MASA IDDAH WANITA HAMIL YANG DITINGGAL WAFAT SUAMINYA MENURUT FATWA ALI BIN ABI THOLIB DAN ABDULLAH BIN MAS’UD (KAJIAN KOMPARATIF) Oleh M. Toha Ali, S. Ag. (Penghulu pada KUA Way Kenanga Kab Tulang Bawang) C. Latar Belakang Perkawinan dalam agama Islam dipandang sebagai sesuatu yang suci dan mulia. Manusia seharusnya menjalankan perintah perkawinan yang suci dan mulia itu dengan baik dan benar. Suatu perkawinan dalam Islam dipandang sempurna apabila suami istri mampu membentuk kehidupan rumah tangga yang harmonis, bahagia dan sejahtera baik lahir maupun batin atau dengan kata lain dapat mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah sebagaimana tersirat dalam al Quran dalam surat ar Ruum ayat 21, yaitu : Artinya : "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir".1 Ayat tersebut di atas sangat relevan dengan tujuan perkawinan yang menyebutkan bahwa tujuan sebuah perkawinan adalah untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah warahmah. 2 Selain itu perkawinan merupakan suatu cara untuk memperoleh suatu keturunan, karena orang tua memandang anak sebagai penerus generasi dan sebagai perlindungan dirinya pada saat usia mulai tua. Allah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan dan betina, begitu pula tumbuhantumbuhan. Hal ini dimaksudkan agar semua makhluk hidup berpasang-pasangan, rukun dan damai, sehingga akan tercipta suatu kehidupan yang tenteram, teratur dan sejahtera. Agar makhluk hidup dan kehidupan di dunia ini tetap lestari, maka harus ada keturunan yang akan menjadi generasi penerus yang akan melangsungkan dan melanjutkan jalannya roda kehidupan di bumi ini. Untuk itu harus ada pengembangbiakan yaitu dengan mengawinkan pasangan dari makhluk yang berlainan jenis yaitu laki-laki dan perempuan.3 1 Departemen Agama RL, Al Quran dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1989, hlm. 644. 2 Departemen Agama RI., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Gunung Pesagi, Bandar Lampung, 1996, hlm. 3. 3 Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Penerjemah, Syaiful Islam, Jilid 6, Al Maarif, Bandung, 1996, hlm. 53. Allah tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti naluri dan berhubungan antara laki-laki dan perempuan secara anarkhis dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling ridho meridhoi, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang dari adanya sebuah pernikahan dan dengan dihadiri oleh para saksi kedua belah pihak.4 Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan dan merupakan cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan yaitu suatu keluarga yang penuh dengan ketenangan, ketenteraman dan kedamaian sebagaimana dimaksud dengan kata mawadah warahmat. 5 Dalam perkawinan apabila sangat terpaksa boleh melakukan talak atau cerai dengan berbagai latar belakang alasan, walaupun Allah SWT sangat membenci perbuatan talak tetapi tetap memberikan peluang bagi keluarga yang tidak dapat mempertahankan keutuhannya. Sedangkan bagi wanita yang sudah dijatuhi talak oleh suaminya tersebut memiliki masa iddah. 4 Ibid., hlm. 10. 5 Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid 17, Penerjemah Bahrun Abu Bakar, Karya Toha Putra, Semarang, Cet Kedua, 1993, hlm. 45. Iddah secara harfiah berasal dari kata "adda" yang berarti menghitung atau sejumlah. 6 Adapun secara syara' adalah masa tunggu bagi wanita yang ditinggal mati atau bercerai dari suaminya. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan kekosongan rahim dari janin, sehingga tidak tercampur nasab keturunan serta untuk memberi kesempatan rujuk kepada suami yang mentalak istrinya dengan talak raj’i (bukan talak bain/tiga) setelah tenang jiwanya dan hilang rasa marahnya demi menjaga keutuhan tali perkawinan. 7 Adapun hukum iddah bagi wanita yang ditalak atau ditinggal mati oleh suaminya adalah wajib. Adapun macam-macam iddah bagi wanita adalah sebagai berikut : 1. Iddah tiga bulan bagi wanita yang ditalak oleh suaminya dalam keadaan hidup dan istri sudah berhenti dari haid (memasuki masa menapouse). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat at Talak ayat 4, yaitu : Artinya : "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika 6 kamu ragu-ragu (tentang masa A. Zainudin dan Muhamad Jamhari, Al Islam 2 : Muamalah dan Akhlaq, Pustaka Setia, Bandung, 1999, hlm. 47. 7 Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., hlm. 94. iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.... ". 2. Iddah sampai melahirkan bagi wanita yang ditalak oleh suaminya atau ditinggal mati oleh suami tetapi ia dalam keadaan hamil, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat at Talak ayat 4 : ... Artinya : "Waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya ". 3. Iddah 4 bulan 10 hari bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan tidak hamil, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 234 : … Artinya : "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari". 4. Bagi istri yang belum pernah dicampuri oleh suaminya, maka baginya tidak ada iddah jika ditalak, tetapi jika belum dicampuri dan suaminya meninggal, maka tetap berlaku iddah, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al Ahzab ayat 49 yaitu : … Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib alas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempumakannya. 5. Iddah tiga kali suci (quru') bagi wanita yang ditalak oleh suami yang masih hidup dan istri dalam keadaan masih haid, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 228 yaitu : … Artinya : "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan din (menunggu) tiga kali quru... ". Dari kelima jenis macam iddah tersebut di atas, semuanya menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama, salah satunya adalah mengenai masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya . Penetapan masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya bertujuan untuk memberi kesempatan berkabung padanya terhadap suami yang meninggalkannya untuk selama-lamanya, lagi pula tidak pantas bagi seorang istri yang baru ditinggal wafat oleh suaminya untuk menikah dengan pria lain Diantara tokoh yang memiliki pandangan yang berbeda tentang masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah Ali bin Abi Tholib dan Abdullah bin Mas’ud. Ali bin Abi Tholib berfatwa bahwa masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah menunggu sampai kandungannya melahirkan (at Talak ayat 4) juga menunggu selama empat bulan sepuluh hari (al Baqarah ayat 234).8 Ali bin Abi Thalib melanjutkan pendapatnya jika seorang istri hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya dan melahirkan kandungannya sebelum jatuh tempo yaitu empat bulan sepuluh hari, maka diharuskan baginya untuk menangguhkan lagi dirinya untuk menikah dengan pria lain sampai habis masa iddahnya, tetapi jika telah melewatinya sebelum melahirkan kandungannya maka diwajibkan baginya untuk menangguhkan diri sampai saat kelahiran.9 Sedangkan Abdullah bin Mas’ud berfatwa bahwa masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah sampai ia melahirkan kandungannya walaupun kelahiran itu terjadi sebelum jatuh tempo empat bulan sepuluh hari. Abdullah bin Mas’ud menandaskan pendapatnya dengan firman Allah dalam surat at Talak ayat 4 di atas.10 8 Abdur Rahim Muhammad, Pengantar ke Fiqih Imam Ali RA., Penerjemah Suaidi, Arista, Jakarta, 1988, hlm. 46. 9 Ibid. 10 Ibid., hlm. 45. Apabila dicermati secara mendalam, pendapat Ali bin Abi Thalib dengan Abdullah bin Mas’ud tersebut di atas di satu sisi memiliki persamaan di sisi yang lain juga memiliki perbedaan. Kondisi inilah yang memotivasi penulis untuk mengungkap berbagai latar belakang pemikiran keduanya dan menuangkannya dalam sebuah penelitian ilmiah. B. Ali bin Abi Thalib 1. Biografi Ali bin Abi Thalib Alī bin Abī Thālib adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi'ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW. Uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali dengan sebutan Imam, sehingga Ali menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad.11 Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi 11 Al Ustdaz Farid Wajdy, Mukaddamah Al Mushafful Mufassar, Al Maktabah, Cairo, t.th., hlm. 95. Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun. Beliau bernama asli Abdul Hasan Haydar Ali bin Abi Thalib ibn Abdul Muthalib Al Hasyim Al Quraisy. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah. 12 Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW terkesan tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah). Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.13 Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqirnya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa. 12 Muhammad Hasby Ash Shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Quran dan Tafsir, Pustaka Riski Putra, Semarang, 1997, hlm. 246. 13 Http://www. Islamensipatoris. Com. Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) dan Yesus (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun dan Nabi Musa. 14 Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun. Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada murid-murid atau sahabat-sahabat yang lain. Karena apabila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. 14 Al Ustdaz Farid Wajdy, Op. Cit., hlm. 104. Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak. Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar. Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain. Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.15 15 Http://www. Islamensipatoris. Com. Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khabar. Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, ternyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian. Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah. Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar. Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Bait dan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pembai'atan Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali membai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat. Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim. Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda. Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali. Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut. Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Beliau meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain. Ali memiliki delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah, adalah Hasan dan Husain. Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah. 16 Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.17 Anak laki-laki Anak perempuan Hasan al-Mujtaba Zainab al-Kubra Husain asy-Syahid Zainab al-Sughra Muhammad bin al-Hanafiah Ummu al-Hasan Abbas al-Akbar (dijuluki Abu Fadl) Ramlah al-Kubra Abdullah al-Akbar Ramlah al-Sughra Ja'far al-Akbar Nafisah Utsman al-Akbar Ruqaiyah al-Sughra 16 Http://www. Islamensipatoris. Com. 17 Http://www. Islamensipatoris. Com. Muhammad al-Ashghar Ruqaiyah al-Kubra Abdullah al-Ashghar Maimunah Abdullah (yang dijuluki Abu Ali) Zainab al-Sughra ‘Aun Ummu Hani Yahya Fathimah al-Sughra Muhammad al-Ausath Umamah Utsman al-Ashghar Khadijah al-Sughra Abbas al-Ashghar Ummu Kaltsum Ja'far al-Ashghar Ummu Salamah Umar al-Ashghar Hamamah Umar al-Akbar Ummu Kiram 2. Wawasan Keilmuan Ali bin Abi Thalib Para ilmuwan dan sejarawan telah sepakat bahwa Imam Ali adalah salah seorang mujtahid dan tokoh dalam bidang syariah, oleh sebab itu banyak di antara para pengarang yang mendahulukannya dalam pembahasan hukum Islam era shahabat. Diantara bukti yang menunjukkan bahwa Ali adalah orang yang telah mencapai derajat mujtahid dan mufti, adalah ketika usianya masih muda belia Rasulullah SAW. telah mengutusnya ke negeri Yaman untuk menjadi Qadhi, Guru agama dan Juru da'wah.18 18 As Syirazi, Thabaqat Fuqaha, Dar al Ilmi, Mesir, t. th hlm. 41-43. Ali bin ABi Thalib juga seorang Qadhi dan Mufti yang tidak diragukan lagi kemampuannya, sampai-sampai Rasulullah SAW sendiri mengizinkannya untuk memutuskan suatu perkara di hadapan beliau. Contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah ketika Rasulullah SAW duduk bersama para shahabat datanglah dua orang yang bersengketa mengadukan persoalan masing-masing. Berkatalah salah seorang dari mereka: "Wahai Rasulullah, saya memiliki seekor keledai, sedangkan orang ini memiliki seekor sapi dan sapi orang ini telah membunuh keledai saya". Seketika itu berkata salah seorang shahabat 'Tidak ada tuntutan hukum bagi binatang temak". Kemudian Rasulullah menyuruh Ali dengan mengatakan "putuskanlah antara keduanya Wahai Ali". Selanjutnya Ali pun melaksanakan perintah yang merupakan suatu penghormatan baginya itu, ia bertanya pada keduanya ; apakah kedua hewan itu dilepas, atau diikat, ataukah salah satunya terlepas dan yang lain terikat ? mereka menjawab: "Keledai terikat sedangkan sapi dilepas dan pemiliknya ada bersamanya". Kemudian Ali memutuskan: "Pemilik sapi mengganti kepada pemilik keledai". Rasulullah SAW membenarkan keputusan tersebut serta memerintahkan kepada pemilik sapi untuk mengganti keledai kepada pemiliknya”. Keutamaan Iman Ali mendapat pengakuan dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Kiranya cukuplah sebagai bukti yang menunjukkan bahwa Imam Ali adalah benar-benar telah memenuhi syarat untuk menjadi seorang mujtahid dan mufti yaitu kesaksian Rasulullah SAW akan hal itu. Kesaksian para sahabat terhadap Imam Ali dalam bidang ilmu dan syariah Islam sebagaimana dikemukakan oleh Umar bin Khattab r.a. dia mempunyai kata-kata masyhur yang diucapkannya berulang-ulang dalam mengungkapkan keinginannya untuk mencapai ilmu seperti yang dicapai oleh Ali, di antaranya: "Kalau tidak karena Ali celakalah Umar"' dan "Allah SWT tidak menetapkanku di bumi manapun yang di sana tidak ada Abu Hasan (Ali bin Abi Thalib).19 Umar dan para shahabat lainnya selalu mengajaknya bermusyawarah dan mengambil pendapatnya dalam menghadapi persoalan-persoalan besar yang sulit mereka pecahkan. Hal ini dapat dimengerti karena luasnya wawasan Ali, derasnya ilmu-ilmu fiqih maupun hadits yang ada padanya, sena dalamnya pemahaman beliau terhadap run syariah Islam maupun tujuan-tujuannya. Demikianlah Al-Hasan meriwayatkan bahwasanya Umar bin Khattab pemah mengumpulkan para shahabat untuk diajak bermusyawarah dan di antara mereka ada Ali bin Abi Thalib r.a. maka Umar pun berkata padanya "katakanlah pendapatmu, karena engkaulah yang paling berilmu dan paling utama di antara mereka". Pengaruh Ali bin Abi Thalib dalam Fiqih Islam adalah salah seorang yang mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk mengeluarkan fatwa hukum berbagai persoalan setelah Nabi Muhammad Saw tiada, bahkan beliau adalah salah seorang dari tujuh orang shahabat yang banyak mengeluarkan fatwa Demikianlah kenyataannya, Ali telah banyak mengeluarkan keputusan-keputusan hukum yang 19 Muhammad Hasby Ash Shidiqiy, Op. Cit., hlm. 71. masyhur dan terangkum dalam kitab-kitab Hadits, Fiqih, maupun Sirah. Di antara Fatwa-fatwanya itu ada yang dikeluarkan pada zaman Nabi dan mendapat pengakuan dari beliau, serta ada pula yang dikeluarkan pada zaman shahabat di mana terdapat banyak fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat tetapi bertentangan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Ali, namun mereka segera merubah keputusannya berdasarkan kebenaran dan mengakui pendapat Imam Ali. Terlepas dari banyaknya keputusan yang dikeluarkan oleh Ali, pada suatu kesempatan ada yang beliau keluarkan seorang diri dan ada pula yang disepakati oleh sahabat pada kesempatan yang lain. Imam Ali telah memberikan pengaruh besar terhadap Syariah Islam yang meliputi perkembangan, pembentukan, tata cara dan dasar-dasarnya, serta segisegi lain yang berhubungan. Berdasarkan kenyataan ini, maka tidaklah berlebihan jika kita katakan bahwa Imam Ali mempunyai posisi penting di antara ahli fiqih seluruhnya; baik dari golongan ahli Sunnah maupun Syiah, bukti yang nyata dalam hal ini adalah adanya pendapat-pendapat Imam Ali yang dipakai dan dianut oleh ahli fiqih dari madzhab yang berbeda-beda.20 Banyaknya fatwa-fatwa atau keputusan hukum yang dikeluarkan oleh Imam Ali kemungkinan penyebabnya adalah kembali pada kenyataan bahwa Imam Ali hidup selama kurang lebih tiga puluh tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, pada masa-masa itu ia banyak berfatwa, mengajar dan memberikan pengarahan, karena Imam Ali adalah orang yang cinta ilmu dan 20 Ibid. senang menyelami berbagai permasalahan untuk memutuskan kebenaran. Lain daripada itu beliau telah bermukim di Kufah selama lima tahun lamanya, selama itu sudah pasti banyak fatwa-fatwa yang ia keluarkan atau keputusan-keputusan hukum yang ia tinggalkan karena waktu itu di Kufah hanya Ali seorang yang menjadi juru penerang dan ahli fatwa yang diakui kedalaman serta ketajaman ilmunya, ditambah lagi dengan keikutsertaannya dalam memecahkan berbagai persoalan dengan ketiga Khalifah pendahulunya, khususnya persoalan-persoalan yang rumit serta membutuhkan kejelian dan ketajaman pemikiran dalam setiap segi untuk dapat memecahkan hukumnya. 3. Fatwa Ali bin Abi Tholib tentang Masa Iddah Wanita Hamil yang Ditinggal Wafat Suaminya Ali bin Abi Thalib berfatwa bahwa masa iddah wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah masa yang terlama dari dua masa yaitu menunggu selama empat bulan sepuluh hari dan apabila dia hamil menunggu sampai ia melahirkan. 21 Fatwa beliau ini menggabungkan dua ayat yakni firman Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 234 yaitu : 21 Abdur Rahim Muhammad, Pengantar ke Fiqih Imam Ali RA., Penerjemah Suaidi, Arista, Jakarta, 1988, hlm. 46 Artinya : "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat". (Q.S. al Baqarah : 234).22 Ayat ini menunjukkan umum bagi istri-istri yang ditinggal wafat oleh suaminya baik dalam keadaan hamil ataupun tidak adalah empat bulan sepuluh hari. Dan juga firman Allah SWT dalam surat at Thalaq ayat 4 yaitu : Artinya : "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuanperempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya". (Q.S. ath Thalaq: 4).23 Ayat ini juga bersifat umum yang mencakup wanita-wanita hamil yang diceraikan oleh suaminya atau wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya. Ali bin Abi Thalib telah menggabungkan kedua ayat yang bersifat umum itu dengan 22 Departamen Agama RI., Al Quran dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1989, hlm. 198. 23 Ibid., hlm. 495. mengkhususkan surat ath Thalaq ayat 4 terhadap wanita hamil yang diceraikan oleh suaminya saja, karena dalam ayat ini sebelumnya ada disebutkan “qarinah (penyertaan) bermacam-macam keadaan wanita yang diceraikan; seperti wanita manopause dan wanita yang belum berhaidh, dengan tidak mengabaikan sifat umum keduanya yang mencakup wanita-wanita hamil, wanita manopause dan wanita yang belum berhaid yang ditinggal wafat oleh suami-suami mereka". 24 Jadi pendapat Ali bin Abi Thalib dalam hal ini adalah jika seorang istri hamil yang ditinggal wafat suaminya dan melahirkan kandungannya sebelum jatuh tempo empat bulan sepuluh hari, maka diharuskan baginya untuk menangguhkan lagi dirinya dari nikah dengan pria lain sampai habis masa itu, tetapi jika ia telah melewatinya sebelum melahirkan kandungannya maka diwajibkan baginya untuk menangguhkan diri sampai saat kelahiran. C. Abdullah bin Mas’ud a. Biografi Abdullah bin Mas’ud Abdullah bin Mas’ud termasuk dalam golongan pertama yang masuk Islam (as-sabiquna al awalun) urutan ke-6 dari para sahabat Rasulullah dan ia termasuk pula sebagai orang yang hijrah ke Habsyah yaitu hijrah pertama kali dalam islam. Nama lengkapnya Abdullah bin Mas’ud bin Ghofil bin Habib al-Hadzaly. Biasanya dipanggil Abu Abdurrahman. Beliau dikenal dengan sebutan “Habrul 24 Abdur Rahim Muhammad, Op. Cit., hlm. 47. Ummah”(ilmuan umat Islam) seperti halnya Ibn ‘Abbas. Beliau juga termasuk orang yang ahli fiqh.25 Cerita tentang masuknya Abdulah bin Mas’ud ke dalam Islam, beliau berkata, ”Adalah aku menggembala kambing kepunyaan ‘Uqbah abi Mu’ith. Tiba-tiba berlalu Rasulullah bersama Abu Bakar. Kemudian Rasulullah bertanya, “Ya Ghulam (anak kecil), apakah ada susu di kambing ini ? Aku menjawab, “Ada tetapi aku hanya diamanati (ini bukan kepunyaanku) lantas Rasulullah bertanya lagi, “Adakah kambing betina yang belum di dekati si jantan?” Kemudian aku datangkan kambing betina kepada beliau, kemudian Rasulullah mengusap kantong kelenjar susunya, hingga keluarlah susu, lantas beliau memerahnya pada sebuah wadah, kemudian beliau meminumnya dan memberi Abu Bakar. Beliau bersabda pada kantong susu tersebut, “menyusutlah kamu’. maka susutlah air susu. Seusai kejadian itu aku datang kepada beliau. ” Ya Rasulullah ajarkanlah kepadaku al Quran. Kemudian Rasulullah mengusap kepalaku sambil mendo’akan, ”Semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya kamu ini anak kecil yang mulhama (yang diilhami Allah dengan kebaikan dan kebenaran). Dalam riwayat yang lain, “Ajarkanlah kami al Quran”. Kemudian Nabi bersabda, Sesungguhnya kamu adalah anak kecil yang pandai. Lantas kami mengambil 70 surat dari ucapan lisan Rasulullah. 25 Al Ustdaz Farid Wajdy, Op. Cit., hlm. 219. Beliau adalah sahabat Rasulullah yang berbadan kurus, pendek, besar perutnya serta kecil kedua betisnya. akan tetapi ia sangat lembut, sabar dan cerdik. Abdullah termasuk ulama pandai, sehingga dikatakan sebagai al-imam alhibr (pemimpin yang alim, yang shalih). Faqihu al-Ummah (fakihnya ummat). Ia termasuk bangsawan mulia, termasuk sebaik-baik manusia dalam berpakaian putih. Ilmunya beliau melimpah ruah. Ibnu Numair pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Ambillah al Quran dari empat sahabat. Beliau memulai dengan menyebut Ibnu Ummi ‘Abd (Ibnu Mas’ud), Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab dan Salim budak Abu Hudaifah”.26 Beliau adalah sahabat yang senang dengan ilmu, baik menimba ilmu atau mengamalkannya. Sehingga dinyatakan, bahwa di awal keislamannya, yang dinginkan adalah diajari al Quran. Sehingga dalam suatu pertemuan dengan Rasulullah berkat kecemerlangan akalnya langsung bisa menimba ilmu dari lisan Rasulullah sebanyak 70 ayat. Karena senangnya terhadap ilmu, bahwa orang yang pertama kali menjahrkan al Quran di Makkah setelah Rasulullah adalah Ibnu Mas’ud. Dan orang yang pertama kali membaca dari lubuk hatinya adalah Abdulah bin Mas’ud. Sesungguhnya Rasulullah pernah berjalan dengan Ibnu Mas’ud, sedang Ibnu Mas’ud membaca ayat satu huruf satu huruf. Maka beliau bersabda, ”Barang 26 Http://www. Islamensipatoris. Com. siapa senang membaca al Quran dengan cara yang baik (merendahkan diri) sebagaimana diturunkan maka dengarkanlah bacaan Ibnu Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud adalah sahabat yang paling dekat dengan Nabi. Ia masuk Islam sebelum masuknya Rasulullah ke Darul Arqam. Ia ikut perang Badar, Uhud, Khandaq dan perang lainnya. Ibnu Mas’ud merupakan sahabat yang paling berani dalam berjihad di jalan Allah, beliau mengikuti semua peperangan yang dilakukan kaum muslimin, saat perang Badar ibnu Mas’ud pergi menghadap Rasulullah dan memberi kabar gembira untuknya, beliau berkata : wahai Rasulullah, aku telah berhasil membunuh Abu Jahal, maka Rasulullahpun gembira mendengar berita tersebut dan menghadiahkan kepadanya pedang yang dipergunakan Abu Jahal sebagai imbalan terhadap apa yang dilakukan. Ayahnya adalah Abu Thalib, paman Nabi SAW, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah Thalib, 'Uqail, Ja'far dan Ummu Hani. Sebelum wafatnya Utsman bin Affan pernah menawarkan beliau untuk memberikan sebagian hartanya kepada putrinya. Dengan cara halus beliau menolak tawaran itu sembari berkata, “Saya tidak takut anak perempuanku menjadi fakir miskin”. Beliau melanjutkan ucapannya tadi, “Tiap malam saya suruh anak perempuanku saya untuk membaca surah al-Waqiah. Sebab saya pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Barangsiapa membaca surah al-Waqiah tiap malam, dia tidak tertimpa kefakiran selamanya” (Ibn Katsir menyebutkan dalam kitabnya). Beliau Wafat di Madinah pada tahun 32 H ketika terbunuhnya Ustman bin Affan, dalam usia 60 tahun lebih. Yang menshalati beliau adalah Zubair bin awwam, ada yang mengatakan Ammar bin Yasir. Pada malam wafatnya, ia langsung dimakamkan di Baqi’ sebuah pekuburan di Madinah Munawarah. Semoga Allah meridhainya dan menempatkan di surga-Nya b. Wawasan Keilmuan Abdullah bin Mas’ud Abdulah bin Mas’ud merupakan sahabat yang paling cerdas dalam hafalan Qiraah al Quran, dan memiliki suara yang merdu. Karena itulah Rasulullah SAW pernah bersabda “Mintalah kalian akan bacaan al Quran pada empat sahabat : Abdullah bin Mas’ud, Salim maula Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal”. (HR. Al-Bukhari). Beliau juga bersabda “bagi siapa yang suka membaca Al-Quran dengan benar sesuai dengan yang diturunkan, maka hendaknya mengikuti bacaan Ibnu Ummi Abd”. 27 Abdulah bin Mas’ud adalah seorang ahli ibadah, juga seorang ulama fikih, pemimpin keagamaan masyarakat Irak, dan peletak mazhab fikih di Kufah. Beliau juga termasuk dalam golongan para sahabat yang pertama masuk Islam. Kedekatan beliau dengan Rasulullah SAW memberikan banyak andil dalam wawasan ilmiah beliau hingga akhirnya beliau menjadi salah seorang 27 Mohammad Ali Ash Shobuni, Pengantar Ilmu-ilmu Al Quran, Penerjemah Saiful Islam Jamaludin, Al Ikhlas, Surabaya, 1993, hlm. 143. pelopor dalam perkembangan fikih Islam. Warisan keilmuannya menyebar di seantero dunia Islam. Selain itu, beliau juga menjadi tempat bertanya para sahabat besar. Sangat jenius, begitu juga Rasulullah SAW menyifatinya. Beliau mendapat kesempatan emas turut dalam perang Badar Kubra. Sebelum hijrah, beliau dipersaudarakan dengan Zubeir bin Awwam. Kemudian sesampai di Madinah al Munawwarah, beliau dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Mu’az. Pada masa khalifah Umar bin Khattab, beliau diutus ke Qadisiyyah menjadi guru dan pengajar bagi muslimin di daerah itu. Dalam soal harta, ia tak punya apa-apa, tentang perawakan ia kecil dan kurus, apalagi dalam soal pengaruh, maka derajatnyapun di bawah… tapi sebagai ganti dari kemiskinnaya itu, Islam telah memberinya bagian yang melimpah dan perolehan yang cukup dari perbendaharaan Kisra dan simpanan Kaisar. Dan sebagai imbalan dari tubuh yang kurus dan jasmani yang lemah, di anugerahi-Nya kemauan baja yang dapat menundukan para adikara dan ikut mengambil bagian dalam merubah jalan sejarah. Dan untuk mengimbangi nasibnya yang tersia terlunta-lunta, Islam telah melimpahnya ilmu pengetahuan, kemuliaan, serta ketetapan yang menampilkannya sebagai salah seorang tokoh terkemuka dalam sejarah kemanusiaan. c. Fatwa Abdullah bin Mas’ud tentang Masa Iddah Wanita Hamil yang Ditinggal Wafat Suaminya Adapun Ibnu Mas'ud berfatwa bahwa iddah wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah sampai ia melahirkan kandungannya walaupun kelahiran itu terjadi sebelum jatuh tempo empat bulan sepuluh hari. 28 Pendapatnya ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat at Thalaq ayat 4 yaitu : Artinya : "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuanperempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya". (Q.S. ath Thalaq: 4). Ayat ini menurut Abdulah bin Mas’ud diturunkan setelah turunnya ayat pada surat al Baqarah ayat 234. Abdulah bin Mas’ud menjelaskan bahwa "apakah kalian akan membuat kesulitan pada wanita tersebut dan tidak memberikan keringanan padanya”?, Sesungguhnya ayat yang pendek ini diturunkan sesudah ayat yang panjang". Abdulah bin Mas’ud juga memperkuat pendapatnya ini dengan keputusan hukum yang dikeluarkan oleh Rasulullah SAW pada peristiwa Subai'ah AlAslamiah, demikian Ummu Salamah meriwayatkan 28 Al Ustdaz Farid Wajdy, Op. Cit., hlm. 220. "bahwasanya seorang perempuan dari Qabilah Bani Aslam yang bernama Subai'ah Al Aslamiah ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan mengandung, datanglah Abu Sanabil bin Ba'aka melamarnya, tetapi ia menolaknya. Kemudian dikatakan padanya "Demi Allah engkau tidak pantas menikah lagi sehingga engkau beriddah sampai akhir dua masa". Maka kemudian perempuan itu menangguhkan dirinya selama kurang lebih sepuluh malam hingga ia melahirkan kandungannya. Setelah itu ia menghadap Rasulullah SAW., beliapun bersabda "Menikahlah engkau". D. Analisis Dalam analisis ini, penulis mengacu dalam pembahasannya kepada rumusan masalah yang telah dirumuskan yaitu bagaimana fatwa Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud tentang masa Iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya serta apa yang melatarbelakangi perbedaan fatwa antara Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud tentang masa Iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya. Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa Ali bin Abi Thalib berfatwa berkenaan dengan masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah masa yang terlama dari dua masa, dengan dasar menggabungkan kedua ayat kemudian mengamalkan hukum keduanya bersama-sama yakni firman Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 234 "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat". (Q.S. al Baqarah : 234). Menurut Ali bin Abi Thalib ayat ini menunjukkan umum bagi istri-istri yang ditinggal wafat oleh suaminya baik dalam keadaan hamil ataupun tidak adalah empat bulan sepuluh hari. Dan juga firman Allah SWT dalam surat at Thalaq ayat 4 "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuanperempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya". (Q.S. ath Thalaq: 4). Ayat ini juga bersifat umum yang mencakup wanita-wanita hamil yang diceraikan oleh suaminya atau wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya. Ali bin Abi Thalib telah menggabungkan kedua ayat yang bersifat umum itu dengan mengkhususkan surat ath Thalaq ayat 4 terhadap wanita hamil yang diceraikan oleh suaminya saja, karena dalam ayat ini sebelumnya ada disebutkan 'qarinah' (penyertaan) bermacam-macam keadaan wanita yang diceraikan; seperti wanita manopause dan wanita yang belum berhaidh, dengan tidak mengabaikan sifat umum keduanya yang mencakup wanita-wanita hamil, wanita manopause dan wanita yang belum berhaidh yang ditinggal wafat oleh suami-suami mereka". Jadi pendapat Ali bin Abi Thalib dalam hal ini adalah jika seorang istri hamil yang ditinggal wafat suaminya dan melahirkan kandungannya sebelum jatuh tempo empat bulan sepuluh hari, maka diharuskan baginya untuk menangguhkan lagi dirinya dari nikah dengan pria lain sampai habis masa itu, tetapi jika ia telah melewatinya sebelum melahirkan kandungannya maka diwajibkan baginya untuk menangguhkan diri sampai saat kelahiran. Adapun Ibnu Mas'ud memandang bahwa iddah wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah sampai ia melahirkan kandungannya walaupun kelahiran itu terjadi sebelum jatuh tempo empat bulan sepuluh hari. Pendapatnya ini berdasarkan lil firman Allah SWT dalam surat at Thalaq ayat 4 "Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya". (Q.S. Ath-Thalaq: 4). Ayat ini menurut Abdulah bin Mas’ud diturunkan setelah turunnya ayat pada surat al Baqarah ayat 234. Abdulah bin Mas’ud menjelaskan bahwa "apakah kalian akan membuat kesulitan pada wanita tersebut dan tidak memberikan keringanan padanya”?, sesungguhnya ayat yang pendek ini diturunkan sesudah ayat yang panjang". Abdulah bin Mas’ud juga memperkuat pendapatnya ini dengan keputusan hukum yang dikeluarkan oleh Rasulullah SAW pada peristiwa Subai'ah Al-Aslamiah, demikian Ummu Salamah meriwayatkan "bahwasanya seorang perempuan dari Qabilah Bani Aslam yang bernama Subai'ah Al Aslamiah ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan mengandung, datanglah Abu Sanabil bin Ba'aka melamarnya, tetapi ia menolaknya. Kemudian dikatakan padanya "Demi Allah engkau tidak pantas menikah lagi sehingga engkau beriddah sampai akhir dua masa". Maka kemudian perempuan itu menangguhkan dirinya selama kurang lebih sepuluh malam hingga ia melahirkan kandungannya. Setelah itu ia menghadap Rasulullah SAW, beliapun bersabda "menikahlah dengan siapa saja yang engkau kehendaki". Apabila kita menganalisa lebih dalam terhadap fatwa Ali bin Abi Thalib tentang masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya, dilatarbelakangi bukan hanya didasari pada kekosongan rahim perempuan dari janin sebagai satu-satunya pertimbangan bagi berakhirnya masa iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya, tetapi dipertimbangkan pula masa berkabung yang empat bulan sepuluh hari meskipun dengan melahirkan saja sudah cukup sebagai bukti kuat bagi kosongnya rahim wanita, namun hal ini tidak ia jadikan sebagai standar bagi masa iddahnya kecuali jika telah melewati tempo yang telah ditentukan. Ali bin Abi Thalib selain memperhatikan segi kekosongan rahim juga menambahkan pentingnya seorang istri yang baru ditinggal mati suaminya untuk berkabung atas kematiannya, maka menurut fatwa Ali tidak dihalalkan baginya untuk menikah lagi kecuali setelah melewati masa berkabung yang telah ditentukan lamanya oleh al Quran meskipun ia telah melahirkan kandungannya sebelum masa itu. Ada kemungkinan perempuan yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil itu melahirkan kandungannya sebelum melewati masa empat bulan sepuluh hari, maka masa yang terima di antara dua masa baginya adalah dengan menunggu sampai akhir masa berkabung tersebut, yakni setelah perempuan itu melahirkan kandungannya ia masih harus menunggu dan dalam hal ini masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Atau boleh jadi pula ia melahirkan kandungannya setelah melewati masa berkabung, maka masa yang terima di antara dua masa baginya adalah dengan melahirkan kandungannya. Dengan demikian masa iddahnya adalah sampai ia melahirkan kandungannya, karena masa yang empat bulan sepuluh hari sudah termasuk dalam masa hamil. Menurut hemat penulis fatwa Imam Ali bin Abi Thalib terhadap adanya masa berkabung bagi perempuan hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah sesuatu yang mengandung makna yang dalam, karena secara adat manapun tidak layak bagi seorang perempuan yang baru saja ditinggal mati suaminya untuk langsung menikah lagi dengan laki-laki lain atau setelah beberapa hari saja dari kematian sang suami. Yang demikian itu menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap jalinan tali perkawinan yang suci serta mengingkari kebaikan-kebaikan ataupun keutamaankeutamaan orang yang pernah mendampingi hidupnya. Ini semua ditinjau dari satu aspek, sedangkan dari aspek yang lain adalah sesungguhnya dengan adanya masa berkabung bagi perempuan yang baru ditinggal suaminya akan memberikan gambaran yang baik baginya di mata masyarakat umum. Hal itu juga dapat mencegah pembicaraan orang yang tidak baik atas dirinya dan dapat menjaga kemuliaannya sehingga tidak ada seorangpun yang membicarakannya atau menjelek-jelekkannya ataupun menghinanya oleh sebab perlakuannya yang tidak layak terhadap suami yang telah meninggal. Terlebih lagi dengan adanya masa berkabung tersebut akan mempererat hubungan kekeluargaan dengan pihak almarhum suami, karena hal itu menunjukkan betapa seorang istri masih ingat akan kebaikan-kebaikan yang pernah diberikan sang suami padanya dan betapa ia dapat memenuhi hak-hak suami semasa hidup maupun sesudah ia tiada. Selain itu semua dimaksudkan pula untuk menghormati perasaan sanak keluarga dan kaum kerabatnya, dan juga untuk mengungkapkan kesetiaan atau kesedihan hati karena ditinggal suami untuk selama-lamanya sebagai orang yang pernah mendampingi hidupnya, ataupun hal-hal lain yang kesemuanya itu dapat mempererat hubungan kekeluargaan. Lebih lanjut Ali bin Abi Thalib menjelaskan perbedaan masa berkabung terhadap suami dan berkabung terhadap lainnya. Musibah kematian yang menimpa seseorang sudah pasti di belakangnya meninggalkan kekalutan, kepedihan dan kesedihan yang merupakan tabiat alamiah. Allah SWT yang Maha Bijaksana dan Maha Waspada telah membolehkan yang wajar-wajar saja dari hal itu, yaitu selama tiga hari untuk mengembalikan ketenangan jiwa dan menghilangkan kekalutan. Kemudian ia menambahkan dibolehkannya bagi wanita untuk berkabung karena wanita adalah makhluk yang lemah dan biasanya kurang sabar untuk berkabung atas kematian sanak familinya selama tiga hari, adapun berkabung atas kematian suami bagi mereka adalah seiring dengan masa iddah, karena sesungguhnya setiap wanita perlu berhias, berdandan dan memakai wewangian agar lebih dicintai oleh suami dan supaya hati suami tenteram memandangnya serta agar mendapatkan perlakuan yang harmonis darinya. Namun setelah sang suami meninggal dunia ia diharuskan untuk beriddah karenanya, dan selagi dalam masa iddahnya tersebut berarti ia masih terikat kewajiban dengan suami yang telah meninggal, yaitu dengan tidak memakai wewangian, pakaian-pakaian yang menyolok atau perhiasan-perhiasan sebagaimana dilakukan oleh istri-istri di hadapan suami mereka. Hal itu dimaksudkan untuk menutup kemungkinan laki-laki lain tertarik padanya atau sebaliknya ia yang berpaling pada laki-laki lain dengan melupakan suami yang belum lama meninggal. Setelah masa iddah atau masa berkabungnya selesai jika ia berhajat untuk menikah lagi maka dibolehkan baginya untuk bersolek, memakai perhiasan dan lain sebagainya sebagaimana layaknya seorang wanita yang bersuami. Tidak ada sesuatupun yang lebih baik daripada perintah untuk berkabung bagi istri-istri yang baru ditinggal mati suaminya dengan meninggalkan perbuatanperbuatan atau hal-hal lain yang biasa mereka lakukan selama jangka waktu tertentu kemudian dibolehkan kembali setelah masa berkabungnya selesai. Adapun yang melatar belakangi fatwa Abdulah bin Mas’ud tentang masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah sampai ia melahirkan kandungannya walaupun kelahiran itu terjadi sebelum jatuh tempo empat bulan sepuluh hari adalah adanya hadits yang diriwayatkan oleh Subai'ah Al- Aslamiah "bahwasanya seorang perempuan dari Qabilah Bani Aslam yang bernama Subai'ah Al Aslamiah ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan mengandung, datanglah Abu Sanabil bin Ba'aka melamarnya, tetapi ia menolaknya. Kemudian dikatakan padanya "Demi Allah engkau tidak pantas menikah lagi sehingga engkau beriddah sampai akhir dua masa". Maka kemudian perempuan itu menangguhkan dirinya selama kurang lebih sepuluh malam hingga ia melahirkan kandungannya. Setelah itu ia menghadap Rasulullah SAW, beliapun bersabda "menikahlah dengan siapa saja yang engkau kehendaki". Fatwa Abdullah bin Mas’ud sangat bertentangan dengan fatwa Ali bin Abi Thalib. Menurut Ali bin Abi Thalib fatwa yang menyebutkan tujuan masa iddah selain untuk mengetahui kekosongan rahim juga untuk memberi kesempatan berkabung atas kematian suaminya. Menurutnya meskipun tidak ada hadits Subai'ah dalam menetapkan masa yang terima dari dua masa (bagi masa iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya) tetap tidak benar. Berdasarkan latar belakang pemikiran antara Ali bin Thalib dengan Abdullah bin Mas’ud tersebut di atas, menurut penulis bahwa pendapat Imam Ali bin Abi Thalib adalah yang paling mendekati kebenaran kalau saja tidak ada hadits Subai'ah AlAslamiah (hadits yang dijadikan sandaran oleh Abulah bin Mas’ud) yang menerangkan bahwa sesungguhnya iddah perempuan hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah berakhir dengan melahirkan kandungannya walaupun hal itu terjadi sesaat saja setelah kematian suaminya, karena pendapat ini dikuatkan oleh adanya hadits shahih (hadits Subai'ah) yang wajib untuk diikuti, sesuai dengan perintah Allah SWT.