1 KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA

advertisement
KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH PADA ERA OTONOMI DAERAH
DI INDONESIA*
Oleh: Siti Herni Rochana**
1. Pendahuluan
1.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Era Otonomi Daerah di Indonesia ditandai dengan pemberlakuan UU No. 22 Tahun
1999 (kemudian UU 32/2004 dan UU 12/2008) tentang Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia didorong oleh tuntutan demokrasi yang semakin besar sejak
krisis ekonomi Tahun 1998. Fenomena ini sesuai dengan pernyataan Rodden dkk. (2003)
yang mengungkapkan bahwa struktur pemerintahan sedang mengalami transformasi besar
di berbagai negara di dunia. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, tuntutan demokrasi dan
kekecewaan terhadap pemerintah pusat dalam pelayanan publik, mendorong politisi untuk
menyerahkan sebagian kekuasaan dan sumberdaya kepada tingkat pemerintahan yang
lebih rendah.
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pemberlakuan Otonomi Daerah
dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung-jawab
kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai
dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta potensi
dan keanekaragaman daerah, yang dilaksana-kan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan pula bahwa
pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakan pada daerah kabupaten dan
daerah kota, sedangkan otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
Pelaksanaan Otonomi Daerah akan berimplikasi pada perubahan dalam struktur
anggaran pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan prinsip the money follows functions
maka penyerahan tugas dan kewenangan yang diberikan Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah harus disertai dengan penyerahan anggaran untuk pelaksanaan tugas
dan kewenangan yang dilimpahkan. Dalam Ilmu Ekonomi, penyerahan anggaran dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah disebut dengan desentralisasi fiskal.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka untuk mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia, dikeluarkan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah yaitu UU No. 25 Tahun 1999, kemudian diperbaiki oleh UU No. 33 Tahun
2004.
* Pemenang Juara 1 Tingkat Propinsi Jawa Barat dan Juara Harapan 3 Tingkat Nasional (Kategori
S2, S3, Dosen) Sayembara Karya Tulis Otonomi Daerah 2013 yang diselenggarakan oleh APKASI
(Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia)
** Dosen pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB.
1
Pada era setelah pemberlakuan Otonomi Daerah, pelaksanaan desentralisasi fiskal di
Indonesia meningkat secara signifikan. Bagian pengeluaran pemerintah daerah pada Tahun
Anggaran 2001 meningkat hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya menjadi sekitar 30%
dari total pengeluaran pemerintah pusat dan daerah (Brodjonegoro dan Martinez-Vazquez,
2002; Rochana, 2010). Dalam kaitan ini, Bank Dunia memberikan istilah The Indonesia’s
2001 Big Bang Decentralization karena hanya dalam ”semalam” Indonesia berubah dari
negara yang sangat sentralistik menjadi negara yang sangat desentralistik (Bank Dunia,
2003).
Secara teoretis, alasan ekonomi desentralisasi fiskal adalah meningkatkan efisiensi
penyediaan barang publik sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (Oates, 1972;
Martinez-Vazquez dan McNab, 2003; Brueckner, 2006). Berbeda dengan barang privat,
barang publik memiliki karekteristik nonexcludable dan nonrival, yang menyebabkan
mekanisme pasar gagal mencapai kondisi pareto efisien. Untuk efisiensi alokasi barang
publik, Teori Ekonomi menawarkan desentralisasi. Tiebout Hypothesis (Tiebout, 1956), Club
Good Theory (McGuire, 1974), Decentralization Theorem (Oates, 1972), Misperceifed
Preferences
(Stigler,
1957),
dan
Public
Choice
(Brenan
dan
Buchanan,
1980)
mengungkapkan bahwa sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dapat menciptakan
mekanisme quasi market untuk barang publik yang akan menghasilkan solusi mirip pasar
(market like solution), yaitu alokasi barang publik yang efisien seperti alokasi barang privat
dalam mekanisme pasar.
Dibalik harapan bahwa Otonomi Daerah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
Otonomi Daerah juga berpotensi meningkatkan disparitas pendapatan regional jika tidak
dikelola dengan baik (Prud’homme, 1995; Lessmann, 2006; Shah, 2006). Kekhawatiran ini
muncul karena dalam sistem desentralisasi, Pemerintah Daerah mengelola anggaran
masing-masing dengan mempertimbangkan kesejahte-raan warganya tanpa berkewajiban
memperhatikan warga diluar wilayahnya.
1.2 Tujuan Penulisan
Pelaksanaan Otonomi Daerah dikhawatirkan membawa efek samping disparitas
pendapatan antar wilayah. Hal ini disebabkan karena Otonomi Daerah membawa
konsekuensi desentralisasi fiskal yang cenderung membuat anggaran antar daerah lebih
beragam. Keragaman anggaran daerah berpotensi menciptakan kesenjangan ekonomi antar
wilayah, karena Pemerintah Daerah akan mengutamakan kesejahteraan warganya tanpa
berkewajiban mengurus kesejahteraan daerah lain.
Berkaitan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, kesenjangan ekonomi
antar wilayah tentu akan kontra produktif bagi penguatan NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia). Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
2
hubungan antara pelaksanaan Otonomi Daerah dan kesenjangan ekonomi antar wilayah
melalui desentralisasi fiskal baik secara teoretis maupun empiris di Indonesia. Pada bagian
akhir tulisan juga ditawarkan saran kebijakan sebagai upaya mewujudkan perekonomian
yang lebih merata.
2.
Implikasi Otonomi Daerah pada Struktur Anggaran Publik
2.1 Proporsi Anggaran Pemerintah Daerah
Pemberlakuan Otonomi Daerah membawa konsekuensi perubahan dalam struktur
anggaran publik. Penyerahan sebagian urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah berimplikasi pada penyerahan anggaran untuk pelaksanaan urusan
yang dilimpahkan. Oleh karena itu, pemberlakuan Otonomi Daerah harus disertai dengan
revisi aturan hubungan keuangan antar tingkat pemerintahan.
Peraturan hubungan keuangan antar tingkat pemerintah untuk mendukung pelaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia diwujudkan dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kemudian disempurnakan
dalam UU No. 33 Tahun 2004. Dengan kedua Undang-undang terse-but, terjadi penyerahan
sebagian pengelolaan anggaran dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atau
dalam ekonomi dikenal dengan istilah desentralisasi fiskal.
Pada era setelah pemberlakuan Otonomi Daerah, derajat desentralisasi fiskal di
Indonesia meningkat secara signifikan. Hasil penelitian penulis menunjukan derajat
desentralisasi fiskal Tahun 2001 menjadi 25,77%, meningkat dari angka 17,28% pada tahun
sebelumnya. Kemudian setelah Tahun 2001, desentralisasi fiskal di Indonesia terus
mengalami kenaikan hingga diatas 30%. Pada Tahun 2002 derajat desentralisasi fiskal
berada pada tingkat 33,84% dan pada Tahun 2007 mencapai 38,39% (Rochana, 2010).
Besarnya derajat desentralisasi fiskal di Indonesia setelah Otonomi Daerah dapat
disejajarkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat 40,0%, Norwegia 38,8% dan ratarata negara anggota OECD 32.2% (Gruber, 2007).
2.2 Keragaman Anggaran Daerah
Pemberlakuan Otonomi Daerah sering dihubungkan dengan perbedaan anggaran antar
daerah yang semakin beragam. Untuk melihat keragaman anggaran, penulis menghitung
Indeks Williamson penerimaan APBD per kapita antar kabupaten/kota pada enam tahun
pengamatan yang terdiri dari satu tahun pengamatan sebelum Otonomi Daerah yaitu Tahun
1995 dan lima tahun pengamatan setelah Otonomi Daerah yaitu Tahun 2003, 2005, 2007,
2009, dan 2011 (Lampiran 1.a). Nilai Indeks Williamson yang semakin tinggi menunjukan
keragaman anggaran daerah yang semakin besar. Hasil perhitungan Indeks Williamson
keragaman APBD per kapita dapat dilihat pada Gambar 1.
3
1.0
Indeks
Williamson 0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
0.7298
0.6786
0.7029
0.7352
0.7513
2009
2011
0.4947
1995
2003
2005
2007
Tahun
Gambar 1. Indeks Williamson APBD per Kapita Kabupaten/Kota di Indonesia
Secara umum, grafik nilai Indeks Williamson pada Gambar 1 menunjukan pola yang
menaik setelah Otonomi Daerah. Pada sebelum Otonomi Daerah yaitu Tahun 1995, nilai
Indeks Williamson masih berada pada angka 0,4947. Setelah Otonomi Daerah, Indeks
Williamson terus menunjukan peningkatan kecuali pada Tahun 2007 yang menurun sedikit
tetapi nilainya masih diatas angka yang dicapai pada Tahun 1995 yaitu menjadi 0,7029.
Selanjutnya pada Tahun 2011, nilai Indeks Williamson mencapai 0,7513. Nilai Indeks
Williamson yang cenderung terus meningkat pada rentang Tahun 1995-2011 menunjukan
adanya disparitas anggaran yang semakin besar pada Era Otonomi Daerah.
Disparitas anggaran yang cenderung semakin besar dapat terjadi karena pelaksanaan
desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal sebagai konsekuensi dari Otonomi Daerah
berdampak pada kewenangan Pemerintah Daerah yang lebih luas dalam penerimaan
daerah termasuk PAD dan DBH. Komponen PAD dan DBH antar daerah sangat beragam
karena potensi pajak dan sumberdaya alam antar daerah juga beragam. Daerah yang
memiliki potensi pajak yang tinggi atau sumber daya alam melimpah cenderung mendapat
penerimaan lebih besar. Perbedaan penerimaan antar daerah semakin lebar sejak
pemberlakuan UU No. 28 Tahun 2009 karena komponen PAD bertambah dengan PBB dan
BPHTB.
Perbedaan
dalam
penerimaan
anggaran
akan
berdampak
pada
perbedaan
pengeluaran. Selanjutnya, perbedaan pengeluaran pemerintah dapat menyebabkan
perbedaan output antar daerah. Hal ini disebabkan karena pengeluaran pemerintah
merupakan salah satu variabel penentu output. Penjelasan teoretis mengenai pengaruh
pengeluaran pemerintah terhadap output akan diuraikan selanjutnya.
4
3.
Peran Pengeluaran Pemerintah Daerah dalam Perekonomian Lokal
Performan perekonomian suatu wilayah merupakan hasil kinerja dari sebuah sistem
ekonomi. Dalam sistem ekonomi, terdapat pelaku ekonomi yang terdiri dari produsen,
konsumen, dan pemerintah. Produsen dan konsumen berinteraksi dalam sistem pasar.
Sedangkan pemerintah mempengaruhi pasar melalui pemberlakuan kebijakan ekonomi baik
moneter maupun fiskal.
Peran pemerintah dalam perekonomian dibahas dalam Teori Ekonomi Publik. Teori
Ekonomi Publik menyatakan bahwa pemerintah seyogyanya melakukan intervensi pasar jika
memiliki legitimasi untuk campur tangan. Legitimasi campur tangan pemerintah kedalam
perekonomian adalah adanya kegagalan pasar (market failure) dan redistribusi pendapatan.
Kegagalan pasar dapat terjadi pada kasus monopoli, eksternalitas, barang publik, dan
asimetri informasi (Rosen dan Gayer, 2008; Gruber, 2007).
Performan perekonomian dapat diukur dari berbagai indikator variabel ekonomi makro
seperti output, pertumbuhan, pengangguran, dan inflasi. Namun variabel utama yang sering
digunakan sebagai indikator perekonomian adalah output. Dalam pemakaian praktis, output
dapat dianggap sebagai pendapatan. Hal ini disebabkan karena nilai seluruh barang dan
jasa yang dijual oleh suatu wilayah sama dengan nilai uang yang diterima oleh wilayah
tersebut.
Output didefinisikan sebagai nilai seluruh barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu
wilayah pada jangka waktu tertentu. Tingkat output merupakan resultan dari tarik menarik
antara permintaan agregat (aggregate demand) dan penawaran agregat (aggregate supply).
Permintaan agregat adalah jumlah seluruh barang dan jasa yang diminta untuk setiap
tingkat harga. Sedangkan penawaran agregat adalah jumlah seluruh barang dan jasa yang
ditawarkan untuk setiap tingkat harga (Mankiw, 2009; Samuelson dan Nordhaus, 2005; Blair
dan Carroll, 2009).
Peran pengeluaran pemerintah terhadap output dilukiskan pada Gambar 2. Pengaruh
pengeluaran pemerintah dapat terjadi melalui sisi permintaan (demand side) maupun sisi
penawaran (supply side). Dari sisi permintaan, pengaruh pengeluaran pemerintah dikaji
melalui perubahan dalam permintaan agregat. Sedangkan dari sisi penawaran, pengaruh
pengeluaran pemerintah dikaji melalui perubahan dalam penawaran agregat. Dalam lingkup
regional, pengeluaran pemerintah daerah turut berperan dalam menentukan output wilayah.
Oleh karena itu, pengaruh pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap perekonomian lokal
dapat dikaji dari kedua sisi ekonomi tersebut.
5
Permintaan Agregat
Penawaran Agregat
Konsumsi
Teknologi
 Penelitian
 Pengembangan
Kapital/
Modal
 Bantuan modal
 Infrastruktur
Tenaga
 Pendidikan
Investasi
Pengeluaran
Pemerintah
(pembelian
barang/jasa
akhir)
Output
Kerja
Pengeluaran
Pemerintah
 Kesehatan
Ekspor bersih
Gambar 2. Peran Pengeluaran Pemerintah terhadap Output melalui Sisi Permintaan dan Sisi
Penawaran
3.1 Kajian Sisi Permintaan
Peran pengeluaran pemerintah terhadap output melalui sisi permintaan yang dilukiskan
pada Gambar 2 dapat dibentuk dalam persamaan Keynesian. Berdasarkan persamaan
Keynesian, otuput (Y) merupakan penjumlahan dari konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran
pemerintah (G) dan ekspor bersih (X-M). Dalam bentuk persamaan matematik, output dapat
ditulis : Y = C + I + G + (X-M).
Komponen pengeluaran pemerintah (G) merupakan belanja pemerintah baik untuk
barang maupun jasa. Menurut Mankiw (2009) komponen pengeluaran pemerin-tah dapat
berupa belanja pemerintah (government purchase) atau transfer (transfer payment). Belanja
pemerintah akan langsung menentukan besar permintaan agregat. Sedangkan transfer
payment merupakan pengeluaran pemerintah bukan untuk pembelian barang akhir tetapi
untuk pembayaran dimana pemerintah tidak mendapat-kan barang maupun jasa seperti
pengeluaran untuk jaminan kesehatan.
Besar peran pemerintah dalam mempengaruhi permintaan agregat dapat dilihat dari
nilai multiplier. Nilai multiplier menunjukan besar perubahan output yang diakibatkan
perubahan pengeluaran pemerintah. Penurunan matematik nilai multiplier dapat dilihat pada
Lampiran 2. Dari Lampiran 2, nilai multiplier untuk pengeluaran pemerintah adalah: m = 1/(1k1+k2) > 0, dimana k1 adalah kecenderungan mengkon-sumsi dan k2 adalah kecenderungan
mengimpor.
Dari rumus multiplier terlihat bahwa m bernilai positif, artinya semakin besar
pengeluaran pemerintah, maka semakin besar permintaan agregat. Dengan besarnya
permintaan agregat maka pada gilirannya akan semakin besar pula output yang dihasilkan
6
suatu daerah. Pada kondisi ini, peningkatan output yang terjadi disebabkan oleh tarikan sisi
permintaan (demand pull).
3.2 Kajian Sisi Penawaran
Peran pengeluaran pemerintah melalui sisi penawaran pada Gambar 2 dapat dijelaskan
dari fungsi produksi neoklasik. Dalam fungsi produksi neoklasik, variabel penentu output (Y)
adalah teknologi (A), kapital (K), dan tenaga kerja (L). Fungsi matematik untuk output dapat
ditulis: Y=F(A, K, L).
Berbeda dari kajian sisi permintaan dimana pengeluaran pemerintah secara eksplisit
diwujudkan dalam variabel G, dalam kajian sisi penawaran, pengeluaran pemerintah tidak
secara eksplisit diwujudkan dalam variabel penjelas. Pengeluaran pemerintah dapat
mempengaruhi teknologi (A) melalui investasi pemerintah dalam bidang peneltian dan
pengembangan. Pengeluaran pemerintah juga dapat mempe-ngaruhi kapital (K) melalui
pemberian bantuan modal atau pembangunan infrastruktur. Selanjutnya pengeluaran
pemerintah dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja (L) melalui pendidikan dan
pelatihan, serta pelayanan kesehatan (Gambar 2).
Besar peran pemerintah dalam menentukan penawaran agregat diuraikan dalam
Lampiran 3. Dari Lampiran 3 ditemukan bahwa multiplier bernilai positif, artinya penawaran
agregat berbanding lurus dengan pengeluaran pemerintah. Semakin besar pengeluaran
pemerintah maka semakin besar pula penawaran agregat. Penawaran agregat yang besar
selanjutnya akan mendorong peningkatan output.
4.
Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah pada Era Otonomi Daerah
4.1 Hubungan Otonomi Daerah dan Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah
Secara umum, hubungan Otonomi Daerah dan kesenjangan ekonomi antar wilayah
dapat dilihat pada Gambar 3. Pelaksanaan Otonomi Daerah membawa konsekuensi
desentralisasi fiskal yang cenderung membuat anggaran daerah lebih beragam. Karena
besar pengeluaran pemerintah tergantung dari besar penerimaan,
penerimaan
pemerintah
daerah
akan
berdampak
pada
maka keragaman
keragaman
pengeluaran.
Pengeluaran daerah kaya cenderung lebih besar daripada pengeluaran daerah miskin.
Selanjutnya, perbedaan pengeluaran berdampak pada output yang dihasilkan, dimana
output daerah kaya akan lebih tinggi daripada output daerah miskin.
Sisi permintaan
Otonomi
Daerah
Money follows
function
Desentralisasi
Fiskal
Keragaman
Anggaran
Daerah
Sisi penawaran
Kesenjangan
Ekonomi antar
Wilayah
Gambar 3. Hubungan Otonomi Daerah dan Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah
7
Prud’homme (1995) menambahkan bahwa pemberlakuan desentralisasi menye-babkan
daerah kaya akan memiliki sumber pajak lebih banyak. Kondisi ini terjadi melalui beberapa
tahap. Pertama, pemerintah pada daerah kaya mampu mengum-pulkan pajak lebih besar
sehingga dapat menyediakan barang publik lebih banyak. Kemudian, mereka akan
menawarkan barang dan jasa publik dengan harga (pajak) lebih murah. Dengan demikian
daerah kaya akan lebih menarik baik bagi perusahaan maupun rumahtangga untuk tinggal,
dan pada gilirannya akan menyediakan sumber pajak lebih banyak bagi pemerintah daerah.
Faktor lain yang memperburuk kesenjangan ekonomi antar wilayah pada Era Otonomi
Daerah adalah kapasitas Pemerintah Pusat dalam membuat transfer pemera-taan semakin
sempit (Lessmann, 2006; Oates, 2008). Dengan Otonomi Daerah, pengeluaran lebih banyak
dilakukan oleh Pemerintah Daerah sehingga dana yang dipegang Pemerintah Pusat
semakin sedikit. Hal ini menyebabkan Pemerintah Pusat memiliki ruang yang terbatas untuk
membuat kebijakan pemerataan antar daerah.
Studi empiris dampak pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap kesenjangan ekonomi
antar wilayah di berbagai negara menunjukan hasil yang beragam. Penelitian di Cina (Qiao
dkk., 2007) dan Kolombia (Bonet, 2006) menunjukan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah
berdampak pada peningkatan disparitas pendapatan antar wilayah. Sementara, RodriguezPose dan Pzeurra (2009) yang meneliti desentralisasi di 26 negara menemukan perbedaan
dampak desentralisasi terhadap disparitas pendapatan di negara maju, berkembang dan
miskin. Di negara maju, desentralisasi berdampak pada penurunan disparitas pendapatan
antar wilayah. Sebaliknya di negara berkembang dan miskin, desentralisasi berdampak
pada peningkatan disparitas pendapatan antar wilayah.
4.2 Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah pada Era Otonomi Daerah di Indonesia
Untuk melihat kesenjangan ekonomi antar wilayah pada Era Otonomi Daerah di
Indonesia, penulis menghitung Indeks Williamson PDRB per kapita kabupaten/kota periode
1995-2011 (Lampiran 1.b). Nilai Indeks Williamson yang semakin tinggi menunjukan
kesenjangan ekonomi antar daerah yang semakin besar. Hasil perhitungan Indeks
Williamson PDRB per kapita dapat dilihat pada Gambar 4.
Dari Gambar 4 terlihat bahwa pada masa sebelum Otonomi Daerah Tahun 1995, Indeks
Williamson masih berada pada angka 0,7210. Setelah Otonomi Daerah, Indeks Williamson
meningkat menjadi 1.1613 pada 2003 dan 1,4501 pada 2005. Kemudian Tahun 2007,
Indeks Williamson menurun sedikit menjadi 1,4118. Selanjutnya pada Tahun 2011, Indeks
Williamson mencapai 1,4559. Nilai Indeks Williamson PDRB per kapita yang cenderung
meningkat pada rentang Tahun 1995-2011 menunjukan adanya kesenjangan ekonomi antar
wilayah yang semakin besar pada Era Otonomi Daerah.
8
1.8
Indeks
Williamson 1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
1.4501
1.4118
1.4195
2005
2007
2009
1.4559
1.1613
0.7210
1995
2003
2011
Tahun
Gambar 4. Indeks Williamson PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Indonesia
Kesenjangan ekonomi yang semakin besar pada Era Otonomi Daerah berkaitan dengan
keragaman anggaran yang semakin tinggi. Hal ini terlihat dengan membandingkan grafik
Indeks Williamson APBD per kapita pada Gambar 1 dan grafik Indeks Williamson PDRB per
kapita pada Gambar 4. Kedua grafik tersebut tampak memiliki pola pergerakan yang
menaik. Kemiripan pola kedua grafik tersebut menunjukan bahwa peningkatan kesenjangan
ekonomi antar wilayah berhubungan dengan peningkatan keragaman anggaran antar
daerah.
Selain keragaman anggaran, perbedaan dalam pengelolaan urusan pemerintahan
dapat menjadi penyebab keragaman pendapatan. Sejak Otonomi Daerah, sebagian urusan
pemerintahan dilimpahkan ke daerah seperti diatur dalam UU 22/1999, UU 32/2004, dan PP
38/2007. Dalam mengelola urusan pemerintahan, setiap daerah memiliki kemampuan
berbeda karena perbedaan dalam faktor endowment. Faktor endowment tersebut antara
lain: kapasitas pemerintah daerah, sumberdaya manusia, dan ketersediaan infrastruktur.
Perbedaan pengelolaan urusan pemerintahan pada gilirannya menyebabkan perbedaan
kecepatan pertumbuhan ekonomi yang terefleksi-kan dalam disparitas pendapatan yang
semakin besar.
5.
Kesimpulan
Secara teoretis, Otonomi Daerah berpotensi meningkatkan kesenjangan ekonomi antar
wilayah. Hal ini terjadi karena Otonomi Daerah membawa konsekuensi desentralisasi fiskal
dimana sebagian pengelolaan anggaran pemerintah dilimpahkan ke daerah. Desentralisasi
fiskal, jika tidak disertai dengan transfer pemerataan yang tepat, dapat menimbulkan
perbedaan dalam penerimaan daerah sehingga pengeluaran pemerintah daerah juga
berbeda. Perbedaan pengeluaran pemerintah daerah dapat menimbulkan kesenjangan
pendapatan antar wilayah, karena pengeluaran pemerintah merupakan salah satu variabel
penentu output baik melalui sisi permintaan maupun sisi penawaran.
9
Hasil perhitungan Indeks Williamson untuk penerimaan APBD per kapita dan PDRB per
kapita antar kabupaten/kota pada rentang Tahun 1995-2011 menunjukan pola yang serupa
yaitu cenderung menaik. Kemiripan dalam pola kenaikan Indeks Williamson untuk APBD per
kapita dan PDRB per kapita menunjukan adanya keragaman anggaran antar daerah yang
semakin besar yang disertai dengan kesenjangan ekonomi antar wilayah yang juga semakin
besar pada Era Otonomi Daerah.
6.
Saran
Kesenjangan ekonomi antar wilayah tentu kontra produktif dengan pemberlakuan
Otonomi Daerah untuk penguatan NKRI. Seperti dikemukakan oleh Isran Noor (2012:9)
bahwa demokrasi senantiasa harus mengandung muatan orientasi kesejahteraan rakyat.
Tanpa peningkatan kesejahteraan rakyat, sendi-sendi demokrasi akan rapuh. Oleh karena
itu, permasalahan kesenjangan ekonomi harus segera diatasi agar demokrasi pada Era
Otonomi Daerah berjalan dengan baik.
Seperti telah disimpulkan, perbedaan penerimaan anggaran daerah berasosiasi dengan
kesenjangan ekonomi antar wilayah. Dengan demikian, salah satu cara menurunkan
kesenjangan ekonomi antar wilayah adalah memperkecil perbedaan anggaran antar daerah
dengan meningkatkan penerimaan daerah tertinggal melalui penambahan transfer. Dalam
menyusun transfer, Shah (2006) memberikan arahan mengenai prinsip yang perlu
diperhatikan yang diuraikan pada Lampiran 4. Berpedoman pada arahan tersebut, penulis
menawarkan saran desain hubungan keuangan untuk menambah penerimaan daerah
tertinggal sebagai upaya pemerataan anggaran yang diuraikan pada Lampiran 5.
Selanjutnya untuk memperkecil kesenjangan, perlu ada akselerasi pertumbuhan
ekonomi di daerah tertinggal. Berkaitan dengan akselerasi, anggaran seyogyanya juga
digunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi diantaranya transportasi, energi dan
telekomunikasi. Pada banyak kasus, infrastruktur merupakan salah satu trigger yang dapat
menciptakan akselerasi pertumbuhan ekonomi (Pradhan dan Bagchi, 2013; Roberts dkk.,
2012; Hong dkk., 2011; Donaldson, 2010; Seetanah, 2009; Roller dan Waverman, 2001).
Sebagai tambahan, penulis menyarankan untuk meningkatkan kapasitas pemerin-tah
daerah melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Seperti telah dibahas
sebelumnya bahwa perbedaan kapasitas pemerintah daerah memberikan kontribusi bagi
kesenjangan ekonomi antar wilayah. Oleh karena itu, daerah perlu meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia yang dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, dan sistem
rekruitmen pegawai yang kompetitif. Mengingat bahwa pada Era Otonomi Daerah, lembaga
legislatif yaitu DPRD juga memiliki kewenangan yang cukup besar dalam pengelolaan
urusan pemerintahan, maka peningkatan kualitas sumberdaya manusia di lembaga tersebut
juga perlu ditingkatkan.
10
Referensi
Armstrong, Harvey and Jim Taylor. 2000. Regional Economics and Policy. Third Edition.
Malden: Blackwell Publishing.
Blair, John P. and Michael C. Carroll. 2009. Local Economic Development. Analysis,
Practices, and Globalization. Second Edition. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc.
Bonet, Jaime. 2006. Fiscal Decentralization and Regional Income Disparities: Evidence from
the Colombian Experience. The Annals of Regional Science 40(3):661-676.
Brodjonegoro, Bambang and Jorge Martinez-Vazquez. 2002. An Analysis of Indone-sia’s
Transfer System: Recent Performance and Future Prospects. International Studies Program
Working Paper, at AYSPS, GSU 02-13.
Brueckner, Jan K. 2006.
Economics 90:2107-2120.
Fiscal Federalism and Economic Growth.
Journal of Public
Donaldson, Dave. 2010. Railroads of The Raj: Estimating The Impact of Transportation
Infrastructure. NBER Working Paper 16487.
Gruber, Jonathan. 2007. Public Finance and Public Policy. Second Edition. New York: Worth
Publisher.
Hong, Junjie, Zhaofang Chu and Qiang Wang. 2011. Transport Infrastructure and Regional
Economic Growth: Evidence from China. Transportation 38:737–752.
Lall, Somik V. 2007. Infrastructure and Regional Growth. Growth Dynamics and Policy
Relevance for India. The Annals of Regional Science 41:581–599.
Lessmann, Christian. 2006. Fiscal Decentralization and Regional Disparity: A Panel Data
Approach for OECD Countries. Ifo Working Paper No. 25.
Mankiw, N. Gregory. 2009. Macroeconomics. Seventh Edition. New York: Worth Publishers.
Martinez-Vazquez, Jorge and Robert M. McNab 2003. Fiscal Decentralization and Economic
Growth. World Development 31(9):1597-1616.
Noor, Isran. 2012. Politik Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI. Seven Strategic Studies.
Oates, Wallace E. 1972. Fiscal Federalism. New York : Harcourt Brace Jovanovich in
Oates, Wallace E. 2008. On the Evolution of Fiscal Federalism: Theory and Institutions.
National Tax Journal 61(2):313-334.
Prud’homme, Remy. 1995. The Dangers of Decentralization. The World Bank Research
Observer 10(2):201-220.
Pradhan, Rudra P. and Tapan P. Bagchi. Effect of Transportation Infrastructure on
Economic Growth in India: The VECM Approach. Research in Transportation Economics
38(1):139-148.
Roberts, Mark, Uwe Deichmann, Bernard Fingleton, and Tuo Shi. 2012. Evaluating China's
Road to Prosperity: A New Economic Geography Approach. Regional Science and Urban
Economics 42:580–594.
11
Rochana, Siti Herni. 2010. Desentralisasi Fiskal, Pertumbuhan Ekonomi, dan Disparitas
Pendapatan Regional di Indonesia. Bandung: Disertasi Program Pasca-sarjana, Fakultas
Ekonomi, Universitas Padjadjaran.
Rodden, Jonathan A., Gunnar S. Eskeland, and Jennie Litvack. 2003. Fiscal Decentralization and the Challenge of Hard Budget Constraints. Cambridge: The MIT Press.
Rodriguez-Pose, Andres and Roberto Pzeurra. 2009. Does Decentralization Matter for
Regional Disparities? A Cross Country Analysis. Imdea Working Paper 2009/4.
Roller, Lars-Hendrik and Leonard Waverman. 2001. Telecommunications Infrastructure and
Economic Development: A Simultaneous Approach. The American Economic Review.
91(4):909-923.
Rosen, Harvey S. and Ted Gayer. 2008. Public Finance. Eight Edition. New York: McGrawHill.
Samuelson, Paul A. and William D. Nordhaus. 2005. Economics. Eighteenth Edition. New
York: McGraw-Hill.
Seetanah, B., Ramessur S. and Rojid S. 2009. Does Infrastructure Alleviates Poverty in
Developing Countries? International Journal of Applied Econometrics and Quantitative
Studies V6-2.
Shah, Anwar. 2006. A Practitioner’s Guide to Intergovernmental Fiscal Transfers. World
Bank Policy Research Working Paper 4039.
Qiao, Baoyun, Jorge Martinez-Vazquez, and Yongsheng Xu. 2007. The Tradeoff between
Growth and Equity in Decentralization Policy: China’s Experience. Journal of Development
Economics doi:10.1016/j.jdeveco.2007.05.002.
World Bank. 2003. Decentralizing Indonesia. A Regional Public Expenditure Review.
Overview Report No. 26191-IND. Melalui http://wwwwds.worldbank.org/external/default
/WDSContentServer/WDSP/IB/2003/07/29/000160016_20030729123554/Rendered/DF/261
910ID0ESW.pdf [7-11-08].
12
Lampiran 1. Perhitungan Indeks Williamson untuk APBD per Kapita dan PDRB per
Kapita
Rumus Indeks Williamson :
𝑛
𝑖=1
𝑌𝑖 − 𝑌 2 . 𝑃𝑖 /𝑃
𝐼𝑤 =
𝑌
Keterangan:
𝑌𝑖 = APBD per kapita kab/kota i; PDRB per kapita kab/kota i
𝑌 = APBD per kapita Indonesia; PDRB per kapita Indonesia
𝑃𝑖 = Jumlah penduduk kab/kota i
𝑃 = Jumlah penduduk Indonesia
𝑖 = 1, ..., n.
1.a
Hasil perhitungan Indeks Williamson untuk penerimaan APBD per kapita
Variabel
Tahun
1995
2003
2005
2007
2009
2011
𝑛
92
310
340
383
468
459
𝑌
(Ribu Rp./Kapita)
835,35
944,66
1.276,40
2.338,51
3.028,88
4.075,52
413,27
641,09
931,55
1.644,66
2.226,97
3.061,88
0,4947
0,6786
0,7298
0,7033
0,7352
0,7513
𝑛
𝑌𝑖 − 𝑌
2
∗ 𝑃𝑖 /𝑃
𝑖=1
𝐼𝑤
1.b
Hasil perhitungan Indeks Williamson untuk PDRB per kapita
Tahun
Variabel
1995
2003
2005
2007
2009
2011
𝑛
96
329
353
422
481
467
𝑌
(Ribu Rp./Kapita)
2.181,79
9.083,14
13.513,64
15.183,73
17.956,53
22.480,86
1.572.94
10.548,15
19.596,35
21.436,90
25.488,82
32.728,90
0,7210
1,1613
1,4501
1,4118
1,4195
1,4559
𝑛
𝑌𝑖 − 𝑌
2
∗ 𝑃𝑖 /𝑃
𝑖=1
𝐼𝑤
13
Lampiran 2. Pembuktian Matematik Peran Pengeluaran Pemerintah terhadap Output
melalui Sisi Permintaan
𝑌 = 𝐶 + 𝐼 + 𝐺 + (𝑋 − 𝑀)
Karena 𝐶 = 𝑎 + 𝑘1 𝑌 dan 𝑀 = 𝑘2 𝑌 maka :
𝑌 = 𝑎 + 𝑘1 𝑌 + 𝐼 + 𝐺 + (𝑋 − 𝑘2 𝑌)
𝑌 = 𝑎 + 𝑘1 𝑌 − 𝑘2 𝑌 + 𝐼 + 𝐺 + 𝑋
𝑌 − 𝑘1 𝑌 + 𝑘2 𝑌 = 𝑎 + 𝐼 + 𝐺 + 𝑋
1 − 𝑘1 + 𝑘2 𝑌 = 𝑎 + 𝐼 + 𝐺 + 𝑋
1
𝑎+𝐼+𝐺+𝑋
1 − 𝑘1 + 𝑘2
𝑌=
Multilpier :
𝑚=
𝑑𝑌
1
=
> 0
𝑑𝐺
1 − 𝑘1 + 𝑘2
Keterangan :
Y
C
I
G
X
M
k1
k2
=
=
=
=
=
=
=
=
output
konsumsi
investasi
pengeluaran pemerintah
ekspor
impor
kecenderungan mengkonsumsi
kecenderungan mengimpor
14
Lampiran 3. Pembuktian Matematik Peran Pengeluaran Pemerintah terhadap Output
melalui Sisi Penawaran
𝑌 = 𝑓 𝐴, 𝐾, 𝐿
𝑌 = 𝐴𝐾 𝛼 𝐿𝛽
Karena 0 < 𝛼, 𝛽 < 1 maka :
𝑑𝑌
= 𝐾 𝛼 𝐿𝛽 > 0
𝑑𝐴
𝑑𝑌
= 𝐴𝜎𝐾 𝛼−1 𝐿𝛽 > 0
𝑑𝐾
𝑑𝑌
= 𝐴𝐾 𝛼 𝛽𝐿𝛽 −1 > 0
𝑑𝐿
Dan diasumsikan :
𝑑𝐴
𝑑𝐺
>0 ;
𝑑𝐾
𝑑𝐺
>0 ;
𝑑𝐿
𝑑𝐺
>0
Multilpier :
𝑚=
𝑑𝑌
𝑑𝑌 𝑑𝐴 𝑑𝑌 𝑑𝐾 𝑑𝑌 𝑑𝐿
=
+
+
> 0
𝑑𝐺
𝑑𝐴 𝑑𝐺 𝑑𝐾 𝑑𝐺
𝑑𝐿 𝑑𝐺
Keterangan :
Y
A
K
L
=
=
=
=
output
teknologi
kapital
tenaga kerja
15
Lampiran 4. Prinsip dan Praktek dalam Desain Bantuan
Tujuan Bantuan
Desain Bantuan
Menjembatani
kesenjangan fiskal
(vertikal)
Penyusunan kembali
urusan pemerintahan,
pembagian sumber
pajak.
Mengurangi
kesenjangan fiskal
(horisontal)
Transfer pemerataan,
bantuan umum
berdasarkan
kapasitas fiskal
Kompensasi untuk
luapan manfaat
(spillovers)
Transfer dengan
dana pendampingan
yang disesuaikan
dengan manfaat yang
dihasilkan
Transfer blok
berdasarkan kriteria
tertentu dan berbasis
output dengan standar
pelayanan dan akses
tertentu.
Menciptakan
standar minimum
nasional
Mewujudkan
program prioritas
nasional di daerah
Pemenuhan
kebutuhan
infrastruktur dasar
dan stabilitas
ekonomi makro
Bantuan modal
dengan dana
pendampingan yang
disesuaikan dengan
dengan kapasitas
fiskal pemerintah
daerah.
Transfer dengan dana
pendampingan
Bantuan modal,
dimungkinkan juga
disediakan biaya
pemeliharaan.
Contoh yang baik
dilaksanakan
Pengurangan pajak
dan pembagian
sumber pajak
(Kanada).
Pemerataan fiskal
dengan ketentuan
eksplisit yang
menentukan total
dan alokasi bantuan
(Kanada, Denmark,
dan Jerman).
Bantuan untuk
pelatihan rumahsakit
(Afrika Selatan).
Bantuan untuk
pemeliharaan jalan
dan pendidikan
dasar (Indonesia
sebelum 2000),
Transfer pendidikan
(Brasil, Chili,
Kolombia),
Transfer kesehatan
(Brasil, Kanada).
Bantuan modal untuk
konstruksi sekolah
(Indonesia sebelum
2000), Bantuan
modal untuk
konstruksi jalan
highway (AS).
Transfer untuk
bantuan sosial
(Kanada sebelum
2004).
Bantuan modal
dengan matching
rate disesuaikan
dengan kapasitas
fiskal pemerintah
daerah.
Contoh yang harus
dihindari
Bantuan untuk
menutupi defisit dan
upah (Cina), pajak
atas pembagian
pajak (Cina, India).
Bagi hasil
penerimaan dengan
faktor pegganda,
pemerataan fiskal
dengan jumlah
tertentu (Australia,
Cina).
Closed-ended
matching grant
Transfer kondisional
tanpa ada standar
tertentu (banyak
negara).
Bantuan modal tanpa
dana pendampingan
dan tanpa dibarengi
dana pemeliharaan.
Bantuan ad hoc
Bantuan tanpa dana
pemeliharaan
Sumber : Shah (2006:46)
16
Lampiran 5. Saran Desain Hubungan Keuangan untuk Peningkatan Penerimaan dan
Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Daerah Tertinggal*
Tujuan
Menjembatani
kesenjangan fiskal
(vertikal)
Instrumen Fiskal di
Indonesia
 PAD
 DBH
Mengurangi
kesenjangan fiskal
(horisontal)
 DAU
Kompensasi untuk
luapan manfaat
(spillovers)
 DAK Lingkungan
Hidup
 DAK Kehutanan
 DAK Kelautan
 DAK Pendidikan
 DAK Kesehatan
 DAK Perumahan
dan Permukiman
 dll
 DAK Keluarga
Berencana
 Dekonsentrasi
 Tugas
pembantuan
 DAK infrastruktur
 DAK Sarana
Kawasan
Perbatasan
 DAK SPDT
Menciptakan
standar minimum
nasional
Mewujudkan
program prioritas
nasional di daerah
Pemenuhan
kebutuhan
infrastruktur dasar
dan stabilitas
ekonomi makro







Desain Fiskal
Eksisting
Pajak daerah
(UU 28/2009)
Ketentuan bagi
hasil pajak dan
sumberdaya
alam antara
pusat, provinsi,
dan kab/kota
(PP55/2005)
Minimum DAU
26% APBN
DAU dihitung
berdasarkan
formula (PP
55/2005)
DAK ditentukan
berdasarkan
kriteria umum,
kriteria khusus,
dan kriteria
teknis
Daerah
mengeluarkan
dana
pendampingan
10%
(kekecualian
daerah tertentu)
Pelaksanaan
DAK mengacu
pada petunjuk
teknis dari
kementerian
terkait (PP
55/2005)
Saran Perbaikan
 Ditinjau kembali
pembagian bagi hasil
pajak dan sumberdaya
alam antara pusat,
provinsi dan
kabupaten/kota
disesuaikan dengan
beban urusan yang
dilimpahkan
 Bobot variabel indeks
kemiskinan dalam
formula DAU dinaikan
 Perhitungan DAU
didasarkan pada data
yang akurat
 DAK diprioritaskan
untuk daerah tertinggal
dengan menentukan
pagu minimum
 Meningkatkan DAK
SPDT yang disertai
dengan petunjuk teknis
pembangunan
infrastruktur ekonomi
 Dievaluasi efektivitas
dana dekonsentrasi dan
tugas pembantuan, dan
dipertimbangkan untuk
mengalihkan sebagian
dana tersebut menjadi
DAK
* Disusun oleh penulis berpedoman pada tujuan transfer dari Shah (2006)
17
Download