BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit infeksi merupakan penyakit yang masih menjadi salah satu masalah
utama terutama di negara tropis seperti Indonesia. Hal ini ditunjang oleh iklim tropis
dimana keadaan udara lembap dan temperatur hangat menyebabkan mikroba dapat
tumbuh subur. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti
bakteri, virus, riketsia, jamur, dan protozoa (Gibson, 1990).
Berkembangnya resistensi oleh mikroorganisme target menjadi masalah yang
terus meningkat (Tortora et al., 2010). Resistensi mikroba adalah keadaan dimana
mikroorganisme berubah sedemikian rupa sehingga menyebabkan obat-obat yang
dahulu digunakan untuk pengobatan infeksi menjadi tidak efektif.
Pendekatan
antimikrobial konvensional yang bersifat membunuh (cidal) atau menghambat
pertumbuhan (static) cenderung memicu terjadinya mutasi mikroba yang selanjutnya
menghasilkan mikroba resisten (Henzer et al., 2003). Pengembangan obat-obat baru
untuk menggantikan obat-obat yang telah ada menjadi sangat dibutuhkan (Pelczar
and Chan, 1986).
Mengingat tingginya kejadian resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik
yang saat ini digunakan, maka baru-baru ini mulai dilakukan penelitian untuk
menemukan senyawa yang dapat menurunkan perkembangan mikroorganisme
1
2
Resisten misalnya dengan pendekatan antipatogenik. Salah satunya adalah melalui
penghambatan komunikasi antar mikroba (quorum sensing inhibition). Terhambatnya
komunikasi tersebut mengakibatkan tidak tercapainya densitas mikroorganisme
dalam jumlah yang cukup untuk mengekspresikan beberapa faktor yang regulasinya
diatur oleh quorum sensing
seperti halnya: virulensi, pembentukan biofilm,
bioluminescence, biosintesis antibiotika, dan motilitas bakteri. Pada akhirnya
mikroorganisme dengan mudah dapat dieradikasi oleh sistem pertahanan tubuh (Otto,
2004; Hentzer and Givskov, 2003).
Beberapa mikroba yang mendapat perhatian saat ini akibat sifat resistensinya
antara lain methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycinresistant Enterococcus (VRE), penicillin-resistant Streptococcus pneumoniae,
multidrug-resistant Pseudomonas aeruginosa dan masih banyak lagi (Smith, 2004).
Pseudomonas aeruginosa merupakan mikroba patogen oportunistik yang paling
banyak
ditemukan
pada
kasus infeksi
nokosomial
ataupun infeksi
yang
membahayakan jiwa pada pasien yang memiliki ketahanan tubuh rendah (Obtrich et
al., 2005). Bakteri ini bersifat patogen pada manusia dan dapat menyebabkan infeksi
pada luka bakar, cystic fibrosis dan pneumonia (Smith et al., 2002).
Mekanisme quorum sensing pada P. aeruginosa antara lain ditunjukkan oleh
pembentukan pigmen, motilitas, dan pembentukan biofilm. Pseudomonas aeruginosa
menghasilkan pigmen warna pyoverdin dan pyocyanin yang terkait dengan aktivitas
quorum sensing sehingga dapat dijadikan model untuk uji penghambatan quorum
sensing. Untuk menunjukkan kaitan penghambatan mekanisme quorum sensing
3
tersebut dengan virulensi, maka dapat dilakukan dengan mengamati penghambatan
pembentukan pigmen pyocyanin pada P. aeruginosa. Pengujian perlu dilanjutkan
dengan uji motilitas dengan metode swimming, swarming dan twitching (Williams
and Camara, 2009).
Saat ini bahan alam mulai dikembangkan sebagai sumber obat-obatan. Pada
penelitian ini, bahan alam yang digunakan adalah umbi sarang semut (Myrmecodia
tuberosa) merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang berasal dari Papua.
Tanaman sarang semut banyak dikonsumsi karena dipercaya dapat menyembuhkan
berbagai penyakit. Pada penelitian sebelumnya, telah dilaporkan bahwa M. tuberosa
menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap bakteri S. aureus dan E. coli (Effendi
and Hertiani, 2013). Selain itu, tanaman M. tuberosa juga menunjukkan aktivitas
antibiofilm terhadap bakteri P. aeruginosa dan S. aureus (Hertiani and Pratiwi,
unpublished data). Berdasarkan hasil penelitian Setyani (2011), senyawa aktif M.
tuberosa yang menunjukkan aktivitas antibakteri merupakan senyawa fenol. Sejauh
ini penelitian tentang aktivitas fraksi M. tuberosa sebagai anti-quorum sensing
terhadap P. aeruginosa belum pernah dilakukan. Atas dasar hasil tersebut, penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan data ilmiah yang selanjutnya dapat digunakan untuk
mengembangkan fraksi M. tuberosa sebagai senyawa anti quorum sensing.
4
B. Rumusan Masalah
1. Adakah aktivitas anti quorum sensing ekstrak dan fraksi tumbuhan Sarang Semut
(M. tuberosa) terhadap P. aeruginosa?
2. Golongan senyawa apakah yang memiliki aktivitas anti quorum sensing tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi anti quorum sensing ekstrak
dan fraksi tumbuhan sarang semut (M. tuberosa) terhadap P. aeruginosa dan
mengetahui senyawa yang memiliki aktivitas tersebut.
5
D. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Bakteri Uji
Bakteri adalah mikroorganisme bersel satu berkembang biak dengan
pembelahan diri dan hanya dapat dilihat dengan mikroskop (Jawetz et al., 1996).
Sebagian besar bakteri berdiameter 0,2-2,0 mm dan panjang 2-8 mm. Sel-sel bakteri
yang masih muda memiliki ukuran yang lebih besar daripada sel-sel bakteri tua
(Pratiwi, 2008).
Pada pengecatan Gram, bakteri dapat digolongkan menjadi dua:
a. Bakteri Gram positif
Bakteri Gram positif adalah bakteri yang pada pewarnaan Gram tahan
terhadap alkohol sehingga tetap mengikat warna Kristal violet dan tidak mengikat
warna dari safranin, sehingga bakteri tetap berwarna ungu. Contoh bakteri Gram
positif adalah S. aureus dan Streptococcus (Dwidjoseputro, 2001).
b. Bakteri Gram negatif
Bakteri Gram negatif adalah bakteri yang pada pewarnaan Gram tidak tahan
terhadap alkohol sehingga warna dari Kristal violet akan dilunturkan dan bakteri
akan mengikat warna dari safranin, sehingga bakteri akan nampak berwarna
merah. Contoh bakteri Gram negatif adalah E. coli, Salmonella, dan Klebsiella
(Dwidjoseputro, 2001).
Pada penelitian ini, bakteri yang digunakan adalah P. aeruginosa PAO1.
Pseudomonas aeruginosa merupakan anggota dari kingdom Bacteria, filum
Proteobacteria,
kelas
Gamma
proteobacteria,
ordo
Pseudomonales,
genus
6
Pseudomonas, dan spesies P. aeruginosa (Todar, 2012). Pseudomonas aeruginosa
termasuk bakteri Gram negatif, bersifat aerob dan memiliki bentuk batang. Bakteri ini
merupakan patogen oportunistik yang dapat menginisiasi infeksi. Hampir semua
strain P. aeruginosa bergerak menggunakan satu flagella polar. Kebutuhan nutrisi
bakteri ini sangat sederhana. Di laboratorium, bakteri ini dapat tumbuh pada media
yang hanya mengandung asetat sebagai sumber karbon dan ammonium sulfat sebagai
sumber nitrogen. Pseudomonas aeruginosa sering dijumpai tumbuh pada air suling
yang menunjukkan minimalnya kebutuhan nutrisi bakteri ini (Todar, 2012).
Bakteri ini sangat toleran terhadap berbagai kondisi lingkungan termasuk suhu,
konsentrasi garam yang tinggi, antiseptik lemah dan banyak antibiotik yang banyak
digunakan. Hanya ada beberapa antibiotik yang efektif untuk membunuh bakteri ini,
contohnya fluoroquinolone, gentamicin, dan imipenem. Namun, antibiotik-antibiotik
tersebut tidak efektif terhadap semua strain. Sebagian besar infeksi P. aeruginosa
bersifat invasif dan toksikogenik. Infeksi tersebut dibagi dalam 3 tahap, yaitu
pelekatan dan kolonisasi bakteri, invasi lokal, dan penyakit sistemik (Todar, 2012).
Pseduomonas aeruginosa PAO1 merupakan strain P. aeruginosa yang paling sering
digunakan dalam penelitian tentang patogen oportunistik. Pseudomonas aeruginosa
PAO1 adalah derivat dari isolat PAO Australia yang awalnya disebut P. aeruginosa
strain 1. PAO1 telah didistribusikan ke berbagai negara sebagai koleksi strain P.
aeruginosa (Klockgether et al., 2009).
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri patogen penyebab cystic fibrosis
dan pneumonia. Bakteri ini juga dapat menyebabkan infeksi pada luka dan luka
7
bakar, infeksi pada mata, serta infeksi saluran kemih. Jumlah infeksi yang disebabkan
oleh P. aeruginosa jauh melebihi total jumlah infeksi yang disebabkan oleh spesies
lain dalam genus Pseudomonas. Todar (2012) menyatakan bahwa rata-rata insidensi
infeksi P.aeruginosa pada rumah sakit di Amerika Serikat sekitar 0,4% dan bakteri
tersebut merupakan bakteri patogen nosokomial keempat terbanyak yang umumnya
diisolasi, menyebabkan 10,1% infeksi yang didapat di rumah sakit.
2. Tinjauan tentang anti Quorum sensing
a. Quorum sensing
Bakteri sangat interaktif dan dapat berkomunikasi satu sama lain melalui
proses yang dikenal sebagai quorum sensing untuk menghasilkan perilaku kolektif
dalam suatu populasi (Singh et al., 2009). Bakteri menggunakan sinyal kimia yang
disebut dengan autoinducer untuk berkomunikasi. Bakteri Gram negatif
menggunakan autoinducer berupa senyawa N-acyl homoserine lactone (AHL)
yang mengatur sejumlah fungsi biologis seperti sifat patogen dan pembentukan
biofilm. Sementara bakteri Gram positif menggunakan molekul berbasis peptida
untuk saling berkomunikasi. AHL disintesis oleh kelompok protein homolog LuxI.
Di atas konsentrasi batas tertentu, AHL berikatan dengan molekul reseptor (LuxR)
yang menyebabkan aktivasi pembentukkan dimer atau multimer kompleks LuxRAHL. Kompleks ini berperan sebagai regulator transkripsi pada gen target sistem
quorum sensing (Parsek and Greenberg, 2000).
8
Quorum sensing adalah mekanisme regulasi genetik pada bakteri Gram
negatif dan positif sebagai respon terhadap perubahan densitas populasi
mikroorganisme dan ekspresi dari gen tertentu. Pada batas level signal molekul
tertentu, densitas populasi mikroorganisme akan mencapai jumlah yang cukup
sehingga dapat menghasilkan respon secara kolektif (Henzer and Givskov, 2003).
Mekanisme ini merupakan mekanisme bakteri patogen untuk meminimalisasi
respon sistem kekebalan tubuh inang dengan cara menunda faktor virulensi yang
dapat merusak jaringan inang sampai dicapai densitas bakteri yang cukup untuk
menimbulkan infeksi (Henzer and Givskov, 2003). Bakteri Gram positif dan Gram
negatif menggunakan sistem komunikasi quorum sensing untuk regulasi
bermacam-macam
aktivitas
fisiologi
termasuk
sekresi
faktor
virulensi,
pembentukkan biofilm, kompetensi, motilitas, sporulasi, bioluminescence, dan
pertukaran DNA yang memfasilitasi patogenisitas bakteri.
b. Quorum sensing pada P. aeruginosa
Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar penelitian tentang
mikroorganisme terkait quorum sensing adalah dengan menggunakan bakteri uji P.
aeruginosa. Bakteri ini bersifat patogen pada manusia dan bertanggung jawab
terhadap infeksi oportunistik pada pasien kanker, AIDS, dan cystic fibrosis (Smith
et al., 2002). Berbagai macam enzim ekstraseluler berkontribusi terhadap virulensi
P. aeruginosa, termasuk elastase, protease, hemolisin, eksotoksin A, biosurfaktan
rhamnolipid dan fosfolipase. Enzim-enzim ekstraseluler ini secara kolektif mampu
9
menyebabkan kerusakan luas pada jaringan manusia atau mamalia lainnya (Van
Delden and Iglewski, 1998). Regulasi penyandian gen produk ekstraseluler ini
dikontrol melalui sistem quorum sensing. Pada P. aeruginosa, terdapat dua sistem
quorum sensing yang telah teridentifikasi, yaitu LasR/I dan RhlR/I (Latifi et al.,
1995). Masing-masing sistem terdiri atas sinyal N-acyl homoserine lactone
(autoinducer) dan sebuah aktivator transkripsi autoinducer-dependent. Pada sistem
las, LuxI homolog LasI terlibat dalam sintesis autoinducer N-acyl homoserine
lactone (AHL). LuxR homolog LasR dan AHL dibutuhkan dalam aktivasi gen
virulensi, termasuk dalam penyandian elastase (lasB), protease (lasA), alkalin
protease (apr), dan toksin A (toxA) (Gambello et al., 1993).
Sistem quorum sensing rhl terdiri dari protein activator RhlR dan RhlI yang
bertanggung jawab terhadap sintesis dua autoinducer, sebagian besar N-butanoylL-homoserine lactone (BHL) dan sedikit N-hexanoyl-L-homoserine lactone
(HHL). Sistem rhl ini meregulasi produksi rhamnolipid, pyocyanin, cyanide, dan
lipase. Sistem las dan sistem rhl telah diketahui terkoneksi melalui sistem
pengaturan yang saling berhubungan (Pesci et al., 1997). Pseudomonas
aeruginosa juga menggunakan quorum sensing untuk mengontrol pembentukan
biofilm (Costerton et al., 1999). Biofilm ini dapat melindungi organisme dari
sistem pertahanan sel inang dan menyebabkan peningkatan resistensi terhadap
antibiotik.
10
Gambar 1. Sistem quorum sensing pada P. aeruginosa (Mihalik et al, 2008)
Pada Pseudomonas, mekanisme quorum sensing terdiri dari dua sistem
regulasi utama yaitu sistem Las I/R and Rhl I/R (Gambar 1) dan acyl-homoserine
lactone units dalam berbagai ukuran. LasI atau LuxI akan berikatan dengan
autoinducer. Terjadinya ikatan tersebut dapat memicu aktivasi ekspresi RhlI dan
RhlR. Selain itu, autoinducer dapat berikatan dengan LasR atau LuxR. Terjadinya
ikatan tersebut dapat memicu aktivasi transkripsi gen target dan dapat mensintesis
elastase, protease, pigmen pyocyanin, dan faktor virulensi lainnya. Bila ada senyawa
anti-QS, maka senyawa tersebut akan berkompetisi dengan autoinducer untuk
berikatan dengan Las I/R dan Lux I/R. Hal ini akan menyebabkan tidak terjadinya
sintesis berbagai faktor virulensi dari P. aeruginosa (Mihalik et al, 2008).
11
Pada penelitian ini, digunakan medium cetrimide Agar. Cetrimide Agar
merupakan medium selektif untuk P. aeruginosa. Media Agar selektif yang
mengandung 0,03% cetrimide telah digunakan selama beberapa tahun dan diketahui
efektif dalam mengisolasi P. aeruginosa (Lowbury and Collins, 1955). Medium ini
juga dapat digunakan untuk deteksi pigmen fluoresens pada kultur P. aeruginosa.
Pigmen warna yang dihasilkan kultur P. aeruginosa dapat dengan mudah dilihat di
bawah sinar UV. King, Ward, and Raney (1954) telah menemukan bahwa dua
komposisi media yaitu media King’s A dan media King’s B dapat meningkatkan
produksi pigmen warna yang dihasilkan oleh P. aeruginosa. Media King’s A dapat
meningkatkan produksi pyocyanin, sedangkan media King’s B dapat meningkatkan
produksi pyoverdin. Pigmen warna
pyocyanin tersebut berkaitan dengan
mekanisme quorum sensing pada P. aeruginosa.
c. Anti-QS
Anti-QS adalah senyawa yang digunakan untuk mencegah terjadinya
komunikasi antar sel bakteri sehingga dapat mengontrol patogenitas suatu bakteri
termasuk dalam mengontrol pembentukan biofilm (Davies et al., 1998). Dengan
dihambatnya komunikasi antar mikroba, maka tidak tercapai komunitas yang
cukup untuk mengekspresikan virulensi, sehingga mikroba dengan mudah akan
eradikasi oleh sistem pertahanan tubuh. Pendekatan ini atau yang disebut sebagai
antipatogenik yang diyakini dapat menurunkan perkembangan mikroba resisten
(Otto, 2004; Hentzer and Givskov, 2003). Aktivitas anti-QS dapat diuji
12
berdasarkan quorum sensing yang terjadi ketika batas konsentrasi AHL
terakumulasi ke tingkat yang cukup untuk berinteraksi dengan reseptor protein.
d. Uji aktivitas anti-QS
1. Metode difusi
Bahan uji ditempatkan pada sumuran sehingga dapat menyebar ke dalam
media agar dan terjadi gradien konsentrasi. Pada konsentrasi yang menghambat
tercukupinya jumlah AHL inducer akan terjadi zona opaque di sekitar titik
aplikasi sampel. Sistem ini terbukti dapat digunakan untuk menguji aktivitas
anti-QS untuk senyawa hasil isolasi dari bahan alam maupun senyawa sintesis
(Rasmussen and Givskov, 2006).
2. Mikrodilusi
Metode ini digunakan untuk kuantifikasi penghambatan pigmen.
Aktivitas anti-QS terkait penghambatan pigmen dapat diuji dengan cara
mengukur pembentukan pigmen warna violacein yang dihasilkan oleh
Chromobacterium violaceum dalam plate well yang diberi ekstrak 1% dalam
media LB (Luria Broth), dilisis menggunakan SDS (Sodium dodesil sulfat)
0,1% dan ditambah dengan DMSO. Absorbansi selanjutnya dibaca pada
panjang gelombang 595 nm (Mihalik et al, 2008).
13
3. Uraian Tanaman Sarang Semut
a. Klasifikasi tanaman
Tanaman sarang semut merupakan tanaman yang termasuk dalam divisi
Tracheophyta, kelas Magnoliopsida, subkelas Lamiidae, ordo Rubiales dan famili
Rubiaceae. Tanaman ini termasuk dalam genus Myrmecodia, sedangkan
spesiesnya adalah M. tuberosa Jack (Backer and Van Den Brink, 1965).
b. Penyebaran tanaman
Tanaman ini dapat ditemukan di Malaysia, kepulauan Indonesia, Filipina,
Pulau Solomon, dan di Cape York Peninsula Australia (Huxley and Jebb, 1993).
Di Papua, tanaman ini dapat ditemukan di puncak gunung Jayawijaya, Tolikara,
Puncak Jaya, gunung Bintang, dan Paniai (Subroto and Saputro, 2006). Tanaman
sarang semut termasuk tanaman yang hampir punah di Singapura karena
berkurangnya hutan tropis dan mangrove. Di hutan tertutupnya, tanaman sarang
semut tumbuh dalam jumlah tidak banyak (Huxley, 1978). Tanaman sarang semut
terdistribusi luas di Malaysia dan Indonesia (Tan et al., 2008).
c. Morfologi tanaman
Myrmecodia tuberosa merupakan semak yang bersifat epifit dan memiliki
duri pada hipokotil tersebar sepanjang daerah linear 10-20 cm. Hipokotil memiliki
semacam terowongan penuh lubang-lubang sebagai jalan masuk semut dan
sebagai ventilasi udara dalam rongga-rongga tersebut. Biasanya tanaman tidak
bercabang, kadang ditemukan satu atau lebih tanaman yang bercabang. Lembar
daun keras dengan panjang 7-25 cm dan lebar 4-11 cm tergantung intensitas
14
cahaya yang didapat. Tanaman ini memiliki 10-15 tulang daun lateral (Huxley and
Jebb, 1993).
Menurut penelitian, sarang semut tumbuh lebih baik pada kondisi teduh
dengan lembar daun tipis dan lebar dibanding dengan sarang semut yang tumbuh
di bawah terik matahari (lembar daun lebih kecil dan keras). Bunga tumbuh
menyendiri atau beberapa berkelompok dan menempel pada batang. Buah
berwarna oranye cerah, berdaging, dan berbiji 3-8 buah (Huxley and Jebb, 1993).
Gambar 2. Tanaman sarang semut (Anonim, 2013)
d. Kandungan kimia dan aktivitas farmakologis
Di dalam tanaman sarang semut, suhu stabil sehingga semut-semut betah
menghuninya. Dalam jangka waktu lama akan terjadi reaksi kimia alami antara
senyawa yang dikeluarkan semut dengan zat aktif yang dikandung tanaman.
Kandungan yang berasal dari semut belum diketahui secara pasti. Kandungan bisa
berasal dari semut, kotoran, serpihan tanaman, dan kotoran yang dibawa oleh
15
hewan pencari makanan. Amonia dan karbon dioksida yang dihasilkan semut
diserap oleh tanaman. Amonia menjadi asam amino dan kemudian terdistribusi ke
beberapa bagian tanaman. Penelitian menunjukkan bahwa kalsium diserap oleh
daun dan terdistribusi ke beberapa bagian tanaman dan penelitian hanya
menunjukkan pula beberapa mineral terutama nitrogen yang ditemukan dalam
kotoran koloni semut (Beattie, 1989).
Tanaman M. pendens (satu genus dengan M. tuberosa) mengandung
senyawa aktif golongan flavonoid dan tanin, anioksidan (tokoferol dan fenolik)
dan kaya kandungan mineral penting kalsium (Ca), natrium (Na), kalium (K), seng
(Zn), besi (Fe), fosfor (P) dan magnesium (Subroto and Saputro, 2006). Fraksi
heksan Hydnophytum formicarum mengandung senyawa stigmasterol, sedangkan
fraksi etil asetatnya mengandung senyawa isoliquiritigenin, protocatechualdehyde,
butin dan butein (Prachayasittikul et al., 2008). Tumbuhan yang termasuk dalam
satu familia pada umumnya memiliki anatomi dan morfologi yang mirip sehingga
kemungkinan besar mempunyai proses fisiologi yang mirip. Proses fisiologi
berhubungan dengan sel tumbuhan, maka diduga hal inilah yang menyebabkan
banyak tumbuhan dalam satu familia mempunyai kandungan kimia yang sejenis
(Amini et al., 1991).
Pada penelitian sebelumnya, diketahui bahwa M. tuberosa aktif sebagai
antibakteri dengan senyawa aktif berupa senyawa fenol (Setyani, 2011). Ekstrak
etanol M. tuberosa juga aktif sebagai antimikroba terhadap Candida albicans, E.
coli, dan S. aureus (Effendi and Hertiani, 2013). Potensi kandungan fraksi etil
16
asetat M. tuberosa dapat meningkatkan aktivitas fagosit dari makrofag (10µg/ml)
dan proliferasi limfosit secara in vitro (20µg/ml) (Hertiani et al., 2010). Sarang
semut juga mengandung flavonoid yang berguna sebagai antioksidan sehingga
baik untuk mencegah dan membantu mengobati kanker, melindungi struktur sel,
meningkatkan efektifitas vitamin C, antiinflamasi, dan sebagai antibiotik
(Suherman, 2008).
4. Ekstrak dan Fraksi
Ekstraksi merupakan proses pemindahan atau penarikan massa zat aktif di
dalam sel, cairan sel akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel
yang mengandung zat aktif, sehingga zat aktif akan melarut. Ekstraksi merupakan
tahap awal untuk melepaskan senyawa dari suatu sampel atau matriks sehingga
diperoleh ekstrak kasar yang masih berisi campuran senyawa yang sangat
kompleks (Cannell, 1998). Tahap selanjutnya yaitu memisahkan senyawa target
dari ekstrak kasar melalui fraksinasi, dan purifikasi. Langkah ini bertujuan untuk
memperoleh senyawa target yang lebih terkonsentrasi hingga diperoleh senyawa
murni (Salamah, 2009). Ekstrak dapat berupa sediaan kering, kental dan cair
dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani dengan cara yang sesuai, yaitu
maserasi, perkolasi, atau penyeduhan dengan air mendidih. Sebagai cairan penyari
digunakan air, eter atau campuran etanol dan air (Anief, 1999). Pemilihan cairan
penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari yang baik harus
memenuhi beberapa kriteria antara lain: murah dan mudah diperoleh, stabil secara
17
fisika dan kimia, bereaksi netral, selektif, tidak mempengaruhi zat berkhasiat dan
diperbolehkan oleh peraturan (Departemen Kesehatan RI, 1986).
Metode dasar ekstraksi biasanya menggunakan pelarut organik seperti
maserasi, perkolasi, dan soxhletasi atau ekstraksi menggunakan pelarut air seperti
infusa, decocta, dan distilasi uap (Silva et al., 1998). Pemilihan metode ekstraksi
yang kurang tepat akan menyebabkan proses isolasi senyawa akan mengalami
kegagalan sehingga senyawa yang diinginkan tidak dapat tersari secara
memuaskan dari matriks (Cannell, 1998). Maserasi merupakan cara penyarian
yang sederhana, dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan
penyari. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif
yang mudah larut dalam cairan penyari. Proses yang terjadi pada maserasi yaitu
pemindahan zat aktif secara difusi pasif. Cairan penyari akan menembus dinding
sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut
dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel
dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa
tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar
dan di dalam sel. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara
pengerjaan dan peralatan yang digunakan
sederhana dan mudah diusahakan.
Kerugiannya adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna
(Departemen Kesehatan RI, 1986).
Fraksinasi merupakan proses pemisahan fraksi yang terkandung dalam
suatu ekstrak yang mempunyai karakteristik berbeda. Pemisahan fraksi tersebut
18
dilakukan untuk memanfaatkan sifat-sifat yang terkandung dalam fraksi, sehingga
penggunaannya dapat diperluas. Pada proses fraksinasi biasanya dilakukan proses
ekstraksi terlebih dahulu untuk menghasilkan ekstrak yang selanjutnya dipisahkan
melalui proses fraksinasi (Brown, 1952). Larutan pengekstraksi yang digunakan
disesuaikan dengan kepolaran senyawa yang diinginkan. Larutan pengekstraksi
yang digunakan adalah:
1. n-heksan merupakan pelarut non polar yang mudah menguap, melarutkan
senyawa-senyawa yang bersifat kurang polar pada selubung sel dan dinding sel
seperti lemak-lemak, terpenoid, klorofil, dan steroid;
2. etil asetat merupakan pelarut semi polar dan dapat melarutkan senyawa
semipolar pada dinding sel seperti aglikon flavonoid (Harborne, 1984);
3. metanol, merupakan pelarut yang tidak menyebabkan pembengkakan membran
sel dan memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Keuntungan lainnya adalah
sifatnya yang mampu mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim.
Umumnya yang digunakan sebagai cairan pengekstraksi adalah campuran
bahan pelarut yang berlainan. Metanol akan melarutkan seyawa polar yang
terdapat dalam protoplasma seperti senyawa glikosida, vitamin C, dan saponin
(Voigt, 1994).
5. KLT Bioautografi
Metode KLT Bioautografi merupakan metode spesifik untuk mendeteksi
bercak pada kromatogram hasil KLT atau KKt yang mempunyai aktivitas sebagai
19
antibakteri, antifungi, antibiotik, dan antivirus. Senyawa deteksi kimia dengan
reaksi warna spesifik digunakan sebagai perbandingan hasil bioautografi sehingga
metode tersebut saling melengkapi (Stahl, 1973).
a. Metode KLT Bioautografi Langsung
Metode KLT Bioautografi langsung dilakukan dengan menuangkan
media agar dan mikroba di atas permukaan plat KLT hingga padat lalu
diinkubasi.
Zona
hambatan
yang
terbentuk
divisualisasikan
dengan
penyemprotan menggunakan larutan metal thiazoazil tetralium klorida.
Senyawa yang aktif sebagai antimikroba akan tampak sebagai zona bening
dengan latar belakang warna ungu (Stahl, 1973).
b. Metode KLT Bioautografi Kontak
Dalam pelaksanaannya, kromatogram yang telah dielusi dan terbebas
dari campuran eluen ditempelkan pada media padat yang telah diinokulasikan
bakteri uji. Setelah dibiarkan 30 menit, kromatogram dilepaskan dari
permukaan media. Selanjutnya media diinkubasi selama 24 jam pada
temperature 37oC, daerah hambatan berupa noda jernih (Alam et al., 2003;
Zweig and Whitakker, 1971). Noda jernih dibandingkan dengan Rf hasil
identifikasi senyawa kimia menggunakan sinar UV dan penampak bercak
(Stahl, 1973).
20
E. Keterangan Empiris
Penelitian ini bersifat eksperimental untuk mengetahui ada tidaknya
aktivitas anti quorum sensing ekstrak dan fraksi M. tuberosa terhadap bakteri P.
aeruginosa.
Download