BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan berbagai macam tumbuhan
yang diantaranya mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan
menjadi obat. Perubahan pola pikir masyarakat dengan sikap back to nature
membuat perkembangan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia semakin
meningkat, apalagi dengan adanya program saintifikasi jamu yang merupakan
suatu program dari Kementerian Kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan
penggunaan jamu di kalangan medis terutama dokter (Pramono, 2011). Hal ini
memacu banyaknya bahan tanaman yang digunakan dalam pengobatan untuk
berbagai macam penyakit diantaranya hiperlipidemia.
Hiperlipidemia adalah suatu keadaan yang disebabkan karena adanya
kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan kadar trigliserida
dan kolesterol di dalam darah (Velayutham et al., 2008). Kondisi hiperlipidemia
yang berkelanjutan memicu terbentuknya arterosklerosis yang menjadi faktor
resiko terjadinya penyakit jantung koroner yang merupakan salah satu penyebab
kematian utama di Negara maju dan berkembang (Departemen Farmakologi dan
Teraupetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).
Dari sekian banyak tanaman anti hiperlipidemia yang ada di Indonesia,
kita bisa menggunakan ramuan jamu dari campuran akar kelembak, daun
kemuning, daun jati belanda, herba meniran, rimpang kunyit dan rimpang
1
2
temulawak untuk digunakan dalam pengobatan hiperlipidemia. Pengobatan
dengan ramuan ini mempunyai parameter yang berkaitan dengan pendekatan
holistik untuk efek promotif dan preventif serta parameter yang terkait dengan
efek kuratif ramuan (Pramono, 2011).
Tanaman tersebut masing-masing mempunyai berbagai khasiat dan
kandungan senyawa aktif yang berbeda-beda, namun tetap saling mendukung dan
berkaitan. Akar kelembak mengandung antrakinon rhein dan turunannya yang
memiliki efek laksatif sehingga kesempatan absorpsi lemak dan kolesterol
menjadi kecil. Namun demikian, kelembak juga mengandung tanin yang berefek
anti peristaltik usus sehingga bersifat kontraindikasi dengan efek laksatif.
Penggunaan yang dominan untuk kedua senyawa tersebut tergantung pada kondisi
pasien itu sendiri, apakah pasien cenderung mudah buang air besar atau justru
sebaliknya mengalami kesulitan untuk buang air besar. Daun kemuning telah
terbukti menghambat kenaikan berat badan tikus percobaan, namun mekanisme
serta zat aktif yang bertanggung jawab terhadap efeknya belum diketahui. Daun
jati belanda mengandung polisakarida berupa lendir atau musilago yang dapat
mengembang di rongga perut sehingga dapat menekan rasa lapar. Selain itu,
alkaloid yang terkandung di dalamnya dapat menghambat aktivitas enzim lipase
di saluran pencernaan sehingga lemak yang dikonsumsi tidak terhidrolisis dan
tidak diabsorpsi oleh fili-fili usus. Sedangkan untuk herba meniran, rimpang
temulawak dan rimpang kunyit berperan dalam menjaga kebugaran tubuh karena
berhubungan langsung dengan efek herba meniran sebagai peningkat daya tahan
3
tubuh, efek rimpang kunyit sebagai pelancar pencernaan dan pereda nyeri dan
efek rimpang temulawak sebagai penyegar (Pramono, 2011).
Namun kendala secara umumnya di masyarakat adalah pengobatan dengan
ramuan tersebut menimbulkan rasa yang sangat pahit sehingga penggunaannya
tidak terlalu digemari di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan
penelitian mengenai formulasi baru sediaan infusa menjadi sediaan dalam bentuk
lain yang berfungsi untuk menurunkan lipid plasma yang sama dalam
penggunaannya sebagai anti hiperlipidemia, sehingga kandungan bahan dari
sediaan itu sendiri tidak berkurang.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah perubahan bentuk sediaan infusa menjadi ekstrak kering dalam
ramuan anti hiperlipidemia tidak mempengaruhi kandungan zat aktif tanaman
yang digunakan sebagai penurun lipid plasma?
2. Berapakah penambahan bahan pengering yang tepat dalam pembuatan ekstrak
kering dari campuran ekstrak tanaman yang digunakan dalam ramuan anti
hiperlipidemia?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk merubah suatu sediaan rebusan anti
hiperlipidemia dalam bentuk infusa ke ekstrak kering tanpa mengurangi
kandungan dari bahan yang digunakan dalam ramuan tersebut.
4
D. Tinjauan Pustaka
1. Kelembak (Rheum officinale Baill.)
Klasifikasi tanaman kelembak adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Polygonales
Famili
: Polygonaceae
Genus
: Rheum
Spesies
: Rheum officinale Baill.
(Backer & Bakhuizen, 1965)
a. Morfologi
Kelembak termasuk tanaman perdu atau terna, yang tumbuh kadangkadang memanjat, jarang yang berupa pohon, tidak berduri, tanpa getah lateks.
Daunnya tersusun spiral, kadang-kadang berhadapan atau melingkar, umumnya
ada seludang daun atau upih. Bunganya hermafrodit, jarang berumah 1 atau 2,
muncul di ketiak daun atau di ujung ranting; aktinomorf, ada kelopak tetapi tidak
ada mahkota. Tepala 4-6, benang sari 4-9. Bakal buahnya menumpang, pipih atau
berbentuk segitiga, beruang 1, isi 1 bakal biji. Buahnya kering tidak terbelah dan
bijinya tidak bersayap (Sutrisno, 1998).
5
Kelembak mempunyai akar berupa potongan padat, keras, berat,
bentuknya hampir silindrik, serupa kerucut atau berbentuk kubus cekung, pipih
atau tidak beraturan. Kadang berlubang dengan panjang 5 cm sampai 15 cm,
lebarnya 3 cm sampai 10 cm, permukaannya yang terkupas agak tersudut-sudut,
umumnya diliputi serbuk berwarna kuning kecoklatan terang, bagian dalamnya
berwarna putih keabuan dengan garis-garis coklat kemerahan. Pada pengamatan
dengan kaca pembesar terhadap bidang melintang terlihat garis-garis tersebut pada
beberapa tempat merupakan bentuk bintang. Patahan melintang tidak rata,
berbutir-butir putih kelabu, merah muda sampai coklat merah (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1995).
b. Kandungan Kimia
Kelembak
mempunyai
kandungan
antranoid,
khusunya
glikosida
antrakinon seperti rhein (semosida A dan B), aloe-emodin, physcion. Juga
mengandung asam oksalat, tanin yaitu gallotanin, katekin dan prosianidin.
Sedangkan kandungannya yang lain adalah pektin, asam fenolat (Newall et al,
1996; Bradley, 1992; Chirikdjan et al, 1983).
c. Efek Farmakologis
Pada pengujian terhadap tikus, ditemukan bahwa kandungan rhein pada
kelembak dengan dosis 100 mg/kg bb per hari, mampu mereduksi lemak pada
db/db mencit. Menggunakan diet-induced obese (DIO) C57BL/6 (db/db) mencit,
didapatkan hasil bahwa rhein dapat memblok kadar lemak yang tinggi pada hewan
uji yang mengalami obesitas, diukur berdasarkan massa lemak dan ukuran dari
adiposit putih dan coklat serta penurunan serum kolesterol, LDL kolesterol dan
6
kadar glukosa darah puasa pada mencit. Berdasarkan penggunaan metode analisis
ekspresi gen dan reporter assay ditemukan bahwa rhein menginhibisi
transaktivitas peroxisome proliferator-activated receptor γ (PPARγ) dan ekspresi
dari target gen, menunjukkan bahwa rhein bisa berfungsi sebagai antagonis dari
PPARγ (Zhang et al., 2012).
2. Kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack.)
Klasifikasi tanaman kemuning adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Sapindales
Famili
: Rutaceae
Genus
: Murraya
Spesies
: Murraya paniculata (L.) Jack.
(Backer & Bakhuizen, 1965)
a. Morfologi
Kemuning merupakan semak atau pohon rendah, tidak berduri, tajuk
membulat, tidak rapat, tingginya 3-7 m. Kemuning mempunyai batang pokok
bengkok, permukaan batangnya beralur-alur, kulit kehitaman, rantingnya kecil,
abu-abu muda, berambut halus dan gundul. Kemuning mempunyai daun dengan
duduk daun tersebar, majemuk menyirip gasal, anak daun 2-8, kebanyakan 4-7,
7
remasan tidak berbau busuk, anak daunnya berbentuk elip memanjang atau bulat
telur terbalik, ujung meruncing pendek, pangkal runcing, miring, tepi rata atau
beringgit tidak jelas, 3-10 x 1,5-5 cm. Kemuning mempunyai bunga tunggal atau
susunan bunga majemuk cymes, berbilangan 5, 1-8. Kelopak bunganya 5, dengan
tinggi 2-2,5 mm. Bunga kemuning mempunyai mahkota dengan panjang daun
mahkota 6-27 x 4-10 mm, bentuknya memanjang bulat telur terbalik, runcing, tua
berwarna putih. Bunga ini mempunyai benang sari berjumlah 10, mengelilingi
cincin yang lebih panjang atau pendek, ukurannya tidak sama, tangkai sarinya
gundul, berbentuk paku, kepala sari subbasifixed, elip dan tumpul. Mempunyai
putik dengan bakal buah 2 ruang, 1-2 bakal biji, tangkai putiknya panjang, mudah
gugur dan kepala putiknya bentuk kepala. Mempunyai buah buni, membulat, bulat
telur sampai bulat memanjang, gundul, merah mengkilat. Bijinya berjumlah 1-2,
gundul atau berambut tipe tomentos (Backer & Bakhuizen, 1965).
b. Kandungan Kimia
Daun kemuning mengandung senyawa golongan triterpenoid, kumarin
(isomeranzin, muranganon asetat, murayatin, murangatin, meranzin hidrat,
febalosin dan muranganon) dan metil kafeat. Senyawa kumarin lainnya yaitu
murmeranzin dan muralonginal. Minyak atsiri dari daun kemuning mengandung
£-siklositral,
metil
salisilat,
trans-nerolidol,
£-cubeben,
(-)-kubenol
dan
isogermakren (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
c. Efek Farmakologis
Pemberian secara oral ekstrak kemuning dengan dosis 100, 200 dan 400
mg/kg bb selama 14 hari bisa mereduksi level glukosa darah, kolesterol dan
8
trigliserida serta kadar lemak secara signifikan (Gautam et al., 2012). Pada
pemberian ekstrak etanolik daun kemuning dengan dosis 315 mg/kg BB tikus
setelah pemberian selama 15, 45 dan 90 hari, mampu menurunkan kadar
kolesterol darah tikus sebesar 15,34-25,75%. Aorta tikus juga mengalami
penurunan timbunan lemak setelah pemberian ekstrak etanolik daun kemuning
pada hari ke 90 (Pramono et al, 2004).
Infusa daun kemuning dengan dosis 30 mg/10 g bb mencit albino pada
percobaan analgesik mempunyai potensi analgesik mendekati asetosal 52 mg/kg
bb. Ekstrak etanol 80% daun kemuning dosis 500 mg per oral dapat menghambat
66,67% intensitas geliat pada mencit yang diinduksi nyeri menggunakan asam
asetat 0,7% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
3. Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.)
Klasifikasi tanaman jati belanda adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledonae
Ordo
: Malvales
Family
: Sterculiaceae
Genus
: Guazuma
Species
: Guazuma ulmifolia Lamk.
(Backer & Bakhuizen, 1965)
9
a. Morfologi
Tanaman jati belanda merupakan tanaman yang termasuk golongan semak
atau pohon dengan tinggi 10 m sampai 20 m, dengan percabangan ramping.
Bentuk daun bundar telur sampai lanset, panjang helai daun 4 cm sampai 22,5 cm,
lebar 2 cm sampai 10 cm, pangkal menyerong berbentuk jantung, bagian ujung
tajam, permukaan daun bagian atas berambut jarang, permukaan bagian bawah
berambut rapat. Panjang tangkai daun 5 mm sampai 25 mm, mempunyai daun
penumpu berbentuk lanset atau berbentuk paku, panjang 3 mm sampai 6 mm.
Perbungaan berupa mayang, panjang 2 cm sampai 4 cm, berbunga banyak, bentuk
bunga agak ramping dan berbau wangi, panjang gagang bunga lebih kurang 5
mm. Kelopak bunga lebih kurang 3 mm, dengan mahkota yang berwarna kuning,
panjang 3 mm sampai 4 mm. Tajuk terdiri dari 2 bagian, berwarna ungu tua
kadang-kadang kuning tua, panjang 3 mm sampai 4 mm. Bagian bawahnya
berbentuk garis, panjang 2 mm sampai 2,5 mm, tabung benang sari berbentuk
mangkuk, dengan bakal buah berambut dan panjang buah 2 cm sampai 3,5 cm.
Buah yang telah masak berwarna hitam (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1978).
b. Kandungan Kimia
Bunga segar jati belanda mengandung 0,2% flavonoid berupa kamferetin,
kuersetin dan kaemferol, daunnya mengandung 0,09-0,14% alkaloid, lendir,
damar, flavonoid, saponin, dan tanin. Hasil analisa GC/MS minyak atsiri daun
menunjukkan adanya komponen utama prekosen I (56,0%), β-kariofilen (13,7%)
dan (2Z,6E)-farnesol (6,6%) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
10
c. Efek Farmakologis
Ekstrak etanol daun jati belanda dengan konsentrasi 10, 20 dan 30 %
sebanyak 0,5 mL/200 g bb/hari yang diberikan pada tikus putih jantan secara per
oral sekali sehari selama 30 hari dengan pembanding orlistat 2,16 mg/200 g
bb/hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun jati belanda 10,
20 dan 30 % serta orlistat mampu menurunkan aktivitas lipase pankreas secara
nyata, berturut-turut sebesar 8,33 ± 9,27; 9,33 ± 6,34; 15,33 ± 7,61; dan 13,33 ±
7,33 IU/L. Pada kelompok kontrol negatif justru terjadi peningkatan aktivitas
enzim lipase sebesar 15,17 ± 14,79 IU/L. Penghambatan enzim lipase pankreas
dan gaster (orlistat) dapat menutup absorpsi lemak dan meningkatkan ekskresi
lemak lewat feses sehingga dapat digunakan untuk mengatasi obesitas
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Selain itu juga ada
kandungan tanin yang mampu mengurangi penyerapan makanan dengan cara
mengendapkan mukosa protein yang ada di dalam permukaan usus, sementara
musilago yang berbentuk lendir bersifat sebagai pelicin, sehingga juga bisa
berperan sebagai anti obesitas (Pramono et al., 2000).
4. Meniran (Phyllanthus niruri Linn.)
Klasifikasi dari tanaman meniran adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
11
Ordo
: Geraniles
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Phyllanthus
Spesies
: Phyllanthus niruri Linn.
(Backer & Bakhuizen, 1965)
a. Morfologi
Perawakan terna 1 tahun tumbuh tegak, tinggi dapat mencapai 0,8 m,
berwarna hijau pucat, letak cabang tersebar. Daun tunggal, letak berseling pada
ujung cabang dengan posisi mendatar terhadap batang pokok. Helaian daun
berbentuk elip pendek sampai lonjong, panjang 0,5-2 cm, lebar 0,25-0,5 cm,
pangkal membulat sampai tumpul, ujung membulat, tumpul atau runcing, warna
hijau pucat. Bunga tunggal, bunga betina di ketiak daun ujung, kadang dengan
beberapa bunga jantan, letak bunga di sisi bawah ketiak daun, 2-3 bunga jantan di
sekitar pangkal cabang, panjang tangkai bunga 0,5-1 mm. Mahkota bunga
berbentuk bulat telur terbalik (sungsang), panjang 0,75-1 mm, warna hijau muda
bergaris merah. Bunga betina tunggal, di ketiak daun bagian ujung (atas) cabang,
tangkai bunga 1,25-1,5 mm. Ukuran buah lebih dari 1,75 mm, berbentuk genta,
buah licin, garis tengah 2-2,5 mm, panjang tangkai buah 1,5-2 mm (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
b. Kandungan Kimia
Akar dan daun meniran kaya akan senyawa lignan antara lain filantin,
hipofilantin; senyawa flavonoid: kuersetin, isokuersetin, astragalin dan rutin.
Minyak dari biji mengandung beberapa asam lemak yaitu asam risinoleat, asam
12
linoleat dan asam linolenat. Kandungan senyawa lain pada herba meniran
diantaranya nirantin, nirtetralin, nirurin, nirurinetin, norsekurinin, filantenol,
filanteol, filnirurin dan filterin. Selain itu juga mengandung kalium, damar dan
tanin (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
c. Efek Farmakologis
Hasil uji praklinik menunjukkan bahwa ekstrak meniran dapat memodulasi
sistem imun lewat proliferasi dan aktivasi limfosit T dan B, sekresi beberapa
sitokin spesifik seperti interferon-γ, tumor necrosis factor α dan beberapa
interleukin. Limfosit T dan B bekerja ketika perlawanan system imun alami kita
tidak mencukupi. Limfosit T dan B bekerja menurut jenis serangan virus dan
bakteri yang terjadi. Selain itu, meniran juga mengaktivasi sistem komplemen,
aktivasi sel fagositik seperti makrofag dan monosit, juga meningkatkan jumlah
sel NK (natural killer). Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang
dihuni virus atau sel tumor. Dari hasil ini dapat diduga bahwa ekstrak meniran
dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk penyakit infeksi akut dan kronis,
seperti TBC, hepatitis, ISPA dan herpes zoster. Ekstrak meniran dengan dosis 45,
90 dan 180 mg/kg bb dapat berkhasiat sebagai anti hepatotoksik pada tikus putih
yang telah diinduksi parasetamol dengan parameter yang diamati adalah aktivitas
enzim SGOT dan SGPT hewan uji. Ekstrak air meniran dapat menghambat DNA
polimerase endogen virus hepatitis Woodchuck pada Cavia cobaya dan ikatan
pada WhsAg secara in vitro (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Uji klinis meniran menunjukkan aktivitas sebagai imunomodulator,
berperan membuat sistem tubuh lebih aktif menjalankan tugasnya sekaligus
13
meningkatkan sistem imun tubuh, sehingga meningkatkan kekebalan atau daya
tahan tubuh terhadap serangan virus, bakteri atau mikroba (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
5. Kunyit (Curcuma domestica Val)
Klasifikasi dari tanaman kunyit adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Spesies
: Curcuma domestica Val
(Backer & Bakhuizen, 1965)
a. Morfologi
Kunyit mempunyai perawakan terna berbatang semu, tersusun atas
pelepah-pelepah daun, warna hijau agak kekuningan, rimpang bercabang-cabang,
berwarna jingga. Daun tunggal, letak daun berseling, setiap tanaman memiliki 3-8
daun, daun bertangkai, panjang tangkai beserta pelepah daun lebih dari 73 cm,
helaian daun berbentuk bulat memanjang sampai lanset, panjang 2,5-5 kali lebar,
ujung daun runcing sampai meruncing, keseluruhannya berwarna hijau atau hanya
bagian atas dekat tulang utama berwarna agak keunguan, panjang 28-85 cm, lebar
14
10-25 cm. Perbungaan berupa bunga majemuk tandan di ujung batang semu,
tangkai karangan berambut sampai bersisik, panjang tangkai 16-40 cm. Daun
pelindung, panjang 10-19 cm, lebar 5-10 cm. Daun kelopak berambut, berbentuk
lanset, panjang 4-8 cm, lebar 2-3,5 cm, daun kelopak yang paling bawah berwarna
hijau, bentuk bulat telur, makin ke atas makin menyempit serta memanjang, warna
putih atau putih keunguan, kelopak berbentuk tabung, panjang 9-13 mm, bergigi 3
dan tipis seperti selaput. Mahkota bunga bagian bawah berbentuk tabung, panjang
lebih kurang 20 mm, berwarna coklat muda, bagian dalam tabung berambut,
mahkota bagian ujung terbelah, warna putih atau merah jambu, panjang 10-15
mm, lebar 11-14 mm. Benang sari 6, 5 benang sari menjadi lembaran seperti bibir
berbentuk bulat telur, panjang 16-20 mm, lebar 15-18 mm, warna jingga atau
kuning keemasan dengan pinggir berwarna coklat dan ditengahnya berwarna
kemerahan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
b. Kandungan Kimia
Kunyit
mempunyai
kandungan
kurkuminoid
terutama
kurkumin,
desmetoksikurkumin, bisdesmetoksikurkumin, juga terdapat kandungan resin,
minyak atsiri dengan komponen utama α dan β turmeron, ar-turmeron, α dan β
atlanton, kurlon, zingiberen dan kurkumol (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2010).
c. Efek Farmakologis
Rimpang kunyit menunjukkan aktivitas hepatoprotektor secara in vitro
maupun in vivo pada hewan percobaan yang diinduksi dengan karbon tetraklorida,
aflatoksin B1, parasetamol, besi dan siklofosfamid pada mencit. Pemberian 30
15
mg/kg kurkumin/hari selama 10 hari efektif sebagai hepatoprotektor pada mencit.
Pemberian kunyit 80% dan kurkumin pada konsentrasi 2 µg dapat menghambat
induksi mutagen yaitu aflatoksin B1 pada percobaan pembiakan Salmonella
thyphimurium Strain TA98 dan TA100. Pemberian kunyit 5% dan 10%
merangsang
enzim-enzim
(arilhidrokarbon
hidroksilase,
UDP
glukoronil
transferase, glutathione-S-transferase) yang memetabolisme senobiotik. Kurkumin
merupakan penghambat yang kuat dari sitokrom 450 IA pada hati, yang
merupakan suatu isoenzim yang terlibat dengan beberapa toksin, termasuk
benzo(a)piren (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Pemberian ekstrak kunyit 200 mg/kg bobot badan tikus menunjukkan
aktivitas sebagai anti hiperkolesterol serta dapat menurunkan LDL tanpa
mempengaruhi HDL. Ekstrak etanol rimpang kering kunyit dosis 30 mg/kg bb,
diberikan kepada tikus secara intragastrik setiap 6 jam selama 48 jam, memiliki
aktivitas anti hiperkolesterolemia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2010).
6. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)
Klasifikasi dari tanaman temulawak adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
16
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Spesies
: Curcuma xanthorrhiza Roxb
(Backer & Bakhuizen, 1965)
a. Morfologi
Temulawak merupakan terna berbatang semu setinggi kurang lebih 2 m,
berwarna hijau atau coklat gelap, akar rimpang terbentuk dengan sempurna,
bercabang-cabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap tanaman mempunyai daun 2
helai sampai 9 helai, berbentuk bundar memanjang sampai bangun lanset,
berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang tangkai daun
(termasuk helaian) 4-80 cm lebih. Perbungaan lateral, tangkai ramping, berbentuk
garis, berambut halus, panjang 4-12 cm, lebar 2-3 cm. Berbentuk bulir bulat
memanjang, panjang 9-23 cm, lebar 4-6 cm, berdaun pelindung banyak,
panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga, berbentuk bulat telur
sungsang sampai bangun jorong, berwarna merah, ungu atau putih dengan
sebagian dari ujungnya berwarna ungu, bagian bawah berwarna hijau muda atau
keputihan, panjang 3-8 cm, lebar 1,5-3,5 cm. Kelopak bunga berwarna putih
berambut, panjang 8-1 mm. mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang 22,5 cm, helaian bunga berbentuk bundar telur atau bundar memanjang, berwarna
putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1,25-2 cm,
lebar 1 cm. Bibir berbentuk bundar atau telur sungsang, berwarna jingga dan
kadang-kadang tepinya berwarna merah, panjang 14-18 cm, lebar 14-20 mm,
benang sari berwarna kuning muda, panjang 12-16 mm, lebar 10-15 mm, tangkai
17
sari panjangnya 3-4,5 mm, lebar 2,5-4,5 mm. Kepala sari berwarna putih, panjang
6 mm, tangkai putik panjang 3-7 mm, buah berbulu 2 cm panjangnya
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).
b. Kandungan Kimia
Rimpang temulawak mengandung kurkuminoid, xhantorizol, minyak atsiri
dengan komponen α-kurkumen, germakran, ar-turmeron, β-atlantanton, d-kamfor
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
c. Efek Farmakologis
Kurkuminoid temulawak dapat menurunkan kadar kolesterol total dan
trigliserida darah kelinci dalam keadaan hiperlipidemia. Peningkatan kadar HDL
kolesterol hanya terjadi pada pemberian 20 mg kurkuminoid. Pemberian
kurkuminoid temulawak pada kelinci berbobot 1,5-2,5 kg, dengan dosis 5, 10, 15,
20 dan 25 mg/ekor secara per oral setiap hari selama 42 hari, pada semua dosis,
kurkuminoid dapat menurunkan kadar kolesterol total serta menaikkan kadar asam
empedu darah kelinci (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Selain itu, infusa rimpang temulawak 5, 10 dan 20% dapat meningkatkan
daya regenerasi sel hati secara nyata dibanding kontrol pada tikus putih jantan
yang dirusak sel hatinya dengan 1,25 ml karbon tetraklorida/kg bb, per oral.
Ekstrak air temulawak 10% dengan dosis 6,8 dan 10 ml/hari dapat menurunkan
kadar SGOT dan SGPT darah kelinci yang terinfeksi virus hepatitis B
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
18
7. Dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid
yang paling utama adalah peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol LDL,
trigliserida serta penurunan kadar kolesterol HDL (Desiana, 2011).
Lipid diangkut dalam plasma sebagai komponen dari lipoprotein
kompleks. Terdapat beberapa jenis lipoprotein berdasarkan densitas, komposisi,
ukuran dan mobilitas elektroforesisnya yang diklasifikasikan menjadi :
1) Kilomikron : Lipoprotein yang membawa trigliserida yang berasal dari
makanan ke jaringan lemak dan otot rangka, juga membawa kolesterol
makanan ke hati.
2) VLDL (Very Low Density Lipoprotein) : Lipoprotein yang disekresi oleh hati
untuk mengangkut trigliserida ke jaringan perifer.
3) IDL (Intermediate Desity Lipoprotein) : Lipoprotein yang merupakan zat
perantara yang terjadi sewaktu VLDL dikatabolisme menjadi LDL.
4) LDL (Low Density Lipoprotein) : Lipoprotein yang mengangkut kolesterol
pada sel hepar dan jaringan perifer, sehingga kolesterol dapat digunakan untuk
kepentingan sel-sel tersebut.
5) HDL (High Density Lipoprotein) : Lipoprotein yang mengangkut kolesterol
dari jaringan perifer untuk dimetabolisasi di hati (Departemen Farmakologi
dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).
Terdapat 2 jalur utama yang bertanggung jawab mengangkut lipid plasma
di dalam tubuh, yaitu :
19
1) Jalur Eksogen
Lipid yang berasal dari makanan mengalami proses pencernaan dan
penyerapan, kemudian diangkut dalam bentuk kilomikron dalam sel-sel epitel
usus halus. Kilomikron masuk ke dalam darah melalui pembuluh limfa usus.
Didalam pembuluh darah, trigiserida dalam kilomikron akan mengalami hidrolisis
oleh enzim lipoprotein lipase (LPL) yang berasal dari endothel menjadi asam
lemak bebas. Asam lemak bebas dapat disimpan sebagai trigliserid kembali di
jaringan lemak (adiposa), tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak sebagian
akan diambil oleh hati menjadi bahan untuk pembentukan trigliserid hati.
Kilomikron yang sudah kehilangan sebagian besar trigliserid akan menjadi
kilomikron remnant yang mengandung kolesterol ester dan akan dibawa ke hepar
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2007).
2) Jalur Endogen
Trigliserid dan kolesterol yang disintesis di hepar akan diekskresikan ke
dalam sirkulasi sebagai VLDL. Dalam sirkulasi, VLDL akan mengalami hidrolisis
oleh enzim lipoprotein lipase ( LPL) menjadi asam lemak dan gliserol, kemudian
VLDL menjadi IDL ( Intermediate Density Lipoprotein), suatu lipoprotein yang
lebih kecil dan lebih padat. Sebagian dari IDL akan kembali ke hepar ditangkap
oleh reseptor LDL, partikel IDL yang lainnya dihidrolisis menjadi LDL. Sebagian
dari kolesterol di LDL akan dibawa ke hepar dan jaringan steroidogenik lainnya
seperti kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang mempunyai reseptor LDL juga.
20
LDL merupakan pembawa utama kolesterol dalam sirkulasi tubuh (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).
8. Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang
tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang disari, mengandung zat aktif
yang dapat larut dan zat aktif yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat,
protein dan lain-lain (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
a. Cairan penyari
Cairan penyari atau pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut
yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau zat aktif,
dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa
kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa
kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan penyari dipilih
yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung. Sampai saat
ini berlaku aturan bahwa pelarut yang diperbolehkan untuk mengekstraksi adalah
alkohol dan air serta campurannya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2000).
b. Metode penyarian
Metode penyarian mempengaruhi jumlah dan jenis senyawa berpindah yang
ada di cairan pelarut. Pemilihan metode dilakukan berdasakan beberapa faktor
seperti jenis dan sifat bahan aktif yang terkandung dalam bahan yang digunakan.
Metode penyarian yang digunakan adalah infundasi, yaitu ekstraksi yang
21
menggunakan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup
dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-980C) selama waktu tertentu
(15-20 menit) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Proses
penyarian ini akan menghasilkan ekstrak air atau infus air yang mengandung
berbagai zat yang terlarut dalam air. Penyarian dapat dilakukan dengan
penambahan bahan tertentu untuk optimasi proses penyarian (Agoes, 2007).
c. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara
perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan
pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1995).
Dalam sediaan farmasi seperti kapsul dan tablet, bahan baku yang digunakan
pada umumnya berbentuk ekstrak kering. Jika ekstrak masih kental, maka
penentuan dosis akan mengalami kesulitan karena bahan kurang homogen dan
masih lengket sehingga sulit pengambilannya. Pengolahan ekstrak kental menjadi
kering dapat dilakukan dengan cara penjemuran alami maupun menggunakan alat
pengering. Kelemahan dari cara penjemuran adalah memerlukan waktu yang lama
dan hasil yang diperoleh kurang higienis, sedangkan dengan alat pengering
memerlukan suhu yang tinggi. Untuk beberapa komoditas tanaman, suhu yang
22
tingi dapat merusak komponen bahan aktif karena sensitif terhadap panas. Dengan
demikian, untuk menjaga supaya komponen aktif yang terdapat dalam tanaman
tidak rusak serta mempercepat proses pengeringan, maka ditambahkan bahan
pengisi ke dalam ekstrak kental (Sembiring, 2009).
9. Laktosa
Laktosa adalah gula yang diperoleh dari gula susu dalam bentuk anhidrat
atau mengandung satu molekul air hidrat. Laktosa berupa serbuk atau massa
hablur, keras, putih atau putih krem. Tidak berbau dan rasa sedikit manis. Stabil di
udara, tetapi mudah menyerap bau. Laktosa mudah (dan pelan-pelan) larut dalam
air dan tidak larut di dalam kloroform dan dalam eter (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1995).
Laktosa atau gula susu merupakan bahan pengisi yang paling banyak
digunakan karena tidak bereaksi dengan hampir semua obat, baik yang digunakan
dalam bentuk hidrat atau anhidrat. Sediaan obat yang menggunakan laktosa
memberikan kecepatan pelepasan obat yang baik, granul yang terbentuk cepat
kering dan waktu hancur tidak terlalu peka terhadap perubahan (Banker dan
Anderson, 1986).
Laktosa mempunyai densitas 1,589 g/cm3 dan rumus empirisnya
C12H22O11 (Edge et al., 2006). Laktosa termasuk suatu disakarida dari glukosa dan
galaktosa dan diperoleh melalui kristalisasi, pemusingan dan pengeringan atau
melalui pengering sembur dari air susu (lebih banyak air susu perut binatang
menyusui dengan 5% laktosa). Dalam ketergantungannya dari konfigurasi bagian
23
glukosanya dipisahkan antara α-laktosa dan β-laktosa. Laktosa yang digunakan
dalam teknologi farmasi umumnya adalah α-laktosa monohidrat. Untuk kompresi
langsung cocok digunakan laktosa yang diperoleh melalui pengering sembur yang
memberikan tablet dengan kekompakan besar. Sifat yang sama diperoleh dengan
bahan yang dikeringkan pada silinder pejal (Voight, 1994).
E. Landasan Teori
Akar kelembak, daun kemuning, daun jati belanda, herba meniran,
rimpang kunyit dan rimpang temulawak sebagai ramuan tradisional anti
hiperkolesterol mempunyai parameter pengobatan yang berkaitan dengan
pendekatan holistik untuk efek promotif dan preventif dan parameter yang terkait
dengan efek kuratif ramuan (Pramono, 2011). Pengobatan dengan menggunakan
ramuan ini memiliki kendala umum di masyarakat, yaitu adanya rasa pahit yang
ditimbulkan dari bahan penyusun ramuan serta kurang praktis, sehingga
penggunaannya tidak terlalu digemari oleh masyarakat.
Dalam sediaan farmasi seperti kapsul dan tablet, bahan baku yang
digunakan pada umumnya berbentuk ekstrak kering. Jika ekstrak masih kental,
maka penentuan dosis akan mengalami kesulitan karena bahan kurang homogen
dan masih lengket sehingga sulit dalam pengambilannya. Pengolahan ekstrak
kental menjadi ekstrak kering dapat dilakukan dengan penambahan bahan
pengering. Penambahan bahan pengering ini menjaga supaya komponen aktif
yang terdapat dalam tanaman tidak rusak serta mempercepat proses pengeringan
(Sembiring, 2009).
24
Laktosa adalah gula yang diperoleh dari gula susu dalam bentuk anhidrat
atau mengandung satu molekul air hidrat (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1995). Laktosa atau gula susu merupakan bahan pengisi yang paling
banyak digunakan karena tidak bereaksi dengan hampir semua obat, baik yang
digunakan dalam bentuk hidrat ataupun anhidrat (Banker dan Anderson, 1986).
F. Hipotesis
Perubahan bentuk sediaan rebusan ramuan anti hiperlipidemia menjadi
ekstrak kering tidak mempengaruhi kandungan zat aktif baik secara kualitatif
maupun kuantitatif ramuan tersebut.
Download