STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH MAWARIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus Adat Minangkabau) Skripsi Diajukan Pada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam Disusun oleh : Yanti Febrina NIM: 106011000040 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 LEMBAR PENGESAHAN STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH MAWARIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Studi Kasus Adat Minangkabau Skripsi Diajukan Pada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam Oleh : Yanti Febrina NIM: 106011000040 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 LEMBAR PENGESAHAN PANITIAN UJIAN Skripsi yang berjudul “STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH MAWARIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus Adat Minangkabau)” ditulis oleh Yanti Febrina (106011000040) diajukan kepada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 26 November 2010 di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam. LEMBAR PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Yanti Febrina NIM : 106011000040 Fakultas/ Jurusan : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan/ PAI Judul Skripsi : STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH MAWARIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus Adat Minangkabau) Dengan ini menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya dengan sebenar-benarnya untuk diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana (S.Pd.I) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya pun bersedia menerima sangsi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. ABSTRAK Yanti Febrina. 2010. ”Studi Banding Sistem Hukum Waris Adat Dengan Hukum Waris Islam Dalam Konteks Fiqh Mawaris Pendidikan Agama Islam (Studi Kasus Adat Minangkabau)”. Skripsi. Jakarta: Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan. Pertama, untuk mendeskripsikan bagaimana sistem pembagian warisan dalam Islam untuk ahli waris laki-laki dan perempuan. Kedua, untuk menjelaskan perbedaan hak waris anak laki-laki dan anak perempuan dari sudut pandang adat Minangkabau. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitiatif dengan metode deskriptif analisis dengan mendeskripsikan konsep hak waris anak laki-laki dan perempuan dari sudut pandang adat dan agama. Dalam penelitian kualitatif akan dilengkapi dengan studi lapangan untuk mendapatkan informasi dari beberapa responden dan studi pustaka pada deskriptif analisis. Data penelitian ini dikumpulkan secara deskriptif analisis dengan cara. Pertama,observasi dengan menggunakan alat rekaman suara untuk wawancara. Kedua, studi pustaka dengan mencari data mengenai hukum waris adat Minangkabau dan hukum waris Islam melalaui catatan, buku, jurnal, dan lain sebagainya. Ketiga, wawancara secara bebas dan terstruktur. Keempat, dokumentasi yang bertujuan untuk mengabadikan penelitian berupa wawancara yang dilakukan penulis terhadap pemuka adat dan pemuka agama berupa foto, pengambilan gambar atau pemotretan yang dilakukan juga untuk memperkuat data yang diperoleh selama penelitian. Berdasarkan studi banding yang dilakukan penulis terhadap hukum waris Islam dengan hukum waris adat Minangkabau, dapat disimpulkan. Pertama, implementasi hukum waris Islam dalam hukum waris adat Minangkabau tidak terlaksana pada pembagian harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Kedua, implementasi hukum waris Islam dalam hukum waris adat Minangkabau hanya terlaksana pada pembagian harta pencaharian dan harta suarang yang dibawa suami istri dalam pernikahan. Akan tetapi, pelaksanaan pewarisan kedua harta tersebut tidak dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan hukum waris Islam yang benar. Ketiga, tidak terdapat keseimbangan antara agama dan adat dalam sistem pembagian harta waris adat Minangkabau, karena hukum waris Islam dengan hukum waris adat Minangkabau sangat berbeda. Hukum waris Islam dilaksanakan dengan sistem bilateral sedangkan hukum waris adat Minangkabau dilaksanakan dengan sistem matrilineal. Keempat, kesadaran masyarakat Minangkabau untuk menyeimbangkan hukum waris adat dengan hukum waris Islam belum tampak adanya disebabkan pola fikir masyarakat yang masih berpegang teguh kepada adat Minangkabau. KATA PENGANTAR ÉΟŠÏm§9$# Ç⎯≈uΗ÷q§9$# «!$# ÉΟó¡Î0 Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan kekuatan dan rahmatNya atas nikmat yang berlimpah bagi seluruh makhluk, kepadaNya kita memohon pertolongan dan ampunan, kepadaNya pula kita memohon perlindungan. Sholawat dan salam kita haturkan kepada Nabi dan Rasul junjungan umat Islam, yakni baginda Nabi Muhammad saw. beserta keluarga beliau, sahabat dan seluruh pejuang Islam yang selalu dimuliakan oleh Allah swt. Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul, ” Studi Banding Sistem Hukum Waris Adat Dengan Hukum Waris Islam Dalam Konteks Fiqh Mawaris Pendidikan Agama Islam (Studi Kasus Adat Minangkabau)” dapat diselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar sarjana S1, Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam proses pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami penulis, baik yang berhubungan dengan pengaturan waktu, pengumpulan data-data maupun lain sebagainya. Namun, berkat bantuan dan motivasi berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan ini dapat diatasi tentunya dengan izin Allah swt. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan fasilitas dan dorongan yang sangat berharga bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 3. Dr. Hj. Siti Salmiah, M.A selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan fikirannya dalam memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis guna menyelesaikan tugas skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu dosen Pendidikan Agama Islam, yang telah membekali penulis dengan ilmu yang berharga. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan Tarbiyah, perpustakaan utama UIN, dan bagian Tata Usaha (TU) Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan pelayanan yang baik. 5. Bapak Jamaan Rajo Alam selaku Manti yang telah mengizinkan penulis mengadakan penelitian serta bersedia menjadi nara sumber dalam wawancara yang dilakukan penulis di Kantor Urusan Kerapatan Adat Nagari Kecamatan Koto Tangah Padang. 6. Ustadz Syamsuar selaku guru di Musholla Raudhatussalikin Sumatera Barat yang telah bersedia menjadi nara sumber dalam wawancara yang dilakukan penulis untuk studi hukum waris Islam. Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta: Ayahanda Abdul Syair dan Erna yang dengan kasih sayang dan kesabarannya telah memberi dan mencurahkan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis, serta memotivasi baik secara moril, materil maupun spirituil. Juga kepada seseorang yang teristimewa selalu memberi motivasi untuk tetap semangat dan bertahan hidup jauh dari orang tua. Juga kepada kakak-kakakku tersayang: Ronal Alexander dan Ulfatmi Sari Dewi yang selalu memberikan motivasi agar bisa menamatkan pendidikan dan membanggakan orang tua. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman jurusan PAI khususnya kelas A angkatan 2006 yang telah banyak membantu secara tenaga dan fikirannya membantu penulis menyelesaikan tugas ini serta memberi motivasi penulis sehigga skripsi ini cepat selesai. Terima kasih juga atas kebersamaan selama berada di kampus tercinta. ”Shohibul Alif berbeda tetapi tetap bersama”. Semoga persahabatan kita tetap terjaga dalam jalinan silaturahmi yang baik. Akhirnya hanya kepada Allah swt., penulis memohon perlindungan. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca yang budiman pada umumnya. Jakarta, November 2010 Penulis DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ……………………………………………………………….. i KATA PENGANTAR ………………………………………..………….. ii DAFTAR ISI ……………………………………………….…….……..... v DAFTAR TABEL………………………………………….…….……..... vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………...... 1 B. Identifikasi Masalah …………………………………............ 4 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah.…………..……............ 4 D. Tujuan Penelitian …………………………………………… 5 E. Manfaat Penelitian ………………………………….………. 5 BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoritis …………………………………………… 6 1. Sistem Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Waris Islam ………..……………………..……………... 6 a. Pengertian Hukum Waris ………...……………….… 6 b. Rukun-rukun Warisan ……………..……………...… 10 c. Syarat-syarat Pewarisan…………..…………………. 20 d. Hak Waris ………………………..…………………. 21 2. Sistem Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Waris Minangkabau ……..…………….……………....... 22 a. Hukum Waris Adat Matrilineal …………………….. 22 b. Ahli Waris ………………………..…………………. 24 c. Harta Pusaka ………………………………………… 26 d. Hak Waris ……………………….………………….. 32 B. Kerangka Berfikir …………………….……………………... 36 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ………………………………..………….. 38 B. Jenis dan Sumber Data ……………...……………………….. 39 C. Waktu dan Lokasi Penelitian …………….………………….. 39 D. Teknik Pengumpulan Data …………………………………... 39 E. Teknik Analisis Data ………………………………………… 41 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data ……………………………………..………… 42 1. Sejarah Hukum Waris Islam ….………………………… 42 2. Sejarah Hukum Waris Adat Minangkabau ……………... 44 3. Sejarah Islam di Minangkabau …………......................... 46 B. Analisis Data ……………………………………………….... 48 1. Perbandingan Sistem Hukum Waris Adat dengan Hukum Waris Islam ……….…………………………….. 48 2. Perbandingan Kasus Pewarisan ………….……………… 51 3. Pandangan Islam Terhadap Sistem Pewarisan Adat Minangkabau ……….……………..…………………….. 57 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………………... 64 B. Saran …………………………………………………………. 65 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..….… 66 LAMPIRAN………………………………………………………………..69 DAFTAR TABEL Tabel 2. 1 Kerangka Konseptual……………………………………..... 37 Tabel 4.1 Pewarisan Menurut Hukum Islam Dengan Sistem Bilateral (Studi Kasus Jika Istri yang Meninggal) ………..……...….. 54 Tabel 4.2 Pewarisan Menurut Hukum Adat Minangkabau Dengan Sistem Matrilineal (Studi Kasus Jika Istri yang Meninggal) ...……. 56 Tabel 4.3 Perbandingan Sistem Hukum Waris Islam dengan Hukum Waris Adat Minangkabau………………….……………….…….. 57 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap suku bangsa sejak dari yang tertutup atau primitif sampai kepada yang terbuka struktur masyarakatnya atau modern, umumnya mempunyai pandangan hidup sendiri, yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pandangan hidup suatu suku bangsa atau bangsa ialah perpaduan dari nilainilai yang dimiliki oleh suku bangsa atau bangsa itu sendiri, yang mereka yakini kebenarannya, dan menimbulkan tekad pada suku bangsa atau bangsa itu untuk mewujudkannya. Suku bangsa Minangkabau (orang Minang), yang merupakan salah satu suku bangsa yang membentuk bangsa Indonesia mempunyai pandangan hidup sendiri yang berbeda dengan pandangan hidup suku-suku bangsa lainnya. Pandangan hidup orang Minang tertuang dalam ketentuan adat, yang disebut dengan adat Minangkabau. Dalam tesis yang ditulis oleh Zaim Rais, dikatakan bahwa: In general, adat is usually understood as local custom which regulates the interaction of the members of society. But the definition of adat Minangkabau embraces more than this. It means not only local custom, but, more importantly, is also conceived as the structural system of society as a whole, of which local custom is only a component. In this complex sense, adat is believed to establish the entire value system on which all ethical and legal judgements are based. In sum, it may well be said to represent the ideal pattern of behaviour.1 Hal ini menjelaskan bahwa secara umum, adat pada umumnya dipahami sebagai adat istiadat setempat yang mengatur interaksi anggota masyarakat. Hanya saja, definisi adat Minangkabau memeluk lebih dari ini. Adat Minangkabau bukan hanya sekedar adat istiadat setempat, tetapi juga dipahami sebagai sistem masyarakat yang struktural secara keseluruhan. Adat dipercaya untuk menetapkan nilai-nilai berdasarkan aturan-aturan yang etis yang dapat mewujdukan pola perilaku teladan yang ideal. Masyarakat provinsi Sumatera Barat menganut sistem adat Minangkabau yang memiliki sistem matrilineal. Matrilineal berarti sistem ini berdasarkan garis keturunan ibu. Baik dari segi keturunan maupun pembagian harta warisan, keduanya ditarik dari garis keturunan ibu. Meskipun masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal, tetapi adat Minangkabau tidak mengingkari nasab dari keturunan bapak, buktinya tidak ada orang Minang yang menyambung nama belakangnya dengan nama ibunya. Prinsip matrilineal berlaku umum dan alami. Hal ini berarti, secara alami anak lebih dekat kepada ibunya dibandingkan dengan bapak. Budaya adat Minangkabau menyangkut persoalan nasab dan warisan menjadi sorotan tajam pandangan agama Islam. Meskipun pada dasarnya adat Minangkabau berfalsafahkan kepada “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”, akan tetapi falsafah ini tidak diterapkan secara seimbang karena pada kenyataanya masyarakat Minangkabau lebih dominan kepada adat daripada syara’. Padahal, seharusnya falsafah “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” dipahami sebagai landasan agar adat dipertajam makna dan fungsinya oleh kuatnya peran syariat. Adat Minangkabau seharusnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan ajaran agama Islam yang berlandasakan kepada Al-Qur’an dan hadist Rasulullah saw., akan tetapi pada kenyataannya masyarakat Minangkabau lebih banyak berpegang teguh kepada adat. 1 Za’im Rais, The Minangkabau Traditionalist Response To The Modernist Movement, (Canada: Institute of Islamic Studies McGill University, 1994), h. 7 Ketidakseimbangan adat dan syara’ di Minangkabau tampak pada persoalan nasab anak yang harus mengikuti suku2 sang ibu. Begitu juga dalam perihal pembagian hak waris dan perihal harta pusaka. Anak laki-laki di Minangkabau tidak memperoleh hak waris, karena harta pusaka diwariskan menurut garis keturunan ibu. Hal ini tentu saja berlawanan dengan ajaran Islam yang telah mengajarkan bahwa pelaksanaan hukum waris dilakukan secara bilateral dimana anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagiannya masing-masing. Apalagi jika dilihat dari kacamata Pendidikan Agama Islam. Dalam Pendidikan Agama Islam, khususnya dalam Fiqh Mawaris yang menjadi modul pembelajaran dalam perkuliahan Pendidikan Agama Islam, perihal adat yang membagi harta warisan kepada anak perempuan lebih besar daripada anak laki-laki tentu saja menimbulkan ketidakseimbangan antara pandangan hukum adat dan agama. Hal ini dikarenakan melihat begitu berbedanya sistem pembagian harta warisan adat di Minangkabau dengan sistem hukum pembagian harta warisan dalam Islam. Adat Minangkabau yang melestarikan budaya pembagian harta warisan lebih besar kepada wanita sangat bertentangan dengan pembagian harta warisan dalam Islam lebih besar kepada laki-laki, padahal faktanya Minangkabau memiliki falsafah “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”. Falsafah tersebut mengartikan bahwa adat yang berlaku atau kebiasaan-kebiasaan yang di tengah masyarakat seperti jual beli, perkawinan, pembagian harta waris dan lain-lain tidak boleh bertentangan dengan yang telah disyariatkan di dalam Al-Qur’an. 2 MD. Mansoer, Amrin Imran dkk menuliskan dalam buku Sedjarah Minang, bahwa Yang dimaksud dengan “suku” artinya kaki. Sesuku mengandung makna “sekaki”, seperempat bagian dari seekor hewan ternak seperti kambing, sapi, kerbau dsb. Suku berarti seperempat bagian. Itulah asal mula pengertian kata “suku” di Minangkabau. Suku menggambarkan kelompok berdasarkan ikatan darah dari pihak atau garis ibu. Suku berdasarkan pengelompokkan ikatan darah dari pihak atau garis ibu mengandung pengertian “genealogis”. Pada kenyataannya terjadi ketidakseimbangan antara pandangan adat dan agama dalam hal pembagian harta pusaka kepada anak laki-laki di Minangkabau. Hal ini tentu saja menimbulkan anggapan bahwa dalam pandangan adat Minangkabau, anak laki-laki memiliki status yang rendah. Ini tentu saja dilatarbelakangi oleh kurangnya kesadaran masyarakat Minangkabau untuk menyeimbangkan hukum adat dan hukum agama dalam masalah waris. Dengan adanya latar belakang tersebut, maka saya bermaksud untuk menjelaskan konsep hak waris untuk anak laki-laki dan perempuan dari sudut pandang agama dan adat. Oleh itu judul skripsi yang akan saya ajukan berjudul “STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH MAWARIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus Adat Minangkabau)” B. Identifikasi Masalah Bedasarkan latar belakang masalah di atas, maka timbul pernyataan atau masalah sebagai berikut: 1. Implementasi hukum waris Islam dalam hukum waris adat Minangkabau tidak terlaksana secara utuh. 2. Kurang terwujudnya falsafah “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”dalam kehidupan sosial keluarga. 3. Rendahnya status anak laki-laki dalam pandangan adat. 4. Kurangnya kesadaran masyarakat Minangkabau untuk menyeimbangkan hukum adat dan hukum agama dalam masalah waris. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk memperjelas dan memberi arahan yang tepat, maka penulis memberi batasan dalam masalah ini, yaitu: a. Implementasi hukum waris Islam dalam hukum waris adat Minangkabau tidak terlaksana secara utuh. b. Kurangnya kesadaran masyarakat Minangkabau untuk menyeimbangkan hukum adat dan hukum agama dalam masalah waris. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “ Sejauh mana implementasi hukum waris Islam dalam pelaksanaan hukum waris adat Minangkabau dan adakah keseimbangan antara hukum Islam dan hukum adat dalam pembagian harta waris adat Minangkabau ? “ D. Tujuan Penelitian Penulis melakukan penelitian ini dengan tujuan : 1. Untuk mendeskripsikan bagaimana sistem pembagian warisan dalam Islam untuk ahli waris laki-laki dan perempuan. 2. Untuk menjelaskan perbedaan hak waris anak laki-laki dan anak perempuan dari sudut pandang adat Minangkabau. E. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini, penulis mengharapkan adanya berbagai manfaat sebagai berikut : 1. Untuk mendapatkan gambaran bagaimana sistem pembagian warisan dalam Islam untuk ahli waris laki-laki dan perempuan. 2. Untuk mendapatkan gambaran tentang perbedaan hak waris anak laki-laki dan anak perempuan dari sudut pandang adat Minangkabau BAB II KAJIAN TEORI STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH MAWARIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus Adat Minangkabau) A. Deskripsi Teoritis 1. Sistem Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Waris Islam a. Pengertian Hukum Waris Hukum kewarisan Islam biasa disebut dengan faraidh. Adapun yang dimaksud dengan faraidh adalah masalah-masalah pembagian harta warisan. Kata al-fara’idh atau diIndonesiakan menjadi faraidh yakni bentuk jamak dari al-faraidhah yang bermakna al-mufradhah atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya pembagian yang telah ditentukan kadarnya.3 Menurut syariat, faraidh didefinisikan sebagai hukum yang mengatur pembagian harta waris, yang berdasarkan ketentuan Allah swt. dan Rasulullah saw., karena langsung bersumber dari Allah swt. Tuhan yang menciptakan manusia dan Maha Tahu kebutuhan manusia, maka hakikatnya tidak ada lagi alasan bagi manusia khususnya kaum muslimin 3 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Puslishing, 2004), h. 11 untuk menentangnya ataupun mengubahnya dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dan Rasulullah saw. tentang pembagian harta waris tersebut.4 Sedangkan dalam pasal 171 huruf a dari Kitab Kompilasi menyatakan: Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (irkah) pewaris menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Sedangkan pewaris menurut pasal 171 huruf b, adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.5 Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemberian harta warisan dari seseorang yang meninggal kepada ahli warisnya yang telah ditentukan dalam syariat Islam. Pada hakikatnya tidak ada lagi alasan bagi manusia khususnya kaum muslimin untuk menentang ataupun mengubah apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dan Rasulullah saw. tentang pembagian harta warisan tersebut. Hukum faraidh dijelaskan sendiri oleh Allah swt. secara rinci dalam Al-Qur’an karena Allah swt. menghendaki agar hukum faraidh ini dilaksanakan secara konsisten tanpa adanya perbedaan penafsiran, tidak dikalahkan oleh hukum adat, tidak pula dikalahkan oleh isu persamaan gender. Menurut hukum faraidh, bagian waris yang diterima oleh seorang ahli waris sudah ditetapkan menurut ketentuan Allah swt. dan Rasulullah saw. dan besar kecilnya sangat tergantung pada keberadaan ahli waris lain 4 Subchan Bashori, Al-Faraidh Cara Mudah Memahami Hukum Waris Islam, (Jakarta: Nusantara Publissher, 2009), h. 1 5 Idris Djakfar, SH dan Taufik Yahya, SH, MH, Kompilasi Hukum Kewarisan, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), h. 3 yang secara bersama-sama mempunyai hak waris sehingga bagian seorang ahli waris dapat berbeda dalam kondisi yang berbeda. Namun, meskipun demikian hak waris adalah hak individu, yang boleh saja digunakan dan boleh pula tidak digunakan, tergantung kepada pemilik hak waris. Misalnya jika seorang ahli waris tidak mengambil hak warisnya karena merasa telah tercukupi kebutuhannya, selanjutnya hak warisnya diberikan kepada ahli waris lain yang lebih membutuhkan, maka hal ini dibolehkan asalkan ada kesepakatan dan kerelaan dari tiap-tiap ahli waris, setelah masing-masing mengetahui dan memahami hak-haknya atau bagiannya menurut ketentuan al-faraidh. Dengan demikian, ada beberapa hal yang menjadi point penting dalam sistem hukum waris Islam, yaitu: 1) Hukum waris Islam memberi kebebasan penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang lain. 2) Yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan. 3) Warisan terbatas pada lingkungan keluarga dengan adanya hubungan perkawinan atau karena hubungan nasab. 4) Hukum waris Islam membagikan harta warisan dengan membagikan bagian tertentu kepada beberapa ahli waris. 5) Warisan lebih banyak diberikan kepada anak laki-laki sebab anak lakilaki yang akan memikul beban keluarga. Mengingat pentingnya al-faraidh, maka setiap muslim tidak saja diperintahkan untuk mempelajari al-faraidh, tetapi sekaligus diperintahkan untuk mengajarkan ilmu faraidh kepada orang lain. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. :6 6 Subchan Bashori, Al-Faraidh Cara Mudah…, h. 3 ﻋﱢﻠﻤُﻮ ُﻩ اﻟﻨﱠﺎسَ َﻓ ِﺈ ﱠﻥ ُﻪ َ ﺾ َو َ » َﺗ َﻌﱠﻠﻤُﻮا ا ْﻟ َﻔﺮَا ِﺋ: ﻗَﺎ َل-ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ﻰ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ﻦ َأﺑِﻰ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َأ ﱠ ْﻋ َ 7 ِ ﻦ ُأﻡﱠﺘﻰ ْ ع ِﻡ ُ ﻰ ٍء ُﻳ ْﻨ َﺘ َﺰ ْﺷ َ ﻒ ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ ِﻢ َو ُه َﻮ ُﻳ ْﻨﺴَﻰ َو ُه َﻮ َأوﱠ ُل ُ ﺼ ْ ِﻥ “Dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda: ‘pelajarilah alfaraidh dan ajarkanlah kepada orang lain, maka sesungguhnya al-faraidh itu setengah dari ilmu, mudah dilupakan orang, dan yang pertama kali menghilang dari umatku’”.(H.R Baihaqi dan Hakim) Hadis di atas menempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sejalan dengan perintah mempelajari dan mengajarkan AlQuran. Hal ini tidak lain karena ilmu faraidh adalah salah satu cabang ilmu yang penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Para ulama berpendapat bahwa mempelajari Fiqih Mawaris adalah fardhu kifayah, artinya kewajiban yang apabila ada sebagian orang yang telah memenuhinya, dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang menjalani kewajiban itu, maka semua orang menanggung dosa. Di sisi lain, mempelajari ilmu faraidh menjadi fardhu ain bagi orang-orang yang oleh masyarakat dipandang sebagai pemimpin, terutama pemimpin keagamaan. Karena di dalam sebuah komunitas masyarakat, pemimpin sangatlah berpengaruh terhadap kemaslahatan komunitas masyarakat tersebut. Oleh karena itu, dengan mempelajari atau memahami faraidh diharapkan dapat menjamin bahwa harta waris benar-benar diberikan kepada yang berhak, sekaligus menjamin agar terhindar dari perampasan hak orang lain dengan cara yang batil. Dan Allah swt. telah mengingatkan agar setiap manusia tidak melakukan kebiasaan seperti orang-orang kafir yang suka memakan harta waris yang bukan menjadi haknya. Sebagaimana firman Allah swt. dalam surat Al-Fajr ayat 19: 7 Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Juz 6, h. 208 ∩⊇®∪ $tϑ©9 Wξò2r& y^#u—I9$# šχθè=à2ù's?uρ “Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)” Dalam ayat di atas disebutkan bahwa dan kamu senantiasa memakan yakni mengambil dan menggunakan harta pusaka untuk kepentingan diri sendiri dengan cara menghimpun yang halal bersama yang haram. Kamu mengambil seluruh hak kamu dan mengambil juga warisan anak-anak yatim serta warisan wanita-wanita. Kata lammam dari lamma yang berarti menghimpun. Pada masa jahiliah kaum musyrikin tidak memberi warisan kepada anak-anak yatim dan istri yang ditinggal, bahkan istri yang suaminya mati pun tidak jarang mereka warisi. Dalih mereka adalah bahwa warisan hanya diperuntukkan bagi siapa yang terlibat dalam pereperangan atau membela suku, dalam hal ini adalah para lelaki yang dewasa. b. Rukun-rukun Warisan Rukun warisan ada tiga: yakni si mayit sebagai pemberi warisan, ahli waris dan harta yang hendak diwariskan.8 1) Si Mayit Sebagai Pemberi Warisan Yang dimaksud dengan si mayit sebagai pemberi warisan, adalah si mayit setelah memastikan wafatnya, baik itu dengan melihat langsung atau dengan memperkirakan wafatnya dengan indikasi dan tanda-tanda yang disetjui oleh syara’ dan telah meninggalkan sejumlah harta bagi selain dia. 2) Ahli Waris Yang dimaksud dengan ahli waris adalah mereka yang dalam keadaan hidup ketika wafatnya si mayit, baik itu diketahui dengan 8 Abu Zakariya Al-Atsari, Penuntun Ringkas Ilmu Faraidh/ Warisan, (Bekasi: Pustaka Daar El-Salam, 2008), h. 35 sebenar-benarnya ataukah diperkirakan keberadaannya setelah wafatnya si mayit dan memiliki hubungan nasab, nikah dan sebabsebab pewarisan lainnya. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta benda maupun hak-hak yang diperoleh selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat. Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan. Pewaris ialah setiap orang yang meninggal dengan meninggalkan harta kekayaan, sedangkan ahli waris ialah orang yang bernisbah (memiliki akses hubungan) kepada si mayit karena ada salah satu dari beberapa sebab yang menimbulkan kewarisan.9 Selain itu ahli waris juga dapat diartikan sebagai pemahaman tentang sejumlah orang yang mempunyai hubungan sebab-sebab untuk dapat menerima warisan harta atau perpindahan harta dari orang yang meninggal tanpa terhalang secara hukum untuk memperolehnya.10 Ahli waris laki-laki secara terperinci, yaitu:11 a) Anak laki-laki b) Cucu laki-laki dari keturunan laki-laki betapapun rendah menurunnya c) Ayah d) Kakek betatapapun tinggi menanjaknya e) Saudara laki-laki sekandung f) Saudara seayah g) Saudara seibu h) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung i) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah j) Paman sekandung k) Paman seayah l) Anak laki-laki paman sekandung m) Anak laki-laki paman seayah n) Suami 9 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 113 10 A. Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 34 11 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris…,h. 81 o) Orang atau budak yang dimerdekakan Pembagian ahli waris tersebut berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nisa: 11 yang berbunyi: È⎦÷⎫tGt⊥øO$# s−öθsù [™!$|¡ÎΣ £⎯ä. βÎ*sù 4 È⎦÷⎫u‹sVΡW{$# Åeáym ã≅÷VÏΒ Ìx.©%#Ï9 ( öΝà2ω≈s9÷ρr& þ’Îû ª!$# ÞΟä3ŠÏ¹θム$yϑåκ÷]ÏiΒ 7‰Ïn≡uρ Èe≅ä3Ï9 Ïμ÷ƒuθt/L{uρ 4 ß#óÁÏiΖ9$# $yγn=sù Zοy‰Ïm≡uρ ôMtΡ%x. βÎ)uρ ( x8ts? $tΒ $sVè=èO £⎯ßγn=sù ß]è=›W9$# ÏμÏiΒT|sù çν#uθt/r& ÿ…çμrOÍ‘uρuρ Ó$s!uρ …ã&©! ⎯ä3tƒ óΟ©9 βÎ*sù 4 Ó$s!uρ …çμs9 tβ%x. βÎ) x8ts? $£ϑÏΒ â¨ß‰¡9$# öΝä.äτ!$t/#u™ 3 A⎦ø⎪yŠ ÷ρr& !$pκÍ5 ©Å»θム7π§‹Ï¹uρ ω÷èt/ .⎯ÏΒ 4 â¨ß‰¡9$# ÏμÏiΒT|sù ×οuθ÷zÎ) ÿ…ã&s! tβ%x. βÎ*sù 4 $¸ϑŠÎ=tã tβ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 «!$# š∅ÏiΒ ZπŸÒƒÌsù 4 $YèøtΡ ö/ä3s9 Ü>tø%r& öΝß㕃r& tβρâ‘ô‰s? Ÿω öΝä.äτ!$oΨö/r&uρ ∩⊇⊇∪ $VϑŠÅ3ym “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Pada ayat ini, Allah swt. memulainya dengan anak laki-laki karena anak laki-laki didahulukan dalam hukum waris, termasuk didahulukan daripada ayah. Hal tersebut dilakukan karena anak lakilaki merupakan furu’ (keturunan) si mayit, dimana hubungan furu’ dengan asalnya lebih utama ditimbang hubungan asal dengan furu’nya. Ayat ini menegaskan bahwa ada hak buat lelaki dan perempuan berupa bagian tertentu dari warisan ibu bapak dan kerabat yang akan diatur Allah Tuhan Yang Maha Tinggi itu. Nah, ayat ini merinci ketetapan-ketetapan tersebut dengan menyatakan bahwa Allah mewasiatkan kamu, yakni mensyariatkan menyangkut pembagian pusaka untuk anak-anak kamu, yang perempuan maupun lelaki, dewasa maupun anak-anak.12 Yaitu, bagian seorang anak lelaki dari anak-anak kamu, kalau bersamanya ada anak-anak perempuan dan tidak ada halangan yang ditetapkan agama baginya untuk memperoleh warisan, misalnya membunuh pewaris atau berbeda agama dengannya, maka dia berhak memperoleh warisan yang kadarnya sama dengan bagian dua orang anak perempuan sehingga jika dia hanya berdua dengan saudara perempuannya maka dia mendapat dua pertiga dan saudara perempuannya mendapat sepertiga, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, dan tidak ada bersama keduanya seorang anak lelaki maka bagi mereka dua pertiga dari harta warisan yang ditinggalkan yang meninggal itu; jika anak perempuan itu seorang diri saja tidak ada waris lain yang berhak bersamanya, maka ia memperoleh setengah tidak lebih dari harta warisan itu. Setelah mendahulukan hak-hak anak, kerena umumnya mereka lebih lemah dari orang tua, kini dijelaskan hak ibu bapak karena merekalah yang terdekat kepada anak, yaitu dan untuk kedua orang ibu bapaknya, yakni ibu bapak anak yang meninggal, baik yang meninggal lelaki maupun perempuan , bagi masing-masing keduanya, yakni bagi ibu dan bapak seperenam dari harta yang ditinggalkan, jumlah itu menjadi haknya jika yang meninggal itu mempunyai anak, tetapi jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak baik lelaki maupun 12 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah ....., vol. 2, h. 359 perempuan dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga dan selebihnya buat ayahnya, ini jika yang meninggal itu tidak mempunyai saudara-saudara. Tetapi jika yang meninggal itu mempunyai beberapa yakni dua atau lebih saudara baik saudara seibu sebapak maupun hanya seibu atau sebapak, lelaki atau perempuan dan yang meninggal tidak mempunyai anak-anak maka ibunya yakni ibu dari yang meninggal itu mendapat seperenam dari harta warisan, sedang ayahnya mendapat sisanya, sedang saudara-saudara itu tidak mendapat sedikitpun warisan. Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat sebelum kematiannya atau juga sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat sebelum kematiannya atau dan juga setelah sesudah dilunasi utangnya bila ia berhutang. Orang tua kamu dan anak-anak kamu yang Allah rinci pembagiannya ini, ditetapkan Allah sedemikian rupa karena kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat dengan manfaatnya bagi kamu sehingga kamu yang menetapkannya kamu akan keliru. Karena itu laksanakanlah dengan penuh tanggung jawab karena ini adalah ketetapan yang turun langsung dari Allah. Sesugguhnya Allah sejak dahulu hingga kini dan masa datang selalu Maha Mengetahui segala sesuatu lagi Maha Bijaksana dalam segala ketetapan-ketetapan-Nya. FirmanNya “bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan” mengandung penekanan pada bagian anak perempuan. Karena dengan dijadikannya bagian anak perempuan sebagai ukuran buatan bagian anak lelaki, maka itu berarti sejak semua seakan-akan sebelum ditetapkannya hak anak lelaki dan hak anak perempuan telah terlebih dahulu ada. Bukankah jika anda akan mengukur sesuatu, terlebih dahulu anak harus memiliki alat ukur, baru kemudian menetapkan kadar ukuran sesuatu itu? Penggunaan redaksi ini, adalah untuk menjelaskan hak perempuan memperoleh warisan, bukan seperti yang diberlakukan pada masa jahiliah. Pemilihan kata zakar yang diterjemahkan di atas dengan anak lelaki dan bukan rajul yang berarti lelaki untuk menegaskan bahwa usia tidak menjadi faktor pengahalang bagi penerimaan warisan, karena kata zakar dari segi bahasa berarti jantan, lelaki kecil maupun besar. FirmanNya “bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan”, penggalan ayat ini tidak menjelaskan berapa bagian yang diperoleh seandainya yang ditinggal dua orang perempuan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa bagian dua orang perempuan sama dengan bagian lebih dari dua orang perempuan. Riwayat tentang sebab turunnya ayat ini, disamping sekian istinbath hukum yang ditarik dari ayat-ayat waris menjadi alasan pendapat ini. Riwayat tersebut menyatakan bahwa: ﺻﻠﱠﻰ َ ِل اﻟﻠﱠﻪ ِ ﺳ ْﻌ ٍﺪ ِإﻟَﻰ َرﺳُﻮ َ ﻦ ْ ﻦ اﻟ ﱠﺮﺑِﻴ ِﻊ ﺑِﺎ ْﺑﻨَﺘَ ْﻴﻬَﺎ ِﻣ ِ ﺳ ْﻌ ِﺪ ْﺑ َ ت ا ْﻣ َﺮَأ ُة ْ ل ﺟَﺎ َء َ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﻗَﺎ َ ﻦ ِ ﻦ ﺟَﺎ ِﺑ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ُ ﻚ َی ْﻮ َم ُأ ﺷﻬِﻴﺪًا َ ٍﺣﺪ َ ﻞ أَﺑُﻮ ُهﻤَﺎ َﻣ َﻌ َ ﻦ اﻟ ﱠﺮﺑِﻴ ِﻊ ُﻗ ِﺘ ِ ﺳ ْﻌ ِﺪ ْﺑ َ ن ا ْﺑ َﻨﺘَﺎ ِ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ هَﺎﺕَﺎ َ ﺖ یَﺎ َرﺳُﻮ ْ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎَﻟ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ اﻟﻠﱠ ُﻪ ﻚ َ ل َی ْﻘﻀِﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ ﻓِﻲ َذِﻟ َ ل ﻗَﺎ ٌ ن إِﻟﱠﺎ وَﻟَ ُﻬﻤَﺎ ﻣَﺎ ِ ع َﻟ ُﻬﻤَﺎ ﻣَﺎﻟًﺎ وَﻟَﺎ ُﺕ ْﻨ َﻜﺤَﺎ ْ ﺧ َﺬ ﻣَﺎَﻟ ُﻬﻤَﺎ َﻓَﻠ ْﻢ َی َﺪ َ ﻋ ﱠﻤ ُﻬﻤَﺎ َأ َ ن َوِإ ﱠ ﺳ ْﻌ ٍﺪ َ ﻲ ْ ﻂ ا ْﺑ َﻨ َﺘ ِﻋ ْ ل َأ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ِإﻟَﻰ ﻋَ ﱢﻤﻬِﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ِل اﻟﻠﱠﻪ ُ ﺚ َرﺳُﻮ َ ث َﻓ َﺒ َﻌ ِ ﺖ ﺁ َی ُﺔ ا ْﻟﻤِﻴﺮَا ْ َﻓ َﻨ َﺰَﻟ 13 َ ﻦ َوﻣَﺎ َﺑ ِﻘ َ ﻂ ُأ ﱠﻣ ُﻬﻤَﺎ اﻟ ﱡﺜ ُﻤ ِﻋ ْ ﻦ َوَأ ِ اﻟ ﱡﺜُﻠ َﺜ ْﻴ َ ﻲ َﻓ ُﻬ َﻮ ﻟَﻚ “Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata : Istri Sa’ad bin Rabi’ pernah datang kepada Rasulullah saw. bersama kedua putrinya (Sa’ad bin Robi’) kemudia berkata: ‘Ya Rasulullah, inilah kedua putri Sa’ad bin Robi’, ayahnya gugur sebagai syahid bersamamu dalam perag Uhud. Sesungguhnya pamannya telah mengambil hartanya tanpa meninggalkan sedikitpun harta untuk mereka berdua. Dan mereka tidak dapat dinikahkan kecuali mereka punya harta.’ Rasulullah saw bersabda: ‘Allah akan memutuskan permasalahan ini.’ Lalu turunlah ayat waris, maka Rasulullah saw mengirim seseorang menemui paman mereka (kedua putri Sa’ad bin Robi’) dan bersabda: ‘Berilah kedua putrid Sa’ad dua pertiga, berilah ibu mereka (istri sa’ad) 13 Al-Albani, Sunan Tirmidzi, Juz. 7, h. 437 seperdelapan dan sisanya untukmu (saudara laki-laki Sa’ad).” (H.R Tirmidzi, Ibnu Majah)14 Alasan berdasarkan istinbath, antara lain adalah bahwa Allah saw. telah menjadikan bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Sehingga bila seseorang meninggalkan seorang anak lelaki dan dua orang anak perempuan, maka dalam kasus ini anak lelaki mendapat dua pertiga dan saudara perempuannya mendapat sepertiga. Nah, dua pertiga ketika itu dipersamakan dengan hak dua orang perempuan. Bukankah Allah swt. menyatakan bahwa hak anak lelaki dua kali banyaknya hak anak perempuan? Adapun ahli waris perempuan yang telah disepakati dapat mewarisi adalah: a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) Anak perempuan Cucu dan cicit perempuan serta generasi di bawahnya Ibu Nenek seibu Nenek seayah Saudara perempuan sekandung Saudara perempuan seayah Saudara perempuan seibu Istri Perempuan yang membebaskan budak Berdasarkan keterangan di atas mengenai ahli waris laki-laki dan perempuan, maka perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini : a) Yang dimaksud dengan kakek laki-laki adalah kakek laki-laki yang dinasabkan pada si mayit dan dalam garis keturunannya tidak dijumpai garis nasab wanita. b) Yang dimaksud dengan paman dari nasab laki-laki adalah saudara laki-laki bapak dari nasab laki-laki pula, baik itu saudara kandungnya ataukah se-bapak saja. 14 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah ..., vol. 2, h. 361 c) Yang dimaksud dengan anak wanita dari saudara laki-laki hingga ke bawah adalah kemenakan dari nasab laki-laki yang bersambung dalam garis nasab laki-laki saja. d) Yang dimaksud dengan nenek dari pihak ibu pada nasab wanita adalah semua nenek dalam garis nasab wanita saja. Artinya, jikalau dalam garis nasab itu diselingi dengan nasab laki-laki maka ia sama sekali bukan ahli waris si mayit. e) Yang dimaksud dengan nenek dari pihak bapak baik dari nasab wanita ataukah laki-laki dalam garis nasab wanita adalah garis nasab yang tidak diselingi dengan nasab selainnya. Jika nenek itu dari garis nasab wanita maka tidak boleh dijumpai adanya nasab laki-laki di antara dua nasab wanita, demikian halnya jika dari nasab laki-laki, maka tidak boleh dijumpai adanya nasab wanita antara kakek si mayit dan si mayit itu sendiri. f) Jikalau ke semua ahi waris laki-laki ada, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya lima saja, anak wanita, cucu wanita dari nasab laki-laki, ibu, saudara kandung wanita dan istri. g) Dan jika kesemua ahli waris wanita dan laki-laki bertemu/ ada, maka warisan hanya berhak diberikan kepada lima orang saja, yaitu: kedua orang tua si mayit (ibu atau bapak), anak laki-laki maupun wanita, suami mayit ataukah istrinya. 3) Harta yang Hendak Diwariskan Warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam yaitu sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris.15 Sedangkan menurut Abu Zakariya Al-Atsary menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta baik itu berupa harta benda, uang, atau kepemilikan yang memiliki nilai dan serupa dengan itu, yang ditinggalkan oleh si mayit bagi para ahli warisnya.16 Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan jenis harta yang dilarang mengambilnya dan jenis harta yang boleh diambil dengan jalan yang baik, diantara harta yang halal (boleh) diambil ialah harta pusaka. Di dalam Al-Qur’an dan Hadis telah diatur cara pembagian harta pusaka dengan seadil-adilnya, agar harta itu menjadi halal dan berfaedah. Sebagaimana firman Allah swt. dalam Al-Qur’an surat An-Nisa: 7:17 Èβ#t$Î!≡uθø9$# x8ts? $£ϑÏiΒ Ò=ŠÅÁtΡ Ï™!$|¡ÏiΨ=Ï9uρ tβθç/tø%F{$#uρ Èβ#t$Î!≡uθø9$# x8ts? $£ϑÏiΒ Ò=ŠÅÁtΡ ÉΑ%y`Ìh=Ïj9 ∩∠∪ $ZÊρãø¨Β $Y7ŠÅÁtΡ 4 uèYx. ÷ρr& çμ÷ΖÏΒ ¨≅s% $£ϑÏΒ šχθç/tø%F{$#uρ “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” Ayat ini menjelaskan hak lain yang harus diturunkan dan yang dalam kenyataan di masyarakat sering diabaikan, yaitu hak-hak waris. Dapat juga dikatakan bahwa setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk menyerahkan harta kepada anak-anak yatim, wanita dan kaum lemah, maka seakan-akan ada yang bertanya: “darimanakan wanita dan anak-anak itu memperoleh harta?” maka diinformasikan dan ditekankan disini bahwa bagi laki-laki dewasa atau anak-anak yang 15 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 13 16 Abu Zakariya Al Atsary, Penununtun Ringkas…, h. 36 17 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), h. 346 ditinggal mati orang tua dan kerabat, ada hak berupa bagian tertentu yang akan diatur Allah setelah turunnya ketentuan umum ini dari harta peninggalan ibu bapak dan para kerabat. Karena ketika itu mereka tidak memberi harta peninggalan kepada wanita dengan alasan mereka tidak ikut berperang, maka secara khusus dan mandiri ayat ini menekankan bahwa dan bagi wanita, baik dewasa maupun anak-anak ada juga hak berupa bagian tertentu.18 Supaya tidak ada kerancuan menyangkut sumber hak mereka itu, ditekankan bahwa hak itu sama sumbernya dari perolehan lelaki, yakni dari harta peninggalan ibu bapak dan para kerabat dan agar lebih jelas lagi persamaan hak itu, ditekankan sekali lagi bahwa baik harta peninggalan itu sedikit atau banyak, yakni hak itu adalah menurut bagian yang ditetapkan oleh Yang Maha Agung, Allah swt. Kata rijali yang diterjemahkan lelaki, dan nisa yang diterjemahkan perempuan, ada yang memahaminya dalam arti mereka yang dewasa, dan ada pula yang memahaminya mencakup dewasa dan anak-anak. Pendapat kedua ini lebih tepat, apalagi bila dikaitkan dengan sebab turunnya ayat ini, yang menurut salah satu riwayat bahwa seorang wanita bernama Ummu Kuhlah yang dikaruniai dua orang anak perempuan hasil pernikahannya dengan Aus bin Tsabit yang gugur dalam perang Uhud. Ummu Kuhlah datang kepada Rasul saw. mengadukan paman putri itu, yang mengambil semua peninggalan Aus, tidak menyisakan sedikitpun untuknya dan kedua anaknya. Rasulullah saw. menyuruh mereka menanti, dan tidak lama kemudian turunlah ayat ini dan ayat-ayat kewarisan. Kata mafrudhan berarti wajib. Kata faradha adalah kewajiban yang bersumber dari yang tinggi kedudukannya, dalam konteks ayat ini adalah Allah swt. adalah kewajiban yang bersumber dari yang tinggi kedudukannya, dalam konteks ayat ini adalah Allah swt. sedang kata wajib tidak harus bersumber dari yang tinggi, karena bisa saja 18 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah..., vol. 2, h. 352 seseorang mewajibkan sesuatu atas dirinya. Dengan demikian, hak warisan yang ditentukan itu bersumber dari Allah swt. dan jika demikian tidak ada alasan untuk menolak atau mengubahnya. Ada beberapa hak yang wajib didahulukan dari pembagian harta warisan kepada ahli waris, yaitu:19 a) Yang terutama adalah hak yang bersangkutan dengan harta itu, seperti zakat sewa menyewa. Hak ini hendaklah diambil lebih dahulu dari jumlah harta sebelum dibagi-bagi kepada ahli waris. b) Biaya untuk mengurus mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur dan sebagainya. c) Utang. Kalau si mayat meninggalkan utang, utang itu hendaklah dibayar dari harta peninggalannya sebelum dibagi untuk ahli warisnya. d) Wasiat. Kalau si mayat mempunyai wasiat yang banyaknya tidak lebih dari sepertiga harta peninggalannya, wasiat itu hendaklah dibayar dari jumlah harta peninggalannya sebelum dibagi-bagi. Firman Allah swt: A⎦ø⎪yŠ ÷ρr& !$pκÍ5 ©Å»θム7π§‹Ï¹uρ ω÷èt/ .⎯ÏΒ 4 Þâ “Pembagian harta pusaka itu sesudah dipenuhi wasiat yang ia (mayat)buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya” (An-Nisa: 11) e) Sesudah dibayar semua hak tersebut di atas, barulah harta peninggalan si mayat itu dibagi kepada ahli waris menurut pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab-Nya yang suci. c. Syarat-Syarat Pewarisan 1) Memastikan wafatnya si mayit, baik itu secara pasti dengan melihat secara langsung ataukah dengan kabar yang tersebar luas. 19 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam…., h. 347 2) Memastikan keberadaan atau hidupnya ahli waris setelah wafatnya si mayit, baik itu mengetahui keberadaan ahli waris dengan melihat, ataukah kabar dari dua orang yang adil. 3) Mengetahui jalur-jalur pewarisan dan sebab-sebabnya, dimana pewarisan adalah sesuatu yang didasarkan sifat-sifat tertentu antara si mayit dan ahli waris yang merupakan pertalian kekeluargaan di antara keduanya. Seperti hubungan keturunan, orang tua, saudara, suami istri dan seterusnya. d. Hak Waris Al-Qur’an telah menetapkan ketentuan waris untuk ahli waris yang utama dan langsung bersentuhan dengan mayit, yaitu: ayah, ibu, suami/ istri dan saudara.20 1) Hak waris anak, ayah dan ibu a) anak laki-laki = ashabah21 (2x bagian anak perempuan) b) anak perempuan = ½ bagian anak laki-laki = ½ (jika hanya seorang anak perempuan) = 2/3 (jika dua orang atau lebih) c) ayah = 1/6 (jika ada anak) = ashabah (jika tidak ada anak) d) ibu = 1/6 (jika ada anak atau tidak ada anak tapi ada beberapa orang saudara) = 1/3 (jika ada anak) 2) Hak waris suami/ istri dan saudara seibu a) Suami = ½ (jika tidak ada anak) = ¼ (jika ada anak) b) Istri = ¼ (jika tidak ada anak) = 1/8 (jika ada anak) 20 Subchan Bashori, Al-Faraidh Hukum Waris….,, h. 55 Ashabah adalah kelompok ahli waris yang hak warisnya tidak tertentu bagiannya, tetapi bagiannya adalah menghabiskan seluruh harta waris atau seluruh sisa dari harta waris setelah dikurangi bagian dzawil furudh (keompok ahli waris ya.ng tertentu bagiannya). 21 c) Saudara seibu (jika tidak ada anak dan ayah) = 1/6 (jika hanya seorang) = 1/3 (jika saudara seibu lebih dari seorang, dibagi rata) 3) Hak waris saudara kandung a) Saudara perempuan = ½ (jika hanya seorang) = 2/3 (jika dua orang atau lebih) b) Saudara laki-laki = ashabah = 2x bagian saudara perempuan (jika ada saudara laki-laki dan saudara perempuan) Sedangkan Otje Salman menjelaskan bahwa bagian hak waris untuk anak laki-laki dan anak perempuan adalah sebagai berikut:22 1) Bagian anak laki-laki adalah: 1) Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewarisi bersama dengan anak laki-laki lainnya. 2) Masing-masing 2 bagian dari sisa jika mereka mewarisi bersama anak perempuan. 2) Bagian anak perempuan adalah: a) 1/2 bagian jika seorang b) 2/3 bagian jika beberapa orang c) Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama anak laki-laki. 2. Sistem Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Waris Minangkabau a. Hukum Waris Adat Matrilineal Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa menjadi masalah aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena kekhasan dan keunikan bila dibandingkan dengan 22 R. Otje Salman S. SH dan Mustofa Haffas, SH, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 57 sistem hukum adat waris dari daerah-daerah lain di Indonesia ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa sistem kekeluargaan di Minangkabau adalah sistem menarik garis keturunan dari pihak ibu (matrilineal) yang dihitung menurut garis keturunan ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan. Harta pusaka di Minangkabau menjadi milik kaum perempuan, karena sistem kekerabatan di Minangkabau disusun berdasarkan garis keturunan ibu. Sistem inilah yang disebut dengan sistem matrilineal. Alasan berlakunya sistem matrilineal dalam urusan harta pusaka adalah karena harta di Minangkabau menjadi milik kaum. Kemudian yang memelihara keturunan kaum adalah pihak perempuan. Dengan demikian, segala hak terhadap harta pusaka (tanah, sawah, rumah gadang, dan barang-barang lainnya) berada pada pihak perempuan.23 Tujuan lain dari sistem ini adalah untuk keselamatan hidup kaum perempuan. Hal ini dikarenakan menurut kodrat, kaum perempuan bertulang lemah. Meskipun seorang perempuan tidak lagi mempunyai seorang suami, ia masih tetap bisa menghidupi dirinya dan anak-anaknya, karena adanya harta pusaka yang menjadi miliknya. Oleh karena itulah pewarisan harta dilakukan berdasarkan sistem matrilineal. Ciri-ciri khas sistem matrilineal yang membedakan dari sistem patrilineal, adalah sebagai berikut:24 1) Keturunan ditelusuri melalui garis wanita. 2) Anggota kelompok keturunan direktrut melalui garis wanita. 3) Pewarisan harta pusaka dan suksesi politik disalurkan melalui garis wanita. Dengan sistem tersebut, maka semua anak-anak hanya mendapat ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi yaitu harta 23 24 Yulfian Azrial, Budaya Alam Minangkabau,(Padang: Angkasa Raya, 2008), h. 40 Jurnal Adat dan Budaya Minangkabau Edisi Kedua/ Vol.2/ Maret-Mei/ Jakarta: 2004, h. 12 yang turun temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yaitu harta yang turun dari satu generasi. Misalnya harta pencaharian yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko, akan jatuh kepada jurai25-nya sebagai harta pusaka rendah jika pemilik harta pencaharian itu meninggal dunia. Jika yang meninggal dunia itu adalah seorang laki-laki, maka anak-anaknya serta jandanya tidak menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi, sedang yang menjadi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya. b. Ahli Waris Ahli waris adalah mereka yang mempunyai pertalian adat terdekat. Pengertian hak milik perseorangan atas tanah tidak ada. Tanah pusaka merupakan suatu bagian yang integral dengan kelompok kekerabatan. Tanah pusaka tidak hanya merupakan sumber kegiatan-kegiatan ekonomi tetapi sekaligus juga merupakan lambang atau status tertentu dalam masyarakat. “Kaum” dalam masyarakat Minangkabau merupakan persekutuan hukum adat yang mempunyai daerah tertentu yang dinamakan “tanah ulayat”. Kaum serta anggota kaum diwakili keluar oleh seorang “mamak kepala waris”. Anggota kaum yang menjadi kepala waris lazimnya adalah saudara laki-laki yang tertua dari ibu. Mamak kepala waris harus yang cerdas dan pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum terletak pada rapat kaum, bukan pada mamak kepala waris. Anggota kaum terdiri atas kemenakan dan kemenakan itu adalah ahli waris. Menurut hukum adat Minangkabau, ahli waris dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Waris bertali darah 25 Dalam Ensiklopedia Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia dijelaskan bahwa jurai yaitu bagian dari famili (persekutuan hukum adat), biasanya satu jurai merupakan satu rumah yang terdiri dari beberapa nenek dengan anak-anaknya lelaki dan perempuan. Suatu jurai dipimpin oleh seorang Tungganai atau mamak kepala waris. Ahli waris bertali darah yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah. Masing-masing ahli waris yang termasuk waris bertali darah ini mewaris secara bergiliran. 2) Waris bertali adat Ahli waris bertali adat yaitu ahli waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris bertali darah. Setiap nagari di Minangkabau mempunyai nama dan pengertian tersendiri untuk waris bertali adat. Bagi masyarakat yang berstel-stel matrilineal seperti Minangkabau, warisan diturunkan kepada kemenakan, baik warisan gelar maupun warisan harta yang biasanya disebut sako26 atau pusako (saka atau pusaka). Sebagai warisan, harta yang ditinggalkan pewaris tidak boleh dibagi-bagi oleh yang berhak. Setiap harta yang telah jadi pusaka selalu dijaga agar tinggal utuh, demi untuk menjaga keutuhan kaum kerabat, sebagaimana yang diajarkan falsafah alam dan hukum adat mereka. Pada gilirannya diturunkan pula kepada kemenakan berikutnya. Kemenakan laki-laki dan perempuan yang berhak menerima warisan memiliki kewenangan yang berbeda. Kemenakan laki-laki mempunyai hak untuk mengusahakan, sedangkan kemenakan perempuan berhak memiliki. Dalam mamangan disebutkan warih dijawek, pusako ditolong (waris dijawat, pusaka ditolong). Maksudnya ialah bahwa sebagai warisan harta itu harus dipelihara dengan baik.27 Menurut adat, mamak wajib menjaga keselamatan segala harta pusakanya, dan membagi harta pusaka itu kepada segala kemenakannya dengan peraturan yang adil menurut timbangan mamak. Yang banyak dibanyakan, yang sedikit disedikitkan agar semua kemenakannya hidup senang dengan tiada merasa iri hati satu sama lainnya dalam hal menguasai atau memakai harta pusaka itu. 26 Sako artinya warisan yang tidak bersifat benda seperti gelar pusaka. A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru Adat Dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers, 1986), h. 158 27 Menurut sepanjang adat segala harta pusaka tidak boleh dibagi menjadi hak sendiri-sendiri oleh orang yang menerima pusaka itu, tetapi boleh dibagi oleh yang berkaum yang sama-sama menerima harta pusaka itu untuk mengerjakan menurut aturan mamak. Pembagian itu namanya genggam beruntuk-untuk, bukan berarti pembagian itu untuk jadi kepunyaan masing-masing yang diwarisi harta itu, tetapi harta itu tetap kepunyaan bersama juga. Hanya saja, hasil-hasil yang dikeluarkan dari harta pusaka itu dibagi menurut aturan yang berlaku. Misalnya hasil sawah atau hasil ladang yang dikerjakan oleh pewaris, maka hasil itu dibagi dengan keadilan yang sudah diatur oleh adat. Jika yang meninggalkan warisan tanah pusaka adalah wanita, maka ahli waris adalah seluruh anak-anaknya. Bila dia tidak mempunyai anak, warisan tanah pusaka diterima oleh saudara-saudaranya. Jika yang meninggalkan tanah pusaka adalah pria maka ahli waris adalah saudarasaudaranya. Garis lain yang diturut seandainya mereka yang meninggalkan tanah pusaka tidak mempunyai ahli waris menurut pertalian darah ibu adalah penentu ahli waris menurut pertalian adat. c. Harta Pusaka Di Minangkabau bila orang menyebut harta, maka sering tertuju penafsirannya kepada harta yang berupa materi saja. Harta yang berupa material ini seperti sawah ladang, rumah gadang, emas perak, dan lainlain. Sebenarnya di samping harta yang berupa material ini, ada pula harta yang berupa moril seperti gelar pusaka yang diwarisi secara turun temurun. Orang yang banyak harta material, dikatakan orang berada atau orang kaya. Tetapi menurut pandangan adat orang berada atau banyak harta ditinjau dari banyaknya harta pusaka yang turun temurun dimilikinya. Harta pusaka adalah segala benda peninggalan orang yang sudah meninggal. Harta itu menjadi hak perserikatan di dalam kaum oleh segala ahli warisnya, menurut tali warisnya masing-masing, maka dikatakan juga harta pusaka itu adalah harta kongsi perserikatan bersama oleh orang yang setali waris dengan orang yang meninggalkan harta itu.28 Amir M.S menjelaskan bahwa pusako atau harta pusako adalah segala kekayaan materil atau harta benda yang juga disebut dengan pusako harato. Yang termasuk pusako harato seperti:29 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) Hutan sawah Sawah ladang Tabek dan Parak (Tambak dan kebun) Rumah gadang Pandang pekuburan Perhiasan dan uang Balai dan mesjid Peralatan dan lain-lain. Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa harta pusaka adalah harta yang diwariskan dari pewaris kepada ahli waris untuk dipelihara.30 Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa harta pusaka Minangkabau adalah segala benda peninggalan seseorang yang diwariskan kepada ahli waris berdasarkan garis keturunan ibu agar ahli waris dapat terus menjaga dan melestarikan warisan tersebut. Harta pusaka itu tidak boleh dibagi menjadi hak perorangan oleh orang yang menerima pusaka, melainkan wajib selamanya menjadi hak serikat dalam kaum yang menerima pusaka itu turun temurun. Hasil-hasil yang keluar dari harta pusaka itu wajib dipergunakan untuk penambah besarnya harta pusaka atau harta kongsi tadi. Harta pusaka ini merupakan jaminan utama untuk kehidupan dan perlengkapan bagi anak kemenakan di Minangkabau, terutama untuk kehidupan yang berlatarbelakang kehidupan desa yang agraris. 28 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2009), h. 221 29 Amir M.S, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2006), h. 95 30 Kamus Bahasa Indonesia Perubahan kehidupan ekonomi ke arah industri dan usaha jasa dan berkembangnya kehidupan kota, membuat peranan harta pusaka sebagai sarana penunjang kehidupan ekonomi orang Minang menjadi makin lama makin berkurang. Namun demikian, peranan harta pusaka sebagai simbol kebersamaan dan kebanggan keluarga dalam sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau tetap bertahan. Harta pusaka sebagai alat pemersatu keluarga masih tetap berfungsi dengan baik. Orang asli yang membuka tanah dan hutan dengan istilah melancang melatih, mempunyai kekayaan dalam bentuk tanah, sawah, ladang, tanah perumahan dan tanah pekuburan. Kekayaan ini berikut dengan rumah gadang dan rangkiang di atasnya menjadi harta kelompok kekerabatan dan karenanya diwariskan menurut garis ibu. Kekayaan ini disebut pusako (pusaka). Kekayaan imateril berupa gelar dan kedudukan dalam masyarakat disebut sako. Kekayaan imateril ini juga diwariskan menurut garis ibu kecuali pada golongan raja-raja. Tanah-tanah atau hutan-hutan yang belum dimiliki oleh suatu kelompok kekerabatan dan yang dicadangkan untuk anggota kelompok negeri di masa mendatang disebut tanah ulayat. Penguasaan tanah pusaka suatu kelompok kekerabatan dilakukan berdasakan genggam beruntuk. Seluruh tanah pusaka kelompok kekerabatan saparuik (sekandung) dibagikan dan diusahakan oleh kekerabatan samande (seibu). Secara keseluruan tanah pusaka yang telah dikuasai oleh kelompok kerabat diatur menurut pertalian darah dari pihak ibu. Hamka menjelaskan bahwa menurut adat harta itu terbagi dua31: 1) Pusaka Tinggi 2) Pusaka Rendah Pusaka tinggi didapat dengan tembilang besi, Pusaka Rendah di dapat dengan tembilang emas. Harta pusaka rendah apabila sudah sekali turun, naik dia menjadi harta pusaka tinggi. 31 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), h. 96 Begitu kuatnya kedudukan pusaka tinggi itu, sehingga harta pencaharian “urang sumando” misalnya rumah yang dibuatnya untuk anak isterinya, tidak terletak di tanah pusaka isterinya, tidaklah berhak ia menjualnya kembali, meskipun harta pencahariannya sendiri. Dia tercela keras oleh adat berbuat demikian. Sebab itu kalau seorang laki-laki menceraikan isterinya, rumahnya itu tinggallah menjadi hak milik isterinya. Dan kalau si isteri bersuami baru, suami yang baru itu pun tidak berhak atas rumah itu. Kalau bercerai, yang dibawa ke luar hanyalah pakaiannya sehari-hari saja. Dan kalau isteri itu mati, yang punya harta itu adalah anak-anaknya. Terutama anak yang perempuan, faraidh tidak dapat masuk kemari. Pagang-gadai seorang suami untuk anak isteri pun adalah kepunyaan anak isteri itu. Dan harus diingat bahwa suku ayah yang mati dengan suku anak-anaknya berlain. Oleh sebab itu rumah buatan Sutan Indimo orang suku Tanjung, di tanah pusaka isterinya suku Guci, pada hakikatnya adalah wilayah orang suku Guci. Seluruh orang suku Tanjung tidak dapat menuntut rumah itu kembali. Dengan demikian, maka harta pencaharian seorang suku lain, bisa menjadi harta pusaka rendah pada mulanya (dicari dengan tembilang emas). Tidak berapa lama kemudian menjadi harta pusaka tinggi dari suku isteri dan anaknya. Yulfian Azrial menjelaskan bahwa harta pusaka dalam adat Minangkabau terdiri dari:32 1) Harta Pusaka Tinggi Harta pusaka tinggi adalah segala harta pusaka yang diwarisi secara turun temurun. Harta pusaka tinggi dibagikan dengan cara sistem kewarisan kolektif, yaitu seluruh harta pusaka tingggi diwarisi oleh sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi kepemilikannya. Harta pusaka tinggi didapatkan dari tembilang besi dan tembilang emas dan diterima secara turun temurun dari mamak 32 Yulfian Azrial, Budaya Alam Minangkabau…., h. 42 (saudara ibu yang laki-laki) kepada kemenakan. Harta ini merupakan lambang ikatan bagi kaum yang bertali darah. Harta pusaka tinggi tidak bisa menjadi milik perseorangan. Harta pusaka tinggi adalah hak milik bersama dari sebuah kaum. Anggota kaum hanya mempunyai hak untuk menikmati atau menggunakan selama hidupnya. Harta pusaka tinggi diwariskan secara turun-temurun dalam keadaaan yang sama (utuh), karena menurut hukum adat harta pusaka tinggi tidak boleh diperjual belikan sehingga ia tetap utuh. Contoh harta pusaka tinggi adalah rumah gadang, perlengkapan adat, tanah, sawah, ladang, hutan, tanaman keras seperti kelapa, cengkeh, pala, dan lain-lain. 2) Harta Pusaka Rendah Harta pusaka rendah adalah harta pusaka yang diterima kemenakan dari mamak kandung, yang berasal dari hasil pekerjaan yang diuntukkan buat kemenakannya. Harta pusaka rendah dimaksudkan untuk harta yang pewarisnya hanya sedikit, sehingga tidak membutuhkan persetujuan kaum untuk menggunakannya. Namun, bila harta ini diwariskan lagi dan pewarisnya telah banyak, harta ini berubah menjadi harta pusaka tinggi. Harta pusaka rendah boleh diperjual belikan, namun harus ada kesepakatan antara mamak dan kemenakan. Apabila ahli waris tetap menjaga keutuhan harta pusaka rendah ini, kemudian diwariskan lagi kepada ahli waris berikutnya, sehingga tidak mudah lagi mengatur kesepakatan dalam pengelolaannya, maka harta ini telah dianggap sebagai harta pusaka tinggi. Contoh harta pusaka rendah adalah tanah, sawah, dan ladang yang ditaruko/ diolah seorang mamak, lalu diwariskan kepada kemenakannya. 3) Harta Pancaharian (Harta Pencarian) Harta pencarian adalah harta yang didapatkannya dari hasil usahanya. Misalnya dengan menggarap sawah atau ladang, berdagang, pegawai, buruh, dan sebagainya. Sangat jelas bahwa harta pencarian adalah harta yang didapatkan seseorang dari hasil usahanya sendiri baik dengan bekerja di kampung halamannya maupun dari hasil ia merantau. Namun, harta ini pada umumnya tidak banyak berkaitan dengan harta pusaka di kampung halamannya. Orang yang berhak atas harta pencarian adalah orang yang mendapatkan harta tersebut. Misalnya seorang bapak bekerja di sawah atau ladang milik istrinya, maka hasil sawah dan ladangnya tersebut adalah hak si bapak bersama istri dan anak-anaknya. Begitu juga halnya dengan seseorang yang bekerja atau berdagang, maka hasil dari usahanya tersebut adalah haknya bersama anak dan istrinya. Pewarisan harta pencarian ini adalah menurut hukum syara’ (agama), tidak menurut hukum adat dari mamak kepada kemenakan. Kecuali apabila ia berladang di tanah milik kaumnya, atau modal yang ia pakai berdagang adalah milik kaumnya, tentu tidak semuanya menjadi hak ia bersama anak dan istrinya. 4) Harta Suarang (Harta Sendiri) Harta suarang adalah harta yang diperoleh seseorang ketika ia masih surang atau sendiri. Harta itu diperolehnya ketika ia belum berumah tangga atau belum menikah. Jadi harta itu milik surang atau milik seorang, bukan harta milik bersama. Hak harta suarang adalah si pemilik harta itu sendiri. Harta suarang Budi adalah milik Budi, begitu pula harta suarang Marni adalah hak milik Marni, kecuali ada kesepakatan antara mereka berdua setelah menjadi suami istri untuk menyatukan harta itu menjadi milik bersama antara Budi dan Marni. d. Hak Waris Petitih mengatakan bahwa sako (saka) dan (pusaka) diwariskan kepada kemenakannya: “Dari niniak ke mamak, dari mamak turun ke kemenakan (dari nenek (moyang) ke mamak, dari mamak ke kemanakan)”. Pengertian nenek (moyang), sudah tentu berdasarkan stel matrilineal itu, yaitu mamak dari mamak. Mamak merupakan saudara lakilaki ibu. Pengertian turun dari nenek ke mamak, dari mamak ke kemenakan ialah turunnya hak warisnya dari sako dan pusako. Sako adalah warisan jabatan sedangkan pusako merupakan warisan harta benda. Berhubung sistem ekonomi mereka bersifat komunal, maka dengan sendirinya harta benda itu milik bersama seluruh kerabat atau seluruh kaum yang secara geneologis menurut garis keturunan perempuan. Oleh karena kaum itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka sifat warisan itu menjadi bergaris yang paralel. Sako diwariskan pada kemenakan yang di dalamnya melengket segala tugas, hak dan kewajiban laki-laki. Dalam masalah pusako, kaum laki-laki merupakan kuasa, sedangkan kepemilikan adalah seluruh kerabat. Dengan sendirinya, meskipun sebagai kuasa, lakilaki tidak berhak menetapkan sendiri kedudukan pusako. Pihak perempuan mempunyai hak yang sama. Untuk kedudukan barang-barang yang bergerak berlaku juga ketentuan adat, seperti halnya bendi, pedati serta ternak. Kemenakan lakilaki dapat memakai atau memeliharanya sebagai sumber nafkahnya, tetapi tidak dapat memilikinya. Namun, dalam perjalan sejarah, kuasa serta pemilikan terhadap warisan yang demikian seperti ada suatu kesepakatan yang telah menjadi kelaziman umum, yaitu harta pusaka demikian jatuh kepada kemenakan laki-laki, sedangkan harta pusaka seorang ibu jatuh menjadi milik perempuan. Seperti halnya rumah kediaman pribadi yang tidak diperoleh karena warisan, barang emas atau peralatan rumah tangga.33 Terutama berkenaan dengan harta milik seorang ibu, anak laki-laki akan merasa malu menggunakan haknya sebaga ahli waris. Ajaran mereka “berpantang laki-laki memakan pencarian perempuan”, dapat menghalanginya untuk menuntut warisan itu sebagai haknya. Harta itu adalah harta hak saudara perempuannya. Seandainya saudara perempuannya tidak ada, hak warisan itu akan diberikan kepada saudara perempuan (anak dari saudara ibunya yang perempuan). Membagi-bagi harta pusaka kepada ahli waris yang tidak berhak, dengan sendirinya berakibat memecah belah keutuhan sistem kekerabatan. Perbuatan itu dipandang tabu serta melanggar adat. Lebih rinci Dr. Eman Suparman, S.H, M.H menjelaskan bahwa hak mewarisi dari masing-masing ahli waris satu sama lainnya berbeda tergantung pada jenis harta peninggalan yang akan ia warisi dan hak mewarisinya diatur menurut prioritasnya. Hal tersebut akan dapat dilihat dalam paparan di bahwah ini :34 1) Harta pusaka tinggi Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka tinggi, cara pembagiannya berlaku sistem kewarisan kolektif, yaitu seluruh harta pusaka tinggi diwarisi oleh sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi pemilikannya. Walaupun tidak boleh dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris, harta pusaka tinggi dapat diberikan sebagian kepada seorang anggota kaum oleh mamak kepala waris untuk selanjutnya dijual atau digadaikan guna keperluan modal berdagang atau merantau, asal saja dengan sepengetahuan dan seizin seluruh ahli waris. Di samping itu harta pusaka tinggi dapat dijual atau digadaikan, guna keperluan : a) Untuk membayar hutang kehormatan. 33 34 AA. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru…, h. 161 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia…., h. 55 b) Untuk membayar ongkos memperbaiki bandar sawah kepunyaan kaum. c) Untuk membayar hutang darah. d) Untuk menutup kerugian bila ada kecelakaan kapal di pantai. e) Untuk ongkos naik haji ke Mekkah. f) Untuk membayar hutang yang dibuat oleh kaum secara bersamasama. 2) Harta pusaka rendah Semula harta pusaka rendah adalah harta pencaharian. Harta pencaharian mungkin milik seorang laki-laki atau mungkin juga milik seorang perempuan. Pada mulanya harta pencaharian seseorang diwarisi oleh jurai atau setidak-setidaknya kaum masing-masing. Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya karena hubungan seorang ayah dengan anaknya bertambah erat dan juga sebagai pengaruh agama Islam, maka seorang ayah dengan harta pencahariannya dapat membuatkan sebuah rumah untuk anak-anaknya atau menanami tanah pusaka isterinya dengan tanaman keras, seperti pohon kelapa, durian, cengkeh, dan lain-lain. Ha ini dimaksudkan untuk membekali isteri dan anak-anak manakala ayah telah meninggal dunia. 3) Harta suarang Harta suarang berbeda sama sekali dengan harta pencaharian sebab harta suarang adalah seluruh harta yang diperoleh suami dan isteri secara bersama-sama selama dalam perkawinan. Kriteria unutk menentukan adanya kerjasama dalam memperoleh harta suarang, dibedakan dalam dua periode, yaitu dahulu ketika suami masih merupakan anggota keluarganya, ia berusaha bukan untuk anakisterinya melainkan untuk orang tua dan para kemenakannya, sehingga ketika itu sedikit sekali kemungkinannya terbentuk harta suarang sebab yang mengurus dan membiayai anak-anak dan isterinya adalah saudara atau mamak isterinya. Sedangkan pada dewasa ini adanya kerjasama yang nyata antara suami-isteri untuk memperoleh harta suarang sudah jelas nampak, terutama masyarakat Minangkabau yang telah merantau jauh ke luar tanah asalnya, telah menunjukkan perkembangan ke arah pembentukan hidup keluarga yaitu antara suami, isteri dan anak-anak merupakan satu kesatuan dalam ikatan yang kompak. Dalam hal demikian suami telah bekerja dan berusaha untuk kepentingan isteri dan anak-anaknya, sehingga dalam kondisi yang demikian keluarga tadi akan mengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta keluarga yang disebut harta suarang. Harta suarang dapat dibagi-bagi apabila perkawinan bubar, baik bercerai hidup atau salah seorang meninggal dunia. Harta suarang dapat dibagi-bagi setelah hutang suami-isteri dilunasi terlebih dahulu. Ketentuan pembagiannya sebagai berikut : a) Bila suami isteri bercerai dan tidak mempunyai anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri. b) Bila salah seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak, maka sebagai berikut: - Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua, separoh merupakan bagian jurai si suami dan separoh lagi merupakan bagian janda. - Jika yang meninggal isteri, harta suarang dibagi dua, sebagian untuk jurai istri dan sebagian lagi untuk duda. c) Apabila suami-isteri bercerai hidup dan mempunyai anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri, anak-anak akan menikmati bagian ibunya. d) Apabila salah seorang meninggal dunia dan mempunyai anak, bagian masing-masing sebagai berikut : - - Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua antara jurai suami dengan janda beserta anak. - Jika yang meninggal isteri, harta suarang ½ untuk suami dan ½ untuk anak sebagai harta pusaka sendiri dan bagian ibunya. B. Kerangka Berfikir Melihat begitu banyak perbedaan yang ada dalam sistem hukum waris adat Minangkabau dengan sistem hukum waris Islam (Fiqh Mawaris) dalam Pendidikan Agama Islam, membuat hal ini menjadi sangat penting untuk dipelajari guna mengetahui sebab adanya perbedaan hukum waris adat Minangkabau dengan hukum waris Islam. Perbedaan yang mencolok tentu saja terdapat pada ahli waris. Ahli waris dalam sistem adat Minangkabau lebih banyak memberikan harta warisan kepada anak perempuan sebagai kepemilikan, sedangkan anak lakilaki hanya mendapat harta untuk diolah tanpa adanya kepemilikan. Mereka juga hanya mendapat tanggung jawab dari mamak (paman) mereka, sebab ayah tidak terlalu berperan penting dalam tanggung jawab anaknya karena ayah juga menjadi paman bagi kemenakannya, maka ayahnya juga bertanggung jawab terhadap kemenakannya. Berbeda dengan sistem hukum waris Islam yang memberikan harta warisan lebih besar kepada anak laki-laki daripada perempuan. Tidak ada istilah paman lebih bertanggung jawab daripada ayah seperti halnya di Minangkabau. Ayah tetap berperan dan harus bertanggung jawab kepada anaknya. Dari sinilah tampak jelas perbedaan yang terjadi antara sistem hukum waris adat dengan hukum waris Islam (Fiqh Mawaris) dalam konteks Pendidikan Agama Islam. Tabel 2.1 Kerangka Konseptual Sistem Hukum Waris Sistem Hukum Waris Islam Sistem Hukum Waris Adat (Adat Minangkabau) Matrilineal Bilateral Pengertian Sistem Waris Ahli Waris Harta Waris Studi Banding Sistem Hukum Waris Adat dengan Hukum Waris Islam Hak Waris BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analisis dengan mendeskripsikan konsep hak waris anak laki-laki dan perempuan dari sudut pandang adat Minangkabau dan agama Islam. Dalam penelitian kualitatif akan dilengkapi dengan studi lapangan untuk mendapatkan informasi dari beberapa responden dan studi pustaka pada deskriptif analisis. Studi pustaka dilakukan untuk menggali berbagai informasi dari bukubuku yang berkenaan dan menunjang dengan kasus yang diteliti atau untuk mengetahui teori-teori yang telah ada sehingga berdasarkan informasi yang didapatkan tersebut suatu masalah dapat dianalisa.35 Sedangakan studi lapangan dilakukan untuk mencari informasi mengenai objek yang diteliti, hanya saja cara ini dilakukan melalui obsevasi, studi pustaka, wawancara dan dokumentasi. Dalam pelaksanaan studi lapangan ini perlu dipertimbangkan relevansi antara tekhnik pengumpulan 35 M. Hariwijaya dan Bisri M. Djaelani, Tekhnik Menulis Skripsi dan Thesis, (Jogjakarta: Zenith Publisher, 2004), cet.1, h .37 data yang digunakan, instrumen yang dipakai, sumber data tempat informasi diperoleh, sifat data yang dicari dan tujuan yang hendak dicapai.36 B. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dengan metode deskriptif analisis, yakni menganalisa data yang diperoleh dari responden berupa data dan informasi tentang hukum waris adat Minangkabau dan hukum waris dalam ajaran Fiqh Mawaris. Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data itu diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuesioner atau wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan. 37 Yang menjadi repsonden dalam penelitian ini adalah pengurus Kerapatan Adat Nagari dan Alim Ulama di kecamatan Koto Tangah Padang. C. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli 2010 di daerah kecamatan koto Tangah khususnya di kantor pengurus Kerapatan Adat Nagari dan Musholla Raudhatussalikin Sumatera Barat . D. Teknik Pengumpulan Data Adapun untuk memperoleh data dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan tiga teknik, yaitu: 1) Observasi Observasi adalah pengamatan meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Jadi, mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, 36 Azyumardi Azra, et.al.,Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002), cet.2, h. 6 37 Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 130 pendengaran, peraba dan pengecap. Apa yang dikatakan ini sebenarnya adalah pengamatan langsung. Di dalam artian penelitian observasi dapat dilakukan dengan tes, kuesioner, rekaman gambar dan rekaman suara.38 Oleh karena itu, penulis melakukan observasi melalui rekaman gambar untuk mengumpulkan data dengan mengadakan pengamatan secara langsung pembagian harta warisan suku Minangkabau di kecamatan Koto Tangah. 2) Studi Pustaka Dalam studi pustaka, penulis mencari data mengenai hukum waris adat Minangkabau dan hukum waris Islam melalaui catatan, buku, jurnal, dan lain sebagainya. Studi pustaka digunakan untuk mempersiapkan teks-teks yang digunakan, baik mengenai studi hukum waris Islam maupun mengenai studi hukum waris adat Minangkabau. 3) Wawancara Wawancara adalah pengambilan data untuk untuk mendapatkan informasi dan data dari responden. Penulis berusaha memperoleh informasi tentang sistem pembagian harta waris dan segala permasalahannya melalui wawancara langsung kepada kepala adat dan para pemuka agama. Wawancara dilakukan untuk penjelasan maksud atau tujuan yang terdapat dalam dialog-dialog pemuka adat dan pemuka agama. Dalam penelitian ini, ada dua macam wawancara yang digunakan, yaitu: a. Wawancara bebas Wawancara bebas yaitu wawancara informal/ tidak resmi yang bisa terwujud dalam pembicaraan ringan. Namun demikian, keteranganketerangan yang diberikan pada arah yang diinginkan. b. Wawancara terstruktur Wawancara tersruktur bertujuan memperoleh keterangan khusus yang berkaitan dengan masalah penelitian yang disusun dalam bentuk instrument penelitian berupa daftar wawancara yang direkam dalam tipe recorder. 38 Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian …, h. 156 4) Dokumentasi Dokumentasi bertujuan untuk mengabadikan penelitian berupa wawancara yang dilakukan penulis terhadap pemuka adat dan pemuka agama berupa foto, pengambilan gambar atau pemotretan yang dilakukan juga untuk memperkuat data yang diperoleh selama penelitian. E. Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul melalui metode atau teknik mengumpulan data seperti yang dikemukakan sebelumnya maka penganalisisan data dilakukan dengan tahap: 1) Reduksi Data Reduksi data merupakan proses pemusatan perhatian dengan penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang terlihat dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus menerus. 2) Displat Data Displat data yaitu analisis yang dilakukan dengan cara membuat berbagai table dan keseluruhan data yang diperoleh sehingga lebih mudah untuk menganalisis data yang diperoleh. 3) Penyajian Data Penyajian data adalah sejumlah informasi yang tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 4) Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan merupakan kegiatan dari satu kegiatan konfigurasi yang utuh. Kesimpulan dan verifikasi dilakukan selama penelitian. Kesimpulan awal longgar kemudian semakin rinci dan mengakar dengan kuat. BAB IV HASIL PENELITIAN PERBANDINGAN SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARISAN ADAT MINANGKABAU DENGAN SISTEM HUKUM WARIS ISLAM Pada bab ini diuraikan tentang deskripsi data dan pembahasan hasil penelitian. Deskripsi data dilakukan terhadap sejarah hukum waris Islam dan hukum waris adat Minangkabau serta bagaimana perkembangan Islam di Minangkabau. Sedangkan analisis data yakni berupa perbandingan tentang sistem hukum waris Islam dengan hukum waris adat Minangkabau yang dirinci dengan perbandingan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak waris, perbandingan contoh kasus pewarisan baik dalam Islam maupun adat Minangkabau hingga diakhiri dengan pandangan Islam terhadap pewarisan adat Minangkabau. A. Deksripsi Data 1. Sejarah Hukum Waris Islam Pada zaman Arab jahiliyah (periode sebelum Islam), cara pembagian harta waris didasarkan pada nasab laki-laki, yaitu apabila seseorang meninggal dunia, maka harta waris akan diwarisi oleh anak sulung si mayit, atau saudaranya, atau pamannya. Tetapi harta waris tidak diberikan kepada wanita dan anak-anak, dengan alasan wanita dan anak-anak tidak bisa memelihara keamanan dan tidak bisa berperang. Jadi, bangsa Arab yang menganut sistem patrilineal, harta waris hanya diberikan kepada laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah dewasa dan mampu memanggul senjata (mampu berperang) dalam mempertahankan kehormatan keluarga, kabilah dan negara serta mampu mendapatkan harta rampasan perang. Hal ini terbukti dari sebuah hadis yang mengungkapkan kasus yang menimpa kedua putrid Sa’ad bin Rabi’, pada saat ayahnya meninggal dunia, paman mereka mengambil seluruh harta peninggalan ayah mereka (Sa’ad bin Rabi’). Ketika permasalahan tersebut sampai kepada Rasulullah saw. maka beliau memerintahkan pamannya tersebut untuk memberikan keponakannya dua pertiga, ibu mereka seperdepalan, dan sisanya untuk paman tersebut. Sebagaimana hadits dari Jabir bin Abdullah yang mengatakan :39 ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ِل اﻟﻠﱠﻪ ِ ﺳ ْﻌ ٍﺪ ِإﻟَﻰ َرﺳُﻮ َ ﻦ ْ ﻦ اﻟ ﱠﺮﺑِﻴ ِﻊ ﺑِﺎ ْﺑﻨَﺘَ ْﻴﻬَﺎ ِﻣ ِ ﺳ ْﻌ ِﺪ ْﺑ َ ت ا ْﻣ َﺮَأ ُة ْ ل ﺟَﺎ َء َ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﻗَﺎ َ ﻦ ِ ﻦ ﺟَﺎ ِﺑ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ﺧ َﺬ َ ﻋ ﱠﻤ ُﻬﻤَﺎ َأ َ ن ﺣ ٍﺪ ﺷَﻬِﻴﺪًا َوِإ ﱠ ُ ﻚ َی ْﻮ َم ُأ َ ﻞ أَﺑُﻮ ُهﻤَﺎ َﻣ َﻌ َ ﻦ اﻟ ﱠﺮﺑِﻴ ِﻊ ُﻗ ِﺘ ِ ﺳ ْﻌ ِﺪ ْﺑ َ ن ا ْﺑ َﻨﺘَﺎ ِ ل اﻟﻠﱠﻪِ هَﺎﺕَﺎ َ ﺖ یَﺎ َرﺳُﻮ ْ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎَﻟ َ َو ﺚ َ ث َﻓ َﺒ َﻌ ِ ﺖ ﺁ َی ُﺔ ا ْﻟﻤِﻴﺮَا ْ ﻚ َﻓ َﻨ َﺰَﻟ َ ل َی ْﻘﻀِﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ ﻓِﻲ َذِﻟ َ ل ﻗَﺎ ٌ ن ِإﱠﻟﺎ وَﻟَ ُﻬﻤَﺎ ﻣَﺎ ِ ع َﻟ ُﻬﻤَﺎ ﻣَﺎﻟًﺎ وَﻟَﺎ ُﺕ ْﻨ َﻜﺤَﺎ ْ ﻣَﺎَﻟ ُﻬﻤَﺎ َﻓَﻠ ْﻢ َی َﺪ ﻲ َ ﻦ َوﻣَﺎ َﺑ ِﻘ َ ﻂ ُأﻣﱠ ُﻬﻤَﺎ اﻟ ﱡﺜ ُﻤ ِﻋ ْ ﻦ َوَأ ِ ﺳ ْﻌ ٍﺪ اﻟ ﱡﺜُﻠ َﺜ ْﻴ َ ﻲ ْ ﻂ ا ْﺑ َﻨ َﺘ ِﻋ ْ ل َأ َ ﻋ ﱢﻤ ِﻬﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ِإﻟَﻰ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ َرﺳُﻮ 40 َ َﻓ ُﻬ َﻮ َﻟﻚ “Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata : Istri Sa’ad bin Rabi’ pernah datang kepada Rasulullah saw. bersama kedua putrinya (Sa’ad bin Robi’) kemudian berkata: ‘Ya Rasulullah, inilah kedua putri Sa’ad bin Robi’, ayahnya gugur sebagai syahid bersamamu dalam perag Uhud. Sesungguhnya pamannya telah mengambil hartanya tanpa meninggalkan sedikitpun harta untuk mereka berdua. Dan mereka tidak dapat dinikahkan kecuali mereka punya harta.’ Rasulullah saw bersabda: ‘Allah akan memutuskan permasalahan ini.’ Lalu turunlah ayat waris, maka Rasulullah saw mengirim seseorang menemui paman mereka (kedua putri Sa’ad bin Robi’) dan bersabda: ‘Berilah kedua putrid Sa’ad dua pertiga, berilah ibu mereka (istri sa’ad) seperdelapan dan sisanya untukmu (saudara laki-laki Sa’ad).” (H.R Tirmidzi, Ibnu Majah) Dan pada masa itu, harta waris juga diberikan atas dasar perjanjian persaudaraan (bersumpah setia), yaitu apabila salah seorang dari pihak yang mengikatkan diri tersebut meninggal dunia, maka pihak lain yang masih hidup mendapat bagian warisan meskipun tidak seluruhnya. Namun, yang berhak 39 Subchan Bashori, Al-Faraidh Cara Mudah Memahami Hukum Waris Islam, (Jakarta: Nusantara Publissher, 2009), h. 17 40 Al-Albani, Sunan Tirmidzi, Juz. 7, h. 437 mendapat waris atas dasar perjanjian kesetiaan tersebut tetap harus laki-laki. Pengangkatan anak juga menjadi sebab saling mewarisi. Akan tetapi syarat yang harus dipenuhi tetap harus laki-laki dan telah dewasa. Jadi orang-orang Arab jahiliyah menjadikan seluruh pembagian harta waris hanya kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Oleh karenanya Allah memerintahkan untuk berbagi sama dalam pembagian, dan telah menetapkan ahli waris dari pihak laki-laki maupun perempuan. 2. Sejarah Hukum Waris Adat Minangkabau Sejarah adat Minangkabau telah dijelaskan lama dalam Tambo Alam Minangkabau. Mengenai asal usul Tambo tu sendiri diperkirakan telah berawal sejak periode awal kedatangan Islam, atau bahkan lebih awal lagi, namun dari data tertulis yang ditemukan semuanya berasal dari abad ke-19, terutama setelah perang Paderi berakhir. Meskipun terdapat berbagai versi tambo, tetapi kesemuanya memperlihatkan sikap kesejarahan yang sama. Berikut ini adalah isi Tambo yang menjelaskan tentang pembagian harta waris adat Minang: 41 “Waris atau peninggalan jaitu suatu barang jang ditinggalkan oleh satu orang jang sudah mati, diterima oleh ahli warisnja, baik tentangan harta pusaka baikpun tentang gelar pusaka. Kebanyakan ada orang menamakan, setelah ia ada hubungan satu perkara lama dari satu orang atau mamaknja dan dikatakanja bahasa ia mendjawat waris. Sebetulnja itu bukan mendjawat waris, hanja itu mendjawat tutur atau kata, jang dimaksut benar tenangan waris didjawat ini, jaitu waris penghulu jang didjawat seperti gelar pusaka jang mendjawat warisini sako namanja atau turunan. Adapun turunan ini ada dua matjam, pertama patriachat atau turunan dari bapak kedua matriachat jaitu turunan dari pada ibu. Menurut adat Minangkabau jang dipakai adat matriachat, jaitu turunan daripada ibu jang mendjawat waris ialah kemenakan. Kalau seorang penghulu mati, ialah kemenakan mendjawat waris kebesarannja sifat dan martabat penghulu itu.” 41 Tambo Alam Minangkabau, h. 27 Kemudian dijelaskan lebih lanjut, bahwa setelah beberapa lama dunia berkembang, tiap-tiap negeri telah berpenghuni, timbul kata mufakat antara penghulu, mamak dan kemenakan. Mereka kemudian berjalan ke Sungai Solok yaitu yang bernama Batang Terandjur menuju ke rantau pesisir, dan rantau pesisir itulah yang dinamakan dengan Tiku Pariaman. Tidak beberapa lama anak perempuan (kemenakan) tadi memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Magek Djabang dan dialah yang memegang barang pusaka adat limbago Tiku Pariaman. Kemudian ketiganya (peghulu, mamak dan kemenakan) tersebut kembali pulang ke Padang Panjang dan nama mereka semakin terkenal. Pada saat itu, harta pusaka turun hanya kepada anak saja belum ada yang diturunkan kepada kemenakan. Setelah beberapa lamanya, mufakatlah orang yang bertiga itu di sebuah balai di Padang Panjang untuk membicarakan bahwa Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang akan belajar mulai dari Tiku Pariaman meunuju ke negeri Aceh. Setelah beberapa jauh belajar, di tengah laut perahu mereka terhalang oleh pasir pantai disebabkan karena air laut yang pasak tiba-tiba surut. Maka, berkatalah kedua Datuk tersebut kepada kemenakannya, mari kita menghela perahu ini bersama-sama. Akan tetapi anaknya tidak mau menolong, hanya kemenakannya saja yang mau menghela perahu tersebut. Setelah itu, berkatalah Cati Bilang Pandai: “Hai datuk-datuk sekalian dan datuk yang berdua ini meminta hamba sungguh-sungguh jangan diberikan juga pusaka itu kepada anak. Melainkan baiklah kita berikan kepada kemenakan saja semuanya.” Maka menjawab Datuk Katumanggungan: “Hai Cati Bilang Pandai apa sebabnya maka demikian?” Maka menjawab Cati Bilang Pandai: “Kita telah mencoba menyuruh sekalin anak-anak itu menghela (menarik) perahu yang terhalang pasir itu, tetapi sekalian mereka itu tidak mau menolong bapaknya yang sedang menarik perahu itu.” Oleh karena itulah, pusaka tersebut lebih baik diturunkan kepada kemenakan berupa sawah, ladang, emas dan perak karena kemenakanlah yang telah bersusah payah mau menolong. Itulah sebabnya pusaka mula-mula turun kepada kemenakan pada masa itu sampai sekarang tidak berubah-rubah. 3. Sejarah Islam di Minangkabau Menurut sejarah, Agama Hindu berpengaruh di Sumatera Barat dimasa Adityawarman. Raja Minangkabau pertama yang memeluk agama Islam adalah Sultan Alif pada abad ke 16. Agama Islam dibawa oleh pedagang-pedagang melalui pusat pantai dan kemudian menjalar ke darat. Masjid menjadi syarat untuk sahnya sebuah nagari. Pusat pendidikan dan perkembangan agama Islam di Ulakan (Pariaman) dibina oleh Syech Burhanuddin. Ajaran menafsirkan sesuatu dalam alam sebagai wujud dari Allah swt. Dengan cepat ajaran ini bersatu dengan unsur agama Hindu yang masih dianut oleh penduduk. Maka lahirlah peyembahan dan peran orang-orang atau benda keramat, sihir, tenung dan sebagainya. Antara agama Islam dan adat tidak dinyatakan ada pertentangan. Warisan yang menurut adat Minangkabau diturunkan menurut garis ibu tidak dinyatakan berlawanan dengan agama walaupun dalam hukum faraidh dinyatakan berlawanan dengan agama. Pemerintahan berada di tangan penghulu sedangkan urusan pengajian dipegang oleh alim ulama. Keseimbangan ini berubah dengan masuknya paham Wahabi yang menghendaki pemurnian ajaran dan ibadah agama Islam sesuai dengan mazhab Hambali. Gerakan pembersihan dan pemurnian dipelajari oleh M. Sumanik, H. Piobang dan H. Miskin yang baru kembali dari Mekkah pada tahun 1803-1820 dan disebut dengan Perang Paderi. Gerakan-gerakan ini dijalankan dengan teror dan kekerasan berubah menjadi kekuatan politik yang berhadapan dengan kaum penghulu sebagai pemegang kekuasaan lama. Kaum Paderi berhasil menanamkan kekuasaannya. Terjadilah suatu asimilasi yang erat antara ajaran Islam dan adat sebagai pola bertingkah laku dan bertindak. Kalau dahulu persenyawaan adat dan agama Islam diungkapkan dengan pernyataan “adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi adat”, maka sekarang kita kenal pernyataan “adat bersendi syara’ syara’ bersendi kitabullah”. Kedudukan agama berada di atas kedudukan adat sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan, agama berperan dalam mengatakan dan adat berperan dalam memakai yang berarti bahwa adat adalah pelaksanaan ajaranajaran agama. Dalam hal dan situasi ini maka sangat dibedakan antara adat jahiliyah dan adat Islamiah. Adat jahiliah adalah adat yang tidak bersumber pada AlQur’an dan Hadis, sedangkan adat Islamiah adalah pola yang mendasari cara bertingkah laku dan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk agama yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis. Sejarah Islam dalam adat Minangkabau tentu saja tidak lepas dari adanya perang Paderi. Namun, dilihat dari rangkaian historis, perang Paderi bukanlah merupakan gerakan pembaharuan Islam pertama di Minangkabau. Setidak-tidaknya telah ada upaya ke arah itu, seperti yang telah dilakukan Tuanku Nan Tuo. Ia menganjurkan agar semua perintah Al-Qur’an diamalkan. Untuk itu, ia merasa perlu mengadakan perubahan. Perubahan pertama yang dilakukannya adalah perbaikan terhadap surau-surau yang selama itu tenggelam dalam tradisi tarekat. Surau-surau tersebut diorientasikan ke arah syari’at (Fiqh Oriental). Ia menetapkan bahwa fiqh merupakan kajian utama di suraunya. Murid-murid tidak hanya dibekali ilmu agama, juga berbagai keterampilan lain sebagai bekal hidup mereka di masa depan. Selain itu, ia juga melakukan perbaikan moral masyarakat dan meluruskan ajaran yang telah diselewengkan. Usaha itu, tentunya dilakukan dengan cara-cara persuasif, lemah lembut, tanpa kekerasan, agar tidak menimbulkan konflik diantara masyarakat dengan ulama. Banyak kasus yang diselesaikan dengan baik, misalnya, soal harta pusaka dan harta warisan yang selama itu menjadi perdebatan diantara tetua adat dan masyarakat. Tuanku Nan Tuo mengembalikan semua persoalan tersebut dengan pendekatan fiqh. Untuk itu ia membagi harta pusaka menjadi dua macam; harta pusaka dan harta pencarian. Harta pusaka diwariskan berdasarkan hukum adat, sedangkan harta pencarian diwariskan kepada anak, walaupun tidak sepenuhnya menurut faraidh (hukum pembagian menurut Islam). Tapi ia menganjurkan agar masyarakat berpegang pada hukum Islam dalam penyelesaian setiap masalah yang terjadi di masyarakat. Langkahnya ternyata banyak membawa perubahan dan diikuti oleh murid-muridnya.42 Di seluruh Minangkabau, buku pedoman yang terkenal untuk kajian syariat adalah sama, yaitu Minhaj al-talibin (Pedoman bagi Murid-murid yang Percaya). Oleh orang-orang Minangkabau, buku pedoman ini disebut secara sederhana sebagai “Kitab Fiqh”. Semua buku fiqh Islam yang terkenal sangat mirip. Mula-mula dibahas lima rukun Islam; pengakuan iman, doa, puasa, naik haji dan amal, yang biasa dicakup dalam ibadat atau hukum mengenai perilaku manusia terhadap Allah. Yang ingin maju lebih lanjut bisa mempelajari juga aspek-aspek hukum Islam mengenai hubungan manusia, seperti hukum warisan, hukum perkawinan dan seterusnya.43 B. Analisis Data 1. Perbandingan Sistem Hukum Waris Adat dengan Hukum Waris Islam 1) Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan dalam Hak Waris Islam Sebenarnya Al-Qur’an atau Islam menganut sistem bilateral44, tetapi tidak seperti yang dipahami atau diterapkan oleh sekelompok masyarakat atau golongan yang berpendapat bahwa pembagian harta waris harus sama antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an melebihkan laki-laki memperoleh dua kali bagian perempuan, mengingat laki-aki menanggung biaya nafkah, tanggungan, beban usaha, serta menanggung segala permasalahan. 42 Xv 43 Murodi, Melacak Asal Usul Perang Paderi Di Sumatera Barat, (Jakarta: Logos, 1999), h. Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau 1784-1847, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 195 44 Bilateral adalah bentuk kekerabatan yang menarik garis nasab melalui jalur ayah dan ibu atau laki-laki dan perempuan. È⎦÷⎫u‹sVΡW{$# Åeáym ã≅÷VÏΒ Ìx.©%#Ï9 ( öΝà2ω≈s9÷ρr& þ’Îû ª!$# ÞΟä3ŠÏ¹θム“Allah mensyari’atkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anakanakmu, yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (An-Nisa’: 11) Begitu pula jelas dinyatakan dalam Hadis Nabi Muhammad saw. adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.: ﻲ َﻓ ُﻬ َﻮ ِﻟَﺄ ْوﻟَﻰ َ ﺾ ﺑِﺄَ ْهﻠِﻬَﺎ َﻓﻤَﺎ َﺑ ِﻘ َ ﺤﻘُﻮا ا ْﻟ َﻔﺮَا ِﺋ ِ ل َأ ْﻟ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ْﻋ َ ﻋ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ َ ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﺽ ِ س َر ٍ ﻋﺒﱠﺎ َ ﻞ َذ َآ ٍﺮ ٍﺟ ُ َر “Nabi Muhammad Saw. bersabda: ‘Berikanlah harta pusaka kepada orang yang berhak. Sisanya untuk (orang) laki-laki yang lebih utama.’” Hadist tersebut mengatur tentang peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris, setelah itu jika terdapat sisa, maka porsi laki-laki lebih besar dari porsi perempuan. Hal ini tentu saja didasarkan dengan alasan bahwasanya laki-laki pada zaman sejarah memang lebih kuat untuk berperang daripada wanita. Begitu pun pada zaman sekarang, laki-laki berhak mendapat porsi harta warisan yang lebih besar dikarenakan laki-laki memiliki tanggung jawab yang besar terutama jika laki-laki telah memiliki rumah tangga, ia memiliki tanggung jawab yang besar terhadap anak-anak dan istrinya. 2) Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan dalam Hak Waris Adat Minangkabau Masyarakat Minangkabau merupakan bagian suku bangsa Indonesia yang dalam pola kekerabatan menganut sisem matrilineal. Sistem matrilineal berdasarkan kepada ikatan garis keturunan melalui garis ibu. merujuk kepada garis keturunan ibu tersebut, saudara perempuan ditempatkan sebagai penerus garis keturunan kesukuan, dalam hal ini termasuk penerus atau penerima dari berbagai bentuk warisan material maupun yang berisifat adat istiadat. Di sisi lain, kaum laki-laki ditempatkan sebagai pengelola dan penjaga harta warisan material yang disebut “Pusako”. 45 Sesuai dengan garis keturunan yang matrilineal, dapat juga kita harapkan hal sama dengan itu dalam hubungan yang lain. Harta pusaka juga diturunkan melalui garis ibu dan yang berhak menerimanya adalah anggota perempuan dari sebuah keluarga. Anggota laki-laki dari sebuah keluarga matrilineal sebenarnya tidak berhak terhadap harta pusaka, mereka hanya mempunyai kewajiban untuk menjaga harta itu, sehingga harta itu tidak menjadi hilang dan benar-benar memberikan kegunaan bagi kaum kerabatnya.46 Memberikan harta kepada anak perempuan biasanya dilatarbelakangi oleh alasan pribadi orang tua yakni rasa kasih sayang yang berlebihan kepada anak perempuan. Di samping itu, juga karena alasan yang bersifat fisik dimana anak perempuan memiliki fisik yang lebih lemah dibandingkan dengan anak laki-laki. Oleh kelemahan fisik yang dimiliki anak perempuan tersebut, maka anak perempuan harus didukung dengan harta pusaka. Berbeda halnya dengan anak laki-laki, dengan kondisi fisiknya yang lebih kuat ia dapat berusaha hidup mandiri dan mencari sumber harta lain tanpa harus mengharapkan harta pusaka dari orang tuanya. Alasan lainnya adalah anak laki-laki di Minangkabau setelah menikah akan pergi ke rumah isterinya atau menjadi sumando di rumah isterinya. Itulah sebabnya maka anak laki-laki tidak perlu diberikan harta waris oleh orang tuanya. Pemberian harta pusaka rendah kepada anak perempuan lebih banyak dibandingkan dengan anak laki-laki di samping alasan-alasan yang dikemukakan di atas juga disebabkan oleh sistem perkawinan Minangkabau yang matrilokal. Oleh sebab itu, apabila seorang saudara laki-laki dari seorang perempuan mengalami perselisihan atau sebab lain sehingga mengakibatkan perceraian dengan isterinya di rumah tangga maka saudara laki-laki itu akan 45 Indra Yuda, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Maret 2009,Vol. 15 No.2, (Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, hal), h. 387 46 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,( Jakarta: Penerbit Djambatan, 1982), h. 253 kembali ke rumah keluarga asalnya yaitu ke rumah saudara perempuannya. Dengan kembalinya saudara laki-laki tersebut ke keluarga asal maka tanggung jawab terhadapnya merupakan kewajiban saudara perempuannya. 2. Perbandingan Kasus Pewarisan 1) Kasus Pewarisan Islam Jika yang meninggal Istri dan ahli warisnya adalah: Suami Dua anak laki-laki Satu orang anak perempuan Seorang mayit meninggalkan ahli waris terdiri dari seorang suami, dua orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Harta waris yang ada merupakan harta bersama yang totalnya Rp. 100.000.000. Biaya yang dikeluarkan untuk perawatan jenazah seluruhnya berjumlah Rp. 10.000.000, wasiat tidak ada, hutang juga tidak ada. Pertanyaan: Siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian tiap-tiap ahli waris tersebut ? Penyelesaian: a) Menghitung harta peninggalan mayit Antara suami dan istri adalah saling mewarisi, tergantung siapa yang terlebih dahulu meninggal dunia. Apabila salah seorang dari suami istri meninggal dunia, maka sebelum harta waris dibagikan perlu dipisahkan antara hak milik suami dan harta milik istri. Apabila harta diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, maka menurut KHI disebut harta bersama. Bagi janda atau duda yang ditinggal mati, berhak mendapat separuhnya di luar hak warisnya sepanjang tidak ada ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Jadi, jumlah harta peninggalan mayit adalah : = ½ x Rp. 100.000.000 = Rp. 50.000.000 b) Menghitung harta waris yang dapat dibagikan Harta waris yang dapat dibagikan kepada ahli waris adalah harta peninggalan mayit setelah dikurangi untuk membayar perawatan jenazah, wasiat dan hutang tidak ada. = Rp. 50.000.000 – Rp. 10.000.000 = Rp. 40.000.000 c) Menentukan ahli waris yang berhak Karena ada anak laki-laki, maka saudara terhalang (terhijab) mendapat waris. Sehingga yang berhak mendapat waris adalah: - Suami - Dua anak laki-laki - Satu orang anak perempuan Dalam hal ini, suami termasuk ke dalam Dzawil Furudh (ahli waris yang tertentu) yakni mendapat ¼ bagian warisnya. Oleh karena itu, suami didahulukan pembagiannya dan sisanya dibagikan kepada anak laki-laki dan anak perempuan. Hasilnya adalah sebagai berikut ini: Jumlah harta Suami = 1 x 40.000.000 4 = 40.000.000 = 10.000.000 30.000.000 - anak laki-laki 1 = 2 bagian - anak laki-laki 2 = 2 bagian - anak perempuan = 1 bagian ( ½ laki-laki) - Total bagian = - Maka, anak laki-laki 1 = 2 x 30.000.000 5 = 12.000.000 anak laki-laki 2 = 2 x 30.000.000 5 = 12.000.000 anak perempuan = 1 x 30.000.000 5 = 6.000.000 Bagian suami, disamping mendapat waris sebesar Rp. 10.000.000, ditambah juga dengan harta miliknya yang telah dipisahkan dari harta bersama sebesar Rp. 50.000.000 sehingga total hartanya Rp. 60.000.000. Tabel 4.1 Pewarisan Menurut Hukum Islam Dengan Sistem Bilateral (Studi Kasus Jika Istri yang Meninggal) Keterangan : = istri (ibu) = suami (ayah) = anak perempuan = anak laki-laki = harta diwariskan ke 2) Kasus Pewarisan Adat Minangkabau Jika yang meninggal Istri dan ahli warisnya adalah: 1) Suami 2) Dua anak laki-laki 3) Satu orang anak perempuan Pertanyaan: Seorang mayit meninggalkan ahli waris terdiri dari seorang suami, dua orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Harta waris yang ada merupakan harta bersama yang totalnya Rp. 100.000.000. Siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian tiap-tiap ahli waris tersebut ? Penyelesaian: 1) Suami Suami tidak mendapat hak waris, karena suami bukan merupakan keturunan satu suku seibu (matrilineal). 2) Satu orang anak perempuan Satu orang anak perempuan mendapat hak waris penuh dari ibunya karena merupakan keturunan satu suku seibu (matrilineal). 3) Dua anak laki-laki - Kedua anak laki-laki tidak mendapat hak waris, tetapi berkewajiban menjadi pengawas harta saudara perempuannya. - Apabila saudara perempuannya telah mempunyai anak (kemenakan), maka laki-laki tersebut menjadi mamak dari kemenakan tersebut dan wajib bertanggung jawab terhadap pewarisan harta dari saudara perempuan si laki-laki yang diwariskan kepada kemenakannya yang perempuan (anak saudara perempuannya) sehingga terjadi pewarisan menurut garis sesuku (menurut garis keturunan ibu). Tabel 4.2 Pewarisan Menurut Hukum Adat Minangkabau Dengan Sistem Matrilineal (Studi Kasus Jika Istri yang Meninggal) Keterangan : = istri (ibu/ nenek) = harta diwariskan ke = suami (ayah/ kakek) = harta diawasi = anak perempuan = tidak ada hak waris = anak laki-laki (mamak) = anak (cucu/ kemenakan perempuan) = anak (cucu/ kemenakan laki-laki) Tabel 4.3 Perbandingan Sistem Hukum Waris Islam dengan Hukum Waris Adat Minangkabau No. Segi Perbandingan Islam Adat 1. Sistem pewarisan Bilateral Matrilineal 2. Dasar hukum waris Al-Qur’an Hadist Tambo 3. Kedudukan laki-laki dan Laki-laki mendapat dua Laki-laki hanya perempuan dalam harta kali perempuan menjaga harta waris, perempuan waris mendapat hak milik penuh 4. Alasan pemilihan ahli Laki-laki sebagai kepala Perempuan lemah waris rumah tangga yang akan dan harus menjaga bertanggung jawab kelestarian anak cucu yang sekaum/ segaris keturunan ibu. Dari tabel di atas jelas bahwa ada empat segi perbandingan hukum waris Islam dan hukum waris adat Minangkabau, yakni hukum waris Islam dengan sistem bilateral dimana harta waris diberikan kepada laki-laki dan perempuan dengan landasan hukum Al-Qur’an hadist yang mutawattir tidak diragukan lagi kebenarannya. Berbeda dengan sistem hukum waris adat Minangkabau yang menggunakan sistem matrilineal dimana harta waris hanya diberikan kepada anak perempuan saja dengan landasan hukum yang tertulis dalam Tambo yang turun temurun dari nenek moyang orang Minangkabau. 3. Pandangan Islam Terhadap Sistem Pewarisan Adat Minangkabau Pada awal masuknya Islam ke Minangkabau sendiri, telah tampak adanya perbandingan adat budaya Minang dengan budaya Islam. Hal ini tampak dari pendapat beberapa tokoh Minang yang belajar ke luar negeri mempelajari Islam, kemudian menerapkan ilmu agama Islam yang mereka kuasai, termasuk di dalamnya tentang ilmu fiqh. Ahmad Khatib sebagai salah satu anak nagari Minangkabau yang kini terkenal sebagai tokoh Islam, menganjurkan agar menyingkir dari kampung halaman pergi ke negeri lain. Ia berkata: “Janganlah bertolak-tolak kamu pada melakukan syariat nabi kita, tetapi kamu pada masalah yang tiada mudarat kepada kamu berbantah-bantah kamu dan berkelahi kamu pada masalah pusaka ini yang tiada ia mufakat dengan hawa kamu, tiada suka kamu melakukannya dan kamu jawab dengan tiada akan mungkin tiada melepaskan ia akan kamu dari Allah ta’ala. Dan jika betul kamu orang alim yang sebenarnya takut dari pada Allah ta’ala, karna apakah tiada kamu larikan agama kamu kepada negeri yang lain, jika tiada mungkin melakukan akan dia pada negeri kamu. Adakah tiada percaya kamu dengan Allah ta’ala pada janjinya dan adakah takut akan diputuskan oleh Allah ta’ala akan rezki kamu jika berpindah kamu dari negeri kamu kepada negeri yang lain karena melarikan agama kamu.” 47 Seruan ini disampaikannya setelah ia sendiri melaksanakannya. Dia berangkat ke Mekkah pada tahun 1876, tidak pernah kembali ke Minangkabau dan meninggal di tanah suci pada tahun 1916. Seruan Ahamd Khatib tersebut mengandung ajakan kepada masyarakat Minangkabau agar dapat melaksanakan syariat nabi Muhammad saw. dengan benar dan tidak melaksanakan pembagian harta waris yang bertentangan dengan ajaran agama Islam sebab seharusnya manusia yang alim akan takut pada hukuman yang diberikan oleh Allah swt. Ahmad Khatib juga mengarang sebuah kitab yang “Ad Doi' al Masmu' fil Raddi 'ala Tawarisi al 'ikwati wa Awadi al Akawati ma'a Wujud al usuli wa al Furu'I”, yang artinya : “Dakwah yang didengar Tentang Penolakan Atas Pewarisan Pewarisan Saudara dan anak Saudara Disamping Ada Orang Tua dan Anak. Kitab itu di Tulis di Mekah pada akhir abat ke XIX.48 47 Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1990), h. 168 48 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: IAIN Fakultas Syariah, 1984), h. 275 Meskipun demikian, Ahmad Khatib berbeda pendapat dengan murid beliau seperti Syekh Dr.H.Abd.Karim Amrullah. Murid beliau Syekh Rasul (H.Abdul Karim Amrullah) seorang ulama yang belakangan ini melihat harta pusaka dalam bentuk yang sudah terpisah dari harta pencarian. Beliau berpendapat bahwa harta pusaka itu sama keadaannya dengan harta wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlakukan oleh Umar ibn Khattab atas harta yang didapatnya di Khaybar yang telah dibekukan tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan harta pusaka dengan harta wakaf tersebut walaupun ada, akan tetapi masih ada perbedaannya, adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat diwariskan. Karena tidak dapat diwariskan, maka terindarlah harta tersebut dari kelompok hata yang harus diwarisklan menurut hukum faraidh, artinya, hukum faraidh tidak berlaku dalam pewarisan harta tersebut. Pendapat beliau ini diikuti oleh ulama lain di antaranya Syekh Sulaiman ar Rasuli. Ahmad Khatib terkenal karena usaha-usahanya yang tak mengenal lelah untuk memberantas hukum warisan berdasarkan sistem kuasa ibu (matriakat). Jalan pikiran Ahmad Khatib terhadap adat, diterima juga oleh Abdullah Ahmad. Hanya saja Abdullah Ahmad memperlunak pandangan Ahmad Khatib. Adat Minangkabau menurut Ahmad Khatib adalah adat jahiliah, hukum warisnya menyalahi hukum waris Islam. Warisan harus dibagi berdasarkan berdasarkan hukum faraidh, baik warisan yang termasuk harato pusako, ataupun warisan yang berwujud harato pencaharian. Kaum Padri pun sudah menentang organisasi masyarakat berdasarkan matriakat. Kaum pembaharuan dari awal abad ke-19 ini juga tidak menyukai “adat pusaka” yang sama sekali bertentangan dengan sistem hukum keluarga Islam. Oleh karena itu, Ahmad Khatib pun melanjutkan lagi perjuangan Padri di bidang ini, yaitu perlawanan terhadap hukum warisan berdasarkan matriakat. Ahmad Khatib menjelaskan bahwa barangsiapa masih mematuhi lembaga-lembaga kafir, maka hal itu berasal dari syaitan. Yang tidak dapat dibiarkan disamping hukum Tuhan adalah seorang kafir dan ia akan masuk neraka.49 Kemudian ada lagi salah seorang tokoh, yakni Syaikh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo yang pernah mengajarkan ilmu fiqh di Minangkabau. Beliau mengatakan: “Maka dalam masa itu juga adalah saya, Fqih Saghir, berhimupun dengan Tuanku Nan Renceh dalam mesjid Kota Hampalu di negeri Candung Kota Lawas jua adanya. Telah saya duduk bersenang menghafadkan ilmu fiqh. Itu pun saya telah dimasyhurkan orang pandai memahamkan ilmu fiqh pada masa saya muda umur sekali-kali. Maka sebab itu banyaklah orang berhimpun-himpun kepada tempat-tempat itu, mengambil ilmu, menghafadhkan kitab fiqh itu, karena ilmu yang terlebih dikasihi pada masa itu adalah ilmu fiqh. Maka sebab beberapa kalimat tammat saya mengajarkan ilmu fiqh itu, mengertilah saya apa-apa perkataan yang thabit dalam kitab itu, yakni ialah meyucikan segala anggota dari pada najis dan lata dan memandikan sekalian badan dari pada segala hadath dan wajib atas Islam mendirikan rukun yang lima itu, yaitu mengikrarkan kalimat yang dua patah serta mentashdiqkan dia dan mendirikan sembahyang yang lima pada segala waktunya dan mendatangkan zakat kepada segala fakir miskin dan miskin dan pada puasa pada bulan Ramadhan dan naik haji atas kuasa dan menyatakan berjual dan membeli dan yang harus dijual dan dibeli dan menyatakan sendiri dan bersyarikat dan menyatakan sekalian akadnya sahnya dan batalnya dan menyatakan membahagiakan area kepada segala warisnya dan menyatakan nikah dan iddah serta segala aqadnya dan wajib nakah atas segala karib dan menyatakan segala hukum sahnya dan batalnya dan menghukum antara segala manusia dengan adil dan menyuruh mereka itu dengan berbuat baik dan menengah daripada berbuat jahat. Inilah setengah kenyataan perkataan yang thabit dalam ilmu fiqh adanya.” 50 Dalam rentetan hikayat ini, ternyata pengajaran fiqh yang diberikan oleh Jalaluddin tidak terbatas kepada persoalan ibadah saja, tetapi termasuk juga muamalah dan nikah. Dari banyaknya paparan sejarah di atas jelas bahwa dari semenjak Islam masuk ke Minangkabau, Islam telah mengajarkan tentang hukum mawaris kepada masyarakat Minangkabau lewat para tokoh Islam anak nagari. 49 B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama Di Sumatera Barat, (Jakarta: Bhratara, 1973), h. 35 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), h. 39 50 Masyarakat Minangkabau menurut adatnya melaksanakan hukum waris terhadap kemenakan, sedangkan agama yang dipeluk oleh masyarakat memiliki pula hukum waris melalui anak pada umum yaitu faraidh. Akan tetapi dalam hukum waris kemenakan di Minangkabau tidak terdapat gezin dalam satu kesatuan unit yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak, melainkan hanya dikenal kaum yaitu kesatuan unit yang lebih besar dari gezin. Di daerah Minangkabau pada umumnya sebagian besar masyarakat masih berkaum, berkeluarga, berkampung dan bersuku. Sedangkan gezin famili itu relatif sedikit sebab meskipun ada gezin, si ayah tetap menjadi anggota kaumnya. Demikian pula si ibu masih tetap menjadi anggota keluarganya, sehingga dalam masyarakat Minangkabau kita tidak dapat menemukan anak yatim atau juga orang jompo yang tidak punya usaha atau pencaharian sebab sistem kekeluargaan itulah yang membentuk demikian.51 KH. Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya yang berjudul Hukum Waris Islam hal 145 mengatakan bahwa hukum kewarisan adat tidak terikat pada ajaran agama tertentu, oleh karenanya masalah agama dalam hukum pewarisan adat tidak menjadi perhatian, tetapi apakah benar demikian adanya di dalam hukum kewarisan adat Minangkabau, karena orang Minang tidak mengakui anggota kerabatnya yang beragama di luar Islam, sehingga hal-hal yang melekat pada statusnya tersebut dicabut misalnya dalam hal ini tidak berhak untuk mendapat harta warisan.52 Kedudukan dan fungsi harta pusaka adalah ibarat tiang agung Minangkabau yang harus dilestraikan sehingga tidak boleh dijual ataupun digadai. Sehingga dalam pewarisan harta pusaka tinggi masih berlaku hukum adat yang berarti harta diwariskan kepada kemenakan kalau pewarisnya adalah ayah/ mamak tapi apabila pewarisnya adalah ibu/ perempuan maka ahli warisnya adalah anak-anaknya. Ketentuan kewarisan Islam tidak bisa dijalankan dalam pewarisan harta pusaka tinggi mengingat tidak ditemuinya unsur-unsur pewarisan Islam 51 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 52 52 KH. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal. 145 di sana, tapi proses tersebut tidak menyalahi dalam hukum Islam karena ada yang menyamakan harta pusaka tinggi dengan harta wakaf. Sedangkan harta pusaka rendah diperuntukkan untuk menghidupi keluarga yang lebih kecil yaitu anak dan isteri, sehingga ahli waris dalam harta tersebut adalah anakanaknya. Dalam pembagian harta pusaka rendah ini adalah pengaruh dari hukum waris Islam. Dengan demikian, hukum waris Islam tidak dijalankan secara murni karena ada penyimpangan-penyimpangan terutama dalam proses pembagian hak masing-masing ahli waris, ada yang membaginya sesuai dengan hukum waris Islam, ada yang menyamaratakan pembagiannya sesama ahli waris dan ada yang penyelesaiannya dengan jalan musyawarah. Dasar filosofis adat Minangkabau adalah "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah", tetapi dalam aplikasinya terutama dalam kewarisan belum berjalan secara murni, di antara faktor penyebabnya adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap hukum waris Islam serta masih adanya pengaruh hukum adat dalam menyelesaikan kewarisan. Titik taut antara hukum waris Islam dengan hukum adat terletak pada berjalannya asas bilateral dan individual. Walaupun demikian, hal tersebut belum berjalan secara murni sedangkan perbedaannya adalah adanya penyimpangan yang dilakukan sebagian masyarakat dalam pembagian hak masing-masing. Dalam pewarisan harta pusaka menurut lahirnya ahli waris yang kelihatan adalah pihak kemenakan, sedangkan anak-anak bukanlah ahli waris. Hukum Islam menetapkan anak-anak sebagai ahli waris yang berhak, sedangkan kemenakan kalaupun ada, berada dalam urutan belakang sekali. Oleh karena itu, kalau ada hanya melihat lahirnya secara sepintas lalu dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pewarisan harta pusaka adat Minangkabau, menyalahi hukum Islam.53 Allah telah menyatakan secara tegas, agar manusia selalu mematuhi aturan yang sudah ditentukan oleh Allah swt., termasuk dalam hal pembagian harta waris yang harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur oleh Al 53 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: IAIN Fakultas Syariah, 1984), h. 549 faraidh atau hukum faraidh. Sesungguhnya apa yang telah disyariatkan oleh Allah swt. untuk manusia, itulah sebenarnya yang paling baik dan paling adil bagi manusia. Barang siapa menaati hukum faraidh, yaitu membagi harta waris sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya, maka Allah swt. akan memberikan balasan berupa surga Allah swt. dan itulah sukses yang hakiki sebagaimana firman Allah swt. dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 13: ã≈yγ÷ΡF{$# $yγÏFóss? ⎯ÏΒ ”Ìôfs? ;M≈¨Ζy_ ã&ù#Åzô‰ãƒ …ã&s!θß™u‘uρ ©!$# ÆìÏÜム∅tΒuρ 4 «!$# ߊρ߉ãm šù=Ï? ∩⊇⊂∪ ÞΟŠÏàyèø9$# ã—öθxø9$# šÏ9≡sŒuρ 4 $yγŠÏù š⎥⎪Ï$Î#≈yz “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.” Sebaliknya bagi yang melanggar hukum faraidh, yakni yang menyimpang dari ketentuan Allah swt. dan Rasul-Nya dalam membagi harta waris, maka Allah swt. tidak segan-segan memasukkannya ke dalam neraka, sebagaimana firman Allah swt. dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 14: Ñ⎥⎫Îγ•Β ÑU#x‹tã …ã&s!uρ $yγ‹Ïù #V$Î#≈yz #·‘$tΡ ã&ù#Åzô‰ãƒ …çνyŠρ߉ãn £‰yètGtƒuρ …ã&s!θß™u‘uρ ©!$# ÄÈ÷ètƒ ∅tΒuρ ∩⊇⊆∪ “Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” Maka orang yang tidak menggunakan hukum faraidh dalam melakukan pembagian harta waris, sama halnya dengan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dari penelitian, kajian teori dan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Implementasi hukum waris Islam dalam hukum waris adat Minangkabau tidak terlaksana pada pembagian harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. 2. Implementasi hukum waris Islam dalam hukum waris adat Minangkabau hanya terlaksana pada pembagian harta pencaharian dan harta suarang yang dibawa suami istri dalam pernikahan. Akan tetapi, pelaksanaan pewarisan kedua harta tersebut tidak dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan hukum waris Islam yang benar. 3. Tidak terdapat keseimbangan antara agama dan adat dalam sistem pembagian harta waris adat Minangkabau, karena hukum waris Islam dengan hukum waris adat Minangkabau sangat berbeda. Hukum waris Islam dilaksanakan dengan sistem bilateral dimana harta waris diberikan kepada laki-laki dan perempuan dengan landasan hukum Al-Qur’an hadist yang mutawattir tidak diragukan lagi kebenarannya, sedangkan hukum waris adat Minangkabau menggunakan sistem matrilineal dimana harta waris hanya diberikan kepada anak perempuan saja dengan landasan hukum yang tertulis dalam Tambo yang turun temurun dari nenek moyang orang Minangkabau 4. Kesadaran masyarakat Minangkabau untuk menyeimbangkan hukum waris adat dengan hukum waris Islam belum tampak adanya disebabkan pola fikir masyarakat yang masih berpegang teguh kepada adat Minangkabau yang mengajarkan pewarisan harta semestinya diberikan kepada pihak wanita sebagai kaum yang lemah sehingga anak-anak dari wanita tersebut tidak terlantar dan kelestarian kaum yang sesuku tetap bisa terjaga. B. Saran 1. Diharapkan adat Minangkabau yang berlandaskan “adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah” bukan hanya menjadi semboyan semata, tetapi dapat terbukti dalam pelaksanaannya, yakni adat benar-benar kembali pada kitabullah (Al-Qur’an dan Hadis) ajaran agama Islam. 2. Diharapkan kepada para generasi penerus adat Minagkabau agar mengerti tentang adat Minangkabau sehingga tetap bisa melestarikan adat Minangkabau berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis. DAFTAR PUSTAKA Albani, Al. Sunan Tirmidzi. Juz 7. Arikunto, Suharismi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. 2006 Atsari, Al- Abu Zakariya. Penuntun Ringkas Ilmu Faraidh/ Warisan. Bekasi: Pustaka Daar El-Salam. 2008 Azra, Azyumardi. et.al.,Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2002 Azrial, Yulfian. Budaya Alam Minangkabau. Padang: Angkasa Raya. 2008 Baihaqi, Al. Sunan Al-Baihaqi al-Kubra. Juz 3. Bashori, Subchan. Al-Faraidh Cara Mudah Memahami Hukum Waris Islam. Jakarta: Nusantara Publisher. 2009 Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press. 2001 Daya, Burhanuddin. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1990 Djakfar,Idris dan Taufik Yahya. Kompilasi Hukum Kewarisan. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1995 Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau 1784-1847. Depok: Komunitas Bambu, 2008 Hadikisuma, Hilman. Ensiklopedia Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia. Bandung: Alumni. 1984 Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1985 Hariwijaya, M. dan Bisri M. Djaelani, Tekhnik Menulis Skripsi dan Thesis. Jogjakarta: Zenith Publisher. 2004 Jurnal Adat dan Budaya Minangkabau Edisi Kedua/ Vol.2/ Maret-Mei/ Jakarta: 2004 Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. 1982 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir. Hukum Waris. Jakarta: Senayan Abadi Puslishing. 2004 Mansoer, MD, Amrin Imran, dkk. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara. 1970 M.S, Amir. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. 2006 Murodi. Melacak Asal Usul Perang Paderi Di Sumatera Barat. Jakarta: Logos. 1999 Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru Adat Dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers. 1986 Rais, Za’im. The Minangkabau Traditionalist Response To The Modernist Movement. Canada: Institute of Islamic Studies McGill University. 1994 Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo. 1994 Salman, Otje dan Mustofa Haffas. Hukum Waris Islam. Bandung: PT. Refika Aditama. 2006 Sanggoeno, Dt. Diradjo Ibrahim. Tambo Alam Minangkabau Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2009 Sarmadi, A. Sukris. Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997 Schrieke, B.J.O. Pergolakan Agama Di Sumatera Barat. Jakarta: Bhratara, 1973 Shihab, M. Quraish .Tafsir al-Misbah : pesan , kesan, dan keserasian al-Quran, Jakarta : Lentera Hati. 2002. Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984 Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2004 Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW. Bandung: PT. Refika Aditama. 2007 Syarifuddin, Amir Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: IAIN Fakultas Syariah. 1984 Tambo Alam Minangkabau Yuda, Indra. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Maret 2009,Vol. 15 No.2. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional LAMPIRAN 1 KONSEP WAWANCARA DENGAN PENGURUS KERAPATAN ADAT NAGARI (KAN) (UNTUK STUDI HUKUM WARIS ADAT MINANGKABAU) Pengantar Assalamu’alaikum wr. wb Sebelumnya saya mendoakan Bapak berada dalam keadaan sehat walafiat dan selalu dalam lindungan Allah swt. sehingga Bapak dapat bermurah hati untuk memberikan informasi kepada saya dengan sukarela dan penuh kejujuran. Daftar pertanyaan ini saya susun semata-mata untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan guna menyelesaikan skripsi dan pendidikan yang saya ikuti di jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan demikian, data dan informasi yang Bapak berikan tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari. Atas kemurahan hati Bapak saya ucapkan terima kasih. Identitas Responden Nama : Jamaan Rajo Alam Umur : 56 tahun Suku : Malinmansiang Jabatan : Manti (Pengurus Sidang Harta Waris) di KAN Koto Tangah Alamat : Jl. Pertanian No.27 Rt.03 Rw.05 Kelurahan Lubuk Minturun Kecamatan Koto Tangah Padang 1. Bagaimana pelaksanaan sistem hukum waris dalam adat Minangkabau? Jawab: Semua suku di Minangkabau memiliki sistem pembagian harta waris menurut garis keturunan ibu, baik secara lisan maupun tulisan seperti yang tercantum dalam Tambo, yaitu “Taluak paku kacang balimbiang Timpuruang tolong lenggang-lenggangan Ndak taruih ka saruaso Anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku kemenakan dibimbing) Rang kampuang dipatenggangan (orang kampung ditenggang) Jago nagari jan ka binaso (jagalah negeri ini jangan sampai binasa)” 2. Ada berapa macam harta waris dalam adat Minangkabau ? Jawab: Pembagian harta menurut adat Minangkabau ada empat macam, yaitu harta pusaka tinggi, harta pusaka rendah, harta pencaharian dan harta suarang. 3. Bagaimana penjelasan dan bentuk masing-masing harta warisan tersebut? Jawab: Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwariskan dari nenek kepada mande (ibu) dan dari ibu turun kepada saudara perempuaan kita. Artinya, harta pusaka tinggi adalah harta turun temurun dari nenek moyang dulu kepada pihak perempuan misalnya berupa tanah, sawah, ladang dan harta pusaka tinggi ini tidak boleh dijual. Harta pusaka tinggi ini diawasi oleh mamak, sehingga untuk pewarisannya dilakukan oleh mamak kepada kemenakan melalui persetujuan kaum. Sedangkan harta pusaka rendah adalah harta pusaka yang diterima oleh kemenakan dari mamak kandung. Hasil pekerjaan mamak kandung diberikan kepada kemenakannya. Dinamakan harta pusaka rendah karea pewarisnya hanya sedikit. Bila harta ini diwariskan lagi dan pewarisnya telah banyak, harta ini berubah menjadi harta pusaka tinggi. Contoh harta pusaka rendah ini adalah tanah, sawah, ladang yang dikelola oleh mamak kemudian diwariskan kepada kemenakan. Kemudian harta pencarian, yaitu harta yang didapat dari hasil usahanya. Misalnya seorang ayah bekerja menggarap sawah atau merantau ke negeri orang untuk berdagang, maka hasilnya itu diberikan kepada anaknya. Harta ini pada umumnya tidak berkaitan dengan harta pusaka di kampung halamannya. Dan yang terakhir harta suarang adalah harta yang diperoleh seseorang ketika ia masih surang atau sendiri (belum menikah). Jika sudah menikah pun harta tersebut tetap menjadi milik masing-masing, kecuali ada kesepakatan untuk menyatukan harta tersebut menjadi milik bersama. 4. Bagaimana bentuk keseimbangan antara agama (Islam) dan adat dalam pelaksanaan sistem hukum waris mengingat keduanya memiliki sistem hukum waris yang berbeda? Jawab: Tidak terdapat keseimbangan antara agama dan adat dalam sistem pembagian harta waris, karena faktanya adat mewariskan harta pusaka kepada anak perempuan atau menurut garis keturunan ibu, sedangkan dalam agama, harta seharusnya diwariskan kepada pihak laki-laki. Hal ini sangat bertentangan. Namun, sebenarnya mengapa adat bertindak demikian adalah karena kodrat wanita baik dalam adat maupun dalam agama adalah makhluk yang lemah. Oleh karena itu, pewarisan harta terhadap wanita adalah supaya anak-anak dari wanita tersebut tidak terlantar dan kelestarian kaum yang sesuku tetap bisa terjaga. Berbeda dengan laki-laki yang masih bisa kuat untuk mencari berbagai macam pekerjaan untuk hidupnya. 5. Bagaimana penerapan adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah dalam sistem waris adat ? Jawab: Adat salingka nagari, agamo salingka alam (adat seputar negeri, agama seputar alam). Berarti yang dipakai dalam negeri kita ini adalah adat, bukan agama. Memang, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah seharusnyalah kita kembali pada Al-Qur’an dan hadits, namun hal tersebut adalah maksud untuk menyeimbangkan antara adat dan agama agar tidak terjadi perselisihan yang besar antara kaum adat dan kaum agama. Pada kenyataannya, mengenai hak waris hingga sekarang masyarakat masih berpegang pada adat. KUTIPAN WAWANCARA DENGAN PENGURUS KERAPATAN ADAT NAGARI (UNTUK STUDI HUKUM WARIS ADAT) Bismillahirrahmanirrahim Berikut ini adalah kutipan wawancara penulis dengan pengurus Kerapatan Adat Nagari yang menjabat sebagai “Manti”, yakni seorang pengurus yang berkecimpung dalam pengurusan sidang harta warisan. Penulis : “Assalamua’alaikum, Bapak !” Manti : “Wa’alaikumsalam !” Penulis : “Sejak tahun berapa Bapak bekerja disini ?” Manti :“Saya sudah bekerja disini sejak tahun 2005, saya sudah bekerja di Kerapatan Adat Nagari ini 5 tahun yang lalu.” Penulis :“Apa jabatan Bapak di Kerapatan Adat Nagari ini ?” Manti :“Saya menjabat sebagai sebagai Manti, yaitu pengurus sidang harta warisan.” Penulis :“Berbicara mengenai pengurusan harta warisan dalam adat Minangkabau, apakah sistem pembagian harta warisan dalam adat Minangkabau dilaksanakan secara tertulis atau hanya secara lisan saja, Pak ?” Manti :“Pada dasarnya sistem pembagian harta warisan dalam adat Minangkabau telah tertulis di dalam Tambo hingga sistem pembagian harta secara adat Minang tetap lestari hingga saat ini. Dalam pelaksanaann pembagian harta waris ada yang diadakan secara tertulis disertai materai dan ada pula yang hanya dilaksanakan secara lisan.” Penulis :“Apa yang dimaksud dengan Tambo, Pak ?” Manti :“Baiklah, akan saya jelaskan. Tambo adalah tulisan berupa sejarah, silsilah, keturunan dan riwayat zaman dahulu atau tatanan adat warisan nenek moyang orang Minang.” Penulis :“Minangkabau kaya dengan bermacam-macam suku yang berbeda pada masing-masing daerah. Apakah masing-masing suku di Minangkabau memiliki sistem pembagain harta waris yang berbeda Pak ?” Manti :“Semua suku di Minangkabau memiliki sistem pembagian harta waris yang sama, yaitu diwariskan menurut garis keturunan ibu, seperti yang tercantum dalam Tambo, yaitu “Taluak paku kacang balimbiang Timpuruang tolong lenggang-lenggangan Ndak taruih ka saruaso Anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku kemenakan dibimbing) Rang kampuang dipatenggangan (orang kampung ditenggang) Jago nagari jan ka binaso (jagalah negeri ini jangan sampai binasa)” Penulis :“Jika demikian, ada berapa macam bentuk harta warisan di Minangkabau, Pak ?” Manti :“Pembagian harta menurut adat Minangkabau ada empat macam, yaitu harta pusaka tinggi, harta pusaka rendah, harta pencaharian dan terakhir harta suarang.” Penulis :“Bagaimana penjelasan masing-masing harta warisan tersebut, Pak ?” Manti :“Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwariskan dari nenek kepada mande (ibu) kita dan dari ibu turun kepada saudara perempuaan kita. Artinya, harta pusaka tinggi adalah harta turun temurun dari nenek moyang dulu kepada pihak perempuan misalnya berupa tanah, sawah, ladang dan harta pusaka tinggi ini tidak boleh dijual. Harta pusaka tinggi ini diawasi oleh mamak, sehingga untuk pewarisannya dilakukan oleh mamak kepada kemenakan melalui persetujuan kaum. Sedangkan harta pusaka rendah adalah harta pusaka yang diterima oleh kemenakan dari mamak kandung. Hasil pekerjaan mamak kandung diberikan kepada kemenakannya. Dinamakan harta pusaka rendah karea pewarisnya hanya sedikit. Bila harta ini diwariskan lagi dan pewarisnya telah banyak, harta ini berubah menjadi harta pusaka tinggi. Contoh harta pusaka rendah ini adalah tanah, sawah, ladang yang dikelola oleh mamak kemudian diwariskan kepada kemenakan. Kemudian harta pencarian, yaitu harta yang didapat dari hasil usahanya. Misalnya seorang ayah bekerja menggarap sawah atau merantau ke negeri orang untuk berdagang, maka hasilnya itu diberikan kepada anaknya. Harta ini pada umumnya tidak berkaitan dengan harta pusaka di kampung halamannya. Dan yang terakhir harta suarang adalah harta yang diperoleh seseorang ketika ia masih surang atau sendiri (belum menikah). Jika sudah menikah pun harta tersebut tetap menjadi milik masing-masing, kecuali ada kesepakatan untuk menyatukan harta tersebut menjadi milik bersama. Begitulah bentuk pewarisannya, Nak!” Penulis :“Demikian banyak penjelasan Bapak mengenai pewarisan masing-masing harta pusaka, apakah ada pewarisannya yang mengikuti sistem pewarisan hukum Islam sehingga terjadi keseimbangan antara hukum adat dan hukum agama? Manti :“Tidak ada. Karena faktanya adat mewariskan harta pusaka kepada anak perempuan atau menurut garis keturunan ibu, sedangkan dalam agama, harta seharusnya diwariskan kepada pihak laki-laki. Hal ini sangat bertentangan. Namun, sebenarnya mengapa adat bertindak demikian adalah karena kodrat wanita baik dalam adat maupun dalam agama adalah makhluk yang lemah. Oleh karena itu, pewarisan harta terhadap wanita adalah supaya anak-anak dari wanita tersebut tidak terlantar dan kelestarian kaum yang sesuku tetap bisa terjaga. Berbeda dengan laki-laki yang masih bisa kuat untuk mencari berbagai macam pekerjaan untuk hidupnya.” Penulis :”Jika demikian, bagaimana hubungannya dengan Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah ?” Manti :“Adat salingka nagari, agamo salingka alam (adat seputar negeri, agama seputar alam). Berarti yang dipakai dalam negeri kita ini adalah adat, bukan agama. Memang, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah seharusnyalah kita kembali pada Al-Qur’an dan hadits, namun hal tersebut adalah maksud untuk menyeimbangkan antara adat dan agama agar tidak terjadi perselisihan yang besar antara kaum adat dan kaum agama. Pada kenyataannya, mengenai hak waris hingga sekarang masyarakat masih berpegang pada adat karena telah tercantum lama di dalam Tambo, yaitu: “Sigirik ambiak ka tajak Tajak rumpuik jo rantai Dari niniak ka mamak (dari nenek ke paman) Sampai kini kamanakan ka mamakai (sampai sekarang kemenakan yang memakai)” Penulis:“Dengan demkian, apa saja dampak positif dan negatif dari pembagian harta warisan secara matrilineal ini, Pak ? Manti :“Untuk dampak positifnya tentu saja terjaminnya keselamatan hidup anak cucu sekaum. Sedangkan dampak negatifnya, jika ada seorang perempuan yang mempunyai anak yang banyak kadangkadang terjadi pembagian harta yang tidak rata.” Penulis :“Terakhir, apa harapan bapak terhadap perkembangan adat Minangkabau saat ini terutama dalam hal pembagian harta waris ?” Manti :“Kita telah mengetahui bahwa harta pusaka dalam adat Minangkabau turun dari mamak ke kemenakan menurut garis keturunan ibu, laki-laki tidak bisa memiliki. Jadi, pada saat sekarang masih ada sebagian orang yang menyatakan harta tersebut menjadi miliknya. Seperti masih adanya anak yang menuntut harta orang tuanya, atau anak laki-laki menuntut haknya, padahal harta tersebut telah digariskan untuk diwariskan dari mamak ke kemenakan, kenapa masih ada saja yang mempermasalah hal ini dan menuntut yang bukan haknya. Dengan demikian, harapan saya sebaiknya orang Minang mulailah untuk mengerti tentang adat Minang dan jangan ada lagi pertikaian karna sudah ketetapannya yang demikian bahwa harta tersebut diwariskan menurut garis keturunan ibu.” DOKUM MENTASI WAWANC W CARA DEN NGAN MA ANTI KER RAPATAN N ADAT NA AGARI KE ECAMATA AN KOTO TANGAH (STUDI HUKUM H WARIS W AD DAT) Gambar 1. Penulis beersama denggan Manti Kerapatan K A Nagari Koto Tangah Adat p Keerapatan Ad dat Nagari Koto K Tangahh dan Jamaaan Gambar 2. Struktur pengurus Rajo Alam m sebagai Manti M Gambar 3. Penulis mewawancar m ri Jamaan Rajo Alam seebagai Mannti Kerapatan n Adat Nagaari Koto Taangah Gambar 4. Penulis mewawancar m ri Jamaan Rajo Alam seebagai Mannti Kerapatan n Adat Nagaari Koto Taangah Gambar 5. Manti mennandatanganni konsep wawancara w s studi hukum m waris adatt Minangkaabau Gambar 6. Penulis di gerbang Baalai-balai Adat A Nagari Koto Tangaah atau Kerapatann Adat Nagaari (KAN) LAMPIRAN 2 KONSEP WAWANCARA DENGAN USTADZ MUSHOLLA RAUDHATUSSALIKIN (UNTUK STUDI HUKUM WARIS ISLAM) Pengantar Assalamu’alaikum wr. wb Sebelumnya saya mendoakan Ustadz berada dalam keadaan sehat walafiat dan selalu dalam lindungan Allah swt. sehingga Ustadz dapat bermurah hati dapat memberikan informasi kepada saya dengan sukarela dan penuh kejujuran. Daftar pertanyaan ini saya susun semata-mata untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan guna menyelesaikan skripsi dan pendidikan yang saya ikuti di jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan demikian, data dan informasi yang Ustadz berikan tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari. Atas kemurahan hati Ustadz saya ucapkan terima kasih. Identitas Responden Nama : Syamsuar Umur : 33 tahun Suku : Chaniago Jabatan : Ustadz Musholla Raudhatussalikin Sumatera Barat Alamat : Jl. Pasir Sebelah Rt. 03 Rw. 03 Kelurahan Pasia Nan Tigo Kecamatan Koto Tangah Padang 1. Bagaimana pendapat Ustadz mengenai sistem hukum waris adat Minangkabau yang berbeda dengan system hukum waris Islam? Jawab: Adat dan agama memang berlawanan. Dalam Islam semua harta lebih banyak kepada laki-laki. Perempuan mendapat harta waris, hanya saja mendapatkan bagian yang kecil. Sedangkan dalam adat harta lebih banyak kepada perempuan dan laki-laki hanya untuk menjaga. Jadi, jika dihadapkan dengan syariat Islam, adat Minangkabau tentang pembagian harta waris sangat kontras dengan ajaran agama Islam. Dalam ajaran Islam harta diwariskan lebih banyak kepada laki-laki sedangkan dalam Minangkabau harta lebih banyak diwariskan kepada perempuan. Begitulah di Minang ini dari dulu, tidak pernah ada titik temu antara agama dan adat, hanya saja persamaan ada. Untuk persamaan yang selaras tidak akan bertemu. Karna adat di Minangkabau pada dasarnya bukan bersumber dari agama. Jika dalam dalam adat perempuan mendapat hak penuh untuk mewarisi harta waris, maka dalam Islam perempuan hanya mendapat bagian kecil dibandingkan laki-laki. Yang menjadi nasab dalam agama adalah keturunan ayah, sedangkan dalam adat nasabnya adalah keturunan ibu. Ini membuktikan bahwa adat dan agama sangat berlawanan. Dalam agama mutlak harta waris diwariskan kepada laki-laki dan dalam adat juga mutlak diwariskan kepada perempuan. Dalam Islam perempuan juga mendapatkan harta waris, tapi hanya mendapatkan bagian yang kecil. Secara umum, adat Minangkabau dan agama sangat berlawanan karena adat Minangkabau tidak berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. 2. Bagaimana keseimbangan pelaksanaan agama Islam dengan adat Minangkabau jika dikaitkan dengan falsafah Minang “adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah” terutama dalam hal pembagian harta waris ?: Jawab : Secara Islam yang kaffah (Islam yang menyeluruh) kenyataan yang terjadi di Minangkabau tidak bisa diterima karna buktinya adat di Minangkabau ini banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Contoh, pakaian adat perempuan di Minang ini pun tidak sesuai dengan ajaran Islam, terbuka pundak dan lehernya. Orang Minang berkata, “syara’ mangato adat mamakai”, begitu kata orang Minang sehingga dalam realisasinya, “adat basandi syara’ syara basandi kitabullah”. Bila dihadapkan dengan Al-Qur’an, sebenarnya banyak hal tentang adat yang tidak sesuai dengan agama Islam. Tapi dari segi adat, sebagaimana orang Minang yang pandai berbicara, mereka berkata bahwa adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah, jika demikian mengapa adat tidak sesuai dengan agama? Hal itu menunjukkan bahwa orang Minang hanya lihai berbicara tapi dalam kenyataannya tidak demikian.” 3. Bagaimana cara menyeimbangkan adat dan agama dalam kehidupan pribadi Ustadz ? Jawab: Dalam hidup saya, semuanya berjalan sesuai adat saja. misalnya dalam keluarga saya ada sebidang tanah, kemudian tanah ini dibagi sesuai dengan jumlah saudara perempuan saya begitu juga dengan harta yang berada dalam pengawasan mamak saya, bahkan sekarang telah dijual dan sampai ke tangan orang. itulah mamak yang tidak beradat. Mamak sebenarnya bertugas menjaga anak kemenakan atau harta yang ada pada anak kemenakan, malah kini mamak banyak yang menjual harta tersebut untuk dijual demi kepentingan pribadi mereka. Makanya, mamak-mamak sekarang banyak yang celaka karna malas bekerja karna pada hakikatnya kewajiban mamak adalah membimbing kemenakannya “anak dipangku kemenakan dibimbiang”. Bukannya saya memilih adat, tetapi seperti yang kita ketahui bahwa bukan hanya di Minangkabau tapi di semua pelosok negeri, adatlah yang berkuasa. Hanya saja karna harta pusaka banyak yang dalam pengawasan mamak-mamak, maka anak kebanyakan mengandalkan harta dari orang tua. Tapi kalau saya pribadi tidak ada harta yang bisa dibagi-bagi. Kalau pada zaman dulu banyak datuk-datuk yang bertindak tidak beradat seperti menjual harta pusaka sebagaimana yang saya jelaskan tadi. Banyak dari mereka yang akhirnya menjadi gila. Jadi jika dilihat dari segi dosanya, maka okumnyalah yang banyak salah. Dan dari segi adat tidak ada yang berubah, oknumnyalah yang banyak berubah. Sejatinya mamak tidak boleh menjual harta pusaka tersebut dan terus menerus harus mewariskan kepada kemenakannya agar anak cucu bisa tetap berkembang. 4. Bagaimana perjuangan para tokoh agama Islam terhadap pelaksanaan adat Minangkabau yang berbeda dengan ajaran agama? Jawab: Pada zaman dahulunya terjadinya sejarah pertikaian antara kaum adat dan kaum agama hingga terjadi kesepakatan di bukit Marapalam, sebenarnya kedua belah pihak tidak saling mendominasi, tetapi lebih kepada mengikat kebersamaan, toleransi, kerjasama sehingga terjalin persatuan dan kesatuan antara kaum adat dan kaum agama. Dari segi Islam, sebenarnya tidak bisa demikian. Tetapi begitulah perjuangan para pemuka agama Islam demi persatuan dan kesatuan. Itu tujuannya. Jadi inilah bentuk kebersamaan antara pemuka adat dan pemuka agama ini. Sebenarnya pada saat perjanjian Marapalam tersebut, urusan kaum agama dalam berdakwah belumlah selesai hanya saja hal tersebut dilakukan demi persatuan dan kesatuan intinya. Namun, hingga sekarang perjuangan para pemuka agama masih berjalan. Seperti adanya kasus pada tahun 2008, dimana seorang Datuk yang menghujat kepada KAN (Kerapatan Adat Nagari). Ia ingin mengganti adat Minangkabau secara keseluruhan karena menurutnya adat Minangkabau sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun usahanya sia-sia sebab ia hanya sendiri memperjuangkan agama sedangkan banyak kepala-kepala adat Minangkabau yang bertahan memperjuangkan tradisi adat yang sudah lama berkembang besar di negeri ini. Tidak akan ada yang bisa merubah adat karna hal itu sangat sulit. Adat di Minangkabau ini ndak lakang dek paneh ndak lapuak dek hujan (tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan). 5. Apakah ada kesempatan bagi pemuka agama Islam untuk merubah adat Minangkabau agar kembali pada syara’ yang sebenarnya yakni Al-Qur’an dan Hadist ? Jawab: Sebenarnya saya lihat, bisa saja adat Minang ini dirubah. Hanya perlu merubah beberapa segi dari adat ini. Jika ingin merombak adat tentu saja harus semuanya menyeluruh. Sebagaimana yang anda tahu, pada zaman dahulu nabi Muhammad saw. memutarbalikkan adat Jahiliyah. Bagaimana kerasnya adat jahiliyah pada zaman dahulu langsung diputarbalikkan oleh nabi Muhammad saw. Tidak ada istilah pilih-pilih. Semua dirubah secara menyeluruh. KUTIPAN WAWANCARA DENGAN USTADZ MUSHOLLA RAUDHATUSSALIKIN (UNTUK STUDI HUKUM WARIS ISLAM) Bismillahirrahmanirrahim Berikut ini adalah kutipan wawancara penulis dengan seorang ustadz di Musholla Raudhatussalikin di kota Padang. Penulis : “Assalamua’alaikum Ustadz !” Ustadz : “Wa’alaikumsalam !” Penulis : “Sejak tahun berapa Ustadz mengajar di Musholla ini?” Ustadz :“Saya sudah bekerja disini sejak tahun 2005.” Penulis :”Jika dihadapkan dengan syariat Islam, adat Minangkabau tentang pembagian harta waris sangat kontras dengan ajaran agama Islam. Bagaimana pendapat Ustadz?” Ustadz :”Adat dan agama memang berlawanan. Dalam Islam semua harta lebih banyak kepada laki-laki. Perempuan mendapat harta waris, hanya saja mendapatkan bagian yang kecil. Sedangkan dalam adat harta lebih banyak kepada perempuan dan laki-laki hanya untuk menjaga. Jadi, jika dihadapkan dengan syariat Islam, adat Minangkabau tentang pembagian harta waris sangat kontras dengan ajaran agama Islam.” Penulis :”Pernahkah ada satu titik temu pembagian harta waris antara adat Minang dan ajaran Islam?” Ustadz :”Berbeda. Dalam ajaran Islam harta diwariskan lebih banyak kepada laki-laki sedangkan dalam Minangkabau lebih banyak kepada perempuan. Begitulah di Minang ini dari dulu, tidak pernah ada titik temu antara agama dan adat, hanya saja persamaan ada. Untuk persamaan yang selaras tidak akan bertemu. Karna adat di Minangkabau pada dasarnya bukan bersumber dari agama. Jika dalam dalam adat perempuan mendapat hak penuh untuk mewarisi harta waris, maka dalam Islam perempuan hanya mendapat bagian kecil dibandingkan laki-laki. Yang menjadi nasab dalam agama adalah keturunan ayah, sedangkan dalam adat nasabnya adalah keturunan ibu. Ini membuktikan bahwa adat dan agama sangat berlawanan. Dalam agama mutlak harta waris diwariskan kepada laki-laki dan dalam adat juga mutlak diwariskan kepada perempuan. Dalam Islam perempuan juga mendapatkan harta waris, tapi hanya mendapatkan bagian yang kecil. Secara umum, adat Minangkabau dan agama sangat berlawanan karena adat Minangkabau tidak berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.” Penulis :”Begitulah Ustadz, yang saya maksud dengan perbandingan sistem hukum waris adat dengan hukum waris Islam berdasarkan pendapat Ir. H. Subchan Bashori dalam bukunya Al-Faraidh Hukum Waris, bahwa keharusan mematuhi hukum Faraidh telah ada dalam firman Allah swt. surat An-Nisa ayat 13 dan 14 yang berbunyi : $yγÏFóss? ⎯ÏΒ ”Ìôfs? ;M≈¨Ζy_ ã&ù#Åzô‰ãƒ …ã&s!θß™u‘uρ ©!$# ÆìÏÜム∅tΒuρ 4 «!$# ߊρ߉ãm šù=Ï? …ã&s!θß™u‘uρ ©!$# ÄÈ÷ètƒ ∅tΒuρ ∩⊇⊂∪ ÞΟŠÏàyèø9$# ã—öθxø9$# šÏ9≡sŒuρ 4 $yγŠÏù š⎥⎪Ï$Î#≈yz ã≈yγ÷ΡF{$# ∩⊇⊆∪ Ñ⎥⎫Îγ•Β ÑU#x‹tã …ã&s!uρ $yγ‹Ïù #V$Î#≈yz #·‘$tΡ ã&ù#Åzô‰ãƒ …çνyŠρ߉ãn £‰yètGtƒuρ (Hukum-hukum faraidh) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungaisungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. Bahwa bagi yang melanggar hukum faraidh, yakni mereka yang menyimpang dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya dalam membagi harta waris, maka Allah tidak segan-segan memasukkannya ke dalam neraka dan orang semacam ini dapat masuk ke dalam kategori kafir, zhalim dan fasik. Bagaimana menurut pendapat Ustadz?” Ustadz :”Itu benar. Adat adalah buatan manusia. Syara’ mangato adat mamakai. Sebenarnya apa yang diajarkan agama seharusnya adat menggunakannya sesuai agama. Seperti pada zaman dahulunya terjadinya sejarah pertikaian antara kaum adat dan kaum agama hingga terjadi kesepakatan di bukit Marapalam, sebenarnya kedua belah pihak tidak saling mendominasi, tetapi lebih kepada mengikat kebersamaan, toleransi, kerjasama sehingga terjalin persatuan dan kesatuan antara kaum adat dan kaum agama. Dari segi Islam, sebenarnya tidak bisa demikian. Tetapi begitulah perjuangan para pemuka agama Islam demi persatuan dan kesatuan. Itu tujuannya.” Penulis :”Namun bagaimana dengan falsafah adat Minang yang berbunyi “adat basandi syara syara’ basandi kitabullah”, bukankah falsafah tersebut menjelaskan bahwa adat semestinya berdasarkan agama, Ustad?” Ustadz :”Iya, tetapi secara Islam yang kaffah (islam yang menyeluruh) kenyataan yang terjadi di Minangkabau tidak bisa diterima karna buktinya adat di Minangkabau ini banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Contoh, pakaian adat perempuan di Minang ini pun tidak sesuai dengan ajaran Islam, terbuka pundak dan lehernya. Jadi inilah bentuk kebersamaan antara pemuka adat dan pemuka agama ini. Sebenarnya pada saat perjanjian Marapalam tersebut, urusan kaum agama dalam berdakwah belumlah selesai hanya saja hal tersebut dilakukan demi persatuan dan kesatuan intinya.” Penulis :”Apakah pada zaman sekarang pernah ada kaum ulama yang menghujat sistem adat Minangkabau yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, Ustadz?” Ustadz :”Kurang lebih 2 tahun yang lalu, tahun 2008, ada seorang Datuk yang menghujat kepada KAN (Kerapatan Adat Nagari) . Ia ingin mengganti adat Minangkabau secara keseluruhan karena menurutnya adat Minangkabau sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun usahanya sia-sia sebab ia hanya sendiri memperjuangkan agama sedangkan banyak kepala-kepala adat Minangkabau yang bertahan memperjuangkan tradisi adat yang sudah lama berkembang besar di negeri ini. Tidak akan ada yang bisa merubah adat karna hal itu sangat sulit. Adat di Minangkabau ini ndak lakang dek paneh ndak lapuak dek hujan (tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan).” Penulis :”Hukum waris adat dan hukum waris Islam memang sangat berbeda. Lalu, bagaimana implikasinya terhadap kehidupan Ustadz pribadi?” Ustadz :”Orang Minang berkata, “syara’ mangato adat mamakai”, begitu kata orang Minang sehingga dalam realisasinya, “adat basandi syara’ syara basandi kitabullah”. Bila dihadapkan dengan Al-Qur’an, sebenarnya banyak hal tentang adat yang tidak sesuai dengan agama Islam. Tapi dari segi adat, sebagaimana orang Minang yang pandai berbicara, mereka berkata bahwa adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah, jika demikian mengapa adat tidak sesuai dengan agama? Hal itu menunjukkan bahwa orang Minang hanya lihai berbicara tapi dalam kenyataannya tidak demikian.” Penulis :”Kemudian bagaimana realisasinya terhadap kehidupan Ustadz pribadi?” Ustadz :”Sebenarnya yang lihai disini adalah kebanyakan oknumnya. Dalam hidup saya, semuanya berjalan sesuai adat saja dan harta yang akan dibagi pun tidak ada. Hahaha…!!!” Penulis :”Hahaha!!! Jika demikian, bagaimana dengan peran mamak Ustadz yang seharusnya menurunkan harta waris kepada kemenakan?” Ustadz :”Di Minang, misalnya dalam keluarga saya ada sebidang tanah, kemudian tanah ini dibagi sesuai dengan jumlah saudara perempuan saya begitu juga dengan harta yang berada dalam pengawasan mamak saya, bahkan sekarang telah dijual dan sampai ke tangan orang.” Penulis :”Apakah boleh menjual harta pusaka tersebut Ustadz?” Ustadz :”Ya itulah mamak yang tidak beradat. Mamak sebenarnya bertugas menjaga anak kemenakan atau harta yang ada pada anak kemenakan, malah kini mamak banyak yang menjual harta tersebut untuk dijual demi kepentingan pribadi mereka. Makanya, mamakmamak sekarang banyak yang celaka karna malas bekerja karna pada hakikatnya kewajiban mamak adalah membimbing kemenakannya ‘anak dipangku kemenakan dibimbiang’.” Penulis :”Bagaimana dengan kondisi zaman sekarang Ustadz? Apakah adat Minangkabau masih kenatal berlaku atau telah ada yang berubah?” Ustadz :”Ada. Secara konteks, adat telah menetapkan seperti itu, hanya saja pelaksanaannya yang berubah-berubah. Tapi tentang warisan, adat ini masih tetap bertahan di Minangkabau.” Penulis :”Apakah dengan demikian dalam hukum pewarisan Ustadz lebih memilih adat?" Ustadz :”Bukan seperti itu. Bukannya saya memilih adat, tetapi seperti yang kita ketahui bahwa bukan hanya di Minangkabau tapi di semua pelosok negeri, adatlah yang berkuasa. Hanya saja karna harta pusaka banyak yang dalam pengawasan mamak-mamak, maka anak kebanyakan mengandalkan harta dari orang tua. Tapi kalau saya pribadi tidak ada harta yang bisa dibagi-bagi. Kalau pada zaman dulu banyak datuk-datuk yang bertindak tidak beradat seperti menjual harta pusaka sebagaimana yang saya jelaskan tadi. Banyak dari mereka yang akhirnya menjadi gila. Jadi jika dilihat dari segi dosanya, maka okumnyalah yang banyak salah. Dan dari segi adat tidak ada yang berubah, oknumnyalah yang banyak berubah. Sejatinya mamak tidak boleh menjual harta pusaka tersebut dan terus menerus harus mewariskan kepada kemenakannya agar anak cucu bisa tetap berkembang.” Penulis :”Apakah masih ada peluang bagi kaum agama untuk merubah adat Minangkabau agar kembali pada syara’ yang benar Ustadz?” Ustadz :”Sebenarnya saya lihat, bisa saja adat Minang ini dirubah. Hanya perlu merubah beberapa segi dari adat ini. Jika ingin merombak adat tentu saja harus semuanya menyeluruh. Sebagaimana yang anda tahu, pada zaman dahulu nabi Muhammad saw. memutarbalikkan adat Jahiliyah. Bagaimana kerasnya adat jahiliyah pada zaman dahulu langsung diputarbalikkan oleh nabi Muhammad saw. Tidak ada istilah pilih-pilih. Semua dirubah secara menyeluruh. Berarti di Minangkabau penyiaran agama Islam oleh tokoh-tokoh zaman dahulu masih terbengkalai atau belum tercapai tujuan dakwahnya. “Adat salingka nagari, agamo salingka alam” Itu menunjukkan bahwa di alam ini juga banyak orang yang tidak beragama. Agama dilaksanakan setengah-setengah. Orang zaman sekarang banyak yang memakai agama jika ada manfaatnya untuk dunia. Padahal hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Gunakanlah dunia ini untuk beramal demi tujuan akhirat. Keseimbangan bukan hanya dunia semata atau akhirat semata, tapi kedua-duanya mengarah ke akhirat.” Penulis :”Apa harapan Ustadz terhadap perkembangan agama Islam di Minagkabau ke depan?” Ustadz :”Semoga adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah tidak hanya ucapan atau sekedar semboyan saja, tetapi terbukti di dalam pelaksanaannya. Bukan hanya sekedar semboyan hendaknya terbukti dalam realisasinya dan diaplikasikan dalam kehidupan. Semoga adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah terbukti hendaknya karna semboyan tersebut menjelaskan bahwa sebenarnya agama lah yang menang bukan adat. Artinya, adat lah yang seharusnya mengikuti agama, bukan sebaliknya. Oleh karena itu adat yang tidak sesuai dengan agama sebaiknya dirubah. Ayat Al-Qur’an merupakan firman Allah swt. yang tidak bisa diganggu gugat, sedangkan adat adalah buatan manusia yang masih bisa dirubah. Jadi pada dasarnya perjuangan para tokoh agama Islam dari sejarah lampau belum berhasil seratus persen. Akan tetapi, perjuangan tokoh agama Islam masih berjalan hingga saat ini. Itulah harapan saya secara pribadi yakni mengharapkan realisasi adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah benar-benar kembali pada kitabullah atau kembali pada agama. Bahkan, sebenarnya ha-hal yang menyangkut adat apabila tidak sesuai dengan ajaran agama maka kita wajib untuk merubahnya.” DOKUM MENTASI WAWANC W ARA DEN NGAN USTA ADZ M MUSHALL LA RAUDH HATUSSALIKIN (STUDI HUKUM H WARIS W ISL LAM) Gambar 1. Gerbang mushalla m Raaudhatussaliikin Gambar 2. Mushalla Raudhatusssalikin Gambar 3. Penulis mewawancar m ri Ustadz Sy yamsuar sebbagai ustadzz mushalla Raudhatusssalikin uar sebagai ustadz u mushhalla Gambar 4. Penulis beersama Ustaadz Syamsu Raudhatusssalikin Hasil Tabulasi Wawancara (Studi Kasus Hukum Waris Adat Minangkabau) No. Kategori Pertanyaan Jawaban Ustadz 1. 2. Pelaksanaan sistem hukum - Manti Lisan waris adat Tulisan Sistem hukum waris adat yang Matrilineal Matrilineal digunakan 3. Jenis-jenis harta warisan di Harta pusaka Harta pusaka tinggi Minangkabau tinggi Harta pusaka rendah Harta pusaka Harta pencaharian rendah Harta suarang Harta pencaharian Harta suarang 4. Keseimbangan hukum waris Adat dan agama adat dengan hukum waris sangat berlawanan Tidak ada. Islam 5. Penerapan adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah dalam sistem waris adat Tidak terwujud Kurang Terwujud MUSHALLA RAUDATUSSALIKIN SUMATERA BARAT PASIR SEBELAH RT 03 RW 03 KECAMATAN KOTO TANGAH KELURAHAN PASIE NAN TIGO PADANG, KODE POS 25172 SURAT KETERANGAN Nomor: 11/P. Mush/Raudhatussalikin/2010 Yang bertanda tangan di bawah ini Ketua Musholla Raudhatussalikin menerangkan bahwa : Telah Nama : YANTI FEBRINA BP/ NIM : 2006/ 106011000040 Program Studi : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Universitas : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selesai melaksanakan penelitian/ wawancara di Musholla Raudhatussalikin untuk keperluan skripsi dengan judul “Studi Banding Sistem Hukum Waris Adat Dengan Hukum Waris Islam Dalam Konteks Fiqh Mawaris Pendidikan Agama Islam (Studi Kasus Adat Minangkabau)” pada bulan Agustus 2010. Demikianlah surat keterangan ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dapat dipergunakan seperlunya.