BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Konsep Dangdut dan Budaya Populer menempatkan produksi dan sirkulasi makna tentang sebuah genre musik dalam kondisi sosial (politik dan ekonomi) dan budaya (ideologis) di Indonesia. Musik dangdut menjadi sebuah fenomena dalam masyarakat Indonesia, pro dan kontra selalu ada dalam perbincangan mengenai genre musik ini. Menapaki keberlangsungan musik dangdut di masyarakat yang tampak semakin berkembang dan semarak, terlihat semakin senantiasa diminati dan dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat dari berbagai golongan. Musik dangdut ini terasa begitu dekat dengan penggemarnya dari mulai anak – anak hingga orang dewasa. Musik ini menjadi populer karena masyarakat penggemarnya telah menjadikan dangdut ini sebagai bagian dari kehidupan sehari – hari. Dimana dalam kesempatan berkumpul, bersantai, pesta perkawinan, khitanan, syukuran, hingga kampanye politik tidak pernah sepi dari alunan irama dangdut. Perkembangan musik dangdut di Indonesia bukanlah secara tiba – tiba, melainkan telah mengalami evolusi panjang. Berbagai tahapan telah dilalui hingga masih bertahan pada saat ini. Konsep – konsep dasar tentang dangdut dan budaya populer menjadi konsep utama dalam penelitian ini 1. Kota Definisi Kota sangat beragam dan amat banyak bergantung pada latar belakang ilmu yang digunakan sebagai sudut pandang dalam pendefinisian kota itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kota memiliki arti yaitu daerah permukiman yang terdiri atas bangunan rumah 8 yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat. Menurut Rapoport, Kota merupakan suatu pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu – individu yang heterogen dari segi sosial (Prasetijaningsih 2014:2). Menurut Branch, Kota merupakan elemen – elemen yang nyata (tangiable), seperti rumah dan sarana prasarana umum dan tidak nyata (intangiable) seperti kekuatan hukum dan politik yang membentuk dan membatasi kegiatan. Menurut KBBI, kota adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasar ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan atau status hukum. Penetapan daerah yang disebut dengan perkotaan menurut BPS mempunyai ciri yaitu: a. Suatu daerah yang penduduknya memiliki kegiatan utama bukan pertanian. b. Kepadatan penduduk tidak kurang dari 5000 jiwa/km2 c. memiliki fasilitas umum kurang lebih 8 dari 16 fasilitas seperti SD, SMP, SLTP, Bioskop, Rumah sakit, Bank, Telephone, Listrik, Pabrik, Pasar,dll. Sedangkan Bintarto (1984:86) menyatakan bahwa Kota adalah sebuah sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai oleh strata sosial ekonomi yang heterogen serta corak materialistis, atau dapat diartikan sebagai benteng budaya yang ditimbulkan oleh unsur – unsur alami dan non alami degan gejala – gejala pemutusan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan meterialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya. Menurut peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia NO. 4/1980 menyatakan bahwa kota 9 adalah wadah yang memiliki batasan administratif wilayah seperti kotamadya dan kota administrasi. Max Weber melihat kota sebagai kumpulan tempat tinggal yang terpisah namun dalam suatu pemukiman yang tertutup. Dalam ruang yang tertutup ini, tercampur aspek kekuasaan bersenjata/bermiliteristik sebuah kota (kota sebagai benteng) aspek pasar dimana berbagai komoditas dipertukarkan. Ruang kota memiliki sejarah dengan proses pembentukkannya yang dapat dilacak dan dianalisa secara jelas. Ruang – ruang dalam kota inilah yang mempengaruhi keberadaan kota karena memiliki makna yang terbentuk dari proses sosial yang berubah dari masa ke masa. Dari sudut pandang ekonomi, Suparlan, mendefinisikan kota sebagai sebuah kawasan yang apapun corak dan besarnya, dibangun untuk kepentingan ekonomi yang menguntungkan bagi pelaku ekonomi dan bagi warga kota yang bersangkutan. Kota didefinisikan sebagai sebuah hunian atau pemukiman yang dihuni secara permanen yang warga atau penduduknya membentuk suatu kesatuan kehidupan yang lebih besar pengelompokannya daripada sebuah keluarga luas, marga atau klan. (Kartono, 2010:512). Dalam perkembangan kehidupannya kota mengalami perubahan fungsi yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan informasi. Hal ini dikarenakan manusia memiliki kegiatan – kegiatan yang beraneka ragam seperti kegiatan politik, sosial, keagamaan, budaya yang umumnya berpusat pada kota – kota tersebut. Gist NP dan Halbert LA mengklasifikasikan kota berdasarkan fungsinya menjadi beberapa jenis yakni : 10 a. Kota berfungsi sebagai Kota Industri. Dalam kota ini, kegiatan industri merupakan kegiatan yang menonjol dibandingkan dengan kegiatan – kegiatan bukan industri. Kadang suatu kota memiliki sifat gabungan dari berbagai macam industri, namun biasanya hanya ada satu atau dua yang menonjol. b. Kota berfungsi sebagai pusat perdagangan. Kota – kota perdagangan besar biasanya merupakan kota pelabuhan. Hal ini disebabkan karena kota yang bersangkutan memiliki aktivitas yang jauh lebih besar daripada kota lain yang bukan merupakan kota pelabuhan, terutama ditinjau dari pintu gerbang transportasinya. Sehingga kota tersebut memiliki potensi besar berkembangan dalam bidang perdagangan. c. Kota sebagai pusat politik. Salah satu fungsi pokok kota adalah sebagai pusat pemerintahan. Kota politik ini berkembang ditentukan oleh peranannya sebagai pusat pemerintahan negara yang bersangkutan dan merupakan pusat sistem perintahan pusat ataupun daerah d. Kota sebagai pusat kebudayaan. Dalam hal ini potensi kultural lebih menonjol dibanding fungsi yang lain. Dalam masa silam pengaruuh dari Masjid dan Gereja serta pusat kerajaan memegang peranan penting dalam kehidupan bernegara. Disamping kota – kota erat dengan budayanya biasanya juga berdampingan dengan perkembangan dunia pendidikan dan kesenian. e. Kota sebagai pusat rekreasi. Suatu kota akan memiliki fungsi sebagai pusat rekreasi, apabila kota tersebut memiliki kondisi – kondisi tertentu yang mampu menarik para pendatang untuk menikmati kenikmatan tertentu yang ada pada kota tersebut. 11 2. Budaya Populer Budaya yang akan membentuk identitas jadi identitas yang terbentuk tergantung dari budaya yang dianut. Budaya pop atau budaya populer memang sering kita dengar tapi apakah kita benar – benar memahami arti budaya populer, tanpa disadari budaya populer sudah menjadi konsumsi kita setiap hari. Budaya sendiri memiliki beberapa definisi yang berbeda – beda tentang konsep budaya. Budaya merupakan perkembangan intelektual, spiritual, estetis, pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu; dan karya dan praktik intelektual, terutama aktivitas artistik (Storey, 2007:8). Dengan demikian, ruang lingkup budaya dapat meliputi aktivitas seni, sastra, pendidikan, hiburan, olahraga, organisasi, wilayah, orientasi seksual, politik, etnis dan upacara / ritus religiusnya, serta aktivitas artistik budaya pop, seperti puisi, novel, opera, lukisan, maupun musik. Kata pertama yang dibahas dalam Budaya Pop adalah populer, William memaknai istilah populer sebagai berikut: banyak disukai orang, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang (Storey 2003:10). Sedangkan definisi budaya pop dapat diterangkan sebagai berikut: 1. Budaya Pop merupakan budaya yang menyenangkan dan disukai oleh banyak orang. Definisi budaya pop dengan demikian harus mencakup dimensi kuantitatif, apakah suatu budaya itu dikonsumsi oleh banyak orang. Pop-nya budaya populer menjadi sebuah prasyarat. 2. Definisi kedua budaya Pop adalah budaya sub standar, yaitu kategori residual (sisa) untuk mengakomodasi praktek budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Budaya tinggi merupakan kreasi hasil kreativitas individu, berkualitas, bernilai luhur, terhormat, dan 12 dimiliki oleh golongan elit, seperti para seniman, kaum intelektual, dan kritikus yang menilai tinggi rendahnya karya budaya. Sedangkan budaya pop adalah budaya komersial (memiliki nilai jual) dampak dari produksi massal. 3. Budaya pop merupakan budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi oleh massa untuk dikonsumsi massa. Budaya ini dikonsumsi tanpa pertimbangan apakah budaya tersebut dapat diterima di dalam masyarakat atau tidak. Budaya pop dianggap sebagai dunia impian kolektif. 4. Budaya pop berasal dari pemikiran postmodernisme. Hal ini berarti pemikiran tersebut tidak lagi mengakui adanya perbedaan antara budaya tinggi dan budaya pop dan menegaskan bahwa semua budaya adalah budaya komersial. (Storey, 2007:10-16). Storey menambahkan, sejumlah definisi atas budaya populer di atas pada dasarnya memiliki sebuah persamaan, dia dipersatukan oleh sebuah konteks. Budaya populer hanya bisa berkembang dan ditemukan dalam konteks masyarakat yang mengalami proses urbanisasi. Budaya populer merupakan produk masyarakat industrial, dimana kegiatan dan pemaknaan hasilnya (yakni kebudayaan) dihasilkan dan ditampilkan dalam jumlah besar, kerap dengan bantuan teknologi produksi, distribusi dan luas. Para pencipta budaya pop tidak selalu berniat menyampaikan pesan atau nilai politik dalam karyanya, dan konsumennya pun tidak perlu mencari pesan atau nilai politis semacam itu. Budaya pop seringkali dipahami terutama sebagai barang hiburan dan barang dagangan untuk meraup laba, meski ada kasus budaya (pop atau yang lainnya) yang terang – terang an dirancang untuk membuahkan pernyataan politik, dan kemudian jadi terkenal, atau dicekal karena alasan politik. (Heryanto 2012:11). 13 Dalam pandangan Fiske, budaya populer diciptakan oleh beragam kelompok sosial yang terpinggirkan dari sistem sosial. Budaya populer hadir dari masyarakat yang jauh cenderung lemah dan tidak memiliki keistimewaan atau kekuatan sosial (sub-ordinat). Budaya populer akan selalu memiliki muatan resistensi dan konflik. Di dalam budaya populer terlarutkan sebuah perlawanan. Perlawanan tersebutlah yang menjadikan makna sosial para kaum sub-ordinat bisa muat dan bisa masuk dalam produk maupun sumber yang dihadirkan oleh kelompok elit. 3. Identitas Identitas yang dimiliki oleh suatu hal yang tidak hanya memberi makna tersendiri, namun juga menjadi ciri khas yang melatar belakanginya. Secara Etimologis, kata identitas berasal dari kata identity yang berarti kondisi atau kenyataan tentang suatu yang sama, suatu keadaan yang mirip satu sama lain. Identitas juga merupakan keseluruhan atau totalitas yang menunjukkan ciri – ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati diri dari faktor – faktor biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu. Tingkah laku tersebut terdiri atas kebiasaan, sikap, sifat – sifat serta karakter yang berada pada seseorang sehingga seseorang tersebut berbeda dengan orang yang lainnya. Identitas sangatlah penting. Dengan identitas maka apa yang disebut dengan sesuatu dikatakan sebagai sesuatu. Identitas membantu masyarakat luas untuk bisa mengenal individu atau kelompok baik dari jenis kelamin, bahasa, dari segi budaya, agama, ataupun politik dan berbagai aspek kehidupan yang lain. Identitas juga bisa memandu seseorang dalam memilah perjalanan dari tujuan hidupnya. Misalnya seseorang yang ingin masuk di sebuah komunitas, maka orang tersebut harus mengenal identitas komunitas itu, dengan demikian maka untuk selanjutnya apabila sudah mengenal dan mengerti tentang karakteristik 14 komunitas tersebut dia bisa akan tetap masuk apabila komunitas tersebut positif, sebaliknya akan meninggalkan apabila komunitas tersebut negatif. Identitas personal terbentuk dari pemahaman diri (self understanding) yang bersifat intim dan langsung. Dengan begitu ia lebih mewakili aspek – aspek esensial dan krusial dari diri individu. Menurut James Fearon dalam (Afthonul, 2015:15) identitas personal seseorang setidaknya disusun oleh dua aspek berikut. Pertama, identitas personal merupakan kategori yang terdiri dari seperangkat aspek atau atribut – atribut yang melekat pada diri seseorang yang membedakan dirinya dengan orang lain. Misalnya atribut – atribut fisikal (warna kulit, bentuk rambut, tinggi badan, dan sebagainya), keyakinan personal yang spesifik, hasrat dan tujuan – tujuan personal, prinsip – prinsip moral, maupun hal – hal yang secara umum mencirikan ekspresi – ekspresi personal individu. Kedua, identitas personal merupakan aspek – aspek atau atribut – atribut seseorang dalam arti dia tidak bisa tidak untuk senantiasa menyadarinya sebagai bagian dari dirinya. Peter L. Berger menjelaskan bahwa identitas meliputi segala hal pada seseorang yang dapat menyatakan secara sah dan dapat dipercaya tentang dirinya sendiri, status, nama, kepribadian dan masa lalunya. Oleh karena itu apabila konteks sosialnya tidak dapat dipercaya maka seseorang tidak dapat menyatakan apapun secara sah dan dapat dapat dipercaya tentang dirinya sendiri. Identitas diri bertalian dengan konsepsi yang kita yakini tentang diri kita, sementara harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial. Keduanya berbentuk narasi atau menyerupai cerita. Jadi identitas sepenuhnya adalah konstruksi sosial dan tidak mungkin eksis di luar representasi budaya dan akulturasi. Berger dan Luckmann (1990:14) mempertegas konsepsi tersebut dengan menyebutkan bahwa identitas lahir melalui proses sosialisasi dan identifikasi yang terus menerus. Oleh karenanya, identitas sudah 15 dirancang dengan sangat seksama, dalam arti dapat mencerminkan sepenuhnya kenyataan obyektif dimana identitas itu berada. Singkatnya, setiap orang ‘adalah’ benar – benar apa yang diandaikan tentang dia. Dalam masyarakat seperti itu, setiap identitas mudah dikenal secara obyektif maupun subyektif. Setiap orang tahu siapa tiap orang lain dan siapa dirinya. Sejalan dengan pemikiran Berger diatas, Giddens (dalam Barker 1999:219) memperkenalkan konsep identitas diri yaitu sesuatu yang tercipta dari kemampuan untuk mempertahankan narasi perihal diri, dan dengan membangun perasaan yang konsisten perihal kesinambungan biografis. Acuan dari Gidden tersebut menjelaskan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang dimiliki atau sebuah entitas yang bisa ditunjuk, karena hal tersebut merupakan cara berfikir tentang diri yang senantiasa berubah – ubah sesuai dengan ruang dan waktu, dari lingkungan satu ke lingkungan yang lain. Berdasarkan penjelasan dari beberapa tokoh tersebut dapat dikatakan bahwa konsep identitas dapat dikatakan sebagai hubungan individu dengan kelompok sosial secara komunal dan terbentuk karena pemahaman terhadap perasaan aman dalam ruang komunal yang diwujudkan dalam berbagai cara dan gaya hidup. Identitas bukan merupakan sesuatu yang dimiliki, melainkan proses yang dibangun individu dengan sebuah kelompok komunal melalui pola berfikir dan juga praktek sosial yang dilakukan oleh mereka. 4. Dangdut Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1992:226) dangdut merupakan sebuah jenis musik baru yang muncul di sekitar tahun 1970an. Dangdut merupakan sebuah istilah yang muncul yang dimaksudkan 16 sebagai ungkapan mengejek atau bahan ejekan terhadap sebuah corak musik Melayu yang tengah berkembang pesat pada tahun 1970-an. Untuk memperdalam dimensi pengertian dangdut yang akan ditelusuri dalam penelitian ini, maka penulis akan menggunakan pendekatan dangdut yang dipaparkan Weintraub (2012:83) bahwa dangdut merupakan musik populer di Indonesia, yang musiknya diartikulasikan dengan kelas masyarakat menengah ke bawah (dangdut is the rakyat). Pendekatan Weintraub untuk mendefinisikan dangdut dalam konteks sosio-kultural tersebut dibangun oleh faktor antara lain sebagai berikut: 1. Kedekatan historisnya secara melodi, ritme, dan gaya vokal orkes melayu (musik populer melayu). 2. Menggunakan lirik berbahasa Indonesia. 3. Secara relatif memiliki gaya yang sederhama dalam joget dan goyang. 4. Lirik yang mudah dipahami. 5. Teks lagu berangkat dan seputar kehidupan sehari – hari dalam realitas masyarakat kebanyakan. Musik Dangdut merupakan salah satu dari genre musik yang cepat berkembang di Indonesia. Menurut sejarahnya, bentuk musik ini berakar awal dasar dari Qasidah yang terbawa oleh Agama Islam yang masuk Nusantara tahun 635 – 1600 dan Gambus yang dibawa oleh migrasi orang Arab tahun 1870 – sesudah 1888, kemudian menjelma sebagai Musik Gambus tahun 1930 oleh orang Arab-Indonesia bernama Syech Albar, selanjutnya menjelma sebagai Musik Melayu Deli pada tahun 1940 oleh Husein Bawafie, dan tahun 1950 pengaruh musik Amerika Latin serta tahun 1958 dipengaruhi Musik India melalui film Bollywood oleh Ellya 17 Khadam dengan lagu Boneka India, dan terakhir lahir sebagai Dangdut tahun 1968 dengan tokoh utama Rhoma Irama. (Ibrahim 1997:241). Dalam evolusi menuju bentuk kontemporer sekarang masuk pengaruh unsur-unsur musik India (terutama dari penggunaan tabla) dan Arab (pada cengkok dan harmonisasi). Perubahan arus politik Indonesia pada akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh musik barat yang kuat dengan masuknya penggunaan gitar listrik dan juga bentuk pemasarannya. Sejak tahun 1970-an dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuknya yang kontemporer. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music. Genre dangdut merupakan musik akulturasi modern yang lebih cepat populer daripada keroncong. Maka dari itu musik dangdut dikatakan juga sebagai musik populer (Manuel 1988:210). Semenjak permulaan genre dangdut yang mulai matang di tahun 1970an awal, makna dangdut telah berubah dari suara massa populer menjadi unsur sentral budaya konsumen modern. Masa datangnya Orde Baru telah membukakan Indonesia terhadap ekspansi industri yang tiada henti, kapitalisme gaya Barat, komodifikasi intensif, dan budaya konsumerisme. Berkat teknologi elektronik baru, musik berbentuk rekaman kaset dapat menjangkau daerah – daerah yang jauh dari pusat – pusat produksi di perkotaan. Perkembangan teknologi melalui sejumlah media cetak maupun elektronik semakin mengangkat citra dangdut yang dulunya dianggap sebagai musik kampungan menjadi sebuah musik elegan. Sehingga tidak mengherankan jika musik dangdut disajikan untuk berbagai kepentingan, seperti bisnis, politik, popularitas, kampanye dan lain sebagainya. 18 Kehadiran musik dangdut menjadi sebuah fenomena dalam perkembangan musik populer di tanah air. B. Penelitian Terdahulu Berbagai penelitian mengenai musik dangdut telah dilakukan oleh berbagai kalangan dari mahasiswa, dosen, maupun pihak – pihak yang berkepentingan lainnya. Ada beberapa penelitian mengangkat tentang sejarah dangdut, keberadaannya dalam masyarakat, permasalahan yang menjadi fenomena dalam musik dangdut, maupun perkembangan dangdut itu sendiri. hasil dari penelitian tersebut bisa dijadikan referensi ataupun acuan oleh peneliti – peneliti lainnya untuk membuat penelitian serupa. Tidak hanya peneliti dari Indonesia saja yang melakukan riset tentang musik dangdut, namun juga banyak peneliti asing melakukan penelitian mengenai musik dangdut ini. Sebuah tulisan dari Slamet Haryono (2009) yang berjudul Dangdut dan Eksploitasi Seksual Perempuan. Tulisan ini mengupas beberapa hal yang menyebabkan terjadinya ekploitasi seksual perempuan dalam pertunjukan musik dangdut pada umumnya. Musik dangdut, dan perempuan berpakaian seksi memang menjadi suatu identitas pada setiap pertunjukan musik dangdut disaat ini. Itu merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan bagi penggemar musik dangdut ini. Namun menurut Slamet Haryono ada beberapa penyebab terjadinya eksploitasi perempuan dalam pertunjukan dangdut, dengan menggunakan teori feminisme. Yang pertama ekploitasi seksual perempuan diakibatkan dominasi struktur patriakal, kemudian kemolekan tubuh seorang penyanyi dangdut sebagai komoditi, pakaian seksi yang dikenakan sebagai sebuah bentuk ekspresi dan eksploitasi tubuh, dan dominasi struktur kapitalistik dalam musik dangdut (Slamet Haryono 2009:3–4). Memang tidak dipungkiri seperti kita ketahui perubahan 19 pertunjukan musik dangdut dari era 80-an hingga saat ini sangatlah mencolok drastis. Yang paling dapat kita lihat yaitu dari penyanyi dangdut / biduan mulai dari pakaian, gaya menyanyi, maupun aksi panggung yang dilakukan. Tulisan dari Slamet Haryanto tersebut dapat menjadi referensi bagi penulis untuk melakukan penelitian tentang Dangdut dan Budaya Populer ini. Sebuah hasil penelitian dari Rizki Hafiz Chaniago dan Fuziah Kartini Hassan Basri (2011) yang berjudul Citra Wanita Dalam Perkembangan Muzik di Indonesia ini menyoroti citra wanita Indonesia atas pernan seniman wanita dalam berkesenian terutama dalam seni musik dangdut. Dari hasil penelitian ini, perubahan citra wanita dari zaman – ke zaman dapat dilihat melalui budaya serta lirik lagu musik dangdut. Pada tahun 1960-an budaya dangdut masih mengutamakan kualitas lirik lagu dan Elvy Sukaesih yang dinobakan sebagai Ratu Dangdut Indonesia memainkan peranan penting dalam menggambarkan perkembangan peranan wanita pada masa itu. Isu – isu mengenai percintaan dan emansipasi wanita dikemas secara bersamaan dalam lirik lagu. Sesuai dengan perkembangan zaman, budaya musik dangdut mengalami perubahan. Seorang penyanyi dangdut Indonesia yaitu Inul Daratista adalah representasi perempuan kampung yang berjaya membawa goyang menjadi budaya baru dalam dunia musik dangdut nasional. Media berperan penting untuk membawa seorang Inul menjadi diva dangdut pada masa itu. Namun kisah sukses kehidupan Inul yang tegar dan berani akhirnya justru menyebabkan bias gender. Goyang ngebor Inul di atas panggung yang terpapar di media merupakan eksploitasi tubuh perempuan yang secara eksplisit menyuguhkan kenikmatan bagi kaum laki – laki. Di tengah polemik mengenai keberjayaan goyang dangdut, penyanyi dangdut wanita kian muncul dengan mengeksplorasi goyangan masing – masing. Kini para penyanyi dangdut wanita beramai – ramai masuk dalam industri dangdut karena terpengaruh dengan nilai uang yang menggiurkan. 20 Melihat perkembangan ini, tanpa disadari gambaran wanita di era milenium saat ini telah berubah. Penyanyi dangdut yang seharusnya memberi hiburan dan mencontohkan nilai baik kepada para wanita seperti sopan santun dalam berpakaian, berbahasa, dan berkesenian. Penampilan penyanyi dangdut yang agresif diiringi dengan lirik – lirik lagu dangdut yang bertema perselingkuhan, dan cinta terlarang tentu saja merubah image musik dangdut seperti pada awalnya. Penyanyi dangdut wanita mempunyai peranan penting di mata golongan wanita itu sendiri karena wanita memiliki kedudukan yang cukup sentral dalam aspek kehidupan di masyarakat. Banyaknya orang yang menggemari fenomena “goyang” memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia mengalami krisis moral, oleh sebab itu penting bagi para penyanyi dangdut wanita kembali pada akar dangdut sebenarnya yaitu menyanyi (Rizki Hafiz Chaniago dan Fuziah Kartini Hassan Basri 2011:148). Penelitian tesebut berkaitan juga dengan apa yang akan ditulis peneliti mengenai Dangdut dan Budaya Populer, maka digunakan sebagai acuan bagi penulis. Penelitian lain yang dilakukan oleh Andy Bennett (2001) yang berjudul Cultures of Popular Music ini mengangkat budaya Musik Populer yang berkembang di Birmingham, Inggris. Musik populer banyak dinikmati kalangan remaja. Dimulai dengan gambaran dari sosial ekonomi yang menyebabkan revolusi industri musik. Inovasi teknologi berperan banyak dalam pengembangan musik – musik lokal tersebut. Bennett meneliti genre musik metal, yang merupakan genre yang pertama untuk diteliti, kemudian mengalohkan perhatian ke fenomena musik punk, reggae, rap, serta hip – hop. Musik populer membawa dampak perubahan fashion dan gaya anak muda pada zaman itu. Musik populer menjadi konsumsi utama anak muda dan remaja disana. Sebuah penelitian lain dari Jeffry Alkatiri dengan judul Modern Malay Rhytem Music Trend as Popular Culture in Indonesia 1950 – 21 1960’s: A Sociological Analysis (2013) mengkaji tentang fenomena musik ritmis Melayu yang dulunya populer di Indonesia sekitar tahun 1950 hingga 1960an. Jefrry melihat dari konteks sosiologis masyarakat dan isi lirik yang terkandung dalam musik Melayu modern. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana perubahan dalam musik Melayu, mengapa dapat disukai, dan pesan apa saja yang terkandung dalam lirik, serta setiap pendukung karakter. Penelitian ini menggunakan studi budaya dan pendekatan analisis wacana. Musik orkestra Melayu modern yang dikembangkan terutama di Jakarta menjadi populer serta banyak jenis musik lainnya saat ini. Ini dikarenakan kebijakan pemerintah Orde lama (1959-1966) yang membatasi referensi musik dan lagu Barat masuk ke Indonesia. Musik Melayu modern yang melekat image musik yang digemari kalangan bawah, pada akhirnya juga dapat menyentuh pendengar dari kalangan menengah, atas, bahkan ke luar Indonesia. Hal ini dikarenakan irama Melayu modern dapat beradaptasi dengan tuntutan masyarakat kontemporer yang menginginkan modifikasi, improvisasi dan inovasi. Dalam perkembangan musik Melayu modern ini, musisi telah mengubah rhytem dan lirik dari Melayu tradisional menjadi lebih modern. Pekerjaan mereka kini telah masu di tahun ke 50 di sejarah musik di Indonesia. Hampir pasti musik telah menjadi legenda akan terus bertahan akan terus dilanjutkan dan dikembangkan. Meskipun sekarang hanya legenda, tapi irama musik Melayu telah memberikan kontribusi signifikan untuk perkembangan musik di Indonesia. Musik Melayu telah menjadi sebagian dari budaya populer bagi kaum muda di Indonesia pada saat itu (Zeffry Alkatiri 2013:242). Beberapa penelitian terdahulu seperti di atas dijadikan referensi dan acuan bagi penulis untuk melakukan dan menyusun laporan penelitian tentang dinamika musik dangdut karena memiliki kaitan dengan penelitian yang akan 22 dilakukan dengan menggunakan proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi dari Peter L. Berger. Dimana penelitian yang dilakukan oleh penulis mengkaji dinamika panggung musik dangdut yang ada di kota Surakarta di Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari, TATV Solo, dan radio JPI FM. C. Landasan Teori Budaya populer dalam masyarakat industri berkontradiksi dengan sumbernya. Di satu pihak, budaya tersebut diindustrialisasi. Komoditaskomoditasnya dihasilkan dan didistribusikan oleh industri yang dimotivasi oleh keuntungan yang hanya mengikuti kepentingan – kepentingan ekonominya sendiri. Namun, di lain pihak budaya tersebut adalah budaya masyarakat. Untuk dikategorikan ke dalam budaya populer, suatu komoditas juga harus membawa kepentingan - kepentingan masyarakat(Fiske 2011:25). Budaya populer didefinisikan oleh kepercayaan dan nilai, oleh perilaku dan nilai, dan oleh pemahaman terhadap sejarah dan terhadap keberadaan–-semua hal tersebut dimiliki oleh kelompok sosial tertentu (Burton 2008:53). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori dari Peter L. Berger tentang konstruksi sosial. Pendekatan Berger terhadap pemahaman realitas memiliki dimensi – dimensi subyektif dan obyektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subyektif). Proses ini berjalan dalam kerangka dialektika Hegel, yaitu adanya tesa, anti tesa, dan sintesa antara diri (the self) dengan dunia sosio-cultural, Frans Parera menjelaskan bahwa tugas pokok sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan dialektika antara diri (self) dengan dunia sosiokultural melalui tahapan-tahapan tersendiri 23 Bagi Berger, masyarakat merupakan fenomena dialektis dalam pengertian bahwa masyarakat adalah suatu produk manusia yang akan selalu memberi tindak balik kepada produsennya. Masyarakat tidak memiliki bentuk lain kecuali untuk yang diberikan padanya oleh aktivitas dan kesadaran manusia. Setiap masyarakat manusia adalah suatu usaha pembangunan dunia. Proses dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari 3 (tiga) momentum atau langkah - langkah yakni eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. 1. Eksternalisasi Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Dalam pembangunan dunia, manusia karena aktifitas-sktifitasnya menspesialisasikan dorongan-dorongannya dan memberikan stabilitas pada dirinya sendiri. Karena secara biologis manusia tidak memiliki dunia-manusia maka dia membangun suatu dunia manusia. Manusia menciptakan berbagai jenis alat untuk mengubah lingkungan fisik dan alam dalam kehendaknya. Manusia juga menciptakan bahasa dimana melalui bahasa manusia membangun suatu dunia simbol yang meresapi semua aspek kehidupannya. Sama seperti kehidupan materialnya, masyarakat juga sepenuhnya produk manusia. Pemahaman atas masysrakat sebagai suatu produk aktifitas manusia sebagaimana berakar pada eksternalisasi menjadi penting mengingat kenyataan bahwa masyarakat tampak dalam pengertian sehari-hari sebagai sesuatu yang berbeda dari aktifitas manusia. Dan aktivitas manusia itu dilakukan secara terus menerus (Samuel 2012:28). Kedirian manusia adalah melakukan eksternalisasi yang terjadi sejak awal, karena ia dilahirkan belum selesai, berbeda dengan binatang yang dilahirkan dengan organisme yang lengkap. Untuk menjadi manusia, ia harus mengalami perkembangan kepribadian dan perolehan budaya. Keadaan manusia yang belum selesai pada saat dilahirkan, membuat 24 dirinya tidak terspesialisasi dari struktur instinktualnya, atau dunianya tidak terprogram. Dunia manusia adalah dunia yang dibentuk (dikonstruksi) oleh aktivitas manusia sendiri, ia harus membentuk dunianya sendiri dalam hubungannya dengan dunia. Dunia manusia yang dibentuk itu adalah kebudayaan, yang tujuannya memberikan struktur – struktur yang kokoh yang sebelumnya tidak dimilikinya secara biologis. Oleh karena merupakan bentukan manusia, struktur – struktur itu bersifat tidak stabil dan selalu memiliki kemungkinan berubah. Itulah sebabnya, kebudayaan selalu dihasilkan dan dihasilkan kembali oleh manusia. Ia terdiri atas totalitas produk – produk manusia, baik yang berupa material dan nonmaterial. Manusia menghasilkan berbagai jenis alat, dan dengan alat – alat itu pula manusia mengubah lingkungan fisis dan alam sesuai dengan kehendaknya. Manusia menciptakan bahasa dan membangun simbol – simbol yang meresapi semua aspek kehidupannya. 2. Objektivasi Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”. Dunia yang diproduksi oleh manusia kemudian menjadi sesuatu ”yang berada di luar sana”. Dunia ini terdiri dari benda-benda, baik materiil maupun non materiil yang mampu menentang kehendak produsennya. Sekali sudah tercipta maka dunia ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Objektivitas pemaksa dari masyarakat tersebut terlihat jelas dalam prosedur-prosedur kontrol sosial, yaitu prosedur-prosedur yang khusus dimaksudkan untuk memasyarakatkan kembali individu-individu atau kelompok pembangkang. Objektivitas masyarakat mencakup semua unsur pembentuknya. Lembaga-lembaga, peran-peran dan identitas – identitas eksis sebagai fenomena–fenomena nyata secara objektif dalam 25 dunia sosial meskipun semua itu tidak lain adalah produk-produk manusia. Bagi Berger, masyarakat adalah produk manusia, berakar pada fenomena eksternalisasi. Produk manusia (termasuk dunianya sendiri), kemudian berada di luar dirinya, menghadapkan produk – produk sebagai faktisitas yang ada di luar dirinya. Meskipun semua produk kebudayaan berasal dari kesadaran manusia, namun produk bukan serta-merta dapat diserap kembali begitu saja ke dalam kesadaran. Kebudayaan berada di luar subjektivitas manusia, menjadi dunianya sendiri, dunia yang diproduksi manusia memperoleh sifat realitas objektif. Semua aktivitas manusia yang terjadi dalam eksternalisasi, menurut Berger dan Luckmann dapat mengalami proses pembiasaan (habitualisasi) yang kemudian mengalami pelembagaan (institusionalisasi) (Berger 1990:75-78). Kelembagaan berasal dari proses pembiasaan atas aktivitas manusia. Setiap tindakan yang sering diulangi akan menjadi pola. Pembiasaan, yang berupa pola dapat dilakukan kembali di masa mendatang dengan cara yang sama, dan juga dapat dilakukan dimana saja. Dibalik pembiasaan ini juga sangat mungkin terjadi inovasi. Namun proses – proses pembiasaan mendahului sikap pelembagaan. Pelembagaan bagi Berger dan Luckmann terjadi apabila ada tipifikasi yang timbal balik dari tindakan – tindakan yang terbiasakan bagi berbagai tipe pelaku. Tiap tipifikasi semacam itu merupakan suatu lembaga. Tipifikasi – tipifikasi itu tersedia bagi semua anggota kelompok sosial ertentu, dan lembaga – lembaga itu mentipifikasi pelaku – pelaku individual ataupun tindakan – tindakannya. Tipifikasi – tipifikasi secara timbal balik itu terjadi secara diakronik dan bukan seketika. Lembaga – lembaga juga mengendalikan perilaku manusia dengan menciptakan pola – pola perilaku (Berger 1990:77-84). Pola – pola inilah yang kemudian 26 mengontrol dan melekat pada pelembagaan. Segmen kegiatan manusia yang telah dilembagakan berarti telah ditempatkan di bawah kendali sosial. Dalam konteks inilah semua itu dapat disebut sebagai dunia sosial, sebuah kenyataan yang komprehensif dan diberikan, yang dihadapi oleh individu dengan cara yang analog dengan kenyataan dunia alamiah. Sebagai dunia objektif, bentukan – bentukan sosial dapat diteruskan kepada generasi selanjutnya lewat sosialisasi. Dunia kelembagaan adalah aktivitas manusia yang diobjektivasi. Dunia sosial yang telah memperoleh sifat objektif, tetap tidak dapat dilepaskan dari status ontologisnya, dari aktivitas manusia yang menghasilkannya. Berger dan Luckmann (1990:116) menyatakan bahwa pelembagaan bukanlah suatu proses yang stabil walaupun dalam kenyataanya lembaga – lembaga sudah terbentuk dan mempunyai kecenderungan untuk bertahan terus. Akibat berbagi sebab historis, lingkup tindakan – tindakan yang sudah dilembagakan mungkin saja mengalami pembongkaran lembaga (deinstitusionalization). Proses – proses kelembagaan ini acapkali diikuti dengan objektivasi makna “tingkat kedua” yang disebut legitimasi. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat objektivasi “tingkat pertama” yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara objektif dan masuk akal secara subjektif. Legitimasi harus melakukan penjelasan – penjelasan dan pembenaran – pembenaran mengenai unsur – unsur penting dari tradisi kelembagaan. Legitimasi menjelaskan tatanan kelembagaan dengan memberikan kesahihan kognitif dan martabat normatif. Namun, semua legitimasi merupakan buatan manusia (Berger 1990:132-184) Keseluruhan deskripsi tersebut menyangkut masyarakat yang dipahami sebagai kenyataan objektif. Namun, dalam waktu yang serentak juga, masyarakat dipahami sebagai kenyataan subjektif. Ini terjadi dalam 27 momen internalisasi, yang dilakukan dalam bentuk sosialisasi primer dan sekunder. 3. Internalisasi Internalisasi adalah dimana individu mengidentifikasikan diri di tengah lembaga – lembaga sosial atau organisasi sosial, dimana individu tersebut menjadi anggotanya. Melalui internalitas, maka manusia merupakan produk dari masyarakat. Internalisasi merupakan pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan sebuah makna, artinya sebagai manifestasi dari proses – proses subjektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna secara subjektif (Berger 1990:184). Subjektivitas itu tersedia secara objektif bagi orang yang menginternalisasi dan bermakna, tidak peduli apakah ada kesesuaian antara kedua makna subjektifnya. Dalam konteks ini, internalisasi dipahami dalam arti umum, yaitu merupakan dasar: pertama, bagi pemahaman mengenai sesama, dan kedua, bagi pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial (Berger 1990:186). Selanjutnya dikatakan Berger dan Luckmann, baru setelah mencapai taraf internalisasi inilah individu menjadi anggota masyarakat. Proses untuk mencapai taraf itu dilakukan dengan sosialisasi. Ada dua macam sosialisasi, yakni pertama, sosialisasi primer, adalah sosialisasi pertama yang dialami oleh individu dalam masa kanak – kanak. Kedua, sosialisasi sekunder, adlah setiap proses berikutnya kedalam sektor – sektor baru dunia objektif masyarakatnya. Internalisasi berlangsung karena adanya upaya untuk identifikasi. Si anak mengoper peranan dan sikap orang – orang yang berpengaruh, dan menginternalisasi serta menjadikannya peranan sikap dirinya. Dengan 28 mengidentifikasi orang – orang yang berpengaruh irulah anak mampu engidentifikasi dirinya sendiri, untuk memperoleh suatu identitas yang secara subjektif koheren dan masuk akal. Diri merupakan suatu entitas yang direfleksikan, yang memantulkan sikap yang mula – mula diambil dari orang – orang yang berpengaruh terhadap entitas diri itu. Sosialisasi primer menciptakan di dalam kesadaran anak suatu abstraksi yang semakin tinggi peranan – peranan dan sikap orang – orang lain tertentu ke peranan – peranan dan sikap – sikap pada umumnya. Identitas merupakan satu unsur kunci kenyataan subjektif dan berhubungan secara dialektis dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses – proses sosial. Begitu ia memperoleh wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi, ata malahan dibentuk ulang oleh hubungan – hubungan sosial. Proses – proses soial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Masyarakat mempunyai sejarah dan di dalam perjalanan sejarah itu muncul identitas – identitas khusus, tetapi sejarah – sejarah itu dibuat oleh manusia dengan identitas – identitas tertentu (Berger 1990:248). Berdasarkan dengan teori Berger tentang tiga momen simultan tersebut memunculkan proses konstruksi sosial yang dilihat dari segi asal mulanya merupakan hasil ciptaan manusia, yaitu buatan interaksi intersubyektif. Berger memandang ketiga momen eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi tersebut memiliki hubungan dasar dan dipahami sebagai suatu proses yang berdialektika (interplay) satu sama lain. Masing – masing dari ketiga momen itu berkesesuaian dengan suatu karakterisasi yang esensial dari dunia sosial. Melalui eksternalisasi, masyarakat merupakan produk manusia, melalui objektivasi masyarakat menjadi realitas sui generis, unik, dan melalui internalisasi manusia merupakan produk masyarakat. Ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan – akan hal itu berada di luar 29 (objektivasi), dan lebih lanjut ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga yang berada di luar seakan – akan berada didalam diri. Dalam penelitian yang berjudul Dangdut dan Budaya Populer ini peneliti berusaha memeberikan sebuah gambaran tentang dinamika musik dangdut saat ini di Kota Surakarta. Tiga momen dialektis menurut Peter L. Berger di atas yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi akan menjadi sebuah tahapan – tahapan untuk bisa memahami gejala – gejala dan aktivitas sosial yang terjadi. Sehingga pada akhirnya peneliti bisa memberikan penjelasan tentang dinamika yang terjadi melalui ketiga tahap tersebut di atas. Dan pada akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan yang runtut mengenai dinamika musik dangdut. C. Kerangka Berfikir Dari latar belakang dan teori yang telah dijelaskan di atas, maka penulis menyusun kerangka pemikiran sebagai alur dalam mencari rumusan atas permasalahan tersebut. Kerangka berfikir peneliti untuk bisa menjelaskan perkembangan musik dangdut dari awalnya hingga saat ini menggunakan proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi dari Peter L. Berger. Musik tidak pernah bisa lepas dari kehidupan manusia sehari – hari. Ada bermacam – macam genre atau aliran musik. Diantaranya pop, rock, reggae, jazz, dan lain sebagainya. Genre – genre musik tersebut mengalami perkembangan dan diekplorasi oleh para musisi sehingga menghasilkan genre – genre musik yang baru. Di Indonesia sendiri dikenal sebuah genre musik yang cukup fenomenal di kalangan masyarakat, sebuah genre musik yang memiliki sejarah panjang dan perkembangan, yaitu genre musik Dangdut. Musik dangdut di Indonesia mengalami berbagai tahap perubahan dimulai dari kondisi awal di era Orde Baru hingga kondisi terkini di era Reformasi. Dari era Orde Baru hingga era Reformasi musik dangdut 30 mengalami transisi mulai dari segi musiknya, lirik lagu musik dangdut, pakaian yang digunakan untuk pentas, hingga pembawaan musik dangdut itu sendiri. Berbagai aliran musik dangdut juga mengalami perubahan. Bagaimana dangdut itu bisa melokal di setiap daerah di Indonesia dan pergelaran musik dangdut selalu ramai dengan penonton. Begitu pula di Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari, Surakarta yang setiap hari menggelar pergelaran musik dengan berbagai genre selalu dipadati penonton saat pergelaran musik dangdut digelar. Tidak hanya di THR Sriwedari, musik dangdut di kota Surakarta juga berkembang lewat saluran media televisi dan radio, yang masih terus eksis. Dari perkembangan musik dangdut sejak dari dulu hingga sekarang ini disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor – faktor tersebut yang akan digali oleh peneliti dalam penelitian ini. Dari perkembangan musik dangdut tersebut akan terlihat dinamika dan perbedaan antara musik dangdut pada kondisi dulu dengan kondisi sekarang ini. 31