1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan bumi (Kraak dan Ormelling, 2003). Pada peta, data spasial direpresentasikan sebagai titik, garis, atau area, tergantung dari objek apa yang digambarkan. Misal, secara berurutan, objek kota, jalan, dan sawah digambarkan pada peta dengan titik, garis dan area. Titik tidak memiliki dimensi, garis berdimensi satu, dan area berdimensi dua. Peta dengan menggunakan representasi seperti ini tidak dapat menampilkan permukaan bumi secara tiga dimensi, sedangkan pada kenyataannya, bumi merupakan objek tiga dimensional. Permukaan bumi yang digambarkan dalam bentuk tiga dimensi memerlukan data ketinggian (berdimensi tiga), agar dapat menghasilkan sesuatu yang terlihat lebih mendekati kenyataan sebenarnya dari bumi. Pemodelan permukaan bumi secara tiga dimensi dilakukan untuk membantu memudahkan analisis kajian kebumian yang berhubungan dengan topografi, seperti longsor dan deformasi permukaan. DEM (Digital Elevation Model) adalah data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari titik – titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan koordinat (Tempfli, 1991 dalam Purwanto 2008). DEM merupakan model tiga dimensi digital dari permukaan bumi yang menyajikan relief medan permukaan bumi yang menyerupai keadaan sebenarnya di dunia nyata (real world). Keadaan medan permukaan bumi maupun perubahannya perlu dipantau secara berkelanjutan agar dapat dilakukan suatu analisis maupun memprediksikan keadaan medan yang akan datang. Banyak analisis kebumian memerlukan adanya DEM untuk mempermudah analisis. Analisis kebumian ini dapat berupa analisis medan (menyangkut tentang ketinggian seperti geomorfologi dan hidrologi), disamping aplikasi DEM untuk koreksi data, dan visualisasi (Purwanto, 2008). Dalam penggambaran permukaan bumi secara tiga dimensi, terdapat istilah DSM (Digital Surface Model) dan DTM (Digital Terrain Model). DSM merupakan model permukaan digital yang merepresentasikan ketinggian medan permukaan bumi termasuk didalamnya kenampakan objek yang terdapat diatas permukaan seperti vegetasi dan bangunan. Sedangkan DTM merupakan model tinggi digital yang menggambarkan ketinggian medan permukaan bumi tanpa kenampakan objek yang ada diatasnya (bare ground). Berbagai metode telah dikembangkan pembuatan DEM diantaranya fotogrametri yang menggunakan data pasangan foto udara stereo dan Interferometric Synthetic Aperture Radar (inSAR) yang menggunakan data pasangan citra radar SAR yang berkorelasi. InSAR merupakan teknik untuk memperoleh informasi tiga dimensi (3D) dari permukaan bumi dengan berdasar pada perbedaan fasa di dua citra SAR (Synthetic Aperture Radar) yang direkam pada posisi yang berbeda (Kerle, 2004). InSAR merupakan teknik yang cukup baru dalam penerapan teknologi radarInSAR dapat digunakan untuk berbagai macam aplikasi antara lain studi deformasi permukaan, gunung api, maupun kawasan pesisir, studi pemetaan topografi, dan studi pemetaan arus laut. Penggambaran permukaan bumi dengan metode inSAR menghasilkan DSM yang menggambarkan ketingian medan permukaan bumi termasuk objek diatasnya. InSAR mampu menghasilkan data DSM untuk wilayah yang relatif luas hingga puluhan kilometer dan mampu menyajikan data secara kontinue. Akurasi vertikal yang ditawarkan teknik inSAR satellite-based system yaitu antara 10 – 30 meter RMSE, sedang untuk airborne system mencapai 0,3 meter (Aronoff, 2005). Mengingat pembuatan DSM dengan teknik inSAR ini membutuhkan dua citra yang berbeda secara spasial atau temporal, menjadikan banyak hal yang perlu diperhatikan yang berpengaruh terhadap akurasi DSM yaitu penentuan baseline (spasial maupun temporal) dari dua citra, registrasi citra dari dua citra yang digunakan (master dan slave), dan algoritma phase unwrapping yang digunakan dalam proses pengolahan inSAR. Phase unwrapping merupakan proses yang sangat menentukan dalam inSAR. Diketahui bahwa informasi pada citra SAR yang berperan dalam menghasilkan DSM dalam inSAR adalah fasa yang merupakan banyaknya jumlah gelombang yang terdapat pada setiap pemancaran gelombang radar ke suatu obyek. Nilai fasa berhubungan dengan informasi topografi. Nilai medan (topografi) masing – masing piksel di citra dapat diukur secara tepat menggunakan hubungan antara ketinggian sensor, panjang gelombang radar, arah penyinaran, dan baseline antena (Massonet dan Feigl, 1998). Pada interferogram yang dibentuk dari dua citra SAR didapat fasa relatif yang terbatas antara 0 - 2π atau yang biasa disebut wrapped phase. Phase unwrapping adalah sebuah teknik yang digunakan untuk menghilangkan diskontinuitas 2π pada interferogram (fasa relatif) sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan interferogram fasa absolut yang kemudian dapat dikonversi ke nilai ketinggian permukaan bumi (Ismullah, 2004). Phase unwrapping terbagi dalam dua kategori yaitu Path Following (metode phase unwrapping dengan pendekatan lokal yang meng-unwrap sebuah piksel berdasarkan piksel tetangganya, dan Minimum Norm (metode phase unwrapping dengan pendekatan global yang memandang piksel secara keseluruhan untuk di-unwrap). Yang termasuk dari metode Path Following antara lain algoritma Branch Cut, Quality Guided Path Following, Flynns minimum discontinuity, Minimum cost flow (MCF) Minimum spanning tree, sedangkan algoritma Minimum Lp-Norm, Least square (unweight dan weight least square) termasuk ke dalam jenis Minimum Norm. Tidak ada algoritma phase unwrapping yang digunakan secara sempurna untuk segala jenis data radar (Karout, 2008) dan untuk segala jenis topografi medan. Penelitian ini mencoba menggunakan dua algoritma phase unwrapping berbeda yaitu region growing dan minimum cost flow dalam penurunan DSM dengan teknik insar. Dipilihnya algoritma region growing pada penelitian ini dikarenakan algoritma ini dianggap dapat menghasilkan akurasi yang cukup baik dengan efisiensi waktu eksekusi yang tinggi (Sarmap, 2009). Sementara algoritma minimum cost flow (MCF) digunakan sebagai pembanding algoritma region growing dalam menghasilkan DSM, sehingga nantinya dapat diketahui algoritma phase unwrapping manakah yang dapat menghasilkan akurasi yang lebih baik dalam menghasilkan DSM dengan proses interferometri dengan citra PALSAR pada area penelitian yang dikaji. Penelitian Parihar, 2013 menerapkan algoritma region growing pada radar interferometri dengan pasangan citra PALSAR dengan karakteristik pasangan citra yang digunakan yaitu baseline temporal 46 hari, baseline normal 537,5 meter, nilai ambiguitas 2π sebesar 107,4 meter, dan topografi area yang dikaji berbukit dengan penutup lahan vegetasi kerapatan tinggi dengan penggunaan lahan berupa hutan. Penelitian tersebut menghasilkan akurasi yang dinyatakan dengan Root Mean Square (RMSE) sebesar 27,2 meter dan deviasi standar 26 meter. Penelitian mengenai pemrosesan teknik interferometri dalam menghasilkan DSM ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dalam pemilihan metode dalam menghasilkan DSM. 1.2. Perumusan Masalah Penggambaran bumi (dalam hal ketinggian medan) secara konvensional membutuhkan waktu yang relatif lama dibandingkan dengan cara digital, terlebih dengan cara digital ini mampu didapatkan penggambaran bumi dengan bentuk yang mendekati kenyataan (real world). Ketinggian medan permukaan bumi secara konvensional hanya dapat digambarkan dalam bentuk dua dimensi yaitu garis kontur (garis yang menghubungkan ketinggian medan yang sama) pada peta. Seiring dengan kemajuan digital, bumi dapat digambarkan secara digital dengan tiga dimensi yaitu dalam bentuk DEM. Metode perolehan data ketinggian untuk pembuatan DEM (Digital Elevation Model) juga semakin berkembang dari yang awalnya dengan cara pengumpulan data ketinggian langsung di lapangan atau survey terrestris dengan alat survey seperti theodolit, hingga perolehan data dengan bantuan teknologi satelit radar yang menghasilkan citra SAR (Synthetic Aperture Radar). Perolehan data dengan satelit ini mampu menyajikan data yang kontinue dikarenakan data ini dapat dihasilkan melalui proses perekaman siang maupun malam dan dapat dilakukan di segala cuaca. Hal ini sangat sesuai untuk kajian kebumian di Indonesia yang beriklim tropis. Berbeda dengan metode pengumpulan data ketinggian langsung di lapangan atau survey terrestris yang menghasilkan data yang akurat tetapi dalam pelaksanaannya tidak dapat dilakukan kapan saja seperti halnya satelit radar. Keterbatasan metode pengumpulan data ketinggian langsung di lapangan atau survey terrestris juga terdapat pada hal efisiensi biaya dan waktu yang kurang (biaya mahal dan waktu yang lama) dibandingkan dengan satelit radar. Terlebih lagi, pengumpulan data ketinggian langsung di lapangan dilakukan secara point by point (titik per titik pengamatan), tidak seperti satelit radar dimana data yang diperoleh berupa area yang luas hingga puluhan kilometer. Pembuatan DEM secara digital dengan sumber data citra satelit juga di pengaruhi oleh perkembangan teknologi penginderaan jauh khususnya sistem aktif dalam pengadaan satelit – satelit sumber daya yang menjadikan bermunculannya berbagai macam citra SAR dengan karakteristik masing – masing dengan kelebihannya dalam aplikasi tertentu seperti ENVISAT dan ERS yang menggunakan band C (panjang gelombang 5,3 cm), sedangkan JERS dan ALOS PALSAR menggunakan band L (panjang gelombang 23,6 cm) yang dapat menembus awan, hujan, dan permukaan bumi berupa kanopi vegetasi. Dari karakteristik gelombang radar yang digunakan ini, nantinya dapat diketahui apakah data yang dihasilkan berupa data ketinggian medan atau data ketinggian permukaan atas objek (vegetasi ataupun bangunan) Melihat fakta dan kelebihan perolehan data ketinggian medan (topografi) dengan satelit radar yang cukup menjanjikan ditambah dengan kemajuan digital yang berarti, menjadikan pemanfaatan teknik inSAR (yang memanfaatkan citra radar SAR yang bersesuaian) mulai marak digunakan pada aplikasi kebumian, salah satunya yaitu untuk menghasilkan DEM, DSM maupun DTM. DEM yang mewakili kondisi medan permukaan bumi saat itu dibuat semirip mungkin dengan kenyataan, dimana kualitas dari DSM dinyatakan dalam besarnya akurasi yang didapat dengan membandingkan nilai ketinggian yang terdapat pada DEM dengan nilai ketinggian permukaan bumi yaitu seberapa akurat nilai ketinggian pada setiap pikselnya (akurasi absolut) dan seberapa akurat morfologi yang direpresentasikan (Burrough dan McDonell, 1998 dalam Fahmi, 2009). Data DEM sangat bermanfaat untuk berbagai macam analisis untuk kebumian, terlebih yang berhubungan dengan topografi medan, seperti DAS, pemodelan medan, penentuan BTS. Untuk data DSM dapat digunakan untuk mengetahui tegakan pohon atau biomassa hutan. Data dan informasi ketinggian medan (topografi) berupa DEM, DTM, DSM ini dengan kualitas yang baik sangat diperlukan dan besar manfaatnya untuk analisis kebumian lainnya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya bahwa informasi ketinggian medan suatu wilayah baik terlebih dalam bentuk tiga dimensi ini perlu dipelajari sebaik – baiknya tentang bagaimana cara pembuatan, aplikasi dan analisisnya. Tahapan pembuatan DSM dengan teknik inSAR cukup panjang dan rumit. Salah satu tahapan yang sangat penting dan cukup berpengaruh pada hasil DSM yaitu phase unwrapping. Phase unwrapping merupakan prosedur untuk menghasilkan 3D (tiga dimensi) dari permukaan bumi dimana data diperoleh dengan teknik interferometry. Pada penelitian kali ini, difokuskan pada pembuatan DSM dengan inSAR menggunakan algoritma phase unwrapping yang berbeda. Algoritma phase unwrapping yang digunakan yaitu algoritma region growing dikarenakan algoritma ini dianggap dapat menghasilkan akurasi yang cukup baik dengan efisiensi waktu eksekusi yang tinggi (Sarmap, 2009) dan algoritma minimum cost flow digunakan sebagai pembanding. Dari sini, dapat dibuat satu pertanyaan, “algoritma phase unwrapping manakah yang dapat membantu teknik insar dalam menghasilkan DSM yang akurat?”. Pada penelitian ini diharapkan nantinya dapat diketahui kualitas DSM dengan algoritma phase unwrapping mana yang lebih baik yang digunakan pada citra PALSAR. Berdasarkan uraian perumusan masalah di atas, maka penelitian ini mengambil judul “STUDI PERBANDINGAN DUA ALGORITMA PHASE UNWRAPPING (REGION GROWING DAN MINIMUM COST FLOW) PADA TEKNIK INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (INSAR) DALAM MENGHASILKAN DIGITAL SURFACE MODEL (DSM)”. 1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas, dapat dibuat beberapa pertanyaan penelitian, yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana kemampuan masing – masing algoritma phase unwrapping (region growing dan minimum cost flow) dalam proses inSAR untuk menghasilkan DSM dari citra PALSAR ? 2. Algoritma manakah yang lebih baik (region growing atau minimum cost flow) dalam menghasilkan DSM bila hasilnya dibandingkan dengan ketinggian permukaan bumi di lapangan ? 1.4. Tujuan Berdasarkan permasalahan diatas, dapat dirumuskan tujuan penelitian yang akan dilakukan, yaitu : 1. Mengetahui kemampuan masing – masing algoritma phase unwrapping (region growing dan minimum cost flow) dalam proses inSAR dalam menghasilkan DSM dari citra PALSAR. 2. Membandingkan hasil DSM dari dua algoritma yang berbeda (region growing dan minimum cost flow) terhadap ketinggian permukaan bumi di lapangan untuk mengetahui algoritma mana yang lebih baik dalam menghasilkan DSM. 1.5. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan teknik inSAR dalam menghasilkan DSM sehingga dapat menambah wawasan pengetahuan dalam penggunaan data penginderaan jauh sistem aktif dan dapat memperkaya pengetahuan algoritma phase unwrapping pada teknik inSAR dalam menghasilkan DSM yang paling baik sehingga nantinya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan suatu algoritma phase unwrapping yang akan digunakan pada proses inSAR. Pemanfaatan teknik diharapkan menjadi alternatif dalam menghasilkan DSM, sehingga nantinya dapat menyediakan dan menghasilkan data yang lebih akurat dan cepat terlebih pada daerah yang luas.