BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut 2.1.1 Deskripsi Rumput Laut Rumput laut (sea weed) adalah tumbuhan talus berklorofil yang berukuran makroskopik dan secara ilmiah dikenal dengan istilah alga. Istilah talus digunakan bagi tubuh rumput laut yang mirip tumbuhan tetapi tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati. Bentuk talus rumput laut bermacam-macam antara lain, bulat seperti tabung, pipih, gepeng, dan bulat seperti kantong, rambut dan sebagainya (Aslan, 1998). Rumput laut di alam umumnya hidup melekat pada substrat di dasar perairan yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping, atau cangkang moluska pada daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam air (subtidal). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut diantaranya adalah faktor kedalaman perairan, cahaya, substrat, dan gerakan air. Rumput laut tumbuh berkelompok dengan jenis rumput laut lainnya (Aslan, 1998). 2.1.2 Jenis Rumput Laut Jenis-jenis rumput laut yang dibudidayakan di Indonesia, yaitu rumput laut atau alga yang tergolong dalam divisi Thallophyta.Thallophyta adalah jenis tumbuhan bertalus yang terdiri dari 4 kelas, yaitu alga hijau (Chlorophyceae), alga merah (Rhodophyceae), alga coklat (Phaeophyceae), dan alga hijau biru 6 7 (Myxophyceae). Pembagian ini didasarkan atas pigmen yang dikandungnya (Kordi dan Ghurfan, 2011). a. Alga Merah Alga merah (Rhodophyceae) merupakan kelas dengan spesies yang memiliki nilai ekonomis dan paling banyak dimanfaatkan. Tumbuhan jenis ini dapat hidup di dalam dasar laut dengan menancapkan dirinya pada substrat lumpur, pasir, karang hidup, karang mati, cangkang moluska, batu vulkanik ataupun kayu. Habitat atau tempat hidup umum tumbuhan jenis ini adalah terumbu karang. Tumbuhan jenis ini hidup pada kedalaman mulai dari garis pasang surut terendah sampai sekitar 40 meter. Di Indonesia alga merah terdiri dari 17 marga dan 34 jenis serta 31 jenis diantaranya telah banyak dimanfaatkan. Jenis rumput laut yang termasuk dalam kelas alga merah sebagai penghasil carrageenan (karaginofit) adalah Kappaphycus dan Hypnea, sedangkan yang mengandung agar-agar (agarofit) adalah Gracilaria dan Gelidium (Kordi dan Ghurfan, 2011). b. Alga Hijau Alga hijau (Chlorophyceae) dapat ditemukan pada kedalaman hingga 10 meter atau lebih di daerah yang memiliki penyinaran yang cukup. Rumput laut jenis ini tumbuh melekat pada substrat seperti batu, batu karang mati, cangkang moluska, dan ada juga yang tumbuh di atas pasir. Di Indonesia rumput laut jenis ini terdapat sekitar 12 marga. Terdapat sekitar 14 jenis telah dimanfaatkan sebagai bahan konsumsi dan obat (Kordi dan Ghurfan, 2011). 8 c. Alga Coklat Pada perairan Indonesia terdapat sekitar 8 marga kelas alga coklat (Phaeophyceae). Tumbuhan jenis ini merupakan kelompok alga laut penghasil algin (alginofit). Jenis rumput laut coklat sebagai penghasil algin adalah Sargassum sp. dan Turbinaria sp. Alga coklat memiliki ukuran besar dan membentuk padang alga di laut lepas (Kordi dan Ghurfan, 2011). 2.2 Kappaphycus alvarezii Doty. Klasifikasi Kappaphycus alvarezii Doty. menurut Aslan (1998) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieraceae Genus : Kappaphycus Spesies : Kappaphycus alvarezii Doty. (Eucheuma cottonii Doty.) Gambar 2.1 Alga Kappaphycus alvarezii Doty. (Rompas dkk., 2015) Kappaphycus alvarezii Doty. merupakan salah satu jenis alga merah (Rhodophyceae) penghasil kappa carrageenan. Kappaphycus alvarezii Doty. 9 memiliki ciri-ciri fisik seperti talus silindris, permukaan licin, dan cartilogineus. Penampakan talus alga jenis ini bervariasi, mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada talus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari talus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal) (Anggadiredja dkk., 2006). Tabel 2.1 Komposisi Nilai Nutrisi Kappaphycus alvarezii Doty. Komponen Kadar air (%) Protein (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Abu (%) Mineral: Ca (ppm) Fe (ppm) Cu (ppm) Pb (ppm) Vitamin B1 (Thiamin) (mg/100 g) Vitamin B2 (Riboflavin) (mg/100 g) Vitamin C (mg/100 g) Carrageenan (%) Sumber: Istini et al. (1986) Jumlah 13,90 2,69 0,37 0,95 17,09 22,39 0,0121 2,763 0,04 0,14 2,7 12 61,52 Warna merah dari Kappaphycus alvarezii Doty. timbul karena adanya kandungan pigmen phycoerythrin dan pigmen phycocyanin. Phycoerythrin adalah pigmen yang berwarna merah cerah dan memancarkan warna oranye, sedangkan phycocyanin berwarna biru dan memancarkan warna merah tua (Atmadja, 2007). Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan, 1998). Warna 10 talus juga dipengaruhi oleh kedalaman air (hampir hitam pada laut dalam, merah cerah pada kedalaman sedang, dan menjadi kehijauan pada air yang sangat dangkal karena lebih sedikit phycoerythrin yang menutupi warna hijau klorofil (Campbell dkk., 2003). Umumnya Kappaphycus alvarezii Doty. tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu karena tempat ini mempunyai persyaratan untuk pertumbuhan, yaitu faktor kedalaman, suhu, cahaya, substrat dan gerakan air. Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati (Atmadja, 1996). Kappaphycus alvarezii Doty. memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Oleh karena itu, rumput laut jenis ini hanya mungkin dapat hidup pada lapisan fotik, yaitu pada kedalaman sejauh sinar matahari masih mampu mencapainya. Pertumbuhan cabang-cabang rumput laut ini membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khas mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Anggadiredja dkk., 2006). Rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty. dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional lebih dikenal dengan nama Eucheuma cottonii. Eucheuma cottonii secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii Doty. karena carrageenan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa carrageenan. Kadar carrageenan dalam spesies ini berkisar antara 54-73% tergantung pada jenis dan lokasi tumbuhnya. Jenis rumput laut ini berasal dari perairan Sabah (Malaysia) dan Kepulauan Sulu (Filipina) (Syamsuar, 2006). Kappaphycus alvarezii Doty. merupakan jenis rumput laut yang banyak ditemui di Kecamatan Nusa Penida. Pantai di sebelah utara Kecamatan Nusa 11 Penida merupakan pantai landai sehingga pantai tersebut cocok digunakan untuk budidaya rumput laut. Secara geografis, Kecamatan Nusa Penida memiliki keunggulan komparatif, dengan luas lokasi penanaman rumput laut sebesar 290 hektar dan jumlah petani rumput laut sebesar 1.782. Dari luas area tersebut, pengembangan budidaya rumput laut mencapai 45% dari luas areal pantai. Produksi rumput laut perbulan adalah 130 sampai 225 per ton (Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung, 2012). 2.3 Carrageenan 2.3.1 Definisi Carrageenan Carrageenan merupakan senyawa hidrokoloid tersusun atas polisakarida rantai panjang. Polisakarida tersebut tersusun dari sejumlah unit galaktosa dengan ikatan α-(1,3)-D-galaktosa dan β-(1,4)-3,6-anhidrogalaktosa secara bergantian pada polimer heksosanya (Glicksman, 1983). Carrageenan terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks intraseluler dan merupakan bagian penyusun terbesar dari berat kering rumput laut (Hellebust dan Cragie, 1978). Carrageenan berupa serbuk kasar berserat hingga halus, berwarna kuning coklat hingga putih, tidak berasa dan tidak berbau. Berat molekul carrageenan adalah 400-600 kDa (Velde dan Ruiter, 2005). 2.3.2 Jenis Carrageenan Doty (1987) membedakan carrageenan berdasarkan kadar sulfatnya menjadi dua fraksi, yaitu kappa carrageenan yang mengandung sulfat kurang dari 28% dan iota carrageenan jika lebih dari 30%. Winarno dkk. (1996) selanjutnya 12 membagi carrageenan menjadi 3 fraksi berdasarkan unit penyusunnya yaitu kappa, iota dan lambda carrageenan. Tabel 2.2 Perbedaan Kappa, Iota dan Lambda Carrageenan. Tipe Carrageenan Struktur Kandungan (Gail Fisher, 2009) Mengandung 25-30% ester sulfat dan 28-35% 3,6-anhidrogalaktosa (Barbeyron et al., 2000). (Gail Fisher, 2009) Mengandung 28-38% ester sulfat dan 25-30% 3,6-anhidrogalaktosa (Barbeyron et al., 2000). (Gail Fisher, 2009) Mengandung 32-39% ester sulfat dan tidak mengandung 3,6anhidrogalaktosa (Barbeyron et al., 2000). Kappa carrageenan Iota carrageenan Lambda carrageenan a. Kappa Carrageenan Kappa carrageenan merupakan jenis yang paling banyak terdapat di alam, membentuk gel yang kuat dan rigid, thermoreversible, meskipun sangat rentan mengalami sineresis. Kappa carrageenan terdapat pada Kappaphycus alvarezii Doty., dan Eucheuma striatum (Aslan, 1998; Setiawati, 2007). Kappa carrageenan terdiri dari unit D-galaktosa-4-sulfat dan 3,6-anhidroD-galaktosa. Carrageenan juga sering mengandung D-galaktosa-6-sulfat ester dan 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat ester. Adanya gugusan 6-sulfat dapat menurunkan daya gelasi dari carrageenan, tetapi dengan pemberian 13 alkali mampu menyebabkan transeliminasi gugus 6-sulfat, sehingga menghasilkan bentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno, 1996). b. Iota Carrageenan Iota carrageenan merupakan jenis yang paling sedikit jumlahnya di alam, membentuk gel lembut, fleksibel, lunak, dengan sineresis yang terbatas. Iota carrageenan terdapat pada Eucheuma spinosum, Eucheuma isiforme, dan Eucheuma uncinatum (Aslan, 1998; Setiawati, 2007). c. Lambda Carrageenan Lambda carrageenan merupakan jenis carrageenan kedua terbanyak di alam, tidak dapat mebentuk gel, namun berbentuk cairan kental. Lambda carrageenan terdapat pada Chondrus crispus (Setiawati, 2007; Winarno dkk., 1996). 2.3.3 Sifat Carrageenan a. Kelarutan Karakteristik daya larut carrageenan dipengaruhi oleh bentuk garam dari gugus ester sulfatnya. Jenis natrium umumnya lebih mudah larut, sementara jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa carrageenan dalam bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam natrium lebih mudah larut (Syamsuar, 2006). Gugus hidroksil dan sulfat pada carrageenan bersifat hidrofilik sedangkan gugus 14 3,6-anhidro-D-galaktosa lebih hidrofobik. Kappa carrageenan bersifat kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3,6-anhidro-Dgalaktosa (Towle, 1973). b. Viskositas Viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan. Viskositas suatu hidrokoloid dipengaruhi oleh konsentrasi carrageenan, temperatur, jenis carrageenan, berat molekul dan adanya molekul-molekul lain (Towle, 1973). Moirano (1977) mengemukakan bahwa semakin kecil kadar sulfat, maka viskositasnya juga semakin kecil, tetapi kekuatan gelnya semakin meningkat. Viskositas larutan carrageenan akan menurun seiring dengan peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi carrageenan (Towle, 1973). c. Stabilitas pH Carrageenan dalam larutan memiliki stabilitas maksimum pada pH 9 dan akan terhidrolisis pada pH dibawah 3,5. Hidrolisis dipercepat oleh panas pada pH rendah. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan hilangnya viskositas dan menurunkan pembentukan gel. Hal ini disebabkan oleh ion H+ yang membantu proses hidrolisis ikatan glikosidik pada molekul carrageenan (Towle, 1973). Pada pH 6 atau lebih umumnya larutan carrageenan dapat mempertahankan kondisi proses produksi carrageenan (Glicksman, 1983). 15 d. Pembentukan gel Carrageenan membentuk gel mempunyai adalah sifat sifat pembentuk terpenting dari gel. Kemampuan kappa carrageenan. Kemampuan pembentukan gel pada kappa carrageenan terjadi pada saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin karena kappa carrageenan memiliki gugus sulfat yang paling sedikit sehingga mudah membentuk gel (Doty, 1987). Kappa carrageenan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel dalam air dan bersifat thermoreversible yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel kembali jika didinginkan. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel akan mengakibatkan polimer carrageenan dalam larutan menjadi random oil (acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan, polimer-polimer ini akan saling terikat silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab terhadap pembentukan gel yang kuat (Syamsuar, 2006). 2.4 Isolasi Carrageenan Carrageenan merupakan ekstrak yang diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut (alga merah) dengan menggunakan air panas atau larutan alkali pada temperatur tinggi (Glicksman, 1983). Isolasi carrageenan dari rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty. membutuhkan beberapa tahapan, yaitu proses 16 perendaman, ekstraksi, pemisahan carrageenan dengan pelarutnya, kemudian pengeringan carrageenan (Winarno dkk., 1996). Pada ekstraksi rumput laut, selain terjadi peristiwa pelarutan carrageenan juga terjadi peristiwa reaksi. Beberapa peneliti menyatakan bahwa perlakuan alkali pada ekstraksi carrageenan dapat meningkatkan sifat gel. Peningkatan sifat gel ini disebabkan adanya reaksi pembentukan anhidrogalaktosa yang merupakan gugus pembentuk gel. Reaksi pembentukan gugus anhidrogalaktosa juga dapat diindikasi berdasarkan adanya pengurangan kadar sulfat dalam carrageenan yang dihasilkan. Secara alami, gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa dibentuk secara enzimatis dari prekursornya yaitu sulfohydrolase. Reaksi ini dikenal sebagai reaksi siklisasi atau desulfatasi (Ciancia dkk., 1997; Campo dkk., 2009). Reaksi yang terjadi pada saat ekstraksi dengan alkali yaitu transformasi gugus sulfat yang terikat dalam gugus galaktosa oleh ion Na+ dengan membentuk garam Na2SO4 di larutan serta dehidrasi membentuk polimer anhidrogalaktosa, dimana ion H+ dari larutan alkali bereaksi dengan ikatan bergugus H membentuk kappa carrageenan dan air (Distantina dkk., 2009) Distantina dkk. (2012) melakukan ekstraksi Kappaphycus alvarezii Doty. menggunakan pelarut alkali dan air. Berdasarkan penelitian, ekstraksi menggunakan pelarut air menghasilkan rendemen lebih tinggi dibandingkan pelarut alkali. Namun, meskipun pelarut air suling menghasilkan rendemen tertinggi (46,43%), tetapi pada konsentrasi larutan carrageenan 1,5% (b/v) tidak mampu membentuk gel pada suhu kamar. 17 Towle (1973) menyatakan bahwa larutan alkali mempunyai dua fungsi yaitu membantu ekstraksi polisakarida dari rumput laut dan berfungsi untuk mengkatalisis hilangnya gugus 6-sulfat dari unit monomernya dengan membentuk 3,6-anhidrogalaktosa sehingga meningkatkan kekuatan gel. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sheng Yao et al. (1986) ekstraksi yang dilakukan dengan NaOH 2% menghasilkan gel 3–5 kali lebih kuat jika dibanding dengan air. Disamping itu alkali berfungsi untuk mencegah terjadinya hidrolisis carrageenan (Guiseley et al., 1980). Romenda dkk. (2013) melakukan penelitian mengenai perbedaan jenis dan konsentrasi larutan alkali terhadap kekuatan gel dan viskositas carrageenan dari Kappaphycus alvarezii Doty. Jenis alkali yang digunakan yaitu KOH dan NaOH dengan konsentrasi 4%, 6%, dan 8%. Berdasarkan penelitian, viskositas yang memberikan pengaruh tertinggi adalah NaOH 8% dan jenis pelarut yang menghasilkan kekuatan gel tertinggi adalah KOH 6%. Pemisahan carrageenan dari bahan pengekstrak dilakukan dengan cara penyaringan dan pengendapan setelah proses ekstraksi. Pengendapan carrageenan dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu freeze thaw, alcohol precipitation, dan KCl precipitation. Pada metode freeze thaw, larutan carrageenan dibuat menjadi gel dengan penambahan garam, kemudian gel dibekukan. Selama proses thawing (pencairan), kandungan air dihilangkan dan dihasilkan carrageenan dan garam (Rowe et al., 2009). Pada metode alcohol precipitation, sejumlah larutan carrageenan direndam dengan menggunakan alkohol, sehingga carrageenan akan terpresipitasi keluar 18 larutan (Rowe et al., 2009). Alkohol yang dapat digunakan yaitu metanol, etanol dan isopropil alkohol. Umumnya isopropil alkohol digunakan sebagai bahan pengendap karena hasilnya lebih murni dan pekat/kental. Namun isopropil alkohol memiliki harga yang lebih mahal dibanding metanol dan etanol. KCl dapat digunakan sebagai bahan alternatif untuk mengendapkan carrageenan. Menurut Dea (1979) apabila garam KCl dilarutkan dalam air akan terionisasi menjadi K+ dan Cl-. Penurunan kelarutan carrageenan dengan penambahan garam disebabkan oleh kation K+ yang berfungsi untuk meningkatkan kekuatan ionik dalam rantai polimer carrageenan sehingga terjadi penurunan tolakan elektrostatik diantara rantai polimer. Pada konsentrasi garam yang rendah kapiler elektrik dapat menjadi kecil, sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi menyebabkan koloid tersebut akan melepaskan air sehingga terjadi pengendapan. Penggunaan larutan KCl atau alkohol untuk proses presipitasi dapat dilakukan pada kappa carrageenan, sedangkan pada iota carrageenan hanya menggunakan alkohol. Larutan KCl hanya dapat digunakan pada kappa carrageenan. Hal ini disebabkan karena kappa carrageenan sensitif terhadap ion kalium dan membentuk gel yang kuat dengan adanya garam kalium, sedangkan iota carrageenan akan membentuk gel kuat dan stabil bila terdapat ion Ca2+ (Glicksman, 1983). Menurut Murdinah et al. (1994) pemisahan carrageenan menggunakan KCl berpengaruh terhadap kenaikan rendemen dan kadar abu, sedangkan kadar air, kadar sulfat dan viskositas cenderung menurun. Penggunaan KCl sebagai 19 bahan presipitasi carrageenan telah dilakukan oleh Ningsih (2014) dengan variasi konsentrasi KCl yaitu 1%, 5%, dan 10%. Konsentrasi KCl yang menghasilkan mutu carrageenan yang baik yaitu KCl 5%. Hal ini dapat dilihat dari nilai rendemen (52%), kekuatan gel (293,42 g/cm2), dan viskositas (38,89 cP) yang dihasilkan. Penggunaan KCl pada larutan alkali KOH cenderung menurunkan nilai rendemen carrageenan, tetapi pada larutan alkali NaOH cenderung meningkatkan nilai rendemen carrageenan. 2.5 Karakteristik Carrageenan Karakteristik fisika carrageenan meliputi rendemen, viskositas, melting temperature dan gelling temperature, serta kekuatan gel. Karakteristik kimia carrageenan meliputi kadar sulfat, dan kadar abu. 2.5.1 Rendemen Carrageenan Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam menilai efektif tidaknya proses isolasi carrageenan. Perhitungan rendemen dilakukan untuk mengetahui persentase carrageenan yang dihasilkan dari rumput laut kering yang digunakan berdasarkan umur panen, konsentrasi pelarut alkali dan waktu ekstraksi (Syamsuar, 2006). Rendemen carrageenan sebagai hasil ekstraksi dihitung berdasarkan rasio antara berat carrageenan yang dihasilkan dengan berat rumput laut kering yang digunakan (FMC Corp., 1977). Standar minimum rendemen carrageenan yang ditetapkan oleh Departemen Perdagangan (1989) dalam Syamsuar (2006) adalah sebesar 25%. 20 Konsentrasi pelarut alkali sangat mempengaruhi rendemen carrageenan yang dihasilkan. Hal ini diduga karena semakin tinggi konsentrasi alkali, menyebabkan pH larutan semakin tinggi sehingga kemampuan alkali dalam mengekstrak semakin besar. Perlakuan pelarut alkali membantu ekstraksi polisakarida menjadi sempurna dan mempercepat terbentuknya 3,6 anhidrogalaktosa selama proses ekstraksi berlangsung (Yasita dan Rachmawati, 2009). Yasita dan Rachmawati (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi carrageenan rumput laut maka semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Menurut Basmal (2009), rendemen carrageenan lebih banyak dipengaruhi oleh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi. Semakin lama waktu ekstraksi akan meningkatkan rendemen carrageenan. Hal ini disebabkan karena semakin lama rumput laut kontak dengan panas maupun dengan larutan pengekstrak, maka semakin banyak carrageenan yang terekstraksi dari dinding sel dan menyebabkan rendemen carrageenan semakin tinggi (Yasita dan Rachmawati, 2009). 2.5.2 Viskositas Menurut penelitian Moraino (1977), viskositas carrageenan terutama disebabkan oleh sifat carrageenan sebagai polielektrolit. Gaya tolakan antara muatan-muatan negatif sepanjang rantai polimer yaitu gugus sulfat mengakibatkan rantai molekul menegang. Karena sifat hidrofiliknya, polimer tersebut diselimuti molekul air yang terimobilisasi, sehingga larutan menjadi kental (viskositas larutan tinggi). Semakin tinggi kadar sulfat maka viskositasnya akan semakin tinggi. 21 Suryaningrum et al. (1991), melaporkan bahwa peningkatan kekuatan gel menyebabkan nilai viskositas carrageenan semakin kecil. Parwata dan Oviantara (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin tinggi kadar air dalam bahan baku rumput laut, maka semakin rendah viskositas carrageenan yang dihasilkan. Pada kadar air yang tinggi akan menghasilkan carrageenan dengan tingkat rendemen besar, karena masih mengandung banyak pengotor atau komponen-komponen lain dari rumput laut tersebut yang berdampak pada berat carrageenan yang dihasilkan. Viskositas yang memenuhi standar FAO adalah minimal 5 cP (FAO, 2007). 2.5.3 Melting temperature dan Gelling temperature Melting temperature adalah suhu gel carrageenan mencair dalam konsentrasi tertentu, sedangkan gelling temperature adalah kebalikan dari melting temperature, yaitu suhu dimana larutan carrageenan dalam konsentrasi tertentu mulai membentuk gel. Semakin tinggi gelling temperature, semakin tinggi pula melting temperature (Syamsuar, 2006). Friedlander dan Zalokovitch (1984) menyatakan bahwa gelling temperature dan melting temperature berbanding lurus dengan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kadar sulfatnya. Reen (1986) menyatakan bahwa adanya sulfat cenderung menyebabkan polimer terdapat dalam bentuk sol, sehingga gelling temperature sulit terbentuk. Menurut Syamsuar (2006), gelling temperature kappa carrageenan (tanpa penambahan ion) berada pada kisaran suhu 33,06-34,10oC, sedangkan melting temperature kappa carrageenan berkisar antara 10-15oC di atas gelling temperature. 22 2.5.4 Kekuatan Gel Kekuatan gel merupakan karakteristik fisik carrageenan yang utama, karena menunjukkan kemampuan carrageenan dalam pembentukan gel. Kemampuan inilah yang menyebabkan carrageenan sangat luas penggunaannya, baik dalam bidang pangan maupun nonpangan (Utomo, 2011). Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Peningkatan kekuatan gel berbanding lurus dengan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kadar sulfatnya. Semakin kecil kadar sulfat maka semakin kecil pula viskositasnya, tetapi kekuatan gel semakin meningkat (Yasita dan Rachmawati, 2009). 2.5.5 Kadar Sulfat Kadar sulfat adalah parameter yang digunakan untuk berbagai polisakarida yang terdapat dalam alga merah (Winarno dkk., 1996). Menurut Guiseley et al., (1980), kadar sulfat yang tinggi menyebabkan lebih banyak gaya tolak-menolak antara gugus sulfat yang bermuatan negatif sehingga rantai polimer kaku dan tertarik kencang. Basmal et al. (2002) menyatakan bahwa kadar sulfat dalam kappa carrageenan sangat berperan dalam pembentukan 3,6 anhidrogalaktosa. Kadar sulfat yang rendah akan meningkatkan kandungan 3,6 anhidrogalaktosa dan sebagai akibatnya kekuatan gel kappa carrageenan akan meningkat. 23 Distantina dkk. (2012) menyatakan bahwa konsentrasi alkali yang semakin besar akan menyebabkan kadar sulfat dalam carrageenan semakin sedikit. Kadar sulfat yang semakin sedikit menunjukkan kadar 3,6-anhidrogalaktosa semakin banyak, sehingga fraksi gugus pembentuk gel dalam carrageenan semakin banyak dengan konsentrasi alkali tinggi. 2.5.6 Kadar Abu Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral pada rumput laut yang tidak terbakar pada saat pengabuan (Bidwel, 1974). Besarnya kadar abu dalam suatu bahan pangan menunjukkan tingginya kandungan mineral dalam bahan pangan tersebut. Kadar abu juga ditunjukkan dengan adanya unsur logam yang tidak larut dalam air terutama Ca yang menempel pada bahan (rumput laut) (Sudarmadji, 1984). Standar kadar abu carrageenan yang ditetapkan oleh FAO yaitu sekitar 15-40% (FAO, 2007). 2.6 Standar Mutu Carrageenan Spesifikasi carrageenan menurut Pharmaceutical Excipients (Rowe dkk., 2009) dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel 2.3 Spesifikasi Carrageenan menurut Pharmaceutical Excipients Parameter Viskositas larutan (75oC) Kadar air (%) Total abu (%) Bahan asam (%) Arsenik (ppm) Logam berat (%) Timah (%) Batas cemaran mikroba (cfu/g) Sumber: Rowe dkk. (2009) USP Min. 5 ≤ 12,5 ≤ 35 ≤2 ≤3 ≤ 0,004 ≤ 0,001 ≤ 200 24 Di Indonesia sampai saat ini belum ada standar mutu carrageenan. Standar mutu carrageenan yang telah diakui dikeluarkan oleh Food Agriculture Organization (FAO), Food Chemicals Codex (FCC), dan European Economic Community (EEC). Standar mutu carrageenan dapat dilihat pada tabel 2.4. Tabel 2.4 Standar Mutu Carrageenan Komersial dan FAO Carrageenan Carrageenan komersial standar FAO Viskositas larutan 1,5% (cP) Min. 5 o Melting temperature ( C) 50,21±1,05 o Gelling temperature ( C) 34,10±1,86 2 Kekuatan gel (g/cm ) 685,5024±13,43 Kadar air (%) 14,24±0,25 Maks. 12 Kadar sulfat (%) 15-40 Kadar abu (%) 18,60±0,22 15-40 Sumber: A/S Kobenhvas Pektifabrik (1978) dalam Yasita dan Rachmawati (2010) Parameter Penggunaan bahan baku dalam industri farmasi umumnya memenuhi standar kefarmasian atau dikenal dengan kelompok spesifikasi Pharmaceutical grade. Pharmaceutical grade adalah bahan yang mempunyai kemurnian tinggi dan kualitas farmasi (BPOM, 2013). Produk carrageenan komersial yang diproduksi oleh Henan Aowei International Trading terklaim sebagai produk pharmaceutical grade. Standar mutu berdasarkan produk carrageenan komersial terklaim pharmaceutical grade dapat dilihat pada tabel 2.5. Tabel 2.5 Standar Mutu Produk Carragenan Pharmaceutical Grade Parameter Viskositas larutan 1,5% (cP) Melting temperature (oC) Gelling temperature (oC) Kekuatan gel (1,5%b/b, 0,2% KCl, 25oC, g/cm2) Kadar air (%) Kadar sulfat (%) Kadar abu (%) Sumber: http://chinaaowei.en.alibaba.com (2016) Carrageenan komersial Min. 5 Min. 1400 Maks. 12 15-40 - 25 Jika dibandingkan antara standar mutu yang ditetapkan oleh FAO dengan standar mutu dari produk carragenan komersial terklaim pharmaceutical grade, tidak terdapat perbedaan yang signifikan, sehingga dalam hal ini FAO dapat dijadikan acuan sebagai standar mutu carrageenan yang dihasilkan dari isolasi rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty. 2.7 Desain Percobaan Faktorial Salah satu metode untuk melakukan analisis data adalah dengan desain percobaan faktorial. Salah satu program yang menggunakan rancangan penelitian desain percobaan faktorial adalah Design Expert Version 7.0.0. Desain percobaan faktorial dapat memberikan formula optimum dengan melihat nilai desirability mendekati 1 pada program Design Expert Version 7.0.0. Fungsi desirability merupakan suatu transformasi dari variabel respon ke skala 0 sampai 1, dengan desirability 0 yang menyatakan nilai respon yang tidak diinginkan atau nilai responnya berada di luar batas spesifikasi. Sedangkan desirability 1 menyatakan nilai respon yang ideal (Fariz dan Wardhani, 2013). Desain faktorial mengandung beberapa pengertian yaitu faktor, level, efek, dan respon. Faktor merupakan setiap besaran yang mempengaruhi respon (Voight, 1994). Level merupakan nilai atau tetapan untuk faktor. Efek adalah perubahan respon yang disebabkan variasi tingkat dari faktor. Efek faktor atau interaksi merupakan rata-rata respon pada level tinggi dikurangi rata-rata respon pada level rendah. Respon merupakan sifat atau hasil percobaan yang diamati. Respon yang diamati harus dikuantitatifkan (Bolton, 1997). 26 Jumlah percobaan dalam desain faktorial adalah 2n, dimana 2 menunjukkan level dan n menunjukkan jumlah faktor. Langkah untuk percobaan faktorial terdiri dari kombinasi semua level dari faktor. Desain percobaan faktorial yang melibatkan dua level dan tiga faktor diperlukan delapan formulasi (23=8, dengan 2 menunjukkan level dan 3 menunjukkan jumlah faktor) (Bolton, 1997). Keuntungan metode ini adalah informasi yang diberikan cukup valid, dapat mengidentifikasi ada tidaknya interaksi antara faktor yang diteliti, serta dapat menghemat waktu (Koraksianiti et al., 2000). Penggunaan desain percobaan faktorial juga dapat menghemat biaya dibandingkan melakukan penelitian tunggal untuk mendapat tingkat ketelitian yang sama, dapat menentukan efek utama dari dua faktor dengan hanya satu penelitian tunggal, memiliki efesiensi maksimum dalam memperkirakan efek utama jika tidak ada interaksi, hasil kesimpulan dari penelitian dapat digunakan dalam berbagai kondisi (Bolton & Bon, 2004; Kothari, 2004).