1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa dalam kehidupan manusia tidak berdiri sendiri. Bahasa memiliki kaitan dengan kehidupan sosial maupun kebudayaan penuturnya. Dalam melakukan interaksi sosial manusia menggunakan bahasa sebagai media komunikasi. Berkomunikasi tidak sekedar melakukan aktivitas berbicara. Ketika seseorang terlibat kontak dengan orang lain, pada saat itu ia berkomunikasi dan memberi informasi. Ketika seseorang berkomunikasi/memberi informasi, maka pada saat itu juga ia mengekspresikan perilaku-perilaku atau tindakan-tindakan, baik secara verbal maupun nonverbal. Pada hakikatnya berkomunikasi atau memberi informasi adalah melakukan tindakan bahasa. Fenomena komunikasi dapat diamati melalui tiga aspek, yaitu perilakui, pesan dan makna. Perilaku manusia merupakan ekspresi dari sesuatu yang ada dalam diri manusia, dan itu dapat diamati pada perilaku komunikasinya. Pada hakikatnya setiap perilaku manusia merupakan ekspresi perilaku sosial (Hull dalam Gretler, 1991:77). Penelitian ini berkenaan dengan masalah wacana. Wacana adalah penggunaan bahasa dalam peristiwa komunikasi atau dalam suatu situasi sosial (Halliday, 1979 ; Halliday dan Hassan, 1994). Oleh karena itu, wacana merupakan produk yang dihasilkan oleh suatu peristiwa komunikasi (Halliday, 1979 ; Halliday dan Hassan, 1994) atau bahasa yang dihasilkan oleh tindak komunikasi 2 (Richards dan Schmidt,1989). Penggunaan bahasa dalam komunikasi selalu dikaitkan dengan bagaimana bahasa itu digunakan untuk memenuhi fungsinya (Brown dan Yule,1996:1). Fungsi bahasa dapat dipahami pada cara seseorang menggunakan bahasa atau beberapa bahasa untuk mencapai tujuannya atau melalui cara dan tujuan seseorang berkomunikasi (Halliday,1987). Sebagai penggunaan bahasa dalam suatu peristiwa komunikasi wacana berhubungan dengan segala kejadian atau peristiwa yang dapat diidentifikasi. Sebagai produk yang dihasilkan oleh peristiwa komunikasi wacana adalah rangkaian satuan lingual yang tidak hanya bermuatan makna (meaning), tetapi sebagai satuan gramatikal yang mengandung pesan. Wacana merupakan satuan (unit) perilaku yang direalisasikan oleh satuan-satuan lingual. Sebagai satuan (unit) perilaku wacana adalah wujud perilaku sosial (Crystal, 2001). Wacana adalah bentuk/gambaran perilaku, sekaligus sebagai ekspresi dan representasi fenomena kehidupan manusia (Halliday dalam Halliday dan Hasan, 1994). Wacana diasosiasikan dengan segala hal yang berkaitan dengan tindakan ‘bercakap-cakap’ (Paltridge, 2000: 4). Wacana yang dikaji dalam penelitian ini adalah wacana lisan. Dilihat dari wujudnya wacana lisan adalah rangkaian satuan lingual yang ditranskrip dari rekaman bahasa lisan. Wacana lisan dipandang menarik, karena merupakan pemakaian bahasa dalam suatu peristiwa komunikasi lisan yang melibatkan konteks. Sebagai pemakaian bahasa yang melibatkan konteks wacana lisan merupakan bentuk praktik sosial yang nyata. 3 Produk bahasa yang dihasilkan oleh peristiwa komunikasi lisan tidak saja berwujud formal, tetapi juga berwujud pragmatik. Sebagai rangkaian satuan lingual yang dihasilkan oleh suatu peristiwa komunikasi lisan wacana tidak saja bermuatan semantis, tetapi juga bermuatan makna pragmatis. Artinya, satuansatuan lingual yang direalisasikan oleh ujaran-ujaran tidak saja mengandung makna, tetapi juga mengandung maksud. Jenis wacana yang dipilih adalah percakapan. Percakapan tidak sekedar aktivitas tanya-jawab atau berbincang-bincang, tetapi merupakan sebuah peristiwa tutur. Peristiwa tutur dipahami sebagai peristiwa penggunaan bahasa yang terjadi dalam suatu situasi sosial tertentu dan mempunyai topik, serta tujuan yang jelas. Percakapan adalah suatu peristiwa terstruktur yang terealisasi dalam ujaran (Brown dan Yule, 1996 ; Halliday dan Hassan, 1976: 10 ; Halliday, 1992 ; Stubbs,1983: 10 ; Fairclough, 1989:21-24 ; McCarthy, 1994 : 155 ; Hoed,1994:129). Percakapan tidak saja dipahami sebagai sebuah peristiwa tutur. Ketika seseorang terlibat dalam sebuah peristiwa tutur ia tidak hanya memproduksi satuan-satuan kebahasaan, tetapi sekaligus melaksanakan tindakan-tindakan di dalam tuturannya, yang disebut tindak tutur. Oleh karena itu, percakapan bukan sekedar rangkaian ujar, tetapi dipahami sebagai kesatuan ujaran dan tindakan yang terkait dengan pemahaman dan tanggapan. Kedua tindakan ini direalisasikan oleh rangkaian ujar yang dihasilkan oleh konteks. Sebagai sebuah peristiwa tutur atau peristiwa komunikasi lisan, percakapan tidak saja merupakan sebuah aktivitas verbal, tetapi juga melibatkan 4 aspek-aspek nonverbal. Dalam sebuah percakapan tindak nonverbal selalu menyertai atau muncul di sela-sela tindak verbal. Tindak nonverbal tidak hanya berfungsi memperkuat tindak verbal, tetapi dalam sebuah percakapan tindak nonverbal dapat mengimplikasikan sesuatu. Percakapan bukan peristiwa tutur biasa. Percakapan merupakan bentuk wacana interaktif. Sebagai wacana interaktif percakapan merupakan peristiwa interaksi lisan yang melibatkan pertukaran informasi, pertukaran ide/gagasan, pendapat untuk mencapai pemahaman yang sama (Halliday, 1994 ; Richard, 1995:3). Terkait dengan hal ini percakapan dapat dipahami juga sebagai proses komunikasi/interaksi. Aspek yang paling menonjol di dalam aktivitas percakapan adalah “proses” yang terjadi diantara Pn dan Mt (Paltridge, 2000: 4). Proses yang dimaksud adalah proses penyesuaian-penyesuaian interpersonal. Percakapan tidak hanya terkait dengan persoalan informasi, yaitu bagaimana menyampaikan informasi agar informasi itu dapat dipahami dengan jelas. Percakapan dipahami juga sebagai tindakan, sekaligus proses memahami apa yang ada dalam benak dan dirasakan oleh penutur, serta apa yang ada di dalam pikiran penutur pada saat memformulasi dan menyampaikan sebuah tuturan. Demikian juga, apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh mitra tutur pada saat menerima dan menanggapi informasi/pesan dari penutur. Percakapan merupakan bagian dari proses komunikasi. Oleh karena itu fenomena komunikasi atau fenomena kebahasaan dapat diamati dan dapat diidentifikasi dalam percakapan. 5 Sebagai wacana interaktif percakapan berkaitan dengan pola/urutan tingkah laku yang teratur dalam melakukan komunikasi timbal balik atau interaksi (Stubbs,1983). Dalam percakapan setiap peserta tutur memiliki hak dan kewajiban berbicara, mendengarkan, dan memberi tanggapan. Percakapan tidak saja dipahami sebagai bentuk pertukaran informasi, tetapi juga pertukaran giliran bicara atau pertukaran peran. Sebagai bentuk pertukaran atau pergantian giliran bicara percakapan diatur oleh sebuah konvensi yang menentukan siapa yang berbicara, kapan, serta untuk berapa lama berbicara. Sebagai wacana interaktif percakapan itu memiliki bentuk atau struktur yang menggambarkan mekanisme interaksi. Percakapan itu merupakan bentuk praktik sosial yang ditandai oleh aktivitas menjalin hubungan, saling meyakinkan, saling memahami, saling menyesuaikan, saling bekerjasama, dan saling menghormati/menghargai. Dalam konteks komunikasi percakapan merupakan tindakan mempresentasikan diri atau pernyataan gambaran diri. Dalam proses interaksi kadang-kadang partisipan percakapan mengkomunikasikan juga pandangan pribadinya tentang sesuatu hal, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pandangan pribadi kadang-kadang juga berhubungan dengan prinsip-prinsip budaya (Mulyana, 2002). Percakapan tidak saja berhubungan dengan persoalan penggunaan bahasa, peristiwa tutur, pemakaian bahasa, perilaku berbahasa, peristiwa interaksi lisan, praktik sosial, proses komunikasi/interaksi, serta mekanisme atau struktur interaksi. Percakapan berhubungan juga dengan kegiatan-kegiatan dalam diri manusia yang tidak dapat diamati, seperti kegiatan berpikir, membayangkan, 6 merencanakan, merasakan, meyakini, dan mengharapkan. Selain itu, percakapan mengekspresikan perilaku-perilaku sosial, serta tujuan dan sikap sosial. Pengkajian wacana yang berhubungan dengan aspek-aspek ini mengutamakan perspektif pragmatik (Yule, 2006). “Pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the internal structure of language. Pragmatics is the study of how language is used to communicat) (Parker,1986). Percakapan merupakan jenis prototype penggunaan bahasa yang paling mendasar yang dapat menunjukkan dengan jelas berbagai aspek pragmatik (Levinson,1983:284-285). Selanjutnya mengapa memilih percakapan jual-beliii ?. Percakapan jualbeli adalah sebuah aktivitas transaksi atau tawar menawar (negosiasi) yang melibatkan unsur penjual dan pembeli, serta komoditas yang diperjualbelikan. Meskipun percakapan jual-beli merupakan percakapan alamiah (natural), namun baik Pj maupun Pb mempunyai strategi-strategi (perencanaan) transaksi. Untuk mewujudkannya, baik Pj maupun Pb melakukan bermacam-macam cara/tindakan agar dapat mencapai kesepakatan atau persetujuan jual-beli. Cara-cara/tindakan-tindakan yang dilakukan Pj dan Pb selain dapat menentukan nilai sebuah transaksi, juga kadang-kadang dapat mempengaruhi hubungan interpersonal. Pengaruh itu ada yang sifatnya positif, tetapi ada juga yang sifatnya negatif. Tergantung bagaimana mewujudkan tindakan-tindakan dan bagaimana hubungan Pj dan Pb. Cara-cara/tindakan-tindakan Pj maupun Pb juga ditentukan oleh tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Misalnya dalam menjalin hubungan keakraban, baik Pj maupun Pb mempunyai tujuan yang berbeda-beda. 7 Setiap peristiwa komunikasi memiliki latar. Latar adalah tempat kejadian suatu peristiwa. Mengapa tertarik memilih latar pasar tradisional ?. Pasar tradisional dipahami sebagai pasar pedesaan atau “rural markets” (May dan Bucholt, 1982), walaupun kenyataannya di beberapa daerah perkotaan masih ditemukan pasar-pasar tradisional. Sebagai tempat pelaksanaan aktivitas berdagang pasar tradisional adalah pusat pertemuan individu-individu yang berbeda usia, gender, pekerjaan, status sosial, dan juga suku. Percakapan di pasar tradisional berbeda dengan percakapan yang terjadi di ruang pengadilan, di ruang pemeriksaan dokter, atau di ruang kelas. Perbedaan itu setidaknya dapat diamati pada penggunaan kode (bahasa) dan ragam tutur, pengalihan kode, pelaksanaan tindak tutur, variasi bentuk tuturan, pelaksanaan kerjasama dan kesantunan, serta mekanisme interaksi. Pasar tidak hanya dipahami sebagai tempat pelaksanaan aktivitas jual-beli, seperti yang lazimnya ditemui di daerah-daerah pedesaan maupun perkotaan. Pengertian pasar itu sendiri menurut ilmu ekonomi tidak hanya mengacu pada tempat pelaksanaan aktivitas jual-beli, tetapi juga dipahami sebagai “setiap hubungan” yang diciptakan oleh Pj dan Pb, yang ditandai oleh adanya aktivitas transaksi (negosiasi) suatu komoditas tertentu. Hubungan itu dapat dibedakan menjadi (1) hubungan langsung (bertatap muka) dan (2) hubungan tidak langsung (tanpa bertatap muka). Di pasar tradisional Pj dan Pb menjalin hubungan secara bertatap muka. Berbeda dengan di pasar moderen (pasar swalayan dan pasar online). Di pasar moderen Pj dan Pb menjalin hubungan tanpa bertatap muka. 8 Penelitian ini dilaksanakan di propinsi Sulawesi Utara, di kabupaten Minahasa, yaitu di kecamatan Sonder dan Kawangkoan dan di kabupaten Minahasa Selatan, yaitu di kecamatan Tareran, Tenga, dan Tompaso Baru. Lokasi ini dipilih karena kelompok subetnik Tountembon kebanyakan tersebar di dua kabupaten ini. Dalam aktivitas komunikasi sehari-hari masyarakat di Kabupaten Minahasa menggunakan bahasa daerah Tountemboan (BDT) dan bahasa melayu Manado (BMM). Sedangkan, masyarakat di Kabupaten Minahasa Selatan kebanyakan menggunakan bahasa melayu Manado (BMM), kecuali masyarakat yang berada di kecamatan Tareran. Sebagai masyarakat bilingual, dalam berkomunikasi masyarakat Tountemboan memiliki pilihan kode yang bermacammacam. Ada bentuk yang ringkas, ada bentuk yang lengkap, ada bentuk standart, ada pula bentuk dialek, ada bentuk yang kasar, ada pula bentuk yang halus. Bahasa adalah mekanisme penciptaan interaksi sosial. Oleh karena itu, analisis wacana mengkaji bagaimana penggunaan bahasa dalam tindakan yang nyata. Analisis wacana tidak dapat dipisahkan dari fungsi bahasa. Fungsi bahasa dapat menyatakan fungsi sosial. Oleh karena itu, kajian wacana adalah kajian bahasa yang melibatkan praktik sosial (Richard, 1995:29). Hal terpenting dalam analisis wacana adalah menjelaskan cara-cara dan sikap masyarakat dalam melaksanakan suatu tindakan yang nyata (Schiffrin, 1994:41). Untuk memahami dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan sosiopragmatik. Kajian sosiopragmatik adalah kajian pragmatik yang dikaitkan dengan situasi sosial. 9 1.2. Masalah Penelitian Berdasarkan ruang lingkup penelitian maka permasalahan tentang wacana jual-beli di pasar tradisional Minahasa yang dilihat dari paradigma sosiopragmatik dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah penggunaan kode dan pelaksanaan alih kode dalam wacana jual-beli, dan mengapa demikian ?. 2. Bagaimanakah pelaksanaan tindak tutur, serta bentuk dan fungsi tuturan dalam wacana jual-beli, dan mengapa demikian ?. 3. Bagaimanakah pelaksanaan dan pelanggaran maksim-maksim kerjasama dan kesantunan dalam wacana jual-beli, dan mengapa demikian ?. 4. Bagaimanakah struktur percakapan jual-beli ?. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, kajian wacana jual-beli di pasar tradisional Minahasa yang berbasis sosiopragmatik ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi dan menjelaskan penggunaan kode dan pengalihan kode dalam wacana jual-beli. 2. Mengidentifikasi dan menjelaskan pelaksanaan tindak tutur, serta bentuk dan fungsi tuturan dalam wacana jual-beli. 3. Mengidentifikasi dan menjelaskan pelaksanaan dan pelanggaran maksim-maksim kerjasama dan kesantunan dalam wacana jual-beli. 4. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan struktur percakapan jual-beli. 10 1.4 Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian yang memfokuskan kajiannya pada wacana interaktif (percakapan) sudah sering dilakukan. Kajian-kajian pragmatik terkait dengan wacana interaktif belakangan ini banyak diminati, khusus wacana jual-beli. Namun, pada umumnya kajian-kajian tersebut hanya difokuskan pada salah satu aspek pragmatik, seperti tindak tutur, implikatur, struktur wacana, atau kerjasama dan kesantunan. Selain itu, khusus kajian tindak tutur belum banyak yang menghubungkannya dengan strategi-strategi (perencanaan) transaksi dan tujuan pelaksanaan percakapan jual-beli. Untuk memahami sebuah percakapan setidaknya penelitian yang berbasis sosiopragmatik ini dapat menjelaskan beberapa aspek yang menjadi focus dalam kajian pragmatik. Kekhasan penelitian ini terletak pada fokus kajiannya, penjelasan tentang kedudukan peneliti dalam proses penelitian, serta kekuatan dan kelemahan metode penelitian yang digunakan. Tujuannya untuk memberikan gambaran secara jujur tentang pelaksanaan penelitian. Perbedaan mendasar penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya terletak pada topik, masalah, cara penanganan masalah, serta refleksi teori tertentu yang digunakan. Berdasarkan kajian beberapa hasil penelitian terdahulu, serta perbedaan mendasar penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, maka diyakini penelitian yang berjudul “Wacana Jual-Beli Di Pasar Tradisional Minahasa” yang berbasis sosiopragmatik ini belum pernah dilakukan sebelumnya. 11 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini meliputi manfaat teoretis dan manfaat praktis. 1.5.1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis adalah manfaat yang diharapkan dapat menambah pengetahuan/wawasan tentang teori-teori yang digunakan untuk mendukung topik penelitian, serta metode/pendekatan yang digunakan dalam menangani/mengkaji masalah-masalah penelitian. Manfaat teoretis adalah manfaat yang diharapkan dapat memberi nuansa baru, menginspirasi dan memotivasi pengembangan dan penemuan teori-teori baru dalam pelaksanaan suatu penelitian. Terkait dengan manfaat teoretis penelitian ini diharapkan : 1. Dapat menambah pengetahuan/wawasan para peneliti bahasa tentang konsep-konsep wacana dan teori-teori wacana, khusus wacana interaktif, serta teori-teori pragmatik. 2. Dapat menambah wawasan/pengetahuan bagi para peneliti bahasa tentang teori-teori tindak tutur, kerjasama dan kesantunan, percakapan, struktur percakapan. 3. Dapat menambah pengetahuan/wawasan tentang penggunaan pendekatan sosiopragmatik untuk memahami fenomena-fenomena kebahasaan dalam sebuah peristiwa tutur. 4. Dapat menginspirasi dan memotivasi para peneliti bahasa untuk dapat mengembangkan dan menemukan teori-teori wacana lisan, khusus wacana interaktif dan pendekatan-pendekatan dalam penelitian bahasa. 12 1.5.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis adalah manfaat konkrit yang diharapkan dapat diperoleh dan dirasakan secara langsung dari hasil sebuah penelitian. Hasil penelitian ini diharapkan : 1. Dapat memberikan data aktual dan terpercaya tentang pelaksanaan interaksi/transaksi jual-beli di pasar tradisional Minahasa. 2. Dapat memberikan data konkrit dan aktual tentang hasil kajian wacana jualbeli berbasis sosiopragmatik. 3. Dapat memberikan data konkrit dan aktual tentang fenomena kebahasaan dalam percakapan jual-beli di pasar tradisional Minahasa. 5. Dapat memberikan data aktual tentang situasi masyarakat dan kebahasaan di Minahasa, khususnya pada masyarakat kelompok subetnik Tountemboan. 6. Sebagai hasil rekaman peristiwa kebahasaan WJB ini dapat menunjukkan sejumlah fakta kebahasaan dan fakta sosial. 7. Dapat memberi kontribusi bagi pelaksanaan penelitian-penelitian yang berbasis sosiopragmatik maupun sosiolinguistik. 8. Dapat menginspirasi para peneliti bahasa, sosial, dan budaya, serta dapat memberi kontribusi bagi pelaksanaan penelitian-penelitian interdisipliner. 9. Dapat menambah wawasan/pengetahuan bagi masyarakat pembaca pada umumnya, dan juga khususnya bagi pribadi peneliti tentang kesantunan dalam berkomunikasi, agar dapat mewujudkan dan mempertahankan hubunganhubungan sosial yang harmonis, dan agar dapat menghindari konflik-konflik sosial. 13 10. Dapat memberikan masukan bagi pemerintah setempat tentang pentingnya pelaksanaan penelitian-penelitian bahasa daerah dalam mengungkap faktafakta sosial maupun budaya masyarakat Minahasa. 11. Dapat meningkatkan kesadaran masyarakat Minahasa tentang identitasnya sebagai Tou Minahasa (orang Minahasa) yang melekat pada bahasanya, 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Lingkup penelitian ini adalah wacana. Wacana dipahami sebagai peristiwa tutur, peristiwa interaksi, dan pemakaian bahasa dalam peristiwa komunikasi sosial, yang terjadi di (1) pasar ikan, pasar daging, pasar sayur, rempah dan buah, dan pasar beras. (2) warung-warung tempat penjualan sembako, (3) kios-kios tempat penjualan cengkih dan kopra, dan (4) tempat-tempat usaha pemeliharaan ternak dan pembuatan batu bata. 1.7 Tinjauan Pustaka Dalam bagian ini akan dipaparkan beberapa hasil tinjauan pustaka terkait dengan topik penelitian, yang berupa buku-buku dan hasil-hasil penelitian tentang wacana, penggunaan bahasa, pengalihan kode, tindak tutur, kerjasama dan kesantunan dalam interaksi jual-beli. Buku-buku yang berisi kajian tentang teori dan metode analisis wacana diantaranya telah ditulis oleh : (1). Wijana dan Rohmadi (2006) dalam bukunya yang berjudul Analisis Wacana Pragmatik : Kajian Teori dan Analisis telah membahas tentang teori 14 pragmatik dan aplikasinya pada beberapa wacana, khusus wacana dagadu, wacana rekreatif, dan wacana kampanye politik pemilu. Tujuan penulisan buku ini untuk memberikan bahan perbandingan dan menemukan model-model analisis dalam penelitian berbasis pragmatik. (2). Debora Schiffrin (2007) dalam bukunya Approaches to Doscourse (1994) telah menguaraikan tentang (i) ruang lingkup kajian wacana, (ii) definisi, persoalan dan analisis wacana berdasarkan paradigma formal dan fungsional, (iii) ancangan kajian wacana berdasarkan teori tindak tutur, sosiolinguistik interaksional, etnografi komunikasi, pragmatik, analisis percakapan, dan analisis variasi, (iv) struktur dan fungsi dalam analisis wacana, (v) teks dan konteks, (vi) wacana dan komunikasi, dan (vii) bahasa sebagai interaksi sosial). (3). Stevan Titscher, dkk (2009) dalam bukunya Methods of Text and Discourse Analysis (2009) telah menguraikan tentang beberapa hal yang terkait dengan analisis wacana dan teks, seperti (i) pengertian teks dan wacana, (ii) caracara mendapatkan materi untuk analisis suatu tinjauan, (iii) beberapa metode (prosedur) analisis teks dan wacana yang ditinjau dari beberapa paradigma, kriteria kualitasnya, bidang aplikasinya, persamaan dan perbedaan dengan metode lainnya, tujuan dan syarat-syarat pelaksanaannya, serta kemungkinan langkahlangkah pengumpulan datanya, (iv) asal muasal teori yang mendukung pelaksanaan setiap metode, dan (v) asumsi teoretis dasar. Pembahasan tentang wacana berdasarkan paradigma struktural telah dilakukan, diantaranya oleh : 15 (1). Sumarlam (2003) dalam bukunya Teori dan Praktik Analisis Wacana. Buku ini membahas tentang kaidah-kaidah kebahasaan dan teori-teori wacana. Buku ini berisi uraian tentang penggunaan pemarkah kohesi gramatikal dan leksikal dalam bahasa Indonesia, serta pertalian kohesi dan kekoherensi dalam wacana. (2). Fatimah Djajasudarma (2006) dalam bukunya Wacana : Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Buku ini mengkaji tentang unsur-unsur wacana untuk memahami hubungan antarbagian wacana. Kajian ini bertujuan untuk memberi petunjuk dalam pelaksanaan analisis wacana dan penafsiran makna wacana. Selanjutnya hasil-hasil penelitian tentang penggunaan kode, pengalihan kode, dan bentuk sapaan berdasarkan paradigma sosiolinguistik telah dilakukan, diantaranya oleh : (1). Poedjosoedarmo & Wolff (1982) dalam tulisannya yang berjudul Communicative Codes in Central Java. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam aktivitas komunikasi masyarakat sehari-hari penggunaan kode memiliki keterkaitan dengan variasi-variasi tingkat tutur. (lih.Poedjosoedarmo, dkk, 1979 : 3, 8-13). Kode mengacu pada suatu sistem tutur yang dalam penerapannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai untuk berkomunikasi antaranggota suatu masyarakat bahasa (lih. Poedjosoedarmo, 1978:30). Demikian juga yang terjadi terhadap 16 masyarakat bahasa Jawa. Pilihan kode dalam suatu komunikasi dipengaruhi oleh konteks. (2). Laila Kurniawaty Paada (2008) dalam tesisnya yang berjudul “Penggunaan Bahasa Di Kota Palu (Kajian Sosiolinguistik Dalam Ranah Jual-Beli Di Pasar Tradisional). Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam interaksi jualbeli digunakan kode bahasa Indonesia, bahasa Melayu Palu, bahasa Kaili, bahasa Melayu Makassar, bahasa Jawa, dan bahasa Melayu Manado. Pelaksanaan AK dalam interaksi bertujuan mendapatkan layanan yang baik, keakraban, latihan menggunakan bahasa, memberi penjelasan, mendapatkan harga murah, bercanda, belajar dan mengajar, melakukan barter, dan kelancaran komunikasi. Selanjutnya AK dilaksanakan dalam sepuluh pola. Adapun faktor-faktor sosial yang melatarbelakangi pelaksanaan AK adalah pergantian partisipan, kebiasaan berbahasa penutur, kemampuan berbahasa lawan bicara, dan kehadiran orang ketiga. (3). Elfrida W.S. Sumampouw (1984) dalam penelitiannya yang berjudul “Pola Penyapaan Dalam Interaksi Verbal Dengan Latar Multilingual : Studi Kasus Warga Kampus Universitas Sam Ratulangi Manado”. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan memerikan pola pemakaian kata penyapa dalam bahasa Indonesia ragam Manado. Peneliti membatasi pembahasannya pada repertoar kata penyapa, peserta tindak ujaran dalam interaksi bersemuka, dan domain, yaitu konteks dan situasi penggunaannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam sistem penyapaan bahasa Indonesia ragam Manado ditemukan sekurangkurangnya 64 kemungkinan pola penyapaan. Dalam penelitian ini ditemukan 17 delapan jenis kata penyapa yang berasal dari empat kategori kata, yaitu nomina, pronomina, adjektiva, dan kata tugas yang meliputi (1) istilah kekerabatan, (2) nama diri, (3) pronomina persona kedua, (4) nama profesi/jabatan, (5) epitet, (6) kata seru, (7) gelar, dan (8) pronomina penunjuk tempat. Hasil-hasil penelitian tentang wacana, pelaksanaan tindak tutur berdasarkan paradigma pragmatis telah dilakukan, diantaranya oleh : (1). Brown dan Yule (1983 :1-5) dalam bukunya Discourse Analysis. Sebagian dari buku ini membahas tentang hasil penelitian penggunaan pertanyaan pada subgenre yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan tujuan komunikasi, sifat interaksi, peranan institusi dan partisipan, serta usaha yang harus dicapai oleh partisipan dalam wacana. Penentu jumlah pertanyaan yang diproduksi, serta bentuk dan fungsi interaksi tidak diteliti dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan ada perbedaan cara memberi pertanyaan pada setiap subgenre. Hal itu didukung oleh data yang menunjukkan tentang pola pertanyaan yang berbeda-beda. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pertanyaan dalam wacana ‘transactional’ dianggap sebagai pertanyaan yang membebani dibandingkan pertanyaan dalam wacana ‘interactional’. (2). Bustanul Arifin dan Abdul Rani (2000) dalam bukunya PrinsipPrinsip Analisis Wacana. Sebagian dari buku ini membahas tentang hasil penelitian Tanya-Jawab pada Peristiwa Sidang di Pengadilan. Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa fungsi pragmatis yang diemban oleh setiap pertanyaan yang diajukan hakim, jaksa, dan pembela kepada terdakwa atau saksi. Fungsi pertanyaan yang dimaksud adalah untuk menyampaikan tindak direktif, ekspresif, 18 dan representatif. Pertanyaan yang berfungsi pragmatis untuk menyampaikan tindak direktif adalah pertanyaan yang bertujuan (1) untuk meminta informasi, (2) untuk meminta konfirmasi, (3) untuk menguji, dan (4) untuk menyampaikan saran. Pertanyaan untuk menyampaikan tindak ekspresif adalah pertanyaan yang bertujuan (1) menyampaikan rasa tidak puas, dan (2) menyampaikan basa-basi. Selanjutnya pertanyaan untuk menyampaikan tindak representatif diwujudkan dalam pertanyaan responsif, yaitu pertanyaan yang dituturkan sebagai respons atas jawaban (meminta penegasan). (3). Wierzbicka (1991) dalam bukunya Cross Cultural Pragmatics telah mengkaji pelaksanaan tindak tutur dan wujud tindak tutur yang bermakna permintaan dan penolakan. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan tindak tutur yang bermakna permintaan dalam bahasa Inggris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tuturan bermakna permintaan dalam bahasa Inggris sifatnya tidak memaksa atau menekan mitra tutur untuk memenuhi keinginan penutur. Hal itu tampak melalui penggunaan kalimat-kalimat interogatif dan bukan kalimatkalimat yang berverba to request atau to ask. Penelitian ini menyimpulkan bahwa aspek-aspek yang terkait dengan konteks situasi tutur (speech situational context) menentukan pelaksanaan tindak tutur. (4). Kartomihardjo (1993) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Wacana Dengan Penerapannya Pada Beberapa Wacana Bahasa”. Penelitian yang mengkaji bentuk-bentuk penolakan dalam bahasa Indonesia ini telah mengungkap beberapa bentuk bahasa penolakan, yaitu : (1) penolakan yang menggunakan kata ‘tidak’ atau padanannya, (2) penolakan dengan menggunakan alasan, (3) 19 penolakan dengan menggunakan syarat, (4) penolakan dengan menggunakan usul, (5) penolakan dengan menggunakan komentar atau pilihan, (6) penolakan dengan menggunakan ucapan terima kasih, dan (7) penolakan dengan menggunakan komentar. Penelitian yang mengkaji tentang kesantunan dan cara-cara mempresentasikan diri dalam percakapan, yang berangkat dari paradigma pragmatis-komparatif telah dilaksanakan oleh : (1). John J Gumperz dan Celia Roberts (1980) dalam judul penelitiannya Developing Awareness Skills. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mengkaji bentuk satuan lingual penanda kesopanan dalam bertutur pada masyarakat Thailand dan India. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk yang digunakan untuk menandai kesopanan dalam bahasa Thailand adalah partikel yang penggunaannya pada posisi akhir dalam kalimat dan didasarkan pada status, usia, dan jenis kelamin mitra bicara. Dalam bahasa-bahasa India untuk menyatakan rasa hormat mereka menyampaikannya dengan cara menggunakan partikel honorifik khusus atau dengan menyebutkan gelar profesi atau yang lainnya. Selanjutnya penggunaan frase seperti could I have ‘bisakah saya’ atau I would like ‘saya ingin’ dianggap oleh masyarakat India menyiratkan perbedaan sosial dan itu cenderung dihindari dalam percakapan umum. (2). Scollon dan Scollon (1981), dalam bukunya Narrative Literacy and Face in Interethnic Communication. Penelitian yang mengandalkan data bahasa (wacana) ini bertujuan untuk mengungkap cara-cara presentasi diri orang Inggris, Amerika, Jepang dan Thailand. Penelitian ini menyimpulkan bahwa orang Inggris 20 menampilkan diri mereka pada perjumpaan pertama sebaik mungkin ; tidak melebih-lebihkan ataupun merendah-rendahkan diri. Mereka cenderung tampil dengan menunjukkan prestasi serta kemampuan positifnya ; berbicara bebas tentang keadaan mereka di masa lampau dan menyatakan rencana masa depan serta tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sesuatu kesan dapat diperoleh melalui apa yang kita bicarakan, frekuensi pembicaraan yang dilakukan, kekuasaan (dominasi) yang dinyatakan, sikap yang terkait dengan hal-hal yang telah dicapai dalam pembicaraan, serta maksud dan topik yang dipilih. Selanjutnya konsep diri pribadi seseorang memiliki pengaruh terhadap caranya (gaya) berkomunikasi. Cara berkomunikasi mencerminkan sebagian kecil dari konsep diri seorang penutur, seperti keyakinannya, harapan, pendapat, kesukaan, ketidaksukaan, dan lain-lain. (3). Richard dan Schmidt (1983) dalam bukunya yang berjudul Conversational Analysis telah menguraikan hasil penelitiannya tentang cara-cara pengalihan tutur pada anak-anak bangsa Amerika dan anak-anak bangsa Fiji keturunan India. Perdebatan anak-anak Amerika selalu memperhatikan kaidah dalam bertutur, yaitu dengan cara menghindari pembicaraan yang tumpang-tindih. Sebaliknya anak-anak Fiji keturunan India sering berbicara secara bersama-sama dalam suatu kesempatan pembicaraan. Mereka tidak mau mengalah dalam bertutur. Namun mereka memiliki toleransi yang tinggi atas ketumpangtindihan. Anak-anak Fiji keturunan India dapat berbicara bersama-sama selama tiga puluh detik, dan hal yang demikian tidak ditemukan pada anak-anak Amerika. Penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor budaya menentukan variasi pengalihan tutur dan 21 perbedaan cara-cara pengalihan tutur dalam sebuah percakapan ataupun perdebatan. (4). Tanaka (1988) dalam penelitiannya yang berjudul Politeness : Some Problems for Japanese Speakers of English (dalam journal JALT). Penelitian ini mengkaji kesantunan dalam tuturan bermakna permintaan (request), yang bertujuan untuk (i) membandingkan sifat-sifat khas tuturan permintaan mahasiswa berkewarganegaraan Jepang dan Australia, (ii) mengungkap masalah-masalah yang dihadapi oleh warga Jepang dalam mempresentasikan diri dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan mahasiswa Australia, mahasiswa Jepang cenderung menggunakan strategi kesopanan tertentu dalam percakapan, mereka tidak biasa menggunakan nama pertama mitra tuturnya pada saat memanggil, mereka kurang eksplisit dalam membuat tuturan permintaan, dan cenderung berbicara formal. Permasalahan kesopanan dalam berbicara sangat ditentukan oleh budaya penutur suatu bahasa. (5). Beebe, dkk. (1990) dengan judul penelitiannya Pragmatic Transfer in ESL Refusals. Penelitian ini bertujuan mengungkap cara-cara menyatakan penolakan dalam bahasa Inggris orang Amerika dan orang Jepang. Penelitian ini melibatkan responden, yakni 20 orang Jepang yang menguasai bahasa Jepang dan bahasa Inggris, 20 orang keturunan Jepang yang hanya menguasai bahasa Inggris saja, dan 20 orang Amerika (sebagai penutur asli bahasa Inggris). Sebagian besar responden bertempat tinggal di sekitar wilayah New York City. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai penutur asli bahasa Inggris orang Amerika 22 menyatakan penolakan dengan tata urutan : menggunakan ungkapan fatis (basabasi) yang bermakna positif, menyatakan penyesalan, memberi alasan, dan menyatakan ketidakmampuan. Contoh : That’s a good idea atau I’d love to - I’m sorry, I feel terrible - I have a headache - I can’t. Dalam menyatakan penolakan mereka cenderung menggunakan alasan (excuse) dibanding menggunakan kata tidak (no), seperti yang ditemukan pada orang Jepang. Orang Amerika mengemukakan alasan dengan rinci. Misalnya ketika menyebutkan nama tempat yang akan dikunjungi, mereka mengatakan, I have to go to Florida next week. (6). Bardovi dan Hartford (1991) telah meneliti juga tentang bentuk penolakan, namun dalam konteks dan metode yang berbeda, yaitu pada situasi bimbingan akademis di suatu universitas di Amerika. Penelitian ini melibatkan mahasiswa Amerika sebagai penutur asli bahasa Inggris dan yang bukan penutur asli. Responden yang bukan penutur asli bahasa Inggris mempunyai nilai TOEFL 573 ke atas. Hasilnya menunjukkan bahwa mahasiswa Amerika sebagai penutur asli bahasa Inggris cenderung menolak dengan terlebih dahulu menggunakan ungkapan perasaan yang positif, kemudian diikuti dengan pemberian alasan. Mereka mengungkapkan penolakan dengan pola urutan tertentu. (7). Garcia (1992) dalam penelitiannya yang berjudul Responses to A Request by Native and Non-Native English Speakers : Deference vs Camaradirie. Penelitian ini membandingkan cara merespons sebuah permintaan dalam Bahasa Inggris antara orang Venezuela yang telah berdomisili di Amerika selama lebih dari tiga setengah tahun dan orang Amerika sebagai penutur asli bahasa Inggris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang Amerika lebih suka menggunakan 23 bentuk yang lebih formal (business frame) dan orang Venezuela cenderung menggunakan bentuk yang lebih bersahabat (friendly frame) dalam memberi tanggapan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa cara menanggapi sebuah permintaan, khusus cara menyatakan penolakan berdampak pada tidak harmonisnya hubungan komunikasi. Pelaksanaan tindak tutur yang bermakna penolakan sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya. (8). Baba dan Lian (1992) telah mengkaji tentang perbedaan penggunaan bentuk permintaan pada penutur bahasa Cina dan Jepang, dalam topik penelitiannya Differences Between The Chinese and Japanese Request Expressions (dalam Journal of Hokkaido University of Education). Tujuan penelitian ini adalah mengungkap strategi kesantunan berbahasa dalam mengekspresikan permintaan pada penutur bahasa yang berbeda. Penelitian ini menemukan bahwa orang Jepang memiliki beberapa fitur linguistik yang berfungsi sebagai pemarkah kesantunan yang tidak terdapat dalam bahasa Cina, yaitu partikel penanda gender, sedangkan pada bahasa Cina tampak pada pilihan leksikal dan sapaan. Selanjutnya pemilihan penggunaan bentuk permintaan pada kedua bahasa ini dipengaruhi oleh hubungan kedekatan. (9). Jack, C Richard dalam bukunya On Conversation (1995). Buku ini membahas tentang beberapa hasil penelitian yang terkait dengan cara-cara mempresentasikan diri orang Thai dan orang Amerika dalam percakapan, serta keterkaitannya dengan kesopanan. Fokus penelitian ini pada strategi tutur. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan pemahaman tentang strategi tutur pada orang Thai dan orang Amerika. Suku bangsa Thai lebih suka mengatakan sesuatu 24 secara tidak langsung, yaitu melalui pemberian isyarat. Sementara orang Amerika tidak dapat menyikapi isyarat tersebut sesuai dengan harapan orang Thai. Orang Amerika tidak mengerti daya ilokusioner yang tersimpan di balik ajakan berbentuk isyarat, yang disampaikan oleh orang Thai pada saat terlibat dalam situasi formal. (10). Barlund (dalam Richard, 1995) dalam penelitiannya tentang “Konsep Diri Publik dan Diri Pribadi, serta Pengaruhnya Terhadap Gaya Komunikasi Yang Bertentangan Di antara Orang Amerika dan Orang Jepang”. Penelitian ini bertujuan mengungkap cara-cara presentasi diri dalam berkomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang Jepang selalu menahan diri untuk tidak mengumbar pengalaman diri mereka dalam percakapan. Dalam berinteraksi mereka sangat selektif dan sedapat mungkin hanya berinteraksi dengan sedikit orang saja. Mereka menyukai bentuk komunikasi langsung (spontan) tapi teratur dan menghargai topik pembahasan dalam setiap percakapan. Mereka lebih suka berkomunikasi secara verbal dan tidak masuk sampai pada tingkat pembicaraan yang mendalam. Orang Jepang selalu menghindar untuk menunjukkan keintiman dalam berinteraksi. Mereka lebih cepat bereaksi defensif dalam percakapan dan kurang mengenal diri mereka sendiri. Mereka kurang mempelajari sisi batin dan lebih mengandalkan tampilan luar saja. Hasil penelitian mengungkap tentang sifat dan perilaku orang Jepang yang bertentangan dengan orang Amerika. Keadaan yang bertentangan itu tampak pada perbedaan yang signifikan dalam tingkatan dan bukan pada jenis, yaitu perbedaan antara struktur lingkungan fisik dan perilaku komunikatif orang Jepang 25 dan Amerika. Perbedaan ini mengungkapkan norma-norma serta nilai budaya masing-masing. Selanjutnya penelitian tentang wacana yang berdasarkan paradigma sosiopragmatik, diantaranya telah dilakukan oleh : (1). Wiwit Ike Setyowati (1998) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Wacana Jual-Beli Buah Pada Masyarakat Tutur Di Pasar Bangil Kabupaten Pasuruan (Tinjauan Sosiopragmatik)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur teks dalam wacana jual-beli dapat diklasifikasikan ke dalam tiga golongan, yaitu (1) jika terdapat unsur pengulangan (UP), (2) jika tidak terdapat UP dan menunjukkan penolakan penjual terhadap penawaran pembeli, dan (3) jika tidak terdapat UP dan penjual menerima penawaran pembeli. Kehadiran unsur-unsur dalam wacana jual-beli buah dapat membedakan tipe-tipe wacana, yaitu wacana sederhana, wacana kompleks, dan wacana kompleks tidak lengkap. Penelitian ini juga menunjukkan adanya pengaruh tinggi rendah jarak sosial antara penjual dan pembeli terhadap struktur teks dalam wacana jual-beli. Selanjutnya cara penjual menolak dan menerima penawaran pembeli dilakukan dengan tuturan langsung dan tidak langsung. Penolakan dan penerimaan yang dilakukan secara tidak langsung terbukti melanggar prinsip kerjasama, khusus pada maksim relevansi. Ada tiga faktor yang memengaruhi pemakaian bahasa Jawa oleh penjual, yaitu faktor bisnis, faktor penguasaan bahasa, dan faktor pengetahuan penjual tentang pembeli. (2). Romilda A. Dacosta (2003) dalam tesisnya yang berjudul “Implikatur Dalam Komunikasi Tawar Menawar Antarpenutur Bahasa Melayu 26 Ambon Di Pasar Ikan Ambon (Sebuah Kajian Sosiopragmatik)”. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan, yaitu (1) implikatur dalam komunikasi tawarmenawar antarpenutur Bahasa Melayu Ambon (BMA) di pasar ikan Ambon terwujud melalui mekanisme pergantian dialog yang berlangsung lebih dari satu kali, yang secara umum muncul pada pergantian kedua ; diungkapkan dengan tindak tutur langsung, tindak tutur langsung tidak literal, tindak tutur tidak langsung literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal. Dalam mengekspresikan implikatur penutur BMA sering tidak mematuhi prinsip-prinsip kerjasama dan kesantunan. Pengaruh konteks budaya pada implikatur dapat dilihat pada kata-kata ataupun ungkapan yang sarat dengan informasi indeksikal yang terkait dengan kebiasaan melaut, kegemaran menyanyi, ciri khas wilayah, makanan khas, dan keadaan alam. Selanjutnya tuturan yang berima dan ketidaklaziman intonasi mengakibatkan kesalahan interpretasi. (3). Zamzani (2007) dalam bukunya yang berjudul Kajian Sosiopragmatik. Buku ini membahas hasil penelitian tentang “Pola interaksi dan Peranan Partisipan Dalam Komunikasi Lisan”. Dalam buku ini dikaji tentang pola interaksi verbal dosen dan mahasiswa, serta perannya dalam interaksi belajar mengajar, hubungan bentuk dan makna tuturan, hubungan lokusi dan ilokusi perilaku verbal dosen dan mahasiswa, pola penggunaan bahasanya, serta beberapa teori . (4). Sri Puji Astuti (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Prinsip Kerjasama dalam Wacana Jual Beli di Pasar Tradisional Perumnas Tlogosari Semarang”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam percakapan penjual 27 dan pembeli kadang mematuhi, tetapi kadang juga melanggar prinsip kerjasama. Pematuhan terhadap prinsip kerjasama bertujuan untuk menyampaikan pesan secara jelas, benar dan menghindari kesalahpahaman. Sedangkan, pelanggaran terhadap prinsip kerja sama bertujuan untuk menyakinkan kualitas barang, agar barang dagangan laris, mencari informasi, mempertahankan hubungan keakraban, dan memuji barang dagangan. Penelitian tentang penggunaan bahasa dalam ranah jual-beli yang berdasarkan paradigma etnografi komunikasi telah dilakukan oleh : (1). Muhammad Maimun (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Bahasa Dalam Ranah Jual-Beli Di Pasar Tanjung Pinang Kepulauan Riau (Suatu Kajian Etnografi Komunikasi)”. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan, yaitu (1) setiap jenis pasar merupakan konteks tuturan yang berbeda, (2) transaksi jual-beli di pasar tanjung Pinang menggunakan lingua franca, yang meliputi bahasa Indonesia dan bahasa melayu Riau Penyengat (BMRP). Ragam yang digunakan adalah ragam informal. BI yang digunakan dipengaruhi oleh BMRP. Dalam penggunaan lingua franca ciri khas bahasa ibu masih terlihat. Hal ini menunjukkan identitas suku tertentu. Identitas itu terlihat pada ciri fonologis, morfologis, dan leksikal, (4) prinsip kerjasama da kesantunan diterapkan dalam pelaksanaan transaksi agar transaksi berjalan lancar, (5) tindak tutur yang dilaksanakan dalam proses transaksi berdimensi sosial ekonomi, dan (6) analisis wacana yang dilaksanakan meliputi analisis gramatikal dan leksikal. 28 Penelitian yang memfokuskan kajiannya pada wacana yang berangkat dari paradigma semantik-fungsional dan pragmatik fungsional telah dilakukan, diantaranya oleh : (1). Mitchell (dalam Coulthard, 1985:4-5) dalam topik penelitiannya “Bahasa Dalam Ranah Jual-Beli di Cyneraica”. Penelitian ini berhasil menemukan lima tahapan kegiatan dalam pelaksanaan transaksi jual-beli, dan menurut Mitchell setiap tahapan memiliki ciri-ciri yang khas. Tahapan-tahapan itu meliputi (1) salam, (2) menemukan barang, (3) pemeriksaan barang, (4) kesepakatan, dan (5) kesimpulan. Namun, kelima tahapan transaksi jual-beli ini hanya ditentukan berdasarkan kriteria semantis saja, karena belum terlihat pembatas yang jelas antartahap. Tahapan transaksi yang dibahas dalam penelitian ini belum mencerminkan hasil dari analisis struktur transaksi, melainkan baru berupa analisis kegiatan jual-beli. Menurut Sinclair dan Coulthard (1975) penelitian ini lebih menekankan pada tahap-tahap transaksi jual-beli yang sulit dibedakan pelaksanaan tahap yang satu dengan tahap yang lainnya. (2). Iris Lin Hin Sze (2007) dalam disertasinya yang berjudul “Question and Response in Business Communication in Hongkong”. Penelitian ini mengkaji tentang pertanyaan dan tanggapan dalam konteks komunikasi bisnis dan professional antarbudaya di Hongkong. Fokus kajian adalah perilaku linguistik dan intonasi penutur, ketika mengajukan pertanyaan dan memberi respons dalam bahasa Inggris. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan cara partisipan menggunakan sistem intonasi dalam melakukan interaksi sesuai dengan tujuan komunikasi. Penelitian ini menggambarkan berbagai contoh data intonasi wacana, 29 nilai komunikatif, dan makna lokal dari setiap bentuk pertanyaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rangkaian pertanyaan-respons tidak sepenuhnya disusun dalam struktur wacana Inisiasi-Respons (Initiation-Response) yang sederhana dan terpisah. Namun, banyak rangkaian yang mengalami pergantian. Terdapat beberapa pertanyaan yang lebih sering diberikan dibandingkan pertanyaan yang lain. Dari ke-6 pertanyaan yang diajukan, pertanyaan yang bermakna deklaratif paling sering digunakan. Pertanyaan kedua yang juga sering digunakan adalah pertanyaan ya/tidak yang disusul oleh pertanyaan-Wh, pertanyaan tag dan pertanyaan alternatif. Bentuk pertanyaan yang jarang diberikan, misalnya pertanyaan sisipan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara bentuk dan fungsi pertanyaan secara langsung. Fungsi pertanyaan kebanyakan ditentukan oleh situasi terkini ketika sebuah pertanyaan diajukan. Dalam wacana bisnis dan professional kebanyakan pertanyaan tidak hanya ditanggapi, tetapi juga dijawab. Semua bentuk pertanyaan yang diidentifikasi diberikan dengan berbagai pilihan yang tersedia dalam sistem tone, kecuali nada naik-turun yang biasanya digunakan dalam kalimat ‘seru’ (exclamatory) dan tidak memerlukan tanggapan dari orang yang mendengar. Dengan kata lain, tidak ada intonasi khusus untuk bentuk pertanyaan tertentu. Temuan penelitian ini dieksplorasi untuk mengetahui hubungannya dengan teori dan model dalam analisis wacana, intonasi wacana dan pragmatik, implikasi dan sifat pedagogi, studi isi informasi (corpus-informed study) pada komunikasi bisnis dan professional. 30 Berdasarkan tinjauan/kajian beberapa pustaka di atas, maka tampaknya penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya. 1.8 Landasan Teori Landasan teori dalam suatu penelitian di satu pihak menjadi dasar/pijakan yang menentukan arah penelitian, atau dapat juga dikatakan sebagai cara pandang suatu penelitian. Namun, di lain pihak merupakan sesuatu yang membutuhkan pengujian. Fungsi dan tujuan sebuah teoriiii berbeda-beda sesuai dengan bentuk penelitian (Creswell, 2010). Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini diperlukan landasan teoretis sebagai penuntun dalam pelaksanaan pengumpulan dan analisis data. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori wacana, konteks, kode dan alih kode, tindak tutur, kerjasama dan kesantunan, implikatur, komunikasi dan sistem komunikasi, percakapan dan struktur percakapan, pasar, pragmatik dan sosiopragmatik, serta sosiolinguistik. 1.8.2.1 Wacana dan Konteks Secara umum wacana didefinisikan sebagai rangkaian satuan-satuan bahasa yang bermuatan semantis (meaning), dan juga sebagai satuan gramatikal yang berisi amanat atau pesan (Halliday dan Hassan, 1994 ; Brown dan Yule, 1983 ; Kridalaksana, 2005 : 231 ; Widdowson, 1981 ; Yule, 2006). Wacana dapat dipahami dari wujudnya, yaitu dilihat mulai dari tataran bahasa terkecil, seperti “kata” yang dapat memuat makna yang utuh, dilihat dari informasi yang didukungnya (Samsuri dalam Idat dan Djajasudarma,1994). 31 Wacana adalah suatu rangkaian satuan-satuan bahasa (baik lisan maupun tulisan) yang berkesinambungan. Satuan-satuan yang terdapat dalam wacana sering diwujudkan dalam simbol-simbol yang berbentuk leksem/kata, frasa, kalimat tidak lengkap, nada suara dan intonasi, bahkan isyarat nonverbal, baik yang dikenal oleh masyarakat pada umumnya maupun yang dikenal khusus oleh anggota kelompok yang terlibat dalam komunikasi (Stubbs, 1983:1-7). Wacana tidak saja dipahami sebagai rangkaian satuan-satuan bahasa yang bermakna, tetapi adalah pemakaian bahasa dalam komunikasi atau dalam suatu situasi sosial, dan itu dapat berbentuk lisan maupun tulisan (Halliday dan Hassan, 1994 ; Brown dan Yule, 1983 ; Widdowson, 1981 ; Cook, 1994:6-7). Kedua bentuk wacana ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan (Sinclair dan Coulthard, 1975). Wacana adalah hasil rekaman kebahasaan yang utuh dalam peristiwa komunikasi (lisan maupun tulis) yang mempertimbangkan unsur pembicara-penyimak, penulis-pembaca dan juga gejala kebahasaan yang disebut pragmatik (Samsuri dalam Idat dan Djajasudarma,1994). Wacana merupakan suatu peristiwa terstruktur yang terealisasi dalam bahasa (Brown dan Yule, 1983 ; Widdowson, 1981 ; Cook, 1994:6-7). Wacana adalah produk yang dihasilkan oleh suatu peristiwa komunikasi (Halliday,1979) atau bahasa yang dihasilkan oleh tindak komunikasi (Richards dan Schmidt,1989). Sebagai produk yang dihasilkan oleh suatu peristiwa komunikasi/tindak komunikasi, wacana mengandung keseluruhan aspek yang terkait dengan tuturan dan yang dapat menggambarkan keseluruhan aspek kebahasaan, baik dari segi internal maupun eksternal. Kajian wacana tidak hanya 32 memperhatikan hal-hal yang bersifat linguistis tetapi juga hal-hal yang bersifat nonlinguistis. Sebagai produk komunikasi wacana merupakan bentuk/gambaran dari praktik perilaku, sekaligus ekspresi dan representasi fenomena kehidupan manusia (Halliday dalam Halliday dan Hasan, 1994). Wacana adalah satuan (unit) perilaku yang direalisasikan oleh seperangkat ujaran, yang berhubungan dengan segala kejadian tutur yang dapat diidentifikasi, seperti percakapan, lelucon, khotbah dan wawancara (Crystal, 2001 : 118). Sebagai satuan perilaku wacana adalah wujud perilaku sosial. Sebagai penggunaan bahasa dalam komunikasi wacana dipandang sebagai bentuk praktik sosial (“Discourse is the use of language seen as a form of social practice”). Sebagai bentuk praktik sosial wacana mengimplikasikan tiga hal, yaitu bahasa sebagai bagian dari masyarakat, bahasa sebagai praktik sosial, dan bahasa sebagai proses yang dikondisikan secara sosial (Fairclough,1998:21-24). Wacana diasosiasikan dengan segala hal yang berkaitan dengan tindakan ‘bercakap-cakap’ (Paltridge,2000: 4). Penelitian ini difokuskan pada wacana lisan (wacana interaktif). Wacana lisan didefinisikan sebagai rangkaian ujar. Ujaran adalah kalimat yang diucapkan secara lisan. Dalam komunikasi lisan, ujaran sangat dipengaruhi oleh konteks (Brown dan Yule, 1983). Wacana lisan adalah wacana yang berwujud seperangkat ujaran yang berhubungan dengan segala kejadian tutur yang dapat diidentifikasi, seperti percakapan, lelucon, khotbah dan wawancara (Crystal, 2001:118). Wacana lisan adalah rangkaian kalimat yang ditranskrip dari rekaman bahasa lisan, 33 misalnya percakapan (dialog), khotbah (langsung), siaran langsung di radio atau TV (Sinclair dan Coulthard, 1975). Wacana adalah suatu bentuk pertukaran, dan bentuk teks yang paling dasar adalah percakapan. Pertukaran hanya terjadi dalam komunikasi lisan dimana para peserta tutur secara bergantian berbicara baik dengan maupun tanpa topik yang jelas (Halliday,1994). Percakapan adalah bentuk wacana interaktif. Wacana percakapan (dialogue discourse) adalah wacana yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung; sifatnya dua arah dan para partisipan berperan aktif dalam komunikasi sehingga disebut komunikasi interaktif (interactive communication). Wacana interaktif atau timbal-balik dihasilkan oleh orang-orang yang melibatkan diri dalam interaksi timbal-balik (Wijana, 2001:221 ; Sumarlam, et al, 2003:17). Analisis wacana (AW) tidak hanya mengkaji satuan lingual yang berupa struktur paragraf dan organisasi teks, tetapi juga pola-pola interaksi percakapan, seperti cara penutur membuka percakapan, menutup percakapan, dan berbagi giliran dalam percakapan. Pada setiap percakapan terdapat perbedaan pada pola pembukaan dan penutupan (Paltridge, 2000: 4 ; Purwoko, 2008:2-3). AW tidak hanya mengkaji strukturnya saja, melainkan juga bagaimana penggunaannya (fungsinya) dalam tindakan yang nyata (riil). AW tidak hanya sekedar menjelaskan sistem simbol verbal saja, tetapi yang terlebih penting dari itu adalah menjelaskan cara-cara masyarakat melaksanakan tindakan, sikap yang ditunjukkan pada saat melaksanakan tindakan, serta apa yang melatarbelakangi terjadinya setiap tindakan ; a mode of doing, being and becoming (Schifrin dalam 34 Aronoff dan Rees-Miller, 2001:428-429). AW adalah analisis bahasa yang melibatkan praktik sosial. AW identik dengan analisis tindak tutur (Schiffrin, 1994:41). Oleh karena itu, peran konteks dalam AW sangat penting (Aronoff dan Rees-Miller (2001:428-429). Wacana jual-beli di pasar tradisional dipahami sebagai (1) peristiwa tutur atau peristiwa penggunaan bahasa dalam suatu situasi komunikasi lisan, (2) peristiwa interaksi, (3) pemakaian bahasa dalam situasi sosial, (4) kesatuan ujaran dan tindakan, (5) proses komunikasi, (6) kerjasama yang bersifat konvensional, (7) aktivitas transaksi atau tawar menawar, (8) strategi mencapai sebuah kesepakatan, (9) proses penyesuaian-penyesuaian, (10) praktik sosial, dan (11) kegiatan-kegiatan dalam diri manusia yang tidak dapat diamati. Konteks sangat menentukan dalam memahami wacana. Konteks adalah satu lingkungan yang berpengaruh terhadap pembentukan wacana. Kalimat tidak dapat dipisahkan dari konteksnya. Jika kalimat dicabut dari konteksnya, maka akan lahir kalimat anomali. Ada kalimat-kalimat yang secara struktur benar, tetapi secara semantis tidaklah mungkin. Ada referen kalimat-kalimat yang tidak mungkin dijumpai dalam kenyataan. Ada banyak tuturan yang lazim dijumpai sebagai ungkapan metaforis (Leech,1986 : 4). Studi tata bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks (bebas konteks). Konteks mutlak diperlukan apabila fokus studi terkait dengan penggunaan tata bahasa dalam komunikasi yang nyata. Studi bahasa semacam ini dinamakan studi yang terikat konteks (context dependent). Kajian pragmatik berbeda dengan kajian tata bahasa yang memfokuskan pada studi seluk beluk bahasa secara internal. 35 Pragmatik adalah studi tentang bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi (Parker 1986 dalam Rahardi, 2005). Menurut Djajasudarma (2006) keseluruhan aspek yang berhubungan dengan situasi komunikasi dipahami sebagai konteks eksternal (nonlingual) yang dibedakan dari konteks internal (lingual). Konteks internal itu sebagai konteks tekstual dan konteks eksternal sebagai segala sesuatu yang terkait dengan situasi terjadinya tuturan. Wijana (1996) menyebut konteks eksternal itu sebagai konteks situasi tutur (speech situational context). Konteks merupakan salah satu kajian utama dalam analisis wacana. Analisis wacana sangat memperhatikan makna yang terkandung dalam kata-kata dalam proses interaksi, serta bagaimana para partisipan dapat mengkomunikasikan lebih banyak lagi informasi, melebihi yang terkandung dalam kata-kata yang mereka gunakan. Konteks yang digunakan untuk menganalisis suatu wacana dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (1) situational context ‘konteks situasi’, yaitu pengetahuan penutur terkait dengan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Konteks situasi adalah keadaan situasi fisik secara visual ; tempat berlangsungnya interaksi antara Pn dan Mt. (2) background knowledge context ‘konteks pengetahuan latar’, yaitu pengetahuan penutur tentang interlokutor dan juga tentang dunia. Konteks pengetahuan latar terdiri diri pengetahuan budaya dan pengetahuan interpersonal, dan (3) co-textual context atau yang biasa dikenal dengan ko-teks, yaitu pengetahuan penutur tentang apa yang dituturkannya (Cutting,2002: 3-9). Konteks pengetahuan latar terdiri dari (i) pengetahuan interpersonal dan (ii) pengetahuan budaya. Untuk dapat berbagi 36 konteks pengetahuan interpersonal dibutuhkan interaksi verbal atau pengalaman sebelumnya. Jika interlokutor berasal dari kelompok yang sama, mereka akan mengasumsikan pengetahuan yang sama tentang segala sesuatu yang mereka ketahui (Sperber dan Wilson dalam Cutting 2002: 5). Konteks adalah sebuah konstruksi psikologis, subset dari asumsi pendengar tentang “dunia” yang memengaruhi penafsiran tuturan. Sebuah konteks tidak terbatas pada informasi tentang lingkungan fisik atau tuturan, tetapi juga harapan tentang masa depan, hipotesis ilmiah, atau kepercayaan agama, kenangan anekdot, asumsi budaya umum, keyakinan tentang keadaan mental penutur, yang berperan dalam penafsiran (Sperber dan Wilson, 1986 : 16). Konsep ini jelas dalam pernyataannya berikut ini : “A context ist psychological construct, a subset of the hearer’s assumptions about the world. It is this assumptions, of course than the actual state of the world that affect the interpretation of the utterance. A context in these sense is not limited to information about the immediate physical environment or the immidiately preceding utterance ; expectation about the future, scientific hipotesis or religious beliefs, anecdotal memories, general culture assumptions, beliefs about the mental state of the speaker, may all play a role in interpretation” (dikutip dari Wijana, 1996). Konteks mencakup segala latar pengetahuan (any background knowledge) yang terkait dengan pertuturan ; dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, dan yang membantu penafsiran makna tuturan. Konteks juga mengacu pada halhal yang berkaitan dengan kebiasaan partisipan, adat istiadat, dan budaya masyarakat. Konteks dapat pula mengacu pada kondisi fisik, mental, pengetahuan yang ada di benak penutur maupun mitra tutur, serta waktu dan tempat (Leech, 1986). Konteks merupakan aspek yang sangat penting dalam analisis wacana 37 (AW), karena pada dasarnya yang dikaji dalam AW adalah pemakaian kata-kata di dalam konteks. Fokus AW adalah bagaimana menjelaskan makna berdasarkan tempat dan waktu ; dimana dan kapan kata-kata itu diucapkan, pengetahuan dunia fisik, sosial, serta faktor-faktor sosio-psikologis yang mempengaruhi komunikasi. (Yule 1996 dalam Cutting 2002). Konteks merupakan konsep yang dinamis dan bukan konsep yang statis. Oleh karena itu, konteks dipahami sebagai situasi yang selalu berubah, yang memungkinkan penutur dan mitra tutur dapat berinteraksi dalam suatu proses komunikasi. Ekspresi bahasa dalam suatu interaksi dapat dipahami dalam konteks (Mey, 2001: 39). Ihwal konteks Mey (1993:38) berpendapat bahwa konteks mencakup, (1) konteks yang bersifat sosial (social), yaitu konteks yang muncul akibat terjadinya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat dan budaya tertentu, (2) konteks yang bersifat sosietal (societal), yaitu konteks yang ditentukan oleh kedudukan (rank) anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial setempat. Konteks sosial itu muncul karena adanya solidaritas (solidarity). Sedangkan latar belakang munculnya konteks sosietal adalah kekuasaan (power). Wijana (1996:10-11) membedakan antara konteks tuturan dalam penelitian linguistik dan penelitian pragmatik. Konteks tuturan dalam penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik maupun setting sosial yang relevan dengan tuturan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial disebut konteks (context). Konteks pragmatik meliputi (1) konteks yang bersifat umum ; ada pada setiap masyarakat tutur, dan (2) konteks yang bersifat spesifik. Konteks yang pertama merupakan konteks 38 kebudayaan dan konteks yang kedua mengarah pada konteks pertuturan (konteks linguistik dan konteks fisik) atau yang dikenal dengan konteks situasi. Selanjutnya konteks pragmatik adalah konteks yang antara lain meliputi identitas partisipan, waktu, dan tempat peristiwa pertuturan. Konteks sosiokultural masyarakat pemakai bahasa merupakan faktor penting yang mendasari pemahaman makna satuan lingual. Konteks sosiokultural berisi konvensikonvensi sosial-budaya yang melatarbelakangi pembentukan wacana (Halliday, 1985a:505). Kedua konteks ini disebut sebagai konteks pertuturan (Levinson, 1983:5 ; Yule,1990:98-99 ; Van Dijk, 1976 :192, 1982). Kajian pragmatik adalah kajian makna dalam kaitannya dengan situasi tutur. Prasyarat yang diperlukan untuk melakukan analisis pragmatik atas tuturan, termasuk tuturan yang bermuatan implikatur percakapan (IP) adalah situasi ujar yang mendukung keberadaan suatu tuturan dalam percakapan. Situasi ujar meliputi unsur-unsur (1) penyapa dan pesapa (addressers or addressees), (2) konteks tuturan (the context of an utterance), (3) tujuan tuturan (the goals of an utterance), (4) tuturan sebagai bentuk tindakan ; tindak tutur (the utterance as a form of act or activity ; speech act), (5) tuturan sebagai produk tindak verbal (the utterance as a product of a verbal act), (6) waktu, dan (7) tempat (Leech, 1993:13). Bahasa, konteks, dan penafsiran (pemahaman) makna dalam pemakaian merupakan tiga aspek penting dalam kajian pragmatik (Levinson, 1983). Makna tuturan selalu harus dipahami dalam konteks, yaitu makna yang dihubungkan dengan situasi/kondisi tutur ; makna yang dipahami bukan sebagai sesuatu yang abstrak (Leech, 1986 ; Halliday,1994). 39 Menurut Hymes (dalam Renkema, 1993: 44) konteks wacana dibentuk oleh delapan unsuriv seperti yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa. Faktor-faktor yang terkait dengan konteks tutur, yang dipahami dalam penelitian ini adalah (1) latar belakang penutur dan mitra tutur (usia, gender, pendidikan, pekerjaan, status sosial, suku), (2) jumlah peserta tutur, (3) topik pembicaraan, (4). tempat dan waktu penuturan, (5) sarana tutur (bentuk bahasa : tulis atau lisan), (6) gaya tutur (jenis/tipe teks yang digunakan, seperti dongeng, iklan, khotbah, percakapan, (7) kode tutur, (8) jenis tuturan (standar atau dialek), (9) lingkungan tutur (formal atau informal, ramai atau sepi), (10) suasana tutur (santai atau serius), (11) adegan tutur, (12) hubungan penutur dan mitra tutur (akrab atau tidak akrab), (13) bentuk tuturan (langsung atau tidak langsung), (14) isyarat nonverbal, (15) maksud tuturan, (16) pengenalan/penilaian interpersonal (kondisi emosional, sifat/karakter, kebiasaan individual, dsbnya), (17) pengetahuan tentang kaidahkaidah interaksi, (18) pengetahuan tentang cara-cara pelaksanaan transaksi, dan (19) pengetahuan budaya (seperti kebiasaan-kebiasaan lokal/adat istiadat) (dikembangkan dari Hymes, 1972 dan Poedjosoedarmo, 1975). Contoh analisis konteks tutur dapat ditemukan pada lampiran 1. 1.8.2.2 Kode, Alih Kode, dan Fungsi Bahasa Ketika seseorang memulai untuk menuturkan atau mengatakan sesuatu, maka pada saat itu ia memilih kode, dialek, style, register, atau variasi yang akan digunakannya untuk berkomunikasi, dan itulah yang disebut kode. Kode adalah sebuah sistem yang digunakan untuk berkomunikasi antara dua penutur atau lebih 40 yang berupa sebuah dialek atau bahasa tertentu. Kode mengacu pada suatu sistem tutur yang dalam penerapannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur, dan situasi tutur. Setiap wacana atau teks bergantung pada repertoar-repertoar yang ditetapkan secara sosial, serta perangkat-perangkat pembeda genre (Wardaugh, 1988:99). Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai untuk berkomunikasi antaranggota suatu masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo,1978:30). Pilihan kode yang digunakan dalam suatu komunikasi dipengaruhi oleh konteks (Poedjosoedarmo & Wolff, 1982). Tingkatan-tingkatan sosial masyarakat memunculkan berbagai kode, dialek, style, register, atau variasi (Hudson,1980). Pemilihan bahasa dalam suatu komunikasi berhubungan dengan dimensi sosial, psikologis, dan budaya. Pilihan bahasa mencerminkan kaidah sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat. Kajian tentang pemilihan bahasa dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial, seperti masalah etnisitas, struktur sosial, stratifikasi sosial, jarak sosial, serta hubungan peran dalam masyarakat (Saville-Troike,1990). Untuk mengidentifikasi dan menjelaskan fenomena pemakaian bahasa dan variasi sosial atau regional dibutuhkan pengetahuan dasar linguistik secara umum, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik (Wardaugh,1988 ; Holmes,1995). Masyarakat Indonesia sebagian besar adalah masyarakat bilingual, namun secara individual setiap orang berbeda tingkat kemampuan/penguasaannya terhadap dua atau lebih bahasa yang diketahuinya (Poedjosoedarmo,1982). Masyarakat bilingual atau multilingual dihadapkan pada masalah untuk memilih 41 kode tertentu pada saat mereka berkomunikasi. Mereka mungkin juga memutuskan untuk berganti dari satu kode ke kode lain atau mencampur kodekode tersebut. Dalam masyarakat multibahasa terdapat bermacam-macam kode, antara lain dialek, sosiolek, serta gaya yang digunakan dalam berkomunikasi. Dengan adanya kode-kode tersebut, penutur dalam suatu lingkungan tutur akan menggunakan kode sesuai dengan faktor-faktor yang memengaruhinya dengan cara mengubah variasi penggunaan bahasanya. Dalam percakapan penutur mungkin juga memutuskan untuk berganti dari satu kode ke kode lain atau mencampur kode-kode tersebut (Wardhaugh,1988 : 99). Menurut pandangan sosiolinguistik, bilingualisme dipahami sebagai penggunaan dua bahasa secara bergantian oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain. Orang yang dapat menggunakan dua kode atau dua bahasa secara bergantian disebut sebagai seorang yang bilingual atau dwibahasawan. Selain bilingual terdapat pula istilah multilingual, yakni seorang yang mampu menggunakan lebih dari dua bahasa secara bergantian pada saat berkomunikasi dengan orang lain. Penggunaan dua kode atau dua bahasa secara bersamaan dalam komunikasi verbal disebut sebagai kedwibahasaan (bilingualism) (Fishman, 1975:73). Ada dua jenis dwibahasawan, yaitu dwibahasawan masyarakat dan dwibahasawan individual (Appel,1987). Kedwibahasaan (bilingualism) adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya atau hampir sama baiknya, yang secara teknis terkait dengan pengetahuan tentang dua bahasa bagaimanapun tingkatannya. Artinya, seorang dwibahasawan tidak perlu menguasai dua bahasa 42 dengan sama baiknya (Lado,1970). Haugen dalam Romaine (1995:1) berpendapat, jika penutur suatu bahasa dapat memproduksi ujaran lengkap yang bermakna dalam suatu bahasa yang lain dalam suatu peristiwa tutur, orang tersebut dapat disebut sebagai dwibahasawan. Penggunaan istilah bilingual atau dwibahasawan telah mencakup konsep keanekabahasaan. Jika suatu masyarakat memilih menggunakan dua kode (bahasa) yang berbeda yang menunjukkan adanya pemilahan atau perbedaan dalam penggunaan, dimana kode yang satu digunakan dalam situasi tertentu dan kode yang lainnya digunakan dalam situasi yang berbeda, maka pada saat itulah masyarakat berada pada situasi diglosik. Situasi diglosikv adalah suatu situasi yang menggambarkan tinggi-rendahnya penggunaan suatu kode (bahasa) dalam suatu masyarakat (Wardaugh,1988). Situasi diglosik adalah suatu situasi yang menggambarkan pembagian fungsi bahasa berdasarkan variasi-variasi yang tersedia, dimana satu variasi dipandang memiliki status yang lebih tinggi dibanding dengan variasi yang lain dan dipakai untuk penggunaan resmi/penggunaan publik, serta yang mempunyai ciri-ciri yang kompleks dan konserfatif. Sedangkan variasi yang lain digunakan dalam situasi yang tidak resmi dan strukuturnya disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan (Kridalaksana, 2011:50). Menurut Chaer dan Agustina (1995:111) munculnya diglosia, alih kode dan campur kode, interferensi, integrasi, konvergensi, serta pergeseran bahasa disebabkan oleh adanya kontak bahasa. Salah satu aspek penting dalam kedwibahasaan adalah fenomena alih kode. Alih kode adalah suatu gejala kebahasaan yang muncul ketika seorang 43 penutur menggunakan bahasa (variasi) yang berbeda dalam kesempatan yang berbeda (Hudson,1980:56). AK merupakan peristiwa terjadinya pergantian kode secara disadari atau disengaja yang disebabkan oleh faktor, antara lain bilingualism (kedwibahasaan), situasi formal, emosi, hubungan akrab, dan lainlain (Poedjosoedarmo, 1982). AK adalah peralihan dari satu kode ke kode yang lain. AK bisa berwujud alih ragam, alih gaya, alih varian, atau alih register (Suwito, 1985:68). Penggunaan variasi bahasa dalam masyarakat bahasa meliputi register, dialek, jargon, bilingualime, diglosia, alih kode, dan campur kode. Alih kode dan campur kode dalam percakapan mencerminkan soladaritas penutur (Pn) terhadap mitra tutur (Mt), pemilihan topik, serta jarak sosial dan budaya (Wardhaugh,1988:102). AK dan CK menujukkan sikap berbahasa dalam satu masyarakat bahasa. Sikap berbahasa akan berubah sesuai dengan topik pembicaraan, tempat, latar belakang/personalitas penutur, penilaian penutur terhadap mitra tutur, dan situasi dimana percakapan berlangsung (Ferguson, 1972:245). Masyarakat bilingual/multilingual dihadapkan pada masalah untuk memilih kode tertentu pada saat mereka berkomunikasi. Alih kode adalah alternatif penggunaan dua bahasa atau lebih dalam percakapan atau ujaran dan tidak ditentukan oleh panjangnya suatu ujaran ; bisa dalam bentuk kata, frasa, atau kalimat (Grosjean,1982). Setiap masyarakat tutur memiliki kekayaan bahasa yang menyatakan bahwa bahasa itu hidup dalam masyarakat dan digunakan untuk menyatakan bermacam-macam peran sosial. Peran sosial itu berkaitan dengan berbagai aspek 44 sosial psikologis. Aspek-aspek yang dimaksud dapat dipahami pada rangkaian O,O,E MAU BICARA (Poedjosoedarmo, 1982). Rangkaian ini dapat dipahami sebagai aspek-aspek tutur, yang dikenal juga sebagai komponen-komponen tutur atau komponen komunikasivi. Pemilihan kode dalam suatu peristiwa tutur ditentukan oleh delapan faktor yang dikenal dalam teori etnografi komunikasi (ethnography of communication) sebagai komponen komunikasi. Kedelapan faktor tersebut dikenal dengan akronim SPEAKING. Kedelapan faktor ini dapat mempengaruhi penggunaan bahasa, (Dell Hymes, 1973 ; Poedjosoedarmo & Wollf, 1982 ; Poedjosoedarmo, 1985 ; Halliday & Hasan, 1992). Situasi penggunaan bahasa mengharuskan penutur menggunakan bahasa sesuai dengan fungsinya. Penggunaan bahasa selalu menunjuk pada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam masyarakat. Fungsi bahasa dapat diartikan sebagai cara bagaimana penutur menggunakan bahasa atau beberapa bahasa (jika ia mengetahui lebih dari satu bahasa. Menurut Halliday (1987:15) fungsi bahasa itu dapat dibedakan menjadi (1) fungsi transaksional, yaitu fungsi bahasa untuk mengungkapkan isi, dan (2) fungsi interaksional, yaitu fungsi bahasa yang terkait dengan pengungkapan hubungan-hubungan sosial dan sikap-sikap pribadi. Kedua fungsi ini dapat mengungkap untuk apa bahasa itu digunakan. Bahasa dalam wacana mengemban tiga fungsi sekaligus, yaitu (1) fungsi ideasional, yaitu merepresentasikan pengalaman dan dunia, (2) fungsi interpersonal, yaitu membentuk interaksi sosial antara partisipan dalam wacana, serta (3) fungsi 45 tekstual, yaitu mengaitkan teks dengan konteks situasional (Brown dan Yule, 1983 ; Fairclough, 1998:6). Analisis wacana tidak dapat dipisahkan dari fungsi bahasa. Fungsi bahasa dapat dipahami atas dasar tujuan seseorang berkomunikasi (Brown dan Yule, 1996:1). Bahasa tidak saja berfungsi sebagai alat komunikasi yang luar biasa kuatnya, tetapi juga berfungsi sebagai “sebuah alat pemikiran” yang dapat disamakan dengan pandangan populer tentang bahasa, yaitu sebagai kendaraan yang digunakan oleh ide-ide (Leech,1993:88). 1.8.2.3 Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur Peristiwa tutur (speech event) adalah peristiwa terjadinya interaksi linguistik yang direalisasikan dalam wujud tuturan, yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan mitra tutur dengan topik tuturan yang jelas, dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Dalam pandangan sosiolinguistik sebuah percakapan dapat disebut sebagai peristiwa tutur, jika memenuhi persyaratan sebagaimana yang dapat ditemukan dalam akronim SPEAKING (Hymes, 1974 ; Wardaugh, 1988). Peristiwa tutur adalah peristiwa sosial, sedangkan tindak tutur (speech act) adalah gejala individual yang melibatkan kondisi psikologis. Kelangsungan tindak tutur ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi suatu situasi (Chaer dan Leonie,1995 : 65 ; Suwito,1983 : 33). Kalau dalam kajian peristiwa tutur yang lebih difokuskan adalah tujuan peristiwa, maka dalam tindak tutur yang lebih difokuskan adalah makna tuturan. Peristiwa tutur dan tindak tutur adalah dua gejala yang terdapat dalam satu proses, 46 yakni proses komunikasi (Hymes, 1972, 1973 ; Suwito, 1983 ; Chaer dan Leonie, 1995). Tindak tutur adalah peristiwa tutur (speech event), yaitu suatu kegiatan komunikasi/interaksi dengan menggunakan bahasa (tutur) dan yang melibatkan cara-cara konvensional untuk mencapai tujuan/hasil (Yule, 2006). Tindak tutur atau tindak bahasa adalah bagian dari peristiwa tutur (speech event) yang merupakan fenomena aktual dalam situasi tutur (Rohmadi, 2004 : 7). Penggunaan bahasa yang berkaitan dengan kemampuan komunikatif tidak hanya melibatkan kemampuan penguasaan gramatika (struktur) dan leksikon saja, tetapi juga melibatkan kemampuan mengekspresikan tindak-tindak tutur, seperti memberi salam, memberi komplimen (pujian), meminta maaf, menyampaikan keluhan, menyampaikan undangan, serta bagaimana menginterpretasikan dan meresponsnya. Sebagian besar ujaran dapat dipahami sebagai pernyataan beberapa tindak tutur sekaligus. Demikian pula halnya dengan percakapan tidak terdiri dari tindak tutur tunggal, tetapi terdiri dari tindak tutur yang multifungsi (Wolfson, 1983:61). Semua komunikasi bahasa melibatkan tindak. Suatu komunikasi bahasa tidak hanya didukung oleh simbol (kata atau kalimat), tetapi juga produksi simbol dalam mewujudkan tindak tutur. Produksi kalimat pada kondisi-kondisi tertentu merupakan tindak tutur, dan tuturan adalah unit minimal komunikasi bahasa (Searle,1976:16). Setiap tutur atau ujar (speech) yang dihasilkan oleh penutur merupakan wujud “tindakan” yang sedang dilaksanakan oleh penutur (Austin,1962:98-99 ; Leech,1993:19-21 ; Levinson, 1983). Selain berfungsi untuk menyampaikan/menginformasikan sesuatu, tindak tutur juga dapat digunakan untuk melakukan sesuatu yang lain, misalnya untuk 47 memerintah, mengingatkan, berjanji, memberi solusi (Austin, 1962:94 ; Searle dalam Parker, 1986:15 ; Wijana, 1996:18). Pada dasarnya ketika seseorang mengatakan sesuatu maka pada saat itu ia juga melakukan sesuatu. Tindak tutur (speech act) adalah menuturkan sebuah kalimat yang dilihat sebagai melakukan sebuah tindakan, di samping memang penutur mengucapkan kalimat itu secara nyata. Pada saat seseorang menggunakan kata-kata seperti promize ‘berjanji’ (I promize I will come on time ‘saya berjanji saya akan datang tepat waktu’), dan apologize ‘minta maaf’ (I apologize for coming late ‘saya minta maaf karena datang terlambat’), maka penutur tidak hanya mengujarkan/mengucapkan tetapi juga melakukan tindakan berjanji dan meminta maaf. Tuturan ini disebut sebagai tuturan performatif dan kata kerjanya juga disebut kata kerja performatif. Ihwal tindak tutur Austin berpendapat bahwa ada ribuan kata kerja dalam bahasa Inggris yang menandai tindak tutur, tetapi tindak tutur tidak persis sama dengan apa yang digambarkan oleh setiap kata kerja (Austin dalam Gunarwan, 1994:43). Klasifikasi tindak tutur versi Austin (verdikatif, eksersitif, komisif, behabit, dan ekspositif) yang hanya cenderung melihat kata kerja dalam bahasa Inggris saja, tampaknya memiliki kelemahan. Alasannya situasi yang berbeda menuntut penggunaan kata-kata kerja yang berbeda dan derajat sopan santun yang berbeda pula (Leech,1986:176). Tindak tutur adalah tindak melakukan sesuatu yang diwujudkan dalam tuturan. Tuturan yang digunakan untuk melakukan sesuatu disebut tuturan performatif. Sebaliknya tuturan yang digunakan untuk mengatakan sesuatu disebut tuturan konstatif (Austin 1962:4 dalam Wijana, 1996:23). Dalam tuturan 48 performatif terdapat parameter validitas tuturan. Validitas tuturan performatif tergantung pada terpenuhinya beberapa syarat validitas (sahih atau tidak sahih) yang disebut kondisi felisitas (falicity conditions). Syarat-syarat itu mencakup (1) orang yang mengutarakan tuturan dan situasi pengutaraan tuturan harus sesuai, (2) tindakan harus dilakukan secara bersungguh-sungguh oleh penutur dan mitra tutur, dan (3) Pn dan Mt harus memiliki niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan tindakannya (Austin dalam Wijana, 1996:24). Tuturan performatif harus memenuhi lima syarat, yaitu (1) penutur harus memiliki niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan tindakannya, (2) Pn harus melakukan tindakannya secara bersungguh-sungguh, (3) Pn harus berkeyakinan bahwa ia sanggup melakukan tindakan itu, (4) Pn harus memprediksi tindakan yang akan dilakukan, bukan tindakan yang sudah dilakukan, (5) Pn harus memprediksi tindakan yang dilakukannya sendiri, bukan yang dilakukan orang lain (Wijana, 1996:25-26). Searle dalam bukunya Speech Acts : An Essay in The Philosophy of Language (1976) mengemukakan bahwa penutur setidaknya dapat melakukan tiga jenis tindakan dalam tuturannya, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu (the act of saying something). Tindak lokusi adalah tindak mengucapkan sesuatu dengan kata yang maknanya sesuai dengan makna kata di dalam kamus dan makna sintaktis (makna berdasarkan aturan sintaksis). Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu tanpa memperluas makna harafiah. Tindak lokusi adalah tindak yang tidak 49 mementingkan maksud dan fungsi tuturan (Austin dalam Wijana, 1996:17). Tindak lokusi relatif mudah diidentifikasi karena tidak perlu melibatkan konteks tutur atau konteks situasi. Dalam konteks pragmatik peran tindak lokusi tidak begitu penting dalam pemahaman tindak tutur (Parker, 1986 : 15). Menuturkan atau mengucapkan sesuatu identik dengan melakukan sesuatu tindakan. Sebuah tuturan tidak saja berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, tetapi dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu tindakan. Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu (the act of doing something) yang didasarkan pada “maksud”. Tindak ilokusi adalah tindak yang mementingkan “fungsi” (untuk apa ujaran itu dilakukan). Selanjutnya, tindak perlokusi adalah tindak tutur yang bermaksud memengaruhi seseorang (the act of affecting someone). Tindak perlokusi adalah tindak yang memiliki daya pengaruh (perlocutionary force) atau tindak yang memiliki efek atau dampak pada seseorang. Tindak tutur ini mencerminkan reaksi Mt terhadap apa yang dikatakan oleh Pn (Austin dalam Wijana, 1996:17 ; Searle dalam Wijana dan Rohmadi, 2009 : 20-24). Tindak tutur itu dapat dibedakan menjadi (1) tindak tutur (utterance act), yaitu tindak mengujarkan kata-kata atau morfem, (2) tindak proporsional (propositional act), yaitu tindak menuturkan kalimat, (3) tindak ilokusi (illocutionary act), yaitu tindak menuturkan kalimat yang sudah disertai tanggung jawab untuk melakukan suatu tindakan, dan (4) tindak perlokusi (perlocutionary act), yaitu tindak tutur yang mengharuskan mitra tutur melakukan suatu tindakan tertentu (Searle, 1976). 50 Bahasa atau tutur dapat dipakai untuk melakukan suatu kejadian, karena pada umumnya tuturan yang dipandang sebagai tindak tutur itu memiliki daya atau kekuatan (force). Tindak tutur dapat dibedakan berdasarkan daya atau kekuatan pengaruhnya, yaitu daya lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Daya lokusi adalah daya makna dasar (makna harafiah) dan makna yang diacu oleh sebuah ujaran (referensi). Daya ilokusi adalah daya dari tindakan yang dilakukan penutur dalam tuturannya, seperti memerintah, menguji, mengejek, mengeluh, berjanji, dsbnya (Searle,1976). Secara kondisional beberapa tuturan dapat memiliki daya ilokusi yang menimbulkan efek perlokusi, seperti menyuruh, mendesak, menyarankan, meyakinkan, mengancam atau memprotes (yang juga dapat bermakna memarahi) (Levinson,1983). Selanjutnya daya perlokusi adalah daya pengaruh (efek) tuturan yang dibuat oleh penutur, yang dilakukan Pn secara sengaja atau tidak sengaja (Wijana dan Rohmadi, 2009 : 23), yang dapat mempengaruhi Mt dalam bertindak. Daya perlokusi adalah daya tuturan yang mempengaruhi, baik yang nyata maupun yang diharapkan oleh Mt (Austin dalam May,1996). Misalnya daya perlokusi yang ditimbulkan oleh tuturan yang mengandung makna perintah, ejekan, keluhan, janji, dsbnya (Searle,1976). Mengacu pada pemikiran Austin, Searle kemudian mengembangkan teori tindak tuturnya yang didasarkan pada pandangannya bahwa semua komunikasi bahasa melibatkan tindak. Suatu komunikasi bahasa tidak hanya didukung oleh simbol (kata atau kalimat), tetapi juga produksi simbol dalam mewujudkan tindak tutur. Produksi kalimat pada kondisi-kondisi tertentu merupakan tindak tutur, dan 51 tuturan adalah unit minimal komunikasi bahasa (Searle,1976:16). Apabila dikaitkan dengan sopan santun tindak tutur itu dapat diklasifikasikan ke dalam (1). Asertif (assertives) atau representatifvii, yaitu tindak tutur yang berfungsi memberitahu tentang sesuatu. Pada tindak ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran proposisi yang dinyatakannya, seperti mengatakan, menyatakan, mengusulkan, membuat, meminta, mempertahankan, mengeluh, mengemukakan pendapat, mengeluh, dan melaporkan. (2). Direktif (direktives), yaitu tindak tutur yang berfungsi membuat mitra tutur melakukan sesuatu. Tindak direktif bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang akan dilakukan oleh penutur, seperti menyarankan, menolak, memesan, memerintah, memohon, menuntut, dan memberi nasihat. (3). Komisif (commissives), yaitu tindak tutur yang berfungsi menyatakan sesuatu yang akan dilakukan penutur. Pada tindak ini penutur setidaknya terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya berjanji, mengancam, menawarkan. Daya pragmatis tindak tutur ini berhubungan dengan efek yang ditimbulkan oleh tuturan yang mempengaruhi mitra tutur. Tindak komisif cenderung berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif, karena tidak mengacu pada kepentingan penutur, tetapi kepentingan mitra tutur. (4). Ekspresif (ekspresive), yaitu tindak tutur yang berfungsi mengekspresikan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, yang tersirat dalam ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, mengucapkan belasungkawa, menyesali, meminta maaf, mengecam, memuji. (5). Deklaratif (declaration), yaitu tindak tutur yang berfungsi menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan, misalnya ketika kita mengundurkan 52 diri dengan mengatakan ”saya mengundurkan diri”, memecat seseorang dengan mengatakan “anda saya pecat’, memberi nama, menjatuhkan hukuman, membaptis, mengucilkan/membuang, mengangkat, dan sebagainya. Keberhasilan pelaksanaan tindak ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara proposisi dengan realitas (Searle dalam Leech, 1993 ; Yule, 2006 : 92-95 ; Dardjowidjojo, 2003 : 95). Klasifikasi tindak tutur model Searle ini didasarkan pada penilaian pendengar (Pnd), karena menurutnya tujuan pembicara (Pmb) sukar diteliti, sedangkan interpretasi Pnd atau mitra tutur (Mt) mudah dikenali dari reaksi-reaksinya terhadap apa yang dikatakan Pmb atau penutur (Pn). Meskipun menurut (Searle,1976:1) efek perlokusi itu dapat dilihat (nyata) pada mitra tutur, namun kadang-kadang juga efek itu tidak terlihat. Tindak tutur adalah salah satu satuan analisis yang penting di dalam kajian pragmatik. Dalam kajian pragmatik tuturan dipahami sebagai wujud tindak tutur itu sendiri dan merupakan produk tindak verbal (Austin,1962:98-99 ; Leech,1993:19-21). Satuan analisis pragmatik bukanlah kalimat melainkan tindak tutur (Levinson,1983). Analisis wacana dapat disamakan dengan analisis tindak tutur (discource as utterances) (Schiffrin,1994:41). Dalam percakapan setiap tindak tutur berisi informasi atau pesan. Dalam melaksanakan tindak tutur penutur perlu memahami kaidah-kaidah komunikasi yang berlaku dalam masyarakatnya. Konvensi-konvensi yang berkaitan dengan tindak tutur pada setiap budaya berbeda-beda. Misalnya dalam hal mengekspresikan kepercayaan pribadi dalam budaya tertentu dilakukan dengan sederhana dan dinyatakan dengan sangat hati-hati. Sebaliknya dalam budaya 53 tertentu lainnya permintaan atau kritikan dianggap sebagai ancaman (Richards dan Schmidt, 1989). Sebuah tindak tutur dapat mengancam wajah, dan tindak tutur yang demikian itu disebut sebagai face-threatening act (FTA). Untuk meminimalisasi kekerasan ancaman pada wajah maka di dalam berkomunikasi maksim-maksim Grice tidak selalu harus dipatuhi. Untuk itu diperlukan sopan santun dalam berbahasa (Brown dan Levinson,1987:101-113). Penilaian derajat kesantunan tindak tutur tidak dapat dilepaskan dari kaidah-kaidah sosial yang berhubungan dengan pemakaian bahasa dan hasil pemilihan strategi komunikasi (Sumarlam, 2003:37). Tindak tutur dapat dibedakan menjadi (1) tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, (2) tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, (3) tindak tutur langsung literal dan tindak tutur tidak langsung literal dan (4) tindak tutur langsung tidak literal dan tindak tutur tidak langsung tidak literal (Wijana dan Rohmadi, 1996). 1.8.2.4 Prinsip Kerjasama dan Prinsip Kesantunan Dalam melaksanakan sebuah percakapan ada prinsip-prinsip yang harus ditaati. Prinsip-prinsip umum percakapan adalah prinsip-prinsip kooperatif (The Co-operative Principles) atau prinsip kerjasama (Grice,1975 dalam Cruse, 2000:355-367). Prinsip-prinsip umum percakapan merupakan prinsip-prinsip pertuturan yang berisi kaidah-kaidah tutur dalam percakapan. Prinsip-prinsip pertuturan meliputi prinsip kerjasama (PK) dan prinsip kesantunan atau prinsip sopan santun (PS). 54 Untuk menghindari hal-hal yang berdampak pada kegagalan komunikasi dalam sebuah percakapan Grice (1975: 45-47) mengemukakan empat jenis maksimviii. Maksim-maksim ini berfungsi sebagai penuntun (guidelines) dalam bertutur. Keempat maksim ini mengatur tentang pelaksanaan prinsip-prinsip kerjasama (PK). Keempat maksim Grice tersebut adalah (1) maksim kuantitas (maxim of quantity), (2) maksim kualitas (maxim of quality), (3) maksim relevansi (maxim of relevance), dan (4) maksim cara atau maksim pelaksanaan (maxim of manner). Dari segi kuantitas penutur diwajibkan memberikan jumlah informasi yang dibutuhkan, dan tidak memberikan melebihi yang dibutuhkan. Sedangkan, dari segi kualitas penutur diwajibkan untuk memberikan informasi yang benar ; yang didasarkan pada bukti-bukti yang memadai, atau mengatakan hal yang sebenarnya ; mengatakan sesuatu yang diyakini benar atau tidak mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan. Dari segi relevansi atau hubungan penutur diwajibkan memberikan kontribusi atau mengatakan sesuatu yang ada relevansinya dengan masalah yang sedang dibicarakan. Selanjutnya dari segi cara atau pelaksanaan penutur diwajibkan menghasilkan tuturan yang mudah dimengerti, menghindari pernyataan yang samar, ambigu, panjang dan berbelitbelit atau bertele-tele. Penutur diwajibkan berbicara langsung dan jelas. PK itu mengatur tentang pemberian kontribusi yang informatif, benar dan relevan, serta penghindaran terhadap pemakaian ungkapan-ungkapan yang ambigu. PK mengatur tentang bagaimana melaksanakan percakapan yang ideal, yaitu berikan kontribusi seperti yang dibutuhkan pada tingkat dimana hal itu terjadi, sesuai dengan tujuan/arah pertukaran pembicaraan dimana seseorang 55 terlibat di dalamnya. PK diperlukan untuk memperlancar jalannya sebuah interaksi atau tercapainya tujuan-tujuan dalam sebuah percakapan (Levinson, 1983:101). Namun demikian, dalam komunikasi yang sebenarnya (komunikasi langsung/tatap muka) penutur sering tidak mematuhi prinsip kerjasama yang diusulkan Grice (Leech, 1986 ; Wijana, 1996 ; Brown dan Levinson, 1987, dan Fraser, 1978, 1990, 1998). Dalam praktik komunikasi percakapan melebihi pertukaran informasi. Ketika dua orang atau lebih terlibat dalam suatu percakapan maka pada saat itu mereka berbagi prinsip-prinsip umum yang memungkinkan mereka dapat saling memahami ujaran-ujaran yang dihasilkan. Suatu komunikasi dikatakan berhasil apabila mitra tutur dapat menangkap apa yang dimaksudkan oleh penutur dalam tuturannya. Keberhasilan komunikasi tidak ditentukan oleh pengertian Mt tentang makna linguistik dari tuturan Pn (Sperber dan Wilson, 1986:23). Untuk kelancaran suatu interaksi peserta tutur perlu melakukan kerjasama (Wijana,1996:46-52). Untuk dapat menerapkan kerjasama dibutuhkan sepuluh langkah yang dapat memberikan isyarat kepada mitra tutur tentang maksud yang ada di balik tuturan penutur (Searle,1976:61-62)ix. Selanjutnya ihwal kesantunan, Leech (1986) mendasarkan prinsip kesantunan (politeness principle) itu pada empat nosi, yaitu (1) biaya (cost) dan keuntungan (benefit), (2) persetujuan (agreement), (3) pujian (approbation), dan (4) simpati – antipati. Kemudian keempat nosi ini dijabarkan oleh Leech (1986 : 119, 206-207) ke dalam enam maksim, yaitu (1) maksim kebijaksanaan (tact maxim) : minimize cost to other - maximize benefit to other artinya ‘minimalkan 56 kerugian orang lain atau maksimalkan keuntungan bagi orang lain, (2) maksim kemurahan hati (generosity maxim) : minimize benefit to self - maximize cost to self artinya ‘minimalkan keuntungan diri sendiri atau maksimalkan kerugian diri sendiri, (3) maksim penerimaan (approbation maxim) : minimize dispraise maximize praise of other artinya ‘minimalkan tidak memuji orang lain atau maksimalkan pujian untuk orang lain’. (4) maksim kerendahan hati (modesty maxim) : minimize praise of self - maximize dispraise of self artinya ‘minimalkan rasa hormat pada diri sendiri atau maksimalkan rasa tidak hormat pada diri sendiri’, (5) maksim kecocokan (agreement maxim) : minimize disagreement between self and other - maximize agreement between self and other artinya ‘minimalkan ketidakcocokan antara diri sendiri dan orang lain atau maksimalkan kecocokan antara diri sendiri dan orang lain, dan (6) maksim kesimpatian (sympathy maxim) : minimize antiphaty between self and other - maximize symphaty between self and other artinya ‘minimalkan rasa antipati diantara diri sendiri dan orang lain atau maksimalkan simpati diantara diri sendiri dan orang lain’ (lih. Wijana, 1996 ; Gunarwan, 1992:179-201). Menurut Leech maksim kebijaksanaan (tact maxim) direalisasikan oleh tuturan direktif, imposif dan komisif. Tuturan komisif dan imposif mewakili tindak ilokusi deklaratif, ekspresif, direktif, asertif dan komisif. Tindakan direktif atau imposif bertujuan menimbulkan pengaruh (efek) pada mitra tutur, seperti yang tampak melalui verba memohon, meminta, menyuruh, memerintah, menasehati, menyarankan, menganjurkan, serta memesan. Sedangkan, tuturan komisif menyatakan tindakan yang akan datang, seperti menawarkan, 57 menjanjikan, bersumpah, serta memanjatkan doa (lih.Tarigan, 1986:47-48). Maksim kemurahan hati (generosity maxim) diwujudkan dengan tuturan ekspresif dan asertif yang menyatakan tindak ilokusi mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, menyampaikan ungkapan belasungkawa, dan sebagainya. Tuturan yang melibatkan kebenaran proposisi, seperti yang terwujud dalam tindakan menyatakan, mengeluh, menyarankan, melaporkan, dan sebagainya diklasifikasikan sebagai tuturan asertif. Dalam menyampaikan tuturan asertif penutur harus mempertimbangkan kesopanan dalam penyampaian, termasuk di dalamnya kesopanan dalam menyatakan pendapat dan mengungkapkan perasaan. Maksim kemurahan hati fokusnya pada orang lain. Selanjutnya maksim penerimaan (approbation maxim) direalisasikan dengan tuturan komisif dan imposif, sedangkan maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim) dan maksim kesimpatisan (sympathy maxim) dinyatakan dengan tuturan ekspresif dan asertif. Maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Leech (1993) berpendapat bahwa setiap unsur maksim interpersonal (interpersonal maxim) memiliki skala yang berfungsi menentukan peringkat kesantunan tuturan. Kesantunan menurut Leech (1993:123-126) dilihat berdasarkan skala biaya-manfaat : mewakili biaya atau manfaat tindakan pada pembicara dan pendengar, skala pilihan : menunjukkan derajat pilihan yang diizinkan untuk pembicara/pendengar oleh tindakan linguistik tertentu, skala ketidaklangsungan : menunjukkan jumlah inferensi yang diperlukan oleh pendengar untuk menetapkan makna yang dimaksud pembicara, skala otoritas : mewakili hubungan status antara pembicara dan pendengar, dan 58 skala jarak sosial : menunjukkan tingkat keakraban antara pembicara dan pendengar. Ihwal kesantunan Leech membedakan tata krama dan sopan santun. Tata krama mengacu pada tujuan, sedangkan sopan santun mengacu pada perilaku lainnya untuk mencapai tujuan. Prinsip sopan santun diperlukan untuk memperlembut sifat tidak sopan, yang secara intrinsik terkandung dalam tujuan tindak kompetitif. Menurut Leech (1986:10-11) prinsip sopan santun (PS) dapat digunakan untuk menjelaskan PK, sekaligus sebagai pelengkap PK. Namun demikian, Leech juga mengakui bahwa kesalahpahaman dalam percakapan dapat terjadi, karena PK dan PS itu tidak bersifat universal. Pada setiap budaya terdapat perbedaan dalam menentukan derajat dimana anggota masyarakat diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip (atau salah satu diantaranya). Pada beberapa kasus justru tuntutan penyesuaian terhadap PK tidak diharapkan atau bahkan dianggap sebagai suatu tingkah laku yang aneh. Penentuan tingkat kesantunan sebuah tuturan pada setiap budaya berbeda-beda (Keenan,1976: 69). Kesantunan itu terkait dengan tindakan penyelamatan wajah (face-saving). Mengingat ada dua sisi wajah yang dapat terancam, yaitu wajah positif dan wajah negative maka kesantunan itu perlu dipertimbangkan pula dari dua sisi, yakni kesantunan positif (untuk menjamin sisi wajah positif) dan kesantunan negatif (untuk menjamin sisi wajah negatif). Kesantunan yang diarahkan pada wajah positif Mt disebut kesantunan positif (positive politeness), sedangkan kesantunan yang diarahkan pada wajah negatif Mt disebut kesantunan negatif (negative politeness). Kesantunan positif diarahkan terhadap wajah positif Mt, yaitu kesan 59 positif yang dianggap Pn dimiliki oleh Mt. Kesantunan positif adalah pendekatan yang menanamkan kesan pada wajah Mt bahwa pada hal-hal tertentu Pn juga punya keinginan yang sama dengan Mt. Untuk hal itu Pn memperlakukan Mt sebagai seorang teman yang keinginannya diketahui dan kepribadiannya disukai. Selanjutnyanya kesantunan negatif adalah upaya Pn untuk menyelamatkan sebagian wajah negatif Mt, yaitu keinginan dasar Mt untuk mempertahankan sesuatu yang dianggap wilayah atau keyakinan dirinya. Pada dasarnya pelaksanaan strategi kesantunan negatif mengandung jaminan pada Mt bahwa Pn mengakui dan menghormati keinginan wajah negatif Mt dan tidak akan (atau hanya akan sesedikit mungkin) mencampuri atau menghambat kebebasan bertindak Mt. Dalam komunikasi interpersonal wajah seseorang selalu berada dalam keadaan terancam (face-treathened). Oleh sebab itu, untuk penyelamatan wajah maka dalam kegiatan bercakap-cakap perlu menerapkan prinsip kesantunan. Tindakan penyelamatan wajah (TPW) adalah tindakan Pn yang berusaha untuk mengurangi rasa kurang senang Mt yang diakibatkan oleh tindakan yang kurang menyenangkan yang dilakukan Pn. TPW dapat dilakukan oleh Pn dengan cara merekayasa tuturan sedemikian rupa (merubah/menambah) agar dapat menunjukkan dengan jelas kepada Mt bahwa Pn tidak bermaksud melakukan tindakan yang kurang menyenangkan. TPW dapat diwujudkan dalam dua bentuk tergantung aspek wajah yang mana yang ditekankan, wajah positif atau wajah negatif. Wajah positif mengacu ke citra diri setiap orang yang selalu ingin dihargai dan diakui atas segala sesuatu yang ia 60 lakukan dan yang ia miliki, atau terhadap nilai-nilai yang ia yakini sebagai suatu hal yang baik dan menyenangkan. Sebaliknya wajah negatif mengacu ke citra diri setiap orang yang secara rasional menginginkan agar ia dihargai dengan cara memberinya kebebasan bertindak, atau bebas mengerjakan sesuatu. Pada prinsipnya TPW adalah tindakan kesantunan yang bertujuan untuk mengurangi akibat yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh Pn terhadap wajah Mt, baik wajah positif maupun wajah negatif (Brown dan Levinson,1987). Beberapa tindak tutur dapat mengancam wajah mitra tutur. Oleh karena itu, dalam melaksanakan sebuah tindak tutur penutur perlu mempertimbangkan derajat keterancaman tindak tutur itu, sebelum melaksanakannya. Untuk menghindari konflik diantara para peserta tutur perlu mengupayakan kesantunan dalam penggunaan direktif (yang termasuk ke dalam kesantunan negatif). Setidaknya ada tiga skala pengukur peringkat kesantunan sebuah tuturan, yaitu (1) jarak sosial antara pembicara dan pendengar, (2) perbedaan dominasi di antara keduanya, dan (3) status relatif tindak tutur di dalam kebudayaan yang bersangkutan. Ketiga skala ini ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural (Brown and Levinson, 1987:74). Ditinjau dari peringkat/derajat kesantunan maka bentuk-bentuk strategi yang dapat digunakan dalam kesantunan negatif, adalah (1) gunakanlah ujaran tak langsung (yang digunakan secara konvensional oleh masyarakat setempat), seperti “Bolehkah saya minta tolong Ibu mengambil buku itu ?”, (2) gunakanlah pagar (hedge), seperti “sejak tadi saya bertanya-tanya dalam hati apakah bapak mau menolong saya”, (3) nyatakan secara pesimis, seperti “saya ingin minta tolong, 61 tetapi saya takut bapak tidak mau”, (4) minimalkan paksaan, seperti “boleh saya mengganggu sebentar ?”, (5) nyatakan rasa hormat, seperti “saya memohon bantuan ibu, karena saya tau ibu selalu berkenan membantu orang”, (6) mintalah maaf, seperti “sebelumnya saya minta maaf atas keterlanjuran saya ini, tetapi.......”, (7) pakailah bentuk impersonal (yaitu tidak menyebutkan penutur dan pendengar), seperti “kelihatannya komputer ini perlu dipindahkan”, dan (8) gunakan ujaran sebagaimana ketentuan yang berlaku secara umum, seperti “penumpang tidak dibenarkan merokok di dalam bus” (Brown and Levinson, 1987). Dalam menyampaikan sebuah tuturan penutur dihadapkan pada dua pilihan, yaitu menjamin perasaan atau melukai perasaan mitra tutur. Misalnya ketika Pn memutuskan untuk menolak permintaan Mt. Itu berarti Pn memutuskan melukai perasaan Mt. Untuk melakukan suatu tindakan dalam tuturan Pn dapat membuat tuturannya secara off record atau secara on record. Tuturan off record adalah tuturan yang menyatakan bahwa Pn tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya dalam tuturan. Tuturan semacam ini biasanya dapat memunculkan multi tafsir. Maksud tuturan semacam ini agar Pn tidak dianggap bertanggung jawab sepenuhnya terhadap tujuan yang terkandung dalam tuturannya, seperti menolak. Pelaksanaan tuturan secara off record meliputi penggunaan metafor dan ironi, pertanyaan retoris, penyederhanaan masalah, tautologi, dan semua ungkapan yang dinyatakan secara tidak langsung. Sebaliknya tuturan secara on record adalah tuturan yang menyatakan bahwa Pn bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya dalam tuturan. Tujuan dari 62 tuturan semacam ini dipahami oleh mitra tutur secara jelas, yaitu hanya ada satu tujuan. Misalnya, ketika penutur berjanji untuk melakukan sesuatu dan hal itu dipahami oleh Mt bahwa Pn ingin bertanggung jawab untuk merealisasikan tindakannya itu (Yule, 2006:65-66). Untuk menghasilkan tuturan yang sifatnya on record Pn diperhadapkan pada dua pilihan, yaitu (1) Pn membuat tuturan secara lugas tanpa mempertimbangkan “wajah” Mt (baldly without redress) atau (2) Pn membuat tuturan yang mempertimbangkan wajah Mt atau Pn melakukan tindakan yang dapat mengurangi rasa kurang senang pada Mt (redressive action). Tindakan yang dapat mengurangi rasa kurang senang pada Mt itu dapat berbentuk kesantunan positif atau kesantunan negatif. (Yule, 2006). Selanjutnya berdasarkan beberapa pertimbangan penutur memilih strategi. Bentuk strategi tergantung pada pemilihan jenis kesantunannya, apakah kesantunan positif (kesatunan afirmatif) atau kesantunan negatif (kesantunan deferensial). Strategi kesantunan berkisar antara penghindaran terhadap tindakan mengancam wajah sampai pada berbagai macam bentuk penyamaran dalam bertutur. Baik pandangan kesantunan yang mendasarkan pada maksim percakapan maupun pandangan kesantunan yang mendasarkan pada konsep penyelamatan wajah dapat dikatakan memiliki kesamaan. Kesamaan itu tampak dalam tindakan yang sifatnya santun atau tindakan yang tidak mengancam wajah dan tindakan yang sifatnya tidak santun atau tindakan yang mengancam wajah (Brown dan Levinson (1987:68-71). 63 Tindakan penyelamatan wajah (TPW) atau kesantunan merupakan wujud penghargaan terhadap individu anggota suatu masyarakat. Biasanya anggota masyarakat memiliki dua macam jenis wajah, yakni (1) wajah positif (positive face) yang mengacu pada keinginan untuk disetujui (being approved) dan (2) wajah negatif (negative face) yang mengacu pada keinginan untuk menentukan sendiri (self-determinating) (Goffman dalam Brown dan Levinson, 1987). Fraser (1975) membedakan kesantunan (politeness) dari penghormatan (deference). Berperilaku hormat belum tentu berperilaku santun. Kesantunan adalah “property associated with neither exceeded any reight nor failed to fullfill any obligation”. Kesantunan berhubungan dengan “property” yang diasosiasikan dengan ujaran. Dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari untuk memenuhi kewajibannya. Kesantunan adalah bagian dari ujaran ; bukan ujaran, (2) pendengarlah yang menentukan apakah suatu ujaran itu mengandung kesantunan. Sebuah ujaran dapat saja dikatakan santun oleh si penutur, tetapi bagi mitra tutur terdengar tidak santun, dan (3) kesantunan terkait dengan hak dan kewajiban peserta tutur. Dalam hal ini kesantunan diukur berdasarkan apakah si penutur tidak melewati batas haknya, dan memenuhi kewajibannya terhadap mitra tuturnya. Hak dan kewajiban yang dimaksudkan oleh Fraser berkaitan dengan apa yang disebutkan sebagai “kontrak percakapan“ (conversational contract), yaitu kontrak yang mengikat para peserta percakapan. Diantaranya hak dan kewajiban peserta tutur yang terlibat dalam percakapan, seperti hak dan kewajiban bertanya dan menjawab, serta apa saja yang boleh diujarkan, dan bagaimana cara menyampaikannya. 64 Dalam topik tulisan yang lain Fraser (1998) menjelaskan bahwa kontrak percakapan juga ditentukan oleh penilaian peserta tutur terhadap faktor-faktor kontekstual yang relevan. Kontrak percakapan juga berkaitan erat dengan proses terjadinya sebuah percakapan. Fraser (1998) berpendapat bertindak santun itu sama dengan bertutur yang mempertimbangkan etiket berbahasa. Kesantunan menurut Fraser (1975, 1978) tidak didasarkan pada kaidah, melainkan strategi. Ada 18 strategi untuk menyatakan direktif tetapi tidak dijelaskan lebih jauh tentang skala kesantunan pada tiap-tiap strategi. 1.8.2.5 Implikatur Implikatur adalah suatu konsep yang mengacu pada sesuatu yang diimplikasikan (implicated) oleh sebuah ujaran yang tidak dinyatakan secara eksplisit (Kridalaksana dalam Kaswanti Purwo, 1990). Implikasi (implication) adalah maksud ; pengertian yang tidak disebutkan secara langsung, atau pertanda. Misalnya. She smiled with the implication that she didn’t believe you. Artinya ‘dia tersenyum pertanda dia tidak mempercayaimu’ (Peter Salim,1991:936)x. Sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan bagian dari tuturan yang dihasilkan. Proposisi yang dimaksud itu disebut implikatur (implicature). Jika ada dua proposisi yang berhubungan, maka hubungan kedua proposisi itu bukan merupakan konsekuensi mutlak (necessary consequence). Keterkaitan ujaran dan implikatur hanya didasarkan pada latar belakang pengetahuan yang dapat menjelaskan kedua proposisi. Oleh karena itu, implikatur jelas berbeda dengan entailment yang dipahami sebagai “ikutan, pemaknaan”. Suatu ujaran dikatakan sebagai implikatur, jika tuturan itu memungkinkan 65 munculnya tuturan lain. Sebaliknya, disebut entailment, karena sama sekali tidak memungkinkan hadirnya tuturan lain (Grice dalam Wijana dan Rohmadi, 2009:37). Hubungan antara ujaran dengan hal/sesuatu yang disiratkan di dalam ujaran tidak bersifat semantis (Wijana, 1996). Implikatur itu dapat dibedakan menjadi implikatur konvensional (conventional implicature)xi dan implikatur percakapan (conversational implicature)xii. Implikatur konvensional adalah implikasi yang didapatkan langsung dari kata-kata, berdasarkan kaidah-kaidah sintaksis, dan bukan dari prinsip percakapan. Sedangkan, implikatur percakapan (IP) adalah implikatur yang muncul dalam pemakaian bahasa yang bersifat khusus. IP hanya dapat dipahami di dalam konteks, karena maknanya bukan makna yang termasuk makna semantik dan makna kalimat. IP tidak selalu muncul pada wujud kalimat yang benar (Gazdar,1979 dalam Brown dan Yule, 1983 ; Mey, 1993). Implikatur berhubungan dengan sesuatu yang tersembunyi di balik tuturan, di balik penggunaan bahasa yang actual (….something which is implied in conversation, that is, something is left implicit in actual language use) (Mey, 1993:99). Implikatur percakapan lebih memperhitungkan secara eksplisit bagaimana sebenarnya mengartikan atau memaknai sesuatu lebih dari apa yang dikatakan (atau lebih dari apa yang diekspresikan secara literal oleh pengertian yang bersifat konvensional dari ekspresi-ekspresi bahasa yang dituturkan, “how it is possible to mean (in some general sense) more than what is actually “said” (i.e. more than what is literally expressed by the conventional sense of the linguistic expressions uttered”) (Brown dan Yule, 1983). Prinsip-prinsip bertutur 66 dalam percakapan tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan yang berkaitan dengan the notion of conversational implicatures, yang menurut Levinson (1983 : 97100)xiii dibedakan dari jenis implikatur lainnya. Konsep implikatur (implicature) masih sering dikacaukan dengan konsep presuposisi (presupposition) atau praanggapan. Padahal kedua istilah ini mengandung konsep pemikiran yang berbeda. Sebuah kalimat dapat mempresuposisikan (mempraanggapkan) dan mengimplikasikan kalimat yang lain. Sebuah kalimat dikatakan mempresuposisikan kalimat yang lain, jika kalimat yang dipresuposisikan itu mengandung ketidakbenaran, yang mengakibatkan kalimat yang mempresuposisikan tidak dapat ditentukan benar atau salah (Wijana dan Rohmadi, 2009:36-40). Sebuah tuturan dapat dikatakan mempresuposisikan tuturan yang lain apabila tuturan yang dipresuposisikan itu dapat dinilai benar atau salahxiv. Artinya, jika kalimat yang dipresuposisikan itu mengandung kebenaran, maka kalimat yang mempresuposisikan dapat ditentukan benar atau salahnya. Sebaliknya jika kalimat yang dipresuposisikan tidak mengandung kebenaran, maka kalimat yang mempresuposisikan tidak dapat ditentukan benar atau salah. Penentuan presuposisi atau praanggapan terkait dengan upaya menemukan kebenaran pada proposisi yang dipraanggapkan dalam rangka menjustifikasi atau membenarkan proposisi yang mempraanggapkan. Presuposisi adalah suatu dasar yang dipakai oleh penutur dan mitra tutur dalam percakapan (Rahardi,2010:42). “Implicature is a matter of utterance meaning, an not of sentence meaning”. Implikatur berhubungan dengan makna tutur, dan bukan makna 67 kalimat. Implikatur merupakan makna nonnatural (non-natural meaning), yang berbeda dengan makna yang sebenarnya (natural meaning). Implikatur dipakai untuk menunjukkan perbedaan antara apa yang diujarkan oleh pembicara dan apa yang diimplikasikan (Husford dan Heasley,1984:280). Implikatur berhubungan dengan sesuatu yang tersembunyi di balik tuturan, di balik penggunaan bahasa yang aktual (….something which is implied in conversation, that is, something is left implicit in actual language use) (Mey, 1993:99). Tuturan dalam percakapan dapat mengandung implikatur, dan pada prinsipnya tuturan berwujud pragmatik itu mengandung implikatur-implikatur. (Richards, dkk, 1987 ; Wijana dan Rohmadi, 2009). Implikatur adalah aspek pragmatik yang mengkaji makna konotatif (Soemarmo,1987). Implikatur berbeda dengan deiksis. Deiksis adalah salah satu aspek yang dikaji dalam pragmatik, yaitu tentang pergantian makna kata atau kalimat yang disebabkan oleh pergantian konteks. Deiksis terdiri dari deiksis tempat, waktu, persona, sosial, dan wacana (Soemarmo,1987 : 9-10). Penelitian ini tidak mengkaji secara khusus tentang presuposisi dan deiksis. 1.8.2.6 Komunikasi dan Sistem Komunikasi Ketika seseorang terlibat kontak dengan orang lain, pada saat itu ia melakukan dua tindakan, yaitu berkomunikasi dan memberi informasi (Tubbs dan Moss, 2000 : 6)xv. Aktivitas komunikasi mensyaratkan adanya pihak pembicara (komunikator) dan pihak pendengar (komunikate). Jika apa yang dimaksudkan oleh seorang pembicara tidak dimengerti oleh pihak pendengar, maka komunikasi dianggap gagal. Selain itu keberhasilan suatu komunikasi ditentukan oleh adanya 68 kesamaan persepsi (frame of reference) dan pengalaman (field of experience) diantara para komunikan (communicant) yang terlibat di dalamnya. Komunikasi yang efektif mensyaratkan adanya pertukaran informasi (sharing of information) dan kesamaan pemahaman (in tune) diantara para parisipan komunikasi (Mulyana, 2004). Keberhasilan suatu komunikasi tidak ditentukan oleh simbol yang digunakan dalam berkomunikasi, tetapi pada nilai atau kualitas informasi yang diberikan ; apakah informasi yang diberikan itu bersifat informatif atau tidak. Informasi apapun yang disampaikan akan disebut informatif apabila penerima mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak ia ketahui. Suatu tindakan dikatakan komunikatif, apabila tindakan itu bermanfaat bagi pelaku tindakan tersebut, sedangkan sesuatu informasi dikatakan informatif apabila informasi itu bermanfaat atau ada maknanya bagi penerima. (lih.Lyons,1977:33). Ihwal syaratsyarat komunikasi telah dibahas oleh Littlejohn (2002)xvi. Dalam komunikasi jual-beli peserta tutur sering menggunakan isyaratisyarat nonverbal dalam menyampaikan maksud. Ekspresi-ekspresi nonverbal itu biasanya muncul di sela-sela ekspresi verbal atau menyertai ekspresi verbal, untuk mendukung (mempertegas) maksud pesan verbal atau kadang-kadang juga membantah pesan verbal. Dalam situasi tertentu Pj dan Pb menyampaikan maksudnya tidak secara verbal, melainkan secara nonverbal (karena ingin merahasiakan sesuatu). Bahkan kadang-kadang mereka menggunakan isyarat nonverbal untuk mewakili sesuatu yang tidak dapat dinyatakan secara verbal atau tidak terucapkan. Pesan nonverbal dapat merupakan representasi pesan verbal. 69 Dalam komunikasi jual-beli peserta tutur tidak saja menyampaikan maksudnya melalui isyarat-isyarat kinesika atau gesture, tetapi juga melalui penekanan dalam ucapan, nada, dan intonasi tertentu. Dalam percakapan jual-beli isyarat-isyarat nonverbal dapat memengaruhi proses komunikasi. Komunikasi adalah tindakan penciptaan pesan dan penafsiran pesan. Pesan tidak selalu disampaikan dalam wujud verbal, tetapi dapat juga dalam wujud nonverbal (Pace dan Faules, 1998) Manusia mempersepsi tidak hanya melalui bahasa verbal saja, tetapi juga melalui melalui perilaku nonverbalnya. Bukan apa yang dikatakan, melainkan bagaimana mengatakannya. Melalui perilaku nonverbal dapat diketahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung atau sedih. Kebanyakan ekspresi nonverbal bukan bawaan, oleh karena itu ekspresi nonverbal dapat dipelajari (Mulyana, 2002). Menurut teori komunikasi kebanyakan ekspresi nonverbal tidak bersifat universal, melainkan tergantung pada budaya (Mulyana,2004:308-309). Perilaku interaksi, baik verbal maupun nonverbal sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, cara hidup, dan kebudayaan para penuturnya (Kartomihardjo, 1996)xvii. Salah satu aspek yang terkait dengan fenomena komunikasi adalah sistem komunikasi nonverbal. Salah satu sistem komunikasi nonverbal yang menggunakan gerakan disebut kinesika atau bahasa tubuh (body language), yakni suatu sistem sikap tubuh, ekspresi wajah, dan gerakan-gerakan tubuh yang mengandung pesan. Misalnya, gerakan tangan, menggaruk-garuk kepala, menggigit bibir atau mengerutkan dahi adalah cara-cara untuk menunjukkan kegelisahan atau keragu-raguan. Pesan kinesika dapat melengkapi pesan verbal 70 (lisan). Contoh, ketika seseorang menyetujui atau mengiyakan sesuatu secara lisan, ia akan mengangguk. Pesan nonverbal dapat mempertegas maksud pesan verbal, membantah pesan verbal, dan bahkan kadang merupakan representasi dari pesan verbal itu sendiri (Mulyana,2011:91). Seperti halnya tindak verbal, tindak nonverbal juga dapat memengaruhi proses komunikasi manusia. Beberapa karakteristikxviii dari pesan nonverbal dapat menjelaskan tentang pengaruh spesifik dari lambang-lambang nonverbal dalam perilaku komunikasi manusia. Dari karakteristik tersebut dapat dipahami tentang kemampuan pesan nonverbal dalam mempengaruhi suatu komunikasi (Haviland, 1985:368-369 ; Burgoon dalam Littlejohn, 2002 ; Littlejohn, 2002 : 104-105). 1.8.2.7 Percakapan dan Struktur Percakapan Percakapan didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai bentuk komunikasi oral bersemuka, bersifat bebas, nonteknis, dilakukan oleh minimal dua orang dalam latar informal (Labov dan Fanshel, 1979:29 ; Edmonson, 1981:6). Selain bersifat spontan, percakapan juga bersifat resiprokal (Lakoff, 1983:27) dan bercirikan bebas, serta pesertanya mempunyai hak yang sama (Stubbs, 1983 ; Cook,1997:116). Menurut Brown dan Yule ( 1983) percakapan adalah sebuah perbincangan ; pesertanya terdiri dari dua orang atau lebih ; secara bebas saling bergantian di dalam berbicara, dan terjadi di luar lembaga khusus, seperti yang berlatar belakang pelayanan agama, sidang di pengadilan, pengajaran di ruang kelas, dll. Percakapan bukan sekedar aktivitas berbincang-bincang, tetapi merupakan suatu “peristiwa terstruktur yang terealisasi dalam ujaran” (Brown dan Yule, 1996 71 ; Halliday dan Hassan, 1976: 10 ; Halliday, 1992 ; Stubbs,1983: 10 ; Fairclough, 1989:21-24 ; McCarthy, 1994 : 155 ; Hoed,1994:129), atau dapat dipahami sebagai perisiwa tutur. Percakapan merupakan deskripsi interaksi lisan (Richard, 1995:3). Percakapan adalah seperangkat ujaran yang berhubungan dengan segala peristiwa atau kejadian tutur yang dapat diidentifikasi (Crystal, 2001). Percakapan bukan juga sekedar satuan-satuan bahasa yang direalisasikan oleh serangkaian tuturan, tetapi merupakan kesatuan tutur dan tindakan (Stubbs, 1983). Tindakantindakan itu tidak hanya diekspresikan oleh tuturan yang diwakili oleh kata kerja performatif saja (Labov dan Fanshel,1979:29). Ketika seseorang berbicara ia tidak hanya memproduksi satuan-satuan kebahasaan, tetapi sekaligus melaksanakan tindakan-tindakan di dalam tuturannya. Percakapan merupakan satuan (unit) perilaku atau tindakan yang direalisasikan oleh tuturan-tuturan atau ujaran-ujaran (Crystal, 2001:118). Oleh karena itu percakapan juga dipahami sebagai rangkaian tindak tutur. Dalam melaksanakan percakapan PP tidak hanya memproduksi bermacam-macam tuturan, tetapi mereka juga menyiapkan implikasi-implikasi di dalam tuturannya yang memungkinkan mereka dapat bekerjasama dalam percakapan. Percakapan bukan saja merupakan aktivitas pertukaran ide/gagasan, pendapat, untuk mencapai pemahaman yang sama (Halliday, 1994 ; Richard, 1995:3), Percakapan adalah aktivitas penyampaian informasi dan merupakan proses membentuk kesamaan atau kesatuan pikiran antara penyampai dan penerima informasi (lih. Belch & Belch, 1990). Namun, dalam percakapan tidak selalu Pn dan Mt dapat mencapai kesamaan atau kesatuan pikiran. 72 Sebagai bentuk komunikasi interaktif (timbal-balik) percakapan adalah suatu aktivitas berbahasa lisan yang melibatkan dua atau lebih peserta. Ketika dua orang atau lebih terlibat dalam suatu percakapan mereka tidak hanya menyampaikan, memahami (menafsirkan), dan menanggapi informasi atau pesan. Sebagai kesatuan tutur dan tindakan percakapan terkait dengan pemahaman dan tanggapan. Percakapan mensyaratkan dua tindakan utama, yaitu memahami dan menanggapi. Kedua tindakan ini direalisasikan oleh rangkaian ujar yang dihasilkan oleh konteks (Stubbs, 1983). Dalam sebuah percakapan PP tidak hanya menyampaikan, memahami, dan menanggapi informasi, tetapi mereka terlibat dalam proses menjalin hubungan dan meyakinkan orang, serta tindakan pernyataan gambaran diri atau konsep diri. Selama PP terlibat dalam suatu percakapan mereka mengasumsikan hal-hal yang berkaitan dengan identitas, yakni sesuatu yang berkaitan dengan peran. Ketika seseorang berbicara maka perannya sebagai pembicara perlu ditanamkan dalam dirinya sebagai panduan dalam berperilaku (Mulyana, 2002). Dalam konteks komunikasi “peran” dipandang sebagai bagian dari konsep dirixix. Aspek-aspek yang terkait dengan konsep diri meliputi jenis kelamin, agama, suku, pendidikan, pengalaman, rupa fisik, dsbnya. Dalam hal ini kesan (image) yang dibangun oleh mitra tutur sehubungan dengan aspek-aspek tersebut akan sangat menentukan bagaimana perilaku berbahasa yang akan dinyatakannya kemudian kepada penutur melalui pernyataan umpan-balik (Scheidel dalam Mulyana, 2004 : 9). Wujud peran seseorang dalam sebuah percakapan adalah “presentasi diri”. Salah satu tujuan berbicara adalah menampilkan gambaran diri seseorang kepada orang 73 lain pada saat ia melakukan perannya. Sehubungan dengan tujuan berbicara tersebut, ada dua hal penting yang berkaitan dengan konsep peran, yaitu presentasi diri dan status peserta tutur (Mulyana, 2004). Dalam proses interaksi kadang-kadang PP mengkomunikasikan juga pandangan pribadinya tentang sesuatu hal (baik secara langsung maupun tidak langsung). Pandangan pribadi kadang-kadang juga berhubungan dengan prinsipprinsip budaya masyarakat. Tindakan semacam ini disebut sebagai tindakan mempresentasikan diri. Presentasi diri berhubungan erat dengan strategi yang digunakan seseorang dalam menampilkan diri ; bagaimana mengkomunikasikan pandangan diri atau sisi batin seseorang kepada orang lain. Sistem presentasi diri biasanya sangat bergantung pada budaya yang dianut oleh pembicara (Mulyana, 2004). Aspek yang paling menonjol di dalam kegiatan bercakap-cakap adalah proses interaksi yang terjadi diantara para interlokutor. Proses interaksi tidak hanya dipahami sebagai proses pertukaran (exhange) pendapat atau pertukaran informasi (Purwoko, 2008), tetapi juga pertukaran peran. Pertukaran peran terkait dengan hak dan kewajiban sebagai pembicara maupun pendengar dalam suatu proses pertukaran giliran bicara (Richard, 1995:3). Pertukaran hanya terjadi dalam komunikasi lisan dimana para peserta tutur secara bergantian berbicara baik dengan maupun tanpa topik yang jelas (Halliday, 1994). Percakapan bukan sekedar pertukaran informasi, tetapi juga melibatkan pengambilan peran, asumsi-asumsi dan harapan-harapan. Percakapan merupakan bentuk pergantian atau pertukaran giliran berbicara yang diatur oleh sebuah 74 konvensi yang menentukan siapa yang berbicara, kapan, serta untuk berapa lama berbicara. Dalam pergantian giliran berbicara juga diatur tentang hak dan kewajiban para partisipan percakapan dalam berbicara. Dalam percakapan orang dewasa setiap peserta percakapan telah memahami konvensi percakapan, yaitu siapa yang seharusnya berbicara, kapan harus berbicara, dan berapa lama berbicara. Pelanggaran terhadap konvensi percakapan, seperti tindakan memonopoli pembicaraan, ingin selalu menang dalam pembicaran, tidak memberi kesempatan peserta lain berbicara akan memunculkan penilaian tidak sopan (Richard, 1995:3). Aturan pengambilan giliran berbicara berbeda-beda, tergantung pada jenis peristiwa tutur. Pada beberapa jenis situasi percakapan, giliran berbicara didasarkan pada tingkatan peserta percakapan. Pergantian giliran berbicara (turntaking) di dalam sebuah percakapan menduduki peran penting. Di dalam pergantian giliran berbicara dapat diketahui apakah semua peserta mempunyai hak yang sama dalam berbicara (Richard dan Schmidt, 1989). Dalam pergantian giliran bicara dapat dilihat perubahan peran yang terjadi dalam sebuah percakapan, yaitu perubahan peran dari pembicara menjadi pendengar dan dari pendengar menjadi pembicara (Howe, 1981). Ketentuan cara berperan serta dalam percakapan adalah hanya ada satu orang yang berbicara pada satu kesempatan. Perwujudan hak berbicara dapat menunjukkan status atau kekuasaan penutur dan mitra tutur, baik pada tingkat yang sama maupun pada tingkat yang berbeda. Pergantian giliran bicara adalah suatu tindakan/cara yang dapat menunjukkan peran dan status seseorang dalam 75 percakapan, juga berkaitan erat dengan pemilihan topik (Sacks, dkk dalam Richard, 1995:17). Dalam percakapan setiap peserta tutur memiliki hak dan kewajiban mendengarkan dan memberi tanggapan. Proses itu terjadi secara bergantian, dan dalam percakapan proses itu dikenal dengan proses pergantian peran. Kesempatan/hak berbicara setiap partisipan percakapan akan memengaruhi pola pergantian giliran berbicara dalam sebuah percakapan (Brown dan Yule, 1983). Suatu aktivitas disebut percakapan bila setiap partisipan mempunyai hak berbicara yang sama (bebas dalam berbicara), dan tidak ada yang mengatur (Levinson,1983:284). Tuturan-tuturan dalam percakapan jual-beli kadang-kadang tidak relevan, berbelit-belit, tidak strategis, bahkan kadang-kadang tidak mencerminkn kesantunan. Menurut Lesser dan Milroy (1996 : 159) percakapan tidak mempunyai aturan-aturan atau konvensi-konvensi khusus yang mengaturnya. Namun demikian, percakapan mengandung konsep kerapihan dalam bentuk. Pada prinsipnya unit wacana adalah unit alamiah. Sebuah wacana mempunyai bagian awal atau permulaan dan bagian akhir atau penutup (Stubbs,1983:33). Percakapan itu memiliki “struktur”. Struktur percakapan adalah “tubuh percakapan” (body of conversation). Lazimnya dalam percakapan setelah terjadi sapaan para partisipan percakapan langsung bercakap-cakap sesuai dengan topik yang ingin dibicarakan (Clark, 1997). Struktur percakapan meliputi pasangan berdampingan (adjancensy pairs), pergantian giliran berbicara (turn taking), pembukaan dan penutupan (opening and closing), dan struktur pilihan (preference structure) (Richard, 1980, 76 1985 ; Coulthard, 1985 ; Cook,1989 ; Yule, 1990 ; Lesser dan Milroy,1993, dan Crystal, 1997. Struktur percakapan dipahami sebagai struktur pertukaran, yakni perangkat aturan yang mengatur bagaimana para peserta percakapan melakukan tukar menukar informasi atau hal lainnya. Sebuah pertukaran diawali oleh sebuah pemicu atau inisiasi yang berfungsi sebagai pembuka interaksi, kemudian diikuti oleh tanggapan atau respons yang dapat juga diikuti oleh tindak lain yang berupa lanjutan atau balikan. Aturan-aturan dalam percakapan berkaitan dengan pola/urutan tingkah laku yang teratur dalam melakukan komunikasi timbal balik atau interaksi (Stubbs,1983). Dengan adanya aturan-aturan maka tuturan dalam suatu percakapan akan lebih mudah dipahami (Rani, dkk, 2004). Setiap percakapan terdapat perbedaan pada pola pembukaan dan penutupan. Situasi memengaruhi bagian awal percakapan. Pada percakapan biasa, bagian pembukaannya dipengaruhi oleh situasi, yakni situsi formal, informal, dan kasual (Akmajian, dkk (1990). Ketika seorang penutur memproduksi sebuah ujaran yang berfungsi sebagai bagian pertama dari sebuah pasangan, maka diharapkan selanjutnya mitra tutur akan memberikan bagian kedua dari pasangan yang sesuai. Pasangan berdampingan atau pasangan ujaran terdekat adalah ujaran yang dihasilkan oleh dua penutur secara berturut-turut. Ujaran pertama merupakan bagian pertama dan ujaran berikutnya merupakan bagian kedua dari sebuah pasangan. Ujaran kedua diidentifikasi dalam hubungannya dengan ujaran pertama. Ujaran kedua diharapkan merupakan kelanjutan dari ujaran yang pertama. Selanjutnya 77 dijelaskan, bahwa untuk memahami tindak tutur dan gerak pertukaran perlu juga memahami pola pasangan berdampingan, seperti : (a) sapaan-sapaan, (b) panggilan-jawaban, (c) keluhan-bantahan, (d) keluhan-permohonan maaf, (e) permintaan-pemersilahan, (f) permintaan informasi-pemberian informasi, (g) penawaran-penerimaan, dan (h) penawaran-penolakan. Pasangan ujaran berdampingan terjadi apabila ujaran penutur dapat memunculkan suatu ujaran lain yang berupa tanggapan. Pasangan tutur atau pasangan berdampingan (adjancensy pairs) merupakan unit struktural dasar dalam percakapan (Coulthard, 1985). Pasangan tutur itu menurut terdiri atas dua ujaran. Ujaran pertama merupakan ujaran penggerak atau pemicu ujaran kedua, dan ujaran kedua merupakan tanggapan atau tindak lanjut atas ujaran pertama. Ujaran yang merupakan tanggapan itu menurut Cook dibedakan menjadi dua macam, yaitu ujaran yang disukai, seperti pengabulan atau penerimaan dan yang tak disukai, seperti penolakan. Pada dasarnya ujaran yang berisi pengabulan merupakan tanggapan yang menyenangkan dan diharapkan, sedangkan ujaran yang berisi penolakan merupakan tanggapan yang tak disukai dan tak diharapkan oleh pembicara sebelumnya. Untuk dapat menanggapi sesuai dengan ujaran terdahulu, seorang penutur harus terlibat dalam penilaian ujaran mitra tuturnya, sehingga penutur dapat memberikan tanggapan yang tepat. Namun, dalam hal penentuan kriteria jenis tanggapan itu tidak mutlak (Cook,1989:53-57). Percakapan merupakan jenis prototype penggunaan bahasa yang paling mendasar, yang dapat menunjukkan dengan jelas berbagai aspek pragmatik (Levinson,1983:284-285). Parera (2004:235) berpendapat bahwa analisis 78 percakapan (AP) berbeda dengan analisis wacana (AW), meskipun keduanya melibatkan konteks. AP adalah salah satu cabang dari AW. AP berbeda dengan AW (wacana tulis). AW mengutamakan unsur-unsur penanda pertalian kohesif untuk menyatakan kekoherensifan suatu wacana. Sedangkan AP mengandalkan konteks situasi. AW lebih memfokuskan pada unsur-unsur verbal. Sedangkan AP mementingkan tidak hanya unsur-unsur verbal saja, tapi juga-unsur nonverbal. Menurut Parera kalimat yang tampaknya dalam AW tidak koheren mungkin akan dinyatakan koheren dalam AP. AP hanya mempersoalkan bagaimana pengelolaan satu percakapan agar mencapai tujuannya. AP tidak mementingkan isi percakapan dan bagaimana isi/informasi itu disampaikan, tetapi lebih terfokus pada berbagai informasi, serta hubungan dalam percakapan. 1.8.2.8 Pragmatik dan Sosiopragmatik, serta Fokus Kajiannya Konsep pragmatik berawal dari pandangan seorang filsuf Morris (1938) tentang pengetahuan bentuk sandi atau semiotik, yang dikenal sebagai sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis merupakan kajian tentang hubungan formal sandi dengan sandi lainnya, semantik merupakan kajian hubungan sandi dengan objeknya, dan pragmatik merupakan kajian tentang hubungan antara lambang dengan penafsirnya. Pragmatik memiliki hubungan dengan semantik, karena keduanya mengkaji tentang makna (arti), tetapi pragmatik mengkaji bidang makna yang tidak termasuk di dalam kajian atau teori semantik. Pragmatik berhubungan dengan sosiologi, sosiolinguistik, dan psikolinguistik, sedangkan semantik lebih 79 terkait dengan logika (Levinson, 1983). Hubungan pragmatik dan semantik bersifat komplementer (Leech,1986:6). Menurut Levinson (1983) kajian pragmatik adalah kajian yang memfokuskan pada kemampuan pemakai bahasa menghubungkan kalimat atau tuturan dengan konteks yang sesuai dengan tuturan (“pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with the contexts in which they would be appropriate”). Tampaknya kemampuan yang dimaksud Levinson disini adalah kemampuan berbahasa secara natural yang dapat menghasilkan tuturan yang pragmatis komunikatif. Pandangan tentang kemampuan komunikatif dalam kajian pragmatik yang dapat dipahami dari pernyataan Levinson ini memiliki keterkaitan dengan pandangan dalam sosiolinguistik. Levinson memandang pragmatik itu sebagai ketrampilan dalam mengungkap kemampuan pemakai bahasa dalam konteks tertentu. Kajian pragmatik merupakan kajian tentang hubungan bahasa dan konteks, yang menjadi dasar penjelasan atau penafsiran. Konteks yang dimaksud menurut Levinson (1983:9) adalah konteks yang digramatikalisasi atau dikodekan dalam struktur bahasa (pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of language). Levinson berpendapat bahwa pragmatik tidak saja mengkaji hubungan bahasa dan konteks, tetapi mengkaji juga pengaruh konteks terhadap struktur kalimat, klausa, dan sebagainya. Pernyataan Levinson ini secara implisit menyatakan bahwa Levinson mengakui bahwa ada keterkaitan erat antara sintaksis dan pragmatik. Menurut Levinson (1983:284-285) pragmatik mengkaji implikatur, praanggapan, 80 tindak tutur, deiksis, dan aspek-aspek struktur wacana, sebagaimana yang dapat dipahami dari pernyataannya ini : “Pragmatics is the study of deixis (at least in part), implicature, presupposition, speech act, and aspect of discourse structure” (lih. Stalnaker,1972). Tampaknya melalui pernyataannya ini Levinson mengakui bahwa pragmatik adalah bidang ilmu yang mandiri. Pragmatik merupakan kajian pemakaian bahasa (pragmatics is the study of language usage) di dalam suatu masyarakat bahasa, untuk mengungkap perilaku berbahasa dalam komunikasi sosial. Pemakaian bahasa dalam berkomunikasi dapat dibedakan menjadi (1) pemakaian bahasa yang bersifat umum, dan (2) pemakaian bahasa yang bersifat spesifik. Pemakaian bahasa pada kondisi umum termasuk dalam kajian pragmatik umum, sedangkan pemakaian bahasa yang bersifat spesifik termasuk dalam kajian sosiopragmatik. Pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor nonlingual, yaitu kondisi sosial dan budaya lokal yang bersifat spesifik (Leech, 1986:10-11). Prasyarat yang diperlukan untuk melakukan analisis pragmatik atas tuturan, termasuk tuturan yang bermuatan implikatur percakapan (IP) adalah situasi ujar yang mendukung keberadaan suatu tuturan dalam percakapan. Situasi ujar meliputi unsur-unsur (1) penyapa dan pesapa (addressers or addressees), (2) konteks tuturan (the context of an utterance), (3) tujuan tuturan (the goals of an utterance), (4) tuturan sebagai bentuk tindakan ; tindak tutur (the utterance as a form of act or activity ; speech act), (5) tuturan sebagai produk tindak verbal (the utterance as a product of a verbal act), (6) waktu, dan (7) tempat (1993:13). 81 Pragmatik itu sebagai “the study of the ability of language users” dan “the study of those relations between language and context” (Levinson, 1983) Pragmatik adalah “the study of language usage” untuk mengungkap perilaku berbahasa, dan tidak dapat dipisahkan dari konteks (Leech, 1986). Levinson menekankan fokus kajian pragmatik pada permasalahan kompetensi, yang bersifat abstrak, sedangkan Leech pada permasalahan performansi yang bersifat kurang abstrak. Pragmatik mengkaji fungsi utama bahasa sebagai alat komunikasi (Gazdar, 1979 ; Stalnaker, 1972 ; Levinson, 1983). Pragmatik mengkaji maksud tuturan, bukan makna kalimat. Makna (meaning) adalah “unsur dalam” bahasa (linguistic meaning), sedangkan maksud (intention) adalah “unsur luar bahasa”, yakni sesuatu yang dipahami dan diartikan oleh pembicara (speaker meaning) berdasarkan konteks tuturan. Sebagai ilmu yang mengkaji maksud penggunaan bahasa dalam suatu komunikasi pragmatik sangat mementingkan konteks. Dalam pandangan pragmatik penggunaan bentukbentuk bahasa dalam komunikasi berkaitan erat dengan maksud dan fungsi tuturan, serta situasi dan konteks dimana tuturan itu digunakan (Austin, 1962:150 ; Searle, 1975). Selain mengkaji maksud dan fungsi ujaran, pragmatik juga mengkaji daya (force) ujaran (Leech, 1986 ; Brown dan Yule 1983 ; Brown dan Levinson, 1987 ; Levinson, 1983:9 ; Parker, 1986 ; Richards, dkk.,1985:225 ; Yule, 2006 ). Pragmatik adalah studi tentang kondisi penggunaan bahasa manusia berdasarkan konteks sosial (“Pragmatics is the study of the conditions of human language uses as these are determined by the context of society”) (Mey,1993:42). 82 Pragmatik berurusan dengan aspek-aspek yang terkait dengan informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa, yang muncul secara alamiah, dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional sesuai dengan konteks tempat penyampaiannya (Cruse, 2000). Percakapan terkait dengan persoalan-persoalan interaksi sosial, konsepkonsep psikologis, pengetahuan tentang latar, kepercayaan, harapan, serta apa yang terdapat dalam pikiran penutur. Aspek-aspek ini juga menjadi fokus pragmatik wacana (Leech, 1986 ; Yule, 2006:144 ; McCarthy,1997:155 ; Eriyanto, 2001:2). Pengkajian wacana yang berhubungan dengan aspek-aspek ini mengutamakan perspektif pragmatik (Yule, 2006). Studi pragmatik berbeda dengan studi tata bahasa yang memfokuskan pada struktur bahasa secara internal. Pragmatik adalah studi tentang penggunaan bahasa dalam komunikasi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Parker (1986), bahwa “Pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the internal structure of language. Pragmatics is the study of how language is used to communicat). Namun demikian, sebagai studi kontekstual terhadap bahasa studi pragmatik perlu mempertimbangkan struktur bahasa tanpa mengabaikan konteks. Struktur bahasa adalah ciri-ciri formal bahasa, yaitu ciri fonologik atau ciri gramatik atau keduanya, yang merupakan dasar analisis dalam tata bahasa formal. Ciri-ciri itulah yang digunakan untuk menganalisis satuan-satuan gramatikal (grammatical units). Satuan gramatikal yang dimaksudkan itu diurutkan dari satuan terbesar sampai pada satuan terkecil, yaitu wacana, kalimat, klausa, frase, kata, dan morfem. Satuan gramatikal adalah satuan-satuan bahasa yang mengan- 83 dung arti, baik arti leksikal maupun arti gramatik (Ramlan, 1985; 2001:24,27). Lingkup kajian pragmatik adalah semua yang terkait dengan struktur bahasa sebagai alat komunikasi. Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal ekstralingual yang dibicarakan (Verhaar,1996:14). Beberapa ahli berpendapat bahwa konsep pragmatik itu muncul dari pandangan filsafat. Namun, pragmatisme tidak memiliki loyalitas kepada sistem filsafat atau kenyataan. Kebenaran adalah apa yang bekerja pada saat itu. Tidak ada dualitas antara realitas dan pengalaman/pengetahuan tentang realitas. Dalam pragmatik kita perlu berhenti mempertanyakan hubungan antara keduanya. Fokus adalah pada hasil penelitian. Yang penting adalah masalah penelitian dan semua pendekatan dapat diterapkan untuk memahami masalah (Creswell,2003:11). Pragmatik adalah salah satu bagian dari ilmu bahasa (linguistics) yang memiliki fokus kajian yang luas. Sedangkan, sosiopragmatik merupakan sebuah pendekatan yang dikenal dalam penelitian-penelitian linguistik, yang dalam penerapannya memadukan dua bidang ilmu, yaitu sosiologi dan pragmatik. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia, lembaga-lembaga di dalam masyarakat, proses sosial yang ada dalam masyarakat, serta bagaimana terjadinya, berlangsungnya, serta tetap adanya suatu masyarakat (Chaer dan Agustina,1995:2). Pendekatan sosiopragmatik hanya diterapkan pada pemakaian bahasa dalam kondisi sosial tertentu dan terikat pada percakapan lokal, untuk memahami dan menjelaskan tentang aspek-aspek yang menjadi fokus kajian pragmatik. Kajian sosiopragmatik adalah sebuah kajian yang mengungkap fakta 84 pelaksanaan percakapan, diantaranya fakta prinsip kerjasama dan kesantunan yang dilaksanakan secara berbeda pada masyarakat bahasa dan kebudayaan yang berbeda, serta dalam kondisi sosial, kelas sosial dan sebagainya yang berbeda pula. Dalam kajian sosiopragmatik faktor linguistik kurang mendapat perhatian (Leech,1986). Bahasa dalam kehidupan manusia tidak berdiri sendiri. Bahasa memiliki kaitan dengan kehidupan sosial maupun kebudayaan penuturnya. Oleh karena itu, untuk menghasilkan sebuah deskripsi pragmatik tentang suatu peristiwa komunikasi dalam suatu masyarakat bahasa, perlu mengaitkannya dengan kondisi sosial. Deskripsi pragmatik merupakan inferensi sosiologis. Oleh karena itu, pengetahuan tentang sosiologi dibutuhkan dalam pembutan deskripsi-deskripsi yang bersifat pragmatis. Dalam kajian sosiopragmatik sosiologi dan pragmatik sulit untuk dipisahkan, karena kajian sosiopragmatik adalah kajian pragmatik yang dikaitkan dengan situasi sosial. Keterkaitan wacana dan pragmatik dapat dipahami dari jenis wacana. Wacana dapat dibedakan menjadi wacana konvensional dan wacana nonkonvensional (Wijana, 1999:1-9). Sebagai wacana konvensional wacana jualbeli dapat mengekspresikan fenomena-fenomena kebahasaan. Fenomena kebahasaan tidak saja dapat menunjukkan kompetensi komunikatif secara natural, tetapi juga perilaku-perilaku sosial (Halliday dalam Halliday dan Hasan,1994). Kajian pragmatik tidak saja berhubungan dengan aspek kompetensi (Levinson, 1983) dan aspek performansi (Leech, 1086). Fokus kajian pragmatik adalah fenomena-fenomena kebahasaan dalam interaksi sosial. 85 Fenomena kebahasaan adalah fenomena sosial, yang tidak saja dapat mengekspresikan kondisi sosial, tetapi juga perilaku-perilaku sosial, tujuan-tujuan sosial dan sikap sosial. Wacana jual-beli merupakan peristiwa interaksi sosial, yang di dalamnya dapat dipelajari bermacam-macam fenomena sosial. Fenomena sosial dapat dijelaskan oleh data kebahasaan. Fenomena kebahasaan tidak saja dapat dijelaskan secara formal, tetapi juga secara pragmatis. Sebagai produk yang dihasilkan oleh peristiwa komunikasi/interaksi sosial wacana jual-beli merupakan bentuk praktik sosial (Fairclough,1998:21-24) ; gambaran praktik perilaku, serta ekspresi dan representasi fenomena kehidupan manusia (Halliday dalam Halliday dan Hasan, 1994). 1.8.2.9 Pasar dan Kategori Pasar Kata “pasar” tidak selalu harus mengacu pada tempat atau bangunan tertentu. Pasar dapat didefinisikan sebagai “tempat” pelaksanaan aktivitas jualbeli, dan (2) setiap “hubungan” yang diciptakan oleh penjual dan pembeli suatu komoditas tertentu untuk mencapai persetujuan jual-beli. Hubungan itu terjadi disebabkan oleh adanya aktivitas transaksi/negosiasi (tawar menawar). Setiap hubungan yang terjadi antara pembeli dan penjual suatu komoditas tertentu dalam jangka waktu tertentu dipandang sebagai pasar, walaupun hubungan tersebut hanya dilakukan melalui alat komunikasi seperti telepon, internet, dan sebagainya (Sugiarto, dkk, 2005 : 287-290). Dalam penelitian ini hubungan itu dapat dibedakan menjadi (1) hubungan yang diciptakan secara langsung (bertatap muka) dan (2) hubungan yang diciptakan tidak secara langsung (tanpa bertatap muka). Hubungan yang diciptakan secara bertatap muka dapat dipahami sebagai pasar 86 tradisional, sedangkan hubungan yang diciptakan tanpa bertatap muka dipahami sebagai pasar modern, seperti pasar swalayan dan pasar online. Pasar tradisional mengandalkan komunikasi tatap muka (face to face), sedangkan pasar modern tidak mengandalkan komunikasi tatap muka. Bahkan pasar modern sekarang ini mengandalkan teknologi informasi, seperti internet, komputer, gadget, handphone, dan sebagainya. Dalam kajian ekonomi mikro pasar dipandang sebagai hubungan komunikasi modern. Para penjual dan pembeli tidak perlu bertatap muka satu sama lain untuk membeli dan menjual. Pasar untuk beberapa komoditas diperluas melampaui suatu kota atau bagian dari kota itu ; untuk komoditas lain mungkin diperluas melampaui seluruh negara atau bahkan dunia (Salvatore dalam Theory and Problems of Microeconomic Theory – diterjemahkan oleh Sitompul dan Manundar, 1996 : 5). Menurut ilmu ekonomi setiap barang ekonomi mempunyai pasarnya sendiri-sendiri, contoh pasar beras, pasar sayur, pasar jasa angkutan yang termasuk kategori pasar output, dan pasar modal, pasar tenaga kerja, pasar tanah yang termasuk kategori pasar input. Di setiap pasar dilaksanakan transaksi yang dinamakan “transaksi pasar” untuk barang-barang yang ditransaksikan (Boediono, 2010 :43-44). Pasar tradisional dapat dijumpai, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Di pasar tradisional interaksi Pj dan Pb tidak dibatasi oleh aturanaturan (bebas). Pj dan Pb dapat melaksanakan tawar menawar (negosiasi) secara langsung. Sebaliknya, di pasar modern, seperti pasar swalayan hal-hal yang demikian hampir tidak pernah terjadi. Di pasar swalayan bisa saja tidak terjadi 87 percakapan antara Pj dan Pb (Sudono, 2012: 275). Demikian juga di pasar online yang hanya mengandalkan komunikasi melalui chatting, email, atau melalui telepon saja. Di pasar online pembeli tidak bisa memeriksa atau menyentuh barang dagangan sebelum membayarnya. Pembeli hanya bisa melihat melalui foto-foto saja. 1.9 Metode Penelitian Dalam sebagian literatur ilmu bahasa, pengertian metode seringkali dibedakan dengan teknik. Metode dipahami sebagai cara penelitian yang lebih abstrak, sedangkan teknik dipandang sebagai cara penelitian yang lebih konkrit atau bersifat operasional. Dalam penelitian linguistik metode dipahami sebagai strategi kerja berdasarkan ancangan tertentu, sedangkan teknik adalah langkah dan kegiatan yang dilakukan yang terdapat dalam kerangka strategi kerja tertentu (Subroto,1992: 32). Metode dan teknik adalah “cara” dalam suatu upaya. Metode adalah cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode. Teknik ditentukan oleh adanya alat yang dipakai (Sudaryanto, 1993:9). Metode penelitian adalah cara yang dipergunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam suatu penelitian (Arikunto, 2002:136). Metode adalah cara, sedangkan penelitian adalah kegiatan mengumpulkan data (Ahimsa Putra, 2009:18). 1.9.1 Paradigma Penelitian Menurut Ahimsa Putra (2009:2) paradigma adalah seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis yang membentuk kerangka 88 pemikiran, yang berfungsi memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan/masalah yang dihadapi. Moleong (2007:49) mengutip beberapa pendapat, diantaranya pendapat Bogdan dan Biklen (1982) yang menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan sejumlah asumsi yang tidak ketat, yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Paradigma adalah “cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu, secara khusus tentang visi realitas” (Harmon dalam Moleong, 2007). Ada dua paradigma yang mendominasi ilmu pengetahuan, yaitu (1) paradigma ilmiah (scientific paradigm) dan (2) paradigma alamiah (naturalistic paradigm)xx. Menurut Moleong (2007:53) masalah, paradigma, teorixxi, dan konteks harus menyatakan kongruensi nilai (beresonansi) agar inkuiri itu menghasilkan suatu nilai yang berarti. 1.9.2 Pendekatan Penelitian Untuk memahami dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan sosiopragmatik. Penggunaan pendekatan sosiopragmatik bertujuan untuk memahami dan menjelaskan penggunaan bahasa secara spesifik (khusus dalam percakapan jual-beli). Pendekatan sosiopragmatik tidak saja digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena kebahasaan dalam percakapan jual-beli, tetapi juga untuk memahami dan menjelaskan aspekaspek yang terkait dengan informasi. Pendekatan ini tidak saja digunakan untuk memahami dan menjelaskan persoalan-persoalan interaksi, tetapi juga konsep- 89 konsep psikologis, kepercayaan, dan harapan, serta apa yang terdapat dalam pikiran penutur (Leech, 1986 ; Yule, 2006:144 ; McCarthy,1997:155). Pendekatan sosiopragmatik digunakan juga untuk memahami dan menjelaskan fenomena-fenomena sosial, yaitu tindakan-tindakan masyarakat dalam melaksanakan aktivitas sosial, seperti aktivitas transaksi jual-beli, bagaimana mewujudkan tindakan-tindakan itu, serta apa yang melatarbelakangi terjadinya setiap tindakan (a mode of doing, being, and becoming) (Schifrin dalam Aronoff dan Rees-Miller, 2001:428-429). Pendekatan yang dilakukan dimulai dengan memahami latar belakang sosial peserta tutur dalam sebuah peristiwa komunikasi, yaitu usia, gender, status sosial, yang membuat penutur memilih salah satu bentuk tutur, dan bukan bentuk tutur yang lain (Leech, 1986 ; Tarigan, 1990 ; Crystal, 1997). 1.9.3 Satuan Kajian Penelitian Fokus satuan kajian (unit of analysis) dalam penelitian adalah (1) tuturantuturan, (2) tindakan-tindakan individu, dan (3) konteks tutur. Fokus satuan kajian tuturan-tuturan adalah tuturan-tuturan yang direalisasikan secara formal oleh satuan-satuan lingual berupa kalimat, klausa, frasa, kata, morfem, serta ungkapanungkapan. Fokus satuan kajian tindakan-tindakan individu adalah tindakantindakan yang dilakukan oleh individu Pj dan Pb dalam melaksanakan percakapan jual-beli, yang diekspresikan oleh tuturan-tuturan. Baik tuturan-tuturan maupun tindakan-tindakan dipahami dalam konteks tutur. (lihat hal 41-42). Selanjutnya fokus satuan kajian konteks tutur adalah segala aspek yang terkait dengan tuturan dan yang melingkupi tuturan. Tujuan dari setiap satuan kajian untuk menjaring 90 sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber yang mencerminkan beragam realitas dalam masyarakat (Moleong, 2007). Dalam penelitian ini realitas itu tidak untuk dibandingkan. 1.9.4 Teknik Pemilihan Sampel, Jenis Sampel, dan Penetapan Informan Teknik pemilihan sampel (sampling) secara kualitatif berbeda dengan nonkualitatif. Pada penelitian nonkualitatif sampel dipilih dari suatu populasi. Oleh sebab itu sampel dapat digunakan untuk mengadakan generalisasi. Pada penelitian nonkualitatif sampel benar-benar mewakili ciri-ciri suatu populasi (Moleong, 2007:223). Sedangkan, penelitian kualitatif berkaitan erat dengan faktor-faktor kontekstual. Menurut paradigma alamiah seorang peneliti harus mulai dengan asumsi bahwa konteks itu bersifat kritis. Oleh sebab itu, setiap konteks ditangani dari segi konteksnya sendiri. Tujuan sampling secara kualitatif adalah menjaring sebanyak mungkin informasi dari pelbagai macam sumber. Tujuannya bukan untuk memfokuskan diri pada perbedaan-perbedaan yang kemudian dikembangkan ke dalam generalisasi. Tujuan sampling dalam penelitian kualitatif adalah menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul (Lincoln dan Guba dalam Moleong, 2007:223224). Untuk penyediaan data peneliti menggunakan teknik pemilihan sampel bertujuan (purposive sampling) atau teknik pemilihan sampel secara menghakimi (judgmental sampling) yang termasuk kategori teknik non-probability sampling. Non-probability sampling berfokus pada teknik pengambilan sampel pada satuan (unit) yang dikaji yang didasarkan pada penilaian peneliti. Pendekatan non- 91 probabilitas lebih cocok untuk penelitian kualitatif mendalam karena sering fokusnya untuk memahami fenomena sosial yang kompleks. Teknik pemilihan sampel bertujuan berdasarkan pertimbangan peneliti tentang siapa yang memiliki keahlian di bidang yang sedang diteliti (Marshall,1996 ; Small, 2009). Pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara ini hanya atas dasar pertimbangan peneliti yang menganggap unsur-unsur yang dikehendaki telah ada dalam anggota sampel yang diambil (Nasution,2003:5). Sampel adalah “sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi” (Sugiyono, 2005:7478). Untuk menghindari terjadi bias dalam penentuan data peneliti melakukan langkah-langkah pemilihan sampel berdasarkan ciri-ciri purposive sampling, yaitu (1) sampel tidak ditentukan terlebih dahulu, tapi berdasarkan rancangan sampel yang muncul, (2) sampel dipilih secara berurutan, (3) sampel disesuaikan secara berkelanjutan, (4) pemilihan sampel diakhiri jika sudah terjadi pengulangan (Moleong, 2007:224-225). Dalam hal ini Moleong merekomendasikan teknik pemilihan sampel bola salju (snowball sampling). Teknik purposive sampling diakui memiliki kekurangan dan kelebihannyaxxii. Namun demikian teknik ini dipandang dapat mengarahkan peneliti pada sumber data yang tepat dan penting yang berhubungan dengan masalah penelitian. Teknik penentuan sampel bola salju (snowball sampling) adalah teknik pemilihan sampel berdasarkan rekomendasi dari informan sebelumnya. Teknik pemilihan sampel semacam ini dilakukan dengan cara menemui informan pertama, dan dari informan tersebut diharapkan dapat diperoleh informasi tentang informan berikutnya yang mengetahui berbagai informasi yang diperlukan 92 (Sutopo, 2006:45-46). Tujuan snowball sampling untuk memperoleh sebanyakbanyaknya sampel yang bervariasi (Moleong, 2007:224). Teknik snowball sampling digunakan, karena peneliti ingin memperluas informasi. Dalam penelitian linguistik sampel merupakan bahan penelitian, yaitu bahan mentah dan bukan bahan jadi. Secara teknis bahan jadi penelitian disebut data. Sebagai bahan jadi, data diturunkan dari sample (Sudaryanto, 1988;1990). Sampel penelitian ini adalah percakapan-percakapan dan tindakan-tindakan individu Pj dan Pb, serta jawaban-jawaban (alasan-alasan dan penjelasanpenjelasan) informan. Untuk mendalami, memahami, dan menjelaskan data lisan dan semua fakta penelitian yang terkait dengan masalah penelitian, serta untuk menguji ketepatan data intuisi peneliti melibatkan informan. Informan itu dibedakan menjadi informan utama (IU) dan informan tambahan (IT). IU adalah kelompok Pj dan Pb, dan IT adalah informan yang bukan berasal dari kelompok Pj dan Pb. IU yang berasal dari kelompok penjual dan pembeli, berjumlah 16 orang, yang terdiri dari : petani 3 orang, peternak 2 orang, pedagang 5 orang, pensiunan 2 orang, guru 1 orang, pegawai (PNS/swasta) 1 orang, dan perangkat pemerintahan desa 2 orang. Selanjutnya IT yang berasal dari kelompok bukan Pj dan Pb berjumlah 14 orang, yang terdiri dari : petani 2 orang, peternak 2 orang, pedagang 3 orang, pensiunan 1 orang, guru 2 orang, pemerhati sosial-budaya 2 orang, dan perangkat pemerintahan desa 2 orang. Jumlah keseluruhan informan 30 orang. 93 Kriteria penentuan informan adalah (1) usia : di atas 30 tahun, (2) gender : laki-laki dan perempuan, (3) pendidikan : SD, SMP, SMA, sarjana, (4) pekerjaan : petani, peternak, pedagang, guru, pegawai (PNS/swasta), pensiunan, perangkat pemerintahan desa, (5) suku : Minahasa, (6) memiliki pengetahuan/kemampuan bahasa, (7) penduduk desa setempat, (8) lama berdomisili di desa minimal 15 tahun, (9) pernah terlibat dalam aktivitas jual-beli, (10) antarinforman tidak ada hubungan keakraban, dan (11) antara informan dan peneliti tidak ada hubungan keakraban. 1.9.5 Data, Jenis Data, dan Sumber Data Data adalah sejumlah fakta yang telah diseleksi berdasarkan relevansinya secara logis dengan masalah penelitian dan kerangka teori atau paradigma yang digunakan, untuk memahami dan menjelaskan masalah penelitian. Fakta penelitian dapat dikatakan sebagai sesuatu yang obyektif, karena selalu didasarkan pada kenyataan tertentu (Ahimsa Putra, 2009:16). Jenis data penelitian ini adalah data kualitatif, yang berbeda dengan data kuantitatif. Data kualitatif berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan dari sesuatu atau gejala, atau pernyataan dari hubungan-hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain, seperti benda-benda, pola-pola perilaku, gagasan-gagasan, nilai-nilai, normanorma, atau bisa juga peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat (Ahimsa-Putra, 2009:18). Data penelitian ini meliputi (1) data lisan (tutur), (2) data tindakantindakan individu, (3) data yang terkait dengan konteks tutur, (4) data wawancara, (5) data intuisi bahasa, dan (6) data tulis. Data lisan (tutur) diperoleh dari 94 percakapan penjual dan pembeli dan data tindakan-tindakan diperoleh dari tuturan penjual dan pembeli. Secara kualitatif kata-kata dan tindakan-tindakan disebut sebagai data primer, dan selebihnya adalah data tambahan, seperti dokumen dan lain-lain (Lofland dan Lofland dalam Moleong, 2007:157). Dalam penelitian linguistik data yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah data lisan (tutur). Data lisan (tutur) dipahami sebagai “data mentah”. Data ini ditranskripsikan ke dalam lembar data dan diklasifikasikan sesuai dengan tipe permasalahan yang dikaji. Hasilnya disebut sebagai “data jadi”. (Sudaryanto, 1993). Data yang terkait dengan konteks tutur diperoleh dari situasi percakapan jual-beli dan situasi yang melingkupi percakapan. Data wawancara (interview) diperoleh dari informan. Menurut Felix & Cesar (2003 : 239) data wawancara adalah data alami (natural data) atau data etnografis (ethnographic data). Selanjutnya data tulis diperoleh dari dokumen (buku-buku dan hasil-hasil penelitian tentang Minahasa). Kedua jenis data ini digunakan untuk mendalami data lisan dan data tindakan-tindakan, serta untuk memahami dan menjelaskan fenomena kebahasaan dalam percakapan jual-beli. Data penelitian termasuk juga data intuisixxiiiatau intuisi bahasa. Sumber data ini adalah peneliti. Meskipun data bahasa dapat dibangkitkan oleh peneliti (sebagai instrumen penelitian), namun data itu dikonfirmasikan lagi dengan penutur lainnya. Tujuannya untuk mengetahui apakah data itu sudah sesuai dengan penggunaan bahasa secara umum pada masyarakat. Kesahihan atau ketepatan data bahasa diuji pada pemakaian bahasa orang lain dalam masyarakat bahasa yang sama (Sudaryanto,1993). Penelitian linguistik dapat memanfaatkan tiga sumber 95 data, yaitu data lisan (tutur), data tulis, dan intuisi bahasa peneliti (Langacker (1972:15). Dilihat dari karakteristik data, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian linguistik. 1.9.6 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan data kualitatif. Dilihat dari jenis datanya maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., dari subjek penelitian secara holistik, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah, dan mendeskripsikannya dalam bentuk kata-kata (Moleong, 2007:6). Menurut Sukmadinata (2005) dasar penelitian kualitatif adalah konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif, serta merupakan suatu pertukaran pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh setiap individu. Peneliti kualitatif percaya bahwa kebenaran itu dinamis, dan hanya dapat ditemukan melalui kajian terhadap interaksi orang-orang dan situasi sosial mereka (Danim, 2002). Penelitian kualitatif bertujuan memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut pandang partisipan. Pada kebanyakan penelitian kualitatif penyediaan data dilakukan dengan beberapa strategi yang didasarkan pada jenis data yang ingin diperoleh. Penelitian kualitatif dapat menggunakan beberapa strategi xxiv dalam penyediaan data (Creswell, 2007). Penelitian kualitatifxxv dipandang juga sebagai explanatory atau confirmatory researchxxvi, yakni jenis penelitian yang bertujuan untuk mengeksplorasi dan menjelaskan makna yang dianggap oleh sekelompok 96 orang muncul dari permasalahan sosial/kemanusiaan (Cresswel, 2010 : 38-44). Penelitian kualitatif mengkaji perspektif partisipan dengan strategi-strategi interaktif dan fleksibel (Creswell, 2010). Penelitian eksplanatoris adalah jenis penelitian yang berupaya menguraikan dan menjelaskan bagaimana bahasa itu digunakan oleh penuturnya dalam konteks (Van Valin dan Lapola, 1999:3). Penjelasan adalah cara untuk mengungkap pengetahuan baru dan melaporkan hubungan antara aspek-aspek yang berbeda dari fenomena yang diteliti, untuk menjawab pertanyaan "mengapa" (Babbie Earl dalam Hin Sze, 2007), seperti yang dapat dipahami dalam kutipan pernyataannya sebagai berikut : In scientific research, explanation is one of several "purposes" for empirical research. Explanation is a way to uncover new knowledge, and to report relationships among different aspects of studied phenomena. Explanation attempts to answer the "why" question. Explanations have varied explanatory power. The formal hypothesis is the theoretical tool used to verify explanation in empirical research. (lih. Remler dan Van Ryzin, 2011). Dilihat dari perspektif linguistik penelitian yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang fokus perhatiannya pada pemahaman makna fenomena lingual yang melibatkan konteks (Subroto,1992:7 ; Sugiyono, 2005:1). Makna dari fenomena lingual terungkap dalam data penelitian dan dijelaskan berdasarkan kerangka teoretis yang digunakan. 1.9.7 Lokasi Penelitian Lokasi pasar tradisional yang dipilih adalah (1) pasar sayur, rempah dan buah, pasar beras, pasar ikan, dan pasar daging, (2) warung sembako, (3) kios 97 tempat penjualan aneka komoditas pertanian (khusus cengkih dan kopra), dan (4) tempat usaha keluarga (usaha ternak dan pembuatan batu bata). 1.10 Metode dan Teknik Penyediaan Data Menurut perspektif linguistik untuk memecahkan masalah penelitian dibutuhkan tiga tahap, yakni (1). penyediaan data, (2). penganalisisan data, dan (3). penyajian hasil analisis data. Untuk melakukan ketiga tahapan tersebut diperlukan metode dan teknik untuk setiap tahapannya (Sudaryanto, 1993:5). Menurut Creswell (2010:11) metode yang digunakan untuk kajian pragmatik haruslah termasuk metode-metode yang paling mungkin untuk menjawab pertanyaan penelitian, serta memenuhi kebutuhan peneliti dan tujuan penelitian. Dalam hal ini metode campuran sangat mendukung (“methodology used has to include methods that are most likely to answer research question. Concern is with what works. Methods chosen needs to meet needs of researchers and purposes of research. Strongly supports mixed methods”). Penelitian ini menggunakan tiga macam metode (prosedur) penyediaan data, yaitu metode observasi, metode wawancaraxxvii, dan metode intuisi atau refleksif-introspektif (Langacker, 1972:15 ; Leedy, 1980 ; Sudaryanto, 1993:121). Metode observasi dan wawancara tidak hanya dikenal dalam literatur ilmu sosial tapi juga dalam ilmu bahasa, (Chaika, 1982: 23-25; Kartomiharjo, 1988: 17-19 ; Spolsky, 2003: 9-12 ; Nasution, 2004: 106-113). Metode observasi adalah metode yang diterapkan dalam penelitian dengan cara mengamati objek kajian dalam konteksnya. Metode observasi dilakukan dengan dua cara, yakni (1) 98 observasi berperanserta (nonparticipation observation) dan (2) observasi tidak berperanserta (nonparticipation observation) (Moleong, 2007). Dalam melaksanakan metode observasi berperan serta peneliti melibatkan diri dalam pelaksanaan aktivitas jual-beli. Dengan demikian peneliti dapat leluasa memperhatikan tuturan Pj dan Pb, dapat mengamati cara-cara/tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan transaksi, dan dapat mempelajari situasi yang sedang berlangsung. Sedangkan untuk melaksanakan metode observasi tidak berperanserta peneliti hanya mengamati proses pelaksanaan aktivitas. Dalam penelitian linguistik metode observasi dipahami sebagai metode simak. Dalam melaksanakan metode simak peneliti melakukan teknik sadap dan teknik catat (Sudaryano, 1993). Penyadapan dilakukan dengan dua teknik yaitu (1) teknik simak libat cakap (SLC) dan (2) teknik simak bebas libat cakap (SBLC). Kegiatan dalam melaksanakan teknik SLC adalah menyimak sambil berperan serta atau terlibat langsung dalam percakapan. Ketika seorang Pj dan Pb terlibat dalam percakapan pada saat itu peneliti menyimak sekaligus terlibat dalam percakapan. Sedangkan dalam melaksanakan teknik SBLC peneliti tidak terlibat dalam percakapan. Peneliti hanya bertindak sebagai pemerhati yang menyimak percakapan. Penyadapan dilakukan dengan menggunakan teknik rekam, yaitu merekam percakapan-percakapan tanpa diketahui oleh Pj dan Pb sebagai sumber data. Tujuannya agar data dapat disediakan dengan seideal dan senatural mungkin. Cara semacam ini menurut Wardaugh adalah cara yang mengacu pada konsep observer’s paradox (Wardhaugh, 1988 : 18-19). Teknik rekam ini sangat menunjang teknik sadap, baik teknik SLC maupun teknik SBLC. 99 Selanjutnya teknik catat dilakukan dengan cara mencatat data pada kartu data. Setelah proses pencatatan data selesai, dilanjutkan dengan klasifikasi data (Sudaryanto, 1993). Data yang dicatat tidak saja data lingual, tetapi juga data nonlingual, yaitu aspek-aspek yang terkait dengan latar belakang identitas Pj dan Pb, serta faktor-faktor situasional berhubungan dengan situasi tutur yang sedang berlangsung, seperti topik pembicaraan, tempat pembicaraan, sudut pembicaraan, dan situasi bicara (Suwito, 1985:24). Selanjutnya dalam melaksanakan metode wawancara peneliti menggunakan teknik wawancara terbuka atas sepengetahuan pihak yang diwawancarai, dan tujuan pelaksanaan wawancara juga diketahui oleh pihak yang diwawancarai (Moleong, 2007:189). Untuk mengarahkan informan dalam memberi informasi yang sebenarnya peneliti menggunakan teknik elisitasi atau teknik pancing (lih.Spolsky, 2003: 9). Selain metode observasi dan wawancara, penyediaan data penelitian ini menggunakan juga metode intuisi (Langacker, 1972) atau metode refleksif-introspektif (Sudayanto, 1993). Sesuai ketentuan metode intuisi peneliti tidak hanya berperan sebagai penerima tutur, tetapi juga berperan sebagai penutur dengan melibatkan segenap pengetahuan dan kemampuan sebagai penutur asli. Peneliti tidak saja berperan sebagai penutur asli, tetapi juga membangkitkan data bahasa yang dimiliki, dan mengujinya dengan menggunakan kemampuan intuitif. Penggunaan metode ini tidak bertujuan untuk mendapatkan data final (Langacker,1972:15). Metode refleksif-introspektif adalah metode yang memanfaatkan secara optimal peran peneliti sebagai penutur bahasa tanpa mengenyampingkan peranan kepenelitian itu sendiri (Sudaryanto, 100 1993;121). Setiap metode dan teknik penyediaan data penelitian diakui memiliki kekurangan dan keunggulannya (Nababan,1993:9). Demikian juga metode dan teknik penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini. 1.10.1 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data Untuk mendapatkan data yang terpercaya (trustworthiness) dilakukan teknik pemeriksaan data dengan cara mengamati dengan teliti, menelaah, serta menguraikan faktor-faktor yang menonjol dalam situasi yang berhubungan dengan masalah penelitian (Moleong, 2007:329-330). Selanjutnya melakukan teknik triangulasi (sumber, metode, peneliti). Triangulasi dengan sumber dilakukan dengan cara mengkonfirmasi data dengan sumber data, yaitu Pj dan Pb (sebagai informan utama) dan informan tambahan. Tujuan triangulasi dengan Pj dan Pb adalah (1) untuk membandingkan data hasil observasi berperan serta dan tidak berperan serta, (2) untuk mengkonfirmasi apa yang dimaksudkan penutur dalam tuturannya, (3) untuk membandingkan antara apa yang dimaksudkan penjual/pembeli (sebagai penutur) dalam tuturannya dan apa yang dikatakannya secara pribadi dalam pelaksanaan wawancara, (4) untuk mengetahui kesamaan dan perbedaan antara pemahaman (interpretasi) peneliti dan pemahaman mitra tutur tentang maksud tuturan, (5) untuk memastikan kecocokkan data hasil observasi berpartisipasi (langsung maupun tidak langsung) dengan masalah penelitian, dan (6) untuk memastikan faktor-faktor yang mempengaruhi tuturan. Triangulasi dangan informan tambahan dilakukan dengan cara mewawancarai. Tujuan triangulasi dengan informan tambahan adalah (1) untuk mengetahui kesamaan dan perbedaan antara pandangan penutur yang satu dan 101 pandangan, pemikiran/pendapat penutur yang lain tentang aktivitas jual-beli, seperti pandangan, pemikiran/pendapat rakyat biasa, orang berpendidikan menengah dan berpendidikan tinggi, orang kaya, dan orang yang berkuasa (orang pemerintahan), dan (2) untuk membandingkan data hasil wawancara dengan informan utama (Pj dan Pb), serta data hasil observasi dengan data hasil wawancara. Triangulasi dengan sumber tidak bertujuan untuk menemukan “kesamaan”, tetapi untuk mengetahui alasan-alasan terjadinya perbedaanperbedaan (Patton, 1987 dalam Moleong, 2007 : 331). Triangulasi dengan metode dilakukan dengan cara (1) pengecekan penemuan penelitian tentang metode penyediaan/pengumpulan data yang digunakan dan (2) pengecekan beberapa sumber data (peneliti lainnya) yang menggunakan metode yang sama. Triangulasi dengan peneliti dilakukan dengan cara berdiskusi dengan peneliti lainnya, untuk membandingkan hasil analisis dengan hasil analisis peneliti lainnya, agar data yang dikumpulkan tidak melenceng dari tujuan. (Patton dalam Moleong 2007:330-332). Meskipun tidak semua fakta adalah data, namun fakta penelitian dapat dikatakan sebagai sesuatu yang obyektif, karena selalu didasarkan pada kenyataan tertentu (Ahimsa Putra, 2009:16). Oleh karena itu, fakta tidak dapat diperiksa/ditentukan derajat kepercayaannya oleh satu atau lebih teori (Lincoln dan Guba 1981 : 307 dalam Moleong, 2007:331). 1.11 Model dan Tahapan Analisis Data Tujuan penelitian ini tidak hanya menjelaskan “bagaimana” fakta pemakaian bahasa dalam WJB, tetapi juga menjelaskan “mengapa” fakta 102 pemakaian bahasa itu demikian (sesuai data). Untuk menjawab kedua pertanyaan ini peneliti menggunakan model penalaran induktif. Penalaran induktif didasarkan pada keyakinan bahwa analisis secara induktif dapat menemukan sejumlah realita yang terdapat dalam data tuturan. Datanya dapat dikenali dan akuntabel. Teknik analisis induktif dapat menunjukkan secara eksplisit hubungan peneliti dan subyek penelitian. Pada prinsipnya penelitian kualitatif menggunakan model penalaran induktif (Creswell, 2010:259-263). Namun demikian, penggunaan teoriteori kebahasaan dalam mengarahkan penelitian ini memungkinkan peneliti untuk melibatkan juga penalaran deduktif. Menurut paradigma linguistik penalaran deduktif berpegang pada keyakinan bahwa data lingual pada hakikatnya mengandung fakta lingual (Kridalaksana,2005:11 ; Sudaryanto, 1993:165). Untuk mempersiapkan analisis data lisan terlebih dahulu peneliti melakukan mengumpulkan semua data tuturan, mendengarkan hasil rekaman, dan membaca catatan-catatan untuk memastikan kelengkapan data. Setelah dipastikan data percakapan sudah lengkap barulah ditentukan tahapan analisis datanya. Tahapan analisis data lisan (tuturan) adalah (1) mempelajari tuturan Pj dan Pb dalam percakapan, (2) mempelajari catatan-catatan, (3) memilah-milah data, (4) melakukan verifikasi data ; mengidentifikasi data-data yang relevan, (5) mengklasifikasi data berdasarkan masalah penelitian, (6) mentranskripsikan data tutur ke dalam lembar data, (7) memahami (menginterpretasi) data (data verbal dan data nonverbal), (8) melakukan telaah konteks, (9) mencocokkan hasil pemahaman (interpretasi) dengan data hasil rekaman percakapan dan catatancatatan, (10) mendeskripsikan hasil pemahaman (interpretasi), (11) membuat 103 catatan tentang hasil pemahaman yang masih diragukan, dan (12) membuat inferensi (penyimpulan) sementara. Setelah melakukan analisis data lisan peneliti menyiapkan pertanyaanpertanyaan wawancara dan melaksanakan wawancara/konfirmasi data pada sumber data. Setelah selesai melaksanakan wawancara peneliti mempersiapkan analisis data hasil wawancara. Sebelum melaksanakan analisis peneliti terlebih dahulu mendengarkan hasil rekaman wawancara dengan informan dan memeriksa catatan-catatan selama pelaksanaan wawancara. Selanjutnya peneliti menetapkan langkah-langkah analisis, yaitu (1) mengidentifikasi setiap jawaban dan alasan pemberian jawaban/penjelasan informan, (2) memilah-milah dan mengklasifikasi setiap jawaban/penjelasan informan berdasarkan isi/alasannya, (3) melakukan verifikasi data ; mengidentifikasi data-data yang relevan, (4) mengklasifikasi data berdasarkan masalah penelitian, (5) mempelajari isi jawaban/penjelasan informan, (6) mempelajari alasan-alasan pemberian jawaban/penjelasan informan, (7) mempelajari persamaan dan perbedaan jawaban/penjelasan antara informan yang satu dan informan yang lainnya, (8) mempelajari persamaan dan perbedaan antara hasil wawancara dan hasil pemahaman (interpretasi) data tutur, (9) mempelajari kembali konteks situasi tutur dan segala konteks yang melingkupi, (10) membuat inferensi sementara, (11) memastikan kelengkapan data, (12) melanjutkan wawancara (jika data masih dianggap belum lengkap), dan (13) membuat inferensi akhir. Untuk mendapatkan inferensi yang tepat, pemahaman data tidak hanya didasarkan pada pemahaman (interpretasi) tuturan, tetapi mengaitkan juga tuturan 104 dan hasil pemahamannya dengan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. Tujuannya untuk menemukan jawaban terhadap pertanyaan “mengapa”. i Perilaku adalah segala bentuk tanggapan atau reaksi seseorang terhadap objek yang berwujud tingkah laku, tindakan, atau gerakan. Reaksi tersebut dapat bersifat sederhana (bisa teramati secara langsung) dan dapat pula kompleks (tidak teramati secara langsung). Kegiatan-kegiatan yang tidak dapat diamati itu merupakan kondisi interaksi dalam diri manusia. Pada hakikatnya setiap perilaku manusia merupakan ekspresi perilaku sosial (Hull dalam Margaret E. Bell Gretler, 1991, hal.77). Menurut Hull segala sesuatu yang dilakukan manusia untuk memperjuangkan dan mempertahankan hidup disebut sebagai tingkah laku. Manusia selalu diperhadapkan dengan kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan biologis. Kebutuhan adalah dorongan (drive) yang ada dalam diri manusia yang memunculkan tingkah laku untuk pemenuhan suatu kebutuhan. Tingkah laku berfungsi menjaga kelestarian mahluk hidup. Perilaku manusia dapat dibedakan menjadi (1). perilaku terbuka (overt behavior), yaitu perilaku yang tampak dalam peristiwa interaksi manusia dengan lingkungan (biotik, abiotik, sosial), dan (2). perilaku tertutup (covert behavior), yaitu perilaku yang berupa kegiatan berpikir, membayangkan, merasakan, dan merencanakan. Kegiatan semacam ini tidak dapat diamati secara langsung, karena ada di dalam diri manusia (Smith, dkk, 1986 : 4). ii Jual-beli (trade) diartikan sebagai (1). perdagangan (perdagangan eceran), (2). kejujuruan, ketrampilan, (3).pembeli, langganan, (4). tukar menukar (tukar menukar dengan sepadan, tukar tambah), berdagang atau berniaga (berdagang dimana-mana ; suka berbelanja) (periksa Kamus Inggris – Indonesia, Echols & Shadily, tahun 2003, hlm 599). Jual-beli adalah (1). deal ‘a business agreement’ ; buy and sell, (2). do business with ; exchange (periksa The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, hlm, 1366). “Dalam penelitian kuantitatif, teori berperan sebagai penjelasan awal tentang hubungan antarvariabel yang diuji oleh peneliti. Dalam penelitian kualitatif, teori berperan sebagai perspektif bagi penelitian dan terkadang pula justru dihasilkan selama penelitian itu berlangsung. Dalam penelitian metode campuran, teori bisa digunakan untuk beragam tujuan, bergantung pada fleksibilitas penggunaannya dalam penelitian kualitatif dan kuantitatif” (lih. John W. Creswell, 2010 : xiii dalam Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, cetakan I, diterjemahkan oleh Achmad Fuwaid). iii iv v (1) Setting and scene, mengacu pada tempat, ruang, waktu terjadinya peristiwa tutur, serta kondisi fisik lainnya atau suasana pertuturan, (2) Participant, yaitu pihak-pihak yang berperan dalam peristiwa tutur, (3) Ends (purpose and goal), yaitu mengacu pada tujuan dan hasil komunikasi, (4) Act sequence, yaitu mengacu bentuk (tindakan) dan isi (pesan) tuturan, (5) Key, mengacu pada cara berkomunikasi ; ragam bahasa (santai, serius) dan nada suara (tinggi, rendah) yang digunakan dalam menyampaikan pesan, (6) Instrumentalities, mengacu pada sarana ; bentuk bahasa (tulis, lisan) dan jenis tuturan (standar atau dialek) yang digunakan, (7) Norms, yaitu mengacu pada aturan-aturan dalam berinteraksi, dan (8) Genre, mengacu pada jenis/tipe teks yang digunakan, seperti dongeng, iklan, dsbnya (Hymes, 1972 dalam Renkema,1993: 44). Diglosia adalah situasi hadirnya dua bahasa baku, dimana yang satu dihargai lebih tinggi statusnya dan yang satu lebih rendah statusnya. Bahasa yang berstatus lebih tinggi digunakan dalam situasi-situasi resmi, sedangkan bahasa yang berstatus lebih rendah digunakan dalam situasi yang tidak resmi. Tinggi rendahnya status yang dikenakan pada dua bahasa menyiratkan bahwa setiap variasi bahasa memiliki fungsi yang berbeda. Perbedaan fungsi 105 pada dua bahasa menunjukkan bahwa diglosia dengan fungsi H (high) bersifat lebih formal dan diglosia dengan fungsi L (low) bersifat lebih informal dan santai. vi Lih. Penjelasan Dell Hymes tentang komponen tutur sebagai faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa dalam Toward Ethnograpies of Communication : The Analysis of Communicative Events dalam Pier P.Giglioli (editor) : Language and Social Context, 1973, hal 21-24. Band. Soepomo Poedjosoedarmo & John. U Wollf, 1982 ; Soepomo Poedjosoedarmo, 1984 ; M.A.K.Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1992,tentang Field, Tenor, dan Mode. vii Dalam refisi makalahnya yang berjudul A Taxonomy of Illocutionary Acts Searle mengubah istilah representative menjadi assertive. viii Menurut Grice (1975) maksim adalah manifestasi khusus dari “prinsip”, yang selanjutnya menurut Leech (1983) pendapat ini akan berhadapan dengan beberapa masalah, yaitu : (1). Prinsip/maksim berlaku secara berbeda dalam konteks penggunaan bahasa yang berbeda, (2). Prinsip/maksim berlaku pada tingkatan yang berbeda : tidak ada prinsip yang berlaku secara mutlak, atau yang tidak berlaku sama sekali, (3). Prinsip/maksim dapat berlawanan satu dengan yang lain, (d). Prinsip/maksim dapat dilanggar tanpa meniadakan jenis tindakan yang dikendalikannya.” Band. Pengembangan maksim kerja sama (PK), prinsip sopan santun (PS) dan tentang maksim kearifan dari Geoffrey Leech dalam “Prinsip-Prinsip Pragmatik”, diterjemahkan oleh M.D.D. Oka, tahun 1993, hal 161-217. ix Mohon diperiksa penjelasan Nadar dalam buku Pragmatik dan Penelitian Pragmatik (2009), halaman 27-28 x Lih. The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Peter Salim, 1991: 936, penerbit Modern English Press, edisi keempat). xi Implikatur konvensional adalah “makna yang dipahami atau diharapkan pada bentuk-bentuk bahasa tertentu tetapi tidak terungkap”. Mis. dalam dialog A : Ayo, lekas berangkat, B : Ini baru jam enam, aku belum sarapan. Artinya ‘B mau menyatakan bahwa kebiasaannya sebelum pergi, ia harus sarapan’. xii Implikatur percakapan adalah “makna yang dipahami tetapi tidak atau kurang terungkap dalam apa yang diucapkan”. Mis. dalam dialog B : Silahkan makan sekenyangnya, B : Saya tadi ikut pesta ulang tahun kemenakan saya. Artinya ‘B menolak makan karena kenyang’ (lih. Kridalaksana dalam Kamus Linguistik, 2008:91, penerbit Gramedia Pustaka Utama, edisi keempat). xiii Stephen C. Levinson dalam Pragmatics, tahun 1983, hal 97-100, hubungkan dengan keempat maksim percakapan menurut versi Grice, hal 101-113. . Implikasi (implication) adalah “maksud, pengertian yang tidak disebutkan secara langsung, pertanda”. Mis. She smiled with the implication that she didn’t believe you. Artinya ‘dia tersenyum pertanda dia tidak mempercayaimu’ (lih. The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Peter Salim, 1991:936, penerbit Modern English Press, edisi keempat). Implikatur konvensional adalah “makna yang dipahami atau diharapkan pada bentuk-bentuk bahasa tertentu tetapi tidak terungkap”, mis dalam dialog A : Ayo, lekas berangkat, B : Ini baru jam enam, aku belum sarapan. Artinya ‘B mau menyatakan bahwa kebiasaannya sebelum pergi, ia harus sarapan’. 106 Implikatur percakapan adalah “makna yang dipahami tetapi tidak atau kurang terungkap dalam apa yang diucapkan”, mis. dalam dialog A : Silahkan makan sekenyangnya, B : Saya tadi ikut pesta ulang tahun kemenakan saya. Artinya ‘B menolak makan karena kenyang’(Kridalaksana dalam Kamus Linguistik, 2008:91, penerbit Gramedia Pustaka Utama, edisi keempat). xiv Berkenaan dengan presuposisi (praanggapan), mohon diperiksa pula Parker (1986) dan Kaswanti Purwo (1990). xv Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, dalam Human Communication. Edisi ke-7. New York : McGraw-Hill, 1994, hlm 7. xvi Syarat-Syarat komunikasi adalah, (1). harus terbatas pada pesan yang diarahkan secara sengaja kepada orang lain dan diterima, (2).harus meliputi keseluruhan perilaku yang memiliki makna bagi penerima (disengaja ataupun tidak), (3).harus mencakup segala pesan yang dikirim secara sengaja, namun kesengajaan itu sulit ditentukan. Esensi komunikasi sebenarnya terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang memungkinkan terjalinnya hubungan antarpengirim dan penerima pesan. Komunikasi sebagai proses menghasilkan tindakan, perubahan, pertukaran dan perpindahan. xvii Lih. Soeseno Kartomihardjo dalam “Pemahaman Wacana Antar Budaya”, makalah disampaikan dalam Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya Kesepuluh (PELLBA 10), Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya, Jakarta, 1996, hl.1. xviii Karakteristik yang dimaksudkan Burgoon tampak dalam kutipan berikut ini, yaitu“(1). Nonverbal codes tend to be analogic rather than digital, (2). But not all, nonverbal code is iconity, or resemblance. Icon (as when you depict the shape of something with your hand), (3). Certain nonverbal codes seem to elicit universal meaning, (4). Nonverbal codes enable the simultaneous transmission of several messages, (5). Nonverbal signals often evoke an automatic response without thinking, and (6). Nonverbal signals are often emitted spontaneously” (lih. Littlejohn, 2002:104-105) xix Lih. Deddy Mulyana, 2004 , hal 9. Band. Penggunaan istilah “konsep diri” sebagai “inti diri” (the core of one’s self) oleh Howard F. Stein dan Robert F. Hill yang dikutip dari Deddy Mulyana, 2004, hal 9. xx Perbedaan antara paradima ilmiah/penelitian kuantitatif dan paradigma alamiah/penelitian kualitatif (lih. Moleong, 2007:49-56). xxi Pengertian, fungsi, bentuk formulasi, unsur-unsur teori, serta teori substantif dan teori formal (lih. Moleong, 2007:56-66). xxii Periksa uraian Lucas (2014a) dan Wiederman (1999) xxiii Intuisi adalah “daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari ; bisikan hati ; gerak hati”. Dengan demikian intuisi bahasa dapat dipahami juga sebagai daya atau kemampuan untuk merasakan tepat tidaknya penggunaan suatu bahasa berdasarkan pengalamannya sebagai penutur asli (native speaker) ((KBBI,1996:385). xxiv Prosedur-prosedur pengumpulan data dalam penelitian kualitatif melibatkan empat jenis strategi, yakni observasi kualitatif, wawancara kualitatif, dokumen-dokumen kualitatif, materi audio dan visual (lih. Creswell dalam Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Cetakan I. Diterjemahkan oleh Achmad Fuwaid, tahun 2010, hal 266-274 ; Cresswell, 2007). 107 xxv Penelitian kualitatif berupaya mengajukan pertanyaan-pertanyaan, prosedur-prosedur, mengumpulkan data spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif (mulai dari tema-tema khusus sampai pada tema-tema umum), dan menafsirkan makna dari setiap data. Intinya penelitian ini terfokus pada makna individual, memiliki cara pandang induktif dalam penganalisisan data, dan bersifat interpretif terhadap persoalan yang kompleks. Laporan penelitian jenis kualitatif memiliki kerangka (strukutur) yang fleksibel. Perihal penelitian kualitatif Creswell tidak hanya mengikutsertakan perspektif-perspektif tradisional saja tetapi juga perspektif-perspektif baru, seperti advokasi, partisipatoris, dan refleksi diri. Karakteristik penelitian kualitatif adalah (1). Lingkungan alamiah (natural setting). Peneliti kualitatif berinteraksi dengan individu face to face dalam setting yang alamiah, (2) peneliti sebagai instrumen kunci (researcher as a key instrument) dalam melaksanakan pengumpulan data, (3) data dikumpulkan dari berbagai sumber (multiple sources of data), (4) analisis data induktif (inductive data analysis) ; membangun pola, kategori dan tema dari bawah ke atas. Proses ini membutuhkan kerjasama secara interaktif dengan partisipan, (5) makna harus bersumber dari partisipan (participants meaning), (6) rancangan penelitian berkembang dinamis (emergent design), (7) mengacu pada perspektif teoretis (theoretical lens), (8) bersifat penafsiran (interpretive), dan (9) memiliki pandangan menyeluruh (holistic account), yaitu gambaran yang kompleks tentang suatu permasalahan untuk mendapatkan gambaran holistik (lih. Creswell, 2010 : 259-263 ; Creswell dalam Qualitative Inquiry and Research Design : Choosing among Five Approaches, 2007). Pada umumnya tujuan penelitian kualitatif mencakup (1) informasi tentang fenomena utama yang dieksplorasi dalam penelitian, (2) partisipan penelitian, dan (3) lokasi penelitian. Selain itu penelitian ini juga dapat menyatakan rancangan penelitian yang dipilih (lih. Schwandt dalam Creswell, tahun 2010, hl.167). xxvi The desire to know "why," to explain, is the purpose of explanatory research. It builds on exploratory and descriptive research and goes on to identify the reasons for something that occurs. Explanatory research looks for causes and reasons. Goals of Explanatory Research : 1. Explain things not just reporting. Why? Elaborate and enrich a theory's explanation. 2. Determine which of several explanations is best. 3. Determine the accuracy of the theory; test a theory's predictions or principle. 4. Advance knowledge about underlying process. 5. Build and elaborate a theory; elaborate and enrich a theory's predictions or principle. 6. Extend a theory or principle to new areas, new issues, and new topics: 7. Provide evidence to support or refute an explanation or prediction. 8. Test a theory's predictions or principles (www.blurtit.com/q4 15229 html). xxvii Kebanyakan penelitian kualitatif menerapkan cara-cara penyediaan data dari lapangan (masyarakat) yang berhubungan dengan observasi, wawancara, dan juga kuesioner (lih. Nababan dalam Sosiolinguistik : Suatu Pengantar, tahun 1993, hal. 9).