Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 EVALUASI ATAS PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP TRANSAKSI TRANSFER PRICING PADA PERUSAHAAN MULTINASIONAL DI INDONESIA Indah Dewi Nurhayati [email protected] FE Universitas Widyagama Malang Abstrak : Transfer pricing adalah sebuah istilah untuk mekanisme penetapan harga yang tidak wajar atas transaksi penyediaan barang atau penyerahan jasa oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa (related parties). Transfer pricing biasanya dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional. Dengan praktik yang tidak sehat tersebut, mengakibatkan hilangnya potensi pajak yang seharusnya diterima negara Inilah sebabnya, kegiatan yang bersifat manipulatif ini sering dikaitkan dengan kerugian negara. Jika menengok ke belakang, kasus transfer pricing sebenarnya bukan baru kali ini saja terjadi. Sudah sejak lama kasus ini menghantui, bahkan tidak hanya di ranah perpajakan tanah air, tapi juga negara-negara lain di dunia. Berdasarkan data Organization for Economic and Development (OECD), 60% dari total perdagangan di dunia terindikasi melakukan praktik transfer pricing. Untuk mengatur hal itu, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan saat ini sudah memperbarui draft peraturan yang fokus pada Transfer Pricing.Hal itu sebagai bagian dari kebijakan strategis tahun 2013. Dirjen Pajak memperbaiki kapasitasnya untuk mengatasi segala persoalan Transfer Pricing. Kata kunci: transfer pricing, perusahaan multinasional, penghindaran pajak, peraturan pajak Abstract : Transfer pricing is a term for a pricing mechanism that is not fair on the transaction supply of goods or delivery of services by those who have a special relationship (related parties). Transfer pricing is usually done multinationals companies. With such unfairly practices, resulting in the potential loss of tax that should be accepted, that manipulative activity is often associated with loss of state. In fact, the case of transfer pricing is actually not the first time it happened. It has long been the haunt of cases, even in the realm of taxation is not only the country, but also other countries in the world. Based on data from Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), 60% of total world trade in transfer pricing practice indicated. To manage this, the Directorate-General (DG) Tax Ministry of Finance is now updating the draft regulations focus on the Pricing. This draft as part of a strategic policy at 2013, that improved their capacity to cope with any issues abaout Transfer Pricing. Key words: transfer pricing, multinational companies, tax avoidance, tax rules Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) 31 Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 Perkembangan ekonomi yang terjadi pada saat ini, memberikan suatu pengaruh yang besar bagi pola bisnis dan sikap para pelaku bisnis. Investasi yang semakin aktif dilakukan oleh para investor, terlebih-lebih oleh para investor asing yang telah mengakibatkan terjadinya transaksi-transaksi yang bersifat internasional (cross border transaction). Awalnya transfer pricing dikenal dalam akuntansi manajemen sebagai kebijakan harga yang diterapkan atas penyerahan barang atau jasa antar divisi/departemen di dalam suatu perusahaan dengan tujuan untuk mengukur kinerja dari masing-masing divisi/departemen tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, perusahaan multinasional yang biasanya menerapkan desentralisasi operasi dengan cara membagi perusahaannya atas pusat-pusat pertanggungjawaban baik itu pusat biaya maupun pusat penghasilan, telah memanfaatkan transfer pricing sebagai alat untuk menghindari atau menggelapkan pajak dengan cara meminimalkan beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Melalui praktik transfer pricing, upaya meminimalkan beban pajak dilakukan dengan cara mengalihkan penghasilan serta biaya suatu perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dari suatu negara kepada perusahaan di negara lain yang tarif pajaknya berbeda. Masalah pengalokasian penghasilan dan biaya perusahaan multinasional ini harus diatur dengan baik dan jelas oleh masing-masing negara yang terlibat dalam transaksi internasional. Pengaturan yang baik dan jelas diharapkan dapat mencegah dan mendeteksi tindakan-tindakan manipulasi pajak melalui transfer pricing yang sering dilakukan perusahaan multinasional untuk melakukan penghindaran/penggelapan pajak. Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan/peraturan-peraturan perpajakan mengenai pencegahan dan penanggulangan praktek transfer pricing yang menyebabkan penghindaran/penggelapan pajak di Indonesia. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana efektifitas kebijakan/peraturan perpajakan yang ada dalam mencegah dan menanggulangi praktik transfer pricing pada perusahaan multinasional? Metode yang dapat digunakan untuk menguji kewajaran transfer pricing adalah metode-metode yang tertera dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tanggal 6 September 2010 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tanggal 11 Nopember 2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Secara umum, Surat Edaran dan Peraturan Dirjen Pajak tersebut melihat bahwa pemakaian prinsip kewajaran harga (arm’s length price) dan pengujian kewajaran nilai transfer adalah dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya plus (cost plus method), metode pembagian laba (profit split method), dan metode laba bersih transaksional (transactional net margin method). 32 Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 Perlakuan perpajakan terhadap transaksi transfer pricing diatur sebagai berikut : 1. Pasal 18 ayat (3) UU PPh, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan dan menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa sesuai kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa. 2. PER-43/PJ/2010, penerapan prinsip kewajaran dan kewajiban usaha (arm’s length price) karena penentuan harga tidak wajar dengan melakukan analisis kesebandingan, menentukan metode transfer pricing yang tepat dan keharusan mendokumentasikan serta menyimpan buku dan catatan. 3. Pasal 18 ayat (1) UU PPh, Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan (dept to equity ratio/DER rule). 4. Pasal 18 ayat (2) UU PPh, Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan saat diperolehnya deviden oleh WPDN atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek. 5. Pasal 18 ayat (3a) UU PPh, mengatur tentang kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement/APA) , yaitu kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Keuntungan dari kesepakatan ini adalah memberi kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak serta tidak dilakukan koreksi bagi Wajib Pajak yang melakukan kesepakatan. 6. Kewajiban dokumen, pelaporan dan pembukuan transfer pricing (PP 80 Tahun 2007 Pasal 16 ayat (2) , Pasal 19 PER 43/PJ/2010) 7. Perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty), melakukan pertukaran informasi dan melakukan renegosiasi tax treaty. 8. Pasal 9 ayat 1 huruf f UU PPh, Pengeluaran dengan jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan pada pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. 9. Pemeriksaan transfer pricing, pedoman khusus pemeriksaan transfer pricing: Surat Edaran Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor : S-153/PJ.04/2010 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-04/PJ.7/1993 Peraturan-peraturan tersebut diharapkan mampu mengatasi dan meminimalkan masalah-masalah yang timbul atas transaksi transfer pricing. Berkenaan dengan masalah transfer pricing, antara akuntansi komersial dengan akuntansi perpajakan mempunyai perlakuan yang sama. Memang dalam akuntansi komersial tidak ada ketentuan yang sifatnya khusus mengatur transfer pricing, akan tetapi dalam standar akuntansi komersial yang dikeluarkan oleh IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) dapat ditemukan pernyataan yang berkaitan dengan hubungan istimewa. PSAK No.7 merupakan pernyataan standar akuntansi keuangan yang mengatur tentang pengungkapan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan transaksi antara perusahaan pelapor dan pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) 33 Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 METODE Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan data dan informasi melalui bermacam-macam materi dengan melakukan kajian-kajian yang menyangkut masalah transfer pricing. Data dicari dan ditemukan melalui kajian pustaka dari buku-buku, dokumen, literatur-literatur, peraturan-peraturan perpajakan dan catatan yang relevan dengan pembahasan. Penelitian ini termasuk kategori penelitian kualitatif dengan prosedur kegiatan dan teknik penyajian finalnya secara deskriptif analisis, yaitu suatu metode yang mengumpulkan, menyajikan serta menganalisis data sehingga dapat memberikan gambaran yang cukup jelas atas objek yang diteliti. Objek Penelitian Objek penelitian adalah peraturan-peraturan perpajakan yang berkaitan dengan transaksi transfer pricing yang akan diteliti dan dikaji sampai sejauh mana keefektifannya dalam mengatasi permasalahan yang timbul dari transaksi transfer pricing. Sumber Data Sumber data adalah sumber yang diperlukan untuk penelitian. Menurut Suharsimi Arikunto (2004:107), “Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.” Sumber data diperlukan untuk menunjang terlaksananya penelitian dan sekaligus untuk menjamin keberhasilan dari penelitian tersebut. Sumber data tersebut dapat diperoleh, baik secara langsung (data primer) maupun tidak langsung (data sekunder) yang berhubungan dengan objek penelitian. Data yang diperlukan dalam penelitian ini hanya menggunakan data sekunder. Menurut Asep Hermawan (2006:168) data sekunder adalah, “Struktur data historis mengenai variabel-variabel yang telah dikumpulkan dan dihimpun sebelumnya oleh pihak lain. “Sumber data sekunder adalah sumber data penelitian dimana subjeknya tidak berhubungan langsung dengan objek penelitian tetapi membantu dan dapat memberikan informasi untuk bahan penelitian. Dalam penelitian ini, yang menjadi sumber data sekunder adalah hasil penelitian, literatur, peraturan dan perundang-undangan perpajakan, artikel serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pengumpulan data literer yaitu bahan-bahan pustaka yang berkaitan dangan objek penelitian yang dimaksud. Data yang ada dalam kepustakaan tersebut dikumpulkan dan diolah dengan cara :editing yaitu pemeriksaan kembali data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, perubahan peraturan, dan kejelasan serta keselarasan makna antara satu dan lainnya, organizing yaitu mengorganisir data-data yang diperoleh dengan kerangka yang sudah ditentukan dan penemuan hasil penelitian yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah-kaidah, teori dan metode yang telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah. 34 Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 Metode Analisis Data Dikarenakan penelitian ini adalah library research maka analisis data yang digunakan adalah analisis isi atau content analysis. Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah berupa kata-kata bukan berupa angka-angka yang disusun dalam tema yang luas. Dalam menganalisis data setelah terkumpul, penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut: Metode Induktif yaitu digunakan ketika didapati data-data yang mempunyai unsur-unsur kesamaan kemudian dari situ ditarik kesimpulan umum. Metode Deduktif yaitu digunakan sebaliknya yakni pengertian umum yang telah ada dicarikan data-data yang dapat menguatkannya. Metode Diskriptif yaitu digunakan untuk mendiskripsikan segala hal yang berkaitan dengan pokok pembicaraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktor-faktor, sifat-sifat serta hubungan dua fenomena yang diteliti. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis atas Peraturan Penggunaan Arm’s length Principle dalam Pengujian Kewajaran Transfer Pricing Untuk mencegah penghindaran pajak karena penentuan harga tidak wajar (non arm’s length price) diterbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tanggal 11 Nopember 2011. Peraturan ini membahas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) terkait transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Dalam PER-32/PJ/2011 Wajib Pajak diharuskan untuk menggunakan nilai pasar wajar dalam bertransaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties). Penentuan harga transaksi wajar (arm’s length price) bisa melalui metode perbandingan harga antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa, resale price dan metode lainnya.Syarat utama analisis ini adalah ketersediaan data pembanding eksternal dan internal. Apabila Wajib Pajak tidak bisa menunjukkan bukti pendukung kewajaran harga transaksi, maka Ditjen Pajak akan menetapkan harga transaksi yang wajar antara pihak-pihak yang terafiliasi. Pada Pasal 2 Peraturan Dirjen Pajak ini, dinyatakan terdapat dua pihak yang harus tunduk pada ketentuan tersebut. Pertama, pedoman transfer pricing ini berlaku untuk penentuan transfer pricing atas transaksi yang dilakukan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri di luar Indonesia. Ini sebenarnya yang dimaksud dengan Cross Border Transfer Pricing. Hal inilah sebenarnya yang menjadi alasan utama mengapa perlu ada pedoman transfer pricing. Perbedaan pedoman transfer pricing PER-43/PJ/2010 dengan PER-32/PJ/2011 adalah bahwa pada PER-43/PJ/2010 tidak membedakan transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, apakah Cross Border Transfer Pricing atau Transfer Pricing di dalam negeri. Dengan demikian, sifat dari perubahan yang dilakukan PER-32/PJ/2011 adalah mempersempit ruang lingkup kondisi yang harus tunduk pada pedoman transfer pricing. Kedua, dalam Pasal 2 ayat 2 dijelaskan bahwa pedoman transfer pricing ini bisa diterapkan untuk Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) 35 Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 transaksi antara Wajib Pajak yang berhubungan istimewa di Indonesia yang dapat memanfaatkan perbedaan tarif karena perlakuan pengenaan pajak penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha tertentu, perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas. Perubahan mendasar yang dilakukan oleh PER-32/PJ/2011 adalah digunakannya The Most Appropriate Method dalam menerapkan prinsip Arm’s Length Principle dalam transaksi hubungan istimewa. Pasal 11 ayat (3) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 memberikan arahan dalam menerapkan metode penentuan harga transfer. Dalam menentukan metode harga transfer yang tepat, Wajib Pajak harus melakukannya secara hirarkis (hierarchy of method). Dengan cara hirarki seperti ini Wajib Pajak harus mencoba satu persatu metode transfer pricing untuk menemukan metode yang tepat. Metode yang harus pertama dicoba adalah metode Comparable Uncontrolled Price (CUP). Apabila metode ini tidak cocok karena kondisinya ternyata tidak tepat, maka Cost Plus Method (CPM) atau Resale Price Method (RPM) harus dicoba berikutnya. Dalam hal kedua metode tersebut tidak tepat untuk diterapkan, maka metode yang dapat digunakan adalah Profit Split Method (PSM) atau Transactional Net Margin Method (TNMM).PER-32/PJ/2011 meralat pemakaian hierarchy of method ini dan menggantinya menjadi the most appropriate method.Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu mencoba setiap metode transfer pricing secara hirarkis tetapi langsung menggunakan metode yang tepat sesuai kondisi yang sesuai. Perubahan dari penentuan metode transfer pricing secara hirarkis menjadi penentuan metode yang paling sesuai ini dilakukan oleh OECD pasti dengan alasan yang kuat. Mungkin saja penerapan secara hirarkis sulit dilaksanakan dan pada umumnya penggunaan metode CUP, CPM, RPM cukup sulit dilakukan karena menuntut kesebandingan yang tinggi sehingga dalam banyak kasus, metode transfer pricing yang tepat biasanya adalah TNMM. Nah, apabila Wajib Pajak harus menerapkan dulu metode-metode tradisional tersebut, tentunya hal ini memakan waktu dan biaya yang tinggi. Analisis atas Penerapan Advance Pricing Agreements (APA) Untuk mengatur dan memberikan kepastian dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3a) UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 terutama dalam hal mengatur tentang kesepakatan transfer pricing, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-69/PJ/2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Kesepakatan Transfers Pricing (Advance Pricing Agreement/APA). Walaupun penerapan APA memberikan manfaat yang banyak, Wajib Pajak dan Ditjen Pajak juga perlu mempertimbangkan potensi kerugian yang mungkin saja timbul dalam pelaksanaannya. Potensi kerugian tersebut diantaranya: a. Pengorbanan waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan APA. Program APA tidak dapat diterapkan kepada semua Wajib Pajak multinasional karena proses negosiasi yang cukup menyita waktu dan biaya. b. Wajib Pajak harus mengungkapkan informasi yang mungkin merupakan rahasia perusahaan kepada otoritas pajak. Pada tahap pengajuan APA, Ditjen 36 Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 Pajak membutuhkan berbagai informasi yang berhubungan dengan transaksi yang akan dilakukan. Informasi tersebut umumnya bersifat rahasia bagi perusahaan, yang cenderung ditutup-tutupi oleh Wajib Pajak, karena dikhawatirkan data tersebut dapat digunakan oleh Ditjen Pajak dalam rangka pemeriksaan. Agar APA dapat berjalan sebagaimana mestinya maka dalam pelaksanaannya masing-masing pihak yaitu Wajib Pajak dan Ditjen Pajak harus melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik. Adapun tanggung jawab Wajib Pajak dalam pelaksanaan APA adalah konsisten dengan tujuan awal diselenggarakannya APA , memberikan bukti-bukti dan informasi yang dapat dipercaya, dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam perjanjian APA. Berdasarkan adanya modus-modus operandi transfer pricing yang telah ada, dan contoh kasusnya dalam praktek di lapangan (Asian Agri, Adaro dsb) penulis berpendapat bahwa posisi APA harus lebih dipertegas mengingat begitu banyak asumsi-asumsi yang harus dipenuhi agar setiap perlakuan perpajakan yang disarankan di dalam SE-04/PJ.7/1993 tanggal 3 September 1993 menjadi valid untuk di aplikasikan terhadap indikasi ketidakwajaran transfers pricing. Meskipun terdapat beberapa kendala yang dihadapi Indonesia sebagai negara berkembang, dalam menerapkan APA, ada baiknya pelaksanaan APA berpedoman pada pengalaman-pengalaman negara-negara lain yang telah menerapkannya. Jepang adalah negara pertama di dunia yang menerapkan APA pada tahun 1987 dan hingga saat ini berjalan dengan efektif. Sebagai contoh, di kantor wilayah pajak Metropolitan Tokyo terdapat divisi khusus yang menangani APA. Divisi ini sangat efektif dalam mengantisipasi praktek transfer pricing di Jepang, bahkan dapat menghindari terjadinya sengketa pajak antara otoritas pajak setempat dengan Wajib Pajak.Praktis setelah program APA ini dilaksanakan, tidak ada sengketa pajak yang terkait dengan transfer pricing. Direktorat Jenderal Pajak terus melakukan pembenahan dalam pelaksanaan APA sebagai salah satu alternatif pencegahan praktik transfer pricing. Namun demikian harus diakui pelaksanaaannya belum optimal. Hal ini bisa diketahui dengan masih banyaknya kasus dan sengketa pajak yang terkait dengan transfer pricing. Beberapa hambatan penerapan APA di Indonesia seperti kurangnya sumber daya manusia yang memiliki keahlian khusus di bidang transfer pricing, sistem pendataan dan dokumentasi yang masih belum memadai serta belum terorganisir dengan baik, juga moralitas otoritas pajak dan Wajib pajak yang masih perlu terus menerus diperbaiki. Penyelesaian terhadap permasalahan tersebut tentu tidak semudah yang kita bayangkan, diperlukan keinginan kuat dan kerjasama yang lebih baik dengan pihak-pihak terkait. Masih diperlukan perubahan struktur, sistem dan prosedur teknis dan administrasi, serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan para otoritas pajak.Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia mungkin perlu membuat direktorat atau divisi khusus yang menangani APA agar pelaksanaan APA dapat berjalan dengan optimal. Satu hal yang perlu diingat dalam penerapan sistem APA ini, adalah bersifat sukarela. Artinya otoritas pajak Indonesia tidak dapat memaksa atau mewajibkan perusahaan multinasional untuk ikut berpartisipasi di dalam program APA ini. Oleh karenanya, keberhasilan sistem APA ini akan sangat tergantung kepada otoritas pajak untuk membuatnya “menarik”. Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) 37 Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 Analisis Kebijakan Dokumen, Pelaporan dan Pembukuan Transaksi Transfer Pricing Khusus tentang dokumentasi atas transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa, PP 80 Tahun 2007 mengaturnya dalam Pasal 16 ayat (2), yaitu bahwa Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan dokumen lain meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Sebagai ketentuan pelaksanaan, PP Nomor 80 Tahun 2007 mendelegasikan pengaturannya kepada Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (3). Namun demikian, sepengetahuan penulis, belum terbit Peraturan Menteri Keuangan tentang hal ini. Namun demikian, ketentuan teknis tentang hal ini telah diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Analisis Kesebandingan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa wajib didokumentasikan oleh Wajib Pajak (Pasal 18). Dokumentasi ini meliputi langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian dalam melakukan Analisis Kesebandingan dan penentuan pembanding, penggunaan Data Pembanding Internal dan/atau Data Pembanding Eksternal serta menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Wajib Pajak juga wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian atas faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesebandingan dan menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam menentukan metode penentuan transfer pricing, Wajib Pajak juga harus mendokumentasikan setiap kajian dan langkah-langkahnya. Adapun bentuk dan jenis dokumen tidak diatur khusus oleh ketentuan perpajakan.Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen di atas yang harus diselenggarakan, disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode penentuan harga wajar atau laba wajar yang dipilih. Berdasarkan Pasal 19 PER-43/PJ/2010, Wajib Pajak wajib melaporkan transaksi yang dilakukannya dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dalam SPT Tahunan PPh sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Seluruh Wajib Pajak Badan di Indonesia khususnya yang memiliki transaksi hubungan istimewa dan/atau transaksi dengan pihak yang merupakan penduduk negara Tax Heaven Country harus segera mempersiapkan diri dengan dokumen transfer pricing. Formulir SPT PPh Wajib Pajak Badan yang baru ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER34/PJ/2010 mengenai bentuk formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan yang diberlakukan untuk pelaporan masa pajak 2010. Dengan adanya formulir SPT PPh Badan yang baru ini, perusahaan-perusahaan di Indonesia yang memiliki transaksi-transaksi sebagaimana tersebut di atas, harus semakin mempersiapkan dirinya dengan dokumen-dokumen pendukung transfer 38 Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 pricing yang akan digunakan sebagai dasar penentuan harga yang diterapkan dalam transaksi-transaksi tersebut. Sedangkan dalam masalah pembukuan, yang perlu diperhatikan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah bagaimana manfaat dari aktivitas tersebut dapat diperoleh. Pembukuan yang baik hendaknya mampu mencerminkan transaksi maupun peristiwa yang terjadi. Undang-undang perpajakan dalam hal sistem dan cara pembukuan mengikuti sistem dan cara yang lazim dipakai di Indonesia yaitu yang dikeluarkan oleh IAI. Dengan demikian Direktorat Jenderal Pajak hendaknya melakukan kerja sama dengan IAI dalam membahas isu-isu yang berkaitan dengan transaksi transfer pricing. Dari ketentuan-ketentuan yang telah ada sekarang ini, memberikan gambaran bahwa masalah pembukuan, dokumen dan pelaporan transaksi transfer pricing cukup mendapat perhatian dari pihak otoritas Pajak. Dirjen Pajak beserta timnya semakin bersemangat untuk mengeliminir dan bahkan menangkis praktik transfer pricing yang disinyalir kerap terdapat pada transaksi afiliasi. Biar bagaimanapun semangat ini harus dihargai oleh Wajib Pajak.Dan bersamaan dengan hal ini, tatkala memang tidak terdapat praktik transfer pricing pada transaksi hubungan istimewa yang dilakukan Wajib Pajak, Wajib pajak harus melakukan pembuktian yang meyakinkan. Dokumen dan pelaporan serta Pembukuan transaksi transfer pricing tidak hanya memberikan tanggung jawab kepada Wajib Pajak saja, akan tetapi sebagai pemegang otoritas di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak juga seharusnya memahami tanggung jawabnya. Tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak diantaranya adalah merahasiakan data yang telah diberikan oleh Wajib Pajak.. Selain itu pula Direktorat Jenderal Pajak juga bertanggung jawab untuk menciptakan sistem administratif yang lebih efektif dan efisien dalam mengelola data yang telah diberikan oleh Wajib Pajak. Analisis Pemeriksaan Pajak terhadap Transaksi Transfer Pricing Pemeriksaan transfer pricing sebagai pemeriksaan yang telah dilakukan sejak diberlakukannya undang-undang pajak penghasilan yang pertama, diprediksi akan mengalami peningkatan yang signifikan di tahun 2011. Bahkan beberapa pihak memprediksi bahwa pemeriksaan transfer pricingakan menjadi primadona di tahun 2011 dan tahun-tahun selanjutnya. Hal ini antara lain disebabkan masih banyaknya SPT Badan Tahun Pajak 2009 yang belum diperiksa di tahun 2010, di mana SPT Badan Tahun Pajak 2009 yang mengandung Lampiran Khusus Transfer pricing (Lampiran Khusus 3A-3A1 dan Lampiran 8A) yang harus diisi oleh Wajib Pajak yang melakukan transaksi hubungan istimewa/transaksi afiliasi. Khusus untuk pemeriksaan transfer pricing ini Direktorat Jenderal Pajak telah menyiapkan 1.300 tenaga ahli yang mempunyai spesialisasi dalam pemeriksaan transfer pricing. Direktorat Jenderal Pajak juga telah menerbitkan pedoman khusus pemeriksaan transfer pricing yang akan menjadi panduan bagi pemeriksa pajak dalam menjalankan pemeriksaan pajak dengan Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor: S-153/PJ.04/2010 tanggal 31 Maret 2010, selain Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-04/PJ.7/1993 yang telah diterbitkan sejak lama. Panduan ini diterbitkan dengan maksud untuk mencapai tujuan yaitu meningkatkan kesesuaian praktek pemeriksaan pajak dengan ketentuan pemeriksaan pajak yang Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) 39 Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 berlaku, keseragaman penerapan prinsip kewajaran dalam transaksi afiliasi saat pemeriksaan, meningkatkan kualitas pelaksanaan dan kuantitas hasil pemeriksaan kewajaran transaksi afiliasi dan memberi penegasan atas beberapa ketentuan pedoman periksaan transfer pricing yang diterbitkan pada tahun 1993. Dengan tercapainya tujuan di atas, diharapkan hasil pemeriksaan kewajaran transaksi transfer pricing di masa mendatang dapat berdampak kepada semakin meningkatnya kepatuhan sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak untuk menerapkan arm’s length principle dalam transaksinya dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Tidak bisa dipungkiri transaksi transfer pricing sulit dilacak. Direktorat Jenderal Pajak kadang kesulitan memeriksa perusahaan internasional yang beroperasi di Indonesia, terbanyak perusahaan otomotif dan rawan praktik transfer pricing.Kendala utama adalah masih sulitnya Indonesia mendapatkan pertukaran informasi.Kalaupun sudah ada pertukaran informasi dengan Negara terkait, misalnya Jepang, harga yang terdata bisa tidak akurat. Data ini sering kali berbeda dibandingkan data transfer pricing yang didapat pemerintah. Di samping itu, pemeriksaan kasus transfer pricing membutuhkan proses yang sangat panjang. Direktorat Jenderal Pajak harus memiliki surat keputusan pemeriksaan terlebih dahulu. Padahal untuk mendapatkan surat keputusan ini, Direktorat Jenderal Pajak harus memeriksa harga di negara asal barang. Kirim surat dulu ke kantor pajak Indonesia di luar negeri, setelah itu diperiksa. Intinya prosesnya sangat panjang. Terkait kasus-kasus transfer pricing yang terjadi di daerah, Direktorat Jenderal Pajak di pusat tidak bisa memeriksa langsung kasuskasus yang terjadi. Kecuali jika kantor pajak di daerah meminta bantuan ke pusat, baru Direktorat Jenderal Pajak pusat turun tangan dan membantu. Untuk menguak kasus-kasus transfer pricing dibutuhkan keahlian khusus. Meski terhambat banyak kendala, Direktorat Jenderal Pajak tetap serius menindak lanjuti kasus-kasus transfer pricing dengan terus melakukan pembenahan internal dan menambah tenaga ahli di bidang transfer pricing. Terbaru sudah turun Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.26 dan 27/PJ/2012 dengan memindahkan/menyatukan perusahaan satu grup/afiliasi dalam satu KPP, satu Seksi Pengawasan dan bila mungkin satu Account Representative untuk kemudahan pengontrolan dan pengawasan Wajib Pajak yang berafiliasi tersebut. Dan ini sudah berlaku per 1 April 2012. Ibaratnya Wajib Pajak yang berafiliasi sudah disatukan dalam ‘satu meja’, jadi otoritas pajak tinggal mencocokkan Laporan Keuangan, SPT dan dokumen-dokumen pembukuan mereka untuk dilihat jika ada transaksi antara mereka. Bisa dibayangkan efeknya.Dengan demikian Wajib Pajak tersebut harus hati-hati dalam “transaksi internal” mereka dalam menentukan harga jual belinya. Namun akan lebih aman jika dapat dihindari “transaksi internal” tersebut dengan mencari supplier non afiliasi. Tugas Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan pemeriksaan akan relatif berkurang apabila banyak dari Wajib Pajak melakukan kerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak dalam hal penentuan kewajaran harga transfer transaksi antar pihak-pihak yang tidak independen. Akan tetapi kerjasama antar Wajib Pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak atau yang lebih dikenal dengan APA itu, biasanya memerlukan biaya yang besar, sehingga hanya sedikit perusahaan yang 40 Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 menerapkan APA. Kebijakan dan perlakuan pemeriksaan pajak terhadap transfer pricing dalam kenyataannya masih merupakan sarana yang sering ditempuh untuk mencegah hilangnya penerimaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak selama ini. Hal ini wajar mengingat penerapan APA dan tax treaty yang belum berjalan dengan maksimal. Analisis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Dalam prakteknya, masih ada perusahaan-perusahaan multinasional yang memanfaatkan celah dalam P3B ini untuk melakukan penghindaran pajak. Salah satu contohnya adalah apa yang disebut treaty shopping. Hal ini sangat erat kaitannya dengan transfer pricing. Treaty shopping adalah negara ketiga memanfaatkan suatu P3B dengan cara menggunakan penduduk dari salah satu negara pihak pada persetujuan yang berhak menikmati treaty protection. Transaksinya biasanya merupakan transaksi segitiga. Rekayasa treaty shopping biasanya dilakukan dengan mendirikan suatu badan dengan tujuan khusus (special purpose vehicle/SPV) di salah satu negara mitra P3B, atau dengan berbagai cara lainnya sebagai suatu saluran (conduit) atas penghasilan yang diperoleh di negara mitra lainnya. Skema yang biasa digunakan dalam melakukan rekayasa ini adalah back to back loan. Misalnya P3B Indonesia dengan Belanda menurunkan tarif potongan pajak atas bunga dari 20% menjadi 0%. Cco adalah Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) negara C yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia. Kalau Cco membeli langsung obligasi PT A (WPDN Indonesia) bunganya akan dikenakan pajak 20%. Maka untuk menganulir beban pajak tersebut Cco bisa menitipkan dana US$1 miliar ke BBv di Belanda untuk membeli obligasi PT A. Dengan skema itu maka bunga obligasi sebesar US$100 juta yang dibayar PT A kepada BBv tidak dikenakan pajak. Di Belanda, BBv membayar bunga kepada Cco dan tidak ada potongan pajak atas bunga. BBv selain tidak kena pajak karena penghasilan bunga akan dikurangi dengan biaya bunga, juga tidak memotong pajak atas bunga yang dibayarkan tersebut. Bunga tersebut akhirnya hanya akan kena pajak di negara C apabila negara ini menerapkan pemajakan global. Rekayasa lain yang dapat dimanfaatkan adalah skema controlled foreign corporation (CFC), yaitu dengan memanfaatkan adanya tax heaven country dan negara-negara dengan tarif pajak yang lebih rendah dari negara asal. Adanya tax heaven country dimanfaatkan untuk menunda pengenaan pajak. Mekanismenya adalah sebagai berikut: Holding Company didirikan di negara tax heaven country, sedangkan anak perusahaan didirikan di negara dengan tarif pajak lebih rendah dari negara asal pemilik/pemegang saham. Selanjutnya dividen yang dibagikan oleh anak perusahaan ditahan di level holding company, sehingga tidak langsung dikenakan pajak di negara asal/domisili pemegang saham yang memiliki tarif pajak yang tinggi. Untuk mengatasi penyalahgunaan tax treaty tersebut, Direktorat Jenderal Pajak kemudian menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tanggal 5 Nopember 2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan PER-62/PJ/2009 tanggal 5 Nopember 2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda serta ketentuan pelaksanaannya dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-114/PJ/2009 tanggal Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) 41 Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 15 Desember 2009. Latar belakang diterbitkannya dua Peraturan Dirjen Pajak itu karena dalam ketentuan yang lama tidak ada standar baku perihal bentuk Surat Keterangan Domisili (SKD) dan juga tidak diatur secara tegas mengenai penentuan beneficial owner. Selama ini SKD cuma terima beres, bahkan ada Wajib Pajak yang baru menunjukkan SKD setelah kejadian, padahal itu seharusnya di awal. Dengan tidak adanya standar baku tersebut membuat banyak pihak yang sebenarnya tidak berhak mendapatkan fasilitas P3B justru mendapatkannya melalui rekayasa treaty shopping yang dibuat. Dua Peraturan Dirjen Pajak tersebut merupakan pintu gerbang bagi Wajib Pajak (yang benar-benar berhak) agar bisa memanfaatkan fasilitas penurunan tarif yang ada di P3B. Dua peraturan ini juga dimaksudkan untuk menutup celah praktik penyalahgunaan P3B melalui skema tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax Evasion (memperkecil pajak) dalam rangka rekayasa treaty shopping yang selama bertahun-tahun ini seolah-olah menjadi trendmark di kalangan pengusaha Indonesia. Dalam PER-62 ditegaskan pihak-pihak yang berhak memanfaatkan P3B adalah individu yang bertindak tidak sebagai agen atau nominee, lembaga yang namanya disebutkan dalam P3B, perusahaan yang sahamnya terdaftar di pasar modal dan diperdagangkan secara teratur, bank, dan Wajib Pajak (WP). Wajib Pajak yang dimaksud adalah Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui kustodian/penerima sehubungan dengan pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia (selain bunga dan dividen) dalam hal WPLN bertindak tidak sebagai agen atau nominee. Pihak lainnya yang juga berhak adalah perusahaan yang memenuhi persyaratan kumulatif yaitu pendirian perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata untuk pemanfaatan P3B, kegiatan usaha dikelola manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi, perusahaan mempunyai pegawai, penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negaranya, dan tidak menggunakan lebih dari 50% dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk seperti bunga, royalti, atau imbalan lainnya. Untuk yang terakhir ini bisa diistilahkan sebagai SPV yang benar-benar perusahaan operasional dan bukan 'abal-abal'. Kalau persyaratan PER-62 terpenuhi, maka di PER-61 bisa mudah karena PER-61 adalah tatacara pelaksanaannya, sedangkan PER-62 itu substansinya, dengan kata lain tinggal check the box. Syarat-syarat yang harus dipenuhi selanjutnya yang di atur dalam PER-61 adalah kalau WPLN harus menyampaikan SKD dengan formulir yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yaitu form DGT 1 atau Form DGT 2. Form DGT 1 itu untuk umum, sedangkan DGT 2 dipakai khusus untuk bank dan WPLN yang menerima penghasilan melalui kustodian dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen. Langkah selanjutnya, SKD harus diisi oleh WPLN dengan lengkap dan ditandatangani yang kemudian disahkan oleh pejabat berwenang di negara mitra P3B.SKD harus disampaikan paling lambat pada batas 42 Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 waktu penyampaian SPT masa terkait.Kalau sampai terlambat, tarif yang berlaku adalah tarif sesuai UU PPh di Indonesia. Upaya selanjutnya dalam mencegah terjadinya praktek treaty shooping di Indonesia adalah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan No. 140/PMK.03/2010 tanggal 11 Agustus 2010 tentang Penetapan Wajib Pajak Sebagai Pihak Yang Sebenarnya Melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain Atau Badan Yang Dibentuk Untuk Maksud Demikian (Special Purpose Company) Yang Mempunyai Hubungan Istimewa Dengan Pihak Lain dan Terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga, untuk menetapkan WP yang sebenarnya melakukan transaksi. Memang, untuk keperluan penghindaran pajak, kadang sebuah transaksi diputar dulu.Seolah-olah pembeli suatu aktiva tersebut adalah Wajib Pajak negara tertentu.Atau pemegang saham perusahaan tersebut adalah perusahaan di negara tertentu. Indikator untuk menetapkan Wajib Pajak dalam negeri sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, hanya dua yaitu apabila Wajib Pajak dalam negeri tersebut mempunyai hubungan istimewa dengan pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan (special purpose company); dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga pembelian. Sedangkan untuk mencegah adanya praktek controlled foreign coorporations, Direktorat Jenderal Pajak mengantisipasinya dengan Pasal 18 ayat (2) UU PPh serta melalui Peraturan Menteri Keuangan No.256/PMK.03/2008 yang menetapkan bahwa besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri paling rendah 50 % dari jumlah saham yang disetor dan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek adalah pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian SPT Tahunan badan usaha di luar negeri tersebut, atau pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir, bila badan usaha di luar negeri tersebut tidak memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan. Dalam hal perumusan P3B, sampai sekarang ini Indonesia menggunakan UN model yang dimodifikasi dengan ketentuan pajak penghasilan yang berlaku di Indonesia. Selanjutnya, dalam merumuskan kebijakan P3B, otoritas pajak di Indonesia harus menyadari bahwa perkembangan dunia begitu pesat, sehingga kebijakan P3B yang dibuat harus selaras dengan standar perpajakan internasional dengan tetap memperhatikan kepentingan Indonesia sebagaimana dituangkan dalam ketentuan undang-undang domestiknya. Saat ini Pemerintah segera melakukan renegosiasi tax treaty dengan negara-negara besar.Hal ini disebabkan karena Indonesia terus dirugikan dengan tax treaty selama ini. Sejauh ini Indonesia telah berhasil melakukan renegosiasi tax treaty dengan Belanda. Dalam hasil renegosiasi tersebut disepakati pajak atas bunga pinjaman dengan tenor 2 tahun yang sebelumnya 0 persen, sekarang disepakati menjadi 5 persen.Disepakati juga bahwa standar beneficial ownership (pihak yang sebenarnya menikmati secara langsung manfaat penghasilan yang diterima dari negara sumber) menggunakan standar dari OEDC.Dengan demikian, penyalahgunaan tax treaty bisa dihindari. Selain dengan Belanda, Pemerintah tengah melakukan renegosiasi dengan pihak Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) 43 Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 Jerman. Ke depannya masih ada negara-negara besar seperti Inggris, Malaysia, Singapura, Jepang dan Korea untuk melakukan tax treaty.Selain merupakan perjanjian di bidang perpajakan, P3B juga dapat digunakan sebagai sarana bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan politik luar negerinya, sehingga perumusan P3B haruslah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. SIMPULAN Transfer Pricing adalah suatu harga jual khusus yang dipakai dalam transaksi penyerahan barang, jasa atau pemanfaatan harta tak berwujud antara perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa. Praktik transfer pricing sering digunakan oleh banyak perusahaan sebagai alat untuk menghindari atau menggelapkan pajak dengan cara meminimalkan beban pajak yang harus dibayar oleh perusahaan. Praktik tersebut dilakukan dengan cara mengalihkan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang mempunyai hubungan istimewa, dengan mempertimbangkan perbedaan ketentuanketentuan perpajakan yang terjadi dari suatu negara dengan negara lainnya. Adanya hubungan istimewa merupakan kunci terjadinya praktik transfer pricing. Transaksi yang terjadi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa biasanya sering memakai harga yang tidak wajar, yang tidak sama dengan harga yang terjadi dalam transaksi antar pihak yang independen. Metode-metode yang dipakai dalam pengujian kewajaran harga transfer diantaranya adalah: metode perbandingan harga antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya plus (cost plus method), metode pembagian laba (profit split method), metode laba bersih transaksional (transactional net margin method). Penggantian hierarchy of method menjadi the most appropriate method sangat membantu Wajib Pajak dalam penentuan metode transfer pricing karena tidak menuntut kesebandingan yang tinggi serta tidak memakan waktu dan biaya yang tinggi. Advance Pricing Agreement (APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Manfaat utama melakukan Advance Pricing Agreement (APA) adalah adanya kepastian dalam menerapkan harga transaksi sehingga Wajib Pajak tidak perlu khawatir bahwa harga transaksi yang ditetapkan akan dikoreksi oleh Ditjen Pajak, selama kesepakatan yang telah disetujui dalam APA, dilaksanakan oleh Wajib Pajak. Persyaratan kewajiban bagi Wajib Pajak untuk melaporkan semua transaksi dan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa digunakan bagi Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka mengantisipasi hilangnya potensi penerimaan pajak yang disebabkan oleh penyalahgunaan praktik transfer pricing. 44 Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 Berkenaan dengan masalah transfer pricing, dalam akuntansi komersial tidak ada ketentuan yang sifatnya khusus mengatur transfer pricing, akan tetapi dalam standar akuntansi komersial yang dikeluarkan oleh IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) dapat ditemukan pernyataan yang berkaitan dengan hubungan istimewa. PSAK No.7 merupakan pernyataan standar akuntansi keuangan yang mengatur tentang pengungkapan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan transaksi antara perusahaan pelapor dan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.Sedangkan akuntansi perpajakan lebih menitik beratkan pada penyusunan Surat Pemberitahuan dan pertimbangan konsekuensi perpajakan terhadap transaksi atau kegiatan perusahaan. Pemeriksaan pajak yang diterapkan terhadap transaksi transfer pricing, selain mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak juga mengacu pula kepada pedoman khusus tentang pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa. Pedoman pemeriksaan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Dirjen Pajak No.Kep-01/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 serta yang terbaru tertuang dalam Surat Direktur Pemeriksaan dan penagihan Nomor: S-153/PJ.04/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Pedoman Khusus Pemeriksaan Transfer Pricing . P3B tidak hanya bermanfaat dalam pengujian harga transfer saja, akan tetapi juga bermanfaat dalam pengaturan mengenai pembagian hak pemajakan atas transaksi yang melibatkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa serta membantu penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan transaksi yang dimaksud yang melibatkan Wajib Pajak dari salah satu atau kedua negara yang melakukan perjanjian. Metode pengujian harga transfer dan P3B yang dipakai dalam penanggulangan transfer pricing masing-masing memiliki beberapa kendala dalam penerapannya. Kendala metode pengujian harga transfer antara lain adalah ketersediaan data pembanding yang independen, sedangkan kendala dari tax treaty atau P3B adalah pertukaran informasi antar negara yang membutuhkan waktu yang lama dan tergantung pada kesediaan otoritas perpajakan Negara lain serta maraknya rekayasa treaty shopping. Direktorat Jenderal Pajak hendaknya senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam mengembangkan sistem pengumpulan data dan informasi yang baik. Hal ini dimaksudkan, agar data yang akurat yang berkaitan dengan transaksi pembanding atau data perusahaan sebanding, dapat tersedia. Seiring dengan kemajuan praktik bisnis yang terjadi, Direktorat Jenderal Pajak perlu menyusun ketentuan-ketentuan serta peraturan perpajakan baru, yang melengkapi ketentuan maupun peraturan yang telah ada sebelumnya yang meskipun sudah cukup efektif tetapi tetap selalu harus disempurnakan sesuai perkembangan yang ada. Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) 45 Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 Peningkatan pendidikan dan pelatihan bagi pemeriksa pajak, sehubungan dengan semakin meningkatnya tingkat kerumitan masalah yang dihadapi dalam penyelesaian kasus transfer pricing. Pembentukan timtransfer pricing yang memiliki tugas dan fungsi mempelajari perkembangan transfer pricing dan merumuskan penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan transfer pricing. Kebijakan ini akan terbantu pelaksanaannya di saat sekarang, di mana Direktorat Jenderal Pajak sedang melakukan modernisasi perpajakan. Dalam hal yang berkaitan dengan perpajakan internasional, Direktorat Jenderal Pajak perlu meningkatkan kerja sama dengan otoritas perpajakan negara lain serta membuat kebijakan yang dapat mengakomodasikan perubahan yang terjadi dalam dunia usaha dan kepentingan bangsa Indonesia. DAFTAR RUJUKAN Anthony, Robert N., Govindarajan Vijay, 2003, Sistem Pengendalian Manajemen (Terjemahan), Edisi Pertama, PT Salemba Empat, Jakarta Dewan Standar Akuntansi Keuangan, 2009, Exposure Draft PSAK 7 (Revisi 2009) Pengungkapan Pihak-Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, Ikatan Akuntan Indonesia, Jakarta Direktorat Jenderal Pajak, 9 Maret 1993, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus Transfer Pricing, Jakarta Gunadi , 1997, Akuntansi Pajak, PT Grasindo, Jakarta Saptono, Prianto Budi, 2011, Kupas Tuntas Transfer Pricing Dalam SPT PPh Badan Tahun 2010, Pratama Indomitra, Jakarta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 Zain, Muhammad, 2003, Manajemen Perpajakan, PT Salemba Empat, Jakarta _________ , 11 Nopember 2011, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER– 32/PJ/2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 43/PJ/2010, Jakarta _________ , 31 Desember 2008, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek, Jakarta _________ , 5 Nopember 2009, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER– 61/PJ/2009 Tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Jakarta 46 Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) Jurnal Manajemen dan Akuntansi Volume 2, Nomor 1, April 2013 _________ , 5 Nopember 2009, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER– 62/PJ/2009 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Jakarta _________ , 6 September 2010, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER– 43/PJ/2010 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, Jakarta _________ , 9 Maret 1993, Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP01/PJ.7/1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, Jakarta _________ _________ , 31 Desember 2010, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER– 69/PJ/2010 Tentang Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement), Jakarta Evaluasi Atas Perlakuan …(Indah Dewi N) 47