BAB III STATUS NASAB ANAK LUAR NIKAH MENURUT MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAJELIS ULAMA INDONESIA A. Status Nasab Anak Luar Nikah Menurut Mahkamah Konstitusi 1. Sejarah Kelembagaan Mahkamah Konstitusi Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.1 Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden 1 Jimli Asshidiqqie, “Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi”. http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasanpembentukan-mk/. Diakses, 28 Agsutus 2014. 48 49 pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.2 2. Kedudukan, Fungsi, dan Wewenang Mahkamah Konstitusi a. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka 2 Jimli Asshidiqqie, “Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi”. http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutionalreview-gagasan-pembentukan-mk/. Diakses, 28 Agsutus 2014. 50 untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.3 b. Wewenang Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: 1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Memutus pembubaran partai politik, dan 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga: 1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa : a. penghianatan terhadap negara; 3 Janedjri M.Gaffar, Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Jakarta: Makalah Mahkamah Konstitusi, 2009), hlm. 9. 51 b. korupsi; c. penyuapan; d. tindak pidana lainnya; 2. perbuatan tercela, dan/atau 3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.4 3. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Status Nasab Anak Luar Nikah a. Kasus Posisi Keputusan kontroversial telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Jum’at 17 Februari 2012. Institusi yang dipimpin MD5 oleh Mahfud menyatakan bahwa saat itu anak yang mengeluarkan lahir diluar keputusan yang pernikahan tetap mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya setelah dibuktikan dengan saksi atau tes Deoxyribo Nucleic Acid (DNA)6. Putusan MK dibacakan oleh dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut telah Ketua MK, Mohammad Mahfud MD didampingi delapan hakim Konstitusi lainnya. Keputusan tersebut berawal dari kisah kasih antara Machica dan Moerdiono. Machica adalah artis dangdut era 90-an yang bernama asli Aisyah Muchtar, sedangkan 4 Janedjri M.Gaffar, Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Jakarta: Makalah Mahkamah Konstitusi, 2009), hlm. 11. 5 Mahfud MD adalah ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2008-2013 6 DNA adalah untaian asam nukleat yang menyandi kode genetik makhluk hidup, termasuk manusia. di dalam DNA ini menyimpan semua informasi yang diperlukan untuk seluruh aktifitas hidup termasuk tumbuh kembang, bergerak, berpikir, bernapas, dan lain sebagainya. 52 Moerdiono adalah mantan Menteri Sekertaris Negara era Soeharto. Seperti diberitakan Machica menikah sirri dengan Moerdiono pada 20 Desember 1993. Pada tahun 1996 dari mereka lahir seorang anak bernama M.Iqbal Ramadhan, tetapi tidak diakui Moerdiono. Machica lalu menggugat pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan nikah dan pasal 43 ayat (1) dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang anak yang dilahirkan diluar pernikahan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Alasan memperjuangkan pengakuan anaknya, Machica hasil dari pernikahan ingin sirri dengan menteri sekretaris Negara era Orde Baru. Langkah itupun ia tempuh dengan berbagai cara mulai dari pengajuan ke Pengadilan Agama Tiga Raksa Tangerang sampai pengaduannya kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dan langkah terakhir yang ditempuh adalah mengajukan judicial riview (hak uji materiil) kepada MK atas pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan nikah dan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Pernikahan. Permohonan Machica ini kemudian dikabulkan oleh MK. Dalam putusannya nomor 46/PUU-IX/2011. Dalam pertimbangannya, MK menilai hubungan hukum anak dengan ayahnya tidak semata-mata didasarkan pada adanya ikatan pernikahan. Tapi hal itu juga bisa dibuktikan dengan adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut. Jika tidak demikian maka yang dirugikan adalah anak yang bersangkutan. 53 Perkara Konstitusi pertama dan terakhir menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Pernikahan terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh : 1) Nama : Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim TTL : Ujung Pandang, 20Maret 1970 Alamat : Jalan Camar 002/008, VI Blok Desa/Kelurahan BL 12A, RT/RW Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten 2) Nama : M.Iqbal Ramadhan bin Moerdiono TTL : Jakarta, 5 Februari 1996 Alamat : Jalan Camar 002/008, VI Blok Desa/Kelurahan BL 12A, RT/RW Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten. b. Duduk Perkara Para Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 14 Juni 2010 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Senin tanggal 14 Juni 2010 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 211/PAN.MK/2010 dan diregistrasi pada Rabu 54 tanggal 23 Juni 2010 dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 9 Agustus 2010, menguraikan hal-hal sebagai berikut: 1) Bahwa Pemohon adalah Perorangan warga negara Indonesia; 2) Bahwa Pasal 51ayat (1) UUMK menyatakan: a) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang perkawinan. b) Pemohon adalah pihak yang diperlakukan berbeda di muka hukum terhadap status hukum perkawinannya oleh undangundang perkawinan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2ayat (1) dan pasal 2ayat (2)UU Perkawinan yang menyatakan: “Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, sehingga oleh karenanya pemikahan yang telah dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga telah dikuatkan dengan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sebagaimana tercantum dalam amar Penetapan atas Perkara Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs., tanggal 18Juni 2008. “Tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dengan berlakunya Pasal 2ayat (2) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 55 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan; Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyatakan : “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah.” Ketentuan UUD 1945 ini melahirkan norma konstitusi bahwa Pemohon yang merupakan warga negara Indonesia dan memiliki hak yang setara dengan warga negara Indonesia Iainnya dalam membentuk keluarga dan melaksanakan pernikahan tanpa dibedakan dan wajib diperlakukan sama di hadapan hukum; Sedangkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Selain itu, ketentuan UUD 1945 juga melahirkan norma konstitusi bahwa anak Pemohon juga memiliki hak atas status hukumnya dan diperlakukan sama di hadapan hukum; Bahwa Pasal 43ayat (1) UU Perkawinan menyatakan: “Anak yang dilahirkan diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka anak Pemohon hanya mempunyai hubungan keperdataan ke ibunya, dan hal yang sama juga dianut dalam Islam. Dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon selaku ibu dan anaknya untuk 56 mendapatkan pengesahan atas pemikahannya serta status hukum anaknya yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945telah dirugikan; Singkatnya menurut Pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta menciptakan perlakuan yang bersifat diskriminat if, karena itu menurut para Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari pernikahan Pemohon I menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. c. Alasan-alasan Permohonan Pemohon merupakan pihak yang secara langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan diundangkannya UU Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43ayat (1). Hak konstitusional Pemohon yang telah dilanggar dan merugikan tersebut adalah hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut , maka 57 Pemohon dan anaknya memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut adalah setiap orang memiliki kedudukan dan hak yang sama termasuk haknya untuk mendapatkan pengesahan atas pemikahan dan status hukum anaknya. Norma konstitusi yang timbul dari Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) adalah adanya persamaan dan kesetaraan di hadapan hukum. Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan tersebut dan buktibukti terlampir maka dengan ini Pemohon memohon ke Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan Putusan sebagai berikut : 1) Menerima dan mengabulkan Permohonan Uji Materiil Pemohon untuk seluruhnya; 2) Menyatakan Pasal 2ayat (2) dan Pasal 43ayat (1) UU Perkawinan, bertentangan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; 3) Menyatakan Pasal 2ayat (2) dan Pasal 43ayat (1) UU Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya; Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, maka dimohonkan Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); 58 Berkenaan dengan hal tersebut diatas maka Pemohon juga telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-6. Selain itu, Pemohon juga mengajukan ahli, yaitu Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag, yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dan memberikan keterangan tertulis dalam persidangan tanggal 4 Mei 2011. Singkatnya Pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta menciptakan perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena itu menurut para Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari pernikahan Pemohon I menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 34ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. B. Status Nasab Anak Luar Nikah Menurut Majelis Ulama Indonesia 1. Sejarah Kelembagaan Majelis Ulama Indonesia MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 17 59 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.7 MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I. Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.8 Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama 7 Profil Majelis Ulama Indonesia (Pusat dan Sumatera Utara), Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, 2006, hlm. 1. 8 Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia Edisi Revisi 2011 HasilRakernas MUI Tahun 2011), Diterbitkan oleh Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Pusat, 2011, hlm. 4. 60 Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk : a. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala; b. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antarumat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; c. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; d. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik. 2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Nasab Anak Luar Nikah Salah satu putusan MUI yang terkait dalam pokok persoalan status nasab anak diluar nikah adalah fatwa MUI Nomor: 11 Tahun 2012. Putusan MUI ini dikeluarkan sebagai respon atas putusan MK tentang nasab anak di luar pernikahan. Fatwa tersebut merupakan upaya MUI dalam menjawab pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan anak 61 hasil zina, terutama terkait dengan hubungan nasab, waris, nafaqah dan wali nikah dari anak hasil zina dengan laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya menurut hukum Islam. a. Dasar Hukum Fatwa MUI Nomor : 11 Tahun 2012 Guna memperkuat fatwa MUI tentang nasab anak luar nikah, MUI menggunakan berbagai dalil baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun Hadis, diantaranya : 1) Al-Qur’an - QS. Al-Furqan : 54 Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam - QS. Al-Isra : 32 Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. - QS. Al-Ahzab : 4-5 62 4. Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar9 itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anakanak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). 5. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu10 - QS. Al-An’am : 164 Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain11. kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." 2) Hadis 9 Zhihar ialah Perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu Haram bagiku seperti punggung ibuku atau Perkataan lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila Dia berkata demikian kepada Istrinya Maka Istrinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. tetapi setelah Islam datang, Maka yang Haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda). 10 Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah. 11 Maksudnya: masing-masing orang memikul dosanya sendiri-sendiri. 63 - Hadis yang menerangkan bahwa anak itu dinasabkan kepada pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy), sementara pezina harus diberi hukuman, antara lain yang diriwayat kan oleh Bukhari Muslim yang berbunyi : Dari „Aisyah ra bahwasanya ia berkata: Sa‟d ibn Abi Waqqash dan Abd ibn Zam‟ah berebut terhadap seorang anak lantas Sa‟d berkata: Wahai Rasulallah, anak ini adalah anak saudara saya „Utbah ibn Abi Waqqash dia sampaikan ke saya bahwasanya ia adalah anaknya, lihatlah kemiripannya. „Abd ibn Zum‟ah juga berkata: “Anak ini saudaraku wahai Rasulullah, ia terlahir dari pemilik kasur (firasy) ayahku dari ibunya. Lantas Rasulullah saw melihat rupa anak tersebut danbeliau melihat keserupaan yang jelas dengan „Utbah, lalu Rasul bersabda: “Anak ini saudaramu wahai „Abd ibn Zum‟ah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah (dihukum) batu, dan berhijablah darinya wahai Saudah Binti Zam‟ah. Aisyah berkata: ia tidak pernah melihat Saudah sama sekali. (HR. Al-Bukhari dan Muslim) - Hadis yang menerangkan bahwa anak hazil zina dinasabkan kepada ibunya. Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...” (HR. Abu Dawud) - Hadis yang menerangkan tidak adanya hubungan kewarisan antara anak hasil zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. “Dari „Amr ibn Syu‟aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi) - Hadis yang menerangkan larangan berzina Dari Abi Marzuq ra ia berkata: Kami bersama Ruwaifi‟ ibn Tsabit 64 berperang di Jarbah, sebuah desa di daerah Maghrib, lantas ia berpidato: “Wahai manusia, saya sampaikan apa yang saya dengar dari Rasulullah saw pada saat perang Hunain seraya berliau bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya menyiram air (mani)nya ke tanaman orang lain (berzina)‟ (HR Ahmad dan Abu Dawud) - hadis yang menerangkan bahwa anak terlahir di dunia itu dalam keadaan fitrah, tanpa dosa. Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “Setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi. (HR alBukhari dan Muslim) Selain menggunakan dalil Al-Qur’an dan Hadist fatwa MUI ini juga merujuk Ijma’ Ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) apabila ada seseorang berzina dengan perempuan yang memiliki suami, kemudian melahirkan anak, maka anak tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut.12 Qaidah Ushuliyah dan Qaidah Fiqhiyah juga digunakan dalam memperkuat fatwa ini, diantaranya : “Pada dasarnya, di dalam larangan tentang sesuatu menuntut adanya rusaknya perbuatan yang terlarang tersebut” “Tidak ada ijtihad di hadapan nash” 12 Fatwa MUI No.11 Tahun 2012 65 “ Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju “ “Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.” “Menghindarkan maslahat” mafsadat didahulukan atas mendatangkan “Dharar yang bersifat khusus harus ditanggung menghindarkan dharar yang bersifat umum (lebih luas).” untuk "Apabila terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko bahayanya lebih kecil." “Kebijakan imam (pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan.” Selain itu pertimbangan ulama dari berbagai madzhab juga digunakan dalam memutuskan perkara nasab anak diluar nikah Pendapat Jumhur Madzhab Fikih Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah yang menyatakan bahwa prinsip penetapan nasab adalah karena adanya hubungan pernikahan yang 66 sah. Selain karena pernikahan yang sah, maka tidak ada akibat hukum hubungan nasab, dan dengan demikian anak zina dinasabkan kepada ibunya, tidak dinasabkan pada lelaki yang menzinai. b. Fatwa MUI Nomor : 11 Tahun 2012 tentang anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya. Dalam ketentuan fatwa tersebut dijelaskan mengenai ketentuan umum terlebih dahulu mengenai istilah-istilah yang ada dalam fatwa diantaranya : 1) Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan). 2) Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash 3) Takzir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang menetapkan hukuman) 4) Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya. Setelah menjelaskan tentang berbagai ketentuan umum yang ada barulah fatwa tersebut dijelaskan, yaitu : 67 1) Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. 2) Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya. 3) Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya. 4) Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh alnasl). 5) Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman takzir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk : a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut; b. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah. 6) Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.13 Selain itu didalam fatwa MUI Nomor : 11 Tahun 2012 ini, juga terdapat rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia yang ditujukan 13 Fatwa MUI No.12 Tahun 2012 68 kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indoesia 14, yaitu : 1) DPR-RI dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur: a) hukuman berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat berfungsi sebagai zawajir dan mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut untuk melakukannya); b) memasukkan zina sebagai delik umum, bukan delik aduan karena zina merupakan kejahatan yang menodai martabat luhur manusia. 2) Pemerintah wajib mencegah terjadinya perzinaan disertai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas. 3) Pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran, terutama dengan memberikan hukuman kepada laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 4) Pemerintah diminta untuk memberikan kemudahan layanan akte kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya kepada lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. 5) Pemerintah wajib mengedukasi masyarakat untuk tidak mendiskriminasi anak hasil zina dengan memperlakukannya sebagaimana anak yang lain. Penetapan nasab anak hasil zina 14 Ibid,. 69 kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan ketentuan keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk diskriminasi.