BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Landasan Teori sangat penting dalam sebuah penelitian terutama dalam penulisan skripsi peneliti tidak bisa mengembangkan masalah yang mungkin di temui di tempat penelitian jika tidak memiliki acuan landasan teori yang mendukungnya. Dalam skripsi landasan teori layaknya fondasi pada sebuah bangunan. Bangunan akan terlihat kokoh bila fondasinya kuat, begitu pula dengan penulisan skripsi, tanpa landasan teori penelitian dan metode yang digunakan tidak akan berjalan lancar. Peneliti juga tidak bisa membuat pengukuran atau tidak memiliki standar alat ukur jika tidak ada landasan teori. Seperti yang diungkapkan Sugiyono (2012) bahwa landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar kokoh dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error). Landasan teori adalah seperangkat devinisi, konsep serta proposisi yang telah disusun rapih serta sistematis tentang variabel-variabel dalam sebuah penelitian. Landasan teori ini akan menjadi dasar yang kuat dalam sebuah penelitian yang akan dilakukan. Pembuatan landasan teori yang baik dan benar dalam sebuah penelitian menjadi hal yang penting karena landasan teori ini menjadi sebuah pondasi serta landasan dalam penelitian tersebut. Di dalam landasan teori ini ada variabel penelitian yang akan dibahas. Variabel penelitian adalah sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut kemudian ditarik kesimpulannya. Variabel penelitian dibagi menjadi 6 bagian yaitu : (1) variabel dependen atau variabel tergantung, (2) variabel dependen atau variabel bebas, (3) variabel intervening, (4) variabel moderator, (5) variabel kendali, dan (6) variabel rambang. Variabel yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah, variabel dependen dengan pembahasan “niat untuk keluar” dan variabel independen dengan pembahasan “kepuasan kerja dan komitmen organisasi”. Penulis akan membahas ke tiga variabel tersebut, yaitu : 2.1.1 Niat untuk keluar (Intention to leave) Niat untuk keluar (intention to leave) adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya (Zeffane, 2004). Menurut Bluedorn dalam Grant kecenderungan sikap et al., (2001) niat untuk keluar intention adalah atau tingkat dimana kemungkinan untuk meninggalkan organisasi seorang karyawan atau mengundurkan memiliki diri secara sukarela dari pekerjaanya. Lebih lanjut dijelaskan Mobley, Horner dan Hollingsworth, dalam Grant et al., (2001) keinginan untuk pindah dapat dijadikan gejala awal terjadinya niat untuk keluar dalam sebuah perusahaan. Intensi keluar (intention to leave) juga dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi. Niat untuk keluar dapat berupa pengunduran diri, perpindahan keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota organisasi. Robbins (256:2002), menjelaskan bahwa niat untuk keluar dapat terjadi secara sukarela (voluntary niat untuk keluar) maupun secara tidak sukarela (involuntary niat untuk keluar). Voluntary niat untuk keluar atau quit merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela disebabkan yang oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, involuntary niat untuk keluar atau pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja (employer) untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya. Menurut Harninda (1999:27), intensi niat untuk keluar pada dasarnya adalah sama dengan keinginan berpindahnya karyawan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa intensi niat untuk keluar adalah keinginan untuk berpindah, belum pada tahap realisasi yaitu melakukan perpindahan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Harnoto (2002:2) juga menyatakan intensi niat untuk keluar adalah kadar intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan, banyak alasan yang menyebabkan timbulnya intensi niat untuk keluar ini dan diantaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Pendapat tersebut juga relatif sama dengan pendapat yang diungkapkan sebelumnya, bahwa intensi niat untuk keluar pada dasarnya adalah keinginan untuk meninggalkan (keluar) dari perusahaan. Handoko (2000:322) menyatakan, ”Perputaran (niat untuk keluar) merupakan tantangan khusus bagi pengembangan sumber daya manusia. Karena kejadian-kejadian tersebut tidak dapat diperkirakan, kegiatan-kegiatan pengembangan harus mempersiapkan setiap saat pengganti karyawan yang keluar. Di lain pihak, dalam kasus nyata, program pengembangan perusahaan yang sangat baik justru meningkatkan intensi niat untuk keluar. Jackofsky dan Peter (2003) member batasan niat untuk keluar sebagai perpindahan karyawan dari pekerjaannya yang sekarang.Cascio (2005) mendefinisikan niat untuk keluar sebagai berhentinya hubungan kerja secara permanen antara perusahaan dengan karyawannya.Maier (2001) menyebutkan niat untuk keluar sebagai perpisahan antara perusahaan dan pekerja, sedangkan Scott (2007) mendefinisikan gejala niat untuk keluar sebagai perpindahan tenaga kerja dari dan ke sebuah perusahaan. Beach (2000) menggunakan kata termination, niat untuk keluar sebagai berpisah atau berhentinya karyawan dari perusahaan yang mengupahnya dengan berbagai alasan.Mobley (2006) seorang pakar dalam masalah pergantian karyawan memberikan batasan.Niat untuk keluar sebagai berhentinya individu dari anggota suatu organisasi dengan disertai pemberi imbalan keuangan oleh organisasi yangbersangkutan. Niat untuk keluar adalah keluar masuknya tenaga kerja dalam suatu perusahaan dalam kurun waktu tertentu Flippo,(133:2002). Menurut Supriyanto (2003) yang dimaksud dengan niat untuk keluar adalah proporsi jumlah anggota organisasi yang secara sukarela dan tidak meninggalkan organisasi dalam kurun waktu tertentu, umumnya dinyatakan dalam satu tahun,niat untuk keluar tidak boleh lebih dari 10% pertahun 2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi niat untuk keluar Faktor yang mempengaruhi terjadinya niat untuk keluar cukup komplek dan saling berkait satu sama lain. Diantara factor-faktor tersebut yang akan dibahas antara lain adalah usia, lama kerja, tingkat pendidikan, keikatan terhadap organisasi, kepuasan kerja dan budaya perusahaan. 2.1.2.1 Usia Maier (2001), mengemukakan pekerja muda mempunyai tingkat niat untuk keluar yang lebih tinggi daripada pekerja-pekerja yang lebih tua. Penelitianpenelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia dan intens niat untuk keluar dengan arah hubungan negatif. Artinya semakin tinggi usia seseorang, semakin rendah intensi niat untuk keluarnya (Mobley,1986) karyawan yang lebih muda lebih tinggi kemungkinan untuk keluar. Hal ini mungkin disebabkan pekerja yang lebih tua enggan berpindahpindah tempat kerja karena berbagai alas an seperti tanggung jawab keluarga, mobilitas yang menurun, tidak mau repot pindah kerja dan memulai pekerjaan di tempat kerja baru, atau karena energy yang sudah berkurang, dan lebih lagi karena senioritas yang belum tentu diperoleh di tempat kerja yang baru walaupun gaji dan fasilitas lebih besar. Gilmer (1999) berpendapat bahwa tingkat niat untuk keluar yang cenderung tinggi pada karyawan berusia muda disebabkan karena mereka masih memiliki keinginan untuk mencoba-coba pekerjaan atau organisasi kerja serta ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besaar melalui cara „coba-coba‟ tersebut. Selain itu karyawan yang lebih muda mungkin mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mendapat pekerjaan baru dan memiliki tanggung jawab terhadap keluarga lebih kecil, sehingga dengan demikian lebih mempermudah mobilitas pekerjaan.Mungkin juga mereka mempunyai harapan-harapan yang kurang tepat mengenai pekerjaan yang tidak terpenuhi pada pekerjaan-pekerjaan mereka yang sebelumnya menurut Porter dan Steer, Wanous dan Mobley, (2006). 2.1.2.2 Lama kerja U.S Civil Service Commission (2007) menyatakan bahwa pada setiap kelompok tertentu dari orang-orang yang dipekerjakan, dua pertiga sampai tiga perempat bagian dari mereka yang keluar terjadi pada akhir tiga tahun pertama masa bakti, berdasarkan data ini lebih dari setengahnya sudah terjadi pada akhir tahun pertama Mobley,(2006). Hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan adanya korelasi negatif antara masa kerja dengan niat untuk keluar, yang berarti semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan niat untuk keluarnya (Prihastuti, 2002).Niat untuk keluar lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat (Parson, 2005). Interaksi dengan usia, kurangnya sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya niat untuk keluar tersebut. 2.1.2.3 Tingkat Pendidikan Mowday (2002) berpendapat bahwa tingkat pendidikan berpengaruh pada dorongan untuk melakukan niat untuk keluar.Dalam hal ini Maier (2001) membahas pengaruh intelegensi terhadap niat untuk keluar.Dengan pendidikan yang tinggi dan jabatan yang sesuai dengan jabatan yang diinginkan maka berpengaruh terhadap tinggkat niat untuk keluar yang tinggi. 2.1.2.4 Keikatan terhadap organisasi Penelitianyang dilakukan oleh Hom (2009); Michael dan Spector (2002); Arnold dan Fieldman (2002). Menemukan bahwa keikatan terhadap perusahaan mempunyai korelasi yang negatif dan signifikan terhadap perusahaannya akan semakin kecil ia mempunyai intense untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan, dan sebaliknya. Pekerja yang mempunyai rasa keikatan yang kuat terhadap perusahaan tempat ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki (sense of belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup, serta gambaran diri yang positif (Mowday, 2002). Akibat secara langsung adalah menurunnya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan. 2.1.2.5 Kepuasan Kerja Penelitian yang dilakukanMowday (2001); Michael dan Spector (2002); Arnold dan Fieldman (2002) menunjukkan bahwa tingkat niat untuk keluar dipengaruhi oleh kepuasan kerja seseorang. Mereka menemukan bahwa semakin tidak puas seseorang terhadap pekerjaannya akan semakin kuat dorongannya untuk melakukan niat untuk keluar. Wexley dan Yukl (222:2003) mengatakan bahwa semakin banyak aspekaspek atau nilai-nilai dalam perusahaan sesuai dengan dirinya maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan. Hal ini sejalan dengan discrepancy theory yang menyatakan bahwa kepuasan dapat tercapai bila tidak ada perbedaan antara apa yang seharusnya ada (harapan, kebutuhan, nilai-nilai) dengan apa yang menurut perasaan atau persepsinya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan. 2.1.2.6 Budaya Perusahaan Robbins (229:2002) menyatakan bahwa budaya perusahaan yang kuat memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku karyawan dan secara langsung mengurangi niat untuk keluar.Dalam budaya yang kuat, nilai-nilai utama sebuah organisasi atau perusahaan sangat di pegang teguh dan tertanam pada seluruh karyawannya.Semakin banyak karyawan yang menerima nilai-nilai tersebut dan semakin besar komitmen terhadapnya maka semakin kuat budaya perusahaan itu. Budaya yang kuat ini akan membentuk kohesivitas, kesetiaan, dan komitmen terhadap perusahaan pada para karyawannya, yang akan mengurangi keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasi atau perusahaan. Karyawan yang merasa puas dengan apa yang diterima serta dengan kerjaanya dari perusahaan maka cenderung betah dan tidak ingin meninggalkan perusahaan tersebut. Adanya pengaruh kepuasan kerja terhadap keinginan berpindah di dukung oleh pendapat Stephen P Robbins dan Timonthy A Judge (2008:111-112) “Ketika karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka atau konsekuensi dari ketidakpuasan menunjukan empat respons, respons tersebut salah satunya keluar yaitu prilaku yang ditunjukan untuk meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri”. 2.1.3 Kepuasan Kerja Seorang karyawan akan merasa nyaman dan tinggi loyalitasnya pada perusahaan apabila memperoleh kepuasan kerja sesuai dengan apa yang diinginkan. Menurut Dole and Schroeder (2001), kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai perasaan dan reaksi individu terhadap lingkungan pekerjaannya, Sedangkan didalam lingkungan kerja ada 2 sisi yang mempengaruhi kepuasan kerja tersebut (Timmreck,2001) : 1. Hubungan personal individu terhadap lingkungan kerja Pekerjaan yang menjadi tanggung jawab keseharian adalah mungkin pekerjaan mudah dan menyenangkan namun apabila karyawan tidak mendapatkan perlakuan yang menyenangkan maka akan muncul ketidakpuasan tetapi sebaliknya walaupun pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang berat dan membosankan namun bila karyawan diperlakukan dengan baik maka akan timbul kepuasan kerja pada karyawan. 2. Pekerjaan itu sendiri Pekerjaan yang dilakukan kadang-kadang dapat menimbulkan kebosanan/stress atau biasa-biasa saja bahkan bisa jadi pekerjaan itu sulit dilakukan dan terlalu menuntut ketahanan fisik sehingga dapat menimbulkan kejenuhan dan kebosanan. Variabel kepuasan kerja diukur dengan instrumen yang dikembangkan oleh Smith, Kendall, dan Hulin (1969) dalam Mas‟ud (2004). Instrumen tersebut berisi 20 item pertanyaan yang mengukur tingkat kepuasan karyawan berdasarkan pekerjaan itu sendiri, pembayaran (gaji), kesempatan promosi, supervisi (pengawasan), rekan kerja. Responden diminta untuk memilih jawaban setiap pertanyaan sesuai dengan yang dialami dalam organisasi. Berdasarkan jawaban responden dapat ditentukan apakah kepuasan kerja karyawan tinggi atau kepuasan karyawan rendah. Handoko (2000:193) kepuasan kerja adalah keadaan emosional menyenangkan atau tidak menyenangkan bagaimana para pegawai memandang pekerjaan mereka. Sikap senang dan tidak senang terhadap pekerjaan dan lingkungan pekerjaan akan tercermin dari perilakunya dalam melaksanakan pekerjaan. Hasibuan (2008:202) kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaanya. Sikap ini akan berdampak pada moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Robbins (2003:91) kepuasan kerja (job satisfaction) merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaanya. Kepuasan kerja nampak dalam sikap positif pegawai terhadap pekerjaanya dan segala sesuatu yang dihadapi dilingkungan kerjanya. Sebaliknya karyawan yang tidak terpuaskan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan pekerjaan nampak memiliki sifat negatif yang mencerminkan kurangnya komitmen mereka terhadap organisasi seperti mangkir, produktifitas rendah, kebosanan dalam bekerja. Mathis and Jackson (2000), “Job satisfaction is a positive emotional state resulting one‟s job experience”. (Kepuasan kerja merupakan pernyataan emosional yang positif yang merupakan hasil evaluasi dari pengalaman kerja). Tanggapan emosional bisa berupa perasaan puas (positif) atau tidak puas sebaliknya bila tidak maka berarti karyawan tidak puas. Robbins and Judge (2009) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan positive tentang pekerjaan sebagai hasil evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut . Senada dengan itu, Noe, et. all (2006) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan yang menyenangkan sebagai hasil dari persepsi bahwa pekerjaannya memenuhi nilai-nilai pekerjaan yang penting. Selanjutnya Kinicki and Kreitner (2005) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai respon sikap atau emosi terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang. Definisi ini memberi arti bahwa kepuasan kerja bukan suatu konsep tunggal. Lebih dari itu seseorang dapat secara relative dipuaskan dengan satu aspek pekerjaannya dan dibuat tidak puas dengan satu atau berbagai aspek. Dalam pandangan yang hampir sama, Nelson and Quick (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu kondisi emosional yang positif dan menyenangkan sebagai hasil dari penilaian pekerjan atau pengalaman pekerjaan seseorang. Menurut Hasibuan (2007) kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktorfaktor: 1. Balas jasa yang adil dan layak. 2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian. 3. Berat ringannya pekerjaan. 4. Suasana dan lingkungan pekerjaan. 5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan. 6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya. 7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak. Kepuasan kerja karyawan banyak dipengaruhi oleh sikap pimpinan dalam kepemimpinan. Kepemimpinan partisipasi memberikan kepuasan kerja bagi karyawan, karena karyawan ikut aktif dalam memberikan pendapatnya untuk menentukan kebijaksanan perusahaan. Kepemimpinan otoriter mengakibatkan ketidakpuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja karyawan merupakan kunci pendorong moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja karyawan dalam mendukung terwujudnya tujuan perusahaan. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan yaitu: 1) Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan). Model ini mengajukan bahwa kepuasan ditentukan tingkatan karakteristik pekerjaan yang memungkinkan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya. 2) Discrepancies (perbedaan). Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas harapan. 3) Value attainment (pencapaian nilai). Gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting. 4) Equity (keadilan). Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan masukkan pekerjaan lainnya. 5) Dispositional/genetic components (komponen genetik). Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan. Menurut Marihot Tua Efendi (2002:290) kepuasan kerja didefinisikan dengan hingga sejauh mana individu merasakan secara positif atau negative berbagai macam factor atau dimensi dati tugas-tugas dalam pekerjaannya. Teori tentang kepuasan kerja menurut Veithzal Rivai (2004:475) adalah : 1. Teori ketidaksesuaian (discrepancy theory). Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara susuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasannya diperoleh melebihi dari yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi, sehingga terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif. Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai. 2. Teori keadilan (equity theory). Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung pada ada atau tidaknya keadilan dalam suatu situasi, khususnya situasi kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil, keadilan dan ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi karyawan yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan atau perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaannya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti : upah/gaji, keuntungan sampingan, simbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil tau aktualisasi diri. Sedangkan orang selalu membandingkan dapat berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau ditempat lain atau bisa pula dengan dirinya di masa lalu. 3. Teori dua faktor (two factor theory). Kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang kontinu. Teri ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfies atau dissatisfies. Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari : pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan memperoleh penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktro ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfies (hygiene factros) adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: gaji/upah, pengawasan, hubungan antarpribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Jika tidak terpenuhi faktor ini, karyawan tidak akan puas. Namun, jika besarnya faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan kecewa meskipun belum terpuaskan. Menurut Veithzal Rivai dan Ella Jauvani Sagala (2009:856) pengertian kepuasan kerja adalah ”Evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja”. Pengertian yang menyatakan kepuasan kerja Menurut Edy Sutrisno (2010:74) suatu sikap karyawan terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan situasi kerja, kerjasama antar karyawan, imbalan yang diterima dalam kerja, dan hal-hal yang menyangkut faktor fisik dan psikologis . Menurut A.A Anwar Prabu Mangkunegara (2009:117), Kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaanya maupun dengan kondisi dirinya . Berdasarkan pengertian beberapa ahli diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: pengertian kepuasan kerja adalah perasaan senang dan puas yang dialami seseorang dalam melakukan pekerjaanya . 2.1.4 Komitmen Organisasional Robbins (69:2007) menyatakan bahwa komitmen organisasi (organizational commitment) merupakan suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak terhadap tujuan-tujuan organisasi serta memiliki keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi tersebut. “Organizational Commitment is the degree to which employees believe in and accept organizational goals and desire to remain with the organization” (Mathis dan Jackson, 2011). Sopiah (111:2008) menyatakan bahwa komitmen organisasional adalah suatu ikatan psikologis karyawan pada organisasi yang ditandai dengan adanya: 1) Kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai–nilai organisasi, 2) Kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan organisasi, dan 3) Keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota organisasi. Berdasarkan teori-teori tersebut dapat dinyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan sikap yang dimiliki karyawan untuk tetap loyal terhadap perusahaan dan bersedia untuk tetap bekerja dengan sebaik mungkin demi tercapainya tujuan organisasi. Spector (1997) menyebutkan dua perbedaan konsepsi tentang komitmen organisasional, yaitu : 1) Pendekatan pertukaran (exchange approach) di mana komitmen pada organisasi sangat ditentukan oleh pertukaran kontribusi yang dapat diberikan perusahaan terhadap anggota dan anggota terhadap organisasi, sehingga semakin besar kesesuaian pertukaran yang disadari pandangan anggota maka semakin besar pula komitmen mereka pada organisasi. 2) Pendekatan psikologis, di mana pendekatan ini lebih menekankan orientasi yang bersifat aktif dan positif dari anggota terhadap organisasi, yakni sikap atau pandangan terhadap organisasi tempat kerja yang akan menghubungkan dan mengaitkan keadaan seseorang dengan organisasi. 2.1.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi Menurut John dan Taylor (1999), faktor–faktor yang mempengaruhi komitmen organisasional antara lain : 1) Karakteristik pribadi yang berkaitan dengan usia dan masa kerja, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan jenis kelamin. 2) Karakteristik pekerjaan yang berkaitan dengan peran, self employment, otonomi, jam kerja, tantangan dalam pekerjaan, serta tingkat kesulitan dalam pekerjaan. 3) Pengalaman kerja dipandang sebagai suatu kekuatan sosialisasi utama yang mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan ikatan psikologis dengan organisasi. 4) Karakteristik struktural yang meliputi kemajuan karier dan peluang promosi, besar atau kecilnya organisasi, dan tingkat pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan. Steers dan Porter (1991) menyimpulkan ada tiga faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu : 1) Faktor personal yang meliputi job satisfaction, psychological contract, job choice factors, karakteristik personal. Keseluruhan faktor ini akan membentuk komitmen awal. 2) Faktor organisasi, meliputi initial works experiences, job scope, supervision, goal consistency organizational. Semua faktor ini akan membentuk atau memunculkan tanggung jawab. 3) Non-organizational factors, yang meliputi availability of alternative jos. Faktor yang bukan berasal dari dalam organisasi, misalnya ada tidaknya alternatif pekerjaan lain. Meyer dan Allen (1991) dalam Grennberg dan Baron (2003) merumuskan tiga dimensi komitmen organisasi, yaitu : 1) Komitmen afektif (affective commitment) berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan tersebut. 2) Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota organisasi dengan continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut. 3) Komitmen normatif (normative commitment) menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam organisasi tersebut. 2.2 Kajian Penelitian Terdahulu Pada penelitian ini terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait dengan pembahasan ini, yaitu tentang kepuasan kerja dan komitmen organisasi dan juga tentang niat untuk keluar karyawan. Penelitian yang dilakukan oleh Novaliawati, Ice Kamela1, Surya Dharma1 (2009) yang berjudul Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Komitmen Organisasi Terhadap Niat untuk keluar Intention Pada Karyawan Pt. Mitra Andalan Niaga Nusantara Kab. Tebo Penelitian ini menunjukan bahwa Kepuasan kerja berpengaruh positif signifikan terhadap niat untuk keluar intention pada karyawan PT. Mitra Andalan Niaga Nusantara Kab. Tebo. Komitmen organisasi berpengaruh negatif signifikan terhadap niat untuk keluar intention pada karyawan PT. Mitra Andalan Niaga Nusantara Kab. Tebo. Dalam penelitian Lia Witasari (2009) tentang Analisis pengaruh kepuasan kerja kerja dan komitmen organisasional terhadap niat untuk keluar intention(Studi Empiris pada Novotel Semarang) menunjukan Kepuasan kerja sangat berpengaruh terhadap niat untuk keluar karyawan; komitmen organisasi pengaruh terhadap niat untuk keluar karyawan dan kepuasan kerja tidak berpengaruh terhadap komitmen organisasi. Hasil pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini terhadap variabel komitmen organisasional dan niat untuk keluar intentions menunjukkan bahwa komitmen organisasional memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap niat untuk keluar intentions yang ditunjukkan oleh nilai CR sebesar 4.745 dan probability sebesar 0.000. Hal inimenunjukkan bahwa pada semakin tinggi komitmen organisasional karyawan Novotel Semarang, semakin tinggi pula tingkat niat untuk keluar intentions-nya. Pada penelitian Ardy (2012) tentang Analisis Faktor-Faktor Kepuasan Kerja sebagai Pendukung Peningkatan Keterikatan Karyawan pada PT Taspen (Persero) Cabang Bogor. Penerapan faktor-faktor kepuasan kerja di PT Taspen (persero) terdiri dari kompensasi, pengembangan karir, komunikasi, lingkungan yang aman, kesehatan kerja, keselamatan kerja, penyelesaian konflik, kebanggaan dan partisipasi karyawan. Pengujian hipotesis yang dilakukan membuktikan bahwa ada pengaruh yang searah antara kepuasan kerja dengan keterikatan karyawan, yang dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,041 (signifikan pada level 5%). Hal ini merujuk pada pemikiran bahwa kepuasan kerja dipandang mampu untuk meningkatkan peran serta dan keterikatan para karyawan terhadap organisasi. 2.3 Kerangka Pemikiran Perusahaan menyadari bahwa kepuasan kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan perusahaan. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan satu perusahaan adalah terhadap mengolah sumber daya manusia. Sumber daya manusia ini merupakan penggerak utama dalam operasional perusahaan, terhadap kata lain sumber daya manusia ini sangat berpePran dalam memajukan perusahaan. Kepuasan kerja bagi karyawan sangat penting untuk meningkatkan gairah dan semangat kerja, karyawan akan memiliki kepuasan kerja sesuai terhadap kemampuannya apabila perusahaan dapat memenuhi kebutuhan karyawan. Handoko (2000:322) menyatakan, ”Perputaran (niat untuk keluar) merupakan tantangan khusus bagi pengembangan sumber daya manusia. Karena kejadian-kejadian tersebut tidak dapat diperkirakan, kegiatan-kegiatan pengembangan harus mempersiapkan setiap saat pengganti karyawan yang keluar. Di lain pihak, dalam kasus nyata, program pengembangan perusahaan yang sangat baik justru meningkatkan intensi niat untuk keluar. Wexley dan Yukl (1977) mengatakan bahwa ssemakin banyak aspekaspek atau nilai-nilai dalam perusahaan sesuai dengan dirinya maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan. Hal ini sejalan dengan discrepancy theory yang menyatakan bahwa kepuasan dapat tercapai bila tidak ada perbedaan antara apa yang seharusnya ada (harapan, kebutuhan, nilai-nilai) dengan apa yang menurut perasaan atau persepsinya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan. Meyer dan Allen (1991) dalam Glenberg (2003) merumuskan definisi mengenai komitmen organisasional sebagai konstruk psikologis yang menjelaskan karakteristik hubungan anggota dengan organisasi dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaan dalam organisasi tersebut, anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan dan melakukan Kepuasan Kerja (X1) Beban Kerja Gaji Kenaikan Jabatan Rekan Kerja Niat untuk keluar Intention (Y) Komitmen Organisasi (X2) Komitmen Afektif Komitmen Normatif Komitmen Berkelanjutan Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 2.4 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran yang digambarkan di atas, maka variabel dependen dalam penelitian ini adalah niat untuk keluar karyawan sedangkan variabel independennya berupa kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : Jika kepuasan kerja dan komitmen organisasi tinggi,maka tingkat niat untuk keluar rendah Hipotesis Kerja H1 : tidak adanya pengaruh kepuasan kerja terhadap niat untuk keluar karyawan. Ha1 : adanya pengaruh kepuasan kerja terhadap niat untuk keluar karyawan. H2 : tidak adanya pengaruh komitmen organisasional terhadap niat untuk keluar karyawan. Ha2 : adanya pengaruh komitmen organisasinal terhadap niat untuk keluar karyawan. H3 : tidak adanya pengaruh kepuasan kerja dan komitmen organisasional terhadap niat untuk keluar karyawan. Ha3 : adanya pengaruh kepuasan kerja dan komitmen organisasional terhadap niat untuk keluar karyawan.