Teori Tindakan Sosial Tindakan sosial menekankan pada orientasi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Parsons: Teori Tindakan Sosial
Tindakan sosial menekankan pada orientasi subjektif yang mengendalikan
pilihan-pilihan individu. Pilihan-pilihan ini secara normatif diatur atau
dikendalikan oleh nilai atau standar normatif bersama. Hal ini berlaku untuk
tujuan-tujuan yang ditentukan individu serta alat-alat yang digunakan untuk
mencapai tujuan-tujuan itu juga dalam memenuhi kebutuhan fisik yang mendasar
ada pengaturan normatifnya (Doyle Paul Johnson 1986: 113).
Prinsip-prinsip dasar ini bersifat universal dan mengendalikan semua tipe
perilaku manusia tanpa memandang konteks budaya tetentu. Untuk mencapai
tujuan ini penting untuk membentuk suatu strategi dalam mengidentifikasi
elemen-elemen dasar yang membentuk gejala dan untuk mengembangkan
seperangkat kategori dan untuk membahas tipe-tipe kasus yang berbeda
khususnya elemen-elemen dasar apa saja yang terdapat, orientasi apa yang
berbeda yang dapat ditujukan dengan strategi ini., bagaimana orientasi subjektif
yang terdapat pada individu berbeda, cocok satu sama lain atau menghasilkan
tindakan yang saling tergantung yang membentuk suatu sistem sosial
Untuk menjawab ini Parsons membuat sistem klasifikasi yang paling
banyak dikenal atau sering dikutip adalah variabel berpola (pattern variables).
Dalam konteks kerangka pilihan Parsons, variabel-variabel ini dilihat lebih umum
sifatnya. Dalam kerangka umum itu orientasi orang yang bertindak terdiri dari dua
(2) elemen dasar yaitu:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Orientasi motivasional
Orientasi ini menunjuk pada keinginan individu yang bertindak untuk
memperbesar kepuasaan dan mengurangi kekecewaan.
Orientasi ini terdiri dari 3 dimensi yaitu:
a. Dimensi Kognitif yaitu menunjuk pada pengetahuan orang
bertindak mengenai situasinya khususnya dihubungkan pada
kebutuhan dan tujuan pribadi. Dimensi ini mencerminkan
kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara rangsanganrangsangan yang berbeda dan membuat generalisasi dengan satu
rangsangan dengan rangsangan lainnya.
b. Dimensi katektif atau emosional yaitu menunjuk pada reaksi
katektif atau emosional dan orang yang bertindak terhadap situasi
atau berbagai aspek didalamnya. Ini juga mencerminkan kebutuhan
dan tujuan individu. Umumnya, orang memiliki suatu reaksi
emosional positif terhadap elemen-elemen dalam lingkungan itu
yang memberikan kepuasan atau dapat digunakan sebagai alat
dalam mencapai tujuan, dan reaksi yang negatif terhadap aspekaspek dalam lingkungan itu yang mengecewakan.
c. Dimensi evaluatif yaitu menunjuk pada dasar pilihan sesorang
antara orientasi kognitif atau katektif secara alternatif. Evaluatif
ada karena individu selalu memiliki banyak kebutuhan dan tujuan.
Untuk itu kemungkinan banyak individu reaksi katektif maka
kriteria yang digunakan individu untuk memilih dari alternatif ini
merupakan dimensi alternatif.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Orientasi nilai
Orientasi
ini
menunjuk
pada
standar-standar
normatif
yang
mengendalikan pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas
sehubungan dengan adanya kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda.
Orientasi ini terdiri dari 3 dimensi yaitu:
a. Dimensi kognitif yaitu menunjuk pada standar-standar yang
digunakan dalam menerima atau menolak berbagai interoretasi
kognitif mengenai situasi.
b. Dimensi apresiatif yaitu menunjuk pada standar yang tercakup
pada pengungkapan perasaan atau keterlibatan emosi atau afektif.
c. Dimensi moral yaitu menunjuk pada standar-standar abstrak yang
digunakan unyuk menilai tipe-tipe tindakan alternatif menurut
implikasinya terhadap sistem itu secara keseluruhan baik
individual maupun sosial dimana tindakan itu berakar.
Orientasi nilai keseluruhan mempengaruhi dimensi evaluatif dalam
orientasi motivasional. Ketiga dimensi orientasi nilai itu mencerminkan
pola-pola budaya yang diresapi individu. Dimensi-dimensi ini dapat juga
digunakan untuk mengklasifikasikan aspek-aspek sistem budaya yang
berbeda. Singkatnya, dimensi kognitif berhubungan dengan sistem
kepercayaan budaya, dimensi apresiatif dengan sistem budaya yang
berhubungan
dengan
simbolisme
ekspresif,
dan
dimensi
moral
berhubungan dengan sistem budaya dalam orientasi nilai (Doyle Paul
Johnson 1986: 113-115).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam kerangka umum ini, variabel-variabel berpola itu memperlihatkan
lima pilihan dikotomi yang harus diambil seorang secara eksplisit atau
implisit dalam menghadapi orang lain dalam situasi sosial apa saja.
Pilihan-pilihan itu antara lain yaitu:
1.
Afektivitas versus netralitas afektif.
Ini merupakan dilema mengenai apakah mencari atau mengharapkan
kepuasaan emosional dari orang lain atau tidak, dalam suatu situasi
sosial. Pilihan yang jatuh ke afektivitas akan berarti bahwa orangorang yang terlibat itu akan berhubungan satu sama lain secara
emosional, dan saling memberikan kepuasan secara langsung.
2. Orientasi diri versus orientasi kolektif
Dilema ini berhubungan dengan kepentingan yang harus diutamakan.
Orientasi diri akan berarti bahwa kepentingan pribadi orang itu
sendirilah yang mendapat prioritas, sedangkan orientasi kolektif akan
berarti bahwa kepentingan orang lain atau kolektivitas secara
keseluruhan yang harus diprioritaskan. Artinya dimensi moral
kolektiflah yang diutamakan.
3. Universalisme versus partikularisme
Dilema ini berhubungan dengan ruang lingkup dari standar-standar
normatif yang mengatur suatu hubungan sosial. Pola universalistik
mencakup standar-standar yang diterapkan untuk semua orang lain
yang dapat diklasifikasikan bersama menurut kategori-kategori yang
sudah dibatasi secara impersonal. Sebaliknya, pola partikularistik
mencakup standar-standar yang didasarkan pada suatu hubungan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tertentu yang terdapat pada kedua pihak. Hubungan tertentu itu seperti
kelompok, suku, agama ,dan sebagainya.
4. Askripsi versus prestasi
Parsons melihat variabel ini (dan yang berikutnya) berbeda dengan
ketiga variabel sebelumnya dalam hal di mana yang diperlihatkan
adalah persepsi orang yang bertindak atau klasifikasi orang lain dan
bukan orientasi pribadinya. Intinya, orang lain dapat dilihat dan dinilai
menurut siapa mereka atau apa yang mereka buat. Dalam askripsi,
orang lain diperlakukan menurut mutu atau sifatnya yang khusus yang
membatasi keterlibatannya dalam suatu hubungan sosial. Para anggota
keluarga misalnya, diperlakukan lain dari orang lain hanya karena
keanggotaannya dalam keluarga itu. Sama halnya sifat-sifat atau mutu
askriptif
seperti
latar
belakang
etnis
atau
rasialmungkin
dipertimbangkan sebagai dasar penilaian perbedaan itu. Sebaliknya,
pola prestasi menekankan pada penampilan atau kemampuan yang
nyata.
5. Spesifitas versus kekaburan
Seperti variabel diatas, variabel ini juga dilihat Parsons dalam
hubungannya dengan persepsi orang lain. Pada dasarnya, variabel ini
berhubungan dengan ruang linhgkup keterlibatan seseorang dengan
orang lain. Kalau kewajiban timbal-balik itu terbatas dan dibatasi
dengan tepat, pola ini bersifat spesifik. Sebaliknya, kalau kepuasan
yang diterima atau diberikan kepada orang lain amat luas sifatnya, pola
itu bersifat kabur atau tidak menentu.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam suatu hubungan yang bersifat spesifik, kewajiban untuk
membuktikan akan ada pada orang yang memberi tuntutan pada orang
lain untuk membenarkan tuntutan itu, sedangkan dalam hubungan
yang ditandai oleh kekaburan, kewajiban untuk membuktikan akan ada
pada orang kepada siapa tuntutan itu dijatuhkan untuk menjelaskan
mengapa tuntutan itu tidak terpenuhi (Doyle Paul Johnson 1986:116119).
2.2 Konsep Perilaku Pemilih
Perilaku pemilih memiliki hubungan erat dengan pemilih itu sendiri dalam
menjatuhkan pilihan politiknya. Ada 5 pendekatan yang digunakan untuk melihat
perilaku pemilih yaitu :
1. Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari
konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai,
sistem pemilihan umum, permasalahan, dan program yang ditonjolkan
oleh setiap partai. Struktur sosial yang menjadi sumber kemajemukan
politik dapat berupa kelas sosial atau perbedaan-perbedaan antara majikan
dan pekerja, agama, perbedaan kota dan desa, dan bahasa dan
nasionalisme. Jumlah partai, basis sosial sistem partai dan programprogram yang ditonjolkan mungkin berbeda dari suatu negara ke negara
lain karena perbedaan struktur sosial tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosilogis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam
kaitan dengan konteks sosial. Kongkretnya, pilihan seseorang dalam
pemilihan umum dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial
ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan,
pendidikan, kelas, pendapatan, dan agama.
3. Pendekatan Ekologis
Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan
terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti
desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Pendekatan ekologis ini
penting sekali digunakan karena karakteristik data hasil pemilihan umum
untuk tingkat provinsi berbeda dengan karakteristik data kebupaten, atau
karakteristik data kabupaten berbeda dengan karakteristik data tingkat
kecamatan.
4. Pendekatan Psikologi Sosial
Salah satu konsep psikologi sosial yang digunakan untuk menjelaskan
perilaku untuk memilih pada pemilihan umum berupa identifikasi partai.
Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai-partai yang ada atau
keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. Kongkretnya,
partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya
merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor
lain.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5. Pendekatan Rasional
Pendekatan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi
untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih
dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan,
tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada.
Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak
mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau penjabat
pemerintah. Bagi pemilih pertimbangan untuk dan rugi digunakan untuk
membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih, terutama
untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih.
2.3 Konsep Etnisitas
2.3.1 Pengertian Etnik
Menurut Ariyuno Sunoyo dalam Kamus Antropologi, bahwa: “Etnis
adalah suatu kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat
digambarkan ke dalam suatu peta etnografi”.(Ariyono Sunoyo: 1985).
Setiap kelompok memiliki batasan-batasan yang jelas untuk memisahkan
antara
satu
kelompok
etnis
dengan
etnis
lainnya.
Menurut
Koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah
golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan
kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh
kesatuan bahasa juga.( Koentjaranigrat 1982:58).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Suku bangsa yang sering disebut etnik atau golongan etnik mempunyai
tanda-tanda atau ciri-ciri karekteristiknya. Ciri-ciri tersebut terdiri dari: ( Payung
Bangun 1998:63)
a. Memiliki wilayah sendiri
b. Mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan dan pengaturan
kekuasaan yang ada
c. Adanya bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi dalam interaksi
d. Mempunyai seni sendiri (seni tari lengkap dengan alat-alatnya, cerita rakyat,
seni ragam hias dengan pola khas tersendiri)
e. Seni dan teknologi arsitektur serta penataan pemukiman
f. Sistem filsafat sendiri yang menjadi landasan pandangan, sikap dan tindakan
g. Mempunyai sistem religi (kepercayaan, agama) sendiri.
Etnisitas secara substansial bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya
tetapi keberadaannya terjadi secara bertahap. Etnisitas adalah sebuah proses
kesadaran yang kemudian membedakan kelompok kita dengan mereka. Basis
sebuah etnisitas adalah berupa aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur
kebudayaan yang dimiliki, seperti misalnya adanya kesamaan dan kemiripan dari
berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, ada kesamaan struktural sosial, bahasa,
upacara adat, akar keturunan, dan sebagainya. Berbagai ciri kesamaan tersebut,
dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu berperan dan dianggap biasa. Dalam
kaitannya, etnisitas menjadi persyaratan utama bagi munculnya strategi politik
dalam membedakan “kita” dengan “mereka”.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.3.2 Etnis Karo
Etnis Karo merupakan etnis yang mendiami Dataran Tinggi Karo,
Sumatera Utara, Indonesia. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di
salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten
Karo. Etnis ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Pakaian adat
suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan
perhiasan emas.
Kehidupan kelompok etnis Karo tidak terlepas dari kebudayaannya sebab,
kebudayaan ada karena ada masyarakat pendukungnya. Sebagai masyarakat yang
terisolir dipedalaman dataran tinggi karo dan sekitarnya, ternyata sebagai sebuah
komunitas disana terbentuk juga sebuah budaya yang menjadi patron bagi
masyarakat Karo dalam berhubungan dengan sang pencipta alam berserta lainnya
dan khususnya hubungan antara masyarakat didalamnya. Kesemuaan pola
hubungan tersebut dalam sebuah aturan tidak tertulis yang mengatur disebut
dengan budaya. Aspek budaya yang dimana menurut Singarimbun merupakan
identitas masyarakat Karo ada 4 yang meliputi yaitu Merga, Bahasa, Kesenian
dan adat istiadat.
Merga adalah identitas masyarkat Karo yang unik. Bagi orang Karo merga
adalah hal yang paling utama dalam identitasnya (Sarjani Tarigan: 16). Dalam
setiap perkenalan dalam masyarakat Karo terlebih dahulu ditanyakan adalah
merga. Merga berasal dari kata meherga berarti mahal. Mahal dalam konteks
budaya Karo berarti penting. Setelah ditanyakan merga kemudian ditanyakan
bere-bere (merga = untuk perempuan disebut beru) yang dibawa ibunya. Setelah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
merga dan bere-bere ditanyakan didapatkan identitas melalui terombo atau
silsilah, selanjutnya masuk kepada tema pembicaraan berikutnya. Melalui merga
maka masyarakat Karo dapat membuat rakut sitelu atau daliken sitelu, tutur
siwaluh dalam kehidupan sehari-hari. Ada 5 merga dalam orang Karo yaitu
Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Tarigan dan Sembiring.
Bahasa dan aksara Karo merupakan karya budaya yang memiliki budaya
yang tidak ternilai harganya. Suku Karo memiliki aksara, berarti leluhur Karo
dulunya sudah pandai baca-tulis alias tidak buta huruf. Menurut Profesor Hendry
Guntur Tarigan bahwa Bahasa Karo adalah bahasa tertua kedua di Indonesia
setelah Bahasa Kawi ( Sansekerta/Jawa Kuno).
Kesenian Karo adalah kesenian tradisional yang terdiri dari Gendang dan
pakaian adat, bersamaan hadirnya orang Karo. Acara gendang ini ditampilkan
dalam setiap acara adat, seperti adat perkawinan, kematian, dan mengket rumah.
Gendang Karo terdiri dari gong, penganak, kecapi, serune surdam. Sedangkan
pakaian adat karo terdiri dari uis nipes, beka buluh, sertali, rudang-rudang, gelang
sarong, uis arinteneng, uis emas-emas, ragi jenggi dan tapak gajah, kelam-kelam,
anting kodang-kodang.
Sedangkan adat istiadat yang paling melekat dalam orang karo adalah
adanya pertama, rakut sitelu atau daliken sitelu (artinya secara metaforik adalah
tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah
sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Rakut sitelu atau daliken
sitelu terdiri dari tiga puhak yaitu kalimbubu, senina (sembuyak) dan anak beru.
Rakut sitelu atau daliken sitelu ini berfungsi sebagai musyawarah adat dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kerjasama didalam keluarga. Kalimbubu merupakan sebagai tempat meminta dan
tempat bertanya, selalu diperlukan restunya dalam adat dan penghormatan dalam
musyawarah adat. Senina merupakan sukut yang punya pesta. Dan anak beru
merupakan pekerja dalam pesta, yakni yang mengetahui keadaan senina dan
kalimbubu, dan menjaga jangan sampai ada yang rusak dalam peradatan. (Sarjani
Tarigan: 6-7). Kedua, tutur siwaluh yang artinya konsep kekerabatan masyarakat
Karo, yang berhubungan dengan penuturan, terdiri dari delapan golongan yaitu :
1
Puang kalimbubu, yaitu kalimbubu dari kalimbubu seseorang.
2
Kalimbubu, yaitu kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu.
3
Senina, yaitu mereka yang bersadara karena mempunyai merga dan sub
merga yang sama.
4
Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan,
jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang
sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina
yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh
ipedeher (yang jauh menjadi dekat).
5
Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung.
Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang
mempunyai isteri yang bersaudara.
6
Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena
mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama.
7
Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga
tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena
mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri.
Anak beru ini terdiri lagi atas:
1. Anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun
temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri
dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua
adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya
dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak
kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai.
Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana
(sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat
sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga
kalimbubu dalam konteks upacara adat.
2.
Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara
langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam
keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka tutup adalah
anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga.
Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara
perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh
baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak
beru disebut juga bere bere mama.
8
Anak beru menteri yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah
dari kata menteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru menteri
mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta
membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak
beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks
upacara adat.
1. Konsep Pilkada
Pilkada merupakan pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan
wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat
yang memenuhi syarat untuk itu. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan
kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada
langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
2. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena
pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepada desa
selama ini telah dilakukan secara langsung.
3. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945.
Seperti telah diamanatkan pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubenur, Bupati
dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah
provinsi, kabupatenm dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah
diatur dalam UU No. 32 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan,
pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan wakil kepala
daerah.
4. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi
rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik
berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang
benar sesuai nuraninya.
5. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh
pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal dihasilkan dalam pilkada
langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan
tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi
masyarakat agar dapat diwujudkan.
6. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi
kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional
amat terbatas. Dari jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta, jumlah
pemimpin yang kita miliki hanya beberapa.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Download