9 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sebelumnya Kajian

advertisement
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian Sebelumnya
Kajian terhadap tokoh-tokoh politik sejauh ini hanya dititikberatkan pada
mereka yang bertaraf nasional bahkan internasional. Dalam taraf internasional
misalnya dikaji tentang pemikiran Imam Khomeini, 1 Ibnu Taimiyah,2 Ibn Rusyd,3
dan sebagainya. Sedangkan dalam taraf nasional dikaji tentang pemikiran politik
KH. Hasyim Asy’ari, 4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur)5, Muhammad Natsir, 6 dan
sebagainya. Namun sangat jarang dikaji tentang pemikiran tokoh-tokoh lokal yang
juga memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap perkembangan politik Islam
di Indonesia.
Di Kalimantan Tengah yang memiliki banyak tokoh agama Islam, hanya
sebagian kecil saja yang terjamah oleh penelitian, sehingga tidak banyak diperoleh
1
Seperti yang diteliti oleh Amin Abdullah, Teologi Sosial-Politik Imam Khomeini,
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008, terarsip dalam digilib.uin-suka.ac.id/253/. Diakses pada
04 Maret 2013.
2
Seperti yang diteliti oleh Taefur Aziz, Bentuk Negara Menurut Ibnu Taimiyah,
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009, terarsip dalam digilib.uin-suka.ac.id/2468/. Diakses pada
04 Maret 2013.
3
Seperti yang diteliti oleh Syamsul Anwar, Filsafat dan Syarah dalm Pemikiran Ibn Rusyd,
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008, terarsip dalam digilib.uin-suka.ac.id/290/. Diakses pada
04 Maret 2013.
4
Seperti yang diteliti oleh Abdul Halim, Epistemologi Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari
dalam al-Tanbihat al-Wajibat li Man Yasna’ a;-Maulid bi al-Munkarat, Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga,2010, terarsip dalam digilib.uin-suka.ac.id/6984/. Diakses pada 04 Maret 2013.
5
Seperti yang diteliti oleh Riza Apriliana, Pluralisme Sebagai Politik Kultur KH.
Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2011, terarsip dalam digilib.uinsuka.ac.id/6204/. Diakses pada 04 Maret 2013.
6
Seperti yang diteliti oleh Hidayatul Muslimah, Muhammad Natsir dan Pemikirannya
tentang Demokrasi, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009, terarsip dalam digilib.uinsuka.ac.id/1656/. Diakses pada 04 Maret 2013.
10
karya tulis yang menguak tentang peran tokoh-tokoh ulama lokal Kalimantan
Tengah dalam dakwah Islam, terlebih dalam ranah perpolitikan Islam.
Beberapa di antara para tokoh Kalimantan Tengah yang pernah dijadikan
sebagai objek penelitian adalah KH. Hasan Basri dari Muara Teweh, seorang
tokoh agama yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum MUI Pusat selama tiga
periode berturut-turut, yakni sejak tahun 1985-1990, tahun 1990-1995, dan tahun
1995-2000.7 Kemudian KH. Muhammad Madjedi, seorang tokoh ulama dan
pendidik di kota Palangka Raya yang juga pernah menjabat sebagai Ketua
Pengurus Syuriah Nahdatul Ulama Cabang Kota Palangka Raya selama tiga
periode berturut-turut, yakni sejak tahun 1962-1985.8
Salah satu tokoh ulama lokal Kalimantan Tengah yang memiliki karismatik
yang tinggi di bidang agama dan sosial kemasyarakatan adalah KH. Haderani H.
N. Penelitian terhadap pemikiran KH. Haderanie H. N. sudah pernah dilakukan
oleh Fadli Rahman. Dalam tesisnya yang telah diterbitkan menjadi sebuah buku
pada tahun 2007, dibahas tentang pemikiran tasawuf KH. Haderanie H. N. yang
meliputi kajian tentang ilmu ma’rifah, musyāhadah, mukāsyafah dan maḥabbah.9
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tasawuf KH. Haderanie H. N.
merupakan sebuah paradigma baru neo sufisme di Kalimantan Tengah. Melalui
ajarannya KH. Haderanie H. N. berusaha memadukan dimensi fikih dan tasawuf
7
Penelitian dilakukan oleh Hadariansyah AB dalam tesisnya KH. Hasan Basri (1920-1998):
Kajian Biografis Tokoh Majelis Ulama Indonesia, pada tahun 2001 yang kemudian diterbitkan
menjadi sebuah buku pada tahun 2009. Lihat Hadariansyah, KH. Hasan Basri (1920-1998): Tokoh
Majelis Ulama dari Kalimantan, Cet. II, Banjarmasin: Antasari Press, 2010, h. iii.
8
Lina dan Tahta Rahmanda, KH. Muhammad Madjedi: Ulama Kharismatik yang Mendidik
di Kota Cantik Palangka Raya, Cet. II, Banjarmasin: Comdes, 2012, h. 106.
9
Buku tersebut adalah Fadli Rahman, Ma’rifah, Musyahadah, Mukasyafah dan Mahabbah:
Paradigma Baru Neo Sufisme di Kalimantan Tengah, Malang: In-Trans Publishing, 2007.
11
untuk memurnikan pemahaman sufistik yang saat itu banyak menyimpang dari
ketentuan Islam. Meskipun karakter tasawuf KH. Haderanie H. N. bernuansa
filsafat, namun karakter sunni tetap melekat pada ajarannya. Dengan demikain,
karakter tasawuf KH. Haderanie H. N. merupakan perpaduan antara karakter
tasawuf falsafi dan sunni. 10
Penelitian Fadli Rahman tersebut hanya terfokus pada pemikiran tasawuf
secara khusus. Meskipun dibahas secara singkat tentang pengalaman politik KH.
Haderanie H. N. dalam studi biografinya, namun hal tersebut masih belum cukup
menggambarkan secara konkrit tentang pemikiran politik KH. Haderanie H. N.
secara terperinci.
Oleh sebab itu, titik tekan penelitian ini sangatlah berbeda dari penelitian
sebelumnya. Penelitian sebelumnya mengarah kepada pemikiran tasawuf secara
lebih khusus, sedangkan penelitian ini mengarah kepada pemikiran-pemikiran
KH. Haderanie H. N. yang menurut peneliti memiliki muatan politik di dalamnya.
B. Deskripsi Teoritik
1. Ulama dan Dinamikanya
a. Definisi Ulama
1) Asal Kata Ulama
merupakan
ُ ‫َﻤ َ ﺎء‬
‫ ﻋُ ﻠ‬jamak
yakni
ٌ ِ ‫ﺎﱂ‬
َ‫ ﻋ‬isim fa’il dari kata kerja ‫ﻠْﻤ ً ﺎ‬-ِ‫ﻋَ ﻠِﻢﻳـََ ﻌ ْ– ﻠَﻢ ُ ﻋ‬
Istilah ulama berasal dari bahasa Arab,
dari kata
berarti mengerti, mengetahui atau memahami. Dengan demikian, secara
10
Fadli Rahman, Ma’rifah Musyahadah…, h. 145-150.
12
bahasa
ُ ‫ﻠَﻤ َ ﺎء‬berarti
ُ‫ ﻋ‬orang-orang yang berpengatahuan atau ahli
ilmu.11
Meskipun istilah ulama merupakan bentuk jamak dalam bahasa
Arab, namun belakangan istilah tersebut kerap kali dipahami masyarakat
Indonesia sebagai bentuk tunggal, sehingga ditemukan istilah para ulama
untuk menunjukkan beberapa orang alim atau ahli ilmu.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia istilah alim atau ulama diartikan
sebagai orang yang berilmu agama, orang yang pandai dalam hal agama
atau takwa kepada agama. Dalam istilah lain alim atau ulama disebut
juga sebagai kiai,12 seperti yang disebutkan Geertz, meskipun akhirnya
Horikoshi membedakan kedua istilah tersebut, sebab penyebutan ulama
lebih ke fungsi administratif, sedangkan kiai ke tataran kultural.13
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara
bahasa kata ulama merupakan sebuah gelar yang diberikan kepada orang
yang dianggap memiliki pemahaman yang lebih terhadap suatu bidang
ilmu.14 Istilah tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dan
dipersempit maknanya menjadi orang yang ahli dalam hal agama.
11
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, h. 965-6.
12
Rizky Maulana dan Putri Amelia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Artikel:
Alim, Kiai Dan Ulama), Surabaya: Bintang, t.th. Lihat juga Agus Sulistyo dan adhi
Mulyono, Kamus Bahasa Indonesia, Surakarta:ITA, t.th, h. 28, 252, dan 471.
13
Miftah Faridl, Peran Sosial Politik Kiai di Indonesia, Pdf Jurnal Sosioteknologi,
Ed. 11, Tahun ke-6, Agustus 2007, h. 238.
14
Ahmad Syaikhu, Ulama dan Politik, STAIN Palangka Raya: Jurnal Himmah, Vol.
3, Ed. 13 Mei-Agustus 2004, h. 90.
13
2) Ulama Menurut Istilah
Istilah ulama disebutkan dalam al-Quran di dua ayat surah asySyu’ara dan Fathir. Dalam surah Fathir ayat 28 disebutkan sebagai
berikut:





  
   




   
Artinya: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang
melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacammacam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(QS. Fathir [35]: 28).15
Quraish Shihab menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulama
dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan
kekuasaan Allah. Seorang yang alim, yakni orang yang memiliki
pengetahuan syariat secara mendalam, memahami dampak baik dan
buruk dari sebuah perbuatan sehingga ia mampu mengerjakan dan
meninggalkan suatau pekerjaan berdasarkan apa yang dikehendaki Allah
dan syariat-Nya.16
Sejalan dengan ungkapan Muhammad Mahmud Hijazi yang
menyatakan dalam tafsirnya bahwa ulama seperti yang disebutkan dalam
15
Depertemen Agama RI, al-Quran Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, Banten:
Kalim, 2010, h. 438.
16
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, h. 30.
14
ayat tersebut adalah orang yang paling takut kepada Allah, paling
mengerti tentang kekuasaan dan keagungan-Nya, serta paling mengerti
dengan perkara hari akhir. Sebagaimana disebutkan Ibn Abbas bahwa
ulama adalah orang yang mengerti bahwa Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.17
Imam al-Qurthubi menambahkan beberapa pendapat yang sama,
seperti Mujahid dan Rabi’ bin Anas yang menyatakan bahwa orang yang
tidak takut kepada Allah bukanlah orang alim. Selanjutnya pendapat
Sa’ad bin Ibrahim yang menyatakan bahwa orang alim adalah orang yang
paling bertakwa kepada Allah swt.18
Berdasarkan beberapa
pendapat
ahli
tafsir
tersebut
dapat
disimpulkan bahwa ulama dalam istilah al-Quran ditunjukkan kepada
orang-orang yang takwa dan takut kepada Allah karena mengetahui akan
kekuasaan-Nya, mengetahui dampak baik dan buruk, serta meyakini akan
balasan yang diberikan pada hari akhir nanti.
b. Kriteria Ulama
Ahmad Mustafa al-Maraghi mengutip pendapat Ibn Abbas tentang
kriteria ulama, yakni mengetahui Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan
apapun, menghalalkan yang dihalalkan, mengharamkan yang diharamkan,
menjaga perintah-Nya, serta yakin bahwa ia akan bertemu dan dihisab di
17
Muhammad Mahmud Hijazi, at-Tafsīr al-Wāḍiḥ, Jilid 3 (Juz 21-30), Cet. 10,
Beirut: Dar al-Jalīl, 1993, h. 164-165. Pendapat Ibn Abbas tersebut juga dinukil oleh
Muhammad at-Thabari, Tafsir ath-Thabari, Pent. Misbah, Jilid 21, Jakarta: Putaka Azzam,
2009, h. 534.
18
Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Pent. Fathurrahman Abdul Hamid dkk, Jilid
14, Jakarta: Pustaka Azzamm, 2009, h. 823.
15
hadapan Allah. Sedangkan menurut Hasan al-Bashri ulama adalah orang
yang takut kepada Allah, senang terhadap apa yang disenangi-Nya dan
menjauh dari apa yang dibenci-Nya. 19
Adapun Muhammad Mahmud al-Hijazi menerangkan kriteria ulama
sebagai orang yang membaca, mempelajari, mengajarkan dan mengamalkan
al-Quran, khususnya dalam hal amr ma’ruf nāhī munkar. Mendirikan shalat
dengan khusu’, bersedakah, ikhlas tak mengharap kecuali pahala dari Allah
dan tidak riya.20
Sedangkan Anwar Musaddad memberikan kriteria ulama yang lebih
terperinci, yakni terdiri dari empat kreteria pokok sebagai berikut:
1) Faṭānah, yakni memiliki kecerdasan untuk memahami dan mengamalkan
al-Quran dan Hadis, ilmu-ilmu agama dan umum. Mampu melakukan
evaluasi dan memecahkan permasalahan umat. Bijaksana dalam
mengambil keputusan serta berorientasi pada masa depan;
2) Amānah, yakni dapat dipercaya jika diberikan amanah berupa jabatan,
harta, keluarga dan sebagainya;
3) Ṣiddīq, yakni berpegang pada kebenaran al-Quran dan hadis, berakal budi
yang sehat, berakhlak terpuji, serta mampu memilah dan memilih mana
yang baik dan benar;
19
Ahmad Mushtafa al-Maraghi, Tafsīr al-Marāghī, Juz 22, Beirut: Dar al-Fikr, t.th,
h. 126-7.
20
Muhammad Mahmud Hijazi, at-Tafsīr al-Wāḍiḥ…, h. 535.
16
4) Tablīg, yakni terampil dan santun dalam komunikasi dan menyampaikan
pesan agama, baik dari segi metodologi, perencanaan, teknis maupun
evaluasi. 21
Dari bebearapa kreteria yang dipaparkan tersebut dapat disimpulkan
bahwa seorang akan tergolong dalam kelompok ulama apabila ia mengenal
Allah, mempelajari dan mengamalkan ayat-ayatnya, serta menjalankan
seluruh perintah dan menjauhi seluruh larangan-Nya dengan ikhlas dan
tidak pamer. Selanjutnya ia sampaikan ilmunya kepada umat dengan cara
yang cerdas, amanah dan penuh dengan kejujuran.
c. Tipologi Ulama
Adapun tipologi ulama menurut Imam Abdullah al-Haddad terbagi
menjadi dua bagian sesuai dengan bagian ilmu, yakni ulama yang
bermanfaat dan tidak bermanfaat. Ulama yang bermanfaat atau ulama
muttaqī (bertakwa) adalah ulama yang selalu berusaha untuk kebaikan,
manfaat dan kemaslahatan bagi dirinya dan seluruh umat. Sebaliknya ulama
tidak bermanfaat atau ulama as-sū‘ (jelek) adalah ulama yang tidak pernah
memikirkan kejelekkan, bahaya dan fitnah atas dirinya dan umat.22
Sedangkan Ali Maschan Moesa mengutip pendapat Turmudi yang
membagi tipologi ulama atau kiai menjadi empat tipe sebagai berikut:
21
Anwar Musaddad, Biografi, Pengabdian, dan Pemikiran Ulama Intelektual, Cet. 1,
Jakarta: Kementerian Agama RI, 2012, h. 79-81.
22
Imam Abdullah al-Haddad, ad-Da’wah at-Tammāh wa at-Tażkirah al-‘Ammāh, Cet.
4, Ttp: Dar al-Jāwī, 2000, h. 58-60.
17
1) Ulama pesantren, yakni para kiai yang memusatkan perhatian untuk
meningkatkan sumber daya masyarakat melalui pendidikan atau
pesantren;
2) Ulama tarekat, yakni para kiai yang begelut di dunia kebatinan dan
membangun kecerdasan hati masyarakat;
3) Ulama politik, yakni para kiai yang mengembangkan oraganisasi seperti
NU dan terlibat dalam dunia politik dan pemerintahan;
4) Ulama panggung, yakni para kiai atau juru dakwah yang aktif
memberikan ceramah agama di berbagai tempat.23
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka pendapat pertama membagi
tipologi ulama secara umum dan lebih kepada aspek nilai. Sedangkan
pendapat kedua membagi tipologi ulama berdasarkan fungsi dan perannya
di masyarakat, tanpa memberikan penilaian baik ataupun buruk.
d. Ulama dan Pendidikan
Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan agama yang
dipimpin oleh seorang ulama yang biasa disebut kiai dan beberapa santri
senior. Pesantren merupakan bagian terpenting dalam kehidupan kiai sebab
melalui pesantren ia dapat mengembangkan ajaran, tradisi dan pengaruhnya
di masyarakat. Selain kiai, pesantren juga memiliki unsur pokok lain berupa
santri, pondok, dan kitab.
Pesantren umumnya menggunakan sistem tradisional dalam proses
pembelajarannya, yakni kiai dan santri senior memberikan materi dari
23
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama, Cet.
1, Yogyakarta: LkiS, 2007, h. 65-66.
18
beberapa kitab kepada para santri dalam jumlah yang banyak secara
bersamaan. Adapun bentuk evaluasi pembelajaran tidaklah seperti lembaga
pendidikan formal lainnya, sehingga tidak ditemukan angka prestasi.
Evaluasi dilakukan melalui uji kompetensi seperti lomba baca kitab kuning
dan sebagainya.
Melalui pesantren kiai berusaha menciptakan sebuah wadah yang
mampu mengalirkan keyakinan, norma dan nilai Islam kepada masyarakat.
Melalui pesantren kiai mampu mengembangkan dakwah Islam dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan ketika zaman penjajahan kiai
mampu menjadikan pesantren sebagai markas gerilyawan untuk mengusir
para penjajah.24
Demikianlah peran ulama dalam kehidupan pesantren. Melalui
perannya di pesantren seorang ulama mendapat kehormatan yang luarbiasa
oleh para santri dan masyarakat di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan
perannya yang mampu menanamkan keyakinan, norma dan nilai Islam
kepada para santri dan masyarakatnya.
e. Ulama dan Organisasi
Sebelum tahun 1926, tokoh-tokoh ulama tradisional telah membentuk
organisasi-organisasi kecil yang bersifat lokal dan bergerak di bidang
pendidikan, ekonomi dan keagamaan. Pada tahun 1926, para tokoh ulama
senior berkumpul di rumah KH. Wahab Chasbullah di Kertopaten,
Surabaya. Setelah melakukan diskusi panjang mereka memutuskan untuk
24
Ibid, h. 93-8.
19
mendirikan
organisasi
Nahdatul
Ulama
(NU)
berskala
nasional.
Perkembangan NU semakin pesat dan menjadi organisasi Islam terbesar di
Hindia-Belanda pada tahun 1940.25
Pada masa awal pembentukannya, NU berorientasi pada dua hal
pokok, yakni melawan globalisasi paham Wahabi dan perjuangan melawan
penjajahan. Pada tahun 1952, NU memutuskan berpisah dari Masyumi dan
Menjadikan NU sebagai partai politik. Saat itu terjadi persaingan ideologi,
sedangkan partai dan pemerintahan merupakan sarana perjuangan strategis,
sehingga komunitas NU memandang pentingnya mendirikan sebuah partai
politik,26 meskipun pada akhirnya NU memutuskan untuk kembali ke
khiṭṭah 26 pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984.27
Berdasarkan paparan sejarah singkat tentang pembentukan organisasi
NU tersebut dapat disimpulkan bahwa ulama memiliki peran yang cukup
besar dalam membentuk sebuah organisasi yang mempersatukan visi misi
keagamaan, kebangsaan dan sosial politik.
2. Politik dan Dinamikanya
a. Bentuk Negara
Konsep negara-bangsa atau yang biasa disebut daulah, merupakan
perkembangan yang relatif baru di Eropa, yakni sejak munculnya Piagam
25
Greg Fealy, Ulama and Politics in Indonesia: a Historis of Nahdatul Ulama 19521967 (Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967), Cet. IV, Pent. Farid Wajidi dan
Adelina Bachtiar, Yogyakarta: LKiS, 2009, h. 21-22
26
Nur Kholik Ridwan, NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang
Satu Abad, Cet. 3, Yogyakarta: LKiS, 2012, h. 26-29.
27
Martin Van Bruinessen, Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Pasca Khittah 26:
Pergulatan NU Dekade 1990-an, dalam Ellyasa K.H. Dharwis, Gusdur, NU dan
Masyarakat Sipil, Cet. 3, Yogyakarta: LKiS, 2010, h. 63.
20
Wesphalia tahun 1648. Begitu pula dengan konsep kedaulatan (siyādah)
yang pertama-tama diungkapkan secara sisematis oleh Jean Bodin pada
tahun 1576. Dengan demikian, tidak heran jika konsep-konsep seperti itu
tidak disebutkan dalam al-Quran dan tidak dipraktikkan pada masa
Rasulullah saw.28
Namun jika dipandang melalui definisi negara, konsep negara
Madinah yang dibangun Rasulullah dan komunitas muslim saat itu cukup
dikatakaan sebagai negara awal dalam Islam, sebab kriteria negara telah
terpenuhi, antara lain adanya pemerintahan (kepala negara Rasulullah,
dewan sekeretariat, tentara, dan hubungan negara luar), wilayah (yakni
Madinah yang kemudian berkembang ke seluruh Jazirah Arab), rakyat
(muslim dan nonmuslim), Sumber hukum (al-Quran dan hadis), Sumber
keuangan (zakat, sedekah dan pajak dari nonmuslim). Sedangkan kebijakankebijakan politik dituangkan dalam ṣahīfah (Piagam Madinah).29
Pasca wafatnya Rasulullah, tampuk kepemimpinan dipegang oleh
Khulafā’ ar-Rāsyidīn, yakni Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali dengan
bentuk negara khilāfah. Pada masa selanjutnya sistem khilafah bergeser
menjadi sistem kerajaan, diawali dengan terbentuknya Dinasti Mu’awiyah,
Abbasiyah dan beberapa dinasti dan kerajaan lain seperti Kerajaan Usmani.
Pada puncaknya, sistem ini berakhir saat sistem khilafah dihapuskan dan
28
Abdul Rashid Moten, Political Science: An Islamic Perspektif (Ilmu Politik Islam),
Pent. Munir A. Mu’in dan Widyawati, Bandung: Pustaka, 2001, h. 1. Lihat juga Imam
Munawir, Posisi Islam di Tengah Pertarungan Ideologi dan Keyakinan, Cet. I, Surabaya:
Bina Ilmu, 1986, h. 105.
29
Sirajuddin, Politik Ketatanegaraan Islam: Studi Pemikiran A. Hasjmy, Cet. I,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 35-40.
21
Kerajaan Usmani berubah menjadi negara republik dan terus berkembang
hingga saat ini. 30
Berdasarkan paparan sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa
konsep negara dalam Islam telah tumbuh sejak awal kepemimpinan
Rasulullah di Madinah. Sistem ini terus berkembang pada masa khilafah
hingga bergesar pada masa dinasti atau kerajaan. Selanjutnya berakhir pada
penghapusan sistem khilafah dan digantikan menjadi negara republik pada
masa kerajaan Usmani.
b. Relasi Agama dan Negara
Persoalan tentang relasi agama dan negara menjadi salah satu
perdebatan utama dalam iklim politik dunia, khususnya di kalangan umat
Islam. Setidaknya ada dua pola utama yang saling bertentangan dalam hal
tersebut, yakni pola sekularistik dan integratif. Kemudian disusul dengan
pola yang menjadi penengah antara keduanya, yakni pola simbiotik.
1) Pola Sekularistik
Istilah sekularisme pada dasarnya telah lama digunakan meskipun
dalam sejumlah perspektif yang berbeda. Di negara-negara Protestan
misalnya, sekularisme diartikan sebagai sebuah kebijakan yang
memisahkan antara gereja dan negara. Sedangkan di negara-negara
Katolik, istilah sekularisme lebih dikenal dengan sebutan laicism atau
30
Ibid, h. 40-54.
22
non-kependetaan yang pada prinsipnya juga membedakan antara orang
awam dan para pendeta. 31
Pada dasarnya istilah-istilah tersebut mengarah pada suatu maksud
yang sama, yakni menyangkut masalah-masalah pertentangan atau
pemisahan gereja dan negara yang pada akhirnya membentuk sebuah
tatanan kenegaraan yang disebut dengan negara sekuler.
Negara sekuler adalah negara yang memiliki sistem pemerintahan
yang tidak menekankan suatu agama atas agama lain. Negara yang tidak
membangun sebuah tekanan sosial maupun pendidikan berdasarkan suatu
agama. Negara yang secara keseluruhan terpisah dari ajaran dan praktik
keagamaan alias non-agama. 32
Sistem sekularisme pertama kali dikemukakan secara formal oleh
Jacob Holyoake sekitar tahun 1846 di Inggris. Ada tiga alasan pokok
yang mendasari hal tersebut, yakni sebagai berikut:
a) Oreintasi pada dunia kini, alasan pertama menunjukkan bahwa
signifikan tujuan tertinggi manusia harus dicari dengan merujuk pada
kehidupan dan sosial masa kini, bukan merujuk pada agama atau
kehidupan akhirat;
b) Ilmu pengetahuan, alasan kedua menegaskan bahwa ilmu pengetahuan
Barat sejatinya mendukung sebuah keyakinan akan sebab-akibat alam
dalam menyingkap kebenaran berdasarkan pada akal, observasi dan
31
Abdul Rasyid Moten, Political Science…, h. 51.
32
Ibid,.
23
eksperimen dengan mengabaikan wahyu, tradisi atau kewenangan
keagamaan;
c) Liberalisme Barat, alasan ketiga dibangun atas dasar humanisme,
keyakinan akan kesucian dan kebebasan murni, hak hidup dan
kebahagiaan bagi setiap individu.33
Berdasarkan alasan pokok tersebut Jacob meyakini bahwa atas
dasar hak dan kebebasan didukung ilmu pengetahuan yang memadai,
masyarakat mampu menciptakan sebuah negara yang beroreintasi pada
hal-hal yang nyata di masa kini, bukan hal-hal yang abstrak tentang
kehidupan akhirat.
Sekularisme ini pada akhirnya diterima pula oleh beberapa
penguasa muslim, di antaranya Mustafa Kemal Ataturk yang menerapkan
aturan-aturan Barat di Turki sehingga diproklamirkan sebagai republik
sekular. Begitu juga dengan Habib Bourguiba di Tunisia, ia
mempertahankan Islam sebagai agama negara namun melarang wanita
untuk memakai hijab dan menganjurkan rakyatnya untuk tidak berpuasa
di bulan Ramadhan.34
Berbeda lagi dengan Karl Marx, jika Jacob Holyoake menentang
agama secara tidak langsung, maka Marx justru menampilkan gaya yang
33
34
Ibid, h. 2.
Beberapa penerapan unsur sekularisme di Turki antara lain adalah
diwajibkannya menggunakan pakaian dan alphabet Barat, kemudian mengganti lafazh
adzan dari bahasa Arab menjadi bahasa Turki dan sebagainya. Lihat Husin Anis dkk,
Benturan Islam-Barat, Cet.II, Bandung: Mizan, 1985, h. 171. Lebih lengkap tentang
Proses sekularisasi di Turki, lihat Edward Mortimer, Faith and Power: The Politics of
Islam (Islam dan Kekuasaan, Pent. Enna Hadi dan Rahmani Astuti, Cet. I, Bandung:
Mizan, 1984, h. 114.
24
lebih ekstrem. Ia menganggap agama sebagai sesuatu yang tidak nyata
dan sebuah kebodohan manusia tentang kenyataan hidup.
Marx pernah menyatakan bahwa ia membenci Tuhan. ia
menganggap agama sebagai produk kebodohan manusia terhadap
hukum-hukum
kausalitas
dan
kelemahan
psikologis,
agama
memperbudak, menghilangkan harkat serta menghalangi gerak hati. Oleh
sebab itu, agama yang berisi kebahagiaan yang menyesatkan haruslah
dihilangkan demi mencapai kebahagiaan yang sebenarnya. Sekularisme
Marx yang cenderung ateisme dikenal dengan sebutan Marxisme yang
kemudian menjadi sekularisasi terkuat pada abad ke-19, dipraktekkan di
Uni Soviet dan juga dimodifikasi di Cina. 35
Nilai sekularisme terus diimpor secara paksa dari Barat, namun
penolakan total dari berbagai negara sempat melunturkan citra Baratnya.
Akhirnya sekularisme dikonsep menjadi positif secularism, yakni sebuah
paham yang menganggap bahwa semua agama berhak ikut serta dalam
urusan negara.
Sekularisme
India
mengakui
bahwa
semua
agama
yang
dipraktikkan di India berhak atas kebebasan yang sama, baik dalam
melindungi negara maupun berpartisipasi dalam berbagai urusan umum.
Namun demikian, sekularisme ini akhirnya dibatalkan ketika Jenderal
Ziaur Rahman mengambil alih roda pemerintahan dan kemudian
menggantinya dengan perundang-undangan Islam. Sekularisme India
35
Abdul Rasyid Moten, Political Science…, h. 4. Lihat juga Pardoyo,
Sekularisasi Dalam Polemik, Cet. I, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993, h. 35.
25
juga dipraktikkan di negara-negara muslim seperti Gambia, Guenia,
Nigeria, Senegal dan Turki. 36
2) Pola Integratif
Pola ini dimainkan oleh kelompok fundamental, yakni kelompok
gerakan yang mendorong untuk kembali kepada ajaran pokok Islam yang
sesungguhnya seperti yang dipraktikkan pada zaman Rasul, para sahabat
dan tabi’in (hingga abad ke-3 H). Aliran ini menegaskan bahwa Islam
pada dasarnya memiliki perangkat kenegaraan dan mengatur sistem
kemasyarakatan, sehingga tidak ada alasan untuk memisahkan integritas
keduanya.37
Paham ini sangat jauh bertentangan dengan paham sekuler. Paham
sekuler berusaha membangun negara yang bebas dari unsur agama,
sedangkan paham fundamental justru beranggapan bahwa seluruh unsur
negara harus berdasarkan konsep agama.
Seorang
tokoh
fundamentalisme,
Abu
al-‘Ala
al-Maududi
mengemukakan tiga landasan keyakinan tentang konsep kenegaraan
dalam Islam. Pertama, Islam adalah agama paripurna yang mengatur
segala sisi kehidupan, termasuk urusan politik, sehingga tidak seharusnya
berkiblat ke Barat. Pola ke-khalifah-an dapat dijadikan contoh dalam
penerapan sistem negara Islam. Kedua, kedaulatan dan kekuasaan
tertinggi hanya milik Tuhan bukan rakyat, sehingga negara harus tunduk
pada hukum Islam, dan manusia hanya sebagai khalifah. Ketiga, sistem
36
Ibid, h. 6.
37
Kamaruzzaman, Relasi Islam…, h. 1.
26
politik Islam bersifat universal tanpa batasan geografi, bahasa maupun
kebangsaan. 38
Berdasarkan tiga kerangka tersebut, al-Maududi secara tegas
mendukung berdirnya negara Islam demi tegaknya hukum Tuhan.
Sebuah negara yang dikonsep dengan dasar agama dan kedaulatan
Tuhan, serta menempatkan manusia dalam konteks khalifah.
Sistem negara Islam bersandar pada sistem khilafah bukan sistem
kedaulatan, sehingga setiap ketetapan pemerintah harus sesuai dengan
hukum Tuhan. Sebagai khalifah, manusia tidak berwenang untuk
mengerahkan kekuasaan apapun selain dari yang telah ditetapkan
baginya. 39
3) Pola Simbiotik
Ketika terjadi pertentangan mendasar antara kedua kelompok
sekular dan fundamental, maka muncullah kelompok moderat yang
menjadi jembatan bagi kedua pemikiran tersebut, yakni kelompok
modernis dengan pola simbiotiknya.
Aliran modernis adalah aliran yang beranggapan bahwa Islam
memang mengatur masalah kemasyarakatan. Namun demikian tidak
semua sistem diatur dan dikonsep dengan sempurna. Terkadang ada halhal yang hanya dikonsep dalam bentuk dasar sehingga membutuhkan hal
38
Munawwir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Cet. 2, Jakarta: UI Press, 1990, h. 166.
39
Abu al-‘Ala al-Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam,
Bandung: Mizan, 1998, h. 169.
27
lain sebagai pelengkapnya. Maka dalam hal ini secara teknis Islam dapat
mengadopsi sistem lain sebagai penunjangnya.40
Seorang tokoh modernisme, Muhammad Natsir, mengemukakan
tentang dua pokok keutamaan agama Islam.
Pertama, agama
memberikan kemungkinan kepada para pemeluknya untuk lebih banyak
menggali ilmu pengetahuan dan kebenaran, sebab filsafat sekular hanya
berlandaskan tiga dasar berfikir, yakni empirisme, rasionalisme dan
intuisionisme, sedangkan wahyu tidak.
Kedua, agama meliputi seluruh aspek kehidupan.41 Islam tidak
hanya mengatur permasalahan ibadah saja, melainkan juga prinsipprinsip umum tentang hubungan antara individu dan masyarakat. Namun
demikian, aturan Islam tidak dapat berjalan dengan sendirinya,
diperlukan sebuah alat yang cocok untuk mendukung penegakkannya,
maka dalam hal ini negara adalah alat yang tepat.42
Natsir juga menyatakan bahwa Islam mengatur dasar-dasar
kemasyarakatan yang tidak akan pernah berubah selama manusia masih
memiliki sifat kemanusiaannya. Setiap pemimpin diwajibkan untuk
bermusyawarah dalam setiap urusan yang penting, namun tetap tidak
menyentuh kepada hukum-hukum yang telah jelas ketentuannya dalam
40
Kamaruzzaman, Relasi Islam…, h. 2.
41
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah kenegaraan, Cet. I, Jakarta: LP3ES,
1985, h. 164-5.
42
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…, h. 80. Lihat juga pendapat Hamka
tentang negara sebagai alat penegakkan syariat dalam Ahmad M. Sewang, Hubungan
Agama dan Negara: Studi Pemikiran Politik Buya Hamka, dalam Amir Mahmud, Islam
dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia, Jakarta; Edu Indonesia
Sinergi, 2005, h, 308.
28
Islam. Adapun hal-hal yang di luar dari ketetapan agama, maka dapat
ditata berdasarkan situasi dan kondisi zaman dan dengan cara yang sesuai
dan tidak melanggar hukum asal. 43
Berdasarkan pernyataan tersebut Natsir bermaksud menciptakan
hubungan timbal balik antara agama dan negara. Negara dapat dibangun
dengan dasar agama yang jelas. Jika ada hal-hal yang berada di luar
ketetapan agama, maka Islam membolehkan untuk mencontoh negara
lain yang memiliki sistem yang baik dan tidak berlawanan dengan dasar
agama.
c. Sistem Pemilihan Kepala Negara
Tidak ada mekanisme khusus yang ditetapkan al-Quran dan Hadis
perihal sistem pemilihan kepala negara. Oleh sebab itu, sepanjang sejarah
ketatanegaraan Islam muncul berbagai sistem pemilihan kepala negara,
antara lain sebagai berikut:
1) Penunjukkan langsung oleh Allah, yakni terpilihnya Rasulullah sebagai
kepala negara Islam pertama di Madinah. Pendapat ini bersumber dari alMaududi yang kemudian dikritik oleh Ahmad Sukardja, bahwa
Rasulullah dipilih langsung oleh Allah sebagai pemimpin agama,
sedangkan sebagai pemimpin negara ia tetap melalui proses penetapan
penduduk Madinah pada saat itu;
2) Penunjukkan langsung oleh Allah dan Rasulullah, sebagaimana yang
diyakini oleh kaum Syi’ah (khususnya Syīah Īṡnā Asyariyyah) yang
43
Kamaruzzaman, Relasi Islam…, h. 68.
29
menyatakan bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah untuk
menunjuk Ali sebagai khalifah penggantinya, dan bukan Abu Bakar;
3) Pemilihan oleh ahl al-hall wa al-aqd, yakni terpilihnya Abu Bakar
sebagai khlaifah pertama pengganti Rasulullah melalui dewan ahli atau
musyawarah para sahabat senior;
4) Penunjukkan melalui wasiat, yakni terpilihnya Umar sebagai khalifah
kedua berdasarkan wasiat dari Abu bakar yang saat itu menjabat sebagai
khalifah pertama;
5) Pemilihan tim formatur, yakni terpilihnya Usman sebagai khlaifah ketiga
melalui tim formatur atau dewan musyawarah perwakilan;
6) Revolusi atau kudeta, sebagaimana dinyatakan Jimly Asshiddiqie bahwa
terpilihnya Ali sebagai khalifah keempat terjadi pasca pemberontakan
(meskipun Ali tidak terlibat) yang menewaskan khalifah ketiga. Hal ini
juga terjadi pada saat pengangkatan Mu’awiyah yang terjadi pasca
perang saudara antara Ali dan Mu’awiyah;
7) Pemilihan langsung oleh rakyat, yakni terpilihnya Ali sebagai khalifah
keempat oleh para sahabat menurut perspektif Sunni (meskipun menurut
Syi’ah berdasarkan perintah Allah dan Rasulullah). Hal ini dinyatakan
oleh Abdul Rashid Moten dan berlawanan dengan yang dipahami oleh
Jimly Assiddiqie;
30
8) Penunjukkan berdasarkan keturunan, yakni penunjukkan Mu’awiyah
kepada anaknya Yazid bin Mu’awiyah sebagai putera mahkota yang akan
menggantikan sebagai khalifah berikutnya. 44
Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa munculnya
berbagai macam sistem pemilihan kepala negara dalam Islam terjadi karena
tidak adanya ketetapan khusus dari al-Quran dan Hadis yang membahas
tentang mekanisme tersebut sebagaimana tidak adanya ketetapan tentang
kriteria negara Islam. Hal itulah yang menjadi alasan munculnya berbagai
macam perspektif di kalangan umat Islam. Namun demikian, usaha-usaha
tersebut patut untuk diberi apresiasi, sebab telah menjadi acuan dalam
pembentukan sistem pada masa selanjutnya.
d. Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos berarti rakyat dan
kratia berarti pemerintahan, jadi secara harfiah demokrasi berarti
pemerintahan oleh rakyat atau dengan kata lain diartikan sebagai sebuah
doktrin yang menegaskan bahwa rakyat dipercaya memiliki kapasitas dalam
membentuk pemerintahan dan mengatur masyarakat. Ide ini muncul di awal
abad kelima hingga abad ketiga sebelum masehi di Yunani Kuno, tepatnya
di wilayah Athena. 45
Pada masa Yunani dikenal sistem assembly democracy atau demokrasi
majelis, yakni sebuah sistem demokrasi yang memberikan kesempatan
44
Munir Subrman, Hukum Islam dan Ketatanegaraan, Cet. 1, Jakarta: Kementerian
Agama RI, 2012, h. 233-246.
45
Ahmed Vaezi, Syi’ah Political Thought ( Agama Politik: Nalar Politik Islam),
Pent. Ali Syahab, Cet. I, Jakarta: Citra, 2006, h. 193.
31
kepada rakyat untuk terlibat dalam proses pemerintahan. Memasuki masa
demokrasi modern, teori-teori tentang demokrasi mengurangi partisipasi
politik rakyat, meskipun terasa lebih efisien dalam mengatasi problema
masyarakat berskala besar. Dalam teori modern, rakyat digantikan dengan
sistem perwakilan (representatives), sehingga hanya sebagian kecil dari
masyarakat yang bertanggung jawab sebagai pengurus kepentingankepentingan rakyat sebagai wakil yang dipilih oleh mayoritas masyarakat.46
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa proses
perkembangan demokrasi melewati dua tahapan, yakni demokrasi majelis
yang melibatkan seluruh rakyat. Selanjutnya disusul dengan sistem
demokrasi modern yang hanya melibatkan perwakilan-perwakilan tertentu
yang dipilih oleh rakyat.
Sistem pemerintahan Islam pada dasarnya berbeda dengan sistem
pemerintahan demokrasi. Hal tersebut tampak pada perbedaan keduanya
dalam memahami tiga konsep sebagai berikut:
1) Tentang bangsa, dalam konsep demokrasi modern, bangsa terbatasi oleh
letak geografis sehingga selalu diiringi pemikiran rasialisme yang dapat
menggiring kepada sikap fanatisme. Berbeda dengan konsep Islam,
bangsa atau umat tidak harus terikat pada wilayah geografis, melainkan
ikatan yang sebenarnya adalah akidah atau keyakinan yang sama,
sehingga tidak memandang ras, jenis, warna dan sebagainya;
46
Ibid,.
32
2) Tentang tujuan pemerintahan, maka demokrasi modern lebih mengarah
kepada kepentingan bangsa semata, yakni pemenuhan kebutuhan duniawi
atau material. Lain halnya dengan konsep Islam, selain mencakup pada
pemenuhan kebutuhan duniawi, maka pemenuhan kebutuhan spiritual
atau akhirat merupakan hal utama;
3) Tentang kekuasaan, maka demokrasi modern menetapkan rakyat sebagai
pemegang kekuasaan mutlak dan tertinggi. Rakyat atau majelis yang
dipilihnya berhak untuk membuat dan membatalkan undang-undang, dan
setiap keputusan yang ditetapkannya menjadi suatu ketentuan yang harus
dijalankan. Tidak seperti konsep Islam yang meletakkan syariat sebagai
sandaran hukum yang bersifat mengikat. Artinya rakyat tidak memiliki
kekuasaan mutlak untuk menetapkan sesuatu di luar jalur atau
bertentangan dengan syariat.47 Dengan demikian, kedaulatan mutlak
hanya milik Tuhan, manusia hanya berperan dalam konteksnya sebagai
khalifah.48
Untuk memahami lebih jelas tentang perbedaan sistem pemerintahan
Islam dengan demokrasi liberal dapat dilihat pada table 1 berikut:
47
Fahmi Huwaydi, Al-Islam wa Al-Dimuqratiyah, Pent. M. Abdul Ghoffur, Cet. I,
Bandung: Mizan, 1996, h. 198.
48
Muhammad H.MS dan Rois Mahfud, Al Islam: Pendidikan Agama Islam (PAI)
untuk Perguruan Tinggi Umum, Malang: Setara Press, 2008, h. 83. Lihat juga Sirajuddin,
Politik Ketatanegaraan…, 124.
33
Tabel 1 Sistem pemerintahan dalam perspektif demokrasi modern dan Islam49
PERIHAL
Kategori Bangsa
DEMOKRASI
PEMERINTAHAN
MODERN
ISLAM
Terbatasi letak geografis Tidak terbatas geografis
karena
berasaskan karena
berasakan
rasialisme
iman/akidah yang sama
Tujuan Pemerintahan
Material
Material dan spiritual
Bentuk Kekuasaan
Kedaulatan mutlak rakyat
Kedaulatan mutlak Tuhan,
rakyat hanya wakil
Berdasarkan perbedaan dalam pemahaman tiga konsep tersebut
menunjukkan bahwa sebagai agama yang universal Islam mencakup seluruh
umat tanpa batasan geografis dan ras, serta seluruh aspek kehidupan
material dan spiritual. Semua itu berada dalam satu payung hukum di bawah
kedaulatan mutlak Tuhan.
e. Hak Asasi Manusia
Istilah hak berasal dari bahasa Arab, haq, yang berarti benar, pasti,
tetap, atau wajib. Dalam bahasa Inggris hak disebut right, yakni benar,
harus, atau sesuai. Kemudian istilah asasi juga berasal dari bahasa Arab,
asas, yang berarti pangkal, dasar, atau asas dari segala sesuatu. Dengan
demikian, maka hak asasi manusia dapat diartikan sebagai sesuatu yang
senantiasa melekat pada manusia, meninggikan derajat dan memelihara
49
Sumber: Simpulan peneliti yang diambil dari uraian Muhammad H.MS dan Rois
Mahfud, Al Islam: Pendidikan…, h. 83. Dan Sirajuddin, Politik ketatanegaraan…, h. 124.
34
kemuliaan, memberi kemungkinan untuk berserikat, dan melakukan hal
lain. 50
Jika ditelusuri melalui konteks sejarah, maka akan ditemukan bahwa
cikal bakal pencetusan istilah Hak Asasi Manusia (HAM) telah ada sejak
lahirnya Magna Charta di Inggris.
Dalam Magna Charta yang dibuat tahun 1215 di Inggris disebutkan
bahwa kekauasaan raja yang sifatnya absolut pada dasarnya dapat dibatasi
dan dipertanggungjawabkan di muka hukum. Sejak saat itu muncullah
doktrin yang menegaskan bahwa raja tidak kebal hukum dan harus
bertanggung jawab kepada rakyat, meskipun ia memiliki kekuasaan lebih
untuk membuat undang-undang. 51
Atas dasar doktrin yang ditetapkan dalam Magna Charta, maka
terlahirlah undang-undang tahun 1689 di kerajaan Inggris yang dikenal
dengan Bill of Right, yakni undang-undang tentang hak yang kemudian
melahirkan sebuah asumsi equality before the low atau manusia sama di
muka hukum. 52
Pada perkembangan selanjutnya, benih HAM mulai muncul di
Amerika pada tahun 1776, saat itu dikenal sebuah Declaration of
Independence, yakni deklarasi tentang kemerdekaan yang memuat paham
50
Achmad, Konsep hak Asasi Manusia dalam al-Qur’an, dalam Amir Mahmud,
Islam…, h, 158.
51
Srijanti dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Cet. I, Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2009, h. 113.
52
Ibid,.
35
bahwa manusia adalah merdeka sejak dalam perut ibunya, sehingga tidak
logis jika ia harus dibelenggu sejak lahir. 53
Selain itu, pada tahun 1789 lahir pula di Prancis The French
Declaration yang menyatakan hak-hak yang lebih terperinci lagi, seperti
larangan penangkapan dan penahanan tanpa alasan dan atau tanpa surat
perintah resmi dari pejabat yang sah, kemudian dipertegas lagi dengan
freedom of expression atau kebebasan berpendapat, freedom of religion atau
kebebasan beragama, dan the right of property atau perlindungan terhadap
hak milik. Berdasarkan revolusi ini maka terlahirlah Konstitusi Perancis
tahun 1791 atas tiga prinsip Trisloganda, yakni liberte atau kemerdekaan,
equalite
atau
kesamarataan,
dan
fraternite
atau
kerukunan
dan
persaudaraan.54
Seiring dengan perkembngan masyarakat, konsepsi HAM terus
mengalami perubahan menuju kesempurnaan. Ketika ruang lingkup HAM
yang dirumuskan sebelumnya terasa kurang respontif dan aspiratif. Maka
konsep HAM terus dikembangkan.
Pada tahun 1942, Presiden Amerika ke-32, Franklin D. Roosevelt
(yang saat itu menjabat) melakukan reinterpretasi terhadap konsep HAM
dan berhasil merumuskan The Four Freedoms (empat hak asasi), yakni
freedom of speech (kebebasan berbicara), freedom of religion (kebebasan
53
Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat, Cet. II, Jakarta: Prenada Media, 2005, h. 203.
54
Ibid,.
36
beragama), freedom from fear (kebebasan dari rasa takut), dan freedom from
want (kebebasan dari kemelaratan). 55
Konsep ini akhirnya menginspirasi lahirnya Universal Declaration of
Human Rights (UDHR) yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948 yang kemudian dipertegas pada
Konferensi Dunia tentang Hak-hak Asasi Manusia di Wina, Austria tahun
1993.56
Meskipun telah menjadi kesepakatan dunia, ternyata apa yang
dirumuskan dalam UDHR masih belum cukup mengakomodasikan hasrat
seluruh negara, terutama yang mayoritas berpenduduk muslim. Hal ini
disebabkan adanya hak-hak yang menyimpang dari asas Islam.
Negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim merasa keberatan
dengan konsep HAM yang dirumuskan dalam UDHR, karena lebih
mengarah kepada kehidupan sekuler sehingga banyak bertentangan dengan
moralitas Islam, 57 seperti kebebasan perkawinan beda agama, kebebasan
keluar
masuk
agama,
kebebasan
homoseksual,
lesbi,
aborsi dan
sebagainya. 58
55
Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam: Menyingkap Persamaan dan
Perbedaan antara Islam dan Barat, Ed. I, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003, h. 22.
56
Ibid,.
57
Merupakan sebuah fakta bahwa islam mengandung prinsip-prinsip universal yang
mungkin cocok atau mungkin tidak cocok dengan prinsip-prinsip universal dalam HAM
sekuler. Oleh sebab itu diperlukan kemajemukan interpretasi dan opini terhadap
keuniversalan keduanya. Lihat Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokrasi dan
Pemberdayaan Civil Society (Gugus Gagas Politik), Cet. I, Jakarta: Erlangga, 2000, h. 27.
58
Hal tersebut tercantum dalam UDHR pasal 16: “Laki-laki dan perempuan yang
telah cukup umur, dengan tidak ada pembatasan apapun karena alasan ras, kebangsaan
37
Berdasarkan alasan tersebut maka negara-negara Islam sepakat untuk
membentuk sebuah deklarasi di Kairo. Tujuan deklarasi tersebut adalah
membahas tentang UDHR yang terasa menyimpang dari nilai Islam untuk
dirumuskan kembali agar sesuai dengan moralitas agama Islam.
Cairo Declaration (CD) yang dilaksanakan di Kairo, Mesir, Pada 5
Agustus 1990, diikuti oleh beberapa negara yang tergabung dalam
Organisasi Konferensi Islam sedunia (OKI). Deklarasi ini bertujuan untuk
merumuskan koreksi tentang HAM agar tidak keluar dari dasar al-Qur’an
dan Hadis. 59
Berdasarkan sejarah perkembangan HAM tersebut dapat disimpulkan
bahwa konsep HAM dalam perspektif Barat dan Islam sangatlah berbeda.
Dalam perspektif Barat, pemaknaan HAM lebih dipengaruhi oleh kebebasan
yang bersifat sekular. Berbeda dengan konsep Islam yang dibangun
berasaskan pada moralitas Islam yang terkandung dalam sumber hukum alQuran dan Hadis.
Perbedaan pemahaman terhadap HAM dalam perspektif Barat dan
Islam dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, di antaranya dalam
perspektif Barat, HAM dipandang sebagai sebuah antroposentris atau hak
atau agama berhak untuk menikah serta membentuk keluarga, mereka mempunyai hak
yang sama atas pernikahan, selama perkawinan dan perceraian.”. kemudian pasal 18:
“setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, memiliki keyakinan dan beragama;
hak ini meliputi juga hak atas kebebasan berganti agama dan keyakinan dan hak atas
kebebasan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain dan di tempat
umum atau di dalam kehidupannya sendiri, dalam pengajaran, pengmalan, dengan
beribadat serta menjalankan perintah agama dan kepercayaannya. Lihat Maulana Abul
A’la Maududi, Human Right in Islam: Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam, Pent.
Bambang Iriana Djajatmadja, Cet. II, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, h. 53-54.
59
Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif…, h. 24.
38
lahiriyah dari setiap individu, sedangkan Islam menganggapnya sebagai
theosentris atau anugerah dari Tuhan untuk setiap individu.60
Berdasarkan sifatnya yang antroposentris, maka Barat
lebih
mengandalkan peran pemikiran filosofis sebagai sumber dalam merumuskan
HAM, sedangkan Islam yang theosentris berpanutan pada al-Qur’an dan
Hadis sebagai sumber utamanya. Begitu juga dalam dasar pelaksanaannya,
HAM bagi Barat ditegakkan berdasarkan kemanusiaan dan kebebasannya,
sedangkan
Islam
mewajibkan
umatnya
untuk
menegakkan
HAM
berdasarkan tugas pokoknya sebagai khalifah di muka bumi, sehingga
menegakkannya merupakan ketaatan dan pemenuhan janji kepada Tuhan. 61
Adapun dari sisi oreintasinya, HAM bagi Barat dijadikan sebagai alat
untuk lebih banyak menuntut hak dibandingkan kewajiban, sedangkan Islam
menyelaraskan antara hak dan kewajiban. Selain itu HAM di Barat memiliki
sifat yang lebih mencakup individual, sedangkan di dalam Islam, HAM
bersifat universal, yakni untuk kepentingan sosial. 62
Untuk memahami lebih jelas tentang perbedaan HAM dalam
perspektif Barat dan Islam dapat dilihat pada tabel berikut:
60
M. Daud Ali dan habibah Daud Ali, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, Cet. I,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995, h. 303.
61
Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif…, h. 52.
62
Ibid,.
39
Tabel 2.1 HAM dalam perspektik Barat dan Islam63
PERIHAL
BARAT
Antrofosentris/alamiyah
Sifat
ISLAM
Theosentris/anugerah
Tuhan
Sumber
Filosofis
Al-Qur’an dan Hadis
Dasar
Manusia
Tuhan
Oreintasi
Hak
Hak dan kewajiban
Cakupan
Individual
Sosial
Berdasarkan perbedan tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep
HAM dalam perspektif Islam sangatlah berbeda dengan konsep Barat.
Konsep Islam terasa lebih seimbang karena merupakan perpaduan antara
aspek kemanusiaan dan keilahian. Berbeda dengan Barat yang hanya
mengandalkan aspek kemanusiaan semata.
63
Sumber: Simpulan peneliti yang diambil dari uraian M. Daud Ali dan habibah
Daud Ali, Lembaga-Lembaga…, h. 303. Dan Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif…, h.
52.
Download