CAMPUR KODE DALAM PERISTIWA KOMUNIKASI DI LINGKUNGAN SEKOLAH SMA NEGERI 1 KABANGKA Herawati A1D312077 [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk campur kode dalam tataran kata, frasa, dan klausa dan untuk mendeskripsikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi campur kode dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka. Penelitian ini menggunakan data lisan dari informan. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui, teknik simak, teknik wawancara, teknik catat, serta teknik rekam. Data yang telah dikumpulkan dianalisis melalui metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa campur kode dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka terdapat tiga bentuk campur kode yaitu, bentuk campur kode dalam tataran kata, frasa, serta klausa.Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya campur kode di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka yaitu, persamaan latar belakang bahasa dan budaya atau bahasa ibu, perbedaan latar belakang bahasa dan budaya atau bahasa ibu tetapi mereka mengerti komunikasi dalam latar belakang tiga bahasa ibu yang berbeda, ketidakmampuan berbahasa Indonesia atau lupa bahasa Indonesia, ingin mudah dipahami dan memahami, serta faktor kebiasaan dan lingkungan yang sama. Pendahuluan Pada hakikatnya, setiap bahasa memiliki sistem dan pengguna bahasa terus menerus memakai sistem ketika berkomunikasi, baik ketika berbicara untuk menyampaikan pesan maupun ketika mendengarkan untuk menerima pesan. Setiap bahasa memiliki kata yakni bentuk linguistik atau satuan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri dalam pemakaian bahasa. Selain itu, setiap bahasa memiliki frasa yaitu satu kata atau gabungan dua kata atau lebih yang tidak dapat dipisahkan dan tidak melampaui batas fungsi. Bahasa juga memiliki kalimat yaitu satuan bahasa secara gramatik terdiri dari satu atau lebih klausa yang ditata menurut pola tertentu dan dapat berdiri sebagai satu kesatuan. Kalimat dibentuk dari kata atau kelompok kata, seperti di dalam pembentukannya atau penyusunan kalimatnya, baik itu bahasa Indonesia, bahasa asing maupun bahasa daerah. Di Indonesia selain bahasa Indonesi, terdapat juga bahasa-bahasa daerah dan bahasa asing, di sinilah adanya kemungkinan terjadinya kontak bahasa yang sangat besar. Mackey (dalam Pranowo 1996:7) menjelaskan bahwa kontak bahasa adalah pengaruh bahasa satu kepada bahasa lain baik secara langsung atau secara tidak langsung. Kontak bahasa terjadi apabila seorang penutur yang menguasai dua bahasa atau lebih dengan menggunakan bahasa yang dikuasainya secara bergantian. Proses pendidikan merupakan salah satu wadah bagi berlangsungnya kebudayaan. Proses pendidikan sebagai alat kebudayaan dimungkinkan karena fasilitas bahasa. Fasilitas bahasa Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 membantu pencapaian tujuan. Artinya tujuan pendidikan hanya akan tercapai apabila bahasa sebagai fasilitasnya terpelihara dengan baik, difungsikan dengan tepat, dan dikembangkan dengan cermat. Bahasa berbicara mengenai ragam bahasa yang digunakan dalam proses pendidikan. Ragam bahasa yang digunakan haruslah menggunakan bahasa yang baik dan benar. Baik dalam pendidikan formal maupun nonformal, komunikasi dapat berlangsung dengan menggunakan ragam santai dan ragam resmi. Ragam resmi merupakan variasi bahasa yang digunakan dalam situasi resmi, misalnya, dalam rapat dinas, ceramah keagamaan, dan pidato kenegaraan. Sedangkan ragam santai adalah variasi bahasa yang biasa digunakan pada situasi nonformal. Peristiwa tutur yang di dalamnya menggunakan ragam resmi dapat dijumpai dalam proses pembelajaran di sekolah. Dalam proses pembelajaran, siswa dituntut berkomunikasi, mengeluarkan pikiran dan gagasannya dengan bahasa yang sesuai dengan standar yan berlaku yaitu etika berbahasa dan disertai aturan-aturan yang berlaku di dalam budaya tertentu. Eksistensi penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar memang perlu dipertahankan. Namun ada beberapa hal yang harus kita ingat bahwa berdasarkan aspek linguistik, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bilingual (dwibahasa) yang menguasai lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Masyarakat yang dwibahasa akan mengalami kontak bahasa sehingga melahirkan campur kode. Nababan (dalam Hestiyana 2013:40) menjelaskan bahwa campur kode adalah suatu keadaan berbahasa dengan mencampurkan dua bahasa atau lebih dalam suatu tindak tutur, tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa yag menuntut percampuran bahasa tersebut. Penguasaan dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur bahasa memungkinkan terjadinya dampak, yaitu transfer unsur-unsur bahasa, baik transfer negatif maupun positif. Transfer positif mengakibatkan terjadinya integrasi yang sifatnya menguntungkan kedua bahasa karena penyerapan unsur dari suatu bahasa dapat berintegrasi dengan sistem bahasa penyerap. Sebaliknya, transfer negatif akan melahirkan interferensi, yaitu penyimpangan dari norma-norma bahasa sebagai akibat pengenalan terhadap bahasa lain. Bahasa Indonesia dipergunakan sebagai alat komunikasi antar suku bangsa, baik dalam situasi formal maupun dalam situasi nonformal. Sedangkan bahasa daerah dipergunakan sebagai alat komunikasi intrasuku bangsa yang biasanya dalam suasana nonformal untuk menunjukkan penghargaan, rasa hormat, dan rasa intim terhadap lawan bicara yang berasal dari kelompok yang sama. Bahasa daerah juga dipergunakan untuk menunjukkan keakraban dan solidaritas suku bangsa. Bahasa daerah berkedudukan sebagai bahasa di suatu daerah, merupakan unsur kebudayaan nasional yang dilindungi oleh negara. Dalam kedudukannya sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas, dan alat penghubung dalam keluarga serta masyarakat daerah. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia menjadi bahasa kedua oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, setelah bahasa daerah atau bahasa ibu yang berada di Indonesia, jika dihitung bahasa daerah yang ada di Indonesia sangatlah banyak. Beberapa bahasa daerah khususnya di Sulawesi Tenggara diantaranya bahasa Muna, bahasa Wolio, bahasa Tolaki, bahasa Bajo, bahasa Moronene dan sebagainya. Akan tetapi di kecamatan Kabangka ini terdapat sebuah desa yang merupakan transmigrasi bagi suku Jawa dan perantau suku Bugis. Oleh karena itu, yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bahasa Muna, bahasa Jawa, dan bahasa Bugis. Hal ini akan memungkinkan terjadinya campur kode dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka karena penggunaan bahasanya homogen. Kadang-kadang di samping bahasa daerah dan bahasa Indonesia, kita juga mengenali memiliki satu atau dua bahasa Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 daerah yang lain, karena kita bukan hanya dwibahasawan melainkan juga multibahasawan yaitu orang yang menguasai banyak bahasa sekaligus. Seperti halnya di dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah memungkinkan terjadinya campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah, karena yang akan melakukan komunikasi di lingkungan sekolah terdiri atas beberapa orang yaitu (1) siswa; (2) guru; (3) staf administrasi; dan (4) ibu kantin. Peristiwa tutur yang dimaksud adalah peristiwa tutur antara guru dan guru, siswa dan siswa, siswa dan guru, siswa dan staf administrasi, staf administrasi dan guru, siswa dan ibu kantin, serta ibu kantin dan guru. Di mana di dalam hasil observasi penelitian campur kode bahasa Muna ke dalam bahasa Indonesia, seorang siswa yang bertanya kepada temannya bercampur kode seperti: mau kemanakah“sabangka”? kata sabangka dalam bahasa Muna berarti “teman”. Penutur menggunakan campur kode bahasa Indonesia dalam bahasa daerah Muna karena penutur ingin lebih akrab dengan lawan tuturnya. Fokus dan SubFokus Penelitian ini memfokuskan pada bentuk campur kode dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka dan faktor penyebab terjadinya campur kode. Subfokus dalam penelitian adalah bentuk campur kode dalam tataran kata, frasa, serta klausa. Rumusan Masalah Pada umumnya campur kode dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka dapat di lihat dari tiga bentuk yakni, bentuk kata, frasa, dan klausa. Berdasarkan uraian tersebut maka masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah bentuk campur kode dalam tataran kata, frasa, dan klausa dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka? 2 Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi campur kode dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka? Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk 1. Untuk mendeskripsikan bentuk campur kode dalam tataran kata, frasa, dan klausa dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka. 2. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi campur kode dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka. Kajian Pustaka sosiolinguistik Istilah sosiolinguistik berasal dari dua kata yakni sosio dan linguistik. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari dan membicarakan bahasa, khusunya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat), termasuk hakikat dan hubungan pembentukan unsurunsurnya. Sosio adalah seakar dengan sosial, yakni yang berhubungan dengan manusia atau masyarakat dan fungsi-fungsi kemasyarakatan, kelompok-kelompok masyarakat dan fungsinya. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Dengan dua unsur tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Sosiolinguistik merupakan kajian seluk beluk hubungan aneka pemakaian bahasa dengan perilaku sosial masyarakat. Ini berarti sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung dan tetap ada. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang memelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai obyek kajiannya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat. Menurut Kridalaksana (dalam Chaer 1995:3). Fishman (dalam Chaer 1995:3) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur. Sejalan dengan pendapat Harimurti Kridalaksana (dalam Pateda 1987:3) mengatakan bahwa sosiolinguistik yaitu cabang linguistik yaang berusaha untuk menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial. Selain itu, Booji (dalam Chaer 1995: 4) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah subdisiplin ilmu bahasa yang mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa dan pergaulan sosial. Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari kajian tentang ciri variasi bahasa, fungsi variasi bahasa, dan faktor sosial pemakai bahasa dan konteks sosial budaya dalam masyarakat. Pengertian Kontak Bahasa Kontak bahasa adalah pemakaian lebih dari satu bahasa ditempat dan pada waktu yang sama Thomason (dalam Suhardi 2009: 39). Kontak bahasa dapat terjadi antara lain, (1) pindahnya sebuah kelompok ke tempat kelompok lain, (2) melalui hubungan budaya yang erat, dan (3) melalui pendidikan Thomason (dalam Suhardi 2009: 39). Akibat terjadinya kontak bahasa bagi pemakai bahasa adalah sering timbul interferensi atau transfer. Kontak bahasa yang menimbulkan interferensi sering dianggap sebgai peristiwa negatif, karena masuknya unsurunsur bahasa pertama (BI) ke dalam bahasa kedua (B2) atau sebaliknya menyimpang dari kaidah bahasa masing-masing. Weinreich (dalam Pranowo 1996:7) mengatakan bahwa interferensi adalah penyimpangan kaidah salah satu bahasa pada seorang dwibahasawan akibat kebiasaan pemakaian bahasa lebih dari satu. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kontak bahasa dalam penelitian ini adalah penguasaan dua bahasa atau lebih dan menggunakan bahasa tersebut secara langsung maupun tidak langsung hingga menimbulkan interferensi dan transfer yang dianggap sebagai peristiwa negatif. Pengertian Kedwibahasaan Menurut Lado (dalam Lukman 2012:9) mengatakan bahwa kedwibahasaan adalah kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya, secara teknis Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 mengacu kepada pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatnya oleh seseorang. Sedangkan bagi Mackey (dalam Pranowo 1996: 7) kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa atau lebih. Bagi Wolf (dalam Chaer 1995: 91) Salah satu cirri bilingualism adalah digunakan dua buah bahasa atau lebih oleh seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan bahasa mana yang harus digunakan tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya. Beberapa pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kedwibahasaan (bilingualisme) adalah penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dengan orang lain secara bergantian. Di antara kedua bahasa yang dimaksud adalah bahasa pertama dan bahasa kedua. Pengertian Dwibahasawan Dwibahasawan adalah orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa. Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia I yang diterbitkan oleh Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (dalam Tarigan 1988:2) mengatakan bahwa orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa, seperti bahasa nasional dan bahasa asing, bahasa daerah dan bahasa nasional, dan sebagainya; pemakai dua bahasa. Sejalan dengan pendapat Fishman (dalam Tarigan 1988:3) mengatakan bahwa dwibahasawan adalah orang yang dapat berperan serta dan turut berpartisispasi dalam komunikasi lebih dari satu bahasa. Dengan ini dapat dikatakan bahwa dwibahasawan itu mampu mengadakan suatu peranan yang cukup penting dalam perubahan bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa kedua. Sebagai kontak bahasa, di samping kontak budaya, akan terjadilah ambil-mengambil atau pindahmemindahkan pemakaian unsur-unsur bahasa. Dapat pula dikatakan bahwa terjadi suatu pemindahan identitas bahasa. Dengan kata lain, seorang dwibahasawan telah menggunakan identitas bahasanya pada bahasa kedua, atau sebaliknya ia mempergunakan unsur-unsur bahasa kedua dalam bahasa sendiri. Pengertian Kode Kode dijabarkan Poedjosoedarmo (dalam Haerun 2011: 106) kode adalah sistem tutur yang kebahasaannya memiliki ciri-ciri khas penerapannya mencerminkan keadaan salah satu komponen tutur seperti latar belakang orang pertama, relasi orang pertama dan orang kedua, situasi berbicara dan lain-lain. Kode tutur ini merupakan bahasa atau varian bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi di masyarakat. Arti suatu kode dapat diketahui dengan baik apabila konteks komponen tutur yang berhubungan dengan wacana diketahui jelas. Oleh karena itu, masing-masing kode mempunyai arti. Misalnya pengguna dialek orang kedua atau lawan bicara, dapat diartikan bahwa pembicara itu berusaha menimbulkan rasa solidaritas yang ada pada lawan bicara. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kode dalam penelitian ini adalah sistem tutur yang peranan unsur bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur dengan lawan bicaranya dan situasi tutur yang ada. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Pengertian Campur Kode Campur kode adalah interferensi penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya Kridalaksana (dalam Setiawan 2008: 47). Kemudian Suwito (dalam Hestiyana 2013:40) menambahkan bahwa di dalam campur kode terdapat ciri-ciri ketergantungan yang ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai penutur dengan tuturannya. Sumarsono (dalam Maemunah 2013:37) mengatakan bahwa campur kode adalah penyisispan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Dalam hal ini penutur mengambil unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Unsur-unsur yang diambil itu sering kali berwujud kata-kata tetapi dapat juga berupa frase atau kelompok kata. Akan tetapi, hal tersebut akan menyulitkan apabila penutur pemakai kata-kata pinjaman dan tidak dirasakan sebagai kata asing melainkan dirasakan sebagai bagian dari bahasa yang dipakai. Suwito (dalam Maemunah 2013:38) membagi campur kode dalam dua bagian yaitu: a) Campur Kode ke dalam (intern) Campur kode ke dalam (intern) terjadi apabila bahasa yang dicampurkan masih memiliki hubungan kekerabatan secara geografis maupun genealogis. b) Campur Kode ke luar (ekstern) Campur kode ke luar (ekstern) terjadi apabila bahasa yang dicampurkan tidak memiliki hubungan kekerabatan, secara georafis maupun genealogis. Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa campur kode dalam penelitian ini adalah peristiwa percampuran kode dari bahasa Indonesia dalam bahasa daerah. Misalnya, peristiwa tutur yang melibatkan dua orang, seseorang penutur menggunakan kode A (bahasa Indonesia) dan dalam proses campur kode B (bahasa daerah) maka perpindahan pemakaian bahasa seperti itu disebut campur kode. Jenis Campur Kode Jenis campur kode ada dua yaitu; (1) campur kode sementara dan (2) campur kode permanen. Campur kode sementara terjadi apabila pemakai bahasa sedang mensitir kalimat bahasa B2 ketika sedang ber-B1, atau sebaliknya. Sedangkan campur kode permanen terjadi karena perubahan relasi antara pembicara dengan mitra bicara, misalnya mitra bicara semula sebagai teman akrab tetapi mitra bicara itu sekarang menjadi atasan, biasanya pembicara mengganti kode bahasa yang dipakainya secara permanen, karena adanya perubahan status sosial dan relasi kepribadian yang ada. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Campur Kode Menurut Kachru (dalam Hestiyana 2013:41) membedakan faktor penyebab terjadinya campur kode menjadi dua aspek, yaitu aspek eksternal dan aspek internal. Aspek eksternal merupakan potensi kebahasaan penutur, baik dalam penguasaan kebahasaan maupun psikologis penutur yang terekspresi lewat campur kode tersebut. Sedangkan aspek internal terkait dengan potensi bahasa itu sendiri dalam keberadaannya di masyarakat. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal-balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Menurut Suwito (dalam Maemunah 2013:45) ada beberapa wujud campur kode yaitu: a) Penyisipan kata b) Penyisipan Frasa c) Penyisipan klausa d) Penyisipan ungkapa atau idiom, dan e) Penyisipan bentuk baster (gabungan pembentuk asli dan asing) Berdasarkan hal tersebut di atas maka Rane Appel (dalam Pateda 1987:91) melihat campur kode dari dua aspek yaitu: a) Percampuran kode yang disebabkan oleh faktor-faktor situasional. b) Percampuran kode karena diubah oleh situasi. Pada dasarya campur kode yang terjadi pada siswa dilatarbelakangi oleh sikap penutur dan kebahasaan tutur. Atas dasar sikap dan kebahasaan penutur saling bergantungan dan sering bertumpang tindih, maka dapat didefinisikan beberapa penyebab terjadinya campur kode, bahwa penyebab campur kode dalam peristiwa tutur adalah sebagai berikut: a) Penutur lupa bahasa daerahnya sehingga penutur menggunakan bahasa Indonesia b) Penegasan atau memperjelas tuturan c) Pokok pembicaraan d) Penutur ingin menunjukkan gengsinya pada lawan bicaranya, dan e) Penutur lupa yang akan dibicarakan sehingga menggunakan bahasa lain. Fungsi Campur Kode Percampuran kode dalam suatu peristiwa tutur yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dimaksudkan untuk mencapai maksud tertentu, antara lain untuk menggambarkan hubungan antara penutur dengan penanggap tutur. Menurut Chaer (1995:114) di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihanserpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Dengan demikian, campur kode yang terjadi dalam suatu peristiwa tutur yang mempunyai fungsi tertentu. Berdasarkan uraian tersebut, fungsi campur kode adalah sebagai berikut: a) Sebagai acuan yang tidak (kurang) dipahami di dalam bahasa yang digunakan, kebanyakan terjadi karena pembicara tidak mengetahui suatu kata dalam bahasa lain. b) Fungsi derektif, dalam hal ini pendengar dilibatkan langsung dalam penutur, serta ujaran dalam percakapan ini dapat dipikirkan tentang fungsi penggunaan bahasa. c) Fungsi ekspresi, pembicara menekankan identitas campur kode melalui penggunaan dua bahasa wacana yang sama. d) Berfungsi untuk menunjukkan perubahan nada konvensi e) Berfungsi sebagai meta bahasa (metalinguage), dengan pemahaman dengan campur kode digunakan dalam mengulas satu bahasa baik secara langsung maupun secara tidak langsung. f) Berfungsi sebagai humor atau permainan, yang sangat berperan di dalam masyarakat bilingual. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Perbedaan Campur Kode dan Alih Kode Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Akan tetapi thelander (Chaer 1995:115) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Katanya, bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausaklausamaupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itutidaklagi mendukung fungsi sendirisendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campurkode,bukan alih kode. Dalam hal ini Thelander selanjutnya, memang ada kemungkinan terjadinya perkembangan dari campur kode ke alih kode. Perkembangan ini, misalnya dapat dilihat kalau ada usaha untuk mengurangi kehibridan klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan, serta member fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan keotonimian bahasanyamasing-masing. Fasold (Chaer 1995: 115) menawarkan criteria gramatika untuk membedakan campur kode dan alih kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa,dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Pengertian Sekolah Sekolah adalah tempat didikan bagi anak-anak. Tujuan dari sekolah adalah mengajarkan anak untuk menjadi anak yang mampu memajukan bangsa. Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa di bawah pengawasan guru. Sekolah adalah suatu hal yang tidak biasa di pungkiri lagi, karena kemajuan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, keluarga tidak mungkin lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan dan aspirasi generasi muda akan pendidikan. Semakin maju suatu masyarakat, semakin tinggi pula tuntutan pemenuhan kebutuhan anak akan pendidikan. Kondisi mayarakat seperti ini mendorong terjadinya proses formalisasi lembaga pendidikan yang lazim disebut sistem persekolahan. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan sekolah melalui kegiatan beajar mengajar dengan organisasi yang tersusun rapi, berjenjang dan berkesinambungan. Sifatnya formal, diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan pemerintah dan mempunyai keseragaman pola yang bersifat nasional, dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur. Pengertian Kata Kata adalah kesatuan bahasa terkecil yang membentuk kalimat Ino (2015:4). Kata terbagi dua yaitu yang mengandung makna leksikal dan yang mengandung makna gramatikal atau makna struktural. Jenis pertama dapat dikenal melalui arti atau maknanya seperti orang, rumah, besar, cantik, menulis. Makna kata-kata itu yaitu makna leksikalnya yang dapat dicari dalam kamus. Kata jenis kedua tidak memiliki makna seperti jenis pertama karena unsur ini digunakan sebagai unsur yang memiliki fungsi. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Dalam tata bahasa tradisional, kata adalah kesatuan bahasa terkecil yang mengandung arti atau makna. Dalam linguistik, tata bahasa struktural, unsur bahasa terkecil adalah morfem. Morfem itu mgandung makna leksikal dan makna gramatikal. Pengertian Frasa Frasa (dalam bahasa Inggris phrase) adalah kesatuan bahasa yang lebih besar daripada kata karena terdiri atas dua patah kata atau lebih Ino (2015:9). Perpaduan kata-kata itu menimbulkan makna baru. Tiap kata dari setiap frasa mengandung maknanya sendiri-sendiri. Maka yang diperbincangkan di dalam frasa atau kelompok kata adalah hubungan antara kata dan kata yang lain di dalam gabungan kata tersebut. Kelompok kata dapat terdiri dari dua kata tetapi juga dimungkinkan terdiri dari beberapa kata. Sejalan dengan itu Marafad (2011:144) mengatakan bahwa frasa itu kelompok kata. Kelompok kata itu tidak predikatif. Artinya, di dalam kelompok kata itu tidak terdapat predikat. Jadi, biar kelompok kata terdiri atas beberapa kata, selagi tidak ada predikat, kelompok kata itu tergolong frasa. Pengertian Klausa Klausa adalah kesatuan bahasa yang terdiri atas dua bagian yang berfungsi sebagai subjek dan predikat. Dengan demikian, klausa itu pasti bersifat predikatif dan berpontensi untuk dijadikan kalimat Ino (2015:18). Sejalan dengan itu, Marafad (2011:152) mengemukakan bahwa kelompok kata yang predikatif tergolong klausa. Berdasarkan kemungkinan atau potensinya untuk dijadikan sebuah kalimat, lalu dikenal dua macam klausa. Klausa jenis ynag pertama disebut klausa bebas dan klausa jenis yang kedua disebut sebagai klausa terikat. Klausa yang sifatya bebas, berpotensi sangat kuat untuk dijadikan kalimat. Jenis dan Metode Penelitian Jenis penelitian ini tergolong penelitian lapangan. Oleh karena itu, penelitian langsung ke lokasi penelitian yaitu di sekolah SMA Negeri 1 Kabangka untuk mendapatkan data sesuai dengan fenomena bahasa yang hidup pada penuturnya, sehingga penelitian ini berdasarkan fakta atau bahasa dipaparkan apa adanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif karena penelitian ini berusaha menyajikan kenyataan-kenyataan secara obyektif sesuai dengan kenyataan yang ditemukan dilapangan tentang penggunaan campur kode di lingkungan sekolah. Digunakan metode kualitatif karena penelitian ini menguraikan fakta atau fenomena penggunaan campur kode ke dalam bentuk kata-kata, gabungan kata atau kalimat dalam struktur yang benar. Data dan Sumber Data Data dalam penelitian ini adalah data lisan hasil tuturan dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka. Tuturan-tuturan ini merupakan campur kode yang Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 digunakan dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka. Data tersebut diperoleh dalam bentuk simak, wawancara, catatan lapangan, dan juga dalam bentuk rekam. Sumber data dalam penelitian ini adalah informan yakni siswa, guru, staf, dan ibu kantin. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data Untuk memenuhi kriteria validitas data, maka pengumpulan data penelitian ini menggunakan beberapa teknik, yaitu teknik simak, teknik Wawancara terbuka , teknik Catat, dan teknik rekam. Tekink simak adalah peneliti sebagai pemerhati yang dengan penuh minat tekun mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang yang hanyut dalam proses dialog. Wawanca ra terbuka yaitu teknik pengumpulan data dimana peneliti menyampaikan terlebih dahulu kepada informan mengenai tujuan wawancara dan batasan data yang dikumpulkan. Catat yaitu metode pengumpulan data yang digunakan dengan cara mencatat percakapan yang berhubungan dengan campur kode bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam tuturan di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka. Teknik rekam yaitu memperoleh data dengan cara merekam pemakaian bahasa lisan yang bersifat spontan. Prosedur Analisis Data Analisis data adalah kegiatan yang dilakukan setelah peneliti menyeleksi data sesuai dengan kriteria yang akan diteliti. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik bahasa. Teknik ini dipilih karena cocok dengan karakteristik masalah penelitian, yakni campur kode dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka secara langsung. Selain itu, rancangan ini akan memberikan gambaran yang jelas, objektif, sistematis, dan cermat mengenai fakta-fakta aktual dari tuturan siswa, guru, staf, dan ibu kantin. Teknik analisis data ini membantu peneliti untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena Campur Kode dalam Peristiwa Komunikasi di Lingkungan Sekolah SMA Negeri 1 Kabangka. Pembahasan dan Hasil Penelitian Bentuk Campur Kode dalam Peristiwa Komunikasi di Lingkungan Sekolah SMA Negeri 1 Kabangka Bentuk kode yang ditemukan dalam penelitian di lingkugnan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka adalah: 1) berbentuk kata, 2) berbentuk frasa, dan 3) berbentuk klausa. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan berikut ini. Bentuk Campur Kode dalam Tataran Kata Bentuk campur kode dalam tataran kata yang dituturkan di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka dalam berkomunikasi terjadi dalam situasi formal dan nonformal. Hal ini dapat dilihat dalam peristiwa tutur sebagai berikut. Campur Kode yang Terjadi di Dalam Kelas Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Konteks : Peristiwa tuturan dalam proses belajar mengajar. Guru akan mengabsen siswanya. Guru : Dengarkan deki namanya. „dengarkan dulu namanya‟. Siswa : Iya bu. dengarkan deki namanya. „dengarkan dulu namanya‟. Tuturan kalimat tersebut mengalami peristiwa campur kode, yakni pada tuturan guru. Guru tersebut akan mengabsen siswanya dan bercampur kode seperti dalam tuturan “dengarkan deki namanya”, kata “deki” dalam bahasa Muna memiliki terjemahan kata dalam bahasa Indonesia yakni “dulu”. Penutur mengeluarkan kata “deki” karena faktor kebiasaan menggunakan bahasa daerah yakni bahasa Muna. Penutur dan mitra tutur memiliki latar belakang suku yang berbeda, penutur sendiri memiliki suku Muna sedangkan mitra tutur terdiri dari tiga suku yakni, suku Muna, Jawa, dan Bugis. Akan tetapi mitra tutur mengerti dengan kata tersebut, karena bagi mitra tutur kata tersebut sudah tidak asing lagi bagi mereka. Oleh karena itu, penutur secara sopan mengeluarkan kata tersebut dan mengakibatkan timbulnya campur kode. Maksud dari kalimat tersebut adalah seorang guru yang baru masuk di ruang kelas dan akan mengabsen siswanya sebelum memulai proses belajar mengajar. Campur kode ini terjadi karena ada kata bahasa Muna yang bercampur ke dalam bahasa Indonesia. Tuturan tersebut terjadi di dalam kelas. Campur Kode yang Terjadi di Luar Kelas Konteks : peristiwa tuturan dalam kantor antara guru dan staf. Seoang guru menanyakan kepala sekolah kepada staf. Guru : hamai kepala sekolah? „mana kepala sekolah?‟ Staf : lagi rapat di Raha. hamai kepala sekolah? ‘mana kepala sekolah?‟ Tuturan kalimat tersebut mengalami peristiwa campur kode, yakni pada tuturan guru. Guru tersebut sedang mencari kepala sekolah dan bertanya kepada staf dan bercampur kode seperti dalam tuturan “ hamai” kepala sekolah?”, kata “hamai” dalam bahasa Muna memiliki terjemahan kata dalam bahasa Indonesia yakni “mana”. Penutur menegeluarkan kata “hamai” karena factor kebiasaan mengguakan bahasa daerah yaitu bahasa Muna. Penutur dan mitra tutur adalah penutur asli bahasa Muna, oleh karena itu penutur secara spontan mengeluarkan kata tersebut dan mengakibatkan timbulnya campur kode. Maksud dari kalimat tesebut seorang guru yang mencari kepala seklah karena ada urusan, akan tetapi guru tersebut tidak melihat kepala sekolah di ruangannya dan bertanya kepada staf. campur kode ini terjadi karena karena ada kata bahasa Muna dalam bahasa Indonesia. Tuturan tersebut terjadi di dalam kantor. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Bentuk Campur Kode dalam Tataran Frasa Bentuk campur kode dalam tataran frasa yang dituturkan di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka dalam berkomunikasi terjadi dalam situasi formal dan nonformal. Hal ini dapat dilihat dalam peristiwa tutur sebagai berikut. Campur Kode yang Terjadi di Dalam Kelas Konteks : peristiwa tuturan dalam proses belajar mengajar guru akan memeriksa PR siswanya, sebelum memeriksa PR siswanya guru ini bertanya kepada siswa yang paling malas di kelas. Guru : La Ode Mardin, pedahai tugasimu? Masalahnya kamu yang paling malas di kelas ini. „La Ode Mardin, bagaimana tugasmu? Masalahnya kamu yang paling malas di kelas ini‟. Siswa : sudah selesai bu. La Ode Mardin, pedahai tugasimu? Masalahnya kamu yang paling malas di kelas ini. „La Ode Mardin, bagaimana tugasmu? Masalahnya kamu yang paling malas di kelas ini‟. Tuturan kalimat tersebut, mengalami peristiwa campur kode, yakni pada tuturan seorang guruyanga mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Muna seperti dalam tuturan La Ode Mardin, pedahai tugasimu? Masalahnya kamu yang paling malas di kelas ini. Frasa “pedahai tugasimu?”, dalam bahasa Muna memiliki terjemahan dalam bahasa Indonesia yakni, “bagaimana tugasmu?” Campur kode ini terjadi pada saat guru menanyakan PR yang diberikan kepada siswa, akan tetapi guru tersebut terlebih dahulu menanyakan kepada siswa yang paling malas di kelas tersebut. Penutur menggunakan bahasa Muna dikarenakan lawan tuturnya masih satu suku, agar suasan tidak terlalu tegang sehingga digunakan campur kode. Campur kode tersebut terjadi karena ada frasa dalam bahasa Muna yang bercampur dengan bahasa Indonesia. Tuturan tersebut terjadi di ruangan kelas. Campur Kode yang Terjadi di Luar Kelas Konteks : peristiwa tuturan dalam interaksi antara siswa dan siswa. Siswa 1 : kumpul nehamai gara ini tugas? „kumpul dimanakah ini tugas?‟ Siswa 2 : katanya ibu guru kumpul di ruangannya. kumpul nehamai gara ini tugas? „kumpul dimanakah ini tugas?‟ Tuturan kalimat tersebut mengalami peristiwa campur kode, yakni pada tuturan seorang siswa yang mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Muna seperti dalam tuturan “kumpul nehamai gara ini tugas?”. Frasa “nehamai gara”, dalam bahasa Muna memiliki terjemahan dalam bahasa Indonesia yakni “di manakah”. Campur kode ini terjadi pada saat seorang siswa bertanya kepada temannya bahwa tugas tersebut dikumpul dimana. Penutur menggunakan bahasa Muna dikarenakan lawan tuturnya masi satu suku dengannya sehingga untuk membuat suasana lebih akrab digunakan campur kode. Selain itu, penutur juga merupakan penutur asli bahasa Muna. Campur kode tersebut terjadi karena ada frasa dalam bahasa Muna yang bercampur dengan bahasa Indonesia. Tuturan tersebut terjadi di depan ruang kelas. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Bentuk Campur Kode dalam Tataran Klausa Bentuk campur kode dalam tataran klausa yang dituturkan di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka dalam berkomunikasi terjadi dalam situasi formal dan nonformal. Hal ini dapat dilihat dalam peristiwa tutur sebagai berikut. Campur Kode yang Terjadi di Dalam Kelas Konteks : peristiwa tuturan antara siswa dengan guru dalam proses pembelajaran. Guru sedang menjelaskan mata pelajaran. Guru : sudah mengerti? Siswa : ora mudeng bu. „tidak mengerti bu‟. ora mudeng bu. „tidak mengerti bu‟. Peristiwa campur kode dalam bentuk klausa pada data tersebut antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa dalam tuturan siswa di ruang kelas yaitu berupa klausa “ora mudeng” yang memiliki terjemahan kata dalam bahasa Indonesia yakni “tidak mengerti”. Kalimat tersebut diucapkan dalam proses belajar mengajar. Seorang guru sedang menjelaskan mata pelajaran di depan kelas. Pada akhir mata pelajaran, guru itu bertanya kepada semua siswa apakah sudah mengerti apa yang telah dijelaskan. Tiba-tiba seorang siswa menjawab dengan mencampurkan bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Penutur menggunakan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa secara spontan, karena bahasa tersebut sudah sudah menjadi kebiasaan penutur. Penutur juga merupakan penutur asli bahasa Jawa. Campur kode tersebut terjadi karena ada bahasa Jawa yang bercampur dengan bahasa Indonesia. Campur Kode yang Terjadi di Luar Kelas Konteks : Peristiwa tuturan antara guru dan guru di kantor. Guru 1 : Pak, kepala sekolah gorong tekko? Guru 2 : Gorong pak. Guru 1 : Are’e nengendi yoo, kok jam segini belum datang. „beliau di mana yaa, kok jam segini belum datang‟. Guru 2 : Mbo aku pak, coba tanya guru yang lain. Are’e nengendi yoo, kok jam segini belum datang. „beliau di mana yaa, kok jam segini belum datang‟. Tuturan kalimat tersebut, mengalami peristiwa campur kode, yakni pada tuturan “Are’e nengendi yoo, kok jam segini belum datang”. Kata “Are’e nengendi yoo”, dalam bahasa Indonesia memiliki terjemahan “beliau di mana yaa”. Campur kode ini terjadi pada saat guru menanyakan kepala sekolah kepada guru yang lain. Penutur menggunakan bahasa Jawa karena faktor kebiasaan memakai bahasa daerah. Penutur dan mitra tutur merupakan penutur asli bahasa Jawa. Campur kode tersebut terjadi karena ada klausa dalam bahasa Jawa yang bercampur ke dalam bahasa Indonesia. Tuturan tersebut terjadi di kantor. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Penutup Kesimpulan Berdasarkan data yang ada, ternyata tuturan di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka termasuk penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual menyebabkan terjadinya campur kode bahasa daerah dengan bahasa Indonesia di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka. Campur kode yang terjadi pada situasi formal da nonformal pada saat menyampaikan pesan untuk menegaskan informan dalam berkomunikasi antara penutur. Bentuk campur kode dalam peristwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka berupa: 1) Campur kode berbentuk kata; 2) Campur kode berbentuk frasa; dan 3) Campur kode berbentu klausa. Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode yaitu persamaan latar belakang bahasa dan budaya atau bahasa ibu, perbedaan latar belakang bahasa dan budaya atau bahasa ibu tetapi mereka mengerti komunikasi dalam latar belakang tiga bahasa ibu yang berbeda, ingin mudah dipahami dan memahami, serta faktor kebiasaan menggunakan bahasa daerah dan lingkungan yang sama. Saran Berdasarkan hasil penelitin mengenai campur kode dalam peristiwa komunikasi di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Kabangka ada beberapa saran yang perlu dikemukakan dala kaitannya denga penelitian ini, antara lain: 1) Di harapkan penelitian seanjutnya dapat meneliti campur kode dengan penggunaan bahasa yang lebih beragam; 2) Penelitian selanjutnya diharapkan mencakup faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode; 3) Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam memantapkan pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa daerah sebagai materi pembelajaran muatan lokal. Daftar Pustaka Ana, Haerun. 2011. Perspektif Pembelajaran Bahasa Indonesia. Kendari: FKIP Unhalu. Chaer, Abdul & Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineke Cipta. Hestiyana. 2013. Undas Jurnal Hasil Penelitian Bahasa dan Sastra Volume 9, No. 1 (Campur Kode Bahasa Indonesia dan Bahasa Banjar Pada Status Facebook Kalangan Remaja Kota Banjarmasin). Banjarbaru: Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan. Ino. 2015. Sintaksis Bahasa Indonesia. Kendari: PBS FKIP. Lukman. 2012. Vitalitas Bahasa Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa. Makassar: De La Macca. Maemunah, Emma. 2013. Jalabahasa Jurnal Ilmiah Kebahasaan Volume 9, No. 1 (Campur Kode Dalam Ala Chef Bersama Farrah Quinn). Semarang: Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Marafad, La Ode Sidu, & Sari, Nirmala. 2012. Mutiara Bahasa. Yokyakarta: Pustaka Puitika. Pateda, Mansoer.1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa. Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran Bahasa. Yokyakarta: Gadja Mada University Press. Suhardi, Basuki. 2009. Pedoman Penelitian Sosiolinguistik. Jakarta: Pusat Bahasa. Setiawan, Benny A. 2008. Salingka Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra volume 5, No. 2 (Campur Kode dalam Sinetron Suami-suami Takut Istri). Padang: Balai Bahasa Padang. Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran Kedwibahasawan. Bandung: Angkasa Bandung. Umar, Azhar & Delvi Napitupulu. 1994. Sosiolinguistik dan Psikolinguistik. Medan: Pustaka Widyasarana. Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296