekitar 77
sungai, antara lain Sungai Guring, Sungai Keramat, Sungai Kuripan, dan Sungai Tatas. Tidak
mengherankan apabila kehidupan berbasis sungai menjadi daya tarik unik bagi kota yang
pernah menjadi ibukota Kesultanan Banjar dan dijuluki Venesia dari timur ini.
Pemandangan yang khas dari kota sungai ini adalah adanya rumah-rumah dengan tipe rumah
panggung yang dibangun berderet menghadap sungai dan rumah lanting (rumah terapung)
yang berada di atas air di tepi sungai. Penduduk yang bermukim di sepanjang aliran sungai
memanfaatkan sungai sebagai prasarana transportasi. Selain itu terdapat pula lanting atau
batang, yaitu sejenis rakit yang terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai tempat untuk MCK
serta sebagai dermaga untuk menambatkan jukung.
Namun dalam perkembangannya, keunikan Banjarmasin tergerus oleh perkembangan zaman.
Simbiosis kehidupan yang terjadi antara masyarakat dan sungai tidak selamanya berjalan
secara mutualisme. Pengaruh kolonialisasi Belanda sejak tahun 1860 secara tidak langsung
mengubah orientasi wajah kota melalui pembangunan jalan darat untuk keperluan
pengawasan terhadap pergerakan masyarakat Banjar. Penggunaan jalan seolah berkompetisi
dengan peran sungai sebagai jalur transportasi utama. Perlahan-lahan, tumpuan aktivitas
sungai tergantikan oleh dinamisme perkembangan jalan, penggunaan jukung mulai
digantikan oleh mobil dan motor.
Secara historis, jalan utama yang ada di Kota Banjarmasin berasal dari jalan lingkungan
perumahan yang dulunya merupakan jalur air dan berawa sehingga meskipun saat ini telah
mengalami perkerasan, namun jika dilewati beban yang cukup berat, jalan ini cepat rusak
karena kondisi fisik tanahnya yang labil. Kondisi tanah yang berawa dan seringkali
menimbulkan serangan nyamuk ini pulalah yang memunculkan gagasan dari dr. Murdjani
sebagai Gubernur Kalimantan pada awal tahun 1950-an untuk memindahkan ibukota provinsi
ke tempat yang dianggap lebih tinggi, yang sekarang dikenal sebagai Banjarbaru.
Kota Banjarmasin sendiri mulai mengalami pergeseran orientasi dimana sungai tidak lagi
menjadi ‘muka depan’ aktivitas namun justru menjadi ‘muka belakang’, permukiman
menghadap ke jalan sebagai akses utama aktivitas. Perubahan orientasi tersebut secara tidak
langsung ternyata memberikan andil besar terhadap perubahan ‘perlakuan’ terhadap sungai,
contohnya sungai menjadi lokasi bagi pembuangan sampah rumah tangga serta aktivitas
‘belakang’ lainnya seperti MCK. Hal tersebut mengubah wajah sungai menjadi tidak teratur,
kotor dan bahkan tidak sehat.
Hal ini menyebabkan penurunan kondisi sungai-sungai di kota tersebut, mulai dari
permasalahan penyempitan alur sungai, pendangkalan sungai, penggerusan tebing sungai
oleh aliran air, hilangnya sungai (baik tertutup bangunan maupun digunakan sebagai lahan
parkir), dan maupun terjadinya genangan permanen. Hal ini diperparah oleh kondisi
topografis Kota Banjarmasin yang rawan tergenang oleh air hujan dan air pasang. Secara
geografis, kota ini terletak pada ketinggian rata-rata 0,16 meter di bawah permukaan laut
dengan kondisi daerah berpaya-paya dan relatif datar. Di sisi lain, pembangunan sektor jasa
seperti pertokoan yang berjalan pesat di Kota Banjarmasin juga tidak diimbangi oleh
penyediaan drainase yang memadai. Bantaran sungai cenderung berubah menjadi
permukiman liar sehingga mengurangi badan air. Di sisi lain, terdapat pula ancaman lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Armi Susandi dkk dari Program Studi Meteorologi ITB
memperlihatkan bahwa Kota Banjarmasin memiliki kerawanan terhadap kenaikan muka air
laut yang cukup tinggi, yang dapat mencapai 0,48 meter pada tahun 2050.
Foto 4 dan 5. Permukiman yang tidak teratur
Foto-foto yang diambil pada tahun 2005 dan 2006 di atas memperlihatkan contohcontoh permukiman yang tidak teratur. Situasi ini sangat kontras dengan citra
Banjarmasin sebagai Kota Seribu Sungai.
Sungguh sangat disayangkan, citra Kota Banjarmasin sebagai waterfront city pada jamannnya
seolah hilang ditelan modernitas perkembangan perkotaan melalui dinamisme pembangunan
jalan. Padahal keberadaan sungai di Banjarmasin dan seluruh aktivitas khas di sepanjang
aliran sungai merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi Kota Banjarmasin yang mampu
menjadi daya tarik wisata serta penanda citra kota.
Lantas, apa yang dilakukan pemerintah?
Menyadari urgensi permasalahan tersebut, pemerintah Kota Banjarmasin tidak tinggal diam.
Degradasi lingkungan perkotaan yang terus meluas, ditambah lagi isu global mengenai
perubahan iklim akan semakin memperparah kondisi kota Banjarmasin. Permukiman di
sepanjang sungai semakin tidak terawat, masyarakat semakin buruk dalam memperlakukan
sungai. Kualitas air semakin menurun, penumpukan sampah terjadi semakin banyak sehingga
jukung semakin kesulitan melewati sungai. Dengan visi pemerintahan mewujudkan kota yang
harmonis dengan alam, keberlanjutan lingkungan menjadi faktor kunci dalam perkembangan
kota. Untuk mewujudkannya, langkah awal yang dilakukan, pada tahun 2009, pemerintah
membentuk SKPD baru yaitu Dinas Sungai dan Drainase yang tugas pokok dan fungsinya
mengarah pada perbaikan dan revitalisasi sungai untuk mampu mendukung kembali aktivitas
perkotaan.
Pembentukan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan kota. Dengan jumlah penduduk
mencapai 627.245 jiwa pada tahun 2008 dengan laju pertumbuhan penduduk 2,07% per
tahun, kota ini menunjukkan perkembangan yang pesat terutama di sektor perdagangan dan
jasa. Pembangunan fasilitas perdagangan, seperti ruko yang menjadi salah satu pemandangan
yang acap dijumpai di berbagai sudut kota, seringkali tidak mengindahkan struktur kota,
khususnya jaringan drainase. Di sinilah SKPD baru tersebut berperan dalam memastikan
bahwa drainase pendukung aktivitas perkotaan tersedia secara baik, di samping
menormalisasi kembali fungsi sungai-sungai yang ada. Hal ini ditempuh melalui
pemeliharaan rutin harian seperti pembersihan sungai maupun pemeliharaan drainase yang
pada tahun 2010 mencakup 42 titik.
Foto 6 dan 7. Pembersihan enceng gondok dan pengerukan sungai
Salah satu kendala utama yang mempercepat sedimentasi sungai adalah enceng
gondok, sehingga harus secara rutin dibersihkan sebagai upaya preventif. Meskipun
demikian, pembersihan dan pengerukan sungai masih harus dilakukan secara berkala.
(Foto: Dinas Sungai dan Drainase).
Satu catatan menarik dari apa yang dilakukan oleh Kota Banjarmasin, upaya perubahan citra
kota yang dilakukan cukup inovatif. Selain secara normatif, pemerintah memasukkan konsep
penataan kota yang berbasis sungai pada konsep struktur Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW). Hal ini ditempuh antara lain melalui pemantapan fungsi jaringan Sungai Barito
sebagai jalur pergerakan regional, pemantapan fungsi jaringan Sungai Martapura sebagai
jalur pergerakan regional dan jalur pergerakan dalam Kota Banjarmasin, serta pemantapan
fungsi jaringan Sungai Kuin, Sungai Alalak dan Sungai Kelayan, sebagai jalur pergerakan
dalam Kota Banjarmasin. Pemerintah Kota juga meningkatkan kapasitas pelayanan dan
efektivitas kebersihan kota melalui penambahan personil petugas kebersihan kota menjadi
300 orang serta upaya penghijauan dan pembangunan sarana persampahan yang lebih
memadai, antara lain melalui pembangunan TPA Basiri.
Lebih jauh lagi, Kota Banjarmasin juga melakukan upaya yang revolusioner dengan
mengadakan sayembara internasional untuk penataan tepian Sungai Martapura di Kawasan
Pusat Kota Banjarmasin dimana pemenang penataan kota dalam sayembara tersebut akan
dijadikan acuan dalam penataan waterfront city Banjarmasin saat ini. Sayembara tersebut
tidak bisa dipandang sebagai sebuah kompetisi semata, dibalik proses tersebut, terdapat
sebuah pembelajaran penting bagi pemerintah dan masyarakat mengenai kepedulian terhadap
perbaikan citra kota Banjarmasin terutama dalam upaya mengembalikan fungsi sungai di
Banjarmasin sebagai bagian dari aktivitas masyarakat yang pernah ditinggalkan. Bahkan,
terlihat dari besarnya animo pihak asing untuk mengikuti sayembara tersebut, maka
diharapkan penataan Kota Banjarmasin akan semakin variatif dan adaptif terhadap
perkembangan.
Secara teknis, perencanaan tepian sungai tersebut dilakukan dengan memperhitungkan aspek
hidrologis dan perilaku sungai. Bantaran sungai sendiri akan dikembangkan sebagai ruang
terbuka publik dengan konsep riverwalk. Akses untuk masyarakat ke sungai sebagai milik
umum juga akan dibuka seluas-luasnya. Hal menarik lainnya adalah kawasan perdagangan
dan jasa eksisting yang seringkali menimbulkan konflik, akan ditata secara terintegrasi
dengan konsep revitalisasi kawasan. Bangunan yang akan dibangun pun disesuaikan secara
teknis, yaitu dengan konsep rumah panggung dengan material yang ringan. Upaya fisik yang
telah dilakukan adalah pembangunan tanggul atau siring di sepanjang Sungai Martapura,
yang saat ini telah mencapai panjang 1 km dari sekitar 5 km yang direncanakan.
Berhasilkah rencana tersebut?
Perlahan tapi pasti, mungkin kalimat tersebut sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana
transformasi wajah kota Banjarmasin di sepanjang sungai. Upaya penanganan drainase
wilayah kumuh melalui pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan sungai yang ada dan
normalisasi sungai mati, dan revitalisasi bantaran sungai-sungai besar mulai menampakkan
hasil. Hal ini tak terlepas dari dukungan masyarakat yang juga ingin melihat kotanya kembali
bersih.
Foto 7. Penataan Sungai Miai
Foto di sebelah kiri memperlihatkan situasi Sungai Miai sebagai salah satu contoh sungai
kecil sebelum normalisasi, sedangkan foto sebelah kanan memperlihatkan situasi Sungai Miai
saat ini. Normalisasi serupa dilakukan pula pada sungai-sungai yang lain, seperti Sungai
Cemara, Sungai Beruntung, Sungai Belitung, Sungai Pandu, dan lain-lain. (Foto: Paparan
Wakil Tentang Sungai, 2010)
Foto 8. Penataan Kawasan Tendean
Kawasan Tendean merupakan bagian dari penataan tepi sungai di pusat kota. Gambar atas
memperlihatkan desain situasi yang diharapkan. Sedangkan foto pada bagian bawah
memperlihatkan situasi saat ini kawasan tersebut setelah pembangunan siring dan penataan
kawasan. (Foto: Pemkot Banjarmasin)
Namun meskipun begitu, beberapa hambatan masih dialami oleh pemerintah dalam upaya
merealisasikannya. Pergeseran perlakuan sungai bagi masyarakat Banjarmasin ternyata justru
sudah menjadi ‘budaya baru’ dalam konteks kekinian. Memandang sungai sebagai ‘bagian
belakang’ aktivitas masyarakat menjadi lebih familiar. Hal tersebut terlihat melalui
banyaknya timbunan sampah yang terbuang ke sungai, bahkan lama-kelamaan sungai seakan
dianggap sebagai TPA kota. Kultur tersebut menjadi salah satu hambatan signifikan dalam
penataan kota. Keberhasilan penataan tersebut harus dibarengi dengan perubahan kembali
pola pikir masyarakat terhadap keberadaan sungai sebagai bagian penting dalam
pembentukan citra Kota Banjarmasin sehingga warisan citra waterfront bisa dikembalikan
kembali.
Selain itu, permasalahan lahan juga memiliki andil yang sangat besar dalam menghambat
realisasi rencana tersebut. Sebagian lahan di sepanjang sungai yang akan diremajakan
ternyata sudah dikuasai oleh ‘preman’ penguasa lahan yang memiliki konsekuensi terhadap
sulitnya proses pembebasan lahan. Namun, ternyata partisipasi masyarakat patut diapresiasi.
Dalam upaya relokasi dan pembongkaran bangunan, masyarakat yang bertempat tinggal di
sepanjang sungai mendukung sepenuhnya upaya tersebut, mereka bahkan rela untuk
direlokasi. Di Banjarmasin yang kehidupan masyarakatnya sangat terikat dengan sungai,
kesediaan ini adalah sesuatu yang luar biasa. Namun, dengan dukungan dan partisipasi
seluruh masyarakat, Adipura yang didambakan nampaknya bukanlah hal yang mustahil.
Pemindahan pusat pemerintahan provinsi
Di sisi lain, Banjarmasin harus pula mempersiapkan pemindahan pusat pemerintahan
Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru. Pemindahan ini, yang merupakan wacana
lama, ketika Gubernur Kalimantan pada tahun 1951, dr. Murdjani, mengeluhkan aktivitas
pemerintahan yang seringkali terganggu akibat genangan air dan gelombang pasang. Di sisi
lain, kondisi Banjarmasin yang berawa-rawa juga menimbulkan ancaman berbagai penyakit.
Murdjani kemudian menganggap bahwa perlu mencari lokasi ibukota Kalimantan Selatan
yang baru.
Banjarbaru dipilih karena terletak di perbukitan yang bertanah padat, berbeda dengan wilayah
di sekitarnya yang cenderung berawa-rawa, sehingga dianggap layak sebagai lokasi sebuah
ibukota baru. Sebuah tim kajian kelayakan yang dipimpin oleh D.A.W. Van der Peijl
bekerjasama dengan Tim Planologi dari ITB merancang Banjarbaru sebagai sebuah kota baru
(new town) dalam waktu yang hampir bersamaan dengan Palangkaraya. Selanjutnya, kota
baru ini mendapatkan status kota administratif selama 23 tahun, hingga pada tahun 1997 kota
ini ditetapkan sebagai Kotamadya.
Foto 9. Rencana Pemanfaatan Lahan di
sekitar kantor pemerintahan Provinsi
Gambar di samping memperlihatkan rencana
pemanfaatan ruang Kota Banjarbaru di sekitar
perkantoran provinsi, yang terdiri atas
perumahan
dan
fasilitas
pendukung,
perhotelan, sekolah, hutan kota, danau buatan
dan alun-alun kota. (Sumber: Distako
Banjarbaru, 2010)
Saat ini Banjarbaru telah berkembang menjadi suatu kota yang berkembang pesat dan
mandiri, hingga telah sepenuhnya lepas dari Banjarmasin sebagai induknya. Kota baru ini
pun telah siap menerima rencana pemindahan perkantoran provinsi, antara lain dengan
mengakomodasi rencana pemindahan tersebut dalam Rencana Teknik Ruang Kawasan
Perkotaan Kota Banjarbaru. Wilayah perencanaannya berada di sekeliling kawasan
perkantoran Provinsi, agar kualitas ruangnya selaras dengan kualitas ruang kawasan
perkantoran provinsi. Perencanaan ini juga diperlukan untuk menghindari praktik spekulasi
lahan, yang merupakan praktik jamak yang mengiringi rencana pembangunan suatu pusat
baru. Perencanaan ini meliputi pengaturan perumahan dengan gradasi kepadatan yang
dikombinasikan dengan ruang terbuka hijau.
Bagaimana dengan Banjarmasin sendiri setelah pemindahan ini? Banjarmasin tampaknya
telah siap dengan isu ini. Pemindahan ini sekaligus membantu Banjarmasin mengurangi
beban kota, yang selama ini tertumpu khususnya di Kecamatan Banjarmasin Barat yang
mencapai 10.763 jiwa/km2. Sangat menarik untuk melihat bagaimana Banjarmasin dan
Banjarbaru akan berkembang di masa depan karena keduanya mewakili dua proses
perkembangan kota yang berbeda: Banjarmasin tumbuh sebagai kota yang organis,
sedangkan Banjarbaru tumbuh sebagai kota baru yang direncanakan. Namun keduanya samasama menyiratkan optimisme di masa depan.
Download