48 BAB III STATUS NASAB ANAK LUAR NIKAH MENURUT

advertisement
BAB III
STATUS NASAB ANAK LUAR NIKAH MENURUT MAHKAMAH
KONSTITUSI DAN MAJELIS ULAMA INDONESIA
A. Status Nasab Anak Luar Nikah Menurut Mahkamah Konstitusi
1. Sejarah Kelembagaan Mahkamah Konstitusi
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali
dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen
konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat
(2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan
Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK
merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan
modern yang muncul di abad ke-20.1
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam
rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung
(MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam
Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.DPR dan
Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai
Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan
Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden
1
Jimli Asshidiqqie, “Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah
Konstitusi”. http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasanpembentukan-mk/. Diakses, 28 Agsutus 2014.
48
49
pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003,
Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim
konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan
sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16
Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan
perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai
mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan
kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.2
2. Kedudukan, Fungsi, dan Wewenang Mahkamah Konstitusi
a. Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan
pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah
Agung. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah
Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
2
Jimli Asshidiqqie, “Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan
Mahkamah Konstitusi”. http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutionalreview-gagasan-pembentukan-mk/. Diakses, 28 Agsutus 2014.
50
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu
lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang
mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya
berdasarkan ketentuan UUD 1945.3
b. Wewenang Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan
dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Memutus
Sengketa
kewenangan
lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Adapun kewajiban MK adalah wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga:
1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa :
a. penghianatan terhadap negara;
3
Janedjri M.Gaffar, Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia (Jakarta: Makalah Mahkamah Konstitusi, 2009), hlm. 9.
51
b. korupsi;
c. penyuapan;
d. tindak pidana lainnya;
2. perbuatan tercela, dan/atau
3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.4
3. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Status Nasab Anak Luar Nikah
a. Kasus Posisi
Keputusan kontroversial telah dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) Jum’at 17 Februari 2012. Institusi yang dipimpin
MD5
oleh Mahfud
menyatakan
bahwa
saat itu
anak yang
mengeluarkan
lahir
diluar
keputusan
yang
pernikahan
tetap
mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya setelah
dibuktikan dengan saksi atau tes Deoxyribo Nucleic Acid (DNA)6.
Putusan
MK
dibacakan oleh
dengan
Nomor
46/PUU-VIII/2010 tersebut telah
Ketua MK, Mohammad Mahfud MD didampingi
delapan hakim Konstitusi lainnya. Keputusan tersebut berawal dari
kisah kasih antara Machica dan Moerdiono. Machica adalah artis
dangdut era 90-an yang bernama asli Aisyah Muchtar, sedangkan
4
Janedjri M.Gaffar, Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia (Jakarta: Makalah Mahkamah Konstitusi, 2009), hlm. 11.
5
Mahfud MD adalah ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2008-2013
6
DNA adalah untaian asam nukleat yang menyandi kode genetik makhluk hidup,
termasuk manusia. di dalam DNA ini menyimpan semua informasi yang diperlukan untuk seluruh
aktifitas hidup termasuk tumbuh kembang, bergerak, berpikir, bernapas, dan lain sebagainya.
52
Moerdiono adalah mantan Menteri Sekertaris Negara era Soeharto.
Seperti diberitakan Machica menikah sirri dengan Moerdiono pada
20 Desember 1993. Pada tahun 1996 dari mereka lahir seorang
anak bernama M.Iqbal Ramadhan, tetapi tidak diakui Moerdiono.
Machica lalu menggugat pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan nikah dan
pasal 43 ayat (1) dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang anak yang dilahirkan diluar pernikahan hanya memiliki
hubungan keperdataan
dengan
ibunya. Alasan
memperjuangkan pengakuan anaknya,
Machica
hasil dari pernikahan
ingin
sirri
dengan menteri sekretaris Negara era Orde Baru. Langkah itupun
ia tempuh dengan berbagai cara mulai dari pengajuan ke Pengadilan
Agama Tiga Raksa Tangerang sampai pengaduannya kepada Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dan langkah terakhir yang
ditempuh adalah mengajukan judicial riview (hak uji materiil)
kepada MK atas pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan nikah dan pasal
43 ayat
(1)
Undang-undang
Nomor
1 tahun
1974 tentang
Pernikahan. Permohonan Machica ini kemudian dikabulkan oleh
MK.
Dalam putusannya
nomor
46/PUU-IX/2011.
Dalam
pertimbangannya, MK menilai hubungan hukum anak dengan
ayahnya
tidak
semata-mata didasarkan
pada
adanya
ikatan
pernikahan. Tapi hal itu juga bisa dibuktikan dengan adanya
hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut. Jika tidak
demikian maka yang dirugikan adalah anak yang bersangkutan.
53
Perkara Konstitusi pertama dan terakhir menjatuhkan putusan
dalam perkara permohonan pengujian Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Pernikahan terhadap Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh :
1) Nama
: Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar
Ibrahim
TTL
: Ujung Pandang, 20Maret 1970
Alamat
: Jalan
Camar
002/008,
VI
Blok
Desa/Kelurahan
BL
12A,
RT/RW
Pondok
Betung,
Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang,
Banten
2) Nama
: M.Iqbal Ramadhan bin Moerdiono
TTL
: Jakarta, 5 Februari 1996
Alamat
: Jalan
Camar
002/008,
VI
Blok
Desa/Kelurahan
BL
12A,
RT/RW
Pondok
Betung,
Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang,
Banten.
b. Duduk Perkara
Para Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 14
Juni 2010
yang
diterima
Kepaniteraan
Mahkamah
Konstitusi
(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Senin
tanggal
14 Juni
2010 berdasarkan
Akta
Penerimaan
Berkas
Permohonan Nomor 211/PAN.MK/2010 dan diregistrasi pada Rabu
54
tanggal 23 Juni 2010 dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang telah
diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 9
Agustus 2010, menguraikan hal-hal sebagai berikut:
1) Bahwa Pemohon adalah Perorangan warga negara Indonesia;
2) Bahwa Pasal 51ayat (1) UUMK menyatakan:
a) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang perkawinan.
b) Pemohon adalah pihak yang diperlakukan berbeda di muka
hukum terhadap status hukum perkawinannya oleh undangundang perkawinan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2ayat (1) dan pasal 2ayat
(2)UU Perkawinan yang menyatakan: “Pernikahan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”, sehingga oleh karenanya pemikahan yang telah
dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga telah dikuatkan
dengan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap
(inkracht van gewijsde)
sebagaimana tercantum
dalam amar Penetapan atas Perkara Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs.,
tanggal
18Juni
2008.
“Tiap-tiap
pernikahan
dicatat
menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dengan berlakunya
Pasal 2ayat (2) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional
Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal
55
28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah
dirugikan; Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyatakan : “Setiap
orang
berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui pernikahan yang sah.”
Ketentuan UUD 1945 ini melahirkan norma konstitusi bahwa
Pemohon yang merupakan warga negara Indonesia dan memiliki hak
yang setara dengan warga negara Indonesia Iainnya dalam membentuk
keluarga dan melaksanakan pernikahan tanpa dibedakan dan wajib
diperlakukan sama di hadapan hukum; Sedangkan Pasal 28B ayat (2)
UUD 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.”
Selain itu, ketentuan UUD 1945 juga melahirkan norma
konstitusi bahwa anak Pemohon juga memiliki hak atas status
hukumnya dan diperlakukan sama di hadapan hukum;
Bahwa Pasal 43ayat (1) UU Perkawinan menyatakan: “Anak
yang dilahirkan diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Berdasarkan Pasal
43 ayat
(1)
UU
Perkawinan,
maka
anak
Pemohon
hanya
mempunyai hubungan keperdataan ke ibunya, dan hal yang sama
juga dianut dalam Islam.
Dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka
hak-hak konstitusional Pemohon selaku ibu dan anaknya untuk
56
mendapatkan pengesahan atas pemikahannya serta status hukum
anaknya yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal
28 D ayat (1) UUD 1945telah dirugikan;
Singkatnya
menurut
Pemohon,
ketentuan
a
quo
telah
menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta
menciptakan perlakuan yang bersifat diskriminat if, karena itu menurut
para Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945.
Akibatnya,
pemberlakuan norma
hukum
ini
berdampak
terhadap status hukum anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari
pernikahan Pemohon I menjadi anak di luar nikah berdasarkan
ketentuan norma hukum dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan.
c. Alasan-alasan Permohonan
Pemohon merupakan pihak yang secara langsung mengalami
dan
merasakan
hak
konstitusionalnya
dirugikan
dengan
diundangkannya UU Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal
2 ayat (2) dan Pasal 43ayat (1).
Hak konstitusional Pemohon yang telah dilanggar dan
merugikan tersebut adalah hak sebagaimana dijamin dalam Pasal
28B ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan
ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut , maka
57
Pemohon
dan anaknya
memiliki
hak
konstitusional
untuk
mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya.
Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut adalah setiap orang
memiliki kedudukan dan hak yang sama termasuk haknya untuk
mendapatkan pengesahan
atas
pemikahan
dan
status
hukum
anaknya. Norma konstitusi yang timbul dari Pasal 28B ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) adalah adanya persamaan dan
kesetaraan di hadapan hukum.
Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan tersebut dan
buktibukti terlampir maka dengan ini Pemohon memohon ke
Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan Putusan sebagai
berikut :
1) Menerima
dan
mengabulkan
Permohonan
Uji
Materiil
Pemohon untuk seluruhnya;
2) Menyatakan Pasal 2ayat
(2)
dan Pasal
43ayat
(1)
UU
Perkawinan, bertentangan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
3) Menyatakan Pasal 2ayat
(2)
dan Pasal
43ayat
(1)
UU
Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
dengan
segala akibat hukumnya;
Atau
jika Majelis Hakim
berpendapat lain, maka dimohonkan Putusan yang seadil-adilnya
(ex aequo et bono);
58
Berkenaan dengan hal tersebut diatas maka Pemohon juga telah
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai
dengan Bukti P-6.
Selain itu, Pemohon juga mengajukan ahli, yaitu Dr. H.M. Nurul
Irfan, M.Ag, yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dan
memberikan keterangan tertulis dalam persidangan tanggal 4 Mei
2011.
Singkatnya Pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan
perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta menciptakan
perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena itu
menurut para
Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan
Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap
status hukum anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari pernikahan
Pemohon I menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan
norma hukum dalam Pasal 34ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
B. Status Nasab Anak Luar Nikah Menurut Majelis Ulama Indonesia
1. Sejarah Kelembagaan Majelis Ulama Indonesia
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya
Masyarakat yang mewadahi ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam di
Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin
di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 17
59
Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta,
Indonesia.7
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para
ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah
air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26
Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan
unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah,
Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI
dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan
Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang
tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah
tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah
tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim,
yang tertuang dalam
sebuah
“Piagam Berdirinya MUI,”
yang
ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut
Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia
tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka,
di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik
kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.8
Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama
7
Profil Majelis Ulama Indonesia (Pusat dan Sumatera Utara), Dewan Pimpinan Majelis
Ulama Indonesia Sumatera Utara, 2006, hlm. 1.
8
Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia Edisi Revisi 2011
HasilRakernas MUI Tahun 2011), Diterbitkan oleh Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Pusat,
2011, hlm. 4.
60
Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan
cendekiawan muslim berusaha untuk :
a. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia
dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang
diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala;
b. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan
kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antarumat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa
serta;
c. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan
penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna
mensukseskan pembangunan nasional;
d. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga
Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan
tuntunan
kepada
masyarakat
khususnya
umat
Islam
dengan
mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Nasab Anak Luar Nikah
Salah satu putusan MUI yang terkait dalam pokok persoalan status
nasab anak diluar nikah adalah fatwa MUI Nomor: 11 Tahun 2012.
Putusan MUI ini dikeluarkan sebagai respon atas putusan MK tentang
nasab anak di luar pernikahan. Fatwa tersebut merupakan upaya MUI
dalam menjawab pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan anak
61
hasil zina, terutama terkait dengan hubungan nasab, waris, nafaqah dan
wali nikah dari anak hasil zina dengan laki-laki yang mengakibatkan
kelahirannya menurut hukum Islam.
a. Dasar Hukum Fatwa MUI Nomor : 11 Tahun 2012
Guna memperkuat fatwa MUI tentang nasab anak luar nikah,
MUI menggunakan berbagai dalil baik yang berasal dari Al-Qur’an
maupun Hadis, diantaranya :
1) Al-Qur’an
-
QS. Al-Furqan : 54
       
 
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran)
kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam
-
QS. Al-Isra : 32
         
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
-
QS. Al-Ahzab : 4-5
          
        
         
62
      
  
        
4. Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang
kamu zhihar9 itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anakanak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian
itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan
yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
5. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)
nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah,
dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka
(panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu10
-
QS. Al-An’am : 164
            
            
      
Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah,
Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah
seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali
kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain11. kemudian kepada Tuhanmulah kamu
kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan."
2) Hadis
9
Zhihar ialah Perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu Haram bagiku
seperti punggung ibuku atau Perkataan lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat kebiasaan
bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila Dia berkata demikian kepada Istrinya Maka Istrinya itu
haramnya baginya untuk selama-lamanya. tetapi setelah Islam datang, Maka yang Haram untuk
selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat
(denda).
10
Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang
telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.
11
Maksudnya: masing-masing orang memikul dosanya sendiri-sendiri.
63
-
Hadis yang menerangkan bahwa anak itu dinasabkan kepada
pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy),
sementara pezina harus diberi hukuman, antara lain yang diriwayat
kan oleh Bukhari Muslim yang berbunyi :
Dari „Aisyah ra bahwasanya ia berkata: Sa‟d ibn Abi Waqqash
dan Abd ibn Zam‟ah berebut terhadap seorang anak lantas
Sa‟d berkata: Wahai Rasulallah, anak ini adalah anak saudara
saya „Utbah ibn Abi Waqqash dia sampaikan ke saya
bahwasanya ia adalah anaknya, lihatlah kemiripannya. „Abd
ibn Zum‟ah juga berkata: “Anak ini saudaraku wahai
Rasulullah, ia terlahir dari pemilik kasur (firasy) ayahku dari
ibunya. Lantas Rasulullah saw melihat rupa anak tersebut
danbeliau melihat keserupaan yang jelas dengan „Utbah, lalu
Rasul bersabda: “Anak ini saudaramu wahai „Abd ibn Zum‟ah.
Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan
yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah (dihukum)
batu, dan berhijablah darinya wahai Saudah Binti Zam‟ah.
Aisyah berkata: ia tidak pernah melihat Saudah sama sekali.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
-
Hadis yang menerangkan bahwa anak hazil zina dinasabkan
kepada ibunya.
Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga
ibunya ...” (HR. Abu Dawud)
-
Hadis yang menerangkan tidak adanya hubungan kewarisan
antara anak hasil zina dengan lelaki yang mengakibatkan
kelahirannya.
“Dari „Amr ibn Syu‟aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa
Rasulullah saw bersabda: Setiap orang yang menzinai
perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya
adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“.
(HR. Al-Turmudzi)
-
Hadis yang menerangkan larangan berzina
Dari Abi Marzuq ra ia berkata: Kami bersama Ruwaifi‟ ibn Tsabit
64
berperang di Jarbah, sebuah desa di daerah Maghrib, lantas
ia berpidato: “Wahai manusia, saya sampaikan apa yang saya
dengar dari Rasulullah saw pada saat perang Hunain seraya
berliau bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya menyiram air (mani)nya ke tanaman
orang lain (berzina)‟ (HR Ahmad dan Abu Dawud)
-
hadis yang menerangkan bahwa anak terlahir di dunia itu
dalam keadaan fitrah, tanpa dosa.
Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “Setiap
anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi. (HR
alBukhari dan Muslim)
Selain menggunakan dalil Al-Qur’an dan Hadist fatwa MUI ini
juga merujuk Ijma’ Ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam
Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) apabila ada seseorang
berzina
dengan
perempuan
yang
memiliki
suami,
kemudian
melahirkan anak, maka anak tidak dinasabkan kepada lelaki yang
menzinainya,
melainkan
kepada
suami
dari
ibunya
tersebut,
dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut.12
Qaidah Ushuliyah dan Qaidah Fiqhiyah juga digunakan dalam
memperkuat fatwa ini, diantaranya :
“Pada dasarnya, di dalam larangan tentang sesuatu menuntut adanya
rusaknya perbuatan yang terlarang tersebut”
“Tidak ada ijtihad di hadapan nash”
12
Fatwa MUI No.11 Tahun 2012
65
“ Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju “
“Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan
bahaya yang lain.”
“Menghindarkan
maslahat”
mafsadat
didahulukan
atas
mendatangkan
“Dharar yang bersifat khusus harus ditanggung
menghindarkan dharar yang bersifat umum (lebih luas).”
untuk
"Apabila terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling
bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih besar
dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko
bahayanya lebih kecil."
“Kebijakan imam (pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada
kemaslahatan.”
Selain itu pertimbangan ulama dari berbagai madzhab juga
digunakan dalam memutuskan perkara nasab anak diluar nikah
Pendapat
Jumhur
Madzhab
Fikih
Hanafiyyah,
Malikiyyah,
Syafi’iyyah, dan Hanabilah yang menyatakan bahwa prinsip
penetapan nasab adalah karena adanya hubungan pernikahan yang
66
sah. Selain karena pernikahan yang sah, maka tidak ada akibat
hukum hubungan nasab, dan dengan demikian anak zina dinasabkan
kepada ibunya, tidak dinasabkan pada lelaki yang menzinai.
b. Fatwa MUI Nomor : 11 Tahun 2012 tentang anak hasil zina dan
perlakuan terhadapnya.
Dalam ketentuan fatwa tersebut dijelaskan mengenai ketentuan
umum terlebih dahulu mengenai istilah-istilah yang ada dalam fatwa
diantaranya :
1) Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari
hubungan
badan
di
luar
pernikahan
yang
sah
menurut
ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana
kejahatan).
2) Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk
dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash
3) Takzir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk
dan
kadarnya
diserahkan
kepada
ulil
amri
(pihak
yang
berwenang menetapkan hukuman)
4) Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang
mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina
untuk berwasiat memberikan harta
kepada anak hasil zina
sepeninggalnya.
Setelah menjelaskan tentang berbagai ketentuan umum yang ada
barulah fatwa tersebut dijelaskan, yaitu :
67
1) Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah,
waris, dan nafaqah
dengan lelaki yang
mengakibatkan
kelahirannya.
2) Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan
nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3) Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang
dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.
4) Pezina dikenakan hukuman hadd
oleh pihak yang berwenang,
untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh alnasl).
5) Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman takzir kepada
lelaki
pezina
yang
mengakibatkan lahirnya
anak
dengan
mewajibkannya untuk :
a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;
b. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat
wajibah.
6) Hukuman
sebagaimana
dimaksud
nomor
5
bertujuan
melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab
antara
anak
tersebut
dengan
lelaki
yang
mengakibatkan
kelahirannya.13
Selain itu didalam fatwa MUI Nomor : 11 Tahun 2012 ini, juga
terdapat rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia yang ditujukan
13
Fatwa MUI No.12 Tahun 2012
68
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indoesia 14, yaitu :
1) DPR-RI dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan
perundang-undangan yang mengatur:
a) hukuman berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat
berfungsi sebagai zawajir dan mawani’ (membuat pelaku
menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut
untuk melakukannya);
b) memasukkan zina sebagai delik umum, bukan delik aduan
karena zina merupakan kejahatan yang menodai martabat
luhur manusia.
2) Pemerintah
wajib
mencegah
terjadinya
perzinaan
disertai
dengan penegakan hukum yang keras dan tegas.
3) Pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah
terjadinya penelantaran, terutama dengan memberikan hukuman
kepada
laki-laki
yang
menyebabkan
kelahirannya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
4) Pemerintah diminta untuk memberikan kemudahan layanan akte
kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya
kepada lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
5) Pemerintah
wajib
mengedukasi
masyarakat
untuk
tidak
mendiskriminasi anak hasil zina dengan memperlakukannya
sebagaimana anak yang lain. Penetapan nasab anak hasil zina
14
Ibid,.
69
kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan
ketentuan keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk
diskriminasi.
Download