MENIKAH DI BAWAH UMUR OLEH MASYARAKAT MADURA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 MARRIAGE UNDER THE AGE REQUIREMENT BY MADURANESE ACCORDING TO THE LAW OF NUMBER 1 1974 OLEH: ARIS SUJARWONO, SH A.21212032 Dr.Firdaus,SH,M.Si H.Asikin,SH,M.Hum ABSTRAK Artikel ini berjudul “Menikah di Bawah Umur oleh Masyarakat Madura Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Studi ini diangkat karena banyak terjadi perkawinan di bawah umur yang dilakukan masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara. Hasil penelitian ini menunjukkan: 1) Kekuatan hukum perkawinan yang dilakukan di bawah umur tanpa adanya dispensasi dari pengadilan pada masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara sangat lemah; 2) Faktor yang menyebabkan terjadinya kawin di bawah umur pada masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara adalah faktor ekonomi, budaya, pendidikan, agama, telah melakukan hubungan intim, hamil di luar nikah dan lingkungan sementara faktor ekonomi merupakan faktor paling dominan; 3) Faktor yang menyebabkan masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara tidak taat pada pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah faktor kemauan masyarakat, faktor moral penegak hukum yang tidak dapat diteladani, dan faktor instrumental atau perangkat undang-undang tersebut tidak didukung oleh hukum yang lebih universal seperti HAM tidak menyebutkan batas usia minimal untuk menikah; 4) Upaya yang dapat dilakukan oleh instansi terkait untuk meminimalisir terjadinya perkawinan di bawah umur pada masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara melalui sosialisasi undang-undang / peraturan perkawinan, bimbingan, edukasi, dan seminar. This article entitled “Marriage Under the Age Requirement By Maduranese According to the Law of Number 1 1974. The result of this study indicate that: 1) Marriage done by Maduranese under the age requirement by the Law of 1994 without dispensation from court is very weak in the eye of law; 2) Many factors caused Maduranese getting marriage under the age requirement are: economy, culture, education, religion, sex, white elephant and environment, while economic factor of marriage under the age is dominant; 3) Factors caused Maduranese breaking the law of 1974 on marriage age reqirement are the will of Maduranese themselves, lawyer moral, and that law instruments are not in line with the human right as the upper law where the minimum age of marriage is not mentioned; 4) To 1 2 minimize this marriage under the age, government socialize law and regulation of marriage, through guidance, education, and seminar. Key note: Marriage Under the Age Requirement 3 1. Pendahuluan Pembentukan keluarga tidak akan terjadi tanpa melalui perkawinan. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan hukum dalam hukum tertulis (hukum negara) maupun hukum tidak tertulis (hukum adat).1 Hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.2 Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat yang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang ini yang merupakan hukum yang tidak tertulis. Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut : “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah matang jiwa dan raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. Implementasi Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 di masyarakat saat ini sudah cukup baik, dimana undang-undang ini tidak menganjurkan pernikahan di bawah umur terjadi di masyarakat. Ketentuan mengenai batas umur minimal dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”.3 Dari hal tersebut ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur. Pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar 1 Bgd. M. Leter, Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana, Padang: Angkasa Raya, 2005, hal. 7 2 Rapi, Aturan, Hukum dan Perundangan Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Rona Pancaran Ilmu, 2013, hal. 12 3 Ibid, hal. 14 4 orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin. Tetapi perkawinan di bawah umur dapat dengan terpaksa dilakukan karena Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan penyimpangannya. Dalam Pasal 7 ayat (2) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut.4 Keluarga sebagai institusi terkecil dalam sebuah masyarakat memegang peran yang penting bagi pembentukan generasi muda yang berkualitas. Menikah dimaksudkan untuk mencapai kebahagian dan ketentraman hidup manusia. Melalui pintu pernikahan seorang laki-laki dan perempuan bisa memenuhi kebutuhan biologisnya. Secara agama melalui perintah menikah ini pula Allah menunjukkan betapa besar kasih sayangnya kepada manusia dan betapa maha luas pengetahuan Allah akan kebutuhan manusia. Manusia yang sejak lahir dibekali potensi syahwat terhadap lawan jenis membutuhkan sarana untuk menyalurkan potensi tersebut, bila potensi ini tidak tersalurkan secara terarah, maka akan menimbulkan berbagai kerawanan. Untuk membentuk suatu keluarga yang harmonis dan sejahtera serta penuh dengan kebahagiaan yang kekal seperti yang dicita-citakan itu, masing-masing pihak yang akan melangsungkan perkawinan hendaknya telah dewasa baik secara psikologis maupun secara biologis, serta mampu untuk bertanggung jawab atas keluarga yang dibentuknya itu. Pemerintah telah mengeluarkan suatu bentuk Undang-Undang Perkawinan Nasional yang telah lama dicita-citakan oleh seluruh bangsa Indonesia pada tanggal 2 Januari 1974, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kemudian demi kelancaran pelaksanaannya dikeluarkan suatu Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang 4 Ibid 5 Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan mulai berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975.5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengandung isi yang sangat luas, yaitu mengatur masalah perkawinan, perceraian, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, dan juga mengatur masalah perwalian serta mengatur masalah pembuktian asal-usul anak. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip bahwa calon suami maupun calon isteri itu harus masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, dengan maksud agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan untuk mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Maka dari itu dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah ditentukan batas umur untuk melangsungkan perkawinan bagi pria maupun wanita, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Pembatasan umur untuk melaksanakan perkawinan ini dimaksudkan sebagai pencegahan terhadap perkawinan yang masih di bawah umur. Selain itu juga dimaksudkan untuk menunjang keberhasilan Program Nasional dalam bidang Keluarga Berencana. Hal ini juga dikehendaki oleh masyarakat dengan adanya tendensi pengunduran usia kawin. Dalam pelaksanaannya, di Kecamatan Pontianak Utara berdasarkan hasil pra riset menunjukan bahwa: Perbuatan cabul 1 kasus, perlindungan anak 1 kasus, melarikan anak di bawah umur 0 kasus (Sumber: Polsek Pontianak Utara). Hal ini menunjukkan bahwa kasus perkawinan di bawah umur yang masih sering terjadi di tengah-tengah masyarakat tidak dilaporkan sebagai kasus perlindungan anak. Ketika peneliti mendatang KUA Pontianak Utara tidak ditemukan adanya pernikahan di bawah umur. Hal ini menunjukkan bahwa orangtua yang menikahkan anaknya di bawah umur memalsukan identitasnya dengan menaikan usia, menikah sirih dulu atau tidak menikah di KUA selama usia belum mencukupi. Setelah peneliti ke lapangan peristiwa nikah di bawah umur sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Pontianak Utara terutama etnis Madura. 5 Ibid, hal. 35 6 Perkawinan di bawah umur akan menimbulkan berbagai akibat yang kurang menguntungkan, seperti kurang dapatnya suami atau isteri dalam mengatasi masalah yang timbul dalam keluarga yang dibentuknya itu, di samping itu juga timbulnya angka fertilitas yang cukup tinggi dari wanita kawin usia muda yang menimbulkan masalah kenaikan jumlah penduduk secara cepat. Salah satu faktor penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur adalah sistem pengesahan dokumen perkawinan masih memberi peluang bagi masyarakat untuk bisa menikahkan anaknya di bawah umur. Hal ini dapat dilakukan dengan mengubah usia anaknya dengan dibuatkan Kartu Tanda Penduduk yang menunjukkan usia sudah cukup untuk kawin. Hal lainnya yang sering dilakukan masyarakat Madura Pontianak Utara untuk dapat menikah di bawah umur adalah dengan melakukan ijab kabul terlebih dahulu dan atau nikah sirih terlebih dahulu, sampai batas usia yang dibolehkan baru melaksanakan pernikahan di Kantor Urusan Agama setempat. Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya, maka melalui penelitian ini, peneliti merasa perlu untuk mengkaji lebih mendalam tentang implementasi pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait dengan perkawinan yang dilakukan di bawah umur (Studi pada Masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara). 2. Masalah 1. Bagaimanakah kekuatan hukum perkawinan yang dilakukan di bawah umur tanpa adanya dispensasi dari pengadilan pada masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara? 2. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kawin di bawah umur pada masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara? 3. Faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara tidak taat pada pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974? 4. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh instansi terkait untuk meminimalisir terjadinya perkawinan di bawah umur pada masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara? 7 3. Pembahasan Menurut Beni Ahmad Saebani dan Encup Supriatna Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan yang berhubungan dengan perkawinan.6 Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.7 Berdasar Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta dicatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.8 Sementara sebagian besar masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara memegang teguh budaya mereka yang berkeyakinan bahwa perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut hukum Islam yaitu memenuhi rukun dan syarat: ada calon suami, ada calon istri, ada wali nikah, ada dua orang saksi dan ada ijab Kabul, tanpa memandang batasan usia dan tidak harus dicatat oleh Kantor Urusan Agama. Keyakinan agama masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara seperti inilah yang membuat sebagian besar di antara mereka menikah di bawah umur dan menikah di bawah tangan. Lebih dari itu, mereka tidak mau meminta dispensasi pengadilan meskipun ada kemungkinan dikabulkan. Konsekuensi pernikahan di bawah umur tanpa dispensasi dari pengadilan seperti yang dilakukan pada masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara tidak memiliki kekuatan hukum. Pasti ada faktor yang menyebabkan terjadinya kawin di bawah umur pada masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara. Faktor yang paling banyak disebut-sebut adalah faktor ekonomi, lingkungan, budaya dan pendidikan selain faktor pemahaman agama. Namun demikian tidak menutup kemungkinan adanya faktor baru di luar kebiasaan masyarakat Madura, seperti faktor free sex dan faktor hamil lebih dulu. 6 Beni Ahmad Saebani dan Encup Supriatna, Antropologi Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2012, hal. 157 7 Ahmad Zahari, Kapita Selekta Hukum Islam, Pontianak, FH Untan Press, 2010, hal. 73 8 Ibid. 8 Faktor-faktor di atas mengakibatkan masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara kurang mentaati hukum perkawinan terutama menyangkut usia minimum menikah seperti yang tertera dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi ketika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun pihak wanita (vide pasal 7 ayat 2). Pasti ada upaya yang dapat dilakukan oleh instansi terkait untuk meminimalisir terjadinya perkawinan di bawah umur pada masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berkaitan dengan perintah Allah untuk berpasang-pasangan yang dapat menentramkan batin bagi yang melaksanakannya dan dapat membantu memenuhi kebutuhan biologis serta untuk kelangsungan keturunan umat manusia. Oleh karena itu, perlu diungkapkan bahwa: Fungsi menikah adalah untuk menyempurnakan ketaatan terhadap perintah agama. Pernikahan merupakan bagian yang cukup sentral, yang memiliki makna sakral karena merupakan bagian dari ibadah, bahkan penyempurnaan setengah agama. Status hukum menikah dapat menjadi wajib, sunah, jaiz atau boleh, makruh, bahkan dapat menjadi haram atau terlarang.9 Berdasarkan fungsi menikah hukum menikah terkait keyakinan agama masyarakat ini, maka pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat dijadikan modal upaya instansi terkait untuk meminimalisisr terjadinya perkawinan di bawah umur. Deskripsi data hasil penelitian ini dapat peneliti jelaskan secara berurutan sesuai dengan masalah sebagai berikut: 9 Helmi Anshori, Tuntunan Keluarga Sakinah bagi Remaja Usia Nikah, Jakarta: Departemen Agama RI Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, 2004, hal. 4 9 a. Kekuatan Hukum Nikah di Bawah Umur Semua responden berjumlah 20 orang terdiri dari 10 pelaku nikah di bawah umur dan 10 orangtua / ayah pelaku. Semuanya tidak mengajukan dispensasi ke pengadilan. Hasil wawancara dengan responden mengenai kekuatan hukum dari sebuah perkawinan yang dilakukan di bawah umur tanpa adanya dispensasi dari pengadilan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Rekapitulasi Hasil Wawancara tentang Kekuatan Hukum Nikah di Bawah Umur Tanpa Dispensasi Pengadilan No Nama Masih berhubungan ada konflik tanpa konflik Sudah ditinggalkan ada tuntutan tanpa tuntutan 1 Markonah 2 Sutinah 3 Solehah 4 Rukinah 5 Matjei 6 Munaroh 7 Markisyah 8 Ruba’i 9 Syakiyah 10 Rumenah 11 Pak Darwis 12 Pak Toleh 13 Pak Juhari 14 Pak Moneri 15 Pak Ruji 16 Pak Sefe’i 17 Pak Amat 18 Pak Rojaih 19 Pak Solehin 20 Pak Matsuri Jumlah 5 6 0 9 Persentase 25% 30% 0% 45% Semua responden tidak mendapat dispensasi dari pengadilan karena bukan budaya orang Madura membawa hukum keluarga ke pengadilan. Dalam penelitian ini ada 25% responden yang menikah pada usia dini dari 100% responden yang masih berhubungan namun dipenuhi dengan konflik. Responden yang menikah di bawah umur tanpa konflik berjumlah 30% atau 10 5% lebih besar dari yang rumah tangganya mengalami konflik. Sisanya 45% sudah bercerai tanpa kejelasan atau tidak tertulis sebagaimana menikahnya sehingga merugikan pihak wanita ketika ingin menikah lagi dengan orang lain. Pihak keluarga tidak dapat menuntut karena tidak memiliki kekuatan hukum sama sekali. Selain itu ada pula pernikahan dini antara gadis berusia 16 tahun ke bawah dengan pria tua tiga kali lipat lebih usianya sebanyak 2 responden atau 10%. Pernikahan usia anak atau lebih dikenal dengan istilah pernikahan di bawah umur merupakan salah satu fenomena sosial yang banyak terjadi di berbagai tempat di Pontianak Utara, baik oleh etnis lain terutama Madura, baik kalangan menengah ke atas terutama menengah ke bawah, padahal Pontianak Utara adalah daerah industri perkotaan. Kondisi ini menampakkan kesederhanaan pola pikir masyarakatnya sehingga mengabaikan banyak aspek yang seharusnya menjadi syarat dari suatu perkawinan. Setelah menikah seorang gadis Madura tidak harus meninggalkan semua aktivitasnya dan tidak hanya mengurusi rumah tangganya, begitu pula suaminya tidak terlalu dituntut untuk memiliki tanggung jawab seperti pada etnis-etnis lain karena perempuan Madura lebih mandiri untuk mencari nafkah, kita kenal dengan Bibi Madura mencari uang dan mengumpulkan emas sebagai tabungan di hari tua. Tingginya angka pernikahan usia anak di kalangan Madura Pontianak Utara, menunjukkan bahwa pemberdayaan law enforcement dalam hukum perkawinan di sana masih rendah. Apapun alasannya, masa muda adalah masa yang sangat indah untuk dilewatkan, dengan hal-hal yang positif. Masa muda adalah waktu untuk membangun emosi, kecerdasan dan fisik. Ketiganya merupakan syarat dalam menjalani kehidupan yang lebih layak pada masa depan. Pernikahan dini pada masyarakat Madura Pontianak Utara merupakan gejala sosial masyarakat yang dipengaruhi oleh kebudayaan yang mereka anut dari daerah asalnya, yaitu tindakan yang dihasilkan oleh olah pikir masyarakat Madura terutama oleh para alim ulamanya didasari oleh ajaran 11 Islam yang ditafsirkan dengan versi mereka. Ini sifatnya masih mengakar kuat pada kepercayaan masyarakat Madura tersebut. Hal ini terbukti dari 10 orangtua yang diwawancari 9 membela budaya tersebut, hanya 1 pengungsi asal Sambas yang mengaku terpaksa. Hal yang sangat penting untuk dipikirkan adalah bagaiana keuntungan atau sebaliknya, hanya kerugian yang didapatkan. Dalam pernikahan dini ini banyak sekali dampak yang dapat ditimbulkan baik secara sosial, psikologi, dan kesehatan. Namun yang peneliti bahas saat ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhinya.. Hal ini sangat penting untuk diulas karena faktor-faktor itu akan menjadi rujukan usaha ke depan bagi pemerintah untuk merubahnya, dan juga untuk dijadikan pelajaran bagi etnis lainnya karena majunya suatu negara dapat diimplikasikan dengan kualitas generasi baru. Fenomena tersebut menuntut perhatian semua pihak untuk memperhatikan masa depan anak sebagai generasi yang akan melanjutkan pembangunan bangsa dan negara. Haruskah direnggut kemerdekaan anak hanya karena sebuah ketakutan? Benarkah pernikahan di bawah umur satusatunya solusi atas kekahwatiran-kekhawatiran yang ada? Dan bagaimanakah pertanggung jawaban yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang diakibatkan oleh pernikahan dini, terutama hak mereka untuk mendapatkan perlindungan atas beban yang seharusnya belum ditanggung dan gangguan lain yang mungkin terjadi. Permasalahan nikah di bawah umur bagi masyarakat Madura Pontianak Utara yang hampir seluruhnya dilakukan dengan tidak mentaati aturan hukum positif begitu rumit, karena secara hukum sangat lemah. Lemah karena umumnya mereka menikah secara siri karena persyaratan nikah di KUA dalam kondisi tersebut harus mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama. Kalau pun menikah di KUA tetap menggunakan caracara yang melanggar hukum, yaitu memalsukan identitas dengan menaikan umur, semua identitas dibuat baru dengan cara pemutihan misalnya karena rumah terbakar. Ketika permasalahan datang, anak yang melakukan pernikahan dini tersebut sangat dirugikan misalnya ditinggalkan begitu saja 12 oleh suaminya tanpa diberi nafkah, sulit melakukan pernikahan yang sesungguhnya dengan pria lain karena umumnya ketika pernikahan kedua (baik secara sah di KUA maupun sama seperti cara pernikahan pertama) berhasil, suami pertamanya melihat dari kejauhan, iri hati dan tiba-tiba muncul bahwa dirinya belum bercerai dengan wanita tersebut. Kondisi ini sering menimbulkan pembunuhan. b. Faktor Nikah di Bawah Umur Pernikahan di bawah umur yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara berdasarkan hasil wawancara dengan 20 responden dilandasi oleh faktor sebagai berikut: Tabel 2 Rekapitulasi Hasil Wawancara tentang Faktor Nikah di Bawah Umur No Nama Samaran Lingkungan Ekonomi Agama Faktor Pendidikan Budaya 1 Markonah 2 Sutinah 3 Solehah 4 Rukinah 5 Matjei 6 Munaroh 7 Markisyah 8 Ruba’i 9 Syakiyah 10 Rumenah 11 Pak Darwis 12 Pak Toleh 13 Pak Juhari 14 Pak Moneri 15 Pak Ruji 16 Pak Sefe’i 17 Pak Amat 18 Pak Rojaih 19 Pak Solehin 20 Pak Matsuri Free Sex Hamil Jumlah 1 5 2 3 4 3 2 Persentase 5% 25% 10% 15% 20% 15% 10% 13 Menikah sebelum cukup usia ternyata masih ada di jaman modern sekarang ini. Hal tersebut tentu tak lepas dan sangat dipengaruhi oleh budaya yang berkembang di masyarakat bahwa wanita tak boleh sampai terlambat menikah, atau mempunyai alasan jika dinikahkan dengan orang yang sudah berada, tidak perlu khawatir masa depannya akan terpuruk. Oleh karena itu banyak anak-anak usia remaja di Pontianak Utara sudah dinikahkan. Bahkan ada budaya perjodohan sejak anak perempuan belum lulus SD atau masih SMP. Namun saat ini, alasan budaya tidak semata-mata sebagai alasan utama keluarga menikahkan anak perempuannya saat masih belia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di sini, pernikahan dini karena perjodohan atau budaya saat usia sekolah masih terbilang tinggi, yaitu 20%. Sementara faktor ekonomi 5% lebih besar dari faktor budaya, 25%. Data pada tabel 4.4 menunjukkan adanya penyebab terjadinya pernikahan usia dini yang tidak lazim ditemui di kalangan masyarakat Madura yang religius, yaitu akibat sudah melakukan hunbungan intim (free sex) sebesar 15% dan hamil di luar nikah sebesar 10%. Penelitian ini menemukan 15% menikah di bawah umur karena pendidikan yang rendah, 10% karena pemahaman agama yang dangkal dan sisanya 5% karena lingkungan. Umumnya menikah dipaksa orangtua karena ingin memperbaiki ekonomi dan keluar dari kemiskinan mendominasi penyebab nikah di bawah umur dalam penelitian ini. Namun secara umum, perkawinan usia anak di bawah umur pada masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara ini tidak terlepas dari tradisi lama yang sudah turun temurun yang menganggap perkawinan pada usia anak-anak sebagai suatu hal yang wajar. Dalam masyarakat Madura Pontianak Utara, bila anak gadisnya tidak segera memperoleh jodoh, orang tua merasa malu karena anak gadisnya belum menikah. c. Faktor yang Menyebabkan Masyarakat Madura Tidak Taat Hukum Tidak taat hukum di sini maksudnya hanya hukum batasan usia perkawinan yang tertera dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, berdasarkan hasil wawancara dapat direkap dalam tabel berikut: 14 Tabel 3 Rekapitulasi Hasil Wawancara tentang Faktor Penyebab Masyarakat Madura Tidak Taat pada Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 No Nama Penegak Hukum Faktor Isi UndangInstrumental Undang Masyarakat / Sosial 1 Markonah 2 Sutinah 3 Solehah 4 Rukinah 5 Matjei 6 Munaroh 7 Markisyah 8 Ruba’i 9 Syakiyah 10 Rumenah 11 Pak Darwis 12 Pak Toleh 13 Pak Juhari 14 Pak Moneri 15 Pak Ruji 16 Pak Sefe’i 17 Pak Amat 18 Pak Rojaih 19 Pak Solehin 20 Pak Matsuri Jumlah 5 4 1 12 Persentase 15% 20% 5% 60% Berdasarkan tabel di atas, maka dapat dikatakan bahwa faktor terbesar penyebab masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara tidak taat pada pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah masyarakat / sosial itu sendiri yang menghendaki nikah di bawah umur atau mereka tidak mau diatur karena kemauan sendiri. Hal ini terbukti 60% dari responden yang ditanya menyatakan bahwa mereka tidak mentaati undangundang tersebut tidak terkait dengan moral penegak hukum, isi undangundang dan perangkat hukum lainnya melainkan karena masyarakat / sosialnya menghendaki seperti itu. 15 Faktor terbesar kedua penyebab masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara tidak taat pada pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah isi undang-undang perkawinan itu tidak sejalan dengan arus utama pandangan masyarakat Madura yang tidak memiliki batasan usia nikah. Hal ini terbukti 20% dari responden yang ditanya menyatakan bahwa mereka tidak taat pada undang-undang tersebut karena isi undang-undangnya tidak sepaham dengan kebanyakan masyarakat Madura. Faktor ketiga penyebab masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara tidak taat pada pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah moralitas penegak hukum yang tidak lebih bersih dari orang Madura itu sendiri. Hal ini terbukti 15% dari responden yang ditanya menyatakan bahwa mereka mereka tidak mentaati undang-undang tersebut tidak terkait dengan isi undang-undang, masyarakat / sosial dan perangkat hukum lainnya melainkan karena penegak hukum tidak dapat dipercaya. Sebagian mereka mengungkapkan ada aparat hukum sudah tua yang menikah sirih dengan wanita muda. Faktor penyebab terendah mengapa masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara tidak taat pada pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena instrumen undang-undang yang mengatur batasan usia nikah tidak sejalan dengan atau tidak didukung oleh instrumen hukum yang lebih universal seperti HAM. Hal ini terbukti 5 dari responden yang ditanya menyatakan bahwa mereka tidak taat pada undang-undang tersebut karena cacat instrumental, karena instrumen HAM saja tidak mengatur batasan usia nikah. d. Upaya Meminimalisir Penikahan Dini oleh Instansi Terkait Hasil wawancara dengan responden mengenai upaya apa yang telah dilakukan oleh instansi terkait untuk dapat meminimalisir terjadinya perkawinan di bawah umur di Kecamatan Pontianak Utara yang berbentuk nasehat, saran, dan penyampaian informasi dapat dilihat pada tabel berikut: 16 Tabel 4 Rekapitulasi Hasil Wawancara tentang Upaya Meminimalisir Perkawinan di Bawah Umur No Nama Struktural Kementerian Dinas Agama Kesehatan Fungsional Puskesmas Sekolah / Rumkit Implementor 1 Markonah 2 Sutinah 3 Solehah 4 Rukinah Kepsek 5 Matjei Guru 6 Munaroh 7 Markisyah 8 Ruba’i 9 Syakiyah 10 Rumenah 11 Pak Darwis 12 Pak Toleh Staf Kemenag 13 Pak Juhari Pihak KUA 14 Pak Moneri Pegawai KUA 15 Pak Ruji 16 Pak Sefe’i 17 Pak Amat 18 Pak Rojaih Pihak KUA 19 Pak Solehin Pihak KUA 20 Pak Matsuri Guru Staf KUA Bidan Staf Kemenag Staf Dinkes Guru Dokter Staf Kemenag Guru Guru Kepala KUA Jumlah 9 2 Persentase 45% 10% Bidan Kasi Dinkes 6 3 30% 15% Berdasarkan tabel di atas upaya yang telah dilakukan untuk dapat meminimalisir terjadinya perkawinan di bawah umur di Kecamatan Pontianak Utara dilakukan 45% oleh Kementerian Agama melalui implementornya di KUA Pontianak Utara, Kementrian Agama Kota Pontianak dan Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Barat. Upaya tersebut juga dilakukan 10% oleh Dinas Kesehatan melalui implementornya staf dan kepala seksi di Dinas Kesehatan. Selain itu, pihak fungsional seperti sekolah turut meminimalisir terjadinya perkawinan di bawah umur di Kecamatan Pontianak Utara sebesar 30% melalui implementornya guru dan kepala sekolah. Terakhir, masih pihak fungsional, Puskesmas dan Rumah Sakit turut meminimalisir terjadinya 17 perkawinan di bawah umur di Kecamatan Pontianak Utara sebesar 15% melalui implementornya bidan dan dokter. Sementara upaya yang berbentuk sosialisasi dapat dilihat dari hasil wawancara dengan Kepala KUA Pontianak Utara, Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kota Pontianak dan Kepala Bidang Urusan Agama Islam Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Barat sebagai berikut: 1. KUA Pontianak Utara tidak mempunyai DIPA atau anggaran untuk sosialisasi tetapi mereka mengirimkan pelaksana atau stafnya untuk mengikuti kegiatan sosialisasi pada tingkat Kanwil untuk selanjutnya apa yang didapat dari sosialisasi disampaikan kepada masyarakat dengan bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat. Kepercayaan atau pengetahuan baru yang datang pada masyarakat yang sudah mempunyai kebudayaan yang kuat biasanya sangat sulit untuk diterima oleh masyarakat tersebut. Oleh karena itu strategi perlu dilakukan, pada awalnya kita dapat melakukan pendekatan pada tokoh agama atau tokoh masyarakat yang ada di daerah setempat. Setelah itu kita dapat melakukan kerja sama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat tersebut untuk menyuluhkan hal- hal yang sudah diketahuinya pada masyarakat. Dengan demikian, sesuatu yang baru itu akan mudah diterima oleh masyarakat setempat. Tentu ini mempunyai andil yang cukup besar dalam pengambilan keputusan. 2. Seksi Urusan Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kota Pontianak tidak biasa menyelenggarakan kegiatan sosialisasi termasuk sosialisasi undang-undang / peraturan perkawinan adalah Kanwil. Mereka biasanya diminta untuk menjadi peserta. Sebisa mungkin mereka menyampaikan hasil sosialisasi tersebut ke struktur lebih bawah, KUA atau langsung kepada masyarakat. Usaha lain, mengadakan kegiatan keluarga sakinah. Kegiatan ini dikelola langsung oleh Kementerian Agama Kota Pontianak. dengan memberikan penyuluhan kepada orangtua dan masyarakat. Memang mengubah suatu kepercayaan, dan budaya masayarakat tidaklah 18 mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Namun penyuluhan ini sangatlah penting agar para orang tua dan masyarakat mengetahui dampak apa saja yang dapat ditimbulkan karena pernikahan dini. Memang sebagian besar masyarakat atau orang tua segera menikahkan anaknya untuk melepas tanggung jawabnya untuk menfkahi sehingga dirasa dapat meringankan beban keluarga. Namun tanpa disadari, setiap satu remaja yang terjerumus dalam pernikahan dini faktanya menyumbangkan kemiskinan. Karena dalam usia dini, apalagi di pedesaan, para penduduknya tidak mempunyai perbekalan pendidikan dan keahlian yang dapat menunjang masa depan mereka. Kenyataan pun juga menunjukkan mereka pada akhirnya mengikuti orang tua karena belum mempunyai biaya untuk membeli rumah sendiri. Tak jarang juga akhirnya banyak pengangguran. 3. Bidang Urusan Agama Islam Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Barat mensosialisasikan peraturan-peraturan pernikahan otomatis undang-undang pernikahan disinggung termasuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Karena undang-undang ini sudah cukup lama tidak mungkin judul itu dimasukkan dalam DIPA. Usaha lain sosialisasi keluarga sakinah. Lebih dari itu, Keluarga Sakinah ini ada Seksinya pada struktur Bidang Urusan Agama Islam Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Barat. Di sini ada bimbingan dan kejelasan tentang sex education. Pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi atau istilah kerennya sex education sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Ini penting untuk mencegah biasnya pendidikan seks maupun pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Materi pendidikan seks bagi para remaja ini terutama ditekankan tentang upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk bagi para remaja. Meninjau berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih 19 timbul pro-kontra di masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar masyarakat masih memandang pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar. Berdasarkan sudut pandang psikologis, pendidikan seksual sangat diperlukan bagi perkembangan remaja, dengan harapan agar remaja tidak memiliki kesalahan persepsi terhadap seksualitas dan tidak terjebak pada perilaku-perilaku yang kurang bertanggungjawab baik dari segi kesehatan maupun psikologi Secara hukum, usia perkawinan anak dilegitimasi oleh Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam pasal 7 ayat 1, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (sembilanbelas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enambelas) tahun.” Pasal 26 UU R.I Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, orang tua diwajibkan melindungi anak dari perkawinan dini, tetapi pasal ini, sebagaimana UU Perkawinan, tanpa ketentuan sanksi pidana sehingga ketentuan tersebut nyaris tidak ada artinya dalam masyarakat Madura Kecamatan Pontianak Utara melindungi anak-anak mereka dari ancaman perkawinan dini. Sebenarnya, hampir semua orang termasuk orang Madura Pontianak Utara mengetahui hal ini dari sesepuh mereka dan mereka lebih ditekankan untuk lebih taat pada agama. Ditambah problem ekonomi membuat orang Madura lebih tidak memperdulikan undang-undang penikahan tersebut. Bagi mereka hal yang ada sanksinya pun sering dilanggar, apalagi tanpa sanksi seperti menikahkan anak di bawah umur. Fenomena pernikahan pada usia anak di daerah Kecamatan Pontianak Utara tidaklah jauh berbeda dengan di daerah lainnya mengingat fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks pra-nikah sering berujung pada pernikahan dini serta kultur masyarakat Madura yang masih memosisikan anak perempuan sebagai warga kelas kedua dan ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi dan sosial. Berdasarkan hasil penelitian ini, salah satu penyebab pernikahan bawah umur yang tidak disebutkan tetapi tampak pada wawancara adalah karena 20 dipaksa orangtua. Hal tersebut memang sering terjadi. Perjodohan yang diterima anak dengan keterpaksaan bukan hanya menimbulkan dampak buruk bagi psikologisnya, tapi juga kesehatannya. Ancama depresi pun dapat menyerangnya. Menurut hasil penelitian ini, di Pontianak Utara pernikahan dini seluruhnya dilakukan oleh pasangan baru kecuali pihak laki-lakinya. Biasanya, pernikahan dini dilakukan oleh pasangan usia muda yang rata-rata umurnya antara 13-15 tahun bagi wanita dan 15-18 bagi pria. Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik secara psikis emosional, ekonomi dan sosial. Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat mengindikasi sikap tidak apresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan dalam pernikahan. Faktor-faktor yang memicu terjadinya pernikahan di bawah umur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Faktor Lingkungan Alasan orang tua segera menikahkan anaknya dalam usia muda adalah untuk segera mempersatukan ikatan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dan kerabat mempelai perempuan yang mereka inginkan bersama. Keinginan adanya ikatan tersebut akan membawa keuntungan-keuntungan bagi kedua belah pihak, yaitu dimana mempelai laki-laki setelah menikah tinggal di rumah mertua serta anak laki-laki tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bantuan tenaga kerja bagi mertuanya. Selain itu untuk memelihara kerukunan dan kedamaian antar kerabat dan untuk mencegah adanya perkawinan dengan orang lain yang tidak disetujui oleh orang tua atau kerabat yang bersangkutan dengan dilaksanakannya perkawinan tersebut. 21 2) Faktor Ekonomi Alasan orang tua menikahkan anaknya dalam usia muda dilihat dari faktor ekonomi adalah: a) Untuk sekedar memenuhi kebutuhan atau kekurangan pembiayaan hidup orang tuanya, khususnya orang tua mempelai wanita; b) Untuk menjamin kelestarian ataupun perluasan usaha orang tua mempelai laki-laki dan orang tua mempelai perempuan sebab dengan diselenggarakannya perkawinan anaknya dalam usia muda dimaksudkan agar kelak si anak dari kedua belah pihak itu yang sudah menjadi suami istri, dapat menjamin kelestarian serta perkembangan usaha dari kedua belah pihak orang tuanya. 3) Faktor Agama Agama untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sepanjang zaman. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia juga disertai dengan pedoman agama, hal ini untuk menjaga agar manusia tidak hancur ke dalam perbuatan dosa, dan disamping itu juga dibekali oleh akal sebagai alat untuk berpikir dan menalar segala permasalahan yang dihadapinya, salah satunya aspek yang diatur oleh agama adalah lembaga perkawinan. Lembaga perkawinan juga mempunyai andil besar dalam pernikahan seseorang. Tugas yang seharusnya dilakukan adalah menikahkan anak- anak yang sudah mempunyai kecukupan umur dan mempunyai kesiapan secara psikologis serta mempunyai kemampuan secara finansial yang bisa menunjang kehidupan rumah tangganya esok. 4) Faktor Pendidikan Rendahnya tingkat pendidikan menjadikan para remaja tidak mengetahui berbagai dampak negatif dari pernikahan anak. Dengan demikian meraka menikah tanpa memiliki bekal yang cukup.Tentang dampak bagi kesehatan reproduksi, mereka tentu tidak tahu. Untuk itu perlu sosialisasi dampak negatif ini, karena rata-rata mereka hanya lulusan SD. Padahal pentingnya untuk memberikan pendidikan seks mulai anak berusia dini. Hal ini bertujuan agar anak nantinya setelah dewasa mengetahui betul perkembangan reproduksi mereka, bagaimana menjaga kesehatan reproduksi 22 mereka, dan kapan atau pada usia berapa mereka sudah bisa memantaskan diri untuk siap melakukan hubungan yang sehat. 5) Faktor Budaya Faktor budaya juga turut mengambil andil yang cukup besar, karena kebudayaan ini diturunkan dan sudah mengakar layaknya kepercayaan. Dalam budaya setempat mempercayai apabila anak perempuannya tidak segera menikah, itu akan memalukan keluarga karena dianggap tidak laku dalam lingkungannya. Atau jika ada orang yang secara finansial dianggap sangat mampu dan meminang anak mereka, dengan tidak memandang usia atau status pernikahan, kebanyakan orang tua menerima pinangan tersebut karena beranggapan masa depan sang anak akan lebih cerah, dan tentu saja ia diharapkan bisa mengurangi beban sang orang tua. Tak lepas dari hal tersebut, tentu saja banyak dampak yang tidak terpikir oleh mereka sebelumnya. 6) Faktor Free Sex Faktor telah melakukan hubungan biologis sebelum menikah merupakan faktor paling mutakhir. Masyarakat Madura sebenarnya paling pantang melakukan ini sebelum menikah. Namun karena kemajuan sosial dan perubahan cara berpikir masyarakat global, muda-mudi etnis terpengaruh karena mereka juga bagian dari masyarakat global. 7) Faktor Hamil Hamil lebih dulu sebagai akibat dari telah melakukan hubungan biologis, namun dibedakan dari faktor free sex karena faktor free sex belum tentu hamil. Faktor hamil sudah pasti hamil. Keduanya memang menimbulkan nikah yang dipaksakan oleh tanggung jawab sebagai konsekuensi perbuatan yang dianggap memalukan kedua keluarga. Sementara upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah pernikahan muda, yaitu: Usaha pertama melalui sosialisasi undang-undang dan peraturan perkawinan. Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) 23 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Usaha kedua melalui bimbingan kepada remaja dan kejelasan tentang sex education. Pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi (kespro) atau istilah kerennya sex education sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Ini penting untuk mencegah biasnya pendidikan seks maupun pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Materi pendidikan seks bagi para remaja ini terutama ditekankan tentang upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk bagi para remaja. Meninjau berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih timbul pro-kontra di masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar masyarakat masih memandang pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar. Berdasarkan sudut pandang psikologis, pendidikan seksual sangat diperlukan bagi perkembangan remaja, dengan harapan agar remaja tidak memiliki kesalahan persepsi terhadap seksualitas dan tidak terjebak pada perilaku-perilaku bertanggungjawab baik dari segi kesehatan maupun psikologis. yang kurang 24 Usaha ketiga dengan memberikan penyuluhan kepada orang tua dan masyarakat. Memang mengubah suatu kepercayaan, dan budaya masayarakat tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Namun penyuluhan ini sangatlah penting agar para orang tua dan masyarakat mengetahui dampak apa saja yang dapat ditimbulkan karena pernikahan dini. Memang sebagian besar masyarakat atau orang tua segera menikahkan anaknya untuk melepas tanggung jawabnya untuk menfkahi sehingga dirasa dapat meringankan beban keluarga. Namun tanpa disadari, setiap satu remaja yang terjerumus dalam pernikahan dini faktanya menyumbangkan kemiskinan. Karena dalam usia dini, apalagi di pedesaan, para penduduknya tidak mempunyai perbekalan pendidikan dan keahlian yang dapat menunjang masa depan mereka. Kenyataan pun juga menunjukkan mereka pada akhirnya mengikuti orang tua karena belum mempunyai biaya untuk membeli rumah sendiri. Tak jarang juga akhirnya banyak pengangguran. Usaha keempat bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat melalui kegiatan sosialisasi. Beberapa tokoh agama dan masyarakat diundang mengikuti kegiatan misalnya sosialisasi keluarga sakinah. Kepercayaan atau pengetahuan baru yang datang pada masyarakat yang sudah mempunyai kebudayaan yang kuat biasanya sangat sulit untuk diterima oleh masyarakat tersebut. Oleh karena itu strategi perlu dilakukan, pada awalnya kita dapat melakukan pendekatan pada tokoh agama atau tokoh masyarakat yang ada di daerah setempat. Setelah itu kita dapat melakukan kerja sama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat tersebut untuk menyuluhkan hal- hal yang sudah diketahuinya pada masyarakat. Dengan demikian, sesuatu yang baru itu akan mudah diterima oleh masyarakat setempat. Tentu ini mempunyai andil yang cukup besar dalam pengambilan keputusan. 4. Penutup a. Kesimpulan Implementasi pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait dengan perkawinan yang dilakukan di bawah umur pada masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara dilaksanakan 25 dengan cara melanggar hukum, undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia. 1) Kekuatan hukum perkawinan yang dilakukan di bawah umur tanpa adanya dispensasi dari pengadilan pada masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara sangat lemah karena dispensasi dari Pengadilan Agama bagi pelaku nikah di bawah umur merupakan salah satu syarat diterbitkannya surat nikah. 2) Faktor yang menyebabkan terjadinya kawin di bawah umur pada masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara adalah faktor ekonomi, budaya, pendidikan, agama, telah melakukan hubungan intim, hamil di luar nikah dan lingkungan. 3) Faktor yang menyebabkan masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara tidak taat pada pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah faktor kemauan masyarakat / sosial Madura itu sendiri, faktor content atau isi undang-undang yang tidak dapat selaras dengan kemauan masyarakat, faktor moral penegak hukum yang tidak dapat diteladani, dan faktor instrumental atau perangkat undang-undang tersebut tidak didukung oleh hukum yang lebih universal seperti HAM tidak menyebutkan batas usia minimal untuk menikah. 4) Upaya yang dapat dilakukan oleh instansi terkait untuk meminimalisir terjadinya perkawinan di bawah umur pada masyarakat Madura di Kecamatan Pontianak Utara melalui sosialisasi undang-undang / peraturan perkawinan secara intensif. b. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas dan pembahasan pada bagian sebelumnya, dapat disarankan sebagai berikut: 1) Menikah di bawah umur baik oleh masyarakat Madura maupun etnis lainnya sebaiknya jangan dilakukan karena efek negatif terkait kesiapan mental dan fisik anak, sosial dan ekonomi anak yang masih labil. 2) Faktor ekonomi hendaknya tidak dijadikan alasan untuk menikahkan anak di bawah umur. Selain itu, ada kebiasaan dan pemahaman agama yang 26 eksklusif seharusnya diselaraskan atau paling tidak dibandingkan dengan main stream atau arus utama pemikiran positif yang sedang berkembang bahwa segala sesuatu yang merugikan diri sendiri dan keluarga itu tidak pantas dilakukan dengan beralaskan agama dan budaya atau dengan membuat alibi serta pembenaran yang sebenarnya bertentangan dengan hati nurani yang paling dalam. 3) Seharusnya masyarakat apa pun mentaati setiap undang-undang produk dalam negeri meskipun tidak universal karena kita harus memiliki kearifan lokal, termasuk mentaati pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan terkait batas usia minimum untuk dapat menikah. 4) Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang-undang terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi-sanksi bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resikoresiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, termasuk Madura Pontianak Utara. 5. Daftar Pustaka Ahmad Zahari, 2010, Kapita Selekta Hukum Islam, Pontianak, FH Untan Press. Beni Ahmad Saebani dan Encup Supriatna, 2012. Antropologi Hukum, Bandung: Pustaka Setia. Bgd. M. Leter, 2005. Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana, Padang: Angkasa Raya Helmi Anshori, 2004. Tuntunan Keluarga Sakinah bagi Remaja Usia Nikah, Jakarta: Departemen Agama RI Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah. Dokumen/Artikel: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.