Read More - Website Resmi Program Pasca Sarjana – Universitas

advertisement
DIGESTER BIOGAS:
Instalasi sanitasi, Pabrik pupuk dan
Pembangkit energi Masyarakat
Oleh
Budy Rahmat
LPPM
Universitas Siliwangi
DIGESTER BIOGAS:
Instalasi sanitasi, Pabrik pupuk dan
Pembangkit energi Masyarakat
Penulis:
Budy Rahmat
ISBN : 978-602-99904-8-5
Editor :
Prof. Dr. Ir. Benny Joy, MS
Prof. Aripin, Ph.D.
Penyelaras bahasa:
Ir. Yaya Sunarya, M.Sc
Desain Sampul dan Tata letak :
Bayti dan Ranggi
Penerbit :
LPPM Unsil
Redaksi:
Gedung LPPM Unsil
Jl. Siliwangi No. 24, Kota Tasikmalaya-46115
Telepon +62265 330634
Faksimil +62265 325812
Email: [email protected]
Distributor Tunggal :
CV Genera Persada
Jl. Gunung Sari No. 7
Telepon +62265 330729
Tasikmalaya-46111
Email: [email protected]
Edisi Pertama Oktober 2014
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR
Teknologi biogas telah menjadi suatu teknologi yang fokus dan
berkembang, bahkan salah satu aspek dalam manajemen limbah dunia.
Manajemen limbah terpadu seperti ini dianggapsebagai pilihan tepat
dalam rangka mentransformasi sampah menjadi energi. Selain prosesnya
bersih, ramah lingkungan dan hemat biaya, juga ternyata pembangkit
biogas memiliki banyak aplikasi seperti untuk memasak, pembangkit
listrik, berbagai keperluan pemanasan dan menghasilkan pupuk organik
tanaman. Limbah peternakan, pemukiman dan industri makanan cocok
untuk bahan baku substrat biogas.
Mengingat keragaman sosial-ekonomi masyarakat dan industri
kecil, maka yang dibutuhkan ialah instalasi pengolahan limbah sederhana
dan biaya operasionalnya murah. Tuntutan itu dapat dipenuhi dengan
aplikasi teknologi biogas dengan berbagai skala digester sebagai pilihan.
Buku referensi ini berjudul ”Digester Biogas: Instalasi Sanitasi,
Pabrik Pupuk dan Pembangkit Energi Masyarakat” merupakan bentuk
kepedulian Penulis sebagai dosen tetap Universitas Siliwangi terhadap
masalah lingkungan, penyediaan untuk pupuk organik dan bahan bakar
alternatif biogas bagi masyarakat. Buku ini merupakan hasil perjalanan
riset Penulis yang telah mendapat dukungan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu Penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Rektor dan Ketua LPPM Universitas Siliwangi; Dekan Fakultas
Pertanian dan Direktur Pascasarjana Universitas Siliwangi serta staf
atas segala dukungan dan fasilitas yang diberikan.
2. Direktur Ditlitabmas Ditjen Dikti Kemendikbud RI dan Koordinator
Kopertis Jawa Barat dan Banten yang telah menyediakan Hibah
Penelitian Bersaing dan Kompetitif Nasional.
3. Prof. Dr. Ir. Benny Joy, MS (Gurubesar Fakultas Pertanian Unpad),
Prof. Dr. Ir.H. Roni Kastaman, MSIE (Gurubesar Fakultas Teknologi
Industri Pertanian Unpad), dan Prof. Dr. Ir.H. Oktap Ramlan Madkar
(Gurubesar Fakultas Pertanian Unpad) yang telah memberikan
evaluasi dan saran-saran perbaikan naskah buku ini.
4. Rekan dosen sejawat yang selalu mendukung dan saling konsultasi
untuk penulisan buku ini.
Semoga buku ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kesejahteraan masyarakat dan
pembangunan bangsa. Aamiin.
Tasikmalaya,
Oktober 2014
Penulis,
Dr. H. Budy Rahmat, Ir., MS
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................
iii
v
I
PENDAHULUAN ...................................................................
1.1. Latar Belakang ................................................................
1.2. Rumusan Masalah ...........................................................
1.3. Tujuan ..............................................................................
1.4. Manfaat ............................................................................
1
1
3
3
4
II
TINJAUAN TEORI
............................................................
5
2.1. Pembentukan Biogas ......................................................
2.1.1. Proses yang Terjadi ........................................................
5
5
2.1.2. Faktor yang Berpengaruh ..............................................
2.1.3. Kondisi Optimum ..........................................................
2.1.4. Bahan Baku Biogas .......................................................
2.1.5. Praperlakuan Substrat ...................................................
7
11
13
22
24
2.2. Digester Biogas ...............................................................
2.2.1. Pengertian dan Fungsi Digester ...................................
2.2.2. Komponen Digester Biogas ........................................
2.2.3. Tipe Digester ................................................................
III
24
24
28
2.2.4. Parameter Operasional ................................................
2.2.5. Komponen Upgrade Biogas ........................................
2.2.6. Rekayasa Kondisi Digester ..........................................
2.2.7. Pertimbangan dalam Membangun Digester ................
34
35
46
47
METODOLOGI ...................................................................
49
3.1. Pengujian Digester Biogas sebagai Instalasi
Sanitasi di Pemukiman
..............................................
49
3.1.1. Waktu dan Tempat Percobaan ..................................
3.1.2. Bahan dan Alat Percobaan .........................................
3.1.3. Metode Percobaan ......................................................
49
49
49
3.1.4. Prosedur Percobaan ....................................................
51
3.2. Pengujian Digester Biogas dalam Sanitasi Limbah
Industri Pangan ..........................................................
53
53
53
54
56
3.2.1. Waktu dan Tempat Percobaan .................................
3.2.2. Bahan dan Alat Percobaan .......................................
3.2.3. Metode Percobaan ....................................................
3.2.4. Prosedur Percobaan .................................................
3.3. Digestat Biogas sebagai Pupuk Organik Pertanian.
IV
.
3.3.1. Waktu dan Tempat Percobaan ................................
3.3.2. Bahan dan Alat Percobaan .......................................
3.3.3. Metode Percobaan ....................................................
3.3.4. Prosedur Percobaan .................................................
58
58
58
58
60
3.4. Digester Biogas sebagai Pembangkit Energi ….......
62
3.4.1. Rancang-bangun Digester Biogas 400 L ..................
3.4.2. Tujuan, Luaran dan Manfaat ..................................
3.4.3. Bahan dan Alat .....................................................
3.4.4. Prosedur Percobaan ..................................................
62
62
63
64
PEMBAHASAN ...............................................................
67
4.1. Efektivitas Digester Biogas sebagai Instalasi
Sanitasi Limbah Pemukiman …...............................
67
4.1.1. Hasil Karakterisasi Limbah Pemukiman ...................
4.1.2. Pembuatan Digester .............................................
4.1.3. Fluktuasi pH Substrat ...............................................
4.1.4. Produksi Biogas ........................................................
4.1.5. Penurunan Padatan Total Substrat ..........................
67
68
68
70
73
4.2. Aplikasi Digester Biogas dalam Instalasi Sanitasi
Limbah Industri Tahu ............................................
74
4.2.1. Penempatan Digester Biogas ..................................
4.2.2. Produksi Biogas Harian ..........................................
4.2.3. Total Produksi Biogas ............................................
4.2.4. Monitoring pH ........................................................
4.2.5. Uji Pendidihan Air ..................................................
74
75
76
77
78
.
4.3. Aplikasi Digestat Biogas sebagai Pupuk Organik
Pertanian ..................................................................
4.3.1. Hasil Uji Efek Digestat terhadap Hasil Kedelai .....
4.3.2. Keuntungan lain Pemanfaatan Digestat sebagai
Pupuk Organik ........................................................
4.3.3. Perkembangan Pengolahan dan Aplikasi Digestat..
4.4. Aplikasi Digester Biogas sebagai Pembangkit
Energi ........................................................................
V
79
79
83
87
91
4.4.1. Penyiapan Adukan Substrat .................................
4.4.2. Pengisian Adukan Substrat ...................................
4.4.3. Pengukuran Volume Biogas ................................
4.4.4. Uji Pendidihan Air ...............................................
4.4.5. Perkembangan Aplikasi Biogas sebagai Sumber
Energi ..................................................................
91
91
92
94
KESIMPULAN ..............................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................
GLOSARI ........................................................................
104
106
111
I
95
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebijakan pengelolaan sampah di Indonesia selama lebih dari tiga
tigapuluh tahun hanya bertumpu pada pendekatan kumpul-angkut-buang
yang mengandalkan keberadaan tempat pembuangan akhir (TPA), maka
dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, kebijakan itu
diubah dengan pendekatan reduce at source dan resource recycle melalui
penerapan 3R (reuse, recycle, reduce). Oleh karena itu seluruh lapisan
masyarakat diharapkan mengubah pandangan dan memperlakukan
sampah sebagai sumber daya alternatif yang sejauh mungkin
dimanfaatkan kembali, baik secara langsung, proses daur-ulang, maupun
proses lainnya.
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012
mengatur, bahwa penanganan sampah terdiri lima tahap, yaitu :
pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan
akhir sampah dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat secara bertahap
dan terencana, serta didasarkan pada kebijakan dan strategi yang jelas.
Ketentuan ini bermaksud: (i) melindungi kesehatan masyarakat dan
kualitas lingkungan; (ii) menekan resiko kecelakaan dan bencana dalam
pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenisnya; serta (iii)
mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Permasalahan pengelolaan sampah tersebut dapat diminimalkan
dengan menerapkan pengelolaan sampah yang terpadu, di antaranya ialah
pengolahan sampah menjadi energi (waste to energy). Salah satu bentuk
energi yang dihasilkan dari sampah adalah biogas, yaitu energi
terbarukan yang dibuat dari bahan organik berupa sampah biomassa,
kotoran ternak, limbah industri makanan, sisa makanan, jerami serta
bahan selulosa lainnya. Sebagai upaya mencegah emisi gas metana ke
atmosfer yang tidak terkendali sekaligus mengurangi risiko pemanasan
global. Selain itu, residu proses pembentukan biogas merupakan bahan
yang ramah lingkungan dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik
(Persson dan Wellinger, 2006).
Luostarinen dkk. (2011) mengemukakan bahwa, meningkatnya
penggunaan teknologi biogas di seluruh dunia karena tuntutan produksi
energi terbarukan, daur-ulang bahan limbah dan pengurangan emisi gas
metana yang berbahaya. Teknologi biogas memberi solusi multiguna
untuk semua masalah tersebut di atas dengan proses secara simultan dan
terkendali. Proses ini menghasilkan : (i) biogas, yaitu gas kaya metana
yang dapat dimanfaatkan sebagai energi terbarukan untuk berbagai
keperluan; dan (ii) residu atau digestat adalah campuran senyawa yang
kaya nutrisi bagi tanaman.
Stucki dkk. (2011) mengatakan penggunaan biogas untuk bahan
bakar berbeda dengan bahan bakar fosil, sebab karbon dioksida yang
dilepaskan pembakaran biogas berasal dari produk tanaman dalam
fotosintesis. Emisi dari pembakaran biogas ini tidak menghasilkan
tambahan karbon dioksida di atmosfer, sehingga tidak berpengaruh
terhadap perubahan iklim, sepanjang tanaman terus mengasimilasi karbon
dioksida dari udara.
Tempat untuk menjamin terjadinya proses penguraian atau digesti
bahan organik yang tidak dikehendaki secara biologis-anaerob dinamakan
reaktor atau digester. Jadi proses digesti anaerob secara terencana dan
terkendali bisa berlangsung bila tersedia sebuah digester. Gas metana
yang dihasilkan dari sebuah digester disalurkan ke alat pengguna atau
dikompresi dalam tabung penyimpanan merupakan proses terkendali agar
gas tidak bebas ke atmosfer. Residu cair atau padat yang disebut digestat
bisa ditampung dari saluran keluar digester untuk dimanfaatkan sebagai
pupuk organik tanaman.
Menurut Widodo dkk. (2009) sosialisasi pemanfaatan teknologi
biogas telah lama dilakukan oleh pemerintah, bahkan sudah dikenal di
Indonesia sejak tahun 1980-an. Namun sampai saat ini aplikasi teknologi
ini belum mengalami perkembangan yang menggembirakan karena
adanya beberapa kendala meliputi: kurangannya akhli teknologi biogas,
digester tidak berfungsi akibat kesalahan konstruksi, desain digester yang
rumit, proses membutuhkan penanganan secara manual dan rinci dan
biaya konstruksi yang mahal.
Digester biogas tidak bisa dianggap sebagai mesin pengolah
sampah mekanik, meskipun wujudnya terbuat dari tembok dan atau
logam, namun digester harus dilihat sebagai suatu perangkat yang bekerja
berdasarkan sistem proses biokimia yang membutuhkan persyaratan
internal dan ekstenal. Rangkaian proses biokimia ini diperani oleh enzim-
enzim yang intra atau ekstra seluler dari berbagai konsorsium
mikroorganisme sesuai tahapannya.
Ekpektasi kita terhadap aplikasi digester biogas sebagai solusi
masalah limbah dan alternatif penyediaan pupuk serta energi bagi
masyarakat, oleh karena itu untuk mencegah atau meminimalkan
kegagalan kerjanya, diperlukan pemahaman dan pengkajian secara ilmiah
dan teknis yang lebih mendalam sebagai pendekatan baru dalam
perancangan, pembangunan dan pengembangan digester biogas.
1.2. Rumusan Masalah
1)
2)
3)
4)
Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah,
yaitu:
Bagaimanakah proses yang terjadi dalam digester biogas secara
sains?
Sejauhmanakah digester biogas berperan sebagai instalasi sanitasi?
Bagaimanakah peran digester biogas sebagai penghasil pupuk
organik?
Sejauhmanakah kinerja digester biogas sebagai pembangkit energi
bagi masyarakat?
1.3. Tujuan
1)
2)
3)
4)
Penulisan buku ini memiliki tujuan sebagai berikut:
Pemahaman proses biokimia dalam digester biogas
Intensifikasi peran digester biogas dalam proses sanitasi limbah
pemukiman dan industri makanan
Aplikasi digester biogas sebagai perangkat penghasil pupuk organik
Mengetahui perkembangan aplikasi digester biogas sebagai
pembangkit energi bagi masyarakat.
1.4. Manfaat
Melalui uraian buku ini diharap bisa memunculkan ide-ide yang
lebih cemerlang dari segenap pamangku kepentingan sebagai tindak
lanjut hasil penelitian yang telah dilakukan Penulis maupun paparan
pustaka yang telah diacu. Tindak lanjut itu untuk menjadi kontribusi
pemikiran, rancangan dan wujud digester biogas yang bisa operasional di
semua level, dari mulai tingkat rumah tangga, usaha tani, hingga industri
besar untuk menjawab tantangan sanitasi lingkungan, penyediaan pupuk
dan alternatif energi ramah lingkungan.
II
TINJAUAN TEORI
2.1. Pembentukan Biogas
2.1.1. Proses yang Terjadi
Biogas terbentuk melalui proses yang melibatkan digesti anaerob
(DA) yaitu proses biologis untuk menguraikan dan menstabilkan bahan
organik dalam suatu reaktor khusus dengan cara yang terkendali. Proses
ini didasarkan pada aktivitas mikroorganisme dalam kondisi bebas
oksigen (anaerob) dan menghasilkan dua produk akhir yaitu: (i) biogas
sebagai sumber energi; dan (ii) residu proses yang disebut digestat.
Proses DA bahan organik juga terjadi di alam, misalnya di rawa-rawa,
tanah, sedimen dan metabolisme ruminansia. Dalam proses ini beberapa
konsorsium berbagai mikroorganisme menguraikan bahan baku secara
paralel dan atau berurutan sebagai tahap-tahap degradasi (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Degradasi anaerob bahan organik (Luostarinen dkk., 2011)
Pada hidrolisis senyawa polimer (karbohidrat, protein dan lipid)
terdegradasi ke monomer dan dimer oleh enzim hidrolitik yang
diekskresikan oleh mikroorganisme asidogen. Semakin luas permukaan
bahan baku, maka makin efisien enzim hidrolitik dapat menyerang bahan.
Oleh karena itu, yang mengandung zat padat sering membatasi tahap
hidrolisis, maka praperlakuan seperti penghalusan bahan (maserasi) dapat
digunakan untuk memperbaikinya. Selain itu, kondisi operasional proses
mempengaruhi hidrolisis, misalnya suhu tinggi meningkatkan hidrolisis.
PH optimal adalah sekitar 6,0 meskipun hidrolisis dapat terjadi juga pada
pH tinggi. Terlalu tinggi tingkat beban organik (organic loading
rate/OLR) dapat menghambat hidrolisis karena terjadi akumulasi
degradasi intermediet.
Setelah bahan baku terdegradasi menjadi molekul yang lebih kecil,
yaitu asam lemak rantai panjang (long chain fatty acid/LCFA), alkohol,
gula sederhana dan asam amino. Selama hidrolisis, bakteri asidogen
mampu memfasilitasi serapan dan degradasi lebih lanjut menjadi asam
lemak volatil (volatile fatty acid/VFA). Produk antara yang lebih spesifik
(misalnya asam priopionat, butirat dan valerat) tergantung pada kondisi
operasional, bahan baku dan aktivitas mikroorganisme. Salah satu proses
asidogenesis adalah amonifikasi senyawa nitrogen menjadi amonium
(NH4+) yang merupakan senyawa penting untuk meningkatkan nilai unsur
hara digestat (Luostarinen dkk., 2011).
DA merupakan konversi biokimia bahan organik oleh konsorsium
mikroorganisme dalam kondisi tanpa adanya oksigen menjadi metana dan
karbon dioksida. Proses DA terdiri dari empat langkah, yaitu : hidrolisis,
asidogenesis, asetogenesis dan metanogenesis. Hidrolisis adalah konversi
enzimatis senyawa organik kompleks (karbohidrat, protein, dan lipid)
menjadi organik sederhana (gula, asam amino, dan peptida) untuk
digunakan sebagai sumber energi dan karbon oleh sel (Saidi dan
Mahmoud, 2010).
Luostarinen dkk. (2011)menjelaskan lebih lanjut, bahwa hidrolisis
adalah pelarutan senyawa organik besar, kompleks, dan tidak larut
menjadi molekul kecil yang dapat diangkut ke sel mikroorganisme dan
dimetabolis. Pada dasarnya stabilisasi limbah organik tidak terjadi selama
hidrolisis; bahan organik hanya diubah menjadi bentuk larut yang dapat
dimanfaatkan oleh bakteri. Asidogenesis adalah proses fermentasi oleh
bakteri asidogen dari produk hidrolisis menjadi VFA. Kelompok
senyawa VFA ini selanjutnya menjadi substrat proses asetogenesis.
Asetogenesis memfasilitasi degradasi beberapa asam lemak
menengah menjadi asetat, hidrogen dan karbon dioksida. Senyawasenyawa itu oleh mikroorganisme metanogen dapat dimanfaatkan dalam
metabolismenya dan mengubahnya menjadi biogas, karbon dioksida dan
sejumlah kecil gas lain.
Metanogenesis adalah proses konversi asetat dan hidrogen menjadi
metana dan karbon dioksida. Bakteri yang berperan menghasilkan
metana, CO2 dan air tersebut dinamakan metanogen (Saidi dan
Mahmoud, 2010).
2.1.2. Faktor yang Berpengaruh
Menurut Luostarinen dkk. (2011) ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi proses DA, yaitu :
1) Suhu dan pH
Suhu mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup
mikroorganisme. Semakin rendah suhu, semakin lambat kimia dan reaksi
enzimatik dan pertumbuhan mikroorganisme. Sebaliknya, bila suhu naik
reaksi kimia dan enzimatik dipercepat sampai suhu optimal. Jika pH
optimum ini terlampaui, protein dan komponen seluler mikroorganisme
bisa rusak ireversibel. Dengan demikian, peningkatan suhu dalam satu
kisaran optimal bisa meningkatkan proses DA, tetapi pada suhu lebih
tinggi dari optimal mebuat rusaknya konsorsium mikroorganisme
tertentu.
Mikroorganisme diklasifikasikan ke dalam kelas suhu sesuai
dengan suhu optimumnya dan tingkat suhu ini kemudian digunakan
dalam operasi digester biogas. Mikroorganisme psikhrofilik dan
psikhrotoleran tumbuh pada suhu 0 hingga 20 °C. Mikroorganisme
mesofilik memiliki suhu optimum 30 sampai 40 °C dan termofilik ebih
dari 55 °C. Proses mesofilik dan termofilik adalah yang paling umum
untuk mengurai bahan baku heterogen, seperti pupuk kandang, lumpur
dan limbah biodegradabel berbagai produk samping dari kota dan
industri. Dalam digester biogas perlu pemanasan agar tetap pada suhu
yang diinginkan. Dengan demikian, instalasi biogas menggunakan
sebagian energi yang dihasilkan untuk pemanasannya sendiri.
Suhu juga penting untuk kesetimbangan kimia dalam proses biogas
(misalnya kelarutan gas, tahap pengendapan bahan anorganik) dan
kaitannya dengan pH. PH optimal untuk menghidrolisis oleh enzim
adalah 6,0 sedangkan untuk metanogenesis adalah 6,0 sampai 8,0. PH
mempengaruhi degradasi secara langsung oleh mikroorganisme, juga
secara tidak langsung melalui kesetimbangan kimia amonia dan toksisitas
asam lemak volatil; ketersediaan nutrisi dan bahan baku (misalnya
pengendapan protein); dan keberadaan karbon dioksida. Untuk
mempertahankan pH yang cocok ini pada bahan baku memiliki
alkalinitas yang tinggi, maka diperlukan kapasitas bufer, contohnya
dengan penambahan bikarbonat.
Seadi dkk.(2008) berpendapat bahwa interval pH optimum untuk
digesti mesofilik adalah antara 6,5 dan 8,0 dan proses ini sangat
terhambat jika nilai pH turun di bawah 6,0 atau naik di atas 8,3.
Kelarutan karbon dioksida dalam air menurun dengan meningkatnya
suhu. Nilai pH dalam digester termofilik karena itu lebih tinggi daripada
yang mesofilik, maka karbon dioksida terlarut bereaksi dengan air
membentuk asam karbonat. Nilai pH dapat meningkatkan oleh amonia,
yang dihasilkan selama degradasi protein atau adanya amonia dalam
pengisian. Sedangkan akumulasi VFA menurunkan nilai pH.
Nilai pH dalam digester anaerob terutama dikendalikan oleh
sistem bufer bikarbonat. Oleh karena itu, nilai pH dalam digester
tergantung pada tekanan parsial CO2, konsentrasi alkali, dan komponen
asam dalam fasa cair. Jika akumulasi basa atau asam terjadi, kapasitas
penyangga akan melawan perubahan pH ini, sampai tingkat tertentu. Bila
kapasitas penyangga sistem itu terlampaui, akan terjadi perubahan nilai
pH yang drastis yang menghambat proses DA. Oleh karena itu, nilai pH
tidak dianjurkan sebagai suatu parameter pemantauan proses yang berdiri
sendiri. Kapasitas bufer substrat DA dapat bervariasi, misal untuk
substrat pupuk kandang kapasitas bufernya bervariasi dengan musim dan
bisa dipengaruhi oleh komposisi pakan ternak (Seadi dkk.,2008;
Luostarinen dkk., 2011).
2) Penghambatan dan tekanan parsial hidrogen
Amonifikasi senyawa nitrogen organik menghasilkan amonium
(NH4+) dan sebagian dalam bentuk amonia (NH3). Amonia mampu
memasuki sel mikroorganisme lebih bebas karena tidak memiliki muatan
listrik, yang menjadi racun bagi mikroorganisme pada konsentrasi tinggi.
Jumlah amonia tergantung pada suhu dan pH proses, yaitu semakin tinggi
suhu dan pH, semakin tinggi jumlah amonia (Luostarinen dkk., 2011).
Amonia biasanya ditemui sebagai gas, dengan bau menyengat yang khas,
merupakan senyawa penting, karena nutrisi penting yang berperan
sebagai prekusor bahan makanan. Protein adalah sumber utama amonia
untuk proses DA.
Konsentrasi amonia terlalu tinggi dalam digester, terutama amonia
bebas, yang berperan sebagai penghambat proses. Hal ini umum untuk
DA dari kotoran hewan, karena konsentrasi amonia tinggi yang berasal
dari urin. Karena efek penghambatannya, konsentrasi amonia harus
berada di bawah 80 mg/L. Bakteri metanogen sangat sensitif terhadap
penghambatan amonia. Konsentrasi amonia bebas adalah berbanding
lurus dengan suhu, sehingga ada peningkatan risiko penghambatan
amonia terhadap proses DA yang dioperasikan pada suhu termofilik,
dibandingkan dengan yang mesofilik. Konsentrasi amonia bebas dihitung
dari persamaan:
NH 3   T NH 3 
 H 
1 


k a 

[NH3] dan [T-NH3] adalah masing-masing konsentrasi amonia bebas dan
total, dan ka adalah parameter disosiasi yang nilainya meningkat dengan
suhu. Ini berarti bahwa meningkatkan pH dan peningkatan suhu akan
menyebabkan meningkatnya penghambatan, karena faktor-faktor ini akan
meningkatkan fraksi amonia bebas. Ketika suatu proses dihambat oleh
amonia, peningkatan konsentrasi VFA akan menyebabkan penurunan pH
yang sebagian akan melawan efek amonia akibat penurunan konsentrasi
amonia bebas (Seadi dkk., 2008).
Luostarinen dkk. (2011) mengatakan bahwa, tekanan parsial
hidrogen yang rendah sangat penting proses biogas agar berfungsi dengan
baik, terutama asidogenesis, asetogenesis dan kemudian metanogenesis
bergantung padanya. Degradasi atau akumulasi produk antara, LCFA dan
VFA, dan bisa berfungsi sebagai inhibitor. Degradasi LCFA dan VFA
adalah termodinamika yang tidak baik bila tekanan hidrogen parsial
tinggi. Biasanya metanogen hidrogenotrofik segera mengkonsumsi
hidrogen diproduksi, tetapi dalam kasus kelebihan muatan bahan organik
(jumlah substrat terlalu tinggi) atau kondisi penghambatan metanogen
lainnya, degradasi asam organik terganggu, peningkatan konsentrasi asam
dan pH menurun. Hal ini semakin menghambat metanogen dan
peningkatan tekanan parsial hidrogen. Pada titik ini juga degradasi LCFA
dan VFA menjadi asetat tidak berlanjut dan produk antara, misal asam
propionat dan asam lainnya diproduksi secara berlebihan, yang
menyebabkan pengasaman proses biogas. Hal ini dapat mengakibatkan
kerusakan seluruh proses dan hanya dapat diatasi tidak memberi muat
dalam jangka panjang atau diulang kembali seluruh proses menggunakan
inokulum baru.
Pengalaman praktis menunjukkan bahwa, dua digester dengan
konsentrasi VFA yang sama dapat berkinerja sama sekali berbeda,
sehingga pada VFA konsentrasi yang sama dapat optimal untuk satu
digester, tetapi penghambatan untuk yang lain. Salah satu penjelasan
yang bisa menjadi fakta bahwa komposisi populasi mikroorganisme
bervariasi dari digester ke digester. Untuk alasan ini, dan seperti dalam
kasus pH, konsentrasi VFA tidak dapat direkomendasikan sebagai
parameter pemantauan proses yang berdiri sendiri (Seadi dkk., 2008).
Unsur mikro seperti besi, nikel, kobalt, selenium, molibdenum atau
tungsten sama-sama penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup
mikroorganisme DA sebagai nutrisi makro dan mikro nutrisi karbon,
nitrogen, fosfor, dan sulfur. Rasio optimal nutrisi makro karbon, nitrogen,
fosfor, dan belerang (C: N: P: S) dianggap 600:15:5:1. Kurangnya
penyediaan nutrisi dan digestibilitas substrat yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan hambatan dan gangguan dalam proses DA (Seadi dkk.,
2008). Inhibitor lain yang mungkin terjadi misalnya oksigen, senyawa
disinfektif, logam berat dengan konsentrasi tinggi, nitrat, sulfat, asam 2bromoetansulfonat (BES), metana terklorinasi, dan senyawa dengan
ikatan karbon tak jenuh seperti asetilena (Luostarinen dkk., 2011).
3) Faktor teknis dan operasional
Faktor teknis dan operasional juga mempengaruhi degradasi
anaerob dalam proses biogas. Misalnya pengadukan adalah penting pada
semua jenis digester. Hal ini digunakan untuk memastikan kontak yang
baik antara bahan baku dan mikroorganisme, serta suhu konstan dan
kualitas homogen seluruh isi digester. Hal ini juga memungkinkan
pelepasan gelembung biogas dari massa tercerna ke dalam sistem
pengumpulan gas. Pengadukan suboptimal dapat mengakibatkan digestat
kualitas rendah, mengurangi produksi biogas dan mengakibatkan masalah
operasional, seperti berbusa, gelembung biogas belum dilepas dalam
massa tercerna dan/atau kenaikan massa, dan penetrasi ke luaran yang
salah. Pengadukan biasanya melibatkan berbagai bentuk bilah pengaduk.
Pengadukan harus dioptimalkan juga untuk alasan energi seperti listrik
sebagai kebutuhan utama pada sebuah digester biogas.
Waktu retensi hidrolik (hydraulic retention time/HRT) dan OLR
juga mempengaruhi proses biogas. HRT adalah hubungan volume
digester dan volume isian setiap hari dan merupakan waktu rata-rata
bahan baku dihabiskan dalam proses biogas. Semakin lama HRT,
semakin banyak bahan organik terdegradasi.
Bahan organik yang peka terhadap degradasi anaerob biasanya
terdegradasi dalam reaktor biogas antara 14 hingga 50 hari.
Memperpanjang HRT akan menuntut ukuran reaktor lebih besar namun
kecil keuntungannya. Pada kasus bahan mudah terdegradasi, seperti pati
yang terkandung residu sayuran, HRT yang singkat sudah memadai.
Sementara bahan lignoselulosa, seperti tanaman energi dan sisa tanaman
memerlukan HRT yang lebih panjang untuk memfasilitasi degradasi yang
efisien. Ketika mencerna kotoran hewan biasa diterapkan HRT 20 hingga
30 hari (Luostarinen dkk., 2011).
2.1.3. Kondisi Optimum
Beberapa parameter dalam DA mempengaruhi lingkungan fisik
yang juga nantinya mempengaruhi efisiensi digesti dan potensi produksi
biogas. Operator DA harus memantau beberapa parameter berikut dalam
rentang yang optimal, yaitu: pH, suhu, rasio C/N, waktu retensi, tingkat
pemuatan organik, kompetisi bakteri, kandungan gizi, zat toksik,
kandungan padatan, dan pengadukan. Kisaran optimum dan peran faktor
penting yang akan dijelaskan pada Tabel 2.1.
Dalam lingkungan anaerob, mikroorganisme yang umumnya
berperan melepaskan metana dari asam asetat antara lain:
Methanosarcina,
Methanococcus,
Methanobacterium,
dan
Methanobacillus. Perombakan anaerob secara luas digunakan untuk
memantapkan padatan organik terkonsentrasi (memadat/lumpur), dengan
BOD lebih besar dari 10.000 mg/L, dipindahkan dari tangki endap, filter
biologis, dan pembangkit lumpur aktif. Beberapa pembangkit
menggunakan digesti anaerob sebagai langkah pertama membuang
kelebihan zat nitrogen dari aliran sisa sebelum perlakuan aerob (Saidi dan
Mahmoud, 2010).
Tabel 2.1. Kondisi optimum produksi biogas
Parameter
Kondisi optimum
pH
7 – 7,5
Suhu
Rasio C/N
30 – 37 oC
20 – 30
lambat
Pengadukan
14 – 30 hari
Waktu retensi
< 200 mg/L
Sulfida
Logam berat terlarut
Natrium
Kalsium
Magnesium
Amonia
< 1 mg/L
< 5.000 mg/L
< 2.000 mg/L
< 1.200 mg/L
< 1.700 mg/L
Sumber : Hermawan (2007)
Perbedaan lain antara proses aerob dan anerob terletak pada
karakteristik biomassa yang menentukan jalannya proses perombakan.
Pada proses aerob, biomassa terdiri atas berbagai jenis mikroorganisme,
tetapi masing-masing merombak bahan organik untuk keperluannya
masing-masing. Pada proses anaerob, sebenamya biomassa juga terdiri
atas berbagai jenis mikroorganisme, tetapi merombak bahan organik satu
setelah yang lain dari bahan organik hingga biogas. Dengan demikian,
proses berlangsung sempurna hingga menghasilkan produk akhir, hanya
jika proses pertukaran massa pada setiap mikroorganisme yang terlibat
berlangsung dengan kecepatan sama. Karena alasan tersebut, proses
anaerob lebih sensitif terhadap pengaruh bahan toksik, pH dan suhu
dibanding dengan proses aerob (Seadi dkk., 2008).
2.1.4. Bahan Baku Biogas
1) Definisi
Bahan baku (feedstock) biogas ialah mencakup bahan substrat yang
dapat dikonversi menjadi metana oleh bakteri anaerob. Bahan baku mulai
dari air limbah mudah terurai hingga limbah padat kompleks. Salah satu
persyaratannya adalah bahwa limbah yang diberikan mengandung
sejumlah besar bahan organik yang akhirnya dikonversi terutama
menjadi metana dan CO2 (Steffan dkk., 1998).
Ertem (2011) mengemukan bahwa, segala jenis biomassa yang
mengandung karbohidrat, protein, lemak, selulosa sebagai komponen
utama, maka dapat digunakan untuk bahan baku untuk menghasilkan
biogas. Ketika memilih biomassa sebagai substrat berikut informasi harus
dipertimbangkan terlebih dahulu:
 Substrat harus dipilih berdasar pada kandungannya
 Memiliki nilai nutrisi yang tinggi agar memberikan hasil biogas
yang tinggi pula
 Substrat yang dipilih harus tanpa patogen
 Zat berbahaya harus dalam jumlah yang kecil
 Biogas hasil harus bermanfaat untuk aplikasi lebih lanjut
 Residu digesti harus berguna sebagai pupuk.
2). Keragaman dan pemilihan bahan baku
Awalnya DA terutama sekaitan dengan pengolahan pupuk kandang
hewan (sapi, babi, unggas) dan lumpur endapan instalasi pengolahan
aerob air limbah. Namun, pada 1970-an meningkatnya kesadaran
lingkungan serta tuntutan strategi baru pengelolaan sampah dan bentuk
energi terbarukan, memperluas bidang aplikasi DA ke pengolahan limbah
industri dan kota. Selain itu, konfigurasi reaktor tingkat tinggi dan
perangkat kontrol proses yang canggih memungkinkan DA memasuki
wilayah yang biasa didominasi oleh sistem aerob seperti pengolahan
limbah industri yang mengandung COD rendah (Steffen dkk., 1998).
Kekhawatiran terhadap penimbunan limbah padat yang dipelopori
oleh para ahli teknik untuk mempertimbangkan pendekatan baru
pengolahannya sebelum dibuang. Misalnya limbah padat dan semi padat
seperti fraksi organik dari limbah padat perkotaan (organic fraction of
municipal solid waste/OFMSW) umumnya saat dibuang ke tempat
pembuangan sampah atau pengkomposan aerob, dapat diolah secara
anaerob untuk menghemat ruang TPA dan mengkonversi sebagian bahan
organik menjadi energi biogas.
Klasifikasi pada Gambar 2.2. menunjukkan berbagai bahan baku
yang berasal dari tiga sumber yang berbeda. Namun pertanian
menyumbang potensi bahan baku terbesar dan paling aplikatif saat ini.
Uraian selanjutnya akan lebih berfokus pada limbah agroindustri, yaitu
limbah peternakan, limbah pertanian dan limbah industri yang
berhubungan dengan pertanian dan produksi pangan.
Gambar 2.2. Klasifikasi sumber bahan baku biogas (Steffen dkk., 1998).
Pemilihan suatu jenis bahan baku DA perlu pertimbangan
ada/tidaknya praperlakuan yang berbiaya tinggi dan/atau kerumitan
konfigurasi reaktor harus dibandingkan dengan semua manfaat (ekonomi,
lingkungan) pengolahan itu. Bahan baku juga dapat menentukan tujuan
dan sasaran proses DA. Sebagai contoh, tujuan utama perlakuan
pengolahan air limbah industri oleh DA umumnya tidak menuntut
berikutnya menghasilkan metana agar memproduksi energi atau digestat
sebagai pupuk tanah, namun untuk pengurangan COD dalam limbah
semaksimal mungkin.
DA terhadap organik dari limbah padat perkotaan didorong oleh
perlunya mengurangi limbah, menghasilkan biogas yang bisa digunakan,
dan juga digestat untuk pemupukan pertanian. Sedangkan tanaman
energi, pendorong utamanya ialah untuk menghasilkan biogas sebagai
sumber energi. Dalam beberapa kasus, biomassa tanaman diolah dahulu
dan disimpan (silase) untuk pemanfaatan selanjutnya sebagai bahan baku
DA (Steffen dkk., 1998).
Tabel 2.2 menunjukkan karakteristik umum dan hasil biogas dari
beberapa bahan baku pertanian (Ertem, 2011).
Lahan untuk produksi tanaman terbatas. Luas permukaan dunia
terutama tertutup oleh lautan, hanya 149,106 km2 lahan terestrial yang
terdiri dari 9,4% wilayah garapan. Oleh karena itu tanaman harus dipilih
terutama tergantung pada (i) hasil biomassa per hektar, kondisi iklim,
ketersediaan air irigasi dan ketahanan terhadap hama dan penyakit; dan
(ii) aspek ekonomi seperti kebutuhan energi untuk penyiapan substrat
harus diperhitungkan. Dengan demikian, dapat dikatakan harus dipilih
substrat yang paling cocok untuk produksi biogas (Ertem, 2011).
Tabel 2.2. Hasil biogas dan kadar metana dari bahan baku pertanian
Hasil
VS
Waktu
Kadar
TS
biogas
(%
retensi
CH4
Bahan baku
(% DS)
(m3/kg
DS)
(hari)
(%)
VS)
Kohe sapi
5-12
75-85
20-30
0,20-0,30
55-75
Kohe ayam
10-30
70-80
>30
0,35-0,60
60-80
Kotoran babi
3-81
70-80
20-40
0,25-0,50
70-80
Whey (dadih)
1-5
80-95
3-10
0,80-0,95
60-80
Dedaunan
80
90
8-20
0,10-0,30
BA
Jerami
70
90
10-30
0,35-0,45
BA
Limbah taman
60-70
90
8-30
0,20-0,50
BA
Bahan baku
TS
(% DS)
Silase rumput
15-25
Limbah buah
15-20
Limbah
10
makanan
BA= belum dianalisis
VS
(%
DS)
Waktu
retensi
(hari)
90
75
80
10
8-20
10-20
Hasil
biogas
(m3/kg
VS)
0,56
0,25-0,50
0,50-0,60
Kadar
CH4
(%)
BA
BA
70-80
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil energi bersih yang bisa
diperoleh dari biomassa ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Faktor yang mempengaruhi hasil energi bersih yang dapat
diperoleh dari biomassa (Ertem, 2011).
Budidaya dan manajemen mempengaruhi hasil metana dari
tanaman energi. Oleh karena itu, kualitas substrat untuk produksi biogas
harus dioptimalkan. Parameter yang paling penting untuk memilih
tanaman adalah hasil biomassa per hektar. Tanaman harus mudah
dibudidayakan, dipanen, dan disimpan. Tanaman itu harus dapat
mentolerir penyakit dan hama, serta dapat tumbuh di tanah dengan
tingkat nutrisi yang rendah. Banyak tanaman energi yang akrab bagi
petani dan mudah ditumbuhkan dan menghasilkan sejumlah besar
biomassa dan mudah didigesti dengan baik. Maka merupakan substrat
yang baik untuk produksi biogas.
Sisa panen tanaman untuk energi memiliki manfaat bahwa biaya
produksi langsung dari bahan ini murah, dan mengumpulkannya dari
ladang menciptakan daur ulang dan mengurangi eutrofikasi nitrogen
akibat pencucian.
Berikut beberapa alternatif substrat biogas:
1) Pupuk kandang cair dan substrat tambahan
Kotoran kandang berbagai ternak memiliki potensi besar untuk
pemanfaatan dalam digester anaerob dengan biodegredabilitasnya yang
tinggi. Seringkali kotoran kandang membawa kontaminan seperti pasir,
serbuk gergaji, tanah, kulit dan rambut, tali, kabel, plastik dan batu yang
berefek buruk bagi digesti. Umumnya dalam cairan kotoran bisa
mengandung asam organik, antibiotik, obat kemoterapi dan disinfektan
yang menyebabkan meningkat kompleksitas dan bahkan terhentinya
produksi biogas.
Hasil biogas dapat ditingkatkan dengan menambahkan substrat
tambahan ke dalam kotoran ternak melalui peningkatan kandungan
organik substrat. Hal ini lebih menguntungkan dari sudut pandang
ekonomi.
2) Alga
Bila panen sebagian besar tanaman seperti tebu, bit gula, canola
yang digunakan untuk pembangkit energi menyebabkan persaingan
dengan makanan. Oleh karena itu, penggunaan biomassa tanaman untuk
pembangkit energi bermasalah. Alga menggunakan sinar matahari
sebagai energi dan mendapatkan CO2 dari atmosfer dan mensintesis
kebutuhan karbonnya. Alga memiliki banyak keunggulan dibandingkan
dengan tumbuhan tingkat tinggi karena tingkat pertumbuhan yang lebih
cepat dan bisa dibudidaya di lahan nonpertanian, danau atau laut.




Pemanfaatan alga memiliki banyak keuntungan:
Pemulihan kondisi yang menguntungkan bagi fauna dan flora,
Penurunan bau tak sedap,
Peningkatan penghapusan nitrogen dan fosfor di pantai,
Penurunan pengikatan nutrisi dalam sedimen.
Karena keunggulan ini banyak penelitian telah dilakukan. Barubaru ini telah diciptakan teknik pemanenan baru dan dihasilkan produk
berharga oleh beberapa strain alga. Perbaikan ini menyebabkan kenaikan
nilai kepentingan penggunaan organisme ini untuk menghasilkan
bioenergi. Namun biomassa alga memiliki rasio C/N rendah sehingga
bisa menyebabkan masalah dalam digester.
3) Kayu dan jerami
Biomasa yang mengandung lignoselulosa, seperti kayu dan jerami,
dapat terdegradasi baik dengan praperlakuan seperti perlakuan termal dan
kimia. Berbeda dengan selulosa dan hemiselulosa, lignin adalah jaringan
silang polimer hidrofobik, tahan terhadap degradasi anaerob, waktu
degradasi memakan waktu setidaknya 25 hari dan menyebabkan
gangguan dalam tahap hidrolisis.
Jerami adalah substrat lignoselulosa, yang terdiri dari: selulosa (4050%), hemiselulosa (25-35%) dan lignin (15-20%) sangat tahan terhadap
degradasi enzimatik. Degradasi enzimatik lignoselulosa biasanya tidak
begitu efisien karena merupakan bahan stabilitas tinggi terhadap serangan
enzimatik atau bakteri. Pemanfaatan hemiselulosa dan gula pentosa masih
merupakan masalah bagi bakteri dalam sistem digesti. Lignin adalah
molekul yang sangat kompleks yang terdiri dari unit fenilpropana terkait
dalam struktur tiga dimensi yang sulit untuk diuraikan. Ada ikatan kimia
antara lignin dan hemiselulosa dan bahkan selulosa. Lignin merupakan
salah satu kelemahan penggunaan bahan lignoselulosa dalam produksi
biogas, karena lignoselulosa membuat tahan terhadap degradasi biologis.
Praperlakuan bertujuan untuk mempercepat tahap hidrolisis,
meningkatkan produksi biogas, dan mengurangi waktu retensi hidrolik.
Di masa depan, fermentasi biomasa semacam ini dalam digester biogas
akan memberikan tenaga yang cukup besar. Itu bisa dianggap tidak
menarik secara ekonomi karena harga bahan kimia yang tinggi
dibandingkan dengan biaya operasional yang rendah, tetapi juga
membantu untuk melindungi lingkungan. Setelah digesti, jumlah kecil
bahan berbahaya atau pengotor akan dilepaskan. Degradasi kayu dan
jerami dengan kotoran ternak cair lebih disukai, karena digesti berjalan
lebih stabil.
4) Rumput
Rumput adalah substrat kaya serat dengan potensi biogas yang
tinggi. Substrat ini membutuhkan waktu retensi lebih lama untuk digesti.
Tumbuhan ini dominan di Swedia, dapat tumbuh sebagai padang rumput
permanen atau sebagai tanaman sementara, yang dapat dipanen 2 - 4 kali
dalam setahun. Nilai energi tertinggi bisa diperoleh dari panen pertama,
sedangkan panen terakhir memberikan efisiensi biogas lebih rendah
karena biodegredabilitasnya rendah. Kadar lignin rumput ini biasanya
lebih rendah pada saat panen awal (TS 2-5%) lalu panen akhir meningkat
kandungan TS 30% (Ertem, 2011)
Steffen dkk. (1998) mengemukakan bahwa, limbah pertanian
yang cocok untuk digesti anaerob adalah:
1) Kotoran sapi
Kotoran sapi biasanya dikumpulkan dari kandang. Jerami sering
ditambahkan dalam penggemukan mengakibatkan sedikit variasi dari
total padatan. Umumnya ditambahkan sedikit air untuk membersihkan
dan membilas jalan ternak, maka dilusi dengan air minimal. Adapun
kotoran kandang babi dan sapi juga menunjukkan variasi yang besar
dalam isi padatan total, tergantung pada sistem kandang hewan.
Tergantung pada lokasi dan tradisi operasional sapi sering menghabiskan
waktu yang lama merumput di padang rumput, maka pengumpulan
kotoran berkurang.
2) Kotoran ayam
Ayam biasanya dipelihara dalam unit skala besar hingga beberapa
ratus ribu hewan. Kotoran ayam mengandung TS yang tinggi (~ 20%)
dan konsentrasi N dalam bentuk NH4 yang pada umumnya kotoran
hewan agak tinggi (~ 8 g/L). Kebanyakan kasus, air terlarut amonia
diekskresikan. Karena ayam mengeluarkan sedikit cairan, maka amonia
ditemukan dalam bentuk kristal dalam kotoran. Kandungan amonia yang
tinggi ini yang dapat menyebabkan efek penghambatan pada digesti, dan
berakibat emisi NH4 tinggi selama penyimpanan pupuk di kandang.
Memelihara ayam di kandang terbuka biasanya menyebabkan
kontaminasi kotoran kandang oleh pasir. Seringkali sistem digester
membentuk sedimen pasir di lapisan bawah yang menyebabkan masalah
operasional dan mengakibatkan volume reaktor berkurang.
3) Kotoran pemeliharaan ternak skala kecil
Pada peternakan kecil hasil pengumpulan kotoran konvensional
dalam pupuk kandang. Hewan biasanya dipelihara di atas jerami, yang
menyerap kotoran sehingga kering masalah isi kering mulai dari TS 10
sampai 30%. Digesti kotoran kandang membutuhkan waktu retensi lebih
tinggi dan sering menuntut praperlakuan kotoran yang tidakh homogen.
Sering ada masalah operasional tambahan, seperti pembentukan lapisan
endapan. Beberapa bahan sampah seperti serutan kayu, karena kadar
lignin yang tinggi sulit terurai secara anaerob dan dapat diperkaya dalam
tangki digesti.
4) Sisa panen dan limbah kebun
Sisa panen dan limbah kebun bisa didaur-ulang untuk lahan
pertanian bisa juga digunakan sebagai bahan baku dalam digester skala
pertanian dan penyediaan pupuk yang dapat diterapkan mudah untuk
lahan pertanian. Umumnya residu tersebut akan ditambahkan sebagai
substrat bersama untuk pupuk. Kemungkinan bahan baku untuk DA
termasuk tanaman dan sisa-sisa tanaman (misalnya daun, jagung, kacang,
batang dll.), buah-buahan busuk atau berkualitas rendah, dan sayuran, silo
lindi dan jerami.
5) Tanaman energi
Upaya telah dilakukan untuk membudidayakan tanaman khusus
untuk tujuan DA. Hal ini bisa menjadi menarik bagi negara-negara yang
biaya energi tinggi, sementara lahan pertanian yang cukup tersedia dalam
iklim cocok. Bahkan di Eropa terjadi pertanian kelebihan produksi, maka
DA pada tanaman energi bisa menjadi alternatif yang dapat
memanfaatkan lahan kosong. Namun saat ini tanaman energi untuk DA
belum signifikansi di Uni Eropa. Pada beberapa penelitian dilaporkan
penggunaan biomassa tanaman dengan perlakuan awal (silase) untuk DA
pada digester pertanian. Silase dapat disimpan dalam jangka waktu yang
lama dan digunakan untuk produksi biogas ketika energi diperlukan.
6) Limbah dan air limbah industri pertanian
Jumlah besar bahan baku pertanian diproses dalam industri
makanan. Selama pengolahan dihasilkan limbah dan air limbah yang bisa
daur ulang sebagai substrat gabungan pada digester pertanian. Kemudian
digestatnya dapat digunakan sebagai pupuk pada lahan pertanian. Khas
limbah dan hasil samping agroindustri termasuk protein dan gula yang
mengandung whey yaitu dari industri susu atau air kotor dari pengolahan
jus buah dan penyulingan alkohol. Berbagai tanaman dan residu tanaman
lainnya dari industri pengolahan, sering digunakan atau diperlakukan
melalui cara lainnya atau dikubur, juga dapat diperlakukan secara
anaerob. Residu tersebut dapat ditambahkan sebagai substrat pendamping
pupuk kandang atau campuran digesti, penyediaan transportasi dari
industri limbah dapat diatur secara rasional.
7) Penilaian dari berbagai bahan baku
Volume rata-rata feses dan urin sebagian besar berbeda dari satu
jenis hewan ke lainnya dan terutama tergantung pada usia dan bobotnya.
Livestock unit (LU) umum digunakan sebagai rasio, yaitu satu LU
merupakan bobot hidup 500 kg dan setara dengan 1ekor sapi, ekor babi
atau 250 ayam petelur. Tabel 2.3. memberikan rata-rata bobot, volume
kotoran dan sesuai isi bahan keringnya. Menurut hasil biogas, satu LU
sapi, babi atau ayam menghasilkan rata-rata 0,75, 0,60 atau 12,5 m³
biogas per LU.
Table 2.3. Karakteristik pembentukan kotoran ternak
Bobot
hidup (kg)
Volume
kotoran (L/hari)
Total padatan
/TS (%)
Sapi perah
500
55
11-12
Sapi potong
500
45
11-12
Babi potong
70
4,6
5,6
Ayam petelur
1,8
0,1
10-30
Ayam potong
0,9
0,9
10-30
Ternak
Hubungan sangat komprehensif antara bahan baku yang
berinteraksi dengan DA (Gambar 2.4). Bahan baku banyak
mempengaruhi konfigurasi digester (pertimbangan desain dan
operasional) dan memiliki pengaruh yang komprehensif tentang fisiologi
bakteri. Dari aspek metabolisme, limbah yang mengandung senyawa
polimer memerlukan desain yang berbeda dengan air limbah yang mudah
biodegradasi, misalnya hanya mengandung asam lemak volatil. Sebagai
contoh, degradasi lignin dan selulosa pada kondisi anaerob dapat
mengambil beberapa minggu. Hemiselulosa, lemak, dan protein
terdegradasi dalam beberapa hari, sedangkan gula molekul sederhana,
asam lemak volatil dan alkohol laju degradasi hanya beberapa jam.
Selain itu, bahan baku menentukan kualitas produk seperti biogas,
lumpur digestat dan perlunya pasca-perlakuan limbah pada akhir proses
digesti. Karena produk akhir DA diproses lebih lanjut untuk energi panas
dan listrik (biogas) dan pupuk tanah (lumpur anaerob), maka penilaian
komprehensif terhadap komposisi dan kemurnian (kualitas) bahan baku
diperlukan.
Gambar 2.4. Bahan baku dan keterkaitannya dalam berbagai aspek DA
(Steffen dkk., 1998).
2.1.5. Praperlakuan Substrat
Montgomery dan Bochnan (2014) mengemukakan bahwa berbagai
teknologi pretreatment telah dikembangkan dalam beberapa tahun
terakhir untuk meningkatkan ketersediaan DA monosakarida dan molekul
kecil lainnya dalam substrat biogas, terutama dalam bahan lignoselulosa.
Teknologi praperlakuan ini bertujuan untuk:
 membuat DA lebih cepat,
 berpotensi meningkatkan hasil biogas,
 memanfaatkan substrat baru dan / atau yang tersedia secara
lokal, dan
 mencegah masalah pemrosesan seperti persyaratan listrik tinggi
untuk mencampur atau pembentukan lapisan mengambang.
Ada berbagai jenis praperlakuan yang dapat dibagi ke dalam
beberapa prinsip seperti pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Tinjauan sekilas beberapa prinsip dan teknik praperlakuan
Prinsip
Teknik
Fisika
Mekanik
Termal
Ultrasonik
Elektrokimia
Alkali
Asam
Oksidatif
Mikrobiologis
Enzimatik
Eksplosi uap
Ektrusi
Termokimia
Kimia
Biologis
Proses gabungan
Kemampuan untuk membuat biogas dari berbagai substrat yang
berbeda adalah salah satu keunggulan utama DA dibanding proses
lainnya seperti produksi etanol. Namun beberapa substrat bisa sangat
lambat untuk terurai, sehingga akan memperlambat produksi biogas
karena:
 Bahan mengandung zat yang menghambat pertumbuhan dan
aktivitas mikroorganisme,
 Bahan menciptakan masalah fisik seperti mengambang, berbusa
atau menggumpal, dan menghalangi pengaduk dan pipa biogas,
atau
 Struktur molekul bahan sulit diakses mikroorganisme dan enzim,
misalnya karena struktur kristal atau luas permukaan yang
rendah).
2.2. Digester Biogas
2.2.1. Pengertian dan Fungsi Digester
Digester biogas adalah struktur fisik yang fungsi utamanya adalah
untuk menciptakan kondisi anaerob di dalamnya. Struktur ini bila diisi
oleh bahan bisa terurai secara biologis, seperti: kotoran ternak, maka akan
dihasilkan biogas. Struktur ini dikenal juga sebagai bioreaktor atau
reaktor anaerob.
Digester biogas ialah tempat yang dibuat sedemikian rupa agar
terjadi proses digesti anaerob biomassa oleh aktivitas mikroorganisme,
sehingga dihasilkan biogas sebagai produk utama. Inti dari satu instalasi
biogas ialah digester, yaitu tangki reaktor yang kedap udara tempat
terjadi dekomposisi bahan baku, dalam ketiadaan oksigen dan dihasilkan
biogas. Karakteristik umum semua digester, selain menjadi kedap udara,
adalah memiliki suatu sistem masukan bahan baku serta sistem luaran
biogas dan digestat. Di wilayah iklim substropis digester anaerob harus
diinsulasi dan dipanaskan (Seadi dkk., 2008).
Sosialisasi pemanfaatan teknologi biogas telah lama dilakukan
oleh pemerintah, bahkan sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1980an. Namun sampai saat ini belum mengalami perkembangan yang
menggembirakan. Beberapa kendalanya adalah kurangnya ahli teknik
biogas, digester tidak berfungsi akibat kesalahan konstruksi, desain yang
rumit, membutuhkan penanganan secara manual secara detail, dan biaya
konstruksi yang mahal. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian yang
lebih mendalam secara teknis dan ekonomis serta cara-cara pendekatan
baru dalam pengembangannya (Widodo dkk., 2009).
2.2.2. Komponen Digester Biogas
Komponen digester biogas mengambil contoh desain digester
biogas tipe kubah tetap (fixed dome) seperti yang diuraikan oleh Ghimire
(2005) dan Mears dan Anderson (2011) sebagai berikut :
1) Bak Pemasukan
Secara umum bak pemasukan berupa bentuk empat persegi
panjang atau persegi yang terhubung ke pipa pemasukan (lihat Gambar
2.5). Batu bata yang digunakan untuk membangun dasar dan dinding,
yang diplester dengan adukan pasir-semen. Pipa pemasukan terbuat dari
beton dengan diameter dari 10 sampai 20 cm digunakan untuk
menghantarkan bahan baku untuk digester.
Bak pemasukan harus terletak di ujung untuk mengarahkan pipa
pemasukan tepatnya berlawanan dengan lubang pengeluaran, yang
berada di tengah-tengah longitudinal digester untuk memastikan
pencernaan penuh bahan dan mengikuti waktu retensi yang dirancang.
Ukuran bak pemasukan disesuaikan dengan kebutuhan untuk
memudahlan pencampuran air dan bahan.
2) Tangki Digester
Digester biogas biasanya dibangun di tempat yang lebih tinggi atau
timbul untuk menghindari genangan saat musim hujan. Pengurugan tanah
atas kubah meberikan fungsi ganda, yaitu: (i) menjadi tutup pelindung
terhadap gangguan; dan (ii) bertindak sebagai isolasi selama musim
dingin untuk mempertahankan suhu konstan di dalam digester.
Bahan bangunan yang digunakan untuk membangun dasar batu
bata dan beton. Batu bata direkat dengan mortar pasir dan semen
digunakan untuk membangun dinding. Penampung gas adalah kelanjutan
dinding digester berbentuk bulatan (kubah) di puncak. Pengerjaan pada
permukaan luar dengan menggunakan plesteran semen atau pengerasan.
Pemolesan (waxing) pada permukaan akhir plesteran pasir semen pada
kubah digunakan sebagai metode untuk membuat penampung gas kedap
udara. Pemolesan bisa digantikan dengan cara pemulasan cairan semen
agar lebih hemat biaya.
3) Pipa Gas Utama dan Menara
Gas yang diproduksi dalam digester terkumpul dalam kubah, lalu
disalurkan ke pipa melalui katup yang ditempatkan tepat pada titik pusat
kubah. Pipa gas utama ini dilindungi dengan balok tembok yang disebut
'menara' dibangun untuk mengelilingi pipa. Pipa utama itu panjangnya
30-45 cm dan berdiameter 25-35 mm. Ukuran diameter pipa gas tidak
dikurangi karena beberapa alasan teknis dan untuk memudahkan
pembersihan pipa dengan tongkat atau batang.
Gambar 2.5. Desain umum digester biogas tipe kubah tetap (Mears dan Anderson, 2011)
4). Sistem Pengeluaran
Sistem pengeluaran terdiri dari suatu tempat pembukaan yang
dikenal sebagai lubang masuk orang, yang posisinya pada suatu titik
diametrik berlawanan dengan pipa pemasukan untuk menghindari arus
pendek aliran substrat. Pembukaan ini melayani beberapa tujuan: (i)
sebagai gerbang untuk masuk dan keluar orang selama pembangunan
dan pemeliharaan digester; (ii) untuk mengosongkan digester untuk
membersihkan; (iii) untuk mengaduk lumpur dengan menggunakan
tongkat atau batang panjang, yaitu untuk kasus terbentuk flok di atas; dan
(iv) untuk memfasilitasi pergerakan lumpur ke luar akibat akumulasi gas
dalam penampung gas dan pergerakan lumpur ke dalam dari ruang
perpindahan pada saat pemanfaatan gas sehingga akan ada tekanan yang
cukup untuk mencapai titik penggunaan.
Bila bak pelimpasan (overflow) lumpur digester selevel dengan
permukaan tanah akan meningkatkan risiko genangan air hujan
memasukinya. Masuknya air akan mengubah rasio antara limbah dan air
dalam digester yang berakibat buruk pada proses DA. Perlu adanya tutup
pelindung untuk bak ini.
Selain itu, membiarkan ruang perpindahan tanpa penutup bisa
meningkatkan risiko jatuhnya anak-anak dan hewan peliharaan. Bak ini
bisa ditutup dengan lempeng beton, pintu kayu atau ayaman bambu.
Panjang dan lebar ruang perlu dipertimbangkan konsekuensinya.
Secara teknis, semakin panjang sisi ruang persegi panjang harus dibangun
sejajar dengan garis tengah membujur dari digester biogas. Bila itu
memiliki sisi yang lebih pendek dari persegi panjang itu yang sejajar
dengan garis tengah, maka terjadi peningkatan arus pendek substrat dan
menciptakan “volume mati” dalam ruang pengeluaran terutama di kedua
sudut pada dinding lebih panjang.
Bak pengeluaran yang dibangun pada tanah yang ditinggikan
untuk menghindari genangan selama musim hujan dan menciptakan
dinding bak itu berada di atas tanah, maka dinding itu perlu diperkuat
dengan rangka beton untuk mencegah retak bahkan runtuh oleh tekanan
lumpur.
5) Lubang Kompos
Lumpur yang keluar dari ruang perpindahan dikeluarkan ke dalam
lubang lumpur yang juga dikenal sebagai lubang kompos. Lubang ini
sangat penting untuk menjaga dan menambah nilai nutrisi lumpur yang
keluar dari digester biogas. Ukuran lubang kompos tersebut setidaknya
harus sama dengan volume digester biogas. Dua lubang adalah lebih baik
karena memudahkan pengoperasian. Kedalaman lubang harus dibuat
minimal untuk menghindari kecelakaan.
Bila lubang kompos tidak dibangun, berarti lumpur dibuang
mengalir ke mana-mana, kolam penampung, atau sungai. Bila ukuran
lubang lumpur dibangun dengan volume terlalu kecil, maka proses
pengomposannya tidak sebagaimana mestinya.
6) Perpipaan
Sistem penyaluran gas pada sebuah instalasi biogas biasanya terdiri
dari : (i) katup gas utama ditempatkan di bagian atas kubah segera setelah
pipa gas utama untuk mengontrol aliran gas; (ii) perpipaan dengan
sambungan sesuai keperluan; (iii) sistem kondensasi air yang dikenal
sebagai pengeluaran atau perangkap air; (iv) dan katup gas untuk
mengontrol aliran gas ke kompor.
Perlu diperhatikan penggunaan katup gas yang berkualitas dan
pemasangan berjarak minimal 1 meter dari kompor untuk menghindari
kebocoran. Katup harus posisi penutup bila biogas tidak sedang
digunakan.
Gas dari kubah disalurkan ke titik aplikasi melalui pipa PVC
berdiameter ½ atau ¾ inci. Pipa hindari terkena sinar matahari langsung
dan berada di permukaans tanah, maka perlu didukung oleh tiang-tiang
kayu, rumah atau pohon seperti kabel listrik atau telepon untuk mencegah
gangguan sengaja atau tidak yang menyebabkan kebocoran gas. Profil
pipa dipertahankan miring untuk mengkeluarkan air pada pembuangan
agar tidak mengganggu aliran gas.
7) Kompor dan Lampu Gas
Ada kompor yang biasa dibuat khusus untuk biogas, tapi kompor
LPG juga bisa digunakan untuk biogas. Namun bila tekanan biogasnya
kecil, maka kompor LPG perlu dilakukan penutupan sebagian atau
seluruh pemasukan udara pada pangkal nozel gas. Kerusakan kompor
sering muncul akibat korosi pada rangka, penyumbatan lubang pembakar
akibat karat, sehingga api kuning dengan kurang nilai kalori karena
kekurangan asupan udara.
Lampu gas dikenal dengan nama lampu Bunsen yang biasa dipakai
untuk keperluan percobaan di laboratorium.
2.2.3. Tipe Digester
1) Digester Horizontal
Instalasi biogas kecil sering dibangun dengan digester horizontal
(Gambar 2.6). Bahan yang digunakan adalah baja. Awalnya, tangki
bekas/lama diambil untuk menghindari biaya tinggi yang tak perlu.
Tangki ini dibersihkan, direkonstruksi dengan poros tengah, dilengkapi
dengan lengan mixer, insulasi, kubah gas, dll. dan digunakan kembali
sebagai digester (Fischer dan Krieg, 2012).
Gambar 2.6. Digester horizontal (Fischer dan Krieg, 2012)
Saat ini, biasanya tangki digester baru dibuat untuk digunakan
sebagai digester. Umumnya, volume standar antara 50 dan 150 m³.
Lebarnya adalah 3,20 maksimum 3,50 m agar tangki dapat diangkut di
jalan tanpa biaya tambahan dan pemasangan akhir dilakukan di lokasi.
Waktu retensi hidrolik biasanya antara 40 dan 50 hari, tergantung
pada masukan substrat. Masukan pertama dipanaskan oleh lengan
pemanas, lihat Gambar 2.7. Ketika suhu mesofilik tercapai, pencampuran
perlu dilakukan dengan lengan pencampur standar.
Jenis tangki sangat cocok untuk pengolahan kotoran dan kotoran
unggas karena ada kondisi pencampuran sangat baik bahkan untuk
padatan. Jenis digester ini relatif murah tapi tidak dapat diproduksi dan
diangkut dalam ukuran besar. Hal ini membuatnya paling cocok untuk
pertanian kecil (Fischer dan Krieg, 2012).
2) Digester Tegak Standar Pertanian
Digester standar dalam bisnis biogas Jerman adalah digester
tegak, digester dibuat dari beton. Ukuran standar antara 500 dan 1.500
m³. Ketinggian biasanya antara 5 dan 6 m, diameter bervariasi antara 10
dan 20 m.
Tangki yang dilengkapi dengan sistem pemanas yang
memberikan air panas ke dalam tabung terpasang sepanjang dinding.
Mixer bisa benar-benar terbenam atau dilengkapi dengan motor terletak
di luar tangki seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7. Tangki besar
yang dilengkapi dengan dua atau lebih mixer. Di atas tangki ada
membran ganda, kubah penampung gas. Membran dalam merupakan
bufer penampung gas, membran luar adalah penutup cuaca. Membran
dalam yang fleksibel ketinggiannya, sedangkan yang luar selalu
berbentuk bola, karena ada blower yang memberikan tekanan udara
antara dua membran dengan cara yang sama dengan yang digunakan
untuk mendukung sebuah aula udara. Waktu retensi hidrolik umumnya
antara 40 dan 80 hari tergantung pada substrat masukan (Fischer dan
Krieg, 2012).
Gambar 2.7. Digester standar pertanian (Fischer dan Krieg, 2012)
Jenis tangki ini sangat cocok untuk setiap jenis substrat masukan
asalkan laju aliran cukup rendah. Penghapusan jaringan bukanlah
masalah jika ada perangkat mekanis khusus, maka beberapa instalasi
dilengkapi dengan atap beton.
Jenis digester yang digunakan untuk pengolahan hingga 10.000
m³ masukan per tahun.
3) Digester Vertikal
Untuk kuantitas substrat masukan yang lebih besar, misalnya
diatas 30.000 m³ per tahun, digester baja tegak berukuran besar
digunakan (Gambar 2.8). Baja pada umumnya dilapisi untuk menghindari
korosi. Dalam banyak kasus digunakan pelat baja dipabrikasi terlapisi
kaca. Ukuran standar antara 1.500 dan 5.000 m³. Ketinggian antara 15
dan 20 m, diameter bervariasi antara 10 dan 18 m.
Pencampuran dilakukan dengan mixer terpasang di atap, yang
beroperasi terus menerus. Substrat input pra-pemanasan sebelum
memasuki digester. Waktu retensi hidrolik umumnya 20 hari. Kali ini
retensi singkat dapat dipilih karena keuntungan dari pencampuran
kontinyu dan pra-pemanasan.
Gambar 2.8. Digester besar tegak (Fischer dan Krieg, 2012)
Jenis digester ini yang digunakan untuk pengolahan hingga
90.000 m³ masukan per tahun per singel unit. Instalasi digester besar
terpusat memiliki dua atau lebih tangki.
4) Digester Kubah Teleskopis
Digester biogas ini terdiri dari tangki pertama silinder berukuran
3.000 liter bagian atas terbuka, tempat bahan organik diuraikan. Tangki
kedua, sedikit lebih kecil ditempatkan terbalik dalam tangki pertama.
Karena biogas yang dihasilkan, tangki atas akan terisi gas akan
naik secara teleskopis terhadap tangki bawah. Bila biogas habis diguna
kan, tangki penyimpan gas ini tenggelam kembali dalam tangki bawah.
Dalam sistem ini, tangki atas bertindak sebagai penyimpanan dan
sebagai penutup bagi tangki digester. Gap antar dinding tangki cukup
sempit untuk mencegah jumlah oksigen yang signifikan masuk digester,
yang akan membunuh bakteri anaerob yang menghasilkan metana.
Jumlah biogas hilang melalui gap antar dinding dapat diabaikan.
Digester Tamera 3.000 liter biasanya mengolah sekitar 40-60 liter
biomassa per hari dan menghasilkan gas yang cukup selama beberapa
jam memasak per hari. Sumber utama biomassa adalah sisa makanan dan
sampah dapur, limbah kebun bukan kayu juga tepat.
Sebelum dimasukkan ke dalam tangki digester, biomassa dibasahi,
lalu secara mekanik dihancurkan dengan insinkerator sampah. Saat ini
mesin limbah sebagai perangkat penyiapan bahan baku dan juga
menyebutnya sahabat kompos, karena alat itu dapat digunakan untuk
menyiapkan sampah organik untuk digunakan dalam proses dekomposisi
anaerob dan aerob.
Penghalusan memungkinkan bakteri untuk mengakses dan
menguraikan bahan organik lebih mudah; dalam suatu sistem anaerob
transformasi menjadi gas dan pupuk memerlukan waktu 24 jam.
Sedangkan dalam tumpukan kompos aerob transformasi memerlukan
waktu antara 3-6 hari (Culhane, 2012).
Digester biogas ini adukan biomassa dan air hangat (40 °C)
dituangkan ke dalam corong inlet tangki. Inlet ini mengarah ke bagian
tengah dasar tangki digester. Bahan organik yang terdekomposisi keluar
sebagai pupuk cair berkualitas tinggi, melalui outlet di dekat bagian atas
tangki digester luar. Di bagian atas tangki dalam yang terbalik terdapat
outlet biogas.
Sebelum operasi normal, digester biogas harus dimulai dengan
mempersiapkan campuran 1:1 antara kotoran hewan segar dan air, dan
biarkan ini untuk fermentasi anaerob selama beberapa minggu. Volume
campuran ini akan menjadi sekitar 200 liter untuk sebuah digester 3.000
liter atau kira-kira 30-40 kg kotoran hewan per meter kubik ruang tangki
digester. Belum dapat digunakan, itu akan memakan waktu lebih lama
untuk membangun koloni bakteri yang aktif makan. Pengumpanan
sebaiknya hanya dimulai setelah biogas yang mudah terbakar pertama
diproduksi.
Adukan dapat dibuat dalam wadah terpisah atau dalam tangki
digester. Kotoran terjadi berisi secara alamiah bakteri yang mencerna
bahan organik dan menghasilkan metana. Perhatikan bahwa tidak seperti
dalam pembuatan keju yoghurt, digester biogas tidak tergantung pada
satu strain bakteri, tetapi tergantung pada ekologi yang seimbang dari
berbagai jenis mikroorganisme hidrolitik, asidogen, asetogen dan
metanogen.
Setelah campuran ini menghasilkan gas yang mudah terbakar,
pemuatan digester dengan biomassa dapat dimulai. Cara terbaik adalah
memulai secara bertahap, misalnya dengan 1/3 dari umpan diberikan
pada minggu pertama, 2/3 untuk minggu kedua, dan kemudian ke porsi
umpan normal.
Rasio maksimum adalah sekitar 25 liter adukan feedstock untuk
setiap 1.000 liter ruang digester. Selama operasi normal, kotoran masih
bisa dimasukkan dalam bahan baku. Sebagian besar energi telah diekstrak
dari kotoran, tetapi dapat membantu mempertahankan atau mengisi
populasi bakteri dalam digester dan membantu menyeimbangkan pH. PH
dan suhu digester akan mempengaruhi kinerjanya. Digester biogas lebih
baik pada pH netral; pemuatan berlebih (overfeeding) dengan lemak,
karbohidrat dan bahan baku asam tertentu dapat menurunkan pH dan
kerusakan populasi bakteri; sementara overfeeding dengan protein
(hewani atau nabati) atau bahan kaya nitrogen, seperti: kotoran ayam,
bulu, kulit, rambut atau limbah pemotongan hewan yang dapat
meningkatkan pH dan juga merusak konsorsium bakteri (Culhane, 2012).
Digester tidak bisa disamakan dengan perut (tempat bakteri
berasal) dan memberikan suatu gizi seimbang, atau jika orang berpikir
digester itu sebagai tumpukan kompos cair dan selalu mengamati rasio
C/N yang biasanya sekitar 25:1, sistem harus bertahan selamanya. Jika
ekologi bakteri keluar dari keseimbangan, orang hanya mengembalikan
ke pH netral, menambahkan lebih banyak kotoran, dan mulai dari awal,
sehingga tidak sulit untuk pulih dari yang pengisian yang salah; dan
orang tidak boleh terlalu banyak khawatir tentang "merusak" sistem.
Beruntung bahwa tersedia semua bahan yang dibutuhkan untuk
mendapatkan sesuatu bekerja kembali, sehingga sistem biogas adalah
benar-benar yang paling mudah dan paling demokratis dari semua bentuk
energi terbarukan.
Suhu yang tinggi dapat membunuh bakteri, sebaliknya suhu rendah
dapat menyebabkan bakteri menjadi dorman. Di antara kelompok bakteri
metanogen kemungkinan ada perbedaan dalam merespon suhu, beberapa
di antaranya lebih cocok suhu rendah berkisar dari 17 hingga 20 °C
(psikhrofilik). Lainnya berkembang pada suhu tinggi sekitar 57 °C
(termofilik ). Namun secara umum digester biogas bekerja terbaik pada
suhu sekitar 37°C (mesofilik ).
Di kebanyakan iklim non tropis, mungkin akan bermanfaat untuk
menyelimuti dan menghangatkan tangki digester, misalnya dengan sistem
air panas surya.
Hal ini dapat membantu untuk menempatkan
mikroorganisme psikhrofilik pada lumpur pada bagian dasar digester
dengan suhu yang lebih rendah (Fischer dan Krieg, 2012).
2.2.4. Parameter Operasional
1) Beban Organik
Pembangunan dan pengoperasian instalasi biogas adalah kombinasi
dari pertimbangan ekonomis dan teknis. Mendapatkan hasil biogas yang
maksimal, oleh digesti substrat yang sempurna, akan memerlukan waktu
retensi yang lama dari substrat dalam digester dan sebanding dengan
ukuran digester (Seadi dkk., 2008). Dalam prakteknya, pilihan desain
sistem (ukuran dan jenis digester) atau waktu retensi yang diambil selalu
didasarkan pada kompromi antara mendapatkan hasil biogas tertinggi
mungkin dan memiliki instalasi yang dibenarkan secara ekonomi. Dalam
hal ini, beban organik merupakan parameter operasional yang penting,
yang menunjukkan berapa banyak bahan organik kering dapat
dimasukkan ke dalam digester, per volume dan satuan waktu, menurut
persamaan di bawah ini:
BR= m c / VR
BR : beban organik [kg/hari.m³]
m : massa masukan substrat per satuan waktu [kg/hari]
c : konsentrasi bahan organik [%]; VR: volume digester [m³]
2) Waktu Retensi Hidrolik (HRT)
Parameter penting untuk pendimensian digester biogas itu adalah
waktu retensi hidrolik (HRT). HRT adalah rata-rata interval waktu
lamanya substrat disimpan di dalam tangki digester. HRT berkorelasi
dengan volume digester dan volume pemuatan substrat per satuan waktu,
menurut persamaan berikut:
HRT = VR / V
HRT : waktu retensi hidrolik (hari) ; VR : volume digester [m³]
V : volume substrat per satuan waktu [m³/hari]
Menurut persamaan di atas, peningkatan beban organik akan
mengurangi HRT. Waktu retensi harus cukup panjang untuk memastikan
bahwa jumlah mikroorganisme yang keluar dengan limbah (digestat)
tidak lebih tinggi dari jumlah mikroorganisme yang direproduksi. Laju
duplikasi bakteri anaerob biasanya 10 hari atau lebih. Suatu HRT yang
singkat menyediakan laju alir substrat yang baik, tapi hasil gas yang lebih
rendah. Oleh karena itu, penting untuk adaptasi HRT untuk laju
dekomposisi spesifik dari substrat yang digunakan. Mengetahui HRT,
masukan bahan baku harian dan laju dekomposisi substrat, adalah
memungkinkan untuk menghitung volume digester yang diperlukan
(Seadi dkk., 2008).
2.2.5. Komponen Upgrade Biogas
Persson dan Wellinger (2006) mengemukakan tiga alasan utama
untuk membersihkan biogas, yaitu untuk:
 memenuhi persyaratan peralatan (mesin, boiler, sel bahan bakar,
kendaraan, dll).
 meningkatkan nilai kalor gas
 standarisasi gas
Tabel 2.4. Persyaratan kualitas biogas pada beberapa pemanfaatan
Aplikasi
Pemanas (boiler)
Kompor masak
Mesin stasioner (CHP)
Bahan bakar kendaraan
Jaringan elpiji
Penyingkiran Kontaminan
H2S
CO2
H2O
< 1.000 ppm
ya
< 1.000 ppm
ya
ya
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
tidak
tidak (kondensasi)
ya
ya
Pemanfaatan biogas pada mesin gas stasioner adalah kasus yang
spesifik, yaitu hanya kontaminan yang harus disingkirkan. Kebanyakan
produsen mesin gas menetapkan batas maksimum hidrokarbon
terhalogenasi dan siloksan dalam biogas. Bila menggunakan biogas untuk
bahan bakar kendaraan baik kontaminan maupun karbon dioksida harus
dihilangkan untuk mencapai kualitas gas yang memadai.
Ada beberapa teknologi yang tersedia untuk menghilangkan
kontaminan dan upgrade biogas menjadi bahan bakar kendaraan atau
kualitas gas alam.
1) Penyingkiran Karbon Dioksida
Sebelum menggunakan biogas sebagai bahan bakar kendaraan,
maka kadar karbon dioksida perlu dikurangi. Ada kendaraan yang bisa
memakai biogas tanpa mengeluarkan karbon dioksida, tetapi ada
beberapa alasan karbon dioksida harus dihilangkan.
Penghilangan karbon dioksida meningkatkan nilai kalor dari gas,
sehingga jarak tempuh meningkat untuk setiap satuan volume biogas. Hal
ini juga menyebabkan kualitas gas yang konsisten antar beberapa reaktor
biogas dan memiliki kualitas yang sama dengan gas alam.
Sebelum menambahkan biogas ke dalam jaringan gas alam juga
perlu untuk menghilangkan karbon dioksida untuk mencapai indeks
Wobbe. Saat melepas karbon dioksida dari aliran gas sejumlah kecil
metana juga terbawa. Hal ini penting untuk mencegah lepasnya metana
yang menimbulkan kerugian secara ekonomis dan lingkungan, karena
metana merupakan gas rumah kaca yang kuat.
Persson dan Wellinger (2006) mengatakan ada beberapa metode
untuk mengurangi karbon dioksida. Yang paling umum adalah
penyerapan atau proses adsorpsi. Teknik lain yang digunakan adalah
pemisahan membran dan kriogenik. Salah satu metode yang menarik
dalam pengembangan adalah proses upgrade internal.
Tabel 2.6. Data umum untuk proses adsorpsi dan absorpsi
Prinsip
Adsorpsi
Absorpsi
Praperlakuan
Tekanan
(bar)
Kehilangan
metana
(%)
Vakum
Uap air, H2S
4-7
<2
Tidak atau
air stripping
Tidak
7-10
<2
Air stirpping
Uap air, H2S
7-10
<2
Pemanasan
H2S
atmosfer
< 0,1
Tipe
Regenerasi
Pressure
Swing
Adsorption
Pencucian
air
Polietilen
glikol
Mono
etanol amin
Nama
a. Absorpsi
Karbon dioksida dan hidrogen sulfida dapat disingkirkan dalam
biogas melalui proses absorpsi. Kekuatan ikatan berbeda dari CO2 atau
H2S yang lebih polar dan metana yang nonpolar digunakan untuk
memisahkan senyawa ini.
Water scrubbing.Air adalah pelarut yang paling umum dalam
proses ini disebut water scrubbing (WS). Biogas dikompresi dan
dimasukkan ke bagian bawah kolom yang bertemu aliran balik air.
Kolom ini diisi dengan kemasan untuk menciptakan permukaan yang
besar antara gas dan cairan. Karbon dioksida serta hidrogen sulfida lebih
larut dalam air dibandingkan metana. Biogas yang terbawa ke bagian
atas kolom adalah kaya metana dan jenuh air, maka biogas perlu
dikeringkan.
Air yang mengandung CO2 dialirkan suatu tangki bertekanan
rendah dan sebagian besar karbon dioksida dilepaskan. Kadang-kadang
proses ini ditingkatkan dengan air stripping (AS) atau vakum. AS
membawa oksigen ke dalam sistem yang merupakan suatu masalah ketika
gas digunakan sebagai bahan bakar atau ketika dimasukkan ke grid.
Proses ini dapat menggunakan air segar seterusnya seperti yang paling
umum dilakukan di pabrik pengolahan limbah karena air tersedia.
Hidrogen sulfida yang dilepaskan ke udara menciptakan masalah emisi.
Beberapa sulfur yang terakumulasi di dalam air dan nanti dapat
menyebabkan masalah penyumbatan pipa. Oleh karena itu
direkomendasikan bahwa hidrogen sulfida dipisahkan sebelumnya.
Penyumbatan dalam kolom absorpsi karena pertumbuhan organik
dapat menjadi masalah pada instalasi ini dan oleh karena itu
direkomendasikan untuk memasang peralatan cuci kolom otomatis.
Pelarut Organik. Selain air, pelarut organik seperti polietilen glikol
dapat digunakan untuk penyerapan karbon dioksida. Selexol® dan
Genosorb® adalah nama dagang bahan kimia itu. Dalam pelarut ini,
seperti air, karbon dioksida dan hidrogen sulfida lebih larut dari metana
dan proses berlangsung dengan cara yang sama dengan WS. Perbedaan
utama adalah bahwa karbon dioksida dan hidrogen sulfida lebih larut
dalam Selexol dari pada dalam air. Konsekuensinya adalah bahwa
instalasi upgrade kecil dapat dibangun untuk kapasitas gas yang sama.
Dalam proses Selexol juga air dan hidrokarbon terhalogenasi dipisahkan.
Namun banyak energi yang dibutuhkan untuk meregenerasi Selexol dari
hidrogen sulfida dan oleh karena itu sering lebih baik untuk memisahkan
hidrogen sulfida sebelum absorpsi.
Gambar 2.9. Karbon dioksida memiliki kelarutan tinggi dalam air dari metana. ini
memungkinkan pemisahan dua komponen dalam kolom absorpsi.
(Persson dan Wellinger, 2006)
Pelarut organik lain yang dapat digunakan adalah amina alkanol
seperti etanol mono amina (MEA) atau di-metil etanol amina (DMEA)
kimia an dibuat ulang dalam reaksi kimia dikembalikan biasanya
didorong oleh panas dan / atau vakum. Dalam proses MEA khas hidrogen
sulfida dihapus sebelum biogas memasuki bawah kolom absorpsi. Gas
bertemu dengan cairan yang mengalir berlawanan dan karbon dioksida
bereaksi dengan bahan kimia pada tekanan rendah. Karena reaksi selektif
hampir semua karbon dioksida terikat dan sangat sedikit metana hilang.
Gas dikompresi dan dikeringkan dan dapat digunakan untuk kendaraan
atau didistribusikan ke dalam jaringan gas. Bahan kimia diregenerasi
melalui pemanasan dengan uap yang memiliki kelemahan penggunaan
energi.
b. Pressure Swing Adsorption
Adsorpsi karbon dioksida pada bahan seperti karbon aktif atau
saringan molekular dapat digunakan untuk memisahkan karbon dioksida
dari biogas. Selektivitas adsorpsi dapat diperoleh dengan mesh yang
berbeda ukuran. Metode ini diberi nama pressure swing adsorption
(PSA) karena adsorpsi berlangsung dalam tekanan tinggi dan bahan
diregenerasi melalui pengurangan tekanan dan penerapan vakum ringan.
Proses ini membutuhkan gas kering dan bahan adsorpsi. Hidrogen
sulfida perlu pra-pemisahan sebelum gas dimasukkan ke bagian bawah
tabung adsorpsi berisi karbon aktif.
Dalam tabung bertekanan karbon dioksida diserap, gas yang kaya
metana meninggalkan bagian atas tabung. Ketika bahan dalam bejana
jenuh, biogas menuju tabung baru. Ada empat tabung dihubungkan
bersama untuk membuat operasi terus-menerus dan untuk mengurangi
kebutuhan energi untuk kompresi gas. Regenerasi tabung jenuh
dihasilkan melalui depressurisasi bertahap. Pertama tekanan dikurangi
melalui hubungkan tabung dengan tabung yang sudah diregenerasi,
kemudian tekanan dikurangi hampir tekanan atmosfer. Gas dirilis pada
langkah ini yang mengandung sejumlah besar metana dan karena itu
didaur ulang ke inlet gas. Akhirnya tabung benar-benar dievakuasi
dengan pompa vakum. Gas yang meninggalkan tabung itu pada langkah
ini terutama terdiri dari karbon dioksida yang dirilis ke atmosfer.
Gambar 2.10. Dalam sebuah pabrik PSA, karbon dioksida dipisahkan pada tekanan
tinggi. Kolom yang diregenerasi pada tekanan berkurang. (Persson dan
Wellinger,2006)
c. Pemisahan Membran
Ada proses dengan pemisahan membran, adalah pemisahan
dengan fase gas pada kedua sisi membran atau itu adalah absorpsi gascair yang berarti bahwa cairan menyerap karbon dioksida berdifusi
melalui membran. Cairan bisa suatu amina dan sistem memiliki
selektivitas yang tinggi dibanding dengan sistem membran padat.
Pemisahan terjadi pada tekanan rendah, sekitar tekanan atmosfir.
Membran dengan fase gas di kedua belah sisi juga bisa disebut
membran kering. Membran bekerja baik di tekanan tinggi > 20 bar atau
pada tekanan rendah 8-10 bar. Pemisahan ini didukung oleh fakta bahwa
molekul ukuran yang berbeda memiliki permeabilitas yang berbeda
melewati membran. Faktor penting lainnya untuk pemisahan adalah
perbedaan tekanan antara kedua sisi membran dan suhu gas. Karbon
dioksida dan hidrogen sulfida lolos melewati membran sedangkan metana
tertahan di sisi inlet. Konsentrasi metana tinggi pada upgrade gas dapat
dicapai dengan ukuran yang membran besar atau beberapa secara seri.
Biogas yang dikompresi dan dikeringkan sebelum dilewatkan ke
membran. Pemisahan hidrogen sulfida diperlukan sebelum biogas dapat
digunakan untuk kendaraan atau diinjeksikan ke jaringan gas.
d. Pemisahan Kriogenik
Metana memiliki titik didih -160 °C pada tekanan atmosfer
sedangkan karbon dioksida -78 °C. Ini berarti bahwa karbon dioksida
dapat dipisahkan dari biogas sebagai cairan dengan mendinginkan
campuran gas itu pada tekanan tinggi. Metana dapat dikeluarkan dalam
fase gas atau cair, tergantung pada bagaimana sistem dibangun. Ketika
juga metana terkondensasi, nitrogen yang memiliki titik didih yang lebih
rendah dipisahkan. Karbon dioksida yang dipisahkan bersih dan bisa
dijual. Sampai tahun 2006 metode ini hanya diuji pada percontohan di
Eropa.
Untuk menghindari pembekuan dan masalah lain dalam proses
kriogenik, kontaminan seperti air dan hidrogen sulfida perlu dipisahkan
awal. Prinsip pemisahan kriogenik adalah bahwa biogas dikompresi dan
kemudian didinginkan dengan penukar panas diikuti dengan langkah
ekspansi misalnya dalam turbin ekspansi. Pendinginan dan ekspansi
tersebut menyebabkan karbon dioksida terkondensasi. Setelah karbon
dioksida disingkirkan sebagai cairan, lalu gas dapat didinginkan untuk
menkondensasikan metana.
e. Pengayaan metana in-situ
Teknik konvensional untuk memisahkan karbon dioksida dari
biogas menuntut banyak peralatan proses dan metode biasanya cocok
untuk instalasi besar untuk mencapai ekonomi yang cukup. Pengayaan
metana in-situ adalah sebuah teknologi baru yang sedang dikembangkan
pada skala pilot yang menjanjikan ekonomi yang lebih baik juga untuk
instalasi yang lebih kecil.
Lumpur dari ruang digesti diarahkan ke sebuah kolom di mana
bertemu aliran balik udara. Karbon dioksida yang terlarut dalam lumpur
tersebut terdesorbsi. Lumpur diarahkan kembali ke ruang digesti. Karbon
dioksida sekarang dapat larut ke dalam lumpur menjadikan gas diperkaya
metana.
Hasil tes skala lab di Swedia menunjukkan bahwa kemungkinan
secara teknis untuk membangun sebuah sistem yang meningkatkan
kandungan metana gas hingga 95% dan masih menjaga kehilangan
metana di bawah 2%.
2) Penyingkiran komponen lainnya
Ada sejumlah jejak gas di biogas yang dapat membahayakan
sistem distribusi atau pemanfaatan gas. Misalnya kerusakan yang
disebabkan oleh korosi, deposit atau keausan mekanis. Kontaminan dapat
juga menyebabkan produk buangan yang tidak diinginkan seperti SOx,
HCl, HF, dioksin atau furan.
Air, hidrogen sulfida, partikel dan jika ada siloksana dan
hidrokarbon terhalogenasi yang komponen yang harus dihapus karena
sebagian besar aplikasi baik secara teknis atau untuk mengurangi biaya
pemeliharaan. Hal ini tidak umum bahwa gas tersebut harus diperlakukan
untuk mencapai standar emisi.
a. Penyingkiran hidrogen sulfida
Hidrogen sulfida terbentuk dari pencernaan protein dan bahan lain
yang mengandung sulfur. Karena hidrogen sulfida sangat korosif
dianjurkan untuk dipisahkan pada proses awal upgrade biogas. Hal ini
dapat dihapus di ruang pencernaan, dalam aliran gas atau dalam proses
upgrade. Beberapa metode yang paling umum untuk menghilangkan
hidrogen sulfida, bahkan pemberian besi klorida terhadap lumpur digester
atau pemberian udara / oksigen ke digester.
Desulfurisasi biologis. Mikroorganisme dapat digunakan untuk
mengurangi kadar sulfida dalam biogas, terutama mengubahnya menjadi
unsur sulfur dan beberapa sulfat. Mikroorganisme pengoksidasi belerang
terutama dari keluarga Thiobacillus. Mikroorganisme ini umumnya ada
dalam bahan baku, maka tidak perlu diinokulasi. Selain itu, sebagian
mikroorganisme itu adalah autotrof, yang berarti bahwa bisa
menggunakan karbon dioksida dari biogas sebagai sumber karbon.
Oksigen perlu ditambahkan ke biogas untuk desulfurisasi biologis,
harus dalam jumlah stoikiometri dan kebutuhannya tergantung pada
konsentrasi hidrogen sulfida, yang biasa kadarnya 2 hingga 6% dari udara
dalam biogas.
Metode yang paling sederhana untuk desulfurisasi adalah dengan
menambahkan langsung oksigen atau udara ke ruang digester. Dengan
metode ini kadar hidrogen sulfida dapat dikurangi hingga 95% menjadi
kadar yang lebih rendah dari 50 ppm. Tentu saja ada beberapa faktor
yang mempengaruhi tingkat penurunan seperti suhu, tempat dan jumlah
udara yang ditambahkan serta waktu reaksi. Ketika menambahkan udara
kedalam biogas langkah-langkah keamanan perlu dipertimbangkan untuk
menghindari kelebihan udara. Biogas adalah bahan peledak pada kisaran
5-15% dalam udara.
Desulfurisasi biologis juga dapat terjadi dalam biofilter terpisah
diisi badan plastik yang melekat mikroorganisme desulfurisasi. Di unit
biogas yang mengalir naik bertemu cairan aliran berlawanan yang terdiri
dari kondensat gas dan cairan lumpur limbah atau larutan mineral.
Sebelum biogas memasuki unit, 5-10% udara ditambahkan. Dalam
proses kadar hidrogen sulfida dapat dikurangi dari 3.000 sampai 5.000
ppm menjadi 50 hingga 100 ppm. Amonia dipisahkan pada waktu yang
sama.
Perlakuan besi klorida terhadap lumpur digester. Tingkat hidrogen
sulfida dalam biogas dapat dikurangi dalam ruang digester dengan
menambahkan besi klorida (FeCl2). Besi (Fe2+) bereaksi dengan ion
sulfida (S2-) dan membentuk sulfida besi (FeS). Kadar hidrogen sulfida
berkurang menjadi sekitar 100 - 150 ppm.
Serapan karbon aktif. Karbon aktif dapat digunakan untuk konversi
secara katalitik hidrogen sulfida menjadi unsur sulfur dan air. Seperti
desulfurisasi biologis, oksigen perlu ditambahkan untuk proses ini.
Karbon diresapi dengan kalium iodida atau asam sulfat untuk
meningkatkan laju reaksi. Sulfur yang mengandung karbon dapat
diregenerasi atau diganti dengan karbon segar bila telah jenuh. Serapan
karbon aktif adalah metode umum untuk pemisahan hidrogen sulfida
sebelum sistem upgrade dengan PSA.
Besi hidroksida atau oksida. Hidrogen sulfida bereaksi dengan besi
hidroksida atau oksida membentuk sulfida besi (FeS). Bila bahan ini telah
jenuh dapat diregenerasi atau diganti. Dalam regenerasi, sulfida besi
dioksidasi oleh udara dan oksida besi atau hidroksida besi dijumput
bersama dengan unsur sulfur.
Oksida besi yang mengisi bahan dapat dioksidasi serat baja
(pelapisan karat) serutan kayu ditutupi dengan besi oksida atau pelet yang
terbuat dari lumpur merah, produk limbah dari produksi aluminium.
Serutan kayu sangat populer di Amerika Serikat karena berbiaya rendah
dan memiliki rasio yang besar permukaan terhadap volume. Rasio
tertinggi diperoleh pada pelet. Pelet yang umum pada instalasi
pengolahan tinja Jerman dan Swiss.
Perlakuan larutan NaOH. Suatu larutan natrium hidroksida (NaOH)
dapat digunakan untuk memisahkan hidrogen sulfida. Sodium hidroksida
bereaksi dengan hidrogen sulfida membentuk natrium sulfida atau
natrium hidrogen sulfida. Kedua garam ini adalah tidak larut yang berarti
bahwa regenerasi tidak mungkin dilakukan.
3) Penghapusan hidrokarbon berhalogeni
Hidrokarbon berhalogen, terutama berupa kloro- dan flouro- pada
senyawa yang dominan pada biogas. Senyawa menyebabkan korosi
dalam mesin CHP dan dapat dihilangkan dengan metode yang sama
digunakan untuk karbon dioksida.
4) Penyingkiran siloksana
Senyawa silikon organik kadang-kadang terkandung dalam biogas
dari tempat pembuangan sampah dan lumpur kotoran, karbon aktif dapat
digunakan untuk memisahkannya. Metode ini sangat efektif tetapi bisa
mahal karena menghabiskan karbon tanpa dapat diregenerasi dan perlu
diganti. Ini berarti biaya untuk pembuangan serta biaya untuk karbon
baru. Metode lain untuk menghapus senyawa ialah absorpsi dalam suatu
campuran cairan hidrokarbon.
Kadar siloksana dalam biogas juga dapat dikurangi melalui
pendinginan gas dan memisahkan cair terkondensasi. Ada contoh sistem
pendinginan gas ke -25°C yang menghasilkan efisiensi 26%. Gas dapat
didinginkan hingga -70°C menyebabkan siloksana membeku, sehingga
memcapai efisiensi 99%. Pendinginan gas juga dapat dikombinasikan
dengan suatu sistem karbon aktif, memberikan karbon waktu hidup lebih
tahan lama.
5) Penyingkiran oksigen dan nitrogen
Jika oksigen atau nitrogen ada dalam biogas ini adalah tanda
bahwa udara telah tersedot ke dalam sistem. Ini umum dalam biogas
yang dikumpulkan dari TPA dengan tabung permeabel dengan
menerapkan sedikit tekanan di bawah.
Rendahnya tingkat oksigen dalam gas tidak masalah, tetapi bila
tinggi dapat menimbulkan risiko ledakan. Dalam beberapa proses
upgrade seperti PSA dan membran kandungan oksigen dan nitrogen juga
berkurang.
6) Penyingkiran air
Biogas jenuh dengan uap air ketika meninggalkan ruang digesti.
Sebelum biogas digunakan sebagai bahan bakar kendaraan atau
dimasukkan ke dalam jaringan gas perlu dikeringkan. Pengeringan juga
bisa diperlukan bila menggunakannya untuk CHP, terutama untuk turbin
gas. Refrigerasi adalah metode umum untuk pengeringan biogas. Gas ini
didinginkan dengan penukar panas dan air terkondensasi dipisahkan.
Untuk mencapai titik embun yang rendah gas dapat dikompresi dahulu
sebelum didinginkan.
Adsorpsi air pada permukaan agen pengering adalah metode yang
umum digunakan untuk mencapai titik embun sangat rendah yang
diperlukan dalam aplikasi bahan bakar kendaraan (yaitu ≤ - 40 °C ;
tekanan 4 bar). Agen pengering bisa digunakan silika gel atau aluminium
oksida. Untuk memastikan operasi terus-menerus biasanya sistem terdiri
dari dua tabung, satu untuk operasi dan satu untuk regenerasi. Tabung
yang dikemas dengan agen pengeringan dan gas lembab melewatinya.
Pengeringan bisa dilakukan pada tekanan tinggi atau atmosfer. Hal ini
mempengaruhi metode regenerasi, yaitu ketika pengeringan pada tekanan
naik maka aliran kecil dari gas kering terkompresi dan digunakan untuk
regenerasi. Jika pengeringan dilakukan pada tekanan atmosfer, udara dan
pompa vakum digunakan untuk regenerasi. Kerugian dengan metode
yang terakhir terjadi penambahan udara ke biogas.
Metode pengeringan lain yang dapat digunakan adalah penyerapan
air dalam glikol atau garam higroskopis. Garam baru dibutuhkan untuk
menambah agar menggantikan garam yang telah jenuh atau bahkan telah
larut. Medium pengering bisa dijumput oleh pengeringan pada suhu
tinggi.
7) Biaya upgrade biogas
Total biaya untuk pembersihan dan peningkatan biogas berasal dari
biaya investasi, operasional instalasi, dan pemeliharaan peralatan. Ketika
memproduksi biogas untuk bahan bakar kendaraan, maka bagian yang
paling mahal perlakuan adalah penyingkiran karbon dioksida.
Investasi dalam suatu instalasi dengan perlakuan kualitas lengkap
untuk bahan bakar kendaraan tergantung pada beberapa faktor. Salah satu
faktor utama tentu saja ukuran instalasi. Kenaikan investasi meningkat
dengan kapasitas instalasi, tetapi pada saat yang sama investasi per unit
kapasitas terpasang menurun untuk pabrik yang lebih besar. Investasi
khusus untuk pabrik mengolah 300 m3 gas per jam adalah 1 juta Euro
seperti yang ditunjukkan oleh grafik di bawah ini biaya investasi tahun
1998 dan 2006 untuk 16 instalasi di Swedia (Persson dan Wellinger,
2006).
Gambar 2.11. Grafik hubungan biaya investasi dan kapasitas pabrik
* 1 Krona Swedia (SEK) = Rp 1.744
2.2.6. Rekayasa Kondisi Digester
Bakteri yang memproduksi metana tidak sesuai untuk
mengambang bebas dalam tangki, karena mikroorganisme hidup
berevolusi dalam lambung hewan, yaitu bakteri menempel pada
permukaan saat sedang terkena aliran substrat. Kondisi seperti ini dapat
diciptakan dengan menutupi bagian bawah tangki dengan batu berpori
atau kerikil, yaitu membangun struktur area permukaan vertikal sebagai
suatu bangunan "motel mikroorganisme" dalam tangki digester
(Culhane, 2012).
Struktur vertikal ini yang memungkinkan bakteri menghuni semua
zona suhu tangki, efisiensi kenaikan air dipisahkan menjadi lapisanlapisan termal, air terdingin berada di bagian bawah tangki dan air
hangat di bagian lebih atas. Namun justru sebagian besar biodigester
bergantung pada kerja bakteri yang hidup dalam butiran lumpur di dasar
tangki yang dingin untuk melakukan sebagian besar pekerjaan
perombakan. Dengan memberikan elevator vertikal memperlakukan
mikroorganisme sebagai peliharaan yang memiliki kesempatan untuk
menemukan zona dalam tingkatan suhu yang paling sesuai dengan
kebutuhannya.
Motel mikroorganisme tersebut dapat dibangun dengan
menggunakan pipa plastik bekas, berusaha untuk memperkecil dampak
aliran gas dan lumpur di dalam tangki. Pipa plastik vertikal dengan
lubang melintang di dalamnya untuk membiarkan makanan dan
gelembung keluar untuk bekerja dengan baik sebagai media kolam filtrasi
yang digunakan untuk mendorong pertumbuhan bakteri. Di Palestina
orang memasukkan cangkang kacang almond dan pistachio; idenya
adalah agar memiliki media mengambang tempat bakteri dapat
membentuk biofilm aktif. Semakin luas permukaan untuk populasi
bakteri dan secara teoritis semakin mudah memberi makan; tersedia lebih
biofilm yang lebih efisien membuat bakteri dapat bekerja dan
menghasilkan lebih banyak gas dan pupuk (Culhane, 2012).
2.2.7. Pertimbangan dalam Membangun Digester
Digester biogas bukan teknologi baru, namun upaya untuk
memdaya-gunakan semua jenis energi yang ada dalam teknologi biogas
belumlah optimal, hal ini dapat dilihat pada instalasi digester tradisional
yang belum memperhitungkan waktu produksi efektif, volume ruang
digester harus sesuai dengan laju pemasukan substrat (Fischer dan Krieg,
2012). Hal berikut yang harus dipertimbangkan ketika akan membangun
digester biogas:
1) Digester dibangun sedekat mungkin dengan pasokan bahan baku
(kandang hewan, limbah makanan, sumber kompos, toilet, dll.) dan
sumber air. Hal ini agar operasi digester lebih mudah dan untuk
menghindari pemborosan bahan baku dan biaya. Jika bahan baku atau
air atau keduanya tidak tersedia, maka digester biogas tidak perlu
dibangun.
2) Panjang pipa gas harus diupayakan sesingkat mungkin. Pipa yang
terlalu panjang akan meningkatkan risiko kebocoran gas, karena
peningkatan jumlah sambungan; juga membutuhkan biaya lebih
besar. Katup gas utama harus dibuka dan ditutup sebelum dan
sesudah digunakan, maka digester harus berada sedekat mungkin ke
titik penggunaan untuk memudahkan operasional.
3) Tepi dasar digester setidaknya harus bejarak dua meter dari struktur
lain untuk menghindari resiko mengganggu atau merusak selama
pembangunan.
4) Digester harus berjarak minimal 10 meter dari sumur air tanah atau
badan air permukaan untuk melindungi air dari pencemaran.
5) Dipilih lokasi yang menjamin digester mendekati suhu optimal 35oC.
Salah satu batasan pembuatan desain digester biogas untuk
masyarakat di pedesaan adalah biaya pembuatan, kemudahan
pengoperasian serta perawatan. Digester biogas jenis kubah yang dibuat
dari bahan tembok dan beton umumnya memerlukan biaya yang tinggi.
Pembangunan digester sebagai penghasil energi alternatif memerlukan
perhitungan teknis dan desain yang optimum untuk mendapatkan gas
sesuai harapan. Selain mengurangi polusi, pembuatan desain juga harus
disesuaian dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk investasi dan
biaya pengeluaran lain.
III
METODOLOGI
3.1. Pengujian Digester Biogas sebagai Instalasi Sanitasi di
Pemukiman
3.1.1. Waktu dan Tempat Percobaan
Percobaan ini dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Fakultas
Pertanian Universitas Siliwangi Tasikmalaya (Rahmat dkk., 2014b).
Sampel limbah pemukiman diambil dari Tempat Penampungan Sampah
Sementara (TPS) Jalan Pembela Tanah Air Kota Tasikmalaya. Limbah
pemukiman adalah sampah yang dihasilkan pada level rumah tangga
yang biasa dikumpul kranjang sampah di setiap rumah. Penelitian ini
dilakukan dimulai 01 April 2013 hingga 30 September 2013.
3.1.2. Bahan dan Alat Percobaan
Bahan yang dipersiapkan untuk percobaan ini adalah : (i) sebagai
bahan perlakuan, meliputi : limbah pemukiman dan kotoran sapi; (ii)
bahan penunjang : akuades, alkohol, air bersih, kantung plastik 20 cm x
30 cm, dan alat tulis umum.
Alat yang diperlukan dalam percobaan adalah : (i) tiga set
digester biogas kapasitas 8 L terbuat dari jeriken (jerrycan) HDPE, gelas
ukur 1L untuk menampung gas, manometer, pipa penyalur biogas,
baskom 2L untuk menampung air penyekat gas, dan statif; (ii) alat
penunjang, seperti: ember 10 L, dan corong; dan (iii) peralatan
laboratorium seperti: pHmeter, termometer tangan, timbangan analitis,
timbangan teknis, stopwatch, gelas ukur, pipet ukur, gelas piala, sarung
tangan, dan jas laboratorium.
3.1.3. Metode Percobaan
Percobaan ini disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL), yang
menguji pengaruh tiga jenis perlakuan, yaitu :
A= sampah makanan
B= sampah makanan + kotoran sapi
C= kotoran sapi (sebagai kontrol)
Perlakuan A,B, dan C tersebut disusun dalam rancangan acak
lengkap (RAL) dengan enam kali ulangan, sehingga secara keseluruhan
dibutuhkan 24 unit percobaan seperti pada Gambar 3.1.
1
2
B
7
3
C
8
C
13
B
A
B
11
16
C
12
17
22
A
B
C
21
6
A
A
15
B
A
10
C
20
5
C
9
A
14
19
4
B
C
18
B
23
A
A
24
C
B
Gambar 3.1. Tata Letak Percobaan. Perlakuan A B, dan C dialokasikan secara acak
penuh pada Petak 1 sampai dengan 24.
Untuk membuktikan adanya pengaruh perlakuan terhadap semua
variabel respons yang diamati, maka analisis data menurut Gomez dan
Gomez (1984) dilakukan berdasarkan model matematika sebagai berikut:
Yij = μ +ti + Єij
Keterangan :
Yij : nilai pengamatan dari perlakuan ke-j pada ulangan ke-i
μ : nilai rata-rata umum
ti : pengaruh perlakuan ke-i
Єij : pengaruh faktor random terhadap perlakuan ke-j dan kelompok ke-i
Penyajian analisis varian dengan rancangan acak kelompok
berdasarkan model linier di atas adalah sebagai berikut :
Tabel 3.1. Daftar Analisis Varian
Sumber Variasi
Perlakuan (t)
Galat (g)
Umum (u)
Derajat
Bebas (DB)
t-1
(rt-1)(t-1)
(rt-1)
Keterangan : Faktor koreksi =
Jumlah
Kuadrat (JK)
JK t 
ΣT 2
 FK
r
JKg = JKu- JKt
JKu = Σ X2 – FK
Kuadrat
Tengah (KT)
KTt 
KTg 
JK t
DBt
JK g
DBg
F hitung
Fhit 
KTt
KTg
Variabel respons yang diamati pada percobaan ini adalah : (a) pH
substrat; (b) produksi biogas harian; dan (c) padatan total (total
solids/TS).
Berdasarkan rancangan percobaan di atas, dapat ditentukan kriteria
penerimaan atau penolakan hipotesis dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Jika F hitung > F tabel taraf 5%, maka hipotesis diterima sehingga
data dapat dilakukan uji lanjutan dengan Uji Jarak Berganda
Duncan.
b. Jika F hitung < F tabel taraf 5%, maka hipotesis ditolak sehingga
data tidak perlu dilakukan uji lanjutan.
Bila F signifikan, dilanjutkan Uji Jarak Berganda Duncan dengan
rumus :
LSR (α.dbg.p) = SSR (α.dbg.p) . Sx
Keterangan : LSR: least significant range; Dbg: derajat bebas galat; SSR: studenized
significant range; α : taraf nyata 5%; p : jumlah perlakuan; Sx : galat
baku rata-rata
3.1.4. Prosedur Percobaan
1) Penyiapan substrat
Limbah pemukiman yang dimanfaatkan sebagai bahan substrat
untuk menghasilkan biogas yang setelah dikumpulkan dipilah secara
manual
untuk memisahkan sampah makanan dengan komponenkomponen lainnya, seperti: kertas, plastik, logam dll.
Sampah makanan adalah bahan makanan terbuang sebelum
pemasakan di dapur dan sisa makanan yang telah disantap. Sampah
terutama berupa sayuran setelah dipilah lalu dirajang hingga ukurannya
maksimal sekitar 1cm2 sebelum dimasukkan ke dalam digester. Kotoran
sapi digunakan dalam percobaan sebagai perlakuan substrat pembanding
(kontrol) terhadap produksi biogas dari limbah makanan. Pencampuran
limbah makanan dan kotoran sapi sesuai dengan perlakuan yang akan
dicoba tersebut dan dilakukan di luar sebelum dimuat ke digester.
2) Penyiapan digester
Gambar 3.2 menunjukkan diagram skematik satu set digester
skala laboratorium (10 L) yang digunakan dalam percobaan ini. Untuk
keperluan penelitian ini dibuat tiga set digester (A, B, dan C).
Gambar 3.2. Skema satu set Digester Anaerob (Rahmat dkk., 2014b)
Keterangan : (1) Jerigen 10 L sebagai ruang digesti; (2) Limbah sebagai substrat
digesti; (3) Pipa pengeluaran biogas; (4) Kran pengambilan sampel
substrat; (5) Pipa pengalir biogas ke pengukur volume; (6) Panci
sebagai penampung air penyekat gas; (7) Gelas ukur penampung
biogas; (8) Statif; (9) Termometer; (10) Pipa pengalir biogas ke
manometer; dan (11) Manometer.
Penelitian ini dilaksanakan secara anaerob pada kondisi mesofilik
(20- 40 oC). Digester A diisi 4 kg umpan limbah pemukiman dan
ditambahkan air pada rasio 1:1. Digester B diisi 2 kg umpan limbah
dicampur 2 kg kotoran sapi dan juga ditambahkan air pada rasio 1:1
untuk membentuk adukan. Sementara Digester C diisi 4 kg umpan
kotoran sapi dan juga ditambahkan air dalam rasio 1:1. Digester
terhubung ke gelas ukur posisi terbalik dengan berdasarkan perhitungan
bahwa, jumlah air yang dipindahkan sama dengan volume biogas yang
diproduksi. Digester ditempatkan dalam ruangan laboratorium selama
waktu retensi 20 hari.
3) Pengamatan
(i) Karakterisasi Limbah Pemukiman.
Karakterisasi limbah yang terkumpul dilakukan pemisahan dan
penimbangan masing-masing komponen, meliputi : sisa dan limbah
bahan makanan, kertas, plastik, logam, dan lainnya.
(ii) pH substrat dalam digester : ialah pH sampel diambil dan diukur
pada 0,1, 2, dan 3 minggu setelah setelah inkubasi (selama waktu
retensi 20 hari).
(iii) Produksi biogas harian : ialah angka yang menyatakan banyaknya
volume biogas yang tertampung pada gelas pengukur setiap hari
selama 20 hari waktu retensi.
(iv) Padatan total (Total Solids/TS) dalam substrat.TS ialah banyaknya
zat padat organik dan anorganik dalam substrat yang ditentukan
dengan dianalisis penimbangan dan pemanasan/penguapan lalu
dihitung dengan rumus :
TS mg/L  
berat setelah 103ο C (mg) - berat cawan awal (mg)
Volume Sampel (mL)
3.2. Pengujian Digester Biogas dalam Sanitasi Limbah Industri
Pangan
3.2.1. Waktu dan Tempat Percobaan
Percobaan ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Proteksi
Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi Tasikmalaya (Rahmat dkk.,
2014a). Sampel limbah cair tahu (LCT) diambil dari sepuluh pengrajin
tahu di lingkungan kampung Nagrog Indihiang, Kota Tasikmalaya.
Penelitian ini dilakukan dimulai 01 April 2013 hingga 30 November
2013.
3.2.2. Bahan dan Metode
Bahan yang harus dipersiapkan untuk percobaan ini adalah : (i)
sebagai bahan perlakuan, meliputi : limbah cair tahu, kotoran domba,
jerami padi, serasah bambu, dan limbah krop kobis; (ii) bahan penunjang
: akuades, alkohol, air bersih, dan alat tulis umum.
Alat yang diperlukan dalam percobaan adalah : (i) lima set
digester biogas kapasitas 50 L terbuat dari drum, pelat, dan pipa; (ii)
jariken 20 L, ember 10 L, dan corong; dan (iii) peralatan laboratorium
seperti: manometer U, pHmeter lapangan, termometer tangan, timbangan
analitis, timbangan teknis, stopwatch dan gelas ukur, pipet ukur, gelas
piala, sarung tangan, dan jas laboratorium.
3.2.3. Metode Percobaan
1) Rancangan Percobaan
Percobaan ini akan menguji pengaruh lima jenis perlakuan LCT
yang diberi perlakuan yang berbeda, yaitu :
A= LCT (sebagai kontrol)
B= LCT + kotoran domba
C= LCT + jerami padi
D= LCT + serasah bambu
E= LCT + limbah kobis
Perlakuan A,B,C,D, dan E tersebut disusun dalam rancangan
acak kelompok (RAK) dengan lima kali ulangan (kelompok), sehingga
secara keseluruhan dibutuhkan 25 unit percobaan seperti pada Gambar
3.3.
Gambar 3.3. Tata Letak Percobaan. Perlakuan A hingga E dialokasikan secara acak
pada setiap Digester
Untuk membuktikan adanya pengaruh perlakuan terhadap semua
variabel respons yang diamati, maka analisis data menurut Gomez dan
Gomez (1984) dilakukan berdasarkan model matematika sebagai berikut:
Yijk = μ + ri +tj + Єijk
Keterangan :
Yij : nilai pengamatan dari perlakuan ke-j pada ulangan ke-i
μ : nilai rata-rata umum
tj : pengaruh perlakuan ke-j
ri : pengaruh ulangan/kelompok taraf ke-i
Єij : pengaruh faktor random terhadap perlakuan ke-j dan kelompok ke-i
Penyajian analisis varian dengan rancangan acak kelompok
berdasarkan model linier di atas adalah seperti pada Tabel 3.2.
Sumber
Variasi
Tabel 3.2. Daftar Analisis Varian
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Bebas
Kuadrat (JK)
Tengah
(DB)
(KT)
Ulangan (r)
r-1
JK r 
ΣR 2
 FK
t
KTr 
Perlakuan(t)
t-1
JK t 
ΣT 2
 FK
r
KTp 
Galat (g)
Umum (u)
(r-1)(t-1)
JKg = JKu- JKt JKr
(rt-1)
JKu = Σ X2 – FK
KTg 
F hitung
JK r
DBr
JK p
DBp
Fhit 
KTp
KTg
JK g
DBg
2
Keterangan : Faktor koreksi = FK  G
rt
2) Rancangan Respons
Variabel respons yang diamati pada percobaan ini adalah : (a)
rasio C/N substrat; (b) bobot kering substrat; (c) pH substrat; (d) volume
biogas ; (e) tekanan gas; (f) volume residu yang keluar; dan (g) waktu
didih air.
3) Rancangan Analisis
Berdasarkan rancangan percobaan di atas, dapat ditentukan kriteria
penerimaan atau penolakan hipotesis dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Jika F hitung > F tabel taraf 5%, maka hipotesis diterima
sehingga data dapat dilakukan uji lanjutan dengan Uji Jarak
Berganda Duncan.
b. Jika F hitung < F tabel taraf 5%, maka hipotesis ditolak sehingga
data tidak perlu dilakukan uji lanjutan.
Bila F signifikan, dilanjutkan Uji Jarak Berganda Duncan dengan
rumus :
LSR (α.dbg.p) = SSR (α.dbg.p) . Sx
Keterangan : LSR: least significant range; Dbg: derajat bebas galat; SSR:
studenized significant range; α : taraf nyata 5%; p : jumlah
perlakuan; Sx : galat baku rata-rata
3.2.4. Prosedur Percobaan
a. Penyiapan Digester
Lima set digester lengkap dipasang di pekarangan belakang
Laboratorium Kimia Fakultas Pertanian Unsil. Setiap set digester sebagai
ulangan (kelompok) dalam rancangan acak kelompok, sehingga kelima
perlakuan akan diaplikasikan kepada masing-masing digester melalui
pengacakan.
Gambar 3.4. Rancangan teknik digester biogas (Rahmat dkk., 2014a).
Setiap digester (Gambar 3.4) terbuat dari sebuah drum metal
berukuran 60 liter berfungsi sebagai tangki digester. Digester ini
mengadopsi tipe tegak dengan kubah tetap, sehingga penampung gas
bersatu dengan tempat berlangsungnya proses DA. Pada bejana digester
ini terpasang: (i) sebuah pipa pemasukan substrat berukuran diameter 8
cm terpasang dengan sudut 30o terhadap dinding vertikal pada ketinggian
15 cm dari dasar bejana; (ii) sebuah pipa pengeluaran residu digestat
berukuran 8 cm terpasang dengan sudut 45o terhadap dinding vertikal
pada ketinggian 25 cm dari dasar bejana; (iii) shaft pengaduk terpasang
kedap gas berada di pusat silinder bejana memiliki dua bilah pengaduk
yang terpasang 15 dan 40 cm dari dasar bejana; dan (iv) sebuah pipa
pengeluaran biogas berdiameter 0,8 cm tersambung ke instalasi pengukur
volume gas. Semua koneksi dilakukan dengan pengelasan logam yang
harus diperiksa untuk menghidari kebocoran gas.
b. Penyiapan Bahan Biogas
Sampel LCT masing-masing diambil 200 L dari setiap lokasi di
lima pengrajin tahu di Nagrog secara mewakili, kemudian semua
dicampur dan diaduk secara homogen. Limbah homogen ini merupakan
bahan biogas yang akan digunakan dalam percobaan.
Masing-masing bahan organik penambah rasio C/N, meliputi:
kotoran domba, jerami padi, serasah bambu, atau sisa sayuran dirajang
menjadi rajangan yang lolos kasa kawat berukuran 1,5 cm x 1,5 cm.
Selanjutnya LCT ditambah 5 kg rajangan bahan penambah rasio C/N
sesuai rancangan percobaan.
c. Pelaksanaan Digesti
Setiap digester diisi dengan 50 L liter campuran bahan sesuai
perlakuan lalu diinkubasikan selama 20 hari. Mulai 1 hari setelah
inkubasi (hsi) dilakukan pengamatan semua parameter yang diteliti.
d. Pengamatan
(i) pH substrat dalam digester. pH bahan substrat sampel diambil
dan diukur pada 1, 2,3, dan 4 minggu setelah setelah inkubasi.
(ii) Volume biogas. Volume biogas yang terbentuk diukur sejak 1
hingga 20 hsi. Kemudian dihitung akumulasi per minggunya.
(iii) Tekanan gas. Tekanan biogas yang terbentuk diukur sejak 1
hingga 20 hsi.
(iv) Uji pendidihan air (water boiling test): ialah uji untuk
menentukan waktu yang dibutuhkan mendidihkan 100 mL air
diukur pada 1, 2,3, dan 4 minggu setelah setelah inkubasi.
(v) Bobot kering substrat. Bobot kering substrat ialah bobot yang
diperoleh hasil pengeringan oven sampai 120 oC selama 1 jam
dilakukan sebelum diaplikasikan ke digester.
3.3. Digestat Biogas sebagai Pupuk Organik Pertanian
3.3.1. Tempat dan Waktu Percobaan
Percobaan ini dilakukan di lingkungan Kampus Universitas
Siliwangi Tasikmalaya, Kelurahan Kahuripan, Kecamatan Tawang, Kota
Tasikmalaya, dengan ketinggian tempat 385 m. Percobaan dilakukan dari
bulan Juni sampai Agustus 2014 (Rahmat dkk., 2014c).
3.3.2. Bahan dan Alat Percobaan
Benih kedelai varietas Grobogan, polibag ukuran 40 cm x 50 cm,
pupuk kandang domba, limbah cair tahu, mikroorganisme fermentasi
(dari kotoran hewan domba, ragi, mol dan M-bio), pupuk Urea, Sp-36,
KCl, insektisida dan fungisida. Alat utama yang digunakan adalah 5 buah
jerigen plastik ukuran 10 liter sebagai tabung fermentasi. Alat-alat umum
yang digunakan penggaris, timbangan analitik, cangkul, plastik penutup,
alat tulis dan label.
3.3.3. Metode Percobaan
Metode percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah
rancangan acak kelompok (RAK) yang terdiri dari lima perlakuan dan
lima kali ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah menggunakan pupuk
cair hasil fermentasi LCT yang telah diinokulasi. Perlakuan tersebut,
yaitu
A : Fermentasi LCT tanpa inokulasi (kontrol)
B : Fermentasi LCT dengan inokulasi kotoran hewan domba
C : Fermentasi LCT dengan inokulasi ragi tape
D : FermentasiLCT dengan inokulasi Mol
E : Fermentasi LCT dengan inokulasi M-bio
Setiap variabel respon akibat perlakuan, memerlukan model linier.
Model linier tersebut secara sistematika sebagai berikut :
Xij =  + τi + rj + ϵij
Keterangan :
Xij
= nilai pengamatan dari perlakuan ke – i dan ulangan ke - j
µ
= nilai rata – rata umum
τi
= pengaruh perlakuan ke – i
rj
= pengaruh ulangan ke - j
ϵij
= pengaruh faktor random terhadap perlakuanke-i danulanganke-j
Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam daftar sidik ragam
untuk mengetahui taraf nyata dari uji F, seperti pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Daftar Sidik Ragam
Sumber Ragam
DB
JK
Ulangan
4
Perlakuan
4
Galat
16
JKT-JKU-JKP
Total
24
∑ Xij² – FK
j
KT
Fhitung
F tabel
F 5%
/ d– FK
3,01
⁄ – FK
3,01
Sumber : Gomez dan Gomez 1995
Tabel 3.4. Kaidah Pengambilan Keputusan
Hasil analisis
Kesimpulan analisis
Keterangan
F hit ≤ F 0,05
Tidak berbeda
nyata
Tidak ada perbedaan
pengaruh antar perlakuan
F hit > F 0,05
Berbeda nyata
Ada perbedaan pengaruh
antar perlakuan
Jika berpengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan uji
jarak berganda Duncan pada taraf nyata 5 persen dengan rumus sebagai
berikut :
S x=
√
SSR (α.dbg.p)
LSR = SSR.Sx
Keterangan :
= Galat baku rata-rata (standard error)
Sx
KTG
= Kuadrat Tengah Galat
r
= Jumlah ulangan pada tiap nilai tengah
perlakuan yang dibandingkan.
SSR
= Sutendtized Significant Range
(dilihat dari table dengan DB Galat 15 pada taraf 5%)
α
= Taraf nyata.
Dbg
= Derajat bebas galat.
P
= range (perlakuan)
LSR
= Least Significant Range.
3.3.4. Prosedur Percobaan
1) Persiapan Media Tanam
Persiapan media tanam untuk penanaman pada polibag dilakukan
dengan cara mencampurkan tanah dengan pupuk kandang domba dengan
perbandingan 1:1, Setelah tercampur rata kemudian masukan kedalam
polibag ukuran 40 cm x 50 cm dengan kapasitas tanah 10 kg, lalu
dibiarkan selama satu minggu. Setiap perlakuan terdiri dari 10 polibag
dengan jarak tanam 45 cm x 25 cm, karena terdapat lima perlakuan dan
lima ulangan maka diperlukan 250 polibag.
2) Penanaman
Proses penanaman dilakukan dengan cara membenamkan 2 benih
kedelai sedalam 3 cm per polibag ke dalam media tanam yang sudah
tersedia, kemudian ditambahkan pupuk kimia sebagai pupuk dasar yaitu
urea 0,25 g/polibag, SP36 0,5 g/polibag, dan KCl 0,375 g/polibag.
3) Pengambilan sampel LCT
LCT didapatkan dari 3 pabrik pengrajin tahu yang terdapat di
Tasikmalaya. Pabrik tersebut belum pernah dijadikan tempat pengujian.
Dari setiap pabrik diambil 10 liter LCT yang keluar dari sisa proses
penyaringan atau pencetakan ditampung dan dimasukkan ke dalam
wadah jerigen plastik, selanjutnya ditutup agar tidak terkontaminasi. LCT
tersebut dibawa ke laboratorium dan siap digunakan sebagai bahan baku
penelitian.
4) Pembuatan Pupuk Cair Limbah Cair Tahu
Bahan yang digunakan : air limbah tahu yaitu 45 liter LCT,
kotoran hewan 9 gram, ragi 9 gram, mol 9 ml, M-bio 9 ml.
Cara pembuatannya :
a. Siapkan 5 jerigen dengan ukuran 10 liter, masing-masing diisi 9
liter LCT
b. Kemudian diinokulasikan inokulan fermentasi ke jerigen yang
telah berisi LCT yaitu masing-masing kotoran domba 9 gram,
ragi 9 gram, Mol 9 ml dan M-bio 9 ml sesuai dengan perlakuan :
A : fermentasi tanpa fermenter
B : 9 L fermentasi LCT ditambahkan 9 g kotoran hewan
C : 9 L fermentasi LCT ditambahkan 9 g ragi tape
D : 9 L fermentasi LCT ditambahkan 9 ml Mol
E : 9 L fermentasi LCT ditambahkan 9 ml M-bio
c. Kemudian diaduk, ditutup dan diinkubasikan selama 10 hari.
d. Bila larutan fermentasi berbau seperti bau tape pertanda bahwa
pupuk cair sudah jadi dan bila belum berbau tape ada
kemungkinan reaksi fermentasi belum sempurna atau tidak jadi.
5) Pemberian Perlakuan
Cara aplikasi pupuk cair dengan frekuensi umur tanaman pada 14,
21, 28, 35 dan 42 HST (hari setelah tanam). Pupuk cair diaplikasikan
dengan konsentrasi 50 ml/liter air, disiramkan kedalam media tanam pada
setiap polibag percobaan sesuai konsentrasi perlakuan. volume aplikasi
pupuk cair per polibag adalah 100 ml.
6) Pemeliharaan
a.
Penyiangan
Penyiangan dilakukan di sekitar tanaman kedelai apabila tumbuh
gulma yaitu dengancara dicabut.Penyiangan dilakukan agar tidak terjadi
penyerapan unsur hara antara tanamanpokok dengan gulma.
b. Penyiraman
Penyiraman dilakukan berdasarkan tingkat kekeringan media
tanam. Kebutuhan air untuk penyiraman disesuaikan dengan kapasitas
lapang media tanam yang digunakan.
c. Penyulaman
Penyulaman dilakukan satu minggu setelah tanam dengan tujuan
untuk mengganti benih kedelai yang mati atau tidak tumbuh.
3.4. Digester Biogas sebagai Pembangkit Energi
3.4.1. Rancang-bangun Digester Biogas 400 L
Pemanfaatan kotoran ternak dan bahan organik di Indonesia
sebagian besar masih terbatas untuk pupuk organik pertanian, bahkan
pada banyak kasus dibuang percuma mencemari lingkungan. Potensi
sumber daya terbarukan ini bila dimanfaatkan untuk turut memecahkan
masalah defisit energi yang bisa mencegah krisis energi nasional.
Semestinya semua pemangku kepentingan ikut berperan aktif untuk
pemanfaatan sumber daya seperti ini dengan aplikasi tekonologi
sederhana agar mudah diterapkan sampai ke segenap pelosok.
3.4.2. Tujuan, Luaran dan Manfaat
Tujuan kegiatan ini ialah merancang-bangun digester biogas
kapasitas 400 L di lingkungan kampus.
Kegiatan penelitian ini memiliki luaran:
1) Dihasilkan rancang-bangun satu reaktor biogas skala pilot plant.
2) Laporan kinerja pilot plant digester biogas 400 L.
Sedangkan manfaat kegiatan penelitian ini memiliki adalah :
1) Memperdalam
penguasaan
teknologi
biogas
dan
pengembangannya ke berbagai skala sesuai kebutuhan.
2) Pilot plant digester biogas ini sebagai sarana praktikum dan
peraga pelatihan dalam program-program pengabdian kepada
masyarakat.
3.4.3. Bahan dan Alat
Kegiatan ini akan berlangsung sejak 2 Agustus 2008 hingga 20
November 2008, yang berlokasi di lingkungan Kampus Universitas
Siliwangi (Rahmat, 2008). Bahan yang dipakai dalam percobaan adalah:
a. Dua buah drum 200 L untuk silinder tabung digester
b. Sebuah tabung bekas refrigeran untuk corong pemasukan slurry
c. Dua buah pipa besi diameter 6 cm panjang 60 cm untuk saluran
masuk dan saluran keluar
d. Sebuah pipa tembaga diameter 1,5 cm panjang 100 cm untuk
saluran gas
e. Satu batang plat lebar 3 cm tebal 3 mm panjang 6 m untuk
penguat saluaran keluar dan masuk.
f. Sebuah kran air ½ inci untuk katup saluran gas
g. Selang plastik ½ inci panjang 10 m untuk saluran gas.
h. Botol PET bekas kemasan air mineral 600 mL untuk penampung
air katup pengaman
i. Pipa PVC bentuk T untuk katup pengaman
j. Kantung plastik (polyethylene) lebar 50 cm dan panjang 4 m
sebagai balon penampung biogas
k. Delapan buah klem selang ¾ inci, 10 buah skrup ulir 3 mm
panjang 3 cm,
l. Tali plastik ukuran 5 mm panjang 10 m
Sedangkan alat yang digunakan adalah:
a. Gergaji besi untuk memotong pipa dan plat
b. Gerinda untuk membentuk potongan plat atau pipa; dan untuk
menghaluskan hasil pemotongan logam.
c. Las logam untuk penyambungan drum, pemasangan pipa saluran
masuk dan keluar, dan penggabungan logam lainnya.
d. Gunting plat untuk memotong plat drum waktu membuang salah
satu bundar atasnya; dan membuat lubang-lubang tempat pipa
saluran terpasang.
e. Tang pejepit, palu, obeng, kunci inggris, linggis dan cangkul.
3.4.4. Prosedur Percobaan
1) Prosedur Perancangan
Digester biogas yang dirancang ialah bertipe tabung silinder
horizontal, yang merupakan adaptasi dari digester biogas kantung plastik
memanjang yang dipendam dalam tanah. Pertimbangan penggunaan
tabung silinder masif ini ialah agar memudahkan mobilitas, penempatan
digester, dan pengamatan proses reaksi digesti walau ditempatkan di
manapun.
Semua ide rangkaian digester dituangkan dalam gambar secara
detail, berskala, dan proporsional untuk memudahkan implementasi
dalam pembangunannya.
Gambar 3.5. Digester Biogas : 1) Kran buka-tutup gas; 2) pipa saluran gas; 3)
corong pengisian substrat; 4) saluran pemasukan substrat; 5) saluran
pengeluaran residu; dan 6) tabung digester.
Gambar 3.6. Katup Pengaman : 1) Saluran gas; 2) pipa PVC bentuk T yang terendam 5
cm dalam air ; 3) botol air mineral 600 mL; dan 4) air sebagai pengatur
keamanan tekanan gas.
Gambar 3.7. Skema Balon Penampung Biogas : 1) Kantung plastik (polyethylene)
ukuran bentang kempis 240 cm x 50 cm; 2) saluran keluar gas; 3) Kran
gas; 4) saluran ke alat pembakar; dan 5) saluran gas dari reaktor.
2) Prosedur pembuatan
a. Dua buah drum 200 L yang masing-masing telah dibuang bundaran
bagian atasnya, lalu keduanya disambung berhadapan dengan las
sehingga membentuk silinder tertutup kapasitas 400 L. Silinder ini
merupakan tabung digester biogas.
b. Dua potong pipa besi diameter 6 cm masing sepanjang 60 cm untuk
saluran masuk (entrance tube) dan saluran keluar (exit tube).
c. Pipa saluran masuk dirangkai las dengan separuh tabung bekas
refrigeran sebagai corong pemasukan substrat. Pipa saluran ini
dipasang pada satu sisi digester pada ketinggian 10 cm dengan sudut
450. Pada sisi lain digester dipasang pipa saluran keluar dengan
ketinggian 10 dan sudut 450. Corong pemasukan dan pipa saluran
keluar diberi penutup untuk mencegah air hujan masuk ke digester.
d. Di tengah punggung tabung digester (tapi tidak tepat pada las
sambungan) dipasang fitting ulir jantan ½ inci untuk pemasangan
kran (valve) saluran gas.
e. Semua proses penyambungan dan perangkaian komponen diuji
kerapatannya untuk mencegah kebocoran biogas dan substrat.
f. Tabung digester dipendam dalam lubang galian tanah horizontal
dengan maksud untuk memaksimalkan dukungan tanah terhadap
badan digester dan terjaganya suhu di dalamnya. Bagian digester
yang muncul ke permukaan tanah sekitar 10 cm.
g. Saluran dan kran dibiarkan terbuka sebelum selesainya pengisian
substrat pertama.
Gambar 3.8. Skema kompor biogas mini Unsil
IV
PEMBAHASAN
4.1. Efektivitas Digester Biogas sebagai Instalasi Sanitasi
Limbah Pemukiman
4.1.1. Hasil Karakterisasi Limbah Pemukiman
Karakterisasi sampel limbah pemukiman
dilakukan dengan
pemilahan dan penimbangan masing-masing komponen berdasarkan
susunan kimianya. Hasil penimbangan setiap komponen seperti tersaji
pada Tabel 4.1. Ternyata sampah makanan merupakan komponen
tertinggi (50,19 %) dalam limbah pemukiman, lalu diikuti oleh plastik,
dan bahan-bahan berbasis selulosa seperti kertas dan kardus.
Tabel 4.1. Komposisi limbah pemukiman (Rahmat dkk., 2014b).
Komponen
Sampah makanan
Plastik
Kertas, kardus dan kayu
Logam
Total
Bobot (kg)
Persentase (%)
6,75
4,40
2,20
0,10
13,45
50,19
32,71
16,37
0,74
100,00
Kondisi ini menarik untuk dipelajari lebih jauh mengingat
karakteristik sampah makanan ini adalah : (i) memiliki kontribusi terbesar
terhadap akumulasi volume sampah domestik di semua level, baik di
rumah, TPS, hingga TPA; (ii) penurunan volumenya benar-benar
tergantung kepada dekomposisi, karena bukan merupakan bahan yang
dipulung untuk didaur-ulang; dan (iii) dekomposisinya perlu waktu
sehingga sering menjadi masalah pencemaran lingkungan. Oleh karena
itu perlu merekayasa proses dekomposisi yang dipercepat dan dihasilkan
produk yang bermanfaat, seperti yang dilakukan dalam proses digesti
anaerob (DA) dalam digester biogas. Sedangkan limbah plastik, kertas,
logam merupakan bahan yang biasa dipulung lalu diperjual-belikan
karena untuk didaur-ulang, maka akumulasi limbah semacam itu di
lingkungan relatif tidak menjadi permasalahan.
4.1.2. Pembuatan Digester
Dalam percobaan yang dilakukan Penulis telah dibuat tiga unit
digester biogas skala laboratorium masing-masing berkapasitas olah 8
liter substrat. Komponen utama setiap digester seperti pada Gambar 4.1,
adalah : (1) jerigen (jerrycan) 10 L sebagai ruang digesti; (2) pipa
pengeluaran biogas; (3) kran pengambilan sampel substrat; (4) pipa
pengalir biogas ke pengukur volume; (5) baskom plastik sebagai
penampung air penyekat gas; (6) gelas ukur penampung biogas; (7) statif;
(8) termometer; (9) pipa pengalir biogas; dan (10) manometer.
Komposisi substrat yang diproses terdiri dari bahan yang diolah
dan air dengan rasio 1:1. Dibuat tiga set digester (A: diisi sampah
makanan, B: diisi sampah makanan + kohe sapi, dan C: diisi kohe sapi)
yang masing-masing dimuat oleh satu jenis substrat sesuai perlakuan
dalam penelitian ini.
8
7
2
9
6
4
1
10
3
5
Gambar 4.1. Satu set digester skala laboratorium sedang beroperasi.
4.1.3. Fluktuasi pH Substrat
Di awal waktu digesti, pada ketiga digester menunjukkan
penurunan pH (Gambar 4.2). Setelah melampaui proses hidrolisis,
berlanjut ke proses asidifikasi, yaitu proses reaksi pembentukan senyawasenyawa asam organik, terutama asam asetat oleh aktivitas
mikroorganisme asidinogen, sehingga pH menurun lebih curam hingga
mencapai proses metanogenesis. Bila ditunjang oleh suhu di bawah 20
o
C, kondisi taraf pH yang menguntungkan bakteri asidinogen ini dan
akan menghambat kerja bakteri metanogen, maka pH dapat berlanjut
turun di bawah 5.
6,4
6,2
pH
6
5,8
5,6
A
5,4
B
5,2
C
5
4,8
0
1
2
3
Waktu digesti (minggu)
Gambar 4.2. Fluktuasi pH substrat selama digesti 21 hari
Pada pengukuran memasuki minggu kedua, ternyata pH meningkat
lagi, karena asam-asam organik yang dhasilkan pada proses asidifikasi
direduksi kembali menjadi karbonat dan metana oleh aktivitas kelompok
bakteri metanogen. Kelompok bakteri ini menghasilkan metana melalui
dua jalur, yaitu: (i) fermentasi asam asetat menjadi metana (CH4) dan
CO2; dan (ii) reduksi CO2 oleh gas hidrogen atau format yang dihasilkan
oleh spesies bakteri lainnya.
C2H5COOH
CO2 + 4 H2
fermentasi
reduksi
CH4 + CO2 + H2
CH4 + 2 H2O
Demikian pula CO2 dapat dihidrolisis menjadi asam karbonat dan metana
seperti dalam persamaan reaksi berikut:
CO2 + H2O
H2CO3 + 4 H2
hidrolisis
reduksi
H2CO3
CH4 + 3 H2O
Tingkat pH substrat DA akan berpengaruh secara : (i) Langsung
terhadap degradasi oleh mikroorganisme. (ii) Tidak langsung melalui
kesetimbangan kimia amonia dan toksisitas VFA; ketersediaan nutrisi
dan bahan baku; dan keberadaan karbon dioksida. Untuk
mempertahankan pH yang cocok ini pada bahan baku memiliki
alkalinitas yang tinggi, maka diperlukan kapasitas bufer, contohnya
dengan penambahan bikarbonat (Luostarinen dkk., 2011).
Seadi dkk. (2008) berpendapat bahwa interval pH optimum untuk
digesti mesofilik adalah antara 6,5 dan 8,0 dan proses ini sangat
terhambat jika nilai pH turun di bawah 6,0 atau naik di atas 8,3.
Kelarutan karbon dioksida dalam air menurun dengan meningkatnya
suhu. Nilai pH dalam digester termofilik lebih tinggi daripada yang
mesofilik, maka karbon dioksida terlarut bereaksi dengan air membentuk
asam karbonat. Nilai pH dapat meningkatkan oleh amonia yang
dihasilkan selama degradasi protein atau adanya amonia dalam pengisian.
Sedangkan akumulasi VFA menurunkan nilai pH.
Nilai pH dalam digester anaerob terutama dikendalikan oleh
sistem bufer bikarbonat yang disebabkan oleh tekanan parsial CO2,
konsentrasi alkali, dan asam dalam fasa cair. Jika akumulasi basa atau
asam terjadi, kapasitas bufer akan bereaksi terhadap perubahan pH ini
sampai batas tertentu. Bila kapasitas bufer sistem itu terlampaui, akan
terjadi perubahan nilai pH secara drastis yang menghambat proses DA.
Oleh karena itu, nilai pH agar tidak pakai sebagai sutu parameter
pemantauan proses yang berdiri sendiri. Kapasitas bufer suatu jenis
substrat DA, misal kohe, kapasitas bufernya bervariasi tergantung musim
dan komposisi pakan ternaknya (Seadi dkk.,2008; Luostarinen dkk.,
2011).
4.1.4. Produksi Biogas
1) Produksi Biogas Harian
Produksi biogas harian pada Digester A dan B pada awalnya
meningkat tajam seperti terlukis pada Gambar 4.3. Hal ini disebabkan
bahan makanan yang mengandung senyawa organik sederhana seperti
gula, asam lemak, dan asam amino cepat dihidrolisis dan diterurai
sehingga terbentuk biogas dalam jumlah yang paling tinggi.
30000
A
Volume biogas (cm3)
25000
B
20000
C
15000
10000
5000
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Waktu digesti (hari)
Gambar 4.3. Grafik produksi biogas harian oleh digester A,B, dan C
Setelah lima hari digesti sampah makanan hampir telah tercerna
seluruhnya, sehingga produksi biogas harian mendekati nol, karena
digester masih menggunakan sistem satu kali pemuatan (batch). Berbeda
dengan substrat kotoran sapi (C) justru produksi baru meningkat lambat
setelah 5 hari waktu digesti dan stabil pada kisaran 3.000 hingga 4.000
cm3 per hari. Kotoran sapi lebih banyak mengandung senyawa organik
berantai lebih panjang dan kompleks sehingga memerlukan waktu digesti
yang lebih panjang.
Agar produksi biogas berlanjut, maka perlu dilakukan pengisian
substrat setiap hari dalam suatu digester sistem proses kontinyu. Pada
umumnya digester yang dibuat di lapangan sudah menerapkan sistem
kontinyu, sehingga diperoleh luaran biogas dan digestat setiap waktu
sesuai dengan kebutuhan atau ketersediaan bahan baku substratnya untuk
pengisian harian. Sebagaimana dikemukakan Luostarinen dkk.(2011)
bahwa waktu retensi hidrolik (hydraulic retention time/HRT) angka yang
menyatakan hubungan antara volume digester dan volume pengisian
setiap hari dan merupakan waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk bahan
baku agar terurai sempurna dalam proses biogas. Semakin lama HRT
semakin banyak bahan organik terdegradasi.
Bahan organik yang cocok untuk DA biasanya terdegradasi dalam
digester biogas antara 14 hingga 50 hari. Untuk bahan yang mudah
terdegradasi, seperti pati dalam limbah makanan, maka HRT yang singkat
sudah memadai. Sementara bahan lignoselulosa, seperti tanaman energi
dan sisa tanaman, maka memerlukan HRT yang lebih lama. DA untuk
kotoran hewan biasa diterapkan HRT 20 hingga 30 hari (Luostarinen
dkk., 2011).
2) Produksi Biogas Total
Produksi biogas total (Gambar 4.4) tertinggi selama rentang waktu
retensi 20 hari dicapai oleh Digester B yaitu 56.068 cm3, diikuti oleh C
(51.431 cm3) dan A (32.433 cm3) yang berasal dari 8 L substrat yang
diproses. Lebih tingginya produksi biogas total pada Digester B karena
memiliki substrat yang memiliki pH dan rasio C/N yang mendekati
optimal.
Hermawan (2007) juga Saidi dan Mahmoud (2010)
berpendapat bahwa, beberapa parameter yang berpengaruh terhadap
efisiensi DA dan potensi produksi biogas adalah rentang yang optimal
adalah sebagai berikut: pH (7-7,5), suhu (30-37 oC), rasio C/N (20-30),
waktu retensi (14-30 hari), volume pemuatan organik, kompetisi bakteri,
kandungan nutrisi, zat toksik, kandungan padatan, dan pengadukan.
60000
Volume biogas (cm3)
50000
40000
30000
20000
10000
0
A
B
C
Gambar 4.4. Total volume biogas yang dihasilkan oleh Digester A, B, dan
C selama 20 hari waktu retensi
Fakta hasil pengukuran produksi biogas harian dan total
membuktikan bahwa, sampah makanan dari rumah tangga secara madiri
maupun dicampur dengan kotoran sapi memiliki potensi untuk
menghasilkan biogas yang cukup besar. Potensi konversi ini perlu
mendapat perhatian yang lebih intensif mengingat sampah makanan
belum banyak dikaji dan dimanfaatkan. Volumenya yang besar selalu
menjadi masalah pencemaran lingkungan, seperti: air lindi di tempat
penampungan atau pun pembuangan, penghasil bau ke udara,
menurunkan kualitas perairan secara biotik dan kimiawi.
Kuantitas total volume biogas yang dihasilkan adalah berbanding
lurus dengan tingkat degradasi secara biologis dan taraf konversi limbah
organik menjadi biogas oleh bakteri metanogen.
4.1.5. Penurunan Padatan Total (TS) Substrat
Total padatan (TS x 10-3 mg/L)
Penurunan TS dalam substrat dianggap sebagai indikator
efektivitas rangkaian proses reaksi DA dalam mereduksi limbah organik.
Hal ini pun berbanding lurus dengan besarnya volume biogas yang
diproduksi. Pada Gambar 4.5 terlihat bahwa, efektivitas digesti anaerob
dalam Digester A mampu menurunkan TS sampah makanan dari 119.100
menjadi 22.500 mg/L dalam rentang waktu kurang dari 20 hari. Demikan
pula dalam Digester B 135.200 menjadi 18.400 mg/L; dan dalam
Digester C 125.000 menjadi 22.400 mg/L
160
140
120
A
B
C
100
80
60
40
20
0
0
1
2
3
4
Waktu digesti (minggu)
Gambar 4.5. Grafik penurunan padatan total substrat setiap
digester
Efektivitas DA yang menghasilkan biogas ini akan mampu
mereduksi volume sampah domestik secara signifikan. Teknologi ini
merupakan alternatif penting dalam penanganan sampah pemukiman di
masa akan datang, sehingga beban akumulasi sampah akan berkurang
sejak dilevel rumah tangga bila teknologi biogas dapat diterima oleh
segenap pemangku kepentingan dan diimplementasi ke masyarakat.
Karena dapat menjadi solusi dari beberapa masalah sekaligus, yaitu: (i)
sanitasi lingkungan pemukiman; (ii) penyediaan pupuk organik; dan (iii)
menurunkan emisi gas metana dari penimbunan sampah.
Menurut pengamatan Penulis di lapangan dalam kurun waktu
2006-2012, digester yang telah dibangun swadaya ataupun bantuan hibah,
ternyata bekerja pada kondisi suhu lingkungan yaitu tanpa pengadukan
dan pemanasan. Padahal syarat kerja mikroba metanogen yang bekerja
dalam digester memerlukan distribusi substrat dan suhu berkisar antara
25 hingga 40 oC. Terbukti bahwa, digester yang telah dibangun itu tidak
mencapai efektivitas dan produktivitas sesuai yang direncanakan,
sehingga akan mengakibatkan gagalnya inovasi teknologi kepada
masyarakat (Rahmat, 2013).
Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk meningkatkan kinerja
digester tersebut dengan rekayasa distribusi substrat dan upaya
pencapaian suhu optimal. Rekayasa ini dilakukan melalui aplikasi
komponen yang simpel dan murah sebelum melakukan rancang-bangun.
4.2. Aplikasi Digester Biogas dalam Sanitasi Limbah Industri
Tahu
4.2.1. Penempatan Digester Biogas
Lima set digester biogas (Gambar 4.6) yang telah dibuat
ditempatkan di teras belakang laboratorium Proteksi Fakultas Pertanian
Universitas Siliwangi. Setiap digester ini diposisikan sebagai ulangan
atau blok pada rancangan acak kelompok sesuai Tata Letak Percobaan
(Gambar 3.3) pada Bab 3. Dengan demikian terhadap setiap digester ini
telah dialokasikan semua perlakuan yang dicoba (A sampai E) secara
berurutan. Setiap penggantian perlakuan, digester dicuci dan dibilas alir
mengalir sebanyak tiga ulangan
Gambar 4.6. Lima set digester biogas sedang beroperasi (Rahmat dkk., 2014a).
4.2.2. Produksi Biogas Harian
Berdasarkan hasil penelitian Rahmat dkk. (2014a) seperti terlihat
pada Gambar 4.7 terlihat perlakuan B dan E telah mulai menghasilkan
gas sejak dua hari digesti. Hasil biogas harian pada perlakuan B terus
meningkat hingga mencapai hasil 2000 cm3 per hari pada hari ke-20.
Hasil biogas harian pada perlakuan E hampir konstan pada kisaran 200
hingga 600 cm3 per hari. Hal ini berarti kedua perlakuan ini memiliki
potensi menghasilkan biogas selama 20 hari retensi. Sedangkan
perlakuan C (limbah cair tahu + jerami), baru menghasilkan biogas
setelah 15 hari karena memiliki bahan yang lebih kompleks yang lebih
lambat untuk diuraikan sehingga jerami memiliki waktu digesti yang
lebih panjang hingga dapat menghasilkan biogas.
Gambar 4.7. Produksi biogas harian Perlakuan A,B, C, D dan E
4.2.3. Total Produksi Biogas
Hasil percobaan Rahmat dkk. (2014a) seperti telihat pada Tabel
4.2. limbah cair tahu (LCT) tanpa penambahan bahan organik lain (A)
sebagai kontrol tidak menghasilkan biogas. Hal ini disebabkan perlakuan
A yang hanya berisi substrat LCT saja tidak cocok bagi bakteri
metanogen yang menguraikan biomassa menjadi gas metana. Sedangkan
perlakuan B, C, D, dan E yang masing-masing telah diberi bahan organik
lain dapat menghasilkan biogas dengan volume yang berbeda-beda.
Culhane (2012) mengatakan bahwa tidak perlu khawatir dengan
melakukan pebaikan substrat akan berakibat merusak sistem. Sebab
digester tidak bisa disamakan dengan perut hewan, yaitu tempat bakteri
anaerob berasal. Jika ekologi bakteri keluar dari keseimbangan, maka
yang perlu dilakukan oleh operator ialah : perbaikan pH, menambahkan
substrat dan mulailah dari awal, sehingga tidak sulit untuk memulihkan
pengisian yang salah.
Produksi biogas individual tertinggi dicapai pada perlakuan B
dengan rata-rata produksi of 14.183 cm3, diikuti oleh E yang
menghasilkan 7.250 cm3 biogas, D (2,400 cm3), dan C (895 cm3).
Sedangkan A (kontrol) dan tidak menghasilkan biogas. Dengan demikian,
perbedaan produksi biogas sebagian besar tergantung kepada sifat-sifat
bahan organik yang ditambahkan sebagai perlakuan terhadap LCT.
Tabel 4.2. Pengaruh penambahan bahan organik terhadap produksi
biogas LCT
Perlakuan
A (LCT)
B (LCT + Kotoran domba)
C (LCT + Jerami padi)
D (LCT + Serasah bambu)
E (LCT + Limbah kobis)
Produksi Biogas (cm3)
0
14.183
895
2.400
7.250
a
e
b
c
d
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
menurut Uji Beda Berganda Duncan taraf 5%.
Jerami padi adalah substrat lignoselulosa, yang terdiri dari:
selulosa (40-50%), hemiselulosa (25-35%) dan lignin (15-20%) sangat
tahan terhadap degradasi enzimatik. Degradasi enzimatik lignoselulosa
biasanya tidak begitu efisien karena merupakan bahan stabilitas tinggi
terhadap serangan enzimatik atau bakteri. Apalagi lignin adalah molekul
yang sangat kompleks yang terdiri dari unit fenilpropana t dalam struktur
tiga dimensi yang sulit untuk diuraikan. Dengan demikian lignin
merupakan salah satu kelemahan substrat lignoselulosa dalam produksi
biogas, karena lignoselulosa membuat tahan terhadap degradasi biologis
(Ertem, 2011).
Produksi biogas ditentukan oleh beberapa faktor penting antara lain
rasio C/N substrat. Kotoran domba mampu meningkatkan rasio C/N
substrat dari 5 menjadi sekitar 15 sebagai kondisi yang lebih baik bagi
mikroba metanogen, sehingga diproduksi biogas yang lebih tinggi
(Rahmat dkk., 2014a).
4.2.4. Monitoring pH
Fakta pada Gambar 4.8. menunjukkan fluktuasi pH yang normal,
yaitu masih pada kisaran pH optimum untuk proses DA, yakni 6,4 hingga
7,2 sehingga variabel ini bukan merupakan faktor pembatas dalam
menghasilkan biogas pada konteks rekayasa rasio C/N substrat pada
penelitian ini. Luostarinen dkk. (2011) mengemukakan bahwa
peningkatan suhu dalam satu kisaran optimal bisa meningkatkan proses
DA, tetapi pada suhu lebih tinggi dari optimal mebuat rusaknya
konsorsium mikroorganisme tertentu, karena protein dan komponen
seluler mikroorganisme bisa rusak ireversibel.
Gambar 4.8. Fluktuasi pH selama proses DA limbah cair tahu
4.2.5. Uji Pendidihan Air (water boiling test)
Komposisi biogas yang dihasilkan dari fermentasi tersebut terbesar
adalah gas metana (CH4) berkisar dari 54 hingga 70% serta gas
karbondioksida (CO2) berkisar pada 27 hingga 45%. Gas metana
merupakan komponen utama biogas yang dimanfaatkan sebagai bahan
bakar yang memiliki banyak manfaat. Biogas mempunyai nilai kalor
yang cukup tinggi, yaitu sekitar 4800 sampai 6,700 kkal/m³, sedangkan
gas metana murni mengandung energi 8,900 kcal/m³.
Tabel 4.3. Pengaruh perlakuan bahan organik pada LCT terhadap waktu
titik didih air (Rahmat dkk., 2014a).
Perlakuan
A (LCT)
B (LCT + Kotoran domba)
C (LCT + Jerami padi)
D (LCT + Serasah bambu)
E (LCT + Limbah kobis)
Waktu didih air (menit)
481
479
485
478
a
a
a
a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata menurut Uji Beda Berganda Duncan taraf 5%.
Teknologi DA merupakan salah satu bagian strategi yang
berdayaguna dan efektif dalam pengelolaan air limbah atau buangan
industri. Penerapan teknologi ini selain murah dan praktis untuk limbah
dengan beban kandungan bahan organik dan bobot molekul tinggi,
mampu mereduksi energi terkandung dalam limbah untuk pengelolaan
lingkungan. Penggunaan digester biogas memiliki keuntungan, antara lain
yaitu mengurangi efek gas rumah kaca, mengurangi bau yang tidak
sedap, mencegah penyebaran penyakit, menghasilkan energi dan hasil
samping berupa pupuk padat dan cair. Pemanfaatan limbah dengan cara
seperti ini secara ekonomi akan sangat kompetitif seiring naiknya harga
bahan bakar minyak dan pupuk anorganik. Di samping itu, cara-cara ini
merupakan praktek pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan
(Rahmat dkk., 2014a).
4.3. Aplikasi Digestat Biogas sebagai Pupuk Organik Pertanian
4.3.2. Hasil Uji Efek Digestat terhadap Hasil Kedelai
Dalam percobaan ini sebagai substrat atau bahan baku DA adalah
limbah cair tahu (LCT). Penelitian Rahmat dkk. (2014c) bertujuan untuk
memperoleh digestat yang lebih baik sebagai pupuk organik cair
dilakukan rekayasa proses dengan dengan penambahan variasi inokulan
seperti dijelaskan dalam susunan perlakuan dalam percobaan ini.
Tabel 4.4. Efek Pemberian Digestat terhadap Hasil Kedelai
Jumlah
polong
per rumpun
Bobot biji
per rumpun
(g)
Bobot 100
biji (g)
A: LCT sendiri
43,45 a
17,53 a
B: LCT + kohe
C: LCT + ragi
D: LCT + Mol
E: LCT + M-Bio
50,79 a
50,57 a
42,31 a
50,08 a
20,07 a
20,88 a
18,05 a
19,40 a
28,78 a
30,04 a
26,61 b
26,89 b
26,71 b
Jenis Digestat hasil
DA
Keterangan : Angka rata-rata yang ditandai huruf yang sama pada setiap kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji jarak Berganda Duncan
pada taraf 5%.
Berdasarkan hasil analisis varians sebagai alat yang digunakan
dalam analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pupuk organik
hasil fermentasi limbah cair tahu tidak berpengaruh nyata terhadap
jumlah polong per rumpun dan jumlah bobot per rumpun namun
berpengaruh nyata terhadap bobot 100 biji.
Pada Tabel 4.4. dapat dilihat bahwa perlakuan pupuk organik
hasil DA limbah cair tahu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
terhadap jumlah polong per rumpun dan bobot biji per rumpun. Tidak
konsisitennya efek digestat terhadap semua komponen hasil kedelai
diduga karena kandungan unsur hara yang terkandung dalam pupuk
tersebut, terutama unsur hara makro seperti N, P dan K, masih relatif
rendah sehingga belum bisa memberikan respon penambahan jumlah
polong per rumpun yang berarti. Rendahnya unsur hara seperti terlihat
pada Tabel 4.5 yang merupakan data hasil analisis kimia terhadap semua
digestat dicoba. Komponen N sebagai indikator kandungan hara suatu
pupuk organik cair masih di bawah yang biasa terkandung dalam suatu
pupuk organik cair yang berasal dari digestat seperti yang dilaporkan Tim
Biru (2010), yaitu 1,47%. Selain itu, memiliki kandungan C-org
(17,87%), rasio C/N (9,09%), P2O5 (0,52%), dan K2O (0,38%).
Tabel 4.5. Hasil analisis kimia digestat pada variasi inokulan
Kadar
air
(%)
Corganik
(%)
N-total
(%)
Rasio
C/N
A: LCT sendiri
99,57
0,146
0,067
2,2
B: LCT + kohe
99,65
0,172
0,073
2,4
C: LCT + ragi
99,38
0,192
0,078
2,5
D: LCT + Mol
99,42
0,143
0,093
1,5
E: LCT + M-Bio
99,45
0,177
0,083
2,1
99,494
0,166
0,0788
2,14
Jenis Digestat
Rata-rata
Sumber: Rahmat dkk. (2014c)
Untuk meningkatkan konsentrasi hara dalam digestat dapat
ditempuh prosedur pemekatan larutan, yaitu untuk mereduksi jumlah air
sebagai pelarut dalam larutan, maka konsentrasi hara setelah pemekatan
dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:
V1.K1 = V2.K2
yaitu: V1 ialah volume larutan awal; K1 ialah konsentrasi larutan awal;
V2 ialah volume larutan hasil pemekatan; dan K2 ialah konsentrasi larutan
hasil pemekatan. Contoh perhitungan dengan mengambil nilai rata-rata
pada Tabel 4.5. Bila semula tersedia digestat 200 L lalu dipekatkan
sehingga menjadi volumenya menjadi 1 L, maka konsentrasi unsur hara
nitrogen (K2) menjadi:
200 L (0,0788 %) = 1 L (K2)
K2 = 200 x 0,0788 %
K2 = 15,76 %
Pemilihan metode pemekatan menjadi hal yang penting untuk
pertimbangan lebih lanjut, terutama bila digunakan cara penguapan
pelarut air secara termal karena beberapa hara mudah menguap.
Bila konsentrasi dan dosis aplikasi yang digunakan mengikuti
anjuran berdasarkan hasil percobaan sebelumnya, maka pemberian
digestat akan memberikan efek yang signifikan terhadap peningkatan
pertumbuhan dan produksi tanaman. Seperti telah dilaporkan beberapa
peneliti bahwa, digestat sebagai salah satu jenis pupuk organik yang kaya
akan unsur hara. Ada pun manfaat lainnya sama seperti halnya bahan
organik lain ketika diaplikasikan pada tanah akan memberi keuntungan
terhadap sifat fisik, biologi dan kimia tanah. Syarat tanah sebagai media
tumbuh dibutuhkan kondisi fisik dan kimia yang baik. Keadaan fisik
tanah yang baik apabila dapat menjamin pertumbuhan akar tanaman dan
mampu sebagai tempat aerasi dan lengas tanah, yang semuanya berkaitan
dengan peran bahan organik. Peran bahan organik yang paling besar
terhadap sifat fisik tanah meliputi : struktur, konsistensi, porositas, daya
mengikat air, dan yang tidak kalah penting adalah peningkatan ketahanan
terhadap erosi (Suntoro, 2003).
Lebih lanjut dikatakan Suntoro (2003) bahwa, pengaruh bahan
organik terhadap sifat kimia tanah seringkali dikaitkan dengan
kemampuanya meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK). Bahan
organik merupakan sumber muatan negatif, sehingga bahan organik
(humus) dianggap mempunyai susunan koloid seperti lempung, namun
humus tidak semantap koloid lempung, namun bersifat dinamik, mudah
dihancurkan dan dibentuk. Dilaporkan bahwa penambahan jerami 10 ton
/ha pada pada tanah Ultisol mampu meningkatkan 15,18 % KTK tanah
dari 17,44 menjadi 20,08 cmol/kg.
Bahan organik berpengaruh terhadap sifat biologi tanah yang
meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tanah. Bahan
organik merupakan sumber energi dan bahan makanan bagi
mikroorganisme yang hidup di dalam tanah. Mikroorganisme tanah saling
berinteraksi dengan kebutuhannya akan bahan organik karena bahan
organik menyediakan karbon sebagai sumber energi untuk tumbuh (Tim
Biru, 2010).
Pengaruh digestat terhadap produksi tanaman beragam tergantung
kepada jenis dan kondisi tanah, kualitas benih, iklim, dan faktor-faktor
lain. Namun, pada dasarnya pemakaian digestat akan memberi manfaat
terhadap media tumbuh bagi tanah dan tanaman, adalah sebagai berikut:
1) Memperbaiki struktur fisik tanah sehingga tanah menjadi lebih
gembur.
2) Meningkatkan kemampuan tanah mengikat atau menahan air lebih
lama yang bermanfaat saat musim kemarau.
3) Meningkatkan kesuburan tanah. Tanah menjadi lebih banyak dan
lengkap kandungan haranya.
4) Meningkatkan aktivitas mikroorganisme dan cacing tanah yang
bermanfaat untuk tanah dan tanaman.
Bila disimpan dan digunakan dengan benar, digestat dapat
memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan produksi tanaman ratarata sebesar 10 - 30% lebih tinggi dibanding pupuk kandang biasa.
Penelitian di Indonesia pada pertanian dengan digestat juga memperoleh
rata-rata kenaikan hasil yang sama (Yayasan Rumah Energi, 2013).
Digestat sebagai pupuk organik telah banyak digunakan di areal
pertanian di Indonesia untuk komoditas sayur-sayuran daun dan buah
(tomat, cabai, labu siam, timun, dll.), umbi (seperti wortel, kentang, dll.),
pohon buah-buahan (buah naga, mangga, kelengkeng, jeruk, pepaya,
pisang, dll.), tanaman pangan (padi, jagung, singkong, dll.) dan tanaman
lain (kopi, coklat dan kelapa). Sedangkan penelitian di luar negeri
memperlihatkan pemakaian digestat pada padi, gandum, dan jagung dapat
meningkatkan produksi masing-masing sebesar 10%, 17%, dan 19%.
Dengan pemakaian digestat, produksi meningkat sebesar 21% pada
kembang kol, 19% pada tomat, dan 70% pada buncis.
Utami dkk.(2014) mengemukakan bahwa, digestat sangat
bermanfaat untuk produksi pertanian yang berkelanjutan, ramah
lingkungan dan bebas polusi. Digestat biogas kaya akan unsur hara
seperti nitrogen, fosfor, kalium dan bahan organik yang bermanfaat.
Pupuk dari digestat biogas mempunyai manfaat yang sama dengan pupuk
kandang yaitu untuk memperbaiki struktur tanah dan memberikan unsur
hara yang diperlukan tanaman. Digestat ini merupakan bahan organik
yang telah mengalami proses fermentasi, sehingga kualitasnya tentu
memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan bahan dasarnya
yang belum mengalami proses fermentasi. Perlakuan fermentasi dapat
meningkatkan kualitas bahan organik, terutama pada rasio C/N dan
kandungan haranya.
Petani di Malang Jawa Timur telah mengaplikasikan digestat pada
tanaman kacang panjang, wortel, dan jagung. Petani ini merasa puas
dengan hasil tanaman yang diperoleh, dengan mengaplikasikan digestat
pada lahan pertaniannya. Dilaporkan tanaman kacang panjang yang diberi
perlakuan digestat menunjukan penampakan yang lebih segar, sehat, dan
hijau.
Sapi, kambing, dan kelinci diamati di lahan yang baru aplikasi
digestat, ternyata tetap
makan rumput pada lahan itu. Hal ini
menunjukkan bahwa aplikasi digestat tersebut tidak menimbulkan
kerugian palatabilitas (derajat kesukaan pada makanan tertentu)
dibandingkan dengan penerapan substrat mentah (Seadi dkk., 2008).
4.3.2. Keuntungan lain Pemanfaatan Digestat sebagai Pupuk
Organik
1) Perbaikan pupuk organik
Monnet (2003) mengemukakan bahwa dengan mengetahui
kelebihan dari digestat sebagai pupuk organik, perlu diketahui pula
bahwa kualitas digestat harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah di
tentukan. Kualitas digestat bisa melalui a tiga kriteria, yaitu: kimia,
biologi dan aspek fisik.
Aspek kimia manajemen kualitas digestat terkait dengan
keberadaan: (i) logam berat dan kontaminan anorganik lainnya; (ii)
kontaminan organik yang persisten; dan (iii) nutrisi (NPK).
Limbah pertanian dapat mengandung kontaminan organik yang
persisten seperti residu pestisida atau anitibiotik. Sampah organik
industri, lumpur endapan dan limbah rumah tangga dapat mengandung
hidrokarbon aromatik, alifatik dan terhalogenasi, dll. Menurut asalnya,
sampah organik dapat mengandung hal-hal yang berbahaya, yang dapat
menghasilkan jalur baru transmisi patogen dan penyakit antara hewan,
manusia dan lingkungan. Oleh karena itu pengendalian kualitas biornassa
penting dalam hubungan dengan pengolahan biologis. Masalah utama
terkait dengan: patogen, biji gulma, dan spora. Adanya kotoran dalam
digestat dapat menyebabkan persepsi publik yang negatif terhadap
teknologi AD, penurunan estetika lingkungan, peningkatan biaya
operasional. Kotoran fisik yang paling sering adalah: plastik, karet,
logam, kaca, keramik, pasir/batu, dan bahan selulosa (Monnet, 2003)
Kebanyakan unsur hara yang terikat dalam senyawa organik,
khususnya nitrogen, melaui proses demineralisasi dalam DA menjadi
tersedia bagi tanaman. Karena ada peningkatan ketersediaan nitrogen,
maka digestat dapat diintegrasikan dalam pemupukan dalam suatu usaha
tani, karena itu memungkinkan untuk menghitung pengaruhnya seperti
pupuk mineral.
Digestat memiliki rasio C/N lebih rendah dibandingkan dengan
pupuk kandang mentah. Rasio C/N yang lebih rendah ini berarti bahwa
digestat memiliki efek pemupukan N jangka pendek yang lebih baik.
Ketika nilai rasio C/N yang terlalu tinggi, mikroorganisme akan terus
mengambil dari dalam tanah, karena mereka berhasil bersaing dengan
akar tanaman untuk nitrogen yang tersedia (Seadi dkk., 2008).
Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan
organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara yang
tersedia bagi tanaman. Dalam Permentan Nomor 2 Tahun 2006 tentang
Pupuk Organik dan Pembenah Tanah disebutkan bahwa, pupuk organik
adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan
organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui
proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan
mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih
ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada
kadar haranya; nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan
pupuk anorganik (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006)
Digestat dapat dikelompokkan ke dalam pupuk organik karena
diperoleh dari proses DA terhadap material hidup. Sedangkan untuk
produknya bisa berupa pupuk organik padat atau pupuk organik cair.
Sebagai suatu pupuk organik tentunya digestat ini memiliki keuntungan
dengan kandungan haranya yang cukup tinggi, yaitu kondisi kering:
bahan organik (68,59%), C-org (17,87%), N-tot (1,47%), C/N (9,09%),
P2O5 (0,52%), K2O (0,38%). Kandungan lainnya: asam amino, asam
lemak, asam organik, asam humat, vitamin B12, hormon auksin,
sitokinin, antibiotik, nutrisi mikro (Fe, Cu, Zn, Mn, Mo) (Tim Biru,
2010).
Selain itu, keunggulan proses DA terhadap kualitas digestat adalah
terjadinya penurunan bau, bebas penyakit, bebas biji gulma, aman
terhadap gejala terbakar pada tanaman, dan rasio C/N menjadi lebih baik.
2) Mereduksi bau
Salah satu perubahan positif terlihat melalui peoses DA adalah
penurunan signifikan bahan bau-bauan yang berasal dari asam volatil,
fenol dan derivat fenol. Pengalaman menunjukkan bahwa hingga 80%
dari bau dalam substrat bahan baku dapat dikurangi dengan DA. Hal ini
tidak hanya pengurangan intensitas dan persistensi bau, tetapi juga
perubahan positif dalam komposisi bau, karena digestat tidak lagi
memiliki bau kotoran yang tidak sedap, tapi berubah menjadi bau seperti
amonia. Bahkan jika disimpan untuk waktu yang cukup lama, digestat
tidak menunjukkan peningkatan emisi bau. Gambar 4.9. menunjukkan
bahwa 12 jam setelah aplikasi digestat bau hampir hilang (Seadi dkk.,
2008).
Gambar 4.9. Diagram luas yang terkena dampak dan persistensi bau setelah
aplikasi digestat dibanding kohe mentah (Jorgensen, 2009)
3) Sanitasi terhadap sumber penyakit
Seadi dkk. (2008) menyebutkan bahwa, proses DA mampu
menonaktifkan virus, bakteri dan parasit dalam substrat bahan baku yang
diproses, efek yang biasanya disebut sanitasi. Efisiensi sanitasi DA ini
tergantung pada waktu retensi aktual bahan baku di dalam digester, suhu
proses, teknik pengadukan dan tipe digester. Sanitasi terbaik diperoleh
pada suhu termofilik (50-55 °C) misal pada unit reaktor aliran horizontal
dengan waktu retensi yang tepat. Dalam digester jenis ini tidak ada
pencampuran digestat dengan bahan baku baru, sehingga mencapai 99%
patogen dapat dihancurkan.
Memastikan daur-ulang digestat yang aman sebagai pupuk,
membutuhkan langkah-langkah sanitasi tertentu dalam hal jenis bahan
baku yang berasal dari hewan. Tergantung pada jenis bahan baku prasanitasi dengan pasteurisasi atau dengan sterilisasi tekanan diperlukan
sebelum memasok substrat itu ke digester.
4) Pengendalian biji gulma
Terjadi penurunan yang signifikan kemampuan perkecambahan biji
gulma selama proses DA. Dengan cara ini, produksi biogas berkontribusi
terhadap pengurangan gulma secara ekologis. Pengalaman menunjukkan
bahwa, hilangnya daya perkecambahan sebagian besar biji gulma dapat
terjadi dalam waktu retensi 10 hingga 16 hari, dengan berbagai
tergsntung jenis gulma. Sama seperti dalam kasus sanitasi, efek
pengendalian biji gulma ini meningkat dengan peningkatan waktu retensi
dan suhu.
5) Pencegahan gejala terbakar pada tanaman
Pemberian kohe mentah sebagai pupuk dapat menyebabkan gejala
terbakar daun tanaman, yang merupakan pengaruh dari asam lemak
densitas rendah, seperti asam asetat. Namun pemupukan dengan digestat,
gejala ini dapat dihindari, karena sebagian besar asam lemak telah
dipecah oleh proses DA. Digestat lebih mudah mengalir pada bagian
tanaman sayuran dibandingkan dengan kohe mentah, yang mengurangi
waktu kontak langsung antara digestat dan bagian aerial tanaman,
sehingga mengurangi risiko kerusakan daun (Seadi dkk., 2008).
4.3.3. Perkembangan Pengolahan dan Aplikasi Digestat
1) Pengkondisian dan Penyimpanan Digestat
Digestat memiliki kandungan air yang tinggi dan akibatnya volume
tinggi. Pengelolaan digestat bertujuan untuk mengurangi volume dan hara
menjadi terkonsentrasi. Hal ini sangat penting jika digestat harus
diangkut jauh dari daerah yang kelebihan nutrisi dari kotoran hewan
tetapi tidak cukup lahan yang tersedia untuk aplikasinya. Nutrisi lebih
harus diangkut ke daerah lain dengan cara yang ekonomis dan efisien.
Pengelolaan digestat bertujuan untuk mengurangi volume dan dengan ini
biaya transportasi nutrisi serta mengurangi emisi polutan dan bau (Seadi
dkk., 2008).
Yayasan Rumah Energi (2013) menyatakan bila tidak dikelola
dengan benar, kandungan nutrisi dalam digestat bisa hilang akibat
penguapan, pelindian, atau larut dalam air limpahan air hujan. Berikut
cara-cara pengelolaan digestat:
2) Pengumpulan digestat
Tempat terbaik untuk menyimpan atau menampung digestat adalah
lubang/bak penampung (slurry pit). Berikut beberapa model lubang
penampung yang disesuaikan dengan jenis pemanfaatannya, yaitu:
a. Model standar dua lubang sejajar dengan dinding dan alas
tanahJika menggunakan model lubang ini, digestat menjadi
sedikit padat namun tetap basah. Hal ini karena air dalam digestat
meresap ke dalam dinding dan alas tanah. Lubang ini juga dapat
digunakan untuk membuat kompos.
b. Model standar dua lubang sejajar dengan dinding dan alas semen.
Jika menggunakan model lubang ini, digestat yang didapat masih
banyak mengandung cairan karena air tidak meresap. Lubang ini
juga bisa digunakan untuk membuat kompos.
c. Model standar dengan dua lubang berbeda ketinggian dan
terdapat penyaring cairan dengan dinding dan alas semen . Jika
menggunakan model lubang ini, cairan digestat dialirkan dari
lubang pertama (yang lebih tinggi) ke lubang di bawahnya
sehingga bahan padat dan cair terpisah. Dengan model ini, Anda
bisa mendapatkan dua jenis digestat (padat dan cair) dengan
metode penyaringan yang sederhana. Meski demikian, lubang
penampung digestat ini tidak dapat digunakan untuk pembuatan
kompos.
Gambar 4.10. Bak pemisah digestat (Sumber: Yayasan Rumah Energi, 2013)
3) Pemberian naungan bak penampung
Buatlah naungan di atas lubang penampung agar digestat terhindar
dari sinar matahari langsung dan mencegah penguapan nitrogen secara
berlebihan. Untuk tiang naungan, gunakan bahan yang umum dan mudah
diperoleh dan digunakan seperti bambu atau kayu. Pasang atap naungan
sederhana yang terbuat dari bahan terpal yang tidak tembus sinar seperti
seng, asbes atau genteng dan padukan dengan tanaman merambat seperti
labu siam, timun, paria, dan lain-lain atau anyaman daun kelapa. Untuk
memperoleh digestat kering yang berkualitas, maka pengeringan digestat
basah secara alami (diangin-anginkan atau kering udara) selama 30
hingga 40 hari. Digestat padat akan lebih cepat kering bila setiap
dilakukan seminggu 1 atau 2 kali pembalikan secara merata.
4) Penyimpanan digestat
Bila tidak digunakan langsung di lahan, simpanlah digestat cair
atau padat di tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung.
Digestat cair dapat disimpan di dalam ember, drum plastik tertutup atau
bak yang ada atapnya sedangkan digestat padat yang kering dapat
disimpan di dalam karung plastik atau goni lalu ditempatkan di dalam
tempat yang terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung.
Luostarinen dkk.(2011) mengatakan bahwa, digestat harus
disimpan dalam tangki penyimpanan tertutup untuk meminimalkan
penguapan amonia. Semakin tinggi suhu dalam penyimpanan, semakin
tinggi adalah risiko kehilangan nitrogen. Hal ini bukan semata-mata
karena nilai pupuk nitrogen, tetapi juga efek buruk amonia terhadap
lingkungan
Hasil studi Finlandia menunjukkan bahwa penguapan amonia dan
efek pengasaman yang dihasilkan terhadap lingkungan adalah ancaman
pupuk kandang yang paling bahaya. Sehubungan dengan penggunaan
biogas, risiko itu bahkan lebih menonjol dibandingkan dengan pupuk
kandang mentah karena pH rendah dan kandungan amonium lebih tinggi.
Emisi amonia dari digestat sebagian besar berasal dari aplikasi di
lapangan (96%), sedangkan pupuk kandang mentah emisi amonia lebih
banyak di tempat penyimpanan. Selain itu, penyimpanan digestat dalam
tangki penyimpanan menurunkan emisi sebesar 65% dibandingkan
dengan penyimpanan terbuka.
5) Pengelolaan Kualitas Digestat
a. Analisis kimia. Aplikasi digestat sebagai pupuk pertanian harus
dilakukan dalam rencana pemupukan terpadu. Dosis yang tepat
didapat setelah digestat dianalisis kimia. Sampel digestat
ditentukan kandungan N, P dan K, bobot kering, bahan
teruapkan dan nilai pH-nya. Jika instalasi biogas terkontaminasi
dengan logam berat dan senyawa organik yang persisten harus
ditentukan, agar konsentrasinya tidak boleh melebihi batas yang
ditentukan. Apilkasi yang aman sebagai pupuk membutuhkan
sanitasi digestat, bebas dari bibit penyakit menular dan kotoran
fisik.
b. Pengelolaan hara. Salah satu aspek penting daur ulang digestat
ialah untuk pemberian hara pada lahan pertanian. Pencucian
nitrat atau overloading fosfor dapat terjadi karena tidak tepat
penanganan, penyimpanan dan aplikasi digestat sebagai pupuk.
Di Eropa ada pembatasan masukan nitrogen ke dalam tanah
pertanian, yang bertujuan untuk melindungi tanah dan air
permukaan dari polusi nitrat dan yang diperbolehkan maksimum
170 kg N/ha/tahun (Seadi dkk., 2008).
Aplikasi digestat sebagai pupuk harus dilakukan berdasarkan
rencana pemupukan. Rencana pemupukan dijabarkan untuk
setiap lahan pertanian, sesuai dengan jenis tanaman, perkiraan
hasil panen, persentase pemanfaatan hara dalam digestat, jenis
tanah (tekstur, struktur, kualitas, pH), cadangan unsur hara makro
dan mikro dalam tanah, tanaman sebelumnya, kondisi irigasi, dan
geografis wilayah.
c. Pengendalian kualitas.
Lebih lanjut Seadi dkk. (2008)
menyatakan bahwa penggunaan digestat yang aman harus
dipertimbangkan beberapa hal di bawah ini :
 Pengendalian terhadap stabilitas proses DA (suhu, waktu
retensi) untuk mendapatkan produk akhir digestat yang stabil
 Sanitasi digestat agar efektif mengurangi patogen.
 Pengambilan dan analisis sampel digestat secara berkala
 Pemakaian digestat yang terintegrasi dalam rencana
pemupukan lahan pertanian
 Pemilihan jenis dan jumlah bahan baku yang teliti yang
diberi keterangan dan deskripsi lengkap tentang: asal,
komposisi, pH, bobot kering, kadar logam berat dan
senyawa organik yang persisten, kontaminasi patogen dan
potensi bahaya lainnya.
4.4. Aplikasi Digester Biogas sebagai Pembangkit Energi
4.4.1. Penyiapan Adukan Substrat
Pembuatan substrat pertama kali dilakukan dengan memilih
kotoran sapi yang relatif segar yang ditandai warna hijau kecoklatan dan
tercium bau khas kotoran ternak (Rahmat 2008). Hal ini untuk menjamin
keberadaan bakteri metanogen dalam substrat yang dibuat sehingga
proses pembentukan biogas dalam digester berjalan optimal.
Gambar 4.11. Pencampuran kotoran hewan dan air untuk membentuk adukan
substrat biogasn(Rahmat, 2008).
Komposisi substart adalah kotoran dan air pada perbandingan
volume 1 : 1,5 lalu dilakukan pengadukan yang intensif dalam sebuah
drum berukuran 50 L sehingga diperoleh adukan yang homogen. Bila
ditemui bahan padat berupa kerikil, batu, atau plastik disingkirkan pada
saat pengadukan untuk mencegah terjadi sedimentasi di dasar digester.
4.4.2. Pengisian Adukan Substrat
Pemuatan substrat ialah proses pengisian digester dengan adukan
substrat. Pengisian substat pertama ini dihentikan pada saat adukan
substrat meluber dari saluran keluar. Level ini menandai batas maksimal
isi reaktor meskipun masih tersisa udara di bagian busur atas silinder
digester horizontal dan telah menjamin semua saluran telah tertutup
substrat dengan prinsip tersekat air (water sealed), sehingga menciptakan
kondisi kedap udara sebagai syarat berlangsungnya reaksi anaerob.
Setelah itu, kran pipa gas ditutup rapat sebagai awal dimulainya reaksi
degradasi biologis (digesti) bahan organik dalam digester.
4.4.3. Pengukuran Volume Biogas
Satu hari setelah pengisian pertama sudah terlihat terjadinya
pembentukan gas dalam digester ditandai dengan menetes keluar cairan
substrat dari saluran keluar akibat tekanan biogas yang terbentuk.
Sementara itu, kran saluran gas dibiarkan tertutup hingga tiga hari setelah
pengisian pertama untuk mengamati kemungkinan adanya kebocoran
cairan substrat dan gas dari badan digester. Selanjutnya dipasang selang
pengalir sepanjang lima meter pada output kran gas dan berlanjut hingga
ke katup pengaman yang ditempatkan di tempat terlindung dari hujan dan
panas matahari. Keluar dari katup pengaman, selang sepanjang tiga
meter terhubung ke kantung plastik tertutup yang nanti akan menjadi
balon penampung biogas. Kantung plastik ini dipasang menggantung
pada dinding gedung laboratorium dengan aisan tali rapia di tiga titik agar
aman dari benda tajam atau kerikil yang bisa membuat kebocoran.
Selang pengeluaran sepanjang tiga meter dipasang pada ujung balon dan
dipasang kran sebelum terangkai ke alat pembakar.
Empat hari setelah pengisian pertama, balon plastik telah terisi sekitar
setengah kapasitasnya. Isi balon itu dianggap sebagai campuran antara
biogas yang dihasilkan awal proses dan udara yang mengisi bagian atas
tabung digester yang tidak ditempati substrat pada pengisian pertama.
Campuran ini dikeluarkan dari balon dengan terlebih dahulu menutup
kran saluran gas di tabung digester, lalu balon diurut hingga kempis
untuk mengeluarkan campuran gas tersebut. Prosedur pembuangan
campuran ini perlu dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
ledakan. Setelah balon kempis, kran pengeluaran gas ditutup kembali
dan selanjutnya dimulai lagi pengisian balon oleh biogas dengan
membuka kran saluran gas di tabung digester. Balon yang telah terisi
penuh oleh biogas memiliki ukuran diameter 36 cm dan panjang 242 cm,
sehingga volume biogas yang ada di dalamnya adalah :
Vbiogas = π r2 p = 3,14 x (18 cm)2 x 242 cm = 246.201,12 cm3 = 246,2 L
= 0,246 m3. Balon ini dapat terisi penuh dalam waktu 4 hari.
Pengukuran produktivitas biogas dari digester ini ditentukan dengan
cara mengamati lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengisi kantung
plastik berkapasitas empat liter. Isi kantung ini terlebih dahulu
dikalibrasi dengan mengisi empat liter air. Pengamatan waktu pengisian
ini dilakukan 10 kali.
Tabel 4.6. Pengamatan waktu yang dibutuhkan untuk pengisian kantung
volume 4 liter (Rahmat, 2008).
No.
Pengamat
an
Volume
Biogas
(liter)
Waktu yang
Dibutuhkan
(jam:menit)
No.
Pengamat
an
Volume
Biogas
(liter)
Waktu yang
Dibutuhkan
(jam:menit)
1
4
01:38
6
4
01:19
2
4
01:39
7
4
01:18
3
4
01:27
8
4
01:18
4
4
01:23
9
4
01:17
5
4
01:16
10
4
01:14
Rata-rata waktu untuk mengisi 4 liter (jam:menit)
01:23
=1,38 jam
Tabel 4.6 memperlihatkan bahwa digester 400 L mampu
menghasilkan 4 L biogas dalam waktu 1 jam 23 menit (= 83 menit).
Dapat dikatakan pula bahwa digester itu memiliki kapasitas produksi
biogas 4 L/1,38 jam = 2,9 L/jam.
Berdasarkan kapasitas produksi itu, maka waktu yang dibutuhkan
untuk mengisi penuh balon penampungnya adalah :
T
246,2L
x 1 jam  84,9 jam  3,5 hari
2,9 L
Hal itu bila dibanding dengan pendapat Ertem (2011) yang
menyatakan bahwa, produktitas biogas per kg VS kohe sapi, kohe ayam,
dadih dan limbah makanan masing-masing adalah 200-300 L (dalam
waktu retensi 20-30 hari), 350-600 L (lebih dari 30 hari), 800-950 L (310 hari) dan 500-600 L(10-20 hari).
4.4.4. Uji Pendidihan Air
Pertama kali lampu Bunsen digunakan untuk melihat pembakaran
gas yang dihasilkan. Ternyata nyala api yang muncul berwarna biru
bersih dan tanpa asap bila komposisi biogas dan udara tepat. Bila nyala
api mengerucut dan terlihat seperti hendak padam, berarti pasokan gas
terlalu kecil. Sebaliknya, jika pada ujung lidah api muncul nyala warna
kuning-kemerahan berarti terlalu deras pasokan gas (Rahmat 2008).
Selanjutnya, pengujian pemanfaatan biogas yang mengisi kapasitas
balon itu dengan digunakan kompor elpiji dapur, namun tidak berhasil
dinyalakan. Hal ini disebabkan banyaknya aliran biogas yang dihasilkan
masih terlalu kecil dibanding volume udara sehingga belum mencapai
rasio minimal terjadinya proses pembakaran. Oleh karena itu, dibuat
kompor mini yang memiliki 12 lubang berdiameter 2,5 mm tempat
munculnya nyala api pada bidang bakar berdiameter 26 mm, yang bagian
tengah bidang ini memiliki silinder ventilasi udara diameter 13 mm. Pipa
tembaga 6 mm yang dipasangi kran sebagai saluran gas menuju kompor
ini (Gambar 4.12).
Gambar 4.12. Foto kompor biogas mini Unsil
Ternyata kompor ini mampu mendidihkan 1 L air dalam waktu 10
menit. Meskipun sementara ini belum dilakukan pengukuran secara
kuantitatif, volume biogas sekitar separuh isi balon penampung mampu
untuk memasak 4 bungkus mie instan dan untuk menggoreng 0,5 kg
kentang.
Komposisi biogas yang dihasilkan dari DA itu terbesar adalah gas
metana (CH4) sekitar 54-70% serta gas karbondioksida (CO2) sekitar 2745%. Gas metana merupakan komponen utama biogas yang dimanfaatkan
sebagai bahan bakar yang memiliki banyak manfaat. Biogas mempunyai
nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu sekitar 4.800 sampai 6.700 kkal/m³,
sedangkan gas metana murni mengandung energi 8.900 kkal/m³ (Goendi
dkk., 2008).
Komposisi dan sifat biogas bervariasi tergantung pada jenis bahan
baku, sistem digesti, suhu, waktu retensi, dll. Mengingat biogas dengan
standar kandungan metananya adalah 50%, nilai kalor adalah 21
MJ/Nm³, densitas dari 1,22 kg/Nm³ dan massa mirip udara (Seadi dkk.,
2008).
Hasil penelitian ini memberi jalan untuk dapat melakukan
peningkatan skala digester sesuai ketersediaan bahan organik limbah
(kotoran ternak, ampas pengolahan makanan dan pakan, dll.); serta
kuantitas kebutuhan bahan bakar masyarakat.
4.4.5. Perkembangan Aplikasi Biogas sebagai Sumber Energi
Menurut Persson dan Wellinger (2006) biogas merupakan bahan
bakar yang sangat baik untuk banyak aplikasi dan dapat digunakan
sebagai bahan baku untuk produksi bahan kimia. Biogas dapat digunakan
pada hampir semua aplikasi gas alam (elpiji), namun untuk beberapa
aplikasi biogas harus ditingkatkan (upgrade) kualitasnya. Pencampuran
biogas ke dalam jaringan gas alam akan menghasilkan peningkatan
stabilitas pasokan gas. Manfaat gas sebagai bahan bakar telah
mengakibatkan gas alam menyumbang 25% dari total konsumsi energi di
negara-negara Uni Eropa.
Ada empat cara dasar biogas dapat dimanfaatkan, yaitu:
1) Produksi panas dan uap
2) Produksi listrik / kogenerasi
3) Bahan bakar kendaraan
4) Produksi bahan kimia
Tujuan utama pemanfaatan biogas adalah untuk kompensasi
energi, yaitu biogas untuk listrik dan bahan bakar. Swedia menjadi
pelopor pemasaran biogas sebagai bahan bakar kendaraan, yaitu laju
pertumbuhan yang pesat sebesar 25% antara tahun 2004 dan 2005.
Perkembangan ini didorong oleh beberapa faktor, seperti: bebas atau
reduksi pajak, program investasi pemerintah, dan parkir gratis di
beberapa kota.
Penggunaan biogas yang paling umum dari digester skala kecil di
negara-negara berkembang adalah untuk memasak dan pencahayaan.
Pembakar dan lampu yang memakai gas alam dapat disesuaikan mudah
untuk biogas dengan mengubah rasio udara terhadap gas.
Pembakaran biogas pada ketel adalah teknologi sudah mapan dan
dapat diandalkan, tuntutan rendah terhadap kualitas biogas untuk aplikasi
ini, biasanya tekanan harus sekitar 8 sampai 25 mbar. Selanjutnya itu
lebih dianjurkan untuk mengurangi konsentrasi hidrogen sulfida di bawah
1.000 ppm, dan menjaga titik pengembunan sekitar 150 °C.
Gambar 4.12. Biogas dapat digunakan dalam semua peralatan gas alam dengan
dilakukan peningkatan kualitas (Persson dan Wallinger, 2006)
4.4.5.1. Pembangkit Listrik atau CHP (combined heat and power)
Biogas adalah bahan bakar yang ideal untuk pembangkit tenaga
listrik atau CHP. Sejumlah teknologi yang tersedia dan diterapkan seperti
diuraikan berikut.
1) Pembakaran internal
Teknologi yang paling umum untuk pembangkit listrik ialah
pembakaran internal. Mesin tersedia dalam ukuran dari beberapa kilowatt
hingga beberapa megawatt. Mesin gas baik mesin SI (spark ignition)
atau mesin dual fuel.
Mesin diesel injeksi berbahan bakar ganda atau minyak nabati
yang sangat populer karena memiliki efisiensi listrik yang baik. Di sisi
lain mesin itu memiliki emisi yang lebih tinggi, kecuali jika
menggunakan katalis SNCR.
Mesin SI dilengkapi dengan sistem pengapian normal dan suatu
sistem pencampuran udara dan gas yang menyiapkan campuran yang
mudah terbakar. Mesin SI dapat menjadi mesin stoikhometrik atau
pembakaran kurus. Mesin stoikhometrik itu beroperasi tanpa kelebihan
udara dan dengan demikian dapat juga menggunakan katalis yang umum
pada kendaraan tugas ringan. Mesin pembakaran kurus lebih sering
terjadi pada ukuran yang lebih besar dan umumnya memiliki efisiensi
yang lebih tinggi.
2) Turbin gas
Turbin gas merupakan teknologi yang mapan pada ukuran di atas
800 kW. Pada beberapa tahun terakhir mesin skala kecil, yang disebut
turbin mikro pada kisaran 25 sampai 100 kW juga telah berhasil
diintroduksi dalam penggunaan biogas. Turbin mikro ini memiliki
efisiensi sebanding dengan mesin SI kecil dengan emisi rendah dan
memungkinkan pemulihan uap tekanan rendah yang menarik untuk
aplikasi industri dan biaya pemeliharaan sangat rendah.
Gambar 4.13. Skema struktur turbin mikro
4.4.5.2. Aplikasi pada sel bahan bakar
Sel bahan bakar memiliki potensi untuk menjadi pembangkit listrik
skala kecil masa depan. Teknologi sel bahan bakar telah berusia 160
tahun, yang hampir yang sama seperti mesin pembakaran dan mesin
Stirling. Namun belum tercapai penggunaan komersial secara luas. Sel
bahan bakar memiliki potensi untuk mencapai efisiensi tinggi (di atas
60%) dan rendah emisi. Aplikasi biogas difokuskan pada sel bahan bakar
yang beroperasi pada suhu di atas 800 °C, terutama karena CO2 tidak
menghambat proses elektrokimia, justru berfungsi sebagai pembawa
elektron. Dua jenis sel bahan bakar berada dalam tahap pengembangan
lanjut, yaitu : (i) sel bahan bakar oksida padat (solid oxide fuel cell
/SOFC) pada aplikasi kecil untuk beberapa kW; dan (ii) sel bahan bakar
karbonat cair (molten carbonate fuel cells /MCFC) yang beroperasi pada
sekitar 250 kW (Persson dan Wallinger, 2006).
Tabel 4.9. Biogas dapat digunakan untuk pembangkit tenaga listrik di
sejumlah teknologi yang berbeda.
Fitur
Efesiensi (%)
Mesin
bensin SI
24-29
Mesin Diesel
pengapian jet
30-38
Mesin
Diesel SI
35-42
Turbin
mikro
26-29
Pemeliharaan
Tinggi
Tinggi
Medium
Rendah
Biaya Investasi
Rendah
Medium
Medium
Tinggi
Daya (kW)
5-30
30-200
> 200
< 100
Masa pakai
Rendah
Medium
Tinggi
Tinggi
Sel bahan bakar adalah perangkat elektrokimia yang mengkonversi
langsung energi kimia dengan suatu reaksi menjadi energi listrik. Struktur
fisik dasar (building block) sebuah sel bahan bakar terdiri dari lapisan
elektrolit dalam kontak dengan anoda dan katoda berpori pada kedua sisi
(Gambar 4.14). Dalam suatu sel bahan bakar, bahan bakar gas (biogas)
diumpankan secara kontinyu ke kompartemen anoda (elektroda negatif)
dan oksidan (yaitu oksigen dari udara) diumpankan terus menerus ke
kompartemen katoda (elektroda positif). Suatu reaksi elektrokimia
berlangsung pada elektroda, menghasilkan arus listrik (Seadi dkk., 2008).
Gambar 4.14. Skema sederhana sebuah sel bahan bakar
Ada berbagai tipe sel bahan bakar yang cocok untuk biogas,
dinamai sesuai dengan jenis elektrolit yang digunakan (Seadi dkk.,
2008)., yaitu:
1) PEM (polymer electrolyte membrane- Fuel cell) ialah sel bahan
bakar yang bekerja pada suhu rendah yang dapat digunakan
untuk biogas. Karena suhu operasi 80 °C, panas dapat diberikan
langsung ke jaringan pemanas/penghangat air. Jenis elektrolit
yang digunakan mempengaruhi lama pelayanan PEM, yang
sangat sensitif terhadap kotoran dalam bahan bakar gas,
termasuk karbon dioksida, maka pembersihan gas sangat
penting.
2) PAFC (phosphoric acid fuel cell ) ialah sel bahan bakar yang
bekerja pada suhu menengah yang sering menggunakan gas
alam. Dibandingkan sel bahan bakar lainnya, efisiensi listriknya
lebih rendah, tetapi keunggulannya kurang sensitif terhadap
adanya karbon dioksida dan karbon monoksida dalam gas.
3) MCFC (molten carbonate fuel cell) adalah sel bahan bakar yang
bekerja pada suhu tinggi yang menggunakan aliran fluida karbon
sebagai elektrolit. MCFC sensitif terhadap karbon monoksida
dan toleran konsentrasi karbon dioksida hingga 40%. Karena
suhu operasi 600 -700 °C, terjadi konversi metana menjadi
hidrogen, yang berlangsung dalam sel. Hilang panas itu bisa
dimanfaatkan untuk turbin lebih hilir.
4) SOFC (solid oxide fuel cell) adalah sel bahan bakar jenis lain
yang bersuhu tinggi, beroperasi pada 750 – 1.000 °C. SOFC
memiliki efisiensi listrik yang tinggi dan reformasi metana ke
hidrogen dapat terjadi dalam sel. Penggunaan biogas cocok
karena sensitivitasnya terhadap belerang rendah.
4.4.5.3. Pencampuran biogas ke dalam jaringan gas alam
Biogas dapat diinjeksikan dan didistribusikan melalui jaringan gas
alam. Ada beberapa keuntungan pemakaian jaringan gas untuk distribusi
biogas. Salah satu keuntungan penting adalah bahwa jaringan yang
menghubungkan tempat produksi dengan daerah padat yang
memungkinkan memperoleh tambahan pelanggan baru. Selain itu,
mencampurkan biogas ke dalam jaringan gas alam akan meningkatkan
jaminan pasokan lokal. Ini adalah sebuah faktor penting karena sebagian
besar negara mengkonsumsi lebih banyak gas daripada yang dihasilkan.
4.4.5.4. Aplikasi sebagai bahan bakar kendaraan
Pengurangan penggunakan energi fosil, terutama minyak bumi
untuk bahan bakar kendaraan intensif diperhatikan, yaitu dengan cara
konversi bahan bakar menjadi kendaraan berbahan bakar gas atau listrik.
Alternatif lain ialah penggunaan biogas untuk menjadi bahan bakar dari
kendaraan. Jørgensen (2009) menyebut beberapa alasan biogas baik
untuk bahan bakar kendaraan :
 Pembakaran yang ramah lingkungan dan tidak akan menambah
jumlah karbon di udara, sehingga aman untuk atmosfer
 Lebih murah untuk biaya operasional
 Tidak mempengaruhi kinerja dan performa kendaraan itu sendiri
Biogas dapat ditingkatkan kualitasnya seperti gas alam dan dapat
digunakan pada kendaraan yang menggunakan gas alam (natural gas
vechicles/NGVs). Pada akhir Tahun 2005 ada lebih dari 5 juta NGVs di
dunia. Kendaraan umum pun didorong memakai gas seperti bus dan truk
sampah meningkat jauh sejak aturan Uni Eropa 25% mengharuskan
berupa mobil bersih (biogas, EtOH/bioetanol, biodiesel, dll). Hal ini
terkait dengan total 52.000 kendaraan, meliputi 17.000 bus dan 35.000
kendaraan tugas berat (Persson dan Wellinger (2006).
Sebagian besar mobil pribadi berbahan bakar gas dikonversi dari
bahan bakar dilengkapi retro di kompartemen bagasi di samping sistem
bahan bakar cair konvensional. Kendaraan berbahan bakar gas ini dapat
dioptimalkan untuk efisiensi yang lebih baik dan lebih nyaman, maka
penempatan tabung gas tanpa kehilangan ruang bagasi. Gas disimpan
pada tekanan 200 hingga 250 bar dalam tabung yang terbuat dari baja
atau bahan komposit aluminium.
Saat ini lebih dari 50 produsen di seluruh dunia menawarkan
berbagai 250 model kendaraan komuter, tugas ringan dan berat.
Kendaraan gas memiliki banyak keunggulan dibanding kendaraan
bermesin bensin atau diesel. Emisi karbon dioksida berkurang lebih dari
95%. Hal ini tergantung pada tenaga listrik untuk upgrade dan kompresi
gas, bahkan penurunan bisa mencapai setinggi 99%. Dua negara
pengguna bahan bakar biogas terkemuka, yaitu Swedia dan Swiss, listrik
hampir bebas dari CO2 karena diproduksi oleh air atau tenaga nuklir.
Emisi partikel dan karbon juga berkurang drastis, bahkan dibandingkan
dengan mesin diesel modern yang dilengkapi dengan filter partikel. Emisi
NOx dan hidrokarbon nonmetana (non methane hydrocarbon /NMHC)
juga berkurang drastis.
Kendaraan berat biasanya dikonversi untuk berjalan pada gas
metana saja, tetapi dalam beberapa kasus juga mesin bahan bakar ganda
(dual fuel/DF) telah digunakan. Mesin DF masih memiliki sistem injeksi
diesel asli dan gas yang dinyalakan oleh suntikan sejumlah kecil minyak
diesel. Mesin DF biasanya memerlukan sedikit pengembangan mesin dan
mempertahankan driveabilitas yang dengan sama kendaraan diesel.
Namun nilai emisi tidak sebaik kendaraan khusus gas yang sesuai dan
teknologi mesin tetap kompromi antara pengapian busi (SI) dan mesin
diesel.
Tabel 4.10. Emisi dan efisiensi mesin tugas berat modern yang dioperasikan
dengan solar atau gas atau suatu mode bahan bakar ganda (Persson
dan Wellinger, 2006)
Tipe Mesin
Parti
kel
---------------- g/kWh -----------------
Efisi
ensi
%
CO
HC
NMHC
NOx
ETC Euro III
5,45
1,50
0,70
5,00
0,16
39,7
ETC Euro IV
4,00
1,10
0,55
3,50
0,03
39,2
ETC Euro V
4,00
1,10
0,55
2,00
0,03
38,1
EEV Euro III
3,00
0,66
0,40
2,00
0,02
-
Euro II dgn Inj. Diesel
3,00
5,20
0,80
7,50
0,004
38,7
Gas =1 dg kat. 3 way
Gas kurus dg kat. oks.
2,30
0,04
0,03
0,40
0,01
0,02
0,40
1,70
0,004
0,004
32,5
30,0
Keterangan : CO = karbon monoksida, HC = hidrokarbon, NMHC = hidrokarbon
nonmetana
Selain hampir 100% pengurangan CO2, mesin gas murni dengan
catalytic converter menunjukkan angka emisi jauh lebih baik daripada
mesin diesel yang paling modern (Euro IV atau V) yang diuji sesuai
Siklus Transien Eropa (EuropeanTransient Cycle/ ETC) atau kendaraan
ramah lingkungan ditingkatkan (Enhanced Environmental friendly
Vehicle/EEV) standar pada EMPA Swiss.
Mesin gas stoikiometris dengan rasio udara-bahan bakar = 1 (λ =
1) menunjukkan pola emisi yang lebih baik daripada mesin kurus bahan
bakar. Namun, keduanya jauh lebih baik daripada mesin DF meskipun
pada efisiensi berkurang.
Ada saling ketergantungan antara CO dan NOx serta CO2 dan NOx.
Untuk mesin Euro IV dan EEV produsen harus memutuskan antara emisi
NOx rendah atau emisi partikel rendah. Teknologi Denox menggunakan
Selective Catalytic Reduction (SCR) menunjukkan keunggulan
dibandingkan teknologi perangkap partikel (EMPA).
Jumlah stasiun pengisian biogas dan gas alam masih cukup di
Eropa dan tempat lain di dunia. Jumlah stasiun pengisian telah melipat
selama beberapa tahun terakhir. Pada akhir tahun 2005 ada 1.600 stasiun
pompa di Eropa. Pada akhir 2006 Jerman harus memiliki 1.000 stasiun
beroperasi, Swiss 100 dan Austria lebih dari 50 (Persson dan Wellinger,
2006).
V
KESIMPULAN
Aplikasi digester biogas mampu mereduksi total padatan limbah
pemukiman menjadi 16,8% dan dihasilkan biogas sebanyak 5,5 m3 dari
setiap m3 limbah yang diolah sebagai substrat dalam waktu 20 hari.
Limbah pemukiman ternyata didominasi oleh limbah makanan (50,19%),
maka penanganan sampah dengan pendekatan kumpul-angkut-buang
yang selama ini diandalkan, tidak efektif mereduksi masalah pencemaran
lingkungan yang ditimbulkan oleh limbah makanan, karena limbah ini
hanya tergantung kepada proses dekomposisi di tempat penampungan
dan pembuangan.
Penggunaan digester biogas pada pengolahan limbah cair tahu
secara mandiri tidak menghasilkan biogas karena limbah ini belum
memenuhi syarat sebagai substrat digesti anaerob. Namun limbah cair
tahu setelah diberi perlakuan penambahan bahan organik lain, ternyata
berpengaruh terhadap produksi biogas. Perlakuan penambahan kohe
domba, jerami padi, serasah bambu dan limbah kobis masing-masing
menghasilkan biogas total 2,84 m3, 0,18 m3, 0,48 m3 dan 1,45 m3 untuk
setiap m3 adukan substrat selama 20 hari waktu retensi.
Aplikasi digestat sebagai pupuk organik cair bagi tanaman
pertanian belum memberikan pengaruh yang stabil terhadap pertumbuhan
dan hasil tanaman. Aplikasi digestat sebagai pupuk organik cair pada
pertanaman kedelai, ternyata hanya berpengaruh terhadap hasil bobot 100
biji. Sedangkan terhadap jumlah polong per rumpun dan bobot polong
per rumpun tidak memberikan peningkatan. Hal ini diakibatkan masih
rendahnya konsentrasi unsur hara dalam digestat, sehingga belum
mencapai batas minimal kebutuhan hara tanaman. Sebagaimana hasil
analisis kimia terhadap digestat tersebut memiliki kandungan air, Corganik dan N-total, masing-masing adalah 99,49%, 0,16%, 0,079% dan
rasio C/N 2,14. Oleh karena itu diperlukan perlakuan peningkatan
konsentrasi digestat, namun perlakuan ini agar dikerjakan secara hati-hati
agar tidak menyebabkan kehilangan hara penting yang terkandung di
dalamnya.
Digester biogas 400 L tipe horizontal yang telah dibangun mampu
menghasilkan biogas sebanyak 2,9 L per jam. Laju gas ini cocok untuk
kompor mini yang dibuat memiliki 12 lubang gas berdiameter 2 mm
tempat munculnya nyala api mengelilingi bidang bakar bundar
berdiameter 26 mm. Digunakan pipa tembaga diameter 6 mm sebagai
saluran gas menuju kompor ini. Ternyata kompor ini mampu
mendidihkan 1 L air dalam waktu 10 menit. Hasil penelitian ini perlu
tindak lanjut pengkatan skala dengan memperhatikan hasil penelitian
terkini.
Perkembangan biogas sebagai bahan bakar, meliputi untuk : turbin
gas, sel bahan bakar, pencampur elpiji dan bahan bakar kendaraan. Selain
itu sebagai bahan baku untuk menghasilkan bahan kimia. Namun untuk
beberapa aplikasi, biogas harus ditingkatkan kualitasnya, meliputi :
penyingkiran air, H2S dan CO2.
Digester biogas sebagai perangkat utama dalam teknologi biogas
adalah salah satu sarana alternatif menuju produksi bersih, yang berfokus
pada usaha pengurangan limbah sejak awal di semua level kegiatan,
meliputi: rumah tangga, restoran, peternakan, asrama, rumah sakit,
industri kecil hingga industri makanan skala besar dapat mengambil
bagian dalam penerapan teknologi biogas sejak terbentuknya limbah.
Limbah merupakan salah satu indikator inefisiensi, maka keberhasilan
upaya ini adalah penghematan biaya produksi secara signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
Culhane, T. H., 2012, Biogas Digester. Tamera - Peace Research Center,
Monte Cerro. Tersedia di www.tamera.org. Diakses 08 Desember
2012.
Dirjen Indrustri Kecil dan Menengah, 2007. Produksi Bersih (Cleaner
Production). Tersediadi www.kemenperin.go.id/.../PengelolaanLimbah-Industri-Pangan. Diakses 12 April 2014.
Ertem, F.C., 2011. Improving Biogas Production by Anaerobic Digestion
of Different Substrates. Master Thesis in Appl. Environ. Sci.
Hamstad University.
Fischer,T. and Krieg,A., 2012, Planning and Construction of Biogas
Plants. Krieg & Fischer Ingenieure GmbH. Tersedia di
www.KriegFischer.de . Diakses 21 November 2012.
Ghimire, P.C., 2005. Technical Study of Biogas Plants Installed in
Bangladesh. National Program on Domestic Biogas in Bangladesh.
Goendi, S.; Tri Purwadi, Andri Prima Nugroho, 2008. Kajian Model
Digester LCT untuk Produksi Biogas Berdasarkan Waktu
Penguraian. Tersedia di http://repository.ipb.ac.id/ Diakses 02
Juni 2012.
Hermawan, B., 2007, Sampah Organik sebagai Bahan Baku Biogas.
Tersedia di http://www.chem-istry.org/artikel_kimia/kimia_lingkungan . Diakses 14 Juni 2013.
Jørgensen, P.J., 2009. Biogas – green energy (Process, Design, Energy
supply, Environment. 2nd Edition , Faculty of Agricultural
Sciences, Aarhus University, Denmark.
Kaswinarni, F., 2007, Kajian Teknis Pengolahan Limbah Padat dan Cair
Industri Tahu . Tesis Sarjana S-2 pada Program Studi Ilmu
Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro.
Tersedia di http://eprints.undip.ac.id Diakses 06 Januari 2013.
Luostarinen, S., Normak, A., and Edström, M., 2011. Overview of Biogas
Technology. Knowledge Report. Baltic Forum for Innovative
Technologies for Sustainable Manure Management.
Mears, E.T., and Anderson, R.H., 2011. Biogas Plant Construction
Manual Fixed-dome Digester: 4 to 20 Cubic Meters. Biogas Plant
Construction Manual: 1-24. US Forces – Afghanistan, Joint
Engineer Directorate.
Monnet, F., 2003. An Introduction to Anerobic Digestion of Organic
Wastes. Final Report, Remade Scotland.
Montgomery, L.F.R., and Bochmann, G., 2014, Pretreatment of
Feedstock for Enhanced Biogas Production. IEA Bioenergy.
Nation Master, 2000, Waste Generated per Person per Year. Tersedia di
http://www.nationmaster.com/countryinfo/stats/Environment/Waste-generation. Diakses 03 September
2014
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pupuk
Organik dan Pembenah Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012. Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Persson, M. and Wellinger, A., 2006. Biogas Upgrading and Utilisation.
IEA Bioenergy.
Rahmat, B., 2008, Rancang-bangun Reaktor Biogas 400L. Jurnal
Wawasan Tridharma, 21 (4): 49-54.
Rahmat, B., Tedi Hartoyo, and Yaya Sunarya, 2013, Pemanfaatan
Limbah Cair Tahu untuk Pupuk Organik dan Substrat Biogas.
Buku Ajar Luaran Penelitian Hibah Bersaing Ditlitabmas Dikti.
Rahmat, B., Tedi Hartoyo, and Yaya Sunarya, 2014a, Biogas Production
from Tofu Liquid Waste on Treated Agricultural Wastes.
American Journal of Agricultural and Biological Science 9(2):
226-231. Tersedia di http://thescipub.com/PDF/ajabssp.2014.226.
231.pdf. Diakses 02 April 2014.
Rahmat, B., Rudi Priyadi, and Purwati Kuswarini, 2014b, Effectiveness
of Anaerobic Digestion on Reducing Municipal Waste.
International Journal of Science and Technology Research,
3(3):98-101. Tersedia di http://www.ijstr.org/final-print/.pdf.
Diakses 02 April 2014.
Rahmat, B., Tini S., Sunarya,Y., dan Kurniati, F., 2014c, Pemanfaatan
Limbah Cair Tahu untuk Pupuk Organik pada Tanaman Kedelai.
Buku Ajar Luaran Penelitian Hibah Bersaing Ditlitabmas Dikti.
Sadzali, I., 2010. Potensi Limbah Tahu sebagai Biogas. Jurnal UI untuk
Bangsa Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi, 1(1):63-69. Tersedia
di http://uiuntukbangsa.files.wordpress.com/2011/06/ . Diakses 23
Februari 2012.
Said, N.I. dan Wahyono, H.D., 1999, Teknologi Pengolahan Air Limbah
Tahu- Tempe dengan Proses Biofilter Anaeraob dan Aerob. Publ.
Kel. Tek. Pengolahan Air Bersih dan Limbah Cair, Dit. Tek.
Lingkungan, BPPT, Tersedia di
http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel. Diakses 23 Februari
2012.
Saidi, M., and Mahmoud, M., 2010, Design and Building of Biogas
Digester for Organic Materials Gained From Solid Waste, Thesis
for the Degree of Master of Fac. of Graduate Studies, An-Najah
National University. Tersedia di
http://scholar.najah.edu/sites/default/files/all-thesis/. Diakses 08
Desember 2012.
Seadi,T.A., Rutz, D., Prassl, H., Köttner, M., Finsterwalder, T., Volk,
S., Janssen, R., 2008, Biogas Handbook. University of Southern
Denmark Esbjerg, Niels Bohrs Vej 9-10, DK-6700 Esbjerg,
Denmark. Tersedia di http://lemvigbiogas.com/. Diakses 16 Juli
2014.
Steffen, R., Szolar, O. and Braun, R. 1998. Feedstocks for Anaerobic
Digestion. Institute for Agrobiotechnology Tulln, University of
Agricultural Sciences Vienna.
Stucki, M., Jungbluth, N., and Leuenberger, M., 2011. Life Cycle
Assessment of Biogas Production from Different Substrates.
Eidgenössisches Depart.für Umwelt, Verkehr, Energie und
Kommunikation UVEK. Schlussbericht, Suisse.
Sukmaji, B., 2010, Mewaspadai Sampah di Tengah Lingkungan Kita.
Tersedia di http://lkpk.org. Diakses 20 Agstus 2014.
Suntoro, 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan
Upaya
Pengelolaannya. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Subekti, H., dan Kusnadi, 2014, Cara Mudah Mengolah Sampah Rumah
Tangga. Tersedia di http://bapelkescikarang.or.id. Diaksed 02
September 2014.
Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian. Bogor. http://balittanah.litbang.deptan.go.id.
Taty Alfiah, 2009, Zat Padat/ Solids. Mata Kuliah Lab Lingkungan,
Teknik Lingkungan ITATS. Tersedia di
http://www.scribd.com/doc/40720269. Diakses 17 Desember 2012.
Tim Biru, 2010. Model Instalasi Biogas Indonesia, Panduan Konstruksi.
Tersedia di : http://www.biru.or.id/ Diakses 04 Juli 2014.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Utami, S.W., 2014. Pengaruh Limbah Biogas Sapi Terhadap
Ketersediaan Hara Makro-Mikro Incepticol. J. Tanah dan Air, Vol.
11, No. 1 2014: 12-21 ISSN 1411-5719
Widodo, T.W., Asari, A., Ana N., dan Elita R., 2009. Design and
Development of Biogas Reactor for Farmer Group Scale .
Indonesian Journal of Agriculture, 2(2): 121-128. Tersedia di
http://www.build-a-biogas-plant.com/pdf . Diakses 08 Desember
2012
Wikipedia, 2014 a, Pupuk organik. Tersedia di http://id.wikipedia.org/.
Diakses 08 Oktober 2014.
Wikipedia, 2014 b , Sampah. Tersedia di http://id.wikipedia.org/.
Diakses 08 Oktober 2014.
Yayasan Rumah Energi, 2013. Biogas Rumah Bio Slurry. Tersedia di:
http://www.biru.or.id/index.php/bio-slurry/. Diakses 08 Oktober
2014.
GLOSARI
Aerob: proses perombakan bahan organik oleh miroba dalam kondisi ada
oksigen
Air dadih : (whey) limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan
tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu.
Ambient: sesuai kondisi lingkungan sekitar
Anaerob: proses perombakan bahan organik oleh miroba dalam kondisi
tanpa oksigen.
Anoksik: ialah zona bebas oksigen dalam suatu habitat
Asidogenesis: adalah pembentukan asam dari senyawa sederhana, yang
umumnya berupa asam asetat dan asam format
Bakteri selulolitik: bakteri yang berperan mencerna selulosa menjadi
gula.
Beban organik: angka yang menunjukkan banyaknya bahan organik
kering yang dapat dimuat ke dalam suatu digester biogas, per
volume, dan satuan waktu
Biodegradable : ialah zat yang dapat dirombak menjadi senyawa lebih
sederhana oleh proses biologis
Biodiesel: ialah senyawa metil-ester dari proses esterifikasi minyak
nabati sebagai substitusi atau campuran petrodiesel (solar)
Biogas: ialah campuran gas (metana dan gas-gas lainnya) yang
dihasilkan dari digesti biomassa oleh aktivitas mikroba anaerob.
Gas ini mudah terbakar.
Biomassa: ialah zat organik alami berasal dari mahluk hidup
BK: (berat kering) ialah bobot kering suatu bahan setelah dipanaskan
pada suhu 80 oC selama 2 kali 24 jam.
BOD: (biological oxygen demand) yaitu kebutuhan oksigen biologis
untuk memecah bahan buangan di dalam air oleh mikroorganisme.
BTTP: (block type thermal power plants) perangkat pembangkit termal
tipe blok dengan motor bakar yang dihubungkan ke generator.
CHP (combined heat and power generation): yaitu pada suatu instalasi
tergabung pembangkit panas dan daya sekaligus
COD (chemical oxygen demand): yaitu kebutuhan oksigen kimia untuk
reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air.
Countersink: bagian atas dari lubang yang dibentuk untuk menempatkan
kepala sekrup
Crushing : perajangan bahan baku mempersiapkan permukaan partikel
untuk dekomposisi biologis dan berikutnya produksi metana
DA:
digesti anaerob yaitu proses penguraian biomassa dalam suatu
digeter biogas oleh aktivitas mikroba anaerob, yang akan
dihasilkan biogas, digestat, dan kompos.
DEC (dedicated energy crops): tanaman yang khusus dibudidayakan
untuk penyediaan bahan baku (feedstock) substrat digester biogas
Dekanter: alat pemisah berdasarkan perbedaan berat jenis dengan
menggunakan prinsip sentrifugal. Cairan atau suspensi dimasukkan
dari bagian porosnya, lalu dekanter diputar dengan kecepatan
tertentu.
Dekomposisi : proses penguraian senyawa organik menjadi senyawasenyawa yang lebih sederhana.
Demineralisasi: adalah sebuah proses penyerapan kandungan ion-ion
mineral di dalam cairan dengan menggunakan resin penukar ion
Diesel gas: motor yang beroperasi oleh gas dan tanpa penyalaan minyak
Digestat: hasil sampingan dari proses digesti anaerob yang ditujukan
untuk menghasilkan biogas. Digestat bermanfaat untuk pupuk
pertanian.
Digester: ialah tempat yang dibuat sedemikian rupa untuk terjadi proses
pencernaan (digesti) biomassa oleh aktivitas mikroorganisme
secara anaerob sehingga dihasilkan biogas sebagai produk utama
Digesti: proses penguraian biomassa oleh aktivitas mikroba menjadi
senyawa-senyawa lebih sederhana.
Digesti basah: ialah DA terhadap substrat dengan konten bahan keringnya
lebih rendah dari 15%
Digestibilitas: ketercernaan suatu substrat dalam digester biogas
Digesti kering: : ialah DA terhadap substrat dengan konten bahan
berkisar 20-40%.
Disosiasi: adalah penguraian suatu zat menjadi beberapa zat lain yang
lebih sederhana
Dissolved solids : ialah komponen padatan terlarut dalam limbah cair
DM (dry matter) : lihat BK
Efluen (effluent): adalah cairan luaran (digestat) sebagai hasil digesti
anaerob
Eutrofikasi: peningkatan tajam jumlah ganggang pada suatu tempat yang
di sebabkan limbah pertanian misalnya fosfat
Feedstock: bahan baku biogas berupa biomassa /limbah yang dimuat ke
tangki digester biogas
Fix = kandungan bahan anorganik dalam suatu limbah cair
Fixed-dome digester : tipe digester biogas dengan kubah tetap sebagai
penampung biogas yang dihasilkan
Floating drum digester : tipe digester biogas dengan kubah terapung
sebagai penampung biogas yang dihasilkan
Fuel cell: sel bahan bakar adalah perangkat elektrokimia yang mengubah
energi kimia dari suatu reaksi langsung menjadi energi listrik
Flug flow: tipe digester biogas berbentuk silinder memanjang horizontal
sehingga proses digesti substrat mengalir sepanjang digester
Gas rumah kaca: sekelompok gas di atmosfer yang bersifat menahan
panas radiasi matahari, sehingga akan menakibatkan peningkatan
suhu bumi.
Heterotrof: adalah organisme yang membutuhkan senyawa organik.
Heterotrof dikenal sebagai konsumer dalam rantai makanan.
HDPE (high density polyethylene) : adalah material termoplastik yang
membentuk produk dengan berat molekul yang tinggi dan tahan
terhadap berbagai bahan kimia, sehingga cocok digunakan pipa
penyalur.
HRT (hydraulic retention time): adalah rata-rata interval waktu lamanya
substrat diatur lamanya dalam tangki digester
Indeks Wobbe: standar aturan batas komponen, seperti sulfur, oksigen,
partikel dan titik embun air, memiliki tujuan untuk menghindari
kontaminasi jaringan gas atau pengguna akhir
Influen (inffluent): adalah masukkan adukan limbah sebagai substrat yang
dimuat ke tangki digester biogas
Inlet: lubang pemasukan bahan baku
penyimpanan atau digester
atau substrat ke tangki
Instalasi biogas: seperangkat digester biogas lengkap, meliputi: lubang
pemasukan substrat, tangki digester, kubah penampung gas, lubang
keluar digestat, dan pipa penyaluran gas ke alat
Insulasi: penyelimutan tangki digester dengan bahan penyekat panas
untuk mempertahankan suhu proses yang konstan
Kapasitas buffer: adalah ukuran kemampuan larutan penyangga dalam
mempertahankan pH
Kohe (kotoran hewan): adalah tinja yang dihasilkan oleh hewan.
Konveyor: adalah suatu sistem mekanik yang mempunyai fungsi
memindahkan barang dari satu tempat ke tempat yang lain.
Korosif: adalah sifat suatu subtantsi yang dapat menyebabkan benda lain
hancur atau memperoleh dampak negatif.
Kosbstrat: ialah substrat tambahan yang dimuat bersamaan dengan
substrat primer untuk meningkatkan digestibilitas
Kuasi: hampir seperti (seolah-olah)
Landfill: adalah penimbunan sampah pada suatu lubang tanah, dan ini
bukanlah metode yang berdiri sendiri. Karena dapat juga sistem
campuran, yang disebabkan oleh air mengalir, menembus tempat
ini, ketika air hujan berinfiltrasi ke permukaan landfill
Limbah: buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri
maupun domestik (rumah tangga).
LCT (Limbah cair tahu): limbah cair pada proses produksi tahu berasal
dari proses perendaman, pencucian kedelai, pencucian peralatan
proses produksi tahu, penyaringan dan pengepresan/pencetakan
tahu
LPG : elpiji (liquified petroleum gas, LPG), adalah campuran dari
berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari gas alam.
Komponennya didominasi propana (C3H8) dan butana (C4H10).
MCFC (molten carbonate fuel cell): adalah menggunakan aliran fluida
karbon sebagai elektrolit
Metana: senyawa alkana terpendek (CH4) berwujud gas mudah terbakar
Mesofilik: ialah sekelompok mikroorganisme yang memiliki suhu
optimal untuk pertumbuhannya berkisar dari 25 – 45 oC
Metanogen : segolongan mikroba yang menghasilkan gas metana dalam
proses dekomposisi bahan organik
Metanogenesis: salah satu tahap proses digesti anaerob yang utama
dalam menghasilkan gas metana.
Mixer: adalah pengaduk bahan baku yang berada dalam tangki digester,
yang berfungsi untuk memastikan homogenitas substrat, distribusi
mikroba dan pemerataan suhu.
Motor pilot injeksi gas : motor bakar didasarkan pada prinsip mesin
diesel. Biogas dicampur bersama dengan udara pembakaran lalu ini
melewati sistem injeksi di ruang bakar, yaitu tempat dinyalakan
oleh minyak pengapian yang disuntikkan
Motor Stirling: motor beroperasi tanpa pembakaran internal, yaitu
berdasarkan prinsip perubahan suhu gas mengakibatkan perubahan
volume. Piston mesin digerakkan oleh ekspansi gas yang
disebabkan oleh injeksi panas dari sumber energi eksternal
NMHC (non methane hidrocarbons): senyawa-senyawa hidrokarbon
selain gas metana
Overfeeding: pemuatan substrat melebihi kapasitas digester biogas
berdasarkan HRT
Otorotrof : ialah organisme yang dapat mengubah bahan
anorganik menjadi bahan organik (dapat membuat makanan
sendiri) dengan bantuan energi seperti energi cahaya matahari
(fotosintesis) dan kimia.
Otto gas: motor yang beroperasi sesuai dengan prinsip Otto tanpa
penyalaan minyak
PAFC (phosphoric acid fuel cell ) : ialah sel bahan bakar yang biasa
meng-gunakan gas alam.
Partikulat: adalah partikel halus yang merupakan subdivisi kecil dari
material padat tersuspensi dalam gas atau cair. Partikulat terdiri
dari partikel komposisi ukuran, asal dan kimia yang berbeda.
Patogen: organisme penyebab penyakit
PEM (polymer electrolyte membrane Fuel cell): ialah sel bahan bakar
yang dapat digunakan untuk biogas
Pemipaan: sistem penyaluran dan koneksi antar tangki dengan pipa
dengan ukuran tertentu
Pemulihan gas: adalah perolehan kembali komponen-komponen yang
bermanfaat (gas yang terbuang ke udara) dengan proses kimia,
fisika, biologi, dan/ atau secara termal
Pengkondisian digestat : proses perlakuan terhadap digestat yang
bertujuan untuk mengurangi volume dan nutrisinya terkonsentrasi
Polusi: terjadinya pencemaran suatu ekosistem oleh limbah tertentu.
Polutan: zat yang merugikan bagi ekosistem
Ppm: (part per million) bagian per sejuta = 10-6
Prekusor:
senyawa yang mendahului senyawa lain pada jalur
metabolisme
Psikhrofilik: ialah sekelompok mikroorganisme yang memiliki suhu
optimal untuk pertumbuhannya di bawah 20oC
Pumpabilitas: ialah kondisi yang menyatakan suatu bahan yang mudah
dipompa
Pupuk organik : yang dibuat dari bahan-bahan organik atau biomassa
alami
PVC: (polyvinylchloride) adalah polimer termoplastik, sebagai bahan
bangunan, pakaian, perpipaan, atap, dan insulasi kabel listrik. PVC
relatif murah, tahan lama, dan mudah dirangkai.
Rasio C/N: perbandingan kandungan unsur karbon dan nitrogen dalam
suatu biomassa bahan baku/substrat DA
Recycle : proses daur-ulang suatu zat untuk menjadikan suatu bahan
bekas menjadi barang baru dengan tujuan mencegah adanya
sampah.
Reduce: mengurangi penggunaan suatu zat untuk menekan dampak
pencemaran.
Reuse: penggunaan kembali lebih dari satu kali suatu barang dalam
rangka penghematan dan mengurangi pencemaran.
Residu : ialah cairan hasil digesti yang bermanfaat sebagai pupuk organik
cair yang keluar dari digester secara periodikSampah: adalah
senyawa atau bahan yang terbuang atau sengaja dibuang atau
harus dibuang
Sampah organik: ialah sampah yang terdiri dari bahan-bahan penyusun
tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari
kegiatan pertanian, perikanan atau yang lain.
Sampah anorganik: ialah sampah yaang berasal dari sumber daya alam
tak terbaharui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses
industri. Beberapa bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik
dan aluminium.
Sanitasi : perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih.
Sedimentasi: proses pengendapan bahan-bahan yang memiliki tingkat
digesti-bilitas rendah ke dasar digester
Silase: adalah pakan hasil fermentasi, dari jerami misanya, yang
diberikan kepada hewan ternak ruminansia atau dijadikan biogas
melalui DA.
Silo: adalah struktur yang digunakan untuk menyimpan bahan curah
(bulk materials). Silo umumnya digunakan di bidang
pertanian sebagai penyimpan biji-bijian hasil pertanian dan
pakan ternak.
Siloksana (R2 -SiO) : salah satu senyawa berbasis silika polimer dalam R
(alkil, biasanya metil); polimer ini ada sebagai cairan berminyak,
gemuk, karet, resin, atau plastik. Juga dikenal sebagai oksosilana.
Slurry : adalah campuran berupa cairan adukan limbah yang dijadikan
substrat atau umpan untuk digester biogas.
SOFC (solid oxide fuel cell): adalah jenis lain dari sel bahan bakar
bersuhu tinggi, beroperasi pada 750 – 1.000 °C.
Solids : padatan yang ada dalam limbah /air
Substrat: adalah bahan organik yang telah berada dalam kondisi
siap/segera bereaksi biokimiawi, karena telah mengandung
mikroba enzim sebagai katalis reaksi.
Suspended solids : padatan tersuspensi yang terkandung dalam limbah
cair
Tangki digester: ialah bagian utama dari suatu digester yang berbentuk
silinder, yaitu tempat terjadinya proses digesti anaerob.
Teleskopis : sifat kubah penampung biogas terhadap tangki bawah. Bila
biogas habis digunakan, tangki penyimpan gas ini tenggelam
kembali ke dalam tangki bawah
Termofilik : ialah sekelompok mikroorganisme yang memiliki suhu
optimal untuk pertumbuhannya berkisar antara 45 – 70 oC.
Total Solids (TS): yaitu residu yang diperoleh setelah menguapkan
sejumlah volume air pada 103oC. Total solid dapat dibagi menjadi
2 bagian, yaitu suspended solid (SS) dan dissolved solid (DS)
Turbin mikro biogas: campuran udara-biogas terbakar menyebabkan
kenaikan suhu dan memperluas dari campuran gas. Gas panas
dilepaskan melalui turbin, yang terhubung ke generator listrik
Vegetasi lumpur: hilangnya populasi vegetasi rumput tertentu dan
terbentuknya populasi rerumputan yang khas
VFA: (volatile fatty acids) asam lemak volatil senyawa antara (asetat,
propionat, butirat, laktat), dihasilkan selama asidogenesis, dengan
rantai karbon hingga enam atom
Waktu retensi hidrolik: lihat HRT
Waste: lihat limbah
Water boiling test: uji lamanya waktu yang dibutuhkan oleh suatu bahan
bakar untuk mendidihkan 100 mL air pada alat pemanas tertentu
Download