ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH UANG BEREDAR DI INDONESIA PERIODE 1985 - 2005 Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Oleh : ISMAIL HASAN F 1105016 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi di Indonesia tergolong paling parah jika dibandingkan dengan krisis serupa yang pernah terjadi dibeberapa negara selama ini. Pecahnya gelombang krisis pada tahun 1997 tidak saja memporak-porandakan industri perbankan nasional tetapi juga menyeret perekonomian ke dalam pertumbuhan ekonomi yang begitu lambat. Tidak sedikit bank-bank yang sakit secara finansial tumbang dalam hempasan badai krisis tersebut, krisis moneter setidaknya berdampak langsung terhadap permintaan uang. Naik-turunnya suku bunga SBI yang diikuti oleh naik turunnya suku bunga deposito dan kredit perbankan yang pada gilirannya berdampak pada volume dana dan kredit yang diberikan. Kebijakan suku bunga nampaknya menjadi pilihan penting bagi pemerintah dalam upaya mengendalikan gejolak moneter. Salah satu penyebab krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia adalah proses integrasi perekonomian Indonesia kedalam perekonomian global yang berlangsung cepat. Faktor lain yang juga berperan menciptakan krisis tersebut adalah kelemahan fundamental mikro ekonomi yang tercermin dari kerentanan (fragility) sektor keuangan nasional, khususnya perbankan. Salah satu krisis keuangan tersebut adalah gejolak nilai tukar yang telah menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi yang sangat parah. Pada kuartal pertama tahun 1998, kegiatan ekonomi mengalami kontraksi sebesar 12% 2 per tahun sebagai akibat banyaknya perusahaan yang mengurangi aktivitas atau bahkan menghentikan produksinya. Laju inflasi juga melambung tinggi, yakni 69,1% dalam periode Januari-Agustus 1998 lalu. Tingginya laju inflasi menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat (Syahril, 2003 : xvii). Pada saat krisis terjadinya peningkatan jumlah uang yang cukup pesat, peningkatan keinginan masyarakat untuk memegang uang tunai disebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap system perbankan yang ada dengan terjadinya rush (pengambilan uang besar-besaran secara serentak oleh masyarakat) diberbagai bank diseluruh Indonesia, sedangkan kenaikan M2 terjadi karena peningkatan uang kuasi yang terdiri dari simpanan rupiah dan simpanan valuta asing (Darmansyah : 2005). Seperti yang dikatakan oleh Keynes (Nopirin : 1992; 117) dimana permintaan uang kas untuk tujuan transaksi ini tergantung dari pendapatan. Makin tinggi pendapatan, makin besar keinginan akan uang kas untuk transaksi. Seseorang atau masyarakat yang tingkat pendapatannya tinggi, biasanya melakukan transaksi yang lebih banyak dibandingkan seseorang atau masyarakat yang pendapatannya lebih rendah. Penduduk yang tinggal di kota besar cenderung melakukan transaksi lebih besar dibanding penduduk yang tinggal di kota kecil (atau pedesaan). Dalam hal ini bank sentral mempunyai fungsi dan peranan yang strategis pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Yang paling mendasar adalah peranannya dalam mencetak dan mengedarkan uang. Bank sentral merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk 3 mengeluarkan dan mengedarkan mata uang sebagai sarana pembayaran yang sah disuatu negara. Peran ini vital karena begitu penting dan luasnya fungsi uang dalam perekonomian. Seluruh kegiatan ekonomi dan keuangan dilakukan dengan uang. Fungsi uang tidak lagi dipergunakan sebagai alat pembayaran, tetapi juga sebagai media menyimpan kekayaan dan bahkan untuk berspekulasi bagi sebagian masyarakat. Pengertian uang tidak lagi sebatas pada uang kartal, yaitu uang kertas maupun logam, tetapi telah berkembang menjadi berbagai bentuk dan variasinya, dari uang giral, simpanan di bank, kartu kredit dan sebagainya, seiring dengan perkembangan pada sektor keuangan. Oleh karena itu, perkembangan jumlah uang beredar akan berpengaruh langsung terhadap berbagai kegiatan ekonomi dan keuangan dalam perekonomian, apakah itu konsumsi, investasi, ekspor-impor, suku bunga, nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, dan juga inflasi. Dengan peran seperti ini wajar apabila bank sentral mempunyai tujuan dan diberi tanggung jawab untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai dari mata uang yang diedarkan tersebut. Terlebih lagi pada dunia modern sekarang ketika uang menjadi fiat money, dalam arti bahwa Negara memberikan kewenangan kepada bank sentral untuk menerbitkan dan mengedarkan uang tersebut atas dasar kepercayaan, tanpa adanya kewajiban untuk menyediakan sejumlah emas atau cadangan lain sebagai jaminan dari penerbitan uang tersebut seperti pernah dialami pada jaman standar emas. Karena itu kestabilan rupiah dari mata uang merupakan kewajiban mendasar bagi bank sentral agar kepercayaan Negara dan 4 masyarakat dapat tetap terjaga. Dalam prakteknya, kestabilan nilai dari mata uang dimaksud mencakup kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa yang diukur dan tercermin pada perkembangan nilai tukar atau kurs mata uang. Kestabilan nilai mata uang, baik dalam artian inflasi maupun nilai tukar, sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Nilai uang yang stabil dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan dunia usaha dalam melakukan kegiatan perekonomian, baik konsumsi maupun investasi sehingga perekonomian nasional dapat bergairah. Lebih dari itu, inflasi yang terkendali dan rendah dapat mendukung terpeliharanya daya beli masyarakat, khususnya yang berpendapatan tetap seperti pegawai negeri dan masyarakat kecil. Bagi golongan masyarakat ini, yang umumnya mencakup sebagian besar penduduk, harga-harga yang terus membumbung menyebabkan kemampuan daya beli untuk memenuhi kebutuhan dasar akan semakin rendah. Demikian pula inflasi dan nilai tukar yang tidak stabil akan mempersulit dunia usaha dalam perencanaan kegiatan bisnis, baik dalam kegiatan produksi dan investasi maupun dalam penentuan harga barang dan jasa yang diproduksinya. Pengalaman Indonesia dengan terjadinya krisis nilai tukar sejak tahun 1997 menunjukkan betapa penting mencapai dan menjaga laju inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa jumlah uang beredar diluar kendali dapat menimbulkan konsekuensi atau pengaruh yang buruk bagi 5 perekonomian secara keseluruhan. Konsekuensi atau pengaruh yang buruk dari kurang terkendalinya jumlah uang beredar tersebut antara lain dapat dilihat pada kurang terkendalinya perkembangan variable-variabel ekonomi utama, yaitu tingkat produksi (output) dan harga. Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga melebihi tingkat yang diharapkan sehingga dalam jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, apabila peningkatan jumlah uang beredar rendah maka kelesuan ekonomi akan terjadi. Apabila hal ini berlangsung terus menerus, kemakmuran masyarakat secara keseluruhan akan mengalami penurunan. Kondisi tersebut antara lain melatar belakangi upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas-otoritas moneter dalam mengendalikan jumlah uang beredar dalam perekonomian. Kegiatan mengendalikan jumlah uang beredar tersebut lazimnya disebut Kebijakan moneter, yang pada dasarnya merupakan salah satu bagian integral dari Kebijakan ekonomi makro yang ditempuh oleh otoritas moneter (Bank Indonesia, 2003 : 62). Permintaan uang di Indonasia mengalami perkembangan sesuai dengan berkembangnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang memungkinkan berkembangnya jenis tabungan dan deposito berjangka. Keinginan masyarakat untuk menabung dan mendepositokan uangnya sangat dipengaruhi oleh kemudahan dalam memperolehnya dan berbagai fasilitas yang ditawarkan perbankan. Hal ini memungkinkan jika pemerintah juga turut campur tangan dalam berbagai kebijakan deregulasi maupun regulasi bidang moneter dan ekonomi pada umumnya. 6 Perkembangan M1 dan M2 di Indonesia pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPI) mengalami perkembangan yang relatih besar. Pertumbuhan uang dalam arti sempit setiap tahun rata-rata selama PJPI sebesar 25.29% dan pertumbuhan uang dalam arti luas sebesar 30.75%, sedangkan pertumbuhan Quasy Money (QM) sebesar 38.18% (data BI beberapa terbitan, diolah). Pertumbuhan uang dalam arti luas ternyata lebih cepat dibanding dengan uang dalam arti sempit, hal ini disebabkan karena adanya kenaikan yang pesat dari deposito berjangka dan tabungan di bankbank di Indonesia dengan suku bunga yang relatif besar (Prawoto : 2000). Dengan adanya permasalahan yang cukup rumit, maka dalam hal ini bank indonesia harus bisa memutuskan kebijaksanaan moneter yang harus diambil sehingga dapat memperbaiki stabilitas perekonomian di Indonesia, atas dasar pemikiran tersebut maka penulis tertarik melakukan penelitian untuk menyelesaikan permasalahan ini secara ilmiah, untuk mewujudkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini menjadi sebuah penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul : “ANALISIS JUMLAH FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI UANG BEREDAR DI INDONESIA SEBELUM DAN SETELAH KRISIS EKONOMI TAHUN 1998” 7 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pengaruh Produk Domestik Bruto terhadap jumlah uang beredar di Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter? 2. Bagaimanan pengaruh kurs terhadap jumlah uang beredar di Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter? 3. Bagaimana pengaruh suku bunga terhadap jumlah uang beredar di Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter? 4. Variabel apa yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap jumlah uang beredar di indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pengaruh kurs terhadap jumlah uang beredar di indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter. 2. Untuk mengetahui pengaruh suku bunga terhadap jumlah uang beredar di indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter. 3. Untuk mengetahui produk domestik bruto terhadap jumlah uang beredar di indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter. 4. Untuk mengetahui variabel yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap jumlah uang beredar di indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter. 8 D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bahan referensi atau input bagi peneliti lain yang mempunyai kaitan dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini. 2. Untuk para pembaca di harapkan bisa mengetahui dan mendapat informasi tentang permintaan uang. 3. Sebagai bahan pertimbangan dan pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan moneter. 9 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Krisis Moneter a. Konsep Krisis Moneter Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, sementara ini telah berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubitubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya (Anwar, 1997) Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2 dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara 10 keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus (Indrawati, 1998) b. Faktor-Faktor Penyebab Krisis Moneter Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya. Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling 11 bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting, karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa. Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri, membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial dan politik. c. Dampak dari Krisis Moneter Dewasa ini semua permasalahan dalam krisis ekonomi berputar-putar sekitar kurs nilai tukar valas, khususnya dollar AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan dengan pendapatan masyarakat dalam rupiah yang tetap, bahkan dalam beberapa hal turun ditambah PHK, padahal harga dari banyak barang naik cukup tinggi, kecuali sebagian sektor pertanian dan ekspor. Imbas dari kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam secara umum sudah kita ketahui: kesulitan menutup APBN, harga telur ayam naik, utang luar negeri dalam rupiah melonjak, harga BBM, tarif listrik naik, tarif angkutan naik, perusahaan tutup atau mengurangi produksinya karena tidak bisa menjual barangnya dan beban utang 12 yang tinggi, toko sepi, PHK di mana-mana, investasi menurun karena impor barang modal menjadi mahal, biaya sekolah di luar negeri melonjak. Dampak lain adalah laju inflasi yang tinggi selama beberapa bulan terakhir ini, yang bukan disebabkan karena imported inflation, tetapi lebih tepat jika dikatakan foreign exchange induced inflation. Masalah ini hanya bisa dipecahkan secara mendasar bila nilai tukar valas bisa diturunkan hingga tingkat yang wajar atau nyata (riil). Dengan demikian roda perekonomian bisa berputar kembali dan hargaharga bisa turun dari tingkat yang tinggi dan terjangkau oleh masyarakat, meskipun tidak kembali pada tingkat sebelum terjadinya krisis moneter. Pada sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah secara tajam juga membawa hikmah. Secara umum impor barang menurun tajam termasuk impor buah, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri, kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar, daya saing produk dalam negeri dengan tingkat kandungan impor rendah meningkat sehingga bisa menahan impor dan merangsang ekspor khususnya yang berbasis pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat sejalan dengan merosotnya nilai tukar rupiah, pengusaha domestik kapok meminjam dana dari luar negeri. hasilnya adalah perbaikan dalam neraca berjalan. 13 Petani yang berbasis ekspor penghasilannya dalam rupiah mendadak melonjak drastis, sementara bagi konsumen dalam negeri harga beras, gula, kopi dan sebagainya ikut naik. Sayangnya ekspor yang secara teoretis seharusnya naik, tidak terjadi, bahkan cenderung sedikit menurun pada sektor barang hasil industri. Meskipun penerimaan rupiah petani komoditi ekspor meningkat tajam, tetapi penerimaan ekspor dalam valas umumnya tidak berubah, karena pembeli di luar negeri juga menekan harganya karena tahu petani dapat untung besar, dan negara-negara produsen lain juga mengalami depresiasi dalam nilai tukar mata uangnya dan bisa menurunkan harga jual dalam nominasi valas. Hal yang serupa juga terjadi untuk ekspor barang manufaktur, hanya di sini ada kesulitan lain untuk meningkatkan ekspor, karena ada masalah dengan pembukaan L/C dan keadaan sosial-politik yang belum menentu sehingga pembeli di luar negeri mengalihkan pesanan barangnya ke negara lain. Sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, pada Oktober 1998 inijumlah keluarga miskin diperkirakan meningkat menjadi 7,5 juta, sehingga perlu dilancarkan program-program untuk menunjang mereka yang dikenal sebagai social safety net. Meningkatnya jumlah penduduk miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai tukar rupiah yang tajam, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang berkurang karena PHK atau naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat 14 inflasi yang tinggi, sehingga bila nilai tukar rupiah bisa dikembalikan ke nilai nyatanya maka biaya besar yang dibutuhkan untuk social safety net ini bisa dikurangi secara drastis. Namun secara keseluruhan dampak negatifnya dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya. 2. Uang a. Pengertian Uang Uang adalah sesuatu yang secara umum diterima di dalam pembayaran untuk pembelian barang-utang. Dan juga sering dipandang sebagai kekayaan yang dimilikinya yang dapat digunakan untuk membayar sejumlah tertentu utang dengan kepastian dan tanpa penundaan. Apa yang menjadikan sesuatu menjadi uang adalah tergantung pada pemilihan masyarakat, hukum dan sejarahnya. Meskipun pemilihan tentang apa yang bertindak sebagai uang adalah tergantung kepada faktor-faktor tersebut, namun ada beberapa kriteria yang digunakan sebagai pedoman (Iswardono, 1994 : 4). b. Kriteria Uang 1) Acceptability dan Cognizability Persyaratan utama dari suatu uang adalah diterima secara umum dan diketahui secara umum. Diterima secara umum serta penggunaannya sebagai alat tukar, penimbun kekayaan , standard pencicilan utang tumbuh secara luas karena penggunaan (manfaat) dari uang untuk ditukarkan nya dengan barang-barang dan jasa. 15 2) Stability of Value Manfaat dari sesuatu yang menjadi uang memberikan adanya nilai uang. Maka diperlukan menjaga kestabilan nilai uang. Karena kalau tidak, uang tidak akan diterima secara umum, karena masyarakat mencoba menyimpan kekayaannya dalam bentuk barang-barang yang nilainya stabil. barang dan jasa-jasa serta untuk pembayaran utang3) Elastisity of Supply Jumlah uang beredar harus mencukupi kebutuhan dunia usaha (perekonomian). Ketidakmampuan penyediaan uang untuk mengimbangi kegiatan usaha akan mengakibatkan perdagangan macet dan pertukaran dilakukan seperti pada perekonomian barter, dimana barang ditukar dengan barang lain secara langsung. Oleh karena itu Bank Sentral sebagai pencipta uang tunggal harus mampu melihat perkembangan perekonomian yang selanjutnya harus mampu menyediakan uang yang cukup bagi perkembangan perekonomian tersebut. Dan sebaliknya Bank Sentral harus bertindak cepat seandainya dirasa uang yang beredar terlalu banyak dan dibandingkan kegiatan perekonomian, dalam hal ini Bank Sentral harus mengurangi jumlah uang beredar. 4) Portability Uang harus mudah dibawa untuk urusan seiap hari. Bahkan transaksi dalam jumlah besar dapat dilakukan dengan uang dalam jumlah (fisik) yang kecil jika nilai nominalnya besar. 16 5) Durability Dalam pemindahan uang dari tangan yang satu ke tangan yang lain mengharuskan uang tersebut dijaga nilai fisiknya. Kalau tidak, rusak ataupun robek akan menyebabkan penurunan nilainya dan merusakkan kegunaan moneter dari uang tersebut. 6) Divisibility Uang digunakan untuk memantapkan transaksi dari berbagai jumlah. (satuan/unit) harus Sehingga dicetak uang untuk dari berbagai nominal mencukupi/melancarkan transakasi jual-beli. Untuk menjamin dapat ditukarkannya uang satu dengan yang lainnya, semua jenis uang harus dijaga agar tetap nilainya. c. Fungsi Uang Dalam kepustakaan teori meneter uang dikenal mempunyai 4 fungsi, 2 diantaranya merupakan fungsi yang sangat mendasar sedangkan 2 lainnya adalah fungsi tambahan. Dua fungsi dasar tersebut adalah peranan uang sebagai : 1) Alat Tukar (Means Of Exchange) Sebagai alat tukar, peranan uang sangat menentukan kegiatan perekonomian. Peranan uang sebagai alat tukar mensyaratkan bahwa uang tersebut harus diterima oleh masyarakat sebagai alat pembayaran. 17 Artinya, si penjual barang mau menerima uang sebagai pembayaran untuk barangnya karena ia percaya bahwa uang tersebut juga diterima oleh orang lain(masyarakat umum) sebagai alat pembayaran apabila ia nanti memerlukan untuk membeli suatu barang. Unsur kepercayaan ini penting sekali dan melandasi pemilihan “barang” apa yang bisa digunakan sebagai uang. Sekarang kebanyakan Negara menggunakan uang kertas, karena murah membuatnya dan mudah menyimpannya. Jadi kertas pun bisa berperan sebagai uang apabila orang percaya bahwa secarik kertas tersebut juga diterima oleh orang lain sebagai alat pembayaran (Boediono, 2005 :10). 2) Alat Penyimpan Nilai/Daya Beli (Store Of Value) Fungsi dasar yang kedua dari uang, yaitu sebagai alat penyimpan daya beli (nilai), terkait dengan sifat manusia sebagai pengumpul kekayaan. Pemegangan uang merupakan salah satu cara untuk menyimpan kekayaan. Tentu kekayaan bisa dipegang dalam bentuk-bentuk lain, seperti tanah, kerbau, berlian, emas, saham, mobil dan sebagainya. Tetapi uang memang salah satu pilihan untuk menyimpan kekayaan. Syarat utama untuk ini adalah bahwa uang harus bisa menyimpan daya beli atau “nilai”. Apabila tidak, maka daya tarik uang sebagai penyimpan kekayaan juga berkurang. Jadi, misalnya dalam keadaan inflasi yang parah, nilai uang (untuk ditukar barang) merosot cepat, sehingga orang enggan memegang 18 uang dan lebih suka memegang barang. Uang kehilangan fungsinya sebagai store of value. Sebaliknya dalam masa stabil atau masa deflasi (harga-harga turun) uang sangat dicari orang sebagai penyimpan kekayaan (Boediono, 2005 : 11). Penyimpanan uang ini dimaksud untuk mempermudah transaksi di saat ini ataupun di masa yang akan datang. Kenapa uang yang disimpan?, karena uang dapat segera digunakan langsung untuk membeli barang-barang dan jasa atau karena uang mempunyai sifat yang liquid, mudah digunakan dalam transaksi atau dalam pembayaran cicilan utang (Iswardono, 1994 : 9). Dua fungsi lainnya adalah sebagai : 3) Satuan Hitung (Unit Of Account) Salah satu fungsi uang secara umum adalah sebagai satuan hitung “ unit of account”. Satuan hitung dalam hal ini dimaksud sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan nilai dari barangbarang dan jasa yang dijual (beli), besarnya kekayaan serta menghitung besar-kecilnya kredit atau hutang atau dapat dikatakan sebagai alat yang digunakan dalam menentukan harga barang dan jasa. Seandainya tidak ada uang misalnya maka akan terjadi ketidakseragaman di dalam satuan hitung (Iswardono, 1994 : 6). Sebagai satuan hitung, uang juga mempermudah tukarmenukar. Fungsi ini kurang fundamental dibanding dengan kedua fungsi sebelumnya. Karena fungsi ini hampir otomatis mengikuti fungsi uang sebagai alat tukar. Dankalaupun uang tidak dipakai 19 sebagai satuan hitung, sebenarnya pertukaran lewat uang masih bisa terjadi. 4) Ukuran Untuk Pembayaran Masa Depan Sebagai ukuran pembayaran masa depan, uang terkait dengan transaksi pinjam-meminjam atau transaksi kredit, artinya barang sekarang dibayar nanti atau “uang sekarang” dibayar dengan “uang nanti”. Dalam hubungan ini, uang merupakan salah satu cara menghitung pembayaran masa depan tersebut (Boediono, 2005 : 13). d. Motif Orang Memegang Uang 1) Motif Transaksi Orang memegang uang guna memenuhi dan melancarkan transaksinya, dan permintaan akan uang dari masyarakat untuk tujuan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan nasional dan tingkat bunga. Semakin tinggi tingkat pendapatan semakin besar volume transaksi dan semakin besar pula kebutuhan uang untuk tujuan transaksi. Permintaan uang untuk tujuan transaksi ini pun tidak merupakan suatu proporsi yang selalu konstan, tetapi dipengaruhi pula oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Hanya saja faktor tingkat bunga untuk permintaan transaksi untuk uang ini tidak ditekankan oleh Keynes, akan tetapi tingkat bunga ditekankan pada permintaan uang untuk tujuan spekulasi. 20 2) Motif Berjaga-Jaga Motif berjaga-jaga (precautionary motive), orang akan mendapat manfaat dari memegang uang untuk menghadapi keadaan-keadaan yang tidak terduga, karena sifat uang yang liquid, yaitu mudah ditukarkan dengan barang-barang lain. Menurut Keynes permintaan uang untuk tujuan berjaga-jaga ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama dengan faktor yang mempengaruhi permintaan uang untuk transaksi, yaitu terutama dipengaruhi pula oleh tingkat penghasilan orang tersebut, dan mungkin dipengaruhi pula oleh tingkat bunga (meskipun tidak kuat pengaruhnya). 3) Motif Spekulasi Sesuai dengan namanya , motif dari memegang uang ini adalah terutama untuk tujuan memperoleh keuntungan yang bisa diperoleh dari seandainya si pemegang uang tersebut meramal apa yang akan terjadi dengan benar. Pada teori Cambridge faktor ketidaktentuan masa depan (uncertainly) dan faktor harapan (expectations) dari pemilik kekayaan bisa mempengaruhi permintaan akan uang dari pemilik kekayaan tersebut. Namun sayangnya teori ini tidak pernah membakukan faktor-faktor ini ke dalam perumusan teori moneter mereka. (Kita lihat bahwa bentuk permintaan dari teori Cambridge tidak berbeda dengan Fisher, dan faktor-faktor ini hanya masuk analisa secarakualitatif). Perumusan permintaan uang untuk motif 21 spekulasi dari Keynes merupakan langkah “formalisasi” dari faktor-faktor ini ke dalam teori moneter. Keynes tidak membicarakan faktor “uncertainly” dan “expectations” hanya secara umum, seperti teori Cambridge. Tetapi ia membatasi “uncertainly” dan “expectations” mengenai satu variable yaitu tingkat bunga. Pada garis besarnya teori Keynes membatasi pada keadaan dimana pemilik kekayaan bisa memilih memegang kekayaannya dalam bentuk uang tunai atau obligasi (bond). Uang tunai dianggap tidak memberikan penghasilan sedangkan obligasi dianggap memberikan berupa sejumlah uang tertentu setiap periode. Dalam teori Keynes dibicarakan khusus obligasi yang memberikan suatu penghasilan berupa sejumlah uang tertentu setiap periode selama waktu yang tak terbatas (perpetuity). Secara umum bisa ditulis dengan persamaan sebagai berikut : K = RP………………………………………(1) Dimana K adalah hasil per tahun yang diterima, R adalah tingkat bunga, dan P adalah harga pasar atau nilai sekarang dalam obligasi “perpetuity” tersebut. Persamaan tersebut bisa juga ditulis sebagai berikut : P = K/R………………………………………..(2) Yang menunjukkan bahwa (karena K adalah konstan) harga pasar obligasi (P) berbanding terbalik dengan tingkat bunga R bila tingkat bunga turun, maka berarti harga pasar obligasi naik, dan 22 sebaliknya bila tingkat bunga naik maka harga pasar obligasi turun, atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat suku bunga semakin rendah permintaan uang tunai oleh seseorang atau masyarakat. Karena, semakin tinggi tingkat suku bunga, maka semakin besar ongkos memegang uang tunai sehingga seseorang atau masyarakat lebih baik membeli obligasi. Sebaliknya apabila tingkat suku bunga semakin rendah maka semakin rendah pula ongkos memegang uang tunai dan semakin besar seseorang atau masyarakat untuk menyimpan uang tunai. Permintaan total akan uang : Bentuk yang sederhana dari fungsi permintaan (total) akan uang dari teori Keynes adalah: Md/P = [ k Y + Ø (R, W) ]…………………………….(1) Md/P adalah permintaan uang total dalam arti riil, suku pertama dalam kurung, yaitu k Y adalah permintaan uang untuk transaksi dan berjaga-jaga, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi (k) dari pendapatan nasional riil. Ø (R, W) adalah permintaan akan uang untuk motif spekulasi yang dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat bunga yang berlaku (R) dan nilai asset (kekayaan atau wealth) yang ada di masyarakat (W). Variable W ini dimasukkan karena permintaan uang untuk motif spekulasi dinyatakan sebagai bagian dari W yang dipegang dalam bentuk uang tunai. Persamaan (1) tersebut bisa pula dinyatakan dalam bentuk permintaan akan uang dalam satuan moneter sebagai berikut : 23 Md = [ k Y + Ø (R, W) ] P…………………………..(2) Dalam analisa jangka pendek W biasanya dianggap konstan sehingga fungsi (2) menjadi : Md = [ k Y + Ø (R) ] P………………………………(3) dimana Ø (R) = Ø (R,W), dalam posisi equilibrium, supply uang (Ms), yang dianggap juga oleh Keynes sebagai variable yang ditentukan oleh pemerintah, sama dengan Md. Sehingga : Ms = [ k Y + Ø (R) ] P………………………………(4) Teori permintaan uang Keynes mempunyai implikasi bahwa fungsi permintaan akan uang (Liquidity Preference) adalah fungsi yang tidak stabil, dalam arti bahwa fungsi ini bisa bergeser dari waktu ke waktu. Hal ini karena Keynes menekankan faktor uncertainly dan expectation dalam menentukan posisi permintaan uang untuk tujuan spekulasi (Boediono, 2005 : 27). e. Teori-teori Permintaan Uang 1) Teori Klasik Teori ini sebenarnya adalah teori mengenai permintaan dan penawaran akan uang, beserta interaksi antara keduanya. Fokus dari teori ini adalah pada hubungan antara penawaran uang atau jumlah uang beredar dengan nilai uang atau tingkat harga. Hubungan dua variable dijabarkan lewat konsepsi teori mereka mengenai permintaan akan uang. Perubahan akan jumlah uang beredar atau penawaran uang berinteraksi dengan permintaan akan uang dan selanjutnya menentukan nilai uang. 24 a) Irving Fisher MVt = PT…………………………………….(1) Dalam setiap transaksi selalu ada pembeli dan penjual. Jumlah uang yang dibayarkan oleh pembeli harus sama dengan uang yang diterima oleh penjual. Hal ini berlaku juga untuk seluruh perekonomian: didalam suatu periode tertentu nilai dari barang-barang atau jasa-jasa yang dibeli harus sama dengan nilai dari barang yang dijual. Nilai dari barang yang dijual sama dengan volume transaksi (T) dikalikan harga rata-rata dari barang tersebut (P). Dilain pihak nilai dari barang yang ditransaksikan ini harus sama dengan volume uang yang ada dimasyarakat (M) dikalikan berapa kali rata-rata uang bertukar dari tangan satu ke tangan yang lain, atau rata “perputaran uang”, dalam periode tersebut (Vt). MVt = PT adalah suatu identitas, dan pada dirinnya bukan merupakan suatu teori moneter. Identitas ini bisa dikembangkan, seperti oleh Fisher, menjadi teori moneter sebagai berikut: Vt, atau “transaction velocity of circulation” adalah suatu variable yang ditentukan oleh faktor-faktor kelembagaan yang ada didalam suatu masyarakat, dan dalam jangka pendek bisa dianggap konstan. T, atau volume transaksi, dalam periode tertentu ditentukan oleh tingkat output masyarakat (pendapatan nasional). Identitas tersebut diberi “nyawa” dengan mentransformasikannya dalam bentuk: 25 Md = 1/Vt PT…………………………………….(2) Permintaan atau kebutuhan akan uang dari masyarakat adalah suatu proporsi tertentu 1/Vt dari nilai transaksi (PT). Persamaan 2, bersama dengan persamaan yang menunjukkan posisi equilibrium di sektor moneter . Md = Ms………………………………………….(3) Dimana Ms = supply uang beredar (yang dianggap ditentukan oleh pemerintah) menghasilkan Ms = 1/Vt PT……………………………………..(4) Persamaan (4) berbunyi: dalam jangka pendek tingkat harga umum (P) berubah secara proporsional dengan perubahan uang yang diedarkan oleh pemerintah. Dalam teori ini T ditentukan oleh tingkat output equilibrium masyarakat, yang untuk Fisher dan para ahli ekonomi Klasik, adalah selalu pada posisi “full employment” (Hukum Say atau Say’s Law). Vt atau transaction velocity of circulation, Fisher mengatakan bahwa permintaan akan uang timbul dari penggunaan uang dalam proses transaksi. Besar-kecilnya Vt ditentukan oleh sifat proses transaksi yang berlaku di masyarakat dalam suatu periode (Boediono,2005 : 18). b) Teori Cambridge (Marshall-Pigou) Teori ini seperti halnya teori Fisher dan teori-teori klasik lainnya, berpangkal pokok pada fungsi uang sebagai alat tukar umum (means ofexchange). Karena itu, teori-teori Klasik 26 melihat kebutuhan uang atau permintaan akan uang dari masyarakat sebagai kebutuhan akan alat tukar yang likuid untuk tujuan transaksi. Perbedaan utama antara teori ini dengan Fisher, terletak pada tekanan dalam teori permintaan uang Cambridge pada perilaku individu dalam mengalokasikan kekayaannya antara berbagai kemungkinan bentuk kekayaan, yang salah satunya berbentuk uang. Perilaku ini dipengaruhi oleh pertimbangan untung-rugi dari pemegang kekayaan dalam bentuk uang. Teori Cambridge lebih menekankan faktor-faktor perilaku (pertimbangan untung-rugi) yang menghubungkan antara permintaan akan uang seseorang dengan volume transaksi yang direncanakannya. Teoritisi Cambridge mengatakan bahwa permintaan akan uang selain dipengaruhi oleh volume transaksi dan faktor kelembagaan (Fisher), juga dipengaruhi oleh tingkat bunga, besar kekayaan warga masyarakat, dan ramalan/harapan dari masyarakat mengenai masa mendatang. Jadi dalam jangka pendek, teoritisi Cambridge menganggap bahwa jumlah kekayaan, volume transaksi dan pendapatan nasional mempunyai hubungan yang proporsionalkonstan satu sama lainnya. Teori Cambridge menganggap bahwa, ceteris paribus permintaan akan uang adalah proporsional dengan tingkat pendapatan nasional. 27 Md = k PY………………………………………(1) dimana Y adalah pendapatan nasional riil. Supply akan uang (Ms) dianggap ditentukan oleh pemerintah. Dalam posisi keseimbangan maka : Ms = Md………………………………………...(2) sehingga : Ms = k PY………………………………………(3) atau : P = 1/k Ms Y…………………………………....(4) Jadi ceteris paribus tingkat harga umum (P) berubah secara proporsional dengan perubahan volume uang yang beredar. Tidak banyak berbeda dengan teori Fisher, kecuali tambahan ceteris paribus (yang berarti tingkat harga, pendapatan nasional riil, tingkat bunga dan harapan adalah konstan). Perbedaan ini cukup penting, karena teori Cambridge tidak menutup kemungkinan bahwa faktor-faktor seperti tingkat bunga dan expectation berubah, walaupun dalam jangka pendek. Dan kalau faktor-faktor berubah maka k juga berubah. Teori Cambridge mengatakan kalau tingkat bunga naik, ada kecenderungan masyarakat mengurangi uang yang ingin mereka pegang, meskipun volume transaksi yang mereka rencanakan tetap. Demikian juga faktor expectation mempengaruhi: bila seandainya masa datang tingkat bungaakan naik (yang berarti 28 penurunan surat berharga atau obligasi) maka orang akan cenderung untuk mengurangi jumlah surat berharga yang dipegangnya dan menambah jumlah uang tunai yang mereka pegang, dan ini pun bisa mempengaruhi “k” dalam jangka pendek (Boediono, 2005: 23). c) Teori Keynes Meskipun bisa dikatakan bahwa teori uang Keynes adalah teori yang bersumber dari teori Cambridge, tetapi Keynes mengemukakan sesuatu yang berbeda dengan teori moneter tradisi klasik. Pada hakekatnya perbedaan ini terletak pada penekanan pada fungsi uang yang lain, yaitu sebagai store of value dan bukan hanya sebagai means of exchange. Teori ini kemudian dikenal dengan nama teori Liquidity Preference. 2) Teori Kuantitas Modern (Friedman) Friedman tidak bertitik tolak dari pembahasan yang mendalam mengenai motif-motif memegang uang. Secara umum dianggap bahwa orang mau memegang uang karena uang adalah salah satu bentuk aktiva (asset) yang memberikan manfaat karena merupakan sumber daya beli yang liquid (readily available source of purchasing power). Teori permintaan uang Friedman menganggap bahwa “pemilik kekayaan” memutuskan aktiva-aktiva apa (termasuk uang tunai) dan berapa yang akan ia pegang atas dasar perbandingan 29 manfaat (penghasilan dalam bentuk uang ataupun dalam bentuk in natura ataupun “utility”), selera dan jumlah kekayaannya. Pengertian “kekayaan” dari Friedman mempunyai ciri khas, yaitu bahwa yang dimasukkan dalam definisi “kekayaan” tidak hanya aktiva-aktiva yang berbentuk uang atau bisa diubah (dijual) menjadi uang, tetapi juga nilai (tepatnya,”nilai sekarang” atau “present value”) dari aliran aliran penghasilan di tahun-tahun mendatang dari tenega kerjanya. Friedman berpendapat bahwa “kekayaan” tidak lain adalah nilai sekarang dari aliran-aliran penghasilan yang diharapkan dari aktiva - aktiva yang dipegang. Konsep “kekayaan” dari Friedman ini merupakan suatu inovasi dalam teori ekonomi mengenai capital, dan sekaligus merupakan jembatan antara teori permintaan biasa (untuk barang dan jasa) dengan teori capital. Pengertian yang kedua adalah konsep “manfaat”. Manfaat dari setiap bentuk aktiva merupakan faktor pertimbangan dari pemilik kekayaan untuk memutuskan berapa jumlah dari masingmasing bentuk aktiva yang akan ia pegang. Disebut diatas bahwa Marginal Rate of Substitution dari suatu aktiva terhadap aktivaaktiva lain menurun dengan makin besarnya jumlah aktiva tersebut yang dipegang. Ini berarti bahwa bila seseorang memegang terlalu banyak satu bentuk aktiva, misalnya uang maka manfaat marginal dari uang akan menjadi lebih kecil dari pada marginal returns dari aktiva-aktiva yang lain. Ini berarti bahwa ia bila ia mengurangi 30 jumlah uang yang ia pegang dan menggantinya dengan aktivaaktiva lain berupa obligasi, surat-surat berharga lainnya ataupun aktiva fisik seperti mobil, rumah, mesin dan sebagainya, maka orang tersebut akan memperoleh manfaat total yang lebih besar. Jadi, menurut pandangan Friedman permintaan uang ditentukan oleh faktor seperti berikut : tingkat harga, suku bunga obligasi, suku bunga “equities”, modal fisik dan kekayaan mengenai peranan harga dalam menentukan permintaan uang, Friedman berpendapat dikarenakan memegang uang adalah salah satu cara untuk menyimpan kekayaan. Cara-cara yang lain adalah menyimpan uang dalam bentuk harta keuangan (financial asset) seperti obligasi, deposito dan saham, menyimpan dalam bentuk harta tetap (tanah dan rumah) dan kekayaan manusiawi (Boediono, 2005 : 63). Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan uang seperti diatas, teori permintaan yang didasarkan pada teori kuantitas modern yang dikembangkan oleh Friedman dapat dinyatakan dalam persamaan berikut : Md = f (P, r, rFC) Dimana Md adalah permintaan uang nominal, P adalah tingkat harga, r adalah tingkat suku bunga, rFC adalah tingkat pengembalian modal fisik dan Y adalah pendapatan dan kekayaan. Md/P = f (ΔP, r, Y*) 31 Apabila dipertimbangkan pula pandangan Friedman mengenai permintaan uang riil, maka persamaan permintaan uang dinyatakan Dimana Md/P adalah permintaan uang riil, ΔP adalah tingkat kenaikan harga, r adalah tingkat bunga dan Y* adalah nilai pendapatan dan kekayaan riil. Model permintaan uang riil diatas masih dalam bentuk umum, secara spesifik, bentuk fungsi diatas masih sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti perkembangan institusi keuangan dan kelembagaan lainnya yang terkait didalam perekonomian dan juga oleh kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah (Sidiq, 2005 : 33). 3. Produk Domestik Bruto (PDB) a. Definisi Produk Domestik Bruto (PDB) Pendapatan dalam penelitian ini di definisikan sebagai produk domestik bruto (PDB). Di negara-negara berkembang, konsep produk domestik bruto adalah konsep yang paling penting jika dibandingkan dengan konsep pendapatan nasional lainya. Produk domestik bruto adalah nilai barang-barang dan jasa-jasa di dalam suatu negara yang diproduksikan oleh faktor-faktor produksi milik warga negara tersebut dan warga negara asingdalam satu tahun tertentu (Sukirno, 1999: 33). b. Konsep Produk Domestik Bruto (PDB) Pertumbuhan suatu peekonomian diukur dari pertumbuhan sebenarnya dalam barang dan jasa yang diproduksikan. Untuk dapat 32 dapat menghitung kenaikan tersebut daritahun ke tahun barang dan jasa yang dihasilkan haruslah dihitung pada harga yang tetap, yaitu harga barang dan jasa yang berlaku pada satu tahun tertentu yang seterusnya digunakanuntuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun yang lain. Nilai yang didapat dari perhitungan dengan cara ini disebut produk domestik bruto harga konstan. Produk domestik bruto menurut harga konstan ini lebih mencerminkan pertumbuhan uotput atau produksi yang sesungguhnya terjadi (Wijaya, 1990: 16). Teori yang digunakan yang terkait dengan variabel produk domestik bruto ini adalah teori ini kuatitas dari marshall yang memperhatikan hubungan antara jumlah uang beredar dengan pendapatan. Rumus marshall adalah: M=kY.M Ket: M : Jumlah uang beredar K : Koefisien yang mengukur keseimbangan antara kedua sisi persamaa Y : Pendapatan Dalam perumusan marshall ini terlihat bahwa perubahan jumlah uang beredar atau perubahan permintaan terhadap uang untuk disimpan dalam bentuk liquiditas telah membawa pengaruh utama yang terhadap pendapatan untuk kemudian terhadap warga. 33 c. Pengaruh Produk Domestik Bruto Terhadap Jumlah Uang Beredar Produk Domestik Bruto merupakan ukuran tingkat kegiatan ekonomi suatu negara, namun demikian Produk domestik bruto bukanlah merupakan indeks atau pengukur kesejahteraan yang memuaskan, meskipun demikian perlu memasukan variabel pendapatan dalam analisis jumlah uang beredar, karena memiliki prinsip dasar yang sama yaitu tindakan memilih dari individu sebagai pemilik kekayaan. Masyarakat yang pendapatanya tinggi akan mendorong bank-bank umum untuk meningkatkan pemberian jaminan kredit pinjaman kepada masyarakat, sehingga jumlah uang beredar meningkat. Dalam jangka panjang Produk Domestik Bruto dapat mempengaruhi jumlah uang beredar untuk dapat menghitung kenaikan tersebut dari tahun ke tahun, barang dan jasa yang dihasilkan haruslah dihitung pada harga yang tetap, yaitu harga barang barang yang brelaku pada satu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun ke tahun berikutnya. Pendapatan Nasional menggambarkan tingkat produksi negara yang dicapai dalam satu tahun tertentu dan perubahannya dari tahun ke tahun. Maka ia mempunyai peranan penting dalam menggambarkan (i) tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai, dan (ii) perubahan pertumbuhannya dari tahun ke tahun. Produk nasional atau pendapatan 34 nasional adalah istilah yang menerapkan tentang nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan sesuatu negara dalam suatu tahun tertentu (Sukirno, 2004 : 17) Implikasi dari teori Fisher bahwa jumlah uang beredar didalam masyarakat merupakan suatu proporsi tertentu dari volume transaksi, dan volume transaksi merupakan suatu proporsi konstan pula dari tingkat output masyarakat (pendapatan nasional). Jadi jumlah uang pada analisa akhir ditentukan oleh tingkat pendapatan nasional saja (Boediono, 2005 : 20). 4. Kurs a. Definisi Kurs Nilai tukar mata uang atau yang disebut kurs adalah harga satu unit mata uang asing dalam bentuk mata uang domestik atau dapat juga dikatakan harga mata uang domestik terhadap mata uang asing (Simorangkir dan Suseno, 2004: 4), Perdagangan antar negara di mana masing–masing negara mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya angka perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya yang kemudian disebut kurs (Boediono, 1993 : 43). Jadi kurs atau nilai tukar valuta asing adalah perbandingan nilai atau harga mata uang uang nasional tertentu denagn mata uang asing nasional lain (Salvatore, 1997). 35 b. Teori Kurs 1) Pendekatan Perdagangan atau Pendekatan Elastisitas Terhadap Pembentukan kurs Teori kurs ini merupakan teori kurs tradisional yang berdasarkan pada kajian terhadap arus pertukaran barang dan jasa antar negara. Teori ini melihat bahwa nilai tukar atau kurs antara dua mata uang dari dua negara ditentukan oleh besar kecilnya perdagangan barang dan jasa yang berlangsung di antara kedua negara tersebut. Menurut pendekatan moneter, kurs ekuilibrium adalah kurs yang menyeimbangkan nilai impor dan nilai ekspor dari suatu negara. Jika nilai impor negara tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai ekspornya, maka kurs mata uangnya akan mengalami peningkatan, dan hal ini akan berlangsung secara cepat dalam system kurs mangambang yang berlaku. Peningkatan kurs tersebut akan membuat harga dari berbagai komoditi ekspornya menjadi lebih murah bagi para importir sedangkan berbagai produk barang dan jasa impor menjadi lebih mahal bagi penduduk domestik. Akibatnya, ekspor dari negara tersebut akan mengalami kenaikan sedangkan impornya akan terus menurun sampai pada akhirnya nilai perdagangan internasionalnya benar-benar seimbang (Salvatore, 1997 : 42). 36 Karena kecepatan proses penyesuaian tersebut ditentukan oleh seberapa responsive atau elastis impor dan ekspor terhadap perubahan-perubahan harga, maka pendekatan ini disebut juga pendekatan elastis. Pendekatan ini menekankan pentingnya peran perdagangan atau arus pertukaran barang dan jasa dalam pembentukan kurs. 2) Teori Persamaan Daya Beli terhadap Pembentukan Kurs Teori persamaan daya beli atau The Theory of Purchasing Power Parity pertama kali ditemukan oleh david Ricardo pada tahun 1817 dan belakangan dikembangkan oleh Gustav Cassel sekitar tahun 1916. Teori ini berdasarkan logika bahwa mata uang dalam standar kertas tidak mempunyai nilai intrinsic atau tidak didukung dan dikaitkan nilianya dengan suatu komoditi tertentu yang dijadikan standar sehingga nilai uang tersebut di dalam negeri ditentukna oleh kemampuan daya belinya. Secara Internasional kurs valuta mata uang antar negara ditentukan oleh perbandingan tenaga belinya masing-masing atau oleh tenaga beli relatifnya. Karena itu kurs valuta harus mencerminkan perbedaan tingkat harga di masing-masing negara (Wijaya, 1990 : 41). Apabila jumlah uang di negara mengalami perubahan naik atau berkurang akan mempengaruhi pula terhadap perbandingna harga uang dari dua jenis mata uang yang bersangkutan. Kurs tersebut adalah stabil selama permintaan dan penawaran kedua 37 jenis uang tersebut tetap seimbang. Jika permintaan uang suatu negara lebih kuat dari negara lain maka akan menguatkan nilai uang negara tersebut dan nilai uang negara lain akan menjadi lemah. 3) Pendekatan Moneter terhadap Pembentukan Kurs Pendekatan ini menyatakan bahwa kurs tercipta dalam proses penyamaan atau penyeimbangan stok atau total permintaan dan penawaran mata uang nasional di masing-masing negara. Penawaran uang di asumsikan dapat ditetapkan atau diciptakan secara independen oleh otoritas moneter di negara yang bersangkutan. Namun sebaliknya, permintaan uang sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan riiil oleh negara tersebut, atau tingkat harga-harga umum yang berlaku serta suku bunga (Salvatore, 1997 : 46). Peningkatan penawaran uang yang kemudian mengakibatkan penurunan suku bunga riil dapat mempengaruhi situasi di pasar-pasar finansial dan besaran kurs secara seketika. Bila tingkat penawaran naik, maka akan menyebabkan arus modal keluar bertambah karena adanya selisih bunga di negara itu dan negara lainnya. Dan pada akhirnya hal ini akan mengakibatkan depresi mata uang negara tersebut. 4) Pendekatan Keseimbangan Portofolio terhadap Pembentukan Kurs Pendekatan ini merupakan salah satu jenis pendekatan moneter yang lebih realistis dan memuaskan. Hal ini dikarenakan 38 asumsinya yang menyatakan bahwa uang hanyalah salah satu dari sekian banyak jenis aset finansial. Dalam pendekatan ini ditekankan bahwa kurs sesungguhnya terbentuk dalam proses penyamaan dan penyeimbangan stok atau total permintaan atau penawaran aset-aset finansial. Kemudian dirumuskan bahwa kenaikan penawaran uang di negara tersebut akan mendorong terjadinya kemerosotan suku bunga di negara tersebut, sehingga membuat investor menukarkan obligasi domestiknya menjadi mata uang domestik dan obligasi luar negeri. Pembelian besar-besaran atas obligasi luar negeri akan menimbulkan depresiasi mata uang domestik. Depresiasi selanjutnya akan daapt merangsang ekspor negara domestik dan menurunkan impornya, sehingga akan membuat surplus perdagangan bagi negara tersebut yang disusul dengan apresiasi mata uangnya. c. Pengaruh Kurs terhadap Jumlah Uang beredar Dalam jangka panjang, kurs dapat mempengaruhi jumlah uang beredar yang disebabkan oleh masuknya deposito dalam valuta asing sebagai komponen uang kuasi, karena fluktuasi dari kurs akan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memegang uang kuasi. Hal ini disebabkan karena adanya unsur spekulasi dan ketidakpastian di masa mendatang yang menjadi salah satu pertimbangan bagi seseorang untuk mengkonversikan kekayanya dalam aktiva-ktiva yang menguntungkan. 39 Dengan demikian adalah nilai dollar AS terapresiasi berarti kurs dollar AS terhadap rupiah meningkat, masyarakat cenderung akan memilih memegang dollar AS dan menabung atau mendepositokan uangnya dalam bentuk valuta asing, dimana rekening dan deposito dalam valuta asing ini merupakan komponen uang kuasi, sehingga uang kuasi akan meningkat, yang berarti jumlah uang beredar pun akan meningkat. 5. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia a. Definisi Sertifikat Bank Indonesia Surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh BI sebagai pengakuan utang berjangka pendek dengan menggunakan sistem diskonto (Sugiono, 2003 : 30). Penerbitan SBI oleh Bank Indonesia mempunyai tujuan kontraksi yaitu apabila tingkat suku bunga atas diskonto SBI dinaikkan dan kemudian diharapkan para pemilik dana akan membeli SBI sehingga aliran dana mengalir ke dalam negeri. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah salah satu instrumen yang digunakan untuk kebijakan Operasi Pasar Terbuka dari Bank Sentral (BI). Pembelian SBI ini dilakukan melalui mekanisme system perbankan, yaitu penempatan atau pencairan kembali dana–dana perbankan dan dana BUMN maupun perusahaan milik negara. Hasil yang diterima dari penempatan dana dalam bentuk SBI dinyatakan sebagai tingkat suku bunga SBI. 40 Operasi yang dilakukan oleh Bank Sentral ( Bank Indonesia ) adalah dengan menjual SBI sebagai sarana mengurangi jumlah uang beredar lewat mekanisme sistem perbankan. Suku bunga SBI mempunyai pengaruh yang negatif terhadap jumlah uang beredar. Apabila suku bunga meningkat, maka junlah uang beredar akan menurun, dan sebaliknya. b. Mekanisme Penerbitan dan Penjualan SBI SBI dilakukan oleh BI dapat melalui lelang maupun non lelang. SBI dapat dimiliki oleh perbankan atau pihak lain yang ditetapkan oleh BI melalui pembelian SBI pasar perdana. SBI langsung dapat diperdagangkan di pasar sekunder dan digunakan sebagai agunan. Sehingga pembelian SBI oleh perusahaan atau masyarakat tidak dapat dilakukan secara langsung dengan BI, tetapi harus melalui Bank Umum atau pialang pasar uang dan pialang pasar modal yang ditunjuk oleh BI. Pialang Pasar Modal / Uang BANK INDONESIA Perusahaan / Masyarakat BANK UMUM Gambar 2.1 Skema Mekanisme Pembelian SBI Sumber: Bank Indonesia 41 Penerbitan SBI mempunyai dasar hukum dari surat keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor : 31/67/KEP/dir tanggal 23 Juli 1998 tentang Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia serta Intervensi Rupiah. c. Prinsip Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1) SBI diterbitkan melalui mekanisme lelang dan non-lelang kepada lembaga keuangan yang ditetapkan oleh BI. 2) SBI ditransaksikan dimana pihak penjual SBI berkewajiban untuk membeli kembali SBI yang diperdagangkan sesuai dengan harga dan jangka waktu yang ditetapkan oleh BI. 3) SBI dapat dibeli melalui pasar dana atau pada saat diterbitkan hanya oleh bank umum dan lembaga non-bank yang ditetapkan oleh BI. 4) SBI dapat diperdagangkan di pasar sekunder secara Repo atau pembelian/penjualan lepas, yaitu tanpa kewajiban menjual membeli kembali. 5) SBI dapat dijadikan sebagai jaminan. 42 Operasi pasar terbuka (OPT) Pembelian Surat Berharga Penjualan Surat Berharga Menambah JUB Mo = Mengurangi JUB Mo = Suku Bunga Turun i = JUB M1, M2 Suku Bunga Naik i = JUB M1, M2 Harga Stabil Gambar 2.2 Mekanisme Operasi Pasar Terbuka dalam Mengendalikan JUB Sumber: Bank Indonesia. Operasi pasar terbuka dilakukan Bank Indonesia dengan tiga cara yaitu: a) Melalui Lelang SBI Besarnya lelang SBI (mingguan) dimaksudkan untuk mencapai besarnya target uang inti yang ditetapkan. Untuk itu, tiap minggu Bank Indonesia akan memperkirakan perkembangan uang inti dan dengan membandingkan target uyang ditetapkan, menentukan besarnya kelebihan likuiditas pasar uang yang harus diserap. Hal ini dilakukan untuk menghitung berapa SBI yang jatuh tempo, berapa ekspansi/kontraksi dari sisi fiscal (rekening 43 pemerintah di bank Indonesia), mutasi cadangan devisa, serta bagaimana kondisi likuiditas di pasar uang. b) Melalui Penggunaan FASBI di Pasar Uang Rupiah Selain lelang SBI mingguan (yaitu tiap hari rabu), Bank Indonesia juga melakukan kegiatan secara langsung di pasar uang rupiah melalui Fasilitas Bank Indonesia (Fasbi). Hal ini dilakukan secara harian, terutama apabila terjadi perkembangan di luar perhitungan yang dapat menyebabkan tidak tercapainya target uang inti melalui lelang SBI. Caranya antara lain dapat dilakukan dengan secara langsung menawarkan kepada bank-bank untuk menanamkan kelebihan likuiditasnya di bank Indonesia (berjangka waktu overnight hingga satu minggu) atau dengan cara membeli kembali SBI secara repurchase agreement (repo) di pasar uang antar bank. c) Melalui Sterilisasi/Intervensi Di Pasar Valuta Asing Terutama dilakukan apabila Pemerintah akan membiayai kegiatan suatu proyek membutuhkan rupiah dengan cara menggunakan dana valuta asingnya yang disimpan sebagai cadangan devisa Bank Indonesia. Dengan cara ini, dapat dicapai dua tujuan sekaligus. Pertama, penyerapan kelebihan likuiditas dipasar uang. Kedua, bahwa langkah ini sekaligus dapat membantu upaya untuk menstabilkan perkembangan nilai tukar rupiah di pasar. 44 Intervensi di pasar valuta asing dapat pula dilakukan Bank Indonesia pada waktu sedang terjadi gejolak nilai tukar rupiah di pasar valuta asing. d. Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI Terhadap Jumlah Uang Beredar Sertifikat Bank Indonesia adalah salah satu instrumen yang digunakan untuk kebijakan Operasi Pasar Terbuka dari Bank Sentral (BI). Pembelian SBI ini dilakukan melalui mekanisme sistem perbankan, yaitu penempatan atau pencairan kembali dana–dana perbankan dan dana BUMN maupun perusahaan milik negara. Hasil yang diterima dari penempatan dana dalam bentuk SBI dinyatakan sebagai tingkat suku bunga SBI. Operasi yang dilakukan oleh Bank Sentral (Bank Indonesia) adalah dengan menjual SBI sebagai sarana mengurangi jumlah uang beredar lewat mekanisme sistem perbankan. Suku bunga SBI mempunyai pengaruh yang negatif terhadap jumlah uang beredar. Apabila suku bunga meningkat, maka junlah uang beredar akan menurun, dan sebaliknya. Proses ini bekerja dari pengertian tingkat bunga dalam asumsi klasik, yang menganggap bahwa uang adalah produktif dan bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi. Dengan demikian, ketika suku bunga tinggi, maka masyarakat akan menyimpan dananya dalam bentuk tabungan sehingga jumlah uang beredar akan turun, dan sebaliknya, ketika suku bunga rendah, 45 maka masyarakat tidak tertarik untuk menabung sehingga jumlah uang yang beredar bertambah. B. Penelitian Terdahulu Ada beberapa penelitian tentang jumlah uang beredar di Indonesia: Ahmad Daerobi (1989) menganalisis permintaan dan penawaran uang di Indonesia untuk periode 1983-1997. Alat analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS) atau metode kuadrat terkecil. Penelitian ini menggunakan tingkat bunga, uang inti, dan jumlah pengeluaran riil pemerintah sebagai variabel independen yang mempengaruhi penawaran uang di Indonesia. Dari penelitian ini di peroleh kesimpulan bahwa penawaran uang secara agregat dipengaruhi oleh tingkat tingkat bunga, uang inti dan pengeluaran pemerintah. Namun secara indivudual, hanya variabel pengeluaran pemerintah yang berpengaruh secara signifikan. Adapun pengaruh variabel pengeluaran pemerintah sangat elastis. Sementara tingkat bunga dan uang inti pengaruhnya relatif rendah. Hasil analisis, baik dengan OLS maupun TSLS tidak jauh berbeda. Hal ini terjadi karena nilai estimasi tingkat bunga hampir sama dengan nilai yang ditaksir. Meskipun demikian, metode TSLS memberikan parameter-parameter yang lebuh baik daripada metode OLS, baik di lihat dari uji F, uji t, elastisitas dan koefisien determinasi (Daerobi,2000). Sunu Kartiko Utomo (2002) menganalisis dampak Deregulasi Perbankan terhadap jumlah uang beredar dan hubungan kausalitas antara jumlah uang beredar dengan tingkat inflasi di Indonesia. Data yang diambil adalah time series dalam kurun waktu tahun 1990-2004. Untuk mengetahui 46 ada tidaknya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen digunakan model dinamis yaitu model penyesuaian parsial (Partial Adjusment Methods), sedangkan untuk mengetahui hubungan kausalitas antara jumlah uang beredar denagn inflasi digunakan uji kausalitas granger. Adapun yang dijadikan variabel dependen adalah jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1). Variabel independen dalam penelitian ini adalah uang inti (RM), suku bunga deposito berjangka (SBD), rasio cadangan wajib minimum (RR0, Produk Domestik Bruto (PDB), dan Deregulasi Perbankan (DUMMY). Hasil studi empiris menunjukkan bahwa uang iti mempunyai pengaruh positif terhadap jumlah uang beredar, tingkat suku bunga mempunyai pengaruh negatif terhadap jumlah uang beredar, cadangan wajib minimum mempunyai pengaruh yang negatif terhadap jumlah uang beredar, PDB mempunyai pengaruh positif terhadap jumlah uang beredar dan Deregulasi Perbankan mempunyai pengaruh yang negatif terhadap jumlah uang beredar (Utomo, 2000). 47 C. Kerangka Pemikiran Produk Domestik Bruto Kurs JumlahUang Beredar Sertifikat Bank Indonesia Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Jumlah uang beredar tidak hanya dipengaruhi oleh pemerintah/bank sentral saja, tetapi juga dipengaruhi oleh sektor swasta (lembaga perbankan dan masyarakat). Bank Sentral mempengaruhi jumlah uang beredar pada penempatan suku bunga SBI. dan Kurs sementara itu, masyarakat mempengaruhi jumlah uang beredar melalui PDB. Hubungan dengan luar negeri sebagai faktor eksternal akan menimbulkan adanya pertukaran mata uang dengan patongan mata uang internasional yang kemudian menimbulkan kurs atau perbandingan nilai mata uang. Produk Domestik Bruto berpengaruh positif terhadap jumlah uang beredar. Masyarakat yang kaya atau mempunyai pendapatan yang tinggi akan cenderung untuk lebih banyak menggunakan jasa perbankan. Hal ini akan mendorong bank–bank umum untuk meningkatkan pemberian jaminan kredit pinjaman kepada masyarakat, sehingga jumlah uang beredar akan meningkat Suku bunga SBI mempunyai pengaruh negatif terhadap jumlah uang beredar. Apabila suku bunga naik, maka jumlah uang beredar akan menurun, 48 dan sebaliknya. Ketika suku bunga tinggi, maka masyarakat akan menyimpan dananya dalam bentuk tabungan sehingga jumlah uang beredar akan turun, dan sebaliknya, ketika suku bunga rendah, maka masyarakat tidak tertarik untuk menabung sehingga jumlah uang yang beredar bertambah. Kurs memiliki pengaruh yang positif terhadap jumlah uang beredar. Dengan demikian apabila nilai dollar AS terspresiasi berarti kurs dollar AS terhadap rupiah meningkat, masyarakat cenderung akan memilih memegang dollar AS dan menabung atau mendepositokan uangnya dalam bentuk valuta asing, dimana rekening dan deposito dalam valuta asing ini merupakan komponen uang kuasi, sehingga uang kuasi akan meningkat, yang berarti jumlah uang beredar pun meningkat. D. Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam melakukan penelitian ini antara lain : 1. Diduga PDB berpengaruh secara positif dan tidak signifikan terhadap jumlah uang beredar di Indonesia sesudah dan sebelum krisis. 2. Diduga tingkat suku bunga akan berpengaruh secara negatif dan tidak signifikan terhadap jumlah uang beredar di Indonesia sebelum dan sesudah krisis. 3. Diduga kurs Dollar Amerika terhadap Rupiah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap jumlah uang beredar di Indonesia sebelum dan sesudah krisis. 49 BAB III METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sampel Populasi adalah jumlah keseluruhan obyek yang karakteristiknya hendak diduga (Djarwanto, 1996). Populasi dalam penelitian ini adalah Jumlah Uang Beredar, Produk Domestik Bruto (PDB), Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Kurs (kurs Rupiah terhadap Dollar AS). Sampel adalah bagian dari populasi yang karakteristiknya hendak diselidiki (Djarwanto, 1996). Sampel diambil secara tahunan untuk periode tahun 1985 sampai dengan Desember 2005, yaitu sebanyak 20 data tahunan Pemilihan periode tersebut untuk mewakili kondisi terbaru, agar hasil penelitian ini diharapkan akan tetap akurat. B. Jenis Data dan Sumber Data 1. Jenis Data Penelitian ini menggunakan data kuantitatif yaitu data time series (runtut waktu) I tahun 1985 sampai dengan tahun 2005. 2. Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder (data yang dperoleh dari kepustakaan) yaitu mengenai Jumlah Uang Beredar, Produk Domestik Bruto (PDB), Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia, dan Kurs (Rupiah terhadap US$) diperoleh dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dari tahun 1985 sampai dengan 2005. 50 C. Definisi Operasional Data Variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Jumlah Uang Beredar (Y) Jumlah uang beredar merupakan seluruh uang kartal, uang giral ditambah dengan uang kuasi yang tersedia untuk digunakan oleh masyarakat. Jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) dinyatakan dalam satuan rupiah 2. Produk Domestik Bruto (X 1 ) Produk Domestik Bruto adalah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai sektor produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu, dihitung dengan harga konstan atas dasar tahun 2000. PDB riil dinyatakan dalam satuan rupiah. 3. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (X 2 ) Surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka pendek dengan menggunakan sistem diskonto yang dinyatakan dalam satuan persen, (Sugiono, 2003: 30). 4. Kurs (X 3 ) Kurs adalah harga per satu unit mata uang asing dalam bentuk mata uang domestik atau dapat juga dikatakan harga mata uang domestik terhadap mata uang asing yang dinyatakan dalam satuan rupiah, (Salvatore, 1997 : 11). 51 D. Teknik Analisis Data 1. Analisis Regresi Linier Berganda Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel dalam penelitian ini berupa pendekatan teori ekonomi, teori statistik dan teori ekonometrika dengan lebih menekankan pada pendekatan model analisis time series (runtut waktu), variabel utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Jumlah Uang Beredar sebagai variadel dependen, sedangkan variabel independennya meliputi Produk Domestik Bruto, Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia, dan Kurs. Salah satu persyaratan penting untuk mengaplikasikan model runtut waktu yaitu dipenuhinya asumsi data yang normal/stabil/stasioner. Arti stasioner adalah apabila suatu data runtut waktu memiliki rata-rata dan memiliki kecenderungan bergerak menuju rata-rata (Kennedy, 2000:274 dalam Mudrajad Kuncoro, 2004:170). Sebaliknya bagi data yang tidak stasioner, varians menjadi besar bila jumlah data runtut waktu diperluas, tidak sering melewati sumbu horizontal, dan autokorelasinya cenderung tidak menurun. Dalam penelitian ini digunakan analisis regresi untuk membangun persamaan atau hubungan antar variabel, dimana hubungan tersebut dapat mempunyai hubungan yang pasti atau determinasi dan hubungan yang tidak pasti atau stokastik. Pendekatan analisis yang digunakan untuk menaksir dan menganalisis hubungan antar variabel dalam penelitian ini berupa pendekatan teori ekonometrika, teori statistik dan teori ekonomi. 52 Dengan menggunakan analisis regresi dapat diprediksi pengaruh satu variabel lainnya, dimana sifat pengaruh antar variabel mempunyai sifat hubungan sebab akibat (hubungan kausalitas) baik yang didasarkan teori, hasil penelitian sebelumnya ataupun didasarkan pada penjelasan logis tertentu. Penentuan persamaan linier dengan menggunakan metode garis lurus akan menghasilkan persamaan yang baik, jika semua titik yang mencerminkan pasangan data berada disekitar garis lurus tersebut, namun apabila titik-titik pasangan data tersebar satu sama lain, maka persamaan yang baik adalah persamaan linier yang kurvanya mempunyai kesalahan yang minimum. Bentuk analisis regresi yang dapat mencerminkan persamaan linier dengan kurva yang mempunyai kesalahan minimum adalah dengan menggunakan OLS (Ordinary Least Square). Dalam analisis ini, nilai-nilai variabel bebas ditentukan oleh variabrel penjelas dengan sifat korelasi yang negatif atau positif. 2. Uji Statistik a. Uji t (t - test) Uji t adalah uji untuk mengetahui besarnya pengaruh dari koefisien regresi (two tail) masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut: Ho : 1 0 Ha : 1 0 t hitung = i Se i 53 Dimana: i = koefisien regresi Se i = standar error koefisien regresi Kriteria pengujian: 1) Jika t > t(α/2;n-k) atau –t < -t(α/2;n-k), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. 2) Jika -t(α/2;n-k) ≤ t ≤ t(α/2;n-k) , maka Ho diterima dan Ha ditolak. Artinya variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Dimana: = derajat signifikasi n = jumlah sample (observasi) k = banyaknya parameter daerah tolak daerah terima -t/2(n-k) daerah tolak t/2(n-k) Gambar 3.1 Kurva distribusi t Cara lain untuk menguji signifikan atau tidaknya koefisien regresi adalah dengan melihat nilai probabiltasnya (nilai prob-nya) Jika nilai prob-nya < 0,05 maka koefisien regresi itu signifikan pada tingkat 5% 54 b. Uji F (uji secara bersama-sama) Yaitu uji mengetahui besarnya pengaruh variabel-variabel independen secara bersama-sama. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut: 1) Ho : 1 2 3 4 0 Ha : 1 2 3 4 0 F hitung R 2 / k - 1 1 - R 2 / N - k Dimana: R2 = koefisien determinan N = jumlah observasi / sampel k = jumlah variabel F Tabel = F /2; n-k;k-1 Dimana: n = jumlah observasi k = banyaknya parameter daerah tolak Ho daerah terima Ho Gambar 3.2 Kurva distribusi F Kriteria pengujian: 1) Jika nilai F hitung < F tabel, Ho diterima dan Ha ditolak. Artinya variabel independen secara serentak tidak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. 55 2) Jika nilai F hitung > F tabel, Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya variabel independen secara serentak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. c. Uji Koefisien Determinasi (R2) Uji ini bertujuan mengetahui tingkat ketepatan yang paling baik dalam analisis regresi, yang ditunjukkan oleh besarnya koefisien determinasi (R2 adjusted) antara nol dan satu. Koefisien determinasi nol berarti variabel independen sama sekali tidak berpengaruh terhadap variabel dependen, bila mendekati satu variabel independen semakin berpengaruh terhadap variabel dependen. Adapun rumus R2 adalah sebagai berikut: 1 1 R / N - k 2 R2 N - k -1 Notasi: R2 = koefisien determinasi N = jumlah observasi k = jumlah variabel 3. Analisis Ekonometrika a) Uji Multikoliniearitas Multikoliniearitas adalah suatu keadaan dimana terdapat hubungan yang liniear atau mendekati linier diantara variabel-variabel rxi,2 xj 1 , adalah koefisien yang diestimasi tidak dapat ditentukan dan standard error dari koefisien menjadi sangat besar. Untuk mendeteksi adanya multikoliniearitas digunakan Uji Klien, yaitu membandingkan 56 nilai koefisien korelasi setiap variabel penjelas ( rxi,2 xj ), dengan nilai koefisien determinasi R 2 xi, xj...xn . Apabila nilai r 2 xi, xj daripada nilai (R2 y,xi,xj,…xn), maka tidak lebih kecil terdapat masalah multikolinieritas di dalam model. b) Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi karena varians yang ditimbulkan oleh variabel penganggu tidak konstan untuk semua variabel penjelas. Akibat dari adanya heteroskedastisitas ini antara lain uji signifikansi (uji t dan uji F) menjadi tidak tepat dan koefisien regresi menjadi tidak mempunyai varians yang minimum walaupun penaksir tersebut tidak bias dan konsisten. Salah satu cara untuk mengetahui adanya heteroskedastisitas adalah dengan melakukan Uji gletser. Uji ini dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah dengan melakukan regresi sebagai berikut: Y1 0 1X1 i Sehingga diperoleh residual ei sebagai estimasi ui. Tahap kedua adalah meregresi nilai mutlak residual, yaitu e i terhadap masingmasing variabel penjelas. Dalam bentuk fungsional sebagai berikut: e i 0 1X 1 v i dimana vi adalah unsur kesalahan Koefisien 1 yang diperoleh diuji dengan uji t dimana hipotesis pengujiannya adalah sebagai berikut: 57 Ho = Tidak terdapat heteroskedastisitas Ha = Terdapat heteroskedastisitas Bila nilai t hitung < t tabel pada taraf signifikansi tertentu dan df=N-k, maka Ho diterima, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara residual dengan variabel penjelasnya, atau dengan kata lain tidak terdapat masalah heteroskedastisitas di dalam model. c) Uji Autokorelasi Suatu model dikatakan terdapat autokorelasi apabila terjadi korelasi serial diantara error term variabel penggangu serangkaian observasi. Pengujian diperlukan untuk mengetahui apakah model analisis mengandung autokorelasi atau tidak. Untuk pengujian ini terlebih dahulu ditentukan nilai kritis dl (lower limit) dan du (upper limit) berdasarkan jumlah observasi dan banyaknya variabel penjelas. Untuk menguji adanya autokorelasi dari hasil estimasi, mekanisme Durbin-watson adalah sebagai berikut (Gujarati, 1997:213). Hipotesis Ho adalah bahwa tidak terdapat autokorelasi positif maupun negatif, maka jika: d < dI : menolak Ho d < 4 – dI : menolak Ho dU < d < dI : menerima Ho 58 Ragu-Ragu Ragu-Ragu Autokorelasi Autokorelasi Positif Negatif Tidak ada autokorelasi 0 dL dU 4 –dU 4 –dL 4 dL Gambar 3.3 Durbin –Watson Test Dari hasil estimasi diperoleh nilai d (DW) hitung. Kemudian dengan besarnya d tabel dengan tingkat signifikansi 5% (N, k-1) dimana N = jumlah observasi, dan k = jumlah variabel akan diperoleh nilai dI dan dU. Apabila dU < d < 4 – dU, maka Ho diterima, yang menunjukkan bahwa dalam model analisis tidak terdapat autokorelasi baik positif maupun negatif. Jika hasil uji autokorelasi dengan Durbin Watson tidak baik maka dapat digunakan B-G Test, yakni berupa regresi atas semua variabel bebas dalam persamaan regresi OLS tersebut dan variabel lag t dari nilai residual regresi OLS Dari model tersebut akan didapat nilai R2 , kemudian nilai ini dimasukkan dalam rumus sebagai berikut : n - 1R 2 , dimana n adalah jumlah observasi, kemudian dilakukan pengujian dengan hipotesa sebagai berikut: 59 Ho : 0 berarti tidak ada masalah autokorelasi Ho : 0 berarti ada masalah autokorelasi Selanjutnya nilai n - 1R 2 diperbandingkan dengan X 2 (0,05). Dimana X 2 (0,05) adalah nilai kritis Chi-Square yang ada dalam tabel statistik Chi-Square. Jika n - 1R 2 lebih besar dari X 2 , maka terdapat masalah autokorelasi, dan jika sebaliknya maka tidak terjadi. 60 BAB IV HASIL DAN ANALISIS A. Deskripsi Data Penelitian Semua data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data runtut waktu (time series), dimana data yang dikumpulkan dalam kurun waktu tertentu dari suatu sample. Dalam penelitiaan ini data yang digunakan adalah data pada tahun 1985 – 2005. B. Analisis Regresi Linier Berganda Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel dalam penelitian ini berupa pendekatan teori ekonomi, teori statistik dan teori ekonometrika dengan lebih menekankan pada pendekatan model analisis time series (runtut waktu), variabel utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Jumlah Uang Beredar sebagai variadel dependen, sedangkan variabel independennya meliputi Produk Domestik Bruto, Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia, dan Kurs. Tabel 4.1 Hasil Analisis Regresi Berganda Dependent Variable: M2 Method: Least Squares Date: 08/07/09 Time: 00:09 Sample: 1985 2005 Included observations: 21 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C PDB BUNGA KURS -258307.7 0.168556 -9467.846 108.8398 199507.9 0.137448 5133.357 7.196977 -1.294724 1.226332 -1.844377 15.12298 0.2127 0.2368 0.0826 0.0000 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.936594 0.925405 110374.6 2.07E+11 -271.4233 1.224131 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 395991.6 404123.7 26.23079 26.42975 83.70484 0.000000 61 Estimation Command: ===================== LS M2 C PDB BUNGA KURS Estimation Equation: ===================== M2 = C(1) + C(2)*PDB + C(3)*BUNGA + C(4)*KURS Substituted Coefficients: ===================== M2 = -258307.7161 + 0.1685564691*PDB - 9467.845658*BUNGA + 108.8397805*KURS Jika X1 dan X2 sama dengan nol maka besarnya Y sama dengan konstantanya yaitu sebesar -258307.7161. Jika X1 meningkat 1 satuan maka Y juga akan meningkat 1 satuan dan jika X1 turun 1 satuan maka Y juga akan menurun 1 satuan (hubungannya positif). Begitu juga dengan X2, jika X2 meningkat 1 satuan maka Y juga akan meningkat 2 satuan dan jika X2 turun 1 satuan maka Y juga akan turun 2 satuan. C. Uji Statistik 1) Uji t Yaitu pengujian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pengaruh dari masing-nasing variabel bebas secara individu atau secara terpisah terhadap variabel terkait dengan langkah-langkah sebagai berikut; a) : 0,05 / 2 : 025 b) Perhitungan uji t : Nilai t tabel :t ;N–k 2 62 c) Daerah penguji Ha Ha diterima Ho diterima ditolak -2,110 2,110 Gambar 4.1 Daerah Terima Dan Tolak Uji t Tabel 4.2 Hasil Uji t Variabel t hitung t tabel prob keterangan PDB 1.226 2,110 0.2368 Tidak Signifikan BUNGA -1.844 2,110 0.0826 Tidak Signifikan KURS 15.122 2,110 0.0000 Signifikan Sumber : data diolah Berdasarkan tabel diatas, maka dapat diketahui bahwa : a) Untuk PDB = 1.226 < 2,110, maka Ho diterima dan Ha ditolak. Artinya variabel PDB tidak mempengaruhi variabel M2 secara signifikan. b) Untuk BUNGA = -1.844 < 2,110, maka Ho diterima dan Ha ditolak. Artinya variabel BUNGA tidak mempengaruhi variabel M2 secara signifikan c) Untuk KURS = 15.122 > 2,110, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya variabel KURS mempengaruhi variabel M2 secara signifikan. 2) Uji F Uji F merupakan uji statistik untuk menguji pengaruh PDB, BUNGA dan KURS terhadap jumlah uang beredar (M2). Adapun langkahlangkah sebagai berikut : 63 a) : 0,05 df : 17 b) Perhitungan uji F F tabel : 3,20 F hitung : 83.704 c) Daerah pengujian Ha diterima Ho ditolak 3,20 83.704 Gambar 4.2 Daerah Terima Dan Tolak (uji F) Tabel 4.3 Hasil Uji F Variabel F hitung F tabel Prob Keterangan 83,704 3,20 0.000000 Signifikan PDB, BUNGA, KURS Sumber : Data Diolah Dari hasil pengolahan data diperoleh F hitung = 83,704, sedangkan F tabel =pada taraf signifikan 5% adalah sebesar 3,20dikarenakan F hitung > F tabel (83,704 > 3,20), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya variabel independen secara serentak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Jadi PDB, BUNGA dan KURS secara bersama-sama berpengaruh terhadap jumlah uang beredar (M2). 64 3) Nilai R2 Nilai R2= 0.93 %, artinya 93 % variasi variabel M2 dapat dijelaskan oleh variasi variabel PDB, BUNGA dan KURS. Sedangkan sisanya 7 % dijelaskan oleh variabel lain diluar model. D. Analisis Ekonomatrika 1) Uji Multikolineritas Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang signifikan diantara variabel bebas. Deteksi adanya multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan uji korelasi parsial antar variabel independent. Pengujian yang dilakukan adalah menggunakan metode Klein, yaitu dengan membandingkan nilai r 2 dengan nilai Adjuted R 2 yang diperoleh darihasil pengujian korelasi. Hasil dari uji Klein untuk mendeteksi masalah multikolineritas adalah sebagai berikut. Tabel 4.4 Hasil Uji Multikolineritas Variabel r2 M2-PDB 0,059023 M2-BUNGA 0,000421 M2-KURS 0,923338 Sumber : Data Diolah R2 0,936594 0,936594 0,936594 Keterangan Tidak Ada Multikolineritas Tidak Ada Multikolineritas Tidak Ada Multikolineritas Dari tabel diatas dapat ditunjukan bahwa untuk semua korelasi antar variabel independen memiliki r 2 yang lebih kecil dari pada R 2 . Hal ini memberikan kesimpulan bahwa semua variabel independen memberikan pengruh bebas dari masalah multikolineritas. 65 2) Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama. Pengujian terhadap gejala heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melakukan White Test, yaitu dengan cara 2 meregresi residual kuadrat ( Ui )dengan variabel bebas, variabel bebas 2 kuadrat dan perkalian variabel bebas. Dapatkan nilai R untuk menghitung χ2, di mana χ2 = Obs*R square (Gujarati, 1995, hal.379). Untuk mengetahui ada atau tidaknya heterokedasitisitas digunakan white heterokedasiticity baik dengan menggunakan cross term maupun no cross term yang hasilnya dapat dilihat pada tampilan di bawah ini. Tabel 4.5 Hasil Uji Heteroskedastisitas ARCH Test: F-statistic Obs*R-squared 1.043996 1.096404 Probability Probability 0.320431 0.295057 Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 08/06/09 Time: 12:04 Sample(adjusted): 1986 2005 Included observations: 20 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C RESID^2(-1) 8.09E+09 0.250362 3.15E+09 0.245030 2.566044 1.021761 0.0194 0.3204 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.054820 0.002310 1.01E+10 1.84E+21 -488.0643 1.860767 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 1.03E+10 1.01E+10 49.00643 49.10600 1.043996 0.320431 `Sumber : Hasil pengolahan komputer, Eviews Dari perhitungan diatas diperoleh χ2 (df = 1, = 5%) = 3,841 sedangkan Obs*R 2 sebesar 1.096 sehingga apabila dibandingkan maka 66 Obs*R 2 lebih kecil dari pada χ2 . Hal ini menunjukan bahwa pada model ini tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. 3) Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah adanya korelasi antara anggota observasi satu dengan observasi lain yang berlainan waktu. Jika terjadi korelasi antara satu residual dengan residual yang lain, maka model mengandung masalah autokorelasi untuk menguji adanya pengaruh autokorelasi dalam penelitian ini menggunakan metode Durbin-Watson. Berdasarkan hasil regresi pada tabel diperoleh nilai Durbin-Watson sebesar 1,22. Pada tabel statistik dengan menggunakan = 5 % dan N = 21 diperoleh nilai d l = 1,03, d u = 1,67, 4-d u = 2,33, 4- d l = 2,97 digambarkan sebai berikut : Ragu-Ragu Ragu-Ragu Autokorelasi Autokorelasi Positif Negatif Tidak ada autokorelasi 1,03 1,67 2,33 2,97 Gambar 4.3 Statistik Durbin-Watson (autokorelasi) Nilai Durbin Watson sebesar 1,22 terlatak pada sebelah kiri d u hal ini berarti hasil pengujian meninjikan ragu-ragu. 67 Namun juga untuk mengetahui terdapat autokorelasi atau tidak, dapat juga dihitung dengan B-G Test, yaitu jika nilai probabilitas variabel independen lebih besar dari =5 % maka hipotesa yang menyatakan pada model tidak terdapat autokorelasi tidak ditolak. Berarti model empirik lolos dari masalah autokorelasi (Siti Aisyah Tri Rahayu, Modul Lab Ekonomatrika, 2007: 103) 1. B-G Test Tabel 4.6 Hasil (B-G Test) Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared 2.350868 2.690240 Probability Probability 0.144747 0.100965 Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 08/06/09 Time: 12:03 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C PDB BUNGA KURS RESID(-1) -11717.19 -0.008307 1967.008 -0.073161 0.400580 192176.3 0.132403 5104.642 6.927182 0.261261 -0.060971 -0.062738 0.385337 -0.010561 1.533254 0.9521 0.9508 0.7051 0.9917 0.1447 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.128107 -0.089867 106234.4 1.81E+11 -269.9839 1.737890 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 2.63E-11 101760.3 26.18894 26.43764 0.587717 0.676239 Sumber : Hasil pengolahan komputer, Eviews Dari regresi diatas dapat ditunjukan bahwa probabilitas untuk semua variabel lebih besar dari : 5%, sehingga dapat dipastikan bahwa pada model ini tidak terjadi autokorelasi. 68 E. Interpretasi Ekonomi 1) Pengaruh Produk Domestik Bruto Terhadap Jumlah Uang Beredar Pada variabel pertama menjelaskan bahwa Produk Domestik Bruto sebesar 0.168556. Hal ini berarti tanda parameter untuk Produk Domestik Bruto adalah negatif serta tidak signifikan dan tidak berpengaruh terhadap jumlah uang beredar M2. Produk Domestik Bruto yang signifikan dengan probabilitas 0.236 dikarenakan pendapatan nasional mempengaruhi tingkat transaksi di masyarakat. Permintaan uang di suatu masyarakat merupakan proporsi tertentu dari volume transaksi dan volume transaksi merupakan suatu proporsi konstan dari tingkat pendapatan nasional. Ini berarti jika PDB naik 1 milyar rupiah maka jumlah uang beredar M2 akan naik sebesar 0.168556 milyar rupiah. Hasil dari Produk Domestik Bruto riil dalam penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Keynes tentang motif memegang uang yaitu pada motif transaksi dan berjaga-jaga yang ditentukan oleh tingkat pendapatan, pada saat pendapatan tinggi lebih banyak uang yang diminta untuk motif transaksi dan berjaga-jaga, maka pada saat pendapatan naik akan menyebabkan permintaan uang mengalami peningkatan. 2) Pengaruh Tingkat Suku Bunga Terhadap Jumlah Uang Beredar Pada jumlah uang beredar M2, variabel kedua menjelaskan bahwa Tingkat Bunga sebesar -9467.846. Hal ini berarti tanda parameter untuk tingkat bunga adalah negatif serta tidak signifikan dengan, probabilitas 0.082 dan tidak berpengaruh terhadap jumlah uang beredar M2. Ini berarti 69 jika tingkat suku bunga naik 1% maka jumlah uang beredar M2 akan mengalami penurunan sebesar -9467.846 milyar rupiah. Dengan demikian tingkat bunga berpengaruh negatif terhadap jumlah uang beredar M2, pengaruh ini sesuai dengan teori yang ada dimana semakin tinggi tingkat bunga akan menurunkan tingkat permintaan uang. Dengan demikian salah satu kunci sukses bank ke depan ialah menjaga suku bunga untuk kredit tetap rendah supaya dapat mengguggah pertumbuhan di sektor riil terutama kredit investasi dan modal kerja yang dapat diartikan permintaan uang di masyarakat meningkat. Artinya, ketika Bank Indonesia menaikkan BI rate, bank harus berupaya tidak menaikkan suku bunga kreditnya. Akan lebih baik jika perbankan terus menurunkan suku bunga kredit sehingga masyarakat bisa mempunyai uang lebih untuk melakukan transaksi ataupun untuk berinvestasi. 3) Pengaruh Kurs Dollar Terhadap Jumlah Uang Beredar Pada jumlah uang beredar M2 variabel keempat menjelaskan bahwa Kurs sebesar 108.8398. Hal ini berarti tanda parameter untuk kurs adalah positif serta signifikan dengan probabilitas 0.000 dan berpengaruh terhadap jumlah uang beredar M2. Ini berarti jika kurs Dollar mengalami apresiasi sebesar 1 rupiah, maka akan mengakibatkan naiknya volume jumlah uang beredar M2 sebesar 108.8398 milyar rupiah. Ini menandakan apabila Kurs Dollar meningkat maka akan berpengaruh pada barang-barang impor dan dengan naiknya harga barangbarang impor akan menyebabkan jumlah uang beredar akan meningkat untuk melakukan transaksi impor tersebut. Nilai tukar suatu mata uang 70 didefinisikan sebagai harga relatif dari suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Walaupun sasaran akhir kebijakan moneter lebih diarahkan pada pengendalian laju inflasi, Bank Indonesia tidak akan membiarkan perkembangan nilai tukar rupiah di pasar bergerak secara bergejolak. Bank Indonesia menempuh langkah-langkah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dengan dua pertimbangan utama, yaitu : (1) kestabilan nilai tukar rupiah diperlukan untuk memberikan kepastian dalam perekonomian, dan (2) nilai tukar rupiah yang bergejolak dan merosot drastis akan menyulitkan Bank Indonesia dalam mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan. 71 BAB V PENUTUP A. Simpulan Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji pengaruh variabel Produk Domestik Bruto riil yang mewakili pendapatan nasional, suku bunga, kurs Dollar terhadap Rupiah terhadap Jumlah Uang Beredar M2 yang terjadi di Indonesia pada kurun waktu tahun 1985 sampai 2005 dengan metode Ordinary Least Squares (OLS), dari hasil analisis data yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Produk Domestik Bruto (PDB) mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap jumlah uang beredar di Indonesia nilai koefisien sebesar 0.168556, yang berarti jika PDB naik 1 rupiah maka jumlah uang beredar naik sebesar 0.168556 rupiah.. 2. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap jumlah uang beredar di Indonesia. Koefisien elastisitas SBI sebesar -9467.846 menujukkan bahwa jika SBI dinaikan 1%, maka jumlah uang beredar turun sebesar -9467.846 rupiah. 3. Kurs mempunyai pengaruih yang positif terhadap jumlah uang beredar di Indonesia. Nilai koefisien elastisitas Kurs rupiah sebesar 108.8398 yang berarti jika kurs rupiah naik maka akan berakibat naiknya jumlah beredar sebesar 108.8398 rupiah. 72 B. Saran-saran 1. Melihat dari pengaruh suku bunga SBI terhadap jumlah uang beredar, hendaknya Bank Indonesia menerapkan instrumen kebijakan lain yang lebih relevan dan tepat. Menentukan target-target besaran moneternya dengan lebih akurat dengan tidak memperhitungkan hanya aspek ekonomi saja, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial politik dan keamanan. Sehingga diharapkan dapat menekan laju inflasi dan meningkatkan pertumbuhan output. 2. Produk Domestik Bruto mengukur pendapatan yang diterima oleh semua orang dalam satu wilayah tertentu dalam jangka waktu tertentu. PDB yang tinggi merupakan indikator membaiknya perekonomian Indonesia. Untuk itu diharapkan upaya konkrit dari pemerintah untuk menjaga pertumbuhan PDB agar tercipta kestabilan ekonomi. 3. Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter sangat penting untuk membuat langkah-langkah selain menjaga kestabilan nilai kurs tetapi juga bagaimana menciptakan kestabilan ekonomi, keuangan, dan politik sehingga berdampak untuk meningkatkan kepercayaan para investor terhadap kondisi ekonomi Indonesia. 73 DAFTAR PUSTAKA Boediono. 2005. Ekonomi Moneter, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5. Yogyakarta: BPFE. Darmansyah, Dampak Krisis Terhadap Permintaan Uang di Indonesia periode 1994-2000, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.6, No. 2, Desember 2005, 129-142. Dornbusch, Rudiger, Makro Ekonomi, edisi 4, Jakarta : Erlangga. Gujarati, Damodar, Ekonometrika Dasar, Alih Bahasa Sumarno Zain, Erlangga, Jakarta, 1997. Iswardono. 1994. Uang dan Bank Uang dan Bank, edisi 4. Yogyakarta: BPFE. Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter – buku II, Edisi 1. Yogyakarta: BPFE. Prawoto, Nano, Permintaan Uang Di Indonesia Konsep Keynesian dengan Pendekatan PAM, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 1, No.1, April 2000 Hal:1-13. Sukirno, Sadono, 1985. Teori Mikro Ekonomi. Jakarta: FE UI. Bank Indonesia. 2003. Bank Sentral Republik Indonesia Tinjauan Kelembagaan, Kebijakan dan Organisasi. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan. Anonim. Statistik Indonesia berbagai edisi. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Berbagai Edisi. Jakarta: Bank Indonesia. Bank Indonesia, website: http://www,BI.go.id, Jakarta, Berbagai Penerbitan Daerobi achmad, 2000, Analisis Perminaatn dan Penawaran di Indonesia, Penelitin Kelompok dalam Bidang Moneter, FE UNS, Surakarta. 74 Gujarati, Damodar, 1998, Ekonometrika Dasar, Erlangga, Jakarta. Indrawati, Sri Mulyani, 1998, Teori Moneter, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, UI, Jakarta. Salvatore, Dominick, 1997, Ekonomi Internasional, jilid 2, Erlangga, Jakarta. Sukirno, Sadono, 1999, Pengantar Makro Ekonomi, PT Raja Grafinda Persada, Jakarta. Siti Aisyah Tri Rahayu, Modul Laboratorium Ekonomatrika, 2007, Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 75