1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa dalam kehidupan manusia tidak berdiri sendiri. Bahasa memiliki
kaitan dengan kehidupan sosial maupun kebudayaan penuturnya. Dalam
melakukan interaksi sosial manusia menggunakan bahasa sebagai media
komunikasi. Berkomunikasi tidak sekedar melakukan aktivitas berbicara. Ketika
seseorang terlibat kontak dengan orang lain, pada saat itu ia berkomunikasi dan
memberi informasi. Ketika seseorang berkomunikasi/memberi informasi, maka
pada saat itu juga ia mengekspresikan perilaku-perilaku atau tindakan-tindakan,
baik secara verbal maupun nonverbal. Pada hakikatnya berkomunikasi atau
memberi informasi adalah melakukan tindakan bahasa. Fenomena komunikasi
dapat diamati melalui tiga aspek, yaitu perilakui, pesan dan makna. Perilaku
manusia merupakan ekspresi dari sesuatu yang ada dalam diri manusia, dan itu
dapat diamati pada perilaku komunikasinya. Pada hakikatnya setiap perilaku
manusia merupakan ekspresi perilaku sosial (Hull dalam Gretler, 1991:77).
Penelitian ini berkenaan dengan masalah wacana. Wacana adalah
penggunaan bahasa dalam peristiwa komunikasi atau dalam suatu situasi sosial
(Halliday, 1979 ; Halliday dan Hassan, 1994). Oleh karena itu, wacana merupakan
produk yang dihasilkan oleh suatu peristiwa komunikasi (Halliday, 1979 ;
Halliday dan Hassan, 1994) atau bahasa yang dihasilkan oleh tindak komunikasi
2
(Richards dan Schmidt,1989). Penggunaan bahasa dalam komunikasi selalu
dikaitkan dengan bagaimana bahasa itu digunakan untuk memenuhi fungsinya
(Brown dan Yule,1996:1). Fungsi bahasa dapat dipahami pada cara seseorang
menggunakan bahasa atau beberapa bahasa untuk mencapai tujuannya atau
melalui cara dan tujuan seseorang berkomunikasi (Halliday,1987). Sebagai
penggunaan bahasa dalam suatu peristiwa komunikasi wacana berhubungan
dengan segala kejadian atau peristiwa yang dapat diidentifikasi.
Sebagai produk yang dihasilkan oleh peristiwa komunikasi wacana adalah
rangkaian satuan lingual yang tidak hanya bermuatan makna (meaning), tetapi
sebagai satuan gramatikal yang mengandung pesan. Wacana merupakan satuan
(unit) perilaku yang direalisasikan oleh satuan-satuan lingual. Sebagai satuan
(unit) perilaku wacana adalah wujud perilaku sosial (Crystal, 2001). Wacana
adalah bentuk/gambaran perilaku, sekaligus sebagai ekspresi dan representasi
fenomena kehidupan manusia (Halliday dalam Halliday dan Hasan, 1994).
Wacana diasosiasikan dengan segala hal yang berkaitan dengan tindakan
‘bercakap-cakap’ (Paltridge, 2000: 4).
Wacana yang dikaji dalam penelitian ini adalah wacana lisan. Dilihat dari
wujudnya wacana lisan adalah rangkaian satuan lingual yang ditranskrip dari
rekaman bahasa lisan. Wacana lisan dipandang menarik, karena merupakan
pemakaian bahasa dalam suatu peristiwa komunikasi lisan yang melibatkan
konteks. Sebagai pemakaian bahasa yang melibatkan konteks wacana lisan
merupakan bentuk praktik sosial yang nyata.
3
Produk bahasa yang dihasilkan oleh peristiwa komunikasi lisan tidak saja
berwujud formal, tetapi juga berwujud pragmatik. Sebagai rangkaian satuan
lingual yang dihasilkan oleh suatu peristiwa komunikasi lisan wacana tidak saja
bermuatan semantis, tetapi juga bermuatan makna pragmatis. Artinya, satuansatuan lingual yang direalisasikan oleh ujaran-ujaran tidak saja mengandung
makna, tetapi juga mengandung maksud.
Jenis wacana yang dipilih adalah percakapan. Percakapan tidak sekedar
aktivitas tanya-jawab atau berbincang-bincang, tetapi merupakan sebuah peristiwa
tutur. Peristiwa tutur dipahami sebagai peristiwa penggunaan bahasa yang terjadi
dalam suatu situasi sosial tertentu dan mempunyai topik, serta tujuan yang jelas.
Percakapan adalah suatu peristiwa terstruktur yang terealisasi dalam ujaran
(Brown dan Yule, 1996 ; Halliday dan Hassan, 1976: 10 ; Halliday, 1992 ;
Stubbs,1983: 10 ; Fairclough, 1989:21-24 ; McCarthy, 1994 : 155 ;
Hoed,1994:129).
Percakapan tidak saja dipahami sebagai sebuah peristiwa tutur. Ketika
seseorang terlibat dalam sebuah peristiwa tutur ia tidak hanya memproduksi
satuan-satuan kebahasaan, tetapi sekaligus melaksanakan tindakan-tindakan di
dalam tuturannya, yang disebut tindak tutur. Oleh karena itu, percakapan bukan
sekedar rangkaian ujar, tetapi dipahami sebagai kesatuan ujaran dan tindakan yang
terkait dengan pemahaman dan tanggapan. Kedua tindakan ini direalisasikan oleh
rangkaian ujar yang dihasilkan oleh konteks.
Sebagai sebuah peristiwa tutur atau peristiwa komunikasi lisan,
percakapan tidak saja merupakan sebuah aktivitas verbal, tetapi juga melibatkan
4
aspek-aspek nonverbal. Dalam sebuah percakapan tindak nonverbal selalu
menyertai atau muncul di sela-sela tindak verbal. Tindak nonverbal tidak hanya
berfungsi memperkuat tindak verbal, tetapi dalam sebuah percakapan tindak
nonverbal dapat mengimplikasikan sesuatu.
Percakapan bukan peristiwa tutur biasa. Percakapan merupakan bentuk
wacana interaktif. Sebagai wacana interaktif percakapan merupakan peristiwa
interaksi lisan yang melibatkan pertukaran informasi, pertukaran ide/gagasan,
pendapat untuk mencapai pemahaman yang sama (Halliday, 1994 ; Richard,
1995:3). Terkait dengan hal ini percakapan dapat dipahami juga sebagai proses
komunikasi/interaksi. Aspek yang paling menonjol di dalam aktivitas percakapan
adalah “proses” yang terjadi diantara Pn dan Mt (Paltridge, 2000: 4). Proses yang
dimaksud adalah proses penyesuaian-penyesuaian interpersonal.
Percakapan tidak hanya terkait dengan persoalan informasi, yaitu
bagaimana menyampaikan informasi agar informasi itu dapat dipahami dengan
jelas. Percakapan dipahami juga sebagai tindakan, sekaligus proses memahami
apa yang ada dalam benak dan dirasakan oleh penutur, serta apa yang ada di
dalam pikiran penutur pada saat memformulasi dan menyampaikan sebuah
tuturan. Demikian juga, apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh mitra tutur pada
saat menerima dan menanggapi informasi/pesan dari penutur. Percakapan
merupakan bagian dari proses komunikasi. Oleh karena itu fenomena komunikasi
atau fenomena kebahasaan dapat diamati dan dapat diidentifikasi dalam
percakapan.
5
Sebagai wacana interaktif percakapan berkaitan dengan pola/urutan
tingkah laku yang teratur dalam melakukan komunikasi timbal balik atau interaksi
(Stubbs,1983). Dalam percakapan setiap peserta tutur memiliki hak dan kewajiban
berbicara, mendengarkan, dan memberi tanggapan. Percakapan tidak saja
dipahami sebagai bentuk pertukaran informasi, tetapi juga pertukaran giliran
bicara atau pertukaran peran. Sebagai bentuk pertukaran atau pergantian giliran
bicara percakapan diatur oleh sebuah konvensi yang menentukan siapa yang
berbicara, kapan, serta untuk berapa lama berbicara. Sebagai wacana interaktif
percakapan itu memiliki bentuk atau struktur yang menggambarkan mekanisme
interaksi.
Percakapan itu merupakan bentuk praktik sosial yang ditandai oleh
aktivitas menjalin hubungan, saling meyakinkan, saling memahami, saling
menyesuaikan, saling bekerjasama, dan saling menghormati/menghargai. Dalam
konteks komunikasi percakapan merupakan tindakan mempresentasikan diri atau
pernyataan gambaran diri. Dalam proses interaksi kadang-kadang partisipan
percakapan mengkomunikasikan juga pandangan pribadinya tentang sesuatu hal,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Pandangan pribadi kadang-kadang
juga berhubungan dengan prinsip-prinsip budaya (Mulyana, 2002).
Percakapan tidak saja berhubungan dengan persoalan penggunaan bahasa,
peristiwa tutur, pemakaian bahasa, perilaku berbahasa, peristiwa interaksi lisan,
praktik sosial, proses komunikasi/interaksi, serta mekanisme atau struktur
interaksi. Percakapan berhubungan juga dengan
kegiatan-kegiatan dalam diri
manusia yang tidak dapat diamati, seperti kegiatan berpikir, membayangkan,
6
merencanakan, merasakan, meyakini, dan mengharapkan. Selain itu, percakapan
mengekspresikan perilaku-perilaku sosial, serta tujuan dan sikap sosial.
Pengkajian
wacana
yang
berhubungan
dengan
aspek-aspek
ini
mengutamakan perspektif pragmatik (Yule, 2006). “Pragmatics is distinct from
grammar, which is the study of the internal structure of language. Pragmatics is
the study of how language is used to communicat) (Parker,1986). Percakapan
merupakan jenis prototype penggunaan bahasa yang paling mendasar yang dapat
menunjukkan dengan jelas berbagai aspek pragmatik (Levinson,1983:284-285).
Selanjutnya mengapa memilih percakapan jual-beliii ?. Percakapan jualbeli adalah sebuah aktivitas transaksi atau tawar menawar (negosiasi) yang
melibatkan unsur penjual dan pembeli, serta komoditas yang diperjualbelikan.
Meskipun percakapan jual-beli merupakan percakapan alamiah (natural), namun
baik Pj maupun Pb mempunyai strategi-strategi (perencanaan) transaksi. Untuk
mewujudkannya, baik Pj maupun Pb melakukan bermacam-macam cara/tindakan
agar dapat mencapai kesepakatan atau persetujuan jual-beli.
Cara-cara/tindakan-tindakan yang dilakukan Pj dan Pb selain dapat
menentukan nilai sebuah transaksi, juga kadang-kadang dapat mempengaruhi
hubungan interpersonal. Pengaruh itu ada yang sifatnya positif, tetapi ada juga
yang sifatnya negatif. Tergantung bagaimana mewujudkan tindakan-tindakan dan
bagaimana hubungan Pj dan Pb. Cara-cara/tindakan-tindakan Pj maupun Pb juga
ditentukan oleh tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Misalnya dalam menjalin
hubungan keakraban, baik Pj maupun Pb mempunyai tujuan yang berbeda-beda.
7
Setiap peristiwa komunikasi memiliki latar. Latar adalah tempat kejadian
suatu peristiwa. Mengapa tertarik memilih latar pasar tradisional ?. Pasar
tradisional dipahami sebagai pasar pedesaan atau “rural markets” (May dan
Bucholt, 1982), walaupun kenyataannya di beberapa daerah perkotaan masih
ditemukan pasar-pasar tradisional. Sebagai tempat pelaksanaan aktivitas
berdagang pasar tradisional adalah pusat pertemuan individu-individu yang
berbeda usia, gender, pekerjaan, status sosial, dan juga suku. Percakapan di pasar
tradisional berbeda dengan percakapan yang terjadi di ruang pengadilan, di ruang
pemeriksaan dokter, atau di ruang kelas. Perbedaan itu setidaknya dapat diamati
pada penggunaan kode (bahasa) dan ragam tutur, pengalihan kode, pelaksanaan
tindak tutur, variasi bentuk tuturan, pelaksanaan kerjasama dan kesantunan, serta
mekanisme interaksi.
Pasar tidak hanya dipahami sebagai tempat pelaksanaan aktivitas jual-beli,
seperti yang lazimnya ditemui di daerah-daerah pedesaan maupun perkotaan.
Pengertian pasar itu sendiri menurut ilmu ekonomi tidak hanya mengacu pada
tempat pelaksanaan aktivitas jual-beli, tetapi juga dipahami sebagai “setiap
hubungan” yang diciptakan oleh Pj dan Pb, yang ditandai oleh adanya aktivitas
transaksi (negosiasi) suatu komoditas tertentu. Hubungan itu dapat dibedakan
menjadi (1) hubungan langsung (bertatap muka) dan (2) hubungan tidak langsung
(tanpa bertatap muka). Di pasar tradisional Pj dan Pb menjalin hubungan secara
bertatap muka. Berbeda dengan di pasar moderen (pasar swalayan dan pasar
online). Di pasar moderen Pj dan Pb menjalin hubungan tanpa bertatap muka.
8
Penelitian ini dilaksanakan di propinsi Sulawesi Utara, di kabupaten
Minahasa, yaitu di kecamatan Sonder dan Kawangkoan dan di kabupaten
Minahasa Selatan, yaitu di kecamatan Tareran, Tenga, dan Tompaso Baru. Lokasi
ini dipilih karena kelompok subetnik Tountembon kebanyakan tersebar di dua
kabupaten ini. Dalam aktivitas komunikasi sehari-hari masyarakat di Kabupaten
Minahasa menggunakan bahasa daerah Tountemboan (BDT) dan bahasa melayu
Manado (BMM). Sedangkan, masyarakat di Kabupaten Minahasa Selatan
kebanyakan menggunakan bahasa melayu Manado (BMM), kecuali masyarakat
yang berada di kecamatan Tareran. Sebagai masyarakat bilingual, dalam
berkomunikasi masyarakat Tountemboan memiliki pilihan kode yang bermacammacam. Ada bentuk yang ringkas, ada bentuk yang lengkap, ada bentuk standart,
ada pula bentuk dialek, ada bentuk yang kasar, ada pula bentuk yang halus.
Bahasa adalah mekanisme penciptaan interaksi sosial. Oleh karena itu,
analisis wacana mengkaji bagaimana penggunaan bahasa dalam tindakan yang
nyata. Analisis wacana tidak dapat dipisahkan dari fungsi bahasa. Fungsi bahasa
dapat menyatakan fungsi sosial. Oleh karena itu, kajian wacana adalah kajian
bahasa yang melibatkan praktik sosial (Richard, 1995:29). Hal terpenting dalam
analisis wacana adalah menjelaskan cara-cara dan sikap masyarakat dalam
melaksanakan suatu tindakan yang nyata (Schiffrin, 1994:41). Untuk memahami
dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini peneliti menggunakan
pendekatan sosiopragmatik. Kajian sosiopragmatik adalah kajian pragmatik yang
dikaitkan dengan situasi sosial.
9
1.2. Masalah Penelitian
Berdasarkan ruang lingkup penelitian maka permasalahan tentang wacana
jual-beli di pasar tradisional Minahasa yang dilihat dari paradigma sosiopragmatik
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah penggunaan kode dan pelaksanaan alih kode dalam
wacana jual-beli, dan mengapa demikian ?.
2. Bagaimanakah pelaksanaan tindak tutur, serta bentuk dan fungsi
tuturan dalam wacana jual-beli, dan mengapa demikian ?.
3. Bagaimanakah
pelaksanaan
dan
pelanggaran
maksim-maksim
kerjasama dan kesantunan dalam wacana jual-beli, dan mengapa
demikian ?.
4. Bagaimanakah struktur percakapan jual-beli ?.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, kajian wacana jual-beli di pasar
tradisional Minahasa yang berbasis sosiopragmatik ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi dan menjelaskan penggunaan kode dan pengalihan
kode dalam wacana jual-beli.
2. Mengidentifikasi dan menjelaskan pelaksanaan tindak tutur, serta
bentuk dan fungsi tuturan dalam wacana jual-beli.
3. Mengidentifikasi dan menjelaskan pelaksanaan dan pelanggaran
maksim-maksim kerjasama dan kesantunan dalam wacana jual-beli.
4. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan struktur percakapan jual-beli.
10
1.4 Keaslian Penelitian
Penelitian-penelitian yang memfokuskan kajiannya pada wacana interaktif
(percakapan) sudah sering dilakukan. Kajian-kajian pragmatik terkait dengan
wacana interaktif belakangan ini banyak diminati, khusus wacana jual-beli.
Namun, pada umumnya kajian-kajian tersebut hanya difokuskan pada salah satu
aspek pragmatik, seperti tindak tutur, implikatur, struktur wacana, atau kerjasama
dan kesantunan. Selain itu, khusus kajian tindak tutur belum banyak yang
menghubungkannya dengan strategi-strategi (perencanaan) transaksi dan tujuan
pelaksanaan percakapan jual-beli. Untuk memahami sebuah percakapan
setidaknya penelitian yang berbasis sosiopragmatik ini dapat menjelaskan
beberapa aspek yang menjadi focus dalam kajian pragmatik.
Kekhasan penelitian ini terletak pada fokus kajiannya, penjelasan tentang
kedudukan peneliti dalam proses penelitian, serta kekuatan dan kelemahan metode
penelitian yang digunakan. Tujuannya untuk memberikan gambaran secara jujur
tentang pelaksanaan penelitian. Perbedaan mendasar penelitian ini dengan
penelitian-penelitian sebelumnya terletak pada topik, masalah, cara penanganan
masalah, serta refleksi teori tertentu yang digunakan.
Berdasarkan kajian beberapa hasil penelitian terdahulu, serta perbedaan
mendasar penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, maka diyakini
penelitian yang berjudul “Wacana Jual-Beli Di Pasar Tradisional Minahasa” yang
berbasis sosiopragmatik ini belum pernah dilakukan sebelumnya.
11
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini meliputi manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.5.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis adalah manfaat yang diharapkan dapat menambah
pengetahuan/wawasan tentang teori-teori yang digunakan untuk mendukung topik
penelitian, serta metode/pendekatan yang digunakan dalam menangani/mengkaji
masalah-masalah penelitian. Manfaat teoretis adalah manfaat yang diharapkan
dapat memberi nuansa baru, menginspirasi dan memotivasi pengembangan dan
penemuan teori-teori baru dalam pelaksanaan suatu penelitian. Terkait dengan
manfaat teoretis penelitian ini diharapkan :
1. Dapat menambah pengetahuan/wawasan para peneliti bahasa tentang
konsep-konsep wacana dan teori-teori wacana, khusus wacana interaktif,
serta teori-teori pragmatik.
2. Dapat menambah wawasan/pengetahuan bagi para peneliti bahasa tentang
teori-teori tindak tutur, kerjasama dan kesantunan, percakapan, struktur
percakapan.
3. Dapat menambah pengetahuan/wawasan tentang penggunaan pendekatan
sosiopragmatik untuk memahami fenomena-fenomena kebahasaan dalam
sebuah peristiwa tutur.
4. Dapat menginspirasi dan memotivasi para peneliti bahasa untuk dapat
mengembangkan dan menemukan teori-teori wacana lisan, khusus wacana
interaktif dan pendekatan-pendekatan dalam penelitian bahasa.
12
1.5.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis adalah manfaat konkrit yang diharapkan dapat diperoleh
dan dirasakan secara langsung dari hasil sebuah penelitian. Hasil penelitian ini
diharapkan :
1. Dapat memberikan data aktual dan terpercaya tentang pelaksanaan
interaksi/transaksi jual-beli di pasar tradisional Minahasa.
2. Dapat memberikan data konkrit dan aktual tentang hasil kajian wacana jualbeli berbasis sosiopragmatik.
3. Dapat memberikan data konkrit dan aktual tentang fenomena kebahasaan
dalam percakapan jual-beli di pasar tradisional Minahasa.
5. Dapat memberikan data aktual tentang situasi masyarakat dan kebahasaan di
Minahasa, khususnya pada masyarakat kelompok subetnik Tountemboan.
6. Sebagai hasil rekaman peristiwa kebahasaan WJB ini dapat menunjukkan
sejumlah fakta kebahasaan dan fakta sosial.
7. Dapat memberi kontribusi bagi pelaksanaan penelitian-penelitian yang
berbasis sosiopragmatik maupun sosiolinguistik.
8. Dapat menginspirasi para peneliti bahasa, sosial, dan budaya, serta dapat
memberi kontribusi bagi pelaksanaan penelitian-penelitian interdisipliner.
9. Dapat menambah wawasan/pengetahuan bagi masyarakat pembaca pada
umumnya, dan juga khususnya bagi pribadi peneliti tentang kesantunan dalam
berkomunikasi, agar dapat mewujudkan dan mempertahankan hubunganhubungan sosial yang harmonis, dan agar dapat menghindari konflik-konflik
sosial.
13
10. Dapat memberikan masukan bagi pemerintah setempat tentang pentingnya
pelaksanaan penelitian-penelitian bahasa daerah dalam mengungkap faktafakta sosial maupun budaya masyarakat Minahasa.
11. Dapat meningkatkan kesadaran masyarakat Minahasa tentang identitasnya
sebagai Tou Minahasa (orang Minahasa) yang melekat pada bahasanya,
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian ini adalah wacana. Wacana dipahami sebagai peristiwa
tutur, peristiwa interaksi, dan pemakaian bahasa dalam peristiwa komunikasi
sosial, yang terjadi di (1) pasar ikan, pasar daging, pasar sayur, rempah dan buah,
dan pasar beras. (2) warung-warung tempat penjualan sembako, (3) kios-kios
tempat penjualan cengkih dan kopra, dan (4) tempat-tempat usaha pemeliharaan
ternak dan pembuatan batu bata.
1.7 Tinjauan Pustaka
Dalam bagian ini akan dipaparkan beberapa hasil tinjauan pustaka terkait
dengan topik penelitian, yang berupa buku-buku dan hasil-hasil penelitian tentang
wacana, penggunaan bahasa, pengalihan kode, tindak tutur, kerjasama dan
kesantunan dalam interaksi jual-beli.
Buku-buku yang berisi kajian tentang teori dan metode analisis wacana
diantaranya telah ditulis oleh :
(1). Wijana dan Rohmadi (2006) dalam bukunya yang berjudul Analisis
Wacana Pragmatik : Kajian Teori dan Analisis telah membahas tentang teori
14
pragmatik dan aplikasinya pada beberapa wacana, khusus wacana dagadu, wacana
rekreatif, dan wacana kampanye politik pemilu. Tujuan penulisan buku ini untuk
memberikan bahan perbandingan dan menemukan model-model analisis dalam
penelitian berbasis pragmatik.
(2). Debora Schiffrin (2007) dalam bukunya Approaches to Doscourse
(1994) telah menguaraikan tentang (i) ruang lingkup kajian wacana, (ii) definisi,
persoalan dan analisis wacana berdasarkan paradigma formal dan fungsional, (iii)
ancangan kajian wacana berdasarkan teori tindak tutur, sosiolinguistik
interaksional, etnografi komunikasi, pragmatik, analisis percakapan, dan analisis
variasi, (iv) struktur dan fungsi dalam analisis wacana, (v) teks dan konteks, (vi)
wacana dan komunikasi, dan (vii) bahasa sebagai interaksi sosial).
(3). Stevan Titscher, dkk (2009) dalam bukunya Methods of Text and
Discourse Analysis (2009) telah menguraikan tentang beberapa hal yang terkait
dengan analisis wacana dan teks, seperti (i) pengertian teks dan wacana, (ii) caracara mendapatkan materi untuk analisis suatu tinjauan, (iii) beberapa metode
(prosedur) analisis teks dan wacana yang ditinjau dari beberapa paradigma,
kriteria kualitasnya, bidang aplikasinya, persamaan dan perbedaan dengan metode
lainnya, tujuan dan syarat-syarat pelaksanaannya, serta kemungkinan langkahlangkah pengumpulan datanya, (iv) asal muasal teori yang mendukung
pelaksanaan setiap metode, dan (v) asumsi teoretis dasar.
Pembahasan tentang wacana berdasarkan paradigma struktural telah
dilakukan, diantaranya oleh :
15
(1). Sumarlam (2003) dalam bukunya Teori dan Praktik Analisis
Wacana. Buku ini membahas tentang kaidah-kaidah kebahasaan dan teori-teori
wacana. Buku ini berisi uraian tentang penggunaan pemarkah kohesi gramatikal
dan leksikal dalam bahasa Indonesia, serta pertalian kohesi dan kekoherensi
dalam wacana.
(2). Fatimah Djajasudarma (2006) dalam bukunya Wacana :
Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Buku ini mengkaji tentang unsur-unsur
wacana untuk memahami hubungan antarbagian wacana. Kajian ini bertujuan
untuk memberi petunjuk dalam pelaksanaan analisis wacana dan penafsiran
makna wacana.
Selanjutnya hasil-hasil penelitian tentang penggunaan kode, pengalihan
kode, dan bentuk sapaan berdasarkan paradigma sosiolinguistik telah dilakukan,
diantaranya oleh :
(1). Poedjosoedarmo & Wolff (1982) dalam tulisannya yang berjudul
Communicative Codes in Central Java. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
dalam aktivitas komunikasi masyarakat sehari-hari penggunaan kode memiliki
keterkaitan dengan variasi-variasi tingkat tutur. (lih.Poedjosoedarmo, dkk, 1979 :
3, 8-13). Kode mengacu pada suatu sistem tutur yang dalam penerapannya
mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan
mitra tutur dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk varian bahasa
yang secara nyata dipakai untuk berkomunikasi antaranggota suatu masyarakat
bahasa (lih. Poedjosoedarmo, 1978:30). Demikian juga yang terjadi terhadap
16
masyarakat bahasa Jawa. Pilihan kode dalam suatu komunikasi dipengaruhi oleh
konteks.
(2). Laila Kurniawaty Paada (2008) dalam tesisnya yang berjudul
“Penggunaan Bahasa Di Kota Palu (Kajian Sosiolinguistik Dalam Ranah Jual-Beli
Di Pasar Tradisional). Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam interaksi jualbeli digunakan kode bahasa Indonesia, bahasa Melayu Palu, bahasa Kaili, bahasa
Melayu Makassar, bahasa Jawa, dan bahasa Melayu Manado. Pelaksanaan AK
dalam interaksi bertujuan mendapatkan layanan yang baik, keakraban, latihan
menggunakan bahasa, memberi penjelasan, mendapatkan harga murah, bercanda,
belajar dan mengajar, melakukan barter, dan kelancaran komunikasi. Selanjutnya
AK dilaksanakan dalam sepuluh pola. Adapun faktor-faktor sosial yang
melatarbelakangi pelaksanaan AK adalah pergantian partisipan, kebiasaan
berbahasa penutur, kemampuan berbahasa lawan bicara, dan kehadiran orang
ketiga.
(3). Elfrida W.S. Sumampouw (1984) dalam penelitiannya yang berjudul
“Pola Penyapaan Dalam Interaksi Verbal Dengan Latar Multilingual : Studi Kasus
Warga Kampus Universitas Sam Ratulangi Manado”. Penelitian ini bertujuan
untuk menemukan dan memerikan pola pemakaian kata penyapa dalam bahasa
Indonesia ragam Manado. Peneliti membatasi pembahasannya pada repertoar kata
penyapa, peserta tindak ujaran dalam interaksi bersemuka, dan domain, yaitu
konteks dan situasi penggunaannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
dalam sistem penyapaan bahasa Indonesia ragam Manado ditemukan sekurangkurangnya 64 kemungkinan pola penyapaan. Dalam penelitian ini ditemukan
17
delapan jenis kata penyapa yang berasal dari empat kategori kata, yaitu nomina,
pronomina, adjektiva, dan kata tugas yang meliputi (1) istilah kekerabatan, (2)
nama diri, (3) pronomina persona kedua, (4) nama profesi/jabatan, (5) epitet, (6)
kata seru, (7) gelar, dan (8) pronomina penunjuk tempat.
Hasil-hasil
penelitian
tentang
wacana,
pelaksanaan
tindak
tutur
berdasarkan paradigma pragmatis telah dilakukan, diantaranya oleh :
(1). Brown dan Yule (1983 :1-5) dalam bukunya Discourse Analysis.
Sebagian dari buku ini membahas tentang hasil penelitian penggunaan pertanyaan
pada subgenre yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan tujuan
komunikasi, sifat interaksi, peranan institusi dan partisipan, serta usaha yang
harus dicapai oleh partisipan dalam wacana. Penentu jumlah pertanyaan yang
diproduksi, serta bentuk dan fungsi interaksi tidak diteliti dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan ada perbedaan cara memberi pertanyaan pada
setiap subgenre. Hal itu didukung oleh data yang menunjukkan tentang pola
pertanyaan yang berbeda-beda. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pertanyaan
dalam wacana ‘transactional’ dianggap sebagai pertanyaan yang membebani
dibandingkan pertanyaan dalam wacana ‘interactional’.
(2). Bustanul Arifin dan Abdul Rani (2000) dalam bukunya PrinsipPrinsip Analisis Wacana. Sebagian dari buku ini membahas tentang hasil
penelitian Tanya-Jawab pada Peristiwa Sidang di Pengadilan. Hasil penelitian ini
menunjukkan beberapa fungsi pragmatis yang diemban oleh setiap pertanyaan
yang diajukan hakim, jaksa, dan pembela kepada terdakwa atau saksi. Fungsi
pertanyaan yang dimaksud adalah untuk menyampaikan tindak direktif, ekspresif,
18
dan representatif. Pertanyaan yang berfungsi pragmatis untuk menyampaikan
tindak direktif adalah pertanyaan yang bertujuan (1) untuk meminta informasi, (2)
untuk meminta konfirmasi, (3) untuk menguji, dan (4) untuk menyampaikan
saran. Pertanyaan untuk menyampaikan tindak ekspresif adalah pertanyaan yang
bertujuan (1) menyampaikan rasa tidak puas, dan (2) menyampaikan basa-basi.
Selanjutnya pertanyaan untuk menyampaikan tindak representatif diwujudkan
dalam pertanyaan responsif, yaitu pertanyaan yang dituturkan sebagai respons atas
jawaban (meminta penegasan).
(3). Wierzbicka (1991) dalam bukunya Cross Cultural Pragmatics telah
mengkaji pelaksanaan tindak tutur dan wujud tindak tutur yang bermakna
permintaan dan penolakan. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan tindak tutur
yang bermakna permintaan dalam bahasa Inggris. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tuturan bermakna permintaan dalam bahasa Inggris sifatnya tidak
memaksa atau menekan mitra tutur untuk memenuhi keinginan penutur. Hal itu
tampak melalui penggunaan kalimat-kalimat interogatif dan bukan kalimatkalimat yang berverba to request atau to ask. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
aspek-aspek yang terkait dengan konteks situasi tutur (speech situational context)
menentukan pelaksanaan tindak tutur.
(4). Kartomihardjo (1993) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
Wacana Dengan Penerapannya Pada Beberapa Wacana Bahasa”. Penelitian yang
mengkaji bentuk-bentuk penolakan dalam bahasa Indonesia ini telah mengungkap
beberapa bentuk bahasa penolakan, yaitu : (1) penolakan yang menggunakan kata
‘tidak’ atau padanannya, (2) penolakan dengan menggunakan alasan, (3)
19
penolakan dengan menggunakan syarat, (4) penolakan dengan menggunakan usul,
(5) penolakan dengan menggunakan komentar atau pilihan, (6) penolakan dengan
menggunakan ucapan terima kasih, dan (7) penolakan dengan menggunakan
komentar.
Penelitian
yang
mengkaji
tentang
kesantunan
dan
cara-cara
mempresentasikan diri dalam percakapan, yang berangkat dari paradigma
pragmatis-komparatif telah dilaksanakan oleh :
(1). John J Gumperz dan Celia Roberts (1980) dalam judul
penelitiannya
Developing
Awareness
Skills.
Penelitian
ini
bertujuan
mengidentifikasi dan mengkaji bentuk satuan lingual penanda kesopanan dalam
bertutur pada masyarakat Thailand dan India. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa bentuk yang digunakan untuk menandai kesopanan dalam bahasa Thailand
adalah partikel yang penggunaannya pada posisi akhir dalam kalimat dan
didasarkan pada status, usia, dan jenis kelamin mitra bicara. Dalam bahasa-bahasa
India untuk menyatakan rasa hormat mereka menyampaikannya dengan cara
menggunakan partikel honorifik khusus atau dengan menyebutkan gelar profesi
atau yang lainnya. Selanjutnya penggunaan frase seperti could I have ‘bisakah
saya’ atau I would like ‘saya ingin’ dianggap oleh masyarakat India menyiratkan
perbedaan sosial dan itu cenderung dihindari dalam percakapan umum.
(2). Scollon dan Scollon (1981), dalam bukunya Narrative Literacy and
Face in Interethnic Communication. Penelitian yang mengandalkan data bahasa
(wacana) ini bertujuan untuk mengungkap cara-cara presentasi diri orang Inggris,
Amerika, Jepang dan Thailand. Penelitian ini menyimpulkan bahwa orang Inggris
20
menampilkan diri mereka pada perjumpaan pertama sebaik mungkin ; tidak
melebih-lebihkan ataupun merendah-rendahkan diri. Mereka cenderung tampil
dengan menunjukkan prestasi serta kemampuan positifnya ; berbicara bebas
tentang keadaan mereka di masa lampau dan menyatakan rencana masa depan
serta tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
sesuatu kesan dapat diperoleh melalui apa yang kita bicarakan, frekuensi
pembicaraan yang dilakukan, kekuasaan (dominasi) yang dinyatakan, sikap yang
terkait dengan hal-hal yang telah dicapai dalam pembicaraan, serta maksud dan
topik yang dipilih. Selanjutnya konsep diri pribadi seseorang memiliki pengaruh
terhadap caranya (gaya) berkomunikasi. Cara berkomunikasi mencerminkan
sebagian kecil dari konsep diri seorang penutur, seperti keyakinannya, harapan,
pendapat, kesukaan, ketidaksukaan, dan lain-lain.
(3). Richard dan Schmidt (1983) dalam bukunya yang berjudul
Conversational Analysis telah menguraikan hasil penelitiannya tentang cara-cara
pengalihan tutur pada anak-anak bangsa Amerika dan anak-anak bangsa Fiji
keturunan India. Perdebatan anak-anak Amerika selalu memperhatikan kaidah
dalam bertutur, yaitu dengan cara menghindari pembicaraan yang tumpang-tindih.
Sebaliknya anak-anak Fiji keturunan India sering berbicara secara bersama-sama
dalam suatu kesempatan pembicaraan. Mereka tidak mau mengalah dalam
bertutur. Namun mereka memiliki toleransi yang tinggi atas ketumpangtindihan.
Anak-anak Fiji keturunan India dapat berbicara bersama-sama selama tiga puluh
detik, dan hal yang demikian tidak ditemukan pada anak-anak Amerika. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa faktor budaya menentukan variasi pengalihan tutur dan
21
perbedaan cara-cara pengalihan tutur dalam sebuah percakapan ataupun
perdebatan.
(4). Tanaka (1988) dalam penelitiannya yang berjudul Politeness : Some
Problems for Japanese Speakers of English (dalam journal JALT). Penelitian ini
mengkaji kesantunan dalam tuturan bermakna permintaan (request), yang
bertujuan untuk (i) membandingkan sifat-sifat khas tuturan permintaan mahasiswa
berkewarganegaraan Jepang dan Australia, (ii) mengungkap masalah-masalah
yang dihadapi oleh warga Jepang dalam mempresentasikan diri dengan
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dibandingkan dengan mahasiswa Australia, mahasiswa Jepang cenderung
menggunakan strategi kesopanan tertentu dalam percakapan, mereka tidak biasa
menggunakan nama pertama mitra tuturnya pada saat memanggil, mereka kurang
eksplisit dalam membuat tuturan permintaan, dan cenderung berbicara formal.
Permasalahan kesopanan dalam berbicara sangat ditentukan oleh budaya penutur
suatu bahasa.
(5). Beebe, dkk. (1990) dengan judul penelitiannya Pragmatic Transfer
in ESL Refusals. Penelitian ini bertujuan mengungkap cara-cara menyatakan
penolakan dalam bahasa Inggris orang Amerika dan orang Jepang. Penelitian ini
melibatkan responden, yakni 20 orang Jepang yang menguasai bahasa Jepang dan
bahasa Inggris, 20 orang keturunan Jepang yang hanya menguasai bahasa Inggris
saja, dan 20 orang Amerika (sebagai penutur asli bahasa Inggris). Sebagian besar
responden bertempat tinggal di sekitar wilayah New York City. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa sebagai penutur asli bahasa Inggris orang Amerika
22
menyatakan penolakan dengan tata urutan : menggunakan ungkapan fatis (basabasi) yang bermakna positif, menyatakan penyesalan, memberi alasan, dan
menyatakan ketidakmampuan. Contoh : That’s a good idea atau I’d love to - I’m
sorry, I feel terrible - I have a headache - I can’t. Dalam menyatakan penolakan
mereka cenderung menggunakan alasan (excuse) dibanding menggunakan kata
tidak (no), seperti yang ditemukan pada orang Jepang. Orang Amerika
mengemukakan alasan dengan rinci. Misalnya ketika menyebutkan nama tempat
yang akan dikunjungi, mereka mengatakan, I have to go to Florida next week.
(6). Bardovi dan Hartford (1991) telah meneliti juga tentang bentuk
penolakan, namun dalam konteks dan metode yang berbeda, yaitu pada situasi
bimbingan akademis di suatu universitas di Amerika. Penelitian ini melibatkan
mahasiswa Amerika sebagai penutur asli bahasa Inggris dan yang bukan penutur
asli. Responden yang bukan penutur asli bahasa Inggris mempunyai nilai TOEFL
573 ke atas. Hasilnya menunjukkan bahwa mahasiswa Amerika sebagai penutur
asli bahasa Inggris cenderung menolak dengan terlebih dahulu menggunakan
ungkapan perasaan yang positif, kemudian diikuti dengan pemberian alasan.
Mereka mengungkapkan penolakan dengan pola urutan tertentu.
(7). Garcia (1992) dalam penelitiannya yang berjudul Responses to A
Request by Native and Non-Native English Speakers : Deference vs Camaradirie.
Penelitian ini membandingkan cara merespons sebuah permintaan dalam Bahasa
Inggris antara orang Venezuela yang telah berdomisili di Amerika selama lebih
dari tiga setengah tahun dan orang Amerika sebagai penutur asli bahasa Inggris.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang Amerika lebih suka menggunakan
23
bentuk yang lebih formal (business frame) dan orang Venezuela cenderung
menggunakan bentuk yang lebih bersahabat (friendly frame) dalam memberi
tanggapan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa cara menanggapi sebuah
permintaan, khusus cara menyatakan penolakan berdampak pada tidak
harmonisnya hubungan komunikasi. Pelaksanaan tindak tutur yang bermakna
penolakan sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya.
(8). Baba dan Lian (1992) telah mengkaji tentang perbedaan penggunaan
bentuk permintaan pada penutur bahasa Cina dan Jepang, dalam topik
penelitiannya Differences Between The Chinese and Japanese Request
Expressions (dalam Journal of Hokkaido University of Education). Tujuan
penelitian ini adalah mengungkap strategi kesantunan berbahasa dalam
mengekspresikan permintaan pada penutur bahasa yang berbeda. Penelitian ini
menemukan bahwa orang Jepang memiliki beberapa fitur linguistik yang
berfungsi sebagai pemarkah kesantunan yang tidak terdapat dalam bahasa Cina,
yaitu partikel penanda gender, sedangkan pada bahasa Cina tampak pada pilihan
leksikal dan sapaan. Selanjutnya pemilihan penggunaan bentuk permintaan pada
kedua bahasa ini dipengaruhi oleh hubungan kedekatan.
(9). Jack, C Richard dalam bukunya On Conversation (1995). Buku ini
membahas tentang beberapa hasil penelitian yang terkait dengan cara-cara
mempresentasikan diri orang Thai dan orang Amerika dalam percakapan, serta
keterkaitannya dengan kesopanan. Fokus penelitian ini pada strategi tutur. Hasil
penelitian menunjukkan adanya perbedaan pemahaman tentang strategi tutur pada
orang Thai dan orang Amerika. Suku bangsa Thai lebih suka mengatakan sesuatu
24
secara tidak langsung, yaitu melalui pemberian isyarat. Sementara orang Amerika
tidak dapat menyikapi isyarat tersebut sesuai dengan harapan orang Thai. Orang
Amerika tidak mengerti daya ilokusioner yang tersimpan di balik ajakan
berbentuk isyarat, yang disampaikan oleh orang Thai pada saat terlibat dalam
situasi formal.
(10). Barlund (dalam Richard, 1995) dalam penelitiannya tentang
“Konsep Diri Publik dan Diri Pribadi, serta Pengaruhnya Terhadap Gaya
Komunikasi Yang Bertentangan Di antara Orang Amerika dan Orang Jepang”.
Penelitian
ini
bertujuan
mengungkap
cara-cara
presentasi
diri
dalam
berkomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang Jepang selalu
menahan diri untuk tidak mengumbar pengalaman diri mereka dalam percakapan.
Dalam berinteraksi mereka sangat selektif dan sedapat mungkin hanya
berinteraksi dengan sedikit orang saja. Mereka menyukai bentuk komunikasi
langsung (spontan) tapi teratur dan menghargai topik pembahasan dalam setiap
percakapan. Mereka lebih suka berkomunikasi secara verbal dan tidak masuk
sampai pada tingkat pembicaraan yang mendalam. Orang Jepang selalu
menghindar untuk menunjukkan keintiman dalam berinteraksi. Mereka lebih
cepat bereaksi defensif dalam percakapan dan kurang mengenal diri mereka
sendiri. Mereka kurang mempelajari sisi batin dan lebih mengandalkan tampilan
luar saja. Hasil penelitian mengungkap tentang sifat dan perilaku orang Jepang
yang bertentangan dengan orang Amerika. Keadaan yang bertentangan itu tampak
pada perbedaan yang signifikan dalam tingkatan dan bukan pada jenis, yaitu
perbedaan antara struktur lingkungan fisik dan perilaku komunikatif orang Jepang
25
dan Amerika. Perbedaan ini mengungkapkan norma-norma serta nilai budaya
masing-masing.
Selanjutnya penelitian tentang wacana yang berdasarkan paradigma
sosiopragmatik, diantaranya telah dilakukan oleh :
(1). Wiwit Ike Setyowati (1998) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis
Wacana Jual-Beli Buah Pada Masyarakat Tutur Di Pasar Bangil Kabupaten
Pasuruan (Tinjauan Sosiopragmatik)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
struktur teks dalam wacana jual-beli dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
golongan, yaitu (1) jika terdapat unsur pengulangan (UP), (2) jika tidak terdapat
UP dan menunjukkan penolakan penjual terhadap penawaran pembeli, dan (3)
jika tidak terdapat UP dan penjual menerima penawaran pembeli. Kehadiran
unsur-unsur dalam wacana jual-beli buah dapat membedakan tipe-tipe wacana,
yaitu wacana sederhana, wacana kompleks, dan wacana kompleks tidak lengkap.
Penelitian ini juga menunjukkan adanya pengaruh tinggi rendah jarak sosial antara
penjual dan pembeli terhadap struktur teks dalam wacana jual-beli. Selanjutnya
cara penjual menolak dan menerima penawaran pembeli dilakukan dengan tuturan
langsung dan tidak langsung. Penolakan dan penerimaan yang dilakukan secara
tidak langsung terbukti melanggar prinsip kerjasama, khusus pada maksim
relevansi. Ada tiga faktor yang memengaruhi pemakaian bahasa Jawa oleh
penjual, yaitu faktor bisnis, faktor penguasaan bahasa, dan faktor pengetahuan
penjual tentang pembeli.
(2). Romilda A. Dacosta (2003) dalam tesisnya yang berjudul
“Implikatur Dalam Komunikasi Tawar Menawar Antarpenutur Bahasa Melayu
26
Ambon Di Pasar Ikan Ambon (Sebuah Kajian Sosiopragmatik)”. Penelitian ini
menghasilkan beberapa temuan, yaitu (1) implikatur dalam komunikasi tawarmenawar antarpenutur Bahasa Melayu Ambon (BMA) di pasar ikan Ambon
terwujud melalui mekanisme pergantian dialog yang berlangsung lebih dari satu
kali, yang secara umum muncul pada pergantian kedua ; diungkapkan dengan
tindak tutur langsung, tindak tutur langsung tidak literal, tindak tutur tidak
langsung literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal. Dalam
mengekspresikan implikatur penutur BMA sering tidak mematuhi prinsip-prinsip
kerjasama dan kesantunan. Pengaruh konteks budaya pada implikatur dapat dilihat
pada kata-kata ataupun ungkapan yang sarat dengan informasi indeksikal yang
terkait dengan kebiasaan melaut, kegemaran menyanyi, ciri khas wilayah,
makanan khas, dan keadaan alam. Selanjutnya tuturan yang berima dan
ketidaklaziman intonasi mengakibatkan kesalahan interpretasi.
(3).
Zamzani
(2007)
dalam
bukunya
yang
berjudul
Kajian
Sosiopragmatik. Buku ini membahas hasil penelitian tentang “Pola interaksi dan
Peranan Partisipan Dalam Komunikasi Lisan”. Dalam buku ini dikaji tentang pola
interaksi verbal dosen dan mahasiswa, serta perannya dalam interaksi belajar
mengajar, hubungan bentuk dan makna tuturan, hubungan lokusi dan ilokusi
perilaku verbal dosen dan mahasiswa, pola penggunaan bahasanya, serta beberapa
teori .
(4). Sri Puji Astuti (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Prinsip
Kerjasama dalam Wacana Jual Beli di Pasar Tradisional Perumnas Tlogosari
Semarang”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam percakapan penjual
27
dan pembeli kadang mematuhi, tetapi kadang juga melanggar prinsip kerjasama.
Pematuhan terhadap prinsip kerjasama bertujuan untuk menyampaikan pesan
secara jelas, benar dan menghindari kesalahpahaman. Sedangkan, pelanggaran
terhadap prinsip kerja sama bertujuan untuk menyakinkan kualitas barang, agar
barang dagangan laris, mencari informasi, mempertahankan hubungan keakraban,
dan memuji barang dagangan.
Penelitian tentang penggunaan bahasa dalam ranah jual-beli yang
berdasarkan paradigma etnografi komunikasi telah dilakukan oleh :
(1). Muhammad Maimun (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Bahasa
Dalam Ranah Jual-Beli Di Pasar Tanjung Pinang Kepulauan Riau (Suatu Kajian
Etnografi Komunikasi)”. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan, yaitu (1)
setiap jenis pasar merupakan konteks tuturan yang berbeda, (2) transaksi jual-beli
di pasar tanjung Pinang menggunakan lingua franca, yang meliputi bahasa
Indonesia dan bahasa melayu Riau Penyengat (BMRP). Ragam yang digunakan
adalah ragam informal. BI yang digunakan dipengaruhi oleh BMRP. Dalam
penggunaan lingua franca ciri khas bahasa ibu masih terlihat. Hal ini
menunjukkan identitas suku tertentu. Identitas itu terlihat pada ciri fonologis,
morfologis, dan leksikal, (4) prinsip kerjasama da kesantunan diterapkan dalam
pelaksanaan transaksi agar transaksi berjalan lancar, (5) tindak tutur yang
dilaksanakan dalam proses transaksi berdimensi sosial ekonomi, dan (6) analisis
wacana yang dilaksanakan meliputi analisis gramatikal dan leksikal.
28
Penelitian yang memfokuskan kajiannya pada wacana yang berangkat dari
paradigma semantik-fungsional dan pragmatik fungsional telah dilakukan,
diantaranya oleh :
(1). Mitchell (dalam Coulthard, 1985:4-5) dalam topik penelitiannya
“Bahasa Dalam Ranah Jual-Beli di Cyneraica”. Penelitian ini berhasil menemukan
lima tahapan kegiatan dalam pelaksanaan transaksi jual-beli, dan menurut
Mitchell setiap tahapan memiliki ciri-ciri yang khas. Tahapan-tahapan itu meliputi
(1) salam, (2) menemukan barang, (3) pemeriksaan barang, (4) kesepakatan, dan
(5) kesimpulan. Namun, kelima tahapan transaksi jual-beli ini hanya ditentukan
berdasarkan kriteria semantis saja, karena belum terlihat pembatas yang jelas
antartahap. Tahapan transaksi yang dibahas dalam penelitian ini belum
mencerminkan hasil dari analisis struktur transaksi, melainkan baru berupa
analisis kegiatan jual-beli. Menurut Sinclair dan Coulthard (1975) penelitian ini
lebih menekankan pada tahap-tahap transaksi jual-beli yang sulit dibedakan
pelaksanaan tahap yang satu dengan tahap yang lainnya.
(2). Iris Lin Hin Sze (2007) dalam disertasinya yang berjudul “Question
and Response in Business Communication in Hongkong”. Penelitian ini mengkaji
tentang pertanyaan dan tanggapan dalam konteks komunikasi bisnis dan
professional antarbudaya di Hongkong. Fokus kajian adalah perilaku linguistik
dan intonasi penutur, ketika mengajukan pertanyaan dan memberi respons dalam
bahasa Inggris. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan cara partisipan
menggunakan sistem intonasi dalam melakukan interaksi sesuai dengan tujuan
komunikasi. Penelitian ini menggambarkan berbagai contoh data intonasi wacana,
29
nilai komunikatif, dan makna lokal dari setiap bentuk pertanyaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rangkaian pertanyaan-respons tidak sepenuhnya disusun
dalam struktur wacana Inisiasi-Respons (Initiation-Response) yang sederhana dan
terpisah. Namun, banyak rangkaian yang mengalami pergantian. Terdapat
beberapa pertanyaan yang lebih sering diberikan dibandingkan pertanyaan yang
lain. Dari ke-6 pertanyaan yang diajukan, pertanyaan yang bermakna deklaratif
paling sering digunakan. Pertanyaan kedua yang juga sering digunakan adalah
pertanyaan ya/tidak yang disusul oleh pertanyaan-Wh, pertanyaan tag dan
pertanyaan alternatif. Bentuk pertanyaan yang jarang diberikan, misalnya
pertanyaan sisipan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara bentuk dan fungsi pertanyaan secara langsung. Fungsi pertanyaan
kebanyakan ditentukan oleh situasi terkini ketika sebuah pertanyaan diajukan.
Dalam wacana bisnis dan professional kebanyakan pertanyaan tidak hanya
ditanggapi, tetapi juga dijawab. Semua bentuk pertanyaan yang diidentifikasi
diberikan dengan berbagai pilihan yang tersedia dalam sistem tone, kecuali nada
naik-turun yang biasanya digunakan dalam kalimat ‘seru’ (exclamatory) dan tidak
memerlukan tanggapan dari orang yang mendengar. Dengan kata lain, tidak ada
intonasi khusus untuk bentuk pertanyaan tertentu. Temuan penelitian ini
dieksplorasi untuk mengetahui hubungannya dengan teori dan model dalam
analisis wacana, intonasi wacana dan pragmatik, implikasi dan sifat pedagogi,
studi isi informasi (corpus-informed study) pada komunikasi bisnis dan
professional.
30
Berdasarkan tinjauan/kajian beberapa pustaka di atas, maka tampaknya
penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya.
1.8 Landasan Teori
Landasan teori dalam suatu penelitian di satu pihak menjadi dasar/pijakan
yang menentukan arah penelitian, atau dapat juga dikatakan sebagai cara pandang
suatu penelitian. Namun, di lain pihak merupakan sesuatu yang membutuhkan
pengujian. Fungsi dan tujuan sebuah teoriiii berbeda-beda sesuai dengan bentuk
penelitian (Creswell, 2010). Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini
diperlukan landasan teoretis sebagai penuntun dalam pelaksanaan pengumpulan
dan analisis data. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
wacana, konteks, kode dan alih kode, tindak tutur, kerjasama dan kesantunan,
implikatur, komunikasi dan sistem komunikasi, percakapan dan struktur
percakapan, pasar, pragmatik dan sosiopragmatik, serta sosiolinguistik.
1.8.2.1 Wacana dan Konteks
Secara umum wacana didefinisikan sebagai rangkaian satuan-satuan
bahasa yang bermuatan semantis (meaning), dan juga sebagai satuan gramatikal
yang berisi amanat atau pesan (Halliday dan Hassan, 1994 ; Brown dan Yule,
1983 ; Kridalaksana, 2005 : 231 ; Widdowson, 1981 ; Yule, 2006). Wacana dapat
dipahami dari wujudnya, yaitu dilihat mulai dari tataran bahasa terkecil, seperti
“kata” yang dapat memuat makna yang utuh, dilihat dari informasi yang
didukungnya (Samsuri dalam Idat dan Djajasudarma,1994).
31
Wacana adalah suatu rangkaian satuan-satuan bahasa (baik lisan maupun
tulisan) yang berkesinambungan. Satuan-satuan yang terdapat dalam wacana
sering diwujudkan dalam simbol-simbol yang berbentuk leksem/kata, frasa,
kalimat tidak lengkap, nada suara dan intonasi, bahkan isyarat nonverbal, baik
yang dikenal oleh masyarakat pada umumnya maupun yang dikenal khusus oleh
anggota kelompok yang terlibat dalam komunikasi (Stubbs, 1983:1-7).
Wacana tidak saja dipahami sebagai rangkaian satuan-satuan bahasa yang
bermakna, tetapi adalah pemakaian bahasa dalam komunikasi atau dalam suatu
situasi sosial, dan itu dapat berbentuk lisan maupun tulisan (Halliday dan Hassan,
1994 ; Brown dan Yule, 1983 ; Widdowson, 1981 ; Cook, 1994:6-7). Kedua
bentuk wacana ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan (Sinclair dan
Coulthard, 1975). Wacana adalah hasil rekaman kebahasaan yang utuh dalam
peristiwa komunikasi (lisan maupun tulis) yang mempertimbangkan unsur
pembicara-penyimak, penulis-pembaca dan juga gejala kebahasaan yang disebut
pragmatik (Samsuri dalam Idat dan Djajasudarma,1994). Wacana merupakan
suatu peristiwa terstruktur yang terealisasi dalam bahasa (Brown dan Yule, 1983 ;
Widdowson, 1981 ; Cook, 1994:6-7).
Wacana adalah produk yang dihasilkan oleh suatu peristiwa komunikasi
(Halliday,1979) atau bahasa yang dihasilkan oleh tindak komunikasi (Richards
dan Schmidt,1989). Sebagai produk yang dihasilkan oleh suatu peristiwa
komunikasi/tindak komunikasi, wacana mengandung keseluruhan aspek yang
terkait dengan tuturan dan yang dapat menggambarkan keseluruhan aspek
kebahasaan, baik dari segi internal maupun eksternal. Kajian wacana tidak hanya
32
memperhatikan hal-hal yang bersifat linguistis tetapi juga hal-hal yang bersifat
nonlinguistis. Sebagai produk komunikasi wacana merupakan bentuk/gambaran
dari praktik perilaku, sekaligus ekspresi dan representasi fenomena kehidupan
manusia (Halliday dalam Halliday dan Hasan, 1994).
Wacana adalah satuan (unit) perilaku yang direalisasikan oleh seperangkat
ujaran, yang berhubungan dengan segala kejadian tutur yang dapat diidentifikasi,
seperti percakapan, lelucon, khotbah dan wawancara (Crystal, 2001 : 118).
Sebagai satuan perilaku wacana adalah wujud perilaku sosial. Sebagai
penggunaan bahasa dalam komunikasi wacana dipandang sebagai bentuk praktik
sosial (“Discourse is the use of language seen as a form of social practice”).
Sebagai bentuk praktik sosial wacana mengimplikasikan tiga hal, yaitu bahasa
sebagai bagian dari masyarakat, bahasa sebagai praktik sosial, dan bahasa sebagai
proses yang dikondisikan secara sosial (Fairclough,1998:21-24). Wacana
diasosiasikan dengan segala hal yang berkaitan dengan tindakan ‘bercakap-cakap’
(Paltridge,2000: 4).
Penelitian ini difokuskan pada wacana lisan (wacana interaktif). Wacana
lisan didefinisikan sebagai rangkaian ujar. Ujaran adalah kalimat yang diucapkan
secara lisan. Dalam komunikasi lisan, ujaran sangat dipengaruhi oleh konteks
(Brown dan Yule, 1983). Wacana lisan adalah wacana yang berwujud seperangkat
ujaran yang berhubungan dengan segala kejadian tutur yang dapat diidentifikasi,
seperti percakapan, lelucon, khotbah dan wawancara (Crystal, 2001:118). Wacana
lisan adalah rangkaian kalimat yang ditranskrip dari rekaman bahasa lisan,
33
misalnya percakapan (dialog), khotbah (langsung), siaran langsung di radio atau
TV (Sinclair dan Coulthard, 1975).
Wacana adalah suatu bentuk pertukaran, dan bentuk teks yang paling dasar
adalah percakapan. Pertukaran hanya terjadi dalam komunikasi lisan dimana para
peserta tutur secara bergantian berbicara baik dengan maupun tanpa topik yang
jelas (Halliday,1994). Percakapan adalah bentuk wacana interaktif. Wacana
percakapan (dialogue discourse) adalah wacana yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih secara langsung; sifatnya dua arah dan para partisipan berperan aktif
dalam
komunikasi
sehingga
disebut
komunikasi
interaktif
(interactive
communication). Wacana interaktif atau timbal-balik dihasilkan oleh orang-orang
yang melibatkan diri dalam interaksi timbal-balik (Wijana, 2001:221 ; Sumarlam,
et al, 2003:17).
Analisis wacana (AW) tidak hanya mengkaji satuan lingual yang berupa
struktur paragraf dan organisasi teks, tetapi juga pola-pola interaksi percakapan,
seperti cara penutur membuka percakapan, menutup percakapan, dan berbagi
giliran dalam percakapan. Pada setiap percakapan terdapat perbedaan pada pola
pembukaan dan penutupan (Paltridge, 2000: 4 ; Purwoko, 2008:2-3). AW tidak
hanya mengkaji strukturnya saja, melainkan juga bagaimana penggunaannya
(fungsinya) dalam tindakan yang nyata (riil). AW tidak hanya sekedar
menjelaskan sistem simbol verbal saja, tetapi yang terlebih penting dari itu adalah
menjelaskan
cara-cara
masyarakat
melaksanakan
tindakan,
sikap
yang
ditunjukkan pada saat melaksanakan tindakan, serta apa yang melatarbelakangi
terjadinya setiap tindakan ; a mode of doing, being and becoming (Schifrin dalam
34
Aronoff dan Rees-Miller, 2001:428-429). AW adalah analisis bahasa yang
melibatkan praktik sosial. AW identik dengan analisis tindak tutur (Schiffrin,
1994:41). Oleh karena itu, peran konteks dalam AW sangat penting (Aronoff dan
Rees-Miller (2001:428-429).
Wacana jual-beli di pasar tradisional dipahami sebagai (1) peristiwa tutur
atau peristiwa penggunaan bahasa dalam suatu situasi komunikasi lisan, (2)
peristiwa interaksi, (3) pemakaian bahasa dalam situasi sosial, (4) kesatuan ujaran
dan tindakan, (5) proses komunikasi, (6) kerjasama yang bersifat konvensional,
(7) aktivitas transaksi atau tawar menawar, (8) strategi mencapai sebuah
kesepakatan, (9) proses penyesuaian-penyesuaian, (10) praktik sosial, dan (11)
kegiatan-kegiatan dalam diri manusia yang tidak dapat diamati.
Konteks sangat menentukan dalam memahami wacana. Konteks adalah
satu lingkungan yang berpengaruh terhadap pembentukan wacana. Kalimat tidak
dapat dipisahkan dari konteksnya. Jika kalimat dicabut dari konteksnya, maka
akan lahir kalimat anomali. Ada kalimat-kalimat yang secara struktur benar, tetapi
secara semantis tidaklah mungkin. Ada referen kalimat-kalimat yang tidak
mungkin dijumpai dalam kenyataan. Ada banyak tuturan yang lazim dijumpai
sebagai ungkapan metaforis (Leech,1986 : 4).
Studi tata bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks (bebas konteks).
Konteks mutlak diperlukan apabila fokus studi terkait dengan penggunaan tata
bahasa dalam komunikasi yang nyata. Studi bahasa semacam ini dinamakan studi
yang terikat konteks (context dependent). Kajian pragmatik berbeda dengan kajian
tata bahasa yang memfokuskan pada studi seluk beluk bahasa secara internal.
35
Pragmatik adalah studi tentang bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi
(Parker 1986 dalam Rahardi, 2005).
Menurut Djajasudarma (2006) keseluruhan aspek yang berhubungan
dengan situasi komunikasi dipahami sebagai konteks eksternal (nonlingual) yang
dibedakan dari konteks internal (lingual). Konteks internal itu sebagai konteks
tekstual dan konteks eksternal sebagai segala sesuatu yang terkait dengan situasi
terjadinya tuturan. Wijana (1996) menyebut konteks eksternal itu sebagai konteks
situasi tutur (speech situational context).
Konteks
merupakan salah satu kajian utama dalam analisis wacana.
Analisis wacana sangat memperhatikan makna yang terkandung dalam kata-kata
dalam
proses
interaksi,
serta
bagaimana
para
partisipan
dapat
mengkomunikasikan lebih banyak lagi informasi, melebihi yang terkandung
dalam kata-kata yang mereka gunakan. Konteks yang digunakan untuk
menganalisis suatu wacana dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (1)
situational context ‘konteks situasi’, yaitu pengetahuan penutur terkait dengan
segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Konteks situasi adalah keadaan situasi fisik
secara visual ; tempat berlangsungnya interaksi antara Pn dan Mt. (2) background
knowledge context ‘konteks pengetahuan latar’, yaitu pengetahuan penutur tentang
interlokutor dan juga tentang dunia. Konteks pengetahuan latar terdiri diri
pengetahuan budaya dan pengetahuan interpersonal, dan (3) co-textual context
atau yang biasa dikenal dengan ko-teks, yaitu pengetahuan penutur tentang apa
yang dituturkannya (Cutting,2002: 3-9). Konteks pengetahuan latar terdiri dari (i)
pengetahuan interpersonal dan (ii) pengetahuan budaya. Untuk dapat berbagi
36
konteks pengetahuan interpersonal dibutuhkan interaksi verbal atau pengalaman
sebelumnya. Jika interlokutor berasal dari kelompok yang sama, mereka akan
mengasumsikan pengetahuan yang sama tentang segala sesuatu yang mereka
ketahui (Sperber dan Wilson dalam Cutting 2002: 5).
Konteks adalah sebuah konstruksi psikologis, subset dari asumsi
pendengar tentang “dunia” yang memengaruhi penafsiran tuturan. Sebuah konteks
tidak terbatas pada informasi tentang lingkungan fisik atau tuturan, tetapi juga
harapan tentang masa depan, hipotesis ilmiah, atau kepercayaan agama, kenangan
anekdot, asumsi budaya umum, keyakinan tentang keadaan mental penutur, yang
berperan dalam penafsiran (Sperber dan Wilson, 1986 : 16). Konsep ini jelas
dalam pernyataannya berikut ini :
“A context ist psychological construct, a subset of the hearer’s
assumptions about the world. It is this assumptions, of course than the
actual state of the world that affect the interpretation of the utterance. A
context in these sense is not limited to information about the immediate
physical environment or the immidiately preceding utterance ; expectation
about the future, scientific hipotesis or religious beliefs, anecdotal
memories, general culture assumptions, beliefs about the mental state of
the speaker, may all play a role in interpretation” (dikutip dari Wijana,
1996).
Konteks mencakup segala latar pengetahuan (any background knowledge)
yang terkait dengan pertuturan ; dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur,
dan yang membantu penafsiran makna tuturan. Konteks juga mengacu pada halhal yang berkaitan dengan kebiasaan partisipan, adat istiadat, dan budaya
masyarakat. Konteks dapat pula mengacu pada kondisi fisik, mental, pengetahuan
yang ada di benak penutur maupun mitra tutur, serta waktu dan tempat (Leech,
1986). Konteks merupakan aspek yang sangat penting dalam analisis wacana
37
(AW), karena pada dasarnya yang dikaji dalam AW adalah pemakaian kata-kata
di dalam konteks. Fokus AW adalah bagaimana menjelaskan makna berdasarkan
tempat dan waktu ; dimana dan kapan kata-kata itu diucapkan, pengetahuan dunia
fisik, sosial, serta faktor-faktor sosio-psikologis yang mempengaruhi komunikasi.
(Yule 1996 dalam Cutting 2002).
Konteks merupakan konsep yang dinamis dan bukan konsep yang statis.
Oleh karena itu, konteks dipahami sebagai situasi yang selalu berubah, yang
memungkinkan penutur dan mitra tutur dapat berinteraksi dalam suatu proses
komunikasi. Ekspresi bahasa dalam suatu interaksi dapat dipahami dalam konteks
(Mey, 2001: 39). Ihwal konteks Mey (1993:38) berpendapat bahwa konteks
mencakup, (1) konteks yang bersifat sosial (social), yaitu konteks yang muncul
akibat terjadinya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat dan
budaya tertentu, (2) konteks yang bersifat sosietal (societal), yaitu konteks yang
ditentukan oleh kedudukan (rank) anggota masyarakat dalam institusi-institusi
sosial setempat. Konteks sosial itu muncul karena adanya solidaritas (solidarity).
Sedangkan latar belakang munculnya konteks sosietal adalah kekuasaan (power).
Wijana (1996:10-11) membedakan antara konteks tuturan dalam penelitian
linguistik dan penelitian pragmatik. Konteks tuturan dalam penelitian linguistik
adalah konteks dalam semua aspek fisik maupun setting sosial yang relevan
dengan tuturan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext),
sedangkan konteks setting sosial disebut konteks (context). Konteks pragmatik
meliputi (1) konteks yang bersifat umum ; ada pada setiap masyarakat tutur, dan
(2) konteks yang bersifat spesifik. Konteks yang pertama merupakan konteks
38
kebudayaan dan konteks yang kedua mengarah pada konteks pertuturan (konteks
linguistik dan konteks fisik) atau yang dikenal dengan konteks situasi.
Selanjutnya konteks pragmatik adalah konteks yang antara lain meliputi
identitas partisipan, waktu, dan tempat peristiwa pertuturan. Konteks sosiokultural
masyarakat pemakai bahasa merupakan faktor penting yang mendasari
pemahaman makna satuan lingual. Konteks sosiokultural berisi konvensikonvensi sosial-budaya yang melatarbelakangi pembentukan wacana (Halliday,
1985a:505). Kedua konteks ini disebut sebagai konteks pertuturan (Levinson,
1983:5 ; Yule,1990:98-99 ; Van Dijk, 1976 :192, 1982).
Kajian pragmatik adalah kajian makna dalam kaitannya dengan situasi
tutur. Prasyarat yang diperlukan untuk melakukan analisis pragmatik atas tuturan,
termasuk tuturan yang bermuatan implikatur percakapan (IP) adalah situasi ujar
yang mendukung keberadaan suatu tuturan dalam percakapan. Situasi ujar
meliputi unsur-unsur (1) penyapa dan pesapa (addressers or addressees), (2)
konteks tuturan (the context of an utterance), (3) tujuan tuturan (the goals of an
utterance), (4) tuturan sebagai bentuk tindakan ; tindak tutur (the utterance as a
form of act or activity ; speech act), (5) tuturan sebagai produk tindak verbal (the
utterance as a product of a verbal act), (6) waktu, dan (7) tempat (Leech,
1993:13). Bahasa, konteks, dan penafsiran (pemahaman) makna dalam pemakaian
merupakan tiga aspek penting dalam kajian pragmatik (Levinson, 1983). Makna
tuturan selalu harus dipahami dalam konteks, yaitu makna yang dihubungkan
dengan situasi/kondisi tutur ; makna yang dipahami bukan sebagai sesuatu yang
abstrak (Leech, 1986 ; Halliday,1994).
39
Menurut Hymes (dalam Renkema, 1993: 44) konteks wacana dibentuk
oleh delapan unsuriv seperti yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa.
Faktor-faktor yang terkait dengan konteks tutur, yang dipahami dalam penelitian
ini adalah (1) latar belakang penutur dan mitra tutur (usia, gender, pendidikan,
pekerjaan, status sosial, suku), (2) jumlah peserta tutur, (3) topik pembicaraan,
(4). tempat dan waktu penuturan, (5) sarana tutur (bentuk bahasa : tulis atau lisan),
(6) gaya tutur (jenis/tipe teks yang digunakan, seperti dongeng, iklan, khotbah,
percakapan, (7) kode tutur, (8) jenis tuturan (standar atau dialek), (9) lingkungan
tutur (formal atau informal, ramai atau sepi), (10) suasana tutur (santai atau
serius), (11) adegan tutur, (12) hubungan penutur dan mitra tutur (akrab atau tidak
akrab), (13) bentuk tuturan (langsung atau tidak langsung), (14) isyarat nonverbal,
(15) maksud tuturan, (16) pengenalan/penilaian interpersonal (kondisi emosional,
sifat/karakter, kebiasaan individual, dsbnya), (17) pengetahuan tentang kaidahkaidah interaksi, (18) pengetahuan tentang cara-cara pelaksanaan transaksi, dan
(19) pengetahuan budaya (seperti kebiasaan-kebiasaan lokal/adat istiadat)
(dikembangkan dari Hymes, 1972 dan Poedjosoedarmo, 1975). Contoh analisis
konteks tutur dapat ditemukan pada lampiran 1.
1.8.2.2 Kode, Alih Kode, dan Fungsi Bahasa
Ketika seseorang memulai untuk menuturkan atau mengatakan sesuatu,
maka pada saat itu ia memilih kode, dialek, style, register, atau variasi yang akan
digunakannya untuk berkomunikasi, dan itulah yang disebut kode. Kode adalah
sebuah sistem yang digunakan untuk berkomunikasi antara dua penutur atau lebih
40
yang berupa sebuah dialek atau bahasa tertentu. Kode mengacu pada suatu sistem
tutur yang dalam penerapannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang
penutur, relasi penutur dengan mitra tutur, dan situasi tutur. Setiap wacana atau
teks bergantung pada repertoar-repertoar yang ditetapkan secara sosial, serta
perangkat-perangkat pembeda genre (Wardaugh, 1988:99). Kode biasanya
berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai untuk berkomunikasi
antaranggota suatu masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo,1978:30). Pilihan kode
yang
digunakan
dalam
suatu
komunikasi
dipengaruhi
oleh
konteks
(Poedjosoedarmo & Wolff, 1982). Tingkatan-tingkatan sosial masyarakat
memunculkan berbagai kode, dialek, style, register, atau variasi (Hudson,1980).
Pemilihan bahasa dalam suatu komunikasi berhubungan dengan dimensi
sosial, psikologis, dan budaya. Pilihan bahasa mencerminkan kaidah sosial yang
berlaku dalam suatu masyarakat. Kajian tentang pemilihan bahasa dapat
digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial, seperti masalah etnisitas, struktur
sosial, stratifikasi sosial, jarak sosial, serta hubungan peran dalam masyarakat
(Saville-Troike,1990). Untuk mengidentifikasi dan menjelaskan fenomena
pemakaian bahasa dan variasi sosial atau regional dibutuhkan pengetahuan dasar
linguistik secara umum, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik
(Wardaugh,1988 ; Holmes,1995).
Masyarakat Indonesia sebagian besar adalah masyarakat bilingual, namun
secara individual setiap orang berbeda tingkat kemampuan/penguasaannya
terhadap dua atau lebih bahasa yang diketahuinya (Poedjosoedarmo,1982).
Masyarakat bilingual atau multilingual dihadapkan pada masalah untuk memilih
41
kode tertentu pada saat mereka berkomunikasi. Mereka mungkin juga
memutuskan untuk berganti dari satu kode ke kode lain atau mencampur kodekode tersebut. Dalam masyarakat multibahasa terdapat bermacam-macam kode,
antara lain dialek, sosiolek, serta gaya yang digunakan dalam berkomunikasi.
Dengan adanya kode-kode tersebut, penutur dalam suatu lingkungan tutur akan
menggunakan kode sesuai dengan faktor-faktor yang memengaruhinya dengan
cara mengubah variasi penggunaan bahasanya. Dalam percakapan penutur
mungkin juga memutuskan untuk berganti dari satu kode ke kode lain atau
mencampur kode-kode tersebut (Wardhaugh,1988 : 99).
Menurut pandangan sosiolinguistik, bilingualisme dipahami sebagai
penggunaan dua bahasa secara bergantian oleh seorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain. Orang yang dapat menggunakan dua kode atau
dua bahasa secara bergantian disebut sebagai seorang yang bilingual atau
dwibahasawan. Selain bilingual terdapat pula istilah multilingual, yakni seorang
yang mampu menggunakan lebih dari dua bahasa secara bergantian pada saat
berkomunikasi dengan orang lain. Penggunaan dua kode atau dua bahasa secara
bersamaan
dalam
komunikasi
verbal
disebut
sebagai
kedwibahasaan
(bilingualism) (Fishman, 1975:73). Ada dua jenis dwibahasawan, yaitu
dwibahasawan masyarakat dan dwibahasawan individual (Appel,1987).
Kedwibahasaan (bilingualism) adalah kemampuan seseorang dalam
menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya atau hampir sama baiknya, yang
secara teknis terkait dengan pengetahuan tentang dua bahasa bagaimanapun
tingkatannya. Artinya, seorang dwibahasawan tidak perlu menguasai dua bahasa
42
dengan
sama
baiknya
(Lado,1970).
Haugen
dalam
Romaine
(1995:1)
berpendapat, jika penutur suatu bahasa dapat memproduksi ujaran lengkap yang
bermakna dalam suatu bahasa yang lain dalam suatu peristiwa tutur, orang
tersebut dapat disebut sebagai dwibahasawan. Penggunaan istilah bilingual atau
dwibahasawan telah mencakup konsep keanekabahasaan.
Jika suatu masyarakat memilih menggunakan dua kode (bahasa) yang
berbeda yang menunjukkan adanya pemilahan atau perbedaan dalam penggunaan,
dimana kode yang satu digunakan dalam situasi tertentu dan kode yang lainnya
digunakan dalam situasi yang berbeda, maka pada saat itulah masyarakat berada
pada situasi diglosik. Situasi diglosikv adalah suatu situasi yang menggambarkan
tinggi-rendahnya penggunaan suatu kode (bahasa) dalam suatu masyarakat
(Wardaugh,1988). Situasi diglosik adalah suatu situasi yang menggambarkan
pembagian fungsi bahasa berdasarkan variasi-variasi yang tersedia, dimana satu
variasi dipandang memiliki status yang lebih tinggi dibanding dengan variasi yang
lain dan dipakai untuk penggunaan resmi/penggunaan publik, serta yang
mempunyai ciri-ciri yang kompleks dan konserfatif. Sedangkan variasi yang lain
digunakan dalam situasi yang tidak resmi dan strukuturnya disesuaikan dengan
saluran komunikasi lisan (Kridalaksana, 2011:50). Menurut Chaer dan Agustina
(1995:111) munculnya diglosia, alih kode dan campur kode, interferensi,
integrasi, konvergensi, serta pergeseran bahasa disebabkan oleh adanya kontak
bahasa.
Salah satu aspek penting dalam kedwibahasaan adalah fenomena alih
kode. Alih kode adalah suatu gejala kebahasaan yang muncul ketika seorang
43
penutur menggunakan bahasa (variasi) yang berbeda dalam kesempatan yang
berbeda (Hudson,1980:56). AK merupakan peristiwa terjadinya pergantian kode
secara disadari atau disengaja yang disebabkan oleh faktor, antara lain
bilingualism (kedwibahasaan), situasi formal, emosi, hubungan akrab, dan lainlain (Poedjosoedarmo, 1982). AK adalah peralihan dari satu kode ke kode yang
lain. AK bisa berwujud alih ragam, alih gaya, alih varian, atau alih register
(Suwito, 1985:68).
Penggunaan variasi bahasa dalam masyarakat bahasa meliputi register,
dialek, jargon, bilingualime, diglosia, alih kode, dan campur kode. Alih kode dan
campur kode dalam percakapan mencerminkan soladaritas penutur (Pn) terhadap
mitra
tutur
(Mt),
pemilihan
topik,
serta
jarak
sosial
dan
budaya
(Wardhaugh,1988:102). AK dan CK menujukkan sikap berbahasa dalam satu
masyarakat bahasa. Sikap berbahasa akan berubah sesuai dengan topik
pembicaraan, tempat, latar belakang/personalitas penutur, penilaian penutur
terhadap mitra tutur, dan situasi dimana percakapan berlangsung (Ferguson,
1972:245). Masyarakat bilingual/multilingual dihadapkan pada masalah untuk
memilih kode tertentu pada saat mereka berkomunikasi. Alih kode adalah
alternatif penggunaan dua bahasa atau lebih dalam percakapan atau ujaran dan
tidak ditentukan oleh panjangnya suatu ujaran ; bisa dalam bentuk kata, frasa, atau
kalimat (Grosjean,1982).
Setiap masyarakat tutur memiliki kekayaan bahasa yang menyatakan
bahwa bahasa itu hidup dalam masyarakat dan digunakan untuk menyatakan
bermacam-macam peran sosial. Peran sosial itu berkaitan dengan berbagai aspek
44
sosial psikologis. Aspek-aspek yang dimaksud dapat dipahami pada rangkaian
O,O,E MAU BICARA (Poedjosoedarmo, 1982). Rangkaian ini dapat dipahami
sebagai aspek-aspek tutur, yang dikenal juga sebagai komponen-komponen tutur
atau komponen komunikasivi.
Pemilihan kode dalam suatu peristiwa tutur ditentukan oleh delapan faktor
yang dikenal dalam teori etnografi komunikasi (ethnography of communication)
sebagai komponen komunikasi. Kedelapan faktor tersebut dikenal dengan
akronim SPEAKING. Kedelapan faktor ini dapat mempengaruhi penggunaan
bahasa, (Dell Hymes, 1973 ; Poedjosoedarmo & Wollf, 1982 ; Poedjosoedarmo,
1985 ; Halliday & Hasan, 1992).
Situasi penggunaan bahasa mengharuskan penutur menggunakan bahasa
sesuai dengan fungsinya. Penggunaan bahasa selalu menunjuk pada fungsi bahasa
sebagai alat komunikasi dalam masyarakat. Fungsi bahasa dapat diartikan sebagai
cara bagaimana penutur menggunakan bahasa atau beberapa bahasa (jika ia
mengetahui lebih dari satu bahasa. Menurut Halliday (1987:15) fungsi bahasa itu
dapat dibedakan menjadi (1) fungsi transaksional, yaitu fungsi bahasa untuk
mengungkapkan isi, dan (2) fungsi interaksional, yaitu fungsi bahasa yang terkait
dengan pengungkapan hubungan-hubungan sosial dan sikap-sikap pribadi. Kedua
fungsi ini dapat mengungkap untuk apa bahasa itu digunakan. Bahasa dalam
wacana mengemban tiga fungsi sekaligus, yaitu (1) fungsi ideasional, yaitu
merepresentasikan pengalaman dan dunia, (2) fungsi interpersonal, yaitu
membentuk interaksi sosial antara partisipan dalam wacana, serta (3) fungsi
45
tekstual, yaitu mengaitkan teks dengan konteks situasional (Brown dan Yule,
1983 ; Fairclough, 1998:6).
Analisis wacana tidak dapat dipisahkan dari fungsi bahasa. Fungsi bahasa
dapat dipahami atas dasar tujuan seseorang berkomunikasi (Brown dan Yule,
1996:1). Bahasa tidak saja berfungsi sebagai alat komunikasi yang luar biasa
kuatnya, tetapi juga berfungsi sebagai “sebuah alat pemikiran” yang dapat
disamakan dengan pandangan populer tentang bahasa, yaitu sebagai kendaraan
yang digunakan oleh ide-ide (Leech,1993:88).
1.8.2.3 Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur
Peristiwa tutur (speech event) adalah peristiwa terjadinya interaksi
linguistik yang direalisasikan dalam wujud tuturan, yang melibatkan dua pihak,
yaitu penutur dan mitra tutur dengan topik tuturan yang jelas, dalam waktu,
tempat, dan situasi tertentu. Dalam pandangan sosiolinguistik sebuah percakapan
dapat disebut sebagai peristiwa tutur, jika memenuhi persyaratan sebagaimana
yang dapat ditemukan dalam akronim SPEAKING (Hymes, 1974 ; Wardaugh,
1988). Peristiwa tutur adalah peristiwa sosial, sedangkan tindak tutur (speech act)
adalah gejala individual yang melibatkan kondisi psikologis. Kelangsungan tindak
tutur ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi suatu situasi
(Chaer dan Leonie,1995 : 65 ; Suwito,1983 : 33).
Kalau dalam kajian peristiwa tutur yang lebih difokuskan adalah tujuan
peristiwa, maka dalam tindak tutur yang lebih difokuskan adalah makna tuturan.
Peristiwa tutur dan tindak tutur adalah dua gejala yang terdapat dalam satu proses,
46
yakni proses komunikasi (Hymes, 1972, 1973 ; Suwito, 1983 ; Chaer dan Leonie,
1995). Tindak tutur adalah peristiwa tutur (speech event), yaitu suatu kegiatan
komunikasi/interaksi dengan menggunakan bahasa (tutur) dan yang melibatkan
cara-cara konvensional untuk mencapai tujuan/hasil (Yule, 2006). Tindak tutur
atau tindak bahasa adalah bagian dari peristiwa tutur (speech event) yang
merupakan fenomena aktual dalam situasi tutur (Rohmadi, 2004 : 7).
Penggunaan bahasa yang berkaitan dengan kemampuan komunikatif tidak
hanya melibatkan kemampuan penguasaan gramatika (struktur) dan leksikon saja,
tetapi juga melibatkan kemampuan mengekspresikan tindak-tindak tutur, seperti
memberi salam, memberi komplimen (pujian), meminta maaf, menyampaikan
keluhan, menyampaikan undangan, serta bagaimana menginterpretasikan dan
meresponsnya. Sebagian besar ujaran dapat dipahami sebagai pernyataan
beberapa tindak tutur sekaligus. Demikian pula halnya dengan percakapan tidak
terdiri dari tindak tutur tunggal, tetapi terdiri dari tindak tutur yang multifungsi
(Wolfson, 1983:61). Semua komunikasi bahasa melibatkan tindak. Suatu
komunikasi bahasa tidak hanya didukung oleh simbol (kata atau kalimat), tetapi
juga produksi simbol dalam mewujudkan tindak tutur. Produksi kalimat pada
kondisi-kondisi tertentu merupakan tindak tutur, dan tuturan adalah unit minimal
komunikasi bahasa (Searle,1976:16). Setiap tutur atau ujar (speech) yang
dihasilkan oleh penutur merupakan wujud “tindakan” yang sedang dilaksanakan
oleh penutur (Austin,1962:98-99 ; Leech,1993:19-21 ; Levinson, 1983).
Selain berfungsi untuk menyampaikan/menginformasikan sesuatu, tindak
tutur juga dapat digunakan untuk melakukan sesuatu yang lain, misalnya untuk
47
memerintah, mengingatkan, berjanji, memberi solusi (Austin, 1962:94 ; Searle
dalam Parker, 1986:15 ; Wijana, 1996:18). Pada dasarnya ketika seseorang
mengatakan sesuatu maka pada saat itu ia juga melakukan sesuatu. Tindak tutur
(speech act) adalah menuturkan sebuah kalimat yang dilihat sebagai melakukan
sebuah tindakan, di samping memang penutur mengucapkan kalimat itu secara
nyata. Pada saat seseorang menggunakan kata-kata seperti promize ‘berjanji’ (I
promize I will come on time ‘saya berjanji saya akan datang tepat waktu’), dan
apologize ‘minta maaf’ (I apologize for coming late ‘saya minta maaf karena
datang terlambat’), maka penutur tidak hanya mengujarkan/mengucapkan tetapi
juga melakukan tindakan berjanji dan meminta maaf. Tuturan ini disebut sebagai
tuturan performatif dan kata kerjanya juga disebut kata kerja performatif. Ihwal
tindak tutur Austin berpendapat bahwa ada ribuan kata kerja dalam bahasa Inggris
yang menandai tindak tutur, tetapi tindak tutur tidak persis sama dengan apa yang
digambarkan oleh setiap kata kerja (Austin dalam Gunarwan, 1994:43).
Klasifikasi tindak tutur versi Austin (verdikatif, eksersitif, komisif, behabit, dan
ekspositif) yang hanya cenderung melihat kata kerja dalam bahasa Inggris saja,
tampaknya memiliki kelemahan. Alasannya situasi yang berbeda menuntut
penggunaan kata-kata kerja yang berbeda dan derajat sopan santun yang berbeda
pula (Leech,1986:176).
Tindak tutur adalah tindak melakukan sesuatu yang diwujudkan dalam
tuturan. Tuturan yang digunakan untuk melakukan sesuatu disebut tuturan
performatif. Sebaliknya tuturan yang digunakan untuk mengatakan sesuatu
disebut tuturan konstatif (Austin 1962:4 dalam Wijana, 1996:23). Dalam tuturan
48
performatif terdapat parameter validitas tuturan. Validitas tuturan performatif
tergantung pada terpenuhinya beberapa syarat validitas (sahih atau tidak sahih)
yang disebut kondisi felisitas (falicity conditions). Syarat-syarat itu mencakup (1)
orang yang mengutarakan tuturan dan situasi pengutaraan tuturan harus sesuai, (2)
tindakan harus dilakukan secara bersungguh-sungguh oleh penutur dan mitra
tutur, dan (3) Pn dan Mt harus memiliki niat yang sungguh-sungguh untuk
melakukan tindakannya (Austin dalam Wijana, 1996:24).
Tuturan performatif harus memenuhi lima syarat, yaitu (1) penutur harus
memiliki niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan tindakannya, (2) Pn harus
melakukan tindakannya secara bersungguh-sungguh, (3) Pn harus berkeyakinan
bahwa ia sanggup melakukan tindakan itu, (4) Pn harus memprediksi tindakan
yang akan dilakukan, bukan tindakan yang sudah dilakukan, (5) Pn harus
memprediksi tindakan yang dilakukannya sendiri, bukan yang dilakukan orang
lain (Wijana, 1996:25-26).
Searle dalam bukunya Speech Acts : An Essay in The Philosophy of
Language (1976) mengemukakan bahwa penutur setidaknya dapat melakukan tiga
jenis tindakan dalam tuturannya, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak
ilokusi (ilocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi
adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu (the act of saying something).
Tindak lokusi adalah tindak mengucapkan sesuatu dengan kata yang maknanya
sesuai dengan makna kata di dalam kamus dan makna sintaktis (makna
berdasarkan aturan sintaksis). Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan
sesuatu tanpa memperluas makna harafiah. Tindak lokusi adalah tindak yang tidak
49
mementingkan maksud dan fungsi tuturan (Austin dalam Wijana, 1996:17).
Tindak lokusi relatif mudah diidentifikasi karena tidak perlu melibatkan konteks
tutur atau konteks situasi. Dalam konteks pragmatik peran tindak lokusi tidak
begitu penting dalam pemahaman tindak tutur (Parker, 1986 : 15).
Menuturkan atau mengucapkan sesuatu identik dengan melakukan sesuatu
tindakan. Sebuah tuturan tidak saja berfungsi untuk mengatakan atau
menginformasikan sesuatu, tetapi dapat juga dipergunakan untuk melakukan
sesuatu tindakan. Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu (the act of
doing something) yang didasarkan pada “maksud”. Tindak ilokusi adalah tindak
yang mementingkan “fungsi” (untuk apa ujaran itu dilakukan). Selanjutnya,
tindak perlokusi adalah tindak tutur yang bermaksud memengaruhi seseorang (the
act of affecting someone). Tindak perlokusi adalah tindak yang memiliki daya
pengaruh (perlocutionary force) atau tindak yang memiliki efek atau dampak pada
seseorang. Tindak tutur ini mencerminkan reaksi Mt terhadap apa yang dikatakan
oleh Pn (Austin dalam Wijana, 1996:17 ; Searle dalam Wijana dan Rohmadi,
2009 : 20-24).
Tindak tutur itu dapat dibedakan menjadi (1) tindak tutur (utterance act),
yaitu tindak mengujarkan kata-kata atau morfem, (2) tindak proporsional
(propositional act), yaitu tindak menuturkan kalimat, (3) tindak ilokusi
(illocutionary act), yaitu tindak menuturkan kalimat yang sudah disertai tanggung
jawab untuk melakukan suatu tindakan, dan (4) tindak perlokusi (perlocutionary
act), yaitu tindak tutur yang mengharuskan mitra tutur melakukan suatu tindakan
tertentu (Searle, 1976).
50
Bahasa atau tutur dapat dipakai untuk melakukan suatu kejadian, karena
pada umumnya tuturan yang dipandang sebagai tindak tutur itu memiliki daya
atau kekuatan (force). Tindak tutur dapat dibedakan berdasarkan daya atau
kekuatan pengaruhnya, yaitu daya lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Daya lokusi
adalah daya makna dasar (makna harafiah) dan makna yang diacu oleh sebuah
ujaran (referensi). Daya ilokusi adalah daya dari tindakan yang dilakukan penutur
dalam tuturannya, seperti memerintah, menguji, mengejek, mengeluh, berjanji,
dsbnya (Searle,1976). Secara kondisional beberapa tuturan dapat memiliki daya
ilokusi yang menimbulkan efek perlokusi, seperti menyuruh, mendesak,
menyarankan, meyakinkan, mengancam atau memprotes (yang juga dapat
bermakna memarahi) (Levinson,1983).
Selanjutnya daya perlokusi adalah daya pengaruh (efek) tuturan yang
dibuat oleh penutur, yang dilakukan Pn secara sengaja atau tidak sengaja (Wijana
dan Rohmadi, 2009 : 23), yang dapat mempengaruhi Mt dalam bertindak. Daya
perlokusi adalah daya tuturan yang mempengaruhi, baik yang nyata maupun yang
diharapkan oleh Mt (Austin dalam May,1996). Misalnya daya perlokusi yang
ditimbulkan oleh tuturan yang mengandung makna perintah, ejekan, keluhan,
janji, dsbnya (Searle,1976).
Mengacu pada pemikiran Austin, Searle kemudian mengembangkan teori
tindak tuturnya yang didasarkan pada pandangannya bahwa semua komunikasi
bahasa melibatkan tindak. Suatu komunikasi bahasa tidak hanya didukung oleh
simbol (kata atau kalimat), tetapi juga produksi simbol dalam mewujudkan tindak
tutur. Produksi kalimat pada kondisi-kondisi tertentu merupakan tindak tutur, dan
51
tuturan adalah unit minimal komunikasi bahasa (Searle,1976:16). Apabila
dikaitkan dengan sopan santun tindak tutur itu dapat diklasifikasikan ke dalam (1).
Asertif (assertives) atau representatifvii,
yaitu tindak tutur yang berfungsi
memberitahu tentang sesuatu. Pada tindak ilokusi ini penutur terikat pada
kebenaran proposisi yang dinyatakannya, seperti mengatakan, menyatakan,
mengusulkan, membuat, meminta, mempertahankan, mengeluh, mengemukakan
pendapat, mengeluh, dan melaporkan. (2). Direktif (direktives), yaitu tindak tutur
yang berfungsi membuat mitra tutur melakukan sesuatu. Tindak direktif bertujuan
menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang akan dilakukan oleh penutur,
seperti menyarankan, menolak, memesan, memerintah, memohon, menuntut, dan
memberi nasihat. (3). Komisif (commissives), yaitu tindak tutur yang berfungsi
menyatakan sesuatu yang akan dilakukan penutur. Pada tindak ini penutur
setidaknya terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya berjanji,
mengancam, menawarkan. Daya pragmatis tindak tutur ini berhubungan dengan
efek yang ditimbulkan oleh tuturan yang mempengaruhi mitra tutur. Tindak
komisif cenderung berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif,
karena tidak mengacu pada kepentingan penutur, tetapi kepentingan mitra tutur.
(4). Ekspresif (ekspresive), yaitu tindak tutur yang berfungsi mengekspresikan
atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, yang tersirat
dalam ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat,
mengucapkan belasungkawa, menyesali, meminta maaf, mengecam, memuji. (5).
Deklaratif (declaration), yaitu tindak tutur yang berfungsi menggambarkan
perubahan dalam suatu keadaan hubungan, misalnya ketika kita mengundurkan
52
diri dengan mengatakan ”saya mengundurkan diri”, memecat seseorang dengan
mengatakan “anda saya pecat’, memberi nama, menjatuhkan hukuman,
membaptis, mengucilkan/membuang, mengangkat, dan sebagainya. Keberhasilan
pelaksanaan tindak ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara
proposisi dengan realitas (Searle dalam Leech, 1993 ; Yule, 2006 : 92-95 ;
Dardjowidjojo, 2003 : 95). Klasifikasi tindak tutur model Searle ini didasarkan
pada penilaian pendengar (Pnd), karena menurutnya tujuan pembicara (Pmb)
sukar diteliti, sedangkan interpretasi Pnd atau mitra tutur (Mt) mudah dikenali dari
reaksi-reaksinya terhadap apa yang dikatakan Pmb atau penutur (Pn). Meskipun
menurut (Searle,1976:1) efek perlokusi itu dapat dilihat (nyata) pada mitra tutur,
namun kadang-kadang juga efek itu tidak terlihat.
Tindak tutur adalah salah satu satuan analisis yang penting di dalam kajian
pragmatik. Dalam kajian pragmatik tuturan dipahami sebagai wujud tindak tutur
itu sendiri dan merupakan produk tindak verbal (Austin,1962:98-99 ;
Leech,1993:19-21). Satuan analisis pragmatik bukanlah kalimat melainkan tindak
tutur (Levinson,1983). Analisis wacana dapat disamakan dengan analisis tindak
tutur (discource as utterances) (Schiffrin,1994:41).
Dalam percakapan setiap tindak tutur berisi informasi atau pesan. Dalam
melaksanakan tindak tutur penutur perlu memahami kaidah-kaidah komunikasi
yang berlaku dalam masyarakatnya. Konvensi-konvensi yang berkaitan dengan
tindak
tutur
pada
setiap
budaya
berbeda-beda.
Misalnya
dalam
hal
mengekspresikan kepercayaan pribadi dalam budaya tertentu dilakukan dengan
sederhana dan dinyatakan dengan sangat hati-hati. Sebaliknya dalam budaya
53
tertentu lainnya permintaan atau kritikan dianggap sebagai ancaman (Richards dan
Schmidt, 1989). Sebuah tindak tutur dapat mengancam wajah, dan tindak tutur
yang demikian itu disebut sebagai face-threatening act (FTA). Untuk
meminimalisasi kekerasan ancaman pada wajah maka di dalam berkomunikasi
maksim-maksim Grice tidak selalu harus dipatuhi. Untuk itu diperlukan sopan
santun dalam berbahasa (Brown dan Levinson,1987:101-113). Penilaian derajat
kesantunan tindak tutur tidak dapat dilepaskan dari kaidah-kaidah sosial yang
berhubungan dengan pemakaian bahasa dan hasil pemilihan strategi komunikasi
(Sumarlam, 2003:37).
Tindak tutur dapat dibedakan menjadi (1) tindak tutur langsung dan tindak
tutur tidak langsung, (2) tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, (3) tindak
tutur langsung literal dan tindak tutur tidak langsung literal dan (4) tindak tutur
langsung tidak literal dan tindak tutur tidak langsung tidak literal (Wijana dan
Rohmadi, 1996).
1.8.2.4 Prinsip Kerjasama dan Prinsip Kesantunan
Dalam melaksanakan sebuah percakapan ada prinsip-prinsip yang harus
ditaati. Prinsip-prinsip umum percakapan adalah prinsip-prinsip kooperatif (The
Co-operative Principles) atau prinsip kerjasama (Grice,1975 dalam Cruse,
2000:355-367). Prinsip-prinsip umum percakapan merupakan prinsip-prinsip
pertuturan yang berisi kaidah-kaidah tutur dalam percakapan. Prinsip-prinsip
pertuturan meliputi prinsip kerjasama (PK) dan prinsip kesantunan atau prinsip
sopan santun (PS).
54
Untuk menghindari hal-hal yang berdampak pada kegagalan komunikasi
dalam sebuah percakapan Grice (1975: 45-47) mengemukakan empat jenis
maksimviii. Maksim-maksim ini berfungsi sebagai penuntun (guidelines) dalam
bertutur. Keempat maksim ini mengatur tentang pelaksanaan prinsip-prinsip
kerjasama (PK). Keempat maksim Grice tersebut adalah (1) maksim kuantitas
(maxim of quantity), (2) maksim kualitas (maxim of quality), (3) maksim relevansi
(maxim of relevance), dan (4) maksim cara atau maksim pelaksanaan (maxim of
manner). Dari segi kuantitas penutur diwajibkan memberikan jumlah informasi
yang dibutuhkan, dan tidak memberikan melebihi yang dibutuhkan. Sedangkan,
dari segi kualitas penutur diwajibkan untuk memberikan informasi yang benar ;
yang didasarkan pada bukti-bukti yang memadai, atau mengatakan hal yang
sebenarnya ; mengatakan sesuatu yang diyakini benar atau tidak mengatakan
sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan. Dari segi relevansi atau
hubungan penutur diwajibkan memberikan kontribusi atau mengatakan sesuatu
yang ada relevansinya dengan masalah yang sedang dibicarakan. Selanjutnya dari
segi cara atau pelaksanaan penutur diwajibkan menghasilkan tuturan yang mudah
dimengerti, menghindari pernyataan yang samar, ambigu, panjang dan berbelitbelit atau bertele-tele. Penutur diwajibkan berbicara langsung dan jelas.
PK itu mengatur tentang pemberian kontribusi yang informatif, benar dan
relevan, serta penghindaran terhadap pemakaian ungkapan-ungkapan yang
ambigu. PK mengatur tentang bagaimana melaksanakan percakapan yang ideal,
yaitu berikan kontribusi seperti yang dibutuhkan pada tingkat dimana hal itu
terjadi, sesuai dengan tujuan/arah pertukaran pembicaraan dimana seseorang
55
terlibat di dalamnya. PK diperlukan untuk memperlancar jalannya sebuah
interaksi atau tercapainya tujuan-tujuan dalam sebuah percakapan (Levinson,
1983:101). Namun demikian, dalam komunikasi yang sebenarnya (komunikasi
langsung/tatap muka) penutur sering tidak mematuhi prinsip kerjasama yang
diusulkan Grice (Leech, 1986 ; Wijana, 1996 ; Brown dan Levinson, 1987, dan
Fraser, 1978, 1990, 1998).
Dalam praktik komunikasi percakapan melebihi pertukaran informasi.
Ketika dua orang atau lebih terlibat dalam suatu percakapan maka pada saat itu
mereka berbagi prinsip-prinsip umum yang memungkinkan mereka dapat saling
memahami ujaran-ujaran yang dihasilkan. Suatu komunikasi dikatakan berhasil
apabila mitra tutur dapat menangkap apa yang dimaksudkan oleh penutur dalam
tuturannya. Keberhasilan komunikasi tidak ditentukan oleh pengertian Mt tentang
makna linguistik dari tuturan Pn (Sperber dan Wilson, 1986:23). Untuk
kelancaran
suatu
interaksi
peserta
tutur
perlu
melakukan
kerjasama
(Wijana,1996:46-52). Untuk dapat menerapkan kerjasama dibutuhkan sepuluh
langkah yang dapat memberikan isyarat kepada mitra tutur tentang maksud yang
ada di balik tuturan penutur (Searle,1976:61-62)ix.
Selanjutnya ihwal kesantunan, Leech (1986) mendasarkan prinsip
kesantunan (politeness principle) itu pada empat nosi, yaitu (1) biaya (cost) dan
keuntungan (benefit), (2) persetujuan (agreement), (3) pujian (approbation), dan
(4) simpati – antipati. Kemudian keempat nosi ini dijabarkan oleh Leech (1986 :
119, 206-207) ke dalam enam maksim, yaitu (1) maksim kebijaksanaan (tact
maxim) : minimize cost to other - maximize benefit to other artinya ‘minimalkan
56
kerugian orang lain atau maksimalkan keuntungan bagi orang lain, (2) maksim
kemurahan hati (generosity maxim) : minimize benefit to self - maximize cost to
self artinya ‘minimalkan keuntungan diri sendiri atau maksimalkan kerugian diri
sendiri, (3) maksim penerimaan (approbation maxim) : minimize dispraise maximize praise of other artinya ‘minimalkan tidak memuji orang lain atau
maksimalkan pujian untuk orang lain’. (4) maksim kerendahan hati (modesty
maxim) : minimize praise of self - maximize dispraise of self artinya ‘minimalkan
rasa hormat pada diri sendiri atau maksimalkan rasa tidak hormat pada diri
sendiri’, (5) maksim kecocokan (agreement maxim) : minimize disagreement
between self and other - maximize agreement between self and other artinya
‘minimalkan ketidakcocokan antara diri sendiri dan orang lain atau maksimalkan
kecocokan antara diri sendiri dan orang lain, dan (6) maksim kesimpatian
(sympathy maxim) : minimize antiphaty between self and other - maximize
symphaty between self and other artinya ‘minimalkan rasa antipati diantara diri
sendiri dan orang lain atau maksimalkan simpati diantara diri sendiri dan orang
lain’ (lih. Wijana, 1996 ; Gunarwan, 1992:179-201).
Menurut Leech maksim kebijaksanaan (tact maxim) direalisasikan oleh
tuturan direktif, imposif dan komisif. Tuturan komisif dan imposif mewakili
tindak ilokusi deklaratif, ekspresif, direktif, asertif dan komisif. Tindakan direktif
atau imposif bertujuan menimbulkan pengaruh (efek) pada mitra tutur, seperti
yang tampak melalui verba memohon, meminta, menyuruh, memerintah,
menasehati, menyarankan, menganjurkan, serta memesan. Sedangkan, tuturan
komisif menyatakan tindakan
yang akan datang, seperti
menawarkan,
57
menjanjikan, bersumpah, serta memanjatkan doa (lih.Tarigan, 1986:47-48).
Maksim kemurahan hati (generosity maxim) diwujudkan dengan tuturan ekspresif
dan asertif yang menyatakan tindak ilokusi mengucapkan selamat, mengucapkan
terima kasih, menyampaikan ungkapan belasungkawa, dan sebagainya. Tuturan
yang melibatkan kebenaran proposisi, seperti yang terwujud dalam tindakan
menyatakan,
mengeluh,
menyarankan,
melaporkan,
dan
sebagainya
diklasifikasikan sebagai tuturan asertif. Dalam menyampaikan tuturan asertif
penutur harus mempertimbangkan kesopanan dalam penyampaian, termasuk di
dalamnya kesopanan dalam menyatakan pendapat dan mengungkapkan perasaan.
Maksim kemurahan hati fokusnya pada orang lain.
Selanjutnya maksim penerimaan (approbation maxim) direalisasikan
dengan tuturan komisif dan imposif, sedangkan maksim kerendahan hati (modesty
maxim), maksim kecocokan (agreement maxim) dan maksim kesimpatisan
(sympathy maxim) dinyatakan dengan tuturan ekspresif dan asertif. Maksim
kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Leech (1993) berpendapat bahwa
setiap unsur maksim interpersonal (interpersonal maxim) memiliki skala yang
berfungsi menentukan peringkat kesantunan tuturan. Kesantunan menurut Leech
(1993:123-126) dilihat berdasarkan skala biaya-manfaat : mewakili biaya atau
manfaat tindakan pada pembicara dan pendengar, skala pilihan : menunjukkan
derajat pilihan yang diizinkan untuk pembicara/pendengar oleh tindakan linguistik
tertentu, skala ketidaklangsungan : menunjukkan jumlah inferensi yang
diperlukan oleh pendengar untuk menetapkan makna yang dimaksud pembicara,
skala otoritas : mewakili hubungan status antara pembicara dan pendengar, dan
58
skala jarak sosial : menunjukkan tingkat keakraban antara pembicara dan
pendengar. Ihwal kesantunan Leech membedakan tata krama dan sopan santun.
Tata krama mengacu pada tujuan, sedangkan sopan santun mengacu pada perilaku
lainnya untuk mencapai tujuan. Prinsip sopan santun diperlukan untuk
memperlembut sifat tidak sopan, yang secara intrinsik terkandung dalam tujuan
tindak kompetitif.
Menurut Leech (1986:10-11) prinsip sopan santun (PS) dapat digunakan
untuk menjelaskan PK, sekaligus sebagai pelengkap PK. Namun demikian, Leech
juga mengakui bahwa kesalahpahaman dalam percakapan dapat terjadi, karena PK
dan PS itu tidak bersifat universal. Pada setiap budaya terdapat perbedaan dalam
menentukan derajat dimana anggota masyarakat diharapkan untuk menyesuaikan
diri dengan prinsip-prinsip (atau salah satu diantaranya). Pada beberapa kasus
justru tuntutan penyesuaian terhadap PK tidak diharapkan atau bahkan dianggap
sebagai suatu tingkah laku yang aneh. Penentuan tingkat kesantunan sebuah
tuturan pada setiap budaya berbeda-beda (Keenan,1976: 69).
Kesantunan itu terkait dengan tindakan penyelamatan wajah (face-saving).
Mengingat ada dua sisi wajah yang dapat terancam, yaitu wajah positif dan wajah
negative maka kesantunan itu perlu dipertimbangkan pula dari dua sisi, yakni
kesantunan positif (untuk menjamin sisi wajah positif) dan kesantunan negatif
(untuk menjamin sisi wajah negatif). Kesantunan yang diarahkan pada wajah
positif Mt disebut kesantunan positif (positive politeness), sedangkan kesantunan
yang diarahkan pada wajah negatif Mt disebut kesantunan negatif (negative
politeness). Kesantunan positif diarahkan terhadap wajah positif Mt, yaitu kesan
59
positif yang dianggap Pn dimiliki oleh Mt. Kesantunan positif adalah pendekatan
yang menanamkan kesan pada wajah Mt bahwa pada hal-hal tertentu Pn juga
punya keinginan yang sama dengan Mt. Untuk hal itu Pn memperlakukan Mt
sebagai seorang teman yang keinginannya diketahui dan kepribadiannya disukai.
Selanjutnyanya kesantunan negatif adalah upaya Pn untuk menyelamatkan
sebagian wajah negatif Mt, yaitu keinginan dasar Mt untuk mempertahankan
sesuatu yang dianggap wilayah atau keyakinan dirinya. Pada dasarnya
pelaksanaan strategi kesantunan negatif mengandung jaminan pada Mt bahwa Pn
mengakui dan menghormati keinginan wajah negatif Mt dan tidak akan (atau
hanya akan sesedikit mungkin) mencampuri atau menghambat kebebasan
bertindak Mt.
Dalam komunikasi interpersonal wajah seseorang selalu berada dalam
keadaan terancam (face-treathened). Oleh sebab itu, untuk penyelamatan wajah
maka dalam kegiatan bercakap-cakap perlu menerapkan prinsip kesantunan.
Tindakan penyelamatan wajah (TPW) adalah tindakan Pn yang berusaha untuk
mengurangi rasa kurang senang Mt yang diakibatkan oleh tindakan yang kurang
menyenangkan yang dilakukan Pn.
TPW dapat dilakukan oleh Pn dengan cara merekayasa tuturan sedemikian
rupa (merubah/menambah) agar dapat menunjukkan dengan jelas kepada Mt
bahwa Pn tidak bermaksud melakukan tindakan yang kurang menyenangkan.
TPW dapat diwujudkan dalam dua bentuk tergantung aspek wajah yang mana
yang ditekankan, wajah positif atau wajah negatif. Wajah positif mengacu ke citra
diri setiap orang yang selalu ingin dihargai dan diakui atas segala sesuatu yang ia
60
lakukan dan yang ia miliki, atau terhadap nilai-nilai yang ia yakini sebagai suatu
hal yang baik dan menyenangkan. Sebaliknya wajah negatif mengacu ke citra diri
setiap orang yang secara rasional menginginkan agar ia dihargai dengan cara
memberinya kebebasan bertindak, atau bebas mengerjakan sesuatu. Pada
prinsipnya TPW adalah tindakan kesantunan yang bertujuan untuk mengurangi
akibat yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh Pn terhadap wajah Mt,
baik wajah positif maupun wajah negatif (Brown dan Levinson,1987).
Beberapa tindak tutur dapat mengancam wajah mitra tutur. Oleh karena
itu, dalam melaksanakan sebuah tindak tutur penutur perlu mempertimbangkan
derajat keterancaman tindak tutur itu, sebelum melaksanakannya. Untuk
menghindari konflik diantara para peserta tutur perlu mengupayakan kesantunan
dalam penggunaan direktif (yang termasuk ke dalam kesantunan negatif).
Setidaknya ada tiga skala pengukur peringkat kesantunan sebuah tuturan, yaitu (1)
jarak sosial antara pembicara dan pendengar, (2) perbedaan dominasi di antara
keduanya, dan (3) status relatif tindak tutur di dalam kebudayaan yang
bersangkutan. Ketiga skala ini ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural
(Brown and Levinson, 1987:74).
Ditinjau dari peringkat/derajat kesantunan maka bentuk-bentuk strategi
yang dapat digunakan dalam kesantunan negatif, adalah (1) gunakanlah ujaran tak
langsung (yang digunakan secara konvensional oleh masyarakat setempat), seperti
“Bolehkah saya minta tolong Ibu mengambil buku itu ?”, (2) gunakanlah pagar
(hedge), seperti “sejak tadi saya bertanya-tanya dalam hati apakah bapak mau
menolong saya”, (3) nyatakan secara pesimis, seperti “saya ingin minta tolong,
61
tetapi saya takut bapak tidak mau”, (4) minimalkan paksaan, seperti “boleh saya
mengganggu sebentar ?”, (5) nyatakan rasa hormat, seperti “saya memohon
bantuan ibu, karena saya tau ibu selalu berkenan membantu orang”, (6) mintalah
maaf, seperti “sebelumnya saya minta maaf atas keterlanjuran saya ini,
tetapi.......”, (7) pakailah bentuk impersonal (yaitu tidak menyebutkan penutur dan
pendengar), seperti “kelihatannya komputer ini perlu dipindahkan”, dan (8)
gunakan ujaran sebagaimana ketentuan yang berlaku secara umum, seperti
“penumpang tidak dibenarkan merokok di dalam bus” (Brown and Levinson,
1987).
Dalam menyampaikan sebuah tuturan penutur dihadapkan pada dua
pilihan, yaitu menjamin perasaan atau melukai perasaan mitra tutur. Misalnya
ketika Pn memutuskan untuk menolak permintaan Mt. Itu berarti Pn memutuskan
melukai perasaan Mt. Untuk melakukan suatu tindakan dalam tuturan Pn dapat
membuat tuturannya secara off record atau secara on record. Tuturan off record
adalah tuturan yang menyatakan bahwa Pn tidak sepenuhnya bertanggung jawab
atas tindakan yang dilakukannya dalam tuturan. Tuturan semacam ini biasanya
dapat memunculkan multi tafsir. Maksud tuturan semacam ini agar Pn tidak
dianggap bertanggung jawab sepenuhnya terhadap tujuan yang terkandung dalam
tuturannya, seperti menolak. Pelaksanaan tuturan secara off record meliputi
penggunaan metafor dan ironi, pertanyaan retoris, penyederhanaan masalah,
tautologi, dan semua ungkapan yang dinyatakan secara tidak langsung.
Sebaliknya tuturan secara on record adalah tuturan yang menyatakan bahwa Pn
bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya dalam tuturan. Tujuan dari
62
tuturan semacam ini dipahami oleh mitra tutur secara jelas, yaitu hanya ada satu
tujuan. Misalnya, ketika penutur berjanji untuk melakukan sesuatu dan hal itu
dipahami oleh Mt bahwa Pn ingin bertanggung jawab untuk merealisasikan
tindakannya itu (Yule, 2006:65-66).
Untuk menghasilkan tuturan yang sifatnya on record Pn diperhadapkan
pada dua pilihan, yaitu (1) Pn membuat tuturan secara lugas tanpa
mempertimbangkan “wajah” Mt (baldly without redress) atau (2) Pn membuat
tuturan yang mempertimbangkan wajah Mt atau Pn melakukan tindakan yang
dapat mengurangi rasa kurang senang pada Mt (redressive action). Tindakan yang
dapat mengurangi rasa kurang senang pada Mt itu dapat berbentuk kesantunan
positif atau kesantunan negatif. (Yule, 2006).
Selanjutnya berdasarkan beberapa pertimbangan penutur memilih strategi.
Bentuk strategi tergantung pada pemilihan jenis kesantunannya, apakah
kesantunan positif (kesatunan afirmatif) atau kesantunan negatif (kesantunan
deferensial). Strategi kesantunan berkisar antara penghindaran terhadap tindakan
mengancam wajah sampai pada berbagai macam bentuk penyamaran dalam
bertutur. Baik pandangan kesantunan yang mendasarkan pada maksim percakapan
maupun pandangan kesantunan yang mendasarkan pada konsep penyelamatan
wajah dapat dikatakan memiliki kesamaan. Kesamaan itu tampak dalam tindakan
yang sifatnya santun atau tindakan yang tidak mengancam wajah dan tindakan
yang sifatnya tidak santun atau tindakan yang mengancam wajah (Brown dan
Levinson (1987:68-71).
63
Tindakan penyelamatan wajah (TPW) atau kesantunan merupakan wujud
penghargaan terhadap individu anggota suatu masyarakat. Biasanya anggota
masyarakat memiliki dua macam jenis wajah, yakni (1) wajah positif (positive
face) yang mengacu pada keinginan untuk disetujui (being approved) dan (2)
wajah negatif (negative face) yang mengacu pada keinginan untuk menentukan
sendiri (self-determinating) (Goffman dalam Brown dan Levinson, 1987).
Fraser (1975) membedakan kesantunan (politeness) dari penghormatan
(deference). Berperilaku hormat belum tentu berperilaku santun. Kesantunan
adalah “property associated with neither exceeded any reight nor failed to fullfill
any obligation”. Kesantunan berhubungan dengan “property” yang diasosiasikan
dengan ujaran. Dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak
melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari untuk memenuhi kewajibannya.
Kesantunan adalah bagian dari ujaran ; bukan ujaran, (2) pendengarlah yang
menentukan apakah suatu ujaran itu mengandung kesantunan. Sebuah ujaran
dapat saja dikatakan santun oleh si penutur, tetapi bagi mitra tutur terdengar tidak
santun, dan (3) kesantunan terkait dengan hak dan kewajiban peserta tutur. Dalam
hal ini kesantunan diukur berdasarkan apakah si penutur tidak melewati batas
haknya, dan memenuhi kewajibannya terhadap mitra tuturnya. Hak dan kewajiban
yang dimaksudkan oleh Fraser berkaitan dengan apa yang disebutkan sebagai
“kontrak percakapan“ (conversational contract), yaitu kontrak yang mengikat
para peserta percakapan. Diantaranya hak dan kewajiban peserta tutur yang
terlibat dalam percakapan, seperti hak dan kewajiban bertanya dan menjawab,
serta apa saja yang boleh diujarkan, dan bagaimana cara menyampaikannya.
64
Dalam topik tulisan yang lain Fraser (1998) menjelaskan bahwa kontrak
percakapan juga ditentukan oleh penilaian peserta tutur terhadap faktor-faktor
kontekstual yang relevan. Kontrak percakapan juga berkaitan erat dengan proses
terjadinya sebuah percakapan. Fraser (1998) berpendapat bertindak santun itu
sama dengan bertutur yang mempertimbangkan etiket berbahasa. Kesantunan
menurut Fraser (1975, 1978) tidak didasarkan pada kaidah, melainkan strategi.
Ada 18 strategi untuk menyatakan direktif tetapi tidak dijelaskan lebih jauh
tentang skala kesantunan pada tiap-tiap strategi.
1.8.2.5 Implikatur
Implikatur adalah suatu konsep yang mengacu pada sesuatu yang
diimplikasikan (implicated) oleh sebuah ujaran yang tidak dinyatakan secara
eksplisit (Kridalaksana dalam Kaswanti Purwo, 1990). Implikasi (implication)
adalah maksud ; pengertian yang tidak disebutkan secara langsung, atau pertanda.
Misalnya. She smiled with the implication that she didn’t believe you. Artinya ‘dia
tersenyum pertanda dia tidak mempercayaimu’ (Peter Salim,1991:936)x.
Sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan bagian dari
tuturan yang dihasilkan. Proposisi yang dimaksud itu disebut implikatur
(implicature). Jika ada dua proposisi yang berhubungan, maka hubungan kedua
proposisi itu bukan merupakan konsekuensi mutlak (necessary consequence).
Keterkaitan ujaran dan implikatur hanya didasarkan pada latar belakang
pengetahuan yang dapat menjelaskan kedua proposisi. Oleh karena itu, implikatur
jelas berbeda dengan entailment yang dipahami sebagai “ikutan, pemaknaan”.
Suatu ujaran dikatakan sebagai implikatur, jika tuturan itu memungkinkan
65
munculnya tuturan lain. Sebaliknya, disebut entailment, karena sama sekali tidak
memungkinkan hadirnya tuturan lain (Grice dalam Wijana dan Rohmadi,
2009:37). Hubungan antara ujaran dengan hal/sesuatu yang disiratkan di dalam
ujaran tidak bersifat semantis (Wijana, 1996).
Implikatur itu dapat dibedakan menjadi implikatur konvensional
(conventional
implicature)xi
dan
implikatur
percakapan
(conversational
implicature)xii. Implikatur konvensional adalah implikasi yang didapatkan
langsung dari kata-kata, berdasarkan kaidah-kaidah sintaksis, dan bukan dari
prinsip percakapan. Sedangkan, implikatur percakapan (IP) adalah implikatur
yang muncul dalam pemakaian bahasa yang bersifat khusus. IP hanya dapat
dipahami di dalam konteks, karena maknanya bukan makna yang termasuk makna
semantik dan makna kalimat. IP tidak selalu muncul pada wujud kalimat yang
benar (Gazdar,1979 dalam Brown dan Yule, 1983 ; Mey, 1993).
Implikatur berhubungan dengan sesuatu yang tersembunyi di balik tuturan,
di balik penggunaan bahasa yang actual (….something which is implied in
conversation, that is, something is left implicit in actual language use) (Mey,
1993:99). Implikatur percakapan lebih memperhitungkan secara eksplisit
bagaimana sebenarnya mengartikan atau memaknai sesuatu lebih dari apa yang
dikatakan (atau lebih dari apa yang diekspresikan secara literal oleh pengertian
yang bersifat konvensional dari ekspresi-ekspresi bahasa yang dituturkan, “how it
is possible to mean (in some general sense) more than what is actually “said”
(i.e. more than what is literally expressed by the conventional sense of the
linguistic expressions uttered”) (Brown dan Yule, 1983). Prinsip-prinsip bertutur
66
dalam percakapan tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan yang berkaitan dengan
the notion of conversational implicatures, yang menurut Levinson (1983 : 97100)xiii dibedakan dari jenis implikatur lainnya.
Konsep implikatur (implicature) masih sering dikacaukan dengan konsep
presuposisi (presupposition) atau praanggapan. Padahal kedua istilah ini
mengandung
konsep
pemikiran
yang
berbeda.
Sebuah
kalimat
dapat
mempresuposisikan (mempraanggapkan) dan mengimplikasikan kalimat yang
lain. Sebuah kalimat dikatakan mempresuposisikan kalimat yang lain, jika kalimat
yang dipresuposisikan itu mengandung ketidakbenaran, yang mengakibatkan
kalimat yang mempresuposisikan tidak dapat ditentukan benar atau salah (Wijana
dan Rohmadi, 2009:36-40). Sebuah tuturan dapat dikatakan mempresuposisikan
tuturan yang lain apabila tuturan yang dipresuposisikan itu dapat dinilai benar
atau salahxiv. Artinya, jika kalimat yang dipresuposisikan itu mengandung
kebenaran, maka kalimat yang mempresuposisikan dapat ditentukan benar atau
salahnya. Sebaliknya jika kalimat yang dipresuposisikan tidak mengandung
kebenaran, maka kalimat yang mempresuposisikan tidak dapat ditentukan benar
atau salah. Penentuan presuposisi atau praanggapan terkait dengan upaya
menemukan kebenaran pada proposisi yang dipraanggapkan dalam rangka
menjustifikasi atau membenarkan proposisi yang mempraanggapkan. Presuposisi
adalah suatu dasar yang dipakai oleh penutur dan mitra tutur dalam percakapan
(Rahardi,2010:42).
“Implicature is a matter of utterance meaning, an not of sentence
meaning”. Implikatur berhubungan dengan makna tutur, dan bukan makna
67
kalimat. Implikatur merupakan makna nonnatural (non-natural meaning), yang
berbeda dengan makna yang sebenarnya (natural meaning). Implikatur dipakai
untuk menunjukkan perbedaan antara apa yang diujarkan oleh pembicara dan apa
yang diimplikasikan (Husford dan Heasley,1984:280). Implikatur berhubungan
dengan sesuatu yang tersembunyi di balik tuturan, di balik penggunaan bahasa
yang aktual (….something which is implied in conversation, that is, something is
left implicit in actual language use) (Mey, 1993:99).
Tuturan dalam percakapan dapat mengandung implikatur, dan pada
prinsipnya tuturan berwujud pragmatik itu mengandung implikatur-implikatur.
(Richards, dkk, 1987 ; Wijana dan Rohmadi, 2009). Implikatur adalah aspek
pragmatik yang mengkaji makna konotatif (Soemarmo,1987). Implikatur berbeda
dengan deiksis. Deiksis adalah salah satu aspek yang dikaji dalam pragmatik,
yaitu tentang pergantian makna kata atau kalimat yang disebabkan oleh pergantian
konteks. Deiksis terdiri dari deiksis tempat, waktu, persona, sosial, dan wacana
(Soemarmo,1987 : 9-10). Penelitian ini tidak mengkaji secara khusus tentang
presuposisi dan deiksis.
1.8.2.6 Komunikasi dan Sistem Komunikasi
Ketika seseorang terlibat kontak dengan orang lain, pada saat itu ia
melakukan dua tindakan, yaitu berkomunikasi dan memberi informasi (Tubbs dan
Moss, 2000 : 6)xv. Aktivitas komunikasi mensyaratkan adanya pihak pembicara
(komunikator) dan pihak pendengar (komunikate). Jika apa yang dimaksudkan
oleh seorang pembicara tidak dimengerti oleh pihak pendengar, maka komunikasi
dianggap gagal. Selain itu keberhasilan suatu komunikasi ditentukan oleh adanya
68
kesamaan persepsi (frame of reference) dan pengalaman (field of experience)
diantara para komunikan (communicant) yang terlibat di dalamnya. Komunikasi
yang efektif mensyaratkan adanya pertukaran informasi (sharing of information)
dan kesamaan pemahaman (in tune) diantara para parisipan komunikasi (Mulyana,
2004).
Keberhasilan suatu komunikasi tidak ditentukan oleh simbol yang
digunakan dalam berkomunikasi, tetapi pada nilai atau kualitas informasi yang
diberikan ; apakah informasi yang diberikan itu bersifat informatif atau tidak.
Informasi apapun yang disampaikan akan disebut informatif apabila penerima
mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak ia ketahui. Suatu tindakan dikatakan
komunikatif, apabila tindakan itu bermanfaat bagi pelaku tindakan tersebut,
sedangkan sesuatu informasi dikatakan informatif apabila informasi itu
bermanfaat atau ada maknanya bagi penerima. (lih.Lyons,1977:33). Ihwal syaratsyarat komunikasi telah dibahas oleh Littlejohn (2002)xvi.
Dalam komunikasi jual-beli peserta tutur sering menggunakan isyaratisyarat nonverbal dalam menyampaikan maksud. Ekspresi-ekspresi nonverbal itu
biasanya muncul di sela-sela ekspresi verbal atau menyertai ekspresi verbal, untuk
mendukung (mempertegas) maksud pesan verbal atau kadang-kadang juga
membantah pesan verbal. Dalam situasi tertentu Pj dan Pb menyampaikan
maksudnya tidak secara verbal, melainkan secara nonverbal (karena ingin
merahasiakan sesuatu). Bahkan kadang-kadang mereka menggunakan isyarat
nonverbal untuk mewakili sesuatu yang tidak dapat dinyatakan secara verbal atau
tidak terucapkan. Pesan nonverbal dapat merupakan representasi pesan verbal.
69
Dalam komunikasi jual-beli peserta tutur tidak saja menyampaikan maksudnya
melalui isyarat-isyarat kinesika atau gesture, tetapi juga melalui penekanan dalam
ucapan, nada, dan intonasi tertentu. Dalam percakapan jual-beli isyarat-isyarat
nonverbal dapat memengaruhi proses komunikasi. Komunikasi adalah tindakan
penciptaan pesan dan penafsiran pesan. Pesan tidak selalu disampaikan dalam
wujud verbal, tetapi dapat juga dalam wujud nonverbal (Pace dan Faules, 1998)
Manusia mempersepsi tidak hanya melalui bahasa verbal saja, tetapi juga
melalui melalui perilaku nonverbalnya. Bukan apa yang dikatakan, melainkan
bagaimana mengatakannya. Melalui perilaku nonverbal dapat diketahui suasana
emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung atau sedih. Kebanyakan
ekspresi nonverbal bukan bawaan, oleh karena itu ekspresi nonverbal dapat
dipelajari (Mulyana, 2002). Menurut teori komunikasi kebanyakan ekspresi
nonverbal tidak bersifat universal, melainkan tergantung pada budaya
(Mulyana,2004:308-309). Perilaku interaksi, baik verbal maupun nonverbal
sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, cara hidup, dan kebudayaan para penuturnya
(Kartomihardjo, 1996)xvii.
Salah satu aspek yang terkait dengan fenomena komunikasi adalah
sistem komunikasi nonverbal. Salah satu sistem komunikasi nonverbal yang
menggunakan gerakan disebut kinesika atau bahasa tubuh (body language), yakni
suatu sistem sikap tubuh, ekspresi wajah, dan gerakan-gerakan tubuh yang
mengandung pesan. Misalnya, gerakan tangan, menggaruk-garuk kepala,
menggigit bibir atau mengerutkan dahi adalah cara-cara untuk menunjukkan
kegelisahan atau keragu-raguan. Pesan kinesika dapat melengkapi pesan verbal
70
(lisan). Contoh, ketika seseorang menyetujui atau mengiyakan sesuatu secara
lisan, ia akan mengangguk. Pesan nonverbal dapat mempertegas maksud pesan
verbal, membantah pesan verbal, dan bahkan kadang merupakan representasi dari
pesan verbal itu sendiri (Mulyana,2011:91). Seperti halnya tindak verbal, tindak
nonverbal juga dapat memengaruhi proses komunikasi manusia. Beberapa
karakteristikxviii dari pesan nonverbal dapat menjelaskan tentang pengaruh spesifik
dari lambang-lambang nonverbal dalam perilaku komunikasi manusia. Dari
karakteristik tersebut dapat dipahami tentang kemampuan pesan nonverbal dalam
mempengaruhi suatu komunikasi (Haviland, 1985:368-369 ; Burgoon dalam
Littlejohn, 2002 ; Littlejohn, 2002 : 104-105).
1.8.2.7 Percakapan dan Struktur Percakapan
Percakapan didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai bentuk komunikasi
oral bersemuka, bersifat bebas, nonteknis, dilakukan oleh minimal dua orang
dalam latar informal (Labov dan Fanshel, 1979:29 ; Edmonson, 1981:6). Selain
bersifat spontan, percakapan juga bersifat resiprokal (Lakoff, 1983:27) dan
bercirikan bebas, serta pesertanya mempunyai hak yang sama (Stubbs, 1983 ;
Cook,1997:116). Menurut Brown dan Yule ( 1983) percakapan adalah sebuah
perbincangan ; pesertanya terdiri dari dua orang atau lebih ; secara bebas saling
bergantian di dalam berbicara, dan terjadi di luar lembaga khusus, seperti yang
berlatar belakang pelayanan agama, sidang di pengadilan, pengajaran di ruang
kelas, dll.
Percakapan bukan sekedar aktivitas berbincang-bincang, tetapi merupakan
suatu “peristiwa terstruktur yang terealisasi dalam ujaran” (Brown dan Yule, 1996
71
; Halliday dan Hassan, 1976: 10 ; Halliday, 1992 ; Stubbs,1983: 10 ; Fairclough,
1989:21-24 ; McCarthy, 1994 : 155 ; Hoed,1994:129), atau dapat dipahami
sebagai perisiwa tutur. Percakapan merupakan deskripsi interaksi lisan (Richard,
1995:3). Percakapan adalah seperangkat ujaran yang berhubungan dengan segala
peristiwa atau kejadian tutur yang dapat diidentifikasi (Crystal, 2001). Percakapan
bukan juga sekedar satuan-satuan bahasa yang direalisasikan oleh serangkaian
tuturan, tetapi merupakan kesatuan tutur dan tindakan (Stubbs, 1983). Tindakantindakan itu tidak hanya diekspresikan oleh tuturan yang diwakili oleh kata kerja
performatif saja (Labov dan Fanshel,1979:29).
Ketika seseorang berbicara ia tidak hanya memproduksi satuan-satuan
kebahasaan,
tetapi
sekaligus
melaksanakan
tindakan-tindakan
di
dalam
tuturannya. Percakapan merupakan satuan (unit) perilaku atau tindakan yang
direalisasikan oleh tuturan-tuturan atau ujaran-ujaran (Crystal, 2001:118). Oleh
karena itu percakapan juga dipahami sebagai rangkaian tindak tutur. Dalam
melaksanakan percakapan PP tidak hanya memproduksi bermacam-macam
tuturan, tetapi mereka juga menyiapkan implikasi-implikasi di dalam tuturannya
yang memungkinkan mereka dapat bekerjasama dalam percakapan.
Percakapan bukan saja merupakan aktivitas pertukaran ide/gagasan,
pendapat, untuk mencapai pemahaman yang sama (Halliday, 1994 ; Richard,
1995:3), Percakapan adalah aktivitas penyampaian informasi dan merupakan
proses membentuk kesamaan atau kesatuan pikiran antara penyampai dan
penerima informasi (lih. Belch & Belch, 1990). Namun, dalam percakapan tidak
selalu Pn dan Mt dapat mencapai kesamaan atau kesatuan pikiran.
72
Sebagai bentuk komunikasi interaktif (timbal-balik) percakapan adalah
suatu aktivitas berbahasa lisan yang melibatkan dua atau lebih peserta. Ketika dua
orang atau lebih terlibat dalam suatu percakapan mereka tidak hanya
menyampaikan, memahami (menafsirkan), dan menanggapi informasi atau pesan.
Sebagai kesatuan tutur dan tindakan percakapan terkait dengan pemahaman dan
tanggapan. Percakapan mensyaratkan dua tindakan utama, yaitu memahami dan
menanggapi. Kedua tindakan ini direalisasikan oleh rangkaian ujar yang
dihasilkan oleh konteks (Stubbs, 1983).
Dalam sebuah percakapan PP tidak hanya menyampaikan, memahami, dan
menanggapi informasi, tetapi mereka terlibat dalam proses menjalin hubungan
dan meyakinkan orang, serta tindakan pernyataan gambaran diri atau konsep diri.
Selama PP terlibat dalam suatu percakapan mereka mengasumsikan hal-hal yang
berkaitan dengan identitas, yakni sesuatu yang berkaitan dengan peran. Ketika
seseorang berbicara maka perannya sebagai pembicara perlu ditanamkan dalam
dirinya sebagai panduan dalam berperilaku (Mulyana, 2002). Dalam konteks
komunikasi “peran” dipandang sebagai bagian dari konsep dirixix. Aspek-aspek
yang terkait dengan konsep diri meliputi jenis kelamin, agama, suku, pendidikan,
pengalaman, rupa fisik, dsbnya. Dalam hal ini kesan (image) yang dibangun oleh
mitra tutur sehubungan dengan aspek-aspek tersebut akan sangat menentukan
bagaimana perilaku berbahasa yang akan dinyatakannya kemudian kepada
penutur melalui pernyataan umpan-balik (Scheidel dalam Mulyana, 2004 : 9).
Wujud peran seseorang dalam sebuah percakapan adalah “presentasi diri”. Salah
satu tujuan berbicara adalah menampilkan gambaran diri seseorang kepada orang
73
lain pada saat ia melakukan perannya. Sehubungan dengan tujuan berbicara
tersebut, ada dua hal penting yang berkaitan dengan konsep peran, yaitu
presentasi diri dan status peserta tutur (Mulyana, 2004).
Dalam proses interaksi kadang-kadang PP mengkomunikasikan juga
pandangan pribadinya tentang sesuatu hal (baik secara langsung maupun tidak
langsung). Pandangan pribadi kadang-kadang juga berhubungan dengan prinsipprinsip budaya masyarakat. Tindakan semacam ini disebut sebagai tindakan
mempresentasikan diri. Presentasi diri berhubungan erat dengan strategi yang
digunakan seseorang dalam menampilkan diri ; bagaimana mengkomunikasikan
pandangan diri atau sisi batin seseorang kepada orang lain. Sistem presentasi diri
biasanya sangat bergantung pada budaya yang dianut oleh pembicara (Mulyana,
2004).
Aspek yang paling menonjol di dalam kegiatan bercakap-cakap adalah
proses interaksi yang terjadi diantara para interlokutor. Proses interaksi tidak
hanya dipahami sebagai proses pertukaran (exhange) pendapat atau pertukaran
informasi (Purwoko, 2008), tetapi juga pertukaran peran. Pertukaran peran terkait
dengan hak dan kewajiban sebagai pembicara maupun pendengar dalam suatu
proses pertukaran giliran bicara (Richard, 1995:3). Pertukaran hanya terjadi dalam
komunikasi lisan dimana para peserta tutur secara bergantian berbicara baik
dengan maupun tanpa topik yang jelas (Halliday, 1994).
Percakapan bukan sekedar pertukaran informasi, tetapi juga melibatkan
pengambilan peran, asumsi-asumsi dan harapan-harapan. Percakapan merupakan
bentuk pergantian atau pertukaran giliran berbicara yang diatur oleh sebuah
74
konvensi yang menentukan siapa yang berbicara, kapan, serta untuk berapa lama
berbicara. Dalam pergantian giliran berbicara juga diatur tentang hak dan
kewajiban para partisipan percakapan dalam berbicara. Dalam percakapan orang
dewasa setiap peserta percakapan telah memahami konvensi percakapan, yaitu
siapa yang seharusnya berbicara, kapan harus berbicara, dan berapa lama
berbicara.
Pelanggaran
terhadap
konvensi
percakapan,
seperti
tindakan
memonopoli pembicaraan, ingin selalu menang dalam pembicaran, tidak memberi
kesempatan peserta lain berbicara akan memunculkan penilaian tidak sopan
(Richard, 1995:3).
Aturan pengambilan giliran berbicara berbeda-beda, tergantung pada jenis
peristiwa tutur. Pada beberapa jenis situasi percakapan, giliran berbicara
didasarkan pada tingkatan peserta percakapan. Pergantian giliran berbicara (turntaking) di dalam sebuah percakapan menduduki peran penting. Di dalam
pergantian giliran berbicara dapat diketahui apakah semua peserta mempunyai hak
yang sama dalam berbicara (Richard dan Schmidt, 1989). Dalam pergantian
giliran bicara dapat dilihat perubahan peran yang terjadi dalam sebuah
percakapan, yaitu perubahan peran dari pembicara menjadi pendengar dan dari
pendengar menjadi pembicara (Howe, 1981).
Ketentuan cara berperan serta dalam percakapan adalah hanya ada satu
orang yang berbicara pada satu kesempatan. Perwujudan hak berbicara dapat
menunjukkan status atau kekuasaan penutur dan mitra tutur, baik pada tingkat
yang sama maupun pada tingkat yang berbeda. Pergantian giliran bicara adalah
suatu tindakan/cara yang dapat menunjukkan peran dan status seseorang dalam
75
percakapan, juga berkaitan erat dengan pemilihan topik (Sacks, dkk dalam
Richard, 1995:17).
Dalam percakapan setiap peserta tutur memiliki hak dan kewajiban
mendengarkan dan memberi tanggapan. Proses itu terjadi secara bergantian, dan
dalam percakapan proses itu dikenal dengan proses pergantian peran.
Kesempatan/hak berbicara setiap partisipan percakapan akan memengaruhi pola
pergantian giliran berbicara dalam sebuah percakapan (Brown dan Yule, 1983).
Suatu aktivitas disebut percakapan bila setiap partisipan mempunyai hak berbicara
yang
sama
(bebas
dalam
berbicara),
dan
tidak
ada
yang
mengatur
(Levinson,1983:284).
Tuturan-tuturan dalam percakapan jual-beli kadang-kadang tidak relevan,
berbelit-belit, tidak strategis, bahkan kadang-kadang tidak mencerminkn
kesantunan. Menurut Lesser dan Milroy (1996 : 159) percakapan tidak
mempunyai aturan-aturan atau konvensi-konvensi khusus yang mengaturnya.
Namun demikian, percakapan mengandung konsep kerapihan dalam bentuk. Pada
prinsipnya unit wacana adalah unit alamiah. Sebuah wacana mempunyai bagian
awal atau permulaan dan bagian akhir atau penutup (Stubbs,1983:33). Percakapan
itu memiliki “struktur”. Struktur percakapan adalah “tubuh percakapan” (body of
conversation). Lazimnya dalam percakapan setelah terjadi sapaan para partisipan
percakapan langsung bercakap-cakap sesuai dengan topik yang ingin dibicarakan
(Clark, 1997). Struktur percakapan meliputi pasangan berdampingan (adjancensy
pairs), pergantian giliran berbicara (turn taking), pembukaan dan penutupan
(opening and closing), dan struktur pilihan (preference structure) (Richard, 1980,
76
1985 ; Coulthard, 1985 ; Cook,1989 ; Yule, 1990 ; Lesser dan Milroy,1993, dan
Crystal, 1997.
Struktur percakapan dipahami sebagai struktur pertukaran, yakni
perangkat aturan yang mengatur bagaimana para peserta percakapan melakukan
tukar menukar informasi atau hal lainnya. Sebuah pertukaran diawali oleh sebuah
pemicu atau inisiasi yang berfungsi sebagai pembuka interaksi, kemudian diikuti
oleh tanggapan atau respons yang dapat juga diikuti oleh tindak lain yang berupa
lanjutan atau balikan. Aturan-aturan dalam percakapan berkaitan dengan
pola/urutan tingkah laku yang teratur dalam melakukan komunikasi timbal balik
atau interaksi (Stubbs,1983). Dengan adanya aturan-aturan maka tuturan dalam
suatu percakapan akan lebih mudah dipahami (Rani, dkk, 2004). Setiap
percakapan terdapat perbedaan pada pola pembukaan dan penutupan. Situasi
memengaruhi bagian awal percakapan. Pada percakapan biasa, bagian
pembukaannya dipengaruhi oleh situasi, yakni situsi formal, informal, dan kasual
(Akmajian, dkk (1990).
Ketika seorang penutur memproduksi sebuah ujaran yang berfungsi
sebagai bagian pertama dari sebuah pasangan, maka diharapkan selanjutnya mitra
tutur akan memberikan bagian kedua dari pasangan yang sesuai. Pasangan
berdampingan atau pasangan ujaran terdekat adalah ujaran yang dihasilkan oleh
dua penutur secara berturut-turut. Ujaran pertama merupakan bagian pertama dan
ujaran berikutnya merupakan bagian kedua dari sebuah pasangan. Ujaran kedua
diidentifikasi dalam hubungannya dengan ujaran pertama. Ujaran kedua
diharapkan merupakan kelanjutan dari ujaran yang pertama. Selanjutnya
77
dijelaskan, bahwa untuk memahami tindak tutur dan gerak pertukaran perlu juga
memahami pola pasangan berdampingan, seperti : (a) sapaan-sapaan, (b)
panggilan-jawaban, (c) keluhan-bantahan, (d) keluhan-permohonan maaf, (e)
permintaan-pemersilahan, (f) permintaan informasi-pemberian informasi, (g)
penawaran-penerimaan,
dan
(h)
penawaran-penolakan.
Pasangan
ujaran
berdampingan terjadi apabila ujaran penutur dapat memunculkan suatu ujaran lain
yang berupa tanggapan. Pasangan tutur atau pasangan berdampingan (adjancensy
pairs) merupakan unit struktural dasar dalam percakapan (Coulthard, 1985).
Pasangan tutur itu menurut terdiri atas dua ujaran. Ujaran pertama
merupakan ujaran penggerak atau pemicu ujaran kedua, dan ujaran kedua
merupakan tanggapan atau tindak lanjut atas ujaran pertama. Ujaran yang
merupakan tanggapan itu menurut Cook dibedakan menjadi dua macam, yaitu
ujaran yang disukai, seperti pengabulan atau penerimaan dan yang tak disukai,
seperti penolakan. Pada dasarnya ujaran yang berisi pengabulan merupakan
tanggapan yang menyenangkan dan diharapkan, sedangkan ujaran yang berisi
penolakan merupakan tanggapan yang tak disukai dan tak diharapkan oleh
pembicara sebelumnya. Untuk dapat menanggapi sesuai dengan ujaran terdahulu,
seorang penutur harus terlibat dalam penilaian ujaran mitra tuturnya, sehingga
penutur dapat memberikan tanggapan yang tepat. Namun, dalam hal penentuan
kriteria jenis tanggapan itu tidak mutlak (Cook,1989:53-57).
Percakapan merupakan jenis prototype penggunaan bahasa yang paling
mendasar, yang dapat menunjukkan dengan jelas berbagai aspek pragmatik
(Levinson,1983:284-285).
Parera
(2004:235)
berpendapat
bahwa
analisis
78
percakapan (AP) berbeda dengan analisis wacana (AW), meskipun keduanya
melibatkan konteks. AP adalah salah satu cabang dari AW. AP berbeda dengan
AW (wacana tulis). AW mengutamakan unsur-unsur penanda pertalian kohesif
untuk menyatakan kekoherensifan suatu wacana. Sedangkan AP mengandalkan
konteks situasi. AW lebih memfokuskan pada unsur-unsur verbal. Sedangkan AP
mementingkan tidak hanya unsur-unsur verbal saja, tapi juga-unsur nonverbal.
Menurut Parera kalimat yang tampaknya dalam AW tidak koheren mungkin akan
dinyatakan koheren dalam AP. AP hanya mempersoalkan bagaimana pengelolaan
satu percakapan agar mencapai tujuannya. AP tidak mementingkan isi percakapan
dan bagaimana isi/informasi itu disampaikan, tetapi lebih terfokus pada berbagai
informasi, serta hubungan dalam percakapan.
1.8.2.8 Pragmatik dan Sosiopragmatik, serta Fokus Kajiannya
Konsep pragmatik berawal dari pandangan seorang filsuf Morris (1938)
tentang pengetahuan bentuk sandi atau semiotik, yang dikenal sebagai sintaksis,
semantik, dan pragmatik. Sintaksis merupakan kajian tentang hubungan formal
sandi dengan sandi lainnya, semantik merupakan kajian hubungan sandi dengan
objeknya, dan pragmatik merupakan kajian tentang hubungan antara lambang
dengan penafsirnya.
Pragmatik memiliki hubungan dengan semantik, karena keduanya
mengkaji tentang makna (arti), tetapi pragmatik mengkaji bidang makna yang
tidak termasuk di dalam kajian atau teori semantik. Pragmatik berhubungan
dengan sosiologi, sosiolinguistik, dan psikolinguistik, sedangkan semantik lebih
79
terkait dengan logika (Levinson, 1983). Hubungan pragmatik dan semantik
bersifat komplementer (Leech,1986:6).
Menurut Levinson (1983) kajian pragmatik adalah kajian yang
memfokuskan pada kemampuan pemakai bahasa menghubungkan kalimat atau
tuturan dengan konteks yang sesuai dengan tuturan (“pragmatics is the study of
the ability of language users to pair sentences with the contexts in which they
would be appropriate”). Tampaknya kemampuan yang dimaksud Levinson disini
adalah kemampuan berbahasa secara natural yang dapat menghasilkan tuturan
yang pragmatis komunikatif. Pandangan tentang kemampuan komunikatif dalam
kajian pragmatik yang dapat dipahami dari pernyataan Levinson ini memiliki
keterkaitan dengan pandangan dalam sosiolinguistik. Levinson memandang
pragmatik itu sebagai ketrampilan dalam mengungkap kemampuan pemakai
bahasa dalam konteks tertentu.
Kajian pragmatik merupakan kajian tentang hubungan bahasa dan konteks,
yang menjadi dasar penjelasan atau penafsiran. Konteks yang dimaksud menurut
Levinson (1983:9) adalah konteks yang digramatikalisasi atau dikodekan dalam
struktur bahasa (pragmatics is the study of those relations between language and
context that are grammaticalized, or encoded in the structure of language).
Levinson berpendapat bahwa pragmatik tidak saja mengkaji hubungan bahasa dan
konteks, tetapi mengkaji juga pengaruh konteks terhadap struktur kalimat, klausa,
dan sebagainya. Pernyataan Levinson ini secara implisit menyatakan bahwa
Levinson mengakui bahwa ada keterkaitan erat antara sintaksis dan pragmatik.
Menurut Levinson (1983:284-285) pragmatik mengkaji implikatur, praanggapan,
80
tindak tutur, deiksis, dan aspek-aspek struktur wacana, sebagaimana yang dapat
dipahami dari pernyataannya ini : “Pragmatics is the study of deixis (at least in
part), implicature, presupposition, speech act, and aspect of discourse structure”
(lih. Stalnaker,1972). Tampaknya melalui pernyataannya ini Levinson mengakui
bahwa pragmatik adalah bidang ilmu yang mandiri.
Pragmatik merupakan kajian pemakaian bahasa (pragmatics is the study of
language usage) di dalam suatu masyarakat bahasa, untuk mengungkap perilaku
berbahasa dalam komunikasi sosial. Pemakaian bahasa dalam berkomunikasi
dapat dibedakan menjadi (1) pemakaian bahasa yang bersifat umum, dan (2)
pemakaian bahasa yang bersifat spesifik. Pemakaian bahasa pada kondisi umum
termasuk dalam kajian pragmatik umum, sedangkan pemakaian bahasa yang
bersifat spesifik termasuk dalam kajian sosiopragmatik. Pemakaian bahasa dalam
suatu komunikasi tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor nonlingual, yaitu
kondisi sosial dan budaya lokal yang bersifat spesifik (Leech, 1986:10-11).
Prasyarat yang diperlukan untuk melakukan analisis pragmatik atas
tuturan, termasuk tuturan yang bermuatan implikatur percakapan (IP) adalah
situasi ujar yang mendukung keberadaan suatu tuturan dalam percakapan. Situasi
ujar meliputi unsur-unsur (1) penyapa dan pesapa (addressers or addressees), (2)
konteks tuturan (the context of an utterance), (3) tujuan tuturan (the goals of an
utterance), (4) tuturan sebagai bentuk tindakan ; tindak tutur (the utterance as a
form of act or activity ; speech act), (5) tuturan sebagai produk tindak verbal (the
utterance as a product of a verbal act), (6) waktu, dan (7) tempat (1993:13).
81
Pragmatik itu sebagai “the study of the ability of language users” dan “the
study of those relations between language and context” (Levinson, 1983)
Pragmatik adalah “the study of language usage” untuk mengungkap perilaku
berbahasa, dan tidak dapat dipisahkan dari konteks (Leech, 1986). Levinson
menekankan fokus kajian pragmatik pada permasalahan kompetensi, yang bersifat
abstrak, sedangkan Leech pada permasalahan performansi yang bersifat kurang
abstrak. Pragmatik mengkaji fungsi utama bahasa sebagai alat komunikasi
(Gazdar, 1979 ; Stalnaker, 1972 ; Levinson, 1983).
Pragmatik mengkaji maksud tuturan, bukan makna kalimat. Makna
(meaning) adalah “unsur dalam” bahasa (linguistic meaning), sedangkan maksud
(intention) adalah “unsur luar bahasa”, yakni sesuatu yang dipahami dan diartikan
oleh pembicara (speaker meaning) berdasarkan konteks tuturan. Sebagai ilmu
yang mengkaji maksud penggunaan bahasa dalam suatu komunikasi pragmatik
sangat mementingkan konteks. Dalam pandangan pragmatik penggunaan bentukbentuk bahasa dalam komunikasi berkaitan erat dengan maksud dan fungsi
tuturan, serta situasi dan konteks dimana tuturan itu digunakan (Austin, 1962:150
; Searle, 1975). Selain mengkaji maksud dan fungsi ujaran, pragmatik juga
mengkaji daya (force) ujaran (Leech, 1986 ; Brown dan Yule 1983 ; Brown dan
Levinson, 1987 ; Levinson, 1983:9 ; Parker, 1986 ; Richards, dkk.,1985:225 ;
Yule, 2006 ).
Pragmatik adalah studi tentang kondisi penggunaan bahasa manusia
berdasarkan konteks sosial (“Pragmatics is the study of the conditions of human
language uses as these are determined by the context of society”) (Mey,1993:42).
82
Pragmatik berurusan dengan aspek-aspek yang terkait dengan informasi (dalam
pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa, yang muncul
secara alamiah, dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara
konvensional sesuai dengan konteks tempat penyampaiannya (Cruse, 2000).
Percakapan terkait dengan persoalan-persoalan interaksi sosial, konsepkonsep psikologis, pengetahuan tentang latar, kepercayaan, harapan, serta apa
yang terdapat dalam pikiran penutur. Aspek-aspek ini juga menjadi fokus
pragmatik wacana (Leech, 1986 ; Yule, 2006:144 ; McCarthy,1997:155 ;
Eriyanto, 2001:2). Pengkajian wacana yang berhubungan dengan aspek-aspek ini
mengutamakan perspektif pragmatik (Yule, 2006).
Studi pragmatik berbeda dengan studi tata bahasa yang memfokuskan
pada struktur bahasa secara internal. Pragmatik adalah studi tentang penggunaan
bahasa dalam komunikasi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Parker (1986),
bahwa “Pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the internal
structure of language. Pragmatics is the study of how language is used to
communicat). Namun demikian, sebagai studi kontekstual terhadap bahasa studi
pragmatik perlu mempertimbangkan struktur bahasa tanpa mengabaikan konteks.
Struktur bahasa adalah ciri-ciri formal bahasa, yaitu ciri fonologik atau ciri
gramatik atau keduanya, yang merupakan dasar analisis dalam tata bahasa formal.
Ciri-ciri itulah yang digunakan untuk menganalisis satuan-satuan gramatikal
(grammatical units). Satuan gramatikal yang dimaksudkan itu diurutkan dari satuan terbesar sampai pada satuan terkecil, yaitu wacana, kalimat, klausa, frase,
kata, dan morfem. Satuan gramatikal adalah satuan-satuan bahasa yang mengan-
83
dung arti, baik arti leksikal maupun arti gramatik (Ramlan, 1985; 2001:24,27).
Lingkup kajian pragmatik adalah semua yang terkait dengan struktur bahasa
sebagai alat komunikasi. Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang
membahas tentang pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal ekstralingual yang
dibicarakan (Verhaar,1996:14).
Beberapa ahli berpendapat bahwa konsep pragmatik itu muncul dari
pandangan filsafat. Namun, pragmatisme tidak memiliki loyalitas kepada sistem
filsafat atau kenyataan. Kebenaran adalah apa yang bekerja pada saat itu. Tidak
ada dualitas antara realitas dan pengalaman/pengetahuan tentang realitas. Dalam
pragmatik kita perlu berhenti mempertanyakan hubungan antara keduanya. Fokus
adalah pada hasil penelitian. Yang penting adalah masalah penelitian dan semua
pendekatan dapat diterapkan untuk memahami masalah (Creswell,2003:11).
Pragmatik adalah salah satu bagian dari ilmu bahasa (linguistics) yang
memiliki fokus kajian yang luas. Sedangkan, sosiopragmatik merupakan sebuah
pendekatan yang dikenal dalam penelitian-penelitian linguistik, yang dalam
penerapannya memadukan dua bidang ilmu, yaitu sosiologi dan pragmatik.
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia, lembaga-lembaga di
dalam masyarakat, proses sosial yang ada dalam masyarakat, serta bagaimana
terjadinya, berlangsungnya, serta tetap adanya suatu masyarakat (Chaer dan
Agustina,1995:2). Pendekatan sosiopragmatik hanya diterapkan pada pemakaian
bahasa dalam kondisi sosial tertentu dan terikat pada percakapan lokal, untuk
memahami dan menjelaskan tentang aspek-aspek yang menjadi fokus kajian
pragmatik. Kajian sosiopragmatik adalah sebuah kajian yang mengungkap fakta
84
pelaksanaan percakapan, diantaranya fakta prinsip kerjasama dan kesantunan yang
dilaksanakan secara berbeda pada masyarakat bahasa dan kebudayaan yang
berbeda, serta dalam kondisi sosial, kelas sosial dan sebagainya yang berbeda
pula. Dalam kajian sosiopragmatik faktor linguistik kurang mendapat perhatian
(Leech,1986).
Bahasa dalam kehidupan manusia tidak berdiri sendiri. Bahasa memiliki
kaitan dengan kehidupan sosial maupun kebudayaan penuturnya. Oleh karena itu,
untuk menghasilkan sebuah deskripsi pragmatik tentang suatu peristiwa
komunikasi dalam suatu masyarakat bahasa, perlu mengaitkannya dengan kondisi
sosial. Deskripsi pragmatik merupakan inferensi sosiologis. Oleh karena itu,
pengetahuan tentang sosiologi dibutuhkan dalam pembutan deskripsi-deskripsi
yang bersifat pragmatis. Dalam kajian sosiopragmatik sosiologi dan pragmatik
sulit untuk dipisahkan, karena kajian sosiopragmatik adalah kajian pragmatik
yang dikaitkan dengan situasi sosial.
Keterkaitan wacana dan pragmatik dapat dipahami dari jenis wacana.
Wacana
dapat
dibedakan
menjadi
wacana
konvensional
dan
wacana
nonkonvensional (Wijana, 1999:1-9). Sebagai wacana konvensional wacana jualbeli
dapat
mengekspresikan
fenomena-fenomena
kebahasaan.
Fenomena
kebahasaan tidak saja dapat menunjukkan kompetensi komunikatif secara natural,
tetapi juga perilaku-perilaku sosial (Halliday dalam Halliday dan Hasan,1994).
Kajian pragmatik tidak saja berhubungan dengan aspek kompetensi (Levinson,
1983) dan aspek performansi (Leech, 1086). Fokus kajian pragmatik adalah
fenomena-fenomena kebahasaan dalam interaksi sosial.
85
Fenomena kebahasaan adalah fenomena sosial, yang tidak saja dapat
mengekspresikan kondisi sosial, tetapi juga perilaku-perilaku sosial, tujuan-tujuan
sosial dan sikap sosial. Wacana jual-beli merupakan peristiwa interaksi sosial,
yang di dalamnya dapat dipelajari bermacam-macam fenomena sosial. Fenomena
sosial dapat dijelaskan oleh data kebahasaan. Fenomena kebahasaan tidak saja
dapat dijelaskan secara formal, tetapi juga secara pragmatis.
Sebagai produk yang dihasilkan oleh peristiwa komunikasi/interaksi sosial
wacana jual-beli merupakan bentuk praktik sosial (Fairclough,1998:21-24) ;
gambaran praktik perilaku, serta ekspresi dan representasi fenomena kehidupan
manusia (Halliday dalam Halliday dan Hasan, 1994).
1.8.2.9 Pasar dan Kategori Pasar
Kata “pasar” tidak selalu harus mengacu pada tempat atau bangunan
tertentu. Pasar dapat didefinisikan sebagai “tempat” pelaksanaan aktivitas jualbeli, dan (2) setiap “hubungan” yang diciptakan oleh penjual dan pembeli suatu
komoditas tertentu untuk mencapai persetujuan jual-beli. Hubungan itu terjadi
disebabkan oleh adanya aktivitas transaksi/negosiasi (tawar menawar). Setiap
hubungan yang terjadi antara pembeli dan penjual suatu komoditas tertentu dalam
jangka waktu tertentu dipandang sebagai pasar, walaupun hubungan tersebut
hanya dilakukan melalui alat komunikasi seperti telepon, internet, dan sebagainya
(Sugiarto, dkk, 2005 : 287-290). Dalam penelitian ini hubungan itu dapat
dibedakan menjadi (1) hubungan yang diciptakan secara langsung (bertatap muka)
dan (2) hubungan yang diciptakan tidak secara langsung (tanpa bertatap muka).
Hubungan yang diciptakan secara bertatap muka dapat dipahami sebagai pasar
86
tradisional, sedangkan hubungan yang diciptakan tanpa bertatap muka dipahami
sebagai pasar modern, seperti pasar swalayan dan pasar online. Pasar tradisional
mengandalkan komunikasi tatap muka (face to face), sedangkan pasar modern
tidak mengandalkan komunikasi tatap muka. Bahkan pasar modern sekarang ini
mengandalkan teknologi informasi, seperti internet, komputer, gadget, handphone,
dan sebagainya.
Dalam kajian ekonomi mikro pasar dipandang sebagai hubungan
komunikasi modern. Para penjual dan pembeli tidak perlu bertatap muka satu
sama lain untuk membeli dan menjual. Pasar untuk beberapa komoditas diperluas
melampaui suatu kota atau bagian dari kota itu ; untuk komoditas lain mungkin
diperluas melampaui seluruh negara atau bahkan dunia (Salvatore dalam Theory
and Problems of Microeconomic Theory – diterjemahkan oleh Sitompul dan
Manundar, 1996 : 5). Menurut ilmu ekonomi setiap barang ekonomi mempunyai
pasarnya sendiri-sendiri, contoh pasar beras, pasar sayur, pasar jasa angkutan
yang termasuk kategori pasar output, dan pasar modal, pasar tenaga kerja, pasar
tanah yang termasuk kategori pasar input. Di setiap pasar dilaksanakan transaksi
yang dinamakan “transaksi pasar” untuk barang-barang yang ditransaksikan
(Boediono, 2010 :43-44).
Pasar tradisional dapat dijumpai, baik di daerah pedesaan maupun
perkotaan. Di pasar tradisional interaksi Pj dan Pb tidak dibatasi oleh aturanaturan (bebas). Pj dan Pb dapat melaksanakan tawar menawar (negosiasi) secara
langsung. Sebaliknya, di pasar modern, seperti pasar swalayan hal-hal yang
demikian hampir tidak pernah terjadi. Di pasar swalayan bisa saja tidak terjadi
87
percakapan antara Pj dan Pb (Sudono, 2012: 275). Demikian juga di pasar online
yang hanya mengandalkan komunikasi melalui chatting, email, atau melalui
telepon saja. Di pasar online pembeli tidak bisa memeriksa atau menyentuh
barang dagangan sebelum membayarnya. Pembeli hanya bisa melihat melalui
foto-foto saja.
1.9 Metode Penelitian
Dalam sebagian literatur ilmu bahasa, pengertian metode seringkali
dibedakan dengan teknik. Metode dipahami sebagai cara penelitian yang lebih
abstrak, sedangkan teknik dipandang sebagai cara penelitian yang lebih konkrit
atau bersifat operasional. Dalam penelitian linguistik metode dipahami sebagai
strategi kerja berdasarkan ancangan tertentu, sedangkan teknik adalah langkah dan
kegiatan yang dilakukan yang terdapat dalam kerangka strategi kerja tertentu
(Subroto,1992: 32). Metode dan teknik adalah “cara” dalam suatu upaya. Metode
adalah cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan
metode. Teknik ditentukan oleh adanya alat yang dipakai (Sudaryanto, 1993:9).
Metode penelitian adalah cara yang dipergunakan untuk mengumpulkan data yang
diperlukan dalam suatu penelitian (Arikunto, 2002:136). Metode adalah cara,
sedangkan penelitian adalah kegiatan mengumpulkan data (Ahimsa Putra,
2009:18).
1.9.1 Paradigma Penelitian
Menurut Ahimsa Putra (2009:2) paradigma adalah seperangkat konsep
yang berhubungan satu sama lain secara logis yang membentuk kerangka
88
pemikiran,
yang
berfungsi
memahami,
menafsirkan
dan
menjelaskan
kenyataan/masalah yang dihadapi. Moleong (2007:49) mengutip beberapa
pendapat, diantaranya pendapat Bogdan dan Biklen (1982) yang menyatakan
bahwa paradigma adalah kumpulan sejumlah asumsi yang tidak ketat, yang
dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan
penelitian. Paradigma adalah “cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir,
menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu, secara khusus tentang visi
realitas” (Harmon dalam Moleong, 2007). Ada dua paradigma yang mendominasi
ilmu pengetahuan, yaitu (1) paradigma ilmiah (scientific paradigm) dan (2)
paradigma alamiah (naturalistic paradigm)xx. Menurut Moleong (2007:53)
masalah, paradigma, teorixxi, dan konteks harus menyatakan kongruensi nilai
(beresonansi) agar inkuiri itu menghasilkan suatu nilai yang berarti.
1.9.2 Pendekatan Penelitian
Untuk memahami dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini
peneliti menggunakan pendekatan sosiopragmatik. Penggunaan pendekatan
sosiopragmatik bertujuan untuk memahami dan menjelaskan penggunaan bahasa
secara spesifik (khusus dalam percakapan jual-beli). Pendekatan sosiopragmatik
tidak saja digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena kebahasaan
dalam percakapan jual-beli, tetapi juga untuk memahami dan menjelaskan aspekaspek yang terkait dengan informasi. Pendekatan ini tidak saja digunakan untuk
memahami dan menjelaskan persoalan-persoalan interaksi, tetapi juga konsep-
89
konsep psikologis, kepercayaan, dan harapan, serta apa yang terdapat dalam
pikiran penutur (Leech, 1986 ; Yule, 2006:144 ; McCarthy,1997:155).
Pendekatan sosiopragmatik digunakan juga untuk memahami dan
menjelaskan fenomena-fenomena sosial, yaitu tindakan-tindakan masyarakat
dalam melaksanakan aktivitas sosial, seperti aktivitas transaksi jual-beli,
bagaimana mewujudkan tindakan-tindakan itu, serta apa yang melatarbelakangi
terjadinya setiap tindakan (a mode of doing, being, and becoming) (Schifrin dalam
Aronoff dan Rees-Miller, 2001:428-429). Pendekatan yang dilakukan dimulai
dengan memahami latar belakang sosial peserta tutur dalam sebuah peristiwa
komunikasi, yaitu usia, gender, status sosial, yang membuat penutur memilih
salah satu bentuk tutur, dan bukan bentuk tutur yang lain (Leech, 1986 ; Tarigan,
1990 ; Crystal, 1997).
1.9.3 Satuan Kajian Penelitian
Fokus satuan kajian (unit of analysis) dalam penelitian adalah (1) tuturantuturan, (2) tindakan-tindakan individu, dan (3) konteks tutur. Fokus satuan kajian
tuturan-tuturan adalah tuturan-tuturan yang direalisasikan secara formal oleh
satuan-satuan lingual berupa kalimat, klausa, frasa, kata, morfem, serta ungkapanungkapan. Fokus satuan kajian tindakan-tindakan individu adalah tindakantindakan yang dilakukan oleh individu Pj dan Pb dalam melaksanakan percakapan
jual-beli, yang diekspresikan oleh tuturan-tuturan. Baik tuturan-tuturan maupun
tindakan-tindakan dipahami dalam konteks tutur. (lihat hal 41-42). Selanjutnya
fokus satuan kajian konteks tutur adalah segala aspek yang terkait dengan tuturan
dan yang melingkupi tuturan. Tujuan dari setiap satuan kajian untuk menjaring
90
sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber yang mencerminkan
beragam realitas dalam masyarakat (Moleong, 2007). Dalam penelitian ini realitas
itu tidak untuk dibandingkan.
1.9.4 Teknik Pemilihan Sampel, Jenis Sampel, dan Penetapan Informan
Teknik pemilihan sampel (sampling) secara kualitatif berbeda dengan
nonkualitatif. Pada penelitian nonkualitatif sampel dipilih dari suatu populasi.
Oleh sebab itu sampel dapat digunakan untuk mengadakan generalisasi. Pada
penelitian nonkualitatif sampel benar-benar mewakili ciri-ciri suatu populasi
(Moleong, 2007:223). Sedangkan, penelitian kualitatif berkaitan erat dengan
faktor-faktor kontekstual. Menurut paradigma alamiah seorang peneliti harus
mulai dengan asumsi bahwa konteks itu bersifat kritis. Oleh sebab itu, setiap
konteks ditangani dari segi konteksnya sendiri. Tujuan sampling secara kualitatif
adalah menjaring sebanyak mungkin informasi dari pelbagai macam sumber.
Tujuannya bukan untuk memfokuskan diri pada perbedaan-perbedaan yang
kemudian dikembangkan ke dalam generalisasi. Tujuan sampling dalam
penelitian kualitatif adalah menggali informasi yang akan menjadi dasar dari
rancangan dan teori yang muncul (Lincoln dan Guba dalam Moleong, 2007:223224).
Untuk penyediaan data peneliti menggunakan teknik pemilihan sampel
bertujuan (purposive sampling) atau teknik pemilihan sampel secara menghakimi
(judgmental sampling) yang termasuk kategori teknik non-probability sampling.
Non-probability sampling berfokus pada teknik pengambilan sampel pada satuan
(unit) yang dikaji yang didasarkan pada penilaian peneliti. Pendekatan non-
91
probabilitas lebih cocok untuk penelitian kualitatif mendalam karena sering
fokusnya untuk memahami fenomena sosial yang kompleks. Teknik pemilihan
sampel bertujuan berdasarkan pertimbangan peneliti tentang siapa yang memiliki
keahlian di bidang yang sedang diteliti (Marshall,1996 ; Small, 2009).
Pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara ini hanya atas dasar
pertimbangan peneliti yang menganggap unsur-unsur yang dikehendaki telah ada
dalam anggota sampel yang diambil (Nasution,2003:5). Sampel adalah “sebagian
dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi” (Sugiyono, 2005:7478). Untuk menghindari terjadi bias dalam penentuan data peneliti melakukan
langkah-langkah pemilihan sampel berdasarkan ciri-ciri purposive sampling, yaitu
(1) sampel tidak ditentukan terlebih dahulu, tapi berdasarkan rancangan sampel
yang muncul, (2) sampel dipilih secara berurutan, (3) sampel disesuaikan secara
berkelanjutan, (4) pemilihan sampel diakhiri jika sudah terjadi pengulangan
(Moleong, 2007:224-225). Dalam hal ini Moleong merekomendasikan teknik
pemilihan sampel bola salju (snowball sampling). Teknik purposive sampling
diakui memiliki kekurangan dan kelebihannyaxxii. Namun demikian teknik ini
dipandang dapat mengarahkan peneliti pada sumber data yang tepat dan penting
yang berhubungan dengan masalah penelitian.
Teknik penentuan sampel bola salju (snowball sampling) adalah teknik
pemilihan sampel berdasarkan rekomendasi dari informan sebelumnya. Teknik
pemilihan sampel semacam ini dilakukan dengan cara menemui informan
pertama, dan dari informan tersebut diharapkan dapat diperoleh informasi tentang
informan berikutnya yang mengetahui berbagai informasi yang diperlukan
92
(Sutopo, 2006:45-46). Tujuan snowball sampling untuk memperoleh sebanyakbanyaknya sampel yang bervariasi (Moleong, 2007:224). Teknik snowball
sampling digunakan, karena peneliti ingin memperluas informasi.
Dalam penelitian linguistik sampel merupakan bahan penelitian, yaitu
bahan mentah dan bukan bahan jadi. Secara teknis bahan jadi penelitian disebut
data. Sebagai bahan jadi, data diturunkan dari sample (Sudaryanto, 1988;1990).
Sampel penelitian ini adalah percakapan-percakapan dan tindakan-tindakan
individu Pj dan Pb, serta jawaban-jawaban (alasan-alasan dan penjelasanpenjelasan) informan.
Untuk mendalami, memahami, dan menjelaskan data lisan dan semua
fakta penelitian yang terkait dengan masalah penelitian, serta untuk menguji
ketepatan data intuisi peneliti melibatkan informan. Informan itu dibedakan
menjadi informan utama (IU) dan informan tambahan (IT). IU adalah kelompok
Pj dan Pb, dan IT adalah informan yang bukan berasal dari kelompok Pj dan Pb.
IU yang berasal dari kelompok penjual dan pembeli, berjumlah 16 orang,
yang terdiri dari : petani 3 orang, peternak 2 orang, pedagang 5 orang, pensiunan
2 orang, guru 1 orang, pegawai (PNS/swasta) 1 orang, dan perangkat
pemerintahan desa 2 orang. Selanjutnya IT yang berasal dari kelompok bukan Pj
dan Pb berjumlah 14 orang, yang terdiri dari : petani 2 orang, peternak 2 orang,
pedagang 3 orang, pensiunan 1 orang, guru 2 orang, pemerhati sosial-budaya 2
orang, dan perangkat pemerintahan desa 2 orang. Jumlah keseluruhan informan 30
orang.
93
Kriteria penentuan informan adalah (1) usia : di atas 30 tahun, (2) gender :
laki-laki dan perempuan, (3) pendidikan : SD, SMP, SMA, sarjana, (4) pekerjaan :
petani, peternak, pedagang, guru, pegawai (PNS/swasta), pensiunan, perangkat
pemerintahan desa, (5) suku : Minahasa, (6) memiliki pengetahuan/kemampuan
bahasa, (7) penduduk desa setempat, (8) lama berdomisili di desa minimal 15
tahun, (9) pernah terlibat dalam aktivitas jual-beli, (10) antarinforman tidak ada
hubungan keakraban, dan (11) antara informan dan peneliti tidak ada hubungan
keakraban.
1.9.5 Data, Jenis Data, dan Sumber Data
Data adalah sejumlah fakta yang telah diseleksi berdasarkan relevansinya
secara logis dengan masalah penelitian dan kerangka teori atau paradigma yang
digunakan, untuk memahami dan menjelaskan masalah penelitian. Fakta
penelitian dapat dikatakan sebagai sesuatu yang obyektif, karena selalu didasarkan
pada kenyataan tertentu (Ahimsa Putra, 2009:16). Jenis data penelitian ini adalah
data kualitatif, yang berbeda dengan data kuantitatif. Data kualitatif berupa
pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan dari sesuatu atau gejala,
atau pernyataan dari hubungan-hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain,
seperti benda-benda, pola-pola perilaku, gagasan-gagasan, nilai-nilai, normanorma, atau bisa juga peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat
(Ahimsa-Putra, 2009:18).
Data penelitian ini meliputi (1) data lisan (tutur), (2) data tindakantindakan individu, (3) data yang terkait dengan konteks tutur, (4) data wawancara,
(5) data intuisi bahasa, dan (6) data tulis. Data lisan (tutur) diperoleh dari
94
percakapan penjual dan pembeli dan data tindakan-tindakan diperoleh dari tuturan
penjual dan pembeli. Secara kualitatif kata-kata dan tindakan-tindakan disebut
sebagai data primer, dan selebihnya adalah data tambahan, seperti dokumen dan
lain-lain (Lofland dan Lofland dalam Moleong, 2007:157). Dalam penelitian
linguistik data yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah data lisan (tutur).
Data lisan (tutur) dipahami sebagai “data mentah”. Data ini ditranskripsikan ke
dalam lembar data dan diklasifikasikan sesuai dengan tipe permasalahan yang
dikaji. Hasilnya disebut sebagai “data jadi”. (Sudaryanto, 1993). Data yang terkait
dengan konteks tutur diperoleh dari situasi percakapan jual-beli dan situasi yang
melingkupi percakapan.
Data wawancara (interview) diperoleh dari informan. Menurut Felix &
Cesar (2003 : 239) data wawancara adalah data alami (natural data) atau data
etnografis (ethnographic data). Selanjutnya data tulis diperoleh dari dokumen
(buku-buku dan hasil-hasil penelitian tentang Minahasa). Kedua jenis data ini
digunakan untuk mendalami data lisan dan data tindakan-tindakan, serta untuk
memahami dan menjelaskan fenomena kebahasaan dalam percakapan jual-beli.
Data penelitian termasuk juga data intuisixxiiiatau intuisi bahasa. Sumber data ini
adalah peneliti. Meskipun data bahasa dapat dibangkitkan oleh peneliti (sebagai
instrumen penelitian), namun data itu dikonfirmasikan lagi dengan penutur
lainnya. Tujuannya untuk mengetahui apakah data itu sudah sesuai dengan
penggunaan bahasa secara umum pada masyarakat. Kesahihan atau ketepatan data
bahasa diuji pada pemakaian bahasa orang lain dalam masyarakat bahasa yang
sama (Sudaryanto,1993). Penelitian linguistik dapat memanfaatkan tiga sumber
95
data, yaitu data lisan (tutur), data tulis, dan intuisi bahasa peneliti (Langacker
(1972:15). Dilihat dari karakteristik data, penelitian ini dikategorikan sebagai
penelitian linguistik.
1.9.6 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan data kualitatif. Dilihat dari jenis datanya maka
penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dll., dari subjek penelitian secara holistik, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah, dan
mendeskripsikannya dalam bentuk kata-kata (Moleong, 2007:6). Menurut
Sukmadinata (2005) dasar penelitian kualitatif adalah konstruktivisme yang
berasumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif, serta merupakan
suatu pertukaran pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh setiap individu.
Peneliti kualitatif percaya bahwa kebenaran itu dinamis, dan hanya dapat
ditemukan melalui kajian terhadap interaksi orang-orang dan situasi sosial mereka
(Danim, 2002).
Penelitian kualitatif bertujuan memahami fenomena-fenomena sosial dari
sudut pandang partisipan. Pada kebanyakan penelitian kualitatif penyediaan data
dilakukan dengan beberapa strategi yang didasarkan pada jenis data yang ingin
diperoleh. Penelitian kualitatif dapat menggunakan beberapa strategi xxiv dalam
penyediaan data (Creswell, 2007). Penelitian kualitatifxxv dipandang juga sebagai
explanatory atau confirmatory researchxxvi, yakni jenis penelitian yang bertujuan
untuk mengeksplorasi dan menjelaskan makna yang dianggap oleh sekelompok
96
orang muncul dari permasalahan sosial/kemanusiaan (Cresswel, 2010 : 38-44).
Penelitian kualitatif mengkaji perspektif partisipan dengan strategi-strategi
interaktif dan fleksibel (Creswell, 2010).
Penelitian
eksplanatoris
adalah
jenis
penelitian
yang
berupaya
menguraikan dan menjelaskan bagaimana bahasa itu digunakan oleh penuturnya
dalam konteks (Van Valin dan Lapola, 1999:3). Penjelasan adalah cara untuk
mengungkap pengetahuan baru dan melaporkan hubungan antara aspek-aspek
yang berbeda dari fenomena yang diteliti, untuk menjawab pertanyaan "mengapa"
(Babbie Earl dalam Hin Sze, 2007), seperti yang dapat dipahami dalam kutipan
pernyataannya sebagai berikut :
In scientific research, explanation is one of several "purposes" for
empirical research. Explanation is a way to uncover new knowledge, and
to report relationships among different aspects of studied phenomena.
Explanation attempts to answer the "why" question. Explanations have
varied explanatory power. The formal hypothesis is the theoretical tool
used to verify explanation in empirical research. (lih. Remler dan Van
Ryzin, 2011).
Dilihat dari perspektif linguistik penelitian yang bersifat kualitatif adalah
penelitian yang fokus perhatiannya pada pemahaman makna fenomena lingual
yang melibatkan konteks (Subroto,1992:7 ; Sugiyono, 2005:1). Makna dari
fenomena lingual terungkap dalam data penelitian dan dijelaskan berdasarkan
kerangka teoretis yang digunakan.
1.9.7 Lokasi Penelitian
Lokasi pasar tradisional yang dipilih adalah (1) pasar sayur, rempah dan
buah, pasar beras, pasar ikan, dan pasar daging, (2) warung sembako, (3) kios
97
tempat penjualan aneka komoditas pertanian (khusus cengkih dan kopra), dan (4)
tempat usaha keluarga (usaha ternak dan pembuatan batu bata).
1.10 Metode dan Teknik Penyediaan Data
Menurut perspektif linguistik untuk memecahkan masalah penelitian
dibutuhkan tiga tahap, yakni (1). penyediaan data, (2). penganalisisan data, dan
(3). penyajian hasil analisis data. Untuk melakukan ketiga tahapan tersebut
diperlukan metode dan teknik untuk setiap tahapannya (Sudaryanto, 1993:5).
Menurut Creswell (2010:11) metode yang digunakan untuk kajian pragmatik
haruslah termasuk metode-metode yang paling mungkin untuk menjawab
pertanyaan penelitian, serta memenuhi kebutuhan peneliti dan tujuan penelitian.
Dalam hal ini metode campuran sangat mendukung (“methodology used has to
include methods that are most likely to answer research question. Concern is with
what works. Methods chosen needs to meet needs of researchers and purposes of
research. Strongly supports mixed methods”).
Penelitian ini menggunakan tiga macam metode (prosedur) penyediaan
data, yaitu metode observasi, metode wawancaraxxvii, dan metode intuisi atau
refleksif-introspektif (Langacker, 1972:15 ; Leedy, 1980 ; Sudaryanto, 1993:121).
Metode observasi dan wawancara tidak hanya dikenal dalam literatur ilmu sosial
tapi juga dalam ilmu bahasa, (Chaika, 1982: 23-25; Kartomiharjo, 1988: 17-19 ;
Spolsky,
2003: 9-12 ; Nasution, 2004: 106-113). Metode observasi adalah
metode yang diterapkan dalam penelitian dengan cara mengamati objek kajian
dalam konteksnya. Metode observasi dilakukan dengan dua cara, yakni (1)
98
observasi berperanserta (nonparticipation observation) dan (2) observasi tidak
berperanserta
(nonparticipation
observation)
(Moleong,
2007).
Dalam
melaksanakan metode observasi berperan serta peneliti melibatkan diri dalam
pelaksanaan aktivitas jual-beli. Dengan demikian peneliti dapat leluasa
memperhatikan tuturan Pj dan Pb, dapat mengamati cara-cara/tindakan-tindakan
mereka dalam melaksanakan transaksi, dan dapat mempelajari situasi yang sedang
berlangsung.
Sedangkan
untuk
melaksanakan
metode
observasi
tidak
berperanserta peneliti hanya mengamati proses pelaksanaan aktivitas.
Dalam penelitian linguistik metode observasi dipahami sebagai metode
simak. Dalam melaksanakan metode simak peneliti melakukan teknik sadap dan
teknik catat (Sudaryano, 1993). Penyadapan dilakukan dengan dua teknik yaitu
(1) teknik simak libat cakap (SLC) dan (2) teknik simak bebas libat cakap
(SBLC). Kegiatan dalam melaksanakan teknik SLC adalah menyimak sambil
berperan serta atau terlibat langsung dalam percakapan. Ketika seorang Pj dan Pb
terlibat dalam percakapan pada saat itu peneliti menyimak sekaligus terlibat dalam
percakapan. Sedangkan dalam melaksanakan teknik SBLC peneliti tidak terlibat
dalam percakapan. Peneliti hanya bertindak sebagai pemerhati yang menyimak
percakapan. Penyadapan dilakukan dengan menggunakan teknik rekam, yaitu
merekam percakapan-percakapan tanpa diketahui oleh Pj dan Pb sebagai sumber
data. Tujuannya agar data dapat disediakan dengan seideal dan senatural mungkin.
Cara semacam ini menurut Wardaugh adalah cara yang mengacu pada konsep
observer’s paradox (Wardhaugh, 1988 : 18-19). Teknik rekam ini sangat
menunjang teknik sadap, baik teknik SLC maupun teknik SBLC.
99
Selanjutnya teknik catat dilakukan dengan cara mencatat data pada kartu
data. Setelah proses pencatatan data selesai, dilanjutkan dengan klasifikasi data
(Sudaryanto, 1993). Data yang dicatat tidak saja data lingual, tetapi juga data
nonlingual, yaitu aspek-aspek yang terkait dengan latar belakang identitas Pj dan
Pb, serta faktor-faktor situasional berhubungan dengan situasi tutur yang sedang
berlangsung, seperti topik pembicaraan, tempat pembicaraan, sudut pembicaraan,
dan situasi bicara (Suwito, 1985:24).
Selanjutnya
dalam
melaksanakan
metode
wawancara
peneliti
menggunakan teknik wawancara terbuka atas sepengetahuan pihak yang
diwawancarai, dan tujuan pelaksanaan wawancara juga diketahui oleh pihak yang
diwawancarai (Moleong, 2007:189). Untuk mengarahkan informan dalam
memberi informasi yang sebenarnya peneliti menggunakan teknik elisitasi atau
teknik pancing (lih.Spolsky, 2003: 9). Selain metode observasi dan wawancara,
penyediaan data penelitian ini menggunakan juga metode intuisi (Langacker,
1972) atau metode refleksif-introspektif (Sudayanto, 1993). Sesuai ketentuan
metode intuisi peneliti tidak hanya berperan sebagai penerima tutur, tetapi juga
berperan sebagai penutur dengan melibatkan segenap pengetahuan dan
kemampuan sebagai penutur asli. Peneliti tidak saja berperan sebagai penutur asli,
tetapi juga membangkitkan data bahasa yang dimiliki, dan mengujinya dengan
menggunakan kemampuan intuitif. Penggunaan metode ini tidak bertujuan untuk
mendapatkan data final (Langacker,1972:15). Metode refleksif-introspektif adalah
metode yang memanfaatkan secara optimal peran peneliti sebagai penutur bahasa
tanpa mengenyampingkan peranan kepenelitian itu sendiri (Sudaryanto,
100
1993;121). Setiap metode dan teknik penyediaan data penelitian diakui memiliki
kekurangan dan keunggulannya (Nababan,1993:9). Demikian juga metode dan
teknik penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini.
1.10.1 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Untuk mendapatkan data yang terpercaya (trustworthiness) dilakukan
teknik pemeriksaan data dengan cara mengamati dengan teliti, menelaah, serta
menguraikan faktor-faktor yang menonjol dalam situasi yang berhubungan
dengan masalah penelitian (Moleong, 2007:329-330). Selanjutnya melakukan
teknik triangulasi (sumber, metode, peneliti). Triangulasi dengan sumber
dilakukan dengan cara mengkonfirmasi data dengan sumber data, yaitu Pj dan Pb
(sebagai informan utama) dan informan tambahan. Tujuan triangulasi dengan Pj
dan Pb adalah (1) untuk membandingkan data hasil observasi berperan serta dan
tidak berperan serta, (2) untuk mengkonfirmasi apa yang dimaksudkan penutur
dalam tuturannya, (3) untuk membandingkan antara apa yang dimaksudkan
penjual/pembeli (sebagai penutur) dalam tuturannya dan apa yang dikatakannya
secara pribadi dalam pelaksanaan wawancara, (4) untuk mengetahui kesamaan
dan perbedaan antara pemahaman (interpretasi) peneliti dan pemahaman mitra
tutur tentang maksud tuturan, (5) untuk memastikan kecocokkan data hasil
observasi berpartisipasi (langsung maupun tidak langsung) dengan masalah
penelitian, dan (6) untuk memastikan faktor-faktor yang mempengaruhi tuturan.
Triangulasi
dangan
informan
tambahan
dilakukan
dengan
cara
mewawancarai. Tujuan triangulasi dengan informan tambahan adalah (1) untuk
mengetahui kesamaan dan perbedaan antara pandangan penutur yang satu dan
101
pandangan, pemikiran/pendapat penutur yang lain tentang aktivitas jual-beli,
seperti pandangan, pemikiran/pendapat rakyat biasa, orang berpendidikan
menengah dan berpendidikan tinggi, orang kaya, dan orang yang berkuasa (orang
pemerintahan), dan (2) untuk membandingkan data hasil wawancara dengan
informan utama (Pj dan Pb), serta data hasil observasi dengan data hasil
wawancara. Triangulasi dengan sumber tidak bertujuan untuk menemukan
“kesamaan”, tetapi untuk mengetahui alasan-alasan terjadinya perbedaanperbedaan (Patton, 1987 dalam Moleong, 2007 : 331).
Triangulasi dengan metode dilakukan dengan cara (1) pengecekan
penemuan penelitian tentang metode penyediaan/pengumpulan data yang
digunakan dan (2) pengecekan beberapa sumber data (peneliti lainnya) yang
menggunakan metode yang sama. Triangulasi dengan peneliti dilakukan dengan
cara berdiskusi dengan peneliti lainnya, untuk membandingkan hasil analisis
dengan hasil analisis peneliti lainnya, agar data yang dikumpulkan tidak
melenceng dari tujuan. (Patton dalam Moleong 2007:330-332). Meskipun tidak
semua fakta adalah data, namun fakta penelitian dapat dikatakan sebagai sesuatu
yang obyektif, karena selalu didasarkan pada kenyataan tertentu (Ahimsa Putra,
2009:16). Oleh karena itu, fakta tidak dapat diperiksa/ditentukan derajat
kepercayaannya oleh satu atau lebih teori (Lincoln dan Guba 1981 : 307 dalam
Moleong, 2007:331).
1.11 Model dan Tahapan Analisis Data
Tujuan penelitian ini tidak hanya menjelaskan “bagaimana” fakta
pemakaian bahasa dalam WJB, tetapi juga menjelaskan “mengapa” fakta
102
pemakaian bahasa itu demikian (sesuai data). Untuk menjawab kedua pertanyaan
ini peneliti menggunakan model penalaran induktif. Penalaran induktif didasarkan
pada keyakinan bahwa analisis secara induktif dapat menemukan sejumlah realita
yang terdapat dalam data tuturan. Datanya dapat dikenali dan akuntabel. Teknik
analisis induktif dapat menunjukkan secara eksplisit hubungan peneliti dan
subyek penelitian. Pada prinsipnya penelitian kualitatif menggunakan model
penalaran induktif (Creswell, 2010:259-263). Namun demikian, penggunaan teoriteori kebahasaan dalam mengarahkan penelitian ini memungkinkan peneliti untuk
melibatkan juga penalaran deduktif. Menurut paradigma linguistik penalaran
deduktif berpegang pada keyakinan bahwa data lingual pada hakikatnya
mengandung fakta lingual (Kridalaksana,2005:11 ; Sudaryanto, 1993:165).
Untuk mempersiapkan analisis data lisan terlebih dahulu peneliti
melakukan mengumpulkan semua data tuturan, mendengarkan hasil rekaman, dan
membaca catatan-catatan untuk memastikan kelengkapan data. Setelah dipastikan
data percakapan sudah lengkap barulah ditentukan tahapan analisis datanya.
Tahapan analisis data lisan (tuturan) adalah (1) mempelajari tuturan Pj dan Pb
dalam percakapan, (2) mempelajari catatan-catatan, (3) memilah-milah data, (4)
melakukan verifikasi data ; mengidentifikasi data-data yang relevan, (5)
mengklasifikasi data berdasarkan masalah penelitian, (6) mentranskripsikan data
tutur ke dalam lembar data, (7) memahami (menginterpretasi) data (data verbal
dan data nonverbal), (8) melakukan telaah konteks, (9) mencocokkan hasil
pemahaman (interpretasi) dengan data hasil rekaman percakapan dan catatancatatan, (10) mendeskripsikan hasil pemahaman (interpretasi), (11) membuat
103
catatan tentang hasil pemahaman yang masih diragukan, dan (12) membuat
inferensi (penyimpulan) sementara.
Setelah melakukan analisis data lisan peneliti menyiapkan pertanyaanpertanyaan wawancara dan melaksanakan wawancara/konfirmasi data pada
sumber data. Setelah selesai melaksanakan wawancara peneliti mempersiapkan
analisis data hasil wawancara. Sebelum melaksanakan analisis peneliti terlebih
dahulu mendengarkan hasil rekaman wawancara dengan informan dan memeriksa
catatan-catatan selama pelaksanaan wawancara. Selanjutnya peneliti menetapkan
langkah-langkah analisis, yaitu (1) mengidentifikasi setiap jawaban dan alasan
pemberian jawaban/penjelasan informan, (2) memilah-milah dan mengklasifikasi
setiap jawaban/penjelasan informan berdasarkan isi/alasannya, (3) melakukan
verifikasi data ; mengidentifikasi data-data yang relevan, (4) mengklasifikasi data
berdasarkan masalah penelitian, (5) mempelajari isi jawaban/penjelasan informan,
(6) mempelajari alasan-alasan pemberian jawaban/penjelasan informan, (7)
mempelajari persamaan dan perbedaan jawaban/penjelasan antara informan yang
satu dan informan yang lainnya, (8) mempelajari persamaan dan perbedaan antara
hasil wawancara dan hasil pemahaman (interpretasi) data tutur, (9) mempelajari
kembali konteks situasi tutur dan segala konteks yang melingkupi, (10) membuat
inferensi sementara, (11) memastikan kelengkapan data, (12) melanjutkan
wawancara (jika data masih dianggap belum lengkap), dan (13) membuat
inferensi akhir.
Untuk mendapatkan inferensi yang tepat, pemahaman data tidak hanya
didasarkan pada pemahaman (interpretasi) tuturan, tetapi mengaitkan juga tuturan
104
dan hasil pemahamannya dengan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat.
Tujuannya untuk menemukan jawaban terhadap pertanyaan “mengapa”.
i
Perilaku adalah segala bentuk tanggapan atau reaksi seseorang terhadap objek yang berwujud
tingkah laku, tindakan, atau gerakan. Reaksi tersebut dapat bersifat sederhana (bisa teramati
secara langsung) dan dapat pula kompleks (tidak teramati secara langsung). Kegiatan-kegiatan
yang tidak dapat diamati itu merupakan kondisi interaksi dalam diri manusia. Pada hakikatnya
setiap perilaku manusia merupakan ekspresi perilaku sosial (Hull dalam Margaret E. Bell
Gretler, 1991, hal.77). Menurut Hull segala sesuatu yang dilakukan manusia untuk
memperjuangkan dan mempertahankan hidup disebut sebagai tingkah laku. Manusia selalu
diperhadapkan dengan kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan biologis. Kebutuhan adalah
dorongan (drive) yang ada dalam diri manusia yang memunculkan tingkah laku untuk
pemenuhan suatu kebutuhan. Tingkah laku berfungsi menjaga kelestarian mahluk hidup.
Perilaku manusia dapat dibedakan menjadi (1). perilaku terbuka (overt behavior), yaitu
perilaku yang tampak dalam peristiwa interaksi manusia dengan lingkungan (biotik, abiotik,
sosial), dan (2). perilaku tertutup (covert behavior), yaitu perilaku yang berupa kegiatan
berpikir, membayangkan, merasakan, dan merencanakan. Kegiatan semacam ini tidak dapat
diamati secara langsung, karena ada di dalam diri manusia (Smith, dkk, 1986 : 4).
ii
Jual-beli (trade) diartikan sebagai (1). perdagangan (perdagangan eceran), (2). kejujuruan,
ketrampilan, (3).pembeli, langganan, (4). tukar menukar (tukar menukar dengan sepadan,
tukar tambah), berdagang atau berniaga (berdagang dimana-mana ; suka berbelanja) (periksa
Kamus Inggris – Indonesia, Echols & Shadily, tahun 2003, hlm 599). Jual-beli adalah (1).
deal ‘a business agreement’ ; buy and sell, (2). do business with ; exchange (periksa The
Advanced Learner’s Dictionary of Current English, hlm, 1366).
“Dalam penelitian kuantitatif, teori berperan sebagai penjelasan awal tentang hubungan
antarvariabel yang diuji oleh peneliti. Dalam penelitian kualitatif, teori berperan sebagai
perspektif bagi penelitian dan terkadang pula justru dihasilkan selama penelitian itu
berlangsung. Dalam penelitian metode campuran, teori bisa digunakan untuk beragam tujuan,
bergantung pada fleksibilitas penggunaannya dalam penelitian kualitatif dan kuantitatif” (lih.
John W. Creswell, 2010 : xiii dalam Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed, cetakan I, diterjemahkan oleh Achmad Fuwaid).
iii
iv
v
(1) Setting and scene, mengacu pada tempat, ruang, waktu terjadinya peristiwa tutur, serta
kondisi fisik lainnya atau suasana pertuturan, (2) Participant, yaitu pihak-pihak yang berperan
dalam peristiwa tutur, (3) Ends (purpose and goal), yaitu mengacu pada tujuan dan hasil
komunikasi, (4) Act sequence, yaitu mengacu bentuk (tindakan) dan isi (pesan) tuturan, (5)
Key, mengacu pada cara berkomunikasi ; ragam bahasa (santai, serius) dan nada suara (tinggi,
rendah) yang digunakan dalam menyampaikan pesan, (6) Instrumentalities, mengacu pada
sarana ; bentuk bahasa (tulis, lisan) dan jenis tuturan (standar atau dialek) yang digunakan, (7)
Norms, yaitu mengacu pada aturan-aturan dalam berinteraksi, dan (8) Genre, mengacu pada
jenis/tipe teks yang digunakan, seperti dongeng, iklan, dsbnya (Hymes, 1972 dalam
Renkema,1993: 44).
Diglosia adalah situasi hadirnya dua bahasa baku, dimana yang satu dihargai lebih tinggi
statusnya dan yang satu lebih rendah statusnya. Bahasa yang berstatus lebih tinggi digunakan
dalam situasi-situasi resmi, sedangkan bahasa yang berstatus lebih rendah digunakan dalam
situasi yang tidak resmi. Tinggi rendahnya status yang dikenakan pada dua bahasa
menyiratkan bahwa setiap variasi bahasa memiliki fungsi yang berbeda. Perbedaan fungsi
105
pada dua bahasa menunjukkan bahwa diglosia dengan fungsi H (high) bersifat lebih formal
dan diglosia dengan fungsi L (low) bersifat lebih informal dan santai.
vi
Lih. Penjelasan Dell Hymes tentang komponen tutur sebagai faktor yang memengaruhi
penggunaan bahasa dalam Toward Ethnograpies of Communication : The Analysis of
Communicative Events dalam Pier P.Giglioli (editor) : Language and Social Context, 1973,
hal 21-24. Band. Soepomo Poedjosoedarmo & John. U Wollf, 1982 ; Soepomo
Poedjosoedarmo, 1984 ; M.A.K.Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1992,tentang Field, Tenor, dan
Mode.
vii
Dalam refisi makalahnya yang berjudul A Taxonomy of Illocutionary Acts Searle mengubah
istilah representative menjadi assertive.
viii
Menurut Grice (1975) maksim adalah manifestasi khusus dari “prinsip”, yang selanjutnya
menurut Leech (1983) pendapat ini akan berhadapan dengan beberapa masalah, yaitu : (1).
Prinsip/maksim berlaku secara berbeda dalam konteks penggunaan bahasa yang berbeda, (2).
Prinsip/maksim berlaku pada tingkatan yang berbeda : tidak ada prinsip yang berlaku secara
mutlak, atau yang tidak berlaku sama sekali, (3). Prinsip/maksim dapat berlawanan satu
dengan yang lain, (d). Prinsip/maksim dapat dilanggar tanpa meniadakan jenis tindakan yang
dikendalikannya.” Band. Pengembangan maksim kerja sama (PK), prinsip sopan santun (PS)
dan tentang maksim kearifan dari Geoffrey Leech dalam “Prinsip-Prinsip Pragmatik”,
diterjemahkan oleh M.D.D. Oka, tahun 1993, hal 161-217.
ix
Mohon diperiksa penjelasan Nadar dalam buku Pragmatik dan Penelitian Pragmatik (2009),
halaman 27-28
x
Lih. The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Peter Salim, 1991: 936, penerbit
Modern English Press, edisi keempat).
xi
Implikatur konvensional adalah “makna yang dipahami atau diharapkan pada bentuk-bentuk
bahasa tertentu tetapi tidak terungkap”. Mis. dalam dialog A : Ayo, lekas berangkat, B : Ini
baru jam enam, aku belum sarapan. Artinya ‘B mau menyatakan bahwa kebiasaannya
sebelum pergi, ia harus sarapan’.
xii
Implikatur percakapan adalah “makna yang dipahami tetapi tidak atau kurang terungkap
dalam apa yang diucapkan”. Mis. dalam dialog B : Silahkan makan sekenyangnya, B : Saya
tadi ikut pesta ulang tahun kemenakan saya. Artinya ‘B menolak makan karena kenyang’ (lih.
Kridalaksana dalam Kamus Linguistik, 2008:91, penerbit Gramedia Pustaka Utama, edisi
keempat).
xiii
Stephen C. Levinson dalam Pragmatics, tahun 1983, hal 97-100, hubungkan dengan keempat
maksim percakapan menurut versi Grice, hal 101-113.
.
Implikasi (implication) adalah “maksud, pengertian yang tidak disebutkan secara langsung,
pertanda”. Mis. She smiled with the implication that she didn’t believe you. Artinya ‘dia
tersenyum pertanda dia tidak mempercayaimu’ (lih. The Contemporary English-Indonesian
Dictionary, Peter Salim, 1991:936, penerbit Modern English Press, edisi keempat).
Implikatur konvensional adalah “makna yang dipahami atau diharapkan pada bentuk-bentuk
bahasa tertentu tetapi tidak terungkap”, mis dalam dialog A : Ayo, lekas berangkat, B : Ini
baru jam enam, aku belum sarapan. Artinya ‘B mau menyatakan bahwa kebiasaannya
sebelum pergi, ia harus sarapan’.
106
Implikatur percakapan adalah “makna yang dipahami tetapi tidak atau kurang terungkap
dalam apa yang diucapkan”, mis. dalam dialog A : Silahkan makan sekenyangnya, B : Saya
tadi ikut pesta ulang tahun kemenakan saya. Artinya ‘B menolak makan karena
kenyang’(Kridalaksana dalam Kamus Linguistik, 2008:91, penerbit Gramedia Pustaka Utama,
edisi keempat).
xiv
Berkenaan dengan presuposisi (praanggapan), mohon diperiksa pula Parker (1986) dan
Kaswanti Purwo (1990).
xv
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, dalam Human Communication. Edisi ke-7. New York :
McGraw-Hill, 1994, hlm 7.
xvi
Syarat-Syarat komunikasi adalah, (1). harus terbatas pada pesan yang diarahkan secara
sengaja kepada orang lain dan diterima, (2).harus meliputi keseluruhan perilaku yang
memiliki makna bagi penerima (disengaja ataupun tidak), (3).harus mencakup segala pesan
yang dikirim secara sengaja, namun kesengajaan itu sulit ditentukan. Esensi komunikasi
sebenarnya terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang memungkinkan terjalinnya
hubungan antarpengirim dan penerima pesan. Komunikasi sebagai proses menghasilkan
tindakan, perubahan, pertukaran dan perpindahan.
xvii
Lih. Soeseno Kartomihardjo dalam “Pemahaman Wacana Antar Budaya”, makalah
disampaikan dalam Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya Kesepuluh (PELLBA
10), Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya, Jakarta, 1996, hl.1.
xviii
Karakteristik yang dimaksudkan Burgoon tampak dalam kutipan berikut ini, yaitu“(1).
Nonverbal codes tend to be analogic rather than digital, (2). But not all, nonverbal code is
iconity, or resemblance. Icon (as when you depict the shape of something with your hand),
(3). Certain nonverbal codes seem to elicit universal meaning, (4). Nonverbal codes enable
the simultaneous transmission of several messages, (5). Nonverbal signals often evoke an
automatic response without thinking, and (6). Nonverbal signals are often emitted
spontaneously” (lih. Littlejohn, 2002:104-105)
xix
Lih. Deddy Mulyana, 2004 , hal 9. Band. Penggunaan istilah “konsep diri” sebagai “inti diri”
(the core of one’s self) oleh Howard F. Stein dan Robert F. Hill yang dikutip dari Deddy
Mulyana, 2004, hal 9.
xx
Perbedaan antara paradima ilmiah/penelitian kuantitatif dan paradigma alamiah/penelitian
kualitatif (lih. Moleong, 2007:49-56).
xxi
Pengertian, fungsi, bentuk formulasi, unsur-unsur teori, serta teori substantif dan teori formal
(lih. Moleong, 2007:56-66).
xxii
Periksa uraian Lucas (2014a) dan Wiederman (1999)
xxiii
Intuisi adalah “daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan
atau dipelajari ; bisikan hati ; gerak hati”. Dengan demikian intuisi bahasa dapat dipahami
juga sebagai daya atau kemampuan untuk merasakan tepat tidaknya penggunaan suatu bahasa
berdasarkan pengalamannya sebagai penutur asli (native speaker) ((KBBI,1996:385).
xxiv
Prosedur-prosedur pengumpulan data dalam penelitian kualitatif melibatkan empat jenis
strategi, yakni observasi kualitatif, wawancara kualitatif, dokumen-dokumen kualitatif, materi
audio dan visual (lih. Creswell dalam Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed. Cetakan I. Diterjemahkan oleh Achmad Fuwaid, tahun 2010, hal 266-274 ;
Cresswell, 2007).
107
xxv
Penelitian kualitatif berupaya mengajukan pertanyaan-pertanyaan, prosedur-prosedur,
mengumpulkan data spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif (mulai
dari tema-tema khusus sampai pada tema-tema umum), dan menafsirkan makna dari setiap
data. Intinya penelitian ini terfokus pada makna individual, memiliki cara pandang induktif
dalam penganalisisan data, dan bersifat interpretif terhadap persoalan yang kompleks. Laporan
penelitian jenis kualitatif memiliki kerangka (strukutur) yang fleksibel. Perihal penelitian
kualitatif Creswell tidak hanya mengikutsertakan perspektif-perspektif tradisional saja tetapi
juga perspektif-perspektif baru, seperti advokasi, partisipatoris, dan refleksi diri.
Karakteristik penelitian kualitatif adalah (1). Lingkungan alamiah (natural setting). Peneliti
kualitatif berinteraksi dengan individu face to face dalam setting yang alamiah, (2) peneliti
sebagai instrumen kunci (researcher as a key instrument) dalam melaksanakan pengumpulan
data, (3) data dikumpulkan dari berbagai sumber (multiple sources of data), (4) analisis data
induktif (inductive data analysis) ; membangun pola, kategori dan tema dari bawah ke atas.
Proses ini membutuhkan kerjasama secara interaktif dengan partisipan, (5) makna harus
bersumber dari partisipan (participants meaning), (6) rancangan penelitian berkembang
dinamis (emergent design), (7) mengacu pada perspektif teoretis (theoretical lens), (8) bersifat
penafsiran (interpretive), dan (9) memiliki pandangan menyeluruh (holistic account), yaitu
gambaran yang kompleks tentang suatu permasalahan untuk mendapatkan gambaran holistik
(lih. Creswell, 2010 : 259-263 ; Creswell dalam Qualitative Inquiry and Research Design :
Choosing among Five Approaches, 2007). Pada umumnya tujuan penelitian kualitatif
mencakup (1) informasi tentang fenomena utama yang dieksplorasi dalam penelitian, (2)
partisipan penelitian, dan (3) lokasi penelitian. Selain itu penelitian ini juga dapat menyatakan
rancangan penelitian yang dipilih (lih. Schwandt dalam Creswell, tahun 2010, hl.167).
xxvi
The desire to know "why," to explain, is the purpose of explanatory research. It builds on
exploratory and descriptive research and goes on to identify the reasons for something that
occurs. Explanatory research looks for causes and reasons.
Goals of Explanatory Research :
1. Explain things not just reporting. Why? Elaborate and enrich a theory's explanation.
2. Determine which of several explanations is best.
3. Determine the accuracy of the theory; test a theory's predictions or principle.
4. Advance knowledge about underlying process.
5. Build and elaborate a theory; elaborate and enrich a theory's predictions or principle.
6. Extend a theory or principle to new areas, new issues, and new topics:
7. Provide evidence to support or refute an explanation or prediction.
8. Test a theory's predictions or principles (www.blurtit.com/q4 15229 html).
xxvii
Kebanyakan penelitian kualitatif menerapkan cara-cara penyediaan data dari lapangan
(masyarakat) yang berhubungan dengan observasi, wawancara, dan juga kuesioner (lih.
Nababan dalam Sosiolinguistik : Suatu Pengantar, tahun 1993, hal. 9).
Download