Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
Landasan Teori sangat penting dalam sebuah penelitian terutama dalam
penulisan skripsi peneliti tidak bisa mengembangkan masalah yang mungkin di
temui di tempat penelitian jika tidak memiliki acuan landasan teori yang
mendukungnya. Dalam skripsi landasan teori layaknya fondasi pada sebuah
bangunan. Bangunan akan terlihat kokoh bila fondasinya kuat, begitu pula dengan
penulisan skripsi, tanpa landasan teori penelitian dan metode yang digunakan tidak
akan berjalan lancar. Peneliti juga tidak bisa membuat pengukuran atau tidak
memiliki standar alat ukur jika tidak ada landasan teori. Seperti yang diungkapkan
Sugiyono (2012) bahwa landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian itu
mempunyai dasar kokoh dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error).
Landasan teori adalah seperangkat devinisi, konsep serta proposisi yang
telah disusun rapih serta sistematis tentang variabel-variabel dalam sebuah
penelitian. Landasan teori ini akan menjadi dasar yang kuat dalam sebuah
penelitian yang akan dilakukan. Pembuatan landasan teori yang baik dan benar
dalam sebuah penelitian menjadi hal yang penting karena landasan teori ini
menjadi sebuah pondasi serta landasan dalam penelitian tersebut.
Di dalam landasan teori ini ada variabel penelitian yang akan dibahas.
Variabel penelitian adalah sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut
kemudian ditarik kesimpulannya. Variabel penelitian dibagi menjadi 6 bagian yaitu
: (1) variabel dependen atau variabel tergantung, (2) variabel dependen atau
variabel bebas, (3) variabel intervening, (4) variabel moderator, (5) variabel
kendali, dan (6) variabel rambang.
Variabel yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah, variabel dependen
dengan pembahasan “niat untuk keluar” dan variabel independen dengan
pembahasan “kepuasan kerja dan komitmen organisasi”. Penulis akan membahas
ke tiga variabel tersebut, yaitu :
2.1.1 Niat untuk keluar (Intention to leave)
Niat untuk keluar
(intention to leave) adalah kecenderungan atau niat
karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya (Zeffane, 2004). Menurut
Bluedorn dalam Grant
kecenderungan
sikap
et al., (2001) niat untuk keluar intention adalah
atau
tingkat
dimana
kemungkinan untuk meninggalkan organisasi
seorang
karyawan
atau mengundurkan
memiliki
diri secara
sukarela dari pekerjaanya. Lebih lanjut dijelaskan Mobley, Horner dan
Hollingsworth, dalam Grant et al., (2001) keinginan untuk pindah dapat dijadikan
gejala awal terjadinya niat untuk keluar dalam sebuah perusahaan. Intensi
keluar (intention to leave) juga dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja
keluar dari organisasi. Niat untuk keluar dapat berupa pengunduran diri,
perpindahan keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota
organisasi.
Robbins (256:2002), menjelaskan bahwa niat untuk keluar dapat terjadi
secara sukarela (voluntary niat untuk keluar) maupun secara tidak sukarela
(involuntary niat untuk keluar). Voluntary niat untuk keluar atau quit merupakan
keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela
disebabkan
yang
oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan
tersedianya alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, involuntary niat untuk keluar atau
pemecatan
menggambarkan
keputusan
pemberi
kerja
(employer)
untuk
menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang
mengalaminya.
Menurut Harninda (1999:27), intensi niat untuk keluar pada dasarnya
adalah sama dengan keinginan berpindahnya karyawan dari satu tempat kerja ke
tempat kerja lainnya. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa intensi niat untuk
keluar adalah keinginan untuk berpindah, belum pada tahap realisasi yaitu
melakukan perpindahan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya.
Harnoto (2002:2) juga menyatakan intensi niat untuk keluar adalah
kadar intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan, banyak alasan yang
menyebabkan timbulnya intensi niat untuk keluar ini dan diantaranya adalah
keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Pendapat tersebut juga
relatif sama dengan pendapat yang diungkapkan sebelumnya, bahwa intensi niat
untuk keluar pada dasarnya adalah keinginan untuk meninggalkan (keluar) dari
perusahaan.
Handoko (2000:322) menyatakan, ”Perputaran (niat untuk keluar)
merupakan tantangan khusus bagi pengembangan sumber daya manusia. Karena
kejadian-kejadian
tersebut
tidak
dapat
diperkirakan,
kegiatan-kegiatan
pengembangan harus mempersiapkan setiap saat pengganti karyawan yang keluar.
Di lain pihak, dalam kasus nyata, program pengembangan perusahaan yang sangat
baik justru meningkatkan intensi niat untuk keluar.
Jackofsky dan Peter (2003) member batasan niat untuk keluar sebagai
perpindahan
karyawan
dari
pekerjaannya
yang
sekarang.Cascio
(2005)
mendefinisikan niat untuk keluar sebagai berhentinya hubungan kerja secara
permanen antara perusahaan dengan karyawannya.Maier (2001) menyebutkan niat
untuk keluar sebagai perpisahan antara perusahaan dan pekerja, sedangkan Scott
(2007) mendefinisikan gejala niat untuk keluar sebagai perpindahan tenaga kerja
dari dan ke sebuah perusahaan.
Beach (2000) menggunakan kata termination, niat untuk keluar sebagai
berpisah atau berhentinya karyawan dari perusahaan yang mengupahnya dengan
berbagai alasan.Mobley (2006) seorang pakar dalam masalah pergantian karyawan
memberikan batasan.Niat untuk keluar sebagai berhentinya individu dari anggota
suatu organisasi dengan disertai pemberi imbalan keuangan oleh organisasi
yangbersangkutan.
Niat untuk keluar adalah keluar masuknya tenaga kerja dalam suatu
perusahaan dalam kurun waktu tertentu Flippo,(133:2002). Menurut Supriyanto
(2003) yang dimaksud dengan niat untuk keluar adalah proporsi jumlah anggota
organisasi yang secara sukarela dan tidak meninggalkan organisasi dalam kurun
waktu tertentu, umumnya dinyatakan dalam satu tahun,niat untuk keluar tidak
boleh lebih dari 10% pertahun
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi niat untuk keluar
Faktor yang mempengaruhi terjadinya niat untuk keluar cukup komplek
dan saling berkait satu sama lain. Diantara factor-faktor tersebut yang akan dibahas
antara lain adalah usia, lama kerja, tingkat pendidikan, keikatan terhadap
organisasi, kepuasan kerja dan budaya perusahaan.
2.1.2.1 Usia
Maier (2001), mengemukakan pekerja muda mempunyai tingkat niat untuk
keluar yang lebih tinggi daripada pekerja-pekerja yang lebih tua. Penelitianpenelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia
dan intens niat untuk keluar dengan arah hubungan negatif. Artinya semakin tinggi
usia seseorang, semakin rendah intensi niat untuk keluarnya (Mobley,1986)
karyawan yang lebih muda lebih tinggi kemungkinan untuk keluar.
Hal ini mungkin disebabkan pekerja yang lebih tua enggan berpindahpindah tempat kerja karena berbagai alas an seperti tanggung jawab keluarga,
mobilitas yang menurun, tidak mau repot pindah kerja dan memulai pekerjaan di
tempat kerja baru, atau karena energy yang sudah berkurang, dan lebih lagi karena
senioritas yang belum tentu diperoleh di tempat kerja yang baru walaupun gaji dan
fasilitas lebih besar.
Gilmer (1999) berpendapat bahwa tingkat niat untuk keluar yang
cenderung tinggi pada karyawan berusia muda disebabkan karena mereka masih
memiliki keinginan untuk mencoba-coba pekerjaan atau organisasi kerja serta
ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besaar melalui cara „coba-coba‟ tersebut.
Selain itu karyawan yang lebih muda mungkin mempunyai kesempatan
yang lebih banyak untuk mendapat pekerjaan baru dan memiliki tanggung jawab
terhadap keluarga lebih kecil, sehingga dengan demikian lebih mempermudah
mobilitas pekerjaan.Mungkin juga mereka mempunyai harapan-harapan yang
kurang tepat mengenai pekerjaan yang tidak terpenuhi pada pekerjaan-pekerjaan
mereka yang sebelumnya menurut Porter dan Steer, Wanous dan Mobley, (2006).
2.1.2.2 Lama kerja
U.S Civil Service Commission (2007) menyatakan bahwa pada setiap
kelompok tertentu dari orang-orang yang dipekerjakan, dua pertiga sampai tiga
perempat bagian dari mereka yang keluar terjadi pada akhir tiga tahun pertama
masa bakti, berdasarkan data ini lebih dari setengahnya sudah terjadi pada akhir
tahun pertama
Mobley,(2006). Hasil
penelitian
yang pernah
dilakukan
menunjukkan adanya korelasi negatif antara masa kerja dengan niat untuk keluar,
yang berarti semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan niat untuk
keluarnya (Prihastuti, 2002).Niat untuk keluar lebih banyak terjadi pada karyawan
dengan masa kerja lebih singkat (Parson, 2005). Interaksi dengan usia, kurangnya
sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya niat
untuk keluar tersebut.
2.1.2.3 Tingkat Pendidikan
Mowday (2002) berpendapat bahwa tingkat pendidikan berpengaruh pada
dorongan untuk melakukan niat untuk keluar.Dalam hal ini Maier (2001)
membahas pengaruh intelegensi terhadap niat untuk keluar.Dengan pendidikan
yang tinggi dan jabatan yang sesuai dengan jabatan yang diinginkan maka
berpengaruh terhadap tinggkat niat untuk keluar yang tinggi.
2.1.2.4 Keikatan terhadap organisasi
Penelitianyang dilakukan oleh Hom (2009); Michael dan Spector (2002);
Arnold dan Fieldman (2002). Menemukan bahwa keikatan terhadap perusahaan
mempunyai korelasi yang negatif dan signifikan terhadap perusahaannya akan
semakin kecil ia mempunyai intense untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan,
dan sebaliknya. Pekerja yang mempunyai rasa keikatan yang kuat terhadap
perusahaan tempat ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk perasaan
memiliki (sense of belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup, serta
gambaran diri yang positif (Mowday, 2002). Akibat secara langsung adalah
menurunnya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan.
2.1.2.5 Kepuasan Kerja
Penelitian yang dilakukanMowday (2001); Michael dan Spector (2002);
Arnold dan Fieldman (2002) menunjukkan bahwa tingkat niat untuk keluar
dipengaruhi oleh kepuasan kerja seseorang. Mereka menemukan bahwa semakin
tidak puas seseorang terhadap pekerjaannya akan semakin kuat dorongannya untuk
melakukan niat untuk keluar.
Wexley dan Yukl (222:2003) mengatakan bahwa semakin banyak aspekaspek atau nilai-nilai dalam perusahaan sesuai dengan dirinya maka semakin tinggi
tingkat kepuasan yang dirasakan. Hal ini sejalan dengan discrepancy theory yang
menyatakan bahwa kepuasan dapat tercapai bila tidak ada perbedaan antara apa
yang seharusnya ada (harapan, kebutuhan, nilai-nilai) dengan apa yang menurut
perasaan atau persepsinya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan.
2.1.2.6 Budaya Perusahaan
Robbins (229:2002) menyatakan bahwa budaya perusahaan yang kuat
memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku karyawan dan secara
langsung mengurangi niat untuk keluar.Dalam budaya yang kuat, nilai-nilai utama
sebuah organisasi atau perusahaan sangat di pegang teguh dan tertanam pada
seluruh karyawannya.Semakin banyak karyawan yang menerima nilai-nilai
tersebut dan semakin besar komitmen terhadapnya maka semakin kuat budaya
perusahaan itu. Budaya yang kuat ini akan membentuk kohesivitas, kesetiaan, dan
komitmen terhadap perusahaan pada para karyawannya, yang akan mengurangi
keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasi atau perusahaan.
Karyawan yang merasa puas dengan apa yang diterima serta dengan
kerjaanya dari perusahaan maka cenderung betah dan tidak ingin meninggalkan
perusahaan tersebut. Adanya pengaruh kepuasan kerja terhadap keinginan
berpindah di dukung oleh pendapat Stephen P Robbins dan Timonthy A Judge
(2008:111-112)
“Ketika karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka atau konsekuensi dari
ketidakpuasan menunjukan empat respons, respons tersebut salah satunya keluar
yaitu prilaku yang ditunjukan untuk meninggalkan organisasi, termasuk mencari
posisi baru dan mengundurkan diri”.
2.1.3 Kepuasan Kerja
Seorang karyawan akan merasa nyaman dan tinggi loyalitasnya pada
perusahaan apabila memperoleh kepuasan kerja sesuai dengan apa yang
diinginkan. Menurut Dole and Schroeder (2001), kepuasan kerja dapat
didefinisikan sebagai perasaan dan reaksi individu terhadap lingkungan
pekerjaannya,
Sedangkan didalam lingkungan kerja ada 2 sisi yang mempengaruhi
kepuasan
kerja tersebut (Timmreck,2001) :
1. Hubungan personal individu terhadap lingkungan kerja Pekerjaan yang
menjadi tanggung jawab keseharian adalah mungkin pekerjaan mudah dan
menyenangkan namun apabila karyawan tidak mendapatkan perlakuan
yang menyenangkan maka akan muncul ketidakpuasan tetapi sebaliknya
walaupun pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang berat dan membosankan
namun bila karyawan diperlakukan dengan baik maka akan timbul
kepuasan kerja pada karyawan.
2. Pekerjaan itu sendiri
Pekerjaan
yang
dilakukan
kadang-kadang
dapat
menimbulkan
kebosanan/stress atau
biasa-biasa saja bahkan bisa jadi pekerjaan itu sulit dilakukan dan terlalu
menuntut ketahanan fisik sehingga dapat menimbulkan kejenuhan dan
kebosanan.
Variabel kepuasan kerja diukur dengan instrumen yang dikembangkan oleh
Smith, Kendall, dan Hulin (1969) dalam Mas‟ud (2004). Instrumen tersebut berisi
20 item pertanyaan yang mengukur tingkat kepuasan karyawan berdasarkan
pekerjaan itu sendiri, pembayaran (gaji), kesempatan promosi, supervisi
(pengawasan), rekan kerja. Responden diminta untuk memilih jawaban setiap
pertanyaan sesuai dengan yang dialami dalam organisasi. Berdasarkan jawaban
responden dapat ditentukan apakah kepuasan kerja karyawan tinggi atau kepuasan
karyawan rendah.
Handoko
(2000:193)
kepuasan
kerja
adalah
keadaan
emosional
menyenangkan atau tidak menyenangkan bagaimana para pegawai memandang
pekerjaan mereka. Sikap senang dan tidak senang terhadap pekerjaan dan
lingkungan pekerjaan akan tercermin dari perilakunya dalam melaksanakan
pekerjaan. Hasibuan (2008:202) kepuasan kerja adalah sikap emosional yang
menyenangkan dan mencintai pekerjaanya. Sikap ini akan berdampak pada moral
kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Robbins (2003:91) kepuasan kerja (job
satisfaction) merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaanya.
Kepuasan kerja nampak dalam sikap positif pegawai terhadap pekerjaanya dan
segala sesuatu yang dihadapi dilingkungan kerjanya. Sebaliknya karyawan yang
tidak terpuaskan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan pekerjaan nampak
memiliki sifat negatif yang mencerminkan kurangnya komitmen mereka terhadap
organisasi seperti mangkir, produktifitas rendah, kebosanan dalam bekerja.
Mathis and Jackson (2000), “Job satisfaction is a positive emotional state
resulting one‟s job experience”. (Kepuasan kerja merupakan pernyataan emosional
yang positif yang merupakan hasil evaluasi dari pengalaman kerja). Tanggapan
emosional bisa berupa perasaan puas (positif) atau tidak puas sebaliknya bila tidak
maka berarti karyawan tidak puas.
Robbins and Judge (2009) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan
positive tentang pekerjaan sebagai hasil evaluasi karakter-karakter pekerjaan
tersebut . Senada dengan itu, Noe, et. all (2006) mendefinisikan kepuasan kerja
sebagai perasaan yang menyenangkan sebagai hasil dari persepsi
bahwa
pekerjaannya memenuhi nilai-nilai pekerjaan yang penting. Selanjutnya Kinicki
and Kreitner (2005) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai respon sikap atau
emosi terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang. Definisi ini memberi arti
bahwa kepuasan kerja bukan suatu konsep tunggal. Lebih dari itu seseorang dapat
secara relative dipuaskan dengan satu aspek pekerjaannya dan dibuat tidak puas
dengan satu atau berbagai aspek. Dalam pandangan yang hampir sama, Nelson
and Quick (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu kondisi
emosional yang positif dan menyenangkan sebagai hasil dari penilaian pekerjan
atau pengalaman pekerjaan seseorang.
Menurut Hasibuan (2007) kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktorfaktor:
1. Balas jasa yang adil dan layak.
2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian.
3. Berat ringannya pekerjaan.
4. Suasana dan lingkungan pekerjaan.
5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan.
6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya.
7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak.
Kepuasan kerja karyawan banyak dipengaruhi oleh sikap pimpinan dalam
kepemimpinan. Kepemimpinan partisipasi memberikan kepuasan kerja bagi
karyawan, karena karyawan ikut aktif dalam memberikan pendapatnya untuk
menentukan kebijaksanan perusahaan. Kepemimpinan otoriter mengakibatkan
ketidakpuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja karyawan merupakan kunci
pendorong moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja karyawan dalam
mendukung terwujudnya tujuan perusahaan.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) terdapat lima faktor yang dapat
mempengaruhi timbulnya kepuasan yaitu:
1)
Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan). Model ini mengajukan bahwa
kepuasan ditentukan tingkatan karakteristik pekerjaan yang memungkinkan
kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
2) Discrepancies (perbedaan). Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan
suatu hasil
memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan
antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila
harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya
diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas harapan.
3) Value attainment (pencapaian nilai). Gagasan value attainment adalah bahwa
kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai
kerja individual yang penting.
4)
Equity (keadilan). Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan
fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan
merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan
inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara
keluaran dan masukkan pekerjaan lainnya.
5) Dispositional/genetic components (komponen genetik). Beberapa rekan kerja
atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja, sedangkan lainnya
kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja
sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model menyiratkan
perbedaan individu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan
kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan.
Menurut Marihot Tua Efendi (2002:290) kepuasan kerja didefinisikan
dengan hingga sejauh mana individu merasakan secara positif atau negative
berbagai macam factor atau dimensi dati tugas-tugas dalam pekerjaannya.
Teori tentang kepuasan kerja menurut Veithzal Rivai (2004:475) adalah :
1. Teori ketidaksesuaian (discrepancy theory). Teori ini mengukur kepuasan
kerja seseorang dengan menghitung selisih antara susuatu yang seharusnya
dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasannya diperoleh
melebihi dari yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi,
sehingga terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif.
Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang
dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai.
2. Teori keadilan (equity theory). Teori ini mengemukakan bahwa orang akan
merasa puas atau tidak puas, tergantung pada ada atau tidaknya keadilan
dalam suatu situasi, khususnya situasi kerja. Menurut teori ini komponen
utama dalam teori keadilan adalah input, hasil, keadilan dan ketidakadilan.
Input adalah faktor bernilai bagi karyawan yang dianggap mendukung
pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan
peralatan atau perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan
pekerjaannya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang
karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti : upah/gaji, keuntungan
sampingan, simbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil tau
aktualisasi diri. Sedangkan orang selalu membandingkan dapat berupa
seseorang di perusahaan yang sama, atau ditempat lain atau bisa pula dengan
dirinya di masa lalu.
3. Teori dua faktor (two factor theory). Kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja
itu merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap
pekerjaan itu bukan suatu variabel yang kontinu. Teri ini merumuskan
karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfies atau dissatisfies.
Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber
kepuasan kerja yang terdiri dari : pekerjaan yang menarik, penuh tantangan,
ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan memperoleh penghargaan dan
promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun
tidak terpenuhinya faktro ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan.
Dissatisfies (hygiene factros) adalah faktor-faktor yang menjadi sumber
ketidakpuasan,
yang
terdiri
dari:
gaji/upah,
pengawasan,
hubungan
antarpribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi
dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Jika tidak terpenuhi faktor
ini, karyawan tidak akan puas. Namun, jika besarnya faktor ini memadai untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan
kecewa meskipun belum terpuaskan.
Menurut Veithzal Rivai dan Ella Jauvani Sagala (2009:856) pengertian
kepuasan kerja adalah ”Evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan
sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja”.
Pengertian yang menyatakan kepuasan kerja Menurut Edy Sutrisno
(2010:74) suatu sikap karyawan terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan
situasi kerja, kerjasama antar karyawan, imbalan yang diterima dalam kerja, dan
hal-hal yang menyangkut faktor fisik dan psikologis .
Menurut A.A Anwar Prabu Mangkunegara (2009:117), Kepuasan kerja
adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang
berhubungan dengan pekerjaanya maupun dengan kondisi dirinya . Berdasarkan
pengertian beberapa ahli diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: pengertian
kepuasan kerja adalah perasaan senang dan puas yang dialami seseorang dalam
melakukan pekerjaanya .
2.1.4 Komitmen Organisasional
Robbins (69:2007) menyatakan bahwa komitmen organisasi (organizational
commitment) merupakan suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak
terhadap tujuan-tujuan organisasi serta memiliki keinginan untuk mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi tersebut. “Organizational Commitment is the
degree to which employees believe in and accept organizational goals and desire
to remain with the organization” (Mathis dan Jackson, 2011).
Sopiah (111:2008) menyatakan bahwa komitmen organisasional adalah suatu
ikatan psikologis karyawan pada organisasi yang ditandai dengan adanya:
1) Kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai–nilai organisasi,
2) Kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan organisasi, dan
3) Keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota
organisasi.
Berdasarkan teori-teori tersebut dapat dinyatakan bahwa komitmen
organisasi merupakan sikap yang dimiliki karyawan untuk tetap loyal terhadap
perusahaan dan bersedia untuk tetap bekerja dengan sebaik mungkin demi
tercapainya tujuan organisasi.
Spector (1997) menyebutkan dua perbedaan konsepsi tentang komitmen
organisasional, yaitu :
1) Pendekatan pertukaran (exchange approach) di mana komitmen pada
organisasi sangat ditentukan oleh pertukaran kontribusi yang dapat diberikan
perusahaan terhadap anggota dan anggota terhadap organisasi, sehingga
semakin besar kesesuaian pertukaran yang disadari pandangan anggota maka
semakin besar pula komitmen mereka pada organisasi.
2) Pendekatan psikologis, di mana pendekatan ini lebih menekankan orientasi
yang bersifat aktif dan positif dari anggota terhadap organisasi, yakni sikap
atau pandangan terhadap organisasi tempat kerja yang akan menghubungkan
dan mengaitkan keadaan seseorang dengan organisasi.
2.1.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
Menurut John dan Taylor (1999), faktor–faktor yang mempengaruhi
komitmen organisasional antara lain :
1) Karakteristik pribadi yang berkaitan dengan usia dan masa kerja, tingkat
pendidikan, status perkawinan, dan jenis kelamin.
2) Karakteristik pekerjaan yang berkaitan dengan peran, self employment,
otonomi, jam kerja, tantangan dalam pekerjaan, serta tingkat kesulitan dalam
pekerjaan.
3) Pengalaman kerja dipandang sebagai suatu kekuatan sosialisasi utama yang
mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan ikatan psikologis dengan
organisasi.
4) Karakteristik struktural yang meliputi kemajuan karier dan peluang promosi,
besar atau kecilnya organisasi, dan tingkat pengendalian yang dilakukan
organisasi terhadap karyawan.
Steers dan Porter (1991) menyimpulkan ada tiga faktor yang mempengaruhi
komitmen karyawan pada organisasi, yaitu :
1) Faktor personal yang meliputi job satisfaction, psychological contract, job
choice factors, karakteristik personal. Keseluruhan faktor ini akan membentuk
komitmen awal.
2) Faktor organisasi, meliputi initial works experiences, job scope, supervision,
goal consistency organizational. Semua faktor ini akan membentuk atau
memunculkan tanggung jawab.
3) Non-organizational factors, yang meliputi availability of alternative jos.
Faktor yang bukan berasal dari dalam organisasi, misalnya ada tidaknya
alternatif pekerjaan lain.
Meyer
dan
Allen
(1991)
dalam Grennberg dan Baron (2003)
merumuskan tiga dimensi komitmen organisasi, yaitu :
1) Komitmen afektif (affective commitment) berkaitan dengan hubungan
emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan
keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Anggota organisasi
dengan affective commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam
organisasi karena memang memiliki keinginan tersebut.
2) Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) berkaitan dengan
kesadaran anggota organisasi akan mengalami kerugian jika meninggalkan
organisasi. Anggota organisasi dengan continuance commitment yang tinggi
akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki
kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut.
3) Komitmen normatif (normative commitment) menggambarkan perasaan
keterikatan untuk terus berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan
normative commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam
organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam organisasi tersebut.
2.2
Kajian Penelitian Terdahulu
Pada penelitian ini terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait dengan
pembahasan ini, yaitu tentang kepuasan kerja dan komitmen organisasi dan juga
tentang niat untuk keluar karyawan.
Penelitian yang dilakukan oleh Novaliawati, Ice Kamela1, Surya Dharma1
(2009) yang berjudul Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Komitmen Organisasi
Terhadap Niat untuk keluar Intention Pada Karyawan Pt. Mitra Andalan Niaga
Nusantara Kab. Tebo Penelitian ini menunjukan bahwa
Kepuasan kerja
berpengaruh positif signifikan terhadap niat untuk keluar intention pada karyawan
PT. Mitra Andalan Niaga Nusantara Kab. Tebo. Komitmen organisasi berpengaruh
negatif signifikan terhadap niat untuk keluar intention pada karyawan PT. Mitra
Andalan Niaga Nusantara Kab. Tebo.
Dalam penelitian Lia Witasari (2009) tentang Analisis pengaruh kepuasan
kerja
kerja dan komitmen organisasional terhadap niat untuk keluar
intention(Studi Empiris pada Novotel Semarang) menunjukan Kepuasan kerja
sangat berpengaruh terhadap niat untuk keluar karyawan; komitmen organisasi
pengaruh terhadap niat untuk keluar karyawan dan kepuasan kerja tidak
berpengaruh terhadap komitmen organisasi. Hasil pengujian yang dilakukan
dalam penelitian ini terhadap variabel komitmen organisasional dan niat untuk
keluar intentions menunjukkan bahwa komitmen organisasional memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap niat untuk keluar intentions yang
ditunjukkan oleh nilai CR sebesar 4.745 dan probability sebesar 0.000. Hal
inimenunjukkan bahwa pada semakin tinggi komitmen organisasional karyawan
Novotel Semarang, semakin tinggi pula tingkat niat untuk keluar intentions-nya.
Pada penelitian Ardy (2012) tentang Analisis Faktor-Faktor Kepuasan
Kerja sebagai Pendukung Peningkatan Keterikatan Karyawan pada PT Taspen
(Persero) Cabang Bogor. Penerapan faktor-faktor kepuasan kerja di PT Taspen
(persero) terdiri dari kompensasi, pengembangan karir, komunikasi, lingkungan
yang aman, kesehatan kerja, keselamatan kerja, penyelesaian konflik, kebanggaan
dan partisipasi karyawan. Pengujian hipotesis yang dilakukan membuktikan
bahwa ada pengaruh yang searah antara kepuasan kerja dengan keterikatan
karyawan, yang dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,041 (signifikan pada level
5%). Hal ini merujuk pada pemikiran bahwa kepuasan kerja dipandang mampu
untuk meningkatkan peran serta dan keterikatan para karyawan terhadap
organisasi.
2.3
Kerangka Pemikiran
Perusahaan
menyadari
bahwa
kepuasan
kerja
karyawan
sangat
berpengaruh terhadap laju pertumbuhan perusahaan. Salah satu faktor yang
mempengaruhi keberhasilan satu perusahaan adalah terhadap mengolah sumber
daya manusia. Sumber daya manusia ini merupakan penggerak utama dalam
operasional perusahaan, terhadap kata lain sumber daya manusia ini sangat
berpePran dalam memajukan perusahaan. Kepuasan kerja bagi karyawan sangat
penting untuk meningkatkan gairah dan semangat kerja, karyawan akan memiliki
kepuasan kerja sesuai terhadap kemampuannya apabila perusahaan dapat
memenuhi kebutuhan karyawan.
Handoko (2000:322) menyatakan, ”Perputaran (niat untuk keluar)
merupakan tantangan khusus bagi pengembangan sumber daya manusia. Karena
kejadian-kejadian
tersebut
tidak
dapat
diperkirakan,
kegiatan-kegiatan
pengembangan harus mempersiapkan setiap saat pengganti karyawan yang keluar.
Di lain pihak, dalam kasus nyata, program pengembangan perusahaan yang sangat
baik justru meningkatkan intensi niat untuk keluar.
Wexley dan Yukl (1977) mengatakan bahwa ssemakin banyak aspekaspek atau nilai-nilai dalam perusahaan sesuai dengan dirinya maka semakin
tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan. Hal ini sejalan dengan discrepancy theory
yang menyatakan bahwa kepuasan dapat tercapai bila tidak ada perbedaan antara
apa yang seharusnya ada (harapan, kebutuhan, nilai-nilai) dengan apa yang
menurut perasaan atau persepsinya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan.
Meyer dan Allen (1991) dalam Glenberg (2003) merumuskan definisi
mengenai
komitmen
organisasional
sebagai
konstruk
psikologis
yang
menjelaskan karakteristik hubungan anggota dengan organisasi dan memiliki
implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaan dalam
organisasi tersebut, anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya
akan lebih dapat bertahan dan melakukan
Kepuasan Kerja (X1)
Beban Kerja
Gaji
Kenaikan Jabatan
Rekan Kerja
Niat untuk keluar Intention (Y)
Komitmen Organisasi (X2)
Komitmen Afektif
Komitmen Normatif
Komitmen Berkelanjutan
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.4
Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang digambarkan di atas, maka variabel
dependen dalam penelitian ini adalah niat untuk keluar karyawan sedangkan
variabel independennya berupa kepuasan kerja dan komitmen organisasi.
Hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
Jika kepuasan kerja dan komitmen organisasi tinggi,maka tingkat niat untuk
keluar rendah
Hipotesis Kerja
H1 : tidak adanya pengaruh kepuasan kerja terhadap niat untuk keluar karyawan.
Ha1 : adanya pengaruh kepuasan kerja terhadap niat untuk keluar karyawan.
H2 : tidak adanya pengaruh komitmen organisasional terhadap niat untuk keluar
karyawan.
Ha2 : adanya pengaruh komitmen organisasinal
terhadap niat untuk keluar
karyawan.
H3 : tidak adanya pengaruh kepuasan kerja dan komitmen organisasional terhadap
niat untuk keluar karyawan.
Ha3 : adanya pengaruh kepuasan kerja dan komitmen organisasional terhadap niat
untuk keluar karyawan.
Download