6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut 2.1.1 Deskripsi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Rumput Laut
2.1.1 Deskripsi Rumput Laut
Rumput laut (sea weed) adalah tumbuhan talus berklorofil yang berukuran
makroskopik dan secara ilmiah dikenal dengan istilah alga. Istilah talus digunakan
bagi tubuh rumput laut yang mirip tumbuhan tetapi tidak memiliki akar, batang,
dan daun sejati. Bentuk talus rumput laut bermacam-macam antara lain, bulat
seperti tabung, pipih, gepeng, dan bulat seperti kantong, rambut dan sebagainya
(Aslan, 1998).
Rumput laut di alam umumnya hidup melekat pada substrat di dasar
perairan yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping, atau
cangkang moluska pada daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang
selalu terendam air (subtidal). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput
laut diantaranya adalah faktor kedalaman perairan, cahaya, substrat, dan gerakan
air. Rumput laut tumbuh berkelompok dengan jenis rumput laut lainnya (Aslan,
1998).
2.1.2 Jenis Rumput Laut
Jenis-jenis rumput laut yang dibudidayakan di Indonesia, yaitu rumput laut
atau alga yang tergolong dalam divisi Thallophyta.Thallophyta adalah jenis
tumbuhan bertalus yang terdiri dari 4 kelas, yaitu alga hijau (Chlorophyceae), alga
merah (Rhodophyceae), alga coklat (Phaeophyceae), dan alga hijau biru
6
7
(Myxophyceae). Pembagian ini didasarkan atas pigmen yang dikandungnya
(Kordi dan Ghurfan, 2011).
a. Alga Merah
Alga merah (Rhodophyceae) merupakan kelas dengan spesies yang
memiliki nilai ekonomis dan paling banyak dimanfaatkan. Tumbuhan jenis ini
dapat hidup di dalam dasar laut dengan menancapkan dirinya pada substrat
lumpur, pasir, karang hidup, karang mati, cangkang moluska, batu vulkanik
ataupun kayu. Habitat atau tempat hidup umum tumbuhan jenis ini adalah
terumbu karang. Tumbuhan jenis ini hidup pada kedalaman mulai dari garis
pasang surut terendah sampai sekitar 40 meter. Di Indonesia alga merah terdiri
dari 17 marga dan 34 jenis serta 31 jenis diantaranya telah banyak
dimanfaatkan. Jenis rumput laut yang termasuk dalam kelas alga merah
sebagai penghasil carrageenan (karaginofit) adalah Kappaphycus dan
Hypnea, sedangkan yang mengandung agar-agar (agarofit) adalah Gracilaria
dan Gelidium (Kordi dan Ghurfan, 2011).
b. Alga Hijau
Alga hijau (Chlorophyceae) dapat ditemukan pada kedalaman hingga 10
meter atau lebih di daerah yang memiliki penyinaran yang cukup. Rumput laut
jenis ini tumbuh melekat pada substrat seperti batu, batu karang mati,
cangkang moluska, dan ada juga yang tumbuh di atas pasir. Di Indonesia
rumput laut jenis ini terdapat sekitar 12 marga. Terdapat sekitar 14 jenis telah
dimanfaatkan sebagai bahan konsumsi dan obat (Kordi dan Ghurfan, 2011).
8
c. Alga Coklat
Pada perairan Indonesia terdapat sekitar 8 marga kelas alga coklat
(Phaeophyceae). Tumbuhan jenis ini merupakan kelompok alga laut
penghasil algin (alginofit). Jenis rumput laut coklat sebagai penghasil algin
adalah Sargassum sp. dan Turbinaria sp. Alga coklat memiliki ukuran besar
dan membentuk padang alga di laut lepas (Kordi dan Ghurfan, 2011).
2.2
Kappaphycus alvarezii Doty.
Klasifikasi Kappaphycus alvarezii Doty. menurut Aslan (1998) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Ordo
: Gigartinales
Famili
: Solieraceae
Genus
: Kappaphycus
Spesies
: Kappaphycus alvarezii Doty. (Eucheuma cottonii Doty.)
Gambar 2.1 Alga Kappaphycus alvarezii Doty. (Rompas dkk., 2015)
Kappaphycus alvarezii Doty. merupakan salah satu jenis alga merah
(Rhodophyceae) penghasil kappa carrageenan. Kappaphycus alvarezii Doty.
9
memiliki ciri-ciri fisik seperti talus silindris, permukaan licin, dan cartilogineus.
Penampakan talus alga jenis ini bervariasi, mulai dari bentuk sederhana sampai
kompleks. Duri-duri pada talus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak
bersusun melingkari talus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang
utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal) (Anggadiredja dkk.,
2006).
Tabel 2.1 Komposisi Nilai Nutrisi Kappaphycus alvarezii Doty.
Komponen
Kadar air (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Serat kasar (%)
Abu (%)
Mineral: Ca (ppm)
Fe (ppm)
Cu (ppm)
Pb (ppm)
Vitamin B1 (Thiamin) (mg/100 g)
Vitamin B2 (Riboflavin) (mg/100 g)
Vitamin C (mg/100 g)
Carrageenan (%)
Sumber: Istini et al. (1986)
Jumlah
13,90
2,69
0,37
0,95
17,09
22,39
0,0121
2,763
0,04
0,14
2,7
12
61,52
Warna merah dari Kappaphycus alvarezii Doty. timbul karena adanya
kandungan pigmen phycoerythrin dan pigmen phycocyanin. Phycoerythrin adalah
pigmen yang berwarna merah cerah dan memancarkan warna oranye, sedangkan
phycocyanin berwarna biru dan memancarkan warna merah tua (Atmadja, 2007).
Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning,
abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi karena faktor lingkungan.
Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara
proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan, 1998). Warna
10
talus juga dipengaruhi oleh kedalaman air (hampir hitam pada laut dalam, merah
cerah pada kedalaman sedang, dan menjadi kehijauan pada air yang sangat
dangkal karena lebih sedikit phycoerythrin yang menutupi warna hijau klorofil
(Campbell dkk., 2003).
Umumnya Kappaphycus alvarezii Doty. tumbuh dengan baik di daerah
pantai terumbu karena tempat ini mempunyai persyaratan untuk pertumbuhan,
yaitu faktor kedalaman, suhu, cahaya, substrat dan gerakan air. Habitat khasnya
adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian
yang kecil dan substrat batu karang mati (Atmadja, 1996). Kappaphycus alvarezii
Doty. memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Oleh karena itu,
rumput laut jenis ini hanya mungkin dapat hidup pada lapisan fotik, yaitu pada
kedalaman sejauh sinar matahari masih mampu mencapainya. Pertumbuhan
cabang-cabang rumput laut ini membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khas
mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Anggadiredja dkk., 2006).
Rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty. dalam dunia perdagangan
nasional maupun internasional lebih dikenal dengan nama Eucheuma cottonii.
Eucheuma cottonii secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii Doty. karena
carrageenan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa carrageenan. Kadar
carrageenan dalam spesies ini berkisar antara 54-73% tergantung pada jenis dan
lokasi tumbuhnya. Jenis rumput laut ini berasal dari perairan Sabah (Malaysia)
dan Kepulauan Sulu (Filipina) (Syamsuar, 2006).
Kappaphycus alvarezii Doty. merupakan jenis rumput laut yang banyak
ditemui di Kecamatan Nusa Penida. Pantai di sebelah utara Kecamatan Nusa
11
Penida merupakan pantai landai sehingga pantai tersebut cocok digunakan untuk
budidaya rumput laut. Secara geografis, Kecamatan Nusa Penida memiliki
keunggulan komparatif, dengan luas lokasi penanaman rumput laut sebesar 290
hektar dan jumlah petani rumput laut sebesar 1.782. Dari luas area tersebut,
pengembangan budidaya rumput laut mencapai 45% dari luas areal pantai.
Produksi rumput laut perbulan adalah 130 sampai 225 per ton (Badan Pusat
Statistik Kabupaten Klungkung, 2012).
2.3
Carrageenan
2.3.1 Definisi Carrageenan
Carrageenan merupakan senyawa hidrokoloid tersusun atas polisakarida
rantai panjang. Polisakarida tersebut tersusun dari sejumlah unit galaktosa dengan
ikatan α-(1,3)-D-galaktosa dan β-(1,4)-3,6-anhidrogalaktosa secara bergantian
pada polimer heksosanya (Glicksman, 1983).
Carrageenan terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks
intraseluler dan merupakan bagian penyusun terbesar dari berat kering rumput laut
(Hellebust dan Cragie, 1978). Carrageenan berupa serbuk kasar berserat hingga
halus, berwarna kuning coklat hingga putih, tidak berasa dan tidak berbau. Berat
molekul carrageenan adalah 400-600 kDa (Velde dan Ruiter, 2005).
2.3.2 Jenis Carrageenan
Doty (1987) membedakan carrageenan berdasarkan kadar sulfatnya
menjadi dua fraksi, yaitu kappa carrageenan yang mengandung sulfat kurang dari
28% dan iota carrageenan jika lebih dari 30%. Winarno dkk. (1996) selanjutnya
12
membagi carrageenan menjadi 3 fraksi berdasarkan unit penyusunnya yaitu
kappa, iota dan lambda carrageenan.
Tabel 2.2 Perbedaan Kappa, Iota dan Lambda Carrageenan.
Tipe
Carrageenan
Struktur
Kandungan
(Gail Fisher, 2009)
Mengandung 25-30%
ester sulfat dan 28-35%
3,6-anhidrogalaktosa
(Barbeyron et al., 2000).
(Gail Fisher, 2009)
Mengandung 28-38%
ester sulfat dan 25-30%
3,6-anhidrogalaktosa
(Barbeyron et al., 2000).
(Gail Fisher, 2009)
Mengandung 32-39%
ester sulfat dan tidak
mengandung 3,6anhidrogalaktosa
(Barbeyron et al., 2000).
Kappa
carrageenan
Iota
carrageenan
Lambda
carrageenan
a. Kappa Carrageenan
Kappa carrageenan merupakan jenis yang paling banyak terdapat di alam,
membentuk gel yang kuat dan rigid, thermoreversible, meskipun sangat
rentan mengalami sineresis. Kappa carrageenan terdapat pada Kappaphycus
alvarezii Doty., dan Eucheuma striatum (Aslan, 1998; Setiawati, 2007).
Kappa carrageenan terdiri dari unit D-galaktosa-4-sulfat dan 3,6-anhidroD-galaktosa. Carrageenan juga sering mengandung D-galaktosa-6-sulfat
ester dan 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat ester. Adanya gugusan 6-sulfat
dapat menurunkan daya gelasi dari carrageenan, tetapi dengan pemberian
13
alkali mampu menyebabkan transeliminasi gugus 6-sulfat, sehingga
menghasilkan bentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat
keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah
(Winarno, 1996).
b. Iota Carrageenan
Iota carrageenan merupakan jenis yang paling sedikit jumlahnya di alam,
membentuk gel lembut, fleksibel, lunak, dengan sineresis yang terbatas. Iota
carrageenan terdapat pada Eucheuma spinosum, Eucheuma isiforme, dan
Eucheuma uncinatum (Aslan, 1998; Setiawati, 2007).
c. Lambda Carrageenan
Lambda carrageenan merupakan jenis carrageenan kedua terbanyak di
alam, tidak dapat mebentuk gel, namun berbentuk cairan kental. Lambda
carrageenan terdapat pada Chondrus crispus (Setiawati, 2007; Winarno
dkk., 1996).
2.3.3 Sifat Carrageenan
a. Kelarutan
Karakteristik daya larut carrageenan dipengaruhi oleh bentuk garam
dari gugus ester sulfatnya. Jenis natrium umumnya lebih mudah larut,
sementara jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa
carrageenan dalam bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin
dan diperlukan panas untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan
dalam bentuk garam natrium lebih mudah larut (Syamsuar, 2006). Gugus
hidroksil dan sulfat pada carrageenan bersifat hidrofilik sedangkan gugus
14
3,6-anhidro-D-galaktosa lebih hidrofobik. Kappa carrageenan bersifat
kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3,6-anhidro-Dgalaktosa (Towle, 1973).
b. Viskositas
Viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan. Viskositas
suatu hidrokoloid dipengaruhi oleh konsentrasi carrageenan, temperatur,
jenis carrageenan, berat molekul dan adanya molekul-molekul lain (Towle,
1973). Moirano (1977) mengemukakan bahwa semakin kecil kadar sulfat,
maka viskositasnya juga semakin kecil, tetapi kekuatan gelnya semakin
meningkat. Viskositas larutan carrageenan akan menurun seiring dengan
peningkatan
suhu
sehingga
terjadi
depolimerisasi
yang
kemudian
dilanjutkan dengan degradasi carrageenan (Towle, 1973).
c. Stabilitas pH
Carrageenan dalam larutan memiliki stabilitas maksimum pada pH 9
dan akan terhidrolisis pada pH dibawah 3,5. Hidrolisis dipercepat oleh
panas pada pH rendah. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis
dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan hilangnya viskositas dan
menurunkan pembentukan gel. Hal ini disebabkan oleh ion H+ yang
membantu proses hidrolisis ikatan glikosidik pada molekul carrageenan
(Towle, 1973). Pada pH 6 atau lebih umumnya larutan carrageenan dapat
mempertahankan kondisi proses produksi carrageenan (Glicksman, 1983).
15
d. Pembentukan gel
Carrageenan
membentuk
gel
mempunyai
adalah
sifat
sifat
pembentuk
terpenting
dari
gel.
Kemampuan
kappa
carrageenan.
Kemampuan pembentukan gel pada kappa carrageenan terjadi pada saat
larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin karena kappa carrageenan
memiliki gugus sulfat yang paling sedikit sehingga mudah membentuk gel
(Doty, 1987).
Kappa carrageenan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel
dalam air dan bersifat thermoreversible yaitu meleleh jika dipanaskan dan
membentuk gel kembali jika didinginkan. Proses pemanasan dengan suhu
yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel akan mengakibatkan polimer
carrageenan dalam larutan menjadi random oil (acak). Bila suhu
diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix dan
apabila penurunan suhu terus dilanjutkan, polimer-polimer ini akan saling
terikat silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks
akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab terhadap pembentukan gel
yang kuat (Syamsuar, 2006).
2.4
Isolasi Carrageenan
Carrageenan merupakan ekstrak yang diperoleh dari hasil ekstraksi rumput
laut (alga merah) dengan menggunakan air panas atau larutan alkali pada
temperatur tinggi (Glicksman, 1983). Isolasi carrageenan dari rumput laut
Kappaphycus alvarezii Doty. membutuhkan beberapa tahapan, yaitu proses
16
perendaman, ekstraksi, pemisahan carrageenan dengan pelarutnya, kemudian
pengeringan carrageenan (Winarno dkk., 1996).
Pada ekstraksi rumput laut, selain terjadi peristiwa pelarutan carrageenan
juga terjadi peristiwa reaksi. Beberapa peneliti menyatakan bahwa perlakuan
alkali pada ekstraksi carrageenan dapat meningkatkan sifat gel. Peningkatan sifat
gel ini disebabkan adanya reaksi pembentukan anhidrogalaktosa yang merupakan
gugus pembentuk gel. Reaksi pembentukan gugus anhidrogalaktosa juga dapat
diindikasi berdasarkan adanya pengurangan kadar sulfat dalam carrageenan yang
dihasilkan. Secara alami, gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa dibentuk secara
enzimatis dari prekursornya yaitu sulfohydrolase. Reaksi ini dikenal sebagai
reaksi siklisasi atau desulfatasi (Ciancia dkk., 1997; Campo dkk., 2009).
Reaksi yang terjadi pada saat ekstraksi dengan alkali yaitu transformasi
gugus sulfat yang terikat dalam gugus galaktosa oleh ion Na+ dengan membentuk
garam Na2SO4 di larutan serta dehidrasi membentuk polimer anhidrogalaktosa,
dimana ion H+ dari larutan alkali bereaksi dengan ikatan bergugus H membentuk
kappa carrageenan dan air (Distantina dkk., 2009)
Distantina dkk. (2012) melakukan ekstraksi Kappaphycus alvarezii Doty.
menggunakan
pelarut
alkali
dan air. Berdasarkan penelitian, ekstraksi
menggunakan pelarut air menghasilkan rendemen lebih tinggi dibandingkan
pelarut alkali. Namun, meskipun pelarut air suling menghasilkan rendemen
tertinggi (46,43%), tetapi pada konsentrasi larutan carrageenan 1,5% (b/v) tidak
mampu membentuk gel pada suhu kamar.
17
Towle (1973) menyatakan bahwa larutan alkali mempunyai dua fungsi yaitu
membantu ekstraksi polisakarida dari rumput laut dan berfungsi untuk
mengkatalisis hilangnya gugus 6-sulfat dari unit monomernya dengan membentuk
3,6-anhidrogalaktosa sehingga meningkatkan kekuatan gel. Hal ini didukung oleh
hasil penelitian Sheng Yao et al. (1986) ekstraksi yang dilakukan dengan NaOH
2% menghasilkan gel 3–5 kali lebih kuat jika dibanding dengan air. Disamping itu
alkali berfungsi untuk mencegah terjadinya hidrolisis carrageenan (Guiseley et
al., 1980).
Romenda dkk. (2013) melakukan penelitian mengenai perbedaan jenis dan
konsentrasi larutan alkali terhadap kekuatan gel dan viskositas carrageenan dari
Kappaphycus alvarezii Doty. Jenis alkali yang digunakan yaitu KOH dan NaOH
dengan konsentrasi 4%, 6%, dan 8%. Berdasarkan penelitian, viskositas yang
memberikan pengaruh tertinggi adalah NaOH 8% dan jenis pelarut yang
menghasilkan kekuatan gel tertinggi adalah KOH 6%.
Pemisahan carrageenan dari bahan pengekstrak dilakukan dengan cara
penyaringan dan pengendapan setelah proses ekstraksi. Pengendapan carrageenan
dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu freeze thaw, alcohol precipitation, dan
KCl precipitation. Pada metode freeze thaw, larutan carrageenan dibuat menjadi
gel dengan penambahan garam, kemudian gel dibekukan. Selama proses thawing
(pencairan), kandungan air dihilangkan dan dihasilkan carrageenan dan garam
(Rowe et al., 2009).
Pada metode alcohol precipitation, sejumlah larutan carrageenan direndam
dengan menggunakan alkohol, sehingga carrageenan akan terpresipitasi keluar
18
larutan (Rowe et al., 2009). Alkohol yang dapat digunakan yaitu metanol, etanol
dan isopropil alkohol. Umumnya isopropil alkohol digunakan sebagai bahan
pengendap karena hasilnya lebih murni dan pekat/kental. Namun isopropil alkohol
memiliki harga yang lebih mahal dibanding metanol dan etanol.
KCl dapat digunakan sebagai bahan alternatif untuk mengendapkan
carrageenan. Menurut Dea (1979) apabila garam KCl dilarutkan dalam air akan
terionisasi menjadi K+ dan Cl-. Penurunan kelarutan carrageenan dengan
penambahan garam disebabkan oleh kation K+ yang berfungsi untuk
meningkatkan kekuatan ionik dalam rantai polimer carrageenan sehingga terjadi
penurunan tolakan elektrostatik diantara rantai polimer. Pada konsentrasi garam
yang rendah kapiler elektrik dapat menjadi kecil, sedangkan pada konsentrasi
yang lebih tinggi menyebabkan koloid tersebut akan melepaskan air sehingga
terjadi pengendapan.
Penggunaan larutan KCl atau alkohol untuk proses presipitasi dapat
dilakukan pada kappa carrageenan, sedangkan pada iota carrageenan hanya
menggunakan alkohol. Larutan KCl hanya dapat digunakan pada kappa
carrageenan. Hal ini disebabkan karena kappa carrageenan sensitif terhadap ion
kalium dan membentuk gel yang kuat dengan adanya garam kalium, sedangkan
iota carrageenan akan membentuk gel kuat dan stabil bila terdapat ion Ca2+
(Glicksman, 1983).
Menurut Murdinah et al. (1994) pemisahan carrageenan menggunakan
KCl berpengaruh terhadap kenaikan rendemen dan kadar abu, sedangkan kadar
air, kadar sulfat dan viskositas cenderung menurun. Penggunaan KCl sebagai
19
bahan presipitasi carrageenan telah dilakukan oleh Ningsih (2014) dengan variasi
konsentrasi KCl yaitu 1%, 5%, dan 10%. Konsentrasi KCl yang menghasilkan
mutu carrageenan yang baik yaitu KCl 5%. Hal ini dapat dilihat dari nilai
rendemen (52%), kekuatan gel (293,42 g/cm2), dan viskositas (38,89 cP) yang
dihasilkan. Penggunaan KCl pada larutan alkali KOH cenderung menurunkan
nilai rendemen carrageenan, tetapi pada larutan alkali NaOH cenderung
meningkatkan nilai rendemen carrageenan.
2.5
Karakteristik Carrageenan
Karakteristik fisika carrageenan meliputi rendemen, viskositas, melting
temperature dan gelling temperature, serta kekuatan gel. Karakteristik kimia
carrageenan meliputi kadar sulfat, dan kadar abu.
2.5.1 Rendemen Carrageenan
Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam menilai efektif
tidaknya proses isolasi carrageenan. Perhitungan rendemen dilakukan untuk
mengetahui persentase carrageenan yang dihasilkan dari rumput laut kering yang
digunakan berdasarkan umur panen, konsentrasi pelarut alkali dan waktu ekstraksi
(Syamsuar, 2006). Rendemen carrageenan sebagai hasil ekstraksi dihitung
berdasarkan rasio antara berat carrageenan yang dihasilkan dengan berat rumput
laut kering yang digunakan (FMC Corp., 1977). Standar minimum rendemen
carrageenan yang ditetapkan oleh Departemen Perdagangan (1989) dalam
Syamsuar (2006) adalah sebesar 25%.
20
Konsentrasi pelarut alkali sangat mempengaruhi rendemen carrageenan
yang dihasilkan. Hal ini diduga karena semakin tinggi konsentrasi alkali,
menyebabkan pH larutan semakin tinggi sehingga kemampuan alkali dalam
mengekstrak semakin besar. Perlakuan pelarut alkali membantu ekstraksi
polisakarida
menjadi
sempurna
dan
mempercepat
terbentuknya
3,6
anhidrogalaktosa selama proses ekstraksi berlangsung (Yasita dan Rachmawati,
2009). Yasita dan Rachmawati (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi
konsentrasi NaOH yang digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi carrageenan
rumput laut maka semakin tinggi rendemen yang dihasilkan.
Menurut Basmal (2009), rendemen carrageenan lebih banyak dipengaruhi
oleh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi. Semakin lama waktu ekstraksi akan
meningkatkan rendemen carrageenan. Hal ini disebabkan karena semakin lama
rumput laut kontak dengan panas maupun dengan larutan pengekstrak, maka
semakin banyak carrageenan yang terekstraksi dari dinding sel dan menyebabkan
rendemen carrageenan semakin tinggi (Yasita dan Rachmawati, 2009).
2.5.2 Viskositas
Menurut penelitian Moraino (1977), viskositas carrageenan terutama
disebabkan oleh sifat carrageenan sebagai polielektrolit. Gaya tolakan antara
muatan-muatan
negatif
sepanjang
rantai
polimer
yaitu
gugus
sulfat
mengakibatkan rantai molekul menegang. Karena sifat hidrofiliknya, polimer
tersebut diselimuti molekul air yang terimobilisasi, sehingga larutan menjadi
kental (viskositas larutan tinggi). Semakin tinggi kadar sulfat maka viskositasnya
akan semakin tinggi.
21
Suryaningrum et al. (1991), melaporkan bahwa peningkatan kekuatan gel
menyebabkan nilai viskositas carrageenan semakin kecil. Parwata dan Oviantara
(2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin tinggi kadar air dalam
bahan baku rumput laut, maka semakin rendah viskositas carrageenan yang
dihasilkan. Pada kadar air yang tinggi akan menghasilkan carrageenan dengan
tingkat rendemen besar, karena masih mengandung banyak pengotor atau
komponen-komponen lain dari rumput laut tersebut yang berdampak pada berat
carrageenan yang dihasilkan. Viskositas yang memenuhi standar FAO adalah
minimal 5 cP (FAO, 2007).
2.5.3 Melting temperature dan Gelling temperature
Melting temperature adalah suhu gel carrageenan mencair dalam
konsentrasi tertentu, sedangkan gelling temperature adalah kebalikan dari melting
temperature, yaitu suhu dimana larutan carrageenan dalam konsentrasi tertentu
mulai membentuk gel. Semakin tinggi gelling temperature, semakin tinggi pula
melting temperature (Syamsuar, 2006). Friedlander dan Zalokovitch (1984)
menyatakan bahwa gelling temperature dan melting temperature berbanding lurus
dengan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kadar
sulfatnya. Reen (1986) menyatakan bahwa adanya sulfat cenderung menyebabkan
polimer terdapat dalam bentuk sol, sehingga gelling temperature sulit terbentuk.
Menurut Syamsuar (2006), gelling temperature kappa carrageenan (tanpa
penambahan ion) berada pada kisaran suhu 33,06-34,10oC, sedangkan melting
temperature kappa carrageenan berkisar antara 10-15oC di atas gelling
temperature.
22
2.5.4 Kekuatan Gel
Kekuatan gel merupakan karakteristik fisik carrageenan yang utama, karena
menunjukkan kemampuan carrageenan dalam pembentukan gel. Kemampuan
inilah yang menyebabkan carrageenan sangat luas penggunaannya, baik dalam
bidang pangan maupun nonpangan (Utomo, 2011). Menurut Fardiaz (1989),
pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang
rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan.
Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan
membentuk struktur yang kuat dan kaku.
Peningkatan kekuatan gel berbanding lurus dengan 3,6-anhidrogalaktosa
dan berbanding terbalik dengan kadar sulfatnya. Semakin kecil kadar sulfat maka
semakin kecil pula viskositasnya, tetapi kekuatan gel semakin meningkat (Yasita
dan Rachmawati, 2009).
2.5.5 Kadar Sulfat
Kadar sulfat adalah parameter yang digunakan untuk berbagai polisakarida
yang terdapat dalam alga merah (Winarno dkk., 1996). Menurut Guiseley et al.,
(1980), kadar sulfat yang tinggi menyebabkan lebih banyak gaya tolak-menolak
antara gugus sulfat yang bermuatan negatif sehingga rantai polimer kaku dan
tertarik kencang. Basmal et al. (2002) menyatakan bahwa kadar sulfat dalam
kappa carrageenan sangat berperan dalam pembentukan 3,6 anhidrogalaktosa.
Kadar sulfat yang rendah akan meningkatkan kandungan 3,6 anhidrogalaktosa dan
sebagai akibatnya kekuatan gel kappa carrageenan akan meningkat.
23
Distantina dkk. (2012) menyatakan bahwa konsentrasi alkali yang semakin
besar akan menyebabkan kadar sulfat dalam carrageenan semakin sedikit. Kadar
sulfat yang semakin sedikit menunjukkan kadar 3,6-anhidrogalaktosa semakin
banyak, sehingga fraksi gugus pembentuk gel dalam carrageenan semakin banyak
dengan konsentrasi alkali tinggi.
2.5.6 Kadar Abu
Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral pada rumput laut
yang tidak terbakar pada saat pengabuan (Bidwel, 1974). Besarnya kadar abu
dalam suatu bahan pangan menunjukkan tingginya kandungan mineral dalam
bahan pangan tersebut. Kadar abu juga ditunjukkan dengan adanya unsur logam
yang tidak larut dalam air terutama Ca yang menempel pada bahan (rumput laut)
(Sudarmadji, 1984). Standar kadar abu carrageenan yang ditetapkan oleh FAO
yaitu sekitar 15-40% (FAO, 2007).
2.6
Standar Mutu Carrageenan
Spesifikasi carrageenan menurut Pharmaceutical Excipients (Rowe dkk.,
2009) dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Spesifikasi Carrageenan menurut Pharmaceutical Excipients
Parameter
Viskositas larutan (75oC)
Kadar air (%)
Total abu (%)
Bahan asam (%)
Arsenik (ppm)
Logam berat (%)
Timah (%)
Batas cemaran mikroba (cfu/g)
Sumber: Rowe dkk. (2009)
USP
Min. 5
≤ 12,5
≤ 35
≤2
≤3
≤ 0,004
≤ 0,001
≤ 200
24
Di Indonesia sampai saat ini belum ada standar mutu carrageenan. Standar
mutu carrageenan yang telah diakui dikeluarkan oleh Food Agriculture
Organization (FAO), Food Chemicals Codex (FCC), dan European Economic
Community (EEC). Standar mutu carrageenan dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4 Standar Mutu Carrageenan Komersial dan FAO
Carrageenan
Carrageenan
komersial
standar FAO
Viskositas larutan 1,5% (cP)
Min. 5
o
Melting temperature ( C)
50,21±1,05
o
Gelling temperature ( C)
34,10±1,86
2
Kekuatan gel (g/cm )
685,5024±13,43
Kadar air (%)
14,24±0,25
Maks. 12
Kadar sulfat (%)
15-40
Kadar abu (%)
18,60±0,22
15-40
Sumber: A/S Kobenhvas Pektifabrik (1978) dalam Yasita dan Rachmawati (2010)
Parameter
Penggunaan bahan baku dalam industri farmasi umumnya memenuhi
standar kefarmasian atau dikenal dengan kelompok spesifikasi Pharmaceutical
grade. Pharmaceutical grade adalah bahan yang mempunyai kemurnian tinggi
dan kualitas farmasi (BPOM, 2013). Produk carrageenan komersial yang
diproduksi oleh Henan Aowei International Trading terklaim sebagai produk
pharmaceutical grade. Standar mutu berdasarkan produk carrageenan komersial
terklaim pharmaceutical grade dapat dilihat pada tabel 2.5.
Tabel 2.5
Standar Mutu Produk Carragenan Pharmaceutical Grade
Parameter
Viskositas larutan 1,5% (cP)
Melting temperature (oC)
Gelling temperature (oC)
Kekuatan gel (1,5%b/b, 0,2% KCl, 25oC, g/cm2)
Kadar air (%)
Kadar sulfat (%)
Kadar abu (%)
Sumber: http://chinaaowei.en.alibaba.com (2016)
Carrageenan komersial
Min. 5
Min. 1400
Maks. 12
15-40
-
25
Jika dibandingkan antara standar mutu yang ditetapkan oleh FAO dengan
standar mutu dari produk carragenan komersial terklaim pharmaceutical grade,
tidak terdapat perbedaan yang signifikan, sehingga dalam hal ini FAO dapat
dijadikan acuan sebagai standar mutu carrageenan yang dihasilkan dari isolasi
rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty.
2.7
Desain Percobaan Faktorial
Salah satu metode untuk melakukan analisis data adalah dengan desain
percobaan faktorial. Salah satu program yang menggunakan rancangan penelitian
desain percobaan faktorial adalah Design Expert Version 7.0.0. Desain percobaan
faktorial dapat memberikan formula optimum dengan melihat nilai desirability
mendekati 1 pada program Design Expert Version 7.0.0. Fungsi desirability
merupakan suatu transformasi dari variabel respon ke skala 0 sampai 1, dengan
desirability 0 yang menyatakan nilai respon yang tidak diinginkan atau nilai
responnya berada di luar batas spesifikasi. Sedangkan desirability 1 menyatakan
nilai respon yang ideal (Fariz dan Wardhani, 2013).
Desain faktorial mengandung beberapa pengertian yaitu faktor, level, efek,
dan respon. Faktor merupakan setiap besaran yang mempengaruhi respon (Voight,
1994). Level merupakan nilai atau tetapan untuk faktor. Efek adalah perubahan
respon yang disebabkan variasi tingkat dari faktor. Efek faktor atau interaksi
merupakan rata-rata respon pada level tinggi dikurangi rata-rata respon pada level
rendah. Respon merupakan sifat atau hasil percobaan yang diamati. Respon yang
diamati harus dikuantitatifkan (Bolton, 1997).
26
Jumlah percobaan dalam desain faktorial adalah 2n, dimana 2 menunjukkan
level dan n menunjukkan jumlah faktor. Langkah untuk percobaan faktorial terdiri
dari kombinasi semua level dari faktor. Desain percobaan faktorial yang
melibatkan dua level dan tiga faktor diperlukan delapan formulasi (23=8, dengan 2
menunjukkan level dan 3 menunjukkan jumlah faktor) (Bolton, 1997).
Keuntungan metode ini adalah informasi yang diberikan cukup valid, dapat
mengidentifikasi ada tidaknya interaksi antara faktor yang diteliti, serta dapat
menghemat waktu (Koraksianiti et al., 2000). Penggunaan desain percobaan
faktorial juga dapat menghemat biaya dibandingkan melakukan penelitian tunggal
untuk mendapat tingkat ketelitian yang sama, dapat menentukan efek utama dari
dua faktor dengan hanya satu penelitian tunggal, memiliki efesiensi maksimum
dalam memperkirakan efek utama jika tidak ada interaksi, hasil kesimpulan dari
penelitian dapat digunakan dalam berbagai kondisi (Bolton & Bon, 2004; Kothari,
2004).
Download