Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 Eni Novida Ginting ISSN: 0216-9290 Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia EVI NOVIDA GINTING Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760 Diterima tanggal 17 Mei 2011/Disetujui tanggal 24 Juni 2011 Since the political reform, there is an agenda to give Affirmative action for women in politics. The method is providing 30% quota for women. Is there any impact to the increase number of women in parliament? This study describes the number of women in parliament (2004 &2009). This study uses the behavioral approach. The data was collected with the study of literature and documents. The study found that the number of women in parliament increased after the 2009 elections. This is wonderful information, but this increase is still less. In 2004 there are 550 DPR RI seats, and the number of women only 61 or 11.09%. However, In 2009, the number of women increased to 18%. In DPD (the 2004 election), there are 27 member or 21,09%. Then after 2009 election the number of women increased to 27% member. The finding indicates that voters are not allergic to women candidates. In addition, women as candidates has demonstrated its power to get votes. Keywords: Affirmative action, general election, representation of women. Pendahuluan Laki-laki mendominasi arena politik, lakilaki memformulasikan aturan permainan politik; dan laki-laki mendefinisikan standar untuk evaluasi. Keberadaan model yang didominasi laki-laki menyebabkan apakah perempuan menolak politik secara keseluruhan atau menolak politik bergaya laki-laki. Awal abad ke-21, lebih dari 95% negara didunia menjamin dua hak demokratik perempuan yang paling mendasar: hak memilih (right to vote) dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for election). Selandia Baru adalah negara pertama yang memberikan kepada perempuan hak suara pada tahun 1893; dan Finlandia adalah negara pertama yang mengadopsi kedua hak demokratik paling mendasar tersebut pada tahun 1906.92 Selanjutnya perkembangan partisipa92 Nadezhda Shvedova, Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan dalam Parlemen da- si perempuan dalam politik mulai mendapatkan perhatian di berbagai Negara. Menurut McClosky, Nie dan Verba, Partisipasi politik merupakan kegiatan warga Negara yang legal yang sedikit banyak langsung mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka. Setiap anggota masyarakat berpartisipasi dalam proses politik melalui pemilu terdorong oleh keyakinan bahwa, dengan pemilu, kepentingan mereka terakomodasi dalam lembaga politik yang ada atau sekurangkurangnya diperhatikan. Menurut Miriam Budiardjo Partisipasi pilitik merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin Negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerinlam Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, (Jakarta: IDEA, 2002), hal. 20. 113 Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 Eni Novida Ginting tahan (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu politik atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya.93 Tingkat representasi yang tidak setara dalam badan legislatif mengartikan bahwa representasi perempuan, yang sepatutnya menjadi suatu fungsi bagi demokrasi, ternyata lebih berfungsi untuk mempertahankan status quo.94 Di banyak Negara secara de jure terdapat banyak kendala, baik yang disebabkan oleh hukum (peraturan) yang ada tidak ditaati maupun bahkan yang tidak ada hukumnya sama sekali. Sebagai contoh perbandingan, bahwa hukum Argentina mengenai kuota mengharuskan semua partai untuk menominasikan 30 persen perempuan dalam posisi yang dapat dipilih dalam daftar kandidat mereka. Tanpa hukum yang demikian, jumlah anggota parlemen perempuan tidak mungkin akan meningkat sebagai akibat dari kekalahan partainya: sebagai contoh kasus yang terjadi pada Pemilu di Irlandia pada tahun 1997. Penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan faktor-faktor sosial, struktur politiklah yang memainkan peran yang lebih menentukan dalam rekrutmen anggota parlemen perempuan. Sebagai contoh, sistem pemilihan didasarkan pada representasi proporsional, telah menghasilkan tiga hingga empat kali lebih banyak perempuan yang terpilih di Negaranegara dengan kultur politik yang sama, seperti Jerman dan Australia.95 Gambaran ini tidak bisa digeneralisasikan kepada Indonesia yang dalam pemilihan umum menggunakan sistem representasi proporsional juga, bagi kasus Indonesia sendiri faktor sosial juga mempunyai peran yang dominan dalam representasi perempuan di politik terutamanya peningkatan jumlah perempuan di parlemen. Bagi Indonesia sendiri peningkatan representasi perempuan menjadi sebuah agenda yang penting mengingat jauh 93 “Through Partnership Between Men and Women in Politics” [Artikel online], (Inter-Parlementary Union), tersedia di: www.ipu.org/wmn-e/world.htm; diunduh 8 Mei 2011 Pukul 11.30 Wib. 94 Nadezhda Shvedova, op.cit., hal. 20. 95 Loc.cit. 114 ISSN: 0216-9290 Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia tertinggalnya baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif. Akan tetapi gerakan feminisme, yang menganggap bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki dan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki (atau yang lebih sering kita kenal kemudian dengan gerakan emansipasi) kemudian mengumandang di seluruh negara di dunia. Gerakan ini di Indonesia telah muncul pada abad ke 18 yang dipelopori oleh RA Kartini melalui hak yang sama terhadap pendidikan pada anak perempuan pada saat itu. Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan/The Enlightenment, di Barat oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan. Dan sampai dengan saat ini semakin banyak organisasi-organisasi yang bergerak dalam tujuannya untuk mendorong partisipasi politik perempuan. Di Indonesia, gerakan peningkatan partisipasi politik perempuan kemudian diarahkan pada bagaimana kemudian partisipasi politik perempuan dapat dilindungi dan diakomodir oleh undang-undang. Penerapan kuota 30% untuk keterwakilan perempuan dalam legislatif merupakan langkah yang sangat maju dalam mendukung partisipasi politik perempuan. Hal ini akan dapat melindungi kepentingan perempuan dalam memperoleh hak-hak politiknya. Akan tetapi kenyataannya sampai dengan saat ini keterwakilan 30% tersebut belum dapat dikatakan berhasil, karena partai politik masih memandang sebelah mata terhadap perempuan, dan hanya mengusung perempuan dalam daftar calon anggota legislatif sebagai pelengkap syarat undang-undang saja. Mengamati perkembangan partisipasi politik perempuan di Indonesia dapat dipengaruhi: faktor budaya Patriarki yang menganggap bahwa politik identik dengan laki-laki, sehingga tidak pantas bagi perempuan untuk masuk ke dalam arena politik. Faktor kedua rendahnya akses perempuan terhadap informasi dan penggunaan media sehingga pengetahuan umum perempuan tertinggal dari lakilaki padahal media sangat penting bagi pembentukan opini para pengambil keputusan dan media juga sering menggambarkan perempuan sebgai objek bukan sebagai subjek, faktor ekonomi dan pendidikan juga sebagai Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 Eni Novida Ginting penghambat bagi representasi perempuan di politik, kuantitas perempuan yang siap baik secara ekonomi maupun inetelektual masih kurang dibandingkan laki-laki, hal ini akibat dari budaya patriarkhi dan juga rendahnya keinginan perempuan untuk bersaing dengan laki-laki. Perempuan yang mempunyai intelektual lebih cenderung memilih dalam peran-peran dalam usaha yang bergerak dalam advokasi dan dunia pendidikan. Faktor kurangnya kepercayaan diri perempuan untuk mencalonkan diri. Faktor keluarga juga sebagai hambatan bagi perempuan untuk masuk ke dalam arena politik, hal ini dialami oleh seorang Anggota Parlemen dari India dimana beliau mengatakan bahwa: “sangat sulit bagi perempuan untuk memutuskan masuk dalam dunia politik. Begitu ia menetapkan pilihan tersebut, maka ia harus mempersiapkan suami, anak dan keluarganya.96 Hal ini menjadi suatu beban yang lebih bagi perempuan mengingat penerimaan seorang suami terhadap istri di politik berbeda jauh dengan seorang istri bila suaminya bekerja di arena politik. Mindset laki-laki yang belum berubah tentang perempuan yang bekerja di arena politik dan bagaimana laki-laki harus mendukung perempuan sebagaimana sebaliknya yang dilakukan oleh perempuan masih menjadi kendala bagi perempuan untuk berkarir diluar rumah dan mencapai kesuksesan yang sama dengan laki-laki. Rendahnya representasi perempuan dalam partai politik merupakan hambatan secara langsung dalam rekrutmen calon legislatif untuk bersaing dalam pemilihan umum. Rendahnya kesadaran gender dan keadilan membuat kesadaran pimpinan laki-laki dari partai politik menjadikan pengurus partai selalu didominasi oleh laki-laki. Sehingga perempuan tidak mendapatkan dukungan dari partai politik. Kenyataan ini dapat dilihat dari data dimana kurang dari 11% dari pimpinan partai di seluruh dunia adalah perempuan.97 Menurut Sigmund Neuman partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelakupelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan ISSN: 0216-9290 Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan bebrapa kelompok lain yang mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi sosial dengan lembagalembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkan dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas.98 Mirriam Budiardjo mengemukakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu melaksanakan kebijakan mereka dan menjalankan fungsinya sebagai berikut:99 (1).Penyampaian arus informasi; (2).Artikulasi kepentingan; (3).Agregasi kepentingan; (4).Sosialisasi politik; (5).Rekrutmen Politik; (6).Pengatur konflik. Dari beberapa fungsi tersebut yang terkait langsung dalam representasi perempuan dalam politik adalah fungsi rekrutmen, dimana fungsi tersebut dijalankan oleh partai politik sebagai sebuah proses partai politik mencari anggota dan dalam rangka unutk seleksi kepemimpinan. Bagaimana proses dan mekanisme dalam menjalankan fungsi rekrutmen ini sangat berpengaruh terhadap tingkat representasi perempuan di dalam politik dan parlemen khususnya. Sebelum menyerahkan nama-nama calon legislatif yang akan dipilih dalam pemilu, partai politik terlebih dahulu melakukan seleksi di dalam internal partai politiknya. Berbagai cara dan mekanisme dijalankan oleh partai-partai. Bagaimana rekrutmen dijalankan, seberapa luas keterlibatan masyarakat, desentralisasi dan orientasi partai politik adalah bagian yang sangat penting dan menentukan terhadap siapa yang akan terjaring dan masuk dalam nominasi calon legislatif. R. William Liddle mengatakan bahwa dalam sistem pemerintahan demokratis, pemilu sering dianggap sebagai penghubung antara prinsip kedaulatan rakyat dan praktek peme98 96 97 Ibid., hal. 25. Ibid., hal. 32. Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: PT Gramedia, 1982), hal. 52. 99 Ibid., hal. 14. 115 Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 Eni Novida Ginting rintahan oleh sejumlah elite politik. Setiap warga negara yang telah dianggap dewasa dan memenuhi persyaratan menurut undangundang, dapat memilih wakil-wakil mereka di parlemen, termasuk para ppimpinan pemerintahan. Kepastian bahwa hasil pemilihan itu mencerminkan kehendak rakyat diberikan oleh seperangkat jaminan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemilihan umum100. Selanjutnya Mac Iver mengungkapkan bahwa dengan pemilihan umum saja rakyat sudah dibatasi dalam pilihannya. Umumnya mereka memilih antara calon-calon yang tidak diajukan mereka sendiri.organisasi partai menguasai bagian yang terbesar dari seleksinya. Partai hanya memberikan kepada rakyat pemutusan antara calon-calonnya dan calon-calon partai lain. Kandidat yang “merdeka” sangat dipersukar dan sekurang-kurangnya ia membaurkan persoalan. Seleksi oleh partai jauh daripada suatu proses yang demokratis. Ia dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan; jasa yang telah diberikan dalam hal keuangan atau dengan cara lain kepada organisasi, tentang gengsi yang melekat pada golongan-golongan keluarga yang terkenal, tentang kesediaan calon untuk mentaati perintah partai dan tentang keinginan-keinginan daripada pemimpin-pemimpin inti pusat partai yang mengendalikan partai.101 Sistem pemilu menawarkan berbagai kemungkinan yang mempengaruhi kondisi perempuan dan politik. Upaya meningkatkan peran tersebut harus didukung dengan sistem kepartaian yang menjamin perempuan mendapatkan kuota dalam daftar calon partai politik. Harus dimengerti bahwa dampak penetapan daftar calon partai cukup besar, sebagai sarana untuk menyeimbangkan presentasi perempuan terutama jika dalam daftar tertutup.102 ISSN: 0216-9290 Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia Dalam pemilihan umum dikenal dua tipe-tipe sistem pemilu, yakni organis dan mekanis. Penempatan kursi dalam lembaga perwakilan dengan melalui pengangkatan atau penunjukkan kepada kelompok fungsional yang mewakili organisasi fungsionalnya atau etnis atau daerah dan yang disepakati dalam undang-undang disebut sebagai sistem pemilihan organis. Sedangkan sistem pemilihan mekanis adalah sistem pemilihan yang melalui pemilihan umum, sistem pemilihan mekanis dilaksanakan dengan 2 (dua) pemilihan umum yakni: sistem distrik dan sistem proporsional. Sistem distrik disebut juga sebagai sistem pemilihan mayoritas atau single-member constituency. Dalam tiap 1 (satu) distrik memilih hanya satu wakil untuk duduk dalam parlemen dari sekian calon untuk distrik tersebut, yang berarti yang memperoleh suara terbanyak (mayoritas) dalam pemilihan bersangkutan. Kelemahan sistem ini dalam mengakomodir perempuan karena adanya distorsi yang kurang menguntungkan bagi partai kecil ataupun kelompok minoritas karena presentase kursi lebih kecil dari persentase suara. Sedikitnya jumlah kursi yang diperebutkan membuat tingkaat kompetisi juga semakin ketat, yang mana menjadikan perempuan semakin sulit untuk terpilih. Sedangkan dalam sistem representasi proporsional, jumlah wakil yang dipilih untuk suatu distrik ditentukan oleh presentase suara sah yang diraih oleh partai atau kandidat peserta pemilu dalam distrik pemilihan.103 Dari sistem perwakilan politik terdapat lebih dari satu wakil dalam setiap daerah pemilihan yang diperebutkan. Sehingga lebih bisa mengakomodir berbagai kelompok dan golongan di dalam masyarakat yang heterogen. Studi ini melihat perkembangan jumlah perempuan di lembaga legislatif hasil pemilu 2004 dan 2009. 100 F. S. Swantoro, “Kampanye dan Profil Pemilu 1997”, dalam Analisis CSIS (Edisi Maret-April 1997), hal. 181. 101 Aurel Croissant, Gabriele Burns, Marei John (eds), Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur, (Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung, 2003), hal. 3. 102 Ani Soetjipto, “Kuota 30 % Perempuan: Langkah Awal Bagi Partisipasi Politik Perempu- 116 an di Indonesia”, Jurnal Ilmu Politik No 19 (Tahun 2003, AIPI), hal. 65. 103 “Tinjauan Singkat Tentang Sistem Pemilu yang Diusulkan dalam Rancangan Amandemen Terhadap Undang-Undang nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilu”[Artikel online], tersedia di: www.cetro.or.id/mpr/sistempemilu.pdf; diunduh 23 Juli 2005 Pukul 20.25 Wib. Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 Eni Novida Ginting Pendekatan dan Metode Studi ini menggunakan pendekatan behavioral. Pengumpulan data data dilakukan melalui studi pustaka dan dokumen. Analisis dilakukan menggunakan analisis perbandingan jumlah perempuan di lembaga legislatif/parlemen hasil pemilu 2004 dan 2009 di Indonesia. Rekrutmen Legislatif dan Sistem Pemilihan Fakta bahwa representasi perempuan masih rendah dan perempuan melalui berbagai gerakan berusaha terus menerus berusaha mencari jalan untuk meningkatkan representasi mereka. Bagaimana representasi perempuan dapat meningkat dengan lebih cepat. Sistem pemilihan yang mana yang lebih baik bagi perempuan? Dan bagaimana seharusnya sistem rekrutmen yang efektif dan efisien bagi perempuan sehingga tidak dalam jumlah tapi kualitas juga menjadi ukuran. Richard E Matland mengatakan bahwa ada tiga tahap bagi perempuan untuk melalui proses rekrutmen, tahap pertama adalah menyeleksi diri sendiri yang mana dalam tahap ini seseorang memutuskan bahwa ia ingin mencalonkan diri untuk jabatan politik. Penilaian perempuan atas kesempatannya dan keinginannya untuk mencalonkan diri akan dipengaruhi oleh besarnya kesempatan untuk mencalonkan diri, bagaiman ramahnya lingkungan politik yang akan mendukung pencalonnannya, dan taksiran mengenai sumberdaya yang dapat dia manfaatkan untuk membantu kampanyenya jika dia memutuskan untuk mencalonkan diri. Salah satu faktor penting yang secara serius dapat membantu meningkatkan jumlah perempuan yang berkaitan dengan pencalonan dirinya adalah tahap dimana suatu Negara mempunyai organisasi atau gerakan perempuan yang secara khusus memfokuskan kegiatannya pada isu-isu perempuan organisasi-organisasi perempuan memberi perempuan pengalamannya dalam lingkungan publik, membantu kepercayaan dirinya, dan memberikan dukungan jika seseorang perempuan memutuskan untuk mencalonkan diri untuk dipilih. Seorang perempuan yang dapat menarik sumberdaya dari ISSN: 0216-9290 Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia suatu organisasi perempuan untuk membantu dukungan kampanyenya lebih memiliki kemungkinan untuk mencalonkan diri dan lebih mungkin dilihat sebagai kandidat yang aktif oleh aparatur partai.104 Tahap selanjutnya adalah seleksi yang dilakukan oleh partai. Peran partai politik dalam seleksi ini merupakan peran yang sangat krusial mengingat bahwa dalam undang-undang maupun peraturan tentang pemilihan umum pengusulan atau pengajuan calon legislatif melalui partai politik. Proses seleksi terhadap calon sangat bergantung kepada bagaimana proses ini dilakukan dan seberapa luas partisipasi dan keterbukaan yang diberikan partai. Beberapa Negara di dunia seperti Amerika Serikat dan kanada yang memberikan kesempatan besar terhadap partisipasi masyarakat yaitu melalui rapat-rapat semua anggota partai. Sedangkan di Jepang dengan sistem dimana pemimpin partai, para pemimpin faksi nasional, atau eksekutif nasional memilih kandidat.105 Pertimbangan lainnya adalah untuk membedakan antara sistem-sistem yang berorientasi patronase dengan sistem yang birokratik.106 Dalam sistem yang berorientasi birokratik, seleksi kandidat dilakukan secara rinci, eksplisit, sesuai standard an selanjutnya tidak mempertimbangkan mereka yang berada dalam posisi kekuasaan. Otoritas didasarkan pada prinsip legislatif. Dalam suatu sistem yang didasarkan pada patronase, kemungkinan tidak ada peraturan yang jelas dan bahkan ketika sistem ini dijalankan kemungkinan muncul perbedaan yang menyertainya. Otoritas didasarkan pada kepemimpinan tradisional atau karismatik, dari pada otoritas legalrasional. Loyalitas terhadap mereka yang berada dalam kekuasaan di partai adalah yang terpenting. Norma-norma dan peraturanperaturan partai akan mempengaruhi cara partai melaksanakan proses nominasi yang 104 Richard E. Matland, Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan: Rekrutmen Legislatif dan Sistem Pemilihan dalam Parlemen dalam Perempuan di Parlemen: bukan sekedar jumlah, (Jakarta: IDEA, 2002), hal. 70-71. 105 Ibid., hal. 72. 106 Ibid., hal. 74. 117 Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 Eni Novida Ginting sebenarnya. Bagi perempuan, sistem yang mendasarkan pada birokrasi, yang menggabungkan peraturan-peraturan yang menjamin representasi perempuan merupakan suatu kemajuan yang menentukan. Bahkan ketika tidak ada peraturan tegas yang menjamin perwakilan, memiliki prosedur birokratik yang jelas mengenai kandidat yang dipilih, dapat menjadi keuntungan yang nyata bagi perempuan. Peraturan yang jelas dan terbuka memberi perempuan kesempatan untuk mengembangkan strategi untuk memajukan peraturan-peraturan itu. Ketika peraturan itu tidak tertulis, maka akan menjadi lebih sulit untuk merencanakan strategi untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan.107 Untuk kasus Indonesia, hampir didominasi dengan rendahnya komitmen partai politik dalam membuat rumusan-rumusan kebijakan untuk memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan agar terpilih didalam fungsionaris partai dan anggota parlemen. Cara partai-partai politik menyusun daftar calon mereka untuk jabatan pilihan, barapa banyak perempuan dimasukkan dalam daftar calon dan apakah perempuan ditempatkan pada posisi-posisi yang “dapat dipilih”. Juga tidak ada strategi terpadu untuk menarik lebih banyak perempuan ke dalam partai politik. Perempuan tidak terdorong, dan ada kekosongan program untuk mensosialisasikan dan melatih anggota partai perempuan untuk menjadi kader partai yang memenuhi syarat dan berkemampuan tinggi.108 Partai politik tidak melihat isu perempuan dalam partai politik dan peningkatan representasi perempuan dalam parlemen sebagai isu yang strategis. Hal ini dapat dilihat bahwa besarnya jurang antar jumlah perempuan dan laki-laki dalam keanggotaan dan kader partai bukanlah menjadi persoalan yang patut menjadi agenda bagi partai politik. Sehingga rekrutmen lebih banyak perempuan dan bagaimana kegiatan-kegiatan partai politik 107 Ibid., hal. 75. Francisia SSE SEDA, Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia, dalam Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, (Jakarta: IDEA, 2002), hal. 93. 108 118 ISSN: 0216-9290 Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia diarahkan pada pengembangan perempuan di dalam partai politik baik secara individu maupun dari organisasi perempuan di dalam partai menjadi sesuatu yang tidak diperhatikan. Pada Pemilu 2004 yang diatur pelaksanaanya dalam Undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD yang mana telah memasukan aturan kuota 30% bagi pengusulan calon legislatif oleh partai politik. Akan tetapi aturan tentang kuota ini tidak memiliki kekuatan memaksa bagi partai maka dalam pelaksanaanya pengusulan calon legislatif masih didominasi oleh laki-laki pada urutan daftar calon jadi. Begitu juga dalam penetapan calon terpilih yang diberikan kepada nomor urut apabila tidak ada calon yang memenuhi bilangan pembagi pemilih. Banyaknya partai politik sebagai peserta dan terbukanya daftar calon tidak membuat perempuan menjadi mudah untuk terpilih. Bila mekanisme rekrutmen calon dan penyusunan daftar calon tidak diatur agar perempuan dinominasikan oleh partai. Hasilnya tidak ada perubahan signifikan terhadap representasi perempuan di parlemen. Selanjutnya pada pemilu 2009 dengan undang-undang yang baru dimana menerapkan kewajiban partai politik untuk kuota 30% bagi pengusulan calon legislatif dengan daftar calon terbuka dan juga menerapkan urutan nama dalam daftar calon setiap 3 (tiga) calon diharuskan ada 1 (satu) calon perempuan, sehingga mampu mengangkat perempuan lebih banyak berada pada nomor urut yang tersebar. Menurut saragih, masalah pemilihan umum dapat digolongkan pada dua hal pokok di atas, yakni: (1).Bagaimana melaksanakan sistem yang sudah ada aturan-aturannya secara umum (diakui dan dianut oleh umumnya negara-negara demokrasi konstitusional). Ini sering disebut sebagai electoral laws yang mengatur sistem pemilihan umum dan aturan yang menata bagaimana pemilihan umum dijalankan, bagaimana distribusi hasil pemilu ditetapkan dan sebagainya; (2).Bagaimana mekanisme pelaksanaan suatu pemilihan umum, yang biasa disebut dengan electoral process ini ditentukan misalnya siapa panitia, Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 Eni Novida Ginting penyelenggara pemilu, partai/organisasi peserta pemilu, penentuan calon-calon, cara dan tempat berkampanye, kotak suara, tempat dan jumlah TPS, saksi, perpindahan pemilih dan sebagainya.109 Pengaturan tentang partai politik dan pemilihan umum (electoral laws) dapat direkayasa untuk kepentingan-kepentingan yang ingin dicapai oleh suatu negara. Dalam hal peningkatan representasi perempuan di parlemen maka penerapan tindakan semantara (affirmative action) bisa dilakukan sepanjang dibutuhkan. Bagaimana perempuan bisa memenuhi daftar calon maka yang terlebih dahulu perlu diatur dalam undang-undang partai politik adalah mekanisme rekrutmen anggota partai dan komposisi fungsionaris partai politik yang mana dapat meningkatkan jumlah dan kualitas perempuan dalam partai politik. Pemberlakuan tindakan sementara ini sangat perlu dilakukan sepanjang jumlah perempuan dalam partai politik baik sebagai anggota maupun fungsionaris partai tidak bisa menjadikan perempuan dalam posisi yang pantas untuk diperhitungkan baik dalam segi jumlah maupun kualitas, sehingga dalam proses seleksi dalam internal partai perempuan tidak dimarginalkan. Kekuatan ini perlu mendapatkan tempat di partai politik karena partai politik lah yang menjadi pintu bagi perempuan untuk dicalonkan dan dipilih oleh pemilih. ISSN: 0216-9290 Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia karena parpol nantinya akan berkompetisi memperebutkan suara pemilih perempuan dalam pemilu yang jumlahnya lebih dari 51 persen.110 Representasi Proporsional Daftar terbuka merupakan sistem yang inklusif, memungkinkan badan legislatif terdiri dari wakil yang berasal dari berbagai macam kekuatan politik, termasuk kelompok minoritas dalam masyarakat. Representasi proporsional daftar menghasilkan keragaman dalam nominasi kandidat, dan membantu terpilihnya kandidat dari kelompok minoritas. Contohnya proporsi anggota legislatif perempuan biasanya lebih tinggi di bawah sistem-sistem representasi proporsional.111 Sistem proporsional daftar terbuka lebih memungkinkan perempuan untuk dipilih. Untuk itu sistem kuota tetap (fixed kuota) dapat diterapkan dalam penyusunan daftar calon legislatif yang diatur dalam undang-undang pemilu. Misalnya ketentuan dalam Undang-undang pemilu dapat menetapkan partai politik harus mencantumkan sedikitnya 50% kandidat perempuan dalam daftar yang diajukan.para kandidat perempuan juga harus diletakkan dalam urutan yang berselang-seling, sehingga memungkinkan mereka terpilih.112 Perempuan di Parlemen Indonesia Hasil Pemilu 2004 dan 2009 Partai politik memiliki tugas berat mencari dan menyiapkan kader perempuan yang layak dinominasikan. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah partai politik berlomba memberi insentif bagi perempuan agar bergabung dalam partai. Program seperti memberlakukan tindakan affirmative action untuk perempuan dalam kepengurusan partai di berbagai tingkatan, mengalokasikan anggaran pendidikan politik bagi perempuan, perekrutan caleg perempuan serta menominasikannya dalam calon tetap legislatif; adalah alternatif dari insentif yang perlu dipikirkan partai politik. Semua tindakan ini diperlukan Menurut data yang ada bahwa perkembangan partisipasi politik perempuan, dalam konteks menjadi anggota legislatif baik di tingkat pusat maupun kabupaten/kota dan provinsi seharusnya tinggi jika dilihat dari data jumlah pemilih perempuan yang ada. Data keterwakilan Perempuan di Legislatif dari hasil Pemilihan Umum tahun 2004 antara lain: (1).Berdasarkan hasil KPU, dari 550 kursi DPR, hanya 61 orang perempuan yang berhasil terpilih (11,09%).Sedikit kemajuan dari angka di tahun 1999 ( 9%); (2).Jumlah ini lebih kecil dari total pencalonan perempuan sebagai anggota legislatif yang mencapai 32,2% atau 2507 dari 7756 caleg; (3).Hanya 109 110 Paimin Napitupulu, Peran dan Pertanggungjawaban DPR Kajian di DPRD Provinsi DKI Jakarta, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hal. 7172. Ani Soetjipto, op.cit., hal. 68. Peter Schroder, Strategi Politik, (Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung, 2003), hal. 313. 112 Ibid., hal. 67. 111 119 Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 Eni Novida Ginting ISSN: 0216-9290 Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia 9 Parpol dari 17 parpol yang memiliki kursi di DPR, mempunyai wakil perempuan. Partai Golkar menempatkan wakil perempuan terbanyak (18 orang), sedang paling sedikit adalah PBR dan PDS (masing-masing 2 wakil perempuan). Tidak ada wakil perempuan dari PBB yang memperoleh 11 kursi di DPR; (4).Mengacu pada perolehan kursi Golkar dan PDIP, jumlah perempuan dari dua parpol ini sangat tidak signifikan, rata-rata kurang dari 15% (Golkar 14,8% dan PDIP 11%); (5).Nominasi perempuan di parpol ternyata tidak ada korelasi dengan perempuan yang terpilih. Tabel 1 Wakil Perempuan di DPR –RI Tahun 2004 Parpol Golkar PDIP PPP Partai Demokrat PKB PAN PKS PBR PDS PR LK 18 (14) 12 (11) 3 (5,17) 6 (10,5) 110 (86) 97 (89) 55 (94,82) 51 (89,5) Jumlah Kursi 128 109 58 57 7 (13,46) 7 (13,46) 3 (6,66) 2 (15,38) 3 (25) 45 (86,53) 45 (86,53) 42 (93,33) 11 (84,61) 9 (75) 52 52 45 13 12 Sumber: KPU dan diolah dari berbagai sumber. Untuk tingkat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada tahun 2004 dapat kita lihat dari fakta dan data yang ada, antara lain: (1).Jumlah perempuan anggota DPD adalah 27 orang atau 21, 09% dari total seluruh anggota DPD; (2).Angka ini lebih tinggi dari total caleg DPD yang hanya 8,83% (83 dari 940 orang); (3).Berarti dari pencalonan perempuan sebagai anggota DPD, sejumlah 32,5% berhasil terpilih (27 dari 83 orang) atau hampir sepertiga dari keseluruhan calon anggota DPD perempuan terpilih menjadi anggota DPD; (4).Di 4 provinsi – Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi utara, 50 % atau lebih anggota DPD yang terpilih adalah perempuan; (5).Dilihat dari urutan perolehan suara, di hampir 50 % provinsi perempuan merupakan kandidat terpopuler pertama dan kedua. Artinya pemilih tidak alergi pada kandidat perempuan, dan perempuan sebagai kandidat juga telah menunjukkan kekuatan untuk mendapatkan dukungan suara. Dari Tabel 2 dapat dilihat 9 Provinsi tidak memili- 120 ki wakil perempuan sebagai anggota DPD (Sumut, Sumbar, Jatim, NTT, NTB, Sultra, Sulsel, Jabar, Gorontalo). Tabel 2 Wakil Perempuan di DPD No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Provinsi NAD Bengkulu Riau Jambi Sumsel Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Tengah DI Yogyakarta Banten Bali Kalbar Kaltim Kalteng Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat Perempuan 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 1 1 1 1 1 Sumber : KPU dan diolah dari berbagai sumber Tampak jelas dari data tersebut (Tabel 3), walaupun ada peningkatan persentase keterwakilan perempuan di DPR maupun Di DPRD, akan tetapi masih sangat kecil, dan bila dilihat dari kuota 30% menurut amanat undang-undang masih sangat jauh. Pada Pemilu 2004 yang diatur pelaksanaanya dalam Undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD yang mana telah memasukan aturan kuota 30% bagi pengusulan calon legislatif oleh partai politik. Akan tetapi aturan tentang kuota ini tidak memiliki kekuatan memaksa bagi partai maka dalam pelaksanaanya pengusulan calon legislatif masih didominasi oleh laki-laki pada urutan daftar calon jadi. Begitu juga dalam penetapan calon terpilih yang diberikan kepada nomor urut apabila tidak ada calon yang memenuhi bilangan pembagi pemilih. Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 Eni Novida Ginting Tabel 3 Wakil Perempuan di DPRD Provinsi seluruh Indonesia Tahun 2004 Provinsi PR LK NAD Sumut Jatim NTB Bali Sumbar Sumsel Kalbar Lampung Sulut Sulsel Jateng Banten Yogyakarta NTT Jambi 4 (5%) 3 (3%) 16 (16%) 4 (7%) 4 (7%) 5 (9%) 7 (11%) 3 (5%) 6 (9%) 8 (17%) 5 (7%) 15 (15%) 4 (5%) 5 (9%) 5 (9%) 6 (13%) 65 (95%) 82 (97%) 84 (84%) 51 (93%) 51 (93%) 50 (91%) 58 (89%) 52 (95%) 58 (81%) 37 (83%) 70 (93%) 85 (85%) 71 (95%) 50 (91%) 50 (91%) 39 (87%) Jumlah Kursi 69 85 100 55 55 55 65 55 65 45 75 100 75 55 55 45 Sumber: KPU, dan diolah dari berbagai sumber Banyaknya partai politik sebagai peserta dan terbukanya daftar calon tidak membuat perempuan menjadi mudah untuk terpilih. Bila mekanisme rekrutmen calon dan penyusunan daftar calon tidak diatur agar perempuan dinominasikan oleh partai. Hasilnya tidak ada perubahan signifikan terhadap representasi perempuan di parlemen. Demikian juga pada pemilu 2009 dengan undang-undang yang baru dimana menerapkan kewajiban partai politik untuk kuota 30% bagi pengusulan calon legislatif dengan daftar calon terbuka dan juga menerapkan urutan nama dalam daftar calon setiap 3 (tiga) calon diharuskan ada 1 (satu) calon perempuan, sehingga mampu mengangkat perempuan lebih banyak berada pada nomor urut yang tersebar. Hasil perolehan kursi untuk perempuan dalam parlemen pada pemilu 2009 adalah sebagai berikut: untuk perempuan di DPR RI : 18 %; Perempuan di DPD 27% dan DPRD Propinsi: 14,34% (17) jumlah ini mengalami peningkatan dari pemilu 2004 akan tetapi belum sebagaimana yang diharapkan. Adanya pemaksaan kepada partai politik untuk menominasikan perempuan dengan persentase 30% dalam daftar caleg dan susunan daftar caleg yang diatur memang berimplikasi terhadap peningkatan jumlah perempuan dalam daftar-daftar caleg. Selanjutnya perempuan tetap harus berkompetisi dengan laki-laki dalam memperoleh suara dari pemilih. Dalam kompetisi ini partai politik tidak mempunyai tanggung jawab dalam hasil akhir, karena ISSN: 0216-9290 Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia partai tidak bisa mengontrol pemilih dalam memberikan suaranya. Penutup Dari data-data yang di peroleh dapat disimpulkan bahwa partisipasi perempuan untuk menjadi anggota legislatif masih sangat minim dan perkembangannya tidak signifikan. Hasil perolehan kursi untuk perempuan dalam parlemen pada pemilu 2009 mengalami peningkatan dari pemilu 2004. Namun jumlah ini masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Tahun 2004 dari 550 kursi DPR, hanya 61 orang perempuan yang berhasil terpilih (11,09%). Pada tahun 2009, kursi untuk perempuan dalam parlemen di DPR RI sebesar 18 %. Untuk lembaga DPD hasil pemilu tahun 2004, jumlah perempuan anggota DPD adalah 27 orang atau 21, 09%, dan hasil pemilu di tahun 2009 sebesar 27%. Artinya dapat dikatakan pemilih tidak alergi pada kandidat perempuan. Selain itu, perempuan sebagai kandidat juga telah menunjukkan kekuatan untuk mendapatkan dukungan suara. Daftar Pustaka Budiardjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PT Gramedia. Croissant, Aurel Gabriele Burns, Marei John (eds). 2003. Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung. Francisia SSE SEDA. 2002. Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia, dalam Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah. Jakarta: IDEA. Matland, Richard E.. 2002. Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan: Rekrutmen Legislatif dan Sistem Pemilihan dalam Parlemen dalam Perempuan di Parlemen: bukan sekedar jumlah. Jakarta: IDEA. Napitupulu, Paimin. 2005. Peran dan Pertanggungjawaban DPR Kajian di DPRD Provinsi DKI Jakarta. Bandung: PT. Alumni. Schroder, Peter. 2003. Strategi Politik. Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung. Shvedova, Nadezhda. 2002. Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan dalam Parlemen dalam Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah. Jakarta: IDEA. Soetjipto, Ani. 2003. Kuota 30 % Perempuan: Langkah Awal Bagi Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia. Jurnal Ilmu Politik No 19 (AIPI). 121 Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 Eni Novida Ginting Swantoro, F. S.. 1997. Kampanye dan Profil Pemilu 1997, Analisis CSIS (Edisi MaretApril). _______________. (Tanpa Tahun). Through Partnership Between Men and Women in Politics [Artikel online]. Inter-Parlementary Union. Tersedia di: www.ipu.org/wmn-e/world.htm; diunduh 8 Mei 2011 Pukul 11.30 Wib. 122 ISSN: 0216-9290 Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia ___________. (Tanpa Tahun). Tinjauan Singkat Tentang Sistem Pemilu yang Diusulkan dalam Rancangan Amandemen Terhadap Undang-Undang nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilu [Artikel online]. Tersedia di: www.cetro.or.id/mpr/sistempemilu.pdf; diunduh 23 Juli 2005 Pukul 20.25 Wib.