BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang kaya akan berbagai macam tumbuhan yang diantaranya mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi obat. Perubahan pola pikir masyarakat dengan sikap back to nature membuat perkembangan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia semakin meningkat, apalagi dengan adanya program saintifikasi jamu yang merupakan suatu program dari Kementerian Kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan jamu di kalangan medis terutama dokter (Pramono, 2011). Hal ini memacu banyaknya bahan tanaman yang digunakan dalam pengobatan untuk berbagai macam penyakit diantaranya hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah suatu keadaan yang disebabkan karena adanya kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan kadar trigliserida dan kolesterol di dalam darah (Velayutham et al., 2008). Kondisi hiperlipidemia yang berkelanjutan memicu terbentuknya arterosklerosis yang menjadi faktor resiko terjadinya penyakit jantung koroner yang merupakan salah satu penyebab kematian utama di Negara maju dan berkembang (Departemen Farmakologi dan Teraupetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007). Dari sekian banyak tanaman anti hiperlipidemia yang ada di Indonesia, kita bisa menggunakan ramuan jamu dari campuran akar kelembak, daun kemuning, daun jati belanda, herba meniran, rimpang kunyit dan rimpang 1 2 temulawak untuk digunakan dalam pengobatan hiperlipidemia. Pengobatan dengan ramuan ini mempunyai parameter yang berkaitan dengan pendekatan holistik untuk efek promotif dan preventif serta parameter yang terkait dengan efek kuratif ramuan (Pramono, 2011). Tanaman tersebut masing-masing mempunyai berbagai khasiat dan kandungan senyawa aktif yang berbeda-beda, namun tetap saling mendukung dan berkaitan. Akar kelembak mengandung antrakinon rhein dan turunannya yang memiliki efek laksatif sehingga kesempatan absorpsi lemak dan kolesterol menjadi kecil. Namun demikian, kelembak juga mengandung tanin yang berefek anti peristaltik usus sehingga bersifat kontraindikasi dengan efek laksatif. Penggunaan yang dominan untuk kedua senyawa tersebut tergantung pada kondisi pasien itu sendiri, apakah pasien cenderung mudah buang air besar atau justru sebaliknya mengalami kesulitan untuk buang air besar. Daun kemuning telah terbukti menghambat kenaikan berat badan tikus percobaan, namun mekanisme serta zat aktif yang bertanggung jawab terhadap efeknya belum diketahui. Daun jati belanda mengandung polisakarida berupa lendir atau musilago yang dapat mengembang di rongga perut sehingga dapat menekan rasa lapar. Selain itu, alkaloid yang terkandung di dalamnya dapat menghambat aktivitas enzim lipase di saluran pencernaan sehingga lemak yang dikonsumsi tidak terhidrolisis dan tidak diabsorpsi oleh fili-fili usus. Sedangkan untuk herba meniran, rimpang temulawak dan rimpang kunyit berperan dalam menjaga kebugaran tubuh karena berhubungan langsung dengan efek herba meniran sebagai peningkat daya tahan 3 tubuh, efek rimpang kunyit sebagai pelancar pencernaan dan pereda nyeri dan efek rimpang temulawak sebagai penyegar (Pramono, 2011). Namun kendala secara umumnya di masyarakat adalah pengobatan dengan ramuan tersebut menimbulkan rasa yang sangat pahit sehingga penggunaannya tidak terlalu digemari di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai formulasi baru sediaan infusa menjadi sediaan dalam bentuk lain yang berfungsi untuk menurunkan lipid plasma yang sama dalam penggunaannya sebagai anti hiperlipidemia, sehingga kandungan bahan dari sediaan itu sendiri tidak berkurang. B. Rumusan Masalah 1. Apakah perubahan bentuk sediaan infusa menjadi ekstrak kering dalam ramuan anti hiperlipidemia tidak mempengaruhi kandungan zat aktif tanaman yang digunakan sebagai penurun lipid plasma? 2. Berapakah penambahan bahan pengering yang tepat dalam pembuatan ekstrak kering dari campuran ekstrak tanaman yang digunakan dalam ramuan anti hiperlipidemia? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk merubah suatu sediaan rebusan anti hiperlipidemia dalam bentuk infusa ke ekstrak kering tanpa mengurangi kandungan dari bahan yang digunakan dalam ramuan tersebut. 4 D. Tinjauan Pustaka 1. Kelembak (Rheum officinale Baill.) Klasifikasi tanaman kelembak adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Polygonales Famili : Polygonaceae Genus : Rheum Spesies : Rheum officinale Baill. (Backer & Bakhuizen, 1965) a. Morfologi Kelembak termasuk tanaman perdu atau terna, yang tumbuh kadangkadang memanjat, jarang yang berupa pohon, tidak berduri, tanpa getah lateks. Daunnya tersusun spiral, kadang-kadang berhadapan atau melingkar, umumnya ada seludang daun atau upih. Bunganya hermafrodit, jarang berumah 1 atau 2, muncul di ketiak daun atau di ujung ranting; aktinomorf, ada kelopak tetapi tidak ada mahkota. Tepala 4-6, benang sari 4-9. Bakal buahnya menumpang, pipih atau berbentuk segitiga, beruang 1, isi 1 bakal biji. Buahnya kering tidak terbelah dan bijinya tidak bersayap (Sutrisno, 1998). 5 Kelembak mempunyai akar berupa potongan padat, keras, berat, bentuknya hampir silindrik, serupa kerucut atau berbentuk kubus cekung, pipih atau tidak beraturan. Kadang berlubang dengan panjang 5 cm sampai 15 cm, lebarnya 3 cm sampai 10 cm, permukaannya yang terkupas agak tersudut-sudut, umumnya diliputi serbuk berwarna kuning kecoklatan terang, bagian dalamnya berwarna putih keabuan dengan garis-garis coklat kemerahan. Pada pengamatan dengan kaca pembesar terhadap bidang melintang terlihat garis-garis tersebut pada beberapa tempat merupakan bentuk bintang. Patahan melintang tidak rata, berbutir-butir putih kelabu, merah muda sampai coklat merah (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995). b. Kandungan Kimia Kelembak mempunyai kandungan antranoid, khusunya glikosida antrakinon seperti rhein (semosida A dan B), aloe-emodin, physcion. Juga mengandung asam oksalat, tanin yaitu gallotanin, katekin dan prosianidin. Sedangkan kandungannya yang lain adalah pektin, asam fenolat (Newall et al, 1996; Bradley, 1992; Chirikdjan et al, 1983). c. Efek Farmakologis Pada pengujian terhadap tikus, ditemukan bahwa kandungan rhein pada kelembak dengan dosis 100 mg/kg bb per hari, mampu mereduksi lemak pada db/db mencit. Menggunakan diet-induced obese (DIO) C57BL/6 (db/db) mencit, didapatkan hasil bahwa rhein dapat memblok kadar lemak yang tinggi pada hewan uji yang mengalami obesitas, diukur berdasarkan massa lemak dan ukuran dari adiposit putih dan coklat serta penurunan serum kolesterol, LDL kolesterol dan 6 kadar glukosa darah puasa pada mencit. Berdasarkan penggunaan metode analisis ekspresi gen dan reporter assay ditemukan bahwa rhein menginhibisi transaktivitas peroxisome proliferator-activated receptor γ (PPARγ) dan ekspresi dari target gen, menunjukkan bahwa rhein bisa berfungsi sebagai antagonis dari PPARγ (Zhang et al., 2012). 2. Kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack.) Klasifikasi tanaman kemuning adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Sapindales Famili : Rutaceae Genus : Murraya Spesies : Murraya paniculata (L.) Jack. (Backer & Bakhuizen, 1965) a. Morfologi Kemuning merupakan semak atau pohon rendah, tidak berduri, tajuk membulat, tidak rapat, tingginya 3-7 m. Kemuning mempunyai batang pokok bengkok, permukaan batangnya beralur-alur, kulit kehitaman, rantingnya kecil, abu-abu muda, berambut halus dan gundul. Kemuning mempunyai daun dengan duduk daun tersebar, majemuk menyirip gasal, anak daun 2-8, kebanyakan 4-7, 7 remasan tidak berbau busuk, anak daunnya berbentuk elip memanjang atau bulat telur terbalik, ujung meruncing pendek, pangkal runcing, miring, tepi rata atau beringgit tidak jelas, 3-10 x 1,5-5 cm. Kemuning mempunyai bunga tunggal atau susunan bunga majemuk cymes, berbilangan 5, 1-8. Kelopak bunganya 5, dengan tinggi 2-2,5 mm. Bunga kemuning mempunyai mahkota dengan panjang daun mahkota 6-27 x 4-10 mm, bentuknya memanjang bulat telur terbalik, runcing, tua berwarna putih. Bunga ini mempunyai benang sari berjumlah 10, mengelilingi cincin yang lebih panjang atau pendek, ukurannya tidak sama, tangkai sarinya gundul, berbentuk paku, kepala sari subbasifixed, elip dan tumpul. Mempunyai putik dengan bakal buah 2 ruang, 1-2 bakal biji, tangkai putiknya panjang, mudah gugur dan kepala putiknya bentuk kepala. Mempunyai buah buni, membulat, bulat telur sampai bulat memanjang, gundul, merah mengkilat. Bijinya berjumlah 1-2, gundul atau berambut tipe tomentos (Backer & Bakhuizen, 1965). b. Kandungan Kimia Daun kemuning mengandung senyawa golongan triterpenoid, kumarin (isomeranzin, muranganon asetat, murayatin, murangatin, meranzin hidrat, febalosin dan muranganon) dan metil kafeat. Senyawa kumarin lainnya yaitu murmeranzin dan muralonginal. Minyak atsiri dari daun kemuning mengandung £-siklositral, metil salisilat, trans-nerolidol, £-cubeben, (-)-kubenol dan isogermakren (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). c. Efek Farmakologis Pemberian secara oral ekstrak kemuning dengan dosis 100, 200 dan 400 mg/kg bb selama 14 hari bisa mereduksi level glukosa darah, kolesterol dan 8 trigliserida serta kadar lemak secara signifikan (Gautam et al., 2012). Pada pemberian ekstrak etanolik daun kemuning dengan dosis 315 mg/kg BB tikus setelah pemberian selama 15, 45 dan 90 hari, mampu menurunkan kadar kolesterol darah tikus sebesar 15,34-25,75%. Aorta tikus juga mengalami penurunan timbunan lemak setelah pemberian ekstrak etanolik daun kemuning pada hari ke 90 (Pramono et al, 2004). Infusa daun kemuning dengan dosis 30 mg/10 g bb mencit albino pada percobaan analgesik mempunyai potensi analgesik mendekati asetosal 52 mg/kg bb. Ekstrak etanol 80% daun kemuning dosis 500 mg per oral dapat menghambat 66,67% intensitas geliat pada mencit yang diinduksi nyeri menggunakan asam asetat 0,7% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). 3. Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Klasifikasi tanaman jati belanda adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotiledonae Ordo : Malvales Family : Sterculiaceae Genus : Guazuma Species : Guazuma ulmifolia Lamk. (Backer & Bakhuizen, 1965) 9 a. Morfologi Tanaman jati belanda merupakan tanaman yang termasuk golongan semak atau pohon dengan tinggi 10 m sampai 20 m, dengan percabangan ramping. Bentuk daun bundar telur sampai lanset, panjang helai daun 4 cm sampai 22,5 cm, lebar 2 cm sampai 10 cm, pangkal menyerong berbentuk jantung, bagian ujung tajam, permukaan daun bagian atas berambut jarang, permukaan bagian bawah berambut rapat. Panjang tangkai daun 5 mm sampai 25 mm, mempunyai daun penumpu berbentuk lanset atau berbentuk paku, panjang 3 mm sampai 6 mm. Perbungaan berupa mayang, panjang 2 cm sampai 4 cm, berbunga banyak, bentuk bunga agak ramping dan berbau wangi, panjang gagang bunga lebih kurang 5 mm. Kelopak bunga lebih kurang 3 mm, dengan mahkota yang berwarna kuning, panjang 3 mm sampai 4 mm. Tajuk terdiri dari 2 bagian, berwarna ungu tua kadang-kadang kuning tua, panjang 3 mm sampai 4 mm. Bagian bawahnya berbentuk garis, panjang 2 mm sampai 2,5 mm, tabung benang sari berbentuk mangkuk, dengan bakal buah berambut dan panjang buah 2 cm sampai 3,5 cm. Buah yang telah masak berwarna hitam (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1978). b. Kandungan Kimia Bunga segar jati belanda mengandung 0,2% flavonoid berupa kamferetin, kuersetin dan kaemferol, daunnya mengandung 0,09-0,14% alkaloid, lendir, damar, flavonoid, saponin, dan tanin. Hasil analisa GC/MS minyak atsiri daun menunjukkan adanya komponen utama prekosen I (56,0%), β-kariofilen (13,7%) dan (2Z,6E)-farnesol (6,6%) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). 10 c. Efek Farmakologis Ekstrak etanol daun jati belanda dengan konsentrasi 10, 20 dan 30 % sebanyak 0,5 mL/200 g bb/hari yang diberikan pada tikus putih jantan secara per oral sekali sehari selama 30 hari dengan pembanding orlistat 2,16 mg/200 g bb/hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun jati belanda 10, 20 dan 30 % serta orlistat mampu menurunkan aktivitas lipase pankreas secara nyata, berturut-turut sebesar 8,33 ± 9,27; 9,33 ± 6,34; 15,33 ± 7,61; dan 13,33 ± 7,33 IU/L. Pada kelompok kontrol negatif justru terjadi peningkatan aktivitas enzim lipase sebesar 15,17 ± 14,79 IU/L. Penghambatan enzim lipase pankreas dan gaster (orlistat) dapat menutup absorpsi lemak dan meningkatkan ekskresi lemak lewat feses sehingga dapat digunakan untuk mengatasi obesitas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Selain itu juga ada kandungan tanin yang mampu mengurangi penyerapan makanan dengan cara mengendapkan mukosa protein yang ada di dalam permukaan usus, sementara musilago yang berbentuk lendir bersifat sebagai pelicin, sehingga juga bisa berperan sebagai anti obesitas (Pramono et al., 2000). 4. Meniran (Phyllanthus niruri Linn.) Klasifikasi dari tanaman meniran adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae 11 Ordo : Geraniles Famili : Euphorbiaceae Genus : Phyllanthus Spesies : Phyllanthus niruri Linn. (Backer & Bakhuizen, 1965) a. Morfologi Perawakan terna 1 tahun tumbuh tegak, tinggi dapat mencapai 0,8 m, berwarna hijau pucat, letak cabang tersebar. Daun tunggal, letak berseling pada ujung cabang dengan posisi mendatar terhadap batang pokok. Helaian daun berbentuk elip pendek sampai lonjong, panjang 0,5-2 cm, lebar 0,25-0,5 cm, pangkal membulat sampai tumpul, ujung membulat, tumpul atau runcing, warna hijau pucat. Bunga tunggal, bunga betina di ketiak daun ujung, kadang dengan beberapa bunga jantan, letak bunga di sisi bawah ketiak daun, 2-3 bunga jantan di sekitar pangkal cabang, panjang tangkai bunga 0,5-1 mm. Mahkota bunga berbentuk bulat telur terbalik (sungsang), panjang 0,75-1 mm, warna hijau muda bergaris merah. Bunga betina tunggal, di ketiak daun bagian ujung (atas) cabang, tangkai bunga 1,25-1,5 mm. Ukuran buah lebih dari 1,75 mm, berbentuk genta, buah licin, garis tengah 2-2,5 mm, panjang tangkai buah 1,5-2 mm (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). b. Kandungan Kimia Akar dan daun meniran kaya akan senyawa lignan antara lain filantin, hipofilantin; senyawa flavonoid: kuersetin, isokuersetin, astragalin dan rutin. Minyak dari biji mengandung beberapa asam lemak yaitu asam risinoleat, asam 12 linoleat dan asam linolenat. Kandungan senyawa lain pada herba meniran diantaranya nirantin, nirtetralin, nirurin, nirurinetin, norsekurinin, filantenol, filanteol, filnirurin dan filterin. Selain itu juga mengandung kalium, damar dan tanin (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). c. Efek Farmakologis Hasil uji praklinik menunjukkan bahwa ekstrak meniran dapat memodulasi sistem imun lewat proliferasi dan aktivasi limfosit T dan B, sekresi beberapa sitokin spesifik seperti interferon-γ, tumor necrosis factor α dan beberapa interleukin. Limfosit T dan B bekerja ketika perlawanan system imun alami kita tidak mencukupi. Limfosit T dan B bekerja menurut jenis serangan virus dan bakteri yang terjadi. Selain itu, meniran juga mengaktivasi sistem komplemen, aktivasi sel fagositik seperti makrofag dan monosit, juga meningkatkan jumlah sel NK (natural killer). Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel tumor. Dari hasil ini dapat diduga bahwa ekstrak meniran dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk penyakit infeksi akut dan kronis, seperti TBC, hepatitis, ISPA dan herpes zoster. Ekstrak meniran dengan dosis 45, 90 dan 180 mg/kg bb dapat berkhasiat sebagai anti hepatotoksik pada tikus putih yang telah diinduksi parasetamol dengan parameter yang diamati adalah aktivitas enzim SGOT dan SGPT hewan uji. Ekstrak air meniran dapat menghambat DNA polimerase endogen virus hepatitis Woodchuck pada Cavia cobaya dan ikatan pada WhsAg secara in vitro (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Uji klinis meniran menunjukkan aktivitas sebagai imunomodulator, berperan membuat sistem tubuh lebih aktif menjalankan tugasnya sekaligus 13 meningkatkan sistem imun tubuh, sehingga meningkatkan kekebalan atau daya tahan tubuh terhadap serangan virus, bakteri atau mikroba (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). 5. Kunyit (Curcuma domestica Val) Klasifikasi dari tanaman kunyit adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma domestica Val (Backer & Bakhuizen, 1965) a. Morfologi Kunyit mempunyai perawakan terna berbatang semu, tersusun atas pelepah-pelepah daun, warna hijau agak kekuningan, rimpang bercabang-cabang, berwarna jingga. Daun tunggal, letak daun berseling, setiap tanaman memiliki 3-8 daun, daun bertangkai, panjang tangkai beserta pelepah daun lebih dari 73 cm, helaian daun berbentuk bulat memanjang sampai lanset, panjang 2,5-5 kali lebar, ujung daun runcing sampai meruncing, keseluruhannya berwarna hijau atau hanya bagian atas dekat tulang utama berwarna agak keunguan, panjang 28-85 cm, lebar 14 10-25 cm. Perbungaan berupa bunga majemuk tandan di ujung batang semu, tangkai karangan berambut sampai bersisik, panjang tangkai 16-40 cm. Daun pelindung, panjang 10-19 cm, lebar 5-10 cm. Daun kelopak berambut, berbentuk lanset, panjang 4-8 cm, lebar 2-3,5 cm, daun kelopak yang paling bawah berwarna hijau, bentuk bulat telur, makin ke atas makin menyempit serta memanjang, warna putih atau putih keunguan, kelopak berbentuk tabung, panjang 9-13 mm, bergigi 3 dan tipis seperti selaput. Mahkota bunga bagian bawah berbentuk tabung, panjang lebih kurang 20 mm, berwarna coklat muda, bagian dalam tabung berambut, mahkota bagian ujung terbelah, warna putih atau merah jambu, panjang 10-15 mm, lebar 11-14 mm. Benang sari 6, 5 benang sari menjadi lembaran seperti bibir berbentuk bulat telur, panjang 16-20 mm, lebar 15-18 mm, warna jingga atau kuning keemasan dengan pinggir berwarna coklat dan ditengahnya berwarna kemerahan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). b. Kandungan Kimia Kunyit mempunyai kandungan kurkuminoid terutama kurkumin, desmetoksikurkumin, bisdesmetoksikurkumin, juga terdapat kandungan resin, minyak atsiri dengan komponen utama α dan β turmeron, ar-turmeron, α dan β atlanton, kurlon, zingiberen dan kurkumol (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). c. Efek Farmakologis Rimpang kunyit menunjukkan aktivitas hepatoprotektor secara in vitro maupun in vivo pada hewan percobaan yang diinduksi dengan karbon tetraklorida, aflatoksin B1, parasetamol, besi dan siklofosfamid pada mencit. Pemberian 30 15 mg/kg kurkumin/hari selama 10 hari efektif sebagai hepatoprotektor pada mencit. Pemberian kunyit 80% dan kurkumin pada konsentrasi 2 µg dapat menghambat induksi mutagen yaitu aflatoksin B1 pada percobaan pembiakan Salmonella thyphimurium Strain TA98 dan TA100. Pemberian kunyit 5% dan 10% merangsang enzim-enzim (arilhidrokarbon hidroksilase, UDP glukoronil transferase, glutathione-S-transferase) yang memetabolisme senobiotik. Kurkumin merupakan penghambat yang kuat dari sitokrom 450 IA pada hati, yang merupakan suatu isoenzim yang terlibat dengan beberapa toksin, termasuk benzo(a)piren (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Pemberian ekstrak kunyit 200 mg/kg bobot badan tikus menunjukkan aktivitas sebagai anti hiperkolesterol serta dapat menurunkan LDL tanpa mempengaruhi HDL. Ekstrak etanol rimpang kering kunyit dosis 30 mg/kg bb, diberikan kepada tikus secara intragastrik setiap 6 jam selama 48 jam, memiliki aktivitas anti hiperkolesterolemia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). 6. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Klasifikasi dari tanaman temulawak adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales 16 Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb (Backer & Bakhuizen, 1965) a. Morfologi Temulawak merupakan terna berbatang semu setinggi kurang lebih 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap, akar rimpang terbentuk dengan sempurna, bercabang-cabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap tanaman mempunyai daun 2 helai sampai 9 helai, berbentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang tangkai daun (termasuk helaian) 4-80 cm lebih. Perbungaan lateral, tangkai ramping, berbentuk garis, berambut halus, panjang 4-12 cm, lebar 2-3 cm. Berbentuk bulir bulat memanjang, panjang 9-23 cm, lebar 4-6 cm, berdaun pelindung banyak, panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga, berbentuk bulat telur sungsang sampai bangun jorong, berwarna merah, ungu atau putih dengan sebagian dari ujungnya berwarna ungu, bagian bawah berwarna hijau muda atau keputihan, panjang 3-8 cm, lebar 1,5-3,5 cm. Kelopak bunga berwarna putih berambut, panjang 8-1 mm. mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang 22,5 cm, helaian bunga berbentuk bundar telur atau bundar memanjang, berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1,25-2 cm, lebar 1 cm. Bibir berbentuk bundar atau telur sungsang, berwarna jingga dan kadang-kadang tepinya berwarna merah, panjang 14-18 cm, lebar 14-20 mm, benang sari berwarna kuning muda, panjang 12-16 mm, lebar 10-15 mm, tangkai 17 sari panjangnya 3-4,5 mm, lebar 2,5-4,5 mm. Kepala sari berwarna putih, panjang 6 mm, tangkai putik panjang 3-7 mm, buah berbulu 2 cm panjangnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979). b. Kandungan Kimia Rimpang temulawak mengandung kurkuminoid, xhantorizol, minyak atsiri dengan komponen α-kurkumen, germakran, ar-turmeron, β-atlantanton, d-kamfor (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). c. Efek Farmakologis Kurkuminoid temulawak dapat menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida darah kelinci dalam keadaan hiperlipidemia. Peningkatan kadar HDL kolesterol hanya terjadi pada pemberian 20 mg kurkuminoid. Pemberian kurkuminoid temulawak pada kelinci berbobot 1,5-2,5 kg, dengan dosis 5, 10, 15, 20 dan 25 mg/ekor secara per oral setiap hari selama 42 hari, pada semua dosis, kurkuminoid dapat menurunkan kadar kolesterol total serta menaikkan kadar asam empedu darah kelinci (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Selain itu, infusa rimpang temulawak 5, 10 dan 20% dapat meningkatkan daya regenerasi sel hati secara nyata dibanding kontrol pada tikus putih jantan yang dirusak sel hatinya dengan 1,25 ml karbon tetraklorida/kg bb, per oral. Ekstrak air temulawak 10% dengan dosis 6,8 dan 10 ml/hari dapat menurunkan kadar SGOT dan SGPT darah kelinci yang terinfeksi virus hepatitis B (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). 18 7. Dislipidemia Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang paling utama adalah peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida serta penurunan kadar kolesterol HDL (Desiana, 2011). Lipid diangkut dalam plasma sebagai komponen dari lipoprotein kompleks. Terdapat beberapa jenis lipoprotein berdasarkan densitas, komposisi, ukuran dan mobilitas elektroforesisnya yang diklasifikasikan menjadi : 1) Kilomikron : Lipoprotein yang membawa trigliserida yang berasal dari makanan ke jaringan lemak dan otot rangka, juga membawa kolesterol makanan ke hati. 2) VLDL (Very Low Density Lipoprotein) : Lipoprotein yang disekresi oleh hati untuk mengangkut trigliserida ke jaringan perifer. 3) IDL (Intermediate Desity Lipoprotein) : Lipoprotein yang merupakan zat perantara yang terjadi sewaktu VLDL dikatabolisme menjadi LDL. 4) LDL (Low Density Lipoprotein) : Lipoprotein yang mengangkut kolesterol pada sel hepar dan jaringan perifer, sehingga kolesterol dapat digunakan untuk kepentingan sel-sel tersebut. 5) HDL (High Density Lipoprotein) : Lipoprotein yang mengangkut kolesterol dari jaringan perifer untuk dimetabolisasi di hati (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007). Terdapat 2 jalur utama yang bertanggung jawab mengangkut lipid plasma di dalam tubuh, yaitu : 19 1) Jalur Eksogen Lipid yang berasal dari makanan mengalami proses pencernaan dan penyerapan, kemudian diangkut dalam bentuk kilomikron dalam sel-sel epitel usus halus. Kilomikron masuk ke dalam darah melalui pembuluh limfa usus. Didalam pembuluh darah, trigiserida dalam kilomikron akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase (LPL) yang berasal dari endothel menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas dapat disimpan sebagai trigliserid kembali di jaringan lemak (adiposa), tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak sebagian akan diambil oleh hati menjadi bahan untuk pembentukan trigliserid hati. Kilomikron yang sudah kehilangan sebagian besar trigliserid akan menjadi kilomikron remnant yang mengandung kolesterol ester dan akan dibawa ke hepar (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007). 2) Jalur Endogen Trigliserid dan kolesterol yang disintesis di hepar akan diekskresikan ke dalam sirkulasi sebagai VLDL. Dalam sirkulasi, VLDL akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase ( LPL) menjadi asam lemak dan gliserol, kemudian VLDL menjadi IDL ( Intermediate Density Lipoprotein), suatu lipoprotein yang lebih kecil dan lebih padat. Sebagian dari IDL akan kembali ke hepar ditangkap oleh reseptor LDL, partikel IDL yang lainnya dihidrolisis menjadi LDL. Sebagian dari kolesterol di LDL akan dibawa ke hepar dan jaringan steroidogenik lainnya seperti kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang mempunyai reseptor LDL juga. 20 LDL merupakan pembawa utama kolesterol dalam sirkulasi tubuh (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007). 8. Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang disari, mengandung zat aktif yang dapat larut dan zat aktif yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). a. Cairan penyari Cairan penyari atau pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau zat aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan penyari dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung. Sampai saat ini berlaku aturan bahwa pelarut yang diperbolehkan untuk mengekstraksi adalah alkohol dan air serta campurannya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). b. Metode penyarian Metode penyarian mempengaruhi jumlah dan jenis senyawa berpindah yang ada di cairan pelarut. Pemilihan metode dilakukan berdasakan beberapa faktor seperti jenis dan sifat bahan aktif yang terkandung dalam bahan yang digunakan. Metode penyarian yang digunakan adalah infundasi, yaitu ekstraksi yang 21 menggunakan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Proses penyarian ini akan menghasilkan ekstrak air atau infus air yang mengandung berbagai zat yang terlarut dalam air. Penyarian dapat dilakukan dengan penambahan bahan tertentu untuk optimasi proses penyarian (Agoes, 2007). c. Ekstrak Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995). Dalam sediaan farmasi seperti kapsul dan tablet, bahan baku yang digunakan pada umumnya berbentuk ekstrak kering. Jika ekstrak masih kental, maka penentuan dosis akan mengalami kesulitan karena bahan kurang homogen dan masih lengket sehingga sulit pengambilannya. Pengolahan ekstrak kental menjadi kering dapat dilakukan dengan cara penjemuran alami maupun menggunakan alat pengering. Kelemahan dari cara penjemuran adalah memerlukan waktu yang lama dan hasil yang diperoleh kurang higienis, sedangkan dengan alat pengering memerlukan suhu yang tinggi. Untuk beberapa komoditas tanaman, suhu yang 22 tingi dapat merusak komponen bahan aktif karena sensitif terhadap panas. Dengan demikian, untuk menjaga supaya komponen aktif yang terdapat dalam tanaman tidak rusak serta mempercepat proses pengeringan, maka ditambahkan bahan pengisi ke dalam ekstrak kental (Sembiring, 2009). 9. Laktosa Laktosa adalah gula yang diperoleh dari gula susu dalam bentuk anhidrat atau mengandung satu molekul air hidrat. Laktosa berupa serbuk atau massa hablur, keras, putih atau putih krem. Tidak berbau dan rasa sedikit manis. Stabil di udara, tetapi mudah menyerap bau. Laktosa mudah (dan pelan-pelan) larut dalam air dan tidak larut di dalam kloroform dan dalam eter (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995). Laktosa atau gula susu merupakan bahan pengisi yang paling banyak digunakan karena tidak bereaksi dengan hampir semua obat, baik yang digunakan dalam bentuk hidrat atau anhidrat. Sediaan obat yang menggunakan laktosa memberikan kecepatan pelepasan obat yang baik, granul yang terbentuk cepat kering dan waktu hancur tidak terlalu peka terhadap perubahan (Banker dan Anderson, 1986). Laktosa mempunyai densitas 1,589 g/cm3 dan rumus empirisnya C12H22O11 (Edge et al., 2006). Laktosa termasuk suatu disakarida dari glukosa dan galaktosa dan diperoleh melalui kristalisasi, pemusingan dan pengeringan atau melalui pengering sembur dari air susu (lebih banyak air susu perut binatang menyusui dengan 5% laktosa). Dalam ketergantungannya dari konfigurasi bagian 23 glukosanya dipisahkan antara α-laktosa dan β-laktosa. Laktosa yang digunakan dalam teknologi farmasi umumnya adalah α-laktosa monohidrat. Untuk kompresi langsung cocok digunakan laktosa yang diperoleh melalui pengering sembur yang memberikan tablet dengan kekompakan besar. Sifat yang sama diperoleh dengan bahan yang dikeringkan pada silinder pejal (Voight, 1994). E. Landasan Teori Akar kelembak, daun kemuning, daun jati belanda, herba meniran, rimpang kunyit dan rimpang temulawak sebagai ramuan tradisional anti hiperkolesterol mempunyai parameter pengobatan yang berkaitan dengan pendekatan holistik untuk efek promotif dan preventif dan parameter yang terkait dengan efek kuratif ramuan (Pramono, 2011). Pengobatan dengan menggunakan ramuan ini memiliki kendala umum di masyarakat, yaitu adanya rasa pahit yang ditimbulkan dari bahan penyusun ramuan serta kurang praktis, sehingga penggunaannya tidak terlalu digemari oleh masyarakat. Dalam sediaan farmasi seperti kapsul dan tablet, bahan baku yang digunakan pada umumnya berbentuk ekstrak kering. Jika ekstrak masih kental, maka penentuan dosis akan mengalami kesulitan karena bahan kurang homogen dan masih lengket sehingga sulit dalam pengambilannya. Pengolahan ekstrak kental menjadi ekstrak kering dapat dilakukan dengan penambahan bahan pengering. Penambahan bahan pengering ini menjaga supaya komponen aktif yang terdapat dalam tanaman tidak rusak serta mempercepat proses pengeringan (Sembiring, 2009). 24 Laktosa adalah gula yang diperoleh dari gula susu dalam bentuk anhidrat atau mengandung satu molekul air hidrat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995). Laktosa atau gula susu merupakan bahan pengisi yang paling banyak digunakan karena tidak bereaksi dengan hampir semua obat, baik yang digunakan dalam bentuk hidrat ataupun anhidrat (Banker dan Anderson, 1986). F. Hipotesis Perubahan bentuk sediaan rebusan ramuan anti hiperlipidemia menjadi ekstrak kering tidak mempengaruhi kandungan zat aktif baik secara kualitatif maupun kuantitatif ramuan tersebut.