BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi merupakan penyakit yang masih menjadi salah satu masalah utama terutama di negara tropis seperti Indonesia. Hal ini ditunjang oleh iklim tropis dimana keadaan udara lembap dan temperatur hangat menyebabkan mikroba dapat tumbuh subur. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, riketsia, jamur, dan protozoa (Gibson, 1990). Berkembangnya resistensi oleh mikroorganisme target menjadi masalah yang terus meningkat (Tortora et al., 2010). Resistensi mikroba adalah keadaan dimana mikroorganisme berubah sedemikian rupa sehingga menyebabkan obat-obat yang dahulu digunakan untuk pengobatan infeksi menjadi tidak efektif. Pendekatan antimikrobial konvensional yang bersifat membunuh (cidal) atau menghambat pertumbuhan (static) cenderung memicu terjadinya mutasi mikroba yang selanjutnya menghasilkan mikroba resisten (Henzer et al., 2003). Pengembangan obat-obat baru untuk menggantikan obat-obat yang telah ada menjadi sangat dibutuhkan (Pelczar and Chan, 1986). Mengingat tingginya kejadian resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik yang saat ini digunakan, maka baru-baru ini mulai dilakukan penelitian untuk menemukan senyawa yang dapat menurunkan perkembangan mikroorganisme 1 2 Resisten misalnya dengan pendekatan antipatogenik. Salah satunya adalah melalui penghambatan komunikasi antar mikroba (quorum sensing inhibition). Terhambatnya komunikasi tersebut mengakibatkan tidak tercapainya densitas mikroorganisme dalam jumlah yang cukup untuk mengekspresikan beberapa faktor yang regulasinya diatur oleh quorum sensing seperti halnya: virulensi, pembentukan biofilm, bioluminescence, biosintesis antibiotika, dan motilitas bakteri. Pada akhirnya mikroorganisme dengan mudah dapat dieradikasi oleh sistem pertahanan tubuh (Otto, 2004; Hentzer and Givskov, 2003). Beberapa mikroba yang mendapat perhatian saat ini akibat sifat resistensinya antara lain methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycinresistant Enterococcus (VRE), penicillin-resistant Streptococcus pneumoniae, multidrug-resistant Pseudomonas aeruginosa dan masih banyak lagi (Smith, 2004). Pseudomonas aeruginosa merupakan mikroba patogen oportunistik yang paling banyak ditemukan pada kasus infeksi nokosomial ataupun infeksi yang membahayakan jiwa pada pasien yang memiliki ketahanan tubuh rendah (Obtrich et al., 2005). Bakteri ini bersifat patogen pada manusia dan dapat menyebabkan infeksi pada luka bakar, cystic fibrosis dan pneumonia (Smith et al., 2002). Mekanisme quorum sensing pada P. aeruginosa antara lain ditunjukkan oleh pembentukan pigmen, motilitas, dan pembentukan biofilm. Pseudomonas aeruginosa menghasilkan pigmen warna pyoverdin dan pyocyanin yang terkait dengan aktivitas quorum sensing sehingga dapat dijadikan model untuk uji penghambatan quorum sensing. Untuk menunjukkan kaitan penghambatan mekanisme quorum sensing 3 tersebut dengan virulensi, maka dapat dilakukan dengan mengamati penghambatan pembentukan pigmen pyocyanin pada P. aeruginosa. Pengujian perlu dilanjutkan dengan uji motilitas dengan metode swimming, swarming dan twitching (Williams and Camara, 2009). Saat ini bahan alam mulai dikembangkan sebagai sumber obat-obatan. Pada penelitian ini, bahan alam yang digunakan adalah umbi sarang semut (Myrmecodia tuberosa) merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang berasal dari Papua. Tanaman sarang semut banyak dikonsumsi karena dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Pada penelitian sebelumnya, telah dilaporkan bahwa M. tuberosa menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap bakteri S. aureus dan E. coli (Effendi and Hertiani, 2013). Selain itu, tanaman M. tuberosa juga menunjukkan aktivitas antibiofilm terhadap bakteri P. aeruginosa dan S. aureus (Hertiani and Pratiwi, unpublished data). Berdasarkan hasil penelitian Setyani (2011), senyawa aktif M. tuberosa yang menunjukkan aktivitas antibakteri merupakan senyawa fenol. Sejauh ini penelitian tentang aktivitas fraksi M. tuberosa sebagai anti-quorum sensing terhadap P. aeruginosa belum pernah dilakukan. Atas dasar hasil tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data ilmiah yang selanjutnya dapat digunakan untuk mengembangkan fraksi M. tuberosa sebagai senyawa anti quorum sensing. 4 B. Rumusan Masalah 1. Adakah aktivitas anti quorum sensing ekstrak dan fraksi tumbuhan Sarang Semut (M. tuberosa) terhadap P. aeruginosa? 2. Golongan senyawa apakah yang memiliki aktivitas anti quorum sensing tersebut? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi anti quorum sensing ekstrak dan fraksi tumbuhan sarang semut (M. tuberosa) terhadap P. aeruginosa dan mengetahui senyawa yang memiliki aktivitas tersebut. 5 D. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Tentang Bakteri Uji Bakteri adalah mikroorganisme bersel satu berkembang biak dengan pembelahan diri dan hanya dapat dilihat dengan mikroskop (Jawetz et al., 1996). Sebagian besar bakteri berdiameter 0,2-2,0 mm dan panjang 2-8 mm. Sel-sel bakteri yang masih muda memiliki ukuran yang lebih besar daripada sel-sel bakteri tua (Pratiwi, 2008). Pada pengecatan Gram, bakteri dapat digolongkan menjadi dua: a. Bakteri Gram positif Bakteri Gram positif adalah bakteri yang pada pewarnaan Gram tahan terhadap alkohol sehingga tetap mengikat warna Kristal violet dan tidak mengikat warna dari safranin, sehingga bakteri tetap berwarna ungu. Contoh bakteri Gram positif adalah S. aureus dan Streptococcus (Dwidjoseputro, 2001). b. Bakteri Gram negatif Bakteri Gram negatif adalah bakteri yang pada pewarnaan Gram tidak tahan terhadap alkohol sehingga warna dari Kristal violet akan dilunturkan dan bakteri akan mengikat warna dari safranin, sehingga bakteri akan nampak berwarna merah. Contoh bakteri Gram negatif adalah E. coli, Salmonella, dan Klebsiella (Dwidjoseputro, 2001). Pada penelitian ini, bakteri yang digunakan adalah P. aeruginosa PAO1. Pseudomonas aeruginosa merupakan anggota dari kingdom Bacteria, filum Proteobacteria, kelas Gamma proteobacteria, ordo Pseudomonales, genus 6 Pseudomonas, dan spesies P. aeruginosa (Todar, 2012). Pseudomonas aeruginosa termasuk bakteri Gram negatif, bersifat aerob dan memiliki bentuk batang. Bakteri ini merupakan patogen oportunistik yang dapat menginisiasi infeksi. Hampir semua strain P. aeruginosa bergerak menggunakan satu flagella polar. Kebutuhan nutrisi bakteri ini sangat sederhana. Di laboratorium, bakteri ini dapat tumbuh pada media yang hanya mengandung asetat sebagai sumber karbon dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen. Pseudomonas aeruginosa sering dijumpai tumbuh pada air suling yang menunjukkan minimalnya kebutuhan nutrisi bakteri ini (Todar, 2012). Bakteri ini sangat toleran terhadap berbagai kondisi lingkungan termasuk suhu, konsentrasi garam yang tinggi, antiseptik lemah dan banyak antibiotik yang banyak digunakan. Hanya ada beberapa antibiotik yang efektif untuk membunuh bakteri ini, contohnya fluoroquinolone, gentamicin, dan imipenem. Namun, antibiotik-antibiotik tersebut tidak efektif terhadap semua strain. Sebagian besar infeksi P. aeruginosa bersifat invasif dan toksikogenik. Infeksi tersebut dibagi dalam 3 tahap, yaitu pelekatan dan kolonisasi bakteri, invasi lokal, dan penyakit sistemik (Todar, 2012). Pseduomonas aeruginosa PAO1 merupakan strain P. aeruginosa yang paling sering digunakan dalam penelitian tentang patogen oportunistik. Pseudomonas aeruginosa PAO1 adalah derivat dari isolat PAO Australia yang awalnya disebut P. aeruginosa strain 1. PAO1 telah didistribusikan ke berbagai negara sebagai koleksi strain P. aeruginosa (Klockgether et al., 2009). Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri patogen penyebab cystic fibrosis dan pneumonia. Bakteri ini juga dapat menyebabkan infeksi pada luka dan luka 7 bakar, infeksi pada mata, serta infeksi saluran kemih. Jumlah infeksi yang disebabkan oleh P. aeruginosa jauh melebihi total jumlah infeksi yang disebabkan oleh spesies lain dalam genus Pseudomonas. Todar (2012) menyatakan bahwa rata-rata insidensi infeksi P.aeruginosa pada rumah sakit di Amerika Serikat sekitar 0,4% dan bakteri tersebut merupakan bakteri patogen nosokomial keempat terbanyak yang umumnya diisolasi, menyebabkan 10,1% infeksi yang didapat di rumah sakit. 2. Tinjauan tentang anti Quorum sensing a. Quorum sensing Bakteri sangat interaktif dan dapat berkomunikasi satu sama lain melalui proses yang dikenal sebagai quorum sensing untuk menghasilkan perilaku kolektif dalam suatu populasi (Singh et al., 2009). Bakteri menggunakan sinyal kimia yang disebut dengan autoinducer untuk berkomunikasi. Bakteri Gram negatif menggunakan autoinducer berupa senyawa N-acyl homoserine lactone (AHL) yang mengatur sejumlah fungsi biologis seperti sifat patogen dan pembentukan biofilm. Sementara bakteri Gram positif menggunakan molekul berbasis peptida untuk saling berkomunikasi. AHL disintesis oleh kelompok protein homolog LuxI. Di atas konsentrasi batas tertentu, AHL berikatan dengan molekul reseptor (LuxR) yang menyebabkan aktivasi pembentukkan dimer atau multimer kompleks LuxRAHL. Kompleks ini berperan sebagai regulator transkripsi pada gen target sistem quorum sensing (Parsek and Greenberg, 2000). 8 Quorum sensing adalah mekanisme regulasi genetik pada bakteri Gram negatif dan positif sebagai respon terhadap perubahan densitas populasi mikroorganisme dan ekspresi dari gen tertentu. Pada batas level signal molekul tertentu, densitas populasi mikroorganisme akan mencapai jumlah yang cukup sehingga dapat menghasilkan respon secara kolektif (Henzer and Givskov, 2003). Mekanisme ini merupakan mekanisme bakteri patogen untuk meminimalisasi respon sistem kekebalan tubuh inang dengan cara menunda faktor virulensi yang dapat merusak jaringan inang sampai dicapai densitas bakteri yang cukup untuk menimbulkan infeksi (Henzer and Givskov, 2003). Bakteri Gram positif dan Gram negatif menggunakan sistem komunikasi quorum sensing untuk regulasi bermacam-macam aktivitas fisiologi termasuk sekresi faktor virulensi, pembentukkan biofilm, kompetensi, motilitas, sporulasi, bioluminescence, dan pertukaran DNA yang memfasilitasi patogenisitas bakteri. b. Quorum sensing pada P. aeruginosa Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar penelitian tentang mikroorganisme terkait quorum sensing adalah dengan menggunakan bakteri uji P. aeruginosa. Bakteri ini bersifat patogen pada manusia dan bertanggung jawab terhadap infeksi oportunistik pada pasien kanker, AIDS, dan cystic fibrosis (Smith et al., 2002). Berbagai macam enzim ekstraseluler berkontribusi terhadap virulensi P. aeruginosa, termasuk elastase, protease, hemolisin, eksotoksin A, biosurfaktan rhamnolipid dan fosfolipase. Enzim-enzim ekstraseluler ini secara kolektif mampu 9 menyebabkan kerusakan luas pada jaringan manusia atau mamalia lainnya (Van Delden and Iglewski, 1998). Regulasi penyandian gen produk ekstraseluler ini dikontrol melalui sistem quorum sensing. Pada P. aeruginosa, terdapat dua sistem quorum sensing yang telah teridentifikasi, yaitu LasR/I dan RhlR/I (Latifi et al., 1995). Masing-masing sistem terdiri atas sinyal N-acyl homoserine lactone (autoinducer) dan sebuah aktivator transkripsi autoinducer-dependent. Pada sistem las, LuxI homolog LasI terlibat dalam sintesis autoinducer N-acyl homoserine lactone (AHL). LuxR homolog LasR dan AHL dibutuhkan dalam aktivasi gen virulensi, termasuk dalam penyandian elastase (lasB), protease (lasA), alkalin protease (apr), dan toksin A (toxA) (Gambello et al., 1993). Sistem quorum sensing rhl terdiri dari protein activator RhlR dan RhlI yang bertanggung jawab terhadap sintesis dua autoinducer, sebagian besar N-butanoylL-homoserine lactone (BHL) dan sedikit N-hexanoyl-L-homoserine lactone (HHL). Sistem rhl ini meregulasi produksi rhamnolipid, pyocyanin, cyanide, dan lipase. Sistem las dan sistem rhl telah diketahui terkoneksi melalui sistem pengaturan yang saling berhubungan (Pesci et al., 1997). Pseudomonas aeruginosa juga menggunakan quorum sensing untuk mengontrol pembentukan biofilm (Costerton et al., 1999). Biofilm ini dapat melindungi organisme dari sistem pertahanan sel inang dan menyebabkan peningkatan resistensi terhadap antibiotik. 10 Gambar 1. Sistem quorum sensing pada P. aeruginosa (Mihalik et al, 2008) Pada Pseudomonas, mekanisme quorum sensing terdiri dari dua sistem regulasi utama yaitu sistem Las I/R and Rhl I/R (Gambar 1) dan acyl-homoserine lactone units dalam berbagai ukuran. LasI atau LuxI akan berikatan dengan autoinducer. Terjadinya ikatan tersebut dapat memicu aktivasi ekspresi RhlI dan RhlR. Selain itu, autoinducer dapat berikatan dengan LasR atau LuxR. Terjadinya ikatan tersebut dapat memicu aktivasi transkripsi gen target dan dapat mensintesis elastase, protease, pigmen pyocyanin, dan faktor virulensi lainnya. Bila ada senyawa anti-QS, maka senyawa tersebut akan berkompetisi dengan autoinducer untuk berikatan dengan Las I/R dan Lux I/R. Hal ini akan menyebabkan tidak terjadinya sintesis berbagai faktor virulensi dari P. aeruginosa (Mihalik et al, 2008). 11 Pada penelitian ini, digunakan medium cetrimide Agar. Cetrimide Agar merupakan medium selektif untuk P. aeruginosa. Media Agar selektif yang mengandung 0,03% cetrimide telah digunakan selama beberapa tahun dan diketahui efektif dalam mengisolasi P. aeruginosa (Lowbury and Collins, 1955). Medium ini juga dapat digunakan untuk deteksi pigmen fluoresens pada kultur P. aeruginosa. Pigmen warna yang dihasilkan kultur P. aeruginosa dapat dengan mudah dilihat di bawah sinar UV. King, Ward, and Raney (1954) telah menemukan bahwa dua komposisi media yaitu media King’s A dan media King’s B dapat meningkatkan produksi pigmen warna yang dihasilkan oleh P. aeruginosa. Media King’s A dapat meningkatkan produksi pyocyanin, sedangkan media King’s B dapat meningkatkan produksi pyoverdin. Pigmen warna pyocyanin tersebut berkaitan dengan mekanisme quorum sensing pada P. aeruginosa. c. Anti-QS Anti-QS adalah senyawa yang digunakan untuk mencegah terjadinya komunikasi antar sel bakteri sehingga dapat mengontrol patogenitas suatu bakteri termasuk dalam mengontrol pembentukan biofilm (Davies et al., 1998). Dengan dihambatnya komunikasi antar mikroba, maka tidak tercapai komunitas yang cukup untuk mengekspresikan virulensi, sehingga mikroba dengan mudah akan eradikasi oleh sistem pertahanan tubuh. Pendekatan ini atau yang disebut sebagai antipatogenik yang diyakini dapat menurunkan perkembangan mikroba resisten (Otto, 2004; Hentzer and Givskov, 2003). Aktivitas anti-QS dapat diuji 12 berdasarkan quorum sensing yang terjadi ketika batas konsentrasi AHL terakumulasi ke tingkat yang cukup untuk berinteraksi dengan reseptor protein. d. Uji aktivitas anti-QS 1. Metode difusi Bahan uji ditempatkan pada sumuran sehingga dapat menyebar ke dalam media agar dan terjadi gradien konsentrasi. Pada konsentrasi yang menghambat tercukupinya jumlah AHL inducer akan terjadi zona opaque di sekitar titik aplikasi sampel. Sistem ini terbukti dapat digunakan untuk menguji aktivitas anti-QS untuk senyawa hasil isolasi dari bahan alam maupun senyawa sintesis (Rasmussen and Givskov, 2006). 2. Mikrodilusi Metode ini digunakan untuk kuantifikasi penghambatan pigmen. Aktivitas anti-QS terkait penghambatan pigmen dapat diuji dengan cara mengukur pembentukan pigmen warna violacein yang dihasilkan oleh Chromobacterium violaceum dalam plate well yang diberi ekstrak 1% dalam media LB (Luria Broth), dilisis menggunakan SDS (Sodium dodesil sulfat) 0,1% dan ditambah dengan DMSO. Absorbansi selanjutnya dibaca pada panjang gelombang 595 nm (Mihalik et al, 2008). 13 3. Uraian Tanaman Sarang Semut a. Klasifikasi tanaman Tanaman sarang semut merupakan tanaman yang termasuk dalam divisi Tracheophyta, kelas Magnoliopsida, subkelas Lamiidae, ordo Rubiales dan famili Rubiaceae. Tanaman ini termasuk dalam genus Myrmecodia, sedangkan spesiesnya adalah M. tuberosa Jack (Backer and Van Den Brink, 1965). b. Penyebaran tanaman Tanaman ini dapat ditemukan di Malaysia, kepulauan Indonesia, Filipina, Pulau Solomon, dan di Cape York Peninsula Australia (Huxley and Jebb, 1993). Di Papua, tanaman ini dapat ditemukan di puncak gunung Jayawijaya, Tolikara, Puncak Jaya, gunung Bintang, dan Paniai (Subroto and Saputro, 2006). Tanaman sarang semut termasuk tanaman yang hampir punah di Singapura karena berkurangnya hutan tropis dan mangrove. Di hutan tertutupnya, tanaman sarang semut tumbuh dalam jumlah tidak banyak (Huxley, 1978). Tanaman sarang semut terdistribusi luas di Malaysia dan Indonesia (Tan et al., 2008). c. Morfologi tanaman Myrmecodia tuberosa merupakan semak yang bersifat epifit dan memiliki duri pada hipokotil tersebar sepanjang daerah linear 10-20 cm. Hipokotil memiliki semacam terowongan penuh lubang-lubang sebagai jalan masuk semut dan sebagai ventilasi udara dalam rongga-rongga tersebut. Biasanya tanaman tidak bercabang, kadang ditemukan satu atau lebih tanaman yang bercabang. Lembar daun keras dengan panjang 7-25 cm dan lebar 4-11 cm tergantung intensitas 14 cahaya yang didapat. Tanaman ini memiliki 10-15 tulang daun lateral (Huxley and Jebb, 1993). Menurut penelitian, sarang semut tumbuh lebih baik pada kondisi teduh dengan lembar daun tipis dan lebar dibanding dengan sarang semut yang tumbuh di bawah terik matahari (lembar daun lebih kecil dan keras). Bunga tumbuh menyendiri atau beberapa berkelompok dan menempel pada batang. Buah berwarna oranye cerah, berdaging, dan berbiji 3-8 buah (Huxley and Jebb, 1993). Gambar 2. Tanaman sarang semut (Anonim, 2013) d. Kandungan kimia dan aktivitas farmakologis Di dalam tanaman sarang semut, suhu stabil sehingga semut-semut betah menghuninya. Dalam jangka waktu lama akan terjadi reaksi kimia alami antara senyawa yang dikeluarkan semut dengan zat aktif yang dikandung tanaman. Kandungan yang berasal dari semut belum diketahui secara pasti. Kandungan bisa berasal dari semut, kotoran, serpihan tanaman, dan kotoran yang dibawa oleh 15 hewan pencari makanan. Amonia dan karbon dioksida yang dihasilkan semut diserap oleh tanaman. Amonia menjadi asam amino dan kemudian terdistribusi ke beberapa bagian tanaman. Penelitian menunjukkan bahwa kalsium diserap oleh daun dan terdistribusi ke beberapa bagian tanaman dan penelitian hanya menunjukkan pula beberapa mineral terutama nitrogen yang ditemukan dalam kotoran koloni semut (Beattie, 1989). Tanaman M. pendens (satu genus dengan M. tuberosa) mengandung senyawa aktif golongan flavonoid dan tanin, anioksidan (tokoferol dan fenolik) dan kaya kandungan mineral penting kalsium (Ca), natrium (Na), kalium (K), seng (Zn), besi (Fe), fosfor (P) dan magnesium (Subroto and Saputro, 2006). Fraksi heksan Hydnophytum formicarum mengandung senyawa stigmasterol, sedangkan fraksi etil asetatnya mengandung senyawa isoliquiritigenin, protocatechualdehyde, butin dan butein (Prachayasittikul et al., 2008). Tumbuhan yang termasuk dalam satu familia pada umumnya memiliki anatomi dan morfologi yang mirip sehingga kemungkinan besar mempunyai proses fisiologi yang mirip. Proses fisiologi berhubungan dengan sel tumbuhan, maka diduga hal inilah yang menyebabkan banyak tumbuhan dalam satu familia mempunyai kandungan kimia yang sejenis (Amini et al., 1991). Pada penelitian sebelumnya, diketahui bahwa M. tuberosa aktif sebagai antibakteri dengan senyawa aktif berupa senyawa fenol (Setyani, 2011). Ekstrak etanol M. tuberosa juga aktif sebagai antimikroba terhadap Candida albicans, E. coli, dan S. aureus (Effendi and Hertiani, 2013). Potensi kandungan fraksi etil 16 asetat M. tuberosa dapat meningkatkan aktivitas fagosit dari makrofag (10µg/ml) dan proliferasi limfosit secara in vitro (20µg/ml) (Hertiani et al., 2010). Sarang semut juga mengandung flavonoid yang berguna sebagai antioksidan sehingga baik untuk mencegah dan membantu mengobati kanker, melindungi struktur sel, meningkatkan efektifitas vitamin C, antiinflamasi, dan sebagai antibiotik (Suherman, 2008). 4. Ekstrak dan Fraksi Ekstraksi merupakan proses pemindahan atau penarikan massa zat aktif di dalam sel, cairan sel akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, sehingga zat aktif akan melarut. Ekstraksi merupakan tahap awal untuk melepaskan senyawa dari suatu sampel atau matriks sehingga diperoleh ekstrak kasar yang masih berisi campuran senyawa yang sangat kompleks (Cannell, 1998). Tahap selanjutnya yaitu memisahkan senyawa target dari ekstrak kasar melalui fraksinasi, dan purifikasi. Langkah ini bertujuan untuk memperoleh senyawa target yang lebih terkonsentrasi hingga diperoleh senyawa murni (Salamah, 2009). Ekstrak dapat berupa sediaan kering, kental dan cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani dengan cara yang sesuai, yaitu maserasi, perkolasi, atau penyeduhan dengan air mendidih. Sebagai cairan penyari digunakan air, eter atau campuran etanol dan air (Anief, 1999). Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari yang baik harus memenuhi beberapa kriteria antara lain: murah dan mudah diperoleh, stabil secara 17 fisika dan kimia, bereaksi netral, selektif, tidak mempengaruhi zat berkhasiat dan diperbolehkan oleh peraturan (Departemen Kesehatan RI, 1986). Metode dasar ekstraksi biasanya menggunakan pelarut organik seperti maserasi, perkolasi, dan soxhletasi atau ekstraksi menggunakan pelarut air seperti infusa, decocta, dan distilasi uap (Silva et al., 1998). Pemilihan metode ekstraksi yang kurang tepat akan menyebabkan proses isolasi senyawa akan mengalami kegagalan sehingga senyawa yang diinginkan tidak dapat tersari secara memuaskan dari matriks (Cannell, 1998). Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana, dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Proses yang terjadi pada maserasi yaitu pemindahan zat aktif secara difusi pasif. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugiannya adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Departemen Kesehatan RI, 1986). Fraksinasi merupakan proses pemisahan fraksi yang terkandung dalam suatu ekstrak yang mempunyai karakteristik berbeda. Pemisahan fraksi tersebut 18 dilakukan untuk memanfaatkan sifat-sifat yang terkandung dalam fraksi, sehingga penggunaannya dapat diperluas. Pada proses fraksinasi biasanya dilakukan proses ekstraksi terlebih dahulu untuk menghasilkan ekstrak yang selanjutnya dipisahkan melalui proses fraksinasi (Brown, 1952). Larutan pengekstraksi yang digunakan disesuaikan dengan kepolaran senyawa yang diinginkan. Larutan pengekstraksi yang digunakan adalah: 1. n-heksan merupakan pelarut non polar yang mudah menguap, melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat kurang polar pada selubung sel dan dinding sel seperti lemak-lemak, terpenoid, klorofil, dan steroid; 2. etil asetat merupakan pelarut semi polar dan dapat melarutkan senyawa semipolar pada dinding sel seperti aglikon flavonoid (Harborne, 1984); 3. metanol, merupakan pelarut yang tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Keuntungan lainnya adalah sifatnya yang mampu mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim. Umumnya yang digunakan sebagai cairan pengekstraksi adalah campuran bahan pelarut yang berlainan. Metanol akan melarutkan seyawa polar yang terdapat dalam protoplasma seperti senyawa glikosida, vitamin C, dan saponin (Voigt, 1994). 5. KLT Bioautografi Metode KLT Bioautografi merupakan metode spesifik untuk mendeteksi bercak pada kromatogram hasil KLT atau KKt yang mempunyai aktivitas sebagai 19 antibakteri, antifungi, antibiotik, dan antivirus. Senyawa deteksi kimia dengan reaksi warna spesifik digunakan sebagai perbandingan hasil bioautografi sehingga metode tersebut saling melengkapi (Stahl, 1973). a. Metode KLT Bioautografi Langsung Metode KLT Bioautografi langsung dilakukan dengan menuangkan media agar dan mikroba di atas permukaan plat KLT hingga padat lalu diinkubasi. Zona hambatan yang terbentuk divisualisasikan dengan penyemprotan menggunakan larutan metal thiazoazil tetralium klorida. Senyawa yang aktif sebagai antimikroba akan tampak sebagai zona bening dengan latar belakang warna ungu (Stahl, 1973). b. Metode KLT Bioautografi Kontak Dalam pelaksanaannya, kromatogram yang telah dielusi dan terbebas dari campuran eluen ditempelkan pada media padat yang telah diinokulasikan bakteri uji. Setelah dibiarkan 30 menit, kromatogram dilepaskan dari permukaan media. Selanjutnya media diinkubasi selama 24 jam pada temperature 37oC, daerah hambatan berupa noda jernih (Alam et al., 2003; Zweig and Whitakker, 1971). Noda jernih dibandingkan dengan Rf hasil identifikasi senyawa kimia menggunakan sinar UV dan penampak bercak (Stahl, 1973). 20 E. Keterangan Empiris Penelitian ini bersifat eksperimental untuk mengetahui ada tidaknya aktivitas anti quorum sensing ekstrak dan fraksi M. tuberosa terhadap bakteri P. aeruginosa.