KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA OTONOMI DAERAH DI INDONESIA* Oleh: Siti Herni Rochana** 1. Pendahuluan 1.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal di Indonesia Era Otonomi Daerah di Indonesia ditandai dengan pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 (kemudian UU 32/2004 dan UU 12/2008) tentang Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia didorong oleh tuntutan demokrasi yang semakin besar sejak krisis ekonomi Tahun 1998. Fenomena ini sesuai dengan pernyataan Rodden dkk. (2003) yang mengungkapkan bahwa struktur pemerintahan sedang mengalami transformasi besar di berbagai negara di dunia. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, tuntutan demokrasi dan kekecewaan terhadap pemerintah pusat dalam pelayanan publik, mendorong politisi untuk menyerahkan sebagian kekuasaan dan sumberdaya kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pemberlakuan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung-jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah, yang dilaksana-kan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan pula bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas. Pelaksanaan Otonomi Daerah akan berimplikasi pada perubahan dalam struktur anggaran pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan prinsip the money follows functions maka penyerahan tugas dan kewenangan yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah harus disertai dengan penyerahan anggaran untuk pelaksanaan tugas dan kewenangan yang dilimpahkan. Dalam Ilmu Ekonomi, penyerahan anggaran dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah disebut dengan desentralisasi fiskal. Berkaitan dengan hal tersebut, maka untuk mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, dikeluarkan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yaitu UU No. 25 Tahun 1999, kemudian diperbaiki oleh UU No. 33 Tahun 2004. * Pemenang Juara 1 Tingkat Propinsi Jawa Barat dan Juara Harapan 3 Tingkat Nasional (Kategori S2, S3, Dosen) Sayembara Karya Tulis Otonomi Daerah 2013 yang diselenggarakan oleh APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia) ** Dosen pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB. 1 Pada era setelah pemberlakuan Otonomi Daerah, pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia meningkat secara signifikan. Bagian pengeluaran pemerintah daerah pada Tahun Anggaran 2001 meningkat hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya menjadi sekitar 30% dari total pengeluaran pemerintah pusat dan daerah (Brodjonegoro dan Martinez-Vazquez, 2002; Rochana, 2010). Dalam kaitan ini, Bank Dunia memberikan istilah The Indonesia’s 2001 Big Bang Decentralization karena hanya dalam ”semalam” Indonesia berubah dari negara yang sangat sentralistik menjadi negara yang sangat desentralistik (Bank Dunia, 2003). Secara teoretis, alasan ekonomi desentralisasi fiskal adalah meningkatkan efisiensi penyediaan barang publik sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (Oates, 1972; Martinez-Vazquez dan McNab, 2003; Brueckner, 2006). Berbeda dengan barang privat, barang publik memiliki karekteristik nonexcludable dan nonrival, yang menyebabkan mekanisme pasar gagal mencapai kondisi pareto efisien. Untuk efisiensi alokasi barang publik, Teori Ekonomi menawarkan desentralisasi. Tiebout Hypothesis (Tiebout, 1956), Club Good Theory (McGuire, 1974), Decentralization Theorem (Oates, 1972), Misperceifed Preferences (Stigler, 1957), dan Public Choice (Brenan dan Buchanan, 1980) mengungkapkan bahwa sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dapat menciptakan mekanisme quasi market untuk barang publik yang akan menghasilkan solusi mirip pasar (market like solution), yaitu alokasi barang publik yang efisien seperti alokasi barang privat dalam mekanisme pasar. Dibalik harapan bahwa Otonomi Daerah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Otonomi Daerah juga berpotensi meningkatkan disparitas pendapatan regional jika tidak dikelola dengan baik (Prud’homme, 1995; Lessmann, 2006; Shah, 2006). Kekhawatiran ini muncul karena dalam sistem desentralisasi, Pemerintah Daerah mengelola anggaran masing-masing dengan mempertimbangkan kesejahte-raan warganya tanpa berkewajiban memperhatikan warga diluar wilayahnya. 1.2 Tujuan Penulisan Pelaksanaan Otonomi Daerah dikhawatirkan membawa efek samping disparitas pendapatan antar wilayah. Hal ini disebabkan karena Otonomi Daerah membawa konsekuensi desentralisasi fiskal yang cenderung membuat anggaran antar daerah lebih beragam. Keragaman anggaran daerah berpotensi menciptakan kesenjangan ekonomi antar wilayah, karena Pemerintah Daerah akan mengutamakan kesejahteraan warganya tanpa berkewajiban mengurus kesejahteraan daerah lain. Berkaitan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, kesenjangan ekonomi antar wilayah tentu akan kontra produktif bagi penguatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang 2 hubungan antara pelaksanaan Otonomi Daerah dan kesenjangan ekonomi antar wilayah melalui desentralisasi fiskal baik secara teoretis maupun empiris di Indonesia. Pada bagian akhir tulisan juga ditawarkan saran kebijakan sebagai upaya mewujudkan perekonomian yang lebih merata. 2. Implikasi Otonomi Daerah pada Struktur Anggaran Publik 2.1 Proporsi Anggaran Pemerintah Daerah Pemberlakuan Otonomi Daerah membawa konsekuensi perubahan dalam struktur anggaran publik. Penyerahan sebagian urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah berimplikasi pada penyerahan anggaran untuk pelaksanaan urusan yang dilimpahkan. Oleh karena itu, pemberlakuan Otonomi Daerah harus disertai dengan revisi aturan hubungan keuangan antar tingkat pemerintahan. Peraturan hubungan keuangan antar tingkat pemerintah untuk mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia diwujudkan dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kemudian disempurnakan dalam UU No. 33 Tahun 2004. Dengan kedua Undang-undang terse-but, terjadi penyerahan sebagian pengelolaan anggaran dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atau dalam ekonomi dikenal dengan istilah desentralisasi fiskal. Pada era setelah pemberlakuan Otonomi Daerah, derajat desentralisasi fiskal di Indonesia meningkat secara signifikan. Hasil penelitian penulis menunjukan derajat desentralisasi fiskal Tahun 2001 menjadi 25,77%, meningkat dari angka 17,28% pada tahun sebelumnya. Kemudian setelah Tahun 2001, desentralisasi fiskal di Indonesia terus mengalami kenaikan hingga diatas 30%. Pada Tahun 2002 derajat desentralisasi fiskal berada pada tingkat 33,84% dan pada Tahun 2007 mencapai 38,39% (Rochana, 2010). Besarnya derajat desentralisasi fiskal di Indonesia setelah Otonomi Daerah dapat disejajarkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat 40,0%, Norwegia 38,8% dan ratarata negara anggota OECD 32.2% (Gruber, 2007). 2.2 Keragaman Anggaran Daerah Pemberlakuan Otonomi Daerah sering dihubungkan dengan perbedaan anggaran antar daerah yang semakin beragam. Untuk melihat keragaman anggaran, penulis menghitung Indeks Williamson penerimaan APBD per kapita antar kabupaten/kota pada enam tahun pengamatan yang terdiri dari satu tahun pengamatan sebelum Otonomi Daerah yaitu Tahun 1995 dan lima tahun pengamatan setelah Otonomi Daerah yaitu Tahun 2003, 2005, 2007, 2009, dan 2011 (Lampiran 1.a). Nilai Indeks Williamson yang semakin tinggi menunjukan keragaman anggaran daerah yang semakin besar. Hasil perhitungan Indeks Williamson keragaman APBD per kapita dapat dilihat pada Gambar 1. 3 1.0 Indeks Williamson 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 0.7298 0.6786 0.7029 0.7352 0.7513 2009 2011 0.4947 1995 2003 2005 2007 Tahun Gambar 1. Indeks Williamson APBD per Kapita Kabupaten/Kota di Indonesia Secara umum, grafik nilai Indeks Williamson pada Gambar 1 menunjukan pola yang menaik setelah Otonomi Daerah. Pada sebelum Otonomi Daerah yaitu Tahun 1995, nilai Indeks Williamson masih berada pada angka 0,4947. Setelah Otonomi Daerah, Indeks Williamson terus menunjukan peningkatan kecuali pada Tahun 2007 yang menurun sedikit tetapi nilainya masih diatas angka yang dicapai pada Tahun 1995 yaitu menjadi 0,7029. Selanjutnya pada Tahun 2011, nilai Indeks Williamson mencapai 0,7513. Nilai Indeks Williamson yang cenderung terus meningkat pada rentang Tahun 1995-2011 menunjukan adanya disparitas anggaran yang semakin besar pada Era Otonomi Daerah. Disparitas anggaran yang cenderung semakin besar dapat terjadi karena pelaksanaan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal sebagai konsekuensi dari Otonomi Daerah berdampak pada kewenangan Pemerintah Daerah yang lebih luas dalam penerimaan daerah termasuk PAD dan DBH. Komponen PAD dan DBH antar daerah sangat beragam karena potensi pajak dan sumberdaya alam antar daerah juga beragam. Daerah yang memiliki potensi pajak yang tinggi atau sumber daya alam melimpah cenderung mendapat penerimaan lebih besar. Perbedaan penerimaan antar daerah semakin lebar sejak pemberlakuan UU No. 28 Tahun 2009 karena komponen PAD bertambah dengan PBB dan BPHTB. Perbedaan dalam penerimaan anggaran akan berdampak pada perbedaan pengeluaran. Selanjutnya, perbedaan pengeluaran pemerintah dapat menyebabkan perbedaan output antar daerah. Hal ini disebabkan karena pengeluaran pemerintah merupakan salah satu variabel penentu output. Penjelasan teoretis mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap output akan diuraikan selanjutnya. 4 3. Peran Pengeluaran Pemerintah Daerah dalam Perekonomian Lokal Performan perekonomian suatu wilayah merupakan hasil kinerja dari sebuah sistem ekonomi. Dalam sistem ekonomi, terdapat pelaku ekonomi yang terdiri dari produsen, konsumen, dan pemerintah. Produsen dan konsumen berinteraksi dalam sistem pasar. Sedangkan pemerintah mempengaruhi pasar melalui pemberlakuan kebijakan ekonomi baik moneter maupun fiskal. Peran pemerintah dalam perekonomian dibahas dalam Teori Ekonomi Publik. Teori Ekonomi Publik menyatakan bahwa pemerintah seyogyanya melakukan intervensi pasar jika memiliki legitimasi untuk campur tangan. Legitimasi campur tangan pemerintah kedalam perekonomian adalah adanya kegagalan pasar (market failure) dan redistribusi pendapatan. Kegagalan pasar dapat terjadi pada kasus monopoli, eksternalitas, barang publik, dan asimetri informasi (Rosen dan Gayer, 2008; Gruber, 2007). Performan perekonomian dapat diukur dari berbagai indikator variabel ekonomi makro seperti output, pertumbuhan, pengangguran, dan inflasi. Namun variabel utama yang sering digunakan sebagai indikator perekonomian adalah output. Dalam pemakaian praktis, output dapat dianggap sebagai pendapatan. Hal ini disebabkan karena nilai seluruh barang dan jasa yang dijual oleh suatu wilayah sama dengan nilai uang yang diterima oleh wilayah tersebut. Output didefinisikan sebagai nilai seluruh barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu wilayah pada jangka waktu tertentu. Tingkat output merupakan resultan dari tarik menarik antara permintaan agregat (aggregate demand) dan penawaran agregat (aggregate supply). Permintaan agregat adalah jumlah seluruh barang dan jasa yang diminta untuk setiap tingkat harga. Sedangkan penawaran agregat adalah jumlah seluruh barang dan jasa yang ditawarkan untuk setiap tingkat harga (Mankiw, 2009; Samuelson dan Nordhaus, 2005; Blair dan Carroll, 2009). Peran pengeluaran pemerintah terhadap output dilukiskan pada Gambar 2. Pengaruh pengeluaran pemerintah dapat terjadi melalui sisi permintaan (demand side) maupun sisi penawaran (supply side). Dari sisi permintaan, pengaruh pengeluaran pemerintah dikaji melalui perubahan dalam permintaan agregat. Sedangkan dari sisi penawaran, pengaruh pengeluaran pemerintah dikaji melalui perubahan dalam penawaran agregat. Dalam lingkup regional, pengeluaran pemerintah daerah turut berperan dalam menentukan output wilayah. Oleh karena itu, pengaruh pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap perekonomian lokal dapat dikaji dari kedua sisi ekonomi tersebut. 5 Permintaan Agregat Penawaran Agregat Konsumsi Teknologi Penelitian Pengembangan Kapital/ Modal Bantuan modal Infrastruktur Tenaga Pendidikan Investasi Pengeluaran Pemerintah (pembelian barang/jasa akhir) Output Kerja Pengeluaran Pemerintah Kesehatan Ekspor bersih Gambar 2. Peran Pengeluaran Pemerintah terhadap Output melalui Sisi Permintaan dan Sisi Penawaran 3.1 Kajian Sisi Permintaan Peran pengeluaran pemerintah terhadap output melalui sisi permintaan yang dilukiskan pada Gambar 2 dapat dibentuk dalam persamaan Keynesian. Berdasarkan persamaan Keynesian, otuput (Y) merupakan penjumlahan dari konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan ekspor bersih (X-M). Dalam bentuk persamaan matematik, output dapat ditulis : Y = C + I + G + (X-M). Komponen pengeluaran pemerintah (G) merupakan belanja pemerintah baik untuk barang maupun jasa. Menurut Mankiw (2009) komponen pengeluaran pemerin-tah dapat berupa belanja pemerintah (government purchase) atau transfer (transfer payment). Belanja pemerintah akan langsung menentukan besar permintaan agregat. Sedangkan transfer payment merupakan pengeluaran pemerintah bukan untuk pembelian barang akhir tetapi untuk pembayaran dimana pemerintah tidak mendapat-kan barang maupun jasa seperti pengeluaran untuk jaminan kesehatan. Besar peran pemerintah dalam mempengaruhi permintaan agregat dapat dilihat dari nilai multiplier. Nilai multiplier menunjukan besar perubahan output yang diakibatkan perubahan pengeluaran pemerintah. Penurunan matematik nilai multiplier dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari Lampiran 2, nilai multiplier untuk pengeluaran pemerintah adalah: m = 1/(1k1+k2) > 0, dimana k1 adalah kecenderungan mengkon-sumsi dan k2 adalah kecenderungan mengimpor. Dari rumus multiplier terlihat bahwa m bernilai positif, artinya semakin besar pengeluaran pemerintah, maka semakin besar permintaan agregat. Dengan besarnya permintaan agregat maka pada gilirannya akan semakin besar pula output yang dihasilkan 6 suatu daerah. Pada kondisi ini, peningkatan output yang terjadi disebabkan oleh tarikan sisi permintaan (demand pull). 3.2 Kajian Sisi Penawaran Peran pengeluaran pemerintah melalui sisi penawaran pada Gambar 2 dapat dijelaskan dari fungsi produksi neoklasik. Dalam fungsi produksi neoklasik, variabel penentu output (Y) adalah teknologi (A), kapital (K), dan tenaga kerja (L). Fungsi matematik untuk output dapat ditulis: Y=F(A, K, L). Berbeda dari kajian sisi permintaan dimana pengeluaran pemerintah secara eksplisit diwujudkan dalam variabel G, dalam kajian sisi penawaran, pengeluaran pemerintah tidak secara eksplisit diwujudkan dalam variabel penjelas. Pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi teknologi (A) melalui investasi pemerintah dalam bidang peneltian dan pengembangan. Pengeluaran pemerintah juga dapat mempe-ngaruhi kapital (K) melalui pemberian bantuan modal atau pembangunan infrastruktur. Selanjutnya pengeluaran pemerintah dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja (L) melalui pendidikan dan pelatihan, serta pelayanan kesehatan (Gambar 2). Besar peran pemerintah dalam menentukan penawaran agregat diuraikan dalam Lampiran 3. Dari Lampiran 3 ditemukan bahwa multiplier bernilai positif, artinya penawaran agregat berbanding lurus dengan pengeluaran pemerintah. Semakin besar pengeluaran pemerintah maka semakin besar pula penawaran agregat. Penawaran agregat yang besar selanjutnya akan mendorong peningkatan output. 4. Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah pada Era Otonomi Daerah 4.1 Hubungan Otonomi Daerah dan Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah Secara umum, hubungan Otonomi Daerah dan kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat dilihat pada Gambar 3. Pelaksanaan Otonomi Daerah membawa konsekuensi desentralisasi fiskal yang cenderung membuat anggaran daerah lebih beragam. Karena besar pengeluaran pemerintah tergantung dari besar penerimaan, penerimaan pemerintah daerah akan berdampak pada maka keragaman keragaman pengeluaran. Pengeluaran daerah kaya cenderung lebih besar daripada pengeluaran daerah miskin. Selanjutnya, perbedaan pengeluaran berdampak pada output yang dihasilkan, dimana output daerah kaya akan lebih tinggi daripada output daerah miskin. Sisi permintaan Otonomi Daerah Money follows function Desentralisasi Fiskal Keragaman Anggaran Daerah Sisi penawaran Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah Gambar 3. Hubungan Otonomi Daerah dan Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah 7 Prud’homme (1995) menambahkan bahwa pemberlakuan desentralisasi menye-babkan daerah kaya akan memiliki sumber pajak lebih banyak. Kondisi ini terjadi melalui beberapa tahap. Pertama, pemerintah pada daerah kaya mampu mengum-pulkan pajak lebih besar sehingga dapat menyediakan barang publik lebih banyak. Kemudian, mereka akan menawarkan barang dan jasa publik dengan harga (pajak) lebih murah. Dengan demikian daerah kaya akan lebih menarik baik bagi perusahaan maupun rumahtangga untuk tinggal, dan pada gilirannya akan menyediakan sumber pajak lebih banyak bagi pemerintah daerah. Faktor lain yang memperburuk kesenjangan ekonomi antar wilayah pada Era Otonomi Daerah adalah kapasitas Pemerintah Pusat dalam membuat transfer pemera-taan semakin sempit (Lessmann, 2006; Oates, 2008). Dengan Otonomi Daerah, pengeluaran lebih banyak dilakukan oleh Pemerintah Daerah sehingga dana yang dipegang Pemerintah Pusat semakin sedikit. Hal ini menyebabkan Pemerintah Pusat memiliki ruang yang terbatas untuk membuat kebijakan pemerataan antar daerah. Studi empiris dampak pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap kesenjangan ekonomi antar wilayah di berbagai negara menunjukan hasil yang beragam. Penelitian di Cina (Qiao dkk., 2007) dan Kolombia (Bonet, 2006) menunjukan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah berdampak pada peningkatan disparitas pendapatan antar wilayah. Sementara, RodriguezPose dan Pzeurra (2009) yang meneliti desentralisasi di 26 negara menemukan perbedaan dampak desentralisasi terhadap disparitas pendapatan di negara maju, berkembang dan miskin. Di negara maju, desentralisasi berdampak pada penurunan disparitas pendapatan antar wilayah. Sebaliknya di negara berkembang dan miskin, desentralisasi berdampak pada peningkatan disparitas pendapatan antar wilayah. 4.2 Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah pada Era Otonomi Daerah di Indonesia Untuk melihat kesenjangan ekonomi antar wilayah pada Era Otonomi Daerah di Indonesia, penulis menghitung Indeks Williamson PDRB per kapita kabupaten/kota periode 1995-2011 (Lampiran 1.b). Nilai Indeks Williamson yang semakin tinggi menunjukan kesenjangan ekonomi antar daerah yang semakin besar. Hasil perhitungan Indeks Williamson PDRB per kapita dapat dilihat pada Gambar 4. Dari Gambar 4 terlihat bahwa pada masa sebelum Otonomi Daerah Tahun 1995, Indeks Williamson masih berada pada angka 0,7210. Setelah Otonomi Daerah, Indeks Williamson meningkat menjadi 1.1613 pada 2003 dan 1,4501 pada 2005. Kemudian Tahun 2007, Indeks Williamson menurun sedikit menjadi 1,4118. Selanjutnya pada Tahun 2011, Indeks Williamson mencapai 1,4559. Nilai Indeks Williamson PDRB per kapita yang cenderung meningkat pada rentang Tahun 1995-2011 menunjukan adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah yang semakin besar pada Era Otonomi Daerah. 8 1.8 Indeks Williamson 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 1.4501 1.4118 1.4195 2005 2007 2009 1.4559 1.1613 0.7210 1995 2003 2011 Tahun Gambar 4. Indeks Williamson PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Indonesia Kesenjangan ekonomi yang semakin besar pada Era Otonomi Daerah berkaitan dengan keragaman anggaran yang semakin tinggi. Hal ini terlihat dengan membandingkan grafik Indeks Williamson APBD per kapita pada Gambar 1 dan grafik Indeks Williamson PDRB per kapita pada Gambar 4. Kedua grafik tersebut tampak memiliki pola pergerakan yang menaik. Kemiripan pola kedua grafik tersebut menunjukan bahwa peningkatan kesenjangan ekonomi antar wilayah berhubungan dengan peningkatan keragaman anggaran antar daerah. Selain keragaman anggaran, perbedaan dalam pengelolaan urusan pemerintahan dapat menjadi penyebab keragaman pendapatan. Sejak Otonomi Daerah, sebagian urusan pemerintahan dilimpahkan ke daerah seperti diatur dalam UU 22/1999, UU 32/2004, dan PP 38/2007. Dalam mengelola urusan pemerintahan, setiap daerah memiliki kemampuan berbeda karena perbedaan dalam faktor endowment. Faktor endowment tersebut antara lain: kapasitas pemerintah daerah, sumberdaya manusia, dan ketersediaan infrastruktur. Perbedaan pengelolaan urusan pemerintahan pada gilirannya menyebabkan perbedaan kecepatan pertumbuhan ekonomi yang terefleksi-kan dalam disparitas pendapatan yang semakin besar. 5. Kesimpulan Secara teoretis, Otonomi Daerah berpotensi meningkatkan kesenjangan ekonomi antar wilayah. Hal ini terjadi karena Otonomi Daerah membawa konsekuensi desentralisasi fiskal dimana sebagian pengelolaan anggaran pemerintah dilimpahkan ke daerah. Desentralisasi fiskal, jika tidak disertai dengan transfer pemerataan yang tepat, dapat menimbulkan perbedaan dalam penerimaan daerah sehingga pengeluaran pemerintah daerah juga berbeda. Perbedaan pengeluaran pemerintah daerah dapat menimbulkan kesenjangan pendapatan antar wilayah, karena pengeluaran pemerintah merupakan salah satu variabel penentu output baik melalui sisi permintaan maupun sisi penawaran. 9 Hasil perhitungan Indeks Williamson untuk penerimaan APBD per kapita dan PDRB per kapita antar kabupaten/kota pada rentang Tahun 1995-2011 menunjukan pola yang serupa yaitu cenderung menaik. Kemiripan dalam pola kenaikan Indeks Williamson untuk APBD per kapita dan PDRB per kapita menunjukan adanya keragaman anggaran antar daerah yang semakin besar yang disertai dengan kesenjangan ekonomi antar wilayah yang juga semakin besar pada Era Otonomi Daerah. 6. Saran Kesenjangan ekonomi antar wilayah tentu kontra produktif dengan pemberlakuan Otonomi Daerah untuk penguatan NKRI. Seperti dikemukakan oleh Isran Noor (2012:9) bahwa demokrasi senantiasa harus mengandung muatan orientasi kesejahteraan rakyat. Tanpa peningkatan kesejahteraan rakyat, sendi-sendi demokrasi akan rapuh. Oleh karena itu, permasalahan kesenjangan ekonomi harus segera diatasi agar demokrasi pada Era Otonomi Daerah berjalan dengan baik. Seperti telah disimpulkan, perbedaan penerimaan anggaran daerah berasosiasi dengan kesenjangan ekonomi antar wilayah. Dengan demikian, salah satu cara menurunkan kesenjangan ekonomi antar wilayah adalah memperkecil perbedaan anggaran antar daerah dengan meningkatkan penerimaan daerah tertinggal melalui penambahan transfer. Dalam menyusun transfer, Shah (2006) memberikan arahan mengenai prinsip yang perlu diperhatikan yang diuraikan pada Lampiran 4. Berpedoman pada arahan tersebut, penulis menawarkan saran desain hubungan keuangan untuk menambah penerimaan daerah tertinggal sebagai upaya pemerataan anggaran yang diuraikan pada Lampiran 5. Selanjutnya untuk memperkecil kesenjangan, perlu ada akselerasi pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Berkaitan dengan akselerasi, anggaran seyogyanya juga digunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi diantaranya transportasi, energi dan telekomunikasi. Pada banyak kasus, infrastruktur merupakan salah satu trigger yang dapat menciptakan akselerasi pertumbuhan ekonomi (Pradhan dan Bagchi, 2013; Roberts dkk., 2012; Hong dkk., 2011; Donaldson, 2010; Seetanah, 2009; Roller dan Waverman, 2001). Sebagai tambahan, penulis menyarankan untuk meningkatkan kapasitas pemerin-tah daerah melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa perbedaan kapasitas pemerintah daerah memberikan kontribusi bagi kesenjangan ekonomi antar wilayah. Oleh karena itu, daerah perlu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, dan sistem rekruitmen pegawai yang kompetitif. Mengingat bahwa pada Era Otonomi Daerah, lembaga legislatif yaitu DPRD juga memiliki kewenangan yang cukup besar dalam pengelolaan urusan pemerintahan, maka peningkatan kualitas sumberdaya manusia di lembaga tersebut juga perlu ditingkatkan. 10 Referensi Armstrong, Harvey and Jim Taylor. 2000. Regional Economics and Policy. Third Edition. Malden: Blackwell Publishing. Blair, John P. and Michael C. Carroll. 2009. Local Economic Development. Analysis, Practices, and Globalization. Second Edition. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc. Bonet, Jaime. 2006. Fiscal Decentralization and Regional Income Disparities: Evidence from the Colombian Experience. The Annals of Regional Science 40(3):661-676. Brodjonegoro, Bambang and Jorge Martinez-Vazquez. 2002. An Analysis of Indone-sia’s Transfer System: Recent Performance and Future Prospects. International Studies Program Working Paper, at AYSPS, GSU 02-13. Brueckner, Jan K. 2006. Economics 90:2107-2120. Fiscal Federalism and Economic Growth. Journal of Public Donaldson, Dave. 2010. Railroads of The Raj: Estimating The Impact of Transportation Infrastructure. NBER Working Paper 16487. Gruber, Jonathan. 2007. Public Finance and Public Policy. Second Edition. New York: Worth Publisher. Hong, Junjie, Zhaofang Chu and Qiang Wang. 2011. Transport Infrastructure and Regional Economic Growth: Evidence from China. Transportation 38:737–752. Lall, Somik V. 2007. Infrastructure and Regional Growth. Growth Dynamics and Policy Relevance for India. The Annals of Regional Science 41:581–599. Lessmann, Christian. 2006. Fiscal Decentralization and Regional Disparity: A Panel Data Approach for OECD Countries. Ifo Working Paper No. 25. Mankiw, N. Gregory. 2009. Macroeconomics. Seventh Edition. New York: Worth Publishers. Martinez-Vazquez, Jorge and Robert M. McNab 2003. Fiscal Decentralization and Economic Growth. World Development 31(9):1597-1616. Noor, Isran. 2012. Politik Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI. Seven Strategic Studies. Oates, Wallace E. 1972. Fiscal Federalism. New York : Harcourt Brace Jovanovich in Oates, Wallace E. 2008. On the Evolution of Fiscal Federalism: Theory and Institutions. National Tax Journal 61(2):313-334. Prud’homme, Remy. 1995. The Dangers of Decentralization. The World Bank Research Observer 10(2):201-220. Pradhan, Rudra P. and Tapan P. Bagchi. Effect of Transportation Infrastructure on Economic Growth in India: The VECM Approach. Research in Transportation Economics 38(1):139-148. Roberts, Mark, Uwe Deichmann, Bernard Fingleton, and Tuo Shi. 2012. Evaluating China's Road to Prosperity: A New Economic Geography Approach. Regional Science and Urban Economics 42:580–594. 11 Rochana, Siti Herni. 2010. Desentralisasi Fiskal, Pertumbuhan Ekonomi, dan Disparitas Pendapatan Regional di Indonesia. Bandung: Disertasi Program Pasca-sarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran. Rodden, Jonathan A., Gunnar S. Eskeland, and Jennie Litvack. 2003. Fiscal Decentralization and the Challenge of Hard Budget Constraints. Cambridge: The MIT Press. Rodriguez-Pose, Andres and Roberto Pzeurra. 2009. Does Decentralization Matter for Regional Disparities? A Cross Country Analysis. Imdea Working Paper 2009/4. Roller, Lars-Hendrik and Leonard Waverman. 2001. Telecommunications Infrastructure and Economic Development: A Simultaneous Approach. The American Economic Review. 91(4):909-923. Rosen, Harvey S. and Ted Gayer. 2008. Public Finance. Eight Edition. New York: McGrawHill. Samuelson, Paul A. and William D. Nordhaus. 2005. Economics. Eighteenth Edition. New York: McGraw-Hill. Seetanah, B., Ramessur S. and Rojid S. 2009. Does Infrastructure Alleviates Poverty in Developing Countries? International Journal of Applied Econometrics and Quantitative Studies V6-2. Shah, Anwar. 2006. A Practitioner’s Guide to Intergovernmental Fiscal Transfers. World Bank Policy Research Working Paper 4039. Qiao, Baoyun, Jorge Martinez-Vazquez, and Yongsheng Xu. 2007. The Tradeoff between Growth and Equity in Decentralization Policy: China’s Experience. Journal of Development Economics doi:10.1016/j.jdeveco.2007.05.002. World Bank. 2003. Decentralizing Indonesia. A Regional Public Expenditure Review. Overview Report No. 26191-IND. Melalui http://wwwwds.worldbank.org/external/default /WDSContentServer/WDSP/IB/2003/07/29/000160016_20030729123554/Rendered/DF/261 910ID0ESW.pdf [7-11-08]. 12 Lampiran 1. Perhitungan Indeks Williamson untuk APBD per Kapita dan PDRB per Kapita Rumus Indeks Williamson : 𝑛 𝑖=1 𝑌𝑖 − 𝑌 2 . 𝑃𝑖 /𝑃 𝐼𝑤 = 𝑌 Keterangan: 𝑌𝑖 = APBD per kapita kab/kota i; PDRB per kapita kab/kota i 𝑌 = APBD per kapita Indonesia; PDRB per kapita Indonesia 𝑃𝑖 = Jumlah penduduk kab/kota i 𝑃 = Jumlah penduduk Indonesia 𝑖 = 1, ..., n. 1.a Hasil perhitungan Indeks Williamson untuk penerimaan APBD per kapita Variabel Tahun 1995 2003 2005 2007 2009 2011 𝑛 92 310 340 383 468 459 𝑌 (Ribu Rp./Kapita) 835,35 944,66 1.276,40 2.338,51 3.028,88 4.075,52 413,27 641,09 931,55 1.644,66 2.226,97 3.061,88 0,4947 0,6786 0,7298 0,7033 0,7352 0,7513 𝑛 𝑌𝑖 − 𝑌 2 ∗ 𝑃𝑖 /𝑃 𝑖=1 𝐼𝑤 1.b Hasil perhitungan Indeks Williamson untuk PDRB per kapita Tahun Variabel 1995 2003 2005 2007 2009 2011 𝑛 96 329 353 422 481 467 𝑌 (Ribu Rp./Kapita) 2.181,79 9.083,14 13.513,64 15.183,73 17.956,53 22.480,86 1.572.94 10.548,15 19.596,35 21.436,90 25.488,82 32.728,90 0,7210 1,1613 1,4501 1,4118 1,4195 1,4559 𝑛 𝑌𝑖 − 𝑌 2 ∗ 𝑃𝑖 /𝑃 𝑖=1 𝐼𝑤 13 Lampiran 2. Pembuktian Matematik Peran Pengeluaran Pemerintah terhadap Output melalui Sisi Permintaan 𝑌 = 𝐶 + 𝐼 + 𝐺 + (𝑋 − 𝑀) Karena 𝐶 = 𝑎 + 𝑘1 𝑌 dan 𝑀 = 𝑘2 𝑌 maka : 𝑌 = 𝑎 + 𝑘1 𝑌 + 𝐼 + 𝐺 + (𝑋 − 𝑘2 𝑌) 𝑌 = 𝑎 + 𝑘1 𝑌 − 𝑘2 𝑌 + 𝐼 + 𝐺 + 𝑋 𝑌 − 𝑘1 𝑌 + 𝑘2 𝑌 = 𝑎 + 𝐼 + 𝐺 + 𝑋 1 − 𝑘1 + 𝑘2 𝑌 = 𝑎 + 𝐼 + 𝐺 + 𝑋 1 𝑎+𝐼+𝐺+𝑋 1 − 𝑘1 + 𝑘2 𝑌= Multilpier : 𝑚= 𝑑𝑌 1 = > 0 𝑑𝐺 1 − 𝑘1 + 𝑘2 Keterangan : Y C I G X M k1 k2 = = = = = = = = output konsumsi investasi pengeluaran pemerintah ekspor impor kecenderungan mengkonsumsi kecenderungan mengimpor 14 Lampiran 3. Pembuktian Matematik Peran Pengeluaran Pemerintah terhadap Output melalui Sisi Penawaran 𝑌 = 𝑓 𝐴, 𝐾, 𝐿 𝑌 = 𝐴𝐾 𝛼 𝐿𝛽 Karena 0 < 𝛼, 𝛽 < 1 maka : 𝑑𝑌 = 𝐾 𝛼 𝐿𝛽 > 0 𝑑𝐴 𝑑𝑌 = 𝐴𝜎𝐾 𝛼−1 𝐿𝛽 > 0 𝑑𝐾 𝑑𝑌 = 𝐴𝐾 𝛼 𝛽𝐿𝛽 −1 > 0 𝑑𝐿 Dan diasumsikan : 𝑑𝐴 𝑑𝐺 >0 ; 𝑑𝐾 𝑑𝐺 >0 ; 𝑑𝐿 𝑑𝐺 >0 Multilpier : 𝑚= 𝑑𝑌 𝑑𝑌 𝑑𝐴 𝑑𝑌 𝑑𝐾 𝑑𝑌 𝑑𝐿 = + + > 0 𝑑𝐺 𝑑𝐴 𝑑𝐺 𝑑𝐾 𝑑𝐺 𝑑𝐿 𝑑𝐺 Keterangan : Y A K L = = = = output teknologi kapital tenaga kerja 15 Lampiran 4. Prinsip dan Praktek dalam Desain Bantuan Tujuan Bantuan Desain Bantuan Menjembatani kesenjangan fiskal (vertikal) Penyusunan kembali urusan pemerintahan, pembagian sumber pajak. Mengurangi kesenjangan fiskal (horisontal) Transfer pemerataan, bantuan umum berdasarkan kapasitas fiskal Kompensasi untuk luapan manfaat (spillovers) Transfer dengan dana pendampingan yang disesuaikan dengan manfaat yang dihasilkan Transfer blok berdasarkan kriteria tertentu dan berbasis output dengan standar pelayanan dan akses tertentu. Menciptakan standar minimum nasional Mewujudkan program prioritas nasional di daerah Pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar dan stabilitas ekonomi makro Bantuan modal dengan dana pendampingan yang disesuaikan dengan dengan kapasitas fiskal pemerintah daerah. Transfer dengan dana pendampingan Bantuan modal, dimungkinkan juga disediakan biaya pemeliharaan. Contoh yang baik dilaksanakan Pengurangan pajak dan pembagian sumber pajak (Kanada). Pemerataan fiskal dengan ketentuan eksplisit yang menentukan total dan alokasi bantuan (Kanada, Denmark, dan Jerman). Bantuan untuk pelatihan rumahsakit (Afrika Selatan). Bantuan untuk pemeliharaan jalan dan pendidikan dasar (Indonesia sebelum 2000), Transfer pendidikan (Brasil, Chili, Kolombia), Transfer kesehatan (Brasil, Kanada). Bantuan modal untuk konstruksi sekolah (Indonesia sebelum 2000), Bantuan modal untuk konstruksi jalan highway (AS). Transfer untuk bantuan sosial (Kanada sebelum 2004). Bantuan modal dengan matching rate disesuaikan dengan kapasitas fiskal pemerintah daerah. Contoh yang harus dihindari Bantuan untuk menutupi defisit dan upah (Cina), pajak atas pembagian pajak (Cina, India). Bagi hasil penerimaan dengan faktor pegganda, pemerataan fiskal dengan jumlah tertentu (Australia, Cina). Closed-ended matching grant Transfer kondisional tanpa ada standar tertentu (banyak negara). Bantuan modal tanpa dana pendampingan dan tanpa dibarengi dana pemeliharaan. Bantuan ad hoc Bantuan tanpa dana pemeliharaan Sumber : Shah (2006:46) 16 Lampiran 5. Saran Desain Hubungan Keuangan untuk Peningkatan Penerimaan dan Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Daerah Tertinggal* Tujuan Menjembatani kesenjangan fiskal (vertikal) Instrumen Fiskal di Indonesia PAD DBH Mengurangi kesenjangan fiskal (horisontal) DAU Kompensasi untuk luapan manfaat (spillovers) DAK Lingkungan Hidup DAK Kehutanan DAK Kelautan DAK Pendidikan DAK Kesehatan DAK Perumahan dan Permukiman dll DAK Keluarga Berencana Dekonsentrasi Tugas pembantuan DAK infrastruktur DAK Sarana Kawasan Perbatasan DAK SPDT Menciptakan standar minimum nasional Mewujudkan program prioritas nasional di daerah Pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar dan stabilitas ekonomi makro Desain Fiskal Eksisting Pajak daerah (UU 28/2009) Ketentuan bagi hasil pajak dan sumberdaya alam antara pusat, provinsi, dan kab/kota (PP55/2005) Minimum DAU 26% APBN DAU dihitung berdasarkan formula (PP 55/2005) DAK ditentukan berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis Daerah mengeluarkan dana pendampingan 10% (kekecualian daerah tertentu) Pelaksanaan DAK mengacu pada petunjuk teknis dari kementerian terkait (PP 55/2005) Saran Perbaikan Ditinjau kembali pembagian bagi hasil pajak dan sumberdaya alam antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota disesuaikan dengan beban urusan yang dilimpahkan Bobot variabel indeks kemiskinan dalam formula DAU dinaikan Perhitungan DAU didasarkan pada data yang akurat DAK diprioritaskan untuk daerah tertinggal dengan menentukan pagu minimum Meningkatkan DAK SPDT yang disertai dengan petunjuk teknis pembangunan infrastruktur ekonomi Dievaluasi efektivitas dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dan dipertimbangkan untuk mengalihkan sebagian dana tersebut menjadi DAK * Disusun oleh penulis berpedoman pada tujuan transfer dari Shah (2006) 17