A. DEFINISI OPERASIONAL 1. TB Aktif (active TB) TB aktif merujuk kepada kondisi sakit yang muncul pada seseorang yang terinfeksi oleh M.tuberculosisyang ditandai dengan gejala atau tanda suatu TB aktif yang bisa dibedakan dengan kejadian infeksi TB laten yang terjadi tanpa ada gejala atau tanda TB aktif. 2. Penemuan kasus TB secara aktif (Active case finding) Secara umum istilah Penemuan kasus TB secara aktif adalah sinonim dari istilah Skrining Sistematis untuk TB Aktif, meskipun demikaian biasanya istilah tersebut digunakan untuk upaya skrining penyakit TB yang dilakukan di luar gedung/ Fasyankes. 3. Penemuan kasus TB secara pasif (Passive case finding) Merupakan jalur penemuan kasus TB secara pasif yang diawali upaya oleh pasien TBuntuk mencari layanan kesehatan. Penemuan secara pasif memerlukan elemen skrining yang sistematis apabila upaya identifikasi terduga TB telah dilaksanakan secara sistematis terhadap semua orang yang datang ke fasyankes. Keberhasilan penemuan kasus secara pasif meliputi beberapa komponen yaitu: a. Individu telah memiliki pengalaman atau pemahaman bahwa gejala atau tanda TB merupakan masalah kesehatan yang serius. b. Individu tersebut memiliki akses layanan kesehatan dan secara spontan datang sendiri ke fasyankes yang dia anggap memadai. c. KetersediaanNAKES yangmampu melakukan identifikasi terhadap seorang yang memenuhi kriteria terduga TB secara tepat. d. Pemakaian alur diagnosis yang memiliki sensifitas dan spesifitas yang tinggi. 4. Intensifikasi Penemuan kasus TB (Intensified case finding) Merupakan upaya untuk meningkatkan penemuan kasus TB dengan meningkatkan cakupan deteksi dini TB melalui upaya memperkuat jejaring eksternal yang melibatkan semua fasyankes yang ada sehingga tidak terjadi kehilangan kasus TB dari terduga TB di fasyankes akibat kurangnya sarana dan prasarana diagnosis yang tersedia.Intensifikasi penemuan juga meliputi upaya memperkuat jejaring internal kolaborasi antar layanan kesehatan yang tesedia di fasyankes untuk melakukan upaya identifikasi terduga TB di masing-masing unit layanan. 5. Ekstensifikasi Penemuan kasus TB (Enhanced case finding) Ekstensifikasi penemuan kasus TB menggunakan pemanfaatan materi/ media KIE yang seluas mungkin untuk memberikan informasi yang jelas kepada orang yang mengalami gejala dan tanda TB mengenai upaya kesehatan yang harus dilakukan.Upaya ekstensifikasi ini harud diimbangi dengan penyediaan akses layanan berkualitas yang lebih luas dan merata.Upaya ekstensifikasi ini juga bisa dikombinasikan dengan upaya skrining TB untuk menimbulkan dampak yang lebih besar. 6. Skrining Sistematis untuk TB Aktif (Systematic screening) Adalah upaya untuk melakukan skrining terhadap TB Aktif secara sistematis melalui upaya identifikasi terduga TB secara sistematis, pada sasaran kelompok populasi yang telah ditentukan 7. 8. 9. 10. 11. 12. B. sebelumnya, menggunakan alat skrining, pemeriksaan dan prosedur yang bisa dilakukan secara cepat. Pada orang dengan hasil skrining positif maka diagnosis TB perlu ditegakkan dengan satu atau lebih alat diagnosis dan penilaian klinis tambahan untuk mendapatkan hasil dengan akurasi yang tinggi. Alat Skrining untuk TB Aktif (Screening tools for active TB) Merupakan alat uji, pemeriksaan atau prosedur yang dapat digunakan secara cepat untuk membedakan antara orang dengan kemungkinan besar memiliki TB Aktif dengan orang yang kemungkinan kecil memiliki TB Aktif. Alat skrining TB tidak ditujukan sebagai alat diagnosis sehingga orang dengan hasil skrining positif harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan diagnosis TB. Skrining Awal TB (Initial screening) Merupakan upaya penapisan awal yang diterapkan pada populasi tertentu yang memenuhi syarat untuk dilakukan skrining TB. Skrining Kedua (Follow up screening) Merupakan upaya penapisan lanjutan yang dilakukan pada orang yang memiliki hasil positif pada skrining awal TB. Rasio Skrining TB (TB screening ratio) Adalah jumlah orang yang perlu menjalani skrining TB untuk mendapatkan satu diagnosis pasien dengan TB Aktif.Digunakan untuk melakukan evaluasi efektifitas upaya skrining TB. Skrining Berkala (Routine screening) Skrining ulangan pada populasi yang sama dengan interval waktu tertentu. Kelompok Beresiko TB (TB risk group) Merupakan kelompok orang yang memiliki prevalensi/ insidensi TB lebih tinggi secara signifikan dibandingkan populasi umum. STRATEGI PENEMUAN TB DI INDONESIA Strategi penemuan pasien TB di Indonesia dapat dilakukan secara pasif (di dalam gedung) secara intensif (penguatan jejaring layanan dan kolaborasi layanan kesehatan) maupun secara aktif (kegiatan di luar gedung) dan masif (cakupan seluas mungkin). Kedua upaya penemuan pasien TB tersebut harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan, terdiagnosis dan mendapatkan pengobatan sedini mungkin. 1. Penemuan pasien TB secara pasif-intensif Kegiatan penemuan yang dilaksanakan di dalam fasilitas kesehatan dengan memperkuat jejaring layanan TB melalui kegiatan Public-Private Mix (PPM) di tingkat Kab/ Kota dan memperkuat kolaborasi layanan antara layanan TB dengan layanan kesehatan lain yang diselenggarakan di fasyankes. a. Jejaring layanan Strategi peningkatan penemuan pasien TB di fasyankes melalui kegiatan penguatan jejaring eksternal antar fasyankes yang memberikan layanan diagnosis TB untuk menghindari terjadinya miss-opportunity yang disebabkan karena keterbatasan sarana diagnosis yang dimiliki oleh fasyankes yang melakukan kontak pertama dengan pasien TB. Kegiatan penguatan jejaring layanan ini merupakan inti dari kegiatan PPM yang bertujuan untuk memastikan semua pasien TB akan mendapatkan layanan diagnosis yang bermutu dan sesuai standar. Penguatan jejaring layanan juga bertujuan untuk memastikan bahwa semua pasien TB dapat ternotifikasi dimanapu pasien memilih untuk berobat. Sesuai dengan Permenkes No.67/2016 semua kasus TB yang ditemukan dan diobati di fasyankes wajib dilaporkan kepada program nasional pengendalian TB. Contoh: b. Fasyankes yang tidak memiliki alat TCM akan merujuk pemeriksaan ke fasyankes yang memiliki alat TCM. FKTP tidak mampu melakukan diagnosis kasus TB ekstra paru karena keterbatasan sarana diagnosis akan merujuk ke FKRTL. Hasil diagnosis dari FKRTL akan dikirim balik ke FKTP untuk tatalaksana selanjutnya. Penerapan sistem notifikasi wajib berupa aplikasi pelaporan berbasis smartfone (WiFi TB) untuk Dokter Praktek Mandiri dan SITT untuk Puskesmas, BP4 dan Rumah Sakit. Kolaborasi layanan Strategi peningkatan penemuan pasien TB melalui penguatan jejaring internal antara unit-unit layanan yang mungkin akan menemukan terduga atau pasien TB misalnya di poliklinik umum, poliklinik paru, poliklinik penyakit dalam dan poliklinik anak. Kegiatan kolaborasi layanan juga bisa berupa kegiatan integrasi dan kolaborasi penemuan pasien TB dengan penyelenggaraan layanan kesehatan selain TB yang tersedia di fasyankes, terutama di unit layanan kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada populasi kunci yang rentan untuk TB misalnya unit layanan HIV, DM (Diabetes Mellitus), Gizi, Lansia, klinik berhenti merokok, klinik KIA dan ANC. Penguatan kolaborasi layanan TB secara manajerial juga bisa dilaksanakan dengan penerapan sistem manajemen layanan kesehatan yang terintegrasi di fasyankes misalnya dengan penerapan Pendekatan Praktis Kesehatan Paru/ PPKP (PAL = Practical Approach to Lung health), ManajemenTerpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS). Penjaringan terduga TB di faskes harus dapat dilakukan secara aktif oleh semua petugas yang meregistrasi pasien atau perawat yang memberi pelayanan kepada pasien melalui upaya penapisan batuk yang sistematis kepada pasien yang datang ke faskes. Upaya penemuan pasien TB melalui kolaborasi layanan harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini. 2. Penemuan pasien TB secara aktif dan/atau masif berbasis keluarga dan masyarakat Berupa kegiatan-kegiatan penemuan terduga atau pasien TB yang dilakukan di luar fasyankes melalui beberapa upaya penjangkauan secara aktif oleh petugas kesehatan atau potensi kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk menemukan dan merujuk terduga TB ke fasyankes untuk penegakan diagnosis. Upaya penemuan secara aktif di masyarakat dapat juga dilaksanakan dengan upaya jemput bola ke masyarakat dengan menghadirkan sarana diagnostik secara langsung ke masyarakat, misalnya dengan mendatangkan sarana diagnostik yang bersifat mobile ke suatu daerah dalam satu periode tertentu. Kegiatan penemuan pasien TB secara aktif harus terintegrasi dengan Gerakan Masyarakat dan pendekatan Keluarga Sehat. Kegiatan ini harus bisa menggerakkan atau melibatkan secara aktif semua potensi kesehatan masyarakat yang ada di suatu wilayah antara lain: Kader Kesehatan, Kader dari UKBM ( Posyandu, Posbindu, Pos TB desa, Poskesdes dan Polindes), kader organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, kelompok dukungan pasien dan kelompok peduli TB lainnya. Kegiatan penemuan pasien TB secara aktif berbasis keluarga dan masyarakat dapat berupa: a. Investigasi kontak Kegiatan investigasi kontak diselenggarakan melalui kolaborasi antara pemberi layanan kesehatan dengan potensi kesehatan masyarakat. Dilakukan pada paling sedikit 10 - 15 orang kontak erat dengan pasien TB. Kontak erat adalah orang yang tinggal serumah (kontak serumah) maupun orang yang berada di ruangan yang sama dengan pasien TB aktif (detected cases/ confirm cases) yang ternotifikasi selama satu periode tertentu, yaitu sekurang-kurangnya selama 8 jam sehari selama satu bulan atau lebih. Investigasi kontak dilaksanakan untuk semua pasien TB aktif dewasa untuk mendeteksi secara dini kemungkinan penularan kepada kontak serumah atau kontak eratnya. Investigasi kontak juga dilaksanakan pada pasien TB anak yang ditemukan untuk mencari sumber penularan. Pelaksanaan kegiatan investigasi kontak harus dicatat dan dilaporkan baik dalam kartu pengobatan pasien TB maupun register pemeriksaan kontak. b. Penemuan Aktif pada Populasi Kunci di Masyarakat Penemuan aktif pada populasi kunci di Masyarakat dilakukan kepada orang-orang dengan resiko TB seperti anak usia <5 tahun, orang dengan gangguan sistem imunitas, malnutrisi, lansia, wanita hamil, perokok dan mantan penderita TB yang mengakses layanan di UKBM terkait misalnya di Posyandu, Posbindu, Polindes dan Poskesdes. Kegiatan ini diselenggarakan di daerah-daerah beresiko tinggi untuk TB, misalnya dilaksanakan di daerah KUPAT-KUMIS (KUmuh PAdaT dan KUmuh MISkin) dan daerah dengan beban TB yang tinggi (di atas angka estimasi insidensi TB nasional). Kegiatan dilaksanakan dengan dua metode yaitu: Metode skrining/ penapisan gejala pada populasi kunci yang datang ke layanan UKBM. Metode penelusuran terhadap kondisi-kondisi tertentu yang mungkin dipengaruhi oleh terjadinya TB, misalnya pada anak batita/ balita dengan grafik tumbuh-kembang di bawah garis merah, Lansia yang mengalami penurunan berat badan atau pada pasien DM yang tidak terkontrol. Hasil temuan dari UKBM tersebut dirujuk ke fasyankes untuk dilakukan evaluasi untuk penegakan diagnosis. c. Penemuan di tempat khusus Penemuan aktif yang dilakukan di tempat khusus yaitu pada lingkungan yang mudah terjadi penularan TB yaitu Lapas/Rutan, RS Jiwa, tempat kerja, asrama, pondok pesantren, sekolah, panti jompo,panti sosial, tempat kerja dan tambang. Kegiatan penemuan aktif di tempat khusus dapat dilakukan dengan skrining masal tahunan, skrining kesehatan bagi warga baru, skrining kontak dan pemantauan batuk secara rutin. Penemuan aktif ditempat khusus membutuhkan kolaborasi yang erat antara stakeholder yang terkait. Semua hasil terkait kegiatan penemuan aktif di tempat khusus harus dikelola oleh Puskesmas setempat sebagai penanggung jawab UKM di wilayah tersebut. d. Penemuan di populasi berisiko Kegiatan penemuan aktif yang dilakukan secara berkala pada anggota masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah atau tempat yang memiliki akses terbatas ke layanan kesehatan, misalnya: tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh, dan DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan). Upaya ini dilakukan dengan kegiatan jemput bola oleh petugas kesehatan dibantu potensi kesehatan masyarakat. Metode kegiatan bisa dilakukan dengan mengirimkan sediaan dahak dari terduga TB yang ditemukan selama kegiatan ke fasyankes pemeriksa maupun dengan mendatangkan sarana diagnostik TB yang bersifat mobile. e. Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat Dilaksanakan secara rutin oleh anggota keluarga maupun kader kesehatan yang melakukan skrining gejala pengawasan batuk terhadap orang yang tinggal di lingkungannya dan menyarankan orang dengan batuk untuk memeriksakan diri ke fasyankes terdekat. Kegiatan pemantuan batuk ini bisa diintegrasikan kepada kegiatan kader kesehatan yang sudah rutin berjalan misalnya kegiatan ketuk pintu kader kesehatan, kegiatan kunjungan rumah kader jumantik, kader posyandu dan posbindu serta kegiatan upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) yang lain. Selain mendukung penemuan kasus TB, kegiatan ini akan sangat bermanfaat dalam rangka penyampaian edukasi mengenai TB terhadap anggota keluarga dan masyarakat sehingga akan terbentuk awareness tentang TB di kemudian hari. f. Penemuan aktif berkala Dilakukan oleh Puskesmas pada wilayah yang teridentifikasi sebagai daerah kantung TB. Definisi daerah kantung TB adalah daerah yang memiliki jumlah pasien yang banyak apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada, misalnya: Pada wilayah RT (Rukun Tetangga) XX yang memiliki jumlah penduduk 100 jiwa, berdasarkan hasil kegiatan PWS (Pengawasan Wilayah Setempat) dan analisis data TB setempat mempunyai penderita TB berjumlah 3 orang. Hal ini berarti wilayah RT XX mempunyai insidensi TB sebesar 3000/100.000 penduduk (9x angka insidensi TB nasional) Pada daerah kantong ini dilakukan upaya penemuan aktif berkala akan dilakukan dengan kegiatan skrining aktif setiap 6 bulan sekali sampai tidak ditemukan kasus TB pada kegiatan penemuan aktif berkala 2 kali berturut-turut. Kegiatan penemuan secara aktif berkala akan sangat efektif apabila dipadukan dengan kegiatan penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat. g. Skrining masal Kegiatan penemuan aktif melalui skrining massal yang dilaksanakan sekali setahun untuk meningkatkan penemuan pasien TB di wilayah yang penemuan kasusnya masih sangat rendah. Puskesmas bekerja sama dengan aparat desa/ kelurahan, kader kesehatan dan potensi masyarakat melakukan skrining gejala TB secara masif di masyarakat dan membawanya ke layanan kesehatan luar gedung. Kegiatan ini juga lebih efektif apabila dipadukan dengan kegiatan penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat. C. PENEGAKAN DIAGNOSIS TB Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. 1. Identifikasi Terduga TB Paru Dewasa Petugas kesehatan menjaring terduga TB dengan melakukan skrining gejala maupun dengan melihat hasil foto torak dada pasien yang bersangkutan. Skrining Gejala: Identifikasi terduga TB yang dilakukan berdasarkan keluhan atas gejala dan tanda TB yang disampaikan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang meliputi: a. Gejala utama: batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih. b. Gejala tambahan: dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat pada malam hari walaupun tanpa kegiatan, demam meriang yang berulang lebih dari sebulan. Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronik, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi maka setiap orang yang datang ke Faskes dengan gejalan tersebut diatas dianggap sebagai terduga pasien TB dan perlu dilakukian pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang dengan faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi paru. Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium TB untuk pasien yang memiliki faktor resiko dan memiliki gejala tambahan meskipun tanpa batuk berdahak >2 minggu. Skrining Radiologis: Identifikasi terduga TB juga bisa diperoleh dari hasil evaluasi pemeriksaan foto toraks. Semua kelainan yang tidak diketahui penyebabnya yang mendukung ke arah TB harus di evaluasi TB. Skrining radiologis dapat dilakukan terhadap foto toraks yang diperoleh dari proses penegakan diagnosis TB maupun pada proses penegakan diagnosis penyakit yang lain, juga bisa dilakukan pada hasil foto toraks pada pemeriksaan kesehatan rutin umum (general check-up) dan pemeriksaan kesehatan khusus. Pasien yang teridentifikasi sebagai terduga TB baik dari skrining gejala maupun skrining radiologis harus di evaluasi untuk menegakkan diagnosis TB secara bakteriologis maupun klinis. 2.Identifikasi Terduga TB Anak Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Gejala umum TB pada anak yang sering dijumpai adalah batuk persisten, berat badan turun atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif. Gejala-gejala tersebut sering dianggap tidak khas karena juga dijumpai pada penyakit lain. Namun demikian, sebenarnya gejala TB bersifat khas, yaitu menetap (lebih dari 2 minggu) walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat (misalnya antibiotika atau anti malaria untuk demam, antibiotika atau obat asma untuk batuk lama, dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk masalah berat badan). Gejala sistemik/umum TB pada anak sebagai berikut: 1) Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan. 2) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain. 3) Batuk lama (≥2 minggu), batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan. Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotika atau obat asma (sesuai indikasi). 4) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat. 3. Identifikasi Terduga TB Resistan OAT (TB-RO) Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan terhadap OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat satu atau lebih di bawah ini: 1) Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2. 2) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan. 3) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua paling sedikit selama 1 bulan. 4) Pasien TB gagal pengobatan kategori 1. 5) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2 bulan pengobatan. 6) Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT kategori 1 dan kategori 2. 7) Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default). 8) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB- RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di Lapas/Rutan, hunian padat seperti asrama, barak, buruh pabrik. 9) Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis maupun klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan diagnosis awal tidak menggunakan TCM TB). Pasien dengan risiko rendah TB-RO Selain 9 kriteria di atas, kasus TB-RO dapat juga dijumpai pada kasus TB baru, sehingga pada kasus ini perlu juga dilakukan penegakan diagnosis dengan TCM TB jika fasilitas memungkinkan. Pada kelompok ini, jika hasil pemeriksaan tes cepat memberikan hasil TB RR, maka pemeriksaan TCM TB perlu dilakukan sekali lagi untuk memastikan diagnosisnya. 4. Identifikasi Terduga TB Ekstra paru Seseorang yang menderita TB ekstra paru mungkin mempunyai keluhan/gejala terkait dengan organ yang terkena, misalnya: a. Pembesaran pada getah bening yang kadang juga mengeluarkan nanah b. Nyeri dan pembengkakan sendi yang terkena TB c. Sakit kepala, demam, kaku kuduk dan gangguan kesadaran apabila selaput otak atau otak terkena TB. Pasien TB ekstra paru dapat juga menderita TB paru, sehingga tetap perlu dilakukan evaluasi TB paru. 5. Identifikasi TB pada ODHA Gejala klinis TB pada ODHA seringkali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (sekitar 10% atau lebih) dan gejala ekstra paru sesuai organ yang terkena misalnya TB Pleura, TB Pericarditis, TB Milier, TB meningitis.