Berk. Penel. Hayati Edisi Khusus: 5A (41–47), 2011 JENIS-JENIS KLAMPOK DI WILAYAH MALANG SELATAN Deden Mudiana1 dan Esti E. Ariyanti2 UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi LIPI Jalan Raya Surabaya-Malang Km 65, Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur 67163 E-mail: [email protected], [email protected] ABSTRACT Klampok is a common name for Syzygium (watery rose apple) in Malang. Syzygium is a large genus of Myrtaceae (myrtle family). This research was done by field survey, inventory, collecting, and documenting the distribution of Syzygium in Southern Malang. It has been noted that there are 8 species of Syzygium in Southern Malang, i.e. Syzygium aqueum, Syzygium samarangense, Syzygium polyanthum, Syzygium jambos, Syzygium aromaticum, Syzygium malaccense, Syzygium cumini, and Syzygium littorale. The latest is the only species that has been found grow wild on riverbanks, while the others are mostly found cultivated in the backyards or gardens. Key words: klampok, Syzygium, Southern Malang PENGANTAR Wilayah Indonesia sebagai bagian dari Kawasan Malaysia merupakan salah satu pusat distribusi marga Syzygium. Marga Syzygium adalah salah satu marga yang memiliki jenis terbanyak dari suku Myrtaceae (Backer dan Bakhuizen, 1963; Merrill dan Perry, 1939). Merrill and Perry (1939), menyebutkan sebanyak 156 jenis Syzygium yang terdapat di Borneo; sedangkan jumlah jenis Syzygium di Jawa tercatat sebanyak 52 jenis yang tersebar pada berbagai tipe habitat. �������������������������������� Jika diuraikan lagi berdasarkan pembagian wilayahnya di Jawa, maka tercatat sebanyak 20 jenis Syzygium yang ada di wilayah Jawa Timur (Backer dan van den Brink, 1963). Masyarakat di Jawa Timur mengenal kelompok Syzygium dengan sebutan “klampok”. Namun demikian ada juga yang menyebutnya dengan nama klampok buah, klampok watu, klampok krikil, klampok alas, jambu air, jambu buah, dan lainnya. Kebun Raya Indonesia (Bogor, Cibodas, Purwodadi, dan Bali) memiliki 40 jenis Syzygium yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Jumlah ini masih sedikit bahkan jika dibandingkan dengan jumlah jenis yang berasal dari Jawa sekalipun. Jika mengacu pada data koleksi yang dimiliki oleh Kebun Raya Purwodadi, baru sebanyak 15 jenis Syzygium yang telah dikoleksi di kebun, 5 jenis di antaranya berasal dari Jawa Timur (Suprapto dkk, 2007; Mudiana, 2006). Mengingat semakin cepatnya laju degradasi hutan di Jawa, maka dirasa perlu untuk melakukan pengoleksian jenis-jenis ini. Kondisi ini semakin diperkuat dengan minimnya informasi mengenai keragaman jenis Syzygium yang ada. Sebagian masyarakat hanya mengenal jenisjenis yang telah umum dibudidayakan, seperti jambu air (Syzygium aqueum), cengkeh (Syzygium aromaticum), ataupun jambu darsono (Syzygium malaccense). Terdapat jenis Syzygium yang sebenarnya telah dimanfaatkan oleh masyarakat, namun kini keberadaannya telah terlupakan bahkan cenderung ditinggalkan, seperti gowok (Syzygium polycephallum), juwet (Syzygium cumini), jambu mawar (Syzygium jambos), salam (Syzygium polyanthum), klampok (Syzygium pycnanthum) dan lainnya. Hasil penelitian Laksono (2009) mengemukakan bahwa dari 32 jenis tanaman buah langka di Jawa Timur, terdapat 3 jenis Syzygium di dalamnya, yaitu: S. cumini, S. polycephallum, dan S. polyanthum. Potensi pemanfaatan kelompok marga ini sangat beragam, beberapa diantaranya adalah dimanfaatkan sebagai sumber pangan berupa buah segar, obat-obatan, bumbu masak, kayu bangunan dan tanaman hias (Coronel,1992; Sarjono, 1999; Mudiana, 2006). Secara ekologis, keberadaan bunga Syzygium telah dimanfaatkan oleh petani lebah madu sebagai sumber pakan lebah-lebah penghasil madu. Bhargava dkk, (2009), mengemukakan bahwa dari hasil analisis serbuk sari dalam madu yang dihasilkan oleh lebah madu di wilayah Karnataka India ditemukan 16 tipe morfologi polen, yang salah satunya adalah polen dari Syzygium cumini. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengoleksi jenis Syzygium di wilayah Malang bagian selatan. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh data dan informasi keragaman jenis, kondisi tempat tumbuh, distribusi dan pemanfaatannya oleh masyarakat. BAHAN DAN CARA KERJA Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesimen Syzygium, hasil pengoleksian, baik herbarium 42 Jenis-jenis Klampok di Wilayah Malang Selatan ataupun anakannya. Untuk proses pembuatan herbarium digunakan alkohol 70%. Peralatan yang digunakan mencakup peralatan untuk pengoleksian tumbuhan, berupa: GPS, kamera digital, gunting setek, kantong plastik, buku lapangan, alat tulis. Waktu dan Tempat Kegiatan survey dan penelitian dilaksanakan pada tanggal 18–23 Mei 2010. Lokasi penelitian mencakup beberapa wilayah di Malang bagian selatan (Gambar 1), yang secara administratif masuk ke dalam beberapa wilayah kecamatan, yaitu: Kecamatan Donomulyo, Pagak, Bantur, Sumbermanjing Wetan, dan Tirtoyudo. Lokasi penelitian merupakan daerah di sekitar pemukiman, ladang, tegalan, dan hutan. Merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian hingga 690 mdpl. Daerah yang tinggi umumnya berupa bukit-bukit batu padas yang ditanami jenis Tectona grandis. �������������������������������������������������� Wilayah tersebut dikelola oleh Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Malang. Sedangkan daerah dataran rendah terletak di kawasan sekitar pantai di wilayah Malang bagian Selatan, yaitu: Pantai Jonggring Saloko, Ngliyep, Bale Kambang, Sendang Biru dan pantai di wilayah Desa Pujiharjo. Kondisi alam semacam ini diantisipasi oleh masyarakat dan pemerintah Kabupaten Malang, dengan menetapkan sebagian besar kawasan di wilayah Malang bagian selatan sebagai kawasan yang diperuntukkan bagi budiya jenisjenis tanaman tahunan (Anonim, 2010). Masyarakat di lokasi penelitian, umumnya bermatapencaharian sebagai petani. Mereka terutama mengembangkan jenis-jenis tanaman perkebunan, seperti: kopi, coklat, cengkeh, dan beberapa jenis tanaman penghasil kayu (sengon, jabon, jati). Kegiatan pertanian lainnya berupa budidaya padi dan palawija juga dilakukan oleh sebagian masyarakat. Menurut Utami dkk, (2003), masyarakat di wilayah Malang bagian Selatan menerapkan sistem agroforestri dalam pengelolaan lahannya. Hal ini berkaitan dengan sifat lahan yang marginal dengan topografi yang bergelombang hingga berbukit. Kondisi semacam ini memiliki masalah kerentanan ekologi yang cukup tinggi dan beresiko. Dengan menerapkan sistem agroforestri dalam pengelolaan lahannya, masyarakat meyakini hal tersebut mampu menjaga kondisi lahannya untuk kelangsungan hidup mereka. Erijanto (2010), mengemukakan bahwa prosentase terbesar tata guna tanah di wilayah Kabupaten Malang adalah untuk kebun/tegal yaitu sebesar 33,64 % dan disusul untuk hutan sebesar 26,435%. Metode Penelitian Gambar 1. Wilayah Kabupaten Malang Secara umum wilayah Malang bagian Selatan diketahui sebagai daerah kering, berbatu padas dan kurang subur jika dibandingkan dengan wilayah Malang di bagian Utara. Faktor geologis dan topografis tanah menjadi hal pembeda dengan di bagian utara. Sukojo dan Wahono (2002), mengemukakan bahwa secara topografis, di wilayah Malang bagian Selatan terdapat daerah perbukitan yang membentang dari barat ke timur dan memisahkan antara Malang bagian Utara yang lebih subur dengan wilayah Malang bagian Selatan. ������������������������������ Kandungan bahan organik tanah di wilayah Malang bagian selatan berkisar dari sedikit hingga sedang. Pengumpulan data dilakukan secara eksploratif dengan cara mengunjungi beberapa wilayah di tiap-tiap lokasi penelitian. Wilayah kecamatan yang menjadi lokasi penelitian ini meliputi: Kecamatan Donomulyo, Bantur, Sumbermanjing Wetan dan Tirtoyudo. Pencatatan data mengenai jenis, habitat, karakter morfologi, pH tanah, altitude, posisi geografis, dilakukan pada setiap perjumpaan dengan jenis Syzygium yang dibuatkan spesimen herbarium atau dikoleksi bibit/anakan tanamannya. Jika tanaman yang dijumpai tidak sedang berbunga/berbuah, maka pencatatan hanya dilakukan untuk penandaan posisi geografisnya saja. Pengumpulan dan pembuatan spesimen herbarium, diutamakan hanya untuk tanaman yang telah memiliki bunga dan atau buah saja, sementara yang lainnya hanya dibuatkan vouchernya. Spesimen herbarium dan voucher spesimen tersebut selanjutnya digunakan untuk keperluan identifikasi jenis. Acuan yang digunakan dalam proses pengidentifikasian jenis adalah Flora of Java Volume I (Backer dan Bakhuizen, 1963) serta koleksi yang ada di Kebun Raya Purwodadi. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisa untuk keperluan deskripsi dan identifikasi jenis serta kondisi habitatnya. Data posisi geografis selanjutnya akan dideskripsikan dan dipetakan dengan menggunakan program map source serta aplikasi dari Google Earth. Mudiana dan Ariyanti 43 HASIL 1. Syzygium aqueum (Burm.f.) Alst. Tercatat sebanyak 54 nomor spesimen koleksi Syzygium yang terdiri dari 8 jenis: Syzygium aqueum, S. samarangense, S. aromaticum, S. polyanthum, S. malaccense, S. cumini, S. jambos, dan Syzygium sp (klampok alas). Perjumpaan dengan kelompok marga ini terekam sebanyak 113 titik (Gambar 2). Karakter tanamannya berupa pohon kecil bercabang, dengan tinggi hingga 2–3 meter. Memiliki helaian daun berbentuk elips dengan ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan Syzygium samarangense. Warna daun hijau muda-hijau cerah, dengan tangkai daun berwarna kemerahan. Jenis ini dikenal dengan sebutan klampok kancing atau jambu kancing. Sebutan itu mengacu kepada bentuk buahnya yang berukuran kecil, berbentuk menyerupai kancing atau genta (Gambar 3). Buahnya berwarna putih, merah muda hingga merah tua. Rasa buahnya masam. Keberagaman variasi dari jenis ini kemungkinan besar terjadi akibat proses hibridisasi yang dilakukan oleh manusia. Contoh yang terjadi adalah ditetapkannya ”jambu citra” (Syzygium aqueum ”citra”) sebagai kultivar unggul jambu air oleh kementrian pertanian pada tanggal 1 Desember 1997 (Widodo, 2007). Hariyanto (2000) dan Cahyono (2010), menyatakan bahwa sebenarnya pada awalnya jenis Syzygium aqueum adalah yang dikenal sebagai jambu air. Namun pada perkembangannya, justru jenis ini terdesak oleh jenis jambu semarang (Syzygium samarangense), yang berukuran lebih besar dengan rasa buah yang manis. Keduanya berada pada section yang sama, yaitu section jambosa. Syzygium aqueum dan Syzygium samarangense memiliki bentuk kelopak bunga yang berkembang, membesar, berdaging menyerupai daging buah. Termasuk di dalamnya adalah S. malaccense. Satu section lainnya dalam marga ini adalah section Syzygium. Ciri section ini adalah kelopak bunganya tetap, tidak berkembang menjadi besar dan tidak berdaging. S. cumini, S. jambos, S. polianthum, S.aromaticum, dan S.littorale termasuk ke dalam kelompok ini. Gambar 2. Peta lokasi penyebaran Syzygium di Malang bagian selatan Tabel 1. Kisaran ketinggian tempat tumbuh untuk tiap jenis Syzygium di wilayah Malang bagian selatan Jenis S. aqueum S. aromaticum S. cumini S. jambos* S. malaccense S. polyanthum S. samarangense Syzygium littorale (klampok alas/klampok watu) Ketinggian tempat tumbuh (m dpl) Batas bawah Batas atas 137 613 556 652 28 627 245 28 627 28 553 27 441 18 405 * hanya dijumpai satu tanaman PEMBAHASAN Jenis-jenis Syzygium yang dijumpai dalam penelitian ini sebagian besar tela��������������������������������������� h dikenal secara lokal oleh masyarakat setempat. Bahkan masyarakat telah memanfaatkannya untuk keperluan hidup keseharian mereka. Dari kedelapan jenis tersebut, hanya jenis Syzygium aromaticum yang dibudidayakan dalam skala perkebunan. Jenis Syzygium lainnya hanya ditanam sebagai tanaman pekarangan, ladang, atau bahkan tumbuh liar di tepi hutan, tepi sungai ataupun tegalan. Gambar 3. Buah S. aqueum Pada umumnya jenis ini ditanam dan tumbuh dipekarangan, halaman rumah ataupun tepi ladang. Beber������������������������������������������������ apa diantaranya tumbuh dengan sendirinya (tidak sengaja ditanam) dan tanpa pemeliharaan yang khusus. Kondisi tanahnya berupa tanah kering, lempung berpasir hingga tanah berbatu. Jenis ini dijumpai tumbuh pada ketinggian 137–613 m dpl. 44 Jenis-jenis Klampok di Wilayah Malang Selatan Masyarakat di lokasi penelitian memanfaatkan buahnya untuk dimakan sebagai buah segar, namun tidak untuk dijual dan diperdagangkan. Buahnya paling umum dikonsumsi sebagai campuran rujak buah. Jenis ini dijumpai di seluruh wilayah kecamatan yang dikunjungi. 2. Syzygium aromaticum (L.) Merr. & L.M. Perry Dikenal dengan nama cengkeh, jenis ini merupakan salah satu jenis Syzygium yang telah dibudidayakan secara besar-besaran dalam skala perkebunan. Perawakannya berupa pohon, dengan diameter batang antara 15–20 cm dengan tinggi dapat mencapai 18 meter. Daunnya tersusun berhadapan, berbentuk elips-ovate, ujung daun runcing (acute), berwarna hijau mengkilap. Daun mengeluarkan aroma yang khas jika diremas. Tangkai daun berwarna hijau kemerahan dengan panjang 1–2 cm. Pangkal tangkai daun warna merah tembaga. Perbungaan terminal, muncul pada bagian ujung ranting. Bunga berwarna hijau kekuningan (Gambar 4). Kelopak bunga berwarna kemerahan, dan mahkota bunganya berwarna kuning keputihan. Buahnya berwarna merah, berbentuk bulat agak melonjong. Gambar 4. Bunga S. aromaticum Jenis ini telah dikenal sebagai salah satu komoditas tanaman perkebunan di Indonesia. Nurdjannah (2004) mengemukakan bahwa sebanyak 95% perkebunan cengkeh di Indonesia dikelola oleh masyarakat, sedangkan 5% sisanya dikelola oleh perkebunan swasta dan negara. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil cengkeh yang terkenal di dunia. Bagian tanaman yang dipanen dan dimanfaatkan untuk keperluan industri adalah kuncup bunganya. Jenis ini digunakan untuk keperluan industri rokok, farmasi, makanan, miniman, dan kosmetik. Disamping bunganya, kayu pohon cengkeh juga telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan secara terbatas oleh masyarakat, seperti untuk kayu bakar, perkakas rumah tangga dan bahan bangunan. Dwinanto dan Marsoem (2008) memasukan jenis ini sebagai salah satu jenis pohon yang memiliki prospek penghasil kayu di Indonesia. Beberapa lokasi tanaman cengkeh yang cukup banyak dijumpai adalah di wilayah Desa Sumbermanjing, Desa Margomulyo, dan Desa Argotirto (Kecamatan Sumbermanjing Wetan), serta Desa Tirtoyudo, Desa Kepatihan, Desa Sumber Tangkil, dan Desa Pujiharjo (Kecamatan Tirtoyudo). 3. Syzygium cumini (L.) Skells. Jenis ini dikenal dengan nama juwet atau duwet. Perawakannya berupa pohon berukuran sedang hingga besar dengan tinggi dapat mencapai 20 meter. Batang utamanya tidak lurus, d����������������������������������� engan diameter batang antara 20–45 cm. Daunnya tersusun berhadapan, berbentuk elips-obovate, berwarna hijau kusam. Perbungaan axilaris, atau muncul pada ketiak daun yang telah gugur. Bunganya berukuran kecil, berwarna putih kekuningan (Gambar 5). Buahnya berbentuk bulat lonjong, berwarna ungu tua hingga hitam (Gambar 5). Buah masaknya memiliki rasa manis. Dalam tiap buah terdapat 1 biji. Jenis ini dijumpai tumbuh liar di pekarangan, tepi jalan, tepi hutan, dan ladang, pada tempat-tempat yang terbuka. Tumbuh pada tempat yang kering, dengan tanah lempung berpasir dan berbatu. Tingkat keasaman tanahnya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 4,4–5. Berdasarkan pada ketinggian tempat tumbuhnya, jenis ini memiliki kisaran yang cukup lebar, yakni tumbuh pada ketinggian tempat antara 28 hingga 627 m dpl. Menurut Backer dan Bakhuizen (1963), di Jawa jenis ini tumbuh pada daerah dataran rendah dengan ketinggian tempat < 500 m dpl. Tempat tumbuh terbaik untuk jenis ini adalah di daerah tropis dengan ketinggian hingga 600 m dpl, meskipun sebenarnya jenis ini masih dapat hidup diketinggian hingga 1800 m dpl. Secara alami jenis ini dijumpai tumbuh di sepanjang aliran sungai dan cukup toleran untuk tumbuh di daerah-daerah yang terendam banjir atau pasang surut (Coronel, 1992). Gambar 5. Bunga dan buah S. cumini Buahnya dapat dimakan sebagai buah segar. Biasanya sangat disukai oleh anak-anak. Pada saat musim berbuah, banyak juga yang menjualbelikannya di pasar-pasar. Meskipun telah diperdagangkan, namun sayangnya nilai jualnya tidak terlalu tinggi. Ekstrak daun S. cumini memiliki Mudiana dan Ariyanti kandungan flavonoid dan tanin yang ternyata memiliki potensi sebagai bahan anti bakteri (Nascimento dkk, 2000). Jenis ini dijumpai di Desa Mentaraman (Kecamatan Donomulyo), Desa Srigonco (Kecamatan Bantur), Desa Sitiharjo (Kecamatan Sumbermanjing Wetan), dan Desa Kepatihan (Kecamatan Tirtoyudo). 4. Syzygium jambos (L.) Alston Dikenal dengan sebutan jambu mawar. Pada penelitian ini hanya berhasil dijumpai satu individu tanaman. Perawakannya masih berupa pohon kecil, dengan tinggi sekitar 2,5 meter dan diameter batang 12 cm. Daunnya tersusun berhadapan, berbentuk elips, berwarna hijau tua mengkilap. Tempat tumbuhnya banyak dijumpai di halaman rumah, pada tempat yang terbuka dengan kondisi tanahnya berupa tanah lempung berpasir. Menurut Backer dan Bakhuizen (1963), jenis ini ditanam sebagai tanaman buah pada ketinggian tempat < 1200 m dpl. Van Lingen (1992) mengemukakan bahwa jenis jenis ini merupakan jenis tumbuhan daerah tropis, namun masih dapat tumbuh di daerah subtropis. Jenis ini dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah dengan pH tanah berkisar antara 5–7. Jenis ini dijumpai di Desa Srigonco (Kecamatan Bantur). Selain buahnya dapat dimakan, masih banyak pemanfaatan dari jenis ini. Melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Mohanty dan Cock (2010) diketahui bahwa ekstrak daun Syzygium jambos memiliki potensi sebagai bahan antisepetik yang dapat menghambat aktivitas bakteri serta sifat racunnya. Hasil penyulingan bunganya dapat menghasilkan minyak yang digunakan sebagai bahan pembuatan parfum. Kayunya dapat digunakan sebagai bahan bangunan secara terbatas meskipun kayunya tidak terlalu tahan terhadap serangan rayap (van Lingen,1992). 45 5. Syzygium malaccense (L.) Merr. & L.M.Perry Jenis ini dikenal dengan sebutan jambu bol dalam bahasa Indonesia, atau jambu darsono oleh masyarakat di Malang bagian Selatan. Perawakannya berupa pohon dengan batang utama yang jelas. Tingginya dapat mencapai 20 meter dengan diameter batang hingga 45 cm. Daunnya tersusun berhadapan, berbentuk elips – oblong (13–38 cm × 7–20 cm), berwarna hijau. Daun mudanya berwarna kemerahan hingga hijau muda mengkilap. Tangkai daun pendek (0.5–1.0 cm), berwarna merah saat masih muda. Perbungaan pendek, muncul diketiak daun ataupun pada bekas guguran daun di cabang atau ranting. Bunga bertangkai pendek, mahkota bunga berwarna merah keunguan (Gambar 7). Buahnya berbentuk elips-lonjong, berair, berwarna hijau kekuningan, merah, hingga ungu. Dalam tiap buah mengandung 1 biji berbentuk bulat. Gambar 7. Bunga S. malaccense Banyak dijumpai tumbuh sebagai tanaman pekarangan di wilayah Kecamatan Sumbermanjing Wetan, tetapi belum dibudidayakan secara baik sebagai tanaman penghasil buah. Masyarakat memanfaatkan jenis ini hanya sebagai tanaman peneduh pekarangan, dan memanfaatkan buahnya untuk dimakan sebagai buah segar. Dijumpai di Desa Sumbermanjing, Desa Sitiharjo, (Kecamatan Sumbermanjing Wetan), Desa Tirtoyudo (Kecamatan Tirtoyudo). 6. Syzygium polyanthum (Wight) Walp. Gambar 6. Bunga S. jambos Tajuknya yang rimbun, menjadikan jenis ini digunakan sebagai tanaman pekarangan yang memiliki nilai estetis yang baik. Warna bunganya yang putih kekuningan (Gambar 6) serta bentuk buahnya yang bulat, menjadi daya tarik jenis ini sebagai tanaman hias di pekarangan yaitu pada saat musim berbunga yang terjadi pada pertengahan hingga akhir musim kemarau. Jenis ini dikenal dengan sebutan daun salam, manting dalam bahasa Jawa. Perawakannya berupa pohon kecil hingga besar. Pada umumnya perawakan pohon yang ditanam di pekarangan atau halaman rumah berukuran pendek/kecil karena sering dipangkas untuk diambil daunnya. Tinggi pohon ini sebenarnya dapat mencapai 30 m, dengan diameter batang dapat mencapai 60 cm. Daunnya tersusun berhadapan, berbentuk elips-oblong (5–16 cm × 2,5–7 cm), berwarna hijau tua. Jika diremas daunnya mengeluarkan aroma yang khas, karena banyak mengandung kelenjar minyak. Bunga tersusun dalam suatu perbungaan yang muncul di ketiak daun. Bunga berukuran kecil (2,5–3,5 mm), tidak bertangkai, berwarna putih kekuningan (Gambar 8). Buah (Gambar 46 Jenis-jenis Klampok di Wilayah Malang Selatan 8) berbentuk bulat (8–12 mm), saat masak berwarna merah hingga merah tua, berair, manis. Memiliki 1 biji dalam tiap buahnya. Hanya ditemukan 4 pohon salam di lokasi penelitian, yaitu di wilayah Desa Mentaraman, Desa Kedungsalam, Desa Salamrejo (Kecamatan Donomulyo), dan Desa Sitiharjo (Kecamatan Sumbermanjing Wetan). Masyarakat mengenal jenis ini sebagai salah satu bahan bumbu masak. Daun salam dimanfaatkan baik dalam kondisi segar ataupun kering. Sarjono (1999) mengemukakan bahwa jenis ini tidak hanya dimanfaatkan daunnya saja, tetapi juga bagianbagian lainnya. Ekstrak daun dan kulit batangnya digunakan sebagai obat diare. Campuran dari daun, kulit batang dan akarnya yang ditumbuk digunakan sebagai obat gatal pada kulit. Kayunya digunakan sebagai bahan bangunan, dan dalam perdagangan dikelompokan ke dalam kelompok kayu ’kelat’. karena bijinya yang tersebar. Jenis ini hampir dijumpai di seluruh lokasi yang dikunjungi dalam penelitian ini. Widodo (2007), menyatakan bahwa dalam kelompok marga Syzygium (jambu-jambuan) telah terjadi proses spesiasi yang diakibatkan oleh hibridisasi. Hibridisasi dilakukan untuk mendapatkan hasil buah yang lebih menarik, baik dalam rasa, tampilan, bentuk, warna dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan nilai dari buah tersebut. Pola spesiasi yang terjadi seperti ini berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan yang diakibatkan oleh proses adaptasi dan isolasi geografi. Akibat yang terjadi dari kegiatan hibridisasi adalah terbentuknya berbagai macam varietas baru dari jenis ini. Hal inilah yang menyebabkan begitu beragamnya bentuk, ukuran, warna dan rasa buah dari jenis ini. Di wilayah Malang, terdapat satu macam jenis ini yang sangat dikenal oleh masyarakat. Dikenal dengan nama ”jambu camplong”, jenis ini berasal dari kawasan Desa Camplong di Pulau Madura. Warna buahnya ada dua macam, yaitu putih dan hijau, namun yang cukup diminati adalah yang berwarna putih, karena rasanya lebih manis. Pada saat musim berbuah, jenis ini sangat mudah dijumpai di pasar-pasar di kota Malang. 8. Syzygium littorale (Blume) Amshoff Gambar 8. Buah dan bunga S. polyanthum 7. Syzygium samarangense (Miq.) Merr. & L.M. Perry Habitusnya berupa pohon dengan tinggi dapat mencapai 10 meter. Diameter batangnya berkisar antara 15–35 cm. Daunnya tersusun berhadapan, berbentuk elipsoblong, ujung daun runcing (acute), warna hijau-hijau tua. Perbungaan muncul di ketiak daun ataupun pada bagian ranting bekas gugurnya daun. Perhiasan bunga berwarna putih kekuningan dan cepat gugur. Benang sarinya banyak dan akan segera rontok setelah terjadi proses pembuahan. Buahnya berbentuk genta besar, hingga genta memanjang (Gambar 9). Pada umumnya bentuk buahnya lebih besar dari S. aqueum. Warna buahnya beragam, hijau, putih, merah muda, merah tua, merah kehijauan dan lain-lain. Buahnya memiliki rasa manis. Jenis ini pada umumnya sengaja ditanam di halaman dan pekarangan rumah sebagai tanaman peneduh, hiasan ataupun untuk dimakan buahnya. Dalam penelitian dijumpai juga tanaman yang tumbuh di ladang, dan tepi-tepi jalan. Kemungkinan tanaman tersebut tumbuh secara tidak sengaja Habitusnya berupa pohon dengan tinggi 8–12 meter dengan diameter batang sekitar 15–30 cm (Gambar 10). Daunnya tersusun berhadapan, berbentuk elips-oblong, berwarna hijau tua. Daun mudanya berwarna lebih cerah. Pada saat penelitian tidak berhasil menjumpai bunga dan buahnya. Namun berdasarkan keterangan dari masyarakat, buahnya berbentuk bulat, berwarna hijau, berdaging tipis dengan biji yang besar. Rasa buahnya sepat. Masyarakat setempat menyebutnya dengan nama klampok alas. Buahnya tidak umum dikonsumsi. Kayu batangnya digunakan oleh masyarakat untuk keperluan pembuatan peralatan rumah tangga, kusen jendela dan pintu. Menurut keterangan mereka, kayunya cukup awet dan tidak mudah terserang bubuk kayu. Jenis ini tumbuh secara alami, tidak ditanam dan dibudidayakan. Keberadaannya cukup banyak dijumpai di wilayah Desa Wonorejo, Desa Srigonco (Kecamatan Bantur), Desa Mentaraman, Desa Kedungsalam (Kecamatan Donomulyo). Pada umumnya dijumpai tumbuh secara alami di sepanjang aliran sungai, bahkan dapat dijumpai tumbuh di daerah dataran rendah, di sekitar pantai. Tempat tumbuhnya berupa tanah lempung berpasir, berbatu, dan ternaungi. Tercatat sebanyak 8 jenis Syzygium di Malang Selatan yaitu: Syzygium aqueum, Syzygium samarangense, Syzygium polyanthum, Syzygium jambos, Syzygium aromaticum, Mudiana dan Ariyanti Gambar 10. Anakan dan pohon klampok alas Syzygium malaccense, Syzygium cumini, and Syzygium littorale. Jenis-jenis tersebut kecuali S. littorale semuanya dijumpai di pekarangan atau kebun rumah, sedangkan S. littorale merupakan satu-satunya jenis yang dijumpai tumbuh liar di tepi-tepi sungai. KEPUSTAKAAN Anonim, 2010. Membangun Kabupaten Malang dalam Perspektif Tata Ruang. www.malangkab.go.id/imgnews/RTRW.pdf. Diakses tanggal 10 Mei 2010. Backer CA dan Bakhuizen van den Brink RC, 1963. Flora of Java Vol. I. N.V.P. Noordhoff – Groningen – The Netherlands, 337–346. Bhargava HR, Jyothi JVA, Bhushanam M, dan Surendra NS, 2009. Pollen Analysis of Apis Honey, Karnataka, India. APIACTA (44): 14–19. Cahyono B, 2010. Sukses Budidaya Jambu Air di Pekarangan dan Perkebunan. Lily Publisher. Yogyakarta. Coronel RE, 1992. Syzygium cumini (L.) Skeels. In Verheij EWM, Coronel RE (Eds.) Plant resources of South-East Asia No. 2 edible fruits and nuts. PROSEA, Bogor, Indonesia, 294–296. Dwinanto W dan Marsoem SN, 2008. Tinjauan Hasil-hasil Penelitian Faktor-faktor Alam yang Mempengaruhi Sifat Fisik dan Mekanik Kayu Indonesia. J. Tropical Wood Science and Technology, 6(2): 85–100. Erijanto, 2010. Tata Ruang Kabupaten Malang. http://www. penataanruang.net/taru/sejarah/BAB%208.5%20footer. pdf. Diakses tanggal 12 Mei 2010. 47 Hariyanto PB, 2000. Jambu Air: Jenis, Perbanyakan dan Perawatan. Penebar Swadaya, Jakarta, 1–9. Laksono RA, 2009. Peta Sebaran Buah Lokal Langka Jawa Timur. Makalah dalam Proceedings of 6th Basic Science National Seminar. Brawijaya University, Malang, 64–68. Merrill ED dan Perry LM, 1939. The Myrtaceous Genus Syzygium Gaertner in Borneo. Memories of American Academy of Arts and Sciences XVIII (3): 135–202. Mohanty S dan Cock IE, 2010. Bioactivity of Syzygium jambos Methanolic extracts: Antibacterial activity and toxicity. Phcog Res [serial online] 2010 [cited 2010 Jun 20]; 2: 4–9. Available from: http://www.phcogres.com/text. asp?2010/2/1/4/60577. Mudiana D, 2006. Koleksi Syzygium Kebun Raya Purwodadi. Makalah dalam Prosiding Seminar Nasional Perhorti. Universitas Brawijaya, Malang, 153–158. Nascimento GGF, Locatelli J, Freitas PC, dan Silva GL, 2000. Antibacterial Activity of Plant Extracts and Phytochemicals on Antibioticresistant Bacteria. Brazilian Journal of Microbiology, 31: 247–256 Nurdjannah N, 2004. ���������������������������������� Diversifikasi Penggunaan Cengkeh. Perspektif 3(2): 61–70. Sarjono S, 1999. Syzygium polyanthum (Wight) Walpers. In de Guzman CC, Siemonsma JS (Eds.) Plant resources of South-East Asia No.13 spices. PROSEA, Bogor, Indonesia, 218–219. Suprapto A, Narko D, Kiswojo (Eds.), 2007. An Alphabetical List of Plant Species Cultivated in The Purwodadi Botanic Garden. Purwodadi Botanic Garden, Indonesian Institute of Sciences, 117–119. Sukojo BM dan Wahono, 2002. Pemanfaatan Teknologi Pengindraan Jauh untuk Pemetaan Kandungan Bahan Organik Tanah. Makara Teknologi, 6(3): 102–112. Utami SR, Verbist B, van Noordwijk M, Hairiah K, dan Sardjono MA, 2003. Prospek Penelitian dan Pengembangan Agroforestri di Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. van Lingen TG, 1992. Syzygium jambos (L.) Alston. In Verheij EWM, Coronel RE (Eds.) Plant resources of SouthEast Asia No.2 edible fruits and nuts. PROSEA, Bogor, Indonesia, 296–298. Widodo P, 2007. Review: Spesiasi pada Jambu-jambuan (Myrtaceae): Model Cepat dan Lambat. Biodiversitas, 8(1): 79–82.