Johan Badra K 04610144 SKB Tanggapan terhadap perusahaan Microsof dan Google Strategi Bersaing Perusahaan Dominan Dalam hal ini saya menanggapi pada perusahaan antara Microsof dan Google yang berbasis Pemasaran yang internasional..? Pertanyaannya ? Apakah perusahaan tersebut menurut anda paling dominant dalam persaingan, mengapa, apa buktinya…? Tanggapan ? Ya.. Melihat kiasan artikel bawah maka perusahan Microsof dan Google merupakan persaiangan dalam artian persaingan yang dominant dan perusahaan ini sudah menerapkan strategi bersaing perusahaan dominan seperti : 1. Strategi penurunan harga 2. Analisis data 3. Strategi bisnis 4. Strategi pesaing kecil ket : Perusahaan dominant muncul jika salah satu dari beberapa perusahaan yang ada di pasar memiliki pangsa pasar yang cukup besar sekitar sampai 60%- 70% oleh karena itu perusahaan dominant berbeda dengan monopoli yang sama sekali tidak memliki pesaing seperti pada perusahaan microsof tidak heran juga saya menganggap bahwa perusahaan yang dominant seperti microsof memilki berbagai strategi dan perilaku bisnis dalam mempertahankan pangsa pasar dan tingkat laba yang selama ini telah dimiliki dan bahkan microsof mencapai katagori perusahaan yang dominant di kalangan pasar global / pasar internasional. Untuk keperluan lain perusahaan dominant dilihat dari persaingan dan kemungkinan juga perusahaan Microsof memilki strategi bisnis yang dilihat dari gambar di bawah ini: P Kurva permintaan total TD Kurva permintaan residual rrrrRDRDl TD Q1 P1 AC MC Q Ket Gambar pada perusahaan yang dominant: Analisis Gambar 1 Menggunakan anggapan bahwa sebelumnya hanya ada satu perusahaan yang telah beroperasi di pasar (monopolis sementara) dan baru kemudian disusul oleh satu perusahaan baru yang hendak memasuki pasar. Harga yang terjadi di pasar setelah perusahaan. pesaing baru memasuki pasar (postentry price) tergantung pada lingkat kekiaran (output) yang dihasilkan oleh dua perusahaan yang telah beroperasi yakni perusahaan dominan (bekas monopoles) dan pesaing baru yang barli saja memasuki pasar. Dengan menganggap bahwa perusahaan dominan mempertahankan tingkat produksinya, maka perusahaan baru memiliki sisa permintaan pasar (residual demand) yang tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan dominart. yang ditunjukkan oleh garis RD. Oleh karena itu, dalam usahanya untl* niemperoleh laba maksimum, perusahaan pesaing baru tersebut dapat bartindak seakan-akan sebagai monopolis baru, setelah monopolis lama (yang sekarang telah berubah menjadi perusahaan dominan) menjual semua keluaran (output) yang dihasilkan. Gambar 1 ini terlihat bahwa perusahaan baru memproduksi barang sebesar Qe dengan tingkat harga pasar sebesar Pe sesuai dengan prinsip maksimalisasi laba di saat perusahaan dominan memproduksi barang sejumlah Qd. Total keluaran di pasar dengan demikian sama dengan Qe + Qd. Pertanyaan tentang apakah pada tingkat keluaran tersebut perusahaan pesaing dapat bertahan di pasar dapat menjawab dengan melihat kemungkinan peluang laba yang diperoleh pada tingkat penjualan sebesar Qe. dan pada harga Pe. Biaya rata-rata (AC) perusahaan baru ternyata lebih rendah dibanding tingkat harga pasar pada tingkat penjualan Qe, maka ia akan bertahan di pasar karena mampu memperoleh laba. Dalam gambar ini terlihat ketika pada tingkat penjualan Qe, AC terietak di bawah Pe. laba yang diperoleh sebesar empat persegi panjang yang diarsir. Nampak jelas dari analisis gambar di atas Strategi ini memang sangat cocok bagi Perusahaan yang besar seperti microsof dikarenakan bahwa strategi semacam ini bisa membuat pangsa pasar naik dan dilihat saja microsof dan google bisa dikatakan salah satunya mengusai (market leader) pasar dan kemudian tapi dalam hal bersaing antara microsoft dan google merupakan persaingan perusahaan yang dominant. Lebih pintarnya Microsof juga tidak bisa begitu saja mengabaikan pelanggannya saat ini. Karena itu, kedua perusahaan itu mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk memahami keinginan pelanggannya. Yang paling jelas adalah dengan cara menang bertanding dengan lawan dalam persaingan. Jadi dicapai dengan cara pertumbuhan internal. Karena bekerja dengan efisien, misalnya, maka perusahaan mampu menerapkan strategi harga termurah (cost leadership strategy). Akibatnya pesaing secara bertahap meninggalkan pasar, dan pada akhirnya hanya tinggal beberapa perusahaan saja yang tetap bertahan. Salah satu diantaranya menguasai (Market Leader) pasar dan kemudian menjadi perusahaan dominan. Fitur-fitur baru ditambahkan dan produk-produk baru yang dibutuhkan pelanggannya diluncurkan. Namun dengan berfokus pada kepentingan pelanggan lama, Microsoft juga kehilangan kontak dengan segmen konsumen baru yang tumbuh bersama Internet. Di sini lah para inovator berkembang subur karena tidak bersaing langsung dengan Microsoft. Melihat dari artikel bahwa perusahaan ini juga akan melakukan merger sekalipun juga karena kedua perusahaan ini sangat berkaitan maupun perusahaan ini sanagtlah berbasis internasional. Buktinya : Perusahaan microsof dengan google, tidak asing lagi bagi kita mungkin melihat kiasan artikel di bawah, dan juga dimisalkan dalam sebuah perusahaan bahwa strategi pemasaran di sini yang optimal dalam menjual produknya. Mungkin seperti itu sekilas contoh yang dilakukan perusahaan Microsoft dan Google. Lebih yang dominant lagi kedua perusahaan dalm persaingan tidak saling menjatuhkan keterlaluan dan dalam bersaing memiliki persaingan yang dominant dan juga ini sudah merupakan perusahaan pemasaran Global, atau suadah mencapai katagori perusahaan pemasaran Internasional. ARTIKELnya Persaingan dominant antara Microsoft dan google (Artikel ini juga dipublikasikan di Majalah eBizzAsia, edisi Juli 2006) Belakangan ini berita persaingan Microsoft dan Google sering menghias media massa. Microsoft, di satu pihak mewakili dari dunia lama, sementara Google mewakili dunia baru yang lahir dari Internet. Google, seperti yang kita ketahui, belakangan ini agresif mengeluarkan produk-produk baru yang bersaing dengan produk-produk Microsoft. Sementara itu, Microsoft sendiri jelas tidak tinggal diam. Memang menarik melihat dinamika persaingan kedua perusahaan tersebut yang terjadi di beberapa medan pertempuran sekaligus. Akan tetapi, bila kita ingin menarik pelajaran dari langkah-langkah yang diambil kedua belah pihak, kita harus memahami dinamika persaingan tersebut dengan melihat mereka sebagai incumbent dan innovator. Secara singkat, incumbent didefinisikan sebagai pemegang standar sistem yang berlaku umum saat ini, sementara innovator adalah pihak yang berusaha memperkenalkan standar baru. Tema pertarungan antara incumbent dan innovator sudah sering terjadi di bidang TI seperti IBM dengan mainframe-nya (incumbent) dan PC (innovator), kamera analog (incumbent) dan kamera digital (innovator), atau musik CD (incumbent) dan MP3 (innovator). Pembagian antara incumbent dan innovator ini penting dipahami karena strategi persaingan dan inovasi kedua belah pihak berbeda sama sekali. Kita akan berusaha memahami strategi persaingan incumbent dan innovator melalui Microsoft dan Google. Microsoft Sebagai incumbent, kekuatan Microsoft terletak pada sumber dayanya yang besar. Sumber daya tersebut bisa dalam bentuk uang, pelanggan yang besar, dan juga jaringan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan lain. Dengan dana yang besar, Microsoft sebenarnya mampu mengeluarkan produk-produk inovatif. Namun, kenapa Microsoft dianggap tidak seinovatif Google? Di sini kita melihat paradoks. Apa yang menjadi kekuatan incumbent, justru merupakan kelemahannya pada saat yang sama. Kelemahan utama Microsoft justru terletak konfigurasi sistemnya yang sudah dibangun seefektif dan seefisien mungkin untuk bersaing. Strategi, struktur organisasi, budaya perusahaan, proses, dan cara berpikir Microsoft sudah terbentuk sedemikian rupa untuk bersaing secara efektif dan efisien di industrinya. Konfigurasi tersebut juga terbentuk dari pola-pola hubungan yang sudah diciptakan Microsoft dengan para partner kerja sama dan standar software yang dipergunakan oleh konsumen. Sebagai tambahan, konfigurasi tersebut sudah terasah dan diperbaiki bertahun-tahun melalui persaingan dengan rival-rival Microsoft sebelumnya seperti Apple, IBM, Borland, Novell, Netscape, dan Corel. Namun begitu aturan persaingan berubah, konfigurasi yang sudah terlanjur terbentuk justru menjadi masalah karena tidak bisa dibongkar begitu saja. Misalnya saja, kebanyakan inovasi baru seperti Google Earth atau Google Spreadsheets tidak menawarkan keuntungan yang besar, paling tidak di tahap-tahap awal. Untuk perusahaan berukuran trilyunan USD, inovasi yang hanya menjanjikan penambahan pendapatan jutaan USD tidak akan dilirik. Biasanya setelah produk baru berkembang pesat, incumbent baru tertarik untuk ikut serta. Namun biasanya sudah terlambat, seperti yang terjadi di medan search engine. Pada saat Microsoft memutuskan membuat search engine sendiri, posisi Google sudah terlalu kuat untuk digeser. Hal yang sama mungkin bakal terulang lagi untuk inovasi-inovasi lain dari Google. Selain itu, Microsoft tidak bisa begitu saja mengabaikan pelanggannya saat ini. Karena itu, Microsoft mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk memahami keinginan pelanggannya. Fitur-fitur baru ditambahkan dan produk-produk baru yang dibutuhkan pelanggannya diluncurkan. Namun dengan berfokus pada kepentingan pelanggan lama, Microsoft juga kehilangan kontak dengan segmen konsumen baru yang tumbuh bersama Internet. Di sini lah para inovator berkembang subur karena tidak bersaing langsung dengan Microsoft. Lalu apa langkah terbaik yang harus dilakukan Microsoft? Tentu saja Microsoft harus memanfaatkan kekuatannya dengan masuk ke segmen-segmen pasar baru, terutama di bidang yang belum dikuasai Google. Dalam konteks ini, kita bisa memahami langkah Microsoft untuk mengeluarkan game console XBox. Lalu, Microsoft bisa menetralisir ancaman dari Google dengan mengembangkan layanan yang sama namun dengan memanfaatkan konfigurasi sistem yang dimilikinya saat ini, yang antara lain ditunjukkan dengan produk Windows Live and Office Live yang merupakan kepanjangan dari Microsoft Windows dan Office. Selain itu, dengan kekuatannya di bidang enterprise software, Microsoft berusaha mengintegrasikannya Office dengan sistem ERP perusahaan. Dengan integrasi semacam itu, Excel bisa dipakai untuk memanipulasi informasi yang diperoleh langsung dari database keuangan, misalnya. Untuk memperkuat cengkramannya di dunia desktop computer, Microsoft juga mencoba menciptakan standar sebanyak mungkin, misalnya dengan memperkenalkan format gambar Windows Media Photo untuk menyaingi format JPEG dan format dokumen baru untuk bersaing dengan PDF. Tak kalah pentingnya, Microsoft mencoba menyerang sumber uang Google di bidang search engine, walau Microsoft menyadari sulit untuk menang di sini. Karena itu, Microsoft mengembangkan search engine sendiri dan Windows Vista yang dilengkapi fitur search yang terintegrasi dengan mengurangi potensi pendapatan dan sekaligus memecah perhatian Google. Salah satu contoh pada perusahaan Microsof yaitu Microsoft Excel in Advanc Leve (Full Practice + CD Exercise) Program Aplikasi Spreadsheet khususnya Microsoft Excel memang tidak dapat dipungkiri merupakan sarana pendukung kerja yang paling dominan bagi banyak profesi atau pekerjaan mengingat feature atau kelebihan yang terkandung dalam program aplikasi tersebut sangat berguna. Namun masalahnya adalah masih banyak para pengguna Microsoft Excel yang belum memahami atau bahkan belum menyadari adanya kelebihankelebihan tersebut termasuk juga beberapa pejabat di perusahaan setingkat Manajer. Melalui pelatihan ini akan diajarkan pemanfaatan feature-feature tersebut khususnya yang berada pada menu Tools dan Menu Data dengan bahan-bahan yang telah dipersiapkan nara sumber sehingga setelah mengikuti pelatihan ini para manajer atau pimpinan yang menjadi peserta pelatihan ini DIJAMIN akan mampu bekerja lebih mudah, lebih akurat dan lebih cepat. Google Seperti yang kita lihat, kekuatan Google diperoleh karena perusahaan ini tidak memiliki beban dari konfigurasi sistem masa lalu yang mampu menahannya untuk melakukan inovasi-inovasi baru. Tanpa adanya beban tersebut, Google bebas melahirkan inovasiinovasi baru, meski inovasi tersebut belum tentu mampu menghasilkan sesuatu yang bernilai tinggi. Karena itu, tidak heran kita melihat banyaknya inovasi-inovasi yang keluar dari Google. Strategi Google bisa diringkas menjadi dua bagian besar. Pertama, Google tidak berkonfrontasi langsung dengan Microsoft dengan menciptakan medan persaingan baru di mana Microsoft belum ingin atau setengah hati untuk berpartisipasi. Medan perang tersebut adalah layanan web services, di mana aplikasi-aplikasi dijalankan lewat interface Web dan bukan melalui PC. Google dengan cerdik menyadari Microsoft tidak akan berpartisipasi sepenuh hati di sini karena bila Microsoft berpartisipasi di sini, Microsoft akan menghadapi konflik kepentingan dan kemungkinan kanibalisasi terhadap produkproduk Microsoft yang berbasis desktop PC. Di sini, Google memakai strategi judo dengan mengubah kekuatan Microsoft menjadi kelemahannya. Melalui taktik ini, Google berharap bisa memperkokoh posisinya di bidang yang menjanjikan di masa depan. Strategi kedua adalah berusaha memecah konsentrasi Microsoft dengan mengeluarkan layanan yang langsung menyerang ke pusat kekuatan Microsoft misalnya dengan mengeluarkan Google Spreadsheets yang bersaingan dengan Excel, mengakuisisi Writely yang bersaing dengan Word, atau membuat Gmail dan Gtalk yang berhadapan dengan Hotmail dan MSN Messenger. Google mungkin tidak berharap produk-produk tersebut bakal menggeser dominasi Microsoft. Namun setidaknya, produk-produk tersebut akan memaksa Microsoft membagi perhatiannya. Pertarungan kedua perusahaan ini sangat menarik karena keduanya merupakan wakil terbaik dari dua dunia yang berbeda. Microsoft adalah incumbent yang sigap, sementara Google dianggap sebagai innovator terbaik di Internet. Dari kasus di atas kita bisa mempelajari bagaimana kedua perusahaan tersebut berusaha mengurangi kekuatan musuh dengan menyerang langsung ke pusat kekuatan musuhnya. Selain itu, mereka berusaha memanfaatkan kekuatan mereka sebaik mungkin. Microsoft memperkokoh posisinya di bidang enterprise software dan memanfaatkan Windows untuk memperkenalkan format-format media baru, dan Google berusaha memperluas layanan search-nya dan memindahkan medan pertempuran ke layanan gratis via web services. Hasil pertarungan mungkin tidak bisa disimpulkan dalam waktu singkat. Namun, mereka mungkin akan mencapai titik ekuilibirium di mana Microsoft tetap mempertahankan dominasinya di beberapa bidang (terutama untuk enterprise software), tapi harus puas menyerahkan beberapa bidang lainnya kepada Google, terutama untuk search engine dan web services. Microsoft akan tetap berjaya di segmen korporasi sementara Google lebih populer di segmen konsumen individu. Di masa depan, kita pasti tidak bisa melihat Microsoft yang seperkasa saat ini, namun sejalan dengan waktu, Google pasti akan berubah menjadi incumbent yang memiliki masalahnya sendiri. Penjelasan di atas tentu saja terlalu sederhana dibandingkan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa bagian strategi Microsoft dan Google bisa dilihat dari kerangka strategic real options dan kerangka-kerangka lainnya. Tetapi, setidaknya artikel ini bisa membuat kita mengerti secuil dari dinamika persaingan kedua raksasa tersebut. Bagi pembaca yang ingin klik link ini. Evolusi ’search engines’ dan ‘online branding’ Filed under: E-Business, Brand Management, Column Archive (Selama ini sering mendengar bahwa Internet menyediakan arena kompetisi yang relatif seimbang antara perusahaan besar dengan perusahaan kecil. Internet juga menyediakan sarana promosi dan penjualan 24 jam tanpa batas-batas negara dengan biaya rendah. Karena itu, beratus ribu atau malah jutaan individu memutuskan mendirikan usaha di Internet. Mereka yang tanpa latar belakang bisnis, umumnya percaya bahwa dalam dunia Internet, aturan-aturan untuk sukses secara konvensional, seperti branding dan marketing, tidak penting. Apakah pendapat tersebut benar? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita hendaknya mengetahui bagaimana situs web mendapatkan pengunjung. Dalam hal ini, peranan search engines (situs pencari) seperti Google, Yahoo!, dan MSN sangat besar. Sekitar 60-70% dari pengunjung menemukan situs web yang mereka inginkan melalui search engines. Pentingnya peranan search engines ini terutama dirasakan oleh perusahaan-perusahaan kecil yang tidak mampu menyediakan dana besar untuk membeli iklan online. Karena itu, untuk menjamin keberhasilan suatu usaha kecil, posisi situs web di hasil pencarian search engines sangat menentukan mati hidupnya usaha tersebut. Pada awal-awal masa Internet, kecanggihan search engines yang dominan saat itu seperti Altavista dan Excite masih sebatas mencari keywords yang dianggap penting dalam suatu dokumen dan memberikan ranking hasil pencarian berdasarkan kualitas dan kuantitas keywords yang terdapat di dalam dokumen tersebut. Misalnya bila Anda memiliki situs web yang menjual komputer, maka untuk mendapatkan ranking tinggi di halaman pencarian search engines, Anda harus mengulangi kata-kata ‘computer’ atau ‘computers’ sebanyak mungkin dalam dokumen situs web Anda. Bila perlu, nama domain dan nama perusahaan seperti sellcomputers.com amat membantu karena nama domain mendapatkan bobot yang sangat tinggi dan penentuan ranking. Pada tahap ini, peranan kata-kata generik yang mencerminkan produk yang dijual sangat dominan. Para wirausahawan Internet lebih tertarik membeli nama domain dan membentuk nama perusahaan sesuai produk yang dijual. Mau menjual buku? Beli books.com. Mau menjual sepatu? Beli shoes.com. Jual kaus? Tshirts.com. Nama domain yang generik menggantikan fungsi brand. Sengitnya perebutan nama domain tersebut membuat nama domain business.com dijual seharga US$7.5 juta dollar pada tahun 1997. Paradigma tersebut jelas-jelas bertentangan dengan teori branding yang mengutamakan pemberian nama usaha yang berpotensi membentuk brand associations yang unique, strong, dan favorable, sementara nama generik sulit membentuk identitas yang unik. Di sini, peran brand awareness digantikan oleh posisi di search engines dan brand associations identik dengan nama domain. Berdasarkan hasil studi online consumer behaviour, umumnya para pencari informasi pasti akan mengunjungi situs yang tertampil di halaman pertama search engines dan hampir tidak pernah melewati halaman ketiga. Bila 1 halaman memuat 10 situs web (jumlah yang umum), maka mendapatkan ranking 30 besar untuk keywords yang ditarget adalah keharusan. Ketatnya kompetisi keywords ini mendorong banyak pemilik situs web (atau disebut juga sebagai webmaster) mencoba cara-cara promosi yang mengarah ke bentuk kecurangan untuk mendapatkan ranking yang tinggi. Contoh yang umum adalah dengan mengulang-ulang sebanyak mungkin keywords yang dianggap populer di situs web mereka, walau keywords tersebut mungkin tidak berkaitan dengan produk yang dijual di sana. Bentuk-bentuk kecurangan yang disebut dengan search engine spamming itu membuat kualitas hasil pencarian menjadi turun. Kekurangan tersebut memberikan kesempatan munculnya search engines generasi kedua yang lebih canggih seperti Hotbot dan Northern Light. Hotbot, misalnya, tidak semata-mata menganalisa keywords dalam situs web, tapi juga seberapa sering pengunjung meng-klik dan seberapa lama mereka menghabiskan waktu di situs tersebut. Analisa tersebut menjadikan hasil pencarian lebih berkualitas. Pada periode ini, situssitus web yang berkualitas mulai menciptakan jurang yang lebar dengan situs web yang hanya mengandalkan keywords, walau lubang untuk spamming bukannya tertutup sama sekali. Para webmaster yang ‘kreatif’ menciptakan program yang bisa berpura-pura mengunjungi situs webnya sendiri dan memberi kesan kalau situs tersebut sering dikunjungi. Dengan demikian, ranking situs web tersebut akan naik di Hotbot. Kelemahan itu kemudian disempurnakan oleh Google yang memakai sistem PageRank. Lewat sistem tersebut, ranking sebuah halaman web lebih ditentukan oleh berapa jumlah referensi yang diterima situs web tersebut (dalam bentuk link yang masuk ke situs tersebut). Perubahan kriteria ranking tersebut membuat upaya-upaya spamming menjadi lebih sulit. Dalam dua tahun terakhir ini, Google menyempurnakan terus menerus proses penentuan rankingnya dan pada saat ini, dengan analisa statistik dari data-data historis yang tersimpan di database-nya, Google lebih mudah lagi menentukan situs web yang melakukan spamming. Strategi Google untuk memasukkan lebih banyak faktor eksternal (di luar keywords) ke dalam kriteria penentuan ranking tersebut juga mulai diikuti oleh Yahoo! dan MSN. Apa yang dilakukan oleh ketiga search engines paling populer tersebut secara tidak langsung meningkatkan nilai branding di Internet. Dengan berkurangnya spamming, ketergantungan terhadap search engines semakin berkurang. Pemilik situs web harus berkerja keras membangun brand awareness dan brand loyalty untuk mendapatkan pengunjung setia bila ingin usahanya tetap berjalan. Selain semakin canggihnya search engines, masalah security dan privacy di Internet juga menyadarkan orang-orang pentingnya branding di Internet. Berita-berita tentang situs web kecil yang tidak bertanggung jawab dan keamanan pemakaian kartu kredit membuat mayoritas konsumen online hanya berani mempercayakan data-data mereka kepada situs web yang memiliki reputasi yang bagus. Brand yang baik memegang peranan besar di sini karena berfungsi sebagai signal untuk membedakan situs web yang dipercaya dan tidak. Brand yang baik di Internet menurunkan search costs pengguna karena mereka tidak perlu mengingat ribuan nama domain lain yang menawarkan produk yang sama. Brand yg memiliki asosiasi dengan kemudahan, keamanan, kelengkapan, dan pelayanan yang baik telah menjadi permata yang semakin dicari di Internet. Evolusi search engines jelas memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap evolusi branding di Internet. Kecanggihan search engines berbanding lurus dengan pentingnya branding dalam upaya membedakan antara situs web yang bermutu dan yang tidak. Memang, saat ini masih ada beberapa webmasters yang tetap bisa mendapatkan keuntungan yang layak lewat praktek spamming yang lebih canggih. Namun, jumlah tersebut terus berkurang. Masa-masa keemasan pemberian nama generik juga sudah lewat. Beberapa nama domain yang generik seperti hollywood.com atau news.com tetap dikenal, tapi itu disebabkan karena situs tersebut menawarkan value propositions yang baik, dan bukan karena namanya. Untuk berhasil secara jangka panjang di bisnis online, sekarang kita harus kembali pada business fundamentals yang sama dengan perusahaan offline, termasuk dalam hal branding. Pendapat bahwa Internet menyediakan arena pertarungan yang seimbang antara perusahaan besar dan kecil sudah tidak 100% benar lagi. Sifat Internet yang online 24 jam dan nirbatas memang menjanjikan peluang yang besar, namun pada saat bersamaan juga menjanjikan kompetisi yang sengit. Dalam upaya menghindari kompetisi sengit tersebut, upaya membangun brand awareness dengan upaya pemasaran yang baik semakin dibutuhkan. Demikian juga dengan menawarkan value propositions yang bermanfaat buat konsumen untuk menciptakan brand associations yang unique, strong, dan favorable untuk membangun repeat visits. Semua itu hanya bisa terwujud lewat upaya-upaya branding yang konsisten. Google, eBay, Yahoo!, MSN, Craigslist, Expedia, Monsters, CNET, dan Amazon adalah bukti-bukti keberhasilan kerja keras branding yang konsisten di Internet. Dan bagaimana dengan nasib business.com yang memiliki nama domain generik termahal dalam sejarah? Sampai sejauh ini, situs tersebut belum pernah berhasil menembus posisi 100 besar perusahaan online dunia. E volusi branding di Internet ini masih terus berlanjut. Perkembangan situs-situs Web 2.0 seperti Flickr, MySpace, dan YouTube mulai mengarahkan upaya branding yang tidak cuma didasarkan atas aspek fungsional belaka, tapi juga emosional dan sosial. Mari kita tunggu perkembangan berikutnya. ‘The long tail’ Filed under: Entrepreneurship, E-Business, Reviews, Column Archive — itpin @ 8:42 am (Bila sampai hari ini Anda belum mendengar istilah ‘the long tail‘, sangat mungkin dalam beberapa waktu ke depan, Anda akan sering mendengarnya. Dan sebelum Anda mendapatkan diri terlibat dalam percakapan mengenai topik ini, ada baiknya Anda mengetahui terlebih dahulu ada apa di balik istilah ‘the long tail‘ sehingga rekan-rekan diskusi Anda bakal terpesona dengan luasnya pengetahuan Anda (atau dalam kasus ini, panjangnya pengetahuan Anda). Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh seorang jurnalis majalah Wired, Chris Anderson, yang menulis mengenai topik ini di majalah tersebut pada bulan Oktober 2004. Artikel tersebut segera mendapat sambutan luas sehingga Anderson memutuskan menulis sebuah buku dari topik serupa. Buku tersebut, The Long Tail: Why the Future Is Selling Less for More, saat ini menjadi salah satu best seller di toko-toko buku US. Di Amazon.com sendiri, pada hari ini, buku tersebut menempati urutan ke-18. Lalu apa itu sebenarnya ‘the long tail‘? Bila Anda mengenal hukum 80/20 yang diperkenalkan oleh ekonom Italia, Vilfredo Pareto, Anda pasti tahu bahwa 80% kontribusi umumnya datang dari 20% penyumbang. Sebagai contoh, dalam satu toko, 80% penjualan cuma datang dari sekitar 20% jenis item. Dalam B2B, 80% omset datang dari 20% klien terbesar. Karena itu, hukum Pareto sering disebut sebagai the law of vital few. Hukum Pareto ini juga lah yang membuat para pebisnis bersikap konservatif dalam memilih barang-barang dagangan yang hendak dipasarkan. Keterbatasan ruangan fisik, seperti luas toko, membuat mereka selektif memilih dagangan dengan kriteria tertentu. Dengan alasan itu, di toko seluas apa pun (seperti hypermarket), tetap memberikan batasan jumlah item barang yang dipajang. Dan tentu saja barang-barang yang dipajang tersebut adalah barang-barang yang sudah dikenal luas. Sementara itu, barang-barang yang jarang peminatnya jangan pernah bermimpi untuk mendapatkan tempat pajangan di toko-toko konvensional tersebut. Namun Internet membalikkan batasan-batasan tersebut. Tiadanya batasan fisik dan semakin murahnya storage media membuat bisnis di Internet (seperti Amazon, eBay, iTunes, Netflix, YouTube) mampu menyimpan informasi produk atau data digital lainnya sebanyak mungkin dan menawarkannya kepada publik. Recommendation engine yang dimiliki situs seperti Amazon memungkinkan konsumen menemukan barang-barang yang kurang dikenal. Uniknya, dalam bisnis di ruang maya tersebut, meski prinsip hukum Pareto masih berlaku, Anderson menemukan bahwa barang-barang yang termasuk di luar 20% vital few tersebut ternyata hampir selalu terjual paling tidak sekali dalam sebulan. Di sini lah muncul istilah the long tail karena bila jumlah item yang terjual tersebut digambar di grafik, maka grafik penjualan dari item terlaris sampai item terkecil penjualannya akan kelihatan seperti kurva yang memiliki luas besar di awal dan diikuti oleh ekor tipis yang panjang. Memang kelihatannya barang-barang yang termasuk dalam the long tail tidak memberikan kontribusi volume yang besar. Akan tetapi, Anderson menegaskan, dalam industri yang mendewakan hak cipta intelektual, barang-barang yang termasuk dalam the long tail tersebut umumnya bisa diproduksi hanya dengan membayar biaya lisensi yang kecil. Sebagai contoh: untuk lagu-lagu dari penyanyi indie, lisensi yang dibayarkan ke mereka tidak berarti apa pun bila dibanding dengan lisensi yang harus dibayar kepada Christina Aguilera, misalnya. Buku-buku dan lagu-lagu lama kadang malah bisa diproduksi tanpa membayar biaya lisensi sama sekali. Netflix sendiri secara cerdik memanfaatkan fenomena ini dengan memproduksi film dokumentar sendiri dengan budget yang relatif rendah, dan kemudian menyewakan film-film tersebut secara ekslusif untuk pelanggannya. Karena itu, meski secara volume penjualan para penghuni daerah ekor panjang tersebut kalah besar, secara total profit, mereka bisa menyumbang dalam jumlah yang tidak kalah besarnya. Anderson melihat fenomena tersebut tidak sekedar berkaitan dengan ekonomi. The long tail juga menyentuh aspek sosial dan politik. Lihat saja blogging atau podcasting, di mana suara atau ekspresi diri satu orang saja bakal mendapatkan tempat penyaluran yang bisa ditemukan oleh siapa pun yang mencarinya. Singkatnya, Anda bisa menemukan apa pun dalam long tail tersebut. Seaneh apa pun selera Anda, the long tail menyediakan apa yang Anda cari. Kadang, keanehan selera yang sangat tidak masuk akal pun bisa mendapatkan salurannya di wilayah ekor panjang ini, seperti kejadian 2-3 tahun lalu di Jerman, di mana seorang kanibal berhasil menemukan korban sukarela lewat di Internet. Sang kanibal memasang posting di Internet mencari korban yang bersedia dibunuh, namun sebelumnya, (maaf) penis sang korban akan dipotong dan dimakan terlebih dahulu dengan disaksikan oleh sang korban yang masih hidup. Anda mungkin berpikir ini hanya terjadi di film-film seperti Silence of the Lambs. Tetapi, fakta sering lebih aneh dari pada fiksi. Terbukti ada orang yang menanggapi posting tersebut dan menyatakan diri bersedia menjadi korban! The long tail juga berhasil menghapus monopoli hits oleh perusahaan-perusahaan besar dengan menciptakan pasar yang jauh lebih demokratis, baik untuk produk atau untuk individu. Individu-individu yang kreatif sekarang memiliki kesempatan yang sama untuk menghasilkan hit, best seller, atau box office; selain karena luasnya saluran distribusi untuk mamasarkan produk/karya mereka, juga karena bantuan viral marketing di Internet yang sering menular dengan kecepatan luar biasa. Beberapa contoh yang bisa dilihat adalah film Blair Witch Project atau March of the Penguins, yang diproduksi dengan biaya yang rendah dan berhasil menghasilkan penjualan ratusan juta USD. Bagi Anda yang tertarik untuk tahu lebih jauh mengenai fenomena ini, silakan cari bukunya (sayang belum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia). Tapi bila Anda ingin menghemat uang, Anda bisa membaca blog the long tail dan artikel perdana Anderson secara gratis. Sebagai catatan akhir, istilah ‘the long tail‘ ini pada awalnya berada pada zona long tail itu sendiri. Namun dengan larisnya penjualan buku di Amazon dan toko-toko buku lainnya, kelihatannya istilah ini sekarang sudah menjadi hit. Dengan kata lain, meme ‘the long tail‘ sendiri berhasil menyebar dengan cepat dan menjadi hit karena dibantu oleh fenomena the long tail itu sendiri. Siapkah Anda memanfaatkan the long tail tersebut? http://www.itpin.com/blog/category/column-archive/page/2/