CAMPUR KODE DALAM PERISTIWA KOMUNIKASI

advertisement
CAMPUR KODE DALAM PERISTIWA KOMUNIKASI DI LINGKUNGAN SEKOLAH
SMA NEGERI 1 KABANGKA
Herawati
A1D312077
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk campur kode dalam tataran kata,
frasa, dan klausa dan untuk mendeskripsikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi campur
kode dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka. Penelitian ini
menggunakan data lisan dari informan. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui, teknik
simak, teknik wawancara, teknik catat, serta teknik rekam. Data yang telah dikumpulkan
dianalisis melalui metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa campur
kode dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka terdapat tiga
bentuk campur kode yaitu, bentuk campur kode dalam tataran kata, frasa, serta klausa.Sedangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya campur kode di lingkungan sekolah SMA Negeri 1
Kabangka yaitu, persamaan latar belakang bahasa dan budaya atau bahasa ibu, perbedaan latar
belakang bahasa dan budaya atau bahasa ibu tetapi mereka mengerti komunikasi dalam latar
belakang tiga bahasa ibu yang berbeda, ketidakmampuan berbahasa Indonesia atau lupa bahasa
Indonesia, ingin mudah dipahami dan memahami, serta faktor kebiasaan dan lingkungan yang
sama.
Pendahuluan
Pada hakikatnya, setiap bahasa memiliki sistem dan pengguna bahasa terus menerus
memakai sistem ketika berkomunikasi, baik ketika berbicara untuk menyampaikan pesan
maupun ketika mendengarkan untuk menerima pesan. Setiap bahasa memiliki kata yakni bentuk
linguistik atau satuan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri dalam pemakaian bahasa. Selain
itu, setiap bahasa memiliki frasa yaitu satu kata atau gabungan dua kata atau lebih yang tidak
dapat dipisahkan dan tidak melampaui batas fungsi. Bahasa juga memiliki kalimat yaitu satuan
bahasa secara gramatik terdiri dari satu atau lebih klausa yang ditata menurut pola tertentu dan
dapat berdiri sebagai satu kesatuan. Kalimat dibentuk dari kata atau kelompok kata, seperti di
dalam pembentukannya atau penyusunan kalimatnya, baik itu bahasa Indonesia, bahasa asing
maupun bahasa daerah.
Di Indonesia selain bahasa Indonesi, terdapat juga bahasa-bahasa daerah dan bahasa
asing, di sinilah adanya kemungkinan terjadinya kontak bahasa yang sangat besar. Mackey
(dalam Pranowo 1996:7) menjelaskan bahwa kontak bahasa adalah pengaruh bahasa satu kepada
bahasa lain baik secara langsung atau secara tidak langsung. Kontak bahasa terjadi apabila
seorang penutur yang menguasai dua bahasa atau lebih dengan menggunakan bahasa yang
dikuasainya secara bergantian.
Proses pendidikan merupakan salah satu wadah bagi berlangsungnya kebudayaan. Proses
pendidikan sebagai alat kebudayaan dimungkinkan karena fasilitas bahasa. Fasilitas bahasa
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
membantu pencapaian tujuan. Artinya tujuan pendidikan hanya akan tercapai apabila bahasa
sebagai fasilitasnya terpelihara dengan baik, difungsikan dengan tepat, dan dikembangkan
dengan cermat. Bahasa berbicara mengenai ragam bahasa yang digunakan dalam proses
pendidikan. Ragam bahasa yang digunakan haruslah menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Baik dalam pendidikan formal maupun nonformal, komunikasi dapat berlangsung dengan
menggunakan ragam santai dan ragam resmi. Ragam resmi merupakan variasi bahasa yang
digunakan dalam situasi resmi, misalnya, dalam rapat dinas, ceramah keagamaan, dan pidato
kenegaraan. Sedangkan ragam santai adalah variasi bahasa yang biasa digunakan pada situasi
nonformal.
Peristiwa tutur yang di dalamnya menggunakan ragam resmi dapat dijumpai dalam proses
pembelajaran di sekolah. Dalam proses pembelajaran, siswa dituntut berkomunikasi,
mengeluarkan pikiran dan gagasannya dengan bahasa yang sesuai dengan standar yan berlaku
yaitu etika berbahasa dan disertai aturan-aturan yang berlaku di dalam budaya tertentu.
Eksistensi penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar memang perlu
dipertahankan. Namun ada beberapa hal yang harus kita ingat bahwa berdasarkan aspek
linguistik, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bilingual (dwibahasa) yang
menguasai lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing.
Masyarakat yang dwibahasa akan mengalami kontak bahasa sehingga melahirkan campur kode.
Nababan (dalam Hestiyana 2013:40) menjelaskan bahwa campur kode adalah suatu keadaan
berbahasa dengan mencampurkan dua bahasa atau lebih dalam suatu tindak tutur, tanpa ada
sesuatu dalam situasi berbahasa yag menuntut percampuran bahasa tersebut. Penguasaan dua
bahasa atau lebih oleh seorang penutur bahasa memungkinkan terjadinya dampak, yaitu transfer
unsur-unsur bahasa, baik transfer negatif maupun positif. Transfer positif mengakibatkan
terjadinya integrasi yang sifatnya menguntungkan kedua bahasa karena penyerapan unsur dari
suatu bahasa dapat berintegrasi dengan sistem bahasa penyerap. Sebaliknya, transfer negatif akan
melahirkan interferensi, yaitu penyimpangan dari norma-norma bahasa sebagai akibat
pengenalan terhadap bahasa lain.
Bahasa Indonesia dipergunakan sebagai alat komunikasi antar suku bangsa, baik dalam
situasi formal maupun dalam situasi nonformal. Sedangkan bahasa daerah dipergunakan sebagai
alat komunikasi intrasuku bangsa yang biasanya dalam suasana nonformal untuk menunjukkan
penghargaan, rasa hormat, dan rasa intim terhadap lawan bicara yang berasal dari kelompok
yang sama. Bahasa daerah juga dipergunakan untuk menunjukkan keakraban dan solidaritas suku
bangsa. Bahasa daerah berkedudukan sebagai bahasa di suatu daerah, merupakan unsur
kebudayaan nasional yang dilindungi oleh negara. Dalam kedudukannya sebagai lambang
kebanggaan daerah, lambang identitas, dan alat penghubung dalam keluarga serta masyarakat
daerah.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia menjadi bahasa kedua oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia, setelah bahasa daerah atau bahasa ibu yang berada di
Indonesia, jika dihitung bahasa daerah yang ada di Indonesia sangatlah banyak. Beberapa bahasa
daerah khususnya di Sulawesi Tenggara diantaranya bahasa Muna, bahasa Wolio, bahasa Tolaki,
bahasa Bajo, bahasa Moronene dan sebagainya. Akan tetapi di kecamatan Kabangka ini terdapat
sebuah desa yang merupakan transmigrasi bagi suku Jawa dan perantau suku Bugis. Oleh karena
itu, yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bahasa Muna, bahasa Jawa, dan bahasa Bugis.
Hal ini akan memungkinkan terjadinya campur kode dalam peristiwa komunikasi di lingkungan
sekolah SMA Negeri 1 Kabangka karena penggunaan bahasanya homogen. Kadang-kadang di
samping bahasa daerah dan bahasa Indonesia, kita juga mengenali memiliki satu atau dua bahasa
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
daerah yang lain, karena kita bukan hanya dwibahasawan melainkan juga multibahasawan yaitu
orang yang menguasai banyak bahasa sekaligus. Seperti halnya di dalam peristiwa komunikasi di
lingkungan sekolah memungkinkan terjadinya campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa
daerah, karena yang akan melakukan komunikasi di lingkungan sekolah terdiri atas beberapa
orang yaitu (1) siswa; (2) guru; (3) staf administrasi; dan (4) ibu kantin. Peristiwa tutur yang
dimaksud adalah peristiwa tutur antara guru dan guru, siswa dan siswa, siswa dan guru, siswa
dan staf administrasi, staf administrasi dan guru, siswa dan ibu kantin, serta ibu kantin dan guru.
Di mana di dalam hasil observasi penelitian campur kode bahasa Muna ke dalam bahasa
Indonesia, seorang siswa yang bertanya kepada temannya bercampur kode seperti: mau
kemanakah“sabangka”? kata sabangka dalam bahasa Muna berarti “teman”. Penutur
menggunakan campur kode bahasa Indonesia dalam bahasa daerah Muna karena penutur ingin
lebih akrab dengan lawan tuturnya.
Fokus dan SubFokus
Penelitian ini memfokuskan pada bentuk campur kode dalam peristiwa komunikasi di
lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka dan faktor penyebab terjadinya campur kode.
Subfokus dalam penelitian adalah bentuk campur kode dalam tataran kata, frasa, serta klausa.
Rumusan Masalah
Pada umumnya campur kode dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA
Negeri 1 Kabangka dapat di lihat dari tiga bentuk yakni, bentuk kata, frasa, dan klausa.
Berdasarkan uraian tersebut maka masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah bentuk campur kode dalam tataran kata, frasa, dan klausa dalam peristiwa
komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka?
2 Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi campur kode dalam peristiwa komunikasi di
lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka?
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk
1. Untuk mendeskripsikan bentuk campur kode dalam tataran kata, frasa, dan klausa dalam
peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka.
2. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi campur kode
dalam
peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka.
Kajian Pustaka
sosiolinguistik
Istilah sosiolinguistik berasal dari dua kata yakni sosio dan linguistik. Linguistik adalah
ilmu yang mempelajari dan membicarakan bahasa, khusunya unsur-unsur bahasa (fonem,
morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat), termasuk hakikat dan hubungan pembentukan unsurunsurnya. Sosio adalah seakar dengan sosial, yakni yang berhubungan dengan manusia atau
masyarakat dan fungsi-fungsi kemasyarakatan, kelompok-kelompok masyarakat dan fungsinya.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Dengan dua unsur tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah studi atau
pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat.
Sosiolinguistik merupakan kajian seluk beluk hubungan aneka pemakaian bahasa dengan
perilaku sosial masyarakat. Ini berarti sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai
sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan dari masyarakat dan kebudayaan tertentu.
Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung dan tetap ada.
Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang memelajari bahasa, atau bidang ilmu yang
mengambil bahasa sebagai obyek kajiannya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa
sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya
dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.
Menurut Kridalaksana (dalam Chaer 1995:3). Fishman (dalam Chaer 1995:3) mengatakan
bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa,
dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah
satu sama lain dalam satu masyarakat tutur.
Sejalan dengan pendapat Harimurti Kridalaksana (dalam Pateda 1987:3) mengatakan
bahwa sosiolinguistik yaitu cabang linguistik yaang berusaha untuk menjelaskan ciri-ciri variasi
bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial. Selain itu,
Booji (dalam Chaer 1995: 4) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah subdisiplin ilmu bahasa
yang mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa dan pergaulan
sosial.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari kajian tentang ciri variasi bahasa,
fungsi variasi bahasa, dan faktor sosial pemakai bahasa dan konteks sosial budaya dalam
masyarakat.
Pengertian Kontak Bahasa
Kontak bahasa adalah pemakaian lebih dari satu bahasa ditempat dan pada waktu yang
sama Thomason (dalam Suhardi 2009: 39). Kontak bahasa dapat terjadi antara lain, (1)
pindahnya sebuah kelompok ke tempat kelompok lain, (2) melalui hubungan budaya yang erat,
dan (3) melalui pendidikan Thomason (dalam Suhardi 2009: 39). Akibat terjadinya kontak
bahasa bagi pemakai bahasa adalah sering timbul interferensi atau transfer. Kontak bahasa yang
menimbulkan interferensi sering dianggap sebgai peristiwa negatif, karena masuknya unsurunsur bahasa pertama (BI) ke dalam bahasa kedua (B2) atau sebaliknya menyimpang dari
kaidah bahasa masing-masing. Weinreich (dalam Pranowo 1996:7) mengatakan bahwa
interferensi adalah penyimpangan kaidah salah satu bahasa pada seorang dwibahasawan akibat
kebiasaan pemakaian bahasa lebih dari satu.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
kontak bahasa dalam penelitian ini adalah penguasaan dua bahasa atau lebih dan menggunakan
bahasa tersebut secara langsung maupun tidak langsung hingga menimbulkan interferensi dan
transfer yang dianggap sebagai peristiwa negatif.
Pengertian Kedwibahasaan
Menurut Lado (dalam Lukman 2012:9) mengatakan bahwa kedwibahasaan adalah
kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya, secara teknis
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
mengacu kepada pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatnya oleh seseorang.
Sedangkan bagi Mackey (dalam Pranowo 1996: 7) kedwibahasaan adalah pemakaian yang
bergantian dari dua bahasa atau lebih.
Bagi Wolf (dalam Chaer 1995: 91) Salah satu cirri bilingualism adalah digunakan dua
buah bahasa atau lebih oleh seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya peranan
tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat digunakan kepada siapa saja,
kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan bahasa mana yang harus digunakan
tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya.
Beberapa pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan kedwibahasaan (bilingualisme) adalah penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur
dengan orang lain secara bergantian. Di antara kedua bahasa yang dimaksud adalah bahasa
pertama dan bahasa kedua.
Pengertian Dwibahasawan
Dwibahasawan adalah orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa. Berdasarkan
Kamus Bahasa Indonesia I yang diterbitkan oleh Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
(dalam Tarigan 1988:2) mengatakan bahwa orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa,
seperti bahasa nasional dan bahasa asing, bahasa daerah dan bahasa nasional, dan sebagainya;
pemakai dua bahasa. Sejalan dengan pendapat Fishman (dalam Tarigan 1988:3) mengatakan
bahwa dwibahasawan adalah orang yang dapat berperan serta dan turut berpartisispasi dalam
komunikasi lebih dari satu bahasa.
Dengan ini dapat dikatakan bahwa dwibahasawan itu mampu mengadakan suatu peranan
yang cukup penting dalam perubahan bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa kedua. Sebagai
kontak bahasa, di samping kontak budaya, akan terjadilah ambil-mengambil atau pindahmemindahkan pemakaian unsur-unsur bahasa. Dapat pula dikatakan bahwa terjadi suatu
pemindahan identitas bahasa. Dengan kata lain, seorang dwibahasawan telah menggunakan
identitas bahasanya pada bahasa kedua, atau sebaliknya ia mempergunakan unsur-unsur bahasa
kedua dalam bahasa sendiri.
Pengertian Kode
Kode dijabarkan Poedjosoedarmo (dalam Haerun 2011: 106) kode adalah sistem tutur
yang kebahasaannya memiliki ciri-ciri khas penerapannya mencerminkan keadaan salah satu
komponen tutur seperti latar belakang orang pertama, relasi orang pertama dan orang kedua,
situasi berbicara dan lain-lain. Kode tutur ini merupakan bahasa atau varian bahasa yang
digunakan dalam berkomunikasi di masyarakat.
Arti suatu kode dapat diketahui dengan baik apabila konteks komponen tutur yang
berhubungan dengan wacana diketahui jelas. Oleh karena itu, masing-masing kode mempunyai
arti. Misalnya pengguna dialek orang kedua atau lawan bicara, dapat diartikan bahwa
pembicara itu berusaha menimbulkan rasa solidaritas yang ada pada lawan bicara.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kode
dalam penelitian ini adalah sistem tutur yang peranan unsur bahasanya mempunyai ciri khas
sesuai dengan latar belakang penutur dengan lawan bicaranya dan situasi tutur yang ada.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Pengertian Campur Kode
Campur kode adalah interferensi penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa
lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata,
klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya Kridalaksana (dalam Setiawan 2008: 47). Kemudian
Suwito (dalam Hestiyana 2013:40) menambahkan bahwa di dalam campur kode terdapat ciri-ciri
ketergantungan yang ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi
kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi
kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai penutur dengan tuturannya.
Sumarsono (dalam Maemunah 2013:37) mengatakan bahwa campur kode adalah
penyisispan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Dalam hal ini
penutur mengambil unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Unsur-unsur
yang diambil itu sering kali berwujud kata-kata tetapi dapat juga berupa frase atau kelompok
kata. Akan tetapi, hal tersebut akan menyulitkan apabila penutur pemakai kata-kata pinjaman dan
tidak dirasakan sebagai kata asing melainkan dirasakan sebagai bagian dari bahasa yang dipakai.
Suwito (dalam Maemunah 2013:38) membagi campur kode dalam dua bagian yaitu:
a) Campur Kode ke dalam (intern)
Campur kode ke dalam (intern) terjadi apabila bahasa yang dicampurkan masih memiliki
hubungan kekerabatan secara geografis maupun genealogis.
b) Campur Kode ke luar (ekstern)
Campur kode ke luar (ekstern) terjadi apabila bahasa yang dicampurkan tidak memiliki
hubungan kekerabatan, secara georafis maupun genealogis.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa campur kode
dalam penelitian ini adalah peristiwa percampuran kode dari bahasa Indonesia dalam bahasa
daerah. Misalnya, peristiwa tutur yang melibatkan dua orang, seseorang penutur menggunakan
kode A (bahasa Indonesia) dan dalam proses campur kode B (bahasa daerah) maka perpindahan
pemakaian bahasa seperti itu disebut campur kode.
Jenis Campur Kode
Jenis campur kode ada dua yaitu; (1) campur kode sementara dan (2) campur kode
permanen. Campur kode sementara terjadi apabila pemakai bahasa sedang mensitir kalimat
bahasa B2 ketika sedang ber-B1, atau sebaliknya. Sedangkan campur kode permanen terjadi
karena perubahan relasi antara pembicara dengan mitra bicara, misalnya mitra bicara semula
sebagai teman akrab tetapi mitra bicara itu sekarang menjadi atasan, biasanya pembicara
mengganti kode bahasa yang dipakainya secara permanen, karena adanya perubahan status sosial
dan relasi kepribadian yang ada.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Campur Kode
Menurut Kachru (dalam Hestiyana 2013:41) membedakan faktor penyebab terjadinya
campur kode menjadi dua aspek, yaitu aspek eksternal dan aspek internal. Aspek eksternal
merupakan potensi kebahasaan penutur, baik dalam penguasaan kebahasaan maupun psikologis
penutur yang terekspresi lewat campur kode tersebut. Sedangkan aspek internal terkait dengan
potensi bahasa itu sendiri dalam keberadaannya di masyarakat.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal-balik antara
peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Menurut Suwito (dalam Maemunah 2013:45)
ada beberapa wujud campur kode yaitu:
a) Penyisipan kata
b) Penyisipan Frasa
c) Penyisipan klausa
d) Penyisipan ungkapa atau idiom, dan
e) Penyisipan bentuk baster (gabungan pembentuk asli dan asing)
Berdasarkan hal tersebut di atas maka Rane Appel (dalam Pateda 1987:91) melihat
campur kode dari dua aspek yaitu:
a) Percampuran kode yang disebabkan oleh faktor-faktor situasional.
b) Percampuran kode karena diubah oleh situasi.
Pada dasarya campur kode yang terjadi pada siswa dilatarbelakangi oleh sikap penutur
dan kebahasaan tutur. Atas dasar sikap dan kebahasaan penutur saling bergantungan dan sering
bertumpang tindih, maka dapat didefinisikan beberapa penyebab terjadinya campur kode, bahwa
penyebab campur kode dalam peristiwa tutur adalah sebagai berikut:
a) Penutur lupa bahasa daerahnya sehingga penutur menggunakan bahasa Indonesia
b) Penegasan atau memperjelas tuturan
c) Pokok pembicaraan
d) Penutur ingin menunjukkan gengsinya pada lawan bicaranya, dan
e) Penutur lupa yang akan dibicarakan sehingga menggunakan bahasa lain.
Fungsi Campur Kode
Percampuran kode dalam suatu peristiwa tutur yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
dimaksudkan untuk mencapai maksud tertentu, antara lain untuk menggambarkan hubungan
antara penutur dengan penanggap tutur. Menurut Chaer (1995:114) di dalam campur kode ada
sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya,
sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihanserpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Dengan demikian,
campur kode yang terjadi dalam suatu peristiwa tutur yang mempunyai fungsi tertentu.
Berdasarkan uraian tersebut, fungsi campur kode adalah sebagai berikut:
a) Sebagai acuan yang tidak (kurang) dipahami di dalam bahasa yang digunakan, kebanyakan
terjadi karena pembicara tidak mengetahui suatu kata dalam bahasa lain.
b) Fungsi derektif, dalam hal ini pendengar dilibatkan langsung dalam penutur, serta ujaran
dalam percakapan ini dapat dipikirkan tentang fungsi penggunaan bahasa.
c) Fungsi ekspresi, pembicara menekankan identitas campur kode melalui penggunaan dua
bahasa wacana yang sama.
d) Berfungsi untuk menunjukkan perubahan nada konvensi
e) Berfungsi sebagai meta bahasa (metalinguage), dengan pemahaman dengan campur kode
digunakan dalam mengulas satu bahasa baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
f) Berfungsi sebagai humor atau permainan, yang sangat berperan di dalam masyarakat
bilingual.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Perbedaan Campur Kode dan Alih Kode
Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur
kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai
kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Akan tetapi thelander (Chaer
1995:115) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Katanya, bila di dalam
suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka
peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausaklausamaupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses,
hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itutidaklagi mendukung fungsi sendirisendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campurkode,bukan alih kode. Dalam hal ini
Thelander selanjutnya, memang ada kemungkinan terjadinya perkembangan dari campur kode ke
alih kode. Perkembangan ini, misalnya dapat dilihat kalau ada usaha untuk mengurangi
kehibridan klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan, serta member fungsi-fungsi tertentu
sesuai dengan keotonimian bahasanyamasing-masing.
Fasold (Chaer 1995: 115) menawarkan criteria gramatika untuk membedakan campur
kode dan alih kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa,dia telah
melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika
bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Pengertian Sekolah
Sekolah adalah tempat didikan bagi anak-anak. Tujuan dari sekolah adalah mengajarkan
anak untuk menjadi anak yang mampu memajukan bangsa. Sekolah adalah sebuah lembaga yang
dirancang untuk pengajaran siswa di bawah pengawasan guru.
Sekolah adalah suatu hal yang tidak biasa di pungkiri lagi, karena kemajuan zaman,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, keluarga tidak mungkin lagi dapat memenuhi
seluruh kebutuhan dan aspirasi generasi muda akan pendidikan. Semakin maju suatu masyarakat,
semakin tinggi pula tuntutan pemenuhan kebutuhan anak akan pendidikan. Kondisi mayarakat
seperti ini mendorong terjadinya proses formalisasi lembaga pendidikan yang lazim disebut
sistem persekolahan. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan
sekolah melalui kegiatan beajar mengajar dengan organisasi yang tersusun rapi, berjenjang dan
berkesinambungan. Sifatnya formal, diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan pemerintah dan
mempunyai keseragaman pola yang bersifat nasional, dalam rangka meningkatkan kualitas
sumber daya manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur.
Pengertian Kata
Kata adalah kesatuan bahasa terkecil yang membentuk kalimat Ino (2015:4). Kata terbagi
dua yaitu yang mengandung makna leksikal dan yang mengandung makna gramatikal atau
makna struktural. Jenis pertama dapat dikenal melalui arti atau maknanya seperti orang, rumah,
besar, cantik, menulis. Makna kata-kata itu yaitu makna leksikalnya yang dapat dicari dalam
kamus. Kata jenis kedua tidak memiliki makna seperti jenis pertama karena unsur ini digunakan
sebagai unsur yang memiliki fungsi.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Dalam tata bahasa tradisional, kata adalah kesatuan bahasa terkecil yang mengandung arti
atau makna. Dalam linguistik, tata bahasa struktural, unsur bahasa terkecil adalah morfem.
Morfem itu mgandung makna leksikal dan makna gramatikal.
Pengertian Frasa
Frasa (dalam bahasa Inggris phrase) adalah kesatuan bahasa yang lebih besar daripada
kata karena terdiri atas dua patah kata atau lebih Ino (2015:9). Perpaduan kata-kata itu
menimbulkan makna baru. Tiap kata dari setiap frasa mengandung maknanya sendiri-sendiri.
Maka yang diperbincangkan di dalam frasa atau kelompok kata adalah hubungan antara kata dan
kata yang lain di dalam gabungan kata tersebut. Kelompok kata dapat terdiri dari dua kata tetapi
juga dimungkinkan terdiri dari beberapa kata.
Sejalan dengan itu Marafad (2011:144) mengatakan bahwa frasa itu kelompok kata.
Kelompok kata itu tidak predikatif. Artinya, di dalam kelompok kata itu tidak terdapat predikat.
Jadi, biar kelompok kata terdiri atas beberapa kata, selagi tidak ada predikat, kelompok kata itu
tergolong frasa.
Pengertian Klausa
Klausa adalah kesatuan bahasa yang terdiri atas dua bagian yang berfungsi sebagai subjek
dan predikat. Dengan demikian, klausa itu pasti bersifat predikatif dan berpontensi untuk
dijadikan kalimat Ino (2015:18). Sejalan dengan itu, Marafad (2011:152) mengemukakan bahwa
kelompok kata yang predikatif tergolong klausa.
Berdasarkan kemungkinan atau potensinya untuk dijadikan sebuah kalimat, lalu dikenal
dua macam klausa. Klausa jenis ynag pertama disebut klausa bebas dan klausa jenis yang kedua
disebut sebagai klausa terikat. Klausa yang sifatya bebas, berpotensi sangat kuat untuk dijadikan
kalimat.
Jenis dan Metode Penelitian
Jenis penelitian ini tergolong penelitian lapangan. Oleh karena itu, penelitian langsung ke
lokasi penelitian yaitu di sekolah SMA Negeri 1 Kabangka untuk mendapatkan data sesuai
dengan fenomena bahasa yang hidup pada penuturnya, sehingga penelitian ini berdasarkan fakta
atau bahasa dipaparkan apa adanya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode
deskriptif karena penelitian ini berusaha menyajikan kenyataan-kenyataan secara obyektif sesuai
dengan kenyataan yang ditemukan dilapangan tentang penggunaan campur kode di lingkungan
sekolah. Digunakan metode kualitatif karena penelitian ini menguraikan fakta atau fenomena
penggunaan campur kode ke dalam bentuk kata-kata, gabungan kata atau kalimat dalam struktur
yang benar.
Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah data lisan hasil tuturan dalam peristiwa komunikasi di
lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka. Tuturan-tuturan ini merupakan campur kode yang
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
digunakan dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka. Data
tersebut diperoleh dalam bentuk simak, wawancara, catatan lapangan, dan juga dalam bentuk
rekam.
Sumber data dalam penelitian ini adalah informan yakni siswa, guru, staf, dan ibu kantin.
Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
Untuk memenuhi kriteria validitas data, maka pengumpulan data penelitian ini
menggunakan beberapa teknik, yaitu teknik simak, teknik Wawancara terbuka , teknik Catat, dan
teknik rekam. Tekink simak adalah peneliti sebagai pemerhati yang dengan penuh minat tekun
mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang yang hanyut dalam proses dialog. Wawanca
ra terbuka yaitu teknik pengumpulan data dimana peneliti menyampaikan terlebih dahulu kepada
informan mengenai tujuan wawancara dan batasan data yang dikumpulkan. Catat yaitu metode
pengumpulan data yang digunakan dengan cara mencatat percakapan yang berhubungan dengan
campur kode bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam tuturan di lingkungan sekolah SMA
Negeri 1 Kabangka. Teknik rekam yaitu memperoleh data dengan cara merekam pemakaian
bahasa lisan yang bersifat spontan.
Prosedur Analisis Data
Analisis data adalah kegiatan yang dilakukan setelah peneliti menyeleksi data sesuai
dengan kriteria yang akan diteliti. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik analisis dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik bahasa. Teknik ini dipilih
karena cocok dengan karakteristik masalah penelitian, yakni campur kode dalam peristiwa
komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka secara langsung. Selain itu,
rancangan ini akan memberikan gambaran yang jelas, objektif, sistematis, dan cermat mengenai
fakta-fakta aktual dari tuturan siswa, guru, staf, dan ibu kantin. Teknik analisis data ini
membantu peneliti untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena Campur Kode dalam
Peristiwa Komunikasi di Lingkungan Sekolah SMA Negeri 1 Kabangka.
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Bentuk Campur Kode dalam Peristiwa Komunikasi di Lingkungan Sekolah SMA Negeri 1
Kabangka
Bentuk kode yang ditemukan dalam penelitian di lingkugnan sekolah SMA Negeri 1
Kabangka adalah: 1) berbentuk kata, 2) berbentuk frasa, dan 3) berbentuk klausa. Untuk lebih
jelasnya akan diuraikan berikut ini.
Bentuk Campur Kode dalam Tataran Kata
Bentuk campur kode dalam tataran kata yang dituturkan di lingkungan sekolah SMA
Negeri 1 Kabangka dalam berkomunikasi terjadi dalam situasi formal dan nonformal. Hal ini
dapat dilihat dalam peristiwa tutur sebagai berikut.
Campur Kode yang Terjadi di Dalam Kelas
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Konteks
: Peristiwa tuturan dalam proses belajar mengajar. Guru akan mengabsen
siswanya.
Guru
: Dengarkan deki namanya.
„dengarkan dulu namanya‟.
Siswa
: Iya bu.
dengarkan deki namanya.
„dengarkan dulu namanya‟.
Tuturan kalimat tersebut mengalami peristiwa campur kode, yakni pada tuturan guru.
Guru tersebut akan mengabsen siswanya dan bercampur kode seperti dalam tuturan “dengarkan
deki namanya”, kata “deki” dalam bahasa Muna memiliki terjemahan kata dalam bahasa
Indonesia yakni “dulu”. Penutur mengeluarkan kata “deki” karena faktor kebiasaan
menggunakan bahasa daerah yakni bahasa Muna. Penutur dan mitra tutur memiliki latar
belakang suku yang berbeda, penutur sendiri memiliki suku Muna sedangkan mitra tutur terdiri
dari tiga suku yakni, suku Muna, Jawa, dan Bugis. Akan tetapi mitra tutur mengerti dengan kata
tersebut, karena bagi mitra tutur kata tersebut sudah tidak asing lagi bagi mereka. Oleh karena
itu, penutur secara sopan mengeluarkan kata tersebut dan mengakibatkan timbulnya campur
kode.
Maksud dari kalimat tersebut adalah seorang guru yang baru masuk di ruang kelas dan
akan mengabsen siswanya sebelum memulai proses belajar mengajar. Campur kode ini terjadi
karena ada kata bahasa Muna yang bercampur ke dalam bahasa Indonesia. Tuturan tersebut
terjadi di dalam kelas.
Campur Kode yang Terjadi di Luar Kelas
Konteks
: peristiwa tuturan dalam kantor antara guru dan staf. Seoang guru
menanyakan kepala sekolah kepada staf.
Guru
: hamai kepala sekolah?
„mana kepala sekolah?‟
Staf
: lagi rapat di Raha.
hamai kepala sekolah?
‘mana kepala sekolah?‟
Tuturan kalimat tersebut mengalami peristiwa campur kode, yakni pada tuturan guru.
Guru tersebut sedang mencari kepala sekolah dan bertanya kepada staf dan bercampur kode
seperti dalam tuturan “ hamai” kepala sekolah?”, kata “hamai” dalam bahasa Muna memiliki
terjemahan kata dalam bahasa Indonesia yakni “mana”. Penutur menegeluarkan kata “hamai”
karena factor kebiasaan mengguakan bahasa daerah yaitu bahasa Muna. Penutur dan mitra tutur
adalah penutur asli bahasa Muna, oleh karena itu penutur secara spontan mengeluarkan kata
tersebut dan mengakibatkan timbulnya campur kode.
Maksud dari kalimat tesebut seorang guru yang mencari kepala seklah karena ada
urusan, akan tetapi guru tersebut tidak melihat kepala sekolah di ruangannya dan bertanya
kepada staf. campur kode ini terjadi karena karena ada kata bahasa Muna dalam bahasa
Indonesia. Tuturan tersebut terjadi di dalam kantor.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Bentuk Campur Kode dalam Tataran Frasa
Bentuk campur kode dalam tataran frasa yang dituturkan di lingkungan sekolah SMA
Negeri 1 Kabangka dalam berkomunikasi terjadi dalam situasi formal dan nonformal. Hal ini
dapat dilihat dalam peristiwa tutur sebagai berikut.
Campur Kode yang Terjadi di Dalam Kelas
Konteks
: peristiwa tuturan dalam proses belajar mengajar guru akan memeriksa PR
siswanya, sebelum memeriksa PR siswanya guru ini bertanya kepada siswa
yang paling malas di kelas.
Guru
: La Ode Mardin, pedahai tugasimu? Masalahnya kamu yang paling malas di
kelas ini.
„La Ode Mardin, bagaimana tugasmu? Masalahnya kamu yang paling malas di
kelas ini‟.
Siswa
: sudah selesai bu.
La Ode Mardin, pedahai tugasimu? Masalahnya kamu yang paling malas di kelas ini.
„La Ode Mardin, bagaimana tugasmu? Masalahnya kamu yang paling malas di kelas ini‟.
Tuturan kalimat tersebut, mengalami peristiwa campur kode, yakni pada tuturan seorang
guruyanga mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Muna seperti dalam tuturan La Ode
Mardin, pedahai tugasimu? Masalahnya kamu yang paling malas di kelas ini. Frasa “pedahai
tugasimu?”, dalam bahasa Muna memiliki terjemahan dalam bahasa Indonesia yakni,
“bagaimana tugasmu?” Campur kode ini terjadi pada saat guru menanyakan PR yang diberikan
kepada siswa, akan tetapi guru tersebut terlebih dahulu menanyakan kepada siswa yang paling
malas di kelas tersebut. Penutur menggunakan bahasa Muna dikarenakan lawan tuturnya masih
satu suku, agar suasan tidak terlalu tegang sehingga digunakan campur kode. Campur kode
tersebut terjadi karena ada frasa dalam bahasa Muna yang bercampur dengan bahasa Indonesia.
Tuturan tersebut terjadi di ruangan kelas.
Campur Kode yang Terjadi di Luar Kelas
Konteks : peristiwa tuturan dalam interaksi antara siswa dan siswa.
Siswa 1 : kumpul nehamai gara ini tugas?
„kumpul dimanakah ini tugas?‟
Siswa 2 : katanya ibu guru kumpul di ruangannya.
kumpul nehamai gara ini tugas?
„kumpul dimanakah ini tugas?‟
Tuturan kalimat tersebut mengalami peristiwa campur kode, yakni pada tuturan seorang
siswa yang mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Muna seperti dalam tuturan
“kumpul nehamai gara ini tugas?”. Frasa “nehamai gara”, dalam bahasa Muna memiliki
terjemahan dalam bahasa Indonesia yakni “di manakah”. Campur kode ini terjadi pada saat
seorang siswa bertanya kepada temannya bahwa tugas tersebut dikumpul dimana. Penutur
menggunakan bahasa Muna dikarenakan lawan tuturnya masi satu suku dengannya sehingga
untuk membuat suasana lebih akrab digunakan campur kode. Selain itu, penutur juga merupakan
penutur asli bahasa Muna. Campur kode tersebut terjadi karena ada frasa dalam bahasa Muna
yang bercampur dengan bahasa Indonesia. Tuturan tersebut terjadi di depan ruang kelas.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Bentuk Campur Kode dalam Tataran Klausa
Bentuk campur kode dalam tataran klausa yang dituturkan di lingkungan sekolah SMA
Negeri 1 Kabangka dalam berkomunikasi terjadi dalam situasi formal dan nonformal. Hal ini
dapat dilihat dalam peristiwa tutur sebagai berikut.
Campur Kode yang Terjadi di Dalam Kelas
Konteks
: peristiwa tuturan antara siswa dengan guru dalam proses pembelajaran. Guru
sedang menjelaskan mata pelajaran.
Guru
: sudah mengerti?
Siswa
: ora mudeng bu.
„tidak mengerti bu‟.
ora mudeng bu.
„tidak mengerti bu‟.
Peristiwa campur kode dalam bentuk klausa pada data tersebut antara bahasa Indonesia
dengan bahasa Jawa dalam tuturan siswa di ruang kelas yaitu berupa klausa “ora mudeng” yang
memiliki terjemahan kata dalam bahasa Indonesia yakni “tidak mengerti”.
Kalimat tersebut diucapkan dalam proses belajar mengajar. Seorang guru sedang
menjelaskan mata pelajaran di depan kelas. Pada akhir mata pelajaran, guru itu bertanya kepada
semua siswa apakah sudah mengerti apa yang telah dijelaskan. Tiba-tiba seorang siswa
menjawab dengan mencampurkan bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Penutur
menggunakan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa secara spontan, karena bahasa
tersebut sudah sudah menjadi kebiasaan penutur. Penutur juga merupakan penutur asli bahasa
Jawa. Campur kode tersebut terjadi karena ada bahasa Jawa yang bercampur dengan bahasa
Indonesia.
Campur Kode yang Terjadi di Luar Kelas
Konteks
: Peristiwa tuturan antara guru dan guru di kantor.
Guru 1
: Pak, kepala sekolah gorong tekko?
Guru 2
: Gorong pak.
Guru 1
: Are’e nengendi yoo, kok jam segini belum datang.
„beliau di mana yaa, kok jam segini belum datang‟.
Guru 2
: Mbo aku pak, coba tanya guru yang lain.
Are’e nengendi yoo, kok jam segini belum datang.
„beliau di mana yaa, kok jam segini belum datang‟.
Tuturan kalimat tersebut, mengalami peristiwa campur kode, yakni pada tuturan “Are’e
nengendi yoo, kok jam segini belum datang”. Kata “Are’e nengendi yoo”, dalam bahasa
Indonesia memiliki terjemahan “beliau di mana yaa”. Campur kode ini terjadi pada saat guru
menanyakan kepala sekolah kepada guru yang lain. Penutur menggunakan bahasa Jawa karena
faktor kebiasaan memakai bahasa daerah. Penutur dan mitra tutur merupakan penutur asli bahasa
Jawa. Campur kode tersebut terjadi karena ada klausa dalam bahasa Jawa yang bercampur ke
dalam bahasa Indonesia. Tuturan tersebut terjadi di kantor.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan data yang ada, ternyata tuturan di lingkungan sekolah SMA Negeri 1
Kabangka termasuk penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual menyebabkan terjadinya
campur kode bahasa daerah dengan bahasa Indonesia di lingkungan sekolah SMA Negeri 1
Kabangka. Campur kode yang terjadi pada situasi formal da nonformal pada saat menyampaikan
pesan untuk menegaskan informan dalam berkomunikasi antara penutur. Bentuk campur kode
dalam peristwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka berupa:
1) Campur kode berbentuk kata;
2) Campur kode berbentuk frasa; dan
3) Campur kode berbentu klausa.
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode yaitu persamaan latar belakang
bahasa dan budaya atau bahasa ibu, perbedaan latar belakang bahasa dan budaya atau bahasa ibu
tetapi mereka mengerti komunikasi dalam latar belakang tiga bahasa ibu yang berbeda, ingin
mudah dipahami dan memahami, serta faktor kebiasaan menggunakan bahasa daerah dan
lingkungan yang sama.
Saran
Berdasarkan hasil penelitin mengenai campur kode dalam peristiwa komunikasi di
lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka ada beberapa saran yang perlu dikemukakan dala
kaitannya denga penelitian ini, antara lain:
1) Di harapkan penelitian seanjutnya dapat meneliti campur kode dengan penggunaan bahasa
yang lebih beragam;
2) Penelitian selanjutnya diharapkan mencakup faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode;
3) Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam memantapkan pelajaran muatan lokal di
sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa daerah sebagai materi pembelajaran muatan lokal.
Daftar Pustaka
Ana, Haerun. 2011. Perspektif Pembelajaran Bahasa Indonesia. Kendari: FKIP Unhalu.
Chaer, Abdul & Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineke Cipta.
Hestiyana. 2013. Undas Jurnal Hasil Penelitian Bahasa dan Sastra Volume 9, No. 1 (Campur
Kode Bahasa Indonesia dan Bahasa Banjar Pada Status Facebook Kalangan Remaja
Kota Banjarmasin). Banjarbaru: Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan.
Ino. 2015. Sintaksis Bahasa Indonesia. Kendari: PBS FKIP.
Lukman. 2012. Vitalitas Bahasa Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa. Makassar: De La
Macca.
Maemunah, Emma. 2013. Jalabahasa Jurnal Ilmiah Kebahasaan Volume 9, No. 1 (Campur
Kode Dalam Ala Chef Bersama Farrah Quinn). Semarang: Balai Bahasa Provinsi Jawa
Tengah.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Marafad, La Ode Sidu, & Sari, Nirmala. 2012. Mutiara Bahasa. Yokyakarta: Pustaka Puitika.
Pateda, Mansoer.1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran Bahasa. Yokyakarta: Gadja Mada University Press.
Suhardi, Basuki. 2009. Pedoman Penelitian Sosiolinguistik. Jakarta: Pusat Bahasa.
Setiawan, Benny A. 2008. Salingka Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra volume 5, No. 2 (Campur
Kode dalam Sinetron Suami-suami Takut Istri). Padang: Balai Bahasa Padang.
Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran Kedwibahasawan. Bandung: Angkasa Bandung.
Umar, Azhar & Delvi Napitupulu. 1994. Sosiolinguistik dan Psikolinguistik. Medan: Pustaka
Widyasarana.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Download