STUDI PENGARUH PENAMBAHAN POLIETILEN GLIKOL 6000 TERHADAP KESTABILAN ENZIM PROTEASE DARI Rhizopus oligosporus (Skripsi) Oleh MAYA RETNA SARI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017 ABTRACT STUDY EFFECT OF ADDITION POLYETHILENE GLYCOL 6000 ON STABILITY OF PROTEASE ENZYME FROM Rhizopus oligosporus By Maya Retna Sari This research was aimed to improve the stability protease enzyme isolated from Rhizopus oligosporus with addition polyethylene glycol 6000. Some sequential steps in this research were including isolation, purification, and characterization. At the purification step, the protease enzyme was purified by fractionation and dialysis. The result showed a specific activity of protease enzyme of 931.149 U/mg, increased of 4 folds than the crude extract. And then, enzyme added polyethylene glycol 6000 concentrations 12, 14, and 24% then characterized. The purified enzyme has pH 8; optimum temperature at 35◦C; K M = 90.9 mg/mL substrate; Vmax = 50 µmol/mL.minute; t½ = 15 minutes; ki = 0.044 minute-1; and ∆Gi = 101.885 KJ/mol. Enzymes with addition of polyethylene glycol 6000 concentrations 12, 14, and 24% had pH 8; optimum temperature at 45◦C; consecutively had the values of KM = 83.3 mg/mL substrate, 33.3 mg/mL substrate, and 25 mg/mL substrate; the values of Vmax = 33.3 µmol/mL.minute, 20 µmol/mL.minute, and 14.28 µmol/mL.minute; the values of t½ = 20 minutes, 26 minutes, and 31 minutes; the values of ki = 0.034 minute-1, 0.026 minute-1, and 0.022 minute-1; and the values of ∆Gi = 102.569 KJ/mol, 122.438 KJ/mol, and 122.901 KJ/mol. Decreased of ki, increased of half-life (t½) and ∆G i indicated that the protease enzyme with addition polyethylene glycol 6000 more stable than the purified enzyme. Key words : Protease, Rhizopus oligosporus, polyethylene glycol 6000. ABSTRAK STUDY PENGARUH PENAMBAHAN POLIETILEN GLIKOL 6000 TERHADAP KESTABILAN ENZIM PROTEASE DARI Rhizopus oligosporus Oleh Maya Retna Sari Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kestabilan enzim protease yang diisolasi dari jamur Rhizopus oligosporus dengan penambahan polietilen glikol 6000. Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu isolasi, pemurnian dan karakterisasi. Pada tahap pemurnian, enzim dimurnikan dengan cara fraksinasi dan dialisis. Hasil pemurnian menunjukkan bahwa enzim protease mempunyai aktivitas spesifik sebesar 931,149 U/mg yang kemurniannya meningkat 4 kali dibandingkan dengan ekstrak kasar. Selanjutnya, enzim ditmbahkan polietilen glikol 6000 konsentrasi 12, 14, dan 24%, lalu dikarakterisasi. Enzim hasil pemurnian mempunyai pH 8; suhu optimum 35◦C; KM = 90,9 mg/mL substrat; Vmaks = 50 µmol/mL.menit; t½ = 15 menit; ki = 0,044 menit-1; dan ∆Gi = 101,885 KJ/mol. Enzim dengan penambahan polietilen glikol 6000 konsentrasi 12, 14, dan 24% mempunyai pH 8; suhu optimum 45◦C; berturut-turut mempunyai nilai KM = 83,3 mg/mL substrat, 33,3 mg/mL substrat, dan 25 mg/mL substrat; nila Vmaks = 33,3 µmol/mL.menit, 20 µmol/mL.menit, dan 14,28 µmol/mL.menit; nilai t½ = 20 menit, 26 menit, dan 31 menit; nilai ki = 0,034 menit-1, 0,026 menit-1, dan 0,022 menit-1; serta nilai ∆Gi = 102,569 KJ/mol, 122,438 KJ/mol, dan 122,901 KJ/mol. Penurunan nilai ki serta peningkatan t½ dan ∆Gi menunjukkan bahwa enzim dengan penambahan polietilen glikol 6000 lebih stabil daripada enzim hasil pemurnian. Kata kunci : Protease, Rhizopus oligosporus, polietilen glikol 6000. STUDI PENGARUH PENAMBAHAN POLIETILEN GLIKOL 6000 TERHADAP KESTABILAN ENZIM PROTEASE DARI Rhizopus oligosporus Oleh MAYA RETNA SARI Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS Pada Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017 RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan puteri kedua dari pasangan Bapak Oto Iskandar dan Ibu Supinawati, yang dilahirkan di Mutar Alam pada tanggal 26 Januari 1995. Sejak Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), penulis menjalani pendidikannya di kabupaten Lampung Barat. Tahun 2007, penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 1 Karang Agung. Tahun 2010 penulis menyelesaikan pendidikan jenjang Sekolah Menengah Pertama, di kelas khusus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) SMPN 1 Way Tenong dan di tahun 2013 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Way Tenong. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikannya sebagai mahasiswa Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) yang diselesaikan pada tahun 2017. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi anggota Bidang Kesektariatan selama dua periode, 2014-2015 dan 2015-2016 di Himpunan Mahasiswa Kimia FMIPA Universitas Lampung. Tahun 2016, penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung. Di samping itu, penulis juga menjadi asisten praktikum Kimia Dasar untuk mahasiswa S1 Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian dan praktikum Biokimia untuk mahasiswa S1 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Tahun 2017, penulis menjadi koordinator asisten praktikum Biokimia untuk mahasiswa S1 Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. MOTTO Sesungguhnya, jarak kemenangan hanya berkisar antara kening dan sajadah (Anonim) Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya (R.A.Kartini) Karena kami yakin pengaruh pendidikan besar bagi para wanita, agar para wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya, menjadi ibu pendidik manusia yang pertama-tama (R.A.Kartini) Tulislah buku tentang hidupmu dan biarkan dunia membacanya (Agung Wicaksono) Teruslah bermimpi dan gapailah! Buat cemoohan itu berubah menjadi tepuk tangan (Penulis) ﺑﺴﻢﷲاﻟﺮﺣﻤﻦاﻟﺮﺣﯿﻢ “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” (Q. S. Al-fatihah : 1) Dengan segala rasa syukur, kupersembahkan karya ini kepada: PAPA DAN MAMA Pencapaian ini milik kalian. Aku hanya merangkum bentuk perjuangan nyata yang sudah kalian lakukan di sana. Terima kasih untuk semua kerja keras dan cinta yang kalian berikan untukku. Semoga setiap tetes keringatmu selalu menjadi pengingatku bahwa perjuangan yang sesungguhnya tidak pernah ada batasnya. Begitu pun dengan harapan. Harapan harus diwujudkan, bukan sekedar digantungkan. MBAK ITA DAN ADEK MIA Perjalananmu itu pelajaran untukku, Mbak. Semoga yang baik dari perjalananku bisa menjadi pembelajaran juga untukmu, Dek. Capailah lebih dari apa yang aku capai saat ini untuk Papa dan Mama. Jangan ada keluh dan lelah untuk terus belajar. SYABIL E. ISNANDAR Penghilang lelah dan jenuh dengan semua tingkah polosnya. Banyak cinta juga harapan untuk masa depanmu kelak. KAMU Terkadang, penyepelean itu menjadi cambuk besar dalam langkah hidup seseorang. Terima kasih atas semua pembelajarannya, Mas Agung Wicaksono,S.T. Alm. NINENG BAPAK TERSAYANG MBAH KAKUNG DAN MBAH PUTRI Seluruh keluarga dan terkhusus untuk mereka yang sempat menaruh ragu terhadap orangtuaku. Almamater yang ku banggakan, Universitas Lampung. SANWACANA Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Atas berkah dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi berjudul “Studi Pengaruh Penambahan Polietilen Glikol 6000 Terhadap Kestabilan Enzim Protease dari Rhizopus oligosporus” sebagai syarat mencapai gelar Sarjana Sains di Universitas Lampung. Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Baik dalam memberikan bimbingan, motivasi, kritik dan saran, hingga dukungan moril. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yandri A.S., M.S., selaku pembimbing penelitian yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran untuk memberikan ilmu, bimbingan, arahan, serta kritik dan saran yang membangun hingga terselesainya skripsi ini. Juga kepada Bapak Dr. Hardoko Insan Qudus, M.S. dan Bapak Mulyono, Ph.D., selaku pembahas dan penguji yang juga telah banyak memberikan arahan, bimbingan, kritik dan saran yang membangun bagi penulis. Dalam kesempatan ini pula, dengan segenap kerendahan hati penulis juga mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Andi Setiawan, M.Sc., Ph.D., selaku Pembimbing Akademik yang telah banyak memotivasi, mengarahkan, dan memberikan banyak nasihat kepada penulis selama menjalani pendidikan di Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung. 2. Bapak Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M.T., selaku Ketua Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung. 3. Bapak Prof. Warsito, S.Si., DEA, Ph.D., selaku Dekan FMIPA Universitas Lampung. 4. Seluruh Dosen Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis. 5. Seluruh Staff Administrasi FMIPA Universitas Lampung. 6. Papa dan Mama yang tidak putus berjuang, berdo’a, mendukung, menasihati, dan sabar menanti keberhasilanku. 7. Mbak Ita dan Kak Yanuar yang turut membantu Papa dan Mama. 8. Adek Mia yang selalu mendengarkan setiap keluh kesahku. 9. Si Bocah Ompong, sumber semangat dan penghilang stres selama menjalani penelitian ini. 10. Mas Agung Wicaksono, terima kasih sudah menyempurnakan langkah dari masa hitam putih sampai saat ini. Semoga akan selalu melengkapi dan terus mendukung sampai waktu terakhirku nanti. 11. Mama Leni dan Bapak Kusnin yang juga selalu memberikan do’a, nasihat, saran dan bimbingan untukku. 12. Teman, sahabat, keluarga yang kurang lebih selama empat tahun ini selalu memberikan motivasi dan semangat, tempat berbagi sedih dan senang, baik selama perkuliahan maupun semasa penelitian. Mega Mawarti dan Nova Tri Irianti, kalian luar biasa. 13. Everlasting partner seproteasean, Khomsatun Khasanah. Pejuang seperenziman, Fathaniah Sejati dan Ezra Rheinsky Tiarsa. Alhamdulillah, episode tersingkat ini selesai. 14. Teman-teman yang telah banyak meluangkan waktu juga energinya untukku, mensupport juga membantu secara langsung penelitian ini : Alay Anton, Mbah Siti, Lindawati, dan Sinta Dewi Oktariani. 15. Teman-teman peer group Biokimia. 16. Seluruh mahasiswa Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung, terkhusus teman-teman angkatan 2013 dan angkatan 2011-2016 pada umumnya. 17. Semua pihak yang telah membantu penulis selama perkuliahan, penelitian, hingga terselesainya skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Akan tetapi, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua, baik mahasiswa maupun pembaca pada umumnya. Bandar Lampung, Maya Retna Sari Juli 2017 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ………………………………………………………………… xiv DAFTAR TABEL …………………………………………………………… xvii DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………... xix PENDAHULUAN…………………………………………...………………... 1 Latar Belakang……………………………...……………………………… 1 Tujuan Penelitian………………………………..………………………… 4 Manfaat Penelitian…………………………………..…………………….. 5 TINJAUAN PUSTAKA……...……………………………………………….. 6 Enzim……………………………………………………………………… 6 Klasifikasi Enzim…………………………………………………….. 8 Mekanisme Reaksi Enzim……………………………………………. 9 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerja Enzim……………………. 11 Sifat Katalitik Enzim………………………………………………… 14 Jamur Rhizopus oligosporus………………………………………………. 14 Enzim Protease……………………………………………………………. 18 Mikroba Protease………………………………………………………..... 20 Aplikasi Protease………………………………………………………...... 21 Isolasi dan Pemurnian Enzim……………………………...……………… 23 Sentrifugasi………………………………………………………….. 23 Fraksinasi dengan Ammonium Sulfat……………………………….. 24 Dialisis………………………………………………………………... 25 Penentuan Kadar Protein dengan Metode Lowry………………………… 26 Kinetika Reaksi Enzim…………………………………………………..... 27 Stabilitas Enzim………………………………………………………….... 29 Stabilitas Termal Enzim…………………………………………….… 30 Stabilitas pH Enzim…………………………………………………... 31 Polietilen Glikol 6000…………………………………………………….. 32 METODOLOGI PENELITIAN……………………………………..………. 34 Waktu dan Tempat…………………………………………………..…….. 34 Alat dan Bahan………………………………………………………..…… 34 Prosedur Penelitian……………………………………………………….... 35 Pembuatan media agar miring dan peremajaan jamur Rhizopus oligosporus……………………………………………………………. 35 Pembuatan media agar miring……………………………...……. 35 Peremajaan jamur Rhizopus oligosporus………………………… 35 Pembuatan media inokulum dan fermentasi, inokulasi Rhizopus oligosporus dan produksi enzim protease…………….………………. 35 Pembuatan media inokulum dan fermentasi…………………….. 35 Inokulasi Rhizopus oligosporus………………………………….. 36 Produksi enzim protease…………………………………………. 36 Isolasi enzim protease…………………………………….…………... 36 Uji aktivitas enzim protease………………….……………………….. 37 Pembuatan pereaksi untuk pengukuran aktivitas enzim protease metode Kunitz………………………………………………….…. 37 Pengujian aktivitas enzim protease metode Kunitz…………….… 37 Penentuan Kadar Protein Enzim Protease………………….………… 38 Pembuatan pereaksi untuk penentuan kadar protein enzim protease metode Lowry………………………………………….. 38 Penentuan kadar protein enzim protease metode Lowry………… 38 Pemurnian Enzim Protease……………………………………….….. 39 Pengendapan dengan ammonium sulfat [(NH4)2SO4]…………... 39 Dialisis…………………………………………………………… 40 Penambahan Polietilen Glikol 6000………………………………….. 41 Karakterisasi Enzim Protease Sebelum dan Setelah Penambahan Polietilen Glikol 6000 dengan Variasi Konsentrasi 12, 14, dan 24 %………………………………………………………………………. 41 Penentuan pH optimum………………………….…….………… 41 Penentuan suhu optimum………………………….……………… 42 Penentuan kinetika enzim (KM dan Vmaks)………………………... 42 Uji stabilitas termal enzim………………………………………... 42 Penentuan waktu paruh (t1/2), konstanta laju inaktivasi (ki), dan perubahan energi akibat denaturasi (∆G i)……………………….. 43 HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………. 45 Peremajaan Jamur Rhizopus oligosporus………………………………….. 45 Produksi dan Isolasi Enzim Protease…………………………………… 47 Pemurnian Enzim Protease……………………………………………… 49 Fraksinasi dengan ammonium sulfat [(NH4)2SO4]………………….. Dialisis………………………………………………………………. 49 52 Karakterisasi Enzim Hasil Pemurnian……………………………………. 53 Penentuan pH optimum……………………………………………… Penentuan suhu optimum……………………………………………. Penentuan KM dan Vmaks……………………………………………… Perubahan laju inaktivasi (ki), waktu paruh (t½), dan energi akibat denaturasi (∆Gi) dengan dan tanpa penambahan polietilen glikol 6000 konsentrasi 12, 18, dan 24%................................................................. 53 55 57 60 Waktu paruh (t½) dan konstanta laju inaktivasi (ki)……………... 61 Perubahan energi akibat denaturasi (∆Gi)………………………. 62 SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………... 64 Simpulan………………………………………………………………….. 64 Saran……………………………………………………………………… 65 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 66 LAMPIRAN xviii DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Pangsa pasar enzim………………………………………………………... 2 2. Jenis mikroba dan protease yang dihasilkan……………………...……….. 21 3. Pemurnian enzim protease dari Rhizopus oligosporus……………………. 53 4. Perubahan laju inaktivasi (ki), waktu paruh (t½), dan energi akibat denaturasi (∆Gi) dengan dan tanpa penambahan polietilen glikol 6000 konsentrasi 12, 18, dan 24%.................................................................................................. 60 5. Hubungan antara berbagai tingkat kejenuhan ammonium sulfat (0-100)% dengan aktivitas enzim protease………………………………………….. 73 6. Hubungan antara berbagai tingkat kejenuhan ammonium sulfat (0-100)% dengan aktivitas enzim protease………………………………………….. 73 7. Hubungan antara pH optimum terhadap aktivitas unit (U/mL) enzim protease dengan dan tanpa penambahan polietilen glikol 6000 12, 18, dan 24%............................................................................................................. 74 8. Hubungan antara pH optimum terhadap aktivitas sisa (%) enzim protease dengan dan tanpa penambahan polietilen glikol 6000 12, 18, dan 24%...... 74 9. Hubungan antara suhu optimum terhadap aktivitas unit (U/mL) enzim protease dengan dan tanpa penembahan polietilen glikol 12, 18, dan 24%............................................................................................................. 75 10. Hubungan antara suhu optimum terhadap aktivitas sisa (%) enzim protease dengan dan tanpa penembahan polietilen glikol 12, 18, dan 24%............. 75 11. Data untuk menentukan KM dan Vmaks enzim protease hasil dialisis……. 76 12. Data untuk menentukan KM dan Vmaks enzim protease dengan penambahan polietilen glikol 6000 konsentrasi 12, 18, dan 24%.................................. 76 xviii 13. Hubungan antara stabilitas termal terhadap aktivitas unit (U/mL) enzim protease dengan dan tanpa penambahan polietilen glikol 6000 konsentrasi 12, 18, dan 24%........................................................................................ 77 14. Hubungan antara stabilitas termal terhadap aktivitas sisa (%) enzim protease dengan dan tanpa penambahan polietilen glikol 6000 konsentrasi 12, 18, dan 24%........................................................................................................... 77 15. Penentuan ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim protease hasil dialisis pada suhu 35°C…………………………………………………………. 78 16. Penentuan ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim protease dengan penambahan polietilen glikol 6000 konsentrasi 12, 18, dan 24% pada suhu 45°C…………………………………………………………………….. 78 17. Absorbansi tirosin pada berbagai konsentrasi…………………………… 80 18. Absorbansi bovine serum albumin pada berbagai konsentrasi…………... 81 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Mekanisme kerja enzim berdasarkan teori lock and key …………..….... 10 2. Mekanisme kerja enzim berdasarkan teori ketepatan induksi …….….... 11 3. Jamur Rhizopus oligosporus…………………………………………………. 18 4. Letak pemutusan gugus fungsi pada protein oleh enzim protease…….... 19 5. Diagram Lineweaver-Burk………………………………………..……... 29 6. Skema proses pengendapan protein enzim dengan pengendapan ammonium sulfat……………………………………………..…………. 40 7. Diagram alir penelitian…………………………………………………. 44 8. Hubungan antara tingkat kejenuhan ammonium sulfat (%) terhadap aktivitas unit (U/mL) enzim protease dari Rhizopus oligosporus……... 50 9. Hubungan antara tingkat kejenuhan ammonium sulfat (%) terhadap aktivitas unit (U/mL) enzim protease dari Rhizopus oligosporus pada fraksi (0-20)% dan (20-90)%............................................................................. 51 10. Hubungan antara pH optimum terhadap aktivitas sisa (%) enzim protease dengan dan tanpa penambahan polietilen glikol 6000 12, 18, dan 24%.......................................................................................................... 54 11. Hubungan antara suhu optimum terhadap aktivitas sisa (%) enzim protease dengan dan tanpa penembahan polietilen glikol 12, 18, dan 24%........... 56 12. Kurva Lineweaver-Burk enzim protease dengan dan tanpa penambahan polietilen glikol konsentrasi6000 12, 18, dan 24%................................. 58 13. Hubungan antara stabilitas termal terhadap aktivitas sisa (%) enzim protease dengan dan tanpa penambahan polietilen glikol 6000 konsentrasi 12, 18, dan 24%....................................................................................... 59 14. Hubungan Ln (Ei/Eo) enzim protease dengan dan tanpa penambahan polietilen glikol 6000 konsentrasi 12, 18, dan 24% untuk penentuan ki, waktu paruh, dan ∆G i………………………………………………….. 61 15. Kurva standar tirosin………………………………………………….. 80 16. Kurva standar BSA……………………………………………………. 81 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan jumlah industri yang menggunakan enzim belakangan ini semakin meningkat, khususnya enzim golongan hidrolase seperti protease, amilase, lipase, kitinase dan xilanase. Berbagai penelitian mengenai enzim telah dilakukan seiring dengan meningkatnya penggunaan enzim yang terjadi, karena enzim sebagai salah satu agensia alternatif untuk menggantikan berbagai proses kimiawi baik dalam bidang industri maupun bidang bioteknologi (Falch, 1991). Luasnya sektor pasar yang dimiliki serta sumber daya alam yang mendukung merupakan peluang berharga bagi pengembangan industri enzim di Indonesia. Secara khusus, kebutuhan akan enzim protease di Indonesia saat ini semakin meningkat, namun kebutuhan ini masih bergantung pada produksi impor. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam hayati yang dimiliki Indonesia untuk memproduksi enzim merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi ketergantungan terhadap impor yang saat ini masih berlangsung terus-menerus (Suhartono, 2000). 2 Menurut Hudgson (1994), protease menduduki peringkat pertama sebagai enzim yang dipergunakan dalam industri. Industri menyerap sekitar 30-35% dari total enzim yang ada. Tabel 1 berikut menyatakan pangsa pasar enzim: Tabel 1. Pangsa pasar enzim (Hudgson, 1994) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jenis Enzim Protease Amilase (Bacillus) Renet (Calf) Glokoamilase Glukose isomerase Papain, bromelin Pectinase Pacreatin, tripsin Lipase Persentase 30-35% 10-12% 1-12% 8-10% 5-7% 4-6% 4-5% 2-4% 2-3% Enzim protease yang digunakan dalam bidang industri umumnya dihasilkan dari mikroorganisme. Penggunaan mikroorganisme untuk produksi enzim, khususnya protease mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya mudah diproduksi dalam skala besar, waktu produksi relatif pendek, serta dapat diproduksi secara berkesinambungan dengan biaya yang relatif rendah (Thomas, 1984). Protease merupakan suatu jenis enzim yang memiliki peran penting dan bernilai ekonomi tinggi karena penggunaannya yang sangat luas. Enzim ini memainkan peran penting dalam industri makanan, misalnya dalam proses konversi susu menjadi keju (Saefudin, 2006). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika protease yang digunakan mencapai 60% dari total enzim yang diperjual belikan di seluruh dunia (Ward, 1985). Namun, penggunaan 3 enzim dalam bidang industri harus memenuhi beberapa kriteria khusus, diantara ialah memiliki kestabilan pada suhu tinggi dan pH ekstrim (Goddette et al., 1993). Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan enzim yang memiliki kestabilan tinggi. Pertama, isolasi langsung dari organisme yang terdapat di alam yang hidup pada kondisi ekstrimofilik dan yang kedua adalah dengan melakukan modifikasi kimia terhadap enzim yang berasal dari mikroorganisme yang hidup pada kondisi tidak ekstrim atau mesofilik (Wagen, 1984). Cara lain yang dapat dilakukan ialah dengan amobilisasi dan mutagenesis terarah, modifikasi kimia, rekayasa molekuler dan penambahan zat aditif (Mozhaev and Martinek, 1984). Penggunaan zat aditif lebih sering dipilih karena relatif lebih mudah dan biayanya murah (Suhartono,1992). Pada penelitian ini, akan dilakukan studi pengaruh penambahan zat aditif berupa polietilen glikol 6000 terhadap kestabilan enzim protease yang diisolasi dari jamur Rhizopus oligosporus. Pemilihan polietilen glikol 6000 didasarkan oleh sifatnya yang stabil, larut dalam air dan mampu berikatan dengan protein tanpa merusak sisi aktif protein tersebut. Modifikasi kimia terhadap enzim protease menggunakan sianurat klorida polietilen glikol (CC-PEG) telah dilakukan oleh Yandri, dkk (2007). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa enzim protease hasil modifikasi mengalami peningkatan stabilitas termal dan stabilitas terhadap pH enzim hasil pemurnian hingga 2-3 kali. Enzim hasil modifikasi memiliki rentang 4 pH yang lebih besar dibanding enzim hasil pemurnian yaitu 6,0-9,0. Selain itu, pada modifikasi kimia enzim protease menggunakan nitrofenolkarbonat polietilen glikol (NPC-PEG), enzim tidak mengalami perubahan pH optimum tetapi mengalami perubahan suhu optimum dari suhu 60°C menjadi 65°C. Enzim hasil modifikasi menggunakan nitrofenolkarbonat polietilen glikol (NPC-PEG) memiliki stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan enzim hasil pemurnian. Peningkatan stabilitas enzim hasil modifikasi antara 2-2,5 kali dan kestabilan enzim hasil modifikasi daripada enzim hasil pemurnian ditunjukkan dengan penurunan nilai Ki serta peningkatan waktu paruh dan ∆Gi (Yandri et al., 2008). Berdasarkan hasil tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai penambahan polietilen glikol 6000 untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kestabilan enzim protease dari Rhizopus oligosporus. B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengisolasi enzim protease dari jamur Rhizopus oligosporus pada kondisi optimumnya, untuk memperoleh aktivitas unit maksimum. 2. Mempelajari pengaruh penambahan zat aditif berupa polietilen glikol 6000 terhadap stabilitas enzim protease yang diisolasi dari jamur Rhizopus oligosporus. 5 C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain : 1. Diperoleh enzim protease yang memiliki kestabilan tinggi pada kondisi ekstrim sehingga dapat dimanfaatkan dalam bidang industri. 2. Memberikan informasi mengenai pengaruh penambahan zat aditif berupa polietilen glikol 6000 terhadap stabilitas enzim protease dari jamur Rhizopus oligosporus. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Enzim Enzim merupakan suatu protein yang berperan sebagai biokatalisator dalam suatu reaksi kimia. Enzim mampu mempercepat suatu reaksi tanpa ikut bereaksi dalam reaksi tersebut (Hao et al., 2006). Dalam suatu proses biokimia, enzim mempercepat laju reaksi 103 – 1012 kali dibandingkan reaksi yang tanpa dikatalisis oleh enzim ( Ngili, 2008). Peningkatan laju reaksi oleh enzim dilakukan secara selektif dan efisien berdasarkan hukum termodinamika dan kinetika (Shahib, 2005). Enzim sebagai biokatalis dalam proses biokimia yang terjadi di dalam maupun luar sel memiliki sifat yang sangat khas, sebab enzim hanya bekerja pada substrat tertentu dan bentuk reaksi tertentu pula (Poedjiadi, 2006). Selain itu, enzim dapat bekerja pada kondisi tekanan dan suhu rendah (Bhat, 2006), tidak membentuk produk samping, produktivitas tinggi, menekan biaya purifikasi karena umumnya produk akhir tidak mengalami kontaminasi serta ramah lingkungan (Chaplin and Bucke, 1990). Pada reaksi-reaksi biokimia dalam sel, enzim mengkatalisis dengan konsentrasi yang sangat rendah (Kuchel and Gregory, 2002). 7 Enzim memiliki berat molekul yang bermacam-macam antara 104 – 107 KDa (Dryer, 1993). Molekul enzim biasanya berbentuk bulat (globular), sebagian terdiri atas satu rantai polipeptida dan sebagian lainnya terdiri atas lebih dari satu rantai polipeptida (Wirahadikusumah, 1997). Salah satu keunggulan yang dimiliki enzim ialah sifatnya yang spesifik, artinya berbeda antara satu dengan lainnya. Dengan demikian, sifat ini dapat dimanfaatkan untuk tujuan reaksi sesuai dengan jenis produk yang diharapkan. Spesifitas enzim merupakan kemampuan suatu enzim dalam mendiskriminasikan substratnya berdasarkan pada perbedaan afinitas substrat untuk mencapai sisi aktif enzim (Pederson dan Holmer, 1995). Keunggulan lainnya adalah enzim mampu bekerja pada kondisi yang ramah (mild) dan dapat menekan konsumsi energi (suhu dan tekanan tinggi) sehingga reaksi yang dikatalisis enzim menjadi lebih efisien dibandingkan reaksi yang dikatalis dengan katalis kimia (Misset, 1993). Menurut Lehninger (2005), dalam mempercepat suatu reaksi atau proses biokimia, enzim bekerja dengan cara menempel pada permukaan molekul zat-zat yang bereaksi. Percepatan reaksi terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang sendirinya akan mempermudah terjadinya reaksi. Enzim mengikat molekul substrat membentuk kompleks enzim substrat yang bersifat sementara, kemudian terurai membentuk enzim bebas dan produknya sesuai dengan persamaan reaksi berikut. E+S ES E+P 8 1. Klasifikasi Enzim a. Menurut Ngili (2009), berdasarkan spesifikasi fungsinya enzim diklasifikasikan menjadi enam kelas, yaitu : 1. Oksidoreduktase, mengkatalisis suatu reaksi reduksi oksidasi berupa pemindahan elektron, hidrogen atau oksigen. 2. Transferase, mengkatalisis perpindahan gugus dari molekul satu ke molekul lain, misalnya gugus amino, metal, asil, karbonil, ataupun fosforil. 3. Hidrolase, mengkatalisis penghidrolisisan substrat berupa pemutusan ikatan antara karbon dengan atom-atom lain dengan adanya penambahan air. 4. Liase, mengkatalisis penambahan gugus fungsi dari suatu molekul tanpa melalui proses hidrolisis. 5. Isomerase, mengkatalisis suatu reaksi isomerasi. 6. Ligase, mengkatalisi suatu reaksi penggabungan dua molekul dengan membebaskan molekul pirofosfat dari nukleosida trifosfat. b. Menurut Lehninger (1982), berdasarkan proses pembentukannya enzim diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : 1. Enzim konstitutif merupakan enzim yang dihasilkan oleh sel berdasarkan ada tidaknya substrat tertentu dan dihasilkan secara kontinyu, seperti enzim amilase. 2. Enzim adaptif merupakan enzim yang dihasilkan oleh sel dengan adanya substrat tertentu. Enzim dibentuk dari induksi 9 yang terjadi antara enzim dan induser yaitu substrat yang menyebabkan pembentukan enzim tersebut. 2. Mekanisme reaksi enzim Ada dua teori mengenai mekanisme kerja enzim, yaitu teori lock and key dan teori ketepatan induksi. a. Teori Gembok dan Kunci (Lock and Key Theory) Teori ini dikemukakan oleh Fischer. Menurutnya, enzim diumpamakan sebagai gembok karena memiliki sebuah bagian kecil yang dapat berikatan dengan substrat yang disebut dengan sisi aktif, sedangkan substrat sebagai kunci karena dapat berikatan secara pas dengan sisi aktif enzim. Substrat dapat berikatan dengan enzim, jika sesuai dengan sisi aktif enzim. Sisi aktif enzim mempunyai bentuk tertentu yang hanya sesuai untuk satu jenis substrat saja, hal itu menyebabkan enzim bekerja secara spesifik. Substrat yang mempunyai bentuk ruang yang sesuai dengan sisi aktif enzim akan berikatan dan membentuk kompleks transisi enzim-substrat. Senyawa transisi ini tidak stabil sehingga pembentukan produk berlangsung dengan sendirinya. Jika enzim mengalami denaturasi (rusak) karena panas, bentuk sisi aktif akan berubah sehingga substrat tidak sesuai lagi. Perubahan pH juga mempunyai pengaruh yang sama. 10 Gambar 1. Mekanisme kerja enzim berdasarkan teori lock and key (Berg et al., 2007). b. Teori Ketepatan Induksi (Induced Fit Theory) Teori ini dikemukakan oleh Daniel Koshland. Menurutnya, sisi aktif enzim bersifat fleksibel. Akibatnya, sisi aktif enzim dapat berubah bentuk menyesuaikan bentuk substrat. Reaksi antara substrat dengan enzim berlangsung karena adanya induksi molekul substrat terhadap molekul enzim. Menurut teori ini, sisi aktif enzim bersifat fleksibel dalam menyesuaikan stuktur sesuai dengan struktur substrat. Ketika substrat memasuki sisi aktif enzim, maka enzim akan terinduksi dan kemudian mengubah bentuknya sedikit sehingga mengakibatkan perubahan sisi aktif yang semula tidak cocok menjadi cocok. Kemudian terjadi pengikatan substrat oleh enzim yang selanjutnya substrat diubah menjadi produk. Produk 11 kemudian dilepaskan dan enzim kembali pada keadaan semula dan siap untuk mengikat substrat baru. Gambar 2. Mekanisme reaksi enzim berdasarkan teori ketepatan induksi (Berg et al., 2007). 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja enzim Kerja suatu enzim dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : a. Temperatur Keberadaan suatu enzim dapat mempercepat terjadinya reaksi kimia pada suatu sel hidup. Dalam batas-batas suhu tertentu, kecepatan suatu reaksi yang dikatalisis oleh enzim akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Reaksi yang paling cepat akan terjadi pada suhu optimum (Rodwell, 1988). Aktivitas maksimum enzim tercapai pada suhu optimumnya. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan enzim mengalami kerusakan pada bagian sisi aktifnya 12 atau dikenal dengan istilah denaturasi (Poedjiadi, 2006) sebab, lipatan molekul enzim akan terbuka akibat suhu yang terlalu tinggi sehingga akan menurunkan interaksi hidrofobik dan menyebabkan terbentuknya suatu agregat. Selain itu, substrat juga akan mengalami perubahan konformasi dan mengakibatkan rusaknya gugus reaktif pada substrat tersebut sehingga akan menghambatnya dalam memasuki pusat aktif enzim (Suhartono, 1989). Sedangkan pada suhu 0oC enzim tidak akan mengalami kerusakan, hanya saja pada suhu tersebut enzim tidak aktif dan dapat diaktifkan kembali pada suhu normal (Lay and Sugyo, 1992). b. Derajat keasaman Umumnya, enzim bersifat amfolitik. Enzim memiliki konstanta disosiasi pada gugus asam maupun basa yang dimilikinya, khususnya pada gugus residu terminal karboksil dan gugus terminal aminonya. Sehingga diperkirakan perubahan pH lingkungan akan mempengaruhi kereaktifan enzim. Struktur ion enzim bergantung pada pH lingkungan. Enzim dapat berbentuk ion positif dan ion negatif yang dikenal dengan zwitter ion. Karena itu, perubahan pH akan sangat mempengaruhi efektivtas bagian aktif enzim dalam membentuk kompleks enzim-substrat. Selain itu, pH yang tinggi akan menyebabkan enzim terdenaturasi dan mengakibatkan turunnya aktivitas enzim. pH optimum enzim berkisar antara 4,5 – 8,0 (Winarno, 1986). 13 c. Konsentrasi substrat Penambahan konsentrasi substrat hingga batas tertentu akan meningkatkan laju reaksi enzimatis. Jika konsentrasi enzim tetap dan konsentrasi substrat rendah, maka kompleks enzim-substrat yang terbentuk hanya sedikit (banyak enzim yang masih tidak berikatan dengan substrat / enzim bebas). Bila konsentrasi substrat dinaikkan, maka akan terbentuk kompleks enzim-substrat yang lebih banyak sehingga laju reaksi pun akan meningkat karena semakin jumlah enzim bebas semakin berkurang. Dalam kondisi batas konsentrasi substrat tertentu, dimana sudah tidak adanya lagi enzim bebas, penambahan konsentrasi substrat tidak akan meningkatkan laju reaksi enzimatis dan kompleks enzim-substrat pun tidak akan bertambah (Poedjiadi, 1994). d. Konsentrasi enzim Kecepatan laju reaksi enzimatis dipengaruhi secara langsung oleh konsentrasi enzim. Laju reaksi pada konsentrasi substrat tertentu akan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi enzim (Poedjiadi, 1994). Laju reaksi meningkat secara linier selama konsentrasi enzim jauh lebih sedikit dibanding konsentrasi substrat. Biasanya hal ini terjadi pada kondisi fisiologis (Page, 1997). e. Inhibitor dan aktivator Inhibitor merupakan suatu zat kimia tertentu yang dapat menghambat aktivitas enzim (Wirahadikusumah, 1997). Pada 14 prinsipnya, inhibitor menyerang sisi aktif enzim sehingga enzim tidak dapat berikatan dengan substrat dan fungsi katalitik enzim akan terganggu (Winarno, 1986). Sedangkan aktivator merupakan senyawa atau ion yang dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzimatis. Ada beberapa enzim yang membutuhkan aktivator dalam reaksi katalisnya. Komponen kimia yang membentuk enzim disebut kofaktor. Kofaktor dapat berupa ion-ion anorganik seperti Zn, Ca, Fe, Cu, Mn, dan Mg atau dapat pula berupa molekul organik kompleks yang disebut koenzim (Martoharsono, 1984). 4. Sifat katalitik enzim Menurut Page (1989), enzim memiliki sifat katalitik ialah sebagai berikut : a. Enzim memiliki selektivitas tinggi terhadap substrat dan jenis reaksi yang dikatalisis. b. Enzim mampu meningkatkan laju suatu reaksi yang tinggi dibanding katalis biasa. c. Enzim mampu meningkatkan laju reaksi pada kondisi fisiologik dari tekanan, suhu dan pH. B. Jamur Rhizopus oligosporus Jamur atau cendawan adalah tumbuhan yang tidak mempunyai klorofil sehingga bersifat heterotrof. Jamur ada yang bersifat uniseluler dan ada juga multiseluler. Tubuhnya terdiri dari benang-benang yang disebut hifa. Hifa 15 dapat membentuk anyaman bercabang-cabang yang disebut miselium. Reproduksi jamur, ada yang dengan cara vegetatif ada juga dengan cara generatif. Jamur menyerap zat organik dari lingkungan melalui hifa dan miseliumnya untuk memperoleh makanannya. Setelah itu, menyimpannya dalam bentuk glikogen. Jamur merupakan konsumen, maka dari itu jamur bergantung pada substrat yang menyediakan karbohidrat, protein, vitamin, dan senyawa kimia lainnya. Semua zat itu diperoleh dari lingkungannya. Sebagai organisme heterotrof, jamur dapat bersifat parasit obligat, parasit fakultatif, atau saprofit. Cara hidup jamur lainnya adalah melakukan simbiosis mutualisme. Jamur yang hidup bersimbiosis, selain menyerap makanan dari organisme lain juga menghasilkan zat tertentu yang bermanfaat bagi simbionnya. Simbiosis mutualisme jamur dengan tanaman dapat dilihat pada mikoriza, yaitu jamur yang hidup di akar tanaman kacang-kacangan atau pada liken. Jamur berhabitat pada bermacam-macam lingkungan dan berasosiasi dengan banyak organisme. Meskipun kebanyakan hidup di darat, beberapa jamur ada yang hidup di air dan berasosiasi dengan organisme air. Jamur yang hidup di air biasanya bersifat parasit atau saprofit, dan kebanyakan dari kelas Oomycetes. Jamur dibedakan menjadi 4 divisio, yaitu Zygomycota, Ascomycota, Basidiomycota, dan Deuteromycota. Menurut Triwibowo (1996), tempe yang kita makan mengandung jamur. Setelah hari pertama pembuatan tempe, mulailah muncul benang-benang halus berwarna putih. Hari berikutnya, benang-banang tersebut semakin 16 menebal dan biji kedelai tidak nampak lagi. Benang-banang putih pada tempe itu sebenarnya adalah hifa. Hifa-hifa tersebut tumbuh bercabangcabang sehingga menyerupai kapas. Jamur yang berperan dalam pembuatan tempe tersebut merupakan salah satu dari jamur Rhizopus yang tergolong dalam divisi Zygomycotina. Nama Zygomycotina berasal dari istilah zigosporangium yaitu badan penghasil spora (zigospora). Zigospora merupakan spora istirahat yang memiliki dinding tebal. Rhizopus oligosporus yang termasuk dalam divisi Zygomycota ini banyak menghasilkan enzim protease. Rhizopus oligosporus banyak ditemui di tanah, buah, dan sayuran yang membusuk, serta roti yang sudah lama. Jamur ini biasa dimanfaatkan dalam pembuatan tempe dari proses fermentasi kacang kedelai, karena Rhizopus oligosporus menghasilkan enzim fitase yang memecah fitat membuat komponen makro pada kedelai dipecah menjadi komponen mikro sehingga tempe lebih mudah dicerna dan zat gizinya lebih mudah terserap tubuh (Jennessen et al., 2008). Jamur ini juga dapat memfermentasi substrat lain, memproduksi enzim, dan mengolah limbah. Salah satu enzim yang diproduksi tersebut adalah dari golongan protease (Wang et al., 1972). Menurut Triwibowo (1996), Rhizopus oligosporus menghasilkan enzimenzim protease yang dapat senyawa kompleks protein menjadi senyawasenyawa lebih sederhana. Peran Rhizopus oligosporus sangat penting dalam fermentasi, khususnya pada pembuatan tempe. 17 Rhizopus oligosporus mempunyai koloni abu-abu kecoklatan dengan tinggi 1 mm atau lebih. Jamur ini memiliki sporangiofor tunggal atau dalam kelompok dengan dinding halus atau agak sedikit kasar, dengan panjang lebih dari 1000 mikro meter dan diameter 10-18 mikro meter. Sporangia globosa yang pada saat masak berwarna hitam kecoklatan, dengan diameter 100-180 mikro meter (Cochrane, 1958). Mengandung banyak klamidospora baik tunggal atau rantaian pendek, tidak berwarna, dengan berisi granula, terbentuk pada hifa, sporangiofor dan sporangia (Madigan, 2006). Bentuk klamidospora globosa, elip atau silindris dengan ukuran 7-30 mikro meter atau 12-45 mikro meter x 7-35 mikro meter. Rhizopus oligosporus dapat tumbuh optimum pada suhu 30-35°C dengan suhu minimum 12°C dan suhu maksimum 42°C (Wipradnyadewi, 2005). Beberapa manfaat dari Rhizopus oligosporus antara lain meliputi aktivitas enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotik alami yang secara khusus dapat melawan bakteri gram positif, biosintesa vitamin-vitamin B, kebutuhannya akan senyawa sumber karbon dan nitrogen (Madigan et al., 2006), perkecambahan spora, dan penetrisi miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelai (Wipradnyadewi, 2005). 18 Gambar 3. Jamur Rhizopus oligosporus (Image from Fineartaamerica Commons) C. Enzim Protease Protease merupakan enzim yang berperan dalam memecah ikatan peptida pada molekul protein menjadi asam amino melalui proses hidrolisis. Karena yang dipecah adalah ikatan peptida, maka enzim ini juga dinamakan peptidase (Poedjiadi, 1994). Berdasarkan cara kerjanya, ada dua golongan enzim protease yaitu endopeptidase dan eksopeptidase. Endopeptidase berperan dalam memutus ikatan pada bagian-bagian tertentu dalam molekul protein dan biasanya tidak mempengaruhi gugus yang terletak di ujung molekul, misalnya enzim pepsin yang terdapat dalam usus halus. Eksopeptidase berperan dalam memutus ikatan pada kedua ujung protein. Karboksipeptidse dapat melepas asam amino yang memiliki gugus karboksilat (-COOH) bebas pada ujung molekul protein, sedangkan aminopeptidase dapat melepas asam amino pada ujung lain yang memiliki gugus amina (–NH2) bebas. 19 H HOOC C NH CO……………………………NH R karboksipeptidase CO CH NH2 R aminopeptidase Gambar 4. Letak pemutusan gugus fungsi pada protein oleh enzim protease Dari Gambar 4 di atas, kita ketahui bahwa eksopeptidase akan melepas asam amino secara berurut mulai dari asam amino ujung pada molekul protein hingga seluruhnya terpecah menjadi asam amino (Winarno, 1995). Berdasarkan residu asam amino yang berada pada sisi aktifnya, protease diklasifikasikan menjadi empat golongan. Keempat golongan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Protease serin, merupakan protease yang mempunyai residu serin pada sisi aktifnya. Semua enzim tersebut bersifat endopeptidase, misalnya enzim tripsin, kimotripsin, elastase, dan subtilin. 2. Protease sulfidril, merupakan protease yang memiliki sulfidril pada sisi aktifnya. Enzim ini dihambat oleh senyawa oksidator, alkilator, dan logam berat. Enzim yang termasuk golongan ini adalah protease dari tanaman dan mikroba, misalnya papain dan bromelin. 3. Protease metal, merupakan protease yang keaktifannya bergantung pada adanya logam. Logam tersebut terdiri dari Mg, Zn, Co, Fe, Hg, dan Ni. Enzim ini dihambat oleh EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid) yang dapat mengkhelat metal sehingga keaktifan enzim hilang. Contoh 20 enzim yang termasuk golongan protease metal adalah karboksipeptidase A untuk beberapa aminopeptidase. 4. Protease asam, merupakan protease yang memiliki dua gugus karboksil pada sisi aktifnya. Keaktifan dapat dihambat oleh p-bromofenasilbromida. Enzim golongan ini aktif hanya pada pH rendah, misalnya pepsin, renin, dan protease kapang. D. Mikroba Protease Enzim protease yang dihasilkan dari mikroba dapat diproduksi dari kapang, khamir maupun bakteri. Penggunaan mikroba sebagai penghasil enzim memiliki beberapa keuntungan, diantaranya ialah biaya produksi relatif lebih murah, waktu produksi relatif lebih singkat, kecepatan tumbuh relatif tinggi, bermutu seragam, aktivitas dapat ditingkatkan serta mudah dikontrol (Kombong, 2004). Adanya perkembangan teknologi yang pesat terutama di bidang bioteknologi telah menjadikan mikroba sebagai salah satu penghasil protease yang potensial. Tabel 2 berikut ini merupakan beberapa mikroba penghasil protease. 21 Tabel 2. Jenis mikroba dan protease yang dihasilkan Jenis protease Aminopeptidase Dipeptidase Peptidil dipeptidase Karboksipeptidase logam Protease serin Protease tiol (sulfidril) Protease karboksil (asam) Protease logam (metal) Mikroba penghasil E. coli Aeromonas proteolytica Clostridium histolytica Khamir E. coli Mycobacterium phei E. coli Pseudomonas sp. Bacillus subtillis E. coli Khamir Pseudomonas Bacillus subtillis Aspergillus sp. Staphylococus aureus Clostridium histolyticum Streptococus sp. Staphylococus aureus Khamir Aspergillus oryzae Aspergillus niger Saccharomyces sp. Rhizopus sp. Clostridium histolyticum Streptomyces sp. Micrococus caseoliticus Bacillus stearothermophyllus Sumber : Suhartono (1992) E. Aplikasi Protease Sejak puluhan tahun yang lalu, enzim protease telah digunakan dalam berbagai bidang. Beberapa contoh aplikasi protease di berbagai bidang ialah sebagai berikut: 22 1. Protease dalam industri deterjen Baik deterjen yang digunakan untuk mencuci baju atau pun yang digunakan untuk mencuci gigi palsu dan lensa kontak salah satu komponen penyusunnya adalah protease. Protease yang digunakan untuk deterjen harus mempunyai spesifitas yang lebar terhadap bermacam substrat agar dapat menghilangkan berbagai noda. Selain itu, protease harus tahan terhadap pengoksidasi maupun pengkhelat yang merupakan komponen lain dalam deterjen. Protease juga harus stabil dan aktif pada suhu dan pH yang tinggi (Rao, et al., 1998). 2. Protease dalam industri makanan Dalam bidang industri makanan, protease digunakan dalam pembuatan keju, pembuatan roti, dan sebagai pengempuk daging. Pada pembuatan keju, tujuan penambahan protease ke dalam susu guna menghidrolisis ikatan peptida spesifik, sehingga susu akan terkoagulasi. Protease yang digunakan untuk mengkoagulasi susu ialah renin yang terdapat pada lambung anak sapi. Namun, seiring dengan meningkatnya produksi keju maka persediaan renin dari lambung anak sapi pun menurun. Sebagai alternatifnya, maka digunakan protease yang berasal dari beberapa jenis mikroba yang ternyata mampu mengkoagulasi susu (Sumantha et al., 2006). 3. Protease dalam industri farmasi Dalam bidang farmasi, enzim protease digunakan sebagai obat pencernaan. Protease juga terbukti sebagai zat anti radang. Penyuntikan 23 dengan protease tertentu diketahui dapat meringankan beberapa jenis peradangan. Jenis protease yang berperan adalah papain, bromelin, protease yang berasal dari bakteri, kimotripsin dan tripsin (Sizer, 1964). F. Isolasi dan Pemurnian Enzim Enzim dapat diisolasi secara ekstraseluler dan intraseluler. Enzim ekstraseluler merupakan enzim yang dihasilkan di dalam sel dan dikeluarkan ke lingkungan tempat ia bekerja, sedangkan enzim intraseluler merupakan enzim yang dihasilkan dan bekerja di dalam sel. Ekstraksi enzim ekstraseluler lebih mudah dibandingkan intraseluler karena tidak membutuhkan pemecahan sel dan enzim yang dikeluarkan dari sel mudah dipisahkan dari pengotor lain serta tidak banyak bercampur dengan pengotor ataupun zat lain yang keberadaannya tidak diharapkan (Pelczar and Chan, 1986). Tahapan isolasi dan pemurnian enzim berlangsung sesuai proses berikut : 1. Sentrifugasi Pemurnian enzim diawali dengan tahap sentrifugasi. Metode ini digunakan untuk memisahkan enzim dari sisa-sisa dinding sel, dimana molekul yang memiliki berat lebih tinggi akan mengendap di dasar tabung dengan cepat jika sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan tinggi. Sentrifugasi akan menghasilkan supernatan dan pellet. Sel-sel mikroba yang tersisa biasanya akan mengalami sedimentasi pada kecepatan 5000 rpm selama 15 menit (Scopes, 1982; Walsh and Headon, 1994). 24 Prinsip sentrifugasi didasarkan pada kenyataan bahwa setiap partikel yang berputar pada laju sudut yang konstan akan memperoleh daya keluar (F). Besar gaya ini bergantung pada laju sudut ω (radian/sekon) dan radius pertukarannya (cm). F = ω2 r (Wirahadikusumah, 1997) 2. Fraksinasi dengan ammonium sulfat [(NH4)2SO4] Fraksinasi merupakan proses pengendapan protein atau enzim dengan menambahkan senyawa elektrolit seperti garam ammonium sulfat, natrium klorida atau natrium sulfat. Penambahan senyawa elektrolit ke dalam larutan yang mengandung protein dapat menyebabkan protein terendapkan. Pengendapan protein tersebut dipengaruhi oleh kekuatan ion dalam larutan. Meningkatnya kekuatan ion dalam larutan menyebabkan kelarutan enzim akan semakin besar, peristiwa ini disebut salting in. setelah mencapai titik tertentu, dimana kandungan garam semakin tinggi, maka kelarutan protein akan semakin menurun dan terjadi pengendapan protein yang dikenal dengan salting out (Wirahadikusumah, 1989). Pada kekuatan ion rendah, protein akan terionisasi sehingga interaksi antar protein akan menurun dan kelarutan akan meningkat. Peningkatan kekuatan ion ini meningkatkan kadar air yang terikat pada ion dan jika interaksi antar ion kuat, kelarutannya akan menurun. Akibatnya, interaksi 25 antar protein lebih kuat dan kelarutannya makin rendah (Agustien dan Munir, 1997). Ammonium sulfat sering digunakan dalam fraksinasi karena kelebihannya, antara lain: sebagian besar enzim tahan (tidak terdenaturasi) terhadap garam tersebut, memiliki kelarutan tinggi, memiliki daya pengendapan yang cukup tinggi dan memiliki efek penstabil terhadap kebanyakan enzim. Penambahan ammonium sulfat dilakukan dengan meningkatkan kejenuhan dari larutan enzim membentuk peristiwa salting out dengan pembagian fraksi : (0-20)% jenuh, (20-40)% jenuh, (60-80)% jenuh, dan (80-100)% jenuh (Judoamidjojo et al., 1989). 3. Dialisis Dialisis meruapakan metode pemurnian larutan protein atau enzim yang mengandung garam setelah melalui tahap fraksinasi. Dialisis dilakukan berdasarkan difusi partikel zat terlarut pada membran semipermeabel. Protein enzim dimasukkan ke dalam kantung dialisis yang terbuat dari membran semipermeabel (selofan). Selanjutnya, kantung yang berisi larutan protein enzim tersebut dimasukkan ke dalam larutan buffer sambil diputar-putar. Selama proses tersebut, partikel-partikel berukuran kecil yang ada di dalam larutan protein atau enzim seperti garam anorganik, akan keluar melewati pori-pori membran sedangkan molekul protein atau enzim yang berukuran besar tetap bertahan dalam kantung dialisis. Keluarnya partikel-partikel kecil tersebut mengakibatkan 26 distribusi ion-ion yang ada di dalam dan di luar kantung dialisis tidak seimbang. Untuk memperkecil pengaruh ini digunakan larutan buffer dengan konsentrasi rendah di luar kantung dialisis (Lehninger, 1982). Partikel-partikel yang berukuran kecil akan terus terdifusi keluar membran hingga ion-ion dalam membran seimbang dan dapat diabaikan (Boyer, 1993). Difusi zat terlarut bergantung pada temperatur dan viskositas larutan. Meskipun temperatur tinggi dapat meningkatkan laju difusi, namun sebagian besar protein dan enzim stabil pada suhu 4-8oC sehingga dialisis harus dilakukan dalam ruang dingin (Pohl, 1990). G. Penentuan Kadar Protein dengan Metode Lowry Penentuan kadar protein bertujuan untuk mengetahui bahwa protein enzim masih terdapat pada tiap fraksi pemurnian dengan aktivitas yang tetap baik. Penentuan kadar protein dengan metode Lowry didasarkan pada pengukuran serapan cahaya oleh ikatan kompleks berwarna ungu. Metode ini bekerja pada lingkungan alkali dan ion tembaga(II) bereaksi membentuk kompleks dengan protein. Selanjutnya, reagen folin ciocelteau yang ditambahkan akan mengikat protein. Ikatan ini secara perlahan akan mereduksi reagen folin menjadi heteromolibdenum dan merubah warna larutan kuning menjadi biru keunguan. Pada metode Lowry, pengujian kadar protein didasarkan pada pembentukan kompleks Cu2+ dengan ikatan peptida yang akan tereduksi menjadi Cu+ pada 27 suasana basa. Cu+ dan rantai samping asam amino aromatik (tirosin, triptofan, dan sistein) akan bereaksi dengan reagen folin ciocelteau. Reagen ini bereaksi menghasilkan produk yang tidak stabil yang tereduksi secara lambat menjadi molibdenum atau tungesteen blue. Metode ini relatif sederhana dan biayanya relatif murah. Namun, metode ini sensitif terhadap perubahan pH dan konsentrasi protein yang rendah. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasinya ialah dengan menggunakan volume sampel dalam jumlah kecil sehingga tidak mempengaruhi reaksi (Lowry et al., 1951). H. Kinetika Reaksi Enzim Konstanta Michaelis-Menten (KM) dan laju reaksi maksimum (Vmaks) merupakan parameter dalam kinetika reaksi enzim. Kinetika enzim adalah salah satu cabang enzimologi yang membahas faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatis. Salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi substrat. Konsentrasi substrat dapat divariasikan untuk mempelajari mekanisme suatu reaksi enzim, yaitu proses terjadinya pengikatan substrat oleh enzim maupun pelepasan produknya (Suhartono, 1989). Berdasarkan postulat Michaelis-Menten pada suatu reaksi enzimatis terdiri dari beberapa fase yaitu pembentukan kompleks enzim substrat (ES), modifikasi dari substrat membentuk produk (P) yang masih terikat dengan enzim (EP), dan pelepasan produk dari molekul enzim. 28 E+S ES EP E+P (Shahib, 2005) Tiap-tiap enzim memiliki sifat dan karakterisasi spesifik seperti yang ditunjukkan pada sifat spesifisitas interaksi enzim terhadap substrat yang dinyatakan dalam tetapan Michaelis-Menten (KM). Nilai KM didefinisikan sebagai konsentrasi substrat tertentu pada saat enzim mencapai kecepatan setengah kecepatan maksimum. Setiap enzim memiliki nilai Vmaks dan KM yang khas dengan substrat spesifik pada suhu dan pH tertentu (Kamelia, 2005). Nilai KM yang kecil menunjukkan bahwa kompleks enzim substrat memiliki afinitas tinggi terhadap substrat, sedangkan jika nilai KM besar maka enzim tersebut memiliki afinitas rendah terhadap substrat (Page, 1989). Nilai KM suatu enzim dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Lineweaver-Burk yang diperoleh dari persamaan Michaeles-Menten yang kemudian dihasilkan suatu diagram Lineweaver-Burk yang ditunjukkan dalam Gambar 5. = = = [ ] (1) [ ] [ ] (2) [ ] [ ] + (3) 29 = − K V [ ] Gambar 5. Diagram Lineweaver-Burk (Suhartono, 1989). I. Stabilitas Enzim Sifat penting yang harus dimiliki enzim sebagai biokatalis adalah kestabilan. Enzim dikatakan stabil apabila enzim tersebut dapat mempertahankan aktivitasnya selama proses penyaringan dan penggunaan, selain itu enzim dapat mempertahankan kestabilannya terhadap berbagai senyawa yang bersifat perusak seperti pelarut tertentu baik asam ataupun basa dan oleh pengaruh suhu serta pH yang ekstrim (Wiseman, 1985). Ada dua cara yang dapat digunakan untuk memperoleh enzim dengan stabilitas yang tinggi, yaitu menggunakan enzim yang memiliki stabilitas ekstrim alami dan mengusahakan peningkatan stabilitas enzim yang secara alami tidak atau kurang stabil (Junita, 2002). Peningkatan stabilitas enzim 30 dapat dilakukan dengan menggunakan zat aditif, modifikasi kimia dan rekayasa protein (Illanes, 1999). 1. Stabilitas termal enzim Umumnya, sebagian besar enzim tidak stabil terhadap suhgu tinggi. Hal ini menjadi masalah utama pemanfaatan enzim dalam dunia industri, karena biasanya industri menggunakan suhu reaksi yang tinggi dengan tujuan mengurangi tingkat kontaminasi, masalah-masalah viskositas dan untuk meningkatkan laju reaksi. Misalnya dalam industri pembuatan sirup gula cair dan pembuatan deterjen, dibutuhkan enzim yang tahan terhadap suhu 60oC (Godfrey dan Reichelt, 1983). Contoh lainnya ialah pada proses hidrolisis pati menggunakan α-amilase bakterial, dibutuhkan enzim yang tahan terhadap suhu 85-100oC (Ahern dan Klibanov, 1987). Laju reaksi kimia akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh interaksi antar molekul semakin besar. Sama halnya dengan reaksi enzimatik, kenaikan suhu akan mempercepat laju reaksi, namun hanya sampai batas tertentu. Suhu yang terlampau tinggi (jauh dari suhu optimum) akan menyebabkan enzim mengalami denaturasi. Bila enzim terdenaturasi, bagian aktif enzim akan terganggu dan konsentrasi efektifnya akan berkurang, sehingga laju reaksi enzimatik pun akan menurun. Sebagai biokatalis, enzim akan mengalami keadaan inaktivasi pada suhu tertentu. Proses ini terjadi dalam dua tahap, yaitu : 31 a. Adanya pembukaan partial (partial unfolding) struktur sekunder, tersier, dan/atau kuartener molekul enzim. b. Perubahan struktur primer karena adanya kerusakan asam amino tertentu oleh panas (Ahern dan Klibanov, 1987). Dalam dua tahap tersebut di atas, air memegang peran terpenting. Oleh karena itu, dengan menggunakan air seperti pada kondisi mikroakueus, reaksi inaktivasi oleh panas dapat diperlambat dan stabilitas termal enzim akan meningkat. Dalam kondisi kering, stabilitas termal enzim akan lebih tinggi dibandingkan kondisi basah. Adanya air sebagai pelumas membuat konformasi suatu molekul enzim menjadi sangat fleksibel, sehingga molekul enzim akan menjadi lebih kaku bila air dihilangkan (Virdianingsih, 2002). 2. Stabilitas pH enzim Semua reaksi enzim dipengaruhi oleh pH medium tempat reaksi tersebut berlangsung. Umumnya, enzim aktif pada pH netral yaitu pH cairan makhluk hidup (Suhartono, 1989) dan bersifat amfolitik, yang berarti enzim memiliki konstanta disosiasi pada gugus asam maupun gugus basanya, terutama pada gugus residu termal karboksil dan gugus terminal aminanya (Winarno, 1995). Perubahan keaktifan enzim akibat perubahan pH lingkungan diperkirakan karena terjadinya ionisasi enzim, substrat, atau kompleks 32 enzim-substrat. Enzim menunjukkan aktivitas maksimum pada suatu kisaran pH (pH optimum), umumnya antara pH 4,5-8,0. Enzim memiliki stabilitas tertinggi di sekitar pH optimumnya (Winarno, 1986). Stabilitas enzim dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya suhu, pH, pelarut, kofaktor, dan surfaktan (Eijsinnk et al., 2005). Dari semua faktor tersebut, pH memegang peran terpenting. Pada reaksi enzimatis, sebagian besar enzim akan kehilangan aktivitas katalitiknya secara cepat dan irreversible pada pH yang jauh dari rentang pH optimum untuk reaksi enzimatis. Inaktivasi ini terjadi karena unfolding molekul protein sebagai hasil dari perubahan kesetimbangan elektrostatik dan ikatan hidrogen (Kazan et al., 1997). J. Polietilen Glikol 6000 Senyawa aditif merupakan senyawa yang apabila ditambahkan pada larutan enzim akan meningkatkan stabilitas struktur protein enzim tanpa mempengaruhi interaksi kovalen pada enzim. Pengaruh senyawa aditif terbatas pada interaksi non kovalen dengan enzim atau pada sistem pelarut enzim. Salah satu bahan aditif yang dapat digunakan adalah polietilen glikol (PEG). Polietilen glikol adalah polimer yang dapat dirumuskan oleh formula HOCH2(CH2OCH2)nCH2OH, dimana n adalah jumlah rata-rata gugus oksietilen. Berat molekul dari PEG ini dapat berkisar antara 150-10.000. Senyawa yang memiliki berat molekul dari 150-700 berbentuk cairan, 33 sedangkan senyawa dengan berat molekul 1.000-10.000 berupa padatan. Polietilen glikol 4.000, 6.000, dan 8.000 berupa serbuk putih dengan tekstur seperti lilin dan berwarna seperti parafin, sangat larut dalam air dan dalam diklorometan, serta sedikit larut dalam alkohol (Sweetman, 2009). Sekilas PEG tampak seperti senyawa sederhana. Meskipun tampak sederhana, molekul ini merupakan fokus dari banyak kepentingan dalam masyarakat di bidang bioteknik dan biomedis dikarenakan sifatnya yang sangat efektif di lingkungan yang berair. Sifat ini diartikan sebagai penolakan protein, pembentukan dua fase sistem polimer yang berbeda. Selain itu, polimer tidak bersifat racun dan tidak membahayakan protein aktif atau sel walaupun polimer sendiri berinteraksi dengan membran sel. Hal ini bergantung pada penyiapan modifikasinya secara kimia dan keterikatannya pada molekul lain dan permukaan. Ketika melekat pada molekul polimer lainnya memiliki pengaruh pada sifat kimia dan kelarutan molekul tersebut (Attwood dan Florence, 2008). Sifat lain yang dimiliki PEG ialah stabil, higroskopis (mudah menguap), larut dalam air, berikatan dengan protein dan biomolekul lainnya untuk agregasi dan meningkatkan kelarutan (Harris, 1992). III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Mei 2017 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. B. Alat dan Bahan Dalam penelitian ini, alat-alat yang digunakan antara lain alat-alat gelas, spatula, jarum ose, neraca analitik Ainsworth AA-160, lemari pendingin, mikropipet, laminar air flow CURMA model 9005-FL, autoclave model S90N, waterbath, sentrifuga, inkubator, penangas, shaker, magnetic stirer STUART, termometer, dan spektrofotometer UV-VIS Carry Win UV 32. Adapun bahan-bahan yang digunakan berupa PDA (Potato Dextrose Agar), TCA (trichloroacetic acid), tirosin, kasein, pepton, Ba(OH)2, (NH4)2SO4, KH2PO4, KCl, MgSO4.7H2O, CaCl2, yeast extrak, Na2HPO4, NaH2PO4.H2O, NaOH, Na2CO3, CuSO4.5H2O, kantong selofan, polietilen glikol 6000, Na-K tartarat, reagen follin ciocelteau, dan akuades. 35 Sedangkan mikroorganisme yang digunakan berupa jamur Rhizopus oligosporus penghasil enzim protease yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi dan Teknologi Bioproses Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. C. Prosedur Penelitian 1. Pembuatan media agar miring dan peremajaan jamur Rhizopus oligosporus a. Pembuatan media agar miring 3,8 gram PDA (Potato Dextrose Agar) dilarutkan dalam 100 mL akuades dan dididihkan hingga larut sempurna. Selanjutnya, disterilisasi pada suhu 121oC, tekanan 2 atm, selama 15 menit dalam autoclave dan diletakkan pada bidang miring selama 24 jam. b. Peremajaan jamur Rhizopus oligosporus Jamur Rhizopus oligosporus digoreskan pada media agar miring dengan menggunakan ose pada kondisi aseptik, lalu diinkubasi selama beberapa hari. 2. Pembuatan media inokulum dan fermentasi, inokulasi Rhizopus oligosporus dan produksi enzim protease a. Pembuatan media inokulum dan fermentasi Media inokulum dan media fermentasi yang digunakan terdiri dari 1% pepton, 2% (NH4)2SO4, 0,3% KH2PO4, 0,5% KCl, 0,5% yeast extrak, 0,5% MgSO4.7H2O, dan 0,1% CaCl2 yang dilarutkan dalam 36 100 mL buffer fosfat pH 5,5 untuk media inokulum dan 1000 mL buffer fosfat pH 5,5 untuk media fermentasi. Media kemudian disterilisasi pada suhu 121oC, tekanan 2 atm, selama 15 menit dalam autoclave. b. Inokulasi Rhizopus oligosporus Sebanyak 3 ose Rhizopus oligosporus dari media agar miring dipindahklan ke dalam 100 mL media inokulum secara aseptis di dalam laminar air flow, lalu dikocok dalam shaker inkubator pada suhu kamar dengan kecepatan 150 rpm, selama 24 jam. c. Produksi enzim protease Produksi enzim protease dilakukan dengan cara memindahkan media inokulum ke dalam media fermentasi sebanyak 2% dari jumlah media fermentasi secara aseptis dalam laminar air flow, lalu dikocok menggunakan shaker selama 76 jam pada suhu 35oC dengan kecepatan 150 rpm. 3. Isolasi enzim protease Isolasi enzim merupakan suatu metode pemisahan enzim dari komponen selnya. Pada penelitian ini, isolasi enzim protease dilakukan dengan cara sentrifugasi. Media fermentasi yang telah dishaker selama 76 jam, selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 4oC selama 20 menit, sehingga terbentuk supernatan dan pellet. Supernatan yang diperoleh merupakan ekstrak kasar enzim protease 37 yang selanjutnya akan diuji aktivitasnya dengan metode Kunitz dan diukur kadar proteinnya dengan metode Lowry. 4. Uji aktivitas enzim protease a. Pembuatan pereaksi untuk pengukuran aktivitas enzim protease metode Kunitz Larutan kasein 1% : 1 gram kasein dilarutkan dalam 100 mL buffer fosfat pH 7 pada penangas air mendidih. Larutan TCA 5% : 5 gram TCA dilarutkan dalam 100 mL akuades. Larutan standar : larutan tirosin dengan kadar 100, 200, 400, 600 dan 800 ppm. b. Pengujian aktivitas enzim protease metode Kunitz Ke dalam tabung reaksi dimasukkan 1 mL larutan kasein 1% dan 1 mL ekstrak kasar enzim, diinkubasi pada suhu 35oC selama 30 menit. Kemudian ditambahkan 3 mL larutan TCA 5%, larutan diaduk dengan baik dan didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar agar pengendapan berjalan sempurna. Endapan yang terbentuk merupakan gumpalan protein yang selanjutnya akan dipisahkan dengan sentrifugasi dan penyaringan. Kontrol dibuat dengan memasukkan 1 mL ekstrak kasar enzim protease dan 3 mL larutan TCA 5%, diinkubasi pada suhu 35oC selama 30 menit. Lalu ditambahkan 1 mL larutan kasein 1%, 38 kemudian diberi perlakuan yang sama dengan sampel. Absorbansi filtrat diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 280 nm. Aktivitas enzim dihitung berdasarkan jumlah asam amino yang terbentuk dengan menggunakan kurva standar tirosin. 5. Penentuan kadar protein enzim protease a. Pembuatan pereaksi untuk penentuan kadar protein enzim protease metode Lowry Pereaksi A : 2 gram Na2CO3 dilarutkan dalam 100 mL NaOH 0,1 N. Pereaksi B : 5 mL larutan CuSO4.5H2O 1% ditambahkan ke dalam 5 mL larutan Na(K)-tartarat 1%. Pereaksi C : 2 mL pereaksi B ditambahkan dengan 100 mL pereaksi A. Pereaksi D : reagen follin ciocelteau diencerkan dengan akuades 1:1. Larutan standar : larutan BSA (Bovine Serum Albumin) dengan kadar 0, 20, 40, 60, 80, 100, 120, dan 140 ppm. b. Penentuan kadar protein enzim protease metode Lowry Penentuan kadar protein enzim protease dengen menggunkan metode Lowry bertujuan untuk mengukur aktivitas spesifik dari protein enzim protease dengan cara memasukkan 0,1 mL enzim protease ke 39 dalam tabung reaksi dan ditambahkan 0,9 mL akuades. Lalu direaksikan dengan 5 mL pereaksi C dan diaduk rata. Didiamkan selama 10 menit pada suhu ruang, lalu ditambahkan dengan cepat 0,5 mL pereaksi D dan diaduk rata. Setelah didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang, serapannya diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada λ 750 nm. Untuk kontrol, 0,1 mL enzim protease diganti dengan dengan 0,1 mL akuades. Selanjutnya, diperlakukan seperti sampel. Untuk menentukan kadar protein enzim digunakan kurva standar BSA (Bovine Serum Albumin). 6. Pemurnian enzim protease a. Pengendapan dengan ammonium sulfat [(NH4)2SO4] Untuk mengetahui pada fraksi mana enzim protease terendapkan, maka ekstrak kasar enzim protease diendapkan menggunakan garam ammonium sulfat pada berbagai tingkat kejenuhan yaitu (0-20)%, (20-40)%, (40-60)%, (60-80)%, dan (80-100)%. Sejumlah ekstrak kasar enzim yang diperoleh ditambahkan dengan garam ammonium sulfat secara perlahan sambil diaduk menggunakan magnetic stirer pada suhu 4oC. Endapan protein yang diperoleh pada tiap fraksi kejenuhan ammonium sulfat dipisahkan dari filtratnya dengan cara sentrifugasi dingin pada kecepatan 5000 rpm selama 20 menit dan endapannya dicuci dengan buffer fosfat 0,05 M pH 5,5. Kemudian diuji aktivitasnya dengan menggunakan 40 metode Kunitz dan ditentukan kadar proteinnya dengan metode Lowry. Selanjutnya, filtrat yang didapat dari fraksi (0-20)% diendapkan kembali dengan fraksi kejenuhan selanjutnya menggunakan prosedur yang sama (Yandri et al., 2010). Skema proses pengendapan protein enzim dengan penambahan ammonium sulfat ditunjukkan pada Gambar 6. Ekstrak Kasar Enzim + (NH4)2SO4 (0-20%) Endapan(F1) Filtrat + (NH4)2SO4 (20-40%) Endapan(F2) Filtrat + (NH4)2SO4 (40-60%) Endapan(F3) Filtrat + (NH4)2SO4 (60-80%) Endapan(F4) Filtrat + (NH4)2SO4 (80-100%) Endapan(F5) Filtrat Gambar 6. Skema proses pengendapan protein enzim dengan pengendapan ammonium sulfat b. Dialisis Endapan enzim yag telah dilarutkan dari tiap fraksi ammonium sulfat dengan aktivitas spesifik yang tinggi dimasukkan ke dalam kantong selofan dan didialisis dengan buffer fosfat 0,01 M pH 5,5 41 selama 24 jam pada suhu dingin. Selama dialisis, dilakukan pergantian larutan buffer selama 4-6 jam sekali, agar konsentrasi ion-ion di dalam kantong dialisis dapat dikurangi. Proses ini dilakukan berkelanjutan hingga ion-ion di dalam kantong dialisis dapat diabaikan. Keberadaan ion-ion garam dalam kantong dapat dilihat dengan menambahkan larutan Ba(OH)2 atau BaCl2. Bila masih terdapat ion sulfat di dalam kantong, maka akan terbentuk endapan putih BaSO4. Semakin banyak endapan yang terbentuk menunjukkan bahwa semakin banyak ion sulfat yang ada di dalam kantong. Selanjutnya, dilakukan uji aktivitas dengan metode Kunitz dan ditentukan kadar proteinnya dengan metode Lowry. 7. Penambahan polietilen glikol 6000 Pada ekstrak enzim yang telah dimurnikan ditambahkan larutan polietilen glikol 6000 dengan konsentrasi 12%, 18%, dan 24% dengan perbandingan v/v adalah 1:1. Penambahan dilakukan dengan menghomogenkan ekstrak enzim dan larutan polietilen glikol 6000 yang digunakan menggunakan magnetic stirer selama 30 menit. 8. Karakterisasi enzim protease sebelum dan setelah ditambahkan polietilen glikol 6000 dengan variasi konsentrasi 12, 18, dan 24% a. Penentuan pH optimum pH optimum ditentukan dengan memvariasikan pH substrat menggunakan buffer fosfat 0,2 M dengan variasi keasaman 6,5; 7; 42 7,5; 8; dan 8,5 yang diinkubasi pada suhu 35°C. Selanjutnya, aktivitas enzim diukur dengan metode Kunitz. b. Penentuan suhu optimum Suhu optimum ditentukan dengan memvariasikan suhu inkubasi menjadi 35, 40, 45, 50, 55, 60, dan 65oC pada pH optimum yang telah diperoleh. Selanjutnya, aktivitas enzim diukur dengan metode Kunitz. c. Penentuan kinetika enzim (KM dan Vmaks) Nilai Michaelis-Menten (KM) dan laju reaksi maksimum (Vmaks) ditentukan dengan memvariasikan konsentrasi substrat yang digunakan, yaitu 0,5; 0,75; 1; dan 1,25. Kemudian dilakukan pengukuran aktivitas enzim dengan metode Kunitz. Selanjutnya, data yang diperoleh diplotkan dalam kurva Lineweaver-Burk untuk penentuan KM dan Vmaks. d. Uji stabilitas termal enzim Uji stabilitas termal enzim dilakukan dengan memvariasikan waktu inkubasi. Waktu inkubasi dibutuhkan oleh enzim untuk bereaksi dengan substrat secara optimum. Selanjutnya, aktivitas enzim ditentukan dengan metode Kunitz. Dalam penelitian ini, dilakukan pengukuran aktivitas enzim tiap interval waktu inkubasi 10 menit, selama 60 menit. Aktivitas awal enzim (tanpa pemanasan) diberi nilai 100%. Sehingga aktivitas sisa dapat ditentukan menurut persamaan berikut. 43 Aktivitas sisa = Aktivitas enzim setelah perlakuan x 100% Aktivitas enzim awal (tanpa perlakuan) (4) e. Penentuan waktu paruh (t1/2), konstanta laju inaktivasi (ki), dan perubahan energi akibat denaturasi (∆G i) Penentuan nilai ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim protease hasil pemurnian sebelum dan setelah penambahan polietilen glikol 6000 dilakukan dengan menggunakan persamaan kinetika inaktivasi orde 1 (Kazan et al., 1997) dengan persamaan: ln (Ei/E0) = - ki t (5) Sedangkan untuk perubahan energi akibat denaturasi (∆G i) enzim hasil pemurnian sebelum dan setelah penambahan polietilen glikol 6000 dilakukan dengan menggunakan persamaan (Yandri et al., 2007). ∆Gi = - RT ln (ki h/kB T) Keterangan : R = konstanta gas (8,315 J K-1 mol-1) T = suhu absolut (K) ki = konstanta laju inaktivasi termal h = konstanta Planck (6,63 x 10-34 J det) kB = konstanta Boltzmann (1,381 x 10-23 JK-1) Secara keseluruhan, penelitian ini terangkum dalam diagram alir penelitian yang ditunjukkan dalam Gambar 7. (6) 44 Pembuatan Media dan Sterilisasi Peremajaan Jamur Inokulum dan Fermentasi Ekstrak Kasar Enzim Uji aktivitas enzim protease dengan metode Kunitz dan penentuan kadar protein dengan metode Lowry Pemurnian Enzim : 1. Fraksinasi dengan ammonium sulfat 2. Dialisis Penambahan PEG-6000 Karakterisasi Enzim Enzim hasil penambahan PEG-6000 Penentuan pH Optimum Penentuan Suhu Optimum Penentuan KM dan Vmaks Gambar 7. Diagram alir penelitian Penentuan Stabilitas Termal V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa : 1. Aktivitas spesifik enzim protease hasil dialisis 931,149 U/mg meningkat 4 kali dibandingkan ekstrak kasar yang memiliki aktivitas spesifik 211,134 U/mg. 2. Tidak terjadi perubahan pH optimum terhadap enzim hasil dialisis dengan dan tanpa penambahan polietilen glikol 6000 konsentrasi 12, 18, dan 24%. Keduanya memiliki pH optimum 8. 3. Terjadi pergeseran suhu optimum pada enzim protease setelah ditambahkan polietilen glikol 6000 konsentrasi 12, 18, dan 24% dari 35°C menjadi 45°C. 4. Terjadi peningkatan waktu paruh (t½) dan ∆G i, serta penurunan harga ki dari enzim protease hasil dialisis dibandingkan dengan enzim yang telah ditambahkan polietilen glikol 6000 konsentrasi 12, 18, dan 24%. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan polietilen glikol 6000 pada tiap konsentrasi meningkatkan stabilitas enzim, sehingga dapat digunakan dalam proses industri yang memerlukan kondisi ekstrim. 65 B. Saran Dari penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode pemurnian yang lebih baik lagi, melakukan peningkatan stabilitas dengan berbagai zat penstabil lainnya, melakukan modifikasi atau pun amobilisasi terhadap enzim protease yang diisolasi dari Rhizopus oligosporus. DAFTAR PUSTAKA Agustien, A. dan Munir, E. 1997. Purifikasi Penisilin Asilase dari Bacillus. Prosiding Seminar Wawasan Keilmuan Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Bangsa Indonesia. PPI Universitas Sains Malaysia. Malaysia. 270-277. Ahern, T. J. and Klibanov, A.M. 1987. Why do Enzyme Irreversibly Inactive at High Temperatur. Biotec. 1. Microbial Genetic Engineering and Enzyme Tecnology. Gustav fischer. Stuttgart. New York. 131-136. Attwood, D and Florence, A. T. 2008. Physical Pharmacy. Pharmaceutical Press. London. 182. Berg, J. M., Tymoczko, J. L., and Stryer, L. 2007. Biochemistry. Sixth Edition. W.H. Freeman and Company. New York. Bhat, M. K. 2006. Cellulase and Related Enzymes in Biotechnology. Elsevier Biotechnology Advances. United Kingdom. 18 : 355-383. Boyer, R. F. 1993. Modern Experimental Biochemistry. Benjamin Cumming Publishing Company. Redwood City, California. 41-43, 48-49. Chaplin, M. F. and Bucke. 1990. Enzyme Tecnology. Cambridge University Press. Cambridge, Great Britain. 264p. Cochrane, V. W. 1958. Physiology of Fungi. New York : John Wiley and Sons Inc. Hal. 21-24. Dryer, R. L. 1993. Biokimia. Jilid 1. UGM Press. Yogyakarta. 180-181. Eijnsink, G. H., Sirgit, G., Torben, B., and Bertus, V. D. B. 2005. Directed Evolution of Enzyme Stability. Biomolecular Engineering. Elsevier Science Inc. New York. 23 : 158-187. Falch, E. A. 1991. Industrial Enzymes Developments in Production and Application. Biotech 9 : 643-658 Goddettee, D. W., C. Terri, F. L. Beth, L. Maria, R. M. Jonathan, P. Christian, B. R. Robert, S. Y. Shiow, and C. R. Wilson. 1993. Srateggy and Implementation of a System for Protein Engineering. J. Biotechnol. 28: 4154. Godfrey, T. and Reichelt, J. 1983. The Application of Enzymes in Industry. Macmilla, Hampshire. 5-6. Hao, X-Cai., Yu. X-bin, and Yan. Z-li. 2006. Optimization of the Medium for the Production of Cellulase by the Mutant Trichiderma reesei WX-112 Using Response Surface Methodology. Food Technology Biotechnology. 44 (1): 89-94. Harris, J. M. 1992. Polyethileneglycol. Plenum Press. New York. Hudgson, J. 1994. The Changin Bulk Biocatalys Maarker. Biotechnology 12 : 780-791 Illanes, A. 1999. Stability of Biocatalysts. EJB Electronic Journal of Biotechnology. Universitas Catolica de Valparaiso. Chile. 2 (1). Jennessen, J., Schnürer, J., Olsson, J., Samson, R. A., and Dijksterhuis, J. 2008. Morphological Characteristics of Sporangiospores of The Tempe Fungus Rhizopus oligosporus Differentiate It From Other Taxa of The R. microsporus Group. Mycol Res. 112(5):547-63. Judoamidjojo, M. 1989. Teknologi Fermentasi. Rajawali Press. Jakarta. 128-132. Junita. 2002. Mempelajari Stabilitas Termal Enzim Protease dari Bacillus stearothermophillus Dalam Pelarut Heksana, Toluena, dan Benzena. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kamelia, R., Sudumarta, M., dan Natalia, D. 2005. Isolasi dan Karakterisasi Protease Intraseluler Termostabil dari Bakteri Bacillus stearothermophillus RP1. Seminar Nasional MIPA. Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kazan, D., Ertan, H., and Erarslan, A. 1997. Stabilization of Escherichia coli penicillin G acylase Agains Thermal Inactivation by Cross-Linking with Dextran Dialdehyde Polymers. Applied. Microbiol Biotechnol. 48 : 191-197. Kombong, H. 2004. Evaluasi Daya Hidrolitik Enzim Glukoamilase dari Filtrat Kultur Aspergillus niger. Jurnal Ilmu Dasar. FMIPA Unhalu. Kendari. Volume 5 (1): 16-20. Kuchel, P. W. dan Gregory B. R. 2002. Biokimia. Erlangga. Jakarta. 55-56. Lay, B. W. dan Sugyo, H. 1992. Mikrobiologi. Rajawali Press. Jakarta. 107-112. Lehninger, A. L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 1. Alih bahasa oleh Maggy Thenawidjaya. Erlangga. Jakarta. 255-257. Lehninger, A. L. 2005. Principles of Biochemistry: Fourth Edition. W. H. Freeman and Company. New York. 89-91. Lowry, O. H., Rosebrough, N. J., Farr, A. L., and Randall, R. J. 1951. Protein Measurement With The Folin Phenol Reagent. J. Biol. Chem. 193 : 265275. Madigan, M. T and Martinko, J. M. 2006. Brock Biology of Microorganisms 11th edition. New Jersey : Pearson Education. Hal. 175-185. Martoharsono, S. 1984. Biokimia. Jilid 1. UGM Press. Yogyakarta. 81-83. Misset, O., Jaeger, K. E., Ransae, S., Dijkstra, B. W. and Heuvel, M. V. 1993. Bacterial Lipase. FEMS Microbiol. 65: 81-89. Mozhaev, V. V. and Martinek, K. 1984. Enzyme Microbial Technology. StructurStability Relationship in Protein: New Approaces to Stabilizing Enzymes. 50-59. Murray, R. K., Granner, D. K., dan Rodwell, V. W. 2009. Biokimia Harper. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. 68-69. Ngili, Y. S. 2008. Mikrobiologi. Graha Ilmu. Yogyakarta. 282-283. Ngili, Y. S. 2009. Biokimia Struktur dan Fungsi Biomolekul. Graha Ilmu. Yogyakarta. 264-265, 282-283, 294-295. Page, D. S. 1989. Prinsip-Prinsip Biokimia. Erlangga. Jakarta. 82-89, 112. Page, D. S. 1997. Prinsip-Prinsip Biokimia. Erlangga. Jakarta. 111-115. Pederson, S. B., and Holmer, G. 1995. Studies of Fatty Acid Specifity of The Lipase from Rhizomucor miehei toward 20: In-9, 20: Sn-3, 22: In-19 and 22: Gn-3. J. Am. Chem. Soc. 72(2): 239-243. Pelczar, M. J. dan Chan, E. C. S. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. UI Press. Jakarta. 409 hlm. Poedjiadi, A. 2006. Dasar-Dasar Biokimia. UI Press. Jakarta. 155, 158-160. Pohl, T. 1990. Concentration of Protein Removal of Salute dalam M.P. Deutscher, Methods of Enzymology. Guide to Prrotein Purification. Academic Press. New York. 182. Radzicka, A and Richard, W. 1995. A Proficient Enzyme. Science. 6. 267: 90-93. Rao, M. B., Tanksale, A. M., Ghatge, M. S., and Deshpande, V. V. 1998. Molecular and Biotechnological Aspect of Microbial Proteases. Microbial and Molecular Biology Review. 62: 597-628. Rodwell, V. W. 1988. Harper’s Review of Biochemistry. EGC Kedokteran. Jakarta. Saefudin, A. 2006. Enzim. Pusat Penelitian Bioteknologi. Cibinong. LIPI. Scopes, R. K. 1982. Protein Purification. Springer Verlag. New York. 76-85. Shahib, M. N. 2005. Biologi Molekuler Medik I. Universitas Padjajaran Press. Bandung. 164-167. Sizer, I. W. 1964. Enzyme Applications. Advances in Applied Microbiology. Nomor 6: 214-225. Suhartono, M. T., Antonius, S., dan Hartono, W. 1992. Diklat Srtuktur dan Biokimiawi Protein. Penelitian Antar Universitas. IPB. Bogor. 322. Suhartono, M. T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen DIKTI, PAU Bioteknologi IPB. Bogor. 20-25. Suhartono, M. T. 2000. Eksplorasi Protease Bakteri Asal Indonesia Untuk Aplikasi Industri dan Riset Bioteknologi. Prosiding Seminar Nasional Industri Enzim dan Bioteknologi II. 125-133 Sumantha, A., Larroche, C., and Pandey, A. 2006. Microbiology and Industrial Biotecnology of Food – Grade Protease: A Perspective. Food Technol. Biotechnol. Aubiere Codex. France. 44 (2): 211-220. Sweetman, S. C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference 36th ed. Pharmaceutical Press. London. Thomas, D. B. 1984. A Textbook of Industrial Microbiology. USA: Sinaver Associates Sunderlamd. Triwibowo, Sitoresmi. 1996. Cermin Dunia Kedokteran. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Virdianingsih, R. 2002. Mempelajari Stabilitas Termal Enzim Protease dari Bacillus pumilus yl dalam Pelarut Heksan, Toluena, dan Benzena. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ward, O. P. 1985. Proteolitic Enzyme. Pergamon Press 3 : 789-815. Wagen, E. S. 1984. Strategies for Increasing The Stability of Enzymes, in Enzyme Engineering. The New York Academy of Sciences. New York. 7 : 1-19. Walsh, G. and Headon, D. R. 1994. Protein Biotechnology. John Willey and Sons. New York. Wang, L. H., Vespa, J. B., and Hesseltine, C. W. 1972. Release of bound trypsin inhibitors in soybeans by Rhizopus oligosporus. J Nutri. 102(11):1495. Winarno, F. G. 1995. Enzim Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 4045. Wipradnyadewi. 2005. Isolasi dan identifikasi Rhizopus oligosporus pada beberapa inokulum tempe. Laporan Penelitian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wirahadikusumah, M. 1997. Biokimia: Protein, Enzim, dan Asam Nukleat. ITB Press. Bandung. 61-62. Wiseman, A. 1985. Hand Book of Enzyme Biotechnology. Ellis Harwood. Limited. Yandri, A. S., Tati, S., dan Dian, H. 2007. Peningkatan kestabilan enzim protease dari bakteri isolat lokal Bacillus subtilis ITBCCB148 dengan modifikasi kimia. Laporan Penelitian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Yandri, A. S., Tati, S., Sutopo, H., and Dian, H. 2008. The chemical modification of protease enzyme isolated from local bacteria isolate Bacillus subtilis ITBCCB148 with cyanuric chloride polyethylenglycol. European Journal of Scientific Research. Bandar Lampung. 23: 177-186. Yandri, A. S., Tati, S., and Sutopo, H. 2010. Purification and characterization of extracellular α-amilase enzyme from locale bacteria isolate Bacillus subtilis ITBCCB148. European Journal of Scientific Research. Bandar Lampung. 39: 64-74. http://fineartamerica.com/featured/fruiting-bodies-of-rhizopus-oligosporus-powerand-syred.html