STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT

advertisement
STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM
WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH MAWARIS
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(Studi Kasus Adat Minangkabau)
Skripsi
Diajukan Pada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi
Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam
Disusun oleh :
Yanti Febrina
NIM: 106011000040
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
LEMBAR PENGESAHAN
STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM
WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH MAWARIS
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Studi Kasus Adat Minangkabau
Skripsi
Diajukan Pada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi
Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam
Oleh :
Yanti Febrina
NIM: 106011000040
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
LEMBAR PENGESAHAN PANITIAN UJIAN
Skripsi yang berjudul “STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS
ADAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH
MAWARIS
PENDIDIKAN
AGAMA
ISLAM
(Studi
Kasus
Adat
Minangkabau)” ditulis oleh Yanti Febrina (106011000040) diajukan kepada
Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah
pada tanggal 26 November 2010 di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu,
penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan
Agama Islam.
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini
Nama
: Yanti Febrina
NIM
: 106011000040
Fakultas/ Jurusan
: Ilmu Tarbiyah dan Keguruan/ PAI
Judul Skripsi
: STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT
DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM
KONTEKS FIQH MAWARIS PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM (Studi Kasus Adat Minangkabau)
Dengan ini menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya dengan sebenar-benarnya untuk
diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana (S.Pd.I) di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya,
maka saya pun bersedia menerima sangsi yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
ABSTRAK
Yanti Febrina. 2010. ”Studi Banding Sistem Hukum Waris Adat Dengan Hukum
Waris Islam Dalam Konteks Fiqh Mawaris Pendidikan Agama Islam
(Studi Kasus Adat Minangkabau)”. Skripsi. Jakarta: Jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan. Pertama,
untuk mendeskripsikan bagaimana sistem pembagian warisan dalam Islam untuk
ahli waris laki-laki dan perempuan. Kedua, untuk menjelaskan perbedaan hak
waris anak laki-laki dan anak perempuan dari sudut pandang adat Minangkabau.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitiatif dengan metode deskriptif
analisis dengan mendeskripsikan konsep hak waris anak laki-laki dan perempuan
dari sudut pandang adat dan agama. Dalam penelitian kualitatif akan dilengkapi
dengan studi lapangan untuk mendapatkan informasi dari beberapa responden dan
studi pustaka pada deskriptif analisis.
Data penelitian ini dikumpulkan secara deskriptif analisis dengan cara.
Pertama,observasi dengan menggunakan alat rekaman suara untuk wawancara.
Kedua, studi pustaka dengan mencari data mengenai hukum waris adat
Minangkabau dan hukum waris Islam melalaui catatan, buku, jurnal, dan lain
sebagainya. Ketiga, wawancara secara bebas dan terstruktur. Keempat,
dokumentasi yang bertujuan untuk mengabadikan penelitian berupa wawancara
yang dilakukan penulis terhadap pemuka adat dan pemuka agama berupa foto,
pengambilan gambar atau pemotretan yang dilakukan juga untuk memperkuat
data yang diperoleh selama penelitian.
Berdasarkan studi banding yang dilakukan penulis terhadap hukum waris
Islam dengan hukum waris adat Minangkabau, dapat disimpulkan. Pertama,
implementasi hukum waris Islam dalam hukum waris adat Minangkabau tidak
terlaksana pada pembagian harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Kedua,
implementasi hukum waris Islam dalam hukum waris adat Minangkabau hanya
terlaksana pada pembagian harta pencaharian dan harta suarang yang dibawa
suami istri dalam pernikahan. Akan tetapi, pelaksanaan pewarisan kedua harta
tersebut tidak dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan hukum waris Islam yang
benar. Ketiga, tidak terdapat keseimbangan antara agama dan adat dalam sistem
pembagian harta waris adat Minangkabau, karena hukum waris Islam dengan
hukum waris adat Minangkabau sangat berbeda. Hukum waris Islam dilaksanakan
dengan sistem bilateral sedangkan hukum waris adat Minangkabau dilaksanakan
dengan sistem matrilineal. Keempat, kesadaran masyarakat Minangkabau untuk
menyeimbangkan hukum waris adat dengan hukum waris Islam belum tampak
adanya disebabkan pola fikir masyarakat yang masih berpegang teguh kepada adat
Minangkabau.
KATA PENGANTAR
ÉΟŠÏm§9$# Ç⎯≈uΗ÷q§9$# «!$# ÉΟó¡Î0
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan
kekuatan dan rahmatNya atas nikmat yang berlimpah bagi seluruh makhluk,
kepadaNya kita memohon pertolongan dan ampunan, kepadaNya pula kita
memohon perlindungan. Sholawat dan salam kita haturkan kepada Nabi dan Rasul
junjungan umat Islam, yakni baginda Nabi Muhammad saw. beserta keluarga
beliau, sahabat dan seluruh pejuang Islam yang selalu dimuliakan oleh Allah swt.
Alhamdulillah akhirnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul, ” Studi Banding Sistem Hukum Waris Adat Dengan Hukum Waris Islam
Dalam Konteks Fiqh Mawaris Pendidikan Agama Islam
(Studi Kasus Adat
Minangkabau)” dapat diselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini bertujuan
untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar sarjana S1, Sarjana
Pendidikan Islam (S.Pd.I) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam di Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan
yang dialami penulis, baik yang berhubungan dengan pengaturan waktu,
pengumpulan data-data maupun lain sebagainya. Namun, berkat bantuan dan
motivasi berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan ini dapat diatasi
tentunya dengan izin Allah swt. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah
memberikan fasilitas dan dorongan yang sangat berharga bagi penulis
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
3. Dr. Hj. Siti Salmiah, M.A selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga dan fikirannya dalam memberikan pengarahan dan bimbingan
kepada penulis guna menyelesaikan tugas skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Pendidikan Agama Islam, yang telah membekali penulis
dengan ilmu yang berharga. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan
Tarbiyah, perpustakaan utama UIN, dan bagian Tata Usaha (TU) Pendidikan
Agama Islam yang telah memberikan pelayanan yang baik.
5. Bapak Jamaan Rajo Alam selaku Manti yang telah mengizinkan penulis
mengadakan penelitian serta bersedia menjadi nara sumber dalam wawancara
yang dilakukan penulis di Kantor Urusan Kerapatan Adat Nagari Kecamatan
Koto Tangah Padang.
6. Ustadz Syamsuar selaku guru di Musholla Raudhatussalikin Sumatera Barat
yang telah bersedia menjadi nara sumber dalam wawancara yang dilakukan
penulis untuk studi hukum waris Islam.
Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada kedua orang
tua tercinta: Ayahanda Abdul Syair dan Erna yang dengan kasih sayang dan
kesabarannya telah memberi dan mencurahkan kasih sayang yang tak terhingga
kepada penulis, serta memotivasi baik secara moril, materil maupun spirituil. Juga
kepada seseorang yang teristimewa selalu memberi motivasi untuk tetap semangat
dan bertahan hidup jauh dari orang tua. Juga kepada kakak-kakakku tersayang:
Ronal Alexander dan Ulfatmi Sari Dewi yang selalu memberikan motivasi agar
bisa menamatkan pendidikan dan membanggakan orang tua.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman jurusan PAI
khususnya kelas A angkatan 2006 yang telah banyak membantu secara tenaga dan
fikirannya membantu penulis menyelesaikan tugas ini serta memberi motivasi
penulis sehigga skripsi ini cepat selesai. Terima kasih juga atas kebersamaan
selama berada di kampus tercinta. ”Shohibul Alif berbeda tetapi tetap bersama”.
Semoga persahabatan kita tetap terjaga dalam jalinan silaturahmi yang baik.
Akhirnya hanya kepada Allah swt., penulis memohon perlindungan.
Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para
pembaca yang budiman pada umumnya.
Jakarta, November 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR ………………………………………..………….. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………….…….……..... v
DAFTAR TABEL………………………………………….…….……..... vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………...... 1
B. Identifikasi Masalah …………………………………............ 4
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah.…………..……............ 4
D. Tujuan Penelitian …………………………………………… 5
E. Manfaat Penelitian ………………………………….………. 5
BAB II KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teoritis …………………………………………… 6
1. Sistem Pembagian Harta Waris Menurut Hukum
Waris Islam ………..……………………..……………... 6
a. Pengertian Hukum Waris ………...……………….… 6
b. Rukun-rukun Warisan ……………..……………...… 10
c. Syarat-syarat Pewarisan…………..…………………. 20
d. Hak Waris ………………………..…………………. 21
2. Sistem Pembagian Harta Waris Menurut Hukum
Waris Minangkabau ……..…………….……………....... 22
a. Hukum Waris Adat Matrilineal …………………….. 22
b. Ahli Waris ………………………..…………………. 24
c. Harta Pusaka ………………………………………… 26
d. Hak Waris ……………………….………………….. 32
B. Kerangka Berfikir …………………….……………………... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian ………………………………..………….. 38
B. Jenis dan Sumber Data ……………...……………………….. 39
C. Waktu dan Lokasi Penelitian …………….………………….. 39
D. Teknik Pengumpulan Data …………………………………... 39
E. Teknik Analisis Data ………………………………………… 41
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data ……………………………………..………… 42
1. Sejarah Hukum Waris Islam ….………………………… 42
2. Sejarah Hukum Waris Adat Minangkabau ……………... 44
3. Sejarah Islam di Minangkabau …………......................... 46
B. Analisis Data ……………………………………………….... 48
1. Perbandingan Sistem Hukum Waris Adat dengan
Hukum Waris Islam ……….…………………………….. 48
2. Perbandingan Kasus Pewarisan ………….……………… 51
3. Pandangan Islam Terhadap Sistem Pewarisan Adat
Minangkabau ……….……………..…………………….. 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………... 64
B. Saran …………………………………………………………. 65
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..….… 66
LAMPIRAN………………………………………………………………..69
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1
Kerangka Konseptual……………………………………..... 37
Tabel 4.1
Pewarisan Menurut Hukum Islam Dengan Sistem Bilateral
(Studi Kasus Jika Istri yang Meninggal) ………..……...….. 54
Tabel 4.2
Pewarisan Menurut Hukum Adat Minangkabau Dengan Sistem
Matrilineal (Studi Kasus Jika Istri yang Meninggal) ...……. 56
Tabel 4.3
Perbandingan Sistem Hukum Waris Islam dengan Hukum Waris
Adat Minangkabau………………….……………….…….. 57
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap suku bangsa sejak dari yang tertutup atau primitif sampai
kepada yang terbuka struktur masyarakatnya atau modern, umumnya
mempunyai pandangan hidup sendiri, yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Pandangan hidup suatu suku bangsa atau bangsa ialah perpaduan dari nilainilai yang dimiliki oleh suku bangsa atau bangsa itu sendiri, yang mereka
yakini kebenarannya, dan menimbulkan tekad pada suku bangsa atau bangsa
itu untuk mewujudkannya. Suku bangsa Minangkabau (orang Minang), yang
merupakan salah satu suku bangsa yang membentuk bangsa Indonesia
mempunyai pandangan hidup sendiri yang berbeda dengan pandangan hidup
suku-suku bangsa lainnya. Pandangan hidup orang Minang tertuang dalam
ketentuan adat, yang disebut dengan adat Minangkabau.
Dalam tesis yang ditulis oleh Zaim Rais, dikatakan bahwa: In general,
adat is usually understood as local custom which regulates the interaction of
the members of society. But the definition of adat Minangkabau embraces
more than this. It means not only local custom, but, more importantly, is also
conceived as the structural system of society as a whole, of which local custom
is only a component. In this complex sense, adat is believed to establish the
entire value system on which all ethical and legal judgements are based. In
sum, it may well be said to represent the ideal pattern of behaviour.1 Hal ini
menjelaskan bahwa secara umum, adat pada umumnya dipahami sebagai adat
istiadat setempat yang mengatur interaksi anggota masyarakat. Hanya saja,
definisi adat Minangkabau memeluk lebih dari ini. Adat Minangkabau bukan
hanya sekedar adat istiadat setempat, tetapi juga dipahami sebagai sistem
masyarakat yang struktural secara keseluruhan. Adat dipercaya untuk
menetapkan nilai-nilai berdasarkan aturan-aturan yang etis yang dapat
mewujdukan pola perilaku teladan yang ideal.
Masyarakat
provinsi
Sumatera
Barat
menganut
sistem
adat
Minangkabau yang memiliki sistem matrilineal. Matrilineal berarti sistem ini
berdasarkan garis keturunan ibu. Baik dari segi keturunan maupun pembagian
harta warisan, keduanya ditarik dari garis keturunan ibu. Meskipun
masyarakat
Minangkabau
menganut
sistem
matrilineal,
tetapi
adat
Minangkabau tidak mengingkari nasab dari keturunan bapak, buktinya tidak
ada orang Minang yang menyambung nama belakangnya dengan nama
ibunya. Prinsip matrilineal berlaku umum dan alami. Hal ini berarti, secara
alami anak lebih dekat kepada ibunya dibandingkan dengan bapak.
Budaya adat Minangkabau menyangkut persoalan nasab dan warisan
menjadi sorotan tajam pandangan agama Islam. Meskipun pada dasarnya adat
Minangkabau berfalsafahkan kepada “Adat basandi syara’, syara’ basandi
kitabullah”, akan tetapi falsafah ini tidak diterapkan secara seimbang karena
pada kenyataanya masyarakat Minangkabau lebih dominan kepada adat
daripada syara’. Padahal, seharusnya falsafah “Adat basandi syara’, syara’
basandi kitabullah” dipahami sebagai landasan agar adat dipertajam makna
dan fungsinya oleh kuatnya peran syariat. Adat Minangkabau seharusnya
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan ajaran agama Islam yang
berlandasakan kepada Al-Qur’an dan hadist Rasulullah saw., akan tetapi pada
kenyataannya masyarakat Minangkabau lebih banyak berpegang teguh kepada
adat.
1
Za’im Rais, The Minangkabau Traditionalist Response To The Modernist Movement,
(Canada: Institute of Islamic Studies McGill University, 1994), h. 7
Ketidakseimbangan adat dan syara’ di Minangkabau tampak pada
persoalan nasab anak yang harus mengikuti suku2 sang ibu. Begitu juga dalam
perihal pembagian hak waris dan perihal harta pusaka. Anak laki-laki di
Minangkabau tidak memperoleh hak waris, karena harta pusaka diwariskan
menurut garis keturunan ibu. Hal ini tentu saja berlawanan dengan ajaran
Islam yang telah mengajarkan bahwa pelaksanaan hukum waris dilakukan
secara bilateral dimana anak laki-laki dan anak perempuan mendapat
bagiannya masing-masing.
Apalagi jika dilihat dari kacamata Pendidikan Agama Islam. Dalam
Pendidikan Agama Islam, khususnya dalam Fiqh Mawaris yang menjadi
modul pembelajaran dalam perkuliahan Pendidikan Agama Islam, perihal adat
yang membagi harta warisan kepada anak perempuan lebih besar daripada
anak laki-laki tentu saja menimbulkan ketidakseimbangan antara pandangan
hukum adat dan agama. Hal ini dikarenakan melihat begitu berbedanya sistem
pembagian harta warisan adat di Minangkabau dengan sistem hukum
pembagian harta warisan dalam Islam.
Adat Minangkabau yang melestarikan budaya pembagian harta
warisan lebih besar kepada wanita sangat bertentangan dengan pembagian
harta warisan dalam Islam lebih besar kepada laki-laki, padahal faktanya
Minangkabau memiliki falsafah “Adat basandi syara’, syara’ basandi
kitabullah”. Falsafah tersebut mengartikan bahwa adat yang berlaku atau
kebiasaan-kebiasaan yang di tengah masyarakat seperti jual beli, perkawinan,
pembagian harta waris dan lain-lain tidak boleh bertentangan dengan yang
telah disyariatkan di dalam Al-Qur’an.
2
MD. Mansoer, Amrin Imran dkk menuliskan dalam buku Sedjarah Minang, bahwa Yang
dimaksud dengan “suku” artinya kaki. Sesuku mengandung makna “sekaki”, seperempat bagian
dari seekor hewan ternak seperti kambing, sapi, kerbau dsb. Suku berarti seperempat bagian. Itulah
asal mula pengertian kata “suku” di Minangkabau. Suku menggambarkan kelompok berdasarkan
ikatan darah dari pihak atau garis ibu. Suku berdasarkan pengelompokkan ikatan darah dari pihak
atau garis ibu mengandung pengertian “genealogis”.
Pada kenyataannya terjadi ketidakseimbangan antara pandangan adat
dan agama dalam hal pembagian harta pusaka kepada anak laki-laki di
Minangkabau. Hal ini tentu saja menimbulkan anggapan bahwa dalam
pandangan adat Minangkabau, anak laki-laki memiliki status yang rendah. Ini
tentu
saja
dilatarbelakangi
oleh
kurangnya
kesadaran
masyarakat
Minangkabau untuk menyeimbangkan hukum adat dan hukum agama dalam
masalah waris.
Dengan adanya latar belakang tersebut, maka saya bermaksud untuk
menjelaskan konsep hak waris untuk anak laki-laki dan perempuan dari sudut
pandang agama dan adat. Oleh itu judul skripsi yang akan saya ajukan
berjudul
“STUDI
BANDING
SISTEM
HUKUM
WARIS
ADAT
DENGAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH
MAWARIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus Adat
Minangkabau)”
B. Identifikasi Masalah
Bedasarkan latar belakang masalah di atas, maka timbul pernyataan
atau masalah sebagai berikut:
1. Implementasi hukum waris Islam dalam hukum waris adat Minangkabau
tidak terlaksana secara utuh.
2. Kurang terwujudnya falsafah “Adat basandi syara’, syara’ basandi
kitabullah”dalam kehidupan sosial keluarga.
3. Rendahnya status anak laki-laki dalam pandangan adat.
4. Kurangnya kesadaran masyarakat Minangkabau untuk menyeimbangkan
hukum adat dan hukum agama dalam masalah waris.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas dan memberi arahan yang tepat, maka penulis
memberi batasan dalam masalah ini, yaitu:
a. Implementasi hukum waris Islam dalam hukum waris adat
Minangkabau tidak terlaksana secara utuh.
b. Kurangnya
kesadaran
masyarakat
Minangkabau
untuk
menyeimbangkan hukum adat dan hukum agama dalam masalah waris.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan
masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
“ Sejauh mana implementasi hukum waris Islam dalam pelaksanaan
hukum waris adat Minangkabau dan adakah keseimbangan antara hukum
Islam dan hukum adat dalam pembagian harta waris adat Minangkabau ? “
D. Tujuan Penelitian
Penulis melakukan penelitian ini dengan tujuan :
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana sistem pembagian warisan dalam
Islam untuk ahli waris laki-laki dan perempuan.
2. Untuk menjelaskan perbedaan hak waris anak laki-laki dan anak
perempuan dari sudut pandang adat Minangkabau.
E. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini, penulis mengharapkan adanya berbagai manfaat
sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan gambaran bagaimana sistem pembagian warisan
dalam Islam untuk ahli waris laki-laki dan perempuan.
2. Untuk mendapatkan gambaran tentang perbedaan hak waris anak laki-laki
dan anak perempuan dari sudut pandang adat Minangkabau
BAB II
KAJIAN TEORI
STUDI BANDING SISTEM HUKUM WARIS ADAT DENGAN HUKUM
WARIS ISLAM DALAM KONTEKS FIQH
MAWARIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(Studi Kasus Adat Minangkabau)
A. Deskripsi Teoritis
1. Sistem Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Waris Islam
a. Pengertian Hukum Waris
Hukum kewarisan Islam biasa disebut dengan faraidh. Adapun yang
dimaksud dengan faraidh adalah masalah-masalah pembagian harta
warisan. Kata
al-fara’idh atau diIndonesiakan menjadi faraidh yakni
bentuk jamak dari al-faraidhah yang bermakna al-mufradhah atau sesuatu
yang diwajibkan. Artinya pembagian yang telah ditentukan kadarnya.3
Menurut syariat, faraidh didefinisikan sebagai hukum yang
mengatur pembagian harta waris, yang berdasarkan ketentuan Allah swt.
dan Rasulullah saw., karena langsung bersumber dari Allah swt. Tuhan
yang menciptakan manusia dan Maha Tahu kebutuhan manusia, maka
hakikatnya tidak ada lagi alasan bagi manusia khususnya kaum muslimin
3
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan
Abadi Puslishing, 2004), h. 11
untuk menentangnya ataupun mengubahnya dari apa yang telah ditetapkan
oleh Allah swt. dan Rasulullah saw. tentang pembagian harta waris
tersebut.4
Sedangkan dalam pasal 171 huruf a dari Kitab Kompilasi
menyatakan: Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (irkah) pewaris menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing. Sedangkan pewaris menurut pasal 171 huruf b, adalah
orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli
waris dan harta peninggalan.5
Berdasarkan
pendapat
para
ahli
di
atas,
maka
penulis
menyimpulkan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang
pemberian harta warisan dari seseorang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang telah ditentukan dalam syariat Islam.
Pada hakikatnya tidak ada lagi alasan bagi manusia khususnya
kaum muslimin untuk menentang ataupun mengubah apa yang telah
ditetapkan oleh Allah swt. dan Rasulullah saw. tentang pembagian harta
warisan tersebut.
Hukum faraidh dijelaskan sendiri oleh Allah swt. secara rinci
dalam Al-Qur’an karena Allah swt. menghendaki agar hukum faraidh ini
dilaksanakan secara konsisten tanpa adanya perbedaan penafsiran, tidak
dikalahkan oleh hukum adat, tidak pula dikalahkan oleh isu persamaan
gender.
Menurut hukum faraidh, bagian waris yang diterima oleh seorang
ahli waris sudah ditetapkan menurut ketentuan Allah swt. dan Rasulullah
saw. dan besar kecilnya sangat tergantung pada keberadaan ahli waris lain
4
Subchan Bashori, Al-Faraidh Cara Mudah Memahami Hukum Waris Islam, (Jakarta:
Nusantara Publissher, 2009), h. 1
5
Idris Djakfar, SH dan Taufik Yahya, SH, MH, Kompilasi Hukum Kewarisan, (Jakarta: PT.
Dunia Pustaka Jaya, 1995), h. 3
yang secara bersama-sama mempunyai hak waris sehingga bagian seorang
ahli waris dapat berbeda dalam kondisi yang berbeda.
Namun, meskipun demikian hak waris adalah hak individu, yang
boleh saja digunakan dan boleh pula tidak digunakan, tergantung kepada
pemilik hak waris. Misalnya jika seorang ahli waris tidak mengambil hak
warisnya karena merasa telah tercukupi kebutuhannya, selanjutnya hak
warisnya diberikan kepada ahli waris lain yang lebih membutuhkan, maka
hal ini dibolehkan asalkan ada kesepakatan dan kerelaan dari tiap-tiap ahli
waris, setelah masing-masing mengetahui dan memahami hak-haknya atau
bagiannya menurut ketentuan al-faraidh.
Dengan demikian, ada beberapa hal yang menjadi point penting
dalam sistem hukum waris Islam, yaitu:
1) Hukum waris Islam memberi kebebasan penuh kepada seseorang
untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada
orang lain.
2) Yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas
harta warisan.
3) Warisan terbatas pada lingkungan keluarga dengan adanya hubungan
perkawinan atau karena hubungan nasab.
4) Hukum waris Islam membagikan harta warisan dengan membagikan
bagian tertentu kepada beberapa ahli waris.
5) Warisan lebih banyak diberikan kepada anak laki-laki sebab anak lakilaki yang akan memikul beban keluarga.
Mengingat pentingnya al-faraidh, maka setiap muslim tidak saja
diperintahkan untuk mempelajari al-faraidh, tetapi sekaligus diperintahkan
untuk mengajarkan ilmu faraidh kepada orang lain. Sebagaimana sabda
Nabi Muhammad saw. :6
6
Subchan Bashori, Al-Faraidh Cara Mudah…, h. 3
‫ﻋﱢﻠﻤُﻮ ُﻩ اﻟﻨﱠﺎسَ َﻓ ِﺈ ﱠﻥ ُﻪ‬
َ ‫ﺾ َو‬
َ ‫» َﺗ َﻌﱠﻠﻤُﻮا ا ْﻟ َﻔﺮَا ِﺋ‬: ‫ ﻗَﺎ َل‬-‫ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬- ‫ﻰ‬
‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬
‫ﻦ َأﺑِﻰ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َأ ﱠ‬
ْ‫ﻋ‬
َ
7
ِ ‫ﻦ ُأﻡﱠﺘﻰ‬
ْ ‫ع ِﻡ‬
ُ ‫ﻰ ٍء ُﻳ ْﻨ َﺘ َﺰ‬
ْ‫ﺷ‬
َ ‫ﻒ ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ ِﻢ َو ُه َﻮ ُﻳ ْﻨﺴَﻰ َو ُه َﻮ َأوﱠ ُل‬
ُ ‫ﺼ‬
ْ ‫ِﻥ‬
“Dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda: ‘pelajarilah alfaraidh dan ajarkanlah kepada orang lain, maka sesungguhnya al-faraidh
itu setengah dari ilmu, mudah dilupakan orang, dan yang pertama kali
menghilang dari umatku’”.(H.R Baihaqi dan Hakim)
Hadis di atas menempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan
ilmu faraidh sejalan dengan perintah mempelajari dan mengajarkan AlQuran. Hal ini tidak lain karena ilmu faraidh adalah salah satu cabang
ilmu yang penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari Fiqih Mawaris adalah
fardhu kifayah, artinya kewajiban yang apabila ada sebagian orang yang
telah memenuhinya, dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi
apabila tidak ada seorang pun yang menjalani kewajiban itu, maka semua
orang menanggung dosa.
Di sisi lain, mempelajari ilmu faraidh menjadi fardhu ain bagi
orang-orang yang oleh masyarakat dipandang sebagai pemimpin, terutama
pemimpin keagamaan. Karena di dalam sebuah komunitas masyarakat,
pemimpin sangatlah berpengaruh terhadap kemaslahatan komunitas
masyarakat tersebut.
Oleh karena itu, dengan mempelajari atau memahami faraidh
diharapkan dapat menjamin bahwa harta waris benar-benar diberikan
kepada yang berhak, sekaligus menjamin agar terhindar dari perampasan
hak orang lain dengan cara yang batil. Dan Allah swt. telah mengingatkan
agar setiap manusia tidak melakukan kebiasaan seperti orang-orang kafir
yang suka memakan harta waris yang bukan menjadi haknya.
Sebagaimana firman Allah swt. dalam surat Al-Fajr ayat 19:
7
Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Juz 6, h. 208
∩⊇®∪ $tϑ©9 Wξò2r& y^#u—I9$# šχθè=à2ù's?uρ
“Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan
(yang halal dan yang bathil)”
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa dan kamu senantiasa
memakan yakni mengambil dan menggunakan harta pusaka untuk
kepentingan diri sendiri dengan cara menghimpun yang halal bersama
yang haram. Kamu mengambil seluruh hak kamu dan mengambil juga
warisan anak-anak yatim serta warisan wanita-wanita.
Kata lammam dari lamma yang berarti menghimpun. Pada masa
jahiliah kaum musyrikin tidak memberi warisan kepada anak-anak yatim
dan istri yang ditinggal, bahkan istri yang suaminya mati pun tidak jarang
mereka warisi. Dalih mereka adalah bahwa warisan hanya diperuntukkan
bagi siapa yang terlibat dalam pereperangan atau membela suku, dalam hal
ini adalah para lelaki yang dewasa.
b. Rukun-rukun Warisan
Rukun warisan ada tiga: yakni si mayit sebagai pemberi warisan,
ahli waris dan harta yang hendak diwariskan.8
1) Si Mayit Sebagai Pemberi Warisan
Yang dimaksud dengan si mayit sebagai pemberi warisan,
adalah si mayit setelah memastikan wafatnya, baik itu dengan melihat
langsung atau dengan memperkirakan wafatnya dengan indikasi dan
tanda-tanda yang disetjui oleh syara’ dan telah meninggalkan sejumlah
harta bagi selain dia.
2) Ahli Waris
Yang dimaksud dengan ahli waris adalah mereka yang dalam
keadaan hidup ketika wafatnya si mayit, baik itu diketahui dengan
8
Abu Zakariya Al-Atsari, Penuntun Ringkas Ilmu Faraidh/ Warisan, (Bekasi: Pustaka Daar
El-Salam, 2008), h. 35
sebenar-benarnya
ataukah
diperkirakan
keberadaannya
setelah
wafatnya si mayit dan memiliki hubungan nasab, nikah dan sebabsebab pewarisan lainnya.
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia, baik laki-laki
maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta benda maupun
hak-hak yang diperoleh selama hidupnya, baik dengan surat wasiat
maupun tanpa surat wasiat. Ahli waris adalah seseorang atau beberapa
orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan.
Pewaris
ialah
setiap
orang
yang
meninggal
dengan
meninggalkan harta kekayaan, sedangkan ahli waris ialah orang yang
bernisbah (memiliki akses hubungan) kepada si mayit karena ada salah
satu dari beberapa sebab yang menimbulkan kewarisan.9
Selain itu ahli waris juga dapat diartikan sebagai pemahaman
tentang sejumlah orang yang mempunyai hubungan sebab-sebab untuk
dapat menerima warisan harta atau perpindahan harta dari orang yang
meninggal tanpa terhalang secara hukum untuk memperolehnya.10
Ahli waris laki-laki secara terperinci, yaitu:11
a) Anak laki-laki
b) Cucu laki-laki dari keturunan laki-laki betapapun rendah
menurunnya
c) Ayah
d) Kakek betatapapun tinggi menanjaknya
e) Saudara laki-laki sekandung
f) Saudara seayah
g) Saudara seibu
h) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
i) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
j) Paman sekandung
k) Paman seayah
l) Anak laki-laki paman sekandung
m) Anak laki-laki paman seayah
n) Suami
9
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 113
10
A. Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1997), h. 34
11
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris…,h. 81
o) Orang atau budak yang dimerdekakan
Pembagian ahli waris tersebut berdasarkan firman Allah dalam
QS. An-Nisa: 11 yang berbunyi:
È⎦÷⎫tGt⊥øO$# s−öθsù [™!$|¡ÎΣ £⎯ä. βÎ*sù 4 È⎦÷⎫u‹sVΡW{$# Åeáym ã≅÷VÏΒ Ìx.©%#Ï9 ( öΝà2ω≈s9÷ρr& þ’Îû ª!$# ÞΟä3ŠÏ¹θãƒ
$yϑåκ÷]ÏiΒ 7‰Ïn≡uρ Èe≅ä3Ï9 Ïμ÷ƒuθt/L{uρ 4 ß#óÁÏiΖ9$# $yγn=sù Zοy‰Ïm≡uρ ôMtΡ%x. βÎ)uρ ( x8ts? $tΒ $sVè=èO £⎯ßγn=sù
ß]è=›W9$# ÏμÏiΒT|sù çν#uθt/r& ÿ…çμrOÍ‘uρuρ Ó$s!uρ …ã&©! ⎯ä3tƒ óΟ©9 βÎ*sù 4 Ó$s!uρ …çμs9 tβ%x. βÎ) x8ts? $£ϑÏΒ â¨ß‰¡9$#
öΝä.äτ!$t/#u™ 3 A⎦ø⎪yŠ ÷ρr& !$pκÍ5 ©Å»θム7π§‹Ï¹uρ ω÷èt/ .⎯ÏΒ 4 â¨ß‰¡9$# ÏμÏiΒT|sù ×οuθ÷zÎ) ÿ…ã&s! tβ%x. βÎ*sù 4
$¸ϑŠÎ=tã tβ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 «!$# š∅ÏiΒ ZπŸÒƒÌsù 4 $YèøtΡ ö/ä3s9 Ü>tø%r& öΝß㕃r& tβρâ‘ô‰s? Ÿω öΝä.äτ!$oΨö/r&uρ
∩⊇⊇∪ $VϑŠÅ3ym
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Pada ayat ini, Allah swt. memulainya dengan anak laki-laki
karena anak laki-laki didahulukan dalam hukum waris, termasuk
didahulukan daripada ayah. Hal tersebut dilakukan karena anak lakilaki merupakan furu’ (keturunan) si mayit, dimana hubungan furu’
dengan asalnya lebih utama ditimbang hubungan asal dengan furu’nya.
Ayat ini menegaskan bahwa ada hak buat lelaki dan perempuan
berupa bagian tertentu dari warisan ibu bapak dan kerabat yang akan
diatur Allah Tuhan Yang Maha Tinggi itu. Nah, ayat ini merinci
ketetapan-ketetapan tersebut dengan menyatakan bahwa Allah
mewasiatkan kamu, yakni mensyariatkan menyangkut pembagian
pusaka untuk anak-anak kamu, yang perempuan maupun lelaki,
dewasa maupun anak-anak.12
Yaitu, bagian seorang anak lelaki dari anak-anak kamu, kalau
bersamanya ada anak-anak perempuan dan tidak ada halangan yang
ditetapkan agama baginya untuk memperoleh warisan, misalnya
membunuh pewaris atau berbeda agama dengannya, maka dia berhak
memperoleh warisan yang kadarnya sama dengan bagian dua orang
anak perempuan sehingga jika dia hanya berdua dengan saudara
perempuannya maka dia mendapat dua pertiga dan saudara
perempuannya mendapat sepertiga, dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, dan tidak ada bersama keduanya seorang
anak lelaki maka bagi mereka dua pertiga dari harta warisan yang
ditinggalkan yang meninggal itu; jika anak perempuan itu seorang diri
saja tidak ada waris lain yang berhak bersamanya, maka ia
memperoleh setengah tidak lebih dari harta warisan itu.
Setelah mendahulukan hak-hak anak, kerena umumnya mereka
lebih lemah dari orang tua, kini dijelaskan hak ibu bapak karena
merekalah yang terdekat kepada anak, yaitu dan untuk kedua orang ibu
bapaknya, yakni ibu bapak anak yang meninggal, baik yang meninggal
lelaki maupun perempuan , bagi masing-masing keduanya, yakni bagi
ibu dan bapak seperenam dari harta yang ditinggalkan, jumlah itu
menjadi haknya jika yang meninggal itu mempunyai anak, tetapi jika
orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak baik lelaki maupun
12
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah ....., vol. 2, h. 359
perempuan dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya saja, maka ibunya
mendapat sepertiga dan selebihnya buat ayahnya, ini jika yang
meninggal itu tidak mempunyai saudara-saudara.
Tetapi jika yang meninggal itu mempunyai beberapa yakni dua
atau lebih saudara baik saudara seibu sebapak maupun hanya seibu
atau sebapak, lelaki atau perempuan dan yang meninggal tidak
mempunyai anak-anak maka ibunya yakni ibu dari yang meninggal itu
mendapat seperenam dari harta warisan, sedang ayahnya mendapat
sisanya, sedang saudara-saudara itu tidak mendapat sedikitpun
warisan. Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat sebelum kematiannya atau juga sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat sebelum kematiannya atau dan juga setelah
sesudah dilunasi utangnya bila ia berhutang.
Orang tua kamu dan anak-anak kamu yang Allah rinci
pembagiannya ini, ditetapkan Allah sedemikian rupa karena kamu
tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat dengan
manfaatnya bagi kamu sehingga kamu yang menetapkannya kamu
akan keliru. Karena itu laksanakanlah dengan penuh tanggung jawab
karena ini adalah ketetapan yang turun langsung dari Allah.
Sesugguhnya Allah sejak dahulu hingga kini dan masa datang selalu
Maha Mengetahui segala sesuatu lagi Maha Bijaksana dalam segala
ketetapan-ketetapan-Nya.
FirmanNya “bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan” mengandung penekanan pada bagian anak
perempuan. Karena dengan dijadikannya bagian anak perempuan
sebagai ukuran buatan bagian anak lelaki, maka itu berarti sejak semua
seakan-akan sebelum ditetapkannya hak anak lelaki dan hak anak
perempuan telah terlebih dahulu ada. Bukankah jika anda akan
mengukur sesuatu, terlebih dahulu anak harus memiliki alat ukur, baru
kemudian menetapkan kadar ukuran sesuatu itu? Penggunaan redaksi
ini, adalah untuk menjelaskan hak perempuan memperoleh warisan,
bukan seperti yang diberlakukan pada masa jahiliah.
Pemilihan kata zakar yang diterjemahkan di atas dengan anak
lelaki dan bukan rajul yang berarti lelaki untuk menegaskan bahwa
usia tidak menjadi faktor pengahalang bagi penerimaan warisan,
karena kata zakar dari segi bahasa berarti jantan, lelaki kecil maupun
besar.
FirmanNya “bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan”, penggalan ayat ini tidak menjelaskan berapa bagian
yang diperoleh seandainya yang ditinggal dua orang perempuan.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bagian dua orang perempuan
sama dengan bagian lebih dari dua orang perempuan. Riwayat tentang
sebab turunnya ayat ini, disamping sekian istinbath hukum yang ditarik
dari ayat-ayat waris menjadi alasan pendapat ini. Riwayat tersebut
menyatakan bahwa:
‫ﺻﻠﱠﻰ‬
َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬
ِ ‫ﺳ ْﻌ ٍﺪ ِإﻟَﻰ َرﺳُﻮ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺮﺑِﻴ ِﻊ ﺑِﺎ ْﺑﻨَﺘَ ْﻴﻬَﺎ ِﻣ‬
ِ ‫ﺳ ْﻌ ِﺪ ْﺑ‬
َ ‫ت ا ْﻣ َﺮَأ ُة‬
ْ ‫ل ﺟَﺎ َء‬
َ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﻦ ﺟَﺎ ِﺑ ِﺮ ْﺑ‬
ْ‫ﻋ‬
َ
ُ ‫ﻚ َی ْﻮ َم ُأ‬
‫ﺷﻬِﻴﺪًا‬
َ ٍ‫ﺣﺪ‬
َ ‫ﻞ أَﺑُﻮ ُهﻤَﺎ َﻣ َﻌ‬
َ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺮﺑِﻴ ِﻊ ُﻗ ِﺘ‬
ِ ‫ﺳ ْﻌ ِﺪ ْﺑ‬
َ ‫ن ا ْﺑ َﻨﺘَﺎ‬
ِ ‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ هَﺎﺕَﺎ‬
َ ‫ﺖ یَﺎ َرﺳُﻮ‬
ْ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎَﻟ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
‫ﻚ‬
َ ‫ل َی ْﻘﻀِﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ ﻓِﻲ َذِﻟ‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬
ٌ ‫ن إِﻟﱠﺎ وَﻟَ ُﻬﻤَﺎ ﻣَﺎ‬
ِ ‫ع َﻟ ُﻬﻤَﺎ ﻣَﺎﻟًﺎ وَﻟَﺎ ُﺕ ْﻨ َﻜﺤَﺎ‬
ْ ‫ﺧ َﺬ ﻣَﺎَﻟ ُﻬﻤَﺎ َﻓَﻠ ْﻢ َی َﺪ‬
َ ‫ﻋ ﱠﻤ ُﻬﻤَﺎ َأ‬
َ ‫ن‬
‫َوِإ ﱠ‬
‫ﺳ ْﻌ ٍﺪ‬
َ ‫ﻲ‬
ْ ‫ﻂ ا ْﺑ َﻨ َﺘ‬
ِ‫ﻋ‬
ْ ‫ل َأ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ِإﻟَﻰ ﻋَ ﱢﻤﻬِﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬
ُ ‫ﺚ َرﺳُﻮ‬
َ ‫ث َﻓ َﺒ َﻌ‬
ِ ‫ﺖ ﺁ َی ُﺔ ا ْﻟﻤِﻴﺮَا‬
ْ ‫َﻓ َﻨ َﺰَﻟ‬
13
َ ‫ﻦ َوﻣَﺎ َﺑ ِﻘ‬
َ ‫ﻂ ُأ ﱠﻣ ُﻬﻤَﺎ اﻟ ﱡﺜ ُﻤ‬
ِ‫ﻋ‬
ْ ‫ﻦ َوَأ‬
ِ ‫اﻟ ﱡﺜُﻠ َﺜ ْﻴ‬
َ ‫ﻲ َﻓ ُﻬ َﻮ ﻟَﻚ‬
“Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata : Istri Sa’ad bin Rabi’ pernah
datang kepada Rasulullah saw. bersama kedua putrinya (Sa’ad bin
Robi’) kemudia berkata: ‘Ya Rasulullah, inilah kedua putri Sa’ad bin
Robi’, ayahnya gugur sebagai syahid bersamamu dalam perag Uhud.
Sesungguhnya pamannya telah mengambil hartanya tanpa
meninggalkan sedikitpun harta untuk mereka berdua. Dan mereka
tidak dapat dinikahkan kecuali mereka punya harta.’ Rasulullah saw
bersabda: ‘Allah akan memutuskan permasalahan ini.’ Lalu turunlah
ayat waris, maka Rasulullah saw mengirim seseorang menemui paman
mereka (kedua putri Sa’ad bin Robi’) dan bersabda: ‘Berilah kedua
putrid Sa’ad dua pertiga, berilah ibu mereka (istri sa’ad)
13
Al-Albani, Sunan Tirmidzi, Juz. 7, h. 437
seperdelapan dan sisanya untukmu (saudara laki-laki Sa’ad).” (H.R
Tirmidzi, Ibnu Majah)14
Alasan berdasarkan istinbath, antara lain adalah bahwa Allah
saw. telah menjadikan bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan. Sehingga bila seseorang meninggalkan
seorang anak lelaki dan dua orang anak perempuan, maka dalam kasus
ini anak lelaki mendapat dua pertiga dan saudara perempuannya
mendapat sepertiga. Nah, dua pertiga ketika itu dipersamakan dengan
hak dua orang perempuan. Bukankah Allah swt. menyatakan bahwa hak
anak lelaki dua kali banyaknya hak anak perempuan?
Adapun ahli waris perempuan yang telah disepakati dapat
mewarisi adalah:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
Anak perempuan
Cucu dan cicit perempuan serta generasi di bawahnya
Ibu
Nenek seibu
Nenek seayah
Saudara perempuan sekandung
Saudara perempuan seayah
Saudara perempuan seibu
Istri
Perempuan yang membebaskan budak
Berdasarkan keterangan di atas mengenai ahli waris laki-laki
dan perempuan, maka perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini :
a) Yang dimaksud dengan kakek laki-laki adalah kakek laki-laki yang
dinasabkan pada si mayit dan dalam garis keturunannya tidak
dijumpai garis nasab wanita.
b) Yang dimaksud dengan paman dari nasab laki-laki adalah saudara
laki-laki bapak dari nasab laki-laki pula, baik itu saudara
kandungnya ataukah se-bapak saja.
14
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah ..., vol. 2, h. 361
c) Yang dimaksud dengan anak wanita dari saudara laki-laki hingga
ke bawah adalah kemenakan dari nasab laki-laki yang bersambung
dalam garis nasab laki-laki saja.
d) Yang dimaksud dengan nenek dari pihak ibu pada nasab wanita
adalah semua nenek dalam garis nasab wanita saja. Artinya, jikalau
dalam garis nasab itu diselingi dengan nasab laki-laki maka ia
sama sekali bukan ahli waris si mayit.
e) Yang dimaksud dengan nenek dari pihak bapak baik dari nasab
wanita ataukah laki-laki dalam garis nasab wanita adalah garis
nasab yang tidak diselingi dengan nasab selainnya. Jika nenek itu
dari garis nasab wanita maka tidak boleh dijumpai adanya nasab
laki-laki di antara dua nasab wanita, demikian halnya jika dari
nasab laki-laki, maka tidak boleh dijumpai adanya nasab wanita
antara kakek si mayit dan si mayit itu sendiri.
f) Jikalau ke semua ahi waris laki-laki ada, maka yang berhak
mendapatkan warisan hanya lima saja, anak wanita, cucu wanita
dari nasab laki-laki, ibu, saudara kandung wanita dan istri.
g) Dan jika kesemua ahli waris wanita dan laki-laki bertemu/ ada,
maka warisan hanya berhak diberikan kepada lima orang saja,
yaitu: kedua orang tua si mayit (ibu atau bapak), anak laki-laki
maupun wanita, suami mayit ataukah istrinya.
3) Harta yang Hendak Diwariskan
Warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam yaitu
sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia
dalam keadaan bersih. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh
para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, setelah
dikurangi
dengan
pembayaran
hutang-hutang
pewaris
dan
pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si
peninggal waris.15
Sedangkan menurut Abu Zakariya Al-Atsary menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta baik itu
berupa harta benda, uang, atau kepemilikan yang memiliki nilai dan
serupa dengan itu, yang ditinggalkan oleh si mayit bagi para ahli
warisnya.16
Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan jenis harta yang dilarang
mengambilnya dan jenis harta yang boleh diambil dengan jalan yang
baik, diantara harta yang halal (boleh) diambil ialah harta pusaka. Di
dalam Al-Qur’an dan Hadis telah diatur cara pembagian harta pusaka
dengan seadil-adilnya, agar harta itu menjadi halal dan berfaedah.
Sebagaimana firman Allah swt. dalam Al-Qur’an surat An-Nisa: 7:17
Èβ#t$Î!≡uθø9$# x8ts? $£ϑÏiΒ Ò=ŠÅÁtΡ Ï™!$|¡ÏiΨ=Ï9uρ tβθç/tø%F{$#uρ Èβ#t$Î!≡uθø9$# x8ts? $£ϑÏiΒ Ò=ŠÅÁtΡ ÉΑ%y`Ìh=Ïj9
∩∠∪ $ZÊρãø¨Β $Y7ŠÅÁtΡ 4 uèYx. ÷ρr& çμ÷ΖÏΒ ¨≅s% $£ϑÏΒ šχθç/tø%F{$#uρ
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”
Ayat ini menjelaskan hak lain yang harus diturunkan dan yang
dalam kenyataan di masyarakat sering diabaikan, yaitu hak-hak waris.
Dapat juga dikatakan bahwa setelah ayat yang lalu memerintahkan
untuk menyerahkan harta kepada anak-anak yatim, wanita dan kaum
lemah, maka seakan-akan ada yang bertanya: “darimanakan wanita
dan anak-anak itu memperoleh harta?” maka diinformasikan dan
ditekankan disini bahwa bagi laki-laki dewasa atau anak-anak yang
15
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 13
16
Abu Zakariya Al Atsary, Penununtun Ringkas…, h. 36
17
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), h. 346
ditinggal mati orang tua dan kerabat, ada hak berupa bagian tertentu
yang akan diatur Allah setelah turunnya ketentuan umum ini dari harta
peninggalan ibu bapak dan para kerabat. Karena ketika itu mereka
tidak memberi harta peninggalan kepada wanita dengan alasan mereka
tidak ikut berperang, maka secara khusus dan mandiri ayat ini
menekankan bahwa dan bagi wanita, baik dewasa maupun anak-anak
ada juga hak berupa bagian tertentu.18
Supaya tidak ada kerancuan menyangkut sumber hak mereka
itu, ditekankan bahwa hak itu sama sumbernya dari perolehan lelaki,
yakni dari harta peninggalan ibu bapak dan para kerabat dan agar lebih
jelas lagi persamaan hak itu, ditekankan sekali lagi bahwa baik harta
peninggalan itu sedikit atau banyak, yakni hak itu adalah menurut
bagian yang ditetapkan oleh Yang Maha Agung, Allah swt.
Kata rijali yang diterjemahkan lelaki, dan nisa yang
diterjemahkan perempuan, ada yang memahaminya dalam arti mereka
yang dewasa, dan ada pula yang memahaminya mencakup dewasa dan
anak-anak. Pendapat kedua ini lebih tepat, apalagi bila dikaitkan
dengan sebab turunnya ayat ini, yang menurut salah satu riwayat
bahwa seorang wanita bernama Ummu Kuhlah yang dikaruniai dua
orang anak perempuan hasil pernikahannya dengan Aus bin Tsabit
yang gugur dalam perang Uhud. Ummu Kuhlah datang kepada Rasul
saw. mengadukan paman putri itu, yang mengambil semua
peninggalan Aus, tidak menyisakan sedikitpun untuknya dan kedua
anaknya. Rasulullah saw. menyuruh mereka menanti, dan tidak lama
kemudian turunlah ayat ini dan ayat-ayat kewarisan.
Kata mafrudhan berarti wajib. Kata faradha adalah kewajiban
yang bersumber dari yang tinggi kedudukannya, dalam konteks ayat
ini adalah Allah swt. adalah kewajiban yang bersumber dari yang
tinggi kedudukannya, dalam konteks ayat ini adalah Allah swt. sedang
kata wajib tidak harus bersumber dari yang tinggi, karena bisa saja
18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah..., vol. 2, h. 352
seseorang mewajibkan sesuatu atas dirinya. Dengan demikian, hak
warisan yang ditentukan itu bersumber dari Allah swt. dan jika
demikian tidak ada alasan untuk menolak atau mengubahnya.
Ada beberapa hak yang wajib didahulukan dari pembagian
harta warisan kepada ahli waris, yaitu:19
a) Yang terutama adalah hak yang bersangkutan dengan harta itu,
seperti zakat sewa menyewa. Hak ini hendaklah diambil lebih
dahulu dari jumlah harta sebelum dibagi-bagi kepada ahli waris.
b) Biaya untuk mengurus mayat, seperti harga kafan, upah menggali
tanah kubur dan sebagainya.
c) Utang. Kalau si mayat meninggalkan utang, utang itu hendaklah
dibayar dari harta peninggalannya sebelum dibagi untuk ahli
warisnya.
d) Wasiat. Kalau si mayat mempunyai wasiat yang banyaknya tidak
lebih dari sepertiga harta peninggalannya, wasiat itu hendaklah
dibayar dari jumlah harta peninggalannya sebelum dibagi-bagi.
Firman Allah swt:
A⎦ø⎪yŠ ÷ρr& !$pκÍ5 ©Å»θム7π§‹Ï¹uρ ω÷èt/ .⎯ÏΒ 4 Þâ
“Pembagian harta pusaka itu sesudah dipenuhi wasiat yang ia
(mayat)buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya” (An-Nisa: 11)
e) Sesudah dibayar semua hak tersebut di atas, barulah harta
peninggalan si mayat itu dibagi kepada ahli waris menurut
pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab-Nya yang
suci.
c. Syarat-Syarat Pewarisan
1) Memastikan wafatnya si mayit, baik itu secara pasti dengan melihat
secara langsung ataukah dengan kabar yang tersebar luas.
19
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam…., h. 347
2) Memastikan keberadaan atau hidupnya ahli waris setelah wafatnya si
mayit, baik itu mengetahui keberadaan ahli waris dengan melihat,
ataukah kabar dari dua orang yang adil.
3) Mengetahui jalur-jalur pewarisan dan sebab-sebabnya, dimana
pewarisan adalah sesuatu yang didasarkan sifat-sifat tertentu antara si
mayit dan ahli waris yang merupakan pertalian kekeluargaan di antara
keduanya. Seperti hubungan keturunan, orang tua, saudara, suami istri
dan seterusnya.
d. Hak Waris
Al-Qur’an telah menetapkan ketentuan waris untuk ahli waris yang
utama dan langsung bersentuhan dengan mayit, yaitu: ayah, ibu, suami/
istri dan saudara.20
1) Hak waris anak, ayah dan ibu
a) anak laki-laki
= ashabah21 (2x bagian anak perempuan)
b) anak perempuan
= ½ bagian anak laki-laki
= ½ (jika hanya seorang anak perempuan)
= 2/3 (jika dua orang atau lebih)
c) ayah
= 1/6 (jika ada anak)
= ashabah (jika tidak ada anak)
d) ibu
= 1/6 (jika ada anak atau tidak ada anak tapi
ada beberapa orang saudara)
= 1/3 (jika ada anak)
2) Hak waris suami/ istri dan saudara seibu
a) Suami
= ½ (jika tidak ada anak)
= ¼ (jika ada anak)
b) Istri
= ¼ (jika tidak ada anak)
= 1/8 (jika ada anak)
20
Subchan Bashori, Al-Faraidh Hukum Waris….,, h. 55
Ashabah adalah kelompok ahli waris yang hak warisnya tidak tertentu bagiannya, tetapi
bagiannya adalah menghabiskan seluruh harta waris atau seluruh sisa dari harta waris setelah
dikurangi bagian dzawil furudh (keompok ahli waris ya.ng tertentu bagiannya).
21
c) Saudara seibu (jika tidak ada anak dan ayah)
= 1/6 (jika hanya seorang)
= 1/3 (jika saudara seibu lebih dari seorang,
dibagi rata)
3) Hak waris saudara kandung
a) Saudara perempuan
= ½ (jika hanya seorang)
= 2/3 (jika dua orang atau lebih)
b) Saudara laki-laki
= ashabah
= 2x bagian saudara perempuan (jika ada
saudara laki-laki dan saudara perempuan)
Sedangkan Otje Salman menjelaskan bahwa bagian hak waris
untuk anak laki-laki dan anak perempuan adalah sebagai berikut:22
1) Bagian anak laki-laki adalah:
1) Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewarisi bersama
dengan anak laki-laki lainnya.
2) Masing-masing 2 bagian dari sisa jika mereka mewarisi bersama
anak perempuan.
2) Bagian anak perempuan adalah:
a) 1/2 bagian jika seorang
b) 2/3 bagian jika beberapa orang
c) Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama
anak laki-laki.
2. Sistem Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Waris Minangkabau
a. Hukum Waris Adat Matrilineal
Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa
menjadi masalah aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin
disebabkan karena kekhasan dan keunikan bila dibandingkan dengan
22
R. Otje Salman S. SH dan Mustofa Haffas, SH, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2006), h. 57
sistem hukum adat waris dari daerah-daerah lain di Indonesia ini. Seperti
telah dikemukakan, bahwa sistem kekeluargaan di Minangkabau adalah
sistem menarik garis keturunan dari pihak ibu (matrilineal) yang dihitung
menurut garis keturunan ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara
perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun
perempuan.
Harta pusaka di Minangkabau menjadi milik kaum perempuan,
karena sistem kekerabatan di Minangkabau disusun berdasarkan garis
keturunan ibu. Sistem inilah yang disebut dengan sistem matrilineal.
Alasan berlakunya sistem matrilineal dalam urusan harta pusaka
adalah karena harta di Minangkabau menjadi milik kaum. Kemudian yang
memelihara keturunan kaum adalah pihak perempuan. Dengan demikian,
segala hak terhadap harta pusaka (tanah, sawah, rumah gadang, dan
barang-barang lainnya) berada pada pihak perempuan.23
Tujuan lain dari sistem ini adalah untuk keselamatan hidup kaum
perempuan. Hal ini dikarenakan menurut kodrat, kaum perempuan
bertulang lemah. Meskipun seorang perempuan tidak lagi mempunyai
seorang suami, ia masih tetap bisa menghidupi dirinya dan anak-anaknya,
karena adanya harta pusaka yang menjadi miliknya. Oleh karena itulah
pewarisan harta dilakukan berdasarkan sistem matrilineal.
Ciri-ciri khas sistem matrilineal yang membedakan dari sistem
patrilineal, adalah sebagai berikut:24
1) Keturunan ditelusuri melalui garis wanita.
2) Anggota kelompok keturunan direktrut melalui garis wanita.
3) Pewarisan harta pusaka dan suksesi politik disalurkan melalui garis
wanita.
Dengan sistem tersebut, maka semua anak-anak hanya mendapat
ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi yaitu harta
23
24
Yulfian Azrial, Budaya Alam Minangkabau,(Padang: Angkasa Raya, 2008), h. 40
Jurnal Adat dan Budaya Minangkabau Edisi Kedua/ Vol.2/ Maret-Mei/ Jakarta: 2004, h. 12
yang turun temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah
yaitu harta yang turun dari satu generasi. Misalnya harta pencaharian yang
diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko, akan jatuh kepada
jurai25-nya sebagai harta pusaka rendah jika pemilik harta pencaharian itu
meninggal dunia. Jika yang meninggal dunia itu adalah seorang laki-laki,
maka anak-anaknya serta jandanya tidak menjadi ahli waris untuk harta
pusaka tinggi, sedang yang menjadi ahli warisnya adalah seluruh
kemenakannya.
b. Ahli Waris
Ahli waris adalah mereka yang mempunyai pertalian adat terdekat.
Pengertian hak milik perseorangan atas tanah tidak ada. Tanah pusaka
merupakan suatu bagian yang integral dengan kelompok kekerabatan.
Tanah pusaka tidak hanya merupakan sumber kegiatan-kegiatan ekonomi
tetapi sekaligus juga merupakan lambang atau status tertentu dalam
masyarakat.
“Kaum” dalam masyarakat Minangkabau merupakan persekutuan
hukum adat yang mempunyai daerah tertentu yang dinamakan “tanah
ulayat”. Kaum serta anggota kaum diwakili keluar oleh seorang “mamak
kepala waris”. Anggota kaum yang menjadi kepala waris lazimnya adalah
saudara laki-laki yang tertua dari ibu. Mamak kepala waris harus yang
cerdas dan pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum terletak
pada rapat kaum, bukan pada mamak kepala waris. Anggota kaum terdiri
atas kemenakan dan kemenakan itu adalah ahli waris. Menurut hukum
adat Minangkabau, ahli waris dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Waris bertali darah
25
Dalam Ensiklopedia Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia dijelaskan bahwa jurai yaitu
bagian dari famili (persekutuan hukum adat), biasanya satu jurai merupakan satu rumah yang
terdiri dari beberapa nenek dengan anak-anaknya lelaki dan perempuan. Suatu jurai dipimpin oleh
seorang Tungganai atau mamak kepala waris.
Ahli waris bertali darah yaitu ahli waris kandung atau ahli waris
sedarah. Masing-masing ahli waris yang termasuk waris bertali darah
ini mewaris secara bergiliran.
2) Waris bertali adat
Ahli waris bertali adat yaitu ahli waris yang sesama ibu asalnya yang
berhak memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris
bertali darah. Setiap nagari di Minangkabau mempunyai nama dan
pengertian tersendiri untuk waris bertali adat.
Bagi masyarakat yang berstel-stel matrilineal seperti Minangkabau,
warisan diturunkan kepada kemenakan, baik warisan gelar maupun
warisan harta yang biasanya disebut
sako26 atau pusako (saka atau
pusaka). Sebagai warisan, harta yang ditinggalkan pewaris tidak boleh
dibagi-bagi oleh yang berhak. Setiap harta yang telah jadi pusaka selalu
dijaga agar tinggal utuh, demi untuk menjaga keutuhan kaum kerabat,
sebagaimana yang diajarkan falsafah alam dan hukum adat mereka. Pada
gilirannya diturunkan pula kepada kemenakan berikutnya. Kemenakan
laki-laki dan perempuan yang berhak menerima warisan memiliki
kewenangan yang berbeda. Kemenakan laki-laki mempunyai hak untuk
mengusahakan, sedangkan kemenakan perempuan berhak memiliki.
Dalam mamangan disebutkan warih dijawek, pusako ditolong (waris
dijawat, pusaka ditolong). Maksudnya ialah bahwa sebagai warisan harta
itu harus dipelihara dengan baik.27
Menurut adat, mamak wajib menjaga keselamatan segala harta
pusakanya, dan membagi harta pusaka itu kepada segala kemenakannya
dengan peraturan yang adil menurut timbangan mamak. Yang banyak
dibanyakan, yang sedikit disedikitkan agar semua kemenakannya hidup
senang dengan tiada merasa iri hati satu sama lainnya dalam hal
menguasai atau memakai harta pusaka itu.
26
Sako artinya warisan yang tidak bersifat benda seperti gelar pusaka.
A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru Adat Dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta:
PT. Pustaka Grafitipers, 1986), h. 158
27
Menurut sepanjang adat segala harta pusaka tidak boleh dibagi
menjadi hak sendiri-sendiri oleh orang yang menerima pusaka itu, tetapi
boleh dibagi oleh yang berkaum yang sama-sama menerima harta pusaka
itu untuk mengerjakan menurut aturan mamak.
Pembagian itu namanya genggam beruntuk-untuk, bukan berarti
pembagian itu untuk jadi kepunyaan masing-masing yang diwarisi harta
itu, tetapi harta itu tetap kepunyaan bersama juga. Hanya saja, hasil-hasil
yang dikeluarkan dari harta pusaka itu dibagi menurut aturan yang
berlaku. Misalnya hasil sawah atau hasil ladang yang dikerjakan oleh
pewaris, maka hasil itu dibagi dengan keadilan yang sudah diatur oleh
adat.
Jika yang meninggalkan warisan tanah pusaka adalah wanita, maka
ahli waris adalah seluruh anak-anaknya. Bila dia tidak mempunyai anak,
warisan tanah pusaka diterima oleh saudara-saudaranya. Jika yang
meninggalkan tanah pusaka adalah pria maka ahli waris adalah saudarasaudaranya. Garis lain yang diturut seandainya mereka yang meninggalkan
tanah pusaka tidak mempunyai ahli waris menurut pertalian darah ibu
adalah penentu ahli waris menurut pertalian adat.
c. Harta Pusaka
Di Minangkabau bila orang menyebut harta, maka sering tertuju
penafsirannya kepada harta yang berupa materi saja. Harta yang berupa
material ini seperti sawah ladang, rumah gadang, emas perak, dan lainlain. Sebenarnya di samping harta yang berupa material ini, ada pula harta
yang berupa moril seperti gelar pusaka yang diwarisi secara turun
temurun. Orang yang banyak harta material, dikatakan orang berada atau
orang kaya. Tetapi menurut pandangan adat orang berada atau banyak
harta ditinjau dari banyaknya harta pusaka yang turun temurun
dimilikinya.
Harta pusaka adalah segala benda peninggalan orang yang sudah
meninggal. Harta itu menjadi hak perserikatan di dalam kaum oleh segala
ahli warisnya, menurut tali warisnya masing-masing, maka dikatakan juga
harta pusaka itu adalah harta kongsi perserikatan bersama oleh orang yang
setali waris dengan orang yang meninggalkan harta itu.28
Amir M.S menjelaskan bahwa pusako atau harta pusako adalah
segala kekayaan materil atau harta benda yang juga disebut dengan pusako
harato. Yang termasuk pusako harato seperti:29
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
Hutan sawah
Sawah ladang
Tabek dan Parak (Tambak dan kebun)
Rumah gadang
Pandang pekuburan
Perhiasan dan uang
Balai dan mesjid
Peralatan dan lain-lain.
Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa harta
pusaka adalah harta yang diwariskan dari pewaris kepada ahli waris untuk
dipelihara.30
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa harta
pusaka Minangkabau adalah segala benda peninggalan seseorang yang
diwariskan kepada ahli waris berdasarkan garis keturunan ibu agar ahli
waris dapat terus menjaga dan melestarikan warisan tersebut.
Harta pusaka itu tidak boleh dibagi menjadi hak perorangan oleh
orang yang menerima pusaka, melainkan wajib selamanya menjadi hak
serikat dalam kaum yang menerima pusaka itu turun temurun. Hasil-hasil
yang keluar dari harta pusaka itu wajib dipergunakan untuk penambah
besarnya harta pusaka atau harta kongsi tadi.
Harta pusaka ini merupakan jaminan utama untuk kehidupan dan
perlengkapan bagi anak kemenakan di Minangkabau, terutama untuk
kehidupan yang berlatarbelakang kehidupan desa yang agraris.
28
Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau Tatanan Adat Warisan Nenek
Moyang Orang Minang, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2009), h. 221
29
Amir M.S, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta: Mutiara
Sumber Widya, 2006), h. 95
30
Kamus Bahasa Indonesia
Perubahan kehidupan ekonomi ke arah industri dan usaha jasa dan
berkembangnya kehidupan kota, membuat peranan harta pusaka sebagai
sarana penunjang kehidupan ekonomi orang Minang menjadi makin lama
makin berkurang. Namun demikian, peranan harta pusaka sebagai simbol
kebersamaan dan kebanggan keluarga dalam sistem kekerabatan
matrilineal di Minangkabau tetap bertahan. Harta pusaka sebagai alat
pemersatu keluarga masih tetap berfungsi dengan baik.
Orang asli yang membuka tanah dan hutan dengan istilah
melancang melatih, mempunyai kekayaan dalam bentuk tanah, sawah,
ladang, tanah perumahan dan tanah pekuburan. Kekayaan ini berikut
dengan rumah gadang dan rangkiang di atasnya menjadi harta kelompok
kekerabatan dan karenanya diwariskan menurut garis ibu. Kekayaan ini
disebut pusako (pusaka).
Kekayaan imateril berupa gelar dan kedudukan dalam masyarakat
disebut sako. Kekayaan imateril ini juga diwariskan menurut garis ibu
kecuali pada golongan raja-raja. Tanah-tanah atau hutan-hutan yang belum
dimiliki oleh suatu kelompok kekerabatan dan yang dicadangkan untuk
anggota kelompok negeri di masa mendatang disebut tanah ulayat.
Penguasaan tanah pusaka suatu kelompok kekerabatan dilakukan
berdasakan
genggam
beruntuk.
Seluruh
tanah
pusaka
kelompok
kekerabatan saparuik (sekandung) dibagikan dan diusahakan oleh
kekerabatan samande (seibu). Secara keseluruan tanah pusaka yang telah
dikuasai oleh kelompok kerabat diatur menurut pertalian darah dari pihak
ibu.
Hamka menjelaskan bahwa menurut adat harta itu terbagi dua31:
1) Pusaka Tinggi
2) Pusaka Rendah
Pusaka tinggi didapat dengan tembilang besi, Pusaka Rendah di
dapat dengan tembilang emas. Harta pusaka rendah apabila sudah sekali
turun, naik dia menjadi harta pusaka tinggi.
31
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), h. 96
Begitu kuatnya kedudukan pusaka tinggi itu, sehingga harta
pencaharian “urang sumando” misalnya rumah yang dibuatnya untuk anak
isterinya, tidak terletak di tanah pusaka isterinya, tidaklah berhak ia
menjualnya kembali, meskipun harta pencahariannya sendiri. Dia tercela
keras oleh adat berbuat demikian. Sebab itu kalau seorang laki-laki
menceraikan isterinya, rumahnya itu tinggallah menjadi hak milik
isterinya. Dan kalau si isteri bersuami baru, suami yang baru itu pun tidak
berhak atas rumah itu. Kalau bercerai, yang dibawa ke luar hanyalah
pakaiannya sehari-hari saja. Dan kalau isteri itu mati, yang punya harta itu
adalah anak-anaknya. Terutama anak yang perempuan, faraidh tidak dapat
masuk kemari.
Pagang-gadai seorang suami untuk anak isteri pun adalah
kepunyaan anak isteri itu. Dan harus diingat bahwa suku ayah yang mati
dengan suku anak-anaknya berlain. Oleh sebab itu rumah buatan Sutan
Indimo orang suku Tanjung, di tanah pusaka isterinya suku Guci, pada
hakikatnya adalah wilayah orang suku Guci. Seluruh orang suku Tanjung
tidak dapat menuntut rumah itu kembali. Dengan demikian, maka harta
pencaharian seorang suku lain, bisa menjadi harta pusaka rendah pada
mulanya (dicari dengan tembilang emas). Tidak berapa lama kemudian
menjadi harta pusaka tinggi dari suku isteri dan anaknya.
Yulfian Azrial menjelaskan bahwa harta pusaka dalam adat
Minangkabau terdiri dari:32
1) Harta Pusaka Tinggi
Harta pusaka tinggi adalah segala harta pusaka yang diwarisi
secara turun temurun. Harta pusaka tinggi dibagikan dengan cara
sistem kewarisan kolektif, yaitu seluruh harta pusaka tingggi diwarisi
oleh sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi
kepemilikannya.
Harta pusaka tinggi didapatkan dari tembilang besi dan
tembilang emas dan diterima secara turun temurun dari mamak
32
Yulfian Azrial, Budaya Alam Minangkabau…., h. 42
(saudara ibu yang laki-laki) kepada kemenakan. Harta ini merupakan
lambang ikatan bagi kaum yang bertali darah.
Harta pusaka tinggi tidak bisa menjadi milik perseorangan.
Harta pusaka tinggi adalah hak milik bersama dari sebuah kaum.
Anggota kaum hanya mempunyai hak untuk menikmati atau
menggunakan selama hidupnya.
Harta pusaka tinggi diwariskan secara turun-temurun dalam
keadaaan yang sama (utuh), karena menurut hukum adat harta pusaka
tinggi tidak boleh diperjual belikan sehingga ia tetap utuh.
Contoh harta pusaka tinggi adalah rumah gadang, perlengkapan
adat, tanah, sawah, ladang, hutan, tanaman keras seperti kelapa,
cengkeh, pala, dan lain-lain.
2) Harta Pusaka Rendah
Harta pusaka rendah adalah harta pusaka yang diterima
kemenakan dari mamak kandung, yang berasal dari hasil pekerjaan
yang diuntukkan buat kemenakannya.
Harta pusaka rendah dimaksudkan untuk harta yang pewarisnya
hanya sedikit, sehingga tidak membutuhkan persetujuan kaum untuk
menggunakannya. Namun, bila harta ini diwariskan lagi dan
pewarisnya telah banyak, harta ini berubah menjadi harta pusaka
tinggi.
Harta pusaka rendah boleh diperjual belikan, namun harus ada
kesepakatan antara mamak dan kemenakan. Apabila ahli waris tetap
menjaga keutuhan harta pusaka rendah ini, kemudian diwariskan lagi
kepada ahli waris berikutnya, sehingga tidak mudah lagi mengatur
kesepakatan dalam pengelolaannya, maka harta ini telah dianggap
sebagai harta pusaka tinggi.
Contoh harta pusaka rendah adalah tanah, sawah, dan ladang
yang ditaruko/ diolah seorang mamak, lalu diwariskan kepada
kemenakannya.
3) Harta Pancaharian (Harta Pencarian)
Harta pencarian adalah harta yang didapatkannya dari hasil
usahanya. Misalnya dengan menggarap sawah atau ladang, berdagang,
pegawai, buruh, dan sebagainya. Sangat jelas bahwa harta pencarian
adalah harta yang didapatkan seseorang dari hasil usahanya sendiri
baik dengan bekerja di kampung halamannya maupun dari hasil ia
merantau. Namun, harta ini pada umumnya tidak banyak berkaitan
dengan harta pusaka di kampung halamannya.
Orang yang berhak atas harta pencarian adalah orang yang
mendapatkan harta tersebut. Misalnya seorang bapak bekerja di sawah
atau ladang milik istrinya, maka hasil sawah dan ladangnya tersebut
adalah hak si bapak bersama istri dan anak-anaknya.
Begitu juga halnya dengan seseorang yang bekerja atau
berdagang, maka hasil dari usahanya tersebut adalah haknya bersama
anak dan istrinya. Pewarisan harta pencarian ini adalah menurut
hukum syara’ (agama), tidak menurut hukum adat dari mamak kepada
kemenakan. Kecuali apabila ia berladang di tanah milik kaumnya, atau
modal yang ia pakai berdagang adalah milik kaumnya, tentu tidak
semuanya menjadi hak ia bersama anak dan istrinya.
4) Harta Suarang (Harta Sendiri)
Harta suarang adalah harta yang diperoleh seseorang ketika ia
masih surang atau sendiri. Harta itu diperolehnya ketika ia belum
berumah tangga atau belum menikah. Jadi harta itu milik surang atau
milik seorang, bukan harta milik bersama.
Hak harta suarang adalah si pemilik harta itu sendiri. Harta
suarang Budi adalah milik Budi, begitu pula harta suarang Marni
adalah hak milik Marni, kecuali ada kesepakatan antara mereka berdua
setelah menjadi suami istri untuk menyatukan harta itu menjadi milik
bersama antara Budi dan Marni.
d. Hak Waris
Petitih mengatakan bahwa sako (saka) dan (pusaka) diwariskan
kepada kemenakannya: “Dari niniak ke mamak, dari mamak turun ke
kemenakan (dari nenek (moyang) ke mamak, dari mamak ke
kemanakan)”. Pengertian nenek (moyang), sudah tentu berdasarkan stel
matrilineal itu, yaitu mamak dari mamak. Mamak merupakan saudara lakilaki ibu. Pengertian turun
dari nenek ke mamak, dari mamak ke
kemenakan ialah turunnya hak warisnya dari sako dan pusako. Sako
adalah warisan jabatan sedangkan pusako merupakan warisan harta benda.
Berhubung sistem ekonomi mereka bersifat komunal, maka dengan
sendirinya harta benda itu milik bersama seluruh kerabat atau seluruh
kaum yang secara geneologis menurut garis keturunan perempuan. Oleh
karena kaum itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka sifat warisan
itu menjadi bergaris yang paralel. Sako diwariskan pada kemenakan yang
di dalamnya melengket segala tugas, hak dan kewajiban laki-laki. Dalam
masalah pusako, kaum laki-laki merupakan kuasa, sedangkan kepemilikan
adalah seluruh kerabat. Dengan sendirinya, meskipun sebagai kuasa, lakilaki tidak berhak menetapkan sendiri kedudukan pusako. Pihak perempuan
mempunyai hak yang sama.
Untuk kedudukan barang-barang yang bergerak berlaku juga
ketentuan adat, seperti halnya bendi, pedati serta ternak. Kemenakan lakilaki dapat memakai atau memeliharanya sebagai sumber nafkahnya, tetapi
tidak dapat memilikinya. Namun, dalam perjalan sejarah, kuasa serta
pemilikan terhadap warisan yang demikian seperti ada suatu kesepakatan
yang telah menjadi kelaziman umum, yaitu harta pusaka demikian jatuh
kepada kemenakan laki-laki, sedangkan harta pusaka seorang ibu jatuh
menjadi milik perempuan. Seperti halnya rumah kediaman pribadi yang
tidak diperoleh karena warisan, barang emas atau peralatan rumah
tangga.33
Terutama berkenaan dengan harta milik seorang ibu, anak laki-laki
akan merasa malu menggunakan haknya sebaga ahli waris. Ajaran mereka
“berpantang
laki-laki
memakan
pencarian
perempuan”,
dapat
menghalanginya untuk menuntut warisan itu sebagai haknya. Harta itu
adalah
harta
hak
saudara
perempuannya.
Seandainya
saudara
perempuannya tidak ada, hak warisan itu akan diberikan kepada saudara
perempuan (anak dari saudara ibunya yang perempuan).
Membagi-bagi harta pusaka kepada ahli waris yang tidak berhak,
dengan sendirinya berakibat memecah belah keutuhan sistem kekerabatan.
Perbuatan itu dipandang tabu serta melanggar adat.
Lebih rinci Dr. Eman Suparman, S.H, M.H menjelaskan bahwa hak
mewarisi dari masing-masing ahli waris satu sama lainnya berbeda
tergantung pada jenis harta peninggalan yang akan ia warisi dan hak
mewarisinya diatur menurut prioritasnya. Hal tersebut akan dapat dilihat
dalam paparan di bahwah ini :34
1) Harta pusaka tinggi
Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka tinggi,
cara pembagiannya berlaku sistem kewarisan kolektif, yaitu seluruh
harta pusaka tinggi diwarisi oleh sekumpulan ahli waris dan tidak
diperkenankan dibagi-bagi pemilikannya. Walaupun tidak boleh
dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris, harta pusaka tinggi dapat
diberikan sebagian kepada seorang anggota kaum oleh mamak kepala
waris untuk selanjutnya dijual atau digadaikan guna keperluan modal
berdagang atau merantau, asal saja dengan sepengetahuan dan seizin
seluruh ahli waris. Di samping itu harta pusaka tinggi dapat dijual atau
digadaikan, guna keperluan :
a) Untuk membayar hutang kehormatan.
33
34
AA. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru…, h. 161
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia…., h. 55
b) Untuk membayar ongkos memperbaiki bandar sawah kepunyaan
kaum.
c) Untuk membayar hutang darah.
d) Untuk menutup kerugian bila ada kecelakaan kapal di pantai.
e) Untuk ongkos naik haji ke Mekkah.
f) Untuk membayar hutang yang dibuat oleh kaum secara bersamasama.
2) Harta pusaka rendah
Semula harta pusaka rendah adalah harta pencaharian. Harta
pencaharian mungkin milik seorang laki-laki atau mungkin juga milik
seorang perempuan. Pada mulanya harta pencaharian seseorang
diwarisi oleh jurai atau setidak-setidaknya kaum masing-masing. Akan
tetapi dalam perkembangan berikutnya karena hubungan seorang ayah
dengan anaknya bertambah erat dan juga sebagai pengaruh agama
Islam, maka seorang ayah dengan harta pencahariannya dapat
membuatkan sebuah rumah untuk anak-anaknya atau menanami tanah
pusaka isterinya dengan tanaman keras, seperti pohon kelapa, durian,
cengkeh, dan lain-lain. Ha ini dimaksudkan untuk membekali isteri
dan anak-anak manakala ayah telah meninggal dunia.
3) Harta suarang
Harta suarang berbeda sama sekali dengan harta pencaharian
sebab harta suarang adalah seluruh harta yang diperoleh suami dan
isteri secara bersama-sama selama dalam perkawinan. Kriteria unutk
menentukan adanya kerjasama dalam memperoleh harta suarang,
dibedakan dalam dua periode, yaitu dahulu ketika suami masih
merupakan anggota keluarganya, ia berusaha bukan untuk anakisterinya melainkan untuk orang tua dan para kemenakannya, sehingga
ketika itu sedikit sekali kemungkinannya terbentuk harta suarang sebab
yang mengurus dan membiayai anak-anak dan isterinya adalah saudara
atau mamak isterinya.
Sedangkan pada dewasa ini adanya kerjasama yang nyata
antara suami-isteri untuk memperoleh harta suarang sudah jelas
nampak, terutama masyarakat Minangkabau yang telah merantau jauh
ke luar tanah asalnya, telah menunjukkan perkembangan ke arah
pembentukan hidup keluarga yaitu antara suami, isteri dan anak-anak
merupakan satu kesatuan dalam ikatan yang kompak. Dalam hal
demikian suami telah bekerja dan berusaha untuk kepentingan isteri
dan anak-anaknya, sehingga dalam kondisi yang demikian keluarga
tadi akan mengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta keluarga
yang disebut harta suarang.
Harta suarang dapat dibagi-bagi apabila perkawinan bubar,
baik bercerai hidup atau salah seorang meninggal dunia. Harta suarang
dapat dibagi-bagi setelah hutang suami-isteri dilunasi terlebih dahulu.
Ketentuan pembagiannya sebagai berikut :
a) Bila suami isteri bercerai dan tidak mempunyai anak, harta
suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri.
b) Bila salah seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak,
maka sebagai berikut:
-
Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua, separoh
merupakan bagian jurai si suami dan separoh lagi merupakan
bagian janda.
-
Jika yang meninggal isteri, harta suarang dibagi dua, sebagian
untuk jurai istri dan sebagian lagi untuk duda.
c) Apabila suami-isteri bercerai hidup dan mempunyai anak, harta
suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri, anak-anak
akan menikmati bagian ibunya.
d) Apabila salah seorang meninggal dunia dan mempunyai anak,
bagian masing-masing sebagai berikut :
-
-
Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua antara
jurai suami dengan janda beserta anak.
-
Jika yang meninggal isteri, harta suarang
½
untuk suami
dan ½ untuk anak sebagai harta pusaka sendiri dan bagian
ibunya.
B. Kerangka Berfikir
Melihat begitu banyak perbedaan yang ada dalam sistem hukum waris
adat Minangkabau dengan sistem hukum waris Islam (Fiqh Mawaris) dalam
Pendidikan Agama Islam, membuat hal ini menjadi sangat penting untuk
dipelajari guna mengetahui sebab adanya perbedaan hukum waris adat
Minangkabau dengan hukum waris Islam.
Perbedaan yang mencolok tentu saja terdapat pada ahli waris. Ahli
waris dalam sistem adat Minangkabau lebih banyak memberikan harta
warisan kepada anak perempuan sebagai kepemilikan, sedangkan anak lakilaki hanya mendapat harta untuk diolah tanpa adanya kepemilikan. Mereka
juga hanya mendapat tanggung jawab dari mamak (paman) mereka, sebab
ayah tidak terlalu berperan penting dalam tanggung jawab anaknya karena
ayah juga menjadi paman bagi kemenakannya, maka ayahnya juga
bertanggung jawab terhadap kemenakannya.
Berbeda dengan sistem hukum waris Islam yang memberikan harta
warisan lebih besar kepada anak laki-laki daripada perempuan. Tidak ada
istilah paman lebih bertanggung jawab daripada ayah seperti halnya di
Minangkabau. Ayah tetap berperan dan harus bertanggung jawab kepada
anaknya. Dari sinilah tampak jelas perbedaan yang terjadi antara sistem
hukum waris adat dengan hukum waris Islam (Fiqh Mawaris) dalam konteks
Pendidikan Agama Islam.
Tabel 2.1
Kerangka Konseptual
Sistem Hukum Waris
Sistem Hukum Waris Islam
Sistem Hukum Waris Adat
(Adat Minangkabau)
Matrilineal
Bilateral Pengertian
Sistem Waris
Ahli Waris
Harta Waris
Studi Banding Sistem Hukum Waris Adat
dengan Hukum Waris Islam
Hak Waris
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
deskriptif analisis dengan mendeskripsikan konsep hak waris anak laki-laki
dan perempuan dari sudut pandang adat Minangkabau dan agama Islam.
Dalam penelitian kualitatif akan dilengkapi dengan studi lapangan untuk
mendapatkan informasi dari beberapa responden dan studi pustaka pada
deskriptif analisis.
Studi pustaka dilakukan untuk menggali berbagai informasi dari bukubuku yang berkenaan dan menunjang dengan kasus yang diteliti atau untuk
mengetahui teori-teori yang telah ada sehingga berdasarkan informasi yang
didapatkan tersebut suatu masalah dapat dianalisa.35
Sedangakan studi lapangan dilakukan untuk mencari informasi
mengenai objek yang diteliti, hanya saja cara ini dilakukan melalui obsevasi,
studi pustaka, wawancara dan dokumentasi. Dalam pelaksanaan studi
lapangan ini perlu dipertimbangkan relevansi antara tekhnik pengumpulan
35
M. Hariwijaya dan Bisri M. Djaelani, Tekhnik Menulis Skripsi dan Thesis, (Jogjakarta:
Zenith Publisher, 2004), cet.1, h .37
data yang digunakan, instrumen yang dipakai, sumber data tempat informasi
diperoleh, sifat data yang dicari dan tujuan yang hendak dicapai.36
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif
dengan metode deskriptif analisis, yakni menganalisa data yang diperoleh dari
responden berupa data dan informasi tentang hukum waris adat Minangkabau
dan hukum waris dalam ajaran Fiqh Mawaris.
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek
darimana data itu diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuesioner atau
wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut
responden, yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan
peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan. 37
Yang menjadi repsonden dalam penelitian ini adalah pengurus
Kerapatan Adat Nagari dan Alim Ulama di kecamatan Koto Tangah Padang.
C. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli 2010 di daerah
kecamatan koto Tangah khususnya di kantor pengurus Kerapatan Adat Nagari
dan Musholla Raudhatussalikin Sumatera Barat .
D. Teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk memperoleh data dalam penyusunan skripsi ini, penulis
menggunakan tiga teknik, yaitu:
1) Observasi
Observasi adalah pengamatan meliputi kegiatan pemusatan
perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra.
Jadi, mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman,
36
Azyumardi Azra, et.al.,Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2002), cet.2, h. 6
37
Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta,
2006), h. 130
pendengaran, peraba dan pengecap. Apa yang dikatakan ini sebenarnya
adalah pengamatan langsung. Di dalam artian penelitian observasi dapat
dilakukan dengan tes, kuesioner, rekaman gambar dan rekaman suara.38
Oleh karena itu, penulis melakukan observasi melalui rekaman
gambar untuk mengumpulkan data dengan mengadakan pengamatan
secara langsung pembagian harta warisan suku Minangkabau di kecamatan
Koto Tangah.
2) Studi Pustaka
Dalam studi pustaka, penulis mencari data mengenai hukum waris adat
Minangkabau dan hukum waris Islam melalaui catatan, buku, jurnal, dan
lain sebagainya. Studi pustaka digunakan untuk mempersiapkan teks-teks
yang digunakan, baik mengenai studi hukum waris Islam maupun
mengenai studi hukum waris adat Minangkabau.
3) Wawancara
Wawancara adalah pengambilan data untuk untuk mendapatkan informasi
dan data dari responden. Penulis berusaha memperoleh informasi tentang
sistem pembagian harta waris dan segala permasalahannya melalui
wawancara langsung kepada kepala adat dan para pemuka agama.
Wawancara dilakukan untuk penjelasan maksud atau tujuan yang terdapat
dalam dialog-dialog pemuka adat dan pemuka agama. Dalam penelitian
ini, ada dua macam wawancara yang digunakan, yaitu:
a. Wawancara bebas
Wawancara bebas yaitu wawancara informal/ tidak resmi yang bisa
terwujud dalam pembicaraan ringan. Namun demikian, keteranganketerangan yang diberikan pada arah yang diinginkan.
b. Wawancara terstruktur
Wawancara tersruktur bertujuan memperoleh keterangan khusus yang
berkaitan dengan masalah penelitian yang disusun dalam bentuk
instrument penelitian berupa daftar wawancara yang direkam dalam
tipe recorder.
38
Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian …, h. 156
4) Dokumentasi
Dokumentasi bertujuan untuk mengabadikan penelitian berupa wawancara
yang dilakukan penulis terhadap pemuka adat dan pemuka agama berupa
foto, pengambilan gambar atau pemotretan yang dilakukan juga untuk
memperkuat data yang diperoleh selama penelitian.
E. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul melalui metode atau teknik mengumpulan data
seperti yang dikemukakan sebelumnya maka penganalisisan data dilakukan
dengan tahap:
1) Reduksi Data
Reduksi
data
merupakan
proses
pemusatan
perhatian
dengan
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang terlihat
dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus
menerus.
2) Displat Data
Displat data yaitu analisis yang dilakukan dengan cara membuat berbagai
table dan keseluruhan data yang diperoleh sehingga lebih mudah untuk
menganalisis data yang diperoleh.
3) Penyajian Data
Penyajian data adalah sejumlah informasi yang tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
4) Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan kegiatan dari satu kegiatan konfigurasi
yang utuh. Kesimpulan dan verifikasi dilakukan selama penelitian.
Kesimpulan awal longgar kemudian semakin rinci dan mengakar dengan
kuat.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
PERBANDINGAN SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARISAN ADAT
MINANGKABAU DENGAN SISTEM
HUKUM WARIS ISLAM
Pada bab ini diuraikan tentang deskripsi data dan pembahasan hasil
penelitian. Deskripsi data dilakukan terhadap sejarah hukum waris Islam dan
hukum waris adat Minangkabau serta bagaimana perkembangan Islam di
Minangkabau. Sedangkan analisis data yakni berupa perbandingan tentang sistem
hukum waris Islam dengan hukum waris adat Minangkabau yang dirinci dengan
perbandingan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak waris, perbandingan
contoh kasus pewarisan baik dalam Islam maupun adat Minangkabau hingga
diakhiri dengan pandangan Islam terhadap pewarisan adat Minangkabau.
A. Deksripsi Data
1. Sejarah Hukum Waris Islam
Pada zaman Arab jahiliyah (periode sebelum Islam), cara pembagian
harta waris didasarkan pada nasab laki-laki, yaitu apabila seseorang meninggal
dunia, maka harta waris akan diwarisi oleh anak sulung si mayit, atau
saudaranya, atau pamannya. Tetapi harta waris tidak diberikan kepada wanita
dan anak-anak, dengan alasan wanita dan anak-anak tidak bisa memelihara
keamanan dan tidak bisa berperang.
Jadi, bangsa Arab yang menganut sistem patrilineal, harta waris hanya
diberikan kepada laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah dewasa dan mampu
memanggul senjata (mampu berperang) dalam mempertahankan kehormatan
keluarga, kabilah dan negara serta mampu mendapatkan harta rampasan
perang.
Hal ini terbukti dari sebuah hadis yang mengungkapkan kasus yang
menimpa kedua putrid Sa’ad bin Rabi’, pada saat ayahnya meninggal dunia,
paman mereka mengambil seluruh harta peninggalan ayah mereka (Sa’ad bin
Rabi’). Ketika permasalahan tersebut sampai kepada Rasulullah saw. maka
beliau memerintahkan pamannya tersebut untuk memberikan keponakannya
dua pertiga, ibu mereka seperdepalan, dan sisanya untuk paman tersebut.
Sebagaimana hadits dari Jabir bin Abdullah yang mengatakan :39
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬
ِ ‫ﺳ ْﻌ ٍﺪ ِإﻟَﻰ َرﺳُﻮ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺮﺑِﻴ ِﻊ ﺑِﺎ ْﺑﻨَﺘَ ْﻴﻬَﺎ ِﻣ‬
ِ ‫ﺳ ْﻌ ِﺪ ْﺑ‬
َ ‫ت ا ْﻣ َﺮَأ ُة‬
ْ ‫ل ﺟَﺎ َء‬
َ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﻦ ﺟَﺎ ِﺑ ِﺮ ْﺑ‬
ْ‫ﻋ‬
َ
‫ﺧ َﺬ‬
َ ‫ﻋ ﱠﻤ ُﻬﻤَﺎ َأ‬
َ ‫ن‬
‫ﺣ ٍﺪ ﺷَﻬِﻴﺪًا َوِإ ﱠ‬
ُ ‫ﻚ َی ْﻮ َم ُأ‬
َ ‫ﻞ أَﺑُﻮ ُهﻤَﺎ َﻣ َﻌ‬
َ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺮﺑِﻴ ِﻊ ُﻗ ِﺘ‬
ِ ‫ﺳ ْﻌ ِﺪ ْﺑ‬
َ ‫ن ا ْﺑ َﻨﺘَﺎ‬
ِ ‫ل اﻟﻠﱠﻪِ هَﺎﺕَﺎ‬
َ ‫ﺖ یَﺎ َرﺳُﻮ‬
ْ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎَﻟ‬
َ ‫َو‬
‫ﺚ‬
َ ‫ث َﻓ َﺒ َﻌ‬
ِ ‫ﺖ ﺁ َی ُﺔ ا ْﻟﻤِﻴﺮَا‬
ْ ‫ﻚ َﻓ َﻨ َﺰَﻟ‬
َ ‫ل َی ْﻘﻀِﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ ﻓِﻲ َذِﻟ‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬
ٌ ‫ن ِإﱠﻟﺎ وَﻟَ ُﻬﻤَﺎ ﻣَﺎ‬
ِ ‫ع َﻟ ُﻬﻤَﺎ ﻣَﺎﻟًﺎ وَﻟَﺎ ُﺕ ْﻨ َﻜﺤَﺎ‬
ْ ‫ﻣَﺎَﻟ ُﻬﻤَﺎ َﻓَﻠ ْﻢ َی َﺪ‬
‫ﻲ‬
َ ‫ﻦ َوﻣَﺎ َﺑ ِﻘ‬
َ ‫ﻂ ُأﻣﱠ ُﻬﻤَﺎ اﻟ ﱡﺜ ُﻤ‬
ِ‫ﻋ‬
ْ ‫ﻦ َوَأ‬
ِ ‫ﺳ ْﻌ ٍﺪ اﻟ ﱡﺜُﻠ َﺜ ْﻴ‬
َ ‫ﻲ‬
ْ ‫ﻂ ا ْﺑ َﻨ َﺘ‬
ِ‫ﻋ‬
ْ ‫ل َأ‬
َ ‫ﻋ ﱢﻤ ِﻬﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ِإﻟَﻰ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ‬
ُ ‫َرﺳُﻮ‬
40
َ ‫َﻓ ُﻬ َﻮ َﻟﻚ‬
“Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata : Istri Sa’ad bin Rabi’ pernah datang
kepada Rasulullah saw. bersama kedua putrinya (Sa’ad bin Robi’) kemudian
berkata: ‘Ya Rasulullah, inilah kedua putri Sa’ad bin Robi’, ayahnya gugur
sebagai syahid bersamamu dalam perag Uhud. Sesungguhnya pamannya
telah mengambil hartanya tanpa meninggalkan sedikitpun harta untuk mereka
berdua. Dan mereka tidak dapat dinikahkan kecuali mereka punya harta.’
Rasulullah saw bersabda: ‘Allah akan memutuskan permasalahan ini.’ Lalu
turunlah ayat waris, maka Rasulullah saw mengirim seseorang menemui
paman mereka (kedua putri Sa’ad bin Robi’) dan bersabda: ‘Berilah kedua
putrid Sa’ad dua pertiga, berilah ibu mereka (istri sa’ad) seperdelapan dan
sisanya untukmu (saudara laki-laki Sa’ad).” (H.R Tirmidzi, Ibnu Majah)
Dan pada masa itu, harta waris juga diberikan atas dasar perjanjian
persaudaraan (bersumpah setia), yaitu apabila salah seorang dari pihak yang
mengikatkan diri tersebut meninggal dunia, maka pihak lain yang masih hidup
mendapat bagian warisan meskipun tidak seluruhnya. Namun, yang berhak
39
Subchan Bashori, Al-Faraidh Cara Mudah Memahami Hukum Waris Islam, (Jakarta:
Nusantara Publissher, 2009), h. 17
40
Al-Albani, Sunan Tirmidzi, Juz. 7, h. 437
mendapat waris atas dasar perjanjian kesetiaan tersebut tetap harus laki-laki.
Pengangkatan anak juga menjadi sebab saling mewarisi. Akan tetapi syarat
yang harus dipenuhi tetap harus laki-laki dan telah dewasa.
Jadi orang-orang Arab jahiliyah menjadikan seluruh pembagian harta
waris hanya kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Oleh karenanya Allah
memerintahkan untuk berbagi sama dalam pembagian, dan telah menetapkan
ahli waris dari pihak laki-laki maupun perempuan.
2. Sejarah Hukum Waris Adat Minangkabau
Sejarah adat Minangkabau telah dijelaskan lama dalam Tambo Alam
Minangkabau. Mengenai asal usul Tambo tu sendiri diperkirakan telah
berawal sejak periode awal kedatangan Islam, atau bahkan lebih awal lagi,
namun dari data tertulis yang ditemukan semuanya berasal dari abad ke-19,
terutama setelah perang Paderi berakhir. Meskipun terdapat berbagai versi
tambo, tetapi kesemuanya memperlihatkan sikap kesejarahan yang sama.
Berikut ini adalah isi Tambo yang menjelaskan tentang pembagian
harta waris adat Minang: 41
“Waris atau peninggalan jaitu suatu barang jang ditinggalkan oleh satu
orang jang sudah mati, diterima oleh ahli warisnja, baik tentangan harta
pusaka baikpun tentang gelar pusaka.
Kebanyakan ada orang menamakan, setelah ia ada hubungan satu perkara
lama dari satu orang atau mamaknja dan dikatakanja bahasa ia mendjawat
waris. Sebetulnja itu bukan mendjawat waris, hanja itu mendjawat tutur atau
kata, jang dimaksut benar tenangan waris didjawat ini, jaitu waris penghulu
jang didjawat seperti gelar pusaka jang mendjawat warisini sako namanja
atau turunan.
Adapun turunan ini ada dua matjam, pertama patriachat atau turunan dari
bapak kedua matriachat jaitu turunan dari pada ibu.
Menurut adat Minangkabau jang dipakai adat matriachat, jaitu turunan
daripada ibu jang mendjawat waris ialah kemenakan.
Kalau seorang penghulu mati, ialah kemenakan mendjawat waris
kebesarannja sifat dan martabat penghulu itu.”
41
Tambo Alam Minangkabau, h. 27
Kemudian dijelaskan lebih lanjut, bahwa setelah beberapa lama dunia
berkembang, tiap-tiap negeri telah berpenghuni, timbul kata mufakat antara
penghulu, mamak dan kemenakan. Mereka kemudian berjalan ke Sungai
Solok yaitu yang bernama Batang Terandjur menuju ke rantau pesisir, dan
rantau pesisir itulah yang dinamakan dengan Tiku Pariaman.
Tidak beberapa lama anak perempuan (kemenakan) tadi memiliki
seorang anak laki-laki yang bernama Magek Djabang dan dialah yang
memegang barang pusaka adat limbago Tiku Pariaman.
Kemudian ketiganya (peghulu, mamak dan kemenakan) tersebut
kembali pulang ke Padang Panjang dan nama mereka semakin terkenal.
Pada saat itu, harta pusaka turun hanya kepada anak saja belum ada
yang diturunkan kepada kemenakan. Setelah beberapa lamanya, mufakatlah
orang yang bertiga itu di sebuah balai di Padang Panjang untuk membicarakan
bahwa Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang akan
belajar mulai dari Tiku Pariaman meunuju ke negeri Aceh.
Setelah beberapa jauh belajar, di tengah laut perahu mereka terhalang
oleh pasir pantai disebabkan karena air laut yang pasak tiba-tiba surut.
Maka, berkatalah kedua Datuk tersebut kepada kemenakannya, mari
kita menghela perahu ini bersama-sama. Akan tetapi anaknya tidak mau
menolong, hanya kemenakannya saja yang mau menghela perahu tersebut.
Setelah itu, berkatalah Cati Bilang Pandai: “Hai datuk-datuk sekalian
dan datuk yang berdua ini meminta hamba sungguh-sungguh jangan
diberikan juga pusaka itu kepada anak. Melainkan baiklah kita berikan
kepada kemenakan saja semuanya.”
Maka menjawab Datuk Katumanggungan: “Hai Cati Bilang Pandai
apa sebabnya maka demikian?”
Maka menjawab Cati Bilang Pandai: “Kita telah mencoba menyuruh
sekalin anak-anak itu menghela (menarik) perahu yang terhalang pasir itu,
tetapi sekalian mereka itu tidak mau menolong bapaknya yang sedang
menarik perahu itu.”
Oleh karena itulah, pusaka tersebut lebih baik diturunkan kepada
kemenakan berupa sawah, ladang, emas dan perak karena kemenakanlah yang
telah bersusah payah mau menolong. Itulah sebabnya pusaka mula-mula turun
kepada kemenakan pada masa itu sampai sekarang tidak berubah-rubah.
3. Sejarah Islam di Minangkabau
Menurut sejarah, Agama Hindu berpengaruh di Sumatera Barat dimasa
Adityawarman. Raja Minangkabau pertama yang memeluk agama Islam
adalah Sultan Alif pada abad ke 16.
Agama Islam dibawa oleh pedagang-pedagang melalui pusat pantai
dan kemudian menjalar ke darat. Masjid menjadi syarat untuk sahnya sebuah
nagari. Pusat pendidikan dan perkembangan agama Islam di Ulakan
(Pariaman) dibina oleh Syech Burhanuddin. Ajaran menafsirkan sesuatu
dalam alam sebagai wujud dari Allah swt. Dengan cepat ajaran ini bersatu
dengan unsur agama Hindu yang masih dianut oleh penduduk. Maka lahirlah
peyembahan dan peran orang-orang atau benda keramat, sihir, tenung dan
sebagainya. Antara agama Islam dan adat tidak dinyatakan ada pertentangan.
Warisan yang menurut adat Minangkabau diturunkan menurut garis
ibu tidak dinyatakan berlawanan dengan agama walaupun dalam hukum
faraidh dinyatakan berlawanan dengan agama. Pemerintahan berada di tangan
penghulu sedangkan urusan pengajian dipegang oleh alim ulama.
Keseimbangan ini berubah dengan masuknya paham Wahabi yang
menghendaki pemurnian ajaran dan ibadah agama Islam sesuai dengan
mazhab Hambali. Gerakan pembersihan dan pemurnian dipelajari oleh M.
Sumanik, H. Piobang dan H. Miskin yang baru kembali dari Mekkah pada
tahun 1803-1820 dan disebut dengan Perang Paderi. Gerakan-gerakan ini
dijalankan dengan teror dan kekerasan berubah menjadi kekuatan politik yang
berhadapan dengan kaum penghulu sebagai pemegang kekuasaan lama.
Kaum Paderi berhasil menanamkan kekuasaannya. Terjadilah suatu
asimilasi yang erat antara ajaran Islam dan adat sebagai pola bertingkah laku
dan bertindak.
Kalau dahulu persenyawaan adat dan agama Islam diungkapkan
dengan pernyataan “adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi adat”, maka
sekarang kita kenal pernyataan “adat bersendi syara’ syara’ bersendi
kitabullah”.
Kedudukan agama berada di atas kedudukan adat sebagaimana
dinyatakan dalam ungkapan, agama berperan dalam mengatakan dan adat
berperan dalam memakai yang berarti bahwa adat adalah pelaksanaan ajaranajaran agama.
Dalam hal dan situasi ini maka sangat dibedakan antara adat jahiliyah
dan adat Islamiah. Adat jahiliah adalah adat yang tidak bersumber pada AlQur’an dan Hadis, sedangkan adat Islamiah adalah pola yang mendasari cara
bertingkah laku dan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk agama yang
terdapat dalam Al-Quran dan Hadis.
Sejarah Islam dalam adat Minangkabau tentu saja tidak lepas dari
adanya perang Paderi. Namun, dilihat dari rangkaian historis, perang Paderi
bukanlah merupakan gerakan pembaharuan Islam pertama di Minangkabau.
Setidak-tidaknya telah ada upaya ke arah itu, seperti yang telah dilakukan
Tuanku Nan Tuo. Ia menganjurkan agar semua perintah Al-Qur’an diamalkan.
Untuk itu, ia merasa perlu mengadakan perubahan. Perubahan pertama yang
dilakukannya adalah perbaikan terhadap surau-surau yang selama itu
tenggelam dalam tradisi tarekat. Surau-surau tersebut diorientasikan ke arah
syari’at (Fiqh Oriental). Ia menetapkan bahwa fiqh merupakan kajian utama
di suraunya. Murid-murid tidak hanya dibekali ilmu agama, juga berbagai
keterampilan lain sebagai bekal hidup mereka di masa depan.
Selain itu, ia juga melakukan perbaikan moral masyarakat dan
meluruskan ajaran yang telah diselewengkan. Usaha itu, tentunya dilakukan
dengan cara-cara persuasif, lemah lembut, tanpa kekerasan, agar tidak
menimbulkan konflik diantara masyarakat dengan ulama. Banyak kasus yang
diselesaikan dengan baik, misalnya, soal harta pusaka dan harta warisan yang
selama itu menjadi perdebatan diantara tetua adat dan masyarakat. Tuanku
Nan Tuo mengembalikan semua persoalan tersebut dengan pendekatan fiqh.
Untuk itu ia membagi harta pusaka menjadi dua macam; harta pusaka dan
harta pencarian. Harta pusaka diwariskan berdasarkan hukum adat, sedangkan
harta pencarian diwariskan kepada anak, walaupun tidak sepenuhnya menurut
faraidh (hukum pembagian menurut Islam). Tapi ia menganjurkan agar
masyarakat berpegang pada hukum Islam dalam penyelesaian setiap masalah
yang terjadi di masyarakat. Langkahnya ternyata banyak membawa perubahan
dan diikuti oleh murid-muridnya.42
Di seluruh Minangkabau, buku pedoman yang terkenal untuk kajian
syariat adalah sama, yaitu Minhaj al-talibin (Pedoman bagi Murid-murid yang
Percaya). Oleh orang-orang Minangkabau, buku pedoman ini disebut secara
sederhana sebagai “Kitab Fiqh”. Semua buku fiqh Islam yang terkenal sangat
mirip. Mula-mula dibahas lima rukun Islam; pengakuan iman, doa, puasa, naik
haji dan amal, yang biasa dicakup dalam ibadat atau hukum mengenai perilaku
manusia terhadap Allah. Yang ingin maju lebih lanjut bisa mempelajari juga
aspek-aspek hukum Islam mengenai hubungan manusia, seperti hukum
warisan, hukum perkawinan dan seterusnya.43
B. Analisis Data
1. Perbandingan Sistem Hukum Waris Adat dengan Hukum Waris Islam
1) Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan dalam Hak Waris Islam
Sebenarnya Al-Qur’an atau Islam menganut sistem bilateral44, tetapi
tidak seperti yang dipahami atau diterapkan oleh sekelompok masyarakat atau
golongan yang berpendapat bahwa pembagian harta waris harus sama antara
laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an melebihkan laki-laki memperoleh dua
kali bagian perempuan, mengingat laki-aki menanggung biaya nafkah,
tanggungan, beban usaha, serta menanggung segala permasalahan.
42
Xv
43
Murodi, Melacak Asal Usul Perang Paderi Di Sumatera Barat, (Jakarta: Logos, 1999), h.
Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau
1784-1847, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 195
44
Bilateral adalah bentuk kekerabatan yang menarik garis nasab melalui jalur ayah dan ibu
atau laki-laki dan perempuan.
È⎦÷⎫u‹sVΡW{$# Åeáym ã≅÷VÏΒ Ìx.©%#Ï9 ( öΝà2ω≈s9÷ρr& þ’Îû ª!$# ÞΟä3ŠÏ¹θãƒ
“Allah mensyari’atkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anakanakmu, yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan.” (An-Nisa’: 11)
Begitu pula jelas dinyatakan dalam Hadis Nabi Muhammad saw.
adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.:
‫ﻲ َﻓ ُﻬ َﻮ ِﻟَﺄ ْوﻟَﻰ‬
َ ‫ﺾ ﺑِﺄَ ْهﻠِﻬَﺎ َﻓﻤَﺎ َﺑ ِﻘ‬
َ ‫ﺤﻘُﻮا ا ْﻟ َﻔﺮَا ِﺋ‬
ِ ‫ل َأ ْﻟ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
ْ‫ﻋ‬
َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ‬
َ ‫ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ‫ﺽ‬
ِ ‫س َر‬
ٍ ‫ﻋﺒﱠﺎ‬
َ
‫ﻞ َذ َآ ٍﺮ‬
ٍ‫ﺟ‬
ُ ‫َر‬
“Nabi Muhammad Saw. bersabda: ‘Berikanlah harta pusaka kepada orang
yang berhak. Sisanya untuk (orang) laki-laki yang lebih utama.’”
Hadist tersebut mengatur tentang peralihan harta dari pewaris kepada
ahli waris, setelah itu jika terdapat sisa, maka porsi laki-laki lebih besar dari
porsi perempuan. Hal ini tentu saja didasarkan dengan alasan bahwasanya
laki-laki pada zaman sejarah memang lebih kuat untuk berperang daripada
wanita. Begitu pun pada zaman sekarang, laki-laki berhak mendapat porsi
harta warisan yang lebih besar dikarenakan laki-laki memiliki tanggung jawab
yang besar terutama jika laki-laki telah memiliki rumah tangga, ia memiliki
tanggung jawab yang besar terhadap anak-anak dan istrinya.
2) Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan dalam Hak Waris Adat
Minangkabau
Masyarakat Minangkabau merupakan bagian suku bangsa Indonesia
yang dalam pola kekerabatan menganut sisem matrilineal. Sistem matrilineal
berdasarkan kepada ikatan garis keturunan melalui garis ibu. merujuk kepada
garis keturunan ibu tersebut, saudara perempuan ditempatkan sebagai penerus
garis keturunan kesukuan, dalam hal ini termasuk penerus atau penerima dari
berbagai bentuk warisan material maupun yang berisifat adat istiadat. Di sisi
lain, kaum laki-laki ditempatkan sebagai pengelola dan penjaga harta warisan
material yang disebut “Pusako”. 45
Sesuai dengan garis keturunan yang matrilineal, dapat juga kita
harapkan hal sama dengan itu dalam hubungan yang lain. Harta pusaka juga
diturunkan melalui garis ibu dan yang berhak menerimanya adalah anggota
perempuan dari sebuah keluarga. Anggota laki-laki dari sebuah keluarga
matrilineal sebenarnya tidak berhak terhadap harta pusaka, mereka hanya
mempunyai kewajiban untuk menjaga harta itu, sehingga harta itu tidak
menjadi hilang dan benar-benar memberikan kegunaan bagi kaum
kerabatnya.46
Memberikan harta kepada anak perempuan biasanya dilatarbelakangi
oleh alasan pribadi orang tua yakni rasa kasih sayang yang berlebihan kepada
anak perempuan. Di samping itu, juga karena alasan yang bersifat fisik
dimana anak perempuan memiliki fisik yang lebih lemah dibandingkan
dengan anak laki-laki. Oleh kelemahan fisik yang dimiliki anak perempuan
tersebut, maka anak perempuan harus didukung dengan harta pusaka. Berbeda
halnya dengan anak laki-laki, dengan kondisi fisiknya yang lebih kuat ia dapat
berusaha hidup mandiri dan mencari sumber harta lain tanpa harus
mengharapkan harta pusaka dari orang tuanya. Alasan lainnya adalah anak
laki-laki di Minangkabau setelah menikah akan pergi ke rumah isterinya atau
menjadi sumando di rumah isterinya. Itulah sebabnya maka anak laki-laki
tidak perlu diberikan harta waris oleh orang tuanya.
Pemberian harta pusaka rendah kepada anak perempuan lebih banyak
dibandingkan dengan anak laki-laki di samping alasan-alasan yang
dikemukakan di atas juga disebabkan oleh sistem perkawinan Minangkabau
yang matrilokal. Oleh sebab itu, apabila seorang saudara laki-laki dari seorang
perempuan mengalami perselisihan atau sebab lain sehingga mengakibatkan
perceraian dengan isterinya di rumah tangga maka saudara laki-laki itu akan
45
Indra Yuda, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Maret 2009,Vol. 15 No.2, (Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, hal), h. 387
46
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,( Jakarta: Penerbit Djambatan,
1982), h. 253
kembali ke rumah keluarga asalnya yaitu ke rumah saudara perempuannya.
Dengan kembalinya saudara laki-laki tersebut ke keluarga asal maka tanggung
jawab terhadapnya merupakan kewajiban saudara perempuannya.
2. Perbandingan Kasus Pewarisan
1) Kasus Pewarisan Islam
Jika yang meninggal Istri dan ahli warisnya adalah:
™ Suami
™ Dua anak laki-laki
™ Satu orang anak perempuan
Seorang mayit meninggalkan ahli waris terdiri dari seorang suami,
dua orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Harta waris yang
ada merupakan harta bersama yang totalnya Rp. 100.000.000. Biaya yang
dikeluarkan
untuk
perawatan
jenazah
seluruhnya
berjumlah
Rp.
10.000.000, wasiat tidak ada, hutang juga tidak ada.
Pertanyaan:
Siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian tiap-tiap
ahli waris tersebut ?
Penyelesaian:
a) Menghitung harta peninggalan mayit
Antara suami dan istri adalah saling mewarisi, tergantung siapa yang
terlebih dahulu meninggal dunia. Apabila salah seorang dari suami istri
meninggal dunia, maka sebelum harta waris dibagikan perlu
dipisahkan antara hak milik suami dan harta milik istri. Apabila harta
diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, maka menurut
KHI disebut harta bersama. Bagi janda atau duda yang ditinggal mati,
berhak mendapat separuhnya di luar hak warisnya sepanjang tidak ada
ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.
Jadi, jumlah harta peninggalan mayit adalah :
= ½ x Rp. 100.000.000
= Rp. 50.000.000
b) Menghitung harta waris yang dapat dibagikan
Harta waris yang dapat dibagikan kepada ahli waris adalah harta
peninggalan mayit setelah dikurangi untuk membayar perawatan
jenazah, wasiat dan hutang tidak ada.
= Rp. 50.000.000 – Rp. 10.000.000
= Rp. 40.000.000
c) Menentukan ahli waris yang berhak
Karena ada anak laki-laki, maka saudara terhalang (terhijab) mendapat
waris. Sehingga yang berhak mendapat waris adalah:
-
Suami
-
Dua anak laki-laki
-
Satu orang anak perempuan
Dalam hal ini, suami termasuk ke dalam Dzawil Furudh (ahli waris
yang tertentu) yakni mendapat ¼ bagian warisnya. Oleh karena itu,
suami didahulukan pembagiannya dan sisanya dibagikan kepada anak
laki-laki dan anak perempuan.
Hasilnya adalah sebagai berikut ini:
Jumlah harta
™ Suami
=
1
x 40.000.000
4
=
40.000.000
=
10.000.000
30.000.000
- anak laki-laki 1
= 2 bagian
- anak laki-laki 2
= 2 bagian
- anak perempuan
= 1 bagian ( ½ laki-laki)
- Total bagian
=
-
Maka,
™ anak laki-laki 1
=
2
x 30.000.000
5
=
12.000.000
™ anak laki-laki 2
=
2
x 30.000.000
5
=
12.000.000
™ anak perempuan
=
1
x 30.000.000
5
=
6.000.000
Bagian suami, disamping mendapat waris sebesar Rp. 10.000.000,
ditambah juga dengan harta miliknya yang telah dipisahkan dari harta
bersama sebesar Rp. 50.000.000 sehingga total hartanya Rp.
60.000.000.
Tabel 4.1
Pewarisan Menurut Hukum Islam
Dengan Sistem Bilateral
(Studi Kasus Jika Istri yang Meninggal)
Keterangan :
= istri (ibu)
= suami (ayah)
= anak perempuan
= anak laki-laki
= harta diwariskan ke
2) Kasus Pewarisan Adat Minangkabau
Jika yang meninggal Istri dan ahli warisnya adalah:
1) Suami
2) Dua anak laki-laki
3) Satu orang anak perempuan
Pertanyaan:
Seorang mayit meninggalkan ahli waris terdiri dari seorang suami,
dua orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Harta waris yang
ada merupakan harta bersama yang totalnya Rp. 100.000.000. Siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian tiap-tiap ahli waris tersebut ?
Penyelesaian:
1) Suami
Suami tidak mendapat hak waris, karena suami bukan merupakan
keturunan satu suku seibu (matrilineal).
2) Satu orang anak perempuan
Satu orang anak perempuan mendapat hak waris penuh dari ibunya
karena merupakan keturunan satu suku seibu (matrilineal).
3) Dua anak laki-laki
-
Kedua anak laki-laki tidak mendapat hak waris, tetapi
berkewajiban menjadi pengawas harta saudara perempuannya.
-
Apabila
saudara
perempuannya
telah
mempunyai
anak
(kemenakan), maka laki-laki tersebut menjadi mamak dari
kemenakan tersebut dan wajib bertanggung jawab terhadap
pewarisan harta dari saudara perempuan si laki-laki yang
diwariskan kepada kemenakannya yang perempuan (anak saudara
perempuannya) sehingga terjadi pewarisan menurut garis sesuku
(menurut garis keturunan ibu).
Tabel 4.2
Pewarisan Menurut Hukum Adat Minangkabau
Dengan Sistem Matrilineal
(Studi Kasus Jika Istri yang Meninggal)
Keterangan :
= istri (ibu/ nenek)
= harta diwariskan ke
= suami (ayah/ kakek)
= harta diawasi
= anak perempuan
= tidak ada hak waris
= anak laki-laki (mamak)
= anak (cucu/ kemenakan perempuan)
= anak (cucu/ kemenakan laki-laki)
Tabel 4.3
Perbandingan Sistem Hukum Waris Islam dengan Hukum Waris Adat
Minangkabau
No.
Segi Perbandingan
Islam
Adat
1.
Sistem pewarisan
Bilateral
Matrilineal
2.
Dasar hukum waris
Al-Qur’an Hadist
Tambo
3.
Kedudukan laki-laki dan
Laki-laki mendapat dua
Laki-laki hanya
perempuan dalam harta
kali perempuan
menjaga harta
waris, perempuan
waris
mendapat hak
milik penuh
4.
Alasan pemilihan ahli
Laki-laki sebagai kepala
Perempuan lemah
waris
rumah tangga yang akan
dan harus menjaga
bertanggung jawab
kelestarian anak
cucu yang
sekaum/ segaris
keturunan ibu.
Dari tabel di atas jelas bahwa ada empat segi perbandingan hukum
waris Islam dan hukum waris adat Minangkabau, yakni hukum waris Islam
dengan sistem bilateral dimana harta waris diberikan kepada laki-laki dan
perempuan dengan landasan hukum Al-Qur’an hadist yang mutawattir tidak
diragukan lagi kebenarannya. Berbeda dengan sistem hukum waris adat
Minangkabau yang menggunakan sistem matrilineal dimana harta waris hanya
diberikan kepada anak perempuan saja dengan landasan hukum yang tertulis
dalam Tambo yang turun temurun dari nenek moyang orang Minangkabau.
3. Pandangan Islam Terhadap Sistem Pewarisan Adat Minangkabau
Pada awal masuknya Islam ke Minangkabau sendiri, telah tampak
adanya perbandingan adat budaya Minang dengan budaya Islam. Hal ini
tampak dari pendapat beberapa tokoh Minang yang belajar ke luar negeri
mempelajari Islam, kemudian menerapkan ilmu agama Islam yang mereka
kuasai, termasuk di dalamnya tentang ilmu fiqh.
Ahmad Khatib sebagai salah satu anak nagari Minangkabau yang kini
terkenal sebagai tokoh Islam, menganjurkan agar menyingkir dari kampung
halaman pergi ke negeri lain. Ia berkata:
“Janganlah bertolak-tolak kamu pada melakukan syariat nabi kita,
tetapi kamu pada masalah yang tiada mudarat kepada kamu berbantah-bantah
kamu dan berkelahi kamu pada masalah pusaka ini yang tiada ia mufakat
dengan hawa kamu, tiada suka kamu melakukannya dan kamu jawab dengan
tiada akan mungkin tiada melepaskan ia akan kamu dari Allah ta’ala. Dan jika
betul kamu orang alim yang sebenarnya takut dari pada Allah ta’ala, karna
apakah tiada kamu larikan agama kamu kepada negeri yang lain, jika tiada
mungkin melakukan akan dia pada negeri kamu. Adakah tiada percaya kamu
dengan Allah ta’ala pada janjinya dan adakah takut akan diputuskan oleh
Allah ta’ala akan rezki kamu jika berpindah kamu dari negeri kamu kepada
negeri yang lain karena melarikan agama kamu.” 47
Seruan ini disampaikannya setelah ia sendiri melaksanakannya. Dia
berangkat ke Mekkah pada tahun 1876, tidak pernah kembali ke Minangkabau
dan meninggal di tanah suci pada tahun 1916. Seruan Ahamd Khatib tersebut
mengandung
ajakan
kepada
masyarakat
Minangkabau
agar
dapat
melaksanakan syariat nabi Muhammad saw. dengan benar dan tidak
melaksanakan pembagian harta waris yang bertentangan dengan ajaran agama
Islam sebab seharusnya manusia yang alim akan takut pada hukuman yang
diberikan oleh Allah swt.
Ahmad Khatib juga mengarang sebuah kitab yang “Ad Doi' al Masmu'
fil Raddi 'ala Tawarisi al 'ikwati wa Awadi al Akawati ma'a Wujud al usuli wa
al Furu'I”, yang artinya : “Dakwah yang didengar Tentang Penolakan Atas
Pewarisan Pewarisan Saudara dan anak Saudara Disamping Ada Orang Tua
dan Anak. Kitab itu di Tulis di Mekah pada akhir abat ke XIX.48
47
Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib,
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1990), h. 168
48
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: IAIN Fakultas Syariah, 1984), h. 275
Meskipun demikian, Ahmad Khatib berbeda pendapat dengan murid
beliau seperti Syekh Dr.H.Abd.Karim Amrullah. Murid beliau Syekh Rasul
(H.Abdul Karim Amrullah) seorang ulama yang belakangan ini melihat harta
pusaka dalam bentuk yang sudah terpisah dari harta pencarian. Beliau
berpendapat bahwa harta pusaka itu sama keadaannya dengan harta wakaf
atau harta musabalah yang pernah diperlakukan oleh Umar ibn Khattab atas
harta yang didapatnya di Khaybar yang telah dibekukan tasarrufnya dan
hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan harta pusaka
dengan harta wakaf tersebut walaupun ada, akan tetapi masih ada
perbedaannya, adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat
diwariskan. Karena tidak dapat diwariskan, maka terindarlah harta tersebut
dari kelompok hata yang harus diwarisklan menurut hukum faraidh, artinya,
hukum faraidh tidak berlaku dalam pewarisan harta tersebut. Pendapat beliau
ini diikuti oleh ulama lain di antaranya Syekh Sulaiman ar Rasuli.
Ahmad Khatib terkenal karena usaha-usahanya yang tak mengenal
lelah untuk memberantas hukum warisan berdasarkan sistem kuasa ibu
(matriakat). Jalan pikiran Ahmad Khatib terhadap adat, diterima juga oleh
Abdullah Ahmad. Hanya saja Abdullah Ahmad memperlunak pandangan
Ahmad Khatib. Adat Minangkabau menurut Ahmad Khatib adalah adat
jahiliah, hukum warisnya menyalahi hukum waris Islam. Warisan harus dibagi
berdasarkan berdasarkan hukum faraidh, baik warisan yang termasuk harato
pusako, ataupun warisan yang berwujud harato pencaharian.
Kaum Padri pun sudah menentang organisasi masyarakat berdasarkan
matriakat. Kaum pembaharuan dari awal abad ke-19 ini juga tidak menyukai
“adat pusaka” yang sama sekali bertentangan dengan sistem hukum keluarga
Islam. Oleh karena itu, Ahmad Khatib pun melanjutkan lagi perjuangan Padri
di bidang ini, yaitu perlawanan terhadap hukum warisan berdasarkan
matriakat. Ahmad Khatib menjelaskan bahwa barangsiapa masih mematuhi
lembaga-lembaga kafir, maka hal itu berasal dari syaitan. Yang tidak dapat
dibiarkan disamping hukum Tuhan adalah seorang kafir dan ia akan masuk
neraka.49
Kemudian ada lagi salah seorang tokoh, yakni Syaikh Jalaluddin
Ahmad Koto Tuo yang pernah mengajarkan ilmu fiqh di Minangkabau. Beliau
mengatakan:
“Maka dalam masa itu juga adalah saya, Fqih Saghir, berhimupun
dengan Tuanku Nan Renceh dalam mesjid Kota Hampalu di negeri Candung
Kota Lawas jua adanya. Telah saya duduk bersenang menghafadkan ilmu fiqh.
Itu pun saya telah dimasyhurkan orang pandai memahamkan ilmu fiqh pada
masa saya muda umur sekali-kali. Maka sebab itu banyaklah orang
berhimpun-himpun kepada tempat-tempat itu, mengambil ilmu,
menghafadhkan kitab fiqh itu, karena ilmu yang terlebih dikasihi pada masa
itu adalah ilmu fiqh. Maka sebab beberapa kalimat tammat saya mengajarkan
ilmu fiqh itu, mengertilah saya apa-apa perkataan yang thabit dalam kitab itu,
yakni ialah meyucikan segala anggota dari pada najis dan lata dan
memandikan sekalian badan dari pada segala hadath dan wajib atas Islam
mendirikan rukun yang lima itu, yaitu mengikrarkan kalimat yang dua patah
serta mentashdiqkan dia dan mendirikan sembahyang yang lima pada segala
waktunya dan mendatangkan zakat kepada segala fakir miskin dan miskin dan
pada puasa pada bulan Ramadhan dan naik haji atas kuasa dan menyatakan
berjual dan membeli dan yang harus dijual dan dibeli dan menyatakan sendiri
dan bersyarikat dan menyatakan sekalian akadnya sahnya dan batalnya dan
menyatakan membahagiakan area kepada segala warisnya dan menyatakan
nikah dan iddah serta segala aqadnya dan wajib nakah atas segala karib dan
menyatakan segala hukum sahnya dan batalnya dan menghukum antara segala
manusia dengan adil dan menyuruh mereka itu dengan berbuat baik dan
menengah daripada berbuat jahat. Inilah setengah kenyataan perkataan yang
thabit dalam ilmu fiqh adanya.” 50
Dalam rentetan hikayat ini, ternyata pengajaran fiqh yang diberikan
oleh Jalaluddin tidak terbatas kepada persoalan ibadah saja, tetapi termasuk
juga muamalah dan nikah.
Dari banyaknya paparan sejarah di atas jelas bahwa dari semenjak
Islam masuk ke Minangkabau, Islam telah mengajarkan tentang hukum
mawaris kepada masyarakat Minangkabau lewat para tokoh Islam anak nagari.
49
B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama Di Sumatera Barat, (Jakarta: Bhratara, 1973), h. 35
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1984), h. 39
50
Masyarakat Minangkabau menurut adatnya melaksanakan hukum
waris terhadap kemenakan, sedangkan agama yang dipeluk oleh masyarakat
memiliki pula hukum waris melalui anak pada umum yaitu faraidh. Akan
tetapi dalam hukum waris kemenakan di Minangkabau tidak terdapat gezin
dalam satu kesatuan unit yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak, melainkan
hanya dikenal kaum yaitu kesatuan unit yang lebih besar dari gezin. Di daerah
Minangkabau pada umumnya sebagian besar masyarakat masih berkaum,
berkeluarga, berkampung dan bersuku. Sedangkan gezin famili itu relatif
sedikit sebab meskipun ada gezin, si ayah tetap menjadi anggota kaumnya.
Demikian pula si ibu masih tetap menjadi anggota keluarganya, sehingga
dalam masyarakat Minangkabau kita tidak dapat menemukan anak yatim atau
juga orang jompo yang tidak punya usaha atau pencaharian sebab sistem
kekeluargaan itulah yang membentuk demikian.51
KH. Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya yang berjudul Hukum Waris
Islam hal 145 mengatakan bahwa hukum kewarisan adat tidak terikat pada
ajaran agama tertentu, oleh karenanya masalah agama dalam hukum
pewarisan adat tidak menjadi perhatian, tetapi apakah benar demikian adanya
di dalam hukum kewarisan adat Minangkabau, karena orang Minang tidak
mengakui anggota kerabatnya yang beragama di luar Islam, sehingga hal-hal
yang melekat pada statusnya tersebut dicabut misalnya dalam hal ini tidak
berhak untuk mendapat harta warisan.52
Kedudukan dan fungsi harta pusaka adalah ibarat tiang agung
Minangkabau yang harus dilestraikan sehingga tidak boleh dijual ataupun
digadai. Sehingga dalam pewarisan harta pusaka tinggi masih berlaku hukum
adat yang berarti harta diwariskan kepada kemenakan kalau pewarisnya
adalah ayah/ mamak tapi apabila pewarisnya adalah ibu/ perempuan maka ahli
warisnya adalah anak-anaknya.
Ketentuan kewarisan Islam tidak bisa dijalankan dalam pewarisan
harta pusaka tinggi mengingat tidak ditemuinya unsur-unsur pewarisan Islam
51
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 52
52
KH. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal. 145
di sana, tapi proses tersebut tidak menyalahi dalam hukum Islam karena ada
yang menyamakan harta pusaka tinggi dengan harta wakaf. Sedangkan harta
pusaka rendah diperuntukkan untuk menghidupi keluarga yang lebih kecil
yaitu anak dan isteri, sehingga ahli waris dalam harta tersebut adalah anakanaknya. Dalam pembagian harta pusaka rendah ini adalah pengaruh dari
hukum waris Islam. Dengan demikian, hukum waris Islam tidak dijalankan
secara murni karena ada penyimpangan-penyimpangan terutama dalam proses
pembagian hak masing-masing ahli waris, ada yang membaginya sesuai
dengan hukum waris Islam, ada yang menyamaratakan pembagiannya sesama
ahli waris dan ada yang penyelesaiannya dengan jalan musyawarah.
Dasar filosofis adat Minangkabau adalah "adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah", tetapi dalam aplikasinya terutama dalam kewarisan
belum berjalan secara murni, di antara faktor penyebabnya adalah kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap hukum waris Islam serta masih adanya
pengaruh hukum adat dalam menyelesaikan kewarisan. Titik taut antara
hukum waris Islam dengan hukum adat terletak pada berjalannya asas bilateral
dan individual. Walaupun demikian, hal tersebut belum berjalan secara murni
sedangkan perbedaannya adalah adanya penyimpangan yang dilakukan
sebagian masyarakat dalam pembagian hak masing-masing.
Dalam pewarisan harta pusaka menurut lahirnya ahli waris yang
kelihatan adalah pihak kemenakan, sedangkan anak-anak bukanlah ahli waris.
Hukum Islam menetapkan anak-anak sebagai ahli waris yang berhak,
sedangkan kemenakan kalaupun ada, berada dalam urutan belakang sekali.
Oleh karena itu, kalau ada hanya melihat lahirnya secara sepintas lalu dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan pewarisan harta pusaka adat Minangkabau,
menyalahi hukum Islam.53
Allah telah menyatakan secara tegas, agar manusia selalu mematuhi
aturan yang sudah ditentukan oleh Allah swt., termasuk dalam hal pembagian
harta waris yang harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur oleh Al 53
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: IAIN Fakultas Syariah, 1984), h. 549
faraidh atau hukum faraidh. Sesungguhnya apa yang telah disyariatkan oleh
Allah swt. untuk manusia, itulah sebenarnya yang paling baik dan paling adil
bagi manusia.
Barang siapa menaati hukum faraidh, yaitu membagi harta waris
sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya, maka Allah
swt. akan memberikan balasan berupa surga Allah swt. dan itulah sukses yang
hakiki sebagaimana firman Allah swt. dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat
13:
ã≈yγ÷ΡF{$# $yγÏFóss? ⎯ÏΒ ”Ìôfs? ;M≈¨Ζy_ ã&ù#Åzô‰ãƒ …ã&s!θß™u‘uρ ©!$# ÆìÏÜム∅tΒuρ 4 «!$# ߊρ߉ãm šù=Ï?
∩⊇⊂∪ ÞΟŠÏàyèø9$# ã—öθxø9$# šÏ9≡sŒuρ 4 $yγŠÏù š⎥⎪Ï$Î#≈yz
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.”
Sebaliknya bagi yang melanggar hukum faraidh, yakni yang
menyimpang dari ketentuan Allah swt. dan Rasul-Nya dalam membagi harta
waris, maka Allah swt. tidak segan-segan memasukkannya ke dalam neraka,
sebagaimana firman Allah swt. dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 14:
Ñ⎥⎫Îγ•Β ÑU#x‹tã …ã&s!uρ $yγ‹Ïù #V$Î#≈yz #·‘$tΡ ã&ù#Åzô‰ãƒ …çνyŠρ߉ãn £‰yètGtƒuρ …ã&s!θß™u‘uρ ©!$# ÄÈ÷ètƒ ∅tΒuρ
∩⊇⊆∪
“Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”
Maka orang yang tidak menggunakan hukum faraidh dalam
melakukan pembagian harta waris, sama halnya dengan orang yang tidak
berhukum dengan hukum Allah swt.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian, kajian teori dan analisis data, maka
dapat disimpulkan bahwa :
1. Implementasi hukum waris Islam dalam hukum waris adat Minangkabau
tidak terlaksana pada pembagian harta pusaka tinggi dan harta pusaka
rendah.
2. Implementasi hukum waris Islam dalam hukum waris adat Minangkabau
hanya terlaksana pada pembagian harta pencaharian dan harta suarang yang
dibawa suami istri dalam pernikahan. Akan tetapi, pelaksanaan pewarisan
kedua harta tersebut tidak dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan hukum
waris Islam yang benar.
3. Tidak terdapat keseimbangan antara agama dan adat dalam sistem
pembagian harta waris adat Minangkabau, karena hukum waris Islam
dengan hukum waris adat Minangkabau sangat berbeda. Hukum waris
Islam dilaksanakan dengan sistem bilateral dimana harta waris diberikan
kepada laki-laki dan perempuan dengan landasan hukum Al-Qur’an hadist
yang mutawattir tidak diragukan lagi kebenarannya, sedangkan hukum
waris adat Minangkabau menggunakan sistem matrilineal dimana harta
waris hanya diberikan kepada anak perempuan saja dengan landasan
hukum yang tertulis dalam Tambo yang turun temurun dari nenek moyang
orang Minangkabau
4. Kesadaran masyarakat Minangkabau untuk menyeimbangkan hukum waris
adat dengan hukum waris Islam belum tampak adanya disebabkan pola
fikir masyarakat yang masih berpegang teguh kepada adat Minangkabau
yang mengajarkan pewarisan harta semestinya diberikan kepada pihak
wanita sebagai kaum yang lemah sehingga anak-anak dari wanita tersebut
tidak terlantar dan kelestarian kaum yang sesuku tetap bisa terjaga.
B. Saran
1. Diharapkan adat Minangkabau yang berlandaskan “adat basandi syara’
syara’ basandi kitabullah” bukan hanya menjadi semboyan semata, tetapi
dapat terbukti dalam pelaksanaannya, yakni adat benar-benar kembali pada
kitabullah (Al-Qur’an dan Hadis) ajaran agama Islam.
2. Diharapkan kepada para generasi penerus adat Minagkabau agar mengerti
tentang adat Minangkabau sehingga tetap bisa melestarikan adat
Minangkabau berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Albani, Al. Sunan Tirmidzi. Juz 7.
Arikunto, Suharismi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta. 2006
Atsari, Al- Abu Zakariya. Penuntun Ringkas Ilmu Faraidh/ Warisan. Bekasi:
Pustaka Daar El-Salam. 2008
Azra, Azyumardi. et.al.,Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi. Jakarta:
UIN Jakarta Press. 2002
Azrial, Yulfian. Budaya Alam Minangkabau. Padang: Angkasa Raya. 2008
Baihaqi, Al. Sunan Al-Baihaqi al-Kubra. Juz 3.
Bashori, Subchan. Al-Faraidh Cara Mudah Memahami Hukum Waris Islam.
Jakarta: Nusantara Publisher. 2009
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press. 2001
Daya, Burhanuddin. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera
Thawalib. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1990
Djakfar,Idris dan Taufik Yahya. Kompilasi Hukum Kewarisan. Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya. 1995
Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi
Minangkabau 1784-1847. Depok: Komunitas Bambu, 2008
Hadikisuma, Hilman. Ensiklopedia Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia.
Bandung: Alumni. 1984
Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1985
Hariwijaya, M. dan Bisri M. Djaelani, Tekhnik Menulis Skripsi dan Thesis.
Jogjakarta: Zenith Publisher. 2004
Jurnal Adat dan Budaya Minangkabau Edisi Kedua/ Vol.2/ Maret-Mei/ Jakarta:
2004
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit
Djambatan. 1982
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir. Hukum Waris. Jakarta:
Senayan Abadi Puslishing. 2004
Mansoer, MD, Amrin Imran, dkk. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara.
1970
M.S, Amir. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta:
Mutiara Sumber Widya. 2006
Murodi. Melacak Asal Usul Perang Paderi Di Sumatera Barat. Jakarta: Logos.
1999
Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru Adat Dan Kebudayaan Minangkabau.
Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers. 1986
Rais, Za’im. The Minangkabau Traditionalist Response To The Modernist
Movement. Canada: Institute of Islamic Studies McGill University. 1994
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo. 1994
Salman, Otje dan Mustofa Haffas. Hukum Waris Islam. Bandung: PT. Refika
Aditama. 2006
Sanggoeno, Dt. Diradjo Ibrahim. Tambo Alam Minangkabau Tatanan Adat
Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi: Kristal Multimedia.
2009
Sarmadi, A. Sukris. Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997
Schrieke, B.J.O. Pergolakan Agama Di Sumatera Barat. Jakarta: Bhratara, 1973
Shihab, M. Quraish .Tafsir al-Misbah : pesan , kesan, dan keserasian al-Quran,
Jakarta : Lentera Hati. 2002.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19,
Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada 2004
Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW.
Bandung: PT. Refika Aditama. 2007
Syarifuddin, Amir Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan
Adat Minangkabau. Jakarta: IAIN Fakultas Syariah. 1984
Tambo Alam Minangkabau
Yuda, Indra. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Maret 2009,Vol. 15 No.2. Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional
LAMPIRAN 1
KONSEP WAWANCARA DENGAN PENGURUS
KERAPATAN ADAT NAGARI (KAN)
(UNTUK STUDI HUKUM WARIS ADAT MINANGKABAU)
Pengantar
Assalamu’alaikum wr. wb
Sebelumnya saya mendoakan Bapak berada dalam keadaan sehat walafiat dan
selalu dalam lindungan Allah swt. sehingga Bapak dapat bermurah hati untuk
memberikan informasi kepada saya dengan sukarela dan penuh kejujuran. Daftar
pertanyaan ini saya susun semata-mata untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan guna menyelesaikan skripsi dan pendidikan yang saya ikuti di jurusan
Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan demikian, data dan informasi yang Bapak berikan tidak akan
menimbulkan masalah dikemudian hari. Atas kemurahan hati Bapak saya ucapkan
terima kasih.
Identitas Responden
Nama
: Jamaan Rajo Alam
Umur
: 56 tahun
Suku
: Malinmansiang
Jabatan
: Manti (Pengurus Sidang Harta Waris) di KAN Koto Tangah
Alamat
: Jl. Pertanian No.27 Rt.03 Rw.05 Kelurahan Lubuk Minturun
Kecamatan Koto Tangah Padang
1. Bagaimana pelaksanaan sistem hukum waris dalam adat Minangkabau?
Jawab:
Semua suku di Minangkabau memiliki sistem pembagian harta waris
menurut garis keturunan ibu, baik secara lisan maupun tulisan seperti
yang tercantum dalam Tambo, yaitu
“Taluak paku kacang balimbiang
Timpuruang tolong lenggang-lenggangan
Ndak taruih ka saruaso
Anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku kemenakan
dibimbing)
Rang kampuang dipatenggangan (orang kampung ditenggang)
Jago nagari jan ka binaso (jagalah negeri ini jangan sampai binasa)”
2. Ada berapa macam harta waris dalam adat Minangkabau ?
Jawab:
Pembagian harta menurut adat Minangkabau ada empat macam, yaitu
harta pusaka tinggi, harta pusaka rendah, harta pencaharian dan harta
suarang.
3. Bagaimana penjelasan dan bentuk masing-masing harta warisan tersebut?
Jawab:
Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwariskan dari nenek kepada
mande (ibu) dan dari ibu turun kepada saudara perempuaan kita.
Artinya, harta pusaka tinggi adalah harta turun temurun dari nenek
moyang dulu kepada pihak perempuan misalnya berupa tanah, sawah,
ladang dan harta pusaka tinggi ini tidak boleh dijual. Harta pusaka
tinggi ini diawasi oleh mamak, sehingga untuk pewarisannya dilakukan
oleh mamak kepada kemenakan melalui persetujuan kaum. Sedangkan
harta pusaka rendah adalah harta pusaka yang diterima oleh kemenakan
dari mamak kandung. Hasil pekerjaan mamak kandung diberikan
kepada kemenakannya. Dinamakan harta pusaka rendah karea
pewarisnya hanya sedikit. Bila harta ini diwariskan lagi dan pewarisnya
telah banyak, harta ini berubah menjadi harta pusaka tinggi. Contoh
harta pusaka rendah ini adalah tanah, sawah, ladang yang dikelola oleh
mamak kemudian diwariskan kepada kemenakan. Kemudian harta
pencarian, yaitu harta yang didapat dari hasil usahanya. Misalnya
seorang ayah bekerja menggarap sawah atau merantau ke negeri orang
untuk berdagang, maka hasilnya itu diberikan kepada anaknya. Harta
ini pada umumnya tidak berkaitan dengan harta pusaka di kampung
halamannya. Dan yang terakhir harta suarang adalah harta yang
diperoleh seseorang ketika ia masih surang atau sendiri (belum
menikah). Jika sudah menikah pun harta tersebut tetap menjadi milik
masing-masing, kecuali ada kesepakatan untuk menyatukan harta
tersebut menjadi milik bersama.
4. Bagaimana bentuk keseimbangan antara agama (Islam) dan adat dalam
pelaksanaan sistem hukum waris mengingat keduanya memiliki sistem hukum
waris yang berbeda?
Jawab:
Tidak terdapat keseimbangan antara agama dan adat dalam sistem
pembagian harta waris, karena faktanya adat mewariskan harta pusaka
kepada anak perempuan atau menurut garis keturunan ibu, sedangkan
dalam agama, harta seharusnya diwariskan kepada pihak laki-laki. Hal
ini sangat bertentangan. Namun, sebenarnya mengapa adat bertindak
demikian adalah karena kodrat wanita baik dalam adat maupun dalam
agama adalah makhluk yang lemah. Oleh karena itu, pewarisan harta
terhadap wanita adalah supaya anak-anak dari wanita tersebut tidak
terlantar dan kelestarian kaum yang sesuku tetap bisa terjaga. Berbeda
dengan laki-laki yang masih bisa kuat untuk mencari berbagai macam
pekerjaan untuk hidupnya.
5. Bagaimana penerapan adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah dalam
sistem waris adat ?
Jawab:
Adat salingka nagari, agamo salingka alam (adat seputar negeri, agama
seputar alam). Berarti yang dipakai dalam negeri kita ini adalah adat,
bukan agama. Memang, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah
seharusnyalah kita kembali pada Al-Qur’an dan hadits, namun hal
tersebut adalah maksud untuk menyeimbangkan antara adat dan agama
agar tidak terjadi perselisihan yang besar antara kaum adat dan kaum
agama. Pada kenyataannya, mengenai hak waris hingga sekarang
masyarakat masih berpegang pada adat.
KUTIPAN WAWANCARA DENGAN PENGURUS
KERAPATAN ADAT NAGARI
(UNTUK STUDI HUKUM WARIS ADAT)
Bismillahirrahmanirrahim
Berikut ini adalah kutipan wawancara penulis dengan pengurus Kerapatan Adat
Nagari yang menjabat sebagai “Manti”, yakni seorang pengurus yang
berkecimpung dalam pengurusan sidang harta warisan.
Penulis : “Assalamua’alaikum, Bapak !”
Manti : “Wa’alaikumsalam !”
Penulis : “Sejak tahun berapa Bapak bekerja disini ?”
Manti :“Saya sudah bekerja disini sejak tahun 2005, saya sudah bekerja di
Kerapatan Adat Nagari ini 5 tahun yang lalu.”
Penulis :“Apa jabatan Bapak di Kerapatan Adat Nagari ini ?”
Manti :“Saya menjabat sebagai sebagai Manti, yaitu pengurus sidang harta
warisan.”
Penulis :“Berbicara mengenai pengurusan harta warisan dalam adat Minangkabau,
apakah sistem pembagian harta warisan dalam adat Minangkabau
dilaksanakan secara tertulis atau hanya secara lisan saja, Pak ?”
Manti :“Pada dasarnya sistem pembagian harta warisan dalam adat
Minangkabau telah tertulis di dalam Tambo hingga sistem pembagian
harta secara adat Minang tetap lestari hingga saat ini. Dalam
pelaksanaann pembagian harta waris ada yang diadakan secara
tertulis disertai materai dan ada pula yang hanya dilaksanakan secara
lisan.”
Penulis :“Apa yang dimaksud dengan Tambo, Pak ?”
Manti :“Baiklah, akan saya jelaskan. Tambo adalah tulisan berupa sejarah,
silsilah, keturunan dan riwayat zaman dahulu atau tatanan adat
warisan nenek moyang orang Minang.”
Penulis :“Minangkabau kaya dengan bermacam-macam suku yang berbeda pada
masing-masing daerah. Apakah masing-masing suku di Minangkabau
memiliki sistem pembagain harta waris yang berbeda Pak ?”
Manti :“Semua suku di Minangkabau memiliki sistem pembagian harta
waris yang sama, yaitu diwariskan menurut garis keturunan ibu,
seperti yang tercantum dalam Tambo, yaitu
“Taluak paku kacang balimbiang
Timpuruang tolong lenggang-lenggangan
Ndak taruih ka saruaso
Anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku kemenakan
dibimbing)
Rang kampuang dipatenggangan (orang kampung ditenggang)
Jago nagari jan ka binaso (jagalah negeri ini jangan sampai binasa)”
Penulis :“Jika demikian, ada berapa macam bentuk harta warisan di Minangkabau,
Pak ?”
Manti :“Pembagian harta menurut adat Minangkabau ada empat macam,
yaitu harta pusaka tinggi, harta pusaka rendah, harta pencaharian
dan terakhir harta suarang.”
Penulis :“Bagaimana penjelasan masing-masing harta warisan tersebut, Pak ?”
Manti :“Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwariskan dari nenek
kepada mande (ibu) kita dan dari ibu turun kepada saudara
perempuaan kita. Artinya, harta pusaka tinggi adalah harta turun
temurun dari nenek moyang dulu kepada pihak perempuan misalnya
berupa tanah, sawah, ladang dan harta pusaka tinggi ini tidak boleh
dijual. Harta pusaka tinggi ini diawasi oleh mamak, sehingga untuk
pewarisannya dilakukan oleh mamak kepada kemenakan melalui
persetujuan kaum. Sedangkan harta pusaka rendah adalah harta
pusaka yang diterima oleh kemenakan dari mamak kandung. Hasil
pekerjaan mamak kandung diberikan kepada kemenakannya.
Dinamakan harta pusaka rendah karea pewarisnya hanya sedikit.
Bila harta ini diwariskan lagi dan pewarisnya telah banyak, harta ini
berubah menjadi harta pusaka tinggi. Contoh harta pusaka rendah
ini adalah tanah, sawah, ladang yang dikelola oleh mamak kemudian
diwariskan kepada kemenakan. Kemudian harta pencarian, yaitu
harta yang didapat dari hasil usahanya. Misalnya seorang ayah
bekerja menggarap sawah atau merantau ke negeri orang untuk
berdagang, maka hasilnya itu diberikan kepada anaknya. Harta ini
pada umumnya tidak berkaitan dengan harta pusaka di kampung
halamannya. Dan yang terakhir harta suarang adalah harta yang
diperoleh seseorang ketika ia masih surang atau sendiri (belum
menikah). Jika sudah menikah pun harta tersebut tetap menjadi
milik masing-masing, kecuali ada kesepakatan untuk menyatukan
harta
tersebut
menjadi
milik
bersama.
Begitulah
bentuk
pewarisannya, Nak!”
Penulis :“Demikian banyak penjelasan Bapak mengenai pewarisan masing-masing
harta pusaka, apakah ada pewarisannya yang mengikuti sistem pewarisan
hukum Islam sehingga terjadi keseimbangan antara hukum adat dan
hukum agama?
Manti :“Tidak ada. Karena faktanya adat mewariskan harta pusaka kepada
anak perempuan atau menurut garis keturunan ibu, sedangkan
dalam agama, harta seharusnya diwariskan kepada pihak laki-laki.
Hal ini sangat bertentangan. Namun, sebenarnya mengapa adat
bertindak demikian adalah karena kodrat wanita baik dalam adat
maupun dalam agama adalah makhluk yang lemah. Oleh karena itu,
pewarisan harta terhadap wanita adalah supaya anak-anak dari
wanita tersebut tidak terlantar dan kelestarian kaum yang sesuku
tetap bisa terjaga. Berbeda dengan laki-laki yang masih bisa kuat
untuk mencari berbagai macam pekerjaan untuk hidupnya.”
Penulis :”Jika demikian, bagaimana hubungannya dengan Adat Basandi Syara’,
Syara’ Basandi Kitabullah ?”
Manti :“Adat salingka nagari, agamo salingka alam (adat seputar negeri,
agama seputar alam). Berarti yang dipakai dalam negeri kita ini
adalah adat, bukan agama. Memang, adat basandi syara’, syara’
basandi kitabullah seharusnyalah kita kembali pada Al-Qur’an dan
hadits, namun hal tersebut adalah maksud untuk menyeimbangkan
antara adat dan agama agar tidak terjadi perselisihan yang besar
antara kaum adat dan kaum agama. Pada kenyataannya, mengenai
hak waris hingga sekarang masyarakat masih berpegang pada adat
karena telah tercantum lama di dalam Tambo, yaitu:
“Sigirik ambiak ka tajak
Tajak rumpuik jo rantai
Dari niniak ka mamak (dari nenek ke paman)
Sampai kini kamanakan ka mamakai (sampai sekarang kemenakan
yang memakai)”
Penulis:“Dengan demkian, apa saja dampak positif dan negatif dari pembagian
harta warisan secara matrilineal ini, Pak ?
Manti :“Untuk dampak positifnya tentu saja terjaminnya keselamatan
hidup anak cucu sekaum. Sedangkan dampak negatifnya, jika ada
seorang perempuan yang mempunyai anak yang banyak kadangkadang terjadi pembagian harta yang tidak rata.”
Penulis :“Terakhir, apa harapan bapak terhadap perkembangan adat Minangkabau
saat ini terutama dalam hal pembagian harta waris ?”
Manti :“Kita
telah
mengetahui
bahwa
harta
pusaka
dalam
adat
Minangkabau turun dari mamak ke kemenakan menurut garis
keturunan ibu, laki-laki tidak bisa memiliki. Jadi, pada saat sekarang
masih ada sebagian orang yang menyatakan harta tersebut menjadi
miliknya. Seperti masih adanya anak yang menuntut harta orang
tuanya, atau anak laki-laki menuntut haknya, padahal harta tersebut
telah digariskan untuk diwariskan dari mamak ke kemenakan,
kenapa masih ada saja yang mempermasalah hal ini dan menuntut
yang bukan haknya. Dengan demikian, harapan saya sebaiknya orang
Minang mulailah untuk mengerti tentang adat Minang dan jangan
ada lagi pertikaian karna sudah ketetapannya yang demikian bahwa
harta tersebut diwariskan menurut garis keturunan ibu.”
DOKUM
MENTASI WAWANC
W
CARA DEN
NGAN MA
ANTI
KER
RAPATAN
N ADAT NA
AGARI KE
ECAMATA
AN KOTO TANGAH
(STUDI HUKUM
H
WARIS
W
AD
DAT)
Gambar 1. Penulis beersama denggan Manti Kerapatan
K
A Nagari Koto Tangah
Adat
p
Keerapatan Ad
dat Nagari Koto
K
Tangahh dan Jamaaan
Gambar 2. Struktur pengurus
Rajo Alam
m sebagai Manti
M
Gambar 3. Penulis mewawancar
m
ri Jamaan Rajo Alam seebagai Mannti Kerapatan
n
Adat Nagaari Koto Taangah
Gambar 4. Penulis mewawancar
m
ri Jamaan Rajo Alam seebagai Mannti Kerapatan
n
Adat Nagaari Koto Taangah
Gambar 5. Manti mennandatanganni konsep wawancara
w
s
studi
hukum
m waris adatt
Minangkaabau
Gambar 6. Penulis di gerbang Baalai-balai Adat
A Nagari Koto Tangaah atau
Kerapatann Adat Nagaari (KAN)
LAMPIRAN 2
KONSEP WAWANCARA DENGAN USTADZ
MUSHOLLA RAUDHATUSSALIKIN
(UNTUK STUDI HUKUM WARIS ISLAM)
Pengantar
Assalamu’alaikum wr. wb
Sebelumnya saya mendoakan Ustadz berada dalam keadaan sehat walafiat dan
selalu dalam lindungan Allah swt. sehingga Ustadz dapat bermurah hati dapat
memberikan informasi kepada saya dengan sukarela dan penuh kejujuran. Daftar
pertanyaan ini saya susun semata-mata untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan guna menyelesaikan skripsi dan pendidikan yang saya ikuti di jurusan
Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan demikian, data dan informasi yang Ustadz berikan tidak akan
menimbulkan masalah dikemudian hari. Atas kemurahan hati Ustadz saya
ucapkan terima kasih.
Identitas Responden
Nama
: Syamsuar
Umur
: 33 tahun
Suku
: Chaniago
Jabatan
: Ustadz Musholla Raudhatussalikin Sumatera Barat
Alamat
: Jl. Pasir Sebelah Rt. 03 Rw. 03 Kelurahan Pasia Nan Tigo
Kecamatan Koto Tangah Padang
1. Bagaimana pendapat Ustadz mengenai sistem hukum waris adat Minangkabau
yang berbeda dengan system hukum waris Islam?
Jawab:
Adat dan agama memang berlawanan. Dalam Islam semua harta lebih
banyak kepada laki-laki. Perempuan mendapat harta waris, hanya saja
mendapatkan bagian yang kecil. Sedangkan dalam adat harta lebih
banyak kepada perempuan dan laki-laki hanya untuk menjaga. Jadi, jika
dihadapkan dengan syariat Islam, adat Minangkabau tentang pembagian
harta waris sangat kontras dengan ajaran agama Islam. Dalam ajaran
Islam harta diwariskan lebih banyak kepada laki-laki sedangkan dalam
Minangkabau harta lebih banyak diwariskan kepada perempuan.
Begitulah di Minang ini dari dulu, tidak pernah ada titik temu antara
agama dan adat, hanya saja persamaan ada. Untuk persamaan yang
selaras tidak akan bertemu. Karna adat di Minangkabau pada dasarnya
bukan bersumber dari agama. Jika dalam dalam adat perempuan
mendapat hak penuh untuk mewarisi harta waris, maka dalam Islam
perempuan hanya mendapat bagian kecil dibandingkan laki-laki. Yang
menjadi nasab dalam agama adalah keturunan ayah, sedangkan dalam
adat nasabnya adalah keturunan ibu. Ini membuktikan bahwa adat dan
agama sangat berlawanan. Dalam agama mutlak harta waris diwariskan
kepada laki-laki dan dalam adat juga mutlak diwariskan kepada
perempuan. Dalam Islam perempuan juga mendapatkan harta waris,
tapi hanya mendapatkan bagian yang kecil. Secara umum, adat
Minangkabau dan agama sangat berlawanan karena adat Minangkabau
tidak berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.
2. Bagaimana
keseimbangan
pelaksanaan
agama
Islam dengan
adat
Minangkabau jika dikaitkan dengan falsafah Minang “adat basandi syara’
syara’ basandi kitabullah” terutama dalam hal pembagian harta waris ?:
Jawab :
Secara Islam yang kaffah (Islam yang menyeluruh) kenyataan yang
terjadi di Minangkabau tidak bisa diterima karna buktinya adat di
Minangkabau ini banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Contoh,
pakaian adat perempuan di Minang ini pun tidak sesuai dengan ajaran
Islam, terbuka pundak dan lehernya. Orang Minang berkata, “syara’
mangato adat mamakai”, begitu kata orang Minang sehingga dalam
realisasinya, “adat basandi syara’ syara basandi kitabullah”. Bila
dihadapkan dengan Al-Qur’an, sebenarnya banyak hal tentang adat yang
tidak sesuai dengan agama Islam. Tapi dari segi adat, sebagaimana orang
Minang yang pandai berbicara, mereka berkata bahwa adat basandi
syara’ syara’ basandi kitabullah, jika demikian mengapa adat tidak sesuai
dengan agama? Hal itu menunjukkan bahwa orang Minang hanya lihai
berbicara tapi dalam kenyataannya tidak demikian.”
3. Bagaimana cara menyeimbangkan adat dan agama dalam kehidupan pribadi
Ustadz ?
Jawab:
Dalam hidup saya, semuanya berjalan sesuai adat saja. misalnya dalam
keluarga saya ada sebidang tanah, kemudian tanah ini dibagi sesuai
dengan jumlah saudara perempuan saya begitu juga dengan harta yang
berada dalam pengawasan mamak saya, bahkan sekarang telah dijual
dan sampai ke tangan orang. itulah mamak yang tidak beradat. Mamak
sebenarnya bertugas menjaga anak kemenakan atau harta yang ada pada
anak kemenakan, malah kini mamak banyak yang menjual harta
tersebut untuk dijual demi kepentingan pribadi mereka. Makanya,
mamak-mamak sekarang banyak yang celaka karna malas bekerja karna
pada hakikatnya kewajiban mamak adalah membimbing kemenakannya
“anak dipangku kemenakan dibimbiang”. Bukannya saya memilih adat,
tetapi seperti yang kita ketahui bahwa bukan hanya di Minangkabau tapi
di semua pelosok negeri, adatlah yang berkuasa. Hanya saja karna harta
pusaka banyak yang dalam pengawasan mamak-mamak, maka anak
kebanyakan mengandalkan harta dari orang tua. Tapi kalau saya pribadi
tidak ada harta yang bisa dibagi-bagi. Kalau pada zaman dulu banyak
datuk-datuk yang bertindak tidak beradat seperti menjual harta pusaka
sebagaimana yang saya jelaskan tadi. Banyak dari mereka yang akhirnya
menjadi gila. Jadi jika dilihat dari segi dosanya, maka okumnyalah yang
banyak salah. Dan dari segi adat tidak ada yang berubah, oknumnyalah
yang banyak berubah. Sejatinya mamak tidak boleh menjual harta
pusaka tersebut dan terus menerus harus mewariskan kepada
kemenakannya agar anak cucu bisa tetap berkembang.
4. Bagaimana perjuangan para tokoh agama Islam terhadap pelaksanaan adat
Minangkabau yang berbeda dengan ajaran agama?
Jawab:
Pada zaman dahulunya terjadinya sejarah pertikaian antara kaum adat
dan kaum agama hingga terjadi kesepakatan di bukit Marapalam,
sebenarnya kedua belah pihak tidak saling mendominasi, tetapi lebih
kepada mengikat kebersamaan, toleransi, kerjasama sehingga terjalin
persatuan dan kesatuan antara kaum adat dan kaum agama. Dari segi
Islam, sebenarnya tidak bisa demikian. Tetapi begitulah perjuangan para
pemuka agama Islam demi persatuan dan kesatuan. Itu tujuannya. Jadi
inilah bentuk kebersamaan antara pemuka adat dan pemuka agama ini.
Sebenarnya pada saat perjanjian Marapalam tersebut, urusan kaum
agama dalam berdakwah belumlah selesai hanya saja hal tersebut
dilakukan demi persatuan dan kesatuan intinya. Namun, hingga
sekarang perjuangan para pemuka agama masih berjalan. Seperti
adanya kasus pada tahun 2008, dimana seorang Datuk yang menghujat
kepada KAN (Kerapatan Adat Nagari). Ia ingin mengganti adat
Minangkabau
secara
keseluruhan
karena
menurutnya
adat
Minangkabau sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun
usahanya sia-sia sebab ia hanya sendiri memperjuangkan agama
sedangkan banyak kepala-kepala adat Minangkabau yang bertahan
memperjuangkan tradisi adat yang sudah lama berkembang besar di
negeri ini. Tidak akan ada yang bisa merubah adat karna hal itu sangat
sulit. Adat di Minangkabau ini ndak lakang dek paneh ndak lapuak dek
hujan (tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan).
5. Apakah ada kesempatan bagi pemuka agama Islam untuk merubah adat
Minangkabau agar kembali pada syara’ yang sebenarnya yakni Al-Qur’an dan
Hadist ?
Jawab:
Sebenarnya saya lihat, bisa saja adat Minang ini dirubah. Hanya perlu
merubah beberapa segi dari adat ini. Jika ingin merombak adat tentu
saja harus semuanya menyeluruh. Sebagaimana yang anda tahu, pada
zaman dahulu nabi Muhammad saw. memutarbalikkan adat Jahiliyah.
Bagaimana kerasnya adat jahiliyah pada zaman dahulu langsung
diputarbalikkan oleh nabi Muhammad saw. Tidak ada istilah pilih-pilih.
Semua dirubah secara menyeluruh.
KUTIPAN WAWANCARA DENGAN USTADZ
MUSHOLLA RAUDHATUSSALIKIN
(UNTUK STUDI HUKUM WARIS ISLAM)
Bismillahirrahmanirrahim
Berikut ini adalah kutipan wawancara penulis dengan seorang ustadz di Musholla
Raudhatussalikin di kota Padang.
Penulis : “Assalamua’alaikum Ustadz !”
Ustadz : “Wa’alaikumsalam !”
Penulis : “Sejak tahun berapa Ustadz mengajar di Musholla ini?”
Ustadz :“Saya sudah bekerja disini sejak tahun 2005.”
Penulis :”Jika dihadapkan dengan syariat Islam, adat Minangkabau tentang
pembagian harta waris sangat kontras dengan ajaran agama Islam.
Bagaimana pendapat Ustadz?”
Ustadz :”Adat dan agama memang berlawanan. Dalam Islam semua harta
lebih banyak kepada laki-laki. Perempuan mendapat harta waris,
hanya saja mendapatkan bagian yang kecil. Sedangkan dalam adat
harta lebih banyak kepada perempuan dan laki-laki hanya untuk
menjaga. Jadi, jika dihadapkan dengan syariat Islam, adat
Minangkabau tentang pembagian harta waris sangat kontras dengan
ajaran agama Islam.”
Penulis :”Pernahkah ada satu titik temu pembagian harta waris antara adat Minang
dan ajaran Islam?”
Ustadz :”Berbeda. Dalam ajaran Islam harta diwariskan lebih banyak
kepada laki-laki sedangkan dalam Minangkabau lebih banyak kepada
perempuan. Begitulah di Minang ini dari dulu, tidak pernah ada titik
temu antara agama dan adat, hanya saja persamaan ada. Untuk
persamaan yang selaras tidak akan bertemu. Karna adat di
Minangkabau pada dasarnya bukan bersumber dari agama. Jika
dalam dalam adat perempuan mendapat hak penuh untuk mewarisi
harta waris, maka dalam Islam perempuan hanya mendapat bagian
kecil dibandingkan laki-laki. Yang menjadi nasab dalam agama
adalah keturunan ayah, sedangkan dalam adat nasabnya adalah
keturunan ibu. Ini membuktikan bahwa adat dan agama sangat
berlawanan. Dalam agama mutlak harta waris diwariskan kepada
laki-laki dan dalam adat juga mutlak diwariskan kepada perempuan.
Dalam Islam perempuan juga mendapatkan harta waris, tapi hanya
mendapatkan bagian yang kecil. Secara umum, adat Minangkabau
dan agama sangat berlawanan karena adat Minangkabau tidak
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.”
Penulis :”Begitulah Ustadz, yang saya maksud dengan perbandingan sistem
hukum waris adat dengan hukum waris Islam berdasarkan pendapat Ir. H.
Subchan Bashori dalam bukunya Al-Faraidh Hukum Waris, bahwa
keharusan mematuhi hukum Faraidh telah ada dalam firman Allah swt.
surat An-Nisa ayat 13 dan 14 yang berbunyi :
$yγÏFóss? ⎯ÏΒ ”Ìôfs? ;M≈¨Ζy_ ã&ù#Åzô‰ãƒ …ã&s!θß™u‘uρ ©!$# ÆìÏÜム∅tΒuρ 4 «!$# ߊρ߉ãm šù=Ï?
…ã&s!θß™u‘uρ ©!$# ÄÈ÷ètƒ ∅tΒuρ
∩⊇⊂∪ ÞΟŠÏàyèø9$# ã—öθxø9$# šÏ9≡sŒuρ 4 $yγŠÏù š⎥⎪Ï$Î#≈yz ã≈yγ÷ΡF{$#
∩⊇⊆∪ Ñ⎥⎫Îγ•Β ÑU#x‹tã …ã&s!uρ $yγ‹Ïù #V$Î#≈yz #·‘$tΡ ã&ù#Åzô‰ãƒ …çνyŠρ߉ãn £‰yètGtƒuρ
(Hukum-hukum faraidh) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.
Barangsiapa
taat
kepada
Allah
dan
Rasul-Nya,
niscaya
Allah
memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungaisungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang
besar.
Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan.
Bahwa bagi yang melanggar hukum faraidh, yakni mereka yang
menyimpang dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya dalam membagi harta
waris, maka Allah tidak segan-segan memasukkannya ke dalam neraka
dan orang semacam ini dapat masuk ke dalam kategori kafir, zhalim dan
fasik. Bagaimana menurut pendapat Ustadz?”
Ustadz :”Itu benar. Adat adalah buatan manusia. Syara’ mangato adat
mamakai. Sebenarnya apa yang diajarkan agama seharusnya adat
menggunakannya sesuai agama. Seperti pada zaman dahulunya
terjadinya sejarah pertikaian antara kaum adat dan kaum agama
hingga terjadi kesepakatan di bukit Marapalam, sebenarnya kedua
belah pihak tidak saling mendominasi, tetapi lebih kepada mengikat
kebersamaan, toleransi, kerjasama sehingga terjalin persatuan dan
kesatuan antara kaum adat dan kaum agama. Dari segi Islam,
sebenarnya tidak bisa demikian. Tetapi begitulah perjuangan para
pemuka agama Islam demi persatuan dan kesatuan. Itu tujuannya.”
Penulis :”Namun bagaimana dengan falsafah adat Minang yang berbunyi “adat
basandi syara syara’ basandi kitabullah”, bukankah falsafah tersebut
menjelaskan bahwa adat semestinya berdasarkan agama, Ustad?”
Ustadz :”Iya, tetapi secara Islam yang kaffah (islam yang menyeluruh)
kenyataan yang terjadi di Minangkabau tidak bisa diterima karna
buktinya adat di Minangkabau ini banyak yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Contoh, pakaian adat perempuan di Minang ini pun
tidak sesuai dengan ajaran Islam, terbuka pundak dan lehernya.
Jadi inilah bentuk kebersamaan antara pemuka adat dan pemuka
agama ini. Sebenarnya pada saat perjanjian Marapalam tersebut,
urusan kaum agama dalam berdakwah belumlah selesai hanya saja
hal tersebut dilakukan demi persatuan dan kesatuan intinya.”
Penulis :”Apakah pada zaman sekarang pernah ada kaum ulama yang menghujat
sistem adat Minangkabau yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam,
Ustadz?”
Ustadz :”Kurang lebih 2 tahun yang lalu, tahun 2008, ada seorang Datuk
yang menghujat kepada KAN (Kerapatan Adat Nagari) . Ia ingin
mengganti
adat
Minangkabau
secara
keseluruhan
karena
menurutnya adat Minangkabau sama sekali tidak sesuai dengan
ajaran Islam, namun usahanya sia-sia sebab ia hanya sendiri
memperjuangkan agama sedangkan banyak kepala-kepala adat
Minangkabau yang bertahan memperjuangkan tradisi adat yang
sudah lama berkembang besar di negeri ini. Tidak akan ada yang bisa
merubah adat karna hal itu sangat sulit. Adat di Minangkabau ini
ndak lakang dek paneh ndak lapuak dek hujan (tidak lekang oleh
panas dan tidak lapuk oleh hujan).”
Penulis :”Hukum waris adat dan hukum waris Islam memang sangat berbeda.
Lalu, bagaimana implikasinya terhadap kehidupan Ustadz pribadi?”
Ustadz :”Orang Minang berkata, “syara’ mangato adat mamakai”, begitu
kata orang Minang sehingga dalam realisasinya, “adat basandi syara’
syara basandi kitabullah”. Bila dihadapkan dengan Al-Qur’an,
sebenarnya banyak hal tentang adat yang tidak sesuai dengan agama
Islam. Tapi dari segi adat, sebagaimana orang Minang yang pandai
berbicara, mereka berkata bahwa adat basandi syara’ syara’ basandi
kitabullah, jika demikian mengapa adat tidak sesuai dengan agama?
Hal itu menunjukkan bahwa orang Minang hanya lihai berbicara tapi
dalam kenyataannya tidak demikian.”
Penulis :”Kemudian bagaimana realisasinya terhadap kehidupan Ustadz pribadi?”
Ustadz :”Sebenarnya yang lihai disini adalah kebanyakan oknumnya. Dalam
hidup saya, semuanya berjalan sesuai adat saja dan harta yang akan
dibagi pun tidak ada. Hahaha…!!!”
Penulis :”Hahaha!!! Jika demikian, bagaimana dengan peran mamak Ustadz yang
seharusnya menurunkan harta waris kepada kemenakan?”
Ustadz :”Di Minang, misalnya dalam keluarga saya ada sebidang tanah,
kemudian tanah ini dibagi sesuai dengan jumlah saudara perempuan
saya begitu juga dengan harta yang berada dalam pengawasan
mamak saya, bahkan sekarang telah dijual dan sampai ke tangan
orang.”
Penulis :”Apakah boleh menjual harta pusaka tersebut Ustadz?”
Ustadz :”Ya itulah mamak yang tidak beradat. Mamak sebenarnya bertugas
menjaga anak kemenakan atau harta yang ada pada anak
kemenakan, malah kini mamak banyak yang menjual harta tersebut
untuk dijual demi kepentingan pribadi mereka. Makanya, mamakmamak sekarang banyak yang celaka karna malas bekerja karna
pada
hakikatnya
kewajiban
mamak
adalah
membimbing
kemenakannya ‘anak dipangku kemenakan dibimbiang’.”
Penulis :”Bagaimana dengan kondisi zaman sekarang Ustadz? Apakah adat
Minangkabau masih kenatal berlaku atau telah ada yang berubah?”
Ustadz :”Ada. Secara konteks, adat telah menetapkan seperti itu, hanya saja
pelaksanaannya yang berubah-berubah. Tapi tentang warisan, adat
ini masih tetap bertahan di Minangkabau.”
Penulis :”Apakah dengan demikian dalam hukum pewarisan Ustadz lebih memilih
adat?"
Ustadz :”Bukan seperti itu. Bukannya saya memilih adat, tetapi seperti yang
kita ketahui bahwa bukan hanya di Minangkabau tapi di semua
pelosok negeri, adatlah yang berkuasa. Hanya saja karna harta
pusaka banyak yang dalam pengawasan mamak-mamak, maka anak
kebanyakan mengandalkan harta dari orang tua. Tapi kalau saya
pribadi tidak ada harta yang bisa dibagi-bagi. Kalau pada zaman
dulu banyak datuk-datuk yang bertindak tidak beradat seperti
menjual harta pusaka sebagaimana yang saya jelaskan tadi. Banyak
dari mereka yang akhirnya menjadi gila. Jadi jika dilihat dari segi
dosanya, maka okumnyalah yang banyak salah. Dan dari segi adat
tidak ada yang berubah, oknumnyalah yang banyak berubah.
Sejatinya mamak tidak boleh menjual harta pusaka tersebut dan
terus menerus harus mewariskan kepada kemenakannya agar anak
cucu bisa tetap berkembang.”
Penulis :”Apakah masih ada peluang bagi kaum agama untuk merubah adat
Minangkabau agar kembali pada syara’ yang benar Ustadz?”
Ustadz :”Sebenarnya saya lihat, bisa saja adat Minang ini dirubah. Hanya
perlu merubah beberapa segi dari adat ini. Jika ingin merombak adat
tentu saja harus semuanya menyeluruh. Sebagaimana yang anda
tahu, pada zaman dahulu nabi Muhammad saw. memutarbalikkan
adat Jahiliyah. Bagaimana kerasnya adat jahiliyah pada zaman
dahulu langsung diputarbalikkan oleh nabi Muhammad saw. Tidak
ada istilah pilih-pilih. Semua dirubah secara menyeluruh.
Berarti di Minangkabau penyiaran agama Islam oleh tokoh-tokoh
zaman dahulu masih terbengkalai atau belum tercapai tujuan
dakwahnya.
“Adat salingka nagari, agamo salingka alam”
Itu menunjukkan bahwa di alam ini juga banyak orang yang tidak
beragama. Agama dilaksanakan setengah-setengah. Orang zaman
sekarang banyak yang memakai agama jika ada manfaatnya untuk
dunia. Padahal hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Gunakanlah
dunia ini untuk beramal demi tujuan akhirat. Keseimbangan bukan
hanya dunia semata atau akhirat semata, tapi kedua-duanya
mengarah ke akhirat.”
Penulis :”Apa harapan Ustadz terhadap perkembangan agama Islam di
Minagkabau ke depan?”
Ustadz :”Semoga adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah tidak hanya
ucapan atau sekedar semboyan saja, tetapi terbukti di dalam
pelaksanaannya. Bukan hanya sekedar semboyan hendaknya terbukti
dalam realisasinya dan diaplikasikan dalam kehidupan. Semoga adat
basandi syara’ syara’ basandi kitabullah terbukti hendaknya karna
semboyan tersebut menjelaskan bahwa sebenarnya agama lah yang
menang bukan adat. Artinya, adat lah yang seharusnya mengikuti
agama, bukan sebaliknya. Oleh karena itu adat yang tidak sesuai
dengan agama sebaiknya dirubah. Ayat Al-Qur’an merupakan
firman Allah swt. yang tidak bisa diganggu gugat, sedangkan adat
adalah buatan manusia yang masih bisa dirubah. Jadi pada dasarnya
perjuangan para tokoh agama Islam dari sejarah lampau belum
berhasil seratus persen. Akan tetapi, perjuangan tokoh agama Islam
masih berjalan hingga saat ini. Itulah harapan saya secara pribadi
yakni mengharapkan realisasi adat basandi syara’ syara’ basandi
kitabullah benar-benar kembali pada kitabullah atau kembali pada
agama. Bahkan, sebenarnya ha-hal yang menyangkut adat apabila
tidak sesuai dengan ajaran agama maka kita wajib untuk
merubahnya.”
DOKUM
MENTASI WAWANC
W
ARA DEN
NGAN USTA
ADZ
M
MUSHALL
LA RAUDH
HATUSSALIKIN
(STUDI HUKUM
H
WARIS
W
ISL
LAM)
Gambar 1. Gerbang mushalla
m
Raaudhatussaliikin
Gambar 2. Mushalla Raudhatusssalikin
Gambar 3. Penulis mewawancar
m
ri Ustadz Sy
yamsuar sebbagai ustadzz mushalla
Raudhatusssalikin
uar sebagai ustadz
u
mushhalla
Gambar 4. Penulis beersama Ustaadz Syamsu
Raudhatusssalikin
Hasil Tabulasi Wawancara
(Studi Kasus Hukum Waris Adat Minangkabau)
No.
Kategori Pertanyaan
Jawaban
Ustadz
1.
2.
Pelaksanaan sistem hukum
-
Manti
Lisan
waris adat
Tulisan
Sistem hukum waris adat yang Matrilineal
Matrilineal
digunakan
3.
Jenis-jenis harta warisan di
Harta pusaka
Harta pusaka tinggi
Minangkabau
tinggi
Harta pusaka rendah
Harta pusaka
Harta pencaharian
rendah
Harta suarang
Harta pencaharian
Harta suarang
4.
Keseimbangan hukum waris
Adat dan agama
adat dengan hukum waris
sangat berlawanan
Tidak ada.
Islam
5.
Penerapan adat basandi
syara’ syara’ basandi
kitabullah dalam sistem waris
adat
Tidak terwujud
Kurang Terwujud
MUSHALLA RAUDATUSSALIKIN
SUMATERA BARAT
PASIR SEBELAH RT 03 RW 03 KECAMATAN KOTO TANGAH KELURAHAN PASIE NAN TIGO PADANG, KODE POS 25172 SURAT KETERANGAN
Nomor: 11/P. Mush/Raudhatussalikin/2010
Yang bertanda tangan di bawah ini Ketua Musholla Raudhatussalikin
menerangkan bahwa :
Telah
Nama
: YANTI FEBRINA
BP/ NIM
: 2006/ 106011000040
Program Studi
: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Universitas
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
selesai
melaksanakan
penelitian/
wawancara
di
Musholla
Raudhatussalikin untuk keperluan skripsi dengan judul “Studi Banding Sistem
Hukum Waris Adat Dengan Hukum Waris Islam Dalam Konteks Fiqh Mawaris
Pendidikan Agama Islam (Studi Kasus Adat Minangkabau)” pada bulan Agustus
2010.
Demikianlah surat keterangan ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dapat
dipergunakan seperlunya.
Download