Bab IV Landasan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Salah satu agenda reformasi dalam dunia pendidikan adalah perubahan pendekatan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dari pendekatan pengembangan kurikulum berdasarkan mata (materi) pelajaran (subject- matter curriculum development approach)menjadi pendekatan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi ( competence-based curriculum development approach). Hasilnya adalah perubahan dari Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum 2004, yang dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Landasan hukum KBK 2004 adalahUU SisdiknasTahun 2003 Pasal 3 yaitu: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi pesertadidik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepadaTuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. BerdasarkanPasal 3 tersebut, pendidikan harus berperan dan berfungsi mengembangkan kemampuan atau kompetensi, makaKurikulumTahun 2004 dikembangkan dengan berbasis kompetensi, dimanakompetensi di definisikansebagai: Keseluruhan pengetahuan, nilai dan sikap, yang dapat direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. DefinisikompetensidalamKurikulumTahun 2004 tersebutdapatdiyakinikebenarannyakarenasesuai dengan petunjuk dalam Al Qur’an yaitu agar orang-orang mu’min masuk kedalam Islam secara keseluruhan, menjadi sosok muslim yang seutuhnya (kaaffah) [Qs Al Baqarah (2): 208]. A. Landasan Teologis-Filosofik Secara operasional kompetensi dalam Kurikulum Tahun 2004 tersebut dapat didefinisikan sebagai:pemilikan ilmu pengetahuan (kognitif, ilmu), nilai dan sikap (afektif, iman), yang dapat direfleksikan dalam kebiasaan berpikir (psiko, ucapan) dan bertindak (motorik, tindakan). Dalam bahasa pendidikan di Pesantren, hasil lulusan yang diharapkan adalah: memiliki ilmu yang dapat diamalkan dengan shalih (ilmu yang amaliah atau amal-shalih yang ilmiah). Itulah rumusan sosok muslim yang berpribadi integral (manusia seutuhnya) hamba Allah Swt ( abdullah) calon pemimpin masa depan (khalifah). Sosok seorang yang kompeten dalam Al Quran digambarkan juga sebagai sosokUlil Albab [Q.S. Ali Imran (3):190], dengan karakteristik seperti yang dijelaskan secara rinci dalam surat Ali Imran, yaitu: “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau 46 – Bab 4 Landasan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.[Q.S. Ali Imran (3):191] Ayat tersebut dapat ditafsirkan bahwa karakteristik seorang mukmin yang kompeten, antara lain sebagai berikut. 1. Beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. dengan selalu mengingat Allah Swt. baik dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun berbaring. Artinya, seorang yang kompeten memiliki nilai dan sikap (afektif). 2. Memikirkan fenomena alam sehingga memeroleh konsep-konsep keilmuan dan teknologi untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat meningkatkan harkat dan martabatnya. Artinya, seorang yang kompeten akan memiliki ilmu ( kognitif) yang dapat dipergunakan dalam kehidupan. 3. Dalam mengamalkan ilmunya, selalu berorientasi kepada kebermaknaan bagi orang lain. Allah Swt. mencontohkan bahwa segala ciptaan-Nya selalu ada manfaatnya bagi makhluk ciptaan-Nya, khususnya manusia sebagai makhluk yang paling mulia di muka bumi. Artinya, seorang yang kompeten akan memiliki kecakapan untuk menggunakan ilmunya dalam kehidupan (motorik) berlandaskan nilai-nilai moral (afektif). 4. Dalam kehidupannya, mereka yang kompeten selalu berhati-hati, takut terjadi kesalahan yang akan menyeretnya ke azab neraka.Oleh karena itu, mereka selalu berusaha untuk berpegang pada petunjuk Allah Swt. yaitu Al Quran. Artinya, seorang yang kompeten akan memiliki pertanggung-jawaban spiritual. Padauraian tersebut dapat ditarik simpulan bahwa kompetensi merupakan integrasi dari pengetahuan (ilmu), nilai dan sikap (iman), dan perbuatan (amal), atau dalam definisi yang lebih operasional, kompetensi lulusan adalah penguasaan dan pemilikan ilmu pengetahuan (knowledge), yang dapat diterapkan dalam kehidupan (skill) dengan nilai-nilai akhlak mulia (attitude). Dalam bahasa Sunda prinsip kesatuan knowledge, skill dan attitude, adalah ngahijina tekad, ucap jeung lampah atau integrasi antara Head (kognitif), Heart (afektif) dan Hand (motorik). Penulis sengaja mendefinisikan kompetensi sebagai integrasi dari kognitif, afektif, dan psikomotorik, tidak menggunakan kompetensi sebagai cakupan dari sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (motorik) karena dalam Islam seseorang yang tidak satu kesatuan antara ucapannya (ilmu), sistem nilainya (iman), dan perbuatannya (amal) disebut sebagai seorang pengikut syetan, munafik atau split personality, seperti yang dijelaskan dalam Al Quran surat Al-Baqarah, sebagaiberikut: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islamkeseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu“.[Q.S. Al-Baqarah(2):208]. Muslim (kaaffah) pada ayat tersebut hendaknya diartikan sebagai muslim dengan pribadi integral (integrated personality). Muslim yang kaaffah juga menggambarkan seorang yang satu kesatuan antara ucapan (ilmu), perbuatan (amal),dan nilai serta sikapnya (iman) karena kalau tidak maka dia adalah tabi’in syetan atau munafikin. Pendidikan berbasis kompetensi dalam payung Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, jika dilaksanakan secara konsisten oleh sekolah, akan dapat memecahkan masalah krisis integritas dan krisis moral, khususnya bagi generasi mendatang. Bab 4 Landasan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi -47 Dengan demikian konsep pendidikan berbasis kompetensi yang ditetapkan dalam Kurikulum tahun 2004 dan Kurikulum tahun 2006 berlandaskan konsep pendidikan Islam, yang insya Allah dapat menanggulangi 1001 krisis yang melanda Indonesia saat ini, apabila dilaksanakan secara konsisten. Kompetensi Sebagai Aktualisasi Potensi Manusia Apa yang disebut dengan potensi, dan apa yang disebut dengan kompetensi? Potensia dalah kompetensi yang masih “terpendam”, sedangkan kompetensi adalah potensi yang telah aktual. Potensi seseorang akan berubah menjadi kompetensi melalui suatu proses pembelajaran dan pelatihan, yang merupakan proses aktualisasi potensi peserta didik menjadi kompetensi, atau pemberdayaan potensi peserta didik menjadi kompetensi. Oleh karena itu,pembelajaran sering disebut sebagai student empowerment. Potensiapa yang dimilikisiswa? Siswa memiliki tiga potensi,yaitu potensi nilai dan sikap (afektif), potensi intelektual (kognitif), dan potensi fisik manual atau potensi indrawi (motorik). Ketiga potensi yang dimiliki manusia tersebut dijelaskan dalam Al Quran sebagai berikut. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari rahim-rahim ibumu dalam keadaan tiada mengetahui suatu apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”[Q.S. An-Nahl (16): 78] Artinya, bayi yang dilahirkan ke dunia dalam keadaan tidak berdaya secara fisik, dan tidak mampu berpikir. Akan tetapi, Allah Swt. memberinya potensi indrawi, dan potensi hati yang terdiri dari potensi IQ, EQ, dan SQ agar disyukuri, dalam arti diberdayakan atau diaktualisasikan agar menjadi kemampuan yang bermanfaat. Potensi manusia yang pertama yang harus diaktualisasikan adalah potensi pancaindra yang dalam ayat tersebut digambarkan dengan pendengaran (telinga)dan penglihatan (mata), tapi sebenarnya meliputi perabaan (tangan), penciuman (hidung), dan rasa (mulut dan lidah). Proses belajar yang dilakukan bayi untuk pertama kalinya adalah belajar melihat, mendengar, merasakan dengan mulutnya, mencium dengan hidungnya, dan memegang dengan tangannya. Kemudian, barulah ia belajar berdiri dan berjalan serta berbicara. Potensi hati yang menggambarkan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ), dapat dijelaskan sebagai berikut. Fuad (HatiNurani) - SQ Qalbu/nafs - EQ Kesadaran (awareness) - IQ - memori Gambar4.1 Hati yang Terdiri dari 3 (tiga) Lapis 48 – Bab 4 Landasan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Berdasarkan gambar4.1tersebut, potensi kedua yang harus diaktualisasikan adalah potensi intelektual (IQ) menjadi kecakapan proses berpikir agar dapat menguasai dan memiliki konsepkonsep dasar keilmuan. Konsep dasar keilmuan dapat dikuasai dan dimiliki seseorang bila orang tersebut memiliki kecakapan proses, seperti yang telah diajarkan di SD. Kecakapan akademik dimiliki seseorang bila orang tersebut melakukan suatu proses mengonstruksi data hasil pengindraan menjadi konsep-konsep kunci keilmuan dan kemudian diorganisasikan dalam kerangka konsep yang sering disebut sebagai mind set. Piaget menjelaskan bahwa pada usia bayi hingga dua tahun ia sudah belajar melalui sensory motoric, ia mengumpulkan data dalam memorinya dari apa yang diterimanya melalui pancaindranya. Pengembangan potensi siswa SD masih didominasi oleh aktualisasi potensi psikomotoriknya. Suderadjat (2005) mengutip pendapat Piaget yang mengemukakan bahwa pengembangan berpikir siswa SD masih dalam taraf berpikir konkrit. Oleh karena itu, pembelajaran di SD padat dengan pengembangan kecakapan yang bersifat proses, yaitu kecakapan proses berpikir, kecakapan proses bersikap, dan kecakapan proses bertindak. Aktualisasi potensi intelektual menjadi kecakapan proses berpikir adalah proses memanusiakan manusia. Karena kalau manusia tidak mau dan tidak mampu berpikir maka derajatnya jatuh menjadi derajat binatang ternak seperti yang difirmankan Allah Swt. dalam Al Quran sebagai berikut: “Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai”.[Q.S. Al A’raaf (7):179] Para ulama berpendapat bahwa manusia = binatang berpikir. Maka apabila manusia tidak mau dan atau tidak mampu berpikir maka derajatnya disamakan Allah Swt dengan binatang ternak. Pendidikan yang mampu meningkatkan kecerdasan berpikir merupakan pendidikan yang memanusiakan manusia. Sebaliknya, bagaimana pendidikan yang tidak mampu mencerdaskan intelektual siswa? Potensi ketiga yang harus diaktualisasikan adalah potensi emosional (EQ) dan potensi spiritual (SQ). Berdasarkan gambar4.1, EQ berada pada lapis tengah sehingga emosi bisa berorientasi ke dalam, yaitu kepada SQ yang merupakan nilai-nilai Ketuhanan, atau bisa berorientasi ke luar, yaitu lapis kesadaran (awareness) yang memiliki sarana, yaitu otak dengan akalnya (IQ) dan memori atau dunia pengetahuan ( cognitive world). Kesadaran manusia ini sering disebut sebagai nafs. Nafs atau bisa juga disebut qalbu seseorang yang bersifat bolak-balik, bisa menghadap ke dalam lubuk hati sanubari sehingga perilakunya sesuai dengan perintah Allah Swt., bisa juga menghadap keluar, ke arah kesadaran yang dapat dipengaruhi oleh setan melalui jin dan manusia. Sebagaimana firman Allah Swt sebagai berikut. “Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia.“ [Q.S. An-Nas (114): 5 - 6]. Bab 4 Landasan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi -49 Manusia diciptakan dengan kesucianNya [Q.S. Ar Rum (30):30], maka manusia memiliki potensi untuk selalu berbuat baik. Oleh karena itu dalam ilmu hukum dikenal paradigma praduga tak bersalah (presumption of innocence). Potensi suci dalam SQ tidak akan membentuk kesucian pada EQ apabila tidak dilatihkan dan tidak dibiasakan. Sistem nilai (value system) seseorang sulit terbentuk dalam EQ (nafs) apabila tidak dilatihkan sejak kecil. Nilai-nilai agama yang suci hendaknya dapat di hayati (internalisasi) oleh siswa dan disimpan dalam sistem nilainya (value system) sebagai landasan untuk bersikap dan bertindak (perilaku atau karakter), melalui belajar berpikir dan latihan pembiasaan norma-norma akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana firman Allah Swt. sebagai berikut. "Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah."[Q.S. Ar-Rum (30): 30] Perintah menghadapkan wajah kepada agama, dapat ditafsirkan, pertama sebagai perintah membaca Al Quran, memahaminya, meyakininya dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan, sehingga memperoleh pahala agar terhindar dari azab neraka. Yang kedua adalah perintah untuk menghadapkan nafs (EQ) kepada kesucian (EQ), sesuai dengan sabda Rasulullah, bila engkauragu, tanyakanlah kepada hati nuranimu (SQ). Proses pensucian qalbu seperti yang digambarkan dalamAl Quran surat Asy-Syams merupakan proses pemilikan nilai-nilai agama yang harus diupayakan dalam kegiatan pembelajaran. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (10) Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.“ [Q.S. Asy-Syams (91): 7–10] Orang yang mensucikan jiwa adalah mereka yang berusaha menjaga lidah (ucapan) dan tindakannya dari perbuatan tercela yang merugikan dirinya. Dengan kata lain mereka berusaha untuk mempertahankan ahlak mulia yang berdampak rahmatan lil’alamin. Dalam hal ini siswa berlatih mengaktualisasikan nilai-nilai spiritual (SQ) dalam kehidupan mereka di sekolah dan juga dalam kehidupannya di rumah, dan masyarakat lingkungan, sebagai prosesaktualisasi potensi yang ketiga (EQ) yang disebut sebagai pendidikan karakter. Dari uraian tersebut, seorang anak belajar mengaktualisasikan potensi indrawinya melalui kecakapan melihat, mendengar, penciuman, merasakan dengan mulut dan lidah.Lalu, kecakapan mengukur dengan tangan, berjalan dengan kaki, dan berbicara. Setelah itu, barulah ia belajar untuk menguasai dan memiliki konsep keilmuan dalam arti kecakapan akademik serta menguasai dan memiliki nilai agama dalam arti kecakapan mengendalikan diri dan kesalihan sosial. Semua kecakapan tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai kecakapan hidup dengan akhlak mulia dan berdampak rahmatan lil’alamin (pembawa rahmat seluruh alam). Secara sederhana dapat ditarik simpulan bahwa Allah Swt. membekali manusia potensi intelektual (IQ), potensi emosional spiritual (EQ – SQ), dan fisik yang dapat diaktualisasikan menjadi kecakapan intelektual (kecakapan berpikir), kecakapan emosional-spiritual (bersikap), dan kecakapan kinestetis (bertindak) yang secara keseluruhan terintegrasi menjadi kompetensi seseorang. 50 – Bab 4 Landasan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Bagaimana Proses Membangun Kompetensi? Bila suatu kaum berkeinginan untuk mengubah nasibnya atau meningkatkan kehidupannya, Allah Swt. perintahkan agar kaum tersebut mengupayakannya sendiri, seperti yang dijelaskan dalam Al Quran surat Ar-Ra’d: “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” [Q.S. Ar-Ra’d (13): 11] Secara khusus, bila seseorang ingin memiliki ilmu, ia sendiri harus berupaya untuk dapat menguasainya, seperti yang dijelaskan dalam Al Quran surat An-Najm sebagai berikut. “…Dan bahwasanya seseorang tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya…”. [Q.S. AnNajm (53): 39] Kedua ayat ini menjelaskan bahwa seseorang tidak akan menjadi kompeten tanpa ia sendiri berupaya untuk menjadi manusia yang kompeten. Seseorang tidak akan memperoleh selain apa yang diupayakannya, demikianjuga dalam halnya dalam pemilikan ilmu, seseorang tidak akan memiliki dan menguasai ilmu tanpa ia sendiri mengupayakannya. Artinya, ia harus mempelajari untuk dapat menemukan konsep ilmu. Belajar penemuan(discovery learning) merupakan salah satu metoda ilmiah, dan mereka yang melakukan proses belajar dengan metoda ilmiah (scientifc method) akanmemiliki kecakapan proses berpikir ilmiah (scientific thinking skill) dan juga akan menguasai dan memiliki ilmu. Seseorang yang telah memiliki dan menguasai ilmu maka ia telah menguasai kecakapan proses penguasaan dan juga memiliki ilmu. “Kecakapan proses” penguasaan ilmu adalah kecakapan berpikir, sedangkan “ilmu” adalah konsep-konsep kunci keilmuan (materi) yang merupakan “alat” untuk memecahkan masalah. Hafal akan ilmu pengetahuan belum berarti memiliki konsep-konsep kunci keilmuan karena belum tentu mampu menggunakan ilmunya dalam menanggulangi masalah yang dihadapinya dalam kehidupan. Seorang yang memiliki konsep keilmuan dapat menggunakan konsep itu sebagai suatu alat bagi pemecahan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, seorang yang memiliki ilmu akan memiliki kecakapan menanggulangi masalah yang dihadapinya dalam kehidupan (cope-ability). Penguasaan ilmu yang dapat diamalkan dengan salih merupakan gambaran orang yang kompeten hasil pembelajaran berbasis kompetensi. Ayat-ayat tersebut merupakan landasan tentang adanya dua dimensi dalam penguasaan ilmu. Pertama dimensi proses dan kedua dimensi materi (Suderadjat, 2004).Hal tersebut merupakan pembenaran terhadap konsep pembelajaran konstruktivistik yang dikemukakan oleh Bettencourt pada tahun 1989, bahwa konsep-konsep keilmuan tidak dapat ditransfer dari kepala guru kepada kepala siswa, melainkan siswa itu sendiri yang harus mengonstruksinya dari data yang diperolehnya melalui pancaindra, menjadi konsep keilmuan. Bab 4 Landasan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi -51 B. LandasanTeoritis - Konseptual Pengertian Kompetensi Kata kompetensi secara etimologis berasal dari dua kata Bahasa Inggris yang maknanya saling terkait, yaitu competence (yang berjamak competences) dan competency (yang berjamakcompetencies). Terjemahan kata tersebut dalam bahasa Indonesia menjadi hanya satu kata, yaitu kompetensi sehingga kadang menimbulkan kesalahpahaman. Untuk memperoleh kejelasan makna, perlu dipahami terlebih dahulu makna kedua kata tersebut. Kata pertama, competence dalampengertianbahasaInggrisberarti: “....what the people needto be able to do to perform a job well” (Oxford Learners Dictionary )ataukemampuan yang dibutuhkanuntukmelaksanakanpekerjaandenganbaik. Dalampengertianini, kata kompetensibukan hanya kemampuan, melainkan meliputi kewenanganataukekuasaanuntukmenentukanataumemutuskansesuatuhal.MisalnyakompetensiP emdadalammenguruspemerintahansendiriataukompetensiseseoranguntukmengambilkeputusan (Poerwadarminta 1982). Disamping kewenangan untuk melaksan akan suatu pekerjaan atau jabatan, istilah competence juga mensyaratkan kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Dengan demikianseseorang yang competence, bukan hanya memiliki kewenangan (authority), namun ia juga memiliki kemampuan dalam arti memilikiilmu (knowledge mastery) yang dapat di gunakan dalam penyelesaian pekerjaan dalam jabatan di dunia kerja dengan baik. Kompetensi kerja seorang lulusan SMK merupakan competence karena mereka sudah mendapatkan Sertifikat Kompetensi yang berstandar internasional. Pengertian kedua tentang kompetensi berasal dari kata competency yang berarti"...... the dimensions of behaviour that lie behind competence performance atau dimensi perilaku seseorang yang menghasilkan kinerja (Oxford Learners Dictionary ). Kompetensiperilaku ( behavioral competencies )menjelaskan perilaku seseorang ketika melaksanakan suatu tindakan. Misalnya, kompetensi kepemimpinan (leadership competency ) yang perlu dimiliki seorang Kepala Sekolah, yang meliputi kecakapan menetapkan arahorganisasi, kecakapan mengorganisasikan, kecakapan komunikasi dan memotivasi, kecakapan mengendalikan dansupervisi, kecakapan memecahkan masalah dan pengambilan keputusan serta kecakapan mempengaruhi orang lain dengan penuh kebermanfaatan untuk mencapai tujuan sekolah. Dengan demikian, kompetensi lulusan SMK merupakan behavioral competency yang dalam bahasa Indonesia disebut kompetensi, selanjutnya mereka mengikuti Ujian Kompetensi Kerja sampai dengan mendapatkan Sertifikat Kompetensi sehingga memiliki pengakuan dari Dunia Kerja, atau memiliki kewenangan ( authority), yang dalam hal ini mereka memiliki competence, yang dalam bahasa Indonesia kembali disebut kompetensi. Lebih jauh Spencer (1993:9) mendefinisikan kompetens isebagai “an underlying characteristic of individual that is causally related to criterion-referenced effective and/or superior performance in a job or situation”. Sebagai karakteristik individu yang melekat ,kompetensi merupakan bagian dari kepribadian individu yang relatif dalam dan stabil, dan dapat dilihat serta diukur dari perilaku individu yang bersangkutan, di tempat kerja atau dalam berbaga isituasi. 52 – Bab 4 Landasan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk itu kompetensi seseorang mengindikasikan kemampuan berperilaku seseorang dalam berbagai situasi yang cukupkonsisten untuk suatu perioda waktu yang cukup panjang, dan bukan hal yang kebetulan sesaat semata.Kompetensi memilik ipersyaratan yang dapat digunakan untuk menduga yang secara empiris terbukti merupakan kinerja penyebab suatu keberhasilan. Kompetensi dalam pendidikan menengah kejuruan merujuk pada istilah competence, karena meliputi kewenangan dan kemampuan kerja. Kewenangan lulusan SMK dibuktikan dengan pemilikan Sertifikat Kompetensi, sebagai hasil uji kompetensi lulusan oleh dunia kerja. Sedangkan kemampuan (behavioral competency) dibuktikan dengan pemilikan STTB (Surat Tanda Tamat Belajar) hasil UN (UjianNasional). Definisi kompetensi berdasarkan SK Mendiknas No. 045/U/2002, adalah ”Seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimilki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu olehmasyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu”. Pengertian kompetensi merujuk pada Keputusan Kepala BKN Nomor 46A Tahun 2003 tentang Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan Struktural PNS dinyatakan sebagai: “Kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang PNS berupa pengetahuan, keahlian, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, efektif, danefisien”. Pengertian ini senada dengan definisi kompetensi yang dirumuskandalam PP Nomor 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS, yakni “Karakteristik yang harus dimiliki olehseorang PNS berupa pengetahuan dan keterampilan serta sikap dan perilaku yang diperlukan agar dapat melaksanakan tugas pokok dan tanggung jawabnya secara berdaya guna dan berhasil guna”. KurikulumTahun 2004 mendefinisikan kompetensi sebagai ”keseluruhan pengetahuan, nilai dan sikap yang dapat direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak”. Diperoleh kejelasan bahwa dimensi perilaku atau karateristik seseorang melipu titiga domain, yaitu domain pengetahuan atau knowledge, domain nilai dan sikap atau attitude, dan domain keterampilan atau skill .Di dalam Islam ketiga domain tersebut adalah ilmu, iman dan amal. Bab 4 Landasan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi -53