BAB IV. PENGUJIAN MOTOR INDUKSI DENGAN BESAR

advertisement
BAB IV.
PENGUJIAN MOTOR INDUKSI DENGAN BESAR TAHANAN
ROTOR YANG BERBEDA
Bab ini membahas tentang pengujian pengaruh besar tahanan rotor
terhadap torsi dan efisiensi motor induksi. Hasil yang diinginkan
adalah parameter motor induksi tiga fasa untuk mendpatkan torsi
dan putarannya.
BAB V.
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bagian penutup berupa kesimpulan dan saran
yang berkaitan dengan pembahasan mengenai pengaruh tahanan
rotor yang tidak seimbang terhadap torsi dan putaran motor
induksi.
BAB 2
MOTOR INDUKSI TIGA FASA
2.1 Umum
Motor induksi adalah motor listrik arus bolak-balik (ac) yang putaran rotornya
tidak sama dengan putaran medan stator, dengan kata lain putaran rotor dengan
putaran medan pada stator terdapat selisih putaran yang disebut slip.
Motor induksi, merupakan motor yang memiliki konstruksi yang baik,
harganya lebih murah dan mudah dalam pengaturan kecepatannya, stabil ketika
berbeban dan mempunyai efisiensi tinggi. Mesin induksi adalah mesin ac yang paling
banyak digunakan dalam industri dengan skala besar maupun kecil, dan dalam rumah
tangga. Alasannya adalah bahwa karakteristiknya hampir sesusai dengan kebutuhan
dunia industri, pada umumnya dalam kaitannya dengan harga, kesempurnaan,
pemeliharaan, dan kestabilan kecepatan. Mesin induksi (asinkron) ini pada umumnya
hanya memiliki satu suplai tenaga yang mengeksitasi belitan stator. Belitan rotornya
tidak terhubung langsung dengan sumber tenaga listrik, melainkan belitan ini
dieksitasi oleh induksi dari perubahan medan magnetik yang disebabkan oleh arus
pada belitan stator.
Hampir semua motor ac yang digunakan adalah motor induksi, terutama motor
induksi tiga fasa yang paling banyak dipakai di perindustrian. Motor induksi tiga fasa
sangat banyak dipakai sebagai penggerak di perindustrian karena banyak memiliki
keuntungan, tetapi ada juga kelemahannya.
Keuntungan motor induksi tiga fasa:
1. motor induksi tiga fasa sangat sederhana dan kuat.
2. bianya murah dan dapat diandalkan.
3. motor induksi tiga fasa memiliki efisiensi yang tinggi pada kondisi kerja normal.
4. perawatannya mudah.
Kerugiannya:
1. kecepatannya tidak bisa bervariasi tanpa merubah efisiensi.
2. kecepatannya tergantung beban.
3. pada torsi start memiliki kekurangan.
2.2 Konstruksi Motor Induksi Tiga Fasa
Motor induksi adalah motor ac yang paling banyak dipergunakan, karena
konstruksinya yang kuat dan karakteristik kerjanya yang baik. Secara umum motor
induksi terdiri dari rotor dan stator. Rotor merupakan bagian yang bergerak,
sedangkan stator bagian yang diam. Diantara stator dengan rotor ada celah udara yang
jaraknya sangat kecil. Konstruksi motor induksi dapat diperlihatkan pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Konsturksi umum motor induksi
Komponen stator adalah bagian terluar dari motor yang merupakan bagian yang
diam dan mengalirkan arus phasa. Stator terdiri atas tumpukan laminasi inti yang
memiliki alur yang menjadi tempat kumparan dililitkan yang berbentuk silindris. Alur
pada tumpukan laminasi inti diisolasi dengan kertas (Gambar 2.2.(b)). Tiap elemen
laminasi inti dibentuk dari lembaran besi (Gambar 2.2 (a)). Tiap lembaran besi
tersebut memiliki beberapa alur dan beberapa lubang pengikat untuk menyatukan inti.
Tiap kumparan tersebar dalam alur yang disebut belitan phasa dimana untuk motor
tiga phasa, belitan tersebut terpisah secara listrik sebesar 120o. Kawat kumparan yang
digunakan terbuat dari tembaga yang dilapis dengan isolasi tipis. Kemudian tumpukan
inti dan belitan stator diletakkan dalam cangkang silindris (Gambar 2.2.(c)). Berikut
ini contoh lempengan laminasi inti, lempengan inti yang telah disatukan, belitan stator
yang telah dilekatkan pada cangkang luar untuk motor induksi tiga phasa.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.2 Menggambarkan komponen stator motor induksi tiga phasa
(a) Lempengan inti
(b) Tumpukan inti dengan kertas isolasi pada beberapa alurnya,
(c) Tumpukan inti dan kumparan dalam cangkang stator
Untuk rotor akan dibahas pada bagian berikutnya, yaitu jenis – jenis motor
induksi tiga fasa berdasarkan jenis rotornya.
2.3 Jenis Motor Induksi Tiga Fasa
Ada dua jenis motor induksi tiga fasa berdasarkan rotornya yaitu:
1. motor induksi tiga fasa sangkar tupai ( squirrel-cage motor)
2. motor induksi tiga fasa rotor belitan ( wound-rotor motor )
kedua motor ini bekerja pada prinsip yang sama dan mempunyai konstruksi stator
yang sama tetapi berbeda dalam konstruksi rotor.
2.3.1 Motor Induksi Tiga Fasa Sangkar Tupai ( Squirrel-cage Motor)
Penampang motor sangkar tupai memiliki konstruksi yang sederhana. Inti
stator pada motor sangkar tupai tiga fasa terbuat dari lapisan – lapisan pelat baja
beralur yang didukung dalam rangka stator yang terbuat dari besi tuang atau pelat baja
yang dipabrikasi. Lilitan – lilitan kumparan stator diletakkan dalam alur stator yang
terpisah 120 derajat listrik. Lilitan fasa ini dapat tersambung dalam hubungan delta (
Δ ) ataupun bintang ( Υ ).
Rotor jenis rotor sangkar ditunjukkan pada Gambar 2.3 di bawah ini.
(a)
Cincin
Aluminium
Batang Poros
Kipas
Batang
Poros
Laminasi Inti
Besi
Kipas
Aluminium
(b)
Gambar 2.3 Rotor sangkar, (a) Tipikal rotor sangkar, (b) Bagian-bagian rotor sangkar
Batang rotor dan cincin ujung motor sangkar tupai yang lebih kecil adalah
coran tembaga atau aluminium dalam satu lempeng pada inti rotor. Dalam motor yang
lebih besar, batang rotor tidak dicor melainkan dibenamkan ke dalam alur rotor dan
kemudian dilas dengan kuat ke cincin ujung. Batang rotor motor sangkar tupai tidak
selalu ditempatkan paralel terhadap poros motor tetapi kerapkali dimiringkan. Hal ini
akan menghasilkan torsi yang lebih seragam dan juga mengurangi derau dengung
magnetik sewaktu motor sedang berputar.
Pada ujung cincin penutup dilekatkan sirip yang berfungsi sebagai pendingin.
Rotor jenis rotor sangkar standar tidak terisolasi, karena batangan membawa arus
yang besar pada tegangan rendah. Motor induksi dengan rotor sangkar ditunjukkan
pada Gambar 2.3.
(a)
(b)
Gambar 2.4 Konstruksi Motor Induksi
(a) Rotor Sangkar Ukuran Kecil
(b) Rotor Sangkar Ukuran Besar
2.3.2 Motor Induksi Tiga Fasa Rotor Belitan ( wound-rotor motor )
Motor rotor belitan ( motor cincin slip ) berbeda dengan motor sangkar tupai
dalam hal konstruksi rotornya. Seperti namanya, rotor dililit dengan lilitan terisolasi
serupa dengan lilitan stator. Lilitan fasa rotor dihubungkan secara Υ dan masing –
masing fasa ujung terbuka yang dikeluarkan ke cincin slip yang terpasang pada poros
rotor. Secara skematik dapat dilihat pada Gambar 2.5. Dari gambar ini dapat dilihat
bahwa cincin slip dan sikat semata – mata merupakan penghubung tahanan kendali
variabel luar ke dalam rangkaian rotor.
Gambar 2.5 Cincin slip ring
Pada motor ini, cincin slip yang terhubung ke sebuah tahanan variabel
eksternal yang berfungsi membatasi arus pengasutan dan yang bertanggung jawab
terhadap pemanasan rotor. Selama pengasutan, penambahan tahanan eksternal pada
rangkaian rotor belitan menghasilkan torsi pengasutan yang lebih besar dengan arus
pengasutan yang lebih kecil dibanding dengan rotor sangkar. Konstruksi motor tiga
fasa rotor belitan ditunjukkan pada gambar di halaman selanjutnya.
(a)
(b)
Gambar 2.6
(a) Rotor Belitan
(b) Konstruksi Motor Induksi Tiga Phasa dengan Rotor
Belitan
2.4
Medan Putar
Perputaran motor pada mesin arus bolak – balik ditimbulkan oleh adanya
medan putar ( fluks yang berputar ) yang dihasilkan dalam kumparan statornya.
Medan putar ini terjadi apabila kumparan stator dihubungkan dalam fasa banyak,
umumnya fasa 3. Hubungan dapat berupa hubungan bintang atau delta.
Misalkan kumparan a – a; b – b; c – c dihubungkan 3 fasa, dengan beda fasa
masing – masing 1200 ( Gambar 2.7 ) dan dialiri arus sinusoid. Distribusi arus ia, ib, ic
sebagai fungsi waktu adalah seperti Gambar 2.7. Pada keadaan t1, t2, t3, dan t4, fluks
resultan yang ditimbulkan oleh kumparan tersebut masing – masing adalah seperti
Gambar 2.8.
Pada t1 fluks resultan mempunyai arah sama dengan arah fluks yang dihasilkan
oleh kumparan a – a; sedangkan pada t2, fluks resultannya mempunyai arah sama
dengan arah fluks yang dihasilkan oleh kumparan c – c; dan untuk t3 fluks resultan
mempunyai arah sama dengan fluks yang dihasilkan oleh kumparan b – b. Untuk t4,
fluks resultannya berlawanan arah dengan fluks resultan yang dihasilkan pada saat t1
keterangan ini akan lebih jelas pada analisa vektor.
Gambar 2.7 Diagram Phasor Fluksi Tiga Phasa dan Arus Tiga Phasa
Gambar 2.8 (a) Diagram phasor fluksi tiga phasa
(b) Arus tiga phasa setimbang
(c) Medan putar pada motor induksi tiga phasa
Dari gambar diatas terlihat fluks resultan ini akan berputar satu kali. Oleh
karena itu untuk mesin dengan jumlah kutub lebih dari dua, kecepatan sinkron dapat
diturunkan sebagai berikut :
ns
=
120. f
p
(
rpm
)......................................................................................(2.1)
Ns = Kecepatan sinkron (Rpm)
f
= frekuensi ( Hz )
p = jumlah kutub
2.4.1
Analisis Secara Vektor
Analisis secara vektor didapatkan atas dasar :
1. Arah fluks yang ditimbulkan oleh arus yang mengalir dalam suatu lingkar
sesuai dengan perputaran sekrup (Gambar 2.9).
Gambar 2.9 Arah fluks yang ditimbulkan oleh arus yang mengalir dalam
suatu lingkar
2. Kebesaran fluks yang ditimbulkan ini sebanding dengan arus yang
mengalir.
Notasi yang dipakai untuk menyatakan positif atau negatifnya arus yang
mengalir pada kumparan a – a, b – b, dan c – c pada Gambar 2.7 yaitu: harga positif,
apabila tanda silang (x) terletak pada pangkal konduktor tersebut ( titik a, b, c ),
sedangkan negatif apabila tanda titik ( . ) terletak pada pangkal konduktor tersebut
(Gambar 2.8 ). Maka diagram vektor untuk fluks total pada keadaan t1, t2, t3, t4, dapat
dilihat pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 Diagram vektor untuk fluks total pada keadaan t1, t2, t3, t4
Dari semua diagram vektor di atas dapat pula dilihat bahwa fluks resultan
berjalan (berputar).
2.4.2 Besar Kuat Medan Putar
Dengan adanya masukan tegangan tiga phasa akan menyebabkan adanya arus
tiga phasa dan menghasilkan fluks tiga phasa yang akan menimbulkan medan putar
yang kuatnya dapat diketahui dengan memperhatikan gelombang fluks yang
dihasilkan oleh tegangan tiga phasa tersebut. Perhatikan Gambar 2.11 di bawah.
Gambar 2.11 Gelombang fluks tiga phasa
Pada saat θ = 00 , maka :
ФR = Фm Sin ωt = 0
ФS = Фm Sin (ωt – 2400) = Фm ФT = Фm Sin (ωt – 1200) = Фm
Dari persamaan diatas maka dapat digambar sebuah diagram fasor seperti
dibawah ini.
Gambar 2.12 Diagram Fasor Fluks Resultan
Фr =( Фm
+ Фm
= 2 x Фm
) cos
cos 300
= 1,5 Фm
Maka kuat medan putar adalah 1,5 Фm
2.5
Slip
Motor induksi tidak dapat berputar pada kecepatan sinkron. Seandainya hal ini
terjadi, maka rotor akan tetap diam relatif terhadap fluksi yang berputar. Maka tidak
akan ada ggl yang diinduksikan dalam rotor, tidak ada arus yang mengalir pada rotor,
dan karenanya tidak akan menghasilkan kopel. Kecepatan rotor sekalipun tanpa
beban, harus lebih kecil sedikit dari kecepatan sinkron agar adanya tegangan induksi
pada rotor, dan akan menghasilkan arus di rotor, arus induksi ini akan berinteraksi
dengan fluks listrik sehingga menghasilkan kopel. Selisih antara kecepatan rotor
dengan kecepatan sinkron disebut slip (s). Slip dapat dinyatakan dalam putaran setiap
menit, tetapi lebih umum dinyatakan sebagai persen dari kecepatan sinkron.
Slip
(s)
=
ns − nr
× 100%
ns
………........................................................…….(2.2)
dimana: nr = kecepatan rotor (RPM)
Persamaan (2.2) di atas memberikan informasi yaitu :
1. saat s = 1 dimana nr = 0, ini berati rotor masih dalam keadaan diam atau akan
berputar.
2. s = 0 menyatakan bahwa n s = nr , ini berarti rotor berputar sampai kecepatan
sinkron. Hal ini dapat terjadi jika ada arus dc yang diinjeksikan ke belitan rotor,
atau rotor digerakkan secara mekanik.
3.
0 < s < 1, ini berarti kecepatan rotor diantara keadaan diam dengan kecepatan
sinkron. Kecepatan rotor dalam keadaan inilah dikatakan kecepatan tidak
sinkron. Biasanya slip untuk mendapatkan efisiensi yang tinggi pada saat beban
penuh adalah 0,04.
2.6 Prinsip Kerja Motor Induksi Tiga Fasa
Motor induksi adalah
peralatan pengubah energi listrik ke bentuk energi
mekanik. Pengubahan energi ini bergantung pada keberadaan phenomena alami
magnetik, medan listrik, gaya mekanis dan gerak.
Dalam motor induksi, tidak ada hubungan listrik ke rotor, arus rotor
merupakan arus induksi. Tetapi ada kondisi yang sama seperti motor dc, dimana pada
rotor mengalir arus. Arus ini berada dalam medan magnetik sehingga akan terjadi
gaya (F) pada rotor yang akan menggerakkan rotor dalam arah tegak lurus medan.
Jika pada belitan stator diberi tegangan tiga fasa, maka pada stator akan
dihasilkan arus tiga fasa, arus ini menghasilkan medan magnetik yang berputar
dengan kecepatan sinkron. Ketika medan melewati konduktor rotor, dalam konduktor
ini diinduksikan ggl yang sama seperti ggl yang diinduksikan dalam lilitan sekunder
transformator oleh fluksi arus primer. Rangkaian rotor merupakan rangkaian tertutup,
baik melalui cincin ujung atau tahanan luar, ggl induksi menyebabkan arus mengalir
dalam konduktor rotor. Jadi arus yang mengalir pada konduktor rotor dalam medan
magnet yang dihasilkan stator akan menghasilkan gaya (F) yang bekerja pada rotor.
Gambar 2.11 di bawah ini menggambarkan penampang stator dan rotor motor
induksi, dengan medan magnet diumpamakan berputar searah jarum jam dan dengan
statornya diam seperti pada saat start.
Gambar 2.13 Arah medan magnet pada rotor dan stator
Untuk arah fluksi dan gerak yang ditunjukkan gambar di atas, penggunaan
aturan tangan kanan fleming bahwa arah arus induksi dalam konduktor rotor menuju
pembaca. Pada kondisi seperti itu, dengan konduktor yang mengalirkan arus berada
dalam medan magnet seperti yang ditunjukkan, gaya pada konduktor mengarah ke
atas karena medan magnet di bawah konduktor lebih kuat dari pada medan di atasnya.
Agar sederhana, hanya satu konduktor rotor yang diperlihatkan. Tetapi, konduktor –
konduktor rotor yang berdekatan lainnya dalam medan stator juga mengalirkan arus
dalam arah seperti pada konduktor yang ditunjukkan, dan juga mempunyai suatu gaya
ke arah atas yang dikerahkan pada mereka. Pada setengah siklus berikutnya, arah
medan stator akan dibalik, tetapi arus rotor juga akan dibalik, sehingga gaya pada
rotor tetap ke atas. Demikian pula konduktor rotor di bawah kutup – kutup medan
stator lain akan mempunyai gaya yang semuanya cenderung memutarkan rotor searah
jarum jam. Jika kopel yang dihasilkan cukup besar untuk mengatasi kopel beban yang
menahan, motor akan melakukan percepatan searah jarum jam atau dalam arah yang
sama dengan perputaran medan magnet stator.
Untuk memperjelas prinsip kerja motor induksi tiga fasa, maka dapat
dijabarkan dalam langkah – langkah berikut:
1. Pada keadaan beban nol Ketiga phasa stator yang dihubungkan dengan sumber
tegangan tiga phasa yang setimbang menghasilkan arus pada tiap belitan phasa.
2. Arus pada tiap phasa menghasilkan fluksi bolak-balik yang berubah-ubah
3. Amplitudo fluksi yang dihasilkan berubah secara sinusoidal dan arahnya tegak
lurus terhadap belitan phasa
4. Akibat fluksi yang berputar timbul ggl pada stator motor yang besarnya adalah
e1 = − N 1
dΦ
dt
(
Volt
)
....................................................(2.3) atau
E1 = 4,44 fN 1Φ
(
Volt
)
....................................................(2.4)
5. Penjumlahan ketiga fluksi bolak-balik tersebut disebut medan putar yang berputar
dengan kecepatan sinkron ns, besarnya nilai ns ditentukan oleh jumlah kutub p dan
frekuensi stator f yang dirumuskan dengan
ns =
120 × f
p
( rpm )
6. Fluksi yang berputar tersebut akan memotong batang konduktor pada rotor.
Akibatnya pada kumparan rotor timbul tegangan induksi (ggl) sebesar E2 yang
besarnya
E 2 = 4,44 fN 2 Φ m
( Volt )
...........................................(2.5)
dimana :
E1
= Ggl pada stator (Volt)
E2
= Tegangan induksi pada rotor saat rotor dalam keadaan diam (Volt)
N1
= Jumlah
N2
= Jumlah lilitan kumparan rotor
lilitan kumparan rotor
Фm = Fluksi maksimum(Wb)
7. Karena kumparan rotor merupakan rangkaian tertutup, maka ggl tersebut akan
menghasilkan arus I2, dimana arus I2 adalah arus pada rotor dalam satuan Ampere
8. Adanya arus I2 di dalam medan magnet akan menimbulkan gaya F pada rotor
9. Bila kopel mula yang dihasilkan oleh gaya F cukup besar untuk memikul kopel
beban, rotor akan berputar searah medan putar stator
10. Perputaran rotor akan semakin meningkat hingga mendekati kecepatan sinkron.
Perbedaan kecepatan medan stator (ns) dan kecepatan rotor (nr) disebut slip (s)
dan dinyatakan dengan
s=
ns − n r
× 100%
ns
11. Pada saat rotor dalam keadaan berputar, besarnya tegangan yang terinduksi pada
kumparan rotor akan bervariasi tergantung besarnya slip. Tegangan induksi ini
dinyatakan dengan E2s yang besarnya
E 2s = 4,44 sfN 2 Φ m
(
Volt
)
..................................................(2.7)
dimana
E2s = tegangan induksi pada rotor dalam keadaan berputar (Volt)
f2 = s.f = frekuensi rotor (frekuensi tegangan induksi pada rotor dalam
keadaan berputar)
12. Bila ns = nr, tegangan tidak akan terinduksi dan arus tidak akan mengalir pada
kumparan rotor, karenanya tidak dihasilkan kopel. Kopel ditimbulkan jika nr < ns
2.7
Frekuensi Rotor
Ketika rotor masih dalam keadaan diam, dimana frekuensi arus pada rotor
sama seperti frekuensi masukan ( sumber ). Tetapi ketika rotor akan berputar, maka
frekuensi rotor akan bergantung kepada kecepatan relatif atau bergantung terhadap
besarnya slip. Untuk besar slip tertentu, maka frekuensi rotor sebesar f ' yaitu,
120 f '
ns − nr =
P
.....................................................................(2.8)
diketahui bahwa n s =
120 f
p
Dengan membagikan n s dengan salah satu dari persamaan 2.8, maka didapatkan
f ' ns − nr
=
=s
f
ns
..........................................................................................................(2.9)
Maka
f '=
sf
(
Hz
)………………..................................................................................(2.10)
Telah diketahui bahwa arus rotor bergantung terhadap frekuensi rotor f ' = sf
dan ketika arus ini mengalir pada masing – masing phasa di belitan rotor, akan
memberikan reaksi medan magnet. Biasanya medan magnet pada rotor akan
menghasilkan medan magnet yang berputar yang besarnya bergantung atau relatif
terhadap putaran rotor sebesar sn s .
Pada keadaan tertentu, arus rotor dan arus stator menghasilkan distribusi
medan magnet yang sinusoidal dimana medan magnet ini memiliki magnetudo yang
konstan dan kecepatan medan putar n s yang konstan. Kedua Hal ini merupakan
medan magnetik yang berputar secara sinkron. kenyataannya tidak seperti ini karena
pada stator akan ada arus magnetisasi pada kumparannya.
2.8
Rangkaian Ekivalen Motor Induksi
Untuk mempermudah analisis motor induksi, digunakan metoda rangkaian
ekivalen per – fasa. Motor induksi dapat dianggap sebagai transformator dengan
rangkaian sekunder berputar. Rangkaian ekivalen statornya dapat digambarkan
sebagai berikut :
R1
I2
X1
I0
I1
V1
Rc
Ic X m I m
E1
Gambar 2.14 Rangkaian ekivalen stator motor induksi
dimana :
I0 = arus eksitasi (Ampere)
V1 = tegangan terminal stator ( Volt )
E1 = ggl lawan yang dihasilkan oleh fluks celah udara resultan ( Volt )
I1 = arus stator ( Ampere )
R1 = tahanan efektif stator ( Ohm )
X1 = reaktansi bocor stator ( Ohm )
Arah positif dapat dilihat pada rangkaian Gambar 2.14.
Arus stator terbagi atas 2 komponen, yaitu komponen arus beban dan komponen
arus penguat I0. Komponen arus penguat I0 merupakan arus stator tambahan yang
diperlukan untuk menghasilkan fluksi celah udara resultan, dan merupakan fungsi
ggm E1.
Komponen arus penguat I0 terbagi atas komponen rugi – rugi inti IC yang sefasa
dengan E1 dan komponen magnetisasi IM yang tertinggal 900 dari E1.
Hubungan antara tegangan yang diinduksikan pada rotor sebenarnya ( Erotor ) dan
tegangan yang d2nduksikan pada rotor ekivalen ( E2S ) adalah :
E2S
E rotor
=
N1
N2
=
a
....................................................................................( 2.11 )
atau
E2S = a Erotor ……………………………............................................
( 2.12 )
dimana a adalah jumlah lilitan efektif tiap fasa pada lilitan stator yang banyaknya a
kali jumlah lilitan rotor.
Bila rotor – rotor diganti secara magnetik, lilitan – ampere masing – masing
harus sama, dan hubungan antara arus rotor sebenarnya Irotor dan arus I2S pada rotor
ekivalen adalah:
I2S =
I rotor
…………………………….........................................….
a
( 2.13 )
sehingga hubungan antara impedansi bocor frekuensi slip Z2S dari rotor ekivalen dan
impedansi bocor frekuensi slip Zrotor dari rotor sebenarnya adalah :
Z2S =
E 2 S a 2 E rotor
= a 2 Z rotor
=
I rotor
I 2S
…….........................................……( 2.14 )
Nilai tegangan, arus dan impedansi tersebut diatas didefinisikan sebagai nilai yang
referensinya ke stator.
Selanjutnya persamaan ( 2.14 ) dapat dituliskan :
E2S
= Z 2S =
I 2S
R2 +
jsX 2
………………..............................................( 2.15 )
dimana :
E2 S = Tegangan induksi rotor ekivalen (Volt )
I 2 S = Arus rotor ekivalen ( Amper )
Z2S = Impedansi bocor rotor frekuensi slip tiap fasa dengan referensi ke stator
( Ohm)
R2 = Tahanan efektif referensi ( Ohm )
sX2 = reaktansi bocor referensi pada frekuensi slip X2 didefinisikan sebagai
harga reaktansi bocor rotor dengan referensi frekuensi stator ( Ohm ).
Reaktansi yang didapat pada persamaan (2.15) dinyatakan dalam cara yang
demikian karena sebanding dengan frekuensi rotor dan slip. Jadi X 2 didefinisikan
sebagai harga yang akan dimiliki oleh reaktansi bocor pada rotor dengan patokan pada
frekuensi stator.
Pada stator ada gelombang fluks yang berputar pada kecepatan sinkron.
Gelombang fluks ini akan mengimbaskan tegangan pada rotor dengan frekuensi slip
sebesar E 2 s dan ggl lawan stator E1 . Bila bukan karena efek kecepatan, tegangan
rotor akan sama dengan tegangan stator, karena lilitan rotor identik dengan lilitan
stator. Karena kecepatan relatif gelombang fluks terhadap rotor adalah s kali
kecepatan terhadap stator, hubungan antara ggl efektif pada stator dan rotor adalah:
E2s
=
…………………………...…............................................….(2.16)
sE1
Gelombang fluks magnetik pada rotor dilawan oleh fluks magnetik yang
dihasilkan komponen beban I 2 dari arus stator, dan karenanya, untuk harga efektif
I2
I 2s =
..................................................................................................(2.17)
Dengan membagi persamaan (2.16) dengan persamaan (2.17) didapatkan:
sE
E2S
= 1
I 2S
I2
………………………………..............................................(2.18)
Didapat hubungan antara persamaan (2.17) dengan persamaan (2.18), yaitu
E2S
sE
= 1=
I2
I 2S
R2 +
jsX 2
……..........……...............................................(2.19)
Dengan membagi persamaan (2.19) dengan s, maka didapat
R2
+ jX 2
s
E1
=
I2
…………….………...…...........................................…(2.20)
Dari persamaan (2.20) dapat dibuat rangkaian ekivalen untuk rotor.
Dari persamaan (2.15) , (2.16) dan (2.20) maka dapat digambarkan rangkaian
ekivalen pada rotor sebagai berikut :
R2
E2 s
I2
R2
X2
sX 2
I2
E1
R2
s
X2
I2
E1
Gambar 2.15 Rangkaian ekivalen pada rotor motor induksi.
R2
R
= 2 + R2 - R2
s
s
1
R2 ( − 1)
s
R2
s
1
R2 ( − 1)
s
R2 +
=
………………......................................................(2.21)
Dari penjelasan mengenai rangkaian ekivalen pada stator dan rotor di atas,
maka dapat dibuat rangkaian ekivalen motor induksi tiga fasa pada masing – masing
fasanya. Perhatikan Gambar di bawah ini.
R1
I2
X1
sX 2
IΦ
I1
V1
Rc
Ic
I2
X m Im
E1
R2
sE 2
Gambar 2.16 Rangkaian ekivalen motor induksi tiga phasa
Untuk mempermudah perhitungan maka rangkaian ekivalen pada Gambar 2.16
diatas dapat dilihat dari sisi stator, rangkaian ekivalen motor induksi tiga fasa akan
dapat digambarkan sebagai berikut.
R1
I '2
X1
'
I0
I1
V1
X2
Rc
Xm
Im
E1
R2
s
'
Ic
Gambar 2.17 Rangkaian ekivalen dilihat dari sisi stator motor induksi
Dimana:
X '2 = a 2 X 2
R ' 2 = a 2 R2
Dalam teori transformator-statika, analisis rangkaian ekivalen sering
disederhanakan dengan mengabaikan seluruh cabang penalaran atau melakukan
pendekatan dengan memindahkan langsung ke terminal primer. Pendekatan demikian
tidak dibenarkan dalam motor induksi yang bekerja dalam keadaan normal, karena
adanya celah udara yang menjadikan perlunya suatu arus penetralan yang sangat besar
(30% sampai 40% dari arus beban penuh) dan karena reaktansi bocor juga perlu lebih
tinggi. Untuk itu dalam rangkaian ekivalen Rc dapat dihilangkan (diabaikan).
Rangkaian ekivalen menjadi Gambar 2.18 berikut.
R1
I '2
X1
R'2
'
I0
I1
V1
X2
Xm
E1
' 1
R2 ( − 1)
s
Gambar 2.18 Rangkaian ekivalen lain dari motor induksi
2.9
Disain Motor Induksi Tiga Fasa
Motor asinkron yang sering kita temukan sehari-hari misalnya adalah kipas
angin, mesin pendingin, kereta api listrik gantung, dan lain sebagainya. Untuk itu
perlu diketahui kelas-kelas dari motor tersebut untuk mengetahui unjuk kerja dari
motor tersebut. Adapun kelas-kelas tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kelas A : Torsi start normal, arus start normal dan slip kecil
Tipe ini umumnya memiliki tahanan rotor sangkar yang rendah. Slip pada
beban penuh kecil atau rendah namun efisiensinya tinggi. Torsi maksimum
biasanya sekitar 21% dari torsi beban penuh dan slipnya kurang dari 21%.
Motor kelas ini berkisar hingga 20 Hp.
2. Kelas B : Torsi start normal, arus start kecil dan slip rendah
Torsi start kelas ini hampir sama dengan kelas A tetapi arus startnya berkisar
75%Ifl . Slip dan efisiensi pada beban penuh juga baik. Kelas ini umumnya
berkisar antara 7,5 Hp sampai dengan 200 Hp. Penggunaan motor ini antara
lain : kipas angin, boiler, pompa dan lainnya.
3. Kelas C : Torsi start tinggi dan arus start kecil
Kelas ini memiliki resistansi rotor sangkar yang ganda yang lebih besar
dibandingkan dengan kelas B. Oleh sebab itu dihasilkan torsi start yang lebih
tinggi pada arus start yang rendah, namun bekerja pada efisisensi dan slip
yang rendah dibandingkan kelas A dan B.
4. Kelas D : Tosi start tinggi, slip tinggi
Kelas ini biasanya memiliki
resistansi rotor sangkar tunggal yang tinggi
sehingga dihasilkan torsi start yang tinggi pada arus start yang rendah
Gambar 2.19 Karakteristik torsi dan kecepatan motor induksi
pada berbagai disain
2.10
Parameter Motor Induksi Tiga Fasa
Parameter rangkaian ekivalen dapat dicari dengan melakukan pengukuran
pada percobaan tahanan DC, percobaan beban nol, dan percobaan rotor tertahan
(block- rotor). Dengan penyelidikan pada setiap rangkaian ekivalen, percobaan beban
nol motor induksi dapat disimulasikan dengan memaksimalkan tahanan rotor
R'2
.
s
Hal ini bisa terjadi pada keadaan normal jika slip dalam nilai yang minimum. Slip
yang mendekati nol terjadi ketika tidak ada beban mekanis, dan mesin dikatakan
dalam keadaan berbeban ringan.
Pengukuran rotor tertahan dilakukan dengan menahan rotor tetap diam. Pada
kondisi ini slip bernilai satu yang merupakan nilai slip tertinggi untuk kondisi motor,
R'2
jadi nilai
bernilai minimum. Untuk menentukan bentuk rangkaian ekivalen, pola
s
fluksi dianggap sinusoidal, demikian juga rugi-rugi yang diukur proporsional terhadap
fluksi utama, dan kejenuhan diabaikan.
2.10.1 Percobaan DC
Untuk memperoleh harga R1 dilakukan dengan pengukuran DC yaitu dengan
menghubungkan sumber tegangan DC (VDC) pada dua terminal input dan arus DC-nya
(IDC) lalu diukur. Di sini tidak mengalir arus rotor karena tidak ada tegangan yang
terinduksi.
2.10.1.1. Kumparan hubungan Wye (Y)
Gambar rangkaian ketika kumparan motor induksi tiga phasa terhubung Y, dan
diberi suplai DC dapat dilihat pada Gambar 2.20 di bawah ini.
a
IDC
RDC
+
-
VDC
b
RDC
c
RDC
Gambar 2.20 Rangkaian phasa stator saat pengukuran DC hubungan Y
Harga R1DC dapat dihitung, untuk kumparan dengan hubungan Y, adalah
sebagai berikut :
R1DC =
1 VDC
2 I DC
(
Ohm
).......................................................(2.22)
2.10.1.2 Kumparan Hubungan Delta (∆)
Gambar rangkaian ketika kumparan motor induksi tiga phasa terhubung delta
dan diberi suplai DC, dapat dilihat pada Gambar2.21 di bawah ini.
IDC
+
-
VDC
RB
RA
RC
Gambar 2.21 Rangkaian phasa stator saat pengukuran DC hubungan Delta
Diketahui bahwa tahanan pada kumparan pada masing – masing phasa adalah sama,
maka R A = RB = RC = R . Jadi gambar diatas dapat disederhanakan menjadi gambar
berikut.
ID C
RA
VD C
RP
IA
Gambar 2.22 Rangkaian penyederhanaan phasa stator saat pengukuran DC
hubungan Delta
Dimana RP = RB + RC
V
Jadi R A = DC
IA
Dimana I A = I DC ×
RP
R A + RP
2
I DC , maka
3
3 V
V DC
R ADC =
= × DC
2 I DC
2 I DC
3
IA =
Harga R1 ini dinaikkan dengan faktor pengali 1,1-1,5 untuk operasi arus bolak-balik,
karena pada operasi arus bolak-balik resistansi konduktor meningkat karena distribusi
arus yang tidak merata akibat efek kulit dan medan magnet yang melintasi alur.
R1ac = k × R1DC ( Ohm
)....................................................................(2.23)
Dimana k = faktor pengali, besarnya 1,1 – 1,5
Karena besar tahanan konduktor stator dipengaruhi oleh suhu, dan biasanya bila rugirugi motor ditentukan dengan pengukuran langsung pada motor, maka untuk
mengetahui nilai tahanan yang paling mendekati, biasanya dilakukan dengan beberapa
kali pengukuran dan mengambil besar rata-rata dari semua pengukuran yang
dilakukan.
2.10.2 Percobaan Beban Nol
Motor induksi dalam keadaan beban nol dibuat dalam keadaan berputar tanpa
memikul beban pada rating tegangan dan frekuensinya. Besar tegangan yang
digunakan ke belitan stator perphasanya adalah V1 ( tegangan nominal), arus masukan
sebesar I 0 dan dayanya P0 . Nilai ini semua didapat dengan melihat alat ukur pada
saat percobaan beban nol.
Dalam percobaan beban nol, kecepatan motor induksi mendekati kecepatan
sinkronnya. Dimana besar s  0, sehingga
R2'
 ~ sehingga besar impedansi total
s
bernilai tak berhingga yang menyebabkan arus I ' 2 pada Gambar 2.23 bernilai nol
sehingga rangkaian ekivalen motor induksi pada pengukuran beban nol ditunjukkan
pada Gambar 2.23. Namun karena pada umumnya nilai kecepatan motor pada
pengukuran ini n r 0 yang diperoleh tidak sama dengan ns maka slip tidak sama dengan
nol sehingga ada arus I2’ yang sangat kecil mengalir pada rangkaian rotor, arus I ' 2
tidak diabaikan tetapi digunakan untuk menghitung rugi – rugi gesek + angin dan rugi
– rugi inti pada percobaan beban nol. Pada pengukuran ini didapat data-data antara
lain : arus input (I1= I 0 ), tegangan input (V1 = V0 ), daya input perphasa (P0) dan
kecepatan poros motor ( n r 0 ). Frekuensi yang digunakan untuk eksitasi adalah
frekuensi
sumber f.
Gambar 2.23 Rangkaian pada Saat Beban Nol
R'2
X '2
R1
s
jX1
I1 = Iφ
Iφ
Ic
V1
Im
Rc
Zm
Xm
Gambar 2.24 Rangkaian ekivalen pada saat beban nol
Dengan tidak adanya beban mekanis yang terhubung ke rotor dan tegangan
normal diberikan ke terminal, dari Gambar 2.24 didapat besar sudut phasa antara arus
antara I 0 dan V0 adalah :
 P0
 V0 I 0
θ 0 = Cos −1 



.....................................................................(2.24)
Dimana: P0 = Pnl = daya saat beban nol perphasa
V0 = V1 = tegangan masukan saat beban nol
I 0 = I nl = arus beban nol
dengan P0 adalah daya input perphasa. Sehingga besar E1 dapat dinyatakan dengan
E1 = V1∠0 o − ( I ϕ ∠θ 0 )( R1 + jX 1 )
(Volt)...................................(2.25)
n ro adalah kecepatan rotor pada saat beban nol. Daya yang didisipasikan oleh Rc
dinyatakan dengan :
Pc = P0 − I 02 R1
(
Watt
).....................................................................(2.26)
R1 didapat pada saat percobaan dengan tegangan DC.
Harga Rc dapat ditentukan dengan
Rc =
E12
P0
(Ohm).....................................................................(2.27)
Dalam keadaan yang sebenarnya R1 lebih kecil jika dibandingkan dengan X m dan
juga Rc jauh lebih besar dari X m , sehingga impedansi yang didapat dari percobaan
beban nol dianggap jX 1 dan jX m yang diserikan.
Z nl =
V1
I nl 3
≅ j ( X 1 + X m ) ( Ohm
)............................................(2.28)
Sehingga didapat
Xm =
V1
I nl 3
− X 1 ( ohm
).............................................................(2.29)
2.10.3 Percobaan Rotor Tertahan
Pada pengukuran ini rotor dipaksa tidak berputar ( nr = 0, sehingga s = 1) dan
kumparan stator dihubungkan dengan tegangan seimbang. Karena slip s = 1, maka
R2'
pada Gambar 2.23, harga
= R ' 2 . Karena R2' + jX 2' << Rc jX m maka arus yang
s
melewati Rc jX m dapat diabaikan. Sehingga rangkaian ekivalen motor induksi
dalam keadaan rotor tertahan atau hubung singkat seperti ditunjukkan pada Gambar
2.24.
I1
R1 + R’2 jX1+jX’2
V1
Gambar 2.25 Rangkaian ekivalen pada saat rotor tertahan (S = 1)
Impedansi perphasa pada saat rotor tertahan ( Z BR ) dapat dirumuskan sebagai berikut:
Z BR = R1 + R2' + j ( X 1 + X 2' ) = RBR + jX BR ( Ohm
)......................................(2.30)
Pengukuran ini dilakukan pada arus mendekati arus rating motor. Data hasil
pengukuran ini meliputi : arus input (I1 = I BR ), tegangan input (V1 = VBR ) dan daya
input perphasa
( PBR = Pin ). Karena adanya distribusi arus yang tidak
merata pada batang rotor akibat efek kulit, harga R2' menjadi tergantung frekuensi.
Maka umumnya dalam praktek, pengukuran rotor tertahan dilakukan dengan
mengurangi frekuensi eksitasi menjadi f BR untuk mendapatkan harga R2' yang
sesuai dengan frekuensi rotor pada saat slip rating. Dari data-data tersebut, harga RBR
dan X BR dapat dihitung :
Z BR =
VBR
(Ohm
I BR
).....................................................................................(2.31)
2
2
(Ohm
X BR = Z BR
− RBR
)........................................................................(2.32)
Untuk menentukan harga X1 dan X2 digunakan metode empiris berdasarkan
IEEE standar 112. hubungan X1 dan X2 terhadap Xbr dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Distribusi empiris dari Xbr
Disain
X1
X 2'
A
0,5 Xbr
0,5 Xbr
B
0,4 Xbr
0,6 Xbr
C
0,3 Xbr
0,7 Xbr
D
0,5 Xbr
0,5 Xbr
Rotor Belitan
0,5 Xbr
0,5 Xbr
Kelas Motor
Di sini besar XBR harus disesuaikan dahulu dengan frekuensi rating f.
X ' BR =
f
f BR
X BR (Ohm
)........................................................................(2.33)
'
X BR
= X 1 − X ' 2 (Ohm
).......................................................................(2.34)
Download